You are on page 1of 5

KEMISKINAN NELAYAN

Hampir sebagian besar nelayan masih hidup dibawah garis kemiskinan. Bahkan masih dibawah
garis kemiskinan. Contoh tahun 1996/1997 pendapatan nelayan antara Rp 82.000,00 – Rp 200.000,00
per bulan. Jumlah tersebut masih jauh dibawah UMR (Rp 380.000,00) per bulan.
Sebuah ironi kehidupan masyarakat pesisir, yaitu hidup miskin di tengah kekayaan potensi sumberdaya
perikanan yang ada di sekitarnya. Timbul berbagai pertanyaan: “Apakah ini terjadi pada negara
berkembang dimana pertumbuhan ekonomi yang lamban?”
Permasalahan kemiskinan nelayan bukan monopoli negara berkembang, negara maju pun demikian
manakala terjadi mismanagement terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Jadi kuncinya adalah
aspek pengelolaan.

Masyarakat nelayan selama kurang lebih 32 tahun kekuasaan Orde Baru hampir sama sekali
tidak mendapatkan sentuhan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Persoalannya adalah
pengambil kebijakan di negeri ini belum memahami secara komprehensif apa sebenarnya akar
permasalahan kemiskinan nelayan. Kemiskinan nelayan hanya dipahami sebatas angka-angka statistik
yang dikeluarkan BPS yang sifatnya umum.

Malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal
kultur nelayan jika dicermati justeru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh
pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring
(membolo;istilah di Pantai Timur Sumatera Utara). Kalaupun ada sikap boros dan malas, tetapi tidak
tepat dijadikan ukuran umum. Kemiskinan nelayan ditengarai pula oleh ketiadan modal dan rendahnya
kultur kewirswastaan. Pemecahan persoalan tersebut biasanya dengan mengembangkan semangat
kewiraswastaan, pendapatan perkapita kelompok sasaran meningkat, dan adanya motviasi berprestasi.
Cara tersebut sering dilakukan oleh LSM aliran reformis memijam istilah mansou Fakih (alm).
Rekonstruksi kemiskinan nelayan dan cara mengatasinya adalah penting mengingat program
kompensasi atas kenaikan BBM sebelumnya sudah ada secara khusus yakni Program PEMP
(Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang dimulai pada tahun 2000 lalu. Klaim mantan Menteri
Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri bahwa program tersebut hasilnya cukup menggembirakan baik
secara kuantitatif dan kualitatif (Kompas 18/9/2004 hal 42) perlu dipertanyakan kevalidtannya.
Statement “ cukup menggembirakan “ masih mengambang apakah secara signifikan mengurangi
kemiskinan atau hanya diukur pada saat masih berjalannya program tersebut. Kalau saja ada penurunan
yang signifikan atas hasil program PEMP maka dari 247 kabupaten yang tersentuh program tersebut
atau hampir setengah kabupten di Indonesia terutama yang berada di pesisir telah menerima
“keampuhan” kompensasi atas kenaikan BBM untuk mengatasi kemiskinan. Faktanya, kemiskinan masih
belum beranjak malah sebaliknya semakin bertambah. Kenaikan BBM merupakan momok bagi nelayan,
melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Bisa dikatakan bahwa salah satu
sektor yang banyak menggunakan solar untuk kegiatan produksi adalah nelayan. Strategi nelayan untuk
bisa bertahan dalam melakukan penangkapan ikan dilakukan dengan cara mengoplos atau mencampur
dengan minyak tanah (kerosin), bahkan ada yang seratus persen kerosin. Jika sampan bermesin ukuran
5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan
biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya
nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di
lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah
harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup
dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.

Dari kaca mata ekonomi-politik, akar kemiskinan nelayan dapat dianalisis dari teori-teori besar
pemikiran pembangunan yakni pemikiran liberal, radikal, maupun heterodoks (baca: Damanhuri).
Kalangan liberal penganut teori modernisasi memandang bahwa penyebab kemiskinan adalah faktor
internal, yakni budaya masyarakat tradisional yang menghambat modernisasi.

Scott Gordon (1954), para ahli menduga bahwa penyebab utama kemiskinan nelayan adalah
sifat sumberdaya perikanan yang dimiliki bersama (common property) dengan pemanfaatan bersifat
akses terbuka. Dikenal dengan Analisis Gordon dengan teori ekonomi perikanan, yaitu teori common
property. Teori Gordon ini dianggap mampu untuk menjawab permasalahan rendahnya pendapatan
nelayan. Dari teori ini kemudian timbul natural resource curse, yaitu sumberdaya alam tidak mampu lagi
membangkitkan ekonomi, karena terjadi eksternalitas yang diakibatkan oleh kegagalan pasar.
Mengapa? Karena akses terbuka, maka nilai ekonomi eksploitasi perikanan akan menurun disebabkan
oleh terjadinya ekses effort (upaya eksploitasi).

Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang
menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga
terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan
atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan
birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia
yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing
ground).
Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan
melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama
dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang
pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak
heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak.
Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar,
dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama
mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk
sebagain besar oleh kapal-kapal asing. Bahkan kekuatan nelayan yang berada dalam lingkar organisasi
bentukan negara (baca : HNSI), yang banyak dituding sebagai organisasi kumpulan pengusaha (bukan
murni nelayan) tidak mampu berbuat banyak. Munculnya organisasi-organisasi di luar yang ada selama
ini menjadi asset berharga untuk lebih banyak lagi memperjuangkan kepentingan nelayan, terutama
kategori tradisional yang mengalami marginalisasi.
Kompensasi BBM dengan subsidi langsung dengan ukuran penghasilan Rp.175.000 per bulan apakah pas
untuk nelayan ? Nelayan sebagai entitas pesisir memiliki karakterikstik yang khas. Banyaknya perbedaan
alat tangkap – sering menjadi identitas mereka, semisal nelayan jaring gembung, nelayan jaring udang
( disebut juga appolo), jaring ketam, pancing rawei dan lain-lainnya. Bahkan adanya musim-musim
tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka
tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki
perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari
bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja
ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang
dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di
rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan
Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat,
sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000,
lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya. Bagaimana mengukur pendapatan mereka kalau
utang belum terhapus ? Adalah menjadi sulit jika nelayan yang sebagain besar hidup dalam kemiskinan
diukur dengan standar Rp.175.000. Kalaupun subsidi langsung diberikan, maka besar kemungkinan akan
digunakan untuk membayar utang yang entah kapan bisa dihapus. Pengalaman juga menunjukkan
bahwa batuan berupa alat tangkap untuk nelayan lebih sering gagal akibat tidak melihat faktor
struktural tersebut. Meskipun diberikan sampan dan peralatan tangkap tetapi dana cadangan untuk
pemeliharaan (maintenance) alat tangkap tidak tersedia, maka akan kembali menggandalkan tokeh
sebagai tempat meminjam. Sampan dan alat tangkap bisa-bisa “tergadai”, karena menutupi liang utang
yang menganga.

Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multidimensi dan ditengarai disebabkan oleh


tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya
akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung
boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama,
kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu
pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

Ironisnya kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat ini justru terjadi pada negara maritim
seperti Indonesia yang memiliki sumberdaya pesisir dan lautan yang melimpah. Kemiskinan
yang disandang nelayan merupakan salah satu sumber ancaman potensial kelestarian sumberdaya
pesisir dan lautan. Berbagai sebab, salah satunya adalah desakan ekonomi dan tuntutan hidup
menuntut masyarakat untuk memperoleh pendapatan melalui usaha ekstraksi sumberdaya
perairan dan kelautan dengan menghalalkan segala cara tanpa mempedulikan akibatnya.
Berbagai upaya untuk penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan, namun pemerintah
belum memiliki konsep yang jelas, sehingga penanganan masih bersifat parsial dan tidak
terpadu. Akibatnya angka kemiskinan belum dapat diturunkan secara signifikan. Dan justru
dengan adanya program penanggulangan kemiskinan, malah jumlah penduduk miskin
bertambah.
Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk
menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut
adalah sbb : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan
penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah,
yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh secara
kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah. Kedua,
keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan
program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar
perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan.
Ketiga, keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar
permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif , dan
tidak parsial.keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan,
penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tesebut dapat dilakukan secara
efektif dan efesian
Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan,
juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan
harus unsur-unsur sebagai berikut :
pertama, perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang
dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan. Kedua,
pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan
dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi
sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam
menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.
Ketiga, penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur),
sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan
dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat
ditentukan dengan jelas.
Keempat, menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang
telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar
dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang
perbedaan.
Kelima, pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan
dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan
telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Kesemua unsur-unsur tersebut akan terpenuhi apabila didukung oleh :
pertama, penyusunan program harus dimulai dari identifikasi masalah, tujuannya adalah untuk
mengumpulkan data dan fakta yang aktual, sehingga akar permasalahan ( isu, penyebab, dampak,
lokasi, dll) dapat diketahui dengan jelas.
Kedua, dalam pengelolaan program harus jelas proses pengelolaan (perumusan, pelaksanaan
rencana, pengawasan dan evaluasi), tidak hanya terfokus pada proses administrasi.
Ketiga, tindakan yang betul-betul untuk memecahkan setiap masalah, bukan untuk kepentingan
politik penguasa dan pengusaha.
Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi
pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan
masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan
kemitraan global.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data
akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah
karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya lebih
terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa
penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau
tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir
pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan
dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum
tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan
nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Dan
program kompensasi BBM baiknya diarahkan tidak hanya mengatasi kemiskinan sementara waktu,
tetapi bagaimana tidak tenggelam lagi dalam lautan kemiskinan.
Rencana menaikkan BBM hingga 50 persen, bakal membuat nelayan tidak melaut kalau mata rantai
peragenan minyak tidak diputus. Sekalipun ada program SPDN (Solar Packed Dealer) Nelayan namun
masih lebih banyak yang belum menikmatinya. Untuk itulah perlu ada intervensi secara khusus dari
pemerintah bagi ketersedian BBM bagi nelayan. Bagi desa-desa pesisir yang sulit ditempuh transportasi
sebaiknya lebih diutamakan membangun SPDN. Selanjutnya perlu diberdayakan organisasi-organisasi
nelayan diluar yang ada selama ini dengan memberikan akses secara adil dan merata dalam mengelola
SPDN. Sekalipun demikian bahwa pilihan nelayan sebenarnya lebih baik BBM tidak dinaikkan, toh masih
banyak pekerjaan pemrintah yang harus dibenahi terlebih dahulu seperti penegakan hukum bagi
penyeludupan, penimbun, dan mafia BBM yang telah lama berlangsung di negeri ini.

You might also like