You are on page 1of 14

SEKALI LAGI TENTANG HADIS AHAD

Oleh:
Syeikh Muhammad Umar Bakri (London) - Rektor Institut Syari’ah Islam London-Inggris

dan Muhammad Lazuardi Al-Jawi

Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan jalan
membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, terus kami lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan
tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi dari para Imam panutan umat
untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah sate argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah
adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa
periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat
digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.
Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya
tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan para Ulama
sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa
mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “Khobar Ahad tidak memberikan
pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini memberikan pengetahuan minimal
dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya
sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang
memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah.
Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai
dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat
berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad, dalam rangka membantah
pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khobar ahad sebagai
dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan.
Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam
masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini
dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar
dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap
masalah ini (masalah khobar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah
seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah
mengkaji dan mempelajari kitab para Ulama tersebut.
Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para muridnya dan
para Ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:
PENDAPAT PARA ULAMA HANAFIYAH

Imam Abu hanifah (w. 150 H)


Imam Abu hanifah cenderung untuk berpegang dengan pendapat yang menyatakan
bahwa Hadis yang tidak sampai derajat Mutawatir terdapat kemungkinan terdapat
kesalahan didalamnya atau kelalaian dalam jalur periwayatannya, sehingga
menjadikan validitas hadis ahad diragukan dalam masalah aqidah.
Kontribusi yang paling berharga oleh Imam dalam bidang Ilmu Hadis adalah
pembagian hadis menjadi beberapa tingkatan dan cara penggalian hukum dari
nash-nash syara’ berdasarkan pembagian diatas. Sumber hukum yang utama
adalah Al-Qur’an dimana tidak ada seorangpun yang mempermasalahkannya.
Sumber hukum setelah Al-Qur’an adalah As-Sunnah. Diantara keduanya tidak ada
perbedaan yang substansial, dimana salah satu diantara keduanyan menjadi Wahi
Matlu dan lainnya menjadi Wahi Ghori Matlu, tetapi ada perbedaan diantara
keduanya berkaitan tingkat pembuktian. Jika hadis terbukti shohih dan qoth’I maka
ia mempunyai kedudukan seperti Al-Qur’an sebagai sumber hukum.
Hadis, bervariasi tegantung dari tingkat kebenarannya dan variasi ini harus
diperhitungkan dalam proses penggalian hukum darinya. Klasifikasi hadis oleh para
ahli hadis menjadi Hadis Shohih, Hasan dan Dha’if adalah tidak mencukupi, karena
belum ada yang membagi hadis tersebut sebagai sumber hukum yang legal. Hanya
hadis dha’if saja yang tidak dapat dipercaya, selain hadis dha’if (hadis shohih dan
Hasan-pent) dapat digunakan sebagai dalil\hujjah. Beliau (Imam Abu hanifah-pent)
sepakat untuk membagi Hadis dari sudut pandangnya sebagai dalil menjadi tiga
tingkatan:

a- Mutawatir:
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan sejumlah besar orang pada tiap
tobaqat (generasi-pent) periwayatan sampai pada kolektor hadis (Para Imam yang
emmpunyai,kitab hadis-pent). Sehingga kesepakatan mereka tentang kemungkinan
adanya pernyataan yang salah telah ditolak dengan logika manusia. Contoh dari
hadis ini adalah hadis yang menggambarkan jumlah raka’at Sholat atau jumlah
tertentu yang harur dikeluarkan dalam zakat.

b- Mashur:
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh 1s\d 3 orang shahabat, tapi pada
masa sesudahnya yaitu pada masa Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, hadis ini menjadi
terkenal dan diterima secara umum oleh umat. Dari tobaqot ini (generasi-pent)
keatas diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, sehingga hampir mencapai derajat
Mutawatir . Contohnya: perintah yang tegas dari Syara’ (Pembuat Hukum yaitu
Allah SWT-pent) tentang hukuman bagi para pezina yang telah menikah dengan
dilempari batu sampai meninggal.

c- Ahad:
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi kepada satu
orang atau sekelompok orang, atau dari sekelompok orang kepada satu orang.
Sehingga pembagian hadis berdasarkan pendapat (ijtihad-pent) dari para Imam,
yang kemudian membawa perbedaan dalam penunjukan dalilnya. Status hukum
yang digali dari hadis Mutawatir adalah wajib dan fundamental. Sedang status
hukum yang digali dari hadis mashur adalah tidak wajib, tapi dapat membatasi
(men-taqyid-pent) dari kemutlakan ayat Al-Qur’an dan dapat menjadi suplemen dari
Al-Qur’an. Pada Hadis Ahad walaupun shohih tetapi sebatas dugaan keras, tidak
ada jalan baginya untuk mempengaruhi penunjukan yang jelah dari ayat Al-Qur’an.

Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan mengamalkan hadis ahad dengan


beberapa kriteria:
- Perawi tidak menyalahi apa yang diriwayatkannya, tetapi kalau menyalahi, maka
yang diambil adalah adalah pendapatnya, bukan yang ia riwayatkan. Sebab kalau
perawi menyalahi riwayatnya, berarti itu mendapat keterangan bahwa
hadis\riwayat itu sudah mansukh.
- Hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum bahwa seharusnya diriwayatkan
olen orang banyak.
- Riwayat itu tidak bertentangan dengan qiyas.
(Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31)

Issa ibn Aban (w. 220 H)


Murid dari Imam Hasan As-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya menyatakan
secara jelas: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi sebagai
dalil amal perbuatan”.

Ali ibn Musa al–Qummi (w. 305 H)


Dalam kitabnya (Khobar Ahad) menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam
masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan”.

Imam At-Thobari (w. 310 H)


Dari Imam Al-Sarkhasi (Ushul Al-sarkhasi), Imam At-Thobari menyatakan: “Hadis
Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal
perbuatan”.

Imam Al-Karabasi Al-Najafi (W. 322 H)


Beliau berkata: “Ahad hanya berfaedah Ilmu Dzohir”.

Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl Abu Bakar Shams al-A’ima al-
Sarkhasi (w. 483)
Imam besar Hanafiyah dan seorang Mujtahid, dalam kitabnya (Al-Usul Al-Sarkhasi
juz 1\hal. 112, 321-333) membantah mereka yang menerima Khobar Ahad dalam
masalah Aqidah. Beliau menerangkan hakikat dari Khobar Ahad dan perbedaan
antara dalil Qoth’I dan dalil Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh dan
Khobar. Untuk mengilustrasikan beliau memberi contoh pada masalah adzab kubur.
Abdul Qohir Al-Baghdadi (w. abad 5 H)
Ibn Athir Al-Jazari (w. 606) dalam (Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadis)
Imam Al-Izz Ibn Abd Al-Salam (w. 660 H) : “Tidak mengambil Hadis Ahad
sebagai dalil dalam masalah Aqidah”.
Ala Al-Din Ibn Abidin (w. 1306 H)

PARA ULAMA HAMBALIYAH

Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad
Abu Zahra:
“Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang pada
dalil-dalil syara’ (secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau
adalah seorang Ulama Ahli Sunnah………..Maka Imam Ahmad berpegang pada nash
yang ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu Al-qur’an dan
Hadis Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang
Qoth’I juga berasal dari Allah SWT….” (Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah hal.
506).

Al-Qodhi dalam Kitab Al-Iddah menyatakan:


“Hadis Ahad tidak berfaedah ilmu Qoth’I” (Al-Iddah)

Abu Bakar Al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr menyatakan,
bahwa Imam Ahmad telah berkata:
“Jika ada hadis ahad mengenai hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan
demikian, tetapi saya tidak menyaksikan bahwa nabi SaW benar-benar menyatakan
demikian” (Ma’anil Hadis).

Abu Ya’la, menyatakan:


“Apabila umat sepakat atas hukumnya dan sepakat untuk menerimanya, maka
hadis ahad berfaedah yakin dan tidak ada keraguan didalamnya (jika umat tidak
sepakat, berarti hadis ahad kembali pada status asalnya yaitu dalil yang
menghasilkan Dzon –pent)”.

Abu Muhammad, menegaskan:


“Hadis Ahad tidak berfaedah qoth’i. Dan inilah pendapat kebanyakan pendukung
dan Ulama Mutaakhirin dari pengikut Imam Ahmad” (lihat Kitab Raudhah).

Ibn Abdil bar memandang bahwa:


“Hadis Ahad mewajibkan amal, tetapi tidak mewajibkan ilmu Qoth’I”.

Ibnu Badran menegaskan:


“Apa yang ditudukan kepada Imam Ahmad oleh Ibnu Hajib, Al-wasithi dan lainnya,
yang menyatakan bahwa Imam Ahmad menyatakan setiap hadis ahad yang
diriwayatkan perawi yang adil walaupun tanpa qarinah adalah qoth’i. Ini tidak
benar, bagaimana seorang tokoh sunni mengaku berpendapat seperti ini dan dalam
kitab yang mana pendapat seperti ini diriwayatkan dari Beliau’’.

Abu Khatab (Murid Imam Hambali) menyatakan:


“Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai dalil
masalah amal perbuatan”.

Abu Khatab juga menyatakan dalam (At-Tamhid fi Takhriji Al-Furu’I ‘ala Al-Ushul),
pendapat yang sama dengan Ibn Qudamah Al-Maqdisi, tetapi berbeda tentang
apakah Umat sepakat atau tidak.

Ahmad Ibn Al-Muthanna Al-Tamimi Al-Qodi Abu Ya’la Al-Mausuli (w. 307
H):
yang meriwayatkan dalam (Al-Iddah) bahwa dia melihat dalam kitab (Manin Al-
Hadis) dari Abi Bakar Al-Athram (murid dari Imam Ahmad) pernyataan dari Imam
Ahmad:
“Jika saya melihat hadis shohih, saya akan berbuat berdasarkan hadis itu, tapi saya
tidak bersumpah bahwa Nabi SAW mengatakan demikian”.

Ahmad Ibn Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Qudamah Al-Maqdisi (w. 689)
pengarang kitab Al-Mughi menyatakan dari Abu Khatab:
“Imam Ahmad berkata bahwa Hadis Ahad adalah dalil yang Qoth’I kalau Umat
menyepakatinya” (Al-Mughni- Bab Khobar Ahad)

Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah Al-
Maghdisi (w. 620 H) berkata:
“Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad adalah tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal perbuatan” (Raudhatul Nadhar wa Jannatu Al-Manadzhar).

Abu Al-Abbas Taqiyudin Ibn Taimiyah (w. 728 H), Shihabudin Abbas Ibn
Taimiyah Al-Hambali (w. 745 H), Abu Abdullah Al-Zura’I Ibn Qoyyim Al-
Jawziyya (w. 751 H) menyatakan:
“Ijma’ yang diriwayatkan secara ahad adalah tidak Qoth’I. Tetapi digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal perbuatan” (Sawaiq Al-Mursala).

Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai
untuk mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli
Dzohhir (pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) (Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh.
Anwar Bc. Hk, hal. 31).
PENDAPAT PARA ULAMA SYAFI’IYAH

Imam Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I (w. 204), membedakan ilmu menjadi 2
jenis Ilmu: Ilmu Dzahir dan Ilmu Batin. Beliau berkata:
Pertama terdiri dari keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir dan Ilmu Bathin. Yang
lainnya, jawaban yang benar pada Ilmu Dzahir saja. Keputusan yang benar (pada
Ilmu dzahir dan Ilmu Bathin) adalah yang didasarkan pada perintah Allh SWT atau
Sunnah Rarul SAW yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (mutawatir-pent) dari
generasi-generasi awal. Ini (perintah Allah SWT dan As-Sunnah) adalah dua sumber
kebaikan yang dengannya sesuatu ditetapkan sebagai sesuatu yang halal dan yang
lain ditetapkan sebagai sesuatu yang haram. Inilah (jenis ilmu pengetahuan) yang
tidak seorangpun diperkenankan untuk mengabaikan atau meragukannya (sebagai
sumber yang memberi kepastian).
Kedua, pengetahuan yang dimiliki oleh para Ahli yang bersumber dari hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh beberapa orang dan diketahui hanya oleh para Ulama,
tetapi untuk masyarakat umum tidak ada kewajiban untukuntuk memahaminya.
Pengetahuan seperti itu dapat ditemukan diantara semua atau sebagian orang
Ulama, yang diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dari Nabi SAW. Inilah
jenis ilmu pengetahuan yang mengikat para Ulama untuk menerima dan menetapka
keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir sebagaimana kita dapat menerima
(validitas) persaksian dari dua orang saksi. Inilah kebenaran (hanya ada) pada Ilmu
Dzahir, karena ada kemungkinan ( dalil\petunjuk) dari dua orang saksi terdapat
terdapat kesalahan (Risalah Fi Ushul Fiqh, Bab Qiyas ( lihat juga hal. 357-359,478)).

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum
dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah Mutawatir (Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh.
Anwar Bc. Hk, hal. 31).

Imam Ahmad Ibn Ali Ibn Abu Bakr Al-Khatib Baghdadi (w. 463), berkata:
“khobar Ahad tidak memberikan faedah Ilmu\Dzoni (Khabar Ahad la yufidal ilm’)’’
(Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah).

Abdul Malik Ibn Yusuf Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H), menyatakan
berkaita dengan masalah Al-Bayan ( peryataan eksplisit-pent):
“Bayan dapat ditempatkan brdasarkan urutan berikut: Al-Qur’an, Sunnah, Al-Ijma’,
Khobar Wahid dan Qiyas” (Nihaya Al-Matlab Fi Diraya Al-Madzab).

Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w.
505 H) berkata:
“Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in tidak berfaedah
Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi
al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya: “Adapun pendapat para Ahli
hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis
Ahad yang wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-
dalil Qoth’I (yang menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” (Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul
juz 1\hal 145-146 -pent).

Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631) , beliau berkata:


“Bahwa maslah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah
furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni’’. Lalu menambahkan: “Barang siapa
menolak Ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur pendapatnya,
dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara
masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah
ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah
sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan
arogan’’ (Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam
fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent).

Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah
Shohih Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang
menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn
Sholah, beliau menegaskan:
“Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun
hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir,
maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim
dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan
Ib Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah diatas (Syarah Shohih Muslim
juz 1\hal. 130-131).

Imam Sa’diudin Ibn Umar Al-Taftazani (w. 792) berkata:


“Ahad la yufiddal Ilm’, karena ada kemungkinan dalam khobar ini terdapat
kesalahan’’.

Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam
Yusuf Al-Kirmani bahwa: “Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah’’
(Fathul bari juz 8, bab khobar Ahad).

Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H)


menyatakan:
“hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau
Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya
yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).

Fakrudin Muhammad bin Umar bin Husain Ar-Razi (w. 606 H)


mengilustrasikan poin berkaitan dengan hadis Ahad sebagai berikut:
“Saya katakan kepada seseorang bahwa hadis yang menyebutkan Ibrahim pernah
berbohong sebanyak 3 kali, adalah tidak benar, karena jika hadis ini diterima, maka
akan membuktikan Ibrahim sebagai seorang pendusta. Orang tersebut menyatakan
bahwa para perawi hadis ini adalah perawi yang terpercaya (tsiqoh –pent) dan tidak
dapat dinilai sebagai pendusta. Saya menjawab bahwa hadis ini, kalau kita terima
akan membuktikan bahwa Ibrahim adalah seorang pendusta dan kalau ditolak
berarti para perawi dianggap pendusta, dimana keterangan yang baik dan lebih
disukai adalah untuk diberikan pada Ibrahim AS” (Lihat Tafsir Al-Kabir dan Al-
Mahshul fi Ilmi Al-Ushul).

Imam Al-Quramani menyatakan:


“Hadis ahad tidak dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah”.

Ibn Syafi’I menyataakan:


“Hadis Ahad bernilai Qoth’I kalau Umat sepakati atasnya” (Al-Muqadama Fil Ulumil
hadis) .

Al-Hafidz Al-Iraqi:
“Hadis Ahad tidak Qoth’I walaupun umat menyepakatinya”.

Imam Syaukani (w. 1255 H), berkaitan dengan sifat Allah SWT: Menukil
pernyataan Imam Haramain Al-Juwaini yang berkata: “ Hadis Ahad tidak
dijadikan dalil dalam masalah aqidah”.

PENDAPAT PARA ULAMA MALIKIYAH

Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Isfahani (w 430 H) berkata:


“Hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu\dzoni, tetapi dapat dijadikan dalil dalam
cabang Hukum Syari’at”.

Imam Abul Husain Ibn Ali At-tayyib (w 436 H)


Imam Yahyariyah Al-Ansari
Imam Al-Kasa’I (w abad ke-6 H)
Imam Shamsudin Ibn Ahmad Al-Mullai
Imam Abdurrahman Ibn Jad Al-Magrib Ibn Al-Banani
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang bertentangan
dengan amal Ahli Madinah (Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 32).
Imam Malik ra. menegaskan:
“Hadis Ahad apabila bertentangan dengan Qowa’id (kaidah-kaidah), maka ia tidak
diamalkan (Fathul Bari juz 4\hal. 156).

PERNYATAAN ULAMA DZOHIRI


Imam Ibn Hazm (w 456 H) menyatakan:
“Seluruh Ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah telah sepakat (Ijma’) tentang
masalah hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu\Dzoni (Ahad la yufidal ilm’). Lalu
beliau menambahkan: “Kewajiban pertama atas setiap orang, yang mana Islamnya
tidak sah sebelum melakukannya, adalah dia harus mengetahui dengan hati yang
yakin dan ikhlas yang tidak ada keraguan didalamnya (dibangun dengan dalil-dalil
Qoth’I -pent)’’ (Al-Muhalla juz I\hal. 2).

Menurut Ahli Dhohhir bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis
ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh sebagian Ulama
Hambaliyah (Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).

PERNYATAAN DARI ULAMA LAINNYA:

Imam Abu Ishak Sya’tibi (w. 790 H) menyatakan:


“Bahwa Ushul fiqh dalam agama harus dibangun dengan dalil-dalil qoth’I, bukannya
dengan dalil-dalil dzoni. Seandainya boleh menjadikan dalil dzoni sebagai dalil
dalam masalah Ushul seperti Ushul Fiqh maka juga membolehkan (hadis ahad-pent)
sebagai dalil dalam masalah Ushul Ad-din (Aqidah –pent) dan hal ini jelas tidak
diperbolehkan menuruj ijma’ (kesepakatan-pent). Karena masalah Ushul fiqh juga
dinisbahkan dalam masalah Ushul Ad-din” (Al-Muwafaqat fi Ushuli Asy-Syar’iyah
-pent).

Imam Asnawi menyatakan:


“Syara’ memperbolehkan dalil dzoni dalam masalah-masalah amaliyah yaitu
masalah furu’ tanpa amaliyah dalam masalah Qowaid Ushul Ad-din. Demikianlah
Qowaid Ushul Ad-din sebagaimana dinukil oleh Al-Anbari dalam Kitab Syarah
burhan dari para Ulama yang terpercaya” (Nihayah Fi Ilm’ Al-Ushul).

Imam Ibn Taimiyah berkata:


“khobar ahad yang telah diterima (terbukti shohih-pent) wajib mewajibkan ilmu
menurut Jumhur sahabat Abu hanafi, Imam Malikl, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad.
Dan ini merupakan pendapat kebanyakan sahabat Imam Asy’ari seperti Al-Asfaraini
dan Ibn faruk. Tetapi hadis Ahad hukum asalnya tidak berfaedah kecuali
dzoni. Bila ia didukung dengan ijma’ ahlul ilmi dengan hadis lainnya maka ia dapat
memberi faedah yang pasti (naik derajatnya menjadi hadis mutawatir maknawi –
pent) (Lihat Majmu Fatwa juz 18, hal. 41).

Imam Al-Zamakhsari, menambahkan:


“Imam Malik Berpendapat barang siapa sholat dengan membaca Qira’at (bacaan –
pent) Ibn Mas’un yang tidak Mutawatir dan tidak termasuk Qira’at Para Shahabat,
maka ia telah menyelisihi mushfah (Mushhaf Imam yang mutawatir-pent) dan
janganlah sholat dibelakangnya” (Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an juz I\hal. 222)

Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan:


“Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan
setelah mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat
bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’
yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak
sampai derajat ilmu (yakin)” (Qawaidut Tahdis, hal. 147-148).

Imam Kasani menyatakan:


“Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil
serta diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib
dibangun dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya,
sementara masalah amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja”
(Badaa’iu shanaa’I juz 1\hal. 20).

Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata:
“Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan
hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama,
bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama” (Syarh Asnawi
Nihayah as-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal.
214).

Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy- Syairazi (w. 476 H)
menyatakan:
“Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu Qoth’I)” (At-Tabshirah fi Ushuli al-
Fiqh dan Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh).

Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (w. 1255 H)


mengatakan:
“Hadis Ahad menghasilkan dzon’’ (Irsyad Al-Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilmi Al-
Ushul, hal. 46 dst).

Syeikh Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-Athar (w. 1250 H)


menyatakan:
“Hadis Ahad menghasilkan Dzon’’ ( Hasiyah Al-Athar ala Syarh Al-Mahali ala Jam’i
Jawami’ As-Subki, juz 2\hal 146).

Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani mengatakan:


“Hadis ahad tidak berfaedah kecuali dzon, apabila tidak sampai derajat mutawatir
(Fathul Bari, juz 13\hal. 238)

Imam Al-Amidi menyatakan:


“Sebagian sahabat kami menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah dzon
(Al-Ihkam Lil Amidi, 2\hal 34)

Syeikh Shadr Asy-Syarif Ubaidilah bin Mas’ud (w. 747 H) menyatakan:


“Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan\Dzon’’ (At-Talwih Syarh At-Taudhih li
Matan At-Tanqih, juz 2\hal. 303).

Syeikh Kamal bin Hamam (w. 861 H) dan Syeikh Ibn Amir Al-Haj (w. 879 H)
menyatakan:
“Hadis Ahad menghasilkan Dzon” (At-Taqrir wa At-Tahbir Syarh Kabir, juz 2\hal 235-
236).

Imam Alaudin bin Abdi Al-Aziz Al-Bukhari (w.730 H) menyatakan:


“Hadis Ahad menghasilkan keraguan\Dzon” (Kasfu Al-Asrar An Ushul Al-Bazdawi, juz
2\hal 360).

Dr. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa:


“Hadis Ahad menghasilkan Dzon” (Ushul Al-Fiqh Al-Islami, juz 1\hal. 451).

Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan:


“Hadis Ahad berfaedah Dzon“ ( Ushul Al-Fiqh, hal. 83-84).

Syeikh Muhammad Al-Khudhari berkata:


“Hadis ini (hadis ahad –pent) adalah menghasilkan Dzon“ ( Ushul Al-Fiqh, hal. 214-
215).

[/b]Syeikh Muhammad Musthafa Syalbi[/b] menyatakan:


“Hadis Ahad menghasilkan Dzon“ ( Ushul Al-Fiqh Al-Islami, hal. 139).

Syeikh Hafidz Tsanauullah Az-Zahidi tatkala menjelaskan tentang Bab Fardhu,


beliau berkata:
“Fardhu Amali atau dzon adalah apa yang ditetapkan dengan dalil Dzoni Tsubut dan
Qoth’i Dalalah, yang statusnya lebih kuat dari Al-Wajib Al-Istilahi dan lebih ringan
dari Al-Fardhu Al-Qoth’i’’. Selanjutnya beliau menambahkan: “Hukum Fardhu Amali
adalah wajib untuk diamalkan tetapi tidak untuk dalil untuk masalah I’tiqod ( la Al-
I’tiqod), maka tidak kafir orang yang mengingkarinya’’ (Taisiru Al-Ushul, hal. 156-
158).

Imam Abi Bakr Muhammad bin Ahmad bin Sahal As-Sarkhasi (w. 490 H)
menyatakan;
“Menurut Jumhur Ulama Hanafiyah wajib adalah apa yang telah ditetapkan dengan
dalil Qoth’i dalalah dan dzon tsubut (termasuk hadis ahad-pent) atau dzon dilalah
dan qoth ‘i tsubut dengan penegasan dan penekanan atas tuntutannya (Al-Syadah
wa Al-Jazm fi Ath-Tholab) atau dengan kata lain adalah apa dengan dalil yang
mewajibkan Ilmu untuk diamalkan tetapi tidak mewajibkan ilmu yaqin, karena ada
stubhat\keraguan dalam jalannya’’ (Ushul As-Sarkhasi, juz 1\hal. 111).

Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim (w. 970 H) menyatakan hal sama
dengan Imam As-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzon Tsubut-pent) wajib diamalkan,
tetapi tidak untuk masalah I’tiqod (Aqidah-pent) (Lihat Fath Al-Ghaffar Al-Ma’ruf bi
Misykah Al-Anwari, juz 2\hal. 63).

Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapat
Imam As-Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status hadis ahad ( Lihat Kitab Al-
Mughni fi Al-Ushuli Al-fiqhi Li Al-Khobazi, hal. 84).

PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER

Imam Shuhaib Al-Hasan menukil Imam Ahmad yang menyatakan:


“Jangan tulis hadis Gharib ini (hadis Ahad), karena dia tidak diterima dan
kebanyakan diantaranya adalah Dha’if” (Musthala hadis).

Syeikh DR. Rif’at Fauzi menegaskan:


“Hadis semacam ini (hadis ahad) tidak berfaedah yakin dan qoth’i. Ia hanya
menghasilkan Dzon’’.

Syeikh DR. Abdurahman Al-Baghdadi, menyatakan:


“Para Ulama sepakat bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak
digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah” (Lihat Kitab Radu’ alal Kitab Ad-
Da’wah Al-Islamiyah hal 191).

Syeikh DR. Muhammad Wafa’ menegaskan bahwa:


“Menurut Mayoritas Ulama hadis-hadis Rasul SAW terbagi menjadi dua, yaitu hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad. Sedang Ulama Hanafiyah menambahkan satu, yaitu
hadis masyhur”. Kemudian veliau melanjutkan pembahasannya: “Sedang Hadis
Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak
mencapai batas Muatawatir. Ia memberikan keraguan, serta tidak dapat
memberikan ketenangan dan keyakinan’’ (Lihat kitab Ta’arudh al-adilati As-
Syar’iyati min Al-Kitabi Wa As-Sunnahi Wa At-Tarjihu Bainaha, hal. 70).

Syeikh DR. Thoha Jabir Al-Ulwani:


Sumber hokum Islam ada yang Qoth’I Tsubut (Memberi faedah pasti –pent)seperti
Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir . Dan ada juga sumber hukum yang Dzonni Tsubut
seperti hadis Ahad (memberi faedah Dzon –pent) (Adab Al-Ikhtilaf\Bab Khatimah).

Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis
ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan
aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal (Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqih Islam; hal 54).

Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan
hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah
maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah
aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil
yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzonni (Ilmu
Mustholah Hadits, hal. 31).

Maulana M. rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan


autentitasnya dari serangan para orientalis:
“Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada
seorang perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada
seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa: “Hadis Ahad tidak
menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat
dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam
masalah amaliyah praktis” (Izhar Al-Haq juz 4).

Pendapat ulama kontemporer lainnya:

• M. Muhammad Azami dalam (Studies in Hadis Methodology and


Literature, hal. 43)
• Sayid Qutb dalam tafsirnya ( Fi Dzilanil Qur’an\ juz 30)
• Syeikh Hasan Attar
• Syeikh Zakiudin Sha’ban
• Imam Juzairi
• Syeikh Abdullah Ibn Abdul Muhsin At-Turki (Rektor Univ. Medinah)
• Syike Shu’ban Muhammad Ismail
• Syeikh Abdul Wahab Kholaf (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Taqiyudin An-Nabhani (Mujtahid Abad Ini)
• Syeikh Abdul Wahab Najjar
• Syeikh Muhammad Abu Zahra (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Badran Abu Ainain badran
• Syeikh Md. Salam Mudkur
• Syeikh Umar Bakri Muhammad (Rektor Istitut Syari’ah Islam-London)
• Syeikh Umar Abdullah
• Syeikh DR. Muhammad Ujjaj Al-Khatib (Pakar Hadis)
• Syeikh DR. Samih Athif Az-Zein (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh DR. Muhammad Muhammad Ismail (Guru Besar salah satu Univ.
di Mesir)
• Syeikh DR. Muhammad Husain Abdullah (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh DR. Muhammad Ali Hasan (Pakar Bahasa Arab)
• Syeikh DR. Abdul Madjid Al-Muhtasib (Pakar Tafsir)
• Syeikh DR. Abdurahman Al-Maliki (Pakar Hukum Islam)
• Syeikh DR. Mahmud Al-Khalidi ( Staf pengajar Univ. Madinah)
• Syeikh DR. Mahmud Abdul Karim Hasan (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh DR. Mahmud Thahan (Pakar Hadis)
• Syeikh DR. Muhammad Wafa’ (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh DR. Muhammad Khoir Haikal (Pakar Hukum Islam)
• Imam Jamaluddin Al-Qosimi (pakar Hadis)
• Syeikh Musthafa As-Shibalah
• Syeikh Md. Al-Khadari
• Syeikh Ali Hasabulah
• Syeikh Iyadh Hilal (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Atha’ Abi Rustha (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Abdul Aziz Al-Badri (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Abdul Qadim Zalum (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Fathi’ Salim (Pakar Hadis)
• Syeikh Ishom Amirah (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Ahmad Mahmud
• Syeikh M. Abdul Lathif Uwaidhah
• Syeikh Fauzi Sanqarth
• Syeikh Hafidz Sholeh (Master Bahasa Arab dan Studi Islam, Univ.
Salafiyah Pakistan)
• Syeikh Ali Raghib (Staf pengajar Univ. Al-Azhar-Mesir)
• Syeikh Abdul Ghoni Sholah
• Syeikh Muhammad Syakir Syarif
• Syeikh Muhammad Musa
• Syeikh Abdullah Ath-Tharablusi
• Syeikh Tsabit Al-khawajan
• Syeikh Al-Jibali (Pakar Hadis)
• Syeikh Ahmad Iyadh Athiyah (Pakar Ushul Fiqh)
• Syeikh Dawud Hamdan
• Syeikh Abdurrahman Muhammad Khalid
• Syeikh Muhammad Syuwaiki (Imam Masjid Al-Aqsa)
• Syeikh Muhammad Hasan Haitu
• Syeikh Muhammad Izzat At-Thahthawi
• Mayoritas Ulama Al-Azhar (Mesir) dan Universitas Islam terkemuka di
negeri-negeri kaum muslimin

You might also like