You are on page 1of 20

c  


       c    

     

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah


Hutan merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya mengandung faktor biotik dan abiotik.
Faktor biotik selalu berkompetisi dan berhubungan satu sama lain, sehingga terbentuk suatu
keseimbangan yang dinamis. Begitu pun dengan keberadaan vegetasi dalam suatu ekosistem,
memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang luas.
Soerianegara dan Indrawan (1982) memberi batasan mengenai vegetasi yaitu sebagai suatu
masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam arti luas sedangkan suatu masyarakat hutan adalah
sekelompok tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon yang menempati suatu tempat atau
habitat, di mana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuh-tumbuhan itu satu sama lain.
Tumbuhan yang ada di muka bumi ini sangat banyak jumlahnya maupun jenisnya. Perkiraan
para ahli botani tentang jumlah tumbuhan yang hidup di muka bumi adalah ½ juta jenis
bahkan ada yang memperkirakan sekitar 2 juta. Dari jumlah jenis tumbuhan yang demikian
besar tersebut, masih dapat kita amati adanya variasi atau keanekaragaman sifat dari setiap
individu pada jenis/spesies yang sama, misalnya keanekaragaman model arsitektur.
Model arsitektur pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu yang merupakan
hasil dari rangkaian seri pertumbuhan yang nyata dan dapat diamati setiap saat. Oleh karena
sifatnya yang konsisten, maka model arsitektur pada setiap jenis pohon dapat dijadikan data
dalam membedakannya dengan jenis pohon lain. Variasi model arsitektur pohon juga
memberikan dampak bagi fungsi dan peran pohon tersebut dalam komunitasnya maupun
dalam ekosistem secara keseluruhan. Setiap jenis pohon memiliki ciri yang khas dalam
rangkaian proses pertumbuhannya yang diwariskan secara genetik pada keturunannya. Model
arsitektur biasanya diterapkan untuk tumbuhan berhabitus pohon sebagai gambaran dari salah
satu fase dalam rangkaian pertumbuhannya. Tumbuhan berhabitus pohon dengan tingkat
kerapatan yang bervariasi dapat kita jumpai di gunung Tampusu.
Tingkat kerapatan pohon yang bervariasi dapat memberikan gambaran bahwa gunung
tampusu masih merupakan hutan alami. Namun, kondisi ini tidak akan bertahan lama jika
perambahan hutan oleh masyarakat karena desakan ekonomi. Hal ini dapat mengakibatkan
menurunnya tingkat kerapatan pohon yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan.
Olehnya dibutuhkan informasi yang holistik tentang model arsitektur pohon karena dalam
persfektif ekologi tumbuhan, variasi model arsitektur pohon dapat dijadikan sebagai data
dasar untuk penelitian lanjutan tentang pengaruh model arsitektur pohon terhadap translokasi
dan transformasi air hujan. Sehingga persoalan erosi akibat kerusakan lingkungan karena
perambahan hutan oleh masyarakat yang diakibatkan oleh desakan ekonomi dapat diatasi.
Setiadi (1998) merupakan ahli model arsitektur pertama yang mengkaji penerapan model
arsitektur pohon dalam lingkup profil vegetasi sistem agroforestri kebun campur di Jawa
Barat. Hasil penelitian tersebut telah membuka pintu untuk pengembangan konsep model
arsitektur pohon dalam kajian-kajian ekologis serta aplikasinya dengan mengkomparasikan
informasi dari bidang ilmu lainnya.
Penelitian ini akan dilaksanakan untuk mengungkapkan bagaimana diversitas dan model
arsitektur pohon di gunung Tampusu. Data-data tersebut akan memberikan gambaran awal
untuk penelitian lanjutan. Sehingga dengan latar belakang di atas penulis mengambil judul :
³Diversitas dan Model Arsitektur Pohon di Hulu DAS Tondano Kabupaten Minahasa
Provinsi Sulawesi Utara´.

B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada diversitas dan model arsitektur pohon di di gunung Tampusu pada
ketinggian 500-1500 m dpl Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.

C. Perumusan Masalah
Bagaimana diversitas dan model arsitektur pohon di gunung Tampusu pada ketinggian 500-
1500 m dpl Kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi Utara.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


a. Tujuan penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui diversitas dan model arsitektur
pohon di gunung Tampusu pada ketinggian 500-1500 m dpl.
b. Manfaat penelitian
1. Sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis khususnya dan mahasiswa biologi serta
masyarakat pada umumnya mengenai diversitas dan model arsitektur pohon di gunung
Tampusu pada ketinggian 500-1500 m dpl.
2. Sebagi data tambahan bagi Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa tentang diversitas dan
model arsitektur pohon di gunung Tampusu pada ketinggian 500-1500 m dpl.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori
a. DAS Tondano
Hutan adalah lahan yang umumnya ditumbuhi vegetasi alami atau buatan yang terdiri dari
pohon-pohon besar dengan tinggi lebih dari 5 meter dan bertajuk rapat. Termasuk dalam
kelas ini adalah hutan buatan, tanaman penghijauan dan reboisasi. Hutan pada umumnya
terdapat pada puncak-puncak perbukitan/pegunungan, yang merupakan bagian dari hutan
lindung seperti Gunung Mahawu, Gunung Masarang, Gunung Tampusu, Gunung Lengkoan,
Gunung Lembean, Gunung Kawatak, Gunung Rindengan, Gunung Manimporok, Gunung
Soputan dan Gunung Kaweng.
Kondisi Hutan gunung Tampusu sejak tahun 1999 mengalami penambahan luas area
disebabkan oleh perubahan penggunaan belukar, kebun campuran, tegalan/kebun campuran
dan alang-alang. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain : meningkatnya
kerapatan vegetasi pada kebun campuran akibat perkebunan cengkeh yang telah dibiarkan
petani dan penanaman vanili di antara tanaman cengkeh. Di samping itu, penyebab lainnya
adalah hasil implementasi program penghijauan dan reboisasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Menurut Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (1999), di daerah
Noongan, Gunung Kawatak, Gunung Soputan dan daerah Tumaratas pada tahun anggaran
1976/1977 dan 1984/1985 telah berhasil dilakukan penghutanan kembali kawasan seluas 757
ha.
DAS Tondano terletak di ujung utara semenanjung Sulawesi Utara pada ketinggian antara 0 ±
1.556 meter di atas permukaan laut (m dpl). Secara administratif DAS Tondano meliputi
sebagian dari wilayah Kabupaten Minahasa dan Kota Manado yang mencakup sebagian dari
17 kecamatan dan sebagian dari 92 desa/kelurahan. DAS Tondano ini dapat dibagi atas 4 Sub
DAS, yaitu Sub DAS Tondano, Sub DAS Tikala, Sub DAS Noongan, dan Sub DAS Klabat.

b. Keanekaragaman Tumbuhan
Tumbuhan yang ada di muka bumi sangat banyak jumlahnya maupun jenisnya. Perkiraan
para ahli botani tentang jumlah tumbuhan yang hidup di muka bumi adalah ½ juta jenis
bahkan ada yang memperkirakan sekitar 2 juta. Dari jumlah jenis tumbuhan yang demikian
besar tersebut, masih dapat kita amati adanya variasi atau keanekaragaman sifat dari setiap
individu pada spesies yang sama antara lain keanekaragaman model arsitektur.
Keanekaragaman pada jenis tumbuhan tertentu dapat bertambah atau berkurang dari waktu ke
waktu. Perubahan keanekaragaman tumbuhan tersebut dapat disebabkan oleh salah satu atau
beberapa faktor berikut misalnya :
1. Faktor genetik karena setiap spesies tumbuhan memiliki sifat genetik tertentu yang
diperoleh dari induknya dan akan diwariskan kepada generasi penerusnya.
2. Faktor mutasi yaitu perubahan komposisi genetik yang terjadi karena adanya kondisi
lingkungan yang ekstrem menimpa tumbuhan tersebut, misalnya adanya sinar radioaktif, dan
ultraviolet. Radiasi tersebut pada frekuensi tertentu dapat menyebabkan perubahan kromosom
sehingga memungkinkan munculnya variasi baru spesies tumbuhan tersebut. Selain secara
alamiah mutasi dapat juga dilakukan melalui eksperimen laboratorium dengan
memperlakukan sinar radioaktif pada tumbuhan.
3. Faktor adaptasi yaitu penyesuaian diri tumbuhan terhadap kondisi lingkungannya.
Tumbuhan yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap berbagai kondisi lingkungan
cenderung lebih besar variabilitasnya jika dibandingkan dengan tumbuhan yang daya
adaptasinya rendah. Adaptasi tumbuhan terhadap lingkungan ekstrem dalam waktu yang
lama menyebabkan adanya perubahan bentuk dan fungsi organ tertentu.
4. Faktor kompetisi yaitu persaingan antara dua individu yang hidup pada lingkungan yang
sama. Ketatnya persaingan ditentukan oleh ketersediaan sumber daya dalam lingkungannya.
Jika sumber daya berada dalam keadaan terbatas, maka persaingan cenderung mengarah pada
agresivitas untuk menyingkirkan pesaingnya. Meskipun demikian persaingan tidak selalu
mengarah kepada agresivitas, karena di hutan primer yang lebat dengan populasi tumbuhan
yang saling tumpang tindih, memungkinkan terjadinya protokooperasi. Kedua peristiwa
tersebut dapat memacu peningkatan atau penurunan keanekaragaman tumbuhan.
(Arrijani, 2000 : 5-6)

c. Model Arsitektur Pohon


Arsitektur pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu yang merupakan suatu
fase pada saat tertentu dari suatu rangkaian seri pertumbuhan pohon, nyata dan dapat diamati
setiap waktu. Bentuk pertumbuhan yang menentukan rangkaian fase arsitektur pohon disebut
model arsitektur. Elemen-elemen dari suatu arsitektur pohon terdiri dari pola pertumbuhan
batang, percabangan dan pembentukan pucuk terminal. Pola pertumbuhan pohon dapat
berupa ritmik dan kontinu. Pertumbuhan ritmik memiliki suatu perioditas dalam proses
pemanjangannya yang secara morfologi ditandai dengan adanya segmentasi pada batang atau
cabang. Pertumbuhan kontinu berbeda dengan pertumbuhan ritmik karena tidak memiliki
perioditas dan tidak ada segmentasi pada batang atau cabangnya (Halle at al., 1978).
Menurut Halle at al., (1978), elemen lain dari arsitektur pohon berupa pola percabangan dapat
dibedakan atas pola percabangan sylepsis dan pola percabangan prolepsis. Pola percabangan
sylepsis merupakan percabangan yang dibentuk dari meristem lateral dengan perkembangan
yang kontinu, sedangkan pola percabangan prolepsis merupakan percabangan yang terbentuk
secara diskontinu dengan beberapa periode istirahat dari meristem lateral. Pertumbuhan tunas
pada jenis-jenis pohon juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu ortotropik dan plagiotropik.
Pertumbuhan tunas jenis ortotropik dicirikan oleh pucuk yang terbentuk berorientasi tumbuh
vertikal dan sering tidak berbunga, sedangkan pertumbuhan tunas jenis plagiotropik yaitu
pucuk yang terbentuk berorientasi tumbuh secara horizontal dan sering menghasilkan bunga.
Berdasarkan keberadaan cabang dan aksis vegetatifnya, maka model arsitektur pohon secara
umum dapat diklasifikasikan ke dalam empat karakteristik utama yang selanjutnya dapat
dibedakan lagi menjadi 24 jenis model arsitektur pohon. Keempat model utama tersebut
antara lain :
1. Pohon yang tidak bercabang yaitu bagian vegetatif pohon hanya terdiri dari satu aksis dan
dibangun oleh sebuah meristem soliter. Model Holtum dan model Corner.
2. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekuivalen dan ortotropik, contohnya model
Tomlinson, model Chamberlain, model Leuwenberg dan model Schoute.
3. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang nonekivalen, contohnya model Prevost,
model McClure, model Rauh, model Cook, model Kwan-Koriba, model Fagerlind, model
Petit, model Aubreville, model Theoretical, model Scarrone, model Stone, model Attim ,
model Nozeran, model Massart dan model Roux.
4. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran antara ekuivalen dan non ekivalen.
Contohnya model Troll, model Champagnat, dan model Mangenot (Halle and Oldeman,
1975).
Secara umum keempat model arsitektur pohon dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Model arsitektur pohon tidak bercabang
Setiadi (1998) mengemukakan bahwa model arsitektur pohon yang tidak bercabang terdiri
dari model Holtum dan model Corner. Model Holtum merupakan jenis pohon dengan ciri-ciri
batang lurus, tidak bercabang, monaksial (pohon yang mempunyai aksis tunggal yang berasal
dari satu meristem apikal dan dengan perbungaan terminal). Contoh tumbuhan yang memiliki
model arsitektur Holtum adalah Corypha umbracelifolia (Arecaceae, monokotil) dan
Sohuregia excelsa (Rutaceae, dikotil).
Model Corner merupakan jenis pohon dengan ciri-ciri batang lurus, tidak bercabang,
monaksial. Khusus untuk model Corner ini dibedakan lagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok tumbuhan yang pertumbuhannya kontinu yaitu pertumbuhan yang tidak
memperlihatkan pertambahan tunas baru secara bertahap pada selang waktu tertentu,
contohnya Cocos nicifera (Arecaceae, monokotil) dan Carica papaya (Caricaceae, dikotil).
Kelompok kedua dari model Corner adalah kelompok tumbuhan dengan ciri pertumbuhan
ritmik yaitu pertumbuhan pohon yang ditentukan oleh ritme timbulnya tunas baru yang
diselingi oleh periode dormansi. Karena adanya ritme pertumbuhan tersebut, maka pada
batang pohon nampak adanya ruas-ruas yang nyata sebagai tanda adanya pertumbuhan
ritmik. Contoh tumbuhan yang tergolong model Corner untuk pertumbuhan ritmik adalah
Cycas circinales (Cycadaceae, Gymnospermae) dan Trichoscypha ferreginea (Anacardiaceae,
dikotiledon).
2. Model arsitektur pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekuivalen
Model arsitektur pohon yang bercabang dengan aksis vegetatif yang ekuivalen, homogen dan
ortotropik serta basitoni yaitu percabangan terjadi pada bagian bawah module, umumnya di
bawah permukaan tanah, pertumbuhan kontinu dan aksis berupa hapaxanthy atau pleonanthy
disebut model Tomlinson. Tumbuhan yang tergolong kedalam model Tomlinson ini dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu model Tomlinson dengan aksis berupa hapaxanthy yaitu
tiap mudule yang tumbuh/berkembang sudah tertentu dengan perbungaan terminal,
contohnya Musa var. saiantum (Musaceae, monokotil) dan Cobelia gibberog (Labeliaceae,
dikotil). Kelompok kedia yaitu model Tomlinson dengan aksis berupa pleonanthy yaitu tiap
module yang tumbuh tidak tertentu sehingga perbungaannya lateral/axiler, contohnya Phonix
dactylifera (Arecaceae, monokotil).
Model arsitektur pohon yang bercabang dengan aksis vegetatif yang ekuivalen, homogen dan
ortotropik serta akrotoni yaitu percabangan terjadi pada bagian distal dari permukaan tanah
dengan bentuk percabangan dichotomous. Kelompok tumbuhan yang tergolong dalam model
Schoute dapat dibedakan menjadi dua yaitu dengan aksis vegetatif ortotropik, contohnya
Hyphaene thebaica dan dengan aksis vegetatif plagaistropik, contohnya Nympha fraticans.
Model arsitektur pohon yang bercabang dengan aksis vegetatif yang ekuivalen, homogen dan
ortotropik serta akrotoni yaitu percabangan terjadi pada bagian distal dari permukaan tanah
dengan bentuk percabangan tidak menggarpu dan hanya satu cabang pada setiap module,
simpodium berdimensi satu, linier, monokaulus, kelihatan seperti tidak bercabang dan
module hapaxanthy disebut model Chamberlain contohnya Cycas circinali (Cycadaceae,
Gymnospermae), Cordyline indivisa (Agavaceae, monokotil) dan Talisia mollis
(Sapindaceae).
Model arsitektur pohon yang bercabang dengan aksis vegetatif yang ekuivalen, homogen, dan
ortotropik serta akrotoni yaitu percabangan terjadi pada bagian distal dari permukaan tanah
dengan bentuk percabangan tidak menggarpu dan pada setiap module terdapat dua atau lebih
cabang, simpodium berdimensi tiga, tidak linier, percabangan jelas, perbungaan terminal
disebut model Leuwenberg. Contohnya Dracaena draco (Agavaceae, monokotil), Ricinus
communis dan Manihot esculenta (Euphorbiaceae, dikotil) (Halle et al. 1978).

3. Model arsitektur pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang non-ekuivalen


Jenis tumbuhan tertentu yang memiliki batang bercabang, kadang-kadang kelihatan seperti
tidak bercabang, poliaksial, aksis vegetatifnya tidak ekuivalen dan homogen atau heterogen
disebut model McClure. Contohnya Bambusa arundinaceae (Poaceae, monokotil) dan
Polygonum cuspiolatum (Polygonaceae, dikotil).
Tumbuhan yang memiliki batang bercabang, kadang-kadang kelihatan seperti tidak
bercabang, poliaksial, aksis vegetatifnya tidak ekuivalen dan homogen atau heterogen,
cabang plagiotropiknya sedikit, module umumnya mempunyai perbungaan terminal yang
berfungsi baik, pertumbuhan simpodial, konstruksi modular dengan percabangan terbatas di
mana module sama pada bagian pangkal tetapi berbeda pada bagian ujungnya, bercabang
dengan satu cabang utama membentuk pokok disebut model Koriba, contohnya Hura crepitan
dan Alstonia macrophilla.
Apabila percabangan akrotoni dengan pola konstruksi modular, cabang plagiotropiknya
sedikit, modul umumnya mempunyai perbungaan terminal yang berfungsi baik, pertumbuhan
simpodial dengan modul tidak sama dari pangkal, pokok terbentuk kemudian setelah
terjadinya percabangan. Meskipun pola percabangan berupa simpodial, tetapi antara pokok
dan cabang nampak sangat jelas berbeda. Ciri seperti ini biasanya hanya ditemukan pada
jenis pohon dengan pola percabangan monopodial, oleh sebab itu diperlukan ketelitian dalam
pengamatan agar tidak terjadi kekeliruan identifikasi. Jenis pohon yang memiliki ciri-ciri
seperti ini disebut model Prevost. Contoh pohon yang termasuk model ini adalah Euphorbia
pulcherrina (Euphorbiaceae), Alstonia boonei (Apocinaceae), Alstonia scholaris
(Apocinaceae).

4. Model arsitektur pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran


Model arsitektur ini memiliki keunikan tersendiri karena aksis pohonnya bersifat campuran
antara plagiotropik dan ortotropik dan dengan pola pertumbuhan primer. Aksis campuran
tersebut terjadi karena bentuk pertumbuhannya berlangsung dalam dua tahapan, yaitu : (1)
tahapan permulaan, yaitu pertumbuhan awal yang berlangsung pada bagian proksimal dengan
bentuk pertumbuhan ortotropik, (2) tahapan kedua, yaitu pertumbuhan pada bagian distal
dengan bentuk pertumbuhan plagiotropik. Jenis tumbuhan yang mengalami pola
pertumbuhan dan membentuk model arsitektur seperti ini antara lain model Mangenot.
Contoh tumbuhan yang memiliki model percabangan jenis ini adalah Dicranolepis persei
(Thymeleaceae, Afrika) dan Strychnos variabilis (Longaniaceae) dan sebagainya.
Pada jenis tumbuhan tertentu, pola percabangannya menunjukkan adanya aksis yang
kelihatan seperti campuran antara ortotropik dan plagiotropik yang disebabkan karena adanya
pertumbuhan sekunder. Sebagai contoh kasus pada pertumbuhan pohon tertentu memiliki
pola dasar di mana semua aksis sesungguhnya ortotropik, tetapi karena dalam pertumbuhan
selanjutnya terjadi proses pembengkokan pada cabang-cabang lateralnya maka membentuk
model arsitektur tertentu yang berbeda. Model pertumbuhan pohon yang seperti ini
selanjutnya disebut sebagai model Champagnat. Contoh tumbuhan yang mengalami
pertumbuhan seperti itu adalah Bougainvillea glabra (Nyctaginaceae).
Bentuk lain yang ditemukan pada jenis tumbuhan tertentu dimana pola percabangan
menunjukkan adanya aksis yang kelihatan seperti campuran antara ortotropik dan
plagiatropik yang disebabkan karena adanya pertumbuhan sekunder. Sebagai contoh kasus
pada pertumbuhan pohon tertentu memiliki pola dasar di mana semua aksis sesungguhnya
plagiotropik, tetapi setelah daun luruh sering kali menjadi tegak karena adanya pertumbuhan
sekunder atau karena dalam pertumbuhan selanjutnya terjadi proses pembengkokan pada
cabang-cabang lateralnya maka membentuk pohon yang seperti ini selanjutnya disebut
sebagai model Troll.
Model arsitektur pertumbuhan dengan model dasar Troll terbagi menjadi dua bagian
berdasarkan pola percabangan pokoknya yaitu : (1) model Troll yang mengalami
pertumbuhan sekunder seperti itu tetapi pola percabangan pokoknya monopodium. Contoh
tumbuhan dengan model pertumbuhan seperti ini adalah Annona muricata (Annonaceae),
Parkia speciosa, Delonix regia, dan Leucaena glauca (Mimmosaceae). (2) model Troll yang
mengalami pertumbuhan sekunder seperti itu tetapi pola percabangan pokoknya simpodium.
Contoh tumbuhan yang mengalami pertumbuhan seperti ini termasuk model Troll adalah
Parinaria exelsa (Rosaceae) dan Elaeocarpus sphaericus.

B. Kerangka Berpikir
Tumbuhan yang ada di muka bumi sangat banyak jumlahnya maupun jenisnya. Begitu pun
dengan tumbuhan yang ada di gunung Tampusu, tepatnya pada zona tropika dan zona sub-
montana. Gunung Tampusu masih merupakan hutan alami. Dari jumlah tumbuhan yang
demikian besar dapat kita amati adanya tingkat kerapatan dan variasi atau keanekaragaman
sifat dari setiap spesies yang sama seperti keanekaragaman model arsitektur. Dibawah ini
digambarkan secara skemati

C. Asumsi
1. Setiap pohon memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda terhadap kondisi lingkungan.
2. Variasi model arsitektur pohon menunjukkan adanya keragaman spesies.
D. Hipotesis
Terdapat perbedaan tingkat keragaman dan variasi model arsitektur pohon pada satuan luas
tertentu.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian, secara operasional masing-masing
dapat didefinisikan sebagai berikut :
a. Variabel bebas
Adapun yang menjadi variabel bebas pada penelitian ini ialah kerapatan, frekwensi, dan
dominasi pohon di gunung Tampusu tepatnya pada zona tropika dan sub-montana.
b. Variabel terikat
Adapun yang menjadi variabel terikat pada penelitian ini ialah diversitas dan model
arsitektur.

B. Prosedur Pelaksanaan Eksperimen


a. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus ± Desember tahun 2007 di Gunung Tampusu pada
zona tropika dan sub-montana hulu DAS Tondano Kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi
Utara.
b. Alat dan bahan
Peralatan dan bahan yang diperlukan selama pelaksanaan penelitian antara lain 1). Alat tulis
menulis digunakan untuk menulis data yang di dapat dari lokasi penelitian, 2). Kamera
olympus FE-100, Jepang 3). Lup, 4). Meteran 5) Tali, dan 6). Altimeter SWIFT, U.S.A.
c. Cara kerja
Analisis vegetasi diawali dengan penentuan ukuran minimal kuadrat yang akan di terapkan di
lokasi. Untuk menentukan ukuran minimal kuadrat tersebut, dilaksanakan dengan
menggunakan metode releve, dilanjutkan dengan pengukuran parameter ekologi antara lain
kerapatan, frekuensi, dominasi, indeks nilai penting masing-masing pohon, dan indeks
diversitas. Selanjutnya identifikasi dilakukan langsung di lokasi penelitian untuk menentukan
nama-nama ilmiah dan nama lokal masing-masing jenis pohon yang ditemukan pada zona
tropika dan zona sub-montana. Kemudian menentukan model arsitektur pohon berdasarkan
ketentuan Halle & Oldeman (1975) dan berdasarkan kunci identifikasi yang telah
dikembangkan oleh Setiadi (1998).
d. Langkah kerja
1. Penentuan ukuran minimal kuadrat.
2. Pengumpulan data pada lokasi penelitian.
3. Pengukuran kerapatan mutlak dan kerapatan relatif masing-masing pohon setelah data
lapangan dikumpulkan melalui metode kuadrat. Nilai kerapatan mutlak dan kerapatan relatif
masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
-
-
4. Pengukuran nilai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif masing-masing dilakukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
-
-
5. Pengukuran nilai dominasi mutlak dan dominasi relatif masing-masing jenis dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
-
-
6. Menghitung INP masing-masing jenis dengan cara menjumlah kerapatan relatif, frekuensi
relatif dan dominasi relatif masing-masing jenis. Rumus yang digunakan :
INP = KR + FR + DR
Dimana : INP = Indeks nilai penting jenis tertentu
KR = Nilai kerapatan relatif jenis tertentu
FR = Nilai frekuensi relatif jenis tertentu
DR = Nilai dominasi relatif jenis tertentu
7. Perhitungan indeks diversitas dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Dimana : H ' = Indeks diversitas


pi = Jumlah pohon
(Muller dan Dombois, 1974)

8. Identifikasi untuk menentukan nama-nama lokal dan nama ilmiah.


9. Pengambilan gambar setiap jenis pohon.
10. Penentuan model arsitektur masing-masing jenis pohon yang terpilih sebagai sampel di
lokasi penelitian dilakukan berdasarkan ketentuan Halle and Oldeman (1975) dan mengacu
pada kunci identifikasi yang telah dikembangkan oleh Setiadi (1998).

C. Analisis Data
Data yang terkumpul dari lapangan selanjutnya dianilisis dengan metode deskriptif.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi diawali dengan penentuan ukuran minimal kuadrat yang akan di terapkan di
lokasi. Untuk menentukan ukuran minimal kuadrat tersebut, dilaksanakan dengan
menggunakan metode releve dengan skema pelaksanaan sebagai berikut :

Gambar-1. Skema penerapan metode releve di lokasi penelitian


Hasil inventarisasi jenis pohon yang terdapat dalam plot masing-masing ukuran selanjutnya
dicatat dalam tabel-1 sebagai berikut :

Tabel-1. Hasil inventarisasi jenis pohon yang terdapat dalam masing-masing plot pada
penerapan metode releve.
No. Ukuran Plot Jumlah Jenis Keterangan
1.
2.
3.
4.

5. 5 m x 5 m
5 m x 10 m
10 m x 10 m
10 m x 20 m

20 m x 20 m 4
8
12
16

17 ukuran plot awal


Jumlah jenis bertambah 100%
Jumlah jenis bertambah 50%
Jumlah jenis bertambah 33,33%
Jumlah jenis bertambah 6,25%

Data pada tabel-1 menunjukkan hasil penerapan metode releve dalam penentuan ukuran
kuadrat. Berdasarkan hasil tersebut, maka ditetapkan ukuran minimal plot yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah 20 m x 20 m atau 400 m2. Penetapan sampel plot
dilakukan berdasarkan ketinggian tempat di lokasi penelitian yaitu pada zona tropika dengan
ketinggian sampai dengan 1000 m dpl dan zona sub-montana (1000-1500 m dpl). Pada setiap
zona di tempatkan 30 plot secara acak sistematis dengan pertimbangan penambahan elevasi
sebesar 100 m dpl.
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa terdapat 54 spesies pohon yang ditemukan. Hasil
perhitungan kerapatan, kerapatan relatif. frekuensi relatif, dominasi, dominasi relatif dan
indeks nilai penting terdapat pada tabel-2. Data tersebut menunjukkan komposisi dan struktur
tumbuhan yang nilainya bervariasi pada setiap jenis karena adanya perbedaan karakter
masing-masing pohon. Menurut Kimmins (1987), variasi struktur dan komposisi tumbuhan
dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi tumbuhan, dispersal dan
natalitas. Keberhasilannya menjadi individu baru dipengaruhi oleh vertilitas dan fekunditas
yang berbeda setiap spesies sehingga terdapat perbedaan struktur dan komposisi masing-
masing spesies.
Nilai kerapatan setiap jenis yang terdapat pada tabel-2 menunjukkan bahwa terdapat variasi
yang mencolok mengenai kerapatan 54 spesies yang ditemukan. Jumlah individu atau pohon
dari 54 spesies tersebut adalah 808 dengan nilai kerapatan terendah sebesar 1 atau 0,124%
pada jenis kayu totoko (Vibirnum sambucinum), sedangkan nilai kerapatan tertinggi sebesar
91 atau 11.26% untuk jenis kayu wasian (Elmerellia celebica). Oleh karena nilai kerapatan
suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies bersangkutan pada satuan luas tertentu,
maka nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada lokasi
penelitian. Meskipun demikian nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran bagi kita
tentang bagaimana distribusi dan pola penyebaran tumbuhan yang bersangkutan pada lokasi
penelitian. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat pada
nilai frekuensinya sedangkan pola penyebaran dapat ditentukan dengan membandingkan nilai
tengah spesies tertentu dengan varians populasi secara keseluruhan.
Nilai frekuensi untuk jenis Elmerrellia celebica adalah 86.67 artinya dari total 30 plot yang
diamati di lokasi penelitian sekitar 87% atau 26 plot diantaranya terdapat jenis ini. Oleh
sebab itu jenis E. celebica merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya tertinggi
sehingga jenis E. celebica ini dapat dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada
hampir seluruh lokasi penelitian. Frekuensi spesies ini juga tinggi yaitu 73,33% atau
ditemukan pada 22 plot dari 30 sampel plot yang diteliti. Kedua nilai ini penting artinya
dalam analisis vegetasi karena saling terkait satu dengan yang lainnya. Bahkan menurut
Greig-Smith (1983) nilai frekuensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan
pola distribusinya. Meskipun memberikan informasi yang penting, nilai distribusi hanya
dapat memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan
belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot.

Tabel-2 Nilai INP jenis-jenis pohon yang ditemukan pada zona tropika dan sub-montana
kawasan Gunung Tampusu Hulu DAS Tondano.
No Nama Ilmiah Nama Daerah KM KR F FM FR DM DR INP
1 Elmerellia celebica Kayu wasian 91 11.26 26 86.67 6.7 238743.8 29.77 47.73
2 Pterocarpus indicus Kayu lingua 73 9.035 22 73.33 5.67 159802.9 19.93 34.63
3 Palaqium obtusifolium Kayu nantu 50 6.188 19 63.33 4.9 27276.1 3.401 14.49
4 Astronia macrophylla Kayu dankouw 49 6.064 19 63.33 4.9 56290.53 7.019 17.98
5 Cryptocarya subvelutina Kayu walkajo 42 5.198 16 53.33 4.12 20248 2.525 11.85
6 Cananga sp Kayu wangurer 35 4.332 15 50 3.87 14175.73 1.768 9.966
7 Elmerellia valis Kayu uhu 30 3.713 14 46.67 3.61 13399.91 1.671 8.993
8 Canarium balsamiferum Kanari 29 3.589 13 43.33 3.35 17204.59 2.145 9.086
9 Litsea albayana Kayu tuama 26 3.218 14 46.67 3.61 15605.61 1.946 8.773
10 Avicennia intermedia Kayu api-api 26 3.218 14 46.67 3.61 14133.9 1.762 8.589
11 Aegiceras floridum Api-api merah 26 3.218 12 40 3.09 13809.61 1.722 8.033
12 Pterospermum celebicum Kayu baju 24 2.97 9 30 2.32 13935.05 1.738 7.028
13 Bruguiera gymnorrhiza Kayu bangko 21 2.599 11 36.67 2.84 13115.63 1.635 7.07
14 Aglaia elaeagnoidea Kayu bualo 18 2.228 10 33.33 2.58 6060.179 0.756 5.561
15 Pongemia pinnata Kayu besi 17 2.104 12 40 3.09 7653.909 0.954 6.152
16 Turpinia sphaerocarpa Kayu danoan 17 2.104 13 43.33 3.35 8289.269 1.034 6.489
17 Dillenia cerrata Kayu dengilo 17 2.104 9 30 2.32 13782.33 1.719 6.143
18 Toona celebica Kayu amurang 16 1.98 9 30 2.32 15776.54 1.967 6.268
19 Engerhardia rigida Kayu emporia 16 1.98 6 20 1.55 8050.81 1.004 4.531
20 Myristica celebica Kayu duguan 15 1.856 8 26.67 2.06 9357.561 1.167 5.086
21 Cananga odorata Kayu kenanga 15 1.856 7 23.33 1.8 6262.607 0.781 4.442
22 Elmerrellia ovalis Kayu ketena 14 1.733 8 26.67 2.06 5944.45 0.741 4.536
23 Dillenia ochreata Kayu kelemur 14 1.733 7 23.33 1.8 12168.88 1.517 5.055
24 Pometetia pinnata Kayu kase 11 1.361 6 20 1.55 20328.58 2.535 5.443
25 Mimusops elengi Kayu karikis 11 1.361 6 20 1.55 6671.837 0.832 3.74
26 Dracontomelon dao Kayu kinton 10 1.238 8 26.67 2.06 33688 4.201 7.501
27 Mallotus ricinoides Kayu kutungga 7 0.866 4 13.33 1.03 5509.211 0.687 2.584
28 Manilkara celebica Kayu komea 6 0.743 3 10 0.77 2188.922 0.273 1.789
29 Fragrae fragrans Kayu kulahi 6 0.743 4 13.33 1.03 2281.506 0.284 2.058
30 Ficus erecta Kayu usu 6 0.743 3 10 0.77 2458.878 0.307 1.823
31 Litsea mappacea Kayu waka 5 0.619 3 10 0.77 1491.442 0.186 1.578
32 Evodia speciosa Kayu walita 5 0.619 3 10 0.77 1138.446 0.142 1.534
33 Macaranga hispida Kayu waneran 4 0.495 3 10 0.77 789.5867 0.098 1.367
34 Avicennia intermedia Kayu moput 4 0.495 2 6.667 0.52 839.0602 0.105 1.115
35 Daeridium falciforme Kayu lai 4 0.495 3 10 0.77 887.8973 0.111 1.379
36 Premna tumentosa Kayu alas 4 0.495 4 13.33 1.03 956.6193 0.119 1.646
37 Bruguiera gymnorrhiza Kayu tongge 3 0.371 2 6.667 0.52 567.1153 0.071 0.958
38 Vibirnum sp Kayu yatako 3 0.371 3 10 0.77 622.0769 0.078 1.222
39 Pometia tomentosa Kayu owusel 3 0.371 3 10 0.77 690.0035 0.086 1.231
40 Streblus asper Kayu uloto 3 0.371 3 10 0.77 430.7849 0.054 1.198
41 Eugenia therniana Kayu wote 3 0.371 3 10 0.77 1204.305 0.15 1.295
42 Casuarina rumphiana Kayu awako 3 0.371 3 10 0.77 190.9739 0.024 1.168
43 Vitex cofassus Kayu wulasi 3 0.371 3 10 0.77 647.7681 0.081 1.225
44 Aglaea argentea Kayu rintek 3 0.371 3 10 0.77 712.4336 0.089 1.234
45 Pygeum rumphii Kayu wompo 3 0.371 3 10 0.77 662.8011 0.083 1.227
46 Polyalthia celebica Kayu lonu 2 0.248 2 6.667 0.52 880.182 0.11 0.873
47 Evodia celebica Kayu wonje 2 0.248 2 6.667 0.52 1160.876 0.145 0.908
48 Eucaliptus deglupta Kayu tombulito 2 0.248 2 6.667 0.52 644.6661 0.08 0.844
49 Calophyllum soulattri Kayu tombalika 2 0.248 2 6.667 0.52 536.5722 0.067 0.83
50 Mimusops elengi Kayu toto 2 0.248 2 6.667 0.52 748.3854 0.093 0.856
51 Pterospermum celebicum Kayu torode 2 0.248 2 6.667 0.52 352.041 0.044 0.807
52 Antidesma celebicum Kayu tua 2 0.248 2 6.667 0.52 472.8612 0.059 0.822
53 Nauclea orientalis Kayu towoti 2 0.248 2 6.667 0.52 432.6938 0.054 0.817
54 Vibirnum sambucinum Kayu totoko 1 0.124 1 3.333 0.26 714.7402 0.089 0.471
JUMLAH 808 100 388 1293 100 801989.1 100 300

Berkaitan dengan nilai frekuensi suatu jenis, Kershaw (1979) dan Crawley (1986)
mengemukakan bahwa frekuensi suatu jenis dalam komunitas tertentu besarannya ditentukan
oleh metode sampling, ukuran kuadrat, ukuran tumbuhan dan distribusi spasialnya. Dalam
penelitian ini pemilihan metode kuadrat dan penempatannya telah dilakukan dengan prosedur
yang standar sehingga nilai frekuensi yang diperoleh diharapkan benar-benar
menggambarkan kondisi di lapangan. Demikian juga ukuran kuadrat yang digunakan telah
ditetapkan melalui penerapan metode Kurva Spesies Area (Setiadi. 1989) sehingga ukuran
kuadrat yang digunakan telah sesuai standar yang berlaku. Oleh sebab itu kedua spesies yang
memiliki nilai kerapatan dan frekuensi tertinggi (Kayu kinton dan Wasian) termasuk kategori
spesies yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.
Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungan dalam
arti luas. Beberapa jenis dalam hutan tropika teradaptasi dengan kondisi di bawah kanopi,
middle dan di atas kanopi yang intensitas cahayanya berbeda-beda (Balakrishnan, 1994).
Keberhasilan setiap jenis untuk mengokupasi suatu area dipengaruhi oleh kemampuannya
beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, cahaya,
struktur tanah, kelembaban dan sebagainya), faktor biotik (interaksi antar spesies, kompetisi,
parasitisme dan sebagainya) dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH,
nutrisi dalam tanah dan sebagainya yang saling berinteraksi (Krebs, 1994).
Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan,
frekuensi dan dominasi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi.
Besarnya Indeks Nilai Penting menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam
komunitasnya atau pada lokasi penelitian. Jenis kayu wasian, linggua dan nantu merupakan
jenis yang mendominasi daerah hulu DAS Tondano karena memiliki nilai INP tertinggi. Jenis
tersebut selanjutnya disebut sebagai jenis yang dominan dalam ekosistem hulu DAS
Tondano. Kemampuan ketiga jenis tersebut dalam menempati sebagian besar lokasi
penelitian menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan
kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian. Jenis Wasian yang memiliki diameter
batang yang lebih besar diperkirakan lebih dahulu tumbuh pada lokasi penelitian setelah
letusan dahsyat gunung Tampusu. Jenis Wasian memiliki rata-rata diameter batang dan tinggi
pohon yang lebih besar dibandingkan dengan pohon lainnya sehingga dianggap lebih dahulu
tumbuh di lokasi. Apalagi jenis Wasian tersebar luas di sekitar lokasi sehingga proses migrasi
atau dispersal pohon ini lebih memungkinkan terjadi lebih dahulu.
Hasil ini sejalan dengan pandangan Ludwig & Reynold (1988) bahwa pola penyebaran
tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi dan disebabkan karena beberapa faktor yang
saling berinteraksi antara lain : (1) faktor vectorial (intrinsic) yaitu faktor lingkungan internal
seperti angin, ketersediaan air, dan intensitas cahaya, (2) faktor kemampuan reproduksi
organisme, (3) faktor sosial yang menyangkut fenologi tumbuhan, (4) faktor coaktif yang
merupakan dampak interaksi intraspesifik dan (5) faktor stochastic yang merupakan hasil
variasi random beberapa faktor yang berpengaruh.

Tabel-3. Pola penyebaran jenis-jenis pohon yang terdapat pada hulu DAS Tondano dalam
zona tropika dan zona sub-montana.
No Nama Ilmiah ™X ™X2 SD Rerata SD/Rerata Distribusi
1 Elmerellia celebica 91 369 4.07 3.03 1.341372 Mengelompok
2 Pterocarpus indicus 73 267 3.18 2.43 1.305102 Mengelompok
3 Palaqium obtusifolium 50 138 1.73 1.67 1.038154 Mengelompok
4 Astronia macrophylla 49 151 2.01 1.63 1.230692 Mengelompok
5 Cryptocarya subvelutina 42 134 1.91 1.4 1.365677 Mengelompok
6 Cananga odorata 35 91 1.29 1.17 1.10482 Mengelompok
7 Elmerellia ovalis 30 72 1.04 1 1.044024 Mengelompok
8 Canarium balsamiferum 29 71 1.05 0.97 1.081832 Mengelompok
9 Litsea albayana 26 64 0.97 0.87 1.120786 Mengelompok
10 Avicennia intermedia 26 56 0.82 0.87 0.94662 Reguler
11 Aegiceras floridum 26 68 1.05 0.87 1.207868 Mengelompok
12 Pterospermum celebicum 24 68 1.08 0.8 1.3522 Mengelompok
13 Bruguiera gymnorrhiza 21 47 0.73 0.7 1.046719 Mengelompok
14 Aglaia elaeagnoidea 18 42 0.68 0.6 1.132074 Mengelompok
15 Pongemia pinnata 17 29 0.45 0.57 0.787396 Reguler
16 Turpinia sphaerocarpa 17 27 0.41 0.57 0.720803 Reguler
17 Dillenia cerrata 17 37 0.59 0.57 1.053766 Mengelompok
18 Toona celebica 16 32 0.51 0.53 0.964359 Reguler
19 Engerhardia rigida 16 52 0.89 0.53 1.671906 Mengelompok
20 Myristica celebica 15 31 0.51 0.5 1.012577 Mengelompok
21 Cananga odorata 15 33 0.54 0.5 1.088049 Mengelompok
22 Elmerrellia ovalis 14 28 0.46 0.47 0.985324 Reguler
23 Dillenia ochreata 14 32 0.54 0.47 1.147049 Mengelompok
24 Pometetia pinnata 11 23 0.39 0.37 1.068228 Mengelompok
25 Mimusops elengi 11 23 0.39 0.37 1.068228 Mengelompok
26 Dracontomelon dao 10 16 0.27 0.33 0.800838 Reguler
27 Mallotus ricinoides 7 15 0.27 0.23 1.139561 Mengelompok
28 Manilkara celebica 6 14 0.25 0.2 1.25786 Mengelompok
29 Fragrae fragrans 6 12 0.21 0.2 1.069181 Mengelompok
30 Ficus erecta 6 14 0.25 0.2 1.25786 Mengelompok
31 Litsea mappacea 5 9 0.16 0.17 0.966456 Reguler
32 Evodia speciosa 5 9 0.16 0.17 0.966456 Reguler
33 Macaranga hispida 4 6 0.11 0.13 0.807127 Reguler
34 Avicennia intermedia 4 10 0.18 0.13 1.373164 Mengelompok
35 Daeridium falciforme 4 6 0.11 0.13 0.807127 Reguler
36 Premna tumentosa 4 4 0.07 0.13 0.524108 Reguler
37 Bruguiera gymnorrhiza 3 5 0.09 0.1 0.911949 Reguler
38 Vibirnum sp 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
39 Pometia tomentosa 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
40 Streblus asper 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
41 Eugenia therniana 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
42 Casuarina rumphiana 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
43 Vitex cofassus 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
44 Aglaea argentea 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
45 Pygeum rumphii 3 3 0.05 0.1 0.534591 Reguler
46 Polyalthia celebica 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
47 Evodia celebica 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
48 Eucaliptus deglupta 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
49 Calophyllum soulattri 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
50 Mimusops elengi 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
51 Pterospermum celebicum 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
52 Antidesma celebicum 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
53 Nauclea orientalis 2 2 0.04 0.07 0.545073 Reguler
54 Vibirnum sambucinum 1 1 0.02 0.03 0.555555 Reguler

Jenis tertentu dengan pola penyebaran mengelompok disebabkan karena pada umumnya biji
atau propagule dari setiap tumbuhan pada umumnya akan jatuh sekitar pohon induknya
sehingga jika kondisi lain menunjang maka regenerasi berupa tumbuhnya anakan baru akan
terjadi di sekitar pohon induknya. Jenis yang mengelompok seperti ini umumnya agen
dispersalnya berupa angin sehingga jika ukuran buah/biji relatif besar, tidak dapat menyebar
dalam radius yang lebih jauh. Jenis pohon yang pola distribusi spasialnya reguler umumnya
menyebar dengan bantuan hewan (zoochori) atau manusia (anthropochori) sehingga dapat
menyebar dengan pola reguler pada lokasi penelitian.
Hasil cluster analysis 30 plot yang terpilih sebagai sampel pada lokasi penelitian seperti
tercantum pada gambar-2. Oleh karena pengelompokan yang dilakukan menggunakan
Euclidean distances, maka posisi masing-masing plot pada dendrogram sesungguhnya
menggambarkan jarak antara masing-masing plot tersebut. Plot yang posisinya berdekatan
dan dihubungkan dengan garis penghubung, menunjukkan bahwa jarak antara keduanya plot
tersebut lebih dekat jika dibandingkan dengan plot yang lainnya. Gambaran dendogram yang
tercantum pada gambar-2 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pemisahan masing-
masing plot menjadi 3 kelompok yaitu : kelompok sebelah kiri yang terdiri dari plot 29, 27,
30, 24, 28, 23, 25 dan 26; kelompok bagian tengah yang terdiri dari plot 17, 15, 21, 19, 13,
22, 18, 20, 12, 16 dan 14; serta kelompok sebelah kanan yang terdiri dari plot 9, 5, 7, 3, 1, 2,
4, 6, 8, 10 dan 11.

Gambar-2. Dendogram hasil cluster analysis 30 plot pada zona tropika dan sub-montana
kawasan hulu DAS Tondano.

Berdasarkan nilai keanekaragaman jenis tersebut, selanjutnya dapat ditentukan nilai


kemerataan spesies dalam komunitas tersebut. Hasil perhitungan kemerataan menunjukkan
bahwa nilai kemerataan adalah 1,95. Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi
setiap jenis pada masing-masing plot secara merata. Makin merata suatu jenis dalam seluruh
lokasi penelitian maka makin tinggi nilai kemerataannya. Demikian juga sebaliknya jika
beberapa jenis tertentu dominan sementara jenis lainnya tidak dominan atau densitasnya lebih
rendah, maka nilai kemerataan komunitas yang bersangkutan akan lebih rendah.
B. Model Arsitektur Pohon
Penetapan model arsitektur pohon dilakukan pada 30 jenis pohon yang memiliki Indeks Nilai
Penting tertinggi pada zona tropika dan zona sub-montana. Pengamatan lapangan dilakukan
terhadap anakan, tiang, dan pohon dilakukan di lokasi untuk mengetahui perkembangan
pertumbuhan sekunder terutama yang mempengaruhi pola percabangan tumbuhan tersebut.
Penetapan model arsitektur pohon dilakukan dengan merujuk pada model arsitektur pohon
menurut Halle & Oldeman serta menggunakan kunci determinasi yang telah dikembangkan
oleh Setiadi (1998) seperti yang tercantum dalam lampiran.
Hasil determinasi model arsitektur pohon menunjukkan bahwa dari 30 jenis yang ditemukan
pada zona tropika dan zona sub-montana, terdapat 30 model arsitektur pohon seperti yang
tertera pada tabel-4. Model stone dan rauh merupakan model arsitektur dengan jumlah jenis
paling banyak yaitu 4 jenis pohon. Untuk model lainnya menyebar dengan rata-rata 3 dan 2
jenis pohon. Jumlah model arsitektur pohon yang ditemukan di lokasi adalah 12 model
arsitektur pohon dengan jumlah jenis masing-masing 3 atau 2 jenis per model kecuali pada
model stone dan rauh yang terdiri dari 4 jenis pohon.

Tabel-4. Jenis-jenis pohon yang terpilih sebagai sampel penelitian dan model arsitekturnya
masing-masing.
No. Nama Daerah Nama Ilmiah Model Arsitektur Pohon
1 Kayu wasian Elmerellia celebica Attims
2 Kayu linggua Pterocarpus indicus Attims
3 Kayu nantu Palaqium obtusifolium Attims
4 Kayu dankouw Astronia macrophylla Aubreville
5 Kayu walkajo Cryptocarya subvelutina Aubreville
6 Kayu wangurer Cananga odorata Fagerlind
7 Kayu uhu Elmerellia ovalis Fagerlind
8 Kanari Canarium balsamiferum Kwan-Koriba
9 Kayu tuama Litsea albayana Kwan-Koriba
10 Kayu api-api Avicennia intermedia Masart
11 Api-api merah Aegiceras floridum Masart
12 Kayu baju Pterospermum celebicum Petit
13 Kayu bangko Bruguiera gymnorrhiza Petit
14 Kayu bualo Aglaia elaeagnoidea Petit
15 Kayu besi Pongemia pinnata Prevost
16 Kayu danoan Turpinia sphaerocarpa Prevost
17 Kayu dengilo Dillenia cerrata Rauh
18 Kayu amurang Toona celebica Rauh
19 Kayu emporia Engerhardia rigida Rauh
20 Kayu duguan Myristica celebica Rauh
21 Kayu kenanga Cananga odorata Roux
22 Kayu ketena Elmerrellia ovalis Roux
23 Kayu kelemur Dillenia ochreata Scarrone
24 Kayu kase Pometetia pinnata Scarrone
25 Kayu karikis Mimusops elengi Stone
26 Kayu kinton Dracontomelon dao Stone
27 Kayu kutungga Mallotus ricinoides Stone
28 Kayu komea Manilkara celebica Stone
29 Kayu kulahi Fragrae fragrans Theoretical I
30 Kayu usu Ficus erecta Theoretical I
Model Attims merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang,
poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan bentuk homogen,
semuanya arthotropik, percabangan monopodial dengan perbungaan lateral dan mempunyai
batang pokok yang mengalami pertumbuhan secara kontinu (gambar 3a). Jenis pohon yang
ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah kayu wasian
(Elmerellia celebica) (gambar 3b) kayu linggua (Pterocarpus indicus) (gambar 3c) Kayu
nantu (Palaqium obtusifolium) (gambar 3d).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar -3. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Attims (a) dengan contoh
jenis Elmerellia celebica (b), Pterocarpus indicus (c) dan Palaqium obtusifolium (d).

Model Aubreville merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang,
poliaksial, dengan aksis vegetatif tidak ekuivalen, homogen (terdiferensiasi dalam bentuk
aksis ortotropik), percabangan seluruhnya akrotonik dalam membentuk batang, bukan
konstruksi modular dengan perbungaan lateral, pola percabangan umum monopodium,
pertumbuhan batang dan cabang ritmik (gambar 4a). Jenis pohon yang ditemukan di lokasi
penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu dankouw (Astronia
macrophylla) (gambar 4b) dan Kayu walkajo (Cryptocarya subvelutina) (gambar 4c).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-4. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Aubrevilla (a) dengan
contoh jenis Astronia macrophylla (b) dan Cryptocarya subvelutina (c).

Model fagerlind merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang,
poliaksial, dengan aksis vegetatif tidak ekuivalen, homogen (terdiferensiasi dalam bentuk
aksis ortotropik), percabangan seluruhnya akrotonik dalam membentuk batang, konstruksi
modular dengan cabang flagiotropik yang sedikit, model umumnya mempunyai perbungaan
terminal yang berfungsi baik, pertumbuhan tingginya mengikuti bentuk dasar monopodial
dengan ritme pertumbuhan yang nyata (gambar 5a). Jenis pohon yang ditemukan di lokasi
penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu wangurer (Cananga odorata)
(gambar 5b) dan Kayu uhu (Elmerellia ovalis) (gambar 5c).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-5. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Fagerlind (a) dengan
contoh jenis Cananga odorata (b) dan Elmerellia ovalis (c)

Model Kwan-Koriba merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang,
poliaksial, dengan aksis vegetatif tidak ekuivalen, homogen (terdiferensiasi dalam bentuk
aksis orthotropik), percabangan seluruhnya akrotonik dalam membentuk batang, konstruksi
modular dengan cabang flagiotropik yang sedikit, model umumnya mempunyai perbungaan
terminal yang berfungsi baik, pertumbuhan tingginya simpodial modular dengan model sama
pada bagian pangkal tetapi berbeda pada bagian ujung, bercabang dengan satu cabang utama
membentuk batang (gambar 6a). Jenis pohon yang ditemukan di lokasi penelitian dan
memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kanari (Canarium balsamiferum) (gambar 6b)
dan Kayu tuama (Litsea albayana) (gambar 6c).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-6. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Kwan-Koriba (a) dengan
contoh jenis Canarium balsamiferum (b) dan Litsea albayana (c).

Model Masart merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang,
poliaksial, dengan aksis vegetatif tidak ekuivalen, homogen (terdiferensiasi dalam bentuk
aksis orthotropik), percabangan seluruhnya akrotonik dalam membentuk batang, bukan
konstruksi modular dengan perbungaan lateral, pola percabangan umum monopodium,
pertumbuhan batang dan cabang ritmik dan percabangan flagiotropik bukan karena aposisi,
monopodial atau simpodial karena substitusi (gambar 7a). Jenis pohon yang ditemukan di
lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu api-api (Avicennia
intermedia) (gambar 7b) dan kayu Api-api merah (Aegiceras floridum) (gambar 7c).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar -7. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Masart (a) dengan contoh
jenis Avicennia intermedia (b) dan Aegiceras floridum (c).

Model Petit merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial,
dengan aksis vegetatif tidak ekuivalen, homogen (terdiferensiasi dalam bentuk aksis
orthotropik), percabangan seluruhnya akrotonik dalam membentuk batang, konstruksi
modular dalam membentuk batang, konstruksi modular dengan cabang flagiotropik yang
sedikit, model umumnya mempunyai perbungaan
terminal yang berfungsi baik, pertumbuhan tingginya mengikuti bentuk dasar monopodial
secara kontinu atau tidak menunjukkan adanya ritme pertumbuhan (gambar 8a). Jenis pohon
yang ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu
baju (Pterospermum celebicum) (gambar 8b), Kayu bangko (Bruguiera gymnorrhiza)
(gambar 8c), dan Kayu bualo (Aglaia elaeagnoidea) (gambar 8d).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-8. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Petit (a) dengan contoh
jenis Pterospermum celebicum (b), Bruguiera gymnorrhiza (c) dan Aglaia elaeagnoidea (d).

Model Prevost merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang,
poliaksial, dengan aksis vegetatif tidak ekuivalen, homogen (terdiferensiasi dalam bentuk
aksis orthotropik), percabangan seluruhnya akrotonik dalam membentuk batang, konstruksi
modular dengan cabang flagiotropik yang sedikit, model umumnya mempunyai perbungaan
terminal yang berfungsi baik, pertumbuhan tinggi simpodial modular, konstruksi modular,
model tidak sama dari pangkal, model batang terbentuk kemudian setelah terjadinya
percabangan antara batang dan cabang nampak jelas perbedaannya (gambar 9a). Jenis pohon
yang ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu
besi (Pongemia pinnata) (gambar 9b) dan Kayu danoan (Turpinia sphaerocarpa) (gambar 9c).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-9. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Prevos (a) dengan contoh
jenis Pongemia pinnata (b) dan Turpinia sphaerocarpa (c).

Model Rauh merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial
atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak ekuivalen
dengan bentuk homogen, semuanya orthotropik, percabangan monopodial perbungaan lateral
dan mempunyai batang pokok yang mengalami pertumbuhan secara ritmik (gambar 10a).
Jenis pohon yang ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini
adalah Kayu dengilo (Dillenia cerrata) (gambar 10b), Kayu amurang (Toona celebica)
(gambar 10c), Kayu emporia (Engerhardia rigida) (gambar 10d), dan Kayu duguan (Myristica
celebica) (gambar 10e).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-10. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Rauh (a) dengan contoh
jenis Dillenia cerrata (b), Toona celebica (c), Engerhardia rigida (d), dan Myristica celebica
(e).

Model Roux merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial
atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak ekuivalen
dengan bentuk homogen, heterogen atau campuran tetapi selalu mempunyai perbedaan yang
jelas antara batang dan cabang, aksis vegetatifnya homogen (terdiferensiasi dalam bentuk
aksis orthotropik dan plagiotropik atau aksis majemuk) percabangan akrotonik dalam
membentuk batang, bukan konstruksi modular, sering kali dengan perbungaan lateral, batang
monopodium dengan pertumbuhan batang serta percabangannya berlangsung secara kontinu,
percabangan flagiotropik bukan karena aposisi, monopodial atau simpodial karena substitusi,
cabang dapat bertahan lama dan tidak menyerupai daun majemuk (gambar 11a). Jenis pohon
yang ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu
kenanga (Cananga odorata) (gambar 11b), dan Kayu ketena (Elmerrellia ovalis) (gambar
11c).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-11. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Roux (a) dengan contoh
jenis Cananga odorata (b) dan Elmerrellia ovalis (c).

Model Scarrone merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang,
poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak
ekuivalen dengan bentuk homogen, semuanya orthotropik, percabangan monopodial dengan
perbungaan terminal, terletak pada bagian peri-peri tajuk, cabang simpodial nampak seperti
konstruksi modular, batang dengan pertumbuhan tinggi ritmik (gambar 12a). Jenis pohon
yang ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu
kelemur (Dillenia ochreata) (gambar 12b), dan Kayu kase (Pometetia pinnata) (gambar 12c).
Gambar Tidak bisa tampil

Gambar 12. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Scarrone (a) dengan
contoh jenis Dillenia ochreata (b) dan Pometetia pinnata (c).

Model Stone merupakan model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial
atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak ekuivalen
dengan bentuk homogen, semuanya orthotropik, percabangan monopodial dengan
perbungaan terminal, terletak pada bagian peri-peri tajuk, cabang simpodial nampak seperti
konstruksi modular, batang dengan pertumbuhan tinggi kontinu (gambar 13a). Jenis pohon
yang ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur seperti ini adalah Kayu
karikis (Mimusops elengi) (gambar 13b), Kayu kinton (Dracontomelon dao) (gambar 13c),
Kayu kutungga (Mallotus ricinoides) (gambar 13d), dan Kayu komea (Manilkara celebica)
(gambar 13e).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar 13. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Stone (a) dengan contoh
jenis Mimusops elengi (b), Dracontomelon dao (c), Mallotus ricinoides (d), dan Manilkara
celebica (e).

Model Theoretical I merupakan salah satu model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang
bercabang, poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif
yang tidak ekuivalen dengan bentuk homogen, heterogen atau campuran tetapi selalu
mempunyai perbedaan yang jelas antara batang dan cabang, aksis vegetatifnya homogen
(terdeferensiasi dalam bentuk aksis orthotropik dan plagiotropik atau aksis majemuk),
percabangan akrotonik dalam membentuk batang, bukan konstruksi modular, sering kali
dengan perbungaan lateral, batang monopodium dengan pertumbuhan batang serta
percabangannya berlangsung secara kontinu, percabangan plagiotropik karena aposisi
(gambar 14a). Jenis pohon yang ditemukan di lokasi penelitian dan memiliki model arsitektur
seperti ini adalah Kayu kulahi (Fragrae fragrans) (gambar 17b), dan Kayu usu (Ficus erecta)
(gambar 17c).

Gambar Tidak bisa tampil

Gambar-14. Sketsa pola percabangan pada model arsitektur pohon Theoretical I (a) dengan
contoh jenis Fragrae fragrans (b), dan Ficus erecta (c).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan kesimpulan
Model arsitektur pohon pada hulu DAS Tondano khususnya pada zona sub-montana dan zona
Montana cukup beragam. Diantara 30 jenis pohon yang terpilih sebagai sampel, ditemukan
12 model arsitektur pohon yaitu : Attims (3 jenis), Aubreville (2 jenis), Fagerlind (2 jenis),
Kwan-koriba (2 jenis), Masart (2 jenis), Petit (3 jenis), Prevost (2 jenis), Rauh (4 jenis), Roux
(2 jenis), Scarrone (2 jenis), Stone (4 jenis) dan Theoretical I (2 jenis).

B. Saran
Penelitian ini telah mengungkapkan model arsitektur 30 jenis pohon dalam kawasan hutan
Gunung Tampusu yang merupakan hulu DAS Tondano. Masih ada lebih dari 30 jenis pohon
yang perlu diteliti untuk melengkapi informasi yang saling melengkapi untuk kepentingan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya pada bidang lain. Oleh
sebab itu penelitian lanjut disarankan dilakukan di lokasi yang sama, agar informasi dapat
lebih komprehensif yang memuat seluruh takson yang ditemukan di lokasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 1987. Prosedur Penelitian. PT Bina Aksara. Jakarta.

Arrijani, 2003. Model Arsitektur Pohon pada Hulu DAS Cianjur dalam Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Makalah Seminar Nasional, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Arrijani, 2000. Taksonomi Tumbuhan. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Manado.

Balakrishnan, M., R. Borgston and S.W. Bie. 1994. Tropical Ecosystem, a synthesis of
tropical Ecology and conservation. International Science Publisher USA

Bambang Suprianto. 2001. Pengantar Praktikum Ekologi Tumbuhan. Jurusan Pendidikan


Biologi FMIPA UPI Jakarta.

Crawley, M.J. 1986. Plant Ecology, Blackwell Scientific Publications, Cambridge Center,
MA-USA

Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara 1999. Data Statistik tahun anggaran 1976/1977 dan
1984/1985

Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa.1997. Bagian Proyek Pengelolaan Kawasan Lindung


Kabupaten Minahasa dan Kotamadya Bitung.

Greig-Smith, P.1983. Quantitative Plant Ecology, studies in Ecology volume 9. Blackwell


Scientific Publications, Oxford MA USA

Hadisubroto T. 1992. Ekologi Tumbuhan. IKIP Surabaya.

Halle F and RAA Oldeman. 1975. An Essay on the Architecture and Dynamics of Growth of
Tropical Trees. Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

Hardjosuwarno S. 1991. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM.


Yogyakarta.

Kershaw, K.A. 1979. Quantitative and Dynamic Plant Ecology. Edward Arnold Publisher,
London

Krebs, C.J. 1994. Ecology, the experimental analysis of distribution and abundance, Addison-
Wesley Educational Publishers, USA
Ludwig, J.A. & J.F. Reynolds.1988. Statistical Ecology, a primer on methods and computing.
Jhon Wiley & Sons, New York. USA
Muller & Dombois. 1974. Aims and Methods a Vegetation Analysis.

M, Abercrombie. dkk. 1993. Kamus Lengkap Biologi. Erlangga. Jakarta.

Pudjoarinto, S. Sabbithah & S. Sulastri. Taksonomi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM.


Yogyakarta. Proyek Pelatihan Tenaga Kependidikan.

Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Muda.
Alfabeta. Bandung.

Setiadi D. 1998. Keterkaitan Frofil Vegetasi Sistem Agroforestry Kebun Campur dengan
Lingkungannya, Disertasi, Program Pasca Sarjana, IPB.

Soerianegara dan Indrawan. 1982. Ekologi Hutan. Departemen Kehutanan Manajemen. IPB
Bogor.

Steenis, V. 1987. Flora. PT. Pradnya Paramita. Jakarta

Syafei ES. 1994. Pengantar Ekologi Pertumbuhan. FMIPA ITB Bandung.

Tjirosoepomo G. 2001. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.


?

You might also like