Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Syeikh Muhammad Umar Bakri (London) - Rektor Institut Syari’ah Islam London-Inggris
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan jalan
membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, terus kami lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan
tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi dari para Imam panutan umat
untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah sate argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah
adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa
periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat
digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.
Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya
tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan para Ulama
sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa
mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “Khobar Ahad tidak memberikan
pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini memberikan pengetahuan minimal
dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya
sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang
memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah.
Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai
dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat
berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad, dalam rangka membantah
pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khobar ahad sebagai
dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan.
Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam
masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini
dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar
dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap
masalah ini (masalah khobar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah
seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah
mengkaji dan mempelajari kitab para Ulama tersebut.
Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para muridnya dan
para Ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:
PENDAPAT PARA ULAMA HANAFIYAH
a- Mutawatir:
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan sejumlah besar orang pada tiap
tobaqat (generasi-pent) periwayatan sampai pada kolektor hadis (Para Imam yang
emmpunyai,kitab hadis-pent). Sehingga kesepakatan mereka tentang kemungkinan
adanya pernyataan yang salah telah ditolak dengan logika manusia. Contoh dari
hadis ini adalah hadis yang menggambarkan jumlah raka’at Sholat atau jumlah
tertentu yang harur dikeluarkan dalam zakat.
b- Mashur:
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh 1s\d 3 orang shahabat, tapi pada
masa sesudahnya yaitu pada masa Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, hadis ini menjadi
terkenal dan diterima secara umum oleh umat. Dari tobaqot ini (generasi-pent)
keatas diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, sehingga hampir mencapai derajat
Mutawatir . Contohnya: perintah yang tegas dari Syara’ (Pembuat Hukum yaitu
Allah SWT-pent) tentang hukuman bagi para pezina yang telah menikah dengan
dilempari batu sampai meninggal.
c- Ahad:
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi kepada satu
orang atau sekelompok orang, atau dari sekelompok orang kepada satu orang.
Sehingga pembagian hadis berdasarkan pendapat (ijtihad-pent) dari para Imam,
yang kemudian membawa perbedaan dalam penunjukan dalilnya. Status hukum
yang digali dari hadis Mutawatir adalah wajib dan fundamental. Sedang status
hukum yang digali dari hadis mashur adalah tidak wajib, tapi dapat membatasi
(men-taqyid-pent) dari kemutlakan ayat Al-Qur’an dan dapat menjadi suplemen dari
Al-Qur’an. Pada Hadis Ahad walaupun shohih tetapi sebatas dugaan keras, tidak
ada jalan baginya untuk mempengaruhi penunjukan yang jelah dari ayat Al-Qur’an.
Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl Abu Bakar Shams al-A’ima al-
Sarkhasi (w. 483)
Imam besar Hanafiyah dan seorang Mujtahid, dalam kitabnya (Al-Usul Al-Sarkhasi
juz 1\hal. 112, 321-333) membantah mereka yang menerima Khobar Ahad dalam
masalah Aqidah. Beliau menerangkan hakikat dari Khobar Ahad dan perbedaan
antara dalil Qoth’I dan dalil Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh dan
Khobar. Untuk mengilustrasikan beliau memberi contoh pada masalah adzab kubur.
Abdul Qohir Al-Baghdadi (w. abad 5 H)
Ibn Athir Al-Jazari (w. 606) dalam (Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadis)
Imam Al-Izz Ibn Abd Al-Salam (w. 660 H) : “Tidak mengambil Hadis Ahad
sebagai dalil dalam masalah Aqidah”.
Ala Al-Din Ibn Abidin (w. 1306 H)
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad
Abu Zahra:
“Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang pada
dalil-dalil syara’ (secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau
adalah seorang Ulama Ahli Sunnah………..Maka Imam Ahmad berpegang pada nash
yang ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu Al-qur’an dan
Hadis Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang
Qoth’I juga berasal dari Allah SWT….” (Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah hal.
506).
Abu Bakar Al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr menyatakan,
bahwa Imam Ahmad telah berkata:
“Jika ada hadis ahad mengenai hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan
demikian, tetapi saya tidak menyaksikan bahwa nabi SaW benar-benar menyatakan
demikian” (Ma’anil Hadis).
Abu Khatab juga menyatakan dalam (At-Tamhid fi Takhriji Al-Furu’I ‘ala Al-Ushul),
pendapat yang sama dengan Ibn Qudamah Al-Maqdisi, tetapi berbeda tentang
apakah Umat sepakat atau tidak.
Ahmad Ibn Al-Muthanna Al-Tamimi Al-Qodi Abu Ya’la Al-Mausuli (w. 307
H):
yang meriwayatkan dalam (Al-Iddah) bahwa dia melihat dalam kitab (Manin Al-
Hadis) dari Abi Bakar Al-Athram (murid dari Imam Ahmad) pernyataan dari Imam
Ahmad:
“Jika saya melihat hadis shohih, saya akan berbuat berdasarkan hadis itu, tapi saya
tidak bersumpah bahwa Nabi SAW mengatakan demikian”.
Ahmad Ibn Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Qudamah Al-Maqdisi (w. 689)
pengarang kitab Al-Mughi menyatakan dari Abu Khatab:
“Imam Ahmad berkata bahwa Hadis Ahad adalah dalil yang Qoth’I kalau Umat
menyepakatinya” (Al-Mughni- Bab Khobar Ahad)
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah Al-
Maghdisi (w. 620 H) berkata:
“Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad adalah tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal perbuatan” (Raudhatul Nadhar wa Jannatu Al-Manadzhar).
Abu Al-Abbas Taqiyudin Ibn Taimiyah (w. 728 H), Shihabudin Abbas Ibn
Taimiyah Al-Hambali (w. 745 H), Abu Abdullah Al-Zura’I Ibn Qoyyim Al-
Jawziyya (w. 751 H) menyatakan:
“Ijma’ yang diriwayatkan secara ahad adalah tidak Qoth’I. Tetapi digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal perbuatan” (Sawaiq Al-Mursala).
Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai
untuk mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli
Dzohhir (pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) (Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh.
Anwar Bc. Hk, hal. 31).
PENDAPAT PARA ULAMA SYAFI’IYAH
Imam Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I (w. 204), membedakan ilmu menjadi 2
jenis Ilmu: Ilmu Dzahir dan Ilmu Batin. Beliau berkata:
Pertama terdiri dari keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir dan Ilmu Bathin. Yang
lainnya, jawaban yang benar pada Ilmu Dzahir saja. Keputusan yang benar (pada
Ilmu dzahir dan Ilmu Bathin) adalah yang didasarkan pada perintah Allh SWT atau
Sunnah Rarul SAW yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (mutawatir-pent) dari
generasi-generasi awal. Ini (perintah Allah SWT dan As-Sunnah) adalah dua sumber
kebaikan yang dengannya sesuatu ditetapkan sebagai sesuatu yang halal dan yang
lain ditetapkan sebagai sesuatu yang haram. Inilah (jenis ilmu pengetahuan) yang
tidak seorangpun diperkenankan untuk mengabaikan atau meragukannya (sebagai
sumber yang memberi kepastian).
Kedua, pengetahuan yang dimiliki oleh para Ahli yang bersumber dari hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh beberapa orang dan diketahui hanya oleh para Ulama,
tetapi untuk masyarakat umum tidak ada kewajiban untukuntuk memahaminya.
Pengetahuan seperti itu dapat ditemukan diantara semua atau sebagian orang
Ulama, yang diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dari Nabi SAW. Inilah
jenis ilmu pengetahuan yang mengikat para Ulama untuk menerima dan menetapka
keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir sebagaimana kita dapat menerima
(validitas) persaksian dari dua orang saksi. Inilah kebenaran (hanya ada) pada Ilmu
Dzahir, karena ada kemungkinan ( dalil\petunjuk) dari dua orang saksi terdapat
terdapat kesalahan (Risalah Fi Ushul Fiqh, Bab Qiyas ( lihat juga hal. 357-359,478)).
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum
dari Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah Mutawatir (Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh.
Anwar Bc. Hk, hal. 31).
Imam Ahmad Ibn Ali Ibn Abu Bakr Al-Khatib Baghdadi (w. 463), berkata:
“khobar Ahad tidak memberikan faedah Ilmu\Dzoni (Khabar Ahad la yufidal ilm’)’’
(Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah).
Abdul Malik Ibn Yusuf Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H), menyatakan
berkaita dengan masalah Al-Bayan ( peryataan eksplisit-pent):
“Bayan dapat ditempatkan brdasarkan urutan berikut: Al-Qur’an, Sunnah, Al-Ijma’,
Khobar Wahid dan Qiyas” (Nihaya Al-Matlab Fi Diraya Al-Madzab).
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w.
505 H) berkata:
“Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in tidak berfaedah
Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi
al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya: “Adapun pendapat para Ahli
hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis
Ahad yang wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-
dalil Qoth’I (yang menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” (Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul
juz 1\hal 145-146 -pent).
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah
Shohih Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang
menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn
Sholah, beliau menegaskan:
“Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun
hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir,
maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim
dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan
Ib Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah diatas (Syarah Shohih Muslim
juz 1\hal. 130-131).
Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam
Yusuf Al-Kirmani bahwa: “Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah’’
(Fathul bari juz 8, bab khobar Ahad).
Al-Hafidz Al-Iraqi:
“Hadis Ahad tidak Qoth’I walaupun umat menyepakatinya”.
Imam Syaukani (w. 1255 H), berkaitan dengan sifat Allah SWT: Menukil
pernyataan Imam Haramain Al-Juwaini yang berkata: “ Hadis Ahad tidak
dijadikan dalil dalam masalah aqidah”.
Menurut Ahli Dhohhir bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis
ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh sebagian Ulama
Hambaliyah (Ilmu Mustholah Hadis; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata:
“Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan
hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama,
bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama” (Syarh Asnawi
Nihayah as-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal.
214).
Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy- Syairazi (w. 476 H)
menyatakan:
“Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu Qoth’I)” (At-Tabshirah fi Ushuli al-
Fiqh dan Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh).
Syeikh Kamal bin Hamam (w. 861 H) dan Syeikh Ibn Amir Al-Haj (w. 879 H)
menyatakan:
“Hadis Ahad menghasilkan Dzon” (At-Taqrir wa At-Tahbir Syarh Kabir, juz 2\hal 235-
236).
Imam Abi Bakr Muhammad bin Ahmad bin Sahal As-Sarkhasi (w. 490 H)
menyatakan;
“Menurut Jumhur Ulama Hanafiyah wajib adalah apa yang telah ditetapkan dengan
dalil Qoth’i dalalah dan dzon tsubut (termasuk hadis ahad-pent) atau dzon dilalah
dan qoth ‘i tsubut dengan penegasan dan penekanan atas tuntutannya (Al-Syadah
wa Al-Jazm fi Ath-Tholab) atau dengan kata lain adalah apa dengan dalil yang
mewajibkan Ilmu untuk diamalkan tetapi tidak mewajibkan ilmu yaqin, karena ada
stubhat\keraguan dalam jalannya’’ (Ushul As-Sarkhasi, juz 1\hal. 111).
Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim (w. 970 H) menyatakan hal sama
dengan Imam As-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzon Tsubut-pent) wajib diamalkan,
tetapi tidak untuk masalah I’tiqod (Aqidah-pent) (Lihat Fath Al-Ghaffar Al-Ma’ruf bi
Misykah Al-Anwari, juz 2\hal. 63).
Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapat
Imam As-Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status hadis ahad ( Lihat Kitab Al-
Mughni fi Al-Ushuli Al-fiqhi Li Al-Khobazi, hal. 84).
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis
ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan
aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal (Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqih Islam; hal 54).
Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan
hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah
maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah
aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil
yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzonni (Ilmu
Mustholah Hadits, hal. 31).