You are on page 1of 17

TRAUMA KAPITIS

I. Latar Belakang

Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian
yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena
penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif.

Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak di atas usia 1 tahun di AS.
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertiggi,
yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira 5% penderita trauma kapitis
meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai dampak emosi,
psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering mengalami
masa perawatan rumah sakit yang panjang dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit
masih membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang.

Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun
pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan
trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan; sisanya merupakan trauma
dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.

Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini belum ada. Yang ada barulah data dari
beberapa RS (sporadis).

Prediksi insiden per tahunnya di dunia akan menurun secara signifikan, dengan
adanya adanya UU pemakaian helm dan sabuk pengaman bagi pengaman
motor/mobil. Diperkirakan sebanyak kurang lebih 10 juta orang menderita trauma
kapitis berat dengan angka kematian sekitar separuhnya.

Telah banyak manajemen terapi standar yang berdasarkan evidence based medicine
yang diajukan dan diterapkan di pusat kesehatan di seluruh dunia. Tetapi mengingat
kemampuan dan fasilitas yang tersedia di pusat kesehatan tersebut, terutama di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, maka beberapa penyesuaian perlu
dilakukan.
Beberapa penelitian berbasis penderita orang Indonesia perlu dilakukan untuk
mendapatkan gambaran manajemen maksimum dan optimum yang dapat diterapkan
dan yang sesuai dengan karakter serta fasilitas yang tersedia.

Manajemen trauma kapitis terdiri dari:

- Manajemen non operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit


saraf (neurologi)
- Manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah saraf

Terapi trauma kapitis yang belum berdasarkan evidence based medicine, tidak
dianjurkan dipakai.

Manajemen trauma kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran kualitas


hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya (patient oriented)
yang mayoritas berusia muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk
mengembangkan kariernya.

II. Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

III. Epidemiologi
Cedera kepala sanagt sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian cedera
kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala
meninggal sebelum dating ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita menderita
berbagai tingkat kececetan akibat cedera kepala.
IV. Klasifikasi

Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan:

1. Patologi
1.1 Komosio serebri
1.2 Kontusio serebri
1.3 Laserasio serebri
2. Lokasi lesi
2.1 Lesi diffus
2.2 Lesi kerusakan vaskule otak
2.3 Lesi fokal
2.3.1 Kontusio dan laserasi serebri
2.3.2 Hematoma intrakranial
2.3.2.1 Hematoma ekstradural
2.3.2.2 Hematoma subdural
2.3.2.3 Hematoma intraparenkim
2.3.2.3.1 Hematoma subarakhnoid
2.3.2.3.2 Hematoma intraserebral
2.3.2.3.3 Hematoma intraserebellar
3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS
3.1 CKR (Cedera Kepala Ringan)
3.1.1 GCS > 13
3.1.2 Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
3.1.3 Tidak memerlukan tindakan operasi
3.1.4 Lama dirawat di RS < 48 jam
3.2 CKS (Cedera Kepala Sedang)
3.2.1 GCS 9-13
3.2.2 Ditemukan kelainan pada CT scan otak
3.2.3 Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
3.2.4 Dirawat di RS setidaknya 48 jam
3.3 CKB (Cedera Kepala Berat)
3.3.1 Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, GCS < 9
V. Diagnosis
1. Minimal (Simple Head Injury)
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma (APT),
tidak ada defisit neurologis
2. Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury)
GCS 13-15, CT scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat RS
< 48 jam, amnesia pada trauma (APT) < 1 jam
3. Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)
GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau GCS > 12 akan tetapi ada lesi operatif
intrakranial atau abnormal CT scan, pingsan >30 menit – 24 jam, APT 1-24 jam
4. Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)
GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam, APT > 7
hari

Penegakkan Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan

1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi Ap, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi

Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis

1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS


2. Penilaian fungsi vital
3. Otorrhea/rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5. Ekimosis mastoid bilateral/Battle’s sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak
10. Pemeriksaan pupil
11. Refleks kornea
12. Doll’s eye phenomen
13. Monitor pola pernafasan
14. Gangguan fungsi otonom
15. Funduskopi

HEMATOMA EPIDURAL

Perdarahan yang terjadi diantara tabula interna-duramater. Hematoma massif, akibat pecahnya
a.meningea media atau sinus venosus.

Tanda diagnostik klinik:

1. Lucid interval (+)


2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal

HEMATOMA EPIDURAL DI FOSSA POSTERIOR

Gejala dan tanda klinis:

1. Lucid interval tidak jelas


2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
5. Pupil isokor
Penunjang diagnostik:

1. CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan duramater,


umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks

HEMATOMA SUBDURAL

Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya “bridging vein´(vena


jembatan)

Jenis:

▫ Akut : interval lucid 0-5 hari

▫ Subakut : interval ucid 5 hari – minggu

▫ Kronik : interval lucid >3 bulan

Hematoma Subdural Akut

Gejala dan tanda klinis:

- Sakit kepala
- Kesadaran menurun

Penunjang diagnostik:

- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan


arakhnoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan
sabit

HEMATOMA INTRASEREBRAL

Adalah perdarahan parenkhim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono- atau
multiple.
FRAKTUR BASIS KRANII

1. Anterior
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorrea
- Perdarahan bilaterala periorbital ecchymosis/racoon eye
- Anosmia
2. Media
Gejala dan tanda:
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
- Gangguan N.VII dan VIII
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis:
- Bilateral mastoid echymosis

Penunjang diagnostik:

- Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes hal


- Scanning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50%+)

DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)

Gejala dan tanda klinis:

- Koma lama pasca trauma kapitis


- Disfungsi saraf otonom
- Demam tinggi

Penunjang diagnostik: CT scan otak

PERDARAHAN SUBARAKHNOID TRAUMATIKA

Gejala dan tanda klinis:


- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran

Penunjang diagnostik:

- CT scan otak: perdarahan di ruang subarakhnoid

VI. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3


deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak
pada tulang tengkorak yang mengakibatkan mekanisme coup dan countrecoup.
Tabrakan pada dua sisi juga dapat terjadi.

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi:

1. Cedera tulang; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak.
Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.

2. Cedera intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan


subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara
bersamaan.
Berdasarkan beratnya cedera digunakan GCS (Glasgow coma scale) untuk menilai
secara kuantitatif kelainan neurologis. Nilai GCS juga dipakai untuk menilai tingkat
kesadaran penderita akibat berbagai penyebab lainnya.

1. Cedera kepala Ringan (CKR)


- GCS <13
- Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
- Tidak memerlukan tindakan operasi
- Lama dirawat di RS < 48 jam
2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
- GCS 9-13
- Ditemukan kelainan pada CT-scan otak
- Memeerlukan tindakan untuk lesi intracranial
- Dirawat di RS setidaknya 48 jam
3. Cedera Kepala Berat (CKB)
Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma nilai GCS <9

Glasgow Coma Scale

Respon membuka mata (Eye)


Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

Diagnosis

- Komosio

- Sakit kepala, mual, muntah, bradikardi, TD meningkat


- Pemeriksaan Glasgow Coma Scale
- Post Traumatic Amnesia
Indeks yang digunakan untuk menentukan tingkat cedera kepala. PTA didefinisikan
sebagai lamanya waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi,
konsentrasi menurun, atensi menurun, dan atau ketidakmampuan untuk membentuk
memori baru.

PTA 1 hari atau kurang Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan terapi
yang sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan
disabilitas yang menetap, biasanya post-ok
syndrome
PTA lebih dari 1 hari, tapi kurang Masa penyembuhan lebih panjang, biasanya
dari seminggu beberapa minggu sampai bulan. Penyembuhan
sepenuhnya sangat mungkin dengan perawatan
yang baik
PTA 1-2 minggu Penyembuhan memerlukan waktu beberapa bulan,
pada beberapa pasien masih terdapat gejala sisa.
Pada umumnya dapat kembali berkerja, pasien
dapat melakukan aktivitas social dengan perawatan
yang baik.
PTA 2-4 minggu Proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1
tahun atau lebih. Didapatkan deficit permanen,
sebagian tidak dapat melakukan aktivitas fungsional
(bekerja atau melakukan aktivitas social)
PTA lebih dari 4 minggu Terdapat defisit dan disabilitas yang permanen,
dibutuhkan pelatihan dan perawatan jangka panjang

- Patah tulang atap orbita

 Hematom kaca mata

 Likorea dari hidung

- Patah tulang petrosum tulang tengkorak

 Hematom sekitar os.mastoid

 Perdarahan dari telinga

- Paralisis n.fasialis

- Defisit neurologis yang terjadi tergantung pada lokasi cedera.

Pemeriksaan Penunjang

- Foto polos kepala :foto polos kepala atau otak memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang rendah dalam mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan foto polos

kepala mulai ditinggalkan.


- CT Scan , harus segera dilakukan segera mungkin,ideanya dalam waktu 30 menit

setelah cedera. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan

CT Scan sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan

indikasi tertentu seperti : nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis kranii,

adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari 1 kali, penderita lansia (usia

>65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia, kejang, riwayat gangguan

vaskuler atau mengunakan obat-obat antikoagulan, gangguan orientasi, berbicara,

membaca dan menulis, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan,

Interpretasi CT scan kepala harus diakukan secara sistemik agar tidak ada yang

terlewatkan. Kulit kepala pada tempat benturan biasanya mengalami pembengkakan

atau dijumpai hematom subgaleal. Retak atau garis fraktur dapat tampak jelas pada

pemeriksaan teknik bone window. Penemuan penting pada CT scan kepala adalah

adanya perdarahan intracranial dan pergeseran garis tengah (efek masa). Septum

pelucidum yang seharusnya berada di antara kedua ventrikel lateralis harusnya

berada di tengah-tengah. Garis tengah dapat ditarik antara Krista galli di anterior

dan inion di bagian posterior. Pada CTscan tidak selalu dapat dibedakan perdarahan

epidural atau subDural tetapi dapat dilihat khas pada perdarahan epidural gumpalan

darah tampak bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

- MRI kepala, adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT

scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun

dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga

tidak sesuai dalam situasi gawat darurat.


- PET atau SPECT. Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon

Emission Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan

abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan

pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas

penemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET

atau SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan.

Penatalaksanaan (Cedera Kepala Berat)

Penderita cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana walaupun

status kardiopulmonernya telah distabilisasi. GCS pada cedera kepala berat adalah 3-8.Penderita

cedera kepala berat mempunyai risiko besar menderita morbiditas dan mortalitas yang berat.

Primary Survey

1. Airway & breathing

Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus diimobilisasi

dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head block dan diikat pada alas yang

kaku pada kecurigaan fraktur servikal.

Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan

gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi

pernapasan di kedua aksila.

Pada cedera kepala berat sering terjadi gangguan terhentinya pernapasan sementara.

Penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan intubasi endotrakeal. Tindakan

hiperventilasi harus dilakukan hati-hati pada penderita cedera kepala berat. Tindakan ini
dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat

tekanan intrakranial. pCO2 harus dipertahankan antara 35-40 mmHg sehingga terjadi

vasokontriksi pembuluh darah ke otak. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan

intrakranial

2. Sirkulasi  dilakukan pemberian resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti

Ringer Laktat atau Normal Salin (20ml/kgBB) jika pasien syok, tranfusi darah 10-15

ml/kgBB harus dipertimbangkan

3. Defisit Neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran

dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak

dengan kelainan neurologis berat seperti anak dengan nilai GCS ≤ 8 harus diintubasi.

4. Kontrol Pemaparan/ Lingkungan.

Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering

datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas.

Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun

pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 390C)

Secondary survey

Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah dipastikan

penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah,

maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi

tanda vital dan deficit neurologis. Selain itu pemakaian penyangga leher diindikasikan jika :

- Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher

- Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher


- Rasa baal pada lengan

- Gangguan keseimbangan atau berjalan

- Kelemahan umum

Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa :

- Penurunan kesadaran (menurut GCS) dari observasi awal

- Gangguan daya ingat

- Nyeri kepala hebat

- Mual dan muntah

- Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)

- Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan

- Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di

rumah. Namun apabila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita

harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status cedera kepala yang dialami menjadi

cedera kepala sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.

Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita

diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung dibawa

kembali ke rumah sakit.

Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural

(SDH) maka indikasi bedah adalah :

- Pada hematom epidural : EDH simtomatik, EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal >

1 cm (EDH yang lebih besar daripada ini akan sulit diresorpsi), EDH pada pasien pediatric
- Pada hematom subdural (SDH) : SDH simtomatik, SDH dengan ketebalan > 1 cm pada

dewasa atau > 5 mm pada pediatric

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi bila cedera kepala merupakan cedera yang berat atau cedera

ringan/sedang yang tidak tertangani maka dapat terjadi:

- Gangguan neurologik, cedera saraf otak dapat berupa anosmia, gangguan visus,

strabismus, gangguan pendengaran atau keseimbangan, disarti hingga hemiparesis.

- Sindrom pascatrauma, biasanya pada cedera kepala ringan, atau pingsan yang tidak lebih
dari 20 menit. Keluhan dapat berupa nyeri kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya
konsentrasi menurun, dan lain-lain.
- Ensefalopati pascatrauma, gambaran klinis tampak sebagai demensia, penurnan
kesiagaan, dan yang lainnya.
- Epilepsi pascatrauma, biasanya terjadi karena cedera koortikal
- Koma,penderita dengan trauma kepala berat dapat berakhir dengan keadaan korteks
serebrum tidak berfungsi lagi semua rangsangan dari luar dapat diterima namun tidak
disadari. Penderita biasanya dalam keadaan tutup mata dan terdapat siklus banngun tidur.
Penderita dapat bersuara, gerakan ototnya lemah atau tidak ada sama sekali.
- Mati otak, pada keadaan mati otah selain henti napas, semua refleks batang otak tidak
dapat ditimbulkan, seperti refleks, pupil, kornea, refleks muntah dan batuk.

Prognosis
Prognosis ditetapkan berdasarkan keadaan kesadaran pada saat pasien masuk semua penderita
mendapat terapi agresif menurut konsultasi dari ahli bedah saraf. Terutama pada anak-anak yang
mempunyai daya pemulihan yang baik. Penderita usia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan
yang lebi rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-
24 jam setelah trauma, prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.
DAFTAR PUSTAKA

A Pierce. Dkk. At a Glance Ilmu Bedah. Penerbit Erlangga. Jakarta.2006


Dewanto, George, dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.EGC. Jakarta.
2009
Schwartz, dkk. Intisari Prinsp-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2000.
Sjamsuhidajat, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.2005
Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta. 2006.

You might also like