Professional Documents
Culture Documents
(Tinjauan Fonologis)
oleh
Ratnawati Rachmat
1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu serumpun dengan bahasa Jawa
yang tergolong bahasa daerah, yaitu rumpun bahasa Austronesia. Pemakaian bahasa
Indonesia lebih luas dibandingkan pemakaian bahasa Jawa. Meskipun demikian pemakai
dan persebaran bahasa Jawa lebih luas dibandingkan dengan bahasa daerah yang lain.
Masyarakat Jawa mempergunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dalam masyarakat
bilingual sudah tentu sulit menghindari terjadinya kontak bahasa. Bahasa Jawa yang
sampai sekarang masih aktif digunakan sebagai alat komunikasi antar warga masyarakat
bahasanya dapat memperkaya bahasa Indonesia, terutama dalam jumlah kosakata, di
samping unsur-unsur gramatikalnya.
Bahasa Jawa memiliki lima vokal yang masing-masing mempunyai dua alofon
yakni: /i/, /e/, /a/, /u/, /o/, ditambah satu vokal /ə/ yang hanya mempunyai satu alofon.
Ke lima vokal ini semuanya dapat menduduki posisi ultima, penultima, dan
antepenultima. Vokal /ə/ dan alofon [ε] yang tidak pernah ada pada posisi ultima suku
terbuka, sedangkan fonem /a/ pada posisi ultima suku terbuka hanya ada kata ora dan
boya yang berarti ‘tidak’
Fonem /i/ mempunyai dua alofon, yakni [i] dan [I]. Fonem /i/ dilafalkan [i] bila
terdapat pada suku kata terbuka, dan dilafalkan [I] bila terdapat pada suku tertutup.
Contoh: suku terbuka: i-si [isi] ‘isi’
ku-wi [kuwi] ‘itu’
bu-i [bui] ‘penjara’
suku tertutup: gi-lig [gilI?] ‘bulat buluh’
ban-ting [bantIŋ] ‘banting’
cu-wil [cuwIl] ‘rompeng’
Fonem /e/ mempunyai dua alofon, yakni [e] dan [ε]. Fonem /e/ dilafalkan [e] bila
terdapat pada suku kata terbuka, dan dilafalkan [ε] bila terdapat pada suku tertutup.
Contoh: suku terbuka: dhe-we [ḍewe] ‘sendiri’
so-re [sore] ‘sore’
se-suk [sesU?] ‘besuk’
suku tertutup: ce-ker [cεkεr] ‘kaki’
be-bek [bεbε?] ‘bebek’
Fonem /a/ mempunyai dua alofon yakni [a] dan [ɔ]. Fonem /a/ pada suku terbuka
dilafalkan dengan [ɔ], dan dilafalkan dengan [a] bila pada suku tertutup. Fonem /a/ pada
posisi ultima suku terbuka hanya ada kata ora dan boya yang berarti ‘tidak’
Contoh: suku terbuka: a-pa [ɔpɔ] ‘apa’
bu-ta [butɔ] ‘raksasa’
suku tertutup: pa-ngan [paŋan] ‘makanan’
pa-nas [panas] ‘panas’
Fonem /u/ mempunyai dua alofon, yakni [u] dan [U]. Fonem /u/ dilafalkan [u]
bila terdapat pada suku kata terbuka, dan dilafalkan [U] bila terdapat pada suku kata
tertutup.
Contoh: suku terbuka: ke-thu [kəţu] ‘sejenis kopiah’
u-rip [urIp] ‘hidup’
gu-ru [guru] ‘guru’
suku tertutup: u-rut [urUt] ‘urut’
jum-put [jUmput] ’pungut’
kung-kum [kUŋkUm] ‘berendam’
Fonem /o/ mempunyai dua alofon yakni [o] dan [ ɔ]. Fonem /o/ dilafalkan [o] bila
terdapat pada suku kata terbuka, dan dilafalkan dengan [ɔ] bila terdapat pada suku kata
tertutup.
Contoh: suku terbuka: kro-co [kroco] ‘siput kecil’
ko-bis [kobIs] ‘kol’
o-to [oto] ‘ mobil’
suku tertutup: kro-kot [krɔkɔt] ‘daun kerokot’
lo-rod [lɔrɔt] ‘membuang lilin pada kain batik sesudah diwarnai’
Fonem /ə/ hanya mempunyai satu alofon yakni [ə]. Alofon ini terdapat pada suku
terbuka maupun suku tertutup. Fonem /ə/ tidak pernah ada pada posisi ultima suku
terbuka,
Contoh: suku terbuka: ke-se-lak [kəsəla?] ‘tersedak’
e-nem [ənəm] ‘enam’
suku tertutup: kan-del [kandəl] ‘tebal’
ker-ja [kərjɔ] ‘kerja’
Dari uraian di atas tampak bahwa jumlah vokal bahasa Jawa lebih banyak
daripada jumlah vokal bahasa Indonesia. Vokal /a/ dalam bahasa Indonesia hanya ada
satu alofon yakni [a], sedangkan dalam bahasa Jawa ada dua alofon yakni [a] dan [ɔ].
Bahasa Indonesia mempunyai dua puluh tiga fonem konsonan yakni: /p/,/b/, /t/.
/d/, /c/, /j/, /k/, /g/, /?/, /f/, /s/, /z/, /š/, /x/, /h/, /m/, /n/, / ñ/, /ŋ/, /r/, /l/, /w/, dan /y/. Fonem-
fonem ini kebanyakan dapat menduduki posisi awal, tengah, dan akhir kata. Fonem yang
tidak pernah muncul pada awal kata adalah fonem /?/, dan /x/. Fonem yang tidak pernah
tampil pada akhir kata adalah fonem /c/, /j/, /z/, /š/, /ñ/, /w/, dan /y/. Fonem /b/, /d/ dan
/g/ pada akhir kata dilafalkan dengan [p], [t] dan [k]. Fonem /k/ pada akhir kata akan
dilafalkan dengan /?/. Fonem /?/ muncul pada tengah kata jika dua suku yang berdekatan
mempunyai dua vokal yang sama yang berjejeran.
3.2 Fonem Konsonan Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mempunyai dua puluh satu fonem konsonan yakni: /p/,/b/, /t/.
/d/, /ṭ/ /ḍ/, /c/, /j/, /k/, /g/, /?/, /s/, /h/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /l/, /w/, dan /y/. Hampir semua
konsonan bahasa Jawa ini dapat menduduki posisi awal kata. Fonem yang tidak pernah
tampil pada akhir kata adalah fonem /ṭ/ /ḍ/, /c/, /ñ/, /w/, dan /y/. Fonem /b/, /d/ dan /g/
pada akhir kata dilafalkan dengan [p], [t] dan [k]. Fonem /k/ pada akhir kata akan
dilafalkan dengan /?/.
Yang dimaksud dengan diftong adalah dua huruf vokal yang berderetan dalam
satu suku kata / dalam satu hembusan nafas, dan melambangkan satu bunyi vokal. Dalam
bahasa Indonesia ada tiga buah diftong yakni /ai/, /au/, dan /oi/, jika dilafalkan menjadi
[ay], [aw], dan [oy]. Contoh diftong bahasa Indonesia seperti:
cukai [cukay] ‘cukai’
harimau [harimaw] ‘harimau’
sekoi [sekoy] ‘seloi (semacam gandm)’
Bahasa Jawa tidak mengenal diftong seperti yang ada dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Jawa diftong yang ada dibedakan menjadi dua yakni diftong naik dan
diftong turun. Diftong naik berupa bunyi [ui], sedangkan diftong turun berupa bunyi [ua],
[uε], [uɔ], dan [uə]. Diftong ini hanya muncul dalam kata sifat untuk menyatakan makna
‘sangat’, seperti:
cilik [cilI?] ‘kecil’ - cuilik [cuili?] ‘sangat kecil’
adoh [adɔh] ‘jauh’ - uadoh [uadɔh] ‘sangat jauh’
elek [εlε?] ‘jelek’ - uelek [uεlε?] ‘sangat jelek’
dawa [dɔwɔ] ‘panjang’ - duawa [duɔwɔ] ‘sangat panjang’
lemu [ləmu] ‘gemuk’ - luemu [luəmu] ‘sanat gemuk’
Bahasa Indonesia mempunyai duapuluh delapan gugus konsonan yang terdiri dari
dua atau tiga konsonan. Gugus konsonan yang terdiri dari dua konsonan ada duapuluh
empat buah, yakni: /pl/, /bl/, /kl/, /gl/, /fl/, /sl/, /pr/, /br/, /tr/, /dr/, /kr/, /gr/, /fr/, /sr/, /ps/,
/ks/, /dw/, /sw/, /kw/, /sp/, /sm/, /sn/, /st/, /sk/. Konsonan yang pertama hanya /p/, /b/,
/k/, /g/, /f/, /s/, /t/ dan /d/, sedangkan konsonan kedua hanya /l/, /r/, /w/, /s/, /m/, /n/, k/.
Gugus konsonan yang terdiri dari tiga konsonan ada empat buah, yakni /spr/, /str/ /skr/
dan /skl/. Konsonan yang pertama selalu /s/, yang kedua /t/, /p/ atau /k/, dan yang
ketiga /r/ atau /l/.
Bahasa Jawa mempunyai banyak sekali gugus konsonan, ada yang terdiri dari dua
konsonan dan ada yang tiga konsonan. Gugus konsonan yang terdiri dari dua konsonan
ada empat puluh buah yakni: /mb, /nd/, /nḍ/, /ñj/, /ŋg/, /pr/, /tr/, /br/, /kr/, /cr/, /dr/, / ḍr/, /jr/,
/gr/, /sr/, /mr/, /nr/, /ñr/, /ŋr/, /wr/, /pl. /tl/, /cl/, /kl/, /bl/, /dl/, /jl/, /gl, /sl/, /ml/, /nl/, /ŋl/,
/py/, /ty/, /ky/, /by/, /my/, /dw/, /ñw/, dan /ŋw/. Tampak di sini pengisi konsonan pertama
berupa konsonan nasal, konsonan hambat, geseran, dan /w/. Pengisi konsonan kedua
berupa konsonan hambat bersuara, /r/, /l/, /y/, dan /w/. Gugus konsonan yang terdiri dari
tiga konsonan ada sembilan buah yakni: /mbl/, /ndl/, /ñjl/, /ŋgl/, /mbr/, /ndr/, /n ḍr/, /ŋgr/,
dan /mby/. Tampak di sini bahwa pengisi konsonan pertama berupa konsonan nasal,
pengisi konsonan kedua berupa konsonan hambat bersuara, dan pengisi konsonan ketiga
kebanyakan berupa konsonan /l/ dan /r/ juga /y/.
A. Perubahan fonem
Perubahan fonem bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dapat terjadi pada fonem
vokal maupun fonem konsonan. Perubahan fonem ini tentunya disesuaikan dengan fonem
yang ada dalam bahasa Indonesia.
Pelemahan bunyi vokal biasanya terjadi karena perubahan tekanan kata, pada
umumnya terjadi pada suku kata antepenultima dari bunyi [a] menjadi [ə] seperti:
danawa [da-nɔwɔ] -> denawa [də-na-wa] ‘raksasa’
sagara [sa-gɔ-rɔ] -> segara [sə-ga-ra] ‘laut(an)’
patilasan [pa-ti-la-san] -> petilasan [pə-ti-la-san] ‘makam’
nalangsa [na-lɔŋ-sɔ] -> nelangsa [nə-laŋ-sa] ‘sedih’
b. Bunyi [h] ditambahkan / disisipkan pada awal suku kata kedua atau pada akhir kata
seperti pada kata:
jait [ja-It] -> jahit [ja-hIt] ‘menjahit’
bau [ba-u] -> bahu [ba-hu] ‘pundak’
pait [pa-It] -> pahit [pa-hIt] ‘rasa tidak sedap seperti rasa empedu’
maesa [ma-e-sɔ] -> mahesa [ma-he-sa] ‘kerbau’
krai [kra-i] -> kerahi [kə-ra-hi] ‘mentimun yang besar dan panjang’
musna [mUs-nɔ] -> musnah [mus-nah] ‘lenyap’
c. Bunyi [ŋ] ditambahkan untuk menutup suku kata pertama atau kedua pada kata:
keblasak [kə-bla-sa?] -> keblangsak [kə-blaŋ-sa?] ‘tersesat’
nonong [nɔ-nɔŋ] -> nongnong [nɔŋ-nɔŋ] ‘dahi yang menonjol ke depan’
d. Bunyi [n] ditambahkan untuk menutup suku kata pertama pada kata:
padaringan [pa-da-ri-ŋan] -> pendaringan [pən-da-ri-ŋan]
Kata tersebut di samping mengalami penambahan bunyi [n] juga disertai dengan
pelemahan bunyi [a] menjadi [ə].
E. Hapologi
Hapologi adalah gejala pelesapan / pemenggalan suku kata dalam sebuah kata
dengan maksud untuk memudahkan pengucapan.
bangkongan [baŋ-kɔŋ-an] -> bangkong [baŋ-kɔŋ] ‘katak besar’
maratuwa [mɔ-rɔ-tu-wɔ] -> mertua [mər-tu-a] ‘orang tua istri/suami’
rempeyek [rəm-pε-yε?] -> peyek [pe-ye?] ‘rempeyek’
G. Asimilasi
Asimilasi adalah proses harmonisasi dua segmen bunyi yang tadinya berbeda ciri
distingtifnya berubah menjadi serupa, dengan tujuan untuk mempermudah pengucapan.
Kedua bunyi yang mengalami asimilasi harus berdekatan letaknya.
Bunyi [n] pada akhir suku berubah menjadi [ŋ] pada kata:
cancang [can-caŋ] -> cangcang [caŋ-caŋ] ‘mengikat’
kedhondhong [kə-ḍɔ-nḍɔŋ] -> kedongdong [kə-dɔŋ-dɔŋ] ‘kedondong’
Pembatalan kluster (gugus konsonan) ialah kata yang semula mempunyai gugus
konsonan dibuat menjadi tidak ada gugus konsonannya, dengan cara menambahlan bunyi
[ə] di antara dua konsonan yang berdekatan dalam satu suku kata, seperti:
blaco [bla-co] -> belacu [bə-la-cu] ‘kain mori yang masih mentah’
cengklong [cəŋ-klɔŋ] -> cengkelong [cəŋ-kə-lɔŋ] ‘mengurangi dari jumlah
yang semestinya’
glagat [gla-gat] -> gelagat [gə-la-gat] ‘gerak-gerik; tanda / alamat
akan terjadi sesuatu peristiwa’
glintir [glin-tIr] -> gelintir [gə-lin-tIr] ‘penggolong benda’
greget [grə-gət] -> gereget [gə-rə-gət] ‘nafsu untuk berbuat’
Kata yang bersuku dua dan dimulai dengan gugus konsonan diserap dengan
menambahkan bunyi [ə] di antara gugus konsonan tersebut, sehingga kata tersebut
berubah menjadi tiga suku kata.
I. Penambahan suku kata
b. dwipurwa
Dengan mengulang suku yang paling depan, jumlah suku katanya menjadi bertambah,
seperti pada kata:
jengkok [jəŋ-kɔ?] -> jejengkok [jə-jəŋ-kɔ?] ‘tempat duduk dibuat dari kayu’
kemben [kə-mbən] -> kekemben [kə-kəm-bən] ‘kemban’
7. Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa penyerapan kosakata bahasa Jawa ke dalam
bahasa Indonesia terlihat bahwa adanya ketidakkonsistenan dalam penulisan /a/ yang
dilafalkan dengan [ɔ] ditulis dengan:
/a/ pada kata: buta -> buta, ganja -> buta, mangga -> mangga; dan
/o/ pada kata: krama -> kromo, eca -> eco.
8. Daftar Pustaka
Moeliono, Anton M. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Balai
Pustaka.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1982. Javanese Influence On Indonesian. Australia: The
Australian National University.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers-
Maatschappij n.v.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Uhlenbeck, E.M. 1949. De Structuur van het Javaanse Morpheem. Bandung: A.C. Nix &
Co.
Yusuf, Suhendra, Drs. MA. 1998. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka
Utama.