Professional Documents
Culture Documents
Leo Sutrisno
Hakekat manusia dapat didalami melalui tiga aspek, yaitu: sosialitas, historisitas, dan
individualitasnya. Sosialitas manusia mengakui bahwa setiap manusia itu memerlukan
relasi dengan yang lain. Setiap manusia memerlukan hubungan dengan yang lain. Kita
tidak hidup sendirian di sebuah pulau. Tetapi, kita hidup bersama dengan yang lain.
Aspek hitorisitas manusia merujuk pada kenyataan bahwa masa lampau setiap orang
mewarnai masa kininya dan masa kini mengarahkan masa depannya. Itu berarti bahwa
setiap orang merupakan pelaku sejarah. Kita membuat sejarah hidup kita sendiri.
Aspek individualitas manusia menyatakan bahwa setiap orang itu unik dan otonom. Unik
berarti bahwa setiap orang itu tidak ada duanya. Setiap manusia berbeda satu dengan
yang lain. Otonom berarti setiap menusia mempunyai wewenang mengeloloa hidupnya
sendiri. Kita satu sama laim memang berbeda. Kita juga tidak dapat mengarahkan orang
lain. Masing-masing otonom.
Di dalam manusia yang utuh terkandung ketiga aspek itu secara seimbang. Kita selalu
berelasi dengan yang lain. Kita sadar bahwa diri kita masing-masing adalah pembuat
sejarah hidup kita. Tetapi, di atas semua itu, kita adalah kita sendiri, yang unik dan
otonom.
Pendidikan yang manusiawi mesti diarahkan untuk membantu setiap peserta didik
menjadi manusia yang utuh itu. Pendidikan yang membuat seseorang menjadi mandiri
[unik dan otonom] yang mampu bersinergi dengan yang lain [berelasi dengan yang lain]
dan visionair [menyejarah ke masa depan].
Walaupun ada mata pelajaran sejarah, pendidikan Indonesia tidak membuat orang
menjadi pelaku sejarah hidupnya masing-masing. Kita bisa saksikan orang beramai-ramai
mengubah dirinya menjadi orang barat. Jika tidak mampu secara mental, yang diubah
fisiknya, misalnya: rambut menjadi pirang. Kita saksikan mereka bukan lagi seorang
Indonesia, tetapi orang Barat yang sawo matang.
Mari kita cermati arti pendidikan yang dinyatakan dalam Undang-undang Sistem
pendidikan Nasional [No. 20 tahin 2003]. Pada Bab I, Pasal 1, Ayat 1 ditulisakan bahwa
pendidkan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Dalam rumusan ini, pendidikan hanya berada di luar peserta didik, yaitu
dalam wilayah suasana dan proses belajar. Selebihnya, terserah pada anak didik.
Mari kita lihat ilustrasi ini, seorang ayah yang sedang memberdayakan anaknya agar
mampu bermain layang-layang. Si ayah ’terjun’ ke tengah lapangan bersama si anak.
Mereka berdua ’bergulat’ agar layang-layangnya dapat terbang. Fokusnya si anak yang
sedang berlatih. Si bapak membantu dan membimbing. Bahkan, kadang-kadang ia
menjadi ’sparing partner’, kawan berdebat dan berdiskusi bagi si anak. Kegiatan ini
berakhir saat si anak sudah mampu bermain kelayang sendiri. Di sini anak dilatih
bersinergi dengan yang lain. Di sini anak dilatih bekerja sama dengan yang lain. Aspek
sosialitas manusia tercakup di dalamnya.
Sifat manusiawi dari Renstra Kemendiknas 2010-2014 yang tersirat dari filosofinya ini
dipertegas oleh pilihan paradigma yang dipakai dalam menyelenggarakan pendidikan.
Pertama, memperlakukan peserta didik sebagai manusia yang utuh. Kedua, mengakui
bahwa pendidikan itu berlangsung seumur hidup. Ketiga, pengakuan bahwa pendidikan
itu disediakan untuk semua orang. Dan keempat, pendidikan diarahkan untuk
menghasilkan manusia yang berakhlak mulia yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Landasan filosofis dan paradigma pendidikan yang dianut dalam Renstra Kemendiknas
2010-2014 divisualisasikan dalam Visi yang akan diwujudkan dalam periode 2010-2014
dengan jelas. Visi itu berbunyi ’Terselengara layanan prima pendidikan nasional untuk
membentuk insan Indonesia yang cerdas dan komprehensif [perhatikan: komprehesif
bukan kompetitif]. Dan, dikembangkan dengan moto ”Melayani semua dengan amanah”.
Kini, tinggal menunggu implementasi di lapangan. Para pelaku pendidikan mesti juga
mengubah paradigma kerjanya. Para perkerja pendidikan mesti juga menjunjung nilai-
nilai yang terkadung dalam moto ini ”MELAYANI SEMUA DENGAN AMANAH”.
Semoga!