You are on page 1of 143

HUKUM

HUTANG PIUTANG

PENULIS:

ABU ANAS SAYYID BIN RAJAB

PENERJEMAH:

AHMAD AFANDI
(Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail:
fandi_rrr@yahoo.com, cp: 085743904236/ 085292134678. Penerjemah terbuka untuk
berdiskusi seputar Hukum dan Hukum Islam)

Pengantar:

Abu Abdillah bin al-‘adawi


KATA PENGANTAR

‫بسم ا الرحمن الرحيم‬

Segala sanjung puji kepada Allah SWT Tuhan alam semesta, rahmat dan
kesejahteraan semoga selalu tercurahkan pada rasulullah SAW.
Buku yang berada di tangan saudara ini adalah buku yang sangat penting dalam
diskursus hukum hutang-piutang. Buku ini di susun oleh Sayyid bin Rajab, salah seorang
yang sangat berkompeten dalam bidang ini. Semoga Allah Awt membalasnya dengan
kebaikan. Dalam paparannya, Sayyid bin Rajab membahas menurut pandangan fiqh dan
hadits sekaligus, yakni memberikan ketentuan berdasarkan hadits bila dirasa benar dan
sesuai, serta mengutip pendapat para fuqaha’ dan menjelaskan dalil (al-Qur’an dan al-
Hadits) yang perlu diberi penjelasan.
Saya telah menelaah kembali buku ini, dan saya yakin buku ini akan banyak
memberikan manfaat. Hanya bagi Allah SWT segala sanjung puji, hanya kepadanya saya
memohon kemanfaatan buku ini, dan semoga Allah SWT menjadikan kita semua termasuk
dalam golongan orang-orang saleh.
Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan kesejahteraan kepada junjungan nabi besar
Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya. Amin.

Abu Abdillah Musthafa bin al-‘Adawy


PENGANTAR PENULIS

Puji syukur ke hadirat Allah SWT kami persembahkan. Memohon pertolongan dan
ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri dan amal kami.
Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa
yang dipalingkan, maka tiada penolong baginya. Saya bersaksi tiada tuhan selain Allah,
dzat Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya, orang terpilih dari segenap makhluk dan kekasih-Nya, penyampai
risalah dan pelaksana amanat-Nya dengan paling sempurna, pemberi segala bentuk nasehat
dan pejuang sejati di jalan Allah sampai akhir hayatnya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-
benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam.” (Ali ‘Imran : 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-
Nisa’: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan


katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-
amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. dan barang siapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(Al-Ahdzab : 70-71)

Eksistensi agama Islam terletak pada tiga unsur. Pertama, ibadah. Firman Allah :
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepadaku” (Adz-Dzariyat: 56)
Kedua, akhlak. Sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.”1
Ketiga, muamalat. Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar” (Al-Baqarah: 282)
Harta termasuk salah satu dari lima hal yang wajib dijaga (dlaruratul khamsi). Sebab,
harta merupakan penopang bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, Allah SWT melarang
perusakan terhadap harta. Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu memberikan harta yang menjadi penopang hidupmu pada
orang-orang yang dungu.”
Nabi bersabda :
“Seungguhnya Allah membenci perbuatan ghibah, melenyapkan harta, dan banyak
bertanya.”
Dalam hadits ini, Nabi SAW menyebut bahwa Allah juga membenci perusakan terhadap
harta.
Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan bathil.”
Karena peran harta sangat penting dalam kehidupan manusia, Allah SWT mengatur
pengelolaan harta antar setiap individu masyarakat dan memeberikan pahala yang besar
bagi orang yang membelanjakan hartanya pada hal-hal yang diperintahkan Allah atau bagi
orang yang mengelola hartanya sesuai dengan perintah Allah SWT.
Allah SWT mengetahui akan tabi’at dan kecintaan manusia pada harta dan betape
mereka sangat ingin memperolehnya.
Allah berfirman :
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr: 20)
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena kecintaannya kepada harta.”
(Al-‘adiyat : 8)

Allah telah banyak menegaskan tabiat manusia ini dalam al-Quran.


Tetapai terkadang kecintaan manusia terhadap harta melampaui batas kewajaran,
sehingga membuatnya menjadi kikir, enggan bersedekah pada fakir miskin, enggan

1 Hasan. HR. Bukhari, al-Adab al-Mufarrad, hal. 273, HR. Ahmad Vol. 2, hal.318. dan HR. Hakim Vol. 2,
hal.613.
memberikan pinjaman pada orang yang membutuhkan, dan jauh dari amal kebaikan.
Manusia juga terkadang menjadi budak harta, ketamakan membuatnya terjerumus dalam
riba dan membuatnya menjadi orang yang merugi di dunia dan akhirat.
Salah seorang penafsir al-Quran menemukan bahwa ayat terpanjang dalam al-Quran
adalah ayat yang menjelaskan tentang hutang-piutang. Ayat tersebut berbicara tentang tata-
cara pengelolaan hutang-piutang.
Barangkali saudara sepakat dengan saya bahwa hutang-piutang merupakan perkara
yang sangat penting, karena ia tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Suatu saat
seseorang berhutang dan di saat yang lain dia memberi hutang, bahkan terkadang dua
perkara ini tidak dapat dipisah selamanya. Karena sangat pentingnya diskursus ini dan
alasan lain, maka sudah sepantasnya pembahasannya dikhususkan. Saya tidak menemukan
karangan yang secara khusus membahas hutang-piutang, padahal diskursus ini banyak
tersebar dalam kitab-kitab fiqh ternama. Oleh karena itu, dengan senang hati saya
menyusun dan mensistematiskan pembahasan dalam sebuah buku, agar dapat memberi
kemudahan bagi para penuntut ilmu dan kaum muslimin pada umumnya untuk mengetahui
diskursus hutang-piutang secara mendalam.
Dalam buku ini, saya mengikuti langkah para ahlul hadits, yakni dengan
membubuhkan dalil nash, menganalisis, dan menerapkannya secara benar dan sesuai,
kemudian diikuti dengan pendapat sahabat, tabi’in, empat imam dan ulama lain yang
dikenal kepandaian dan keutamaannya.
Buku ini terlebih dahulu saya serahkan pada Syaikh Abu Abdillah Musthafa bin
al-‘adawi untuk ditelaah, dan sebagaimana biasa, beliau sangat loyal memberikan nasehat
dan bimbingan. Semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan, memberkatinya atas
waktu yang beliau luangkan dan menjadikannya sebagai timbangan amal kebaikan.
Hanya kepada Allah SWT saya memohon agar semua muamalat yng dilakukan kaum
muslimin sesuai dengan syariat-Nya dan sunah Nabi SAW. Ya Allah, curahkanlah rahmat,
kesejahteraan dan keselamatan kepada junjungan Nabi Muhammad, keluarga dan para
sahabatnya. Amin.
Mesir-Daqhaliyah-Balqos
Abu Anas Sayyid bin Rajab
PENDAHULUAN

Definisi Dain
Dain adalah harta yang diberikan seseorang kepada orang lain yang berkepentingan
memenuhi kebutuhannya dengan kewajiban mengembalikannya sesuai batas waktu yang
telah disepakati antara keduanya.
Orang yang memberikan hartanya disebut : DAIN (Pemberi Piutang)
Orang yang menerima harta disebut : MADIN/MADYUN (Penerima Hutang)
Dan harta yang ditransaksikan disebut : DAIN (Hutang)
Hutang-piutang adalah transaksi harta benda antara dua orang atau lebih. Salah
seorang memberikan harta tertentu kepada yang lain. Dengan harta tersebut orang itu dapat
memenuhi kebutuhannya dan mengambil manfaat darinya, dan wajib mengembalikan
sesuai batas waktu yang telah disepakati.

Etimologi

Pernyataan –‫فلنا‬ ‫داينت‬ -“Saya memberikan pinjaman hutang pada si anu”, adalah
bermakna: saya bertransaksi dengannya, memberinya hutang, dan mencari hutangan
darinya. Hal ini berdasarkan pada perkataan seorang penyair:
“Saya memberi hutang pada Arwa, hutang-hutangnya dulu telah dia lunasi. Dengan
demikian, dia sedang menanggung sebagian hutang dan telah melunasi sebagian
yang lain”

Abu Ubaid berkata : ‫دنت الرجل‬ , artinya : saya memberi hutang pada orang itu.

Maka orang itu disebut madin (‫ )مدين‬atau madyun (‫)مديون‬. Pernyataan lain yang sering

digunakan adalah: ‫منه‬ ‫( استقرضت‬saya mencari hutangan darinya).


Al-Ahmar berkata :
“Kami memberikan hutang pada orang lain, kemudian Allah memenuhi kebutuhan
kami. Karena kami pernah melihat kebinasaan suatu kaum sebab mereka tidak
menjadikan ladang mereka sebagai barang hutangan.”

Menurut mereka, ‫ت‬gg‫ دن‬sama artinya dengan ‫ت‬gg‫ استقرض‬dan ‫ت‬gg‫ أدن‬sama artinya

dengan ‫أقرضت‬.
Menurut Ibnu Sayyidihi2, ‫ت‬gg‫ل وأدن‬gg‫ت الرج‬gg‫ دن‬berarti memberi hutang kepadanya
sampai batas waktu tertentu.
Abu Dzuaib berkata :
“Generasi terdahulu memberi piutang dan memberitahukan bahwa orang yang berhutang
adalah orang yang kaya dan berkecukupan.”

Ada yang mengatakan bahwa ‫ دنته‬berarti ‫ أقرضته‬dan ‫ أدنته‬adalah ‫منه‬ ‫استقرضت‬.


Menurut Al-Jauhari, orang yang berhutang (‫مديون‬ ‫ )رجل‬adalah orang yang banyak
hutangnya. Disebut ‫مديان‬ apabila kebiasaannya adalah menarik hutang. Pernyataan ‫أدان‬
‫ة‬gg‫ فلن ادان‬berarti Fulan telah menjual barang kepada suatu kaum sampai batas waktu
tertentu, sehingga Fulan memiliki hutang kepada mereka.

Makna dari ‫القرض‬ adalah : pemberian hutang seseorang berupa mata uang emas
atau perak, biji-bijian, kurma, anggur, dan barang-barang lain yang serupa.

Terminologi
Dain (hutang-piutang) adalah : barang yang menjadi tanggungan seseorang ketika
melakukan transaksi. Barang tersebut dapat berupa mata uang3 atau perkakas4, baik
ditentukan atau tidak5, tetapi harus sebanding dengan barang yang dihutangkan.
Menurut an-Nawawi ra dalam kitab Raudlah at-Thalibin (Hal. 169 dan 172), “Harta
yang menjadi hak seseorang ketika berada dalam tanggungan orang lain adalah berupa ‘ain

(‫ )عين‬dan dain (‫)دين‬. Yang dimaksud ‘ain adalah dua hal, yakni amanat dan jaminan. Dan
yang dimaksud dain (apabila berada dalam tanggungan seseorang) adalah tiga hal, yakni

mutsamman (‫)مثمن‬6, tsaman (‫)ثمن‬7 dan selain keduanya.

2 Lisan al-Arab Vol. 4 hal. 409, 459, 460.


3 Emas dan perak.
4 Seperti pakaian dan perabotan rumah.
5 Rad al-Mukhtar, vol. 5, hal. 152.
6 Barang yang pesan dalam akad salam.
7 Yang dimaksud dengan tsaman adalah mata uang emas dan perak. Lihat Rad al-Mukhtar vol. 5, hal.152.
KEUTAMAAN
MEMBERI HUTANG

Memberi Hutang Lebih Utama dari pada Bersedekah :


Diriwayatkan dari Baridah ra, saya mendengar Rasulullah SAW acapkali bersabda,
”Siapa yang memberi penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan, maka dia
memperoleh pahala sedekah setiap hari sesuai jangka waktu penangguhannya.” Katanya
lagi, “Kemudian saya mendengar Rasulullah SAW acapkali bersabda, “Siapa yang memberi
penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan, maka dia memperoleh pahala sedekah
setiap hari, dua kali lipat dari jangka waktu penangguhannya.” Saya berkata, “Ya
Rasulallah, saya mendengar engkau acapkali bersabda, “Siapa yang memberi penangguhan
hutang bagi orang yang kesulitan, maka dia memperoleh pahala sedekah setiap hari sesuai
jangka waktu penanggguhannya.” Dan saya juga mendengar engkau acapkali bersabda,
“Siapa yang memberi penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan, maka baginya pahala
sedekah setiap hari, dua kali lipat dari jangka waktu penangguhannya.” Kemudian
Rasulullah bersabda pada Baridah ra, “Dia memperoleh pahala sedekah setiap hari apabila
hutang belum jatuh tempo (belum tiba saatnya pengembalian), dan apabila sudah jatuh
tempo (tiba saatnya pengembalian) kemudian dia menangguhkannya, maka baginya pahala
sedekah setiap hari dua kali lipat dari jangka waktu penangguhannya.”8

Memberi Hutang Sama Halnya dengan Membebaskan Budak


Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin ‘Adzib ra, “Saya mendengar Rasulullah SAW
acapkali bersabda: Siapa yang memberi hutang berupa mata uang, susu, atau
menghadiahkan jalan setapak, maka sama halnya dia telah membebaskan budak.”9
Abu Isa at-Tirmidzi mengatakan (As-Sunnah 4/341), “Hadits ini adalah hadits hasan
shahih gharib dari hadits riwayat Abu Ishaq. Dan redaksi hadits yang tertera di atas adalah

riwayat an-Nu’man bin Basyir.10 Makna dari hadits ‫ا‬g‫ من منح منيحة ورق انم‬adalah, “Siapa
yang memberi hutang berupa dirham.”

8 Shahih. HR. Ahmad, vol. 5, hal.360, dan HR. Ibn Majah, hal. 2418.
9 Shahih. HR. Ahmad, vol. 4, hal.275, dan HR. Tirmidzi, hal. 1957.
10 HR. Ahmad, vol. 4, hal.272.
KEUTAMAAN BERTRANSAKSI DENGAN BENAR
DAN PENANGGUHAN HUTANG BAGI ORANG YANG KESULITAN

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berikanlah
penangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”
Ath-Thabari11 mengatakan, “Konteks yang benar dari ayat“ ‫ى‬gg‫رة ال‬gg‫رة فنظ‬gg‫ان ذو عس‬gg‫وان ك‬
‫ ” ميسرة‬bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang berhutang dan telah
masuk agama Islam, mereka mempunyai banyak hutang sebab praktik riba yang mereka
melakukan pada masa jahiliyyah. Islam lalu datang sebelum mereka sempat menyelesaikan
perkara hutang-piutangnya. Allah SWT memerintahkan agar sisa praktik riba yang telah
mereka lakukan dulu tetap dalam haknya masing-masing. Orang yang berhutang hanya
dituntut untuk mengembalikan pokok harta tanpa menyertakan bunganya bila sudah
memiliki kemampuan membayar hutang. Demikianlah ketentuan bagi orang yang pernah
melakukan praktik riba sebelum keislamannya. Islam memerintahkan agar pemberi hutang
menggugurkan bunga hutang yang berasal dari praktik riba yang terjadi sebelum Islam
datang. Jika orang yang berhutang berkelapangan, dia hanya harus mengembalikan pokok
harta tanpa bunganya. Jika dia dalam kesulitan maka pemberi hutang harus memberikan
penangguhan pembayaran hutang baginya.
Mereka adalah orang yang diberi keutamaan oleh Allah sesuai firman-Nya di atas.
Ketentuan Allah tentang penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan dan keringanan
dengan hanya harus membayar pokok hutang tanpa bunga yang berasal dari praktik riba
yang mereka lakukan sebelum masuk Islam, adalah ketentuan wajib bila sudah jatuh tempo
(tiba saatnya pengembalian hutang).
Namun demikian, bila hanya diberi penangguhan sampai berkelapangan, orang yang
mempunyai hutang akan tetap merasa kesulitan, karena hutang yang dia tanggung dan harus
dia bayarkan akan tergantung pada kondisi pemberi hutang. Oleh karena itu, apabila
hartanya habis, pemberi hutang tidak bisa menuntutnya untuk dihukum penjara dan tidak
memperbolehkannya melakukan praktik jual-beli lagi.
Kesulitan tersebut terjadi karena harta orang yang berhutang tidak akan lepas dari
salah satu dari tiga bentuk pemegangan harta, yakni pertama, harta orang yang berhutang

11 Jami’ al-Bayan, vol. 3, hal.112.


dipegang oleh pemberi hutang, kedua, dipegangnya sendiri dan dengan harta tersebut dia
membayarkan hutangnya, dan ketiga, harta dia pegang dengan penguasaan penuh.
Jika harta dia pegang dengan penguasaan secara penuh, maka hutangnya menjadi
gugur apabila hartanya tersebut habis. Inilah pendapat yang seharusnya diambil agar orang
yang mempunyai hutang tidak lagi menemui kesulitan, tetapi tidak ada seorang pun yang
berpendapat seperti ini.
Jika dipegangnya sendiri, maka hutang kepada pemilik harta menjadi gugur apabila
harta tersebut habis sekalipun dia terlambat membayar atau sedang dalam proses pencicilan
hutangnya. Lagi-lagi tidak ada seorang pun yang berpendapat seperti ini.
Titik terang akan muncul bila kita telah mengetahui dua bentuk tanggungan terakhir,
yakni yang kedua dan ketiga. Oleh karena itu, untuk bentuk tanggungan yang pertama,
yakni bila harta orang yang berhutang dipegang oleh pemberi hutang, maka tidak ada alasan
bagi pemberi hutang untuk memegangnya kembali apabila harta tersebut telah habis di
tangannya. Karena harta yang seharusnya dipakai untuk melunasi hutang orang yang
berhutang telah habis. Karena tidak ada alasan bagi pemberi hutang untuk memegang dan
menguasai harta kembali, maka dia tidak berhak untuk menuntut agar orang yang berhutang
dipenjarakan, karena tidak terdapat satu alasan pun untuk memenjarakannya, sebab dia
tidak membuat-buat alasan untuk menghindari pelunasan hutang. Tetapi jika dia lalai
sehingga pelunasan tidak urung dilaksanakan, maka hal ini dapat menjadi alasan
menuntutnya untuk dipenjarakan.
Dalam menakwilkan ayat ‫ون‬ggg‫م تعلم‬ggg‫م ان كنت‬ggg‫ر لك‬ggg‫دقوا خي‬ggg‫ وأن تص‬, Ath-Thabri ra
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah: “Bersedekahlah, karena bersedekah itu
merupakan keutamaan dan perbuatan yang mulia. Karena bersedekah dengan hanya
menuntut pokok harta dari hutang mereka yang tertimpa kesulitan adalah lebih baik bagimu
dari pada menangguhkan pembayaran seluruh hutang (yakni dengan bunganya sekaligus)
sampai dia berkelapangan. Agar dia merasa berkelapangan dengan hanya membayar pokok
hutang. Hal ini apabila kamu mengetahui letak keutamaan sedekah. Allah akan memberikan
banyak pahala bagi orang yang memberi keringanan bagi orang mempunyai hutang
padanya.
ORANG YANG MENANGGUHKAN PEMBAYARAN HUTANG
PADA ORANG YANG KESULITAN, MAKA ALLAH AKAN
MEMBERINYA NAUNGAN PADA HARI YANG TIDAK ADA NAUNGAN
KECUALI NAUNGAN-NYA

Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Walid bin Ubadah bin as-Shamat, “Dalam hidup ini,
saya dan ayah saya menuntut ilmu dari orang-orang Anshar sebelum mereka tiada. Orang
pertama yang kami temui adalah Abu al-Yasar, salah seorang sahabat Rasulullah SAW.
Beliau sedang bersama seorang budaknya yang memegang kumpulan kertas. Abu al-Yasar
kelihatan marah penuh emosi, begitu pula budaknya. Lalu ayah saya berkata padanya,
“Wahai Paman, saya melihat wajahmu kemerah-merahan sebab emosi.” Abu al-Yasar
menanggapi, “Fulan bin Fulan tidak melunasi hutangnya padaku, padahal sudah jatuh
tempo (tiba waktunya melunasi hutang).”
Mendengar hal itu, saya bergegas mendatangi keluarga si Fulan yang dimaksud, “Di
mana Fulan?”, tanyaku pada keluarganya. “Tidak ada”, jawab mereka.
Kemudian seorang anak keluar dengan menuntun kambing berumur empat bulan, “Di
mana ayahmu?” tanyaku padanya, “Beliau bersembunyi di balik tempat duduk setelah
mendengar suaramu.”
”Keluar dan menghadaplah padaku, saya sudah mengetahui keberadaanmu”, kata
saya. Kemudian dia keluar.
“Apa yang membuat kamu bersembunyi dariku?”, tanyaku.
“Demi Allah, saya takut, saya akan menceritakan padamu dan sekali-kali saya tidak
akan berbohong. Demi Allah, saya akan ceritakan, saya akan berbohong padamu sampai
beberapa kali sampai saya sanggup mengganti hutang itu. Saya adalah sahabat Rasuluulah
SAW. Demi Allah, saya sedang tertimpa kesulitan.”
“Demi Allah?”, tanyaku.
“Demi Allah”
“Demi Allah?”, tanyaku lagi.
“Demi Allah”
“Demi Allah?”, tanyaku lagi.
“Demi Allah. Abu al-Yasar datang dengan membawa kertas, lalu dia merobeknya
seraya berkata padaku, “Periksalah, jika kamu mendapati bahwa batas waktumu telah habis,
maka lunasilah. Jika kamu tidak dapat melunasi, maka hutangmu akan kuanggap lunas.
Kemari, lihatlah kedua mataku ini (seraya menunjuk kedua matanya dengan dua jari, atau
kalau tidak salah dia mengatakan, “Lihatlah Dua telingaku ini”), Rasulullah SAW telah
menyadarkan hatiku ini (seraya menunjuk bagian tubuh yang menjadi letak hatinya), beliau
acapkali bersabda, “Siapa yang menangguhkan hutang bagi orang yang kesulitan atau
meringankan nominal pembayarannya, maka Allah akan menempatkan dia dalam naungan-
Nya.12
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qatadah, bahwa Abu Qatadah ra mencari-cari
orang yang mempunyai hutang padanya. Orang itu lari bersembunyi, tetapi kemudian Abu
Qatadah menemukannya. “Saya sedang tertimpa kesulitan”, kata orang itu. “Demi Allah?”,
tanya Abu Qatadah. “Demi Allah”, jawabnya. Kemudian Abu Qatadah berkata, “Saya
mendengar Rasulullah acapkali bersabda, “Siapa yang ingin berbahagia dengan
diselamatkan Allah dari malapetaka hari kiamat, maka hendaklah dia menangguhkan hutang
bagi orang yang kesulitan atau meringankan nominal pembayarannya.”13 Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ad-Darami. Matan hadits riwayat ad-darami dari Abu
Qatadah dari Rasulullah SAW, “Siapa yang memberi keringanan pada orang yang
mempunyai hutang padanya atau bahkan menganggapnya lunas sama sekali, maka dia akan
berada dalam naungan Arsy pada hari kiamat.”14

12 HR. Muslim, hal. 3006, HR. Ibn Majah, hal. 419 dengan lafadz yang lebih ringkas, “Siapa yang ingin
mendapat naungan Allah, maka tangguhkanlah hutang dan ringankanlah nominal pembayaran.”
13 HR. Muslim, hal. 1563.
14 HR. Ahmad dari Yunus dan Affan, vol. 5, hal.300. HR. Ad-Darimi dari Affan bin Muslim, hal.2589.
JAMINAN AMPUNAN DOSA
BAGI ORANG YANG MERINGANKAN NOMINAL
HUTANGNYA ORANG YANG KESULITAN

Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersada, “Para


malaikat telah menyambut ruh seseorang dari generasi terdahulu.” Lalu sahabat bertanya,
“Apakah sebab engkau mengerjakan kebaikan?”, “Tidak”, jawab Rasulullah. “Lalu
kenapa?”. Rasulullah menjawab, “Saya pernah memberi hutang pada seseorang, lalu saya
perintahkan agar pelyan-pelayan saya menangguhkan hutang bagi orang yang kesulitan dan
memaafkan orang yang berkelapangan, karena Allah SWT telah berfirman, “Dan ampunilah
mereka”
Dalam riwayat lain, “Saya pernah menyambut orang yang berkelapangan dan
mengampuni orang yang kesulitan”, kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ampunilah
hambaku”
Dalam riwayat lain, “Saya pernah menangguhkan hutang bagi ornag yang kesulitan
dan merasa puas dengan sedikit sikkah (mata uang). Maka jika demikian, Allah akan
mengampuni orang itu.”
Dalam riwayat lain, “Kebiasaan saya adalah senang memafkan orang. Saya
memudahkan orang yang berkelapangan dan menangguhkan hutang bagi orang yang
kesulitan. Karena Alllah telah berfirman, “Aku lebih berhak dengan ini dari pada kamu.
Maka ampunilah hambaku.”15
Makna lafadz ‫اوز‬gg‫ التج‬dan ‫وز‬gg‫ التج‬adalah : toleran dalam menagih dan melunasi, serta
merasa puas dengan sedikit kekurangan. Sebagaimana sabda Nabi, “Saya merasa puas
dengan sedikit sikkah (mata uang).”
Hadits-hadits menerangkan tentang keutamaan menanngguhkan hutang bagi orang
yang kesulitan atau meringankan nominal hutangnya, baik semua hutang maupun
sebagiannya, keutamaan bertoleran dalam menagih dan melunasi, baik dari orang yang
berkelapangan maupun orang yang kesulitan, dan keutamaan meringankan nominal hutang.
Dan sesungguhnya tidak ada satu pun perbuatan baik yang dianggap rendah, karena hal itu
merupakan penyebab datangnya kebahagiaan an rahmat.

15 HR. Bukhari, hal. 2077, 2078, HR. Muslim, hal. 3969, 3975, HR. An-Nasa’I vol. 7, hal.317, HR. Tirmidzi,
hal. 1307, dan HR. Ibn Majah, hal. 2420.
Lafadz-lafadz yang searti dengan ‫ التجاوز‬antara lain : ‫ حسن التقاضى‬- ‫ الوضيعة‬- ‫النظار‬.16
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa memberi kelapangan adalah termasuk
perbuatan baik –jika disertai dengan keikhlasan kepada Allah- dan dapat melebur perbuatan
jelek.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra, bahwa Rasulullah bersabda, “Allah
memberkati orang yang toleran ketika berjual beli dan menagih hutang.”17
Menurut Al-Hafidh ibn Hajar dalam kitab Al-Fath (4/359). Samhan (‫مح‬gg‫ )الس‬berarti
mudah/lembut (‫هل‬ggg‫)الس‬. Dalam ilmu nahwu, ‫هل‬ggg‫ الس‬adalah sifat musyabbihat (sifat yang
menyerupai isim fa’il) yang menunjukkna arti terus-menerus. Karena itulah, problematika
jual-beli dan hutang harus diulang-ulang.
‫مح‬gggg‫ الس‬juga berarti dermawan (‫واد‬gggg‫)الج‬. Seseorang dikatakan toleran apabila dia
dermawan. Dan sabda Nabi SAW : ‫ى‬gg‫ اذا اقتض‬, artinya : menagih dengan lembut tanpa
pemaksaaan.
Hadits di atas merupakan anjuran bertoleransi ketika bermu’amalah, menggunakan
akhlak yang baik, menghindari persengketaan, tidak menyulitkan ketika menagih, dan
memebri keringanan pada orang yang kesulitan.

16 HR. An-Nawawi, Syarh Muslim, vol. 10, hal.468. Semua riwayat ini dikeluarkan oleh Muslim.
17 HR. Bukhari, hal. 2076, HR. Ahmad, vol. 3, hal.340, HR. Tirmidzi dari Zaid bin Atha’ bin Saib dari Ibn
Munkadir dari Jabir dengan lafadz, “Allah mengampuni seseorang sebelum kamu yang memberi
kemudahan.”. Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah berupa hadits gharib dengan lafadz,
“Sesungguhnya Allah menyukai toleransi dalam jual beli dan menagih hutang.” HR. An-Nasa’I dari Atha’ bin
Farukh dari Utsman ra, Atha’ tidak pernah bertemu Utsman ra, sebagaimana dikatakan Ibn al-Madani dalam
kitab al-‘Ilal. Dengan lafadz, “Allah akan memasukkan ke dalam surga orang yang memberi kemudahan baik
saat menjadi pembeli, penjual, penagih hutang atau yang yang ditagih. HR. Ahmad, vol. 1, hal.58, 67, 70. dan
HR. Ibn Majah, hal. 2202.
ALLAH AKAN MEMBERI KEMUDAHAN DI DUNIA DAN AKHIRAT BAGI
ORANG YANG MEMBERI KEMUDAHAN BAGI ORANG LAIN

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Rasulullah SAW bersabda : Siapa yang
meringankan beban yang menumpa orang mukmin, maka Allah akan meringankannya dari
beban-beban pada hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan pada orang yang kesulitan,
maka Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat kelak. Dan siapa yang
menjaga rahasia orang muslim, maka Allah akan menjaga rahasianya di dunia dan akhirat
kelak. Allah akan menaungi hamba-Nya selama dia membantu saudaranya.”18
Menurut An-Nawawi ra (16/351), “Hadits ini menunjukkan keutamaan membantu
orang muslim, meringankan bebannya, dan menjaga rahasinya. Termasuk dalam kategori
meringankan beban orang muslim adalah orang yang membantu dengan harta dan
jabatannya.

18 Shahih. HR. Muslim, hal. 2073, HR. Abu Daud, hal. 4946, HR. Ibn Majah, hal. 225, HR. Tirmidzi, hal.
1425, 1930, 2945, HR. Bukhari, hal. 2442 dari Ibn Umar dengan lafadz, “Semua umat muslim adalah
bersaudara, tidak saling menganiaya tetapi saling membantu. Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya,
maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang melapangkan saudaranya dari derita kesulitan, maka
Allah akan melapangkannya pula dari kesulitan pada hari kiamat kelak. Dan siapa yang dapat menjaga rahasia
saudaranya, maka Allah akan menjaga rahasianya pada hari kiamat. Muslim juga meriwayatkan matan hadits
ini.
Menurut saya, “Bukhari menolak memasukkan hadits dalam bab ini ke dalam Shahih-nya, sebab dia
khawatir akan kepalsuan hadits karena diriwayatkan oleh al-A’masy. Al-Hafidh dalam al-Fath vol. 1, hal.67
mengatakan, “Hadits itu diriwayatkan Tirmidzi, menurutnya hadits itu adalah hadits hasan, bukan hadits
shahih sebab terdapat kekaburan yang menunjukkan kepalsuan, yakni “diriwayatkan pada saya dari Abu
Shalih” (orang yang meriwayatkan tidak disebut). Tetapi hadits ini bukanlah hadits palsu, sebab Imam Muslim
juga meriwayatkan hadits ini dari Usamah dari al-A’masy (dari Abu Shalih).
MEMOHON KEPADA ALLAH AGAR
DIJAUHKAN DARI BANYAK HUTANG

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, “Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Abu
Thalhah : Carilah seorang pemuda dari pelayan-pelayanku untuk melayaniku. Kemudian
Abu Thalhah membawaku pada Rasulullah, maka aku mengabdi pada beliau. Setiap kali
beliau turun, maka saya mendengar beliau banyak berdoa,
‫اللهم اني اعوذ بك من الهم والحزن والكسل والبخل والجبن وضلع الدين وغلبة الرجال‬
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kecemasan, kesedihan, ketidakberdayaan,
malas, kikir, takut, banyak hutang, dan kungkungan laki-laki”19
Al-Hafidh ibn Hajar berpendapat dalam kitab al-Fath (11/177-178) tentang “‫لع‬gg‫ض‬

‫ ضلع‬.”‫( الدين‬dengan dla’ dan lam fathah) adalah bermakna kecondongan. ‫( ضلع‬dengan lam
fathah ‫ = يضلع‬yadll’u) adalah bermakna harta. Dan yang dimaksud dengan ‫ ضلع الدين‬di sini
adalah hutang yang banyak dan memberatkan. Yakni, orang yang tidak sanggup membayar
hutangnya sekelipun telah mencari bantuan ke mana-mana. Ada ulama alaf yang
mengatakan, “Kecemasan hati karena memiliki hutang hanya terjadi sebab hilangnya
sesuatu yang secara akal tidak akan kembali lagi.”

19 Shahih, HR. Bukhari, hal. 6363.


MEMOHON PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH
DARI HUTANG

Aisyah istri Nabi mengabarkan bahwa ketika Rasulullah SAW shalat, beliau berdo’a:
“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari adzab kubur, fitnah dajjal terlaknat, dan
dari fitnah hidup dan mati. Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari dosa dan hutang”
Pernah seseorang bertanya pada Rasulullah, “Kenapa dengan hutang sehingga engkau
harus memohon perlindungan?”, Rasulullah menjawab, “Jika seseorang mempunyai hutang,
maka dia akan sering berdusta saat berbicara dan ingkar ketika berjanji.”20
Imam an-Nawawi ra berkata dalam kitsb Syarah Muslim (17/32), “Rasulullah
memohon perlindungan dari ‘maghram’, artinya dari hutang. Hal ini didasarkan pada
penjelasan Rasulullah pada hadits-hadits sebelumnya, “…jika seseorang mempunyai
hutang, maka dia akan sering berdusta saat berbicara dan ingkar ketika berjanji.” Karena dia
akan menunda-nunda pengembalian hutang dengan dusta dan ingkar janji. Dan terkadang
hutang dapat membuatnya gelap mata, sehingga mungkin saja dia mati sebelum dapat
melunasi hutangnya, maka dia akan terus menanggung tanggungan hutangnya.”21
Menurut al-Hafidz ibn Hajar dalam kitab al-Fath (2/371), “Lafadz ‘‫رم‬gg‫ ’المغ‬dalam
hadits di atas adalah bermakna hutang. Ada yang mengatakan, ‫رم‬gg‫( غ‬gharima, dengan ra’
kasrah) sama artinya dengan ‫( ادان‬memberi hutang).
Ulama lain berpendapat, “yang dimaksud dengan lafadz tersebut adalah, berhutang
untuk keperluan yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan, kemudian dia tidak dapat
mengembalikannya. Mungkin saja yang dimaksud dengan hadits ini lebih umum dari yang
saya paparkan, sebab Rasulullah juga memohon perlindungan dari kungkungan hutang.”
Al-Qurthubi berpendapat, “‫رم‬gg‫رم = الغ‬gg‫المغ‬. Dalam hadits tersebut, Rasulullah telah
mengingatkan bahaya yang akan terjadi akibat hutang. Wallahu a’alam.

20 Shahih, HR. Bukhari, hal. 832.


21 HR. Muslim beserta penjelasannya, vol. 17, hal.30-31.
RASULULLAH ENGGAN MENSHALATI MAYIT
YANG MASIH MEMILIKI TANGGUNGAN HUTANG

Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ ra, “Kami sedang duduk di sisi Rasul SAW,
tiba-tiba datang iring-iringan jenazah. Mereka lalu berkata pada Rasul,
“Shalatilah mayat ini ya Rasulallah.”
Rasul bertanya,“Apakah mayat ini masih memiliki tanggungan hutang?”,
“Tidak”, jawab mereka.
“Apakah dia meninggalkan warisan?”, tanya Rasul.
“Tidak”, jawab mereka. Maka Rasul bersedia menshalatinya. Taka berapa lama
kemudian, datang iring-irngan jenazah lain, lalu mereka berkata pada Rasul, “Shalatilah
mayat ini ya Rasulallah.”
“Apakah mayat ini masih mempunyai tanggungan hutang?”, tanya Rasul.
“Ya”, jawab mereka.
“Apakah dia meninggalkan warisan?”, tanya Rasul lagi.
“Tiga dinar. Maka shalatilah mayat ini.”
“Kalian saja yang menshalati,” lalu Abu Qatadah berkata, “Shalatilah mayat ini ya
Rasulallah, saya yang akan menanggung hutangnya,” maka Rasul bersedia menshalatinya.22
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Apabila mayat seseorang yang masih memiliki
tanggungan hutang dihadapkan pada Rasulullah, maka Rasul akan bertanya, “Apakah dia
mempunyai peninggalan harta yang dapat melunasi hutangnya?” Jika dijawab ‘iya’, maka
rasul bersedia menshalatinya. Dan jika dijawab ‘tidak’, maka beliau akan bersabda pada
kaum muslimin yang hadir, “Kalian saja yang menshalatinya.” Tetapi setelah Allah
membukakan hati beliau, maka Beliau berkata, “Aku lebih berhak atas jiwa orang-orang
mukmin, maka apabila ada dari orang mukmin yang meninggal dan masih mempunyai
tanggungan hutang, maka akulah yang akan melunasinya. Dan apabila dia meninggalkan
harta warisan, maka harta itu menjadi hak ahli warisnya.”23
Menurut Imam an-nawawi ra dalam kitab Syarah Muslim (11/63), “Hadits yang
menerangkan bahwa Nabi SAW pada awalnya enggan menshalati mayit yang masih
22 Shahih, HR. Bukhari, hal. 2289-2295. HR. Ahmad, vol. 3, hal.320, HR. An-Nasai, vol. 4, hal.65, dan sanad
at-Thayalusi, hal.1673 dari Jabir dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, Nabi SAW menemuinya pada
keesokan hari, “Apa yang terjadi dengan Dinaran?”, “Ya Rasulullah, dia meninggal kemarin.” Lalu pada
keesokan harinya, “Ya Rasulullah, saya telah melunasi hutangnya.” Rasul kemudian bersabda, “Sekarang
kulitnya telah dingin (tidak mendapat siksa).”
23 Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, hal. 2298, HR. Muslim, hal. 4133.
memiliki tanggungan hutang dan tidak meninggalkna harta yang dapat melunasi hutangnya,
adalah untuk mengingatkan manusia agar mereka segera melunasi hutang semasa hidupnya
agar terbebas dari masalah yang ditimbulkannya dan agar Rasul bersedia menshalatinya.
Tetapi setelah Allah membukakan hati beliau, maka Rasul kembali bersedia menshalati dan
menanggung pelunasan hutang mereka jika mereka tidak meninggalkan warisan yang dapat
digunakan untuk melunasi hutangnya.”
BERHATI-HATI TERHADAP KELALAIAN
TIDAK MELUNASI HUTANG

Diriwayatkan dari Tsaubah ra bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Siapa yang


meninggal dan terbebas dari tiga perkara, maka dia masuk surga. Tiga perkara itu yakni
dosa besar, hutang, dan dendam.”24
Muhammad bin Abdullah bin Jahsy ra meriwayatkan, “Kami duduk-duduk di halaman
masjid ketika mayat-mayat diwudlu’kan, sedangkan Rasulullah mendongak dan melihat ke
langit, kemudian tiba-tiba beliau menundukkan pandangannya dan meletakkan tangan di
dahinya seraya berkata, “Subhanallah, subhanallah (maha suci Allah), suara keras apa yang
turun?” Kemudian setelahnya kami hanya berdiam diri sehari- semalam sambil berharap-
harap cemas sampai fajar menyingsing. Kemudian saya memberanikan diri untuk bertanya
pada Rasulullah SAW, “Suara keras apakah yang turun ya Rasulallah?” Beliau menjawab,
“Tentang hutang. Demi Dzat yang diriku berada dalam genggamannya, andaikan seseorang
gugur di jalan Allah lalu hidup lagi, kemudian dia gugur lagi di jalan Allah lalu hidup lagi,
sedngkan dia masih memilki tanggungan hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai
dia melunasi hutangnya.”25
Dan diriwayatkan dari Abu Hurarirah ra, “Rasulullah SAW bersabda: Jiwa seorang
mukmin terbelenggu selama dia masih memiliki tanggungan hutang.”26

24 Shahih. HR. Ahmad, vol. 5, hal. 276, HR. Tirmidzi, hal. 1573, HR. Ibn Majah, hal. 2412, HR. Baihaqi, vol.
5, hal. 355, HR. Al-Hakim, vol. 2, hal. 26.
25 Shahih beserta semua turunannya. HR. Ahmad, vol. 5, hal. 389, HR. An-Nasai, hal. 31517, HR. Hakim,
vol. 2, hal. 24. menurut Hakim, sanad hadits ini shahih, dan menurut ad-Dzahabi hadits ini shahih. Menurut
saya: pusat hadits ini berada pada Abu Katsir Maula Muhammad bin Jahsy. Dalam kitab Mujtama’ vol. 4, hal.
127, para Imam menyatakan bahwa hanya perkataan al-Haitsami saja yang yang tidak jelas. Dalam at-Taqrib,
al-Hafidh mengatakan, “Dia dapat dipercaya, perawi bagian atas, yakni Bin Abdurrahman.”
26 Shahih beserta semua turunannya. HR. Ahmad, vol. 1, hal. 440, 475, 508, HR. Tirmidzi, hal. 1078, 2140.
HR. Hakim, vol. 2, hal.26-27, HR. al-Baihaqi, vol. 6, hal. 49-67. Dalam riwayat dari Saad bin Ibrahim dari
Abu Salamah, tanpa menyebut Umar bin Salamah. Menurut para penghafal hadits, sanad yang menyebutkan
Umar bin Abu Salamah adalah lebih benar.
SEMUA DOSA SYUHADA’ DIAMPUNI
KECUALI HUTANGNYA

Abu Qatadah ra pernah membicarakan Rasulullah SAW, bahwa Rasul pernah berdiri
di hadapan para sahabat seraya bersabda, “Sesungguhnya berjihad di jalan Allah dan
beriman kepada-Nya merupakan amal yang paling utama.” Salah seorang sahabat berdiri
lalu bertanya, “Ya Rasulallah, bagaimana menurutmu jika saya gugur di jalan Allah, apakah
dosa-dosaku akan terampuni?” Rasulullah menjawab, “Benar, dosa-dosamu akan terampuni
jika kamu gugur di jalan Allah, dan kamu sebelumnya juga sabar dan berbuat baik, serta
tidak lari dari tanggung jawab.” Lalu Rasulullah balik bertanya, “Coba ulangi apa yang
kamu tanyakan.” Sahabat tersebut menjawab, “Bagaimana menurutmu jika saya gugur di
jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terampuni?” Rasulullah kembali menjawab, “Iya, jika
sebelumnya kamu sabar dan berbuat baik serta tidak lari menghindar dari tanggung jawab,
kecuali hutang, karena Jibril as baru saja mengatakan padaku demikian.”27
Abdullah bin Amr bin al-‘ash ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Semua
dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.”28
Dan dalam riwayat Abdullah bin Amr bin al-‘ash yang lain, “Semua dosa orang yang
gugur di jalan Allah akan terampuni kecuali hutang”29
Menurut Imam an-Nawawi ra dalam kitab Syarah Muslim (13/32), lafadz ‫دين‬gg‫ال ال‬
dalam hadits tersebut menunjukkan tanbih (peringatan) atas semua hak-hak adami (yang
berkaitan dengan interaksi sesama), dan menunjukkan bahwa jihad, mati syahid dan
perbuatan-perbuatan baik yang lain tidak bisa menggungurkan hak adami, tetapi hanya bisa
mengguhurkan haqqullah (hak yang berkaitan dengan Tuhan).
Menurut saya, hadits ini, sebagaimana hadits yang menerangkan tentang orang yang
bangkrut (muflis), menunjukkan bahwa, semua hak-hak adami jika tidak diselesaikan
kepada yang bersangkutan ketika masih hidup di dunia dan meminta maaf kepadanya, maka
di akhirat nanti, amal kebaikannya diberikan kepada orang yang bersangkutan, atau jika
tidak mencukupi, maka amal jelek orang yang bersangkutan akan ditimpakan kepadanya.

27 Shahih. HR. Muslim, hal. 4857, HR. an-Nasai, vol. 6, hal. 33, HR. Tirmidzi, hal.1712.
28 Shahih. HR. Muslim, hal. 4860.
29 HR. Muslim, hal. 4861.
BALASAN DI DUNIA DAN AKHIRAT
BAGI ORANG YANG TIDAK MELUNASI HUTANG

Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi SAW, “Siapa yang mengambil harta
seseorang dan dia bermaksud mengembalikannya, maka Allah akan mengembalikan
hartanya yang hilang. Sedangkan siapa yang mengambinya dengan maksud
melenyapkannya, maka Allah juga akan melenyapkan harta.”30
Dalam kitab al-Fath (5/66), Ibn Hajar mengatakan, “Lafadz ‫ه ا‬gg‫ أتلف‬dalam hadits
tersebut secara lahir bermakna pelenyapan yang terjadi di dunia, dalam hal ini, dalam
dirinya atau kehidupannya. Hal ini termasuk salah satu dari tanda kenabian, yakni ketika
kami melihat beliau menyaksikan orang yang sibuk mengurus salah satu dari dua urusan.
Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‫ التلف‬adalah adzab akhirat.
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya,
“Tahukah kamu siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami,
orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki dirham dan harta benda.” Lalu
Rasulullah bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada
hari kiamat dengan membawa amal shalat, puasa, dan zakatnya. Tetapi di dunia dulu dia
pernah mencaci-maki orang, menuduh orang bezina, makan harta orang tanpa hak, pernah
membunuh dan memukul orang. Maka amal-amal kebaikannya dibagi-bagi untuk diberikan
kepada orang yang pernah didhaliminya dulu, maka jika amal kebaikannya telah habis
sebelum mencukupi sebagai ganti, maka dosa-dosa mereka ditimpakan kepadanya lalu dia
dicampakkan ke dalam neraka.”31
Dalam kitab Syarh Muslim (16/351) Imam an-Nawawi berpendapat bahwa makna
hadits di atas adalah:
Orang bangkrut yang diterangkan Nabi dalam haditas di atas adalah hakikat orang
bangkrut yang sesungguhnya. Sedangkan orang yang mempunyai sedikit harta atau bahkan
tidak sama sekali, maka dia disebut juga dengan muflis (orang yang bangkrut), tetapi bukan
arti muflis yang sesungguhnya, karena muflis dalam arti demikian akan lepas dan bebas
dengan kematiannya. Dan mungkin juga dia terbebas dari kebangkrutan sebab kekayaan
yang dia peroleh kemudian dalam hidupnya. Maksud muflis yang diterangkan dalam hadits

30 Shahih. HR. Bukhari, hal. 2387, HR. Ahmad, vol. 2, hadits ke-4143631, baris kedua adalah HR. Ibn
Majah, hal. 2411, HR. al-Baihaqi, vol. 5, hal. 354.
31 Shahih: HR. Muslim, hal. 6522, HR. Tirmidzi, hal. 2418.
di atas adalah orang yang celaka secelaka-celakanya dan binasa sebianasa-binasanya sebab
amal kebaikannya dibuat untuk melunasi tanggungan hutangnya, dan jika amal kebaikannya
telah habis sedangkan hutangnya belum terlunasi, maka dosa-dosa mereka (orang yang
ditangguhkan pelunasan hutangnya) dirimpakan kepadanya, lalu dia dicampakkan ke dalam
neraka, maka sempurnalah kerugian, kebinasaan, dan kebangkrutannya.
BALASAN BAGI ORANG YANG BERKEMAMPUAN MELUNASI HUTANG
TETAPI TIDAK MELAKSANAKANNYA

Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Nabi SAW, “Penangguhan pembayaran hutang


bagi orang yang berkemampuan adalah dhalim. Jika salah seorang dari kamu diberi
penangguhan yang lama, maka patuhilah.”32
Dalam kitab Syarh Muslim (10/471), an-Nawawi berpendapat, “Menurut al-Qadli dan
ulama lainnya, maksud lafadz ‫ مطل الغني ظلم‬pada hadits di atas adalah: al-Mathal bermakna
menangguhkan pembayaran hutang yang telah jatuh tempo (tiba waktunya
mengembalikan). Maka penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang telah
berkemampuan adalah dhalim dan haram.
Menurut saya, yang dimaksud dengan ‫ الغني‬di sini adalah orang yang berkemampuan
membayar hutang, sekalipun dia dalam keadaan fakir.
Asy-Syarid meriwayatkan dari Rasulullah SAW, “Penannguhan pembayaran hutang
bagi orang yang berkemampuan dapat membuat harga dirinya jatuh dan dihukum.”33
Imam at-Thahawi dalam kitabnya Musykilul Atsar (2/410) mengatakan, “Suatu
komunitas telah menetapkan hukuman yang pantas dia peroleh, yakni haknya dalam hutang
tersebut ditahan.”
Menurut pendapat yang diambil dari Muhammad bin al-Hasan, hukuman itu adalah
dia terus menanggung hutang itu. Kemudian beliau menambahkan, “Menurut kami, yang
lebih berhak menahannya dari orang yang berhak adalah hakim. Sebab, jika orang yang
mempunyai hutang terus dibebani penannggungan hutang, maka dia akan disibukkan oleh
kepentingannya sendiri. Para ulama juga sepakat bahwa apabila hakim meminta penahanan
hak atas hutang itu, maka hal itu adalah suatu keputusan yang wajib ditaati. Jika demikian,
maka menahan hak atas hutang menjadi lebih utama dari pada menjadikan hutang terus-
menerus menjadi tanggungannya.
Imam Bukhari dalam kitabnya juga meriwayatkan hadits di atas dari Sufyan. Bahwa
32 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2288, HR. Muslim, hal. 3978, HR. Abu Daud, hal. 3345, HR. An-Nasai,
vol. 7, hal. 317.
33 Hasan: HR. An-Nasai. Vol. 7, hal. 316, 317. HR. Ahmad, vol. 4, hal. 222-388-389, HR. Abu Daud, hal.
3628, HR. Ibn Majah, hal. 3427, Imam Bukhari masih menggantungkan hadits ini, hal. 7515, al-Fath dan at-
Thahawi (Musykil al-Atsar, hadits ke-9500949) HR. Ibn Hubban, hal. 5089, HR. al-Hakim, vol. 4, hal. 102,
HR. Al-Baihaqi, vol. 7, hal. 51 Muhammad bin Maimun, “Ibn Hubban termasuk perawi yang tsiqah. Abu
Hatim, “Sekelompok orang telah meriwayatkan hadits ini, para perawinya triqah dan baik. Al-Hafidh dalam
kitan at-Taqrib, “Riwayat hadits bisa diterima, karena sanadnya hasan (Al-Fath 5/76). Ibn Hubban, al-Hakim
dan ad-Dzahabi menganggap shahih sanad hadits ini.
yang dimaksud dengan lafadaz ‫ عرضه‬adalah perkataan kepada orang yang berkemampuan

itu : ‫ي‬gg‫( مطلتن‬kamu menangguhkan pembayaran hutangmu pada saya). Dan lafadz ‫وبته‬gg‫عق‬

bermakna : ‫( الحبس‬penahanan hak atas hutang).


ORANG YANG PALING BAIK ADALAH ORANG YANG MELUNASI
HUTANGNYA DENGAN CARA YANG BAIK

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Nabi pernah mempunyai hutang seekor unta
berumur satu tahun pada seseorang. Kemudian orang itu datang menagih hutang pada
Rasul. “Bayarlah hutangku padanya”, kata Rasul pada sahabat. Para sahabat lalu mencari
unta yang dimaksud, tetapai mereka hanya menemukan unta yang umurnya lebih tua.
“Berikan saja unta itu” perintah Rasul pada sahabat. “Engkau telah melunasi hutang
padaku, mudah-mudahan Allah menyempurnakan engkau ya Rasul.” Lalu Rasul bersabda,
“Seseungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang peling baik
dalam melunasi hutangnya.”34
Dalam riwayat lain, “Maka sesungguhnya hamba Allah yang paling baik adalah yang
paling baik dalam melunasi hutangnya.”35
Riwayat lain, “Bahwa orang yang paling baik adalah orang yang paling baik dalam
melunasi hutangnya.”
Riwayat lain, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang membayar
hutangnya dengan baik.”
An-Nawawi ra (11/309) berepndapat, “Dalam hadits-hadits tersebut diterangkan
bahwa, sunat bagi orang yang mempunyai hutang seperti pinjam-meminjam misalnya,
untuk mengembalikannya dengan cara yang paling baik. Sikap ini merupakan sunah Nabi
dan termasuk dalam prilaku yang mulia. Dan sesungguhnya pemanfaatan barang yang
dipinjam sampai melebihi batas pemanfaatan yang sewajarnya, maka hal itu dilarang.
Menurut al-Baghwi dalam kitab Syarh Sunnah (4/309), “Hadits di atas merupakan
bukti/dalil bahwa orang yang meminjam suatu barang lalu mengembalikannya dengan cara
yang baik atau melebihkannya (tanpa ada syarat agar dikembalikan lebih sebelumnya),
maka dia dianggap orang yang baik dan barang yang dikembalikan tersebut halal bagi orang
yang meminjaminya.

34 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2393, HR. Muslim, hal. 4084.
35 HR. Muslim dan hadits-hadits di bawahnya, hal. 4084-4088. HR. Abu Daud, hal. 3346, Hr. An-Nasaivol.
17, hal. 291, HR. Ahmad, vol. 2, hal. 393, 509, HR. Tirmidzi, hal. 1318, HR. Ibn Majah, hal. 2285, HR. Al-
Bughawi, vol. 4, hal. 343, HR. Al-Baihaqi, vol. 5, hal. 351, HR, Al-Hakim, vol. 2 hal. 130.
RASULULLAH MENGASIHI ORANG YANG
MEMILIKI TANGGUNGAN HUTANG

Aisyah ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW, “Siapa dari umatku yang
memilki tanggungan hutang dan dia bekerja keras agar dapat melunasi hutangnya tetapi
kemudian mati sebelum dapat melunasi hutangnya, mka sayalah walinya.”36
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa seringkali ketika seorang mukmin
meninggal pada masa Rasulullah dan dia masih memiliki tanggungan hutang, maka di
sisinya Rasul bertanya pada sahabat, “Apakah dia meninggalkan harta yang dapat
digunakan untuk melunasi hutangnya?” Jika sahabat mejawab ‘Ya’, maka Rasul bersedia
menshalatinya, dan jika dijawab ‘Tidak’, maka Rasul berkata, “Shalatilah sendiri mayat
ini.” Tetapi setelah Allah membukakan hati beliau dengan selapang-lapangnya, maka Rasul
bersabda, “Aku lebih berhak atas jiwa orang-orang mukmin, maka apabila ada dari orang
mukmin yang meninggal dan masih mempunyai tanggungan hutang, maka akulah yang
akan melunasinya. Dan apabila dia meninggalkan harta warisan, maka harta itu menjadi hak
ahli warisnya.”37

36 Shahih. HR. Ahmad, vol. 7, hal. 22. Al-Haitsami, “Para perawi dalam riwayat Ahmad adalah shahih,
Majma’ az-Zawaid, vol. 4, hal. 132. al-Mundziri juga mengatakan hal serupa dalam at-Targhib, vol. 2, hal.
598. Jabir ra secara makna, hal. 2416. HR. Abu Daud, hal. 3343 dari Jabir seperti riwayat Abu Hurairah dari
jalur Abdurrazzaq dari Muammar dari az-Zuhri dari Abu Salamah dari Jabir, al-Mushannaf, hal. 1162.
37 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2298, HR. Muslim, hal. 1618, HR. Tirmidzi, hal. 170, HR. Ibn Majah,
hal. 2415.
DOA AGAR DIBERI KEMAMPUAN
MELUNASI HUTANG

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, “Rasulullah SAW pernah bersabda pada kami.
Apabila kami beranjak tidur, beliau memerintahkan agar kami membaca do’a:
“Ya Allah tuhan penguasa langit dan bumi, penguasa Arasy yang agung, Tuhan kami dan
Tuhan segala sesuatu. Pemberi biji-bijian dan makanan, yang menurunkan kitab taurat, injil,
dan al-Qur’an. Aku berlindung kepadamu dari segala keburukan yang hanya engkau yang
dapat mencegahnya. Ya Allah, tiada permulaan bagimu dan tiada sesuatu pun yang
mendahuluimu. Tiada akhir bagimu dan tiada pula sesuatu pun setelahmu. Engkaulah yang
tampak dan tiada sesuatu pun di atasmu. Engkaulah yang tersembunyi dan tiada sesuatu pun
di bawahmu. Berilah kami kemampuan untuk membayar hutang dan hindarkanlah kami dari
kefakiran.”38
Dalam kitab Syarh Muslim (17/38) Imam Nawawi menerangkan lafadz ‫اقض عنا الدين‬

dalam hadits di atas. Bahwa kemungkinan yang dimaksud dengan ‫ الدين‬di sini adalah hak-
hak Allah dan hak-hak semua hamba-Nya.
Ibnu Abbas meriwayatkan, “Ketika tertimpa kesulitan, Rasulullah SAW berkata, “

“Tiada Tuhan selain Allah dzat maha agung dan pengasih. Tiada Tuhan selain Allah Dzat
penguasa langit dan bumi, Tuhan Arsy yang agung.”39
Al-Hafidz dalam kitabnya al-Fath (11/150) mengatakan, “Yang dimaksud dengan
kesulitan pada hadits di atas adalah : sesuatu yang menimpa seseorang secara tiba-tiba dan
membuatnya sedih dan berkeluh-kesah. Menurut saya, kesulitan yang disebut pada hadits di
atas adalah sesuatu yang lumrah terjadi pada seseorang yang mempunyai hutang dan tidak
dapat melunasinya.

38 Shahih: HR. Muslim, hal. 2713. yakni dari jalur Sahil dari ayahnya dari Abu Hurairah. Tidak ada yang
berbeda dengan riwayat Sahil. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu
Hurairah, berbeda dengan riwayat Sahil. Al-A’masy mengatakan, “Fatimah puteri Nabi datang bertanya pada
beliau. Hadits Fatimah yang dibuat pegangan adalah hadits lain riwayat Muslim dari jalur Sahil dari ayahnya
dari Abu Hurairah. Lalu Nabi SAW bersabda pada Fatimah, “Bertasbihlah sebanyak 33 kali, bertahmidlah
sebanyak 33 kali…”. Lih. Al-Ilal-nya ad-Darqathni, vol. 10, hal. 209. HR. Abu Daud, hal. 5051, HR.
Tirmidzi, hal. 3400, Ibn Majah, hal. 3831.
39 Muttafaq Alaih: HR. Bukhari, hal. 6345, HR. Muslim, hal. 4730, HR. Tirmidzi, hal. 3435, dan HR. Ibn
Majah, hal. 3883.
ORANG YANG BERMAKSUD MEMBAYAR HUTANG
MAKA ALLAH AKAN MEMENUHI MAKSUDNYA

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW bersabda, “Barang siapa
berhutang pada seseorang dengan maksud ingin membayarkannya, maka Allah akan
memenuhi maksudnya. Tetapi apabila dia berhutang dengan maksud melenyapkannya,
maka Allah juga akan melenyapkan hartanya.”40
Dalam kitab al-Fath (5/66) al-Hafidz ibn Hajar berpendapat, “Jika seseorang
bermaksud untuk membayar hutang sesuai perintah-Nya, maka hadits di atas telah
menerangkan bahwa Allah akan memenuhi maksudnya tersebut. Baik di dunia maupun
kelak di akhirat dengan jaminan keselamatan.”
Menurut pendapat Ibn Bathal, “Hadits tersebut menekankan pada manusia agar tidak
mengambil harta milik orang lain tanpa hak, anjuran agar santun dalam interaksi hutang-
piutang, dan menerangkan bahwa balasan yang akan diperoleh sesuai dengan amal yang
diperbuat.”
Diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah, bahwa Maimunah istri
Rasulullah SAW pernah berhutang pada seseorang lalau ditanya, “Wahai Ummul
Mukminin, kenapa kamu berhutang padahal kamu tidak berkemampuan untuk
membayarnya?
Maimunah menjawab, “Saya mendengar Rasulullah acap kali bersabda: siapa yang
berhutang dengan maksud ingin mengembalikannya kelak, maka Allah SWT akan
memberinya jalan keluar.”41

40 Shahih: HR. Bikhari, hal. 2387, HR. Ibn Majah, hal. 2387 dari jalur Abdul Aziz bin Muhammad dari Tsaur
dengan lafadz, “Siapa yang mengambil harta dengan maksud melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan
hartanya pula.” HR. Ahmad, vol. 2, hal. 316, 417, HR. Al-Baihaqi, vol. 5, hal. 354, HR. Bughawi dalam as-
Sunnah, hal. 2139.
41 Shahih beserta turunan lafadznya: HR. An-Nasai, vol. 7, hal. 315, HR. Ibn Majah, hal. 2408 dari Hudzaifah
dari Imran dari Ummul Mukminin. Hudzifah di sini tidak diketahui.
ALLAH MEMBERKATI HARTA SESEORANG YANG
SALEH DAN BERSUNGGUH-SUNGGUH BEKERJA
DEMI MEMBAYAR HUTANGNYA

Abdullah bin Zubair ra meriwayatkan, “Pada hari berlangsungnya perang jamal,


ayahku berdiri tegak seraya memanggilku, saya kemudian mendekat di sisinya. Ia pun
berketa padaku, “Wahai anakku, tiada yang terbunuh pada hari ini kecuali orang yang
berbuat aniaya dan teraniaya. Saya sungguh yakin bahwa pada hari ini saya akan
membunuh seorang yang teraniaya. Menyangkut hutangku, saya berkeinginan kuat untuk
menyisakan harta kita untuk melunasinya.” Ayahku kemudian melanjutkan, “Anakku, aku
wasiatkan sepertiga harta untuk membayar hutang. Sepertiganya untuk Bani (keluarga
besar) Abdillah bin Zubair dan sepertiganya lagi. Jika ada sisa dari harta yang digunakan
untuk membayar hutang, maka sepertiganya untuk ayahmu.
Hisyam mengisahkan, “Dua anak Abdullah yakni Khabib dan Ubbad juga menjadi
bagian dari bani Zubair. Pada waktu itu, dia memilki sembilan anak laki-laki dan sembilan
anak perempuan. “Maka dia kemudian mewasiatkan agar saya membayar hutangnya dengan
harta yang dia tinggalkan”, kata Abdullah. Kemudian ayahku (Zubair) menambahkan,
“Anakku, jika kamu tidak sanggup melaksanakan sesuatu dari yang telah saya wasiatkan,
maka minta tolonglah pada tuanku.”
Abdullah bertanya, “Demi Allah, sungguh saya tidak tahu apa yang engkau
maksudkan dengan tuanmu? “Allah”, jawab Zubair.
Abdullah menambahkan, “Demi Allah, setiap kali saya merasa kesulitan dalam
mengurusi hutangnya, maka saya berdo’a, “Wahai tuannya Zubair, lunsilah hutang-hutang
Zubair, maka semoga Dia mengabulkannya.”
Hisyam mengisahkan, “Kemudian terdengar kabar bahwa Zubair terbunuh. Dia tidak
meninggalkan emas dan perak, tetapi hanya sepetak tanah berupa hutan, 21 rumah di
Madinah, dua rumah di Basrah, sebuah rumah di Kufah, dan sebuahnya lagi di Mesir.”
Abdullah, “Kronologi kenapa Zubair sampai mempunyai hutang adalah, dulu pernah
seseorang datang menitipkan harta padanya.”
Zubair, “Bukan titipan, tapi hutang tanpa bunga. Akan tetapi saya khawatir tidak bisa
menjaganya, apalagi tidak ada orang yang dipercaya dapat menjaganya, tidak ada penarikan
pajak dan apapun kecuali hanya situasi peperangan bersama Nabi SAW, Abu Bakar, Umar,
dan Utsman.”
Abdullah bin Zubair, “Kemudian saya mulai menghitungnya. Ternyata hutangnya
berjumlah 1.200.000.”
Kemudian Hakim bin Hazm menemui Abdullah bin Zubair, “Wahai putra saudaraku,
berapa banyak hutang yang menjadi tanggungan saudaraku?”
Abdullah berusaha menutupi hutang yang sebenarnya, “Hanya 100.000.”
Hakim bin Hazm, “Demi Allah, harta yang kamu miliki tidak lebih dari sepersembilan
dari hutang itu.”
Abdullah, “Bagaimana jika saya katakan bahwa hutangnya adalah sebanyak
1.200.000?”
Hakim bin Hazm, “Saya yakin kalian tidak cukup berkemampuan melunasinya. Jika
ada masalah mengenao hutang kalian, minta tolonglah padaku.”
Hisyam mengisahkan, “Dulu Zubair pernah membeli sebidang hutan dengan harga
170.000. tetapi Abdullah kemudian menjualnya dengan harga 1.600.000.”
Abdullah kemudian berdiri seraya berkata, “Siapa yang merasa mempunyai hak atas
harta Zubair, maka datanglah kemari, saya akan membayarnya dengan sebidang tanah
hutan.”
Lalu Abdullah bin Ja’far yang memiliki hak atas harta Zubair sebanyak 400.000
datang seraya berkata pada Abdullah bin Zubair, “Jika kamu mau, saya akan tinggalkan
sebidang tanah hutan itu untukmu”
‘Tidak perlu,” jawab Abdullah bin Zubair.
Abdullah bin Ja’far, “Jika kamu mau, kamu boleh memanfaatkan hutan tersebut
sampai batas waktu yang kamu mau.”
“Tidak perlu juga,” jawab Abdullah bin Zubair.
Abdullah bin Ja’far, “Kalau demikian, bagilah hutan tersebut untukku sebagian”
“Baiklah, untukmu dari batas ini sampai ini,” jawab Abdullah bin Zubair.
Hisyam mengisahkan, “Kemudian Abdullah bin Zubair menjual hutan yang menjadi
bagiannya, membayar hutangnya, dan memberikan bagian yang menjadi milik Abdullah bin
Ja’far. Sisa dari tanah hutan tersebut seluas 4.5 depa untuk kemudian ditawarkan kepada
Mu’awiyah. Di sisi Mu’awiyah pada waktu itu hadir Amr bin Utsman, Mundzir bin Zubair
dan Ibn Zam’ah.
Mu’awiyah lalu bertanya pada Abdullah bin Zubair, “Seharga berapa kamu jual hutan
milikmu?”
“100.000 per depa”, jawab Abdullah bin Zubair.
“Berapa sisanya?”, tanya Mu’awiyah kembali.
“4.5 depa.” Jawabnya.
Lalu Mundzir bin Zubair berkata, “Saya membeli satu depa dengan harga 100.000”
Kemudian Amr bin Utsman, “Saya juga membeli satu depa dengan harga 100.000.”
Kemudian Ibnu Zam’ah, “Saya juga membeli satu depa dengan harga 100.000.”
Mu’awiyah bertanya lagi, “Lalu berapa sisanya?”
“1.5 depa”, jawab Abdullah bin Zubair.
“Saya membeli 1.5 depa itu dengan harga 150.000”, kata Mu’awiyah.
Hisyam melanjutkan kisahnya, “Kemudian Abdulah bin Ja’far juga menjual
bagiannya kepada Mu’awiyah dengan harga 600.000.”
Setelah Abdullah bin Zubair selesai membayar hutang, keluarga Zubair berkata,
“Bagilah harta warisan untuk masing-masing kami.”
Tetapi Abdullah bin Zubair tidak berkenan, “Tidak, demi Allah, saya tidak akan
membagi harta warisan itu untuk masing-masing kalian sampai saya mengumumkan pada
tiap-tiap musim selama empat puluh tahun, “Perhatikanlah, barang siapa memiliki hak
hutang atas harta Zubair, datanglah kepadaku, saya akan membayarnya.”
Hisyam melanjutkan, “Maka sepanjang tahun pada awal pergantian musim Abdullah
bin Zubair mengumumkan hal yang sama. Setelah lewat masa empat puluh tahun, barulah
dia membagi harta warisan tersebut pada masing-masing anggota keluarga Zubair yang
ditinggalkan.
Zubair memiliki empat anak perempuan, mereka mendapat bagian sepertiga. Setelah
dibagi, masing-masing mereka mendapatkan 1.200.000” 42

42 Shahih, HR. Bukhari, hal. 3129.


WAJIB MEMBAYAR HUTANG

Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat.
Al-Qurtubi ra dalam kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (5/258) mengatakan, “Ibn
Abbas berkata: Allah tidak akan memberikan toleransi menyangkut pelaksanaan amanat,
baik bagi orang yang sedang tertimpa kesulitan maupun orang yang berkelapangan. 43 Saya
(al-Qurtubi) mengaskan: ini adalah ijma’ ulama. Mereka bersepakat bahwa amanat harus
disampaikan pada yang berhak menerimanya, baik mereka orang baik maupun sering
berbuat dosa.”
Dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Ibn Katsir mengatakan, “Allah SAW
mengabarkan bahwa Dia memerintahkan agar amanat segera disampaikan pada yang berhak
menerimanya. Dalam sebuah hadits hasan, Samurah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Serahkanlah amanat pada orang yang dapat dipercaya danjanganlah kamu
membalas orang yang pernah berkhianat padamu dengan berkhianat pula.” 44
Ayat tersebut di atas mencakup semua amanat yang wajib dilaksanakan oleh manusia.
Yakni berupa hak-hak Allah yang dibebankan kepada hambanya seperti shalat, zakat,
puasa, kafarat, nadzar dan sebagainya yang memang sudah menjadi tanggungan seorang
hamba dan tidak dapat ditolaknya. Juga berupa hak-hak yang terjadi di kalangan manusia,
seperti barang-barang titipan yang tidak ada saksi dan sebaginya yang memang sudah
menjadi amanat yang harus dia tunaikan. Maka Allah memerintahkan agar menunaikannya.
43 HR. At-Thabari, vol. 5, hal. 146 dengan sanad dlaif dari jalur al-‘aufi dari Ibn Abbas. Al-‘aufi adalah
perawi yang lemah, namanya hanya dicantumkan sesekali dalam hadits.
44 HR. Ibn Jarir dalam kitab tafsirnya, vol. 5, hal. 146 dari al-Hasan sebagai hadits mursal, HR. Ahmad, al-
Musnad, vol. 3, hal. 114 dari salah seorang sahabat Nabi SAW. HR. Abu Daudm hal. 3534, 3535 dari jalur
Thalq bin Ghanam dari Syarik Waqis bin Abu ar-Rabi’ dari Hushain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah. HR.
Tirmidzi, hal. 1264 dari jalur yang sama, “Haits hasan gharib. HR. Ad-Darqathni, hal. 2912 dari Yusuf bin
Ya’qub dari seseorang dari Ubay bin Ka’ab, HR. Anas bin Malik, hal. 2914 dari jalur Ayyub bin Suwaid dari
Ibn Syaudzab. Mengenai hadits ini, para ahli hadits mengatakan, “Dalam at-Takhlish, hal. 1454 al-Hafidh
mengutip pendapat Imam Syafi’I: hadits ini tidak mempunyai ketetapan sanad. Al-Baihaqi juga mengutip
pendapat ini dalam as-Sunan, vol. 10, hal. 271. mengutip pendapat Ahmad, al-Hafidh mengatakan, “Hadits ini
ditolak, sebab keshahihannya tidak diketahui. Ibn al-Jauzi, al-Ilal al-Mutanahiyah, hal. 972-974-975, setelah
meneliti hadits ini, beliau mengatakan, “Hadits ini tidak termasuk hadits shahih dilihat dari semua jalurnya.
Sebagaimana keterangan dalam Ilal Ibn Abi Hatim, hal. 114, “Thalq meriwayatkan hadits munkar.”
Siapa yang tidak melaksanakannya di dunia, maka Allah akan menagihnya pada hari kiamat
kelak, sebagaimana keterangan yang bersumber pada hadits shahih, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Sungguh kamu wajib menunaikan hak kepada pemiliknya, meskipun itu berupa
tanduk kambing” 45
Andaikan aku memilki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan merasa bahagia
karenanya jika aku masih melewatkan tiga batang emas tanggunganku. Tetapi aku akan
merasa bahagia jika memiliki sedikit emas dan dapat aku gunakan untuk melunasi
hutang.”46
Menurut Ibn Hajar dalam kitab al-Fath (5/67), “Hadits tersebut menegaskan perintah
agar segera melunasi hutang, dan apabila tidak berkemampuan, dia harus bersungguh-
sungguh berusaha agar kemudian berkemampuan melunasinya.”

45 Shahih: HR. Muslim, hal. 2582 riwayat Abu Hurairah dari Anas, HR. At-Thabrani dengan jalur yang sama
dari Anas, as-Shaghir, hal. 475.
46 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2389, HR. Muslim, hal. 31, HR. Ahmad, vol. 2, hal. 467.
BERSEDEKAH PADA ORANG YANG MEMILIKI HUTANG AGAR
DAPAT SEGERA MELUNASINYA

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, “Pernah pada masa Rasulullah seseorang
tertimpa musibah, lalu beliau bersabda: bersedekahlah untuknya. Maka orang-orang segera
memberinya sedekah, tetapi masih belum mencukupi untuk membayar hutangnya. Lalu
Rasulullah SAW berkata pada orang-orang yang mempunai hutang ada beliau, “Berilah
padanya apapun yang dapat kamu temui, hutangmu padaku akan lunas dengan itu.”47

47 Shahih: HR. Muslim, hal. 3958, HR. Abu Daud, hal. 3469, Hr. An-Nasai, hal. 4543, HR. Tirmidzi, hal.
655, HR. Ibn Majah, hal. 2356.
MELUNASI HUTANG YANG MENJADI TANGGUNGAN MAYIT
SEBELUM MELAKSANAKAN WASIATNYA

Ali ra meriwayatkan, “Muhammad SAW melakukan pelunasan hutang sebelum


pelaksanaan wasiat, sedangkan kamu membaca wasiat dulu sebelum melakukan pelunasan
hutang. Dan sesungguhnya bani Umm saling mewarisi hartanya, tetapi tidak bagi Bani
‘Allat.48
Dalam kitab Shahihnya, al-Bukhari berkata, “Penjelasan dari ayat
“…………………………………………………………………..”, disebutkan bahwa Nabi
SAW melaksanakan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat.
Menurut al-Hafidz dalam kitab al-Fath (5/445) terkait dengan penafsiran di atas,
“Matan hadits di atas adalah bagian terakhir dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Tirmidzi, dan imam lain yang bersumber dari Harits yang dikenal mempunyai
cela/cacat, dia meriwayatkan dari Ali ra yang kemudian menyebut matan hadits ini.
Menurutnya pula, “Sanad hadits ini dla’if. Tetapi menurut at-Tirmidzi, kalangan ahli
ilmu boleh mengamalkan hadits ini. Ini karena seakan-akan al-Bukhari juga bersandar pada
hadits ini dengan alasan sudah disepakati.
Ijma’ ulama juga menjelaskan hal ini. Al-Hafidz mengatakan, “Ulama telah sepakat
bahwa melaksanakan pelunasan hutang lebih didahulukan dari pada melaksanakan wasiat.”
Dalam kitab at-Takhlish diterangkan, “Sekalipun Harits dianggap lemah dalam periwayatan
hadits, ijmak tetap meyakini dan menerima hadits yang dia riwayatkan.”

48 Dlaif: HR. Ahmad, vol. 1, hal. 79, HR. Tirmidzi, hal. 2094, HR. Ibn Majah, hal. 2715, HR. At-Thayalusi,
hal. 179, HR. Al-Baihaqi, vol. 6, hal. 267. semua riwayat ini dari jalur Abu Ishaq al-Hamdani dari al-Harits
dari Ali. Maksud Bani Allat adalah: saudara-saudara ayah (paman-bibi).
ORANG YANG DIBERI WASIAT MEMBAYAR HUTANG SI MAYIT TANPA
PERSETUJUAN AHLI WARISNYA

Jabir bin Abdullah al-Anshari menceritakan bahwa ayahnya gugur sebagai syuhada
pada perang Uhud. Dia meninggalkan enam anak perempuan serta banyak hutang pada ahli
warisnya. Maka, saat potongan-potongan pohon kurma disodorkan pada Rasulullah, saya
lalu mendatangi beliau seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau telah mengetahui bahwa
ayahku telah gugur di medan perang Uhud dengan meninggalkan banyak hutang pada kami,
saya senang bila orang-orang yang memiliki hutang padamu melihat padamu. Rasulullah
SAW lalu bersabda, “Pergi dan tanamlah semua kurma kering dengan sisi sejajar.” Saya
pun melaksanakannya. Lalu saya memanggil Rasulullah SAW. Ketika mereka (orang-orang
yang memilki hutang pada Rasul) melihat beliau, mereka menyembunyikan hal itu dariku.
Melihat kelakuan mereka, Rasulullah berkeliling tiga kali di sekitar mereka sambil
menanam kurma. Kemudian beliau duduk seraya berkata, “Panggil teman-temanmu.”
Mereka pun lalu menghitungnya, dan mereka tetap melakukan hal itu sampai amanat
ayahku terlaksana. Demi Allah saya menerima dengan senang hati ketika Allah meluluskan
amanatnya. Saya juga tidak mengembalikan satu kurma pun pada saudara-saudara
perempuan saya.
Demi Allah, semua kurma yang beliau timbun tetap hidup seolah tidak pernah diambil
satu kurmapun darinya.49
Ijma’ juga mengatakan kebolehan akan hal tersebut:
Dalam kitab al-Fath (5/485), al-Hafidz mengatakan, “Menurut ad-Dawudi, semua
ulama sepakat akan kebolehan orang yang diberi wasiat si mayit untuk membayar
hutangnya sekalipun tanpa izin ahli waris.”

49 Shahih: HR. Bukhari, hal. 2781.


HUTANG YANG MENGHASILKAN
KEUNTUNGAN ADALAH RIBA

Abdullah bin Amr meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda: pinjaman dengan


bunga, jual beli yang berat sebelah, pemberian dua syarat dalam transaksi jual beli, dan
mengambil untung tidak diperbolehkan selama belum terjadi saling terima, tidak boleh pula
menjual barang yang bukan miliknya.”50
Pendapat al-Khattabi ra dalam kitab Ma’alim as-Sunan (3/771-772) hasyiah dari kitab
as-Sunan, “Tidak boleh pinjam-meminjam dengan bunga dan juga jual beli yang tidak
ketahui’ yang disebut dalam hadits di atas adalah termasuk bentuk transaksi yang dilarang
sebagaimana telah dijelaskan, yakni larangan Nabi SAW tentang dua transaksi jual beli
yang dijadikan satu seperti perkataan : saya jual budak ini padamu dengan harga lima puluh
dinar dengan syarat kamu harus menyerahkan seribu dirham padaku atas makanan yang
saya jual padamu sampai batas waktu tertentu. Atau perkataan: saya jual barang ini padamu
dengan harga demikian, tetapi dengan syarat kamu harus meminjamkan uang sebesar
seribu dirham kepadaku. Makna dari lafadz ‫ السلف‬adalah hutang dengan bunga, dan hal ini
tidak diperbolehkan. Karena terkadang seseorang memberi hutang yang berbunga dengan
harga yang disepakati dan berat sebelah, maka penetapan harga tersebut termasuk dalam
penetapan zaman jahiliyah. Sebab utama adalah karena setiap hutang yang menghasilkan
keuntungan adalah riba.

Atsar-atsar (perkataan sahabat) yang menjelaskan tentang hutang yang berbunga:

Atsar Abdullah bin Salam ra. Diriwayatkan dari Sa’id bin Abi Bardah dari ayahnya,
“Saya pergi ke Madinah dan bertemu Abdullah bin Salam ra, dia mengatakan: “Kenapa
kamu tidak datang dan masuk rumahku, saya akan menjamu kamu dengan makanan dari
tepung dan kurma?” Dia menambahkan: “Kamu sekarang berdiri di tanah riba yang
dengannya orang dapat menjadi sombong dan berbangga diri. Jika kamu mempunyai hak
atas seseorang lalu saya memberimu satu ikat jerami, setumpuk tepung atau qat (jenis
tumbuh-tumbuhan di arab), maka itu adalah riba.51
50 Hasan: HR. Ahmad, vol. 1, hal. 79. HR. Abu Bakar al-Hanafi dan ad-Dlahak bin Utsman dari Amr dari
ayahnya dari kakeknya, HR. Abu Daud, hal. 3504, HR. Tirmidzi, hal. 1234, “Ini adalah hadits hasan shahih.”
51 Shahih: HR. Bukhari, hal. 3814. Menurut al-hafidh, vol. 7, hal. 163, qat: jenis tumbuhan untuk makan
ternak. HR. Abdurrazaq, al-Mushannaf, hal. 1463, HR. Al-Baihaqi, vol. 5, hal. 349.
Atsar Ibn Abbas ra. Pernah seseorang datang pada Ibn Abbas seraya berkata, “Saya
mempunyai tetangga nelayan, saya memberinya pinjaman sebanyak lima puluh dirham lalu
dia membayarnya dengan ikan tangkapannya.” Ibn Abbas berkata padanya, “Hitunglah, jika
melebihi dari hutangnya kembalikanlah, dan jika cukup, sampaikanlah padanya.”52
Juga diriwayatkan dari Ibn Abbas ra bahwa dia pernah bercerita tentang seseorang
yang memilki hutang sebanyak dua puluh dirham, lalu dia memberi hadiah kepada yang
memberinya hutang. Setiap dia (yang berhutang) memberi hadiah, dia (yang memberi
hutang) menjualnya sehingga mencapai tiga belas dirham. Lalu kata Ibn Abbas, “Janganlah
kamu ambil kecuali hanya tujuh dirham saja.”53
Atsar Ibn Mas’ud ra. Diriwayatkan dari Ibn Sairin, “Seseorang berhutang sebanyak
seratus dirham sehingga membuat sakit punggung kudanya. Lalu kata Ibn Abbas, “Yang
sampai membuat punggung kudanya sakit itu adalah riba.”54
Atsar Muhammad bin Sairin ra. Diriwayatkan dari Ibn Sairin, “Setiap hutang yang
dapat menghasilkan keuntungan adalah makruh”. Mua’ammar berkata, “Qatadah juga
mengatakan demikian.”55
Atsar Ibrahin an-Nakha’I. dalam kitab al-Mushannaf (8/144) Abdurrazaq
mengatakan: ’alqamah meriwayatkan, “Jika saya berkunjung pada rumah seseorang yang
mempunyai hutang padamu lalu saya makan makanannya, maka hitunglah makanan
miliknya yang saya makan. Tetapi Ibrahim mengatakan: saya tidak amenghitungnya kecuali
kamu berdua sudah sepakat sebelumnya untuk melakukan hal itu. (Shahih).
Ijma’. Ijma’ ulama mengutip pendapat Abu Umar bin Abdil Barr dalam kitab al-
Istidzkar,56 “Ijma’ telah memutuskan bahwa memberikan persyaratan dalam salah satu
transaksi di atas adalah termasuk riba.”

52 Shahih: Abdurrazaq, al-Mushannaf, vol. 8, hal. 143.


53 Shahih lighairihi: HR. Baihaqi, vol. 5, hal. 349-350, HR. Andurrazaq, vol. 8, hal. 143.
54 Munqati’: Abdurrazaq, hal. 14518.
55 Dlaif: Abdurrazaq, vol. 5, hal. 145.
56 Al-Istidzkar, vol. 21, hal. 35. Ijma’ memutuskan berdasarkan pendapat an-Nawawi dalam al-Majmu’, Ibn
Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, al-Baghawi dalam syarh as-Sunnah. Lih. Ensiklopedi Ijma’ dalam al-Fiqh
al-Islami, vol. 1, hal. 170.
PENDAPAT PARA IMAM MENYANGKUT BAB DI ATAS

Imam malik ra mengatakan, “Tidak boleh mengambil hadiah dari orang yang
mempunyai hutang padanya, kecuali bila sudah diketahui sebelumnya oleh keduanya, dan
dia (yang memberi hutang) mengetahui bahwa hadiah tersebut bukan untuk membeyar
hutang.
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan para pengikutnya mengatakan, “Jika
dalam pengembalian hutang seseorang mensaratkan lebih, maka hal itu menjadi haram.
Begitu pula jika orang yang berhutang disyaratkan agar memberi hadiah. Jika pemberian
hadiah tersebut tanpa disyaratkan sebelumnya, maka hal itu boleh.
Mereka mengatakan, “Setiap hutang yang menghasilkan keuntungan dan tidak
mengendung kebaikan sedikitpun adalah haram.” Ibrahim juga meriwayatkan hal yang
serupa.
At-Thahawi mengatakan, “Menurut ulama, keharaman menyangkut keuntungan yang
dihasilkan dari hutang tersebut adalah apabila disyaratkan sebelumnya. Jika pemberian
hadiah tidak disyaratkan sebelumnya, maka maka hal itu boleh, begitu pula jika dia makan
makanan yang disediakan olehnya (orang yang berhutang). Sedangkan menurut al-Laits bin
Saad, menerima hadiah atau makan makanan dari orang yang berhutang padanya adalah
perbuatan makruh.
Ubaidillah bin al- Hasan mengatakan, “Seseorang dibolehkan menerima hadiah dari
orang yang berhutang padanya. Yakni setelah Ibn Abdil Barr mengutip pendapat para imam
terdahulu dalam kitab al-Istidzkar,57 “Ijma’ telah memutuskan bahwa memberikan
persyaratan dalam salah satu transaksi di atas adalah termasuk riba. Maka transaksi pertama
(jika terjadi dua transaksi jual beli yang dijadikan satu) adalah dibolehkan dan mempunyai
dalil yang jelas, dan transaksi jual beli yang kedua adalah diharamkan dan mempunyai dalil
yang jelas pula.
Menurut saya, “Pendapat terakhir Ibn Abdil Barr adalah pendapat yang masih umum
dan masih membutuhkan penjelasan yang lebih rinci dan jelas. Jika seseorang berhutang
dan bermaksud mengembalikannya lebih dari hutangnya tanpa ada syarat sebelumnya,
maka hal ini diperbolehkan dan dalilnya sudah jelas. Tetapi apabila pada waktu
memberikan hutang dia mensaratkan agar pengambaliannya dilebihkan, maka hal ini

57 Al-Istidzkar, vol. 21, hal. 50, 53.


diharamkan dan sudah jelas dalilnya.
Al-Khirqi mengatakan, “Murtahin (orang yang menerima barang gadaian) tidak boleh
memanfaatkan sedikitpun dari barang gadaian kecuali dari hewan yang dapat kendarai dan
diambil susunya, maka dia boleh mengendarai dan mengambil air susunya sesuai dengan
kadar makanan yang dia (murtahin) berikan pada hewan itu.
Dalam kitab asy-Syarh Ibn Qudamah mengatakan, “Pendapat mengenai masalah
barang gadaian ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Salah satunya adalah, barang
yang tidak membutuhkan biaya hidup seperti rumah dan perabotan-perabotannya, dan hal-
hal lain yang serupa. Maka murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin
(orang yang menggadaikan), dia boleh memanfaatkannya tetapi harus membayar ganti bila
ada kerusakan atau kekurangan. Dan menjadikan barang gadaian sebagai hutang juga tidak
diperbolehkan, karena hal itu termasuk dalam hutang yang menghasilkan keuntungan, yang
demikian itu adalah haram.58
Dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, syaikhul islam Ibn Taimiyah ra mengatakan, “Saya
pernah ditanya, bagaimana jika seseorang mempunyai sebidang tanah yang dikerjakan
dengan upah empat ratus dirham per liter. Lalu dia menyerahkan tanah itu pada para petani
untuk dikerjakan dengan upah dua ratus dirham lebih per liternya, mereka lalu memutuskan
menjadi tujuh ratus dirham per liter, apakah itu termasuk riba?”
Saya jawab, “Alhamdulillah, setiap hutang yang dimanfaatkan untuk mengambil
keuntungan, maka itu adalah riba. Seperti halnya jual beli dan sewa menyewa, yakni berat
sebelah dengan adanya pemihakan pada transaksi jual beli dan barang sewaan yang akan
dihutangkan.”
Maksud dari “Tidak boleh pinjam-meminjam dengan bunga dan juga jual beli yang
berat sebelah”59 adalah misalnya seseorang memberi hutang, kemudian orang yang diberi
hutang membeli barang dagangan dengan uang tersebut, lalu ia jual seharga 150 dirham,
maka kelebihan limapuluh dirham itu adalah riba. Demikian pula jika seseorang memberi
hutang, lalu orang diberi hutang menyewakannya pada orang lain dengan harga dua dirham
lebih banyak, maka dengan satu dirhamnya dia memperoleh keuntungan sebesar dua
dirham. Bahkan termasuk perbuatan yang dilakukan oleh para pengajar, mereka berhutang
dan cenderung akan mengambil keuntungan dengan disewakan, itu adalah riba. Demikian
58 Al-Mughni, vol. 6, hal. 509.
59 Hasan: HR. Abu Daud, hal. 3504, HR. Tirmidzi, hal. 1234, “Ini adalah hadits hasan shahih.”, HR. Ahmad,
vol. 2, hal. 174, 179. semua riwayat ini dari jalur Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya sebagai hadits
marfu’, silsilah ini diambil dari silsilah yang semua haditsnya masuk dalam kategori hasan.
pula jika seseorang menyewakan tanah, rumah, atau toko dengan harga seratus dirham. Lalu
orang yang menyewakan dengan sengaja mengakhirkan pembayaran dengan maksud akan
mengambil keuntungan lima puluh dirham dari padanya, maka hal itu adalah riba.”
Menurut Imam as-Syairazi dalam kitab al-Muhadzdzab60, “Hutang yang digunakan
untuk mengambil keuntungan adalah diharamkan. Seperti seseorang yang memberi hutang
dengan syarat orang yang akan diberi hutang menjual rumahnya pada yang memberi
hutang. Atau pengembaliannya harus lebih baik dan lebih banyak dari hutangnya. Atau
dengan mengirim suftaj(wesel)61 dengan maksud akan diambil di tempat lain atau di
perjalanan. Dalil yang menjelaskan keharaman hal tersebut adalah hadits riwayat Amr bin
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Haram pinjam-
meminjam dengan bunga dan juga jual beli yang berat sebelah.”
Lafadz ‫لف‬gg‫ الس‬sama artinya dengan ‫رض‬gg‫ الق‬, hanya saja lafadz ‫لف‬gg‫ الس‬berasal dari
bahasa Hijaz.
Ubai bin Ka’ab meriwayatkan dari Ibn Mas’ud dari Ibn Abbas ra bahwa mereka telah
dilarang Rasulullah akan hutang yang dimaksudkan untuk mengambil keuntungan.”
Hal di atas adalah termasuk akad yang dimaksudkan untuk memperoleh untung,
karena jika demikian, maka hal itu akan keluar dari makna esensialnya.

Ringkasan Masalah:
Menjadikan hutang sebagai sumber pencarian keuntungan yang disyaratkan atas orang
yang berhutang adalah haram.
Contohnya adalah seperti ucapan: saya akan memberi hutang padamu dengan syarat
kamu harus bekerja untukku dengan upah yang lebih sedikit dari upah umum. Atau seperti
ucapan: saya akan memberi hutang padamu dengan syarat kamu harus menjual demikian.
Atau: saya akan memberi hutang padamu dengan syarat kamu harus menyewakan rumah
atau tokomu padaku. Sehingga dengan pensyaratan itu, pemberi hutang memperoleh harga
miring kurang dari harga biasanya. Maka semua hal di atas diharamkan, karena ijma’ ulama
mengatakan hal tersebut.
Tentang hadits Nabi SAW yang artinya : Tidak boleh pinjam-meminjam dengan
bunga dan juga jual beli yang berat sebelah, adalah sebagai berikut:
60 Lih. Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, vol. 13, hal. 170.
61 Suftajah: bahasa Persia (oleh pensyarah kitab at-Takmulah), artinya: peminjam mengirim surat kilat pada
pemberi pinjaman, bahwa dia akan membayar di tempat lain. Surat ini Pada zaman sekarang disebut dengan
telegram.
Jika tidak ada pensyaratan dalam pengembalian atau bahkan orang yang berhutang
memang bermaksud mengembalikan lebih dari hutangnya dengan senang hati, maka hal itu
tidak menjadi masalah, sebab Rasulullah SAW juga melakukan hal itu, juga sabda beliau,
“Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mengembalikan hutang dengan baik.”
Sedangkan jika orang yang berhutang bermaksud memberi hadiah atau menjamu
makan pada orang yang memberinya hutang, maka sebagian ulama menghukuminya
makruh kecuali jika hadiah dan jamuan makan tersebut sudah diketahui oleh keduanya
sebelum akad, maka tidak menjadi masalah dan hukumnya tidak makruh.
BOLEH MENGEMBALIKAN LEBIH DARI HUTANG YANG SEBENARNYA
JIKA TIDAK ADA PENSYARATAN SEBELUMNYA

Diriwayatkan dari Abu Hirarirah ra bahwa seseorang pernah berperkara pada


Rasulullah SAW, lalu dia berkata kasar pada beliau, mengetahui hal itu sahabat menjadi
gusar, kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Panggillah dia, karena dia berhak menerima
panggilan. Lalu belilah unta dan berikanlah padanya.” Para sahabat kemudian mengatakan,
“Kami tidak menemukan seekor pun unta kecuali lebih tua dari unta yang engaku katakan.”
Lalu Rasulullah bersabda, “Beli sajalah dan berikan padanya, karena orang ynag paling baik
di antara kamu adalah orang yang paling baik ketika mengembalikan hutang.”62
Jabir bin Abdillah ra meriwayatkan, “Rasulullah pernah mempunyai hutang kepadaku,
lalu beliau mengembalikan lebih dari hutangnya.”63
Menurut Imam an-Nawawi ra dalam kitab Syarh Muslim (11/39), “Dianjurkan bagi
orang yang memilki hutang baik dari transaksi pinjam-meminjam atau lainnya, untuk
mengembalikan dengan lebih baik dari hutangnya. Karena hal ini termasuk sunnah Nabi
dan akhlak yang mulia. Hutang yang dimaksudkan untuk mengambil keuntungan adalah
diharamkan. Larangan tersebut yakni apabila hal itu disyaratkan sebelumnya dalam akad.”
Menurut madzhab kami, bahwa mengembalikan lebih dari hutang yang sebenarnya
adalah dianjurkan, dan orang yang memberikan hutang diperbolehkan mengambilnya, baik
kelebihan dalam sifat (lebih bagus) maupun dalam jumlah (lebih banyak). Misalnya
seseorang memberi hutang sebesar sepuluh, kemudian orang yang berhutang
mengembalikan kepadanya sebelas.
Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’ (hal. 524) mengatakan, “Hamid bin Qais al-
Makki meriwayatkan dari Mujahid: Abdullah bin Umar ra pernah berhutang pada seseorang
beberapa dirham, kemudian dia mengembalikan hutang dengan barang yang lebih bagus.
Kata orang tersebut: Ya Abu Abdurrahaman, dirham yang kamu kembalikan ini lebih bagus
kualitasnya dari dirham yang saya pinjamkan padamu dulu. Tapi kata Abdullah bin Umar:
Iya benar, tetapi aku mengembalikannya dengan senang hati.”64
Imam Malik melanjutkan, “Diperbolehkan menerima barang kembalian lebih, baik
62 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2390, HR. Muslim, hal. 1224, 1225, dari Abu Rafi’.
63 Shahih: HR. Bukhari, hal. 2394, HR. Abu Daud, hal. 3347.
64 Hasan: Hamid bin Qais. Dalam at-Taqrib, al-Hafidh mengatakan: hadits ini tidak bermasalah. Menurut
saya: hadits ini menjadi marfu’ dilihat dari tingkatannya. Tetapi Bukhari, Ibn Mu’in, Abu Daud, Ibn Saad dan
Ahmad mepercayai menganggap tsiqah hadits ini. Menurut riwayat lain, hadits ini adalah dla’if. An-Nasai
mengatakan, “Hadits ini ridak bermasalah.”
sifat maupun jumlahnya, baik berupa emas, makanan, atau hewan, selama hal itu tidak
disyaratkan atau menjadi kebiasaan. Jika hal itu disyaratkan atau sudah menjadi kebiasaan,
maka hal itu dimakruhkan dan tidak termasuk perbuatan baik.”
BOLEH MERINGANKAN NOMINAL HUTANG

Ka’ab ra menceritakan bahwa dia pernah berpekara masalah hutang dengan Ibn Abi
Hadard di masjid dengan suara tinggi, sampai-sampaa Rasulullah SAW yang sedang berada
di rumahnya mendengar pembicaraab itu. Lalu beliau keluar sambil menyingkap korden
kamarnya seraya memanggil, “Wahai Ka’ab.” “Baik ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda
sambil menunjuk ke suatu arah, “Kurangilah nominal hutangnya padamu.” “Saya sudah
menguranginya ra Rasulullah.” Jawab Ka’ab. Lalu Rasulullah bersabda kembali, “Kalau
begitu, cepat selesaikan perkara hutangmu.”65
Dalam kitab al-Fath (5/364), al-Hafidh memberikan komentarnya, “Hadits tersebut
menunjukkan bahwa orang yang mempunyai hutang boleh meminta keringanan nominal
hutangnya.” Tetapi madzhab Malikiyah menganggap hal ini makruh, alasannya karena
pemberi hutang akan terpaksa memberikan keringanan ketika itu.
Menanggapi hal ini, al-Qurthubi mengatakan, “Yang dimaksud makruh oleh madzhab
malikiyah barangkali adalah khilaf al-aula (tidak melaksanakan yang utama).
Aisyah ra meriwayatkan, “Suatu saat Rasulullah mendengar suara orang yang sedang
bertengkar dengan nada tinggi di pintu. Lalu salah seorang meminta agar diberi keringanan
nominal hutang dan menagihnya dengan baik-baik. Lalu orang yang diminta menjawab,
“Demi Allah saya tidak akan melakukannya lagi.” Melihat hal itu Rasulullah keluar
mendatangi keduanya, “Siapa tadi yang bersumpah atas nama Allah dan tidak melakukan
kebaikan?” “Saya ya Rasulullah, dia telah mendapatkan semua belas kasihanku.”66
Menanggapi hadits ini, an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim (10/463) mengatakan,
“Yang dimaksud dengan ‘minta diberi keringanan nominal hutang dan meminta agar
menagih secara baik-baik’ adalah keringanan dan penagihan hutang. Hadits ini menjadi
dalil bahwa hal-hal semacam ini diperbolehkan, selama dilakukan dengan baik-baik, tidak
memaksa dan medesaknya serta tidak menghina dan merendahkan martabatnya, kecuali
bila dalam keadaan terpaksa. Wallahu a’lam.
Al-Hafidh ibn Hajar dalam kitab al-Fath (5/363) mengatakan, “Yang dimaksud ‘telah
mendapatkan semua belas kasihanku’adalah memberinya keringanan nominal hutang dan
menagihnya secara baik-baik. Dalam hadits lain riwayat Ibn Hubabn, “Orang yang diminta

65 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2710, HR. Muslim, hal. 396, HR. Ahmad, vol. 6, hal. 39o. HR. Abu
Daud, hal. 3590, HR. An-Nasai dalam bab “Adab membayar hutang”, hal. 19.
66 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2705, HR. Muslim, hal. 3960.
mengatakan: kalau saya mau, saya akan ringankan nominal hutangmu, dan kalau saya mau
saya akan meminta keseluruhan hutangmu, orang itu menganggap bahwa yang dimaksud
dengan meringankan adalah mengurangi nominal hutang, menagihnya secara baik-baik dan
tidak melebih-lebihkannya. Hadits ini menekankan agar menagih hutang secara baik-baik
dan berbuat baik pada orang yang mempunyai hutang dengan memberinya keringanan
dalam nominal hutangnya.
Mengenai lafadz al-mutaalli dalam hadits tersebut, al-Hafidh mengatakan, “Al-
muta’alli (dengan mim dlammah, lam dan hamzah fathah, dan lam kedua tasydid dan
berharkat kasrah) adalah berarti orang yang bersungguh-sungguh dalam bersumpah, al-
mutaalli diambil dari akar kata aliyah yang bermakna hutang.
Jabir ra meriwayatkan, “Abdullah tertimpa musibah, dia meninggalkan banyak anak
dan hutang. Lalu saya meminta pada orang-orang yang pernah memberikan pinjaman
hutang pada Abdullah agar bersedia memberi keringanan nominal hutangnya, tetapi
ternyata mereka tidak bersedia. Saya kemudian menemui Rasulullah untuk meminta
pertolongan pada beliau, tapi tetap saja mereka tidak bersedia. Lalu Rasulullah SAW
bersabda, “Sisihkan dari kurma yang kamu punya sesuai dengan klasifikasinya, anggur, air
susu dan makanan juga demikian, mintalah pada orang yang berkemampuan agar bersedia
menyisihkannya. Lalu taruhlah di hadapan orang-orang yang tidak bersedia itu sampai aku
menemui kamu.” Lalu saya melaksanakan perintah beliau. Beberapa saat kemudian
Rasulullah SAW datang lalu duduk seraya menimbang bagian hutang tiap-tiap orang itu dan
memberikannya sampai hutang Abdullah terlunasi. Tetapi saya melihat kurmanya masih
utuh seakan tidak pernah dijamah.67

67 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2705, HR. Muslim, hal. 3960.
RIBA

Etimologi
Al-Qurthubi ra (Jami’ul Bayan 3/101) : al-irba’= melebihkan sesuatu. Misalnya
pernyataan, “Seseorang memberi tambahan lebih pada seseorang.” (arba-yurbi-irba’).
Kelebihan/tambahan itulah yang disebut riba. Disebut melebihkan barang ialah apabila dia
memberi tambahan pada barang itu sehingga menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Orang
yang melebihkan barang itu disebut murbin/al-murbi, karena dia melipatgandakan harta
yang menajdi tanggungan orang yang berhutang padanya, yakni dengan harus membayar
lebih pada saat pengembalian hutang. Semakin akhir dia mengembalian hutangnya dari
waktu yang telah disepakati sebelumnya, maka semakin berlipat pula hutang yang harus ia
bayarkan. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali
Imran: 130)

Riba ada dua maca; pertama, riba nasiah, yakni pembayaran lebih yang disyaratkan
kepada orang yang berhutang bila dia mengakhirkan pembayaran dari waktu yang telah
ditentukan. Riba inilah yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Dalam kitab Jami’ul bayan (3/101) at-Thabari meriwayatkan dari Mujahid, “Praktik
riba yang dilarang Allah pada masa jahiliyah ialah seperti seseorang yang memiliki hutang
pada seseorang lalu ia mengatakan, “Kamu memiliki hutang padaku sebayak sekian dirham,
maka bila kamu tidak membayarnya tepat waktu, maka kamu harus membayar lebih dari
hutangmu.”
Dalam kitab Nasful Masdar at-Thabari juga meriwayatkan dari Qatadah, “Riba pada
masa jahiliyah yakni membeli barang pada seseorang sampai waktu tertentu (pembeli belum
menyerahkan uangnya), bila sudah sampai pada waktunya sedangkan pembeli tidak mampu
membayarnya, maka dia boleh mengakhirkan pembayaran dengan syarat harus membayar
lebih dari harga sebelumnya.
Kedua, riba fadhl, yakni menukar salah satu dari enam macam barang yang telah
dilarang Rasulullah dengan barang sejenis dengan takaran yang berbeda. Misalnya,
menukar satu kilo kurma yang kualitasnya baik dengan dua kilo kurma yang kualitasnya
lebih jelek.
Enam macam barang tersebut yakni emas, perak, gandum, kurma, tepung, garam dan
barang yang serupa.
Hukum transaksi riba: haram dan pelakunya mendapatkan dosa besar. Dalil-dalil yang
menunjukkan keharamannya telah termuat dalam al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’.
Dalil al-Kitab:
š“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak akan dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang seperti itu, adalah disebabkan perkataan (pendapat) mereka,
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Maka bagi orang yang telah sampai padanya larangan
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”
(Al-Baqarah: 275)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
(Al-Baqarah:278)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan
peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
(Ali Imran: 130-131)

Dalil as-Sunnah:
Jabir ra meriwayatkan, “Rasulullah melaknat orang yang memakan harta riba, yang
melakukan transaksi, pencatat, dan dua saksi di dalamnya. Mereka sama hukumannya.”68
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah jauh-jauh

68 Muttafaq alaih: HR. Bukhari dari hadits Abu Hanifah, HR. Para pemilik kitab as-Sunan dari hadits Ibn
mas’ud dan Ahmad, vol. 5, hal. 225, HR. Muslim, hal. 4069, HR. An-Nasai, hal. 2238, HR. Abu Daud, hal.
3333, HR. Tirmidzi, hal. 1206.
tujuh dosa besar.” Para sahabat bertanya, “Apa tujuh dosa besar itu ya Rasul?” Rasulullah
menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan
membunuhnya kecuali dengan hak, makan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari
pasukan saat sedang berkecamuk perang, dan menuduh berzina pada perempuan beriman
yang lalai dan sudah bersuami.”69

Dalil Ijma’:
Ijma’ mengutip pendapat as-Shana’ani dalam kitab Subul as-Salam, tidak ada seorang
pun dari para sahabat Rasulullah sampai hari ini yang mengatakan dan menyaksikan akan
halanya praktik riba.
Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Syarh Muslim (11/9), “Secara umum, umat
muslim telah menyepakati keharaman praktik riba. Sekalipun masih berbeda pendapat
dalam batasan-batasan dan cabang-cabangnya.”
Firman Allah:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
(Al-Baqarah: 276).

Ibn Mas’ud ra meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda: Sekalipun praktik riba


marak dilakukan, tetapi akibatnya tidak dapat disadari.”70
Dalam kitab jami’ul Bayan (3/104) at-Thabari mengatakan, “Maksud lafadz
yamhaqullahu ar-riba dalam ayat di atas adalah: Allah meminimalisir riba dan kemudian
memusnahkannya. Maksud inilah yang ditunjukkan oleh hadits riwayat Abdullah bin
Mas’ud di atas.

Siksa Kubur bagi Orang yang Melakukan Praktik Riba:


Samurah bin Jundub meriwayatkan, “Rasulullah seringkali bersabda pada para
sahabat: “Apakah di antara kamu ada yang mengetahui apa mimpiku semalam?”. Lalu
Rasulullah mengisahkan mimpinya. Pada suatu hari di siang yang terik Rasulullah bercerita,
69 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 2766, HR. Muslim, hal. 258.
70 Shahih: HR. Ahmad, vol. 1, hal. 395-424 dari Hajaj dan Abu Kamil dari Syarik pengikut Israil, HR. Al-
Hakim, vol. 2, hal. 37 dari jalur yang sama. dalam riwayat al-hakim ini, ada perawai yang masih diragukan,
yakni Ahmad bin Ja’far al-Quthi’I. Masih ada ketidakjelasan di sini, yakni dia meriwayatkan dari gurunya dari
Israil sebagai ganti dari Syarik. HR. Ibn Uday dalam al-Kamil, vol. 4, hal. 18, biografi Syarik, HR. Ibn Majah,
hal. 2297 dari jalur Israil.
“Pada suatu malam, dua orang utusan mendatangiku seraya berkata: “Mari kita pergi!”,
kemudian aku berangkat bersama mereka berdua menuju sebuah sungai.” Kira-kira, saya
(Samurah) mendengar beliau mengatakan, “Air sungai tersebut merah menyala bagaikan
darah, tiba-tiba saya melihat seseorang berenang dan seseorang lagi di tepi sungai
membawa banyak batu yang telah dia kumpulkan. Lalu orang pertama tadi berenang lebih
cepat mendatangi orang yang membawa banyak batu, membuka mulutnya lebar-lebar lalu
memakan batu-batu itu. Kemudian dia pergi dan sesaat kemudian kembali melakukan hal
serupa beberapa kali. Lalu aku bertanya pada dua orang yang bersamaku tadi, “Apa arti
semua ini?” “Mari kita pergi”, kata mereka. Kataku lagi, “Sungguh sejak tadi malam saya
heran menyaksikan kejadian di hadapanku, apa sebenarnya itu?” Mereka berdua menjawab,
“…orang yang berenang di sungai dan memakan batu-batu itu adalah orang yang memakan
harta riba.”71
Al-Hafidh ibn Hajar (Al-Fath 12/465) mengatakan, “Ibn Hubairah mengatakan bahwa
siksa orang yang memakan harta riba dengan harus berenang di sungai dengan air yang
merah dan memakan batu, adalah karena riba terjadi pada emas, sedangkan warna emas
adalah merah. Batu yang banyak itu tidak dapat menjadikannya kaya, begitu pula orang
yang melakukan praktik riba, dia tidak akan menjadi kaya. Dia selalu berangan-angan
hartanya akan bertambah, padahal Allah akan menjungkalkannya dari belakang.”

Siksa bagi Orang yang Makan Harta Riba pada Hari Kiamat:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak akan dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang seperti itu, adalah disebabkan perkataan (pendapat) mereka,
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Maka bagi orang yang telah sampai padanya larangan
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”
(Al-Baqarah: 275)

71 Shahih: HR. Bukhari, hal. 7047.


Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab Jami’ul Bayan (3/101) mengatakan, “Allah berfirman
kepada orang-orang yang melakukan praktik riba di dunia, yakni orang-orang yang telah
kami sebutkan sifat-sifatnya, bahwa mereka tidak akan dapat berdiri di akhirat ketika sudah
bangkit dari kubur melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena
tekanan penyakit gila.
Maksudnya adalah: syaitan membuanya gila di dunia, orang yang dibuat gila ini
bertingkah layaknya orang yang mengidap penyakit ayan (epilepsi) sebab tekanan penyakit
gila.
Al-Qurthubi ra dalam kitab Ahkamul Qur’an (3/229) mengatakan, “Maksud dari
‘ketika sudah bangkit dari kubur’ menurut Ibn Abbas, Mujahid, Ibn Jubair, Qatadah, ar-
Rabi’, ad-Dlahhhak, as-Suda, Ibn Zaid72, adalah syaitan membuat mereka tercekik.
Pendapat ini masih diperdebatkan, tetapi mereka sepakat apabila diartikan bahwa mereka
dibangkitkan kelak di akhirat seperti halnya orang gila sebagai bentuk siksaan bagi mereka
dan pembedaan dari makhluk lain yang berkumpul di padang makhsyar. Ta’wil yang
disepakati oleh para sahabat ini dikuatkan oleh bacaan versi Ibn Mas’ud, yakni ayat: la
yaqumuna yaumal qiyamati illa kama yaqumu. (mereka tidak dapat berdiri pada hari kiamat
melainkan seperti berdirinya…dan seterusnya).
Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka pokok
hartamu tetap menjadi hakmu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Al-Qurthubi ra dalam kitab Jami’ al-ahkam al-Quran (3/235) mengatakan, “Dengan
ayat ini, Allah mengancam akan memerangi orang-orang yang tetap melakukan prktik riba.
Ibn Abbas menceritakan bahwa orang yang memakan harta riba akan ditantang pada hari
kiamat kelak, “Cepat ambillah senjatamu, mari berperang!”73
Ibn Abbas, “Pemimpin umat muslim harus meminta orang yang tidak mau berhenti

72 Semua atsar ini adalah riwayat at-Thabari, vol. 3, hal. 102 dengan sanad-sanad shahih dan hasan, terkecuali
atsar Ibn Jubai yang dlaif, di antara perawinya terdapat at-Thabari ibn Humaid ar-Razi, periwayatannya
dianggap lemah. Dalam atsar ar_Rabi’ disebutkan, “Diriwayatkan padaku dari Ammar.”
73 HR. Ibn Jarir dengan sanad hasan, akan tetapi saya tidak menemukan kebaikannya disebut dakam
bibliografinya. Jami’ al-Bayan, vol. 3, hal. 102.
melakukan praktik riba agar bertaubat, jika dia tetap melakukannya maka dia harus
dipenggal lehernya.” Ibn Qatadah mengatakan, “Allah mengancam akan memerangi orang
yang melakukan praktik riba, mereka akan mendapatkan keburukan dari mana pun mereka
mendapatkan harta riba itu.” Ibn Khuwaiz Mindad mengatakan, “Seandainya penduduk
suatu negeri menyatakan bahwa praktik riba dibolehkan, maka mereka boleh diperangi.
Sebab Allah SWT telah membolehkan untuk memerangi mereka dengan berfirman, “Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.”
Al-Qurthubi, “Ayat ini menunjukkan bahwa memakan harta riba dan melakukan
praktiknya merupakan perbuatan dosa besar, semua ulama menyepakati hal ini.”
Jabir ra meriwayatkan, “Rasulullah melaknat orang yang memakan harta riba, yang
melakukan transaksi, pencatat, dan dua saksi di dalamnya. Mereka sama hukumannya.”74

Haram Jual Beli dengan Tenggang Waktu Tertentu


Abi Sa’id al-Khudri ra meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersaba: Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, masing-masing harus ditukar dengan yang sejenis dan seimbang.
Orang yang melebihkankannya, sengaja atau tidak, maka pemberi dan penerima telah
melakukan prektik riba, keduanya dihukumi sama (yakni telah melakukan dosa besar dan
akan disiksa).75
Imam Nawawi dalam kitab Syarh Muslim (11/12) mengatakan, “Dengan hadits ini,
Rasulullah SAW telah menegaskan keharaman riba dalam enam macam barang, yakni
emas, perak, gandum, tepung, kurma, dan garam.”
Ulama sepakat bahwa boleh menjual/menukar barang yang tidak sama takarannya dan
diberi tenggang waktu tertentu, dengan syarat kedua barang itu tidak sama dalam jenisnya.
Seperti emas dengan gandum, perak dengan tepung dan sebagainya.
Ulama juga sepakat bahwa tidak boleh menjual/menukar barang yang sama jenisnya
bila diberi tenggang waktu tertentu. Tidak boleh pula bila barang yang sejenis itu tidak
sama dalam takarannya, misalnya menukar emas dengan emas pada saat akad yang
takarannya tidak sama. Apabila barang yang dipertukarkan/diperjualbelikan itu sejenis, atau
tidak sejenis tetapi masih dalam satu kelompok seperti emas dengan perak dan gandum

74 Telah disebut sebelumnya.


75 Muttafaq alaih: HR. Bukhari secara terpisah, hal. 2176, HR. Muslim, hal. 4040, HR. Ahmad, hal. 413, HR.
Para pemilik kitab as-Sunan.
dengan tepung, maka kedua orang yang melakukan transaksi itu tidak boleh berpisah
sebelum saling menerima barang masing-masing yang dipertukarkan. Bila kedua barang
tidak sejenis maka takarannya boleh tidak sama, dengan syarat kedua belah pihak harus
saling menerima barang yang dipertukarkan itu, misalnya satu karung gandum dengan dua
karung tepung. Ulama telah menyepakati hal ini, tidak ada perbedaan di antara mereka.

Contoh Model Jual Beli/Tukar Menukar yang Diharamkan Sebab Diberi Tenggang
Waktu Tertentu
1. Emas dengan Perak yang diberi tenggang waktu
Jual beli model ini tidak diperbolehkan dan hukumnya haram. Meskipun demikian,
jual beli model ini banyak dilakukan oleh umat muslim.
Imam Nawawi (Syarh Muslim 11/13), “Ulama telah menyepakati keharaman jual beli
emas dengan emas dan perak dengan perak yang diberi tenggang waktu. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi;
“Janganlah kamu melakukan jual beli bila tidak duduk dalam suatu tempat.”
“Janganlah kamu melakukan tukar menukar emas dengan emas dan mata uang dengan
mata uang kecuali bila sama takarannya.”
“Menukar mata uang dengan emas adalah riba kecuali bila kedua belah pihak
menyetujui.”
“Jika barang-barang yang kamu perjual belikan tidak sama dalam jenisnya, maka
kalian boleh menjualnya dengan cara apapun, asalkan kedua belah pihak saling menerima
barang yang diperjual belikan itu.”76
Imam Nawawi (Syarh Muslim 11/17), “Yang di maksud dengan ‘kedua belah
menyetujui’ dalam hadits di atas adalah, salah seorang mengatakan, “Ambillah barang ini”,
lalu yang lain juga mengatakan hal yang sama. Dan mengenai saling menerima antara
kedua belah pihak, para ulama telah menyepakati bahwa hal itu harus dilakukan, sekalipun
jenis barang yang diperjual belikan tidak sama.
Menurut saya, “Di antara bencana dan musibah yang umum terjadi di zaman sekarang
adalah perempuan menjual perhiasan lamanya untuk diganti dengan perhiasan yang baru.
Sebelum perhiasan lamanya terjual dan diterima dengan sempurna, dia lalu membeli
perhiasan baru dengan tambahan uang kekurangan dari perhiasan lama. Bila disampaikan

76 Semua hasids ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim atau salah satunya.
bahwa hal tersebut haram dan tidak diperbolehkan, maka mereka akan mengatakan, “Apa
perbedaannya, pada initinya sama.” Maka kami akan menjwab, “Perbedaannya adalah
antara berbuat ketaatan dan kemaksiatan kepada Allah.”

2. Menukar sekarung beras dalam negeri dengan dua karung beras impor atau
barang lainnnya.
Jual beli semacam ini tidak diperbolehkan, baik kontan maupun tempo. Berdasarkan
sabda Nabi SAW saat mengutus salah seorang dari Bani Udai al-Anshari untuk
dipekerjakan di Khaibar, dia membawa kurma dari selatan. Lalu Rasulullah SAW bertanya
padanya, “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?” dia menjawab, “Tidak, demi Allah ya
Rasul, kami menukar satu karung kurma Khaibar dengan dua karung kurma keseluruhan.”
Rasulullah lalu bersabda, “Jangan melakukannya seperti itu, tetapi harus menukar dengan
yang sama takarannya, atau bila tidak, juallah barangmu kemudian hasilnya penjualannya
kamu belikan barang yang lain.”77 Dalam suatu riwayat, Rasulullah juga pernah bersabda
pada al-Mizan, “Aduh, ini adalah riba. Janganlah kamu lakukan. Apabila kamu ingin
membeli kurma, maka maka juallah kurmamu terlebih dahulu dan hasil penjualannya kamu
belikan kurma yang ingin kamu beli.”

3. Menukar satu koli beras dengan dua kilo gandum dan diberi tenggang waktu.
Jual beli seperti ini ridak diperbolehkan dan hukumnya haram. Berdasarkan hadits
Nabi SAW, “Jika barang-barang yang kamu perjual belikan tidak sama dalam jenisnya,
maka kalian boleh menjualnya dengan cara apapun, asalkan kedua belah pihak saling
menerima barang yang diperjual belikan itu.”
Imam Nawawi (Syarh Muslim 11/13), “Semua ulama telah menyepakati keharaman
menukar emas dengan emas, perak dengan perak, dan menukar gandum dengan gandum
atau tepung yang diberi tenggang waktu, demikian pula setiap dua macam barang yang
berada dalam kelompok barang riba.

77 Muttafaq alaih: HR. Bukhari, hal. 222, HR. Muslim, hal. 4058 dan seterusnya.
MEMBAYAR SEBAGIAN HUTANG
DAN MEMAJUKAN PEMBAYARAN

Apakah orang yang memberi hutang boleh memajukan sebagian pembayaran


sebelum tiba waktu pelunasan hutang dengan konsekuensi nominal hutang yang
harus dibayar oleh orang yang berhutang menjadi berkurang?
Ulama salaf, tabi’in dan para ulama madzhab berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya.
Ibn Abbas adalah yang termasuk memperbolehkan hal ini (Al-Mushannaf: [8,72] hal.
14361-14362). Abdurrazaq meriwayatkan, “Muammar menceritakan kepada kami dari Ibn
Thawus dari ayahnya ari Ibn Abbas ra, bahwa beliau pernah ditanya tentang seorang yang
mempunyai hutang dengan tenggang waktu tertentu, orang yang memberi hutang
mengatakan, “Percepatlah pembayaran hutangmu, maka saya akan memperingan
hutangmu.” Lalu Ibn Abbas menjawab, “Hal seperti ini boleh dilakukan.”
Sedangkan menurut riwayat at-Tsauri dari Amr bin Dinar, “Ibn Abbas pernah ditanya
tentang masalah ini, tetapi dia menjawab bahwa hal itu tidak boleh dilakukan.” Hal senada
juga berasal dari riwayat Ibn Uyainah dari Amr dan Ibn Abbas (Shahih).

Tabi’in yang Memperbolehkan;


Ibrahim an-Nakhai, “Abdurrahman meriwayatkan ([8,73] hal. 14363-14369), “At-
Thusi menceritakan kepada kami dari Hammad dan Manshur dari Ibrahim tentang
seseorang yang mempunyai hutang dengan tenggang waktu, lalu orang yang memberi
hutang mengatakan, “Percepatlah pembayaran hutangmu, maka saya akan memperingan
hutangmu.” Ibrahim menjawab bahwa hal itu diperbolehkan.
Juga dari Ibrahim an-Nakhai, “Ibn Uyainah menceritakan kepada kami dari Ismail bin
Abi Khalid, dia berkata, “Saya mengatakan kepada Syu’ba: ketika Ibrahim ditanya tentang
masalah di atas, dia mengatakan bahwa hal itu diperbolehkan.
Yang menjadi dalil bagi ulama yang memperbolehkan adalah hadits riwayat ad-
darqathni [3612] dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz bin Mani’ dari Abdullah
bin Amr al-Qawariri dari Muslim bin Khalid az-Zunji dari Muhammad bin ali bin yazid bin
Rukanah dari daud bin al-Hashin dari Ikrimah dari Ibn Abbas ra, “Bani Nadlir berkata
kepada Rasulullah ketika beliau mengusir mereka, “Ya Rasulullah, engkau akan mengusir
kami, sedangkan kami masih memilki banyak tanggungan hutang,” Maka Rasulullah SAW
bersabda, “Bayarlah sebagian hutangmu dan majukan pembayarannya!”78

Ahli fiqh yang membolehkan;


Abu Tsaur. Ibn Qudamah mengutip pendapat Abu Tsaur dalam kitab al-Mughni (6/109),
“Menurut riwayat dari Ibn Abbas, beliau mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan.
Riwayat serupa dari an-Nakhai dan Abu Tsaur, “Karena orang yang memberi hutang telah
mengambil sebagian hutang yang menjadi haknya dan membiarkan sisanya, maka dia boleh
meringankan hutang yang menjadi tanggungan orang yang berhutang.”
Pengikut Abu Hanifah: Ibn Abdil Barr mengutip pendapat mereka dalam kitab al-
Istidzkar [20/262] dari at-Thahawi, “Diriwayatkan dari Muhammad bin Abbas dari Yahya
bin Sulaiman al-Juhfa dari al-hasan bin Ziyad dari Dhafir tentang seseorang yang
mempunyai hutang seribu dirham berupa harta atau barang jaminan sampai satu tahun
lamanya. Lalu dia diberi keringanan dengan hanya membayar limar ratus dengan kontan.
Hal ini diperbolehkan.

Ulama yang Melarang;


Jumhur Ulama Salaf , Tabi’in dan Empat Imam Madzhab.
Ulama Salaf yang tidak memperbolehkan;
Umar dan Ibn Umar ra. Abdurrazaq dalam kitab al-Mushannaf [14359] mengatakan, “Ibn
Uyainah meriwayatkan kepada kami dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Abu al-Minhal
Abdurrahman bin Muth’im meriwayatkan kepadaku, “Saya bertanya pada Ibn Umar tentang
seseorang yang mempunyai hutang padaku dengan tenggang waktu dan saya lalu
mengatakan padanya, “Percepatlah membayar hutang, maka saya akan memperingan
hutangmu. Tetapi setelah saya ceritakan, Ibn Umar melarangku berbuat demikian. Beliau
mengatkan, “Amirul Mukminin telah melarang kita menukar barang dengan hutang.”79
Abdurrazaq (14354), “Muammar menceritakan pada kami dari az-Zuhri dari Ibn al-
Mushib dari Ibn Umar, “Barang siapa mempunyai hak atas seseorang dengan tenggang
waktu tertentu, lalu dia meminta agar pembayarannya dipercepat sebagian, dan supaya

78 Dlaif: HR. Al-hakim dalam al-Mustadrak, vol. 2, hal. 52 dari jalur Muslim bin Khalid bin az-Zanji, dia
lemah dlam periwayatan. Ad-Darqathni (as-Sunan vol. 3, hal. 37) mengatakan, “Periwayatan Muslim bin
Khalid diragukan, hafalannya buruk dan lemah. Menurut saya: riwayat Daud bin al-Hashin dari Ikrimah
adalah diragukan dan dlaif.
79 Shahih: Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini, vol. 6, hal. 28.
sisanya dibayar belakangan, maka praktik seperti ini adalah riba. Muammar mengatakan,
“Saya melihat bahwa para sahabat dan tabiin membenci prektik demikian.”80
Riwayat Imam Malik (Al-Muwaththa’ 672), “dari Utsman bin Hafsh bin Khaldah dari
Ibn Syihab dari Salim bin Abdullah dari Andullah bin Umar bahwa beliau pernah ditanya
tentang seseorang yang mempunyai hutang dengan tenggang waktu tertentu lalu orang yang
memberikan hutang memperingan agar segera membayar sebagian hutangnya dan sisanya
dilunasi belakangan, Ibn Umar menjawab bahwa hal itu tidak diperbolehkan dan harus
ditinggalkan.81
Zaid bin Tsabit ra. Riwayat Imam Malik (Al-Muwatha’ 672)82, “Dari Abi Zannad dari
basr dari ibn Sa’id dari Ubaid Abi Shalih penguasa as-Sufah: Saya membeli kain pada
penduduk kota Nakhli dengan pemberian tenggang waktu. Saat akan menuju kota Kuffah,
mereka menawarkan agar saya membayar sebagian harga dulu dan sisanya dibayar nanti.
Lalu saya menanyakan hal itu pada Zaib bin Tsabit, beliau menjawab, “Jangan, saya
menyuruhmu agar mengambil barang itu dan jangan kamu pisah-pisahkan pembayarannya.”

Tabi’in yang tidak memperbolehkan;


Sa’id bin al-Musib ra. Abdurrazaq (14357-14358), “Dari at-Tsauri dan Ibn Uyainah dari
Daud bin abi Hindi, “Saya pernah bertanya pada Sa’id bin al-Musib tentang hal ini, beliau
menjawab, “Itu adalah penukaran dirham yang diberi tenggang waktu, tetapi dibayar
dengan dirham yang lebih sedikit dengan mendahulukan pembayaran.”83
Al-Hasan dan Ibn Sirin ra. Abdurrazaq (14356)84, “Dari hisyam dari al-hasan dan
Muhammad, bahwa mereka berdua membensi praktik yang demikian, mereka mengatakan,
“Kamu boleh menerima tawarannya bila kamu memang ingin membayar lunas sekaligus
sebelum waktunya dan tidak memisah-misahkan pembayaran.”85
80 Shahih Ilaih: Hr. Baihaqi dari jalur malik, vol. 6, hal. 28.
81 Shahih lighairihi: Ibn Hubban menganggap tsiqah Utsman bin Hubban, juga Ibn Abdil Barr dalam at-
ramhid. Bukhari menyebut hadits ini dalam at-Tarikh al-Kubra termasuk dalam hadits munkar, Bukhari
mengatakan, “Saya tidak tahu, dia apakah Utsman Ibn Abdurrahman. Tetapi ada yang mempersaksikan bahwa
ini adalah shahih.
82 Para perawinya tsiqah. Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dari jalur malik, vol 6, hal. 28, HR. Abdurrazaq
dalam al-Mushannaf, hal. 14355 dari at-Tsauri dari Ibn dzakwan dari Basr bih.
83 Shahih: ini adalah jual beli yang diharamkan, termasuk riba. Karena Nabi SAW telah melarang jual beli
emas dengan emas serta perak dengan perak kecuali bila saling menerima barang, saling merelakan dan
masing-masing barang sama takarannya.
84 Shahih: Baihaqi juga meriwayatkan ini, vol. 10, hal. 335.
85 Maksudnya dari “Kamu boleh menerima tawarannya bila kamu memang ingin membayar lunas” adalah:
dia boleh menerima tawarannya, seperti perabot rumah, baju atau barang bermanfaat lain selain mata uang
dirham dan dinar. Transaksi ini termasuk dalam kategori jual beli sebagian dirham dengan dirham lain
sebagaimana telah ditegaskan oleh Said Ibn al_Musib. Menerima tawaran diperbolehkan bila dalam
As-Syu’ba dan al-Hikam bin Utaibah ra. Abdurrazaq, “Dari Uyainah dari Ismail bin Abi
Khalid, dia mengatakan, “Saya berkata pada Syu’ba, “Tentang seseorang yang mempunyai
hutang lalu dia membayar sebagian dan sisanya akan menyusul, Ibrahim mengatakan bahwa
hal itu diperbolehkan. Tetapi al-Hikam bin Utaibah membenci hal tersebut. Syu’ba lalu
mengatakan, “Al-hikam benar sedangkan Ibrahim salah.”86

Imam Madzhab yang tidak memperbolehkan.


Empat Imam Madzhab ra. Ibn Qudamah (Al-Mughni 6/109), “Seseorang mempunyai hak
atas hutang yang diberi tenggang waktu, lalu dia mengatakan pada orang yang berhutang
padanya, “Bayarlah sebagian hutangmu agar kamu dapat segera melunasinya.” Praktik
seperti di atas tidak diperbolehkan. Zaib bin Tsabit, Ibn Umar, al-Miqdad, sa’id bin al-
Musib, Salim, al-hasan, al-Hummad, al-Hikam, as-Syafi’I, Malik, at-Tsauri, Hasyim, Ibn
Ilyah, Ishaq, dan Abu Hanifah juga telah menyepakati ketidakbolehan prektik seperti ini.
Imam Malik ra (Al-Muwatha’ 673), “Praktik yang sudah disepakati bahwa hukumnya
makruh adalah: seseorang mempunyai hutang sampai waktu tertentu. Dengan membayar
hutang dipercepat dari waktu yang sudah disepakati, hutangnya akan lunas hanya dengan
membayar sebagian saja. Menurut kami, praktik di atas sama halnya dengan orang yang
boleh membayar hutang melebihi dari batas waktu yang ditentukan, tetapi dia harus
membayar lebih dari hutangnya.87 Jelas hal ini adalah praktik riba.
Imam Syafi’I, : Jika seseorang mempunyai hutang emas sampai batas waktu tertentu,
lalu dia berkata pada orang yang memberinya hutang, “Saya akan membayar hutang
sebelum waktu yang telah kita sepakati, tetapi nominal hutang saya harus kamu kurangi.”
Hal seperti ini tidak ada manfaatnya.
Ibn Hazm dalam kitab al-Mahalli [8/83] mengatakan, “Menyegerakan pembayaran
sebagian hutang sebelum waktunya dengan konsekuensi sisanya dianggap lunas adalah
tidak diperbolehkan. Jika hal ini terlanjur terjadi, maka sebagian hutang yang bayarkan
harus dikembalikan lagi. Sebab, pensyaratan seperti ini tidak terdapat dalam al-Kitab.
Rasulullah SAW juga telah bersabda, “Semua pensyaratan yang tidak terdapat dalam al-

pemberian tenggang waktu tidak ada masalah.


86 Shahih: Mushannaf Abdurrazaq, hal. 14369.
87 Menurut saya: inilah yang dinamakan qiyas syibh oleh ulama ushul. Maknanya adalah: pemberi hutang
mengambil pengembalian lebih dari penghutang sebab dia telat membayar hutang, yakni melewati batas
waktu yang telah disepakati. Ini adalah praktik riba, haram hukumnya. Sebab kembalian lebih itu dianggap
sebagai ganti dari waktu keterlambatan. Begitu pula bila pembayaran diawalkan yang berakibat hutangnya
dapat berkurang, ini serupa dengan model riba pertama yang hukumnya juga diharamkan.
Kitab tidak diperbolehkan.”

Dalil-dalil yang menjadi dasar pijakan bagi ulama yang tidak memperbolehkan:
Hadits riwayat al-Baihaqi (6/28) dari Ali bin Ahmad bin ‘abdan dari Ahmad bin
Ubaid dari Muhammad bin Yunus dari Ghanim bin al-Hasan bin Shalih as-Saadi dari
Yahya bin Ma’la al-Aslami dari Abdullah bin Abbas dari Abi an-Nadlr dari Basr bin Sa’id
dari al-Miqdad bin al-Aswad ra, “Saya pernah memberi hutang seratus dinar pada
seseorang. Pada waktu itu, Suhma datang dari rombongan yang diutus Rasulullah, lalu saya
berkata pada orang yang saya beri hutang, “Percepatlah membayar sembilan puluh dinar
dari hutangmu, maka yang sepuluh dinar akan saya anggap lunas.” “Baiklah,” jawabnya.
Ketika Suhma mengadukan hal ini pada Rasulullah, beliau lalu bersabda, “Hai Miqdad,
kamu telah memakan dan memberi orang itu makan harta riba.”88
Ibn Rusyd (Bidayatul Mujtahid 2/144), “Menurut kami, asal-muasal riba ada lima,
yakni;
1. Mundurkan waktu pembayaran hutang saya, maka nanti pada saat mengembalikan
hutang, saya akan melebihkannya.
2. Tidak sama dalam takarannya.
3. Perempuan yang menjual perhiasannya.
4. Membayar sebagian hutang dan memajukan pengembaliannya.
5. Menjual makanan yang tidak dia pegang.
Untuk asal yang keempat, hal ini diperbolehkan menurut Ibn Abbas dan sebagian
kecil ahli fiqh Mesir, dan tidak diperbolehkan menurut jumhur ulama seperti Ibn Umar dari
golongan sahabat, Imam Malik, Abu Hanifah, at-Tsauri dan sebagian besar ulama Mesir.
Sedangkan menurut madzhab syafi’I masih ada perbedaan. Alasan utama dari ulama yang
tidak memperbolehkan ‘pembayaran sebagian hutang dan memajukan pengembalian’
adalah bahwa hal itu sama dengan melebihkan pembayaran hutang bila waktu pembayaran
dimundurkan dari waktu yang disepakati (mengenai masalah ini, semua ulama sepakat
menghukuminya haram). Segi kesamaannya adalah sama-sama menjadikan waktu sebagai
ukuran nominal hutang yang harus dibayarkan. Jika waktu pembayaran dimundurkan dari
waktu yang telah disepakati, maka nominal hutang yang dibayar harus dilebihkan. Begitu
pula sebaliknya bila pembayaran dimajukan, maka nominal hutang yang dibayar harus

88 Sangat dla’if: Baihaqi mengatakan hal ini dalam as-Sunan, vol 6, hal. 28. sebab ada Yahya bin Ya’la al-
Aslami riwayatnya dianggap munkar.
dikurangi.
Dan alasan utama ulama yang memperbolehkan adalah hadits yang diriwayatkan dari
Ibn Abbas, “Bahwa Nabi SAW pernah bersabda pada Bani Nadlir: bayarlah sebagian
hutangmu dan majukanlah pembayarannya.
Sebab terjadinya perbedaan di antara ulama adalah ketika menganalogikan segi
kesamaan dalam hadits ini.

Identifikasi Masalah
Kemungkinan yang benar adalah pendapat yang mengatakan ketidakbolehan masalah
ini. Dengan alasan;
1. Hadits Nabi SAW yang berbunyi “Bayarlah sebagian hutangmu dan majukanlah
pembayarannya” telah dibuktikan bahwa hadits tersebut dla’if.
2. Analogi kesamaan yang dilakukan Imam Malik menyatakan bahwa masalah ini
termasuk riba yang haram dilakukan.
3. Karena terjadi kesamaan dan kerancuan dalam masalah ini, maka kita harus
meninggalkan praktik seperti ini, karena Nabi SAW telah menganjurkan agar kita
menjauhi hal-hal yang syubhat (terjadi kerancuan dan kesamaan).
Ketidakbolehan ini adalah pendapat jumhur ulama dari golongan sahabat, tabi’in dan
para imam madzhab, sekalipun Ibn Abbas ra memperbolehkannya. Wallau a’alam.
PENEGASAN HUTANG

Yang dimaksud dengan penegasan di sini adalah menegaskan hutang yang menjadi
tanggungan madin (orang yang berhutang) dengan bukti yang dapat menjamin hutangnya
tetap menjadi hak dain (orang yang memberi hutang) yang harus dia lunasi bila di kemudian
hari dia tidak mengakuinya atau lupa bahwa dia pernah mempunyai hutang.
Kesempurnaan syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW juga dapat dibuktikan
dengan hal ini, yakni apabila manusia mematuhi dan menjalankan urusan-urusan dan
hukum-hukum yang ditetapkan syariat, maka agama, harta, dan perilaku mereka akan
terjaga dari kehancuran dan kehilangan perlindungan yang menjadi hak mereka. Oleh
karena itu, di bawah ini saya sebutkan beberapa langkah yang telah ditetapkan Allah beserta
hukumnya tentang bagaimana cara menegaskan hutang;
1. Pencatatan/Dokumentasi
Dalil yang mensyariatkan pencatatan;
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, …”(Al-Baqarah : 282).

Ibn ‘Arabi (Ahkam al-Qur’an 1/248), “Ayat yang berbunyi “Hendaklah kamu
menuliskannya”, maksudnya adalah dokumentasi hutang agar orang yang mempunyai
hutang tidak lupa untuk membayarnya ketika sudah sampai waktunya. Hal ini bertujuan
agar dia tidak mengelak pada saat ditagih atau lupa bahwa dia mempunyai hutang. Karena
lupa adalah tabiat manusia yang tidak bisa dihilangkan. Syaitan juga terkadang tiba-tiba
menggoda manusia untuk mengingkarinya dan melupakannya dari kematian. Karena itulah,
Allah mensyariatkan pencatatan/dokumentasi dan persaksian.
Dari Muhammad bin Basyar dan Sofwan bin Isa dai al-Harits bin Abdurrahman ibn
Abi Dzubab dari Said bin Abi Said al-Maqbari dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW
bersabda: “Saat Allah menciptakan Adam dan meniupkan ruh pada jasadnya, dia bersin lalu
mengucap alhamdulillah (segenap pujian hanya bagi Allah), dengan izin-Nya dia dapat
memuji-Nya. Allah berfirman pada Adam, “Wahai Adam, Allah memberkatimu, pergilah
pada para malaikat yang sedang duduk di sana.” Adam lalu pergi, “Assalamu’alaikum,”
Adam menyapa para malaikat. “Wa’alaikum salam warahamtullah,” jawab mereka. Adam
kembali pada Allah. Allah lalu berfirman, “Salam ini adalah bentuk doa dan
penghormatanmu serta anak-cucumu.” Allah kembali berfirman dengan kedua tangan
terdekap, “Pilihlah salah satu dari dua tanganku ini.” Adam menjawab, “Saya memilih
tangan kanan Tuhanku, kedua tangan Tuhanku ini adalah tangan kanan yang diberkati.”
Lalu Adam merentangkan kedua tangan itu, tiba-tiba dia melihat sekumpulan orang.
Dengan heran Adam bertanya, “Wahai Tuahnku, pe ketentuanku dan aku telah
mencatatnya.” “Ya Tuhanku, tambahlah umurnya enam puluh tahun lagi, ambilkanlah dari
umurku.” Allah menjawab, “Baiklah. Kalau begitu, tinggallah di surga seseuai kehendakku,
kemudian tutunlah dari sana.” Lalu Adam menghitung-hitung umurnya. Ketika Malaikat
Maut mendatangi Adam untuk mencabut nyawanya, Adam protes, “Kamu terlalu cepat
mengambil nyawaku, Allah memberiku umur seribu tahun.” “Benar demikian, tetapi kamu
telah memberikan enam puluh tahun umurmu kepada Daud,” jawab malaikat maut. Adam
tidak mengakuinya, begitu pula anak cucunya, ingkar dan lupa. Lalu Nabi Muhammad
SAW bersabda, “Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar kita mencatat dan
mempersaksikan.”89

Apakah dokumentasi itu wajib?


Al-Qurthubi (Al-jami’ Liahkam al-Qur’an 3/381), “Sebagian ulama berpendapat
bahwa dokumentasi adalah wajib berdasarkan ayat 282 surat al-Baqarah, baik dokumentasi
jual beli atau hutang, tujuannya adalah untuk mengantisipasi bila kelak ingkar atau lupa.
Inilah pendapat yang dipilih oleh at-Thabari.”90
Jumhur Ulama. Perintah mengenai dokumentasi/pencatatan adalah perintah sunnah,
bukan wajib. Hal ini bertujuan untuk melindungi harta dan menghilangkan keragu-raguan.
Jika orang yang berhutang termasuk orang yang saleh dan bertakwa, maka pencataran tidak

89 Hasan dilihat dari semua jalur: HR. Tirmidzi, hal. 3368, HR. At-Thabari dalam Tarikh al-Kubra, vol. 1,
hal. 98, HR. An-Nasai dalam al-Kubra, vol. 6 hal. 63, HR. Baihaqi, vol 10, hal. 147. semua riwayat ini dari
jalur Shafwan Ibn ‘ais dari al-Harits dari Abu Dzubab dari Sa’id al-Maqbari dari Abu Hurairah. HR. An-Nasai
dari jalur Abu Khalid al-Ahmar dari al-Harits, setelah mengeluarkan hadits, an-Nasai mengatakan bahwa
hadits ini adalah munkar. Berbeda dengan Ibn ijlan dari Sa’id dari ayahnya dari Abdullah bin Salam sebagai
hadits mauquf, al-Kubra, vol. 6, hal. 649 dari Qutaibah dari al-Laits dari Ibn Ijlan. Menurut saya: Shafwan
bin Isa dan Abu Khalid al-Ahmar Anas ibn Iyadl mengikuti Ibn Abi Ashim dalam as-Sunnah, vol. 1 hal. 90.
Ibn Abi Dzubab Ismail bin Rafi’ juga mengikuti Abu Ya’la, hal. 6580, HR. Tirmidzi, hal. 3076 dari Abu
na’im dari Hisyam bin Saad dari Zaid ibn Aslam dari Abu Shalih dari Abu Hurairah.
90 Dia mengatakan ini dalam tafsirnya, vol. 3, hal. 120. demikian pula ulama Madzhab Dhahiriyah seperti Ibn
Hazm. At-Thabari meriwayatkan dengan sanad sampai Ibn Jirij dan ad-Dhahak dan ar-Rabi’. Mereka
mengatakan bahwa dokumentasi adalah wajib.
perlu dilakukan, tetapi jika sebaliknya maka perlu dilakukan pencatatan untuk menjamin
hak atas hutang itu, dan ini adalah kebutuhan orang yang mempunyai hak.
Sebagian Ulama. Jika dipersaksikan, maka orang yang berhutang akan merasa
terkekang. Tetapi jika dia diberi kepercayaan, maka dia akan merasa lapang dan leluasa.
Inilah yang benar, dan hal ini tidak menasakh 91 (menggugurkan) ketentuan ayat
sebelumnya. Menurut kesepakatan, Allah menganjurkan agar pencatatan dilakukan bila
terdapat tanda-tanda pengingkaran pada orang yang berhutang. Anjuran ini bertujuan untuk
meringankan urusan manusia.

2. Persaksian
Dalil yang mensyariatkan persaksian;
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki (di antaramu). Jika tidak ada dua
oang laki-laki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu setujui, supaya jika seorang lupa, maka yang seorang mengingatkannya…” (Al-
Baqarah: 282)

Ayat di atas menunjukkan disyariatkannya persaksian dan anjuran untuk


melakukannya. Persaksian diumpamakan sebagai pengikat, yakni untuk melindungi hak
dain (orang yang membei hutang) jika madin (orang yang berhutang) ingkar atau lupa pada
hutang yang menjadi tanggungannya, agar perkelahian dan perselisihan antara keduanya
dapat dihindari.

Hukum Mempersaksikan Hutang;


Sunnah sebagaimana hukum melakukan pencatatan, sebab dalil yang menjadi dasar
hukum adalah sama. Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yakni: ‘perintah
dalam ayat di atas adalah sebagai bimbingan dan anjuran.
Di antara dailil yang mengindikasikan bahwa ayat tersebut menunjukkan anjuran
adalah perbuatan yang dilakukan nabi SAW saat berhutang pada Jabir ra92. Jabir

91 Yakni ayat “faktubuh” dinasakh dengan “fain amina ba’dlukum ba’dla”, dari as-Syu’ba, Ibn Jarir at-
Thabari meriwayatkan dalam tafsirnya dengan berbagai macam sanad. Menurut saya, yang dimaksud nasakh
oleh Syu’ba adalah berpindah, yakni berpindah dari hukum wajib ke sunnah dan irsyad (bimbingan). Hal ini
dapat dilihat dari riwayat at-Thabari dengan sanad yang shahih, “Dari Ya’qub dari Ibn ‘alaih dari Daud dari
Syu’ba tentang ‘fain amina ba’dlukum ba’dla’: jika dalam keadaan terdesak, maka dokumentasi bersifat
mendesak, jika tidak maka seseorang boleh tidak melakukannya.
92 Perwayatannya telah dijelaskan sebelumnya.
mengatakan bahwa Nabi tidak menghadirkan orang untuk mempersaksikan transaksinya.
Abu Bakar al-Jashash (Ahkam al-Qur’an 1/657), “Para ahli fiqh Mesir telah
menyepakati bahwa pencatatan, persaksian, dan persewaan yang penggadaian yang termuat
dalam dalam ayat ini hanya merupakan anjuran dan bimbingan Allah untuk kepentingan,
kebaikan dan kehati-hatian kita dalam urusan agama dan dunia, bukan suatu kewajiban
yang harus kita lakukan.
Ulama kotemporer Mesir telah mengutip pendapat ulama klasik, yakni apabila tidak
ditemukan indikasi seseorang akan ingkar, maka tidak diperlukan persaksian dalam urusan
hutang-piutang, makanan-minuman, dan jual-beli. Seandainya persaksian itu wajib, maka
mereka tidak akan mempedulikan perihal pengingkaran meskipun mereka mengetahui
indikasi pengingkaran berada pada diri seseorang. Hal ini menjadi bukti bahwa para ulama
sepakat dengan hukum sunnah mengenai hal ini, juga berdasarkan praktik yang berlangsung
mulai zaman Nabi SAW sampai sekarang. Seandainya para sahabat dan tabi’in
mempersaksikan praktik jual beli dan makanan-minuman mereka, maka pasti terdapat bukti
mutawatir dan dapat dipertanggungjawabkan yang menjelaskan hal tersebut dan orang yang
tidak melakukan persaksian pasti tidak diperbolehkan. Karena tidak ada bukti mutawair dan
jelas tentang perbuatan sahabat yang melakukan persaksian itu, maka pencatatan dan
persaksian dalam hutang-piutang dan jual-beli tidak dihukumi wajib.

Jumlah Saksi dalam Hutang-Piutang;


Firman Allah;
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki (di antaramu)” (Al-Baqarah:
282)
Ayat ini menunjukkan bahwa saksi berjumlah dua orang laki-laki atau seorang laki-
laki , dengan syarat harus adil dan beragama Islam. Maka orang non Islam tidak boleh
menjadi saksi dalam transaksi orang Islam, begitu pula orang fasik dan orang yang selalu
berbuat maksiat. Hal ini berdasarkan firman Allah;
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah.”
Dengan ayat tersebut, Allah memberi ketentuan bahwa saksi harus adil dan Islam.
Apakah perkara hutang dimenangkan oleh orang yang mempunyai hak atas hutang
bila saksinya hanya seorang laki-laki?
Imam Muslim ra meriwayatkan hadits dari Abu baker bin Abi Syaibah dan
Muhammad bin Abdullah bin Namir dari Zaid ibn Hibban dari Saif bin Sulaiman dari Qais
bin Saad dari Amr bin Dinar dari Ibn Abbas, “Bahwasanya Rasulullah memutuskan dengan
sumpah dan seorang saksi.93

93 Shahih dilihat dari semua jalurnya: HR. Muslim, hal. 4447. Hadits ini mempunyai banyak jalur, dan setiap
jalur tidak lepas dari pendapat ulama dan alasan yang menyertai. Berikut saya sebutkan:
Pertama, jalur yang secara sekilas tidak ada cacatnya. Dalam jalur ini hanya ditemukan satu cacat, yakni
keterputusan antara Amr dan Ibn abbas. Tirmidzi (al-Ilal al-Kubra, hal. 361) mengayakan, “Saya pernah
menanyakan pada Imam Bukhari perihal hadits ini, beliau menjawab: menurut saya, Amr bin Dinar tidak
pernah mendengar hadits ini dari Ibn Abbas. Yahya bin Mu’in (kitab Tarikh-nya riwayat ad-Dauri, hal. 1706)
mengatakan, “Riwayat Ibn Abbas mengenai hadits ini tidak dapat dibuat pegangan.” Menurut saya, “Dalam
riwayat ad-Darqathni, ada yang menengah-nengahi antara Amr dan Ibn Abbas, yakni Thawus (4448), tetapi
jalurnya lemah, karena salah satu perawinya dlaif, yakni Abdullah Muhammad bin Rabi’ah dari Muhammad
bin Muslim dari Amr. Abdurrazq berbeda dengan periwayatan ini, yakni dari riwayat Abu Daud (3609) dari
Muhammad bin Muslim ari Amr dari Ibn Abbas, tetapi masih tetap ada cacat dalam hadits ini. Riwayat
baihaqi meriwayatkan hadits ini dari jalur lain dari Ibn Abbas, vol. 10, hal. 168, tetapi riwayat ini dlaif dilihat
dari riwayat as-Syafi’I dari Ibrahim bin Muhammad dari Rabi’ah bin Utsman dari Mu’adz bin Abdurrahman
dari Ibn Abbas. Menurut saya, “Periwayatan Ibrahim bin Muhamamd di sini ditolak, sedangkan Rabi’ah bun
Utsman masih dirsgukan. Ibn Abdil Barr (at-tamhid, vol. 2, hal. 138), “Hadits tentang sumpah dan seorang
saksi memilki banyak sanad mutawatir, hasan dan tsabit. Sanad paling shahih adalah dari Ibn Abbas, sebab
tidak ada seorang perawi pun yang cacat dalam sanad, para ahli hadits pun telah sepakat akan ke-tsiqah-han
para perawinya.
Kedua, jalur Abu Hurairah: HR. Abu Daud, hal. 3610 dari Abu Mus’ib az-Zuhri dari ad-Darawardi dari
Rabi’ah bin Abu Abdurrahman dari Sahil bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi
SAW……al-Hadits. HR. Tirmidzi, hal. 1343 dari Ya’qub bin Ibrahim dari ad-Darawardi, juga HR. Ibn Majah,
hal. 2368, dari jalur Ahmad bin Abdurrahman az-Zuhri dari ad-Darawardi. HR. At-Thahawi dalam Syarh
Ma’ani al-Atsar, vol. 4, hal. 144, HR. baihaqi, vol. 10, hal. 168 dari jalur as-Syafi’I dari ad-Darawardi. HR.
Abu Daud, hal. 3611, HR. Baihaqi, dari jalur Abu Daud dari Sulaiman bin Bilal dari Rabi’ah dari Sahil, cacat
sanad hadits ini hanya terletak pada jalur Sahil, ketika Sahil ditanya, dia menjawab, “Saya tidak
mengetahuinya.” Setelah mentakhrij hadits, Abu Daud (4/34) mengatakan, “Ar-Rabi’ bin Sulaiman
menambah Al-Muadzin dalam sanad ini.” As-syafi’I dari Abdul Aziz ad-Darawardi, “Saya menyebut hadits
ini pada Sahil, dia lalu mengatakan, “Rabi’ah meriwayatkannya padaku, menurut saya, dia percaya kalau saya
hanya mengatakan, tidak sampai hafal.” Abdul Aziz, “Sahil pernah tertimpa musibah sampai membuat
akalnya terganggu dan sebagian hafalan haditsnya hilang, tetapi hal ini terjadi setelah rabiah dari ayahnya
meriwatkan hadits darinya.” Abu Daud (4/34), “Setelah meriwayatkan, Sulaiman bin Bilal mengatakan: Saya
pernah menanyakan pada Sahil perihal hadits ini, tetapi dia menjawab tidak tahu, lalu saya mengatakan bahwa
Rabiah meriwayatkan padaku dari dia, lalu jawabnya:jika benar demikian, hadits ini memang benar dariku.
Ibn Abi Hatim (1/463-1392), “Ayahku pernah ditanya tentang keshahihan hadits Abu Hurairah tentang
sumpah dan seorang saksi. Ayahku diam sejenak lalu berkata, “Apa yang telah dikatakan ad-Darawardi?” dia
mengatakan bahwa dia telah menanyakan hadits ini tetapi Sahil menjawab tidak tahu. Lalu ad-Dawardi
mengatakan bahwa lupanya Sahil tidak menjadi penghalang bagi riwayat Rabiah, karena dia tsiqah, hanya saja
yang meriwayatkan padanya terkadang lupa saat setelah meriwayatkan. Ayahku lalu mengatakan, “Benarlah
demikian, tetapi tidak ada yang mengikuti periwayatan hadits ini, sekelompok perawi bahkan tidak menyebut
hadits ini. Menurut saya (Ibn Abi Hatim), “Beliau memberi pernyataan hanya berdasarkan satu berita, yakni:
benarlah demikian, tetapi sama sekali saya tidak tahu riwayat dari Abu Hurairah. Ini adalah asal usul tidak
ikutnya Rabi’ah. Setelah ditanya tentang hadits Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
memutuskan hanya berdasarkan sumpah dan seorang saksi, ad-Darqathni (al-ilal, vol. 10. hal. 138)
mengatakan, “Sahil bin Abu Shalih meriwayatkannya dari ayahnya dari Abu Hurairah yang juga diriwayatkan
Perkataan Sahabat dan Tabi’in;
Muawiyah;
At-Thahawi, “Dari Wahban dari Abu Hamam dari Ibn al-Mubarak dari Ibn Abi Dza’b
dari az-Zuhri: bahwa Muawiyah adalah orang pertama yang memutuskan dengan sumpah
dan seorang saksi.94
Syarih al-Qadli ra.
Imam an-Nasa’I ra dari Muhammad bin Rafi’ dari Abu Bakar Ibn Abi Uwais dari

oleh Sulaiman bin Bilal. Tetapi ada riwayat yang berbeda, yakni al-uqba dan Ismail binAbu Uwais dan Yahya
al-Himani dan Ziyad bin Yunus dan Abdulah bin Wahab dari Sulaiman dari Rabiah dariSahil dari ayahnya
dari Abu Hurairah, berbeda pula Abu baker bin Abu Uwais dan Imran bin Aban dari Sulaiman bin Bilal dari
Sahil tanpa menyebut Rabiah. Sanad yang benar adalah: dari Sulaiman bin Bilal bin Rabiah. Ziyad ibn Yunus
telah menjelaskan hal ini dalam riwayatnya dari Sulaiman, “Sulaiman mengatakan: Saya pernah bertemu
Sahil, saya tanyakan perihal hadits ini tetapi dia tidak mengetahuinya. Lalu saya katakana bahwa Rabiah
meriwayatkan pada saya dari kamu, dia menajwab: hadits yang diriwayatkan Rabiah dari saya dan riwayat
seseorang dari Sahil dari Rabiah dari Sahil dari ayahnya dari Abu Hurairah, serta riwayat seseorang dari Sahil
dari ayahnya dari Zaid bin Tsabit, adalah tidak shahih. (riwayat at-Thahawi dalam Syarh ma’ani al-Atsar, vol.
4, hal. 144) salah satu perawinya dlaif, yakni Zuhair bin Muhammad (demikian pula riwayat Abu az-Zanad
dari dari al-A’raj dari Abu Hurairah) HR. Baihaqi dalam as-Sunan, vol. 10, hal. 168 dari jalur Mughirah bin
Abdurrahman dari Abu az-Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah, Mughirah juga meriwayatkan hadits-hadits
gharib, dalam at-Tahdzib, al-Hafidh ibn Hajar mengutip dari Ibn Udai dalam bibliografi al-Mughirah bahwa
riwayat ini adalah gharib, dan cacat bila dilihat dari riwayat Ibn Ijlan dan banyak perawi dari Abu az-Zanad
dan dari Abu Shafiyyah ari Syarih al-Qadli. HR. Baihaqi, vol. 10, hal. 173. Menurut ad-Darqathni, yang
dijadikan pegangan adalah hadits Rabiah dari Sahil. Al-Hafidh ibn Hajar dalam al-Fath, vol. 5, hal. 333
mengatakan keshahihan semua jalur hadits. Di antaranya adalah hadits Abu Hurairah bahwa Nabi SAW
memutuskan berdasarkan sumpah dan seorang saksi. Menurut para pemiliki kitab as-Sunan, para perawi hadits
Sahil adalah tsiqah, lupanya Sahil bin Abu Shalih setelah meriwayatkan pada Rabiah tidaklah menjadi
masalah, karena dengan demikian, dia telah dianggap menjadi perawi, yakni Rabiah dari dia dari ayahnya. Hal
ini telah banyak diterangkan dalam Sunan Abu daud dan lainnya.
Ketiga, jalur Jabir bin Abdullah: HR. Ahmad, al-Musnad, vol. 3, hal. 305 dari Abdul Wahab ats-Tsaqafi dari
Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir, HR. Tirmidzi, hal. 1344 dari Muhammad bin Baysar dan
Muhammad bin Aban dari Abdul Wahab, HR. Ibn Majah, hal. 2369, “Kecatatan jalur ini adalah sebab
putusnya sanad, Abdul Wahab at-Tsaqafi berbeda dengan riwayat para perawi tsiqat lainnya, dia
meriwayatkan dari Ja’far dari ayahnya. Para perawi tsiqah itu adalah: Malik. Al-Muwatha’, hal. 555, Sufyan
ats-Tsauri yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, vol. 5, hal. 360, Ibn Juraij, Ismail bin
Ja’far, Umar ibn Muhammad, Yahya bin Ayub dan Ibrahim bin Abu Yahya yang semuanya tedapat dalam
Sunan Baihaqi, vol. 10, hal. 169-170. Dalam al-Musnad, vol. 3, hal. 305 Abu Abdurrahman Abdulah bin
Ahmad mengatakan, “Ayahku –Ahmad bin Hanbal- menolak hadits ini, beliau mengatakan: tidak satu perawi
tsiqah-pun yang sama dengan riwayat Jabir, hal ini berlangssung sampai dia membaca dan menulisnya, bahwa
hadits ini adalah shahih. Dalam al-Ilal, hal. 202, Tirmidzi mengatakan, “Saya pernah menanyakan hadits ini
pada Muhammad, dia menajwab:riwayat manakah yang paling shahih? Riwayat yang paling shahih adalah
riwayat Ja’far dari ayahnya ari Ali (HR. Baihaqi, vol. 10, hal. 170) dari jalan Abbas ad-Dauri dari Syabbabah
dari Abdul Aziz bin Abu Salamah dari Ja’far dan yang sejalan dengan jalur ad-Darqathni (44441). Demikian
pula dari jalur Syaiban dari Thalhah bin Zaid, Muhammad bin Sami’ dari Abdullah bin Umar, keduanya dari
Ja’far dari ayahnya dari Ali, Tirmidzi menggantungkan jalur ini pada Yahya bin Salim dari Ja’far, cacat dari
jalur ini karena berbeda dengan riwayat yang mempunyai ketetapan sanad, yakni seperti jalur Jabir
sebagaimana pernyataan Bukhari (dan Muhammad bin Ali dari Ali sebagai hadits mursal) dan Ja’far dari
ayahnya dari Jabir dan Ja’far dari ayahnya bahwa Nabi SAW, “Hadits yang paling shahih adalah hadits Ja’far
bin Muhammad dari ayahnya dari Nabi SAW sebagai hadits mursal. Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur
lain selain jalur ja’far, yakni riwayat Khalid Ibn Abi Karimah dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain
sebagai hadits mursal. Juga Rabi’ah dari Abu Ja’far yang diriwayatkan oleh Baihaqi, vol. 10, hal. 177, HR.
Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, vol. 5, hal. 360 dari Waqi’ ari Ibn Abi karimah. Dalam al-Ilal, hal.
Sulaiman bin Bilal dari Muhammad Ibn ‘Ijlan dari Tsaur dari Abi az-Zanad dari Ibn Abi
Shafiyah al-Kufi bahwa pada suatu kesempatan Syarih menghadiri mesjid Kuffah: beliau
memutuskan dengan sumpah dan seorang saksi.95

Umar bin Abdul Aziz;


Imam Malik ra (Al-Muwatha’), “Dari Abi az-zanad bahwa Umar bin Abdul Aziz
pernah menulis surat kepada Abdul Hamid bin Zaid bin al-Khathab seorang pegawai di

1402, Ibn Abi hatim mengatakan, “Saya pernah bertanya pada ayah Abu Hatim dan Abu Zar’ah perihal hadits
riwayat Abdul Wahab ats-Tsaqafi dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bahwa Nabi SAW pernah
memutuskan berdasarkan sumpah dan seorang saksi, lalu keduanya menjawab: dalam hadits ini, Abdul Wahab
melakukan kesalahan, karena setelah dari ayahnya, jalur dari Jabir langsung pada Nabi. Setelah ditanya
mengenai hadits Husain dari Ali dari ayahnya dari Nabi, Ad-Darqathni, al-Ilal, hal. 301, mengatakan, “Ini
adalah hadits yang diriwayatkan Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, dan ada
riwayat yang berbeda dengan ini, yakni: kemungkinan Ja’far bin Muhammad memutus sanad hadits ini, tetapi
kemungkinan dia juga menyambungnya pada Jabir, karena para perawi tsiqah menghafal hadits ini dari
ayahnya dari Jabir, al-Hikam juga telah menegaskan hadits ini, sebab terdapat banyak perawi tsiqah pula, dan
ini menunjukkan bahwa hadits ini dapat diterima. Dalam al-Fath, vol. 5, hal. 333, al-Hafidh ibn Hajar
mengatakan, “Ada pula yang menyamai jalur Abu Hurairah, yakni jalur Ajbir, HR. Tirmidzi dan Ibn Majah,
Ibn Khazimah dan Abu Umanah menganggap shahih hadits ini.
Keempat, jalur Saad bin Ubadah ra, HR. Ahmad, vol. 5, hal. 285, HR. Baihaqi, vol. 10, hal. 168, dari jalur
Sulaiman bin Bilal dari Rabiah bin Abu Abdurrahman dari Ismail bin Amr bin Qais dari Amr bin Qais bin
Saad, “Saya pernah menemukan sebuah tulisan Saad, isinya: Rasulullah SAW memerintah Amr bin Hazm
agar memutuskan berdasarkan seorang saksi ditambah dengan sumpah. HR. Ad-Darqathni, hal. 4447 dari jalur
yang bersambung pada Ibn Mas’ud dan ad-Dauraqi dari ad-Darawardi dari Rabiah dari Ibn Saad bin Ubadah,
dia mengatakan, “Kami menemukan hadits ini dalam kitab Saad.” HR. Baihaqi, vol. 10, hal. 168 dari jalur as-
Syafi’I dari Abdul Aziz ad-Darawardi dari Rabiah dari Said bin Amr bin Syirhubail dari Syirhubail bin Saad,
“Kami menemukannya dalam kitab Saad.” Juga dari jalur Ibn Luhaiah, diikuti pula oleh Ibn Yazid dari
Umarah bin Ghaziyah dari Said bin Amr, serta jalur lain yang serupa dengan tambahan al-Mughirah bin
Syu’bah bahwa Nabi SAW memerintahkan demikian sesuai yang diperintahkan pada Amr bin Hazm.
Menurut saya, “Cacat sanad ini adalah tidak diketahuinya Amr bin Saad, Amr bin Syihubail serta Syirhubail
bin Said bin Saad. Dalam Ta’jil al-Manfa’ah, vol. 2, hal. 72 binliograi dari Amr bin Qais, al-Hafidh ibn Hajar
mengatakan, “as-Syafi’I telah meriwayatkan dari ad-Darawardi dari Rabiah dari Said bin Amr bin Syirhubail
bin Said bin Saad bin Ubadah. Tidak ada kemusykilan dalam sanad ini, begitu pula Amr bin Syirhubail dari
pengarang kitab at-Tahdzib. HR. Abu Uwanah dalam Shahih-nya dari jalur al-Humaidi dari ad-Darawardi dari
Rabiah dari Ibn Saad ibn Ubadah bahwa dia mendapatinya mengatakan demikian. Dari riwayat Sulaiman bin
Bilal, tampak jelaslah bahwa yang tidak jelas dalam riwayat ad-Darawardi adalah putera Ibn Saad, yakni Amr
bin Qais. Tetapi saya tidak pernah menemukan penyebutan putera Qais yang bernama Amr dalam kitab
tentang nasab Qais bin Saad bin Ubadah, begitu pula dalam nasab tentang, tidak ada yang bernama Ismail.
Amr bin Siyrhubail bin Said bin Saad bin ubadah hanya tertera dalam penyebutan saya tadi. Setelah saya
menelaah al-Muttafaq karangan al-Khatib, saya menemukan nama Amr bin Qais sebanyak lima kali, tetapi
sayangnya nama ini tidk tercantum dalam sanad, jika memang nama ini ada, maka bisa dipastikan dalam kitab
ini ada. Terdapat dua jalur dalam riwayat Rabiah dalam matan ini, yakni dengan riwayat dan dengan bertemu
langsung.
Kelima, jalur Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya: HR. Baihaqi, vol. 10, hal. 44 dari dua jalur:
pertama, jalur Ibn Juraij yang diriwayatkan dari jalur as-Syafi’I dari Muslim bin Khalid dan jalur Muthrif bin
Mazin dari Ibn Juraij. Jalur yang kedua adalah jalur Muhammad bin Abdullah al-Laitsi dari Amr bin Syuaib
dari ayahnya dari kakeknya. Letak cacat dua jalur ini adalah: dalam jalur Ibn Juraij, terdapat perawi yang
dlaif, yakni Muslim bin Khalid az-Zunji dan Muthrif bin Mazin, sedangkan jalur Muhammad bin Abdullah al-
Laitsi ditolak. Menurut ad-Darqathni, ada pula yang meriwayatkan dari Ibn Juraij dari Muhammad bin
Abdullah al-Kanani yang tidak diketahui dalam sanad, begitu pula Ya’qub bin Muhammad az-Zuhri. Cacat
lainnya dibuktikan oleh para perawi tsiqah bahwa riwayat dari Ibn Juraij dari Ja’far bin Muhammad dari
Kuffah. Isi suratnya : Kamu boleh memutuskan dengan sumpah dan seorang saksi saja.96

Pendapat para ahli fiqh tentang masalah ini;


Tanggapan Imam an-Nawawi ra (Syarh Muslim 11/231) mengenai hadits yang
memperbolehkan sumpah dan seorang saksi: hadits ini menunjukkan kebolehan seorang
saksi dan sumpah, tetapi ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Abu hanifah, Ulama
Kuffah, as-Syu’ba, al-Hikam, al-Auza’I, al-Laits, dan ulama Andalusia pengikut Imam
Malik mengatakan, “Tidak boleh hanya dengan seorang saksi dan sumpah dalam
memutuskan semua hukum.”
Menurut jumhur ulama Islam dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama Mesir
setelahnya, “Cukup hanya dengan seorang saksi dan sumpah orang yang
mendakwa/menuntut dalam urusan harta dan yang serupa dengannya. Yang sejalan dengan
pendapat ini adalah Abu Bakar as-Shidiq, Ali, Umar bin Abdul Aziz, Imam Malik, Imam
syafi’I, Imam Ahmad, para ahli fiqh Madinah, Ulama Hijaz, dan para Pembesar Ulama
Mesir.
Argumentasi mereka: kebolehan seorang saksi dan sumpah adalah berdasarkan pada
hadits-hadits riwayat Ali, Ibn Abbas, Zaid bin Tsabit, Jabir, Abu Hurairah, Imarah, Ibn
Hazm, Saad bin Ubadah, Abdullah bin Amr bin al-Ash dan al-Mughirah bin Syu’bah.

ayahnya adalah terputus. Dalam ad-Dlu’afa’ al-Kubra, hal. 1805 biografi Muthrif bin Mazin, al-‘Uqaili
menyebutkan hadits ini. “Muhammad bin Ismail meriwayatkan pada kami dari Hujjaj bin Muhammad al-
A’war, dia mengatkan: Ibn Juraij berkata: ja’far bin Muhammad meriwayatkan padaku dari ayahnya,
Muhammad bin Ali, bahwa Rasulullah SAW memutuskan suatu perkara berdasarkan sumpah dan seorang
saksi.
Keenam, jalur az-Zabib al-‘Anbari ra, diriwayatkan dari Abu Daud, hal. 3612 dari jalur Ahmad bin Abdah
dari Ammar bin Syuaib dri ayahnya, Syuaib bin Abdullah bin az-Zabib dari az-Zabib al-Anbari. Ceritanya,
bahwa Sariyah mengadu pada Nabi SAW tentang kaumnya, dia mendatangi Nabi sambil mengucapkan salam,
“Kami telah menyerahkan telinga-telinga ternak itu ya rasul.” Rasul bertanya, “Apakah kamu mempunyai
bukti bahwa kamu telah menyerahkannya sebelum kamu gunakan pada hari ini?” “Iya”, “Lalu mana bukti
itu?”, Tanya Rasul kembali. “Samurah, seorang penduduk dari bani ‘Anbar dan satu orang lagi.” Seorang
memberi persaksian, tetapi tidak Samurah. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Samurah enggan memberi
persaksian untukmu, maka bersumpahlah.” Lalu dia mengatakan, “Baiklah, saya bersumpah demi Allah,
bahwa saya telah menyerahkan telinga-telinga ternak itu pada hari itu.” Rasulullah kemudian menyerahkan
sebagian padanya dan disisihkan sebagian (kisah)”. Menurut saya, “Dalam hadits ini, Ammar bin Syuaib dan
ayahnya tidak diketahui.
Ketujuh, jalur Saraq bin Asad al-Juhni ra: HR. Ibn Majah, hal. 2371 dari jalur Abu Bakar bin Abu Syaibah
dari Yazid bin Harun dari Juwairiyah bin Asma’ dari Abdullah bin yazid Maula al-Munba’its dari seorang
penduduk Mesir dari Saraq. Cacat sanad ini terletak pada seorang penduduk Mesir yang tidak diketahui
identitasnya.
Kesimpulannya: dilihat dari semua jalurnya, hadits ini shahih. Wallahu a’lam. Boleh memberlakukan hadits
ini menurut jumhur ahli hadits klasik dan para imam sesudahnya.
94 Munqathi’: az-Zuhri tidak pernah bertemu Muawiyah. Syarh ma’ani al-Atsar, vol. 4, hal. 148.
95 Shahih: HR. An-Nasai dalam al-Kubra, vol. 4, hal. 492.
96 Shahih: Abu az-Zanad, seorang sekretaris Abdul Hamid bin Abdurrahman.
Argumentasi Ulama Fiqh yang Mengatakan Ketidakbolehan Seorang Saksi dan
Sumpah serta Sebab Dasar Hadits yang Meragukan

Pertama, yang menjadi landasan adalah hadits dla’if.


At-Thahawi ra (Syarh Ma’ani al-Atsar 4/145) mengatakan, “Para ahli hadits mengatakan
bahwa hadits yang memperbolehkan hanya seorang saksi dan sumpah saja adalah dla’if dan
tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Sedangkan hadits riwayat Rabiah dari Sahil,
ad-Darawardi telah mengkonfirmasikannya pada Sahil, tetapi Sahil menjawab tidak
mengetahui hadits itu. Seandainya hadits tersebut termasuk dalam hadits-hadits yang
masyhur dan tidak terdapat keraguan, maka kenapa Sahil sampai tidak mengetahuinya.
Ulama yang memperbolehkan telah menganggap dla’if kepada hadits-hadits yang
sebenarnya lebih kuat dari hadits yang mereka jadikan landasan. Sanad hadits dari jalan
Zuhair bin Muhammad dari Sahil dari ayahnya dari Zaid adalah munkar, karena sanadnya
langsung pada Zaid tidak melewati Abu Shalih terlebih dahulu. 97 Hadits riwayat Ibn Abbas
juga hadits munkar, karena tidak diketahui apakah Qais bin Saad telah meriwayatkannya
dari Amr bin Dinar. Lalu kenapa mereka masih mendasarkan pendapatnya pada hadits ini? 98
Mereka menyebutkan hadits riwayat Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir dari
Abdul Wahab. Sedangkan para penghafal hadits seperti Imam Malik dan ats-Tsauri
meriwayatkan hadits ini dari Ja’far dari ayahnya langsung dari Nabi SAW dengan tidak
menyebut Jabir dan Abdul Wahab sebagai perawinya.

Kedua, kebolehan yang diambil dari hadits tersebut hanya merupakan perkiraan
semata.
At-Thahawi (4/146), “Seandainya sanad hadits tidak bertentangan dan matan(bunyi
hadits) yang diriwayatkan tidak cacat, maka kebolehan sumpah dan satu saksi bisa diterima.
Mereka meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menetapkan hanya dengan sumpah dan
seorang saksi, padahal sebab munculnya hadits tersebut tidak diketahui, begitu pula
sumpah, siapa orang yang diminta bersumpah oleh Nabi dalam hadits itu?
Apabila yang dimaksud dengan sumpah di atas adalah sumpahnya terdakwa, maka
bersumpah dan hanya menghadirkan seorang saksi itu diperbolehkan.
97 Zuhair bin Muhammad adalah perawi yang lemah.
98 Menurut saya, “Seandainya dianggap cacat sebab Amr tidak mendengar langsung hadits ini dari Ibn
Abbas, sebagaimana yang telah ditegaskan Bukhari, maka hal ini akan lebih baik adanya. Sebab Qais mungkin
mendengar langsung hadits ini dari Amr, sebab keduanya masih semasa.
Jika pendakwa yang melakukan tuntutan itu tetapi hanya menghdirkan seorang saksi
dan kemudian dia diminta oleh Nabi agar bersumpah, maka pastilah hal ini juga
diriwayatkan, agar semua orang tahu bahwa pendakwa juga diwajibkan untuk bersumpah
atas terdakwa. Padahal sumpah tidak perlu dilakukan kecuali bila terdakwa mengajukan
bukti. Sebagaimana pendapat ulama, “Ketika melakukan tuntutan, pendakwa tidak
diwajibkan untuk bersumpah, kecuali apabila terdakwa mengajukan bukti. Karena pada saat
terdakwa mengajukan bukti, akan terjadi ketidakjelasan dan kesimpangsiuran. Jadi, bila
terdakwa mengajukan bukti, maka pendakwa harus bersumpah, bila tidak maka pendakwa
tidak perlu bersumpah.
Orang yang meriwayatkan hadits ini ingin menolak pendapat ulama di atas dan
mengahruskan sumpah pada saat melakukan tuntutan, sekalipun terdakwa tidak mengajukan
bukti. Ini adalah kemungkinan pertama yang melatarbelakangi munculnya hadits di atas.
Kemungkinan kedua adalah, diperbolehkan juga apabila yang dimaksud dengan
sumpah adalah sumpahnya pendakwa dengan disertai seorang saksi. Karena terkadang
seorang saksi tersebut dapat dipercayai kesaksiannya seperti halnya dua orang saksi. Orang
tersebut seperti Khazimah bin Tsabit ra, Rasulullah menyamakan persaksiannya seperti
persaksian dua orang saksi. Kisahnya telah disebutkan dalam hadits, dan hadits yang
menerangkan hal ini adalah hadits masyhur.
At-Thahawi mengatakan, “Ketika persaksian seorang saksi diperbolehkan seperti
halnya Khazimah bin Tsabit, maka saat memberikan kesaksian, kesaksiannya dianggap
benar. Kemudian, terdakwa dituntut agar mengembalikan hak pada pendakwa. Jika
terdakwa mengajukan bukti, maka Nabi SAW meminta pendakwa untuk bersumpah,
kemudian terdakwa harus mengembalikan hak yang dipersengketakan, sebab pendakwa
telah menghadirkan saksi dan melakukan sumpah. Ini adalah kemungkinan yang
melatarbelakangi kenapa Nabi memperbolehkan sumpah dan seorang saksi.

Ketiga, Hadits yang Dijadikan Dasar Bertentangan dengan Ayat;


At-Thahawi ra (4/148), “Allah telah berfirman : “Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari laki-laki (di antaramu)” serta “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu”. Sebelum dua ayat ini turun, orang Arab memberi keputusan
dengan harus menghadirkan seratus orang saksi, tidak boleh kurang atau lebih, jika kurang
atau lebih, maka persaksian tidak dapat diterima. Setelah ayat ini turun, mereka lalu
meninggalkan persaksian model lama, karena hal ini tidak dihitung ibadah kepada Allah.
Muhammad bin al-hasan mengatakan, “Jika ada orang yang menambah jumlah saksi, maka
dia telah menambah redaksi nash, padahal menambah redaksi nash adalah sama dengan
menasakhnya (menghapusnya).”
Keempat, Terdapat Hadits yang Bertentangan dengan Hadits yang Menjadi Dasar
Pijakan Mereka.
Abu Ja’far at-Thahawi (4/147-148), “Terdapat nash hadits yang melarang memberi
keputusan hanya berdasarkan sumpah dan seorang saksi.” Hadits yang bersanad pada Mail
ibn hajar, “Dua orang yang sedang bersengketa mengenai tanah mendatangi Rasulullah.
“Ajukanlah bukti’, sabda Rasul kepada pendakwa. “Saya tidak mempunyai bukti,”
jawabnya. Rasul bersabda, “Untuk terdakwa, bersumpahlah,”. “Jika demikian, apakah hak
jatuh padanya?” Tanya pendakwa. “Saya hanya dapat memutuskan itu.” Hadits ini
menunjukkan bahwa pendakwa tidak akan mendapat hak apapun tanpa mengajukan bukti,
dan bahwa tidak boleh memutuskan hanya berdasarkan sumpah dan seorang saksi. Hadits
yang serupa, “Bukti harus ditunjukkan oleh pendakwa, dan sumpah oleh terdakwa.”99
Kelima, sumpah bertujuan untuk menolak, bukan untuk menegaskan.
Abu Umar bin Abdil Barr (Al-Istidzkar 22/559), “Salah satu pendapat Abu hanifah
dan para pengikutnya : ‘Dilakukannya sumpah adalah bertujuan untuk menolak, bukan
untuk menegaskan tuntutan. Nabi SAW mengharuskan sumpah untuk terdakwa bukan
pendakwa.
Keenam, analogi menolak hal itu;
At-Thahawi ra (Ma’anil Atsar 4/148), “Analogi dalam hal ini telah menunjukkan
banyak keburukan dan kelemahan dari pendapat ulama yang membolehkan sebuah
keputusan hanya dengan sumpah dan seorang saksi. Mereka membolehkan hal itu khusus
untuk urusan harta, tidak lainnya.
Ketika keputusan tentang urusan selain harta tidak hanya cukup dengan sumpah dan
seorang saksi, maka analoginya juga sama seperti dalam urusan harta. Ini adalah pendapat
Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad ra.

99 HR. Bukhari, hal. 2514.


BANTAHAN ULAMA PADA KEENAM ALASAN DI ATAS.
Bantahan pada pendapat pertama;
Al-Hafidh ibn Hajar (Al-Fath 5/333), “Hadits yang menunjukkan kebolehan sumpah
dan seorang saksi diriwayatkan dari banyak jalan yang masyhur, bahkan banyak yang
shahih. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari jalan Ibn Abbas misalnya, adalah
hadits shahih yang kapasitasnya tidak diragukan lagi. Begitu pula hadits Abu Hurairah dan
Jabir.
Ibn Abdil Barr (At-Tamhid 2/138), “Tidak ada seorang perawi pun yang putus dalam
sanad hadits Ibn Abbas. Pendapat at-Thahawi yang mengatakan bahwa Qais tidak pernah
meriwayatkan hadits dari Amr bin dinar, tidak serta-merta dapat menurunkan kualitas
keshahihan hadits, karena keduanya adalah tabi’in yang dapat dipercaya dan tinggal di
Makkah. Qais juga telah meriwayatkan hadits dari orang yang mendahului Amr. Hadits-
hadits shahih seperti ini tidak boleh ditolah kehujjahannya.
Saya mengatakan, “Ulasan hadits dan hukum tentang hal tersebut telah dijelaskan
sebelumnya. Hadits itu shahih dilihat dari semua jalur.

Bantahan pada pendapat kedua;


Ibn Arabi mengatakan (mengutip pendapat al-Hafidh dalam kitab al-Fath 5/333),
“Saya telah mencatat dua alasan penolakan ulama terhadap keputusan yang hanya
berdasarkan pada seorang saksi dan sumpah.
Salah satu dari dua alasan itu: mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
hadits tersebut adalah memutuskan dengan sumpah dari terdakwa dan saksi dari pendakwa.
Dengan artian, seorang saksi saja tidak cukup menjamin suatu kebenaran, karena itulah
terdakwa harus bersumpah. Inilah yang dimaksud dengan redaksi hadits “Memberi
keputusan berdasarkan sumpah dan seprang saksi.”
Ibn Arabi mengatakan, “Ini adalah kesalahan bahasa. Karena dua perkara yang
ditengah-tengahi wau ma’iyyah (wau yang menunjukkan makna bersama-sama) harus
berada dalam satu arah, tidak dalam arah yang berlawanan.”
Al-Hafidh, “Banyak hadits yang menerangkan hal ini tidak dimaknai dengan takwilan
ini.100 Wallahu A’lam.

100 Maksudnya adalah takwilan dengan sumpahnya pendakwa.


Bantahan pada pendapat ketiga;
Ibn Qudamah (Al-Mughni 14/131), “Mereka tidak mempunyai dalil dari al-Kitab.
Karena ayat 282 surat al-Baqarah menunjukkan disyariatkannya dua orang saksi laki-laki
atau seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan. Tidak ada perselisihan di antara
ulama mengenai hal ini.
Mengenai pendapat mereka yang mengatakan bahwa ‘penambahan dalam redaksi
nash adalah naskh’ tidak bisa dibenarkan. Karena naskh berarti menghilangkan dan
menghapus dan menambah sesuatu berarti menetapkannya, bukan menghapusnya.
Hukum seorang saksi ditambah dengan sumpah adalah sama halnya dengan hukum
dua orang saksi, bukan menasakh hukumnya. Karena penambahan, baik satu arah maupun
berlawanan arah, bukanlah sebuah bentuk penghapusan (naskh) dari hukum sebelumnya.
Ibn Abdil Barr (Al-Istidzkar 22/54), “Ini adalah kebodohan dan kontroversi,
bagaimana perbedaan dapat terjadi dalam al-Qur’an? Padahal hadits tersebut adalah
penambahan yang bertujuan untuk menjelaskan ayat, seperti hadits mengani hukum
menikahi perempuan beserta bibinya sekaligus yang tidak diterangkan dalam ayat,
“…dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian…” (An-Nisa’: 24)
Hadits mengenai hukum mengusap dua sepatu yang oleh al-Quran hanya diterangkan
mengusap atau membasuh dua kaki. Juga hadits mengenai keharaman memakan keledai
jinak dan binatang buas yang berkuku tajam yang tidak diterangkan dalam ayat,
“Katakanlah: "Saya tidak mendapatkan dalam wahyu yang diturunkan padaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…” (Al-An’am: 145)
Demikian pula halnya dengan keputusan Rasulullah SAW yang hanya berdasarkan
sumpah dan seorang saksi dan tidak diterangkan dalam ayat,
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika
tidak ada dua orang laki-laki, Maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai…” (Al-Baqarah: 282).
Bahkan hal ini dapat dengan jelas kita lihat. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan
bahwa ayat tersebut tidak memperbolehkan keputusan dengan selain yang tertera.
Keputusan berdasarkan sumpah dan seorang saksi tidak menghalangi berlakunya kesaksian
dua orang laki-laki atau seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan. Semuanya adalah
hukum dan syariat Allah yang tertera dalam al-Kitab dan as-Sunnah.
Bantahan pada pendapat keempat;
Pengikut Ismail (mengutip pendapat al-Hafidh dalam kitab al-Fath) mengatakan,
“Andaikan seorang saksi dan sumpah ditolak dalam suatu pengambilan keputusan sebab
tidak ada dalil dalam al-Qur’an yang menjelaskannya, maka seorang saksi laki-laki
ditambah dua orang perempuan seharusnya juga ditolak sebab tidak ada dalil dalam sunnah
yang menjelaskannya. Karena Rasulullah SAW telah bersabda, “Seorang saksi laki-laki
darimu atau sumpah dari terdakwa.”
Al-Hafidh, “Kesimpulannya adalah, masing-masing nash tidak saling menggugurkan.
Keputusannya kemudian, bahwa memberi keputusan tidak boleh hanya berdasarkan pada
sumpah dan seorang saksi kecuali jika sudah tidak ada dua orang saksi laki-laki atau yang
menyamainya, yakni persaksian seorang laki-laki ditambah dua orang peremppuan. Ini
adalah pendapat Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah.
Abu Umar bin Abdil Barr (22/60), “Mereka (orang yang menolak) juga beralasan
bahwa nabi SAW menetapkan pendakwa harus mengajukan bukti dan terdakwa harus
bersumpah. Tidak ada indikasi sedikitpun yang mengarah pada pembalikan hal ini, yakni
bukti bagi terdakwa dan sumpah bagi pendakwa. Padahal tidaklah demikian, karena Nabi
SAW telah menolak sumpahnya pendakwa saat terjadi persengketaan. Menggunakan nash
lebih baik dari pada analogi yang tidak disepakati oleh semua perawinya. Ini adalah analogi
bandingan yang diajukan oleh ulama yang membantah pendapat mereka.

Bantahan pada pendapat kelima;


Ibn Abdil Barr (Al-Istidzkar 22/55), “Bantahan mengenai hal ini: “Pendapat yang kita
pegang adalah: pendakwa harus mengajukan bukti dan terdakwa harus bersumpah, ini
adalah yang dilakukan Rasulullah, begitu pula dengan sumpah dan seorang saksi yang
beliau lakukan dalam pengambilan keputusannya. Ini adalah bentuk uswatun hasanah (suri
tauladan yang baik) dari beliau.
Ibn Qudamah (Al-Mughni 14/131), “Disyariatkannya sumpah adalah bertujuan untuk
menguatkan penolakan terdakwa. Hukum asalnya adalah bahwa terdakwa bebas dari
tanggungan (dalam hal ini tanggungan hutang). Oleh karena itu, pendakwa dinyatakan
benar dalam kasus ini.
Bantahan pada pendapat keenam;
Saya mengatakan, “Analogi dalam hal ini tidak boleh dilakukan, sebab sudah ada nash
yang menetapkannya. Pernyataan mereka “ulama yang membolehkan hanya
mengkhususkan hal ini pada harta”, itu adalah penjelasan perawi hadits, karena perawi lebih
mengetahui mengenai hadits yang diriwayatkannya. Dalam hal ini, Amr bin Dinar adalah
sebagai perawinya.101

101 HR. Abu Daud, hal. 2609.


RAHN (GADAI)

Keterangan
Rahin : Orang yag menggadaikan
Murtahin : Orang yang menerima barang gadaian
Marhun : Barang yang digadaikan

Pengertian Rahn
Menurut Imam Qurthuby dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (3/404), makna
Rahn adalah: Menahan barang secara haq sebagai jaminan karena harga atau manfaat
barang tersebut dapat menjadi ganti ketika Rahin terhalang untuk mengembalikan
hutangnya kepada Murtahin. Demikianlah ketetapan para ulama’.
Menurut al-Jasshash R.A. dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an (1/714): alasan dari
mengapa barang tersebut di jadikan jaminan dari Rahin adalah supaya barang tersebut
berada dalam haq Murtahin, maka Murtahin lebih berhak atas barang tersebut dari para
Murtahin lainnya ketika Rahin meninggal dunia atau bangkrut.
Menurut hemat penulis, yang dimaksudkan adalah agar Rahin memberikan sesuatu
yang nilainya sama atau lebih besar dari hutangnya, yang akan menjadi jaminan bagi
Murtahin ketika Rahin tidak mampu mengembalikan hutang tersebut, atau Murtahin
meninggal dunia.

Landasan disyari’atkannya Rahn


Pensyariatan Rahn telah termaktub dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’
(kesepakatan) para ulama’.
1. Al-Qur’an
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). (al-Baqarah: 283)”

2. Hadist
Diantara hadits yang menjelaskan tentang Rahn adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari R.A.:
Dari Musaddad, dari Abdul Wahid, dari A’masy: kita berbincang-bincang di sisi Ibrahim
tentang Rahn dan al-Qabiil fi al-Salafi dan Ibrahim berkata: Aswad telah menceritakan pada
kami dari A’isyah R.A.:
“Sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dengan baju zirah sebagai
jaminannya.”102
Dalam hadits lain dengan riwayat yang sama disebutkan:
Diceritakan oleh Abu Na’im, dari Zakariya dari Amir dari Abu Hurairah R.A. dari
Nabi SAW. Bersabda:
“Jika binatang tersebut digadaikan, maka binatang tersebut dapat ditunggangi dan susunya
yang berlimpah dapat diminum sebab diberi nafkah (makan dan minum).”103

3. Ijma’
Menurut Ibnu Qudamah R.A. dalam kitab al-Mughni (6/443): mayoritas umat Islam
sepakat atas pemberlakuan hukum Rahn

Hukum Rahn
Menurut Ibnu Qudamah R.A. dalam kitab al-Mughni (6/444):
Rahn tidak wajib dan kami tidak menemukan perbedaan tentang hal tersebut. Karena ia
adalah jaminan hutang, maka ia tidak wajib seperti halnya Dhaman dan Kafalah. Dan ayat
283 surat al-Baqarah diatas menunjukkan pada kita bahwasanya rahn tidak wajib.
Sesungguhnya ayat tersebut adalah perintah untuk melakukan Rahn ketika kita
kesulitan untuk melakukan pencatatan hutang, dan karena pencatatan hutang tidak wajib di
lakukan, maka Rahn menjadi pengganti bagi pencatatan tersebut.

Syarat-Syarat Rahn
1. Barang jaminan harus di terima oleh Murtahin. yakni, sempurnanya
kepemilikan barang jaminan tersebut bagi Murtahin. Dasar dari hal tersebut
adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 283.
Menurut Ibnu Qudamah R.A. dalam kitab al-Mughni (6/446):
Rahn tidak sah kecuali dengan adanya barang jaminan dari pihak yang berwenang atau
layak.

102 Muttafaq ‘Alaihi: Shahih Bukhari (2509), Shahih Muslim (4090)


103 Shahih, Bukhari: 2511
2. Barang jaminan tersebut harus terus menerus berada dalam kekuasaan
Murtahin: jika barang tersebut tidak lagi berada dalam kekuasaan Murtahin
dengan sepengetahuannya, maka hilanglah keberlangsungan rahn meskipun
akadnya tetap berlaku. Seakan barang tersebut tidak pernah berada dalam
kekuasaan Murtahin (al-Mughni: 6/448).

Bolehkah Murtahin memanfaatkan barang jaminan Rahin selama barang tersebut


masih utuh?
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari R.A.
Telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, dari Zakariya dari Amir dari Abu Hurairah
R.A. dari Nabi SAW. Bersabda:

“Jika binatang tersebut digadaikan, maka binatang tersebut dapat ditunggangi dan dapat
susunya yang berlimpah dapat diminum sebab diberi nafkah (makan dan minum).”104

Sedangkan riwayat Muhammad bin Muqatal dari Abdillah dari Zakariya dengan bagian atas
sanad yang serupa tetapi dengan redaksi yang berbeda:

“Jika binatang tersebut digadaikan, maka punggung binatang tersebut dapat ditunngangi
dan susunya yang berlimpah dapat diminum, dan orang yang telah menunggangi dan
mengambil air susu wajib memberi nafkah bagi binatang tersebut (makan dan minum).”

Menurut Ibnu Qudamah R.A. dalam kitab al-Mughni (6/509-511):


Murtahin tidak boleh mengambil manfaat dari barang jaminan Rahin, kecuali jika barang
tersebut adalah barang (binatang) yang bisa ditunggangi atau bisa diperah susunya, dengan
catatan, binatang tersebut haruslah dirawat dengan baik.
Ibnu Qudamah R.A. juga berpendapat bahwasanya barang jaminan yang dimaksud disini
terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: barang yang tidak butuh nafkah (makanan dan minuman) seperti rumah,
perabotan dan sejenisnya. Maka, Murtahin tidak boleh mempergunakan atau mengambil
manfaat dari barang tersebut tanpa persetujuan Rahin, para ulama’ sepakat dengan pandapat
ini dan tidak ada perbedaan tentangnya. Karena barang tersebut masih menjadi milik Rahin,
maka tidak ada yang boleh mengambil dan atau mempergunakan barang tersebut tanpa

104 Periwayatannya telah disebutkan pada bab sebelumnya


adanya persetujuan dari Rahin..
Jika Rahin telah memberikan ijin kepada Murtahin untuk menggunakan barang jaminan
tanpa mengganti barang yang ia gunakan tetapi dianggap hutang, maka hal ini tidak boleh
karena itu adalah hutang yang mendatangkan kemanfaatan yang diharamkan.
Kedua: barang yang butuh nafkah (makanan dan minuman) maka ketentuan bagi Murtahin
adalah dengan atau tidak mengganti nafkah tersebut seperti contoh yang telah disebutkan
sebelumnya. Jika Murtahin telah mendapatkan ijin dari Rahin untuk menggunakan barang
(binatang) jaminan tersebut ala kadarnya, maka hal tersebut diperbolehkan karena hal
tersebut merupakan salah satu macam dari pertukaran. Apabila penggunaan atau
pemanfaatan barang (binatang) jaminan tersebut tanpa seijin Rahin, maka ketentuannya
terbagi menjadi tiga:
Binatang yang bisa diperah susunya, binatang yang bisa ditunggangi/ dikendarai, dan
binatang selain keduanya. Untuk binatang perah dan binatang tunggangan, Murtahin wajib
memberikan nafkah (makan dan minum) untuk binatang tersebut. Dan Murtahin dapat
menggunakan binatang tersebut ala kadarnya.
Untuk memilih mana yang lebih pantas, agar sama, Ahmad menegaskan dengan menukil
perkataan dari Ishaq tentang binatang selain keduanya: secara sekilas madzhab tersebut
menyatakan tidak boleh.
Ahmad juga menegaskan, sebagaimana diceritakan oleh Atsram: saya mendengar Abu
Abdillah ditanya tentang seseorang yang menggadaikan budaknya kemudian budak
tersebut mengabdi kepadanya, maka beliau menjawab:
“barang jaminan tidak boleh dipergunakan kecuali menurut keterangan Abu Hurairah yang
dikhususkan bagi binatang tunggangan, binatang perah dan binatang yang diberi makan”.
Menurut al-Hafidz dalam kitab al-Fath (5/171) tentang hadits Nabi SAW ( ‫وعلى الذي يركب‬

‫)ويشرب النفقة‬: artinya wajib ada (‫ كائنا‬isim fa’il dari kata ‫ ) كان‬dan hadits tersebut menjadi
hujjah (argumen) bagi orang yang memperbolehkan Murtahin untuk mempergunakan
barang jaminan meskipun tanpa seijin Rahin jika itu memang berguna untuk kebaikan
dirinya. Menurut Ahmad, Ishaq dan kelompok mereka: sesuai dengan hadits, Murtahin
boleh menggunakan kedua binatang jaminan dari Rahin dan tidak boleh mempergunakan
selain keduanya. Mayoritas ulama’ tidak memperbolehkan Murtahin untuk menggunakan
barang jaminan dari Rahin. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh berbedanya qiyas
(analogi) yang mereka gunakan untuk mentakwil hadits tentang Rahn tersebut. Dan secara
garis besar, perbedaan tersebut ada dua bagian:
Pertama, pendapat yang memperbolehkan Murtahin untuk menggunakan atau mengambil
manfaat dari barang jaminan (binatang perah atau binatang tunggangan) tanpa seijin Rahin.
Kedua, pendapat yang memperbolehkan Murtahin untuk menggunakan atau mengambil
manfaat dari barang jaminan (binatang perah atau binatang tunggangan) dengan jaminan
Murtahin harus memberi nafkah (makan dan minum) hewan tersebut, bukan dengan harga.
Menurut Imam Syafi’I R.A. dalam kitab al-Umm (3/231): sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah R.A.:
“binatang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah susunya.”
Murtahin tidak diperbolehkan menggunakan barang jaminan Rahin karena status barang
tersebut masih menjadi milik Rahin, bukan milik Murtahin. Kecuali penunggangan dan
pemerahan susu itu dilakukan oleh Rahin yang notabene adalah pemiliknya. Karena
penunggangan dan pemerahan susu adalah milik dari orang yang berwenang (Rahin), dan
kewenangan selain manfaat adalah penunggangan dan pemerahan susu binatang jaminan
tersebut.
Menurul takwil al-Thahawy dalam kitab Syarah Ma’ani al-Atsar (4/99): dengan alasan apa
mereka memperbolehkan hak penunggangan dan pemerahan barang jaminan tersebut bagi
Rahin dan tidak bagi Murtahin? Hal ini tidak akan pernah terjadi kecuali berdasarkan al-
kitab (al-Qur’an), Sunnah dan Ijma’. Sementara itu, Hasyim meriwayatkan hadits dan
menjelaskan apa yang tidak dijelaskan oleh Yazid bin Harun:

‫ حدثنا هاشم عن زكريا عن الشعبي عن أبي‬:‫ حدثنا إسماعيل بن سالم السإغ قال‬,‫حدثنا أحمد بن داود‬
‫ى‬gg‫ة فعل‬gg‫ة مرهون‬gg‫انت الدباب‬gg‫ إذا ك‬:‫هريرة رضي ا عنه ذكر أن الرسول ا صلى ا عليه وسلم قال‬
‫المرتهن علفها ولبن الدر يشرب وعلى الذي يشرب نفقتها ويركب‬105

Artinya:
“diceritakan oleh Ahmad bin Dawud, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Salim al-
Saigh106 berkata: telah menceritakan kepada kami Hasyim dari Zakariya dari al-Syu’ba dari
Abu Hurairah R.A. menyebutkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: jika binatang
ternak digadaikan, maka murtahin wajib memberinya makan dan dia dapat meminum air
susunya. Dan bagi orang yang menunggangi dan meminum air susu dari binatang gadaian
wajib memberinya makan.”

105 Musnad Imam Ahmad (2/228)


106 Ahmad, Al-Musnad: 2/228
Hadits tersebut menegaskan bahwasanya hak menggunakan binatang jaminan (binatang
tunggangan dan binatang perah) adalah untuk Murtahin, bukan untuk Rahin dan pemberian
nafkah (makanan dan minuman) untuk binatang jaminan tersebut menjadi ganti
pemanfaatannya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.
Al-Thahawy juga berpendapat: sesungguhnya hadits tersebut dinasakh (terhapus) dengan
datangnya pengharaman riba memberi hutang yang mendatangkan kemanfaatan. al-Hafidz
juga sependapat dengan al-Thahawy dalam kitab al-Fath (5/171) bahwa kemungkinan
nasakh tersebut tidak pernah ada.dan periodeisasi turunnya hadits tersebut tidak dapat
dilacak.
Ibnu Hazm berpendapat dalam kitab al-Mahally (8/90089): pemilik binatang gadaian
tersebut bukan berarti tidak bisa menggunakan binatang yang telah digadaikannya sama
sekali, baik menunggangi atau mengambil air susunya. Sebagaimana yang telah kami
sebutkan, Pemilik binatang gadaian hanya menyia-nyiakannya. Maka Rahin tidak wajib
untuk memberikan makan karena yang wajib memberinya makan adalah Murtahin.
Meskipun demikian, pemanfaatan binatang tersebut tidak mengurang atau menambah kadar
hutang Rahin, baik pemanfaatan tersebut sering atau jarang dilakukan.
Kemudian Ibnu Hazm melanjutkan: Nash telah mengharamkan penggunaan harta yang
bukan hak miliknya, begitu juga tentang pengharaman rahn yang didalamnya mengandung
unsur penganiayaan terhadap Rahin oleh Murtahin.

Jika seseorang menggadaikan harta sebagai jaminan dari hutangnya, kemudian ia


tidak mampu mengembalikan hutang tersebut pada saatnya, apakah barang jaminan
tersebut akan menjadi milik Murtahin?
Imam Malik RA memaparkan hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Syihab dari Said bin
Musayyab sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
107
‫ل يغلق الرهن‬
107 Hadits Mursal; Muwattha’: 560, diriwayatkan oleh Abd ar-Razak melalui Mu’ammar; Mushannaf: 15033,
Ibn Majah; 2441, ibn Abi Syaibah melalui Mu’ammar; Mushannaf: 5/324, al-Thahawy melalui Malik, Yunus
dan Abu Dzab; Syarh Ma’ani al-Atsar: 4/100, al-Baihaqy melalui Syuaib; Sunan al-Baihaqy: 6/44, dan
diriwayatkan dari al-Zuhri dari ibn al-Musayyab sebagai hadits Mursal. Dan diriwayatkan oleh al-Zuhry dari
ibn al-Musayyab dari abu Hurairah dengan sanad yang tersambung. Dan diriwayatkan oleh ibn Majah; 2441
melalui Muhammad bin Hamid dari Ibrahim bin al-Mukhtar dari Ishaq bin rasyid dari al-Zuhry. Dan
diriwayatkan juga oleh ad-Daruquthni; Sunan ad-Daruquthni: 3/26, dan al-Baihaqy; Sunan al-Baihaqy: 6/44,
serta al-Hakim: 2/51. dan yang paling shahih adalah riwayat al-Zuhry yang menyatakan bahwasanya hadits ini
adalah hadits Mursal.
“(pemanfaatan) barang gadai tidak akan pernah tertutup.”

Ats-Tsauri dan ulama lain menambahkan hadits dengan merujuk dari kitab al-Umm milik
as-Syafi’I (3/248): dari Ibn Abi Dza’b dari al-Zuhry dari Ibn al-Musayyab dari Rasulullah
SAW, bersabda:

“(pemanfaatan) gadai tidak akan pernah tertutup bagi orang yang menggadaikannya. Maka
kambing (harta) yang digadaikan tetap menjadi milik Rahin dan Murtahin yang wajib
memberinya makan.”

Makna Hadits:
Menurut Imam Malik R.A dalam kitab al-Muwattha’ (560): menurut saya, tafsir dari ayat
tersebut (Allahlah yang paling tahu) adalah sebagai berikut: seseorang harus memberikan
jaminan bagi orang memberi hutang.
Ketika Rahin berkata kepada Murtahin:
“saya akan datang (untuk memberikan hak kamu) sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan, jika tidak (tepat waktu), maka barang jaminan itu menjadi milikmu.”
Akad ini tidak layak dan haram untuk diberlakukan karena jika dikemudian hari Rahin
mampu mengembalikan hutangnya pada Murtahin, maka Murtahin juga wajib
mengembalikan barang yang digadaikan Rahin meskipun pembayaran (hutang) tersebut
sudah jatuh tempo, dan menurut saya, syarat ini (pengalihan hak atas barang karena
pembayaran yang telah jatuh tempo), syarat ini tidak boleh diberlakukan.
Menurut Imam Syafi’I RA. Dalam kitab al-Umm (3/248): berdasarkan hadits tersebut
kami berpendapat bahwasanya semua barang gadaian tidak menjadi tanggungan murtahin,

Pendapat para ahli hadits:


Ad-Daruquthni berpendapat dalam kitab al-Sunnah (3/26) tentang hadits tersebut melalui riwayat
Ziyad bin Said dengan sanad tersambung: Ziyad bin Said adalah seorang Huffadz (kuat ingatannya) serta
Tsiqoh (dipercaya), dan sanad hadits tersebut adalah sanad hadits hasan yang tersambung.
Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut meskipun mereka berbeda dalam pentakwilan hadits tersebut:
Ibn Abdilbar dalam kitab al-istidzkar (22/95): mayoritas ahli hadits sepakat bahwasanya hadits
tersebut adalah hadits mursal sekalipun hadits tersebut datang dari berbagai sanad. hanya saja sanad tersebut
mereka anggap cacat sebagaimana telah kami paparkan sebelumnya. Akan tetapi mereka tidak menolak hadist
tersebut, bahkan semua ahli hadits menerimanya sekalipun mereka berbeda dalam memberikan takwil.
Menurut az-Zaila’I dalam kitab Nashb ar-Rayah (4/321): imam addaruquthni, ibnu abdilbar dan
abdul Haq menganggap hadits ini sebagai hadits yang shahih. dalam kitab al-Marasil Abu daud juga
meriwayatkan hadits ini dari imam malik, ibnu abi Dza’b, al-Auza’I dan perawi lainnya dari al-Zuhry dari
Said sebagai hadits mursal. Hadits ini juga diriwayatkan oleh sufyan al-Tsaury dan para perawi lain dari ibnu
Abi Dza’b sebagai hadits mursal yang terjaga.
Rasulullah SAW bersabda:
“jika terjadi sesuatu pada barang yang digadaikan, maka orang yang menggadaikanlah yang
menanggungnya, bukan orang lain ”. kemudian beliau menambahkan: “baginyalah
faidahnya dan baginya pulalah dendanya”. Kamanfaatan barang tersebut dapat diperoleh
selama barang tersebut tidak rusak. Panambahan dan pengurangan denda yang disebabkan
oleh rusaknya barang tidak diperbolehkan karena pada hakikatnya, denda tersebut
seharusnya ditanggung oleh Rahin, bukan Murtahin.
Menurut Abu Ubaid dalam kitab Gharib al-Atsar (1/269-270) tentang hadits (‫ل يغلق‬

‫ن‬gg‫)الره‬: hadits ini tidak hanya ditafsirkan oleh satu ullama. Hadits yang menceritakan
tentang orang yang menolak barang jaminan dari orang lain dan ia meminta keping dirham,
kemudian Rahin berkata: “saya akan mendatangimu pada bla..bla..bla.. jika tidak, maka
barang itu milikmu”. Maka rasulullah SAW kemudian bersabda yang isinya adalah hadits
tersebut di atas.
Kemudian Abu Ubaid melanjutkan penjelasannya: hadits tersebut adalah jawaban
dari kasus di atas. hadits tersebut diriwayatkan dari Thawus. Sebagian ulama’ berpendapat
bahwa makna hadits ini adalah tentang rusaknya barang gadaian: jika barang gadaian rusak
ditangan murtahin, maka barang gadai itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan rahin
wajib membayar hutangnya. Rudaknya barang gadaian itu tidak berpengaruh terhadap
hutang. Ini adalah pendapat dari madzhab yang tidak diakui. Dalam perkataan orang arab,
jika barang gadaian itu rusak, maka hutang tidaklah tertutupi. Tapi hutang itu lunas apabila
murtahin telah menerima haknya dan barang gadaian dikembalikan kepada rahin.
Penjaminan seperti ini adalah praktek yang dilakukan pada masa jahiliyah dan Nabi telah
menolak hal ini dengan sabda beliau: “Barang gadaian tidak akan pernah menutupi hutang”.
Para penyair juga telah mengatakan tentang hal ini, diantaranya adalah Zuhair saat
menyebut seorang perempuan:
“saya cerai kamu dengan barang gadaian dan perceraian tidak akan terjadi kecuali kamu
telah menerimanya, dengan demikian, perceraian digantungkan pada barang gadaian ”.
Artinya adalah hatinya telah tergadaikan kemudian dia menerima konsekuensinya, maka
betapa sia-sianya hal ini.
Sedangkan sabda Nabi “…………….” Atinya adalah sama dengan makna yang telah
disebutkan pertama, dan tidak ada perbedaan.
Barang gadaian kembali kepda orang yang menggadaikan, manfaat barang tersebut masih
menjadi miliknya, begitu pula kerusakan barang tersebut menjadi tanggungannya. Maka
pemberian syarat yang dilakukan oleh Rahin dan Murtahin menjadi batal dengan
sendirinya. hal ini ialah apabila arang gadaian masih ada dan tidak rusak. Apabila barang
gadaian tersebut rusak, maka tidak demikianlah hukumnya.108

Jika seseorang (Rahin) menggadaikan barangnya kepada murtahin sebagai jaminan


dari hutangnya dan dia juga menerima persyaratan waktu untuk menutupi
(melunasi) hutangnya, apakah Murtahin boleh menjual barang tersebut untuk
melunasi hutangnya?
Ya, murtahin boleh menjual barang tersebut (dan mengambil haknya) jika Rahin tidak
mampu melunasi hutangnya. Jika barang tersebut ditakutkan akan rusak dan rahin tidak ada
atau tidak mampu melunasi hutangnya, maka barang gadai tersebut boleh dijual sesuai
dengan metode dan prosedur yang berlaku, yakni bisa melalui penguasa, hakim. Jadi
murtahin tidak boleh mengurusiny sendiri.
Hadits tentang masalah tersebut diatas, datang dari sebagian ulama salaf dan dari
tabi’in: atsar tersebut diantaranya datang dari Ibnu Sirin dan Iyas bin Mu’awiyah:
- Diriwayatkan oleh Abd al-Razak:
Dari al-Tsaury dari Khalid al-Hidza’ berkata: Muhammad bin Sirin berkata kepadaku: aku
punya alat pemintal yang aku gadaikan, karena aku takut barang tersebut rusak, maka aku
mendatangi Iyas bin Mu’awiyah (seorang hakim saat itu) dan meminta ijin untuk
menjualnya, dan beliau mengijinkannya.109
- Diriwayatkan oleh Abd al-Razak:
Dari Muamar dari Abu Ayub dari Ibn Sirin, berkata: barang gadaian tidak boleh dijual
tanpa sepengetahuan (dan mendapatkan ijin) sulthan (penguasa atau hakim).110

Atsar al-Syu’ba:
Diriwayatkan oleh Abd al-Razak dalam kitab al-Mushannaf (15078): muammar
telah menceritakan kepada kami dari jabir dari amir tentang seseorang yang menggadaikan

108 Hal ini sama dengan yang dijelaskan oleh Malik dan Abu Ubaid yang dijelaskan oleh az-Zuhri, Thawus,
Syarh al-Qadhi dan Ibn Sirin.(Abdurrazak, al-Mushannaf: 8/237). Juga penjelasan ats-Tsauri yang
diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Semua sanad dari atsar-atsar ini shahih kecuali atsar Ibn Siri. Maka yang benar
adalah riwayat Muammar dari Ayyub, dan riwayat Muammar dari al-Bishrin dan Ayyub al-Bishri.
109 Atsar Shahih: al-Mushannif (15.076)
110 Shahih, seperti atsar sebelumnya, ada sanad yang dhaif, yakni dari riwayat Muamar dari Ayub. Al-
Mushannaf (15075)
barangnya dan memasrahkannya pada tangan yang adil (hakim atau pihak yang
berwenang): demikianlah tugas baginya, jika ia (hakim) berkehendak (memperbolehkan),
maka ia boleh menjualnya, jika ia tidak berkenan (memperbolehkan) untuk menjualnya,
maka murtahin tidak boleh menjual barang tersebut.111’112
Dan sebelum diriwayatkan oleh Abd al-Razak, Atsar ini diriwayatkan oleh Amir al-
Syu’ba dari Syarih al-Qadhy
Atsar Sufyan al-Tsaury:
Diriwayatkan oleh Abd al-Razak: dari Sufyan al-Tsaury: hakim juga
memperhitungkan keadaan barang gadaian yang bisa rusak tersebut meski tanpa kehadiran
Rahin. Menurut Sufyan ats-Tsaury: jika pemilik barang gadaian (Rahin) tersebut
mengijinkan Murtahin untuk menjualnya, maka Murtahin boleh menjualnya. Jika tidak
(sedangkan Murtahin takut terjadi kerusakan pada barang tersebut), maka murtahin bisa
meminta persetujuan sulthan (dalam hal ini Hakim). Dan jika ia mengijinkan, maka
Murtahin boleh menjual barang tersebut.113
Menurut Ibnu Taymiyah dalam kitab Al-Fatawa (29/538): si A ditanya oleh si B
yang mempunyai hutang pada si C. kemudian dibayar dengan barang yang digadaikan
kepada si C. sedangkan hutangnya telah jatuh tempo. Sedangkan pemilik hutang
membutuhkan uang. Pertanyaannya, apakah dia boleh menjual barang gadaian tersebut?
Menurut saya, jika hal (penjualan) tersebut diijinkan oleh Rahin, maka Murtahin
diperbolehkan untuk menjualnya, jika tidak, maka menjadi hak hakim untuk memutuskan
apakah barang tersebut akan dijual atu tidak, kemudian memberikannya kepada Murtahin
sesuai dengan haknya. Dan ulama ulama lain berpendapat:
Jika tidak dimungkinkan (untuk menjualnya), maka penjualan barang tersebut
diserahkan kepada orang yang dapat dipercaya dan penyerahan tersebut harus disaksikan
oleh beberapa saksi, begitujuga hak Murtahin juga diambilkan dari hasil penjualan barang
tersebut (wallahu a’lam).

Jika barang gadaian tersebut rusak, apakah murtahin wajib menggantinya?


Dibawah ini dipaparkan beberapa hadits yang menjelaskan masalah tersebut:
Menurut Addaruquthni dalam kitab as-Sunan (2894): diceritakan oleh Muhammad bin
111 Dhaif: salah satu sanad atsar tersebut adalah Jabir. Dia adalah Ibnu Yazid al-Ja’fa (al-Mushannaf: 15075).
112 Seseorang yang adil dalam hal ini adalah orang yang dapat dipercaya, seperti penguasa atau hakim pada
saat ini.
113 Shahih: al-Mushannaf (15077)
Mukhallad, dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dari Abdul Karim bin Rauh dari
Hasyim bin Ziyad dari Hamid dari Anas dari Rasulullah SAW: “barang gadaian itu
tergantung dari permasalahan yang muncul”114
Makna hadits: jika barang gadaian itu rusak di tangan murtahin, maka hutang rahin kepada
murtahin dianggap lunas.
Berikut perkataan para sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa murtahin menanggung
kerusakan barang gadaian:

Atsar Umar bin Katthab RA:


Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari
Imran al-Qatthan dari Mathar dari Atha’ dari Ubaid bin Amir dari Umar RA: jika nilai
barang gadai itu lebih besar dari hutangnya, maka murtahin menganggap hutang tersebut
telah lunas dan tidak menanggung kerusakan dari kelebihan barang gadaian itu karena dia
adalah orang yang terpercaya. Dan jika nilai barang gadaian itu lebih kecil dari hutangnya,
maka orang yang berhutang harus menghitung dan membayar kekurangannya.
Makna Atsar:
Jika harga barang gadaian tersebut lebih besar dari hutangnya, jadi hutang Rahin kepada
Murtahin sudah lunas dan lebihnya tidak dianggap hutang karena murtahin adalah orang
yang dipercayai. Jika harga barang gadai tersebut lebih kecil dari hutangnya, maka
murtahin harus membedakan harga barang tersebut dengan hutang yang ia berikan.

Atsar Ibnu Umar RA:


Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Waki’: diceritakan oleh Idris al-Awadi
dari Ibrahim bin Amir: saya mendengar Ibnu Umar RA berkata tentang Rahn: harus saling
114 Hadits Dhaif: diriwayatkan oleh Addaruquthni dalam kitab as-Sunan (2894), al-Baihaqi dalam kitab as-
Sunan (6/43), dan at-Thahawi dalam kitab Ma’ani al-Atsar (103).
Menurut Addaruquthni, kedhaifan hadits ini tidak berada pada Hamid (diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas
RA didalamnya termasuk Ismail bin Abi Umayyah, dalam kitab as-Sunan: 2895).
Menurut saya, hadits ini diriwayatkan oleh atha’ dari Ibn Abi Syaibah (33315) dengan bentuk Mursal.
Sedangkan at-Thahawi dalam kitab Syarh ma’ani al-Atsar (4/2) meriwayatkan hadits ini melalui Abdullah bin
Mubarak dari Mush’ab Ibn Tsabit dari Atha’ dengan hadits: seseorang menggadaikan kudanya pada orang
lain. Kemudian Murtahin menafkahi kuda itu, dan Rasulullah berkata kepadanya “hakmu telah hilang”.
Hadits ini adalah hadits mursal dan kedhaifannya terletak pada Mush’ab bin Tsabit. Begitupula dengan hadits
“ ……… ” yang juga termasuk hadits mursal melalui Ali bin Sahl ar-Ramli dari al-Walid bin Muslim dari
al-‘Auza’I dari Atha’ sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab al-Marasil (173)
Menurut Ibn Qatthan yang kemudian dikutip oleh az-Zaila’I, bahwasanya hadits tersebut adalah hadits mursal
yang shahih (Nash bar-Rayah: 4/322). Begitu juga riwayat Abu Daud dalam kitab al-Marasil dari hadits
mursalnya Thawus. Salah satu perawinya adalah Mihran bin Umar al-Atthar yang jelek hafalannya dan
Zim’ah bin Sholeh yang haif.
mengembalikan lebihnya.115
Makna Atsar:
Jika harga barang gadai tersebut lebih besar dari hutang Rahin, maka murtahin harus
memberikan lebihnya kepada Rahin. Jika harga barang gadai lebih kecil dari hutang rahin,
maka rahin marus membayarkan sisa hutangnya kepada Murtahin.

Atsar Ali RA:


Diriwayatkan oleh Abd al-Razak: dari Al-Tsaury dari Manshur dari al-Hakam dari
Ali RA: Keduanya (Rahin dan Murtahin) saling mengembalikan lebihnya.116

Atsar Syarih al-Qadhy RA dan al-Hakam bin Utaibah:


Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: bercerita kepada kami Syarik dari Abi
Hushain: saya mendengar Syarih berkata: “barang gadaian tergantung dengan problrmatika
yang muncul”
Abi Hushain: telah menceritakan kepada kami Waki’: telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari al-Hakam dari Syarih: “barang gadaian tergantung dengan problrmatika yang
muncul”
Syu’bah: saya berkata kepada hakam: jika lebih besar atau lebih kecil sama? Dia
menjawab: ya, diceritakan oleh Ibnu Abi Zaidah dari Hisyam dari Muhammad dari Syarih
dengan lafadz seperti itu.117

Atsar Ibnu Sirin RA:


Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: diceritakan oleh Abdul Wahab bin Atha’ dari
Ibnu Awn dari Muhammad bin Sirain: “barang gadaian tergantung dengan problrmatika
yang muncul”118

Atsar Atha’ bin Abi Rabbah RA:

115 Hasan: dalam kitab al-Mushannaf (15039), salah satu periwayatnya adalah Ibrahim bin Amir yang
disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab As-Tsiqat: Ibrahim bin Amir meriwayatkan dari Ibnu Umar, begitu
juga Idris…?
116 Munqathi’: al-Mushannaf (15039). Atsar yang sama juga diriwayatkan oleh Barqam (15040) lewat
Muammar dari Qatadah dari Ali dengan sanad yang terputus. Qatadah tidak mendengar langsung dari Ali RA.
Atsar ini juga diriwayatkan oleh oleh Ibnu Syaibah lewat Waki’ dari al-Tsaury dari Manshur daru al-Hakam.
117 Shahih: al-Mushannaf (5/333-334)
118 Hasan: Ibid (5/335)
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah119: diceritakan oleh Ibnu Ulyah: saya bertanya
kepada Abi Najih tentang barang gadaian yang rusak, kemudian ia menjawab: Atha’
berkata” emas, perak dan harta benda (yang tidak membutuhkan perawatan; makan dan
minum) masing-masing saling dikembalikan, dan hewan tidak dikembalikan karena itu
milik Rahin.120

Atsar Ibrahim al-Nakha’I RA dan Sufyan al-Tsaury RA:


Diriwayatkan oleh Abd al-Razak dan Ibn Abi Syaibah: dari al-Tsaury dari al-Qa’qa’
dari Ibrahim: “jika harga barang tersebut lebih besar, maka hutang itu telah lunas. Jika lebih
sedikit, maka sisanya harus tetap dibayar” . imam al-Tsaury: “kami sepakat dengan Atsar
itu”121

Atsar para Ahli Fiqh Madinah:


Diriwayatkan oleh Abu Ja’far al-Thahawy RA: diceritakan oleh Abu al-Awam
Muhammad bin Abdillah Ibnu Abdil Jabbar al-Marady: diceritakan oleh Khalid Ibn Nazar
al-Ayly: Abdurrahman bin Abi Zanad menceritakan kepada saya dari ayahnya: menurut
keterangan para fuqaha’ kami (yang pendapatnya dapat dijadikan dasar), diantaranya
adalah: Said bin al-Musayyab, Urwah Ibn Zubair, Qasim bin Muhammad, Abu Bakar bin
Abdirrahman, Kharijah bin Zaid dan Ubaidillah bin Abdullah karena matangnya
pengetahuan mereka tentang fiqh, mereka juga termasuk orang-orang yang berbuat baik dan
orang yang memiliki keutamaan (kriteria ini kemudian dimasukkan dalam kitabnya).
Mereka berkata: “barang gadaian tergantung dengan problematika yang muncul, Yakni jika
barang tersebut rusak atau harganya tidak diketahui. Hal ini berdasarkan hadits nabi”122

Dibawah ini dipaparkan orang-orang (fuqaha’) yang berpendapat bhwa Murtahin tidak
wajib mengganti barang gadaian yang rusak milik Rahin.
Imam al-Syafi’I RA dalam kitab al-Umm (30/248) berdasarkan hadits:

119 Shahih: al-Mushannaf (5/333-335), diriwayatkan oleh Abd al-Razak dalam kitab Mushannafnya: 15038
120 Yang dimaksud dengan kata “dari awal” adalah rahin. bahwasanya barang (hewan) tersebut milik Rahin.
Jika hean itu mati, maka murtahin tidak dikenakan hukuman atau menggantinya
121 Shahih: diriwayatkan oleh Abd al-Razak dalam kitab mushannafnya (15041) dan Ibn Abi Syaibah dalam
kitabnya, al-Mushannaf (5/333)
122 Dengan sanad yang diperbolehkan: Syarh Maany al-Atsar (46/102)
“barang gadai tidak akan dapat menutupi hutang pemiliknya. Maka manfaat dan kerusakan
tetap menjadi tanggungan pemiliknya.”

Kemudian Imam al-Syafi’I melanjutkan: hadits tersebut menjelaskan bahwasanya


semua barang gadai itu tidak diganti oleh murtahin. Rasulullah bersabda:

“barang gadaian adalah milik orang yang menggadaikannya. Jika terjsdi sesuatu pada
barang tersebut, maka itu ditanggung oleh orang yang menggadaikan, bukan orang lain”.

Kemudian Rasulullah SAW menambahkan:

“Maka manfaat dan kerugian dari harta yang digadaikan tetap menjadi tanggungan Rahin.”

Menurut Saya:
Banyak ulama yang tidak sepakat kepada takwil hadits imam al-Syafi’I (terutama dari ahli
bahasa seperti Abi Ubaid) sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
JUAL BELI HUTANG DENGAN HUTANG

Madin : orang yang berhutang


Daain : orang yang memberikan hutang

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: diceritakan oleh Ibn Abi Zaidah dari Musa bin
Ubaidah dari Abdullah Ibn Dinar dari Ibn Umar RA: “Rasulullah melarang kita berjual beli
dengan sistem penangguhan”123

Makna al-Kaly’:

Para ahli bahasa sepakat bahwasanya makana dari lafadz ‫بالكالئ‬ ‫ الكالئ‬adalah ‫النسيئة‬
‫( بالنسيئة‬penangguhan dengan penangguhan), yakni hutang dengan hutang.

Hukum pemberlakuan sistem jual beli hutang:


Sanad hadits ini tidak tetap. Sebagaimana dijelaskan dalam catatan pinggir kitab tentang
hadits. Kaum muslimin juga telah menerima dan mengamalkan hadits tersebut. Semua
madzhab bersepakat untuk mengamalkan dan mengambil hukum darinya.

123 Sangat Daif: al-Mushanaf (5/250) diriwayatkan oleh Abdurrazak: Al-mushannaf (14440), Addaruquthni
(3041-3042), al-Hakim (2/57), al-Baihaqy (5/290), Makna hadits tersebut dari Nysa bin Ubaidah. Maka jika
diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Hakim maka sebagai berikut: dari Musa bin Uqbah –pengganti dari
Musa bin Ubaidah- Musa adalah anak dari Ubaidah ar-Rabzi. Akan salah jika Abu Abdillah kemudian
berkata tentang riwayatnya dari Musa bin Uqbah. Dan yang menutupi Abi Hasan Addaruquthni adalah Syaikh
‘Ishri dalam kitab As-Sunan dari Abu Hasan Ali bin Muhammad al-Mishri dari Musa Ibn Uqbah dan Syaikh
Abu Hasan meriwayatkan dari Abu Hasan al-Mishri dalam kitab Sunan al-Mishri Juz 3. dia mengatakan
bahwa riwayat Musa tidak termasuk didalamnya. Hal ini disepakati oleh al-Mishri sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Husain dengan menyebutkan sanadnya. Abu Abdul Aziz ar-Rabzi dari Nafi’
meriwayatkan hadits ini. Abu Abdul Aziz adalah Ibn Ubaidah. Ubaidillah bin Musa, Zaid bin al-Hubbab dan
lainnya meriwayatkan dari Musa bin Ubaidah dari Abdullah Ibn Dinar dari Ibn Umar lengkap dengan
sanadnya. Syaikh Abu Hasan Addaruquthni meriwayatkan dari Abu Hasan al-Mishri, “hadits ini diriwayatkan
dari Musa bin Uqbah dan Syaikh Abu Abdillah, yakni al-Hakim”. Sanad yang lain dari Miqdam bin Daud ar-
Ra’ini, “Musa bin Uqbah mengatakan bahwa sanad ini diragukan dan haditsnya adalah hadits masyhur riwayat
Musa bin Ubaidah dari Nafi’ dari Ibn Umar dalam satu jalur, dan dari Abdullah bin Dinar dari Ibn Umar dari
jalur yang lain”.
Menurut saya, yang dapat dijadikan pegangan adalah riwayat Ibn Abi Syaibah yang telah dicantumkan diatas,
sebab salah satu perawinya adalah Musa bin Ubaidah ar-Rabzi. Sanad ini bersambung pada Rasulullah yang
tidak diragukan lagi. Sedangkan jalur Abdurrazak terdapat al-Aslami sebagai perawinya. Ia adalah Ibrahim bin
Abi Yahya al-Aslami dari Abdullah bin Dinar dari Ibn Umar, riwayat al-Aslami diragukan karena dia sering
berbohong dan mengutip hadits secara serampangan.
Dalam al-Ilal al-Mutanahiyah (988) Ibn al-Jauzi mengatakan, “Ahmad berkata riwayat dri Musa bin Ubaidah
tidak terputus, dan saya tidak menemukan hadits ini selain dari periwayatan Musa dsn hadits ini tidak
termasuk hadits shahih”.
Menurut saya, hadits ini tidak memiliki ketetapan sanad tetapi umat islam telah menerimanya.
Menurut Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’ (388): jual beli penangguhan sungguh
dilarang.
Menurut Imam Syafi’I dalam kitab al-Umm (3/45): seseorang yang mempunyai hutang
dirham pada orang lain, sebaliknya, orang tersebut juga memiliki hutang dinar pada orang
tersebut, kemudian dianggap lunas. Jika tidak dan kemudian mereka saling tukar hutang,
maka tidak diperbolehkan.
Menurut Madzhab Hanbaly dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradaat (2/200):jual beli
penanguhan (hutang) dengan penangguhan yang lain tidak sah dan itu adalah jual beli
hutang dngan hutang.
Menurut madzhab Hanafy, al-Sarakhsy dalam kitab al-Mabshut (12/143): jika seseorang
menyerahkan 1000 dirham untuk membayar hutang makanan seharga 500 dirham, maka
hutang telah dianggap lunas dan 500 dirham sisanya adalah miliknya. …?
Dari Zfar, sesungguhnya akad penangguhan adalah bathil. Nabi SAW telah melarang
jual beli penangguhan dengan penangguhan lain (hutang dengan hutang).
Para ulama’ juga yakin bahwasanya hal tersebut (jual beli hutang) dilarang sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh Ibn al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’ (53), Ibn Rusyd
dalam kitab Bidayah al-Mujtahid (2/124), dan Ibn Taymiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa
(20/512).
Berdasarkan hal tersebut, hukum jual beli hutang merupakan suatu perkara yang haram
dan jika terjadi, maka rusak. Menurut al-Shan’any dalam kitab Subulussalam (3/68) setelah
menyebutkan hadits: hadits diatas menunjukkan bahwasanya jual beli hutang adalah haram
dan jika hal itu terjadi, maka batal.
Beberapa contoh kasus jual beli hutang:
- Jual beli sesuatu yang tidak diterima hingga waktu tertentu dengan pembayaran (yang
tertunda) hingga waktu tertentu.
Menurut an-Nawawy dalam kitab al-Majmuk (9/400): jual beli dengan penundaan tidak
diperbolehkan, misalnya seseorang berkata: “juallah baju yang berada dalam tanggunganku
dengan sifat-sifat seperti ini sampai bulan bla bla bla dengan dinar yang juga ditentukan
sampai waktu bla bla bla”. Kemudian orang lain menjawab: “saya menerima”. Jual beli
seperti ini fasid (rusak) dan tidak ada perbedaan tentangnya.
Menurut Ibn Hubairah dalam kitab al-Ifshah (diambil dari kitab Dirasat fi al-Ushul al-
Mudayanat): jual beli penangguhan (hutang) tidak sah seperti ketika seseorang berakad
salam dengan orang lain tentang penjualan sepuluh helai baju yang dishifati dan berada
dalam tanggungan si penjual sampai waktu yang ditentukan dengan harga (pembayaran)
yang juga ditentukan, meskipun waktu yang ditentukan itu bersamaan atau berbeda. Ini

adalah gambaran yang disebut ‫دين‬gg‫دين بال‬gg‫دأ ال‬gg‫( إبت‬permulaan jual beli hutang dengan
hutang).

- Menjual hutang yang diakhirkan yang didahului oleh ketetapan dalam tanggungan
orang yang memberi hutang dengan hutang lain yang diberi jangka waktu dan tidak
sama jenisnya. Seperti seseorang yang mempunyai hutang pada orang lain, pada saat
pembayaran tiba, dia tidak mempunyai barang yang akan diberikan kepada orang yang
memberikan hutang. Kemudian orang yang memberikan hutang menjual hutang orang
yang mempunyai hutang sebelumnya kepada orang yang memberikan hutang yang lain
dengan barang yang berbeda sampai waktu tertentu.
Menurut Abu Ubaid dalam kitab al-Gharib al-Hadits (1/23): penangguhan (hutang) dengan
penangguhan itu banyak bentuknya dalam jual beli. Misalnya seorang yang berakad salam
100 dirham kepada orang lain sampai waktu 6 bulan untuk satu takaran makanan dengan
satu takaran. Jika masanya telah habis, maka makanan itu menjadi milik orang tersebut.
Orang yang mempunyai makanan itu berkata kepada orang yang membayarnya: saya tidak
mempunyai makanan maka juallah takaran ini dengan seratus dirhamku sampai bulan ini,
ini adalah penangguhan yang diganti dengan penangguhan dan yang sejenisnya.
Menurut Ibn al-Jauzy dalam kitab Gharib al-Hadits (2/298): contoh penangguhan dengan
penangguhan yang lain adalah sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang
pembayarannya ditangguhkan sampai batas tertentu. Jika kemudian masanya telah sampai
dan orang itu tidak memiliki barang yang akan diserahkan, kemudian dia berkata: juallah
barang itu dengan ketentuan waktu yang lain dengan tambahan. Kemudian ia menjualnya
dengan tidak membatalkan akadnya yang pertama.
Menurut al-Subky (diambil dari kitab Taklimatul Majmu’: 10/108)jual beli hutang yang
pelarangannya telah disepakati seperti seseorang yang mempunyai hutang kepada orang
lain dan kemudian ia menjadikan hutang itu hutang yang lain kepada orng lain dengan kdar
hutang berbeda dan dengan sifat yang berbeda pula. Karena itulah, para ulama’ sepakat
melarang praktek tersebut, karena pada hakikatnya, itu adalah menjual hutang dengan
sesuatu (hutang) yang lain.
- Menjual hutang yang diakhirkan yang didahului oleh ketetapan dalam tanggungan
orang yang tidak memberi hutang dengan hutang lain yang diberi jangka waktu.
Sepertihalnya ketika seseorang mempunyai hutang 1 ton beras kepada orang lain.
Kemudian ia (orang kedua) menjualnya kepada orang lain (orang ketiga) dengan 500

pakaian sutera dengan jangka waktu, ini merupakan salah satu bentuk ‫الكالئ بالكالئ‬
yang terlarang.
Menurut Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’ (660): jual beli penangguhan adalah seperti
seorang laki-laki yang menjual hutang orang lain dengan hutang lain dari orang lain pula.

Illat mengapa jual beli hutang dilarang:


a. ia merupakan jalan bagi adanya riba nasi’ah yang diharamkan
b. terdapat unsur penipuan. Yakni menjual sesuatu yang belum diketahui seperti
menjual ikan yang ada dalam air.
Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitab I’lam al-Mauqi’yn (2/20): pembolehan akad salam
berdasarkan atas kesepakatan qiyas dan mashlahat dengan bentuk yang sempurna, dan
disini saya akan memaparkannya kembali. Dalam akad salam disyaratkan untuk membayar
harga barang terlebih dahulu, karena jika pembayaran tersebut diakhirkan, maka akan
mengakibatkan adanya dua tanggungan yang tidak bermanfaat. Karena pembayarannya
dilaksanakan dimuka, maka akad ini dinamakan akad salam. Jika pembayarannya
diakhirkan, maka akad ini termasuk akad jual beli hutang dengan hutang. Bahkan, hal ini
memang tidak termasuk dalam kategori salam, tetapi termasuk dalam jual beli hutang
dengan hutang dan transaksi ini termasuk dalam kategori penipuan yang diharamkan.
c. Akad ini tidak bermanfaat bagi salah satu dari kedua belah pihak, akad ini hanya
akan mengakibatkan kedua orang tersebut termasuk orang yang menggunakan
transaksi tersebut.
Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitab A’lam al-Mauqi’in (912): hal yang menjadikan akad
tersebut dicegah adalah karena berkumpulnya dua tanggungan. Dalam akad tersebut salah
satu dari kedua orang yang berakad tidak segera menunaikan apa yang menjadi
tanggungannya. Akibatnya, seorang lagi akan mengambil keuntungan dari hal tersebut.
Si A mempunyai hutang dirham pada si B, sebaliknya, si B tersebut juga memiliki
hutang dinar pada si A dengan nilai yang sama, lebih besar atau lebih kecil, apakah
kedua orang tersebut boleh menganggap hutang keduanya lunas tanpa membayar
atau tidak?

Menurut Imam Syafi’I dalam kitab al-Umm (3/45): seseorang yang mempunyai hutang
dirham pada orang lain, sebaliknya, orang tersebut juga memiliki hutang dinar pada orang
tersebut, kemudian dianggap lunas. Jika tidak dan kemudian mereka saling tukar hutang,
maka tidak diperbolehkan.
Ini adalah pendapat imam syafi’I tentang pengharaman Jual-Beli hutang oleh Nabi
Muhammad SAW. Sementara itu, pendapat berbeda diutarakan oleh imam malik dan imam
abu hanifah RA.
Menurut Ibnu Taymiyah RA dalam kitab al-Fatawa (29/473): sesungguhnya nabi SAW
melarang transaksi jual beli penangguhan (hutang), nabi memperbolehkan hutang dengan
Beliau juga berpendapat dalam kitab nadzriyah al-Aqd (235) yang diambil dari kitab
Dirasat fi Ushul al-Mudayanat: seperti halnya ketika seseorang memiliki hutang dinar
kepada orang lain dan dia juga memiliki hutang dirham kepada orang lain kemudian
mnjualnya. Imam al-Syafi’I dan imam Ahmad melarang praktek jual beli tersebut.
Sedangkan Imam Imam Malik dan Abu Hanifah memperbolehkannya. (sanad) Hadits
tersebut (tentang larangan jual beli penangguhan -hutang- dengan penangguhan) tidak
pernah datang dari nabi SAW dan bukan hadits shahih bukan pula hadits dhaif, hadits ini
adalah hadits munqathi’ yang sanadnya terputus pada tingkaran sahabat.
Menurut Imam Ahmad: hadits yang menjelaskan hal tersebut memang bukan hadits
shahih tetapi diperkuat dengan kesepakatan para ulama’ (ijma’). Seperti seseorang yang
membayar sesuatu (hutang) pada orang lain dengan jangka waktu yang ditentukan dengan
sesuatu (hutang) yang juga ditentukan. Hal inilah yang tidak diperbolehkan. Dan dalil yang
menjelaskan hal ini dan bisa dijadikan dasar adalah ijma’.
Maka gambaran ini adalah jual beli sesuatu yang masih berada dalam tanggungan untuk
menggugurkan tanggungan itu sendiri. Ketidak bolehan hal ini tidak berdasarkan Al-
Qur’an, Ijma’ dan Qiyas. Sesungguhnya masing-masing memberi sesuatu yang menjadi
tanggungannya dan hal itu diterima olehnya. Sebagaimana dua orang yang saling
memberikan barang titipan, lalu mereka saling menukar banrang tersebut. Kebolehan
penitipan (wadhi’ah) ini yang utama daripada jual beli hutang.
Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitab I’lam al-Mauqi’in (9/2): tukar menukar barang
yang berada dalam tanggungan dan barang yang tidak berada dalam tanggungan seperti
halnya salam. Dalam akad tersebut pembeli telah gugur tanggungannya karena telah
membayar uangnya terlebih dahulu ditempat akad dan penjual masih mempunyai
tanggungan, yaitu barang yang belum diberikan kepada pembeli, dan hukum dari jual beli
tersebut tidak sama dengan jual beli barang yang berada dalam tanggungan dengan barang
yang juga masih berada dalam tanggungan pula seperti jual beli hutang

Apakah pemilik tempat produksi dan pekerja boleh menyetujui nota kesepakatan
pada barang yang mereka produksi untuk selesai pada waktu tertentu dan agar
harganya disesuaikan dengan harga barang tersebut pada waktu barang tersebut
selesai?
ini adalah gambaran seperti yang telah kami contohkan dalam kasus transaksi jual beli
penangguhan (hutang) atau yang lazim disebut dengan jual beli hutang dengan hutang baik
itu pelarangan sampai rusaknya akad. Tetapi apakah hal tersebut bisa diperlunak karena
dibutuhkan manusia?

Sebagaimana telah disebutkan dalam kaidah fiqh: ‫( الضرورة تبيح المحظورات‬darurat itu
membolehkan hal-hal yang dilarang).124 selain itu, hukum syariat diberlakukan untuk
menghilangkan keulitan dan kesukaran dan memberikan kemudahan kepada manusia.
Firman Allah SWT dalam al-Qur’an:

‫)وما جعل عليكم في الدين حرج )الحج‬


Artinya:
“dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-
Hajj: 78).

‫)يريد ا بكم اليسر وليريد بكم العسر )البقرة‬


Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (Al-
Baqarah: 185).

124 Kaidah ini mempunyai dua syarat: pertama, kebutuhan itu


“apakah “Dharurat” itu berlaku secara umum ataukah khusus sehingga kita bisa
menggunakan hukum ini?”

Menurut Doktor Nazih Hammad dalam kitabnya Dirasat fi Ushul al-Mudayanat (271)
tentang jual beli penangguhan (hutang) dengan penangguhan yang dalam madzhab
malikiyah dikenal dengan sebutan “permulaan hutang dengan hutang” jika dikaitkan
dengan persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, khususnya yang dihadapi oleh para
pedagang dan produk yang dihasilkan dengan nominal yang diketahui sebelum waktunya.
Maka barang-barang produksi butuh pada jaminan adanya bahan baku dalam rangka
memenuhi kesepakatan yang telah dibuat agar target produksi dapat tercapai. Harus ada
perencanaan terlebih dahulu sehingga kekhawatiran akan perubahan bahan baku tidak
terjadi. Karena terkadang hal tersebut bisa saja terjadi tanpa dapat diperkirakan sebelumnya
tanpa membekukan modal sebelum melampaui waktu perencanaan. Hal ini juga terjadi
dalam nota kesepakatan dalam hal pemasaran atau distribusi barang-barang produksi. Yang
menyerupai akad borongan tanpa menyengsarakan orang yang memesan dengan membayar
terlebih dahulu. Semua ini membuat para pemillik tempat produksi membutuhkan nota
kesepakatan. dan ini juga meliputi jual beli hutang dengan hutang.
Kebutuhan di atas termasuk kebutuhan yang mendesak. tentang akad borongan, para ulama
masih memperdebatkannya sebab hal tersebut diragukan termasuk dalam kebutuhan yang
mendesak sebagaimanakesepakatan dalam hal produksi.
Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada halangan syar’I bahwa jual beli hutang
diperbolehkan tetapi hanya khusus bagi orang yang dituntut untuk segera memenuhi
kebutuhannya, selama tidak ada unsur riba.

Jika seseorang mendapatkan hartanya dari seseorang yang telah bangkrut, maka
orang tersebut lebih berhak dari siapapun.
Menurut Imam Bukhari RA dengan sanad yang berasal dari Abu Hurairah RA: Rasulullah
SAW bersabda:

‫من أدرك ماله بعينه عند رجل أو إنسان قد أفلس فهو أحق يه من غيره‬125
125 Muttafaq Alaihi: Bukhari (2.402), Muslim (1.559), Malik (al-Muwattha’: 523), Abdul Razak (15.160),
Ahmad (2/228, 285, 474), An-Nasai (7/311), At-Turmudzi (1.262), dan Ibnu Majah (1.556)
Artinya:
“barang siapa yang menyusuli hartanya pada seseorang atau manusia yang telah bangkrut,
maka sesungguhnya dia (orang yang bangkrut) lebih berhak menggunakan harta tersebut
dari pada orang lain”

Menurut Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’ (523), tentang seseorang yang menjualkan
barang orang lain kemudian dia bangkrut. Jika dia (orang yang menjualkan barang) masih
memiliki harta, maka orang yang mempunyai harta boleh mengambil hartanya sebagai ganti
atas hutangnya. Sekalipun orang yang menjualkan barang itu telah menjual sebagian atau
telah memilah-milahnya, orang yang memioliki harta itu tetap berhak atas hartanya.
Pemilahan dan penjualan yang telah dilakukan oleh penjual tersebut tidak menghalangi
orang yang mempunyai harta itu untuk mengambilnya. Dan jika kemudian barang terebut
terjual seluruhnya, maka lebih baik orang tersebut segera meluasi hutangnya.
Beliau juga berpendapat: jika seseorang menjual sebuah barang yang berupa sepetak tanah
untuk dipergunakan, misalnya digunakan untuk membangun sebuah rumah kemudian dia
bangkrut, kemudian orang yang memiliki tanah tersebut berkata: saya lebih berhak atas
tanah tersebut beserta seisinya, itu semua bukanlah miliknya. Kalau begitu, berapakah harga
sepetak tanah tersebut? Berapa pulakah harga bangunan yang ada didalamnya?
Dalam hal ini, kedua orang tersebut berserikat dan mendapatkan bagiannya masing-masing.
Kita harus membedakan antara harga tanah dan harga bangunan yang ada di dalamnya.
Sebagai contoh, harga keseluruhan adalah 1500 dirham, dengan rincian 1000 dirham untuk
harga tanah dan 500 dirham untuk harga bangunan yang ada di dalamnya. Sistem
pembagiannya kemudian adalah: orang yang memiliki barang itu mendapatkan bagian 1/3
dan orang yang menjualkan barang itu mendapat bagian 2/3.

Jika seseorang mengalami kebangkrutan dan dia memiliki hutang, maka harta
miliknya harus dibagi kepada orang yang memberikan hutang sesuai dengan hutang
yang ia berikan.
Imam Muslimmeriwayatkan hadits126 dengan sanad melalui Abu Said al-Khudri:di masa
rasulullah, ada seseorang yang tertompa musibah, buah yang akan dia jual rusak sehingga
tidak layak untuk dijual, kemudian dia memiliki banyak hutang, maka Rasulullah SAW

126 Shahih Muslim: 1556


bersabda: “bersedekahlah kepadanya”, kemudian masyarakat berduyun-duyun bersedekah
kepadanya. Ketika dihitung, hasil sedekah itu masih tidak cukup untuk melunasi hutang-
hutangnya, kemudian rasuullah bersabda: “ambillah barang yang masih tersisa karena tidak
ada lagi yang bisa kalian ambil selain itu”.
Menurut al-Hafidz Ibn Hajar dalam kitab al-Fath (5/80): dalam bab tersebut disebutkan
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Said al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda: “ambillah barang yang masih tersisa karena tidak ada lagi yang bisa kalian
ambil selain itu”.
Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya sesungguhnya orang yang telah jelas-jelas
bangkrut, menyerahkan urusannya kepada hakim untuk menjual dan membagikan hartanya
kepada orang yan telah memberi hutang kepadanya sesuai dengan hutang yang mereka
berikan.
Para ulama Hanafiah tidak sepakat akan hal tersebut berdasarkan kisah Jabir ketika
bercerita tentang hutang ayahnya: mereka tidak diberikan kebun, dan tidak membagi-
bagikan kebun itu untuk mereka terlebih dahulu, dengan tujuan akan diberikan kemudian.
cerita ini tidak bisa dijadikan dasar.

Orang yang hartanya sampai satu nishab dan dia juga memiliki harta lain berupa
piutang, apakah dia wajib menzakati keseluruhan hartanya ataukah dia harus
menzakati sebagian hartanya yang bukan berupa piutang itu ?
Pendapat para sahabat dan tabi’in:
Atsar Utsman RA:
Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Malik: dari az-zuhri dari Saib Ibn Yazid,
sesungguhnya Utsman bin Affan RA berkata: “ini adalah bulan dimana kamu menunaikan
zakat, jika kalian memiliki hutang, maka lunasilah hutangmu kemudian (jika masih sampai
satu nishab) berzakatlah”.127
Atsar Ibn Umar dan Ibn Abbas RA:
Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dengan sanad dari Ibn Abbas dan Ibn Umar tentang orang
yang berhutang dan memberi nafkah keluarganya, kemudian Ibn Umar berkata: “lunasilah
hutangmu terlebih dahulu, barulah kemudian berzakat (jika masih sampai satu nishab)”.128

127 Shahih, al-Muwattha’: 216, juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf: 3/84,
Abdurrazak (7086), dan al-Baihaqi (4/148).
128 Hasan, Abu Ubaid al-Amwal: 1545, al-Baihaqi, as-Sunan: 46/148
Atsar Fadhil bin Amr al-Faqimi:
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah: diceritakan oleh Waki’ binSufyan dari Mughiorah dari
Fadhil: “janganlah kamu berzakat selama masih ada hak orang lain dalam hartamu”.129
Atsar Thawus RA:
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah: diceritakan oleh Abu Bakar dari Muammar dari Laits
dari Thawus: “jika kalian memiliki hutang kepada seseoang, kamu harus tetap menunaikan
zakat”.130
Atsar Hasan RA:
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah: diceritakan oleh Abu Usamah dari Hasyim dar Hasan:
“zakat memiliki ketentuan-ketentuan tertentu yang telah diketahui, jika telah sampai satu
nishab, harta itu harus dizakati, akan tetapi jika harta itu berupa hutang, maka tidak wajib
dizakati”.131
Atsar Ibrahim an-Nakha’i:
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi: diceritakan oleh Abu Abbas dari Hasan dari Yahya dari Israil
dari Mughirah dari Fadhil dari Ibrahim: orang yang memiliki harta berupa piutang, dia
wajib menzakatinya (jika telah sampai satu nishab).132
Atsar Sulaiman bin Yassar RA:
Diriwayatkan oleh imam Malik: dari Yazid bin Khushaifah ketika dia bertanya kepada
sulaiman bin Yassar tentang orang yang memiliki harta mencapai satu nishab akan tetapi
dia memiliki hutang, apakah dia wajib menunaikan zakat atau tidak? Kemudian beliau
menjawab: “tidak”.133
Menurut Imam Malik RA dalam kitab al-Muwattha; (213)
Menurut Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal (58) setelah datangnya atsar dari sahabat dan
tabiin: jika hutang itu berupa emas atau berupa uang, maka dia melunasi hutang tersebut
dengan barang yang serupa dan dia tidak wajib menunaikan zakat. Semua ulama’ sepakat
akan hal itu dalam kitab Shamat ad-Dain.

129 Shahih, al-Mushannaf: 3/84


130 Dhaif: di dalamnya terdapat Laits bin Abi Salim, al-Mushannaf: 36/84
131 Dhaif: di dalamnya terdapat Hasyim bin hasan, al-Mushannaf: 3/84
132 Hasan, al-Baihaqi, as-Sunan: 4/148, Ibn Abi Syaibah: 3/84 dari Mughirah dari Ibrahim secara langsung
tanpa menyebutkan perantara. Yakni Fadhil bin Amr al-Faqimi
133 Shahih, al-Muwattha’: 216
Jika seseorang memanen tanaman dari ladangnya, dan hasil panen tersebut mencapai
satu nishab. Akan tetapi dia memiliki hutang yang sepadan dengan hasil panennya.
Apakah dia wajib mengeluarkan zakat pertanian atau tidak?
Ada dua pendapat ulama tentang hal itu:
Pertama: tidak wajib berzakat dan melunasi hutang
Al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan (4/148): diceritakan oleh Abu Abdillah al-Hafidz, Abu
Bakar bin Hasan dan Abu Said bin Amr: dari Abu Abbas Muhammad bin Ya’qub dari
Hasan bin Ali bin Affan dari Yahya dari Abu ‘Uwanah dari Ja’far bin Iyas dari Amr bin
Harm dari Jabir bin Zaid dari Ibn Abbas dan Ibn Unar RA: tentang seseorang yang melunasi
hutang dengan hasil panen dan menafkahi keluarganya, kemudian Ibn Abbas berkata: “dia
membayar hutang dan menafkahi keluarganya dari hasil panen, kemudian dia membayar
zakat dengan sisanya”134
Atsar Thawus RA:
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah: diceritakan oleh Muhammad bin Bakar dari Ibn Juraij:
Abu Zubair berkata kepadaku: “saya mendengar Thawus berkata: dia tidak wajib
bersedekah”.135 136
Atsar Atha’ RA:
Diriwayatkan oleh Abdurrazak dari Ibn Juraij: saya bertanya kepada Atha’ tentang
seseorang yang hutangnya lebih banyak dari hasil panennya, apakah dia wajib melunasi
hutangnya pada hari dia memanen tanamannya?, beliau menjawab: menurut saya, orang
yang memiliki hutang lebih banyak dari hasil panennya tidak wajib melunasi hutangnya
pada hari dimana dia memanen tanamannya.137
Atsar ats-Tasuri RA:
HR. Abdurrazaq, ats-Tsauri mengatakan, “Jika kurma atau lahan garapanmu sudah panen,
periksalah hutangmu yang lalu dan akan datang. Jika ada, bayarlah terlebih dahulu lalu
beyarlah zakat dari sisanya jika mencapai lima shaq (1 shaq 60 gatang).”138
Pendapat kedua: wajib menzakati masing-masing dari buah-buahan dan hasil ladang.
Alasannya adalah, dalam keentuannya, buah-buahan dan hasil ladang harus dizakati. Yang
sependapat dengan hal ini, seperti Ibn Syihab ra mengatakan, “Diriwayatkan dari Abu

134 Hasan: al-Baihaqi, as-Sunan: 4/148, Abu Ubaid, al-Amwal: 1545


135 Jika hutangnya sama dengan harta yang ia miliki
136 Shahih, al-Mushannaf: 3/86
137 Shahih: Abdurrazak, al-Mushannaf: 7089
138 Shahih: al-Mushannaf, hal. 7088.
Ubaidah, dari Abdullah bin Shalih dari al-Laits dari Yunus dari Ibn Syihab bahwa dia
pernah ditanya tentang seseorang yang berhutang dari gudang penyimpanan hasil panen,
sehingga hasil panen yang tadinya mencapai nishab wajib zakat menjadi berkurang dan
tidak mencapai nishab. Apakh orang yang memiliki gudang itu wajib mengeluarkan zakat?
Shihab lalu menjawab, “saya tidak pernah mendapatkan sunah yang menjelaskan hal ini.
Tetapi menurut saya, dia tidak wajib membayar zakat, hanya saja dia harus mengeluarkan
pajak tanah. Dan jika dia memiliki harta lain atau emas, maka dia tidak harus mengeluarkan
apapun dari hartanya sampai dibayarkan hutang padanya.”139
Atsar Ibn Sirin: HR. Abu Ubaid, “Abdullah bin Mubarak meriwayatkan pada kami dari
Thalhah bin an-Nadlr, bahwa dia pernah mendenganr Ibn Sirin berkata seperti yang pernah
dikatakan Ibn Syihab.140 Abu Ubaid, al-Amwal, hal. 1549, “Yang berlaku dan menjadi
pemahaman masyarakat Hijaz dan Iraq pada umumnya sekarang adalah bahwa harta
seseorang yang dipinjam sehingga mengurangi pencapaian nishab tidaklah dianggap
sebagai pengeluarannya, bahkan dia wajib membayar pajak tanah, sekalipun dia memilki
hutang yang sama banyak dengan hasil penen yang dia peroleh. Ini juga merupakan
pendapat al-Auza’i. Abu Ubaid, hal. 1551, “Malik, masyarakat Hijaz dan al-Auza’I
mengatakan, “Ternak layaknya pajak tanah, harus dibeyar zakatnya sekalipun pemiliknya
memiliki hutang.

Analisis dua pendapat:


Dalam al-Amwal, hal. 1554, Abu Ubaid mengatakan, “Jika hutang itu memang benar
adanya dan telah diketahui bahwa pemilik tanah memilki hutang, maka pajak tanah itu tidak
harus dibayarkan, karena kewajiban pajak menjadi hilang bila orang yang memilki tanah
mempunyai hutang. Sebagaimana pendapat Ibn Umar, Thawus, Atha’ dan Makhul yang
sesuai dengan sunnah. Bila kita teliti lebih jauh, Rasulullah SAW telah menetapkan agar
harta orang-orang kaya harus diambil zakatnya dan diberikan pada orng miskin agar mereka
juga ikut merasakan harta yang dimilki orang kaya.141
Hal ini adalah bagi orang yang memiliki hutang yang sama dengan jumlah kekayaannya.
Dia adalah orang yang wajib membayar pajak tanah, lalu bagaimana dia ditarik kewajiban
pajak, padahal dia memang yang harus membayarnya? Atau dengan istilah lain, bagaimana

139 Dlaif: terdapat perawi yang dlaif, yakni Abdulah bin Shalih, sekretaris al-Laits. Al-Amwal, hal. 1543.
140 Dlaif: sebab orang yang berkata pada Abu Ubaid tidak diketahui. Al-Amwal, hal. 1544.
141 HR. Bukhari, hal. 1458, HR. Muslim, hal. 121.
orang kaya juga merupakan orang miskin, dalam satu keadaan? Oleh karena itu, orang ini
adalah termasuk orang yang bangkrut karena terbelit masalah hutang, dan dia termasuk
dalam delapan golongan yang berhak mendapatkan pajak bila ditinjau dari dua hal di atas.
142
Menurut saya, “Ini adalah pendapat yang benar. Wallahu a’lam.”

Orang sering memberi hutang, sehingga harta yang dia berikan kepada orang itu
mencapai nishab zakat, apakah dia wajib mengeluarkan zakat sebelum orang yang
berhutang padanya membayar?
Dalam masalah ini, ulama klasik berbeda pendapat.
Pertama, dia wajib mengeluarkan zakat jika jika orang-orang yang berhutang padanya
tidak termasuk orang yang suka menangguhkan pembayaran hutang. Berikut secara lengkap
kami sebutkan orang yang mengatakan seperti pendapat ini:
Aisyah ra:
HR. Ibn Abi Syaibah: Hammad bin Khalid meriwayatkan pada kami dari Ibn Abi Dza’b
dari Utsman ibn Abu Utsman: saya pernah berkata pada al-Qasim bin Muhammad143 “Kami
mempunyai harta berupa hutang yang mencapai nishab zakat, lalu kami bayarkan
zakatnya.” Dia menajwab, “Benar apa yang kamu lakukan, sebab Aisyah ra memerintahkan
agar kami membayar zakat atas hasil laut yang kami peroleh, saya juga sudah pernah
menanyakan hal ini pada Salim144, dia juga mengatakan hal yang serupa.145
Umar ra:
HR. Ibn Abi Syaibah: dari Muhammad bin Bakar dari Ibn Juraij dari Yazid ibn Zaid dari
Jabir bahwasanya Abdullah bin Abu Bakar pernah bercerita pada Umar ra. Dia berkata pada
seseorang, “Jika sudah banyak, maka hutangmu akan saya hitung, dan bila sudah mencapai
nishab zakat, maka akan saya keluarkan zakatnya.”146
Jabir bin Abdullah:
HR. Ibn Abi Syaibah: dari Muhammad bin Bakar bin Juraij dari Abu Zubair dari Jabir ra

142 Abu Ubaid berpendapat, harus dibayarkan zakatnya, jika ada bukti akan ketetapan hutangnya. Abu Ubaid,
hal. 1555 mengatakan, “Hal ini jika sudah benar-benar diketahui bahwa hutangnya akan kembali. Jika tidak
diketahui dan tidak ada bukti kecuali hanya pengakuannya saja, maka dia tidak bisa melakukan tuntutan. Hasil
lading dan ternak harus diambil sedekahnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibn Sirin, Ibn Syihab, al-Auza’I,
malik dan [enduduk Iraq.
143 Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, salah seorang dari ahli fiqh yang tujuh di kota Madinah.
144 Salim adalah Ibn Abdillah bin Umar, salah seorang dari ahli fiqh yang tujuh.
145 Dlaif: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 52. Utsman bin Abu Utsman dalam sanad ini tidak diketahui, ini adalah
yang dikatakan oleh Ibn Hubban dalam ats-Tsiqat.
146 Munqathi’: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 52. Abdul Malik tidak pernah mendengarnya dari Umar.
tentang masalah yang sama, dia mengatakan, “Dia harus mengeluarkan zakatnya.”147
Ibn Umar ra:
Ibn Abi Syaibah berkata, “Waki’ meriwayatkan pada kami dari Musa bin Ubaidah dari
Nafi’ dari Ibn Umar ra, “beliau mengatakan: Jika hartamu mencapai satu nishab dan sudah
sampai satu tahun, maka bayarkanlah zakatnya, jika harta yang mencapai satu nishab dan
satu tahun itu berupa hutang, maka dia harus membayar zakatnya jika hutang tersebut sudah
pasti akan dibayarkan, jika masih belum pasti untuk dibayarkan, maka dia tidak wajib
mengeluarkan zakatnya.”148
Mujahid bin Jubair ra:
Ibn Abi Syaibah mengatakan, “Yahya bin Said meriwayatkan pada kami dari Utsman bin
al-Aswad dari Mujahid: Jika kamu yakin bahwa hartamu yang berupa hutang dan masih
menajdi tanggungan orang lain itu akan dibayarkan, maka bayarkanlah zakatnya.” 149 Tetapi
Hammad bin Salamah dan Rabiah tidak sependapat dengan hal ini, mereka berdua
mengatakan bahwa dia hanya wajib mengeluarkan zakat dari harta yang sedang dia pegang.
HR. Ibn Abi Syaibah: Ghindzar meriwayatkan pada kami dari Syu’bah, “Saya pernah
bertanya pada Hammad tentang seseorang yang memiliki banyak hutang dan dia juga masih
memegang harta, apakah dia wajib berzakat? Dia menjawab: benar, dia wajib membayar
zakat. Bukankah dia masih memiki hartanya itu? Saya juga telah bertanya pada Rabiah
tentang hal ini, dan dia menjawab seperti yang Hammad katakan.150
Pendapat kedua:
Dia tidak harus mengeluarkan zakat sampai hutang-hutang dibayarkan kepadanya, baik
orang-orang yang berhutang padanya termasuk yang mengulur pembayaran atau tidak.
Berikut orang yang pernah mengatakan pendapat seperti ini:
Aisyah ra:
Ibn Abi Syaibah mengatakan, “Zaid bin Hubbab meriwayatkan pada kami dari Abdullah bin
al-Muammil dari Ibn Abi Malikah dari Aisyah ra, “Dia tidak wajib mengeluarkan zakat
selama dia belum menerima pembayaran hutang.”151
Ikrimah ra:

147 Dlaif: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 52. ‘an’anah Abi Zubair dan Abu Zubair terputus. Tidak jelas apakah
keduanya mendengar langsung atau tidak.
148 Dlaif: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 52. Musa bin Ubadah dalam sanad ini dlaif.
149 Shahih: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 52.
150 Shahih ilaih: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 84.
151 Dlaif: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 53. Abdullah bin al-Muammil dalam sanad ini adalah lemah. Ibn Abi
Syaibah juga meriwayatkan atsar ini dari jalur Abdullah al-Umari, dia juga lemah dalam periwayatan.
HR. Ibn Abi Syaibah, “Ibn Mahdi meriwayatkan pada kami dari Sufyan dari Abu az-Zanad
dari Ikrimah: Harta yang berupa hutang tidak wajib dibayarkan zakatnya.”152
Atha’ bin Abu Rabah ra:
HR. Ibn Abi Syaibah, “Waki’ meriwayatkan padaku dari Israil dari Jabir dari Abu Ja’far al-
Baqir: harta yang masih berupa hutang tidak wajib dibayarkan zakatnya sampai dia
menerima pembayaran hutang dari orang yang menanggungnya.”153
Abu ja’far al-Baqir ra:
HR. Ibnu Abi Syaibah, “Waki’ meriwayatkan pada kami dari Israil dari Jabir dari Abu
Ja’far al-Baqir: Dia tidak wajib mengeluarkan zakat selama dia belum menerima
pembayaran hutang.154
Al-Hakam bin Utaibah dan an-Nakha’I ra:
HR. Ibn Syaibah: Waki’ menceritakan pada kami dari Mus’ir dari al-Hakam, “Ibrahim
berbeda pendapat denganku mengenai masalah ini, lalu saya katakana padanya bahwa orang
itu tidak wajib membayar zakat, maka dia pun mengikuti pendapatku.”155

Harta seseorang yang berupa hutang dan sudah mencapai nishab zakat, apakah wajib
dikeluarkan zakatnya satu kali atau setiap satu tahun sekali?
Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
Pertama, dia wajib mengeluarkan zakatnya sekali setiap tahun. Yang mengatakan hal ini
antara lain:
Ali ra:
HR. Ibn Abi Syaibah, “Yazid bin Harun meriwayatkan pada kami dari Hisyam dari
Muhammad dari Ubaidah, dia mengatakan: Ali ra pernah ditanya tentang seseorang yang
mempunyai harta berupa hutang, tetapi masih belum pasti apakah akan dikembalikan
dengan segera atau tidak oleh orang yang berhutang. Lalu Ali menjawab: jika orang yang
berhutang dapat dipercaya dan dia sudah menerima pembayaran darinya, maka dia wajib
membayar zakatnya dari masa yang telah lewat.”156
Umar ra:
Hr. Baihaqi: Abu al-Qasim Abdul Khaliq dari Muadzin dari Abu Bakar Muhammad bin

152 Shahih: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 53.


153 Shahih: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 54.
154 Dlaif: Jabir bin Yazid al-Ja’fari lemah dalam sanad ini. Al-Mushannaf, vol. 3, hal. 54.
155 Shahih: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 54.
156 Shahih ilaih: al-Mushannaf, vol. 3, hal. 52.
Ahmad bin Khanb dari Muhammad bin Ismail dari Ayuh bin Sulaiman dari Abu Bakar bin
Abu Uwais dari Abu Sulaiman bin Bilal dari Yunus dari Ibn Syihab dari Humaid bin
Abdurrahman dari Abdurrahman nal-Qari.
Yang berlaku pada Baitul Mal pada masa Umar: orang-orang mengambil zakat dari harta
yang berupa hutang. Jika mereka telah mengeluarkan banyak dari harta mereka, maka
mereka enggan membayar hutang. Sebelum mereka membayar hutang, mereka
mengeluarkan zakat dari harta yang mereka pegang. Akibatnya, bila berhutang-piutang
setelah itu, mereka akan merasa kewalahan dan membuat berat diri mereka. Akibatnya, dari
hutang-hutang itu, baitul mal tidak memperoleh pajak apapun kecuali dari yang sudah
dibayarkan. Mereka juga mengeluarkan zakatnya harta yang sudah mereka pegang, hasil
dari hutang yang dibayarkan pada mereka, yakni sesuai dengan waktu tahun-tahun yang
telah dilampaui.157
Kedua: hanya wajib mengeluarkannya sekali. Berikut orang yang mengatakan pendapat ini:
Umar bin Abdul Aziz ra:
HR. Imam Malik: diriwayatkan dari Ayub bin Abu Tamimah as-Sakhtiyani bahwa Umar
bin Abdul Aziz menulis surat pada para pejabat wilayah yang berbuat aniaya perihal harta
yang mereka pegang, beliau memerintahkan agar harta itu dikembalikan kepada yang
berhak, lalu mereka harus mengeluarkan zakatnya dari masa yang telah mereka lewati. Di
akhir surat, beliau menambahkan, zakat yang mereka bayarkan hanya dikeluarkan satu kali
saja.158
Hr. Imam Malik, al-Muwatha’, hal. 216-217, “Menurut kami, masalah hutang yang sudah
disepakati oleh para ulama adalah: orang yang memilki harta berupa hutang, dia tidak harus
membayar zakatnya kecuali bila hutang telah dibayarkan padanya. Andaikan orang-orang
yang berhutang padanya baru membayarnya setelah beberapa tahun, maka dia hanya wajib
membayarnya sebanyak satu kali. Imam Malik menambahkan: bukti yang menunjukkan
bahwa dia hanya wajib mengeluarkan zakat sekali walaupun sudah bertahun-tahun baru
dibayarkan adalah: unta yang oleh seseorang digunakan untuk berdagang selama beberapa
tahun kemudian dia menjualnya, maka harta yang dia peroleh dari untanya itu tidak wajib
dikeluarkan zakatnya kecuali hanya sekali saja. Hal ini kerena orang yang mempunyai hak
hutang atau unta tidak akan diambil zakatnya kecuali berdasarkan harta yang berasal dari
hutang atau unta itu, tidak dari yang lainnya.

157 Shahih ilaih: as-Sunan, vol. 4, hal. 150.


158 Shahih ilaih: al-Muwatha’, hal. 216.
Orang fakir mempunyai hutang pada orang kaya. Apakah zakat yang dikeluarkan
orang kaya itu menunggu pembayaran hutang dari si fakir, atau hutangnya si fakir
diangap sebagai zakat yang dikeluarkan oleh si kaya?
Dalam al-Mughni, vol. 4, hal. 106, Ibn Qudamah mengatakan, “Mahnan berkata: saya
pernah bertanya pada Abu Abdillah tentang seseorang yang menerima barang jaminan atas
hutang yang dia berikan, dan di antara orang-orang yang berhutang padanya, tidak ada
seorangpun yang sudah melunasi hutangnya pada orang itu. Sedangkan orang itu
berkewajiban membayar zakat dan ingin membagi-bagikannya pada orang-orang miskin.
Maka dia pun mengembalikan barang jaminan hutang kepada para pemiliknya dan dia
katakan pada mereka, “Hutangmu saya angap sebagai zakat saya, maka dengan ini,
hutangmu menjadi lunas.” Abu Abdillah menjawab, “Itu tidak mencukupi baginya.”
Saya (Mahnan) lalu bertanya, “Apakah dia harus membayar zakat dari hutang yang diberi
jaminan barang, dan apabila hutang sudah dibayarkan apakah orang yang berhutang
memperoleh jaminan barangnya kembali?
‘Benar,” jawabnya.
Dalam kesempatan lain, Mahnan juga bertanya demikian, lalu Abu Abdillah menjawab: jika
mereka orang yang berhutang sudah membayar, maka barang jaminan hutang juga harus
dikembalikan. Jika ada tipu muslihat, maka hal ini tidak akan membuatku takjub.
Abu Abdillah juga pernah ditanya, “Sekalipun orang yang berhutang telah melunasi
hutangnya, lalu dikembalikan lagi oleh pemberi hutang dan dia menganggap sebagai
zakatnya?
Beliau menjawab, “Jika dia bermaksud mengembangkan hartanya, maka tidak boleh.”
Kesimpulannya adalah: bahwa diperbolehkan membayar zakat pada orang yang
berhutang padanya, baik sebelum atau sesudah orang yang berhutang itu membayar
hutangnya. Kecuali jika pemberi hutang bermaksud mengembangkan harta dengan
pemberian zakatnya, maka hal ini tidak diperbolehkan. Sebab, zakat adalah hak Allah SWT,
tidak boleh mengalihfungsikan zakat itu sesuai kepentingannya. Tidak boleh pula
menganggap hutang yang dianggap lunas sebagai zakatnya sebelum orang yang berhutang
membayarkannya. Sebab, membayar hutang adalah suatu kewajiban, harus dilaksanakan
dan harus dilestarikan. Jika dia menganggapnya sebagai zakat sebelum pembayaran, maka
ini menyalahi ketentuan Allah.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (Fatawa, vol. 25, hal. 84) pernah ditanya tentang
pengguguran hutang kepada orang yang ditimpa kesulitan, apakah orang yang
menggugurkan boleh menganggaonya sebagai zakatnya? Beliau menjawab, “Pengguguran
hutang tidak bisa dianggap sebagai zakat. Ini tidak dapat disangkal lagi.
Tetapi jika orang yang berhutang padanya adalah termasuk orang yang berhak atas zakat,
apakah boleh sebagian hutang yang senilai dengan zakat digugurkan dan dianggap sebagai
zakat? Menyikapi masalah ini, ulama berbeda pendapat. Menurut madzhab Ahmad dan
lainnya, hal itu diperbolehkan. Sebab tujuan diberlakukannya zakat adalah untuk memberi
kemudahan. Tetapi zakat tersebut tidaklah dianggap sebagai zakat yang dikeluarkan dari
harta yang dia pegang, berbeda bila zakat dimaksudkan dari harta yang dia miliki selain
hutang yang masih dalam tanggungan orang lain. Orang yang mengeluarkan zakat dari harta
yang tidak dia pegang atau miliki adalah sama halnya dengan memilih kejelekan dan
meninggalkan kebaikan. Sebagaimana firman Allah:
Ÿ“…dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya”
(Al-Baqarah: 267)
Oleh karena itu, orang yang berzakat harus membayarkan zakatnya diambil dari jenis
hartanya, tidak boleh mengeluarkan zakat dengan yang lebih jelek kualitasnya dari jenis
harta yang dia miliki. Jika dia memiliki buah-buahan atau gandum yang berkualitas baik,
maka dia tidak boleh mengeluarkan zakat sepadan, tidak boleh lebih buruk.
Dalam al-Mabsuth, vol. 2, hal. 203, as-Sarkhasi mengatakan, “Seseorang yang memiliki
harta berupa hutang dan wajib zakat, lalu dia menganggap lunas hutang dan
menganggapnya sebagai zakat yang dia keluarkan, maka hal ini tidak diperbolehkan.
Kecuali bila orang yang berhutang adalah orang fakir, maka hal ini boleh tetapi hanya
sebatas hutang yang sama nilainya dengan zakat yang harus dikeluarkannya. Karena, zakat
yang harus dikeluarkan harus sepadan dengan harta yang dimiliki, sedangkan zakat dari
hutang yang demikian tidaklah sepadan. Dan tidak boleh mengeluarkan zakat yang
kualitasnya lebih buruk dari harta yang dizakati.
Jika dengan itu orang yang berzakat bermaksud mencari-cari alasan atau menipu, maka dia
wajib bersedekah senilai zakat yang harus dia keluarkan.
Demikian pula halnya dengan membayar zakat dari harta yang berupa hutang. Tidak boleh
misalnya, seseorang mempunyai hutang padanya sebanyak dua ratus dirham, lalu orang
yang fakir juga memiliki hutang padanya sebanyak lima dirham. Maka dia tidak boleh
menggugurkan hutangnya orang fakir yang lima dirham itu dengan maksud menzakati
hutang yang dua ratus dirham. Karena hutang akan ditentukan bila bila dia sudah menerima
pembayaran hutang. Hutang orang fakir tadi juga tidak bisa gugur, sebab masih belum
tertentu dan tidak dimaksudkan pada zakat hutangnya orang fakir itu. Alasan lainnya adalah
karena menukar hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Sebab itu adalah hak hamba,
begitu pula bila termasuk dalam hak Allah. Yang wajib dari hutang adalah yang menjadi
bagian dari hutang itu.
Jika semua hutang berada dalam tanggungan orang fakir, lalu dia gugurkan hutang orang
fakir itu dengan maksud sebagai zakat dari hartanya yang berupa hutang, maka hal ini tidak
menjadi masalah. Karena yang wajib sudah termasuk bagian dari hutang, kemudian dia
menyampaikannya kepada orang yang berhak. Hal ini sama halnya dengan memberikan
zakat hartanya yang sudah mencapai nishab pada orang fakir.
SALAM

Pengertian Salam:159
Akad salam adalah akad jual beli barang yang belum ada barangnya (tanpa akad
serah terima). Barang yang akan diperjual belikan hanya ditentukan dengan bentuk dan
shifatnya. Barang tersebut ada dalam tanggungan penjual sampai suatu waktu dengan harga
tertentu yang diberikan saat akad itu berlangsung. Akad ini disebut akad salam atau salaf.
Manurut al-Syafi’I al-Shaghir dalam kitab Nihayah al-Mujtahid (4/182): salaf bisa
disebut juga dengan salam, disebut dengan salam karena dalam akad tersebut harta
diserahkan terlebih dahulu ditempat akad. Disebut dengan salaf karena harta diserahkan
terlebih dahulu.
Menurut al-Bahuti dalam kitab Syarah Muntaha al-Iradaat (2/214): salam adalah
bahasa penduduk hijaz sedangkan salaf adalah bahasa penduduk irak kedua bahasa tersebut
dipakai untuk menjelaskan akad salam bagi transaksi yang dinamakann salam karena dalam
akad tersebut pokok harta diserahkan terlebih dahulu di tempat akad.
Menuurt Syara’, salam adalah akad jual beli yang diperbolehkan karena barang yang
ada pada pihak penjual diberi kriteria tertentu oleh pembeli (tetapi barang tersebut tidak ada
di tempat akad), sehingga transaksi tersebut layak untuk dilakukan oleh orang mukallaf,
yakni ditangguhkan sampai waktu tertentu dengan harga yang mengikat.
Akad salam menjadi sah dengan menggunakan lafadz salam, seperti: saya memesan
barang yang terbuat dari gandum dengan harga sekian dinar.
Hukum salam: diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan kesepakatan para
ulama (ijma’).160

159 Kami memasukkan bab salam ini ke dalam pembahasan karena hal tersebut merupakan bagian dari jual
beli………..
160 Ibnu Qudamah: al-Mughni (2/384), an-Nawawy: Syarh Muslim (11/42).
Menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah (3/276): salam: dinamakan salam atau salaf, jual beli akad jual
beli barang yang belum ada barangnya (tanpa akad serah terima). Barang yang akan diperjual belikan hanya
ditentukan dengan bentuk dan shifatnya. Barang tersebut ada dalam tanggungan penjual sampai suatu waktu
dengan harga tertentu yang diberikan saat akad itu berlangsung.
Para fuqaha’ juga menyebutnya dengan jual beli Muhawij: jual beli yang barangnya tidak ada ditempat akad,
dan karena pembeli membutuhkan barang itu dan penjual membutuhkan harga atau uang dari pembeli untuk
menggunakannya. Dalam konteks ini, pembeli disebut Muslim, penjual disebut Muslim Ilaih, dan berang yang
dijual disebut Muslim Fih, sedangkan harta yang digunakan disebut Maalul Muslim.
- al-Qur’an:
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Ibnu Abbas berkata: “saya bersaksi bahwasanya meminjamkan hutang sampai waktu
tertentu dengan sebuah jaminan sungguh dihalalkan dan diperbolehkan oleh Allah dalam
kitabnya”. Kemudian beliau membaca ayat tersebut.161

- Hadits:
Dari Abi al-Minhal: “saya mendengar Ibn Abbas berkata: para ulama sepakat bahwasanya
akad salam adalah akad yang diperbolehkan (Ibn al-Mundzir).”162
- Ijma’:
An-Nawawy berpendapat dalam kitab Syarh muslim (11/42): dan para ulama telah sepakat
bahwasanya akad salam diperbolehkan.163

Syarat-syarat salam:164
Pertama: sifat dari barang tersebut telah diketahui.
Kedua: kadar atau ukuran barang tersebut telah diketahui.
Ketiga: barang diberikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan telah disepakati
bersama.
Keempat: barang yang dipesan harus ditentukan di tempat akad.
Kelima: pembayaran dilaksanakan di muka atau ketika akad berlangsung.

Ketika waktu pengambilan yang telah disepakati telah tiba dan barang tersebut telah
selesai dibuat, bolehkah pembeli mengambil barang lain selain yang telah
dipesannya?
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah tersebut:
Hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan hadits Nabi SAW: dari Abi Said al-
Khudzry, Rasulullah bersabda:
“barang siapa telah berakad salam untuk sesuatu, maka ia tidak boleh menukarnya dengan

161 Shahih, as-Syafi’I, al-Umm: 3/135, Abdurrazak: 14064.


162 Muttafaq Alaihi: HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 4094
163 Ibn Qudamag, al-Mughni: 6/385
164 Ibn Qudamah, Al-Mughni: 6/385-414
yang lain.” (Riwayat Abu Daud).165

Para ulama yang melarang hal tersebut diantaranya adalah:


- Menurut Ibnu Qudamah (41616): seseorang yang menjual brang kepada orang lain dengan
akad salam, kemudian pembeli menukar barang tersebut dengan barang yang lain (selain
pesanannya), hal ini hukumnya Haram, baik barang yang ingin ditukar itu ukurannya sama,
lebih sedikit, atau lebih banyak dari barang yang dipesan. Ulama yang sepakat dengan
pendapat tersebut diantaranya adalah imam Syafi’I, Imam Abu Hanifah, dan imam
Ahmad.166
- Menurut Imam Syafi’I dalam kitab al-Umm (197): barang siapa yang berakad salam untuk
sesuatu (barang), maka ia tidak boleh menukarnya dengan yang lain (Riwayat Ibnu Umar167
dan Abi Said).

Dan para ulama yang memperbolehkan hal tersebut diantaranya adalah:


- Ibnu Abbas RA: dari Ibnu Uyaynah dari Amr Ibn Dinar dari Thawuus dari Ibn Abbas RA:
jika kamu berakad salam untuk makanan kamudian waktunya telah tiba namun makanan itu
tudak ada, maka ambillah yang lain sebagai ganti darinya dan jangan memberinya
keuntungan dua kali.168
- Thawuus bin Kaisan: dari Muammar dari Umar bin Salim: kami bertanya kepada Thawuus
tentang penukaran barang yang dipesan dengan yang lainnya, kemudian beliau menjawab:
kamu boleh mengambil barang lain sesuai dengan harganya, kecuali kamu membatalkan
pesanan sebelumnya maka kamu boleh memesan lagi dengan harga sesukamu.169
- Menrut Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’ (511): seseorang berakad salam untuk empat
helai baju sampai waktu tertentu. Ketika waktunya telah tiba, baju yang dipesan tidak ada.
Kemudian ia menemukan baju yang bukan pesanannya dan berkata kepada si penjual:
berikanlah (juallah) kepadaku delapan helai baju ini sebagai ganti dari bajuku (baju yang
aku pesan). Hal tersebut diperbolehkan.
- Menurut Syaikh al-Islam dalam kitab al-Fatawaa (29/518): ketika itu beliau ditanya oleh
165 Dhaif: Abu Daud: 3468, Ibn Majah: 2283, Addaruquthni: 2958, al-Baihaqi: 6/30. kesemuanya berasal dari
Athiyah al-Aufi dari Ibn Said. Dhaif karena pada tingkatan tersebut, hadits ini hanya diriwayatkan oleh
athiyah al-Aufi.
166 Ibn Taimiyah menganggap hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad ini dhaif.
167 Atsar Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Abdurrazak dalam kitab al-Mushannaf: 29/502-518.
168 Shahih, al-Mushannaf: 14020.
169 Dhaif. Kedhaifannya terletak pada riwayat Muammar dari Amr bin Salim. Abdurrazak, Al-Mushannaf:
14112
seseorang yang memesan sesuatu dan kemudian dia menukar barang pesanannya dengan
barang lain. Misalnya, seseorang memesan biji gandum kemudian dia menukarnya dengan
jewawut atau jelai meskipun barang yang dipesan itu ada atau tidak?
Kemudian beliau menjawab, ketika seseorang memesan untuk bijih gandum dan kemudian
menukarnya dengan jewawut atau jelai dan sejenisnya, ada dua pendapat:

Pertama: pendapat yang tidak memperbolehkan menukar barang yang dipesan dengan
barang selainnya. Para ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Madzhab abu
Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad.

Kedua: pendapat yang memperbolehkan menukar barang yang dipesan dengan barang
selainnya jika sedang dalam keadaan mendesak. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibn Abbas
yang berisi tentang pembolehan seseorang mengambil barang yang lain selain barang yang
dia pesan sesuai dengan harganya. Jadi pembeli tidak akan diuntungkan dua kali. Senada
dengan pendapat diatas, pendapat dari Ahmad yang berisi tentang pembolehan menukar biji
gandum dengan jewawut atau jelai selama harga jewawut atu jelai itu tidak lebih mahal dari
harga biji gandum. Ibnu Abbas dan madzhab malikiyah memperbolehkan penukaran
makanan dengan makanan, barang dengan barang. Para ulama salaf mengambil dasar dari
hadits Nabi Muhammad SAW: “barang siapa berakad salam untuk sesuatu, maka ia tidak
boleh menukarnya dengan (barang) lainnya”. Kemudian mereka berargumen berdasarkan
hadits diatas yang menunjukkan bahwasanya kita tidak boleh memperjual belikan hutang
dari akad salam itu baik itu dari pemilik barang atau orang lain. Pendapat yang lebih benar
menurut saya adalah pendapat yang kedua, yaitu pendapat dari Ibnu Abbas, dan para ulama
sepakat akan hal itu. Dan karena hutang dalam akad salam adalah hutang yang tetap maka
seseorang boleh menukar barang yang dia pesan dengan barang lainnya seperti penukaran
dalam kasus riba qardhi, atau seperti halnya harga sebuah barang, yang notabene adalah
sebagai ganti dari barang yang diambil seperti penggantian (penukaran) yang lain.
Jika hadits diatas memang shahih, maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah
tidal menjadikan hutang dalam akad salam sebagai ganti untuk sesuatu yang lain, dan inilah
yang dimaksud dengan “tidak menukarnya dengan yang lain”. Hal ini tidak diperbolehkan
karena akan menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Oleh karena itu, jika
ingin mengganti barang yang telah dipesan dengan barang lainnya, maka harga barang
tersebut harus sesuai dengan harga barang yang dipesan, sebagaimana telah dijelaskan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA tentang beberapa orang yang bertanya
kepada Rasulullah tentang sebuah kasus yang sedang mereka hadapi,kemudian beliau
bersabda: “tidak apa-apa jika harga itu sesuai dengan harga yang berlaku pada hari itu jika
kalian berdua berpisah dan tidak ada sesuatu diantara kaliam berdua”. Hadits tersebut
menunjukkan bahwa menukar barang yang dipesan dengan barang lainnya diperbolehkan
sesuai dengan harga yang berlaku saat itu. Hal ini diperbolehkan karena jika barang tersebut
belum ada ketika waktu yang telah disepakati telah tiba dan pembeli sudah membayar harga
dari barang tersebut, maka yang terjadi kemudian adalah salah satu dari dua belah pihak
(dakam kasus ini adalah pembeli) akan dirugikan, dan hal tersebut dilarang.

Penjernihan Masalah:
Setelah saya mengamati dalil-dalil yang tidak memperbolehkan pemberlakuannya serta
penjelasan tentang kedhaifan hadits, ternyata tidak ada bukti atau alasan apapun yang
menunjukkan hal itu. Demikian pula dengan atsar Ibn Umar yang dianggap dhaif.
Sebenarnya masalah tersebut boleh sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik.
Hal ini sesuai dengan universalitas syara’ tentang transaksi dan bebas tanggungan. Begitu
pula pernyataan Ibnu Abbas yang memperbolehkan hal tersebut.
HIWALAH

Definisi Hiwalah:
Secara bahasa, hiwalah bermakna pindah. Kita biasa mengatakan “seseorang
berpindah dari tempat yang satu ketempat lainnya”.
Menurut Laits: hiwalah adalah “kamu memindahkan hutang kepada orang yang
mempunyai hutang kepada kamu”
Menurut Abu Manshur: dikatakan “seseorang memindah hartanya (hutang)
kepadaku sekian dirham, kemudian aku memindahkannya kepada orang lain sekian
dirham”170
Menurut para ulama fiqh: hiwalah berarti memindahkan hutang dari seseorang
kepada orang lain,171
Orang yang memindahkan hutang dinamakan Muhil.
Orang yang hutangnya dipindahkan dinamakan Muhal atau Muhtal
Orang yang wajib membayar hutang kepada Muhal disebut Muhal Alaihi atau Muhtal
Alaihi
Hutang itu sendiri dinamakan Muhal bih atau Muhtal bih

Pensyariatan hiwalah telah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan Ijma’.


- Sunnah:
Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abi zanad dari A’raj dari Abu Hurairah RA dari
Nabi Muhammad SAW bersabda: “orang yang mampu membayar hutang, haram atasnya
melalaikan hutangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya
kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu
membayar”.172 Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan redakasi yang berbeda
“……………”173
- Ijma’:
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (7/56): para ulama telah sepakat
bahwasanya hiwalah diperbolehkan.174

170 Ibn Manshur, Lisanul Arab: 3/403


171 Rad al-Mukhtar: 5/340
172 Shahih Bukhari (2288), Shahih Muslim (3978), Sunan Abu Daud (3345), dan Sunan An-Nasai (7/317)
173 Ahmad (2/463), Ibn Abi Syaibah (5/287).
174 Ibn Qudamah, al-Mughni (2/746)
Syarat sah hiwalah:

Pertama: dua hutang itu sama, dan kesamaan ini terdiri dari tiga hal sebsgai berikut:
1. jenis: tidak diperbolehkan menghiwalahkan hutang emas kepada orang
yang memiliki hutang perak.
2. Sifat dan kadar (bentuk, ukuran, dan nilai): hiwalah menjadi tidak sah jika
salah satu barang yang menjadi hutang lebih baik atau harganya lebih
tinggi dari barang lainnya, begitu pula sebaliknya.
3. hulul dan ta’jil (tunai dan tempo). Yang dijadikan patokan adalah
kesepakatan untuk menentukan waktu pembayaran.175

Kedua: hutang itu adalah hutang tetap.176


Yang dimaksud dengan hutang tetap adalah hutang yang tidak akan rusak karena sebab
rusaknya barang pengganti atau jatuh tempo karena sebab-sebab tertentu, karena yang
dimaksud dengan hal tersebut adalah tetapnya hutang muhal alaih kepada muhil.

Ketiga:. kedua hutang harus diketahui (jenis, shifat, ukuran dan nilainya). 177
Jika besar nilai dari kedua hutang tersebut berbeda atau kedua hutang itu tidak diketahui,
maka akad hiwalah tidak sah.

Keempat: kerelaan Muhil (orang yang yang berhutang).


Para ulama berbeda pendapat mengenai kerelaan dari Muhtal orang yang memberikan
hutang, apakah hal tersebut juga disyaratkan atau tidak.
Pendapat pertama: pendapat yang tidak menjadikan kerelaan Muhtal sebagai syarat sahnya
akad hiwalah berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
“ikutilah persetujuan orang tentang harta jika salah seorang dari kamu menyetujuinya” Juga
karena seorang Muhil harus menunaikan kewajiban yang dilaksanakan olehnya atau orang
yang mewakilinya. Disini, muhal alaih melaksanakan kewajiban tersebut dengan sendirinya
dan membayar hutang yang menjadi tanggungannya. Maka tidak ada halangan bagi muhtal
untuk melaksanakan hal tersebut.

175 Ibn Qudamah, al-Mughni: 7/57, al-Kafi: 2/146


176 Ibn Qudamah, al-Kafi: 2/146, dan an-Nawawi, al-Majmu’: 10/240.
177 Ibn Qudamah, al-Kaafi: 2/147
Pendapat kedua: pendapat yang menjadikan kerelaan muhil sebagai syarat sahnya akad
hiwalah.
Kedangkan kerelaan muhal alaih tidak menjadi syarat untuk melaksanakan akad hiwalah.
Mayoritas ulama menyetujui akan hal ini kecuali ulama Madzhab Hanafi.
Jumhur ulama mengatakan: hal itu disebabkan muhil harus memenuhi kewajiban dengan
sendirinya atau dengan perantara wakilnya. Dan dalam hal ini muhal alaihi telah
menempati kedudukan muhil.
Mereka juga berpendapat bahwasanya yang tidak disebutkan dalam hadits hanyalah
Muhal alaih. Sedangkan Muhil dan Muhtal disebutkan. Oleh karena itu, kerelaan Muhal
alaih tidak diperlukan.178

178 Ibnu Qudamah, Al-Mughni dan al-Kaafii. Serta al-Majmu’ milik an-Nawawy dan kitab al Muhalla milik
Ibnu Hazm
KAFALAH

Definisi kafalah:
Ketika orang yang berhutang tidak mampu membayar dan hutangnya telah jatuh tempo,
seseorang yang dipercaya menjamin orang yang berhutang itu di hadapan orang yang
memberi hutang bahwa orang yang berhutang benar-benar akan membayar hutangnya.

Menurut para ahli Fiqh,179


Pengumpulan180 tanggungan orang yang menjamin dengan tanggungan orang yang dijamin
agar segera meaksanakan kewajiban. Maka hutang kemudian menjadi tanggungan
keduanya, dan orang yang memberi hutang boleh menuntut salah satu dari keduanya.
Pensyariatan kafalah:181
Al-Qur’an:
72. Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku
menjamin terhadapnya".

Ibnu Jabir at-Thabary berpendapat bahwasanya yang dimaksud dengan lafadz (wa
ana bihi zaiimun), adalah para penyeru itu menjamin bahwasanya orang yang menemukan
piala raja akan mendapatkan bahan makanan dengan jaminan dirinya
Kemudian, beliau juga menyebutkan dengan sanad melalui Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin
Jabir, Qatadah serta Dhihak.182 Ayat tersebut berkisah tentang seseorang yang diutus oleh
nabi yusuf yang menjamin akan memberikan bahan makanan dan kemudian mereka berkata
“aku menjammin terhadapnya”.

179 Ibnu Qudamah, al-Mughni (7/71)dan al-Umm milik as-Syafi’I (3/342) ini adalah definisi menurut ulama
hanafiyah dan syafiiyah, sedangkan ulama malikiyah memiliki pendapat berbeda tentang definisi tersebut,
mereka berkata: orang yang memberi hutang tidak seharusnya menuntut haknya kepada orang yang menjamin,
kecuali jika orang yang berhutang berhalangan untuk membayar hutangnya.
180 Dikatakan: Dhamin, Kafil, Jamil, Raghim, dan Shabir mempunyai makna yang sama (al-Mughni: 7/72)
181 Jami’ al-Bayan (8/20)
182 Atsar Ibn Abbas di dalam sanadnya terdapat Ali bin Abi Thalhah dari Ibn Abbas, akan tetapi dia tidak
mendengarnya secara langsung. Atsar-atsar yang shahih: atsar Mujahid dilihat dari sejumlah jalur
periwayatannya. Atsar Said al-Jabir dari jalur Ibn Basyar dari Ibn Mahdi dari Abdul Wahid bin Ziyad dari
Waraqa’. Atsar Qatadah dari Muhammad bin Abdul A’la dari Muhammad bin at-Tsaur dari Muhammar.
Sedangkan atsar ad-Dahhak sangan lemah sekali, sebab perawinya adalah Ibn Waki’ dan Jubair. Dalam sanad
ini, ada periwayatan yang munqathi’ yakni: “Diriwayatkan padaku dari Husain bin al-Farj.
Sunnah, pertama:
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Dari Abu Ashim dari Yazid bin Abi Ubaid dari
Salamah bin Akwa’ bahwasanya Nabi Muhammad SAW hendak menshalati orang yang
meninggal, kemudian beliau bertanya kepada para jamaah: “apakah dia mempunyai
hutang?” dan mereka menjawab “tidak”, kemudian nabi menshalatinya. Pada waktu yang
lain, nabi hendak menshalati orang yang meninggal kemudian beliau bertanya: “apakah dia
mempunyai hutang?”, mereka menjawab “benar” kemudian nabi bersabda: “maka shalatilah
sendiri untuk sahabatmu”
Abu Qatadah lalu berkata pada Nabi, “Saya yang akan menanggung hutangnya ya Rasul”.
Maka kemudian Rasulullah bersedia menshalatinya.183
Diceritakan oleh Ismail bin Iyas dari Sarhabil bin Muslim al-Khaulany dari Abi Umamah
al-Bahily: saya mendengar Rasulullah bersabda pada tahun Haji wada’: “pinjaman
hendaklah dikembalikan, orang yang meminta-minta hendaklah ditolak, hutang hendaklah
dilunasi dan orang yang menanggung hendaklah membayar tanggungannya”184 (HR.
Abdurrazaq)
Ijma’:
Ibn Qudamah, al-Mughni, vol. 7, hal. 72, “Umat muslim telah menyetujui akan kebolehan
penanggungan hutang. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam masalah cabangnya.”
Kedua:
Diceritakan oleh Abdullah bin Musallamah al-Qa’nabi diceritakan oleh Abdul Aziz (Ibnu
Muhammad) dari Amr (Abu Amr) dari Akramah dari Ibn Abbas: sesungguhnya seseorang
menjamin bahwasanya dia memiliki sepuluh dinar kemudian dia berkata “demi Allah, aku
tidak akan meninggalkanmu sampai kamu membayarku atau memberiku bahan makanan.
Kemudian nabi memberinya bahan makanan sesuai yang dijanjikan kemudian Rasulullah
bertanya kepadanya: dari mana engkau dapat emas ini? Dia menjawab: dari tambang.
Kemudian Rasulullah bersabda: kami tidak membutuhkannya, barang itu tidak ada gunanya
sama sekali. Kemudian Rasulullah mengembalikannya”.185(hadits riwayat Abu Daud)
Menurut al-Khitaby RA dalam kitab syarh maalim as-Sunnah (3/47): hadits ini
mengandung tetapnya denda dan tanggungan bagi orang yang menjamin. Mengapa nabi

183 Shahih: HR. Bukhari, hal. 2295, HR. an-Nasai (Bab Jenazah, vol. 4, hal. 65)
184 Hasan: al-Mushannaf, hal. 1630, HR. Ahmad (al-Musnad, vol. 5, hal. 267, 293), HR. Abu Daud, vol. 4,
hal. 824-hadits ke 3565, HR. Tirmidzi, hadits ke-1265, menurutnya, hadits ini adalah hasan gharib, HR. At-
Thabari, vol. 7, hal. 137, hadits ke-7621.
185 Hasan: Abu Daud (3328), Ibn Majah (bab Kafalah: 2406)
mengembalikan emas yang diberikan bukan karena emas tersebut berasal dari tambang,
bukan juga karena meragukan kepemilikan orang tersebut, melainkan karena emas tersebut
tidak di ketahui peredarannya dan karena yang dijanjikan adalah dinar, bukan emas, maka
Rasulullah mengembalikannya.
Para ulama lain menafsirkan hadits tersebut dengan tafsiran berbeda. Mereka berpendapat
bahwasanya Rasulullah menolak menerima emas itu karena tedapat unsur penipuan
didalamnya. Bisa jadi, orang tersebut mengeluarkan 1/10, 1/5 atau 1/3 dari barang tambang
tersebut.
Ketiga:
Dari Laits: diceritakan oleh Jakfar Ibn Rabiah dari Abdurrahman bin Hurmuz dari Abi
Hurairah RA dari Rasulullah SAW: seorang bani israil diminta sahabatnya agar
memberikan pinjaman 1000 dinar kemudian dia berkata:
“datangkanlah beberapa saksi”
“cukuplah Allah yang menjadi saksi”
“datangkanlah orang yang menjamin”
“cukuplah Allah sebagai penjamin”
“kamu benar”
Kemudian orang itu memberikan harta berupa uang itu sampai pada suatu waktu yang telah
ditentukan. Kamudian dia pergi kelaut dan melaksanakan kebutuhannya. Ketika sampai
pada waktunya, dia mencari perahu untuk mengembalikan uang itu namun dia tidak
menemukannya. Maka dia mengambil kayu dan melubanginya, kemudian dia meletakkan
1000 dinar dan selembar kertas, kemudian dia memperbaiki perahu itu, dan menaikinya
pergi ke tengah laut dan berdoa: “Ya Allah, Engkaulah yang Maha mengetahui
sesungguhnya saya telah meminjam 1000 dinar kepada seseorang, kemudian dia meminta
saya untuk mendatangkan orang yang akan menjamin, dan saya berkata “Cukuplah Allah
yang menjadi penjamin”, dan dia menyetujuinya. Dia meminta saya untuk mendatangkan
saksi lalu sayapun berkata “Cukuplah Allah yang menjadi saksi”, dan dia menyetujuinya.
Saya bersungguh-sungguh memperbaiki perahu itu agar saya bisa sampai pada orang yang
memberiku pinjaman akan tetapi saya tidak mampu, maka saya menitipkannya pada-Mu”.
Lalu dia melemparkan barangnya ke laut sampai tenggelam. Setelah melemparkan barang
tersebut, dia mendapatkan perahu kemudian dia pergi mendatanginya. Sementara itu, orang
yang memberikan hutang pergi ke pantai dan melihat-lihat kalau ada perahu yang datang
dan membawa hartanya, tapi ternyata dia hanya menemukan depotong kayu, dan dia
mengambilnya untuk dijadikan kayu bakar. Ketika dia menggergaji kayu itu, dia
menemukan harta dan sehelai surat.
Ketika orang yang berhutang datang, dia berkata: “Demi Allah, saya telah bersungguh-
sungguh mencari perahu untuk mendatangimu, namun aku tidak mendapatkannya”.
Kemudian dia bertanya: “apakah kamu pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”. “saya
mengabarimu bahwasanya saya tidak menemukan perahu untuk mendatangimu”.
“sesungguhnya Allah telah melunasi hutangmu dengan sepotong kayu yang engkau
kirimkan kepadaku, dia pergi membawa 1000 dinar dengan pembimbing”186

Syarat sah kafalah:


1. kerelaan kafil atas makful terhadap akad kafalah.
Menurut ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni (7/72): kerelaan orang yang menjamin adalah
hal yang sangat menentukan. Jika orang yang menjamin (dhamin) tidak menyetujui hal
tersebut, maka hal kafalah ini tidak sah dan mayoritas ulama menyetujui hal tersebut.
2. kerelaan makful lahu:
para ulama hanafiah mensyaratkan kerelaan makful lahu karena akad yang mengikat dan
diharapkan terjadinya serah terima antara kafil dan makful lahu.
Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwasanya kerelaan makful lahu tidak
disyaratkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Qatadah yang tidak
menjelaskan hal tersebut.187

Jika makful anhu meninggal dunia, apakah kafalah akan putus?


Menurut Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni (7/103): jika makful anhu meninggal
dunia maka kafalah terputus dengan sendirinya, dan orang yang menjamin tidak dikenakan
sesuatu. Para ulama yang sepakat dengan pendaat ini diantaranya adalah as-Syafi’I, Abu
Hanifah, Syarih, as-Syu’ba, dan himad bin Abu Sulaiman.
Sedangkan menurut Hakam, Laits dan Imam Malik sebagaimana diceritakan oleh
Ibn Syarih: orang yang menanggung wajib membayar apa yang menjadi tanggungannya
karena orang yang menanggung adalah orang yang telah dipercayai, apabila orang yang
186 Shahih, Al-Bukhari (2291), menurut al-Hafidz al-Mazi dalam kitab al-Athraf: diriwayatkan oleh Abi al-
Waqt dari Abdullah bin Soleh dari Laits. Al-Hafidz Ibn Hajar berkata dalam kitab al-Fath seperti demikian:
diriwayatkan oleh Abu Dzar dari Abdullah bin Soleh ………..
187 Ibn Qudamah, al-Mughni dan Rad al-Mukhtar (5/283)
berhutang itu tidak mampu membayar hutangnya seperti halnya Rahn. Apabila orang yang
berhutang itu tidak ada, maka orang yang menanggungnyalah yang membayarnya. Bagi
kami, kehadiran orang yang berhutang menggugurkan apa yang ditanggung oleh orang yang
menanggung, dan orang yang menanggung menjadi bebas. sebagaimana dari hutang, jika
orang yang berhutang telah membayar hutangnya, maka dia menjadi bebas.
SUFTAJAH (WESEL)

Definisi:
Kalimat ini sebenarnya kata yang diadopsi dari bahasa Persia yang pada asalnya
adalah “suftaj”yang berarti sesuatu yang dihukumi, dan kata jamaknya adalah “safatij”.
Menurut para ahli ilmu fiqh, suftajah adalah secarik kertas yang atau cek yang
ditulis seseorang untuk wakilnya atau orang yang berhutang kepadanya yang berada di
Negara lain yang mengharuskan orang itu membayar dan menyampaikan hutang tersebut
kepada seseorang yang telah memberikan pinjaman serupa kepadanya, dan orang tersebut
berada satu wilayah (negara) dengannya.

Hukum pemberlakuan suftajah:


Para ulama berbeda pendapat untuk memperbolehkan atau melarang pemberlakuan
hal ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwasanya suftajah tidak diperbolehkan jika
mensyaratkan perkara tersebut diperkarakan di negara lain. Para ulama yang sepakat dengan
hal tersebut diantaramya adalah ulama Hanafiah188, Maliki dan Syafi’I189, Sedangkan para
ulama Hanabilah190 berpandapat bahwasanya suftajah termasuk interaksi yang mengambil
keuntungan, dan mereka memasukkan dan menjelaskannya dalam bab hutang yang
mendatangkan kemanfaatan.191
Para ulama yang berpendapat bahwasanya suftajah boleh diberlakukan diantaranya
sebagai berikut:
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (6/436-437): Atha’ berkata: sesungguhnya
Ibnu Zubair mengambil dirham di mekkah dari suatu kaum, kemudian dia menulisnya
untuk Mas’ab bin Zubair di Irak kemudian mereka mengambilnya. Ketika Ibn Abbas
ditanya akan hal ini, dia melihat tidak ada kebolehan didalamnya.192
Diriwayatkan dari Ali RA, dia ditanya oleh seseorang tentang masalah ini dan dia
tidak melihat kebolehan didalamnya.193

188 Hasyiah Ibn Abidin atas Rad al-Mukhtar (5/350)


189 Asna al-Muthalib fi al-Fiqh as-Syafi’I (2/142), Ibn Qudamah, al-Mughni (6/436)
190 Riwayat ini dianggap dhaif dan selainnya dianggap shahih oleh Ibn Taimiyah seperti yang diungkapkan
dalam kitab al-Fatawa (29/530), Ibn Qudamah, al-Mughni (6/436)
191 Telah dibahas pada bab terdahulu tentang hutang yang mendatangkan kemanfaatan
192 Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan (5/352) melalui Said bin Manshur dari Hasyim dari
Hajjaj bin Artho’ah dari Atha’. Menurut saya, selain Hajjaj bin Athr’ah, semua perawinya terpercaya.
193 Al-Baihaqi, dalam kitab as-Sunan (5/352) berkata: ini diriwayatkan dari Ali. Syaikh Nashiruddin al-
Albani berkata dalam kitab al-Irwa’ (5/238): saya tidak menemukan sanadnya.
Al-Qadhi menceritakan: sesungguhnya al-Laushy telah meminjam harta anak yatim
di Negara lain dan dijual di Negara sendiri untuk mendapatkan keuntungan.
Memperbolehkan suftajah dianggap lebih baik karena merupakan maslahah bagi
kedua belah pihak dengan tanpa merugikan salah satu dari mereka. Selain itu, hukum
syariat tidak menunjukkan pengharaman atas pemberlakuan suftajah karena memang tidak
berdampak buruk, bahkan syariat menganjurtkan pelaksanaannya. Kemudian karena tidak
ada nash yang melerangnya, maka suftajah wajib dimasukkan dalam kategori boleh-boleh
saja.
Menurut Ibnu Taymiyah dalam kitab al-Fatawa (29/530): dia ditanya oleh seseorang
“bolehkah jika seseorang meminjamkan dirham (sebagai modal) kepada orang lain untuk
digunakan di negara lain?” kemudian beliau menjawab: “jika kamu meminjamkan dirham
(sebagai modal) kepada orang lain untuk digunakan di negara lain, semisal orang yang
meminjam membawa dirham ke negara lain dan orang yang meminjamkan dirham itu
berada di negara yang lain dan pada saat itu dia sedang membutuhkannya, kemudian dia
menulis suftajah kepada orang yang memberinya pinjaman, maka ini sah-sah saja.
Sebagian ulama (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya) berpendapat
bahwasanya pemberian modal dilarang karena itu adalah pinjaman yang mendatangkan
kemanfaatan dan pinjaman yang mendatangkan kemanfaatan adalah riba.
Pendapat yang lebih baik adalah pendapat yang memperbolehkan suftajah karena
kemanfaatan yang ada didalamnya lebih besar dari pada kemudharatannya. Dalam
perjalanan, mereka lebih aman dan terjaga.
Allah juga tidak melarang kita dari sesuatu yang bermanfaat bagi kita, Dia melarang
kita dari sesuatu yang berbahaya bagi kita.

Seandainya orang yang berhutang menunda untuk membayar hutangnya dari


orang yang memberikan pinjaman, apakah dia akan dijatuhi sanksi materi oleh
hakim karena hal tersebut?
Apakah penggantian kerugian ini termasuk dalam kategori riba Qardhi yang
mendatangkan manfaat yang diharamkan ataukah masuk dalam kategori mengembalikan
hak seseorang dan qishash???
Saya berpendapat bahwasanya penundaan dalam membayar hutang tidak
diperbolehkan. Semisal orang yang berhutang telah mampu membayar hutangnya akan
tetapi dia menunda-nunda waktu pembayaran tersebut. Dan sebab itu, hakim boleh
menjatuhkan sanksi berupa denda material kepada orang yang berhutang sesuai dengan
yang dibelanjakan oleh orang yang memberikan hutang dan karena mengabaikan
pelaksanaan pembayaran hutang. Hal ini tidak masuk dalam bab riba Qardhi yang
mendatangkan manfaat tetapi masuk dalam bab hukuman dan denda berdasarkan hadits
nabi Muhammad SAW: “orang yang sudah mempunyai harta tapi dia masih menunda-
nunda untuk membayar hutang, maka dia dikenai sanksi dan denda”.
Jika kamu berkata: para ulama menafsirkan uqubah dengan penahanan, maka saya
akan bertanya: dari penahanan tersebut, keuntungan apakah yang akan didapatkan oleh
orang yang memberikan hutang? Siapakah yang akan mengganti hutang yang
ditanggungnya? Allah SWT berfirman:
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).(QS. Ar-Rahman: 60)

Sanksi ini termasuk dalam bab Qishash dan Mu’aqabah. Akan tetapi, sanksi itu telah
berbeda dengan tujuannya, yaitu membayar hutang. Yang seharusnya disanksi dengan
melunasi hutangnya, malah disanksi dengan sesuatu yang tujuannya berbeda dengan hal itu.
Allah SWT berfirman:
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (QS.As-Syuraa: 60)

Saya mencoba memahami fatwa-fatwa syaikh Ibnu Taimiyah dengan contoh seperti
apa yang saya sebutkan sebelumnya dan segala pujian dan sanjungan hanyalah bagi Allah:
beliau ditanya (fatawa, 30/24) tentang orang yang mempunyai hutang namun dia enggan
untuk membayarnya sampai dia diadukan kepada hakim, kemudian dia mau membayar
hutangnya. namun, orang yang mengadukan tersebut telah mengalami kerugian berupa
ongkos. Apakah kerugian itu ditanggung oleh orang yang berhutang atau tidak?
Kemudian beliau menjawab: Alhamdulillah, jika seseorang memiliki kewajiban dan
dia mampu melaksanakan atau memunaikan kewajiban itu akan tetapi dia memunda-
nundanya hingga memaksanya untuk mengadukannya kepada hakim, maka sanksi yang
seharusnya diberikan adalah sanksi karena dia telah berbuat dzalim dengan menunda-nunda
pembayaran hutang yang melampaui batas.
PERMASALAHAN DALAMJUAL BELI MENGGUNAKAN CEK

Bolehkah orang yang memberi pinjaman hutang mengambil cek yang dibayarkan
orang yang berhutang kemudian menjualnya karena orang yang berhutang menunda-
nunda pembayaran atau karena sebab yang lain?

Jawaban secara jelas-wallahu a’lam- bahwa jual beli yang seperti ini dilarang karena
beberapa hal.
Pertama, jual beli seperti itu sesungguhnya termasuk dalam kategori penipuan (gharar)
yang dilarang sebagaimana atsar yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: sesungguhnya
rasulullah SAW melarang jual beli (arab) Dan jual beli yang mengandung penipuan.194
Menurut an-Nawawy RA: larangan bagi jual beli yang mengandung penipuan adalah suatu
pokok hal yang utama dalam bab kitab fiqh seperti yang dijelaskan oleh Ibn Qudamah dan
Imam Muslim. Disana dijelaskan banyak hal termasuk di dalamnya adalah jual beli Abiq
(budak yang melarikan diri dari tuannya), jual beli yang diketahui, yang tidak diketahui,
yang tidak diketahui penyerahannya, jual beli yang kepemilikannya masih belum
sempurna, sampai jual beli ikan dalam air.
Kedua: jual beli ini merupakan bagian dari jual beli yang barangnya bukan miliknya, dan
hal ini tidak diperbolehkan. Nabi SAW bersabda:
“hutang piutang, jual beli, pensyaratan dalam jual beli dan pengambilan keuntungan tidak
boleh, kecuali ada yang menanggungnya. Juga tidak boleh menjual sesuatu yang bukan
menjadi milik kamu”195 dalam riwayat lain disebutkan “janganlah kamu menjual sesuatu
yang bukan milik kamu”196
Ketiga: hal ini tidak bisa dimasukkan dalam kategori jual beli. Hal ini murni riba, karena
harta itu adalah harta yang menjadi imbalan bagi harta yang lain dengan selembar kertas
yang disebut dengan cek. Jika harta itu telah diterima, maka lebih dari harta tersebut adalah
riba, dan sesungguhnya harta itu menjadi imbalan bagi penundaan orang yang memberikan
hutang, dan hal itu termasuk dalam kategori riba nasi’ah yang diharamkan Allah dan
Rasulnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:

194 Muslim, Buyu’ (10/396) dan an-Nawawy, Abu Daud (bab Buyu’/3378), at-Turmudzi (bab Buyu’/1230),
an-Nasa’I (bab Buyu’ 7/262), Ibn Majah (bab Tijarat/4530), Ahmad (1/116, 302).
195 Diriwayatkan oeh Amr bin Syuaib cari Ayahnya dari Kakeknya.
196 Diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam, diriwayatkan oleh Abu Daud (bab Buyu’/ 3503), an-Nasa’I (bab
Buyu’/ 789) dan at-Turmudzi (bab Buyu’/ 1232)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah: 275)

Dan orang-orang yang mempraktekkan riba itu telah diancam oleh Allah SWT dalam al-
Qu’an.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (al-Baqarah: 278-279)

Bagaimanakah hukumnya membayar hutang jika harga barang itu bertambah mahal
atau bertambah murah?

Ini adalah problem besar yang sering dihadapi oleh orang yang berhutang ataupun
orang yang memberi hutang, bahkan hal ini tak jarang menjadi sebab enggannya orang-
orang kaya untuk memberikan pinjaman kepada orang yang tidak mampu dan menyurutkan
keinginan mereka untuk mendapatkan pahala dan keutamaan dari Allah SWT.
Sebagian umat islam juga terseret dalam perkara-perkara yang diharamkan oleh
syariat ketika dihadapkan pada permasalahan ini.
Masalah ini dapat dibagi dalam dua keadaan:
Pertama: Barang itu memiliki harga tersendiri seperti emas dan perak.
Sepertihalnya seseorang yang memiliki ukuran atau takan tersendiri untuk
menentukan harga emas atau barang lainnya. Penyelesaian dari perermasalahan ini adalah
dengan mengembalikan harga barang tersebut sesuai dengan harga pasar.maka sewaktu-
waktu, bisa jadi harga barang itu mahal di pasaran atau bisa jadi harga barang itu anjlok.
Menurut imam Syafi’I RA dalam kitab al-Umm (3/33): jika seseorang
membelanjakan –baik secara tunai atau tidak- uang atau dinarnya untuk sebuah barang,
kemudian dia membatalkannya, maka dia akan menerima uangnya yang digunakan untuk
memesan atau membeli sebuah barang tersebut. Dan para ulama sepakat akan hal ini.197
197 Dikutip oleh Ibn Abidin dalam kitabnya Tanbih ar-Ruqud ‘ala Mas’alah an-Nuqud (2/64) dari kitab
Dirasat fi Ushul al-Mudayanat karya Nazih Hammad. Beliau berkata: mata uang orang Eropa atau emas
murni. Jika dua orang bertransaksi atas dua barang itu, kemudian barang tersebut menjadi mahal, atau menjadi
lebih murah. Seperti halnya ketika seseorang membeli baju seharga 10 real atau berhutang dengan dua barang
Kedua: barang itu tidak memiliki harga tersendiri seperti mata uang yang sekarang
berlaku seperti Riyal Saudi Arabia, Dolar, dan sebagainya.
Hal ini terbagi menjadi dua bagiian:
1. jika nilai (kurs) mata uang itu menurun, seperti yang sekarang terjadi kepada
beberapa mata uang di dunia, maka bagaimana hukumnya jika seseorang ingin
melunasi hutangnya ketika dalam keadaan seperti ini?
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (6/441): jika barang tersebut berupa uang
atau sesuatu yang gisa dipecah, maka hakim mengharamkan dan mencegah transaksi itu.
Barang menjadi hak pemberi hutang tetapi hal tersebut bukanlah satu ketetapan pasti baik
barang tersebut masih berada ditangannya atau telah lenyap. Ahmad telah menegaskan hal
ini dalam masalah dirham yang dapat dibagi.
Kemudian dia berkata: kapankah hal itu sama ketika hari dimana pengambilan? Kemudian
dia memberikannya meski harganya telah naik atau turun secara drastic.
Menurut saya, hal ini layak dilakukan sebab universalitas syari;at dan karena telah
disebutkan dalam al-Qur’an. Allah SWT telah berfirman:
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (ar-Rahman: 60)

dan Nabi Muhammad SAW bersabda:


“Tidak ada kemudlaratan dan tidak pula yang membahayakan198

2. adanya mata uang yang menyempurnakan pembayaran dan interaksi meskipun harganya
melonjak atau malah menurun. Ada beberapa pendapat ulama dalam menyikapi masalah
ini:
menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (6/442): meski dalam keadaan menurun, hal
ini tidak menjadi alasan untuk melunasi hutang, baik banyak –misalnya sepuluh dirham
dengan 1/6 dirham menjadi sepuluh dirham dengan 1/6 dirham- atau lebih sedikit karena
tidak terjadi apa-apa, lain halnya dengan harga gandum jika murah atau mahal.
Menurut as-Suyuthi dalam kitab Risalah Qath’u al-Mujadalah (1/97): sebagaimana telah
dijelaskan berulangkali, bahwasanya barang yang akan dikembalikan haruslah sama dengan
barang yang dipinjam. Jika seseorang memberi pinjaman barang satu ritl (+- 8 ons), maka

tersebut, maka dia harus mengembalikan barangnya baik itu bertambah mahal atau murah. Dia menambahkan:
kita harus tahu bahwasanya perbedaan antara Abu Yusuf itu terdapat pada barang yang bentuk Emas dan
perak. Dan harus mengembalikan barang tersebut (‘Ain), bukan cabangnya (Furu’)
198 Hadits riwayat Ahmad (Sunan Ahmad: 5/326), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah: 2340).
orang yang berhutang wajib mengembalikan/ melunasi hutangnya dari jenis dan ukuran itu
juga meskipun harganya naik atau turun.
Pendapat para pengikut imam Hanafi: menurut Ibnu Abidin dalam kitab Tanbih ar-Ruqud
(2/60): dari fatwa-fatwa Abu Yusuf kepada para pengikut madzhab hanafi: orang yang
berhutang wajib membayar/melunasi hutangnya pada hari yang telah ditentukan sesuai
dengan harga pasar yang berlaku yang tiba-tiba saja mengalami kenaikan atau penurunan
Menurut para pengikut imam Malik dalam kitab hasyiah al-Mudni (5/118): jika perubahan
harga itu sangat tajam dan tiba-tiba, maka pembayaran itu harus memenuhi standar pasar
yang berlaku, jika tidak, maka diganti dengan yang sama.199

199 Dikutip dari kitab Dirasat fi Ushul al-Mudayanat


HUKUM KADO PERNIKAHAN

Definisi: barang (harta) yang diberikan oleh tetangga, sanak famili, dan orang yang dikenal.
Seperti halnya seorang pemuda yang akan melangsungkan pesta pernikahan, kemudian
orang-orang berduyun-duyun mendatanginya dan memberinya kado (hadiah) seumpama
kran yang meneteskan air dan tetesan-tetesan itu kemudian berkumpul. Setelah itu, orang-
orang itu duduk dan orang yang memberikan kado dicatat namanya pada daftar tamu.
Seorang resepsionis menjaga pintu masuk dan mengucapkan selamat datang kepada setiap
orang yang hadir dan menunggu kalau-kalau ada orang yang tempat tinggalnya jauh datang
terlambat. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, orang-orang itu datang dan
memberikana kado yang dikemudian hari, orang yang telah menerima kado itu akan
memberikan kado juga ketika orang yang memberikan kado mengadakan acara..
Kado atau hadiah tidak hanya diberikan ketika seseorang melangsungkan pesta pernikahan,
kado juga bisa diberikan ketika seseorang mengalami sesuatu, entah itu ketika seseorang
merayakan kelahiran anaknya, ketika sedang melakukan selamatan untuk orang yang akan
pergi atau telah datang menunaikan ibadah haji atau ketika sedang sakit, atau beberapa
peristiwa lainnya yang berkaitan dengan interaksi sesame manusia.

Apakah pemberian kado merupakan pemberian hutang yang wajib dikembalikan,


ataukah pemberian kado merupakan hadiah?

Masalah ini adalah masalah kontemporer yang belum terjadi pada masa Nabi SAW. Tidak
ada nash atau dalil yang menjelaskannya, maka kemudian, kita mengembalikannya kepada
adapt kebiasaan yang berlaku, apakah pemberian kado dianggap hutang yang wajib
dikembalikan atau kado tersebut dianggap hadiah? Dan apakah Urf (adat) diakui oleh
syariat sebagai satu metode menggali hukum?
Agama islam adalah agama yang universal dan komprehensif. Jika kemudian ada
perbedaan-perbedaan yang terjadi, itu adalah bagian dari kedua aspek diatas.
Komprehensipnya hukum islam memudahkan para ulama dalam mengambil sebuah
keputusan berkaitan dengan hukum tentang sebuah kejadian yang terjadi dan interaksi
masyarakat serta adapt kebiasaan mereka. Urf (adat kebiasaan) adalah salah satu metode
pengambilan hukum yang diakui keabsahannya oleh para ulama ushul. Dengan kaidah ini
(urf), Allah SWT membebankan hukum kepada hambanya. Misalnya hukum tentang
pembatasan pemberian nafkah oleh suami kepada isteri. Hal ini dibolehkan oleh Allah
berdasarkan Urf. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan. (QS: ath-Thalaq: 7)

Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Hindun binti ‘Utbah:


“Ambillah sesuatu secukupnya untukmu dan anakmu”200

Ini adalah satu perkara dari beberapa perkara yang ada dalam bab-bab fiqh.
Menurut Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni: segala sesuatu yang tidak dihukumi syariat,
maka dikembalikan sesuai adapt yang berlaku.
Menurut an-Nawawy dalam kitab Syarh Muslim (12/475) ketika berbicara tentang manfaat
hadits diatas: pemberlakuan Urf sebagai metode pengambilan hukum untuk sebuah kasus
yang tidak dihukumi syari’at.
Menurut al-Hafidz Ibn Hajar dalam kitab al-Fath (4/475): Urf boleh dipakai untuk sesuatu
yang tidak dibatasi (dihukumi) oleh syari’at.
Al-Bukhari telah memasukkan hal ini dalam bab khusus pada kitab Buyu’: Bab orang yang
memberlakukan adapt orang mesir terhadap sekian permasalahan yang mereka ketahui; baik
itu dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, takaran, dan timbangan. Kebiasaan itu
tergantung dari niat dan madzhab mereka. Dan pendapat mereka didasarkan pada hadits
Nabi tentang Hindun yang telah disebutkan sebelumnya.
Pemberlakuan ‘Urf memiliki beberapa syarat.
1. kebiasaan itu adalah kebiasaan yang lazimnya berlaku pada kalangan umum. Jadi,
perkara (kebiasaan) itu dilakukan oleh mayoritas masyarakat dan berlaku secara umum.
Dalam masyarakat kita, masalah ini (kado) sebagaimana kita ketahuyi bersama adalah adapt
atau kebiasaan yang berlangsung terus menerus.
2. kebiasaan itu adalah kebiasaan umum. Para ulama berbeda pendapat tentang syarat ini,
sebagian ulama memberlakukannya dan sebagian lagi tidal memberlakukannya sebagai
syarat. Kebiasaan itu harus diketahui oleh mayoritas penduduk disemua negara (bagi

200 Al-Bukhari (7180 dan 2211), Muslim (1714)


yang memberlakukannya), mereka tidak mengakui adanya Urf khass (kebiasaan khusus)
pada satu Negara tertentu.
Imam Syafi’I termasuk dalam ulama yang membicarakan tentang Urf Khass. menurut
beliau dalam kitab al-Umm: isi gudang tidak termasuk pada benteng yang menjaga kurma
dan buah-buahan didalamnya karena pada dasarnya kurma dan buah yang ada dalam
gudang itu boleh diambil siapapun. Jika ada orang yang mencuri barang yang ada di luar
gudang, maka ia tidak dikenai hukum potong tangan. Namun jika barang tersebut telah
berada dalam gudang, jelas pemilik barang itu tidak memperbolehkan orang lain untuk
mencuri barang tersebut, dan pencuri itu akan dikenai hukuman potong tangan seperti yang
kita ketahui bersama. Sesungguhnya gudang itu adalah benteng dan barang yang ada di
dalamnya bukanlah benteng.
Kemudian beliau melanjutkan: sebagaimana kita ketahui bersama dan pada umumnya
bahwasanya gudang adalah benteng tempat penyimpanan barang dan barang yang ada di
dalamnya bukanlah benteng. Ini merupakan salah satu contoh dari urf khass yang dipegang
teguh di kalangan mereka.201 Menurut Doktor Ahmad bin Ali al-Mubaraki dalam kitab al-
Urf (95): ketika kita mengamati dan mencermati cabang-cabang dari ilmu fiqh dalam
beberapa kitab ulama fiqh, maka kita akan menemukan adanya urf khass yang mereka
gunakan untuk menggali dan menentukan sebuah hukum. Ibnu Najim al-Hanafi sependapat
akan hal tersebut: para pengikut hanafi menggunakan Urf orang-orang kairo dan tidak
menggunakan Urf lainnya, karena rumah-rumah mereka bertingkat-tingkat yang salah satu
kegunaannya adalah untuk gudang penyimpanan makanan.
Urf yang dipakai oleh orang kairo merupakan urf khusus yang diakui dan dipakai oleh para
ulama hanafiyah. Di tempat lain, para ulama malikiyah mengakui adanya urf khusus orang-
orang madinah yang tidak diketahui orang lain.
Maka dengan urf seperti inilah kita akan menyelesaikan masalah kita (tentang pemberian
kado).
3. Urf tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syariat, baik itu al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Syarat ini adalah syarat terpenting.

Kemudian dalam masalah pemberian kado tersebut, apakah hal itu bertentangan
dengan syariat?

201 Dikutip dari kitab al-Urf karya Doktor Ahmad bin Ali al-Mubaraki (95)
Mengenai hal ini, tidak ada pertentangan dengan syariat, bahkan universalitas syariat
mendorong kita untuk melakukannya sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an:

dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. (al-Maidah: 2)

dan sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:


“Allah akan memberikan pertolongan pada hamba-Nya selama dia membantu saudaranya”
4. urf harus benar-benar ada dan terjadi. Urf itu masih terus berlangsung dan dilaksanakan
oleh masyarakat sampai adanya perbedaan tentangnya atau sampai masyarakat
membutuhkan hukum baru yang lebih baik.
Maka tidak boleh memberlakukan dan atau menggunakan urf yang telah melewati masanya
atau telah tiada.
Terkait dengan masalah sebelumnya, sebagaimana kita ketahui bersama masyarakat kita
saat ini masih melakukan hal itu.
Menurut Imam Suyuthi dalam kitab al-Asybah wan-Nadzair (96): urf merupakan indikasi
dari masa lalu, bukan masa sekarang. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ibnu Najim: Urf
bukanlah sesuatu yang baru saja muncul.202
5. tidak adanya perbedaan dengan urf tersebut.
Kaidah Urf yang menjadi dasar dalam muamalah adalah: sesuatu yang diketahui sebagai urf
seperti disyaratkannya suatu syarat. jika dua orang berakad dan keduanya tidak
menyinggung masalah urf yang berlaku dalam muamalah ini dengan tidak adanya
pertentangan antara keduanya, baik itu berupa penolakan atau penegasan, maka akad
tersebut tetap berlangsung. Jika kemudian menyinggung masalah urf dan kemudian mereka
berbeda pandapat, maka akad ini menjadi batal.
Menurut Izzu bin Abdussalam: jika syarat yang dibuat oleh orang yang berakad itu
membedai urf namun maksudnya sama dengan urf, maka akad tesebut tetap sah misalnya
andaikan ada orang yang menyewa pekerja memberi ketentuan bahwasanya dia harus
bekerja tanpa diberi makan dan minum, tapi kemudian pekerja itu menyetujui syarat yang
diberikan, maka akad tersebut tetap sah.
Hubungannya dengan masalah yang kita hadapi saat ini, kabiasaan masyarakat kita saat ini
beranggapan bahwasanya kado itu merupakan hutang, akan tetapi andaikan seseorang
menjelaskan bahwasanya kado dia itu bukanlah hutang, maka pemberian tersebut menjadi

202 Ibid (100)


hadiah, meskipun bertentangan dengan adapt yang berlaku, dan pada waktu itu, urf tidak
berlaku pada ketentuan yang satu ini.

Biasanya, apakah masyarakat menganggap pemberian kado termasuk hutang atau


tidak?
Untuk konteks saat ini, sesuai dengan kebiasaan dan adat yang masih berlaku, pemberian
kado dianggap hutang oleh masyarakat. Orang yang menerima kado tersebut di kemudian
hari harus memberikan kado serupa kepada orang yang telah memberinya.
Hal ini akan terus berlanjut, karena setiap orang yang memberikan kado namanya akan
dicatat dan dikemudian hari ia akan diberi kado dan nama yang mengembalikan akan
dicatat, kemudian dikembalikan lagi, begitu dan seterusnya.
Orang yang telah memberikan kado kepada orang lain, kemudian orang yang memberikan
kado itu mengadakan sebuah acara. Jika pada acara yang diadakannya orang yang telah
diberi kado olehnya tidak memberinya kado, maka dia boleh mendatangi dan memintanya.
Praktek seperti inilah yang kemudian terjadi di masyarakat kita, bahwasanya kado dianggap
hutang. Jika demikian, hukum yang berlaku untuk hal tersebut adalah hukum hutang
piutang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya:
1. wajib mengembalikan kado
2. jika hal tersebut tidak dilaksanakan, maka dia mendapatkan dosa dan sanksi atau
denda.
3. orang yang berhak menerima kado boleh mengajukan hal itu kepada hakim untuk
menindak lanjutinya. Jika orang yang berhak menerima kado telah meninggal, maka
hak tersebut akan menjadi milik walinya.

Pada umumnya, orang mengembalikan kado biasanya melebihkan kado tersebut;


baik nilai, takaran atau ukuran, maka apakah hukum penambahan tersebut?
Ada dua pemaknaan untuk hal tersebut:
Pertama: jika ditilik dari sisi hutang (jika dianggap hutang), maka lebihnya adalah kado
atau hutang baru yang menjadi tanggungan orang yang menerima kado. Bisa jadi,
dikemudian hari jumlah atau nilai kado tersebut akan semakin banyak dan semakin tinggi.
Kedua: penambahan tersebut termasuk dalam kategori penambahan yang tidak disyaratkan,
dan hal itu boleh-boleh saja dan tidak termasuk dalam kategori riba. ini masuk dalam
kategori membaguskan pembayaran sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Hal ini berdasarkan peristiwa dimana nabi Muhammad SAW memberikan seekor unta
yang lebih tua kepada seseorang yang telah memberinya pinjaman berupa seekor unta,
kemudian beliau bersabda: sebagus-bagusnya kamu sekalian adalah orang yang
membaguskan pembayaran (hutang).

Jika kita termasuk orang yang masyarakatnya menganggap kado sebagai hutang, dan kita
ingin memberikan kado sebagai hadiah, maka hendaknya kita membisikkan dan
menegaskannya kepada orang yang kita tuju bahwasanya ini adalah hadiah, sehingga dia
terbebas dari tanggungan hutang. Dan kita berusaha merubah tradisi tersebut dengan tradisi
lain yang lebih baik.
HUKUM JUAL BELI SECARA ANGSURAN BESERTA PENAMBAHAN DALAM
HARGANYA
Ada dua pendapat ulama tentang hal ini:
Pertama: pendapat yang tidak memperbolehkan hal tersebut, diantaranya adalah:
1. Ibn Mas’ud RA: diriwayatkan oleh Abdurrazak: diceritakan oleh Israil dari Sammak
Ibn Harb dari Abdurrahman bin Abdillah dari Abdullah: tidak boleh mengumpulkan
dua akad menjadi satu, seperti halnya ketika seseorang berkata: secara tunai dengan
ini dan ini, secara angsuran dengan ini203
2. Ibnu Sirin: diceritakan oleh Muammar dari Ayyub dari Ibn Sirin yang benci ketika
seseorang berkata: saya menjual kepadamu dengan ini dan ini sampai satu atau dua
bulan (diriwayatkan oleh Abdurrazak), dan dalam riwayat lain disebutkan: saya
menjual kepadamu sepuluh dinar tunai atau lima belas dinar sampai suatu waktu204
3. Qasim bin Muhammad: menurut Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’ (513):
Qasim bin Muhammad ditanya tentang seseorang yang membeli barang kemudian
dia ditawari apakah dia akan membayar dengan sepuluh dinar secara tunai atau lima
belas dinar secara angsuran, dan beliau melarang hal tersebut.
4. Imam Malik berpendapat tentang seseorang yang membeli sebuah barang secara
tunai seharga beberapa dinar atau secara angsuran dengan seekor kambing yang
telah ditentukan kriterianya, kemudian dia harus memilih salah satunya:
sesungguhnya hal itu adalah makruh namun tidak layak, karena Rasulullah SAW
melarang mengumpulkan dua akad jual beli menjadi satu akad dan kasus diatas
termasuk dalam ketentuan tersebut.
Menurut saya: landasan orang yang tidak membolehkan angsuran adalah hadits Nabi SAW
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “barang siapa yang mengumpulkan dua akad jual
beli menjadi satu, maka dia sendirilah yang menanggung kerugiannya atau dia telah
melakukan riba”.205
Dan hadits Ibnu Mas’ud: Rasulullah SAW melarang mengumpulkan dua akad jual beli
menjadi satu.206

203 Shahih, al-Mushannaf (14633), diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah (5/54)
204 Shahih, al-Mushannaf (14268), diriwayatkan oleh Muammar dari Ayyub. Khusus dari riwayat al-Bishrin
atsar ini dhaif tetapi disepakati oleh Abdul Majid dari Ibn Abi Syaibah (5/55)
205 Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (2/432), an-Nasai (bab Buyu’/295), Abu Daud (3961), Ibn Abi Syaibah
(5/55), at-Turmudzi (1231), al-Baihaqi (5/343), kesemuanya melalui riwayat Muhammad bin Umar dari Abi
Salamah dari Abu Hurairah dengan sanad yang hasan.
206 Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (1/398), Ibn Abi Syaibah (5/55) dari perkataan Ibn Mas’ud
Ibnu Mas’ud dan Sammak bin Harb juga menafsirkan hadits diatas:
Hadits tersebut menjelaskan tentang seseorang yang menjual sesuatu dan dia berkata: jika
membayar tunai, maka harganya sekian, dan jika angsuran, maka harganya sekian.
Menurut saya: illat dalam jual beli dengan cara tersebut adalah ketidak jelasan harga barang
yang seharusnya disepakati.
5. al-Khatthabi dalam kitab Ma’alim as-Sunan syarah dari kitab Sunan Abi Daud (3/739):
pelarangan dari hadits di atas berupa dua bentuk:
a. ketika penjual berkata: saya menjual baju ini kepadamu. Sepuluh dinar jika dibayar
tunai dan lima belas dinar jika angsuran. Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak
adanya kejelasan, harga manakah yang akan dipilih. Jika akad itu tetap terjadi
sedangkan harga barang itu tidak jelas, maka akad tersebut tidak sah.
b. ketika penjual berkata: saya menjual budak ini dengan harga dua puluh dinar jika
dibayar tunai, jika dibayar angsuran, maka kamu harus menjual budakmu kepadaku
dan kamu harus membayarku sepuluh dinar. Jika akad itu tetap terjadi, maka
separuh harga budak pembeli hilang, dan jika demikian, maka akad ini tidak sah.
6. Menurut Thawuus: rusaknya jual beli ini tidak diragukan lagi, dan jika dua pilihan itu
belum dipilih sampai esok harinya di tempat akad, maka jual beli itu benar-benar rusak dan
tidak ada perbedaan tentangnya.
Menurut saya, ulama tidak memperbolehkan akad ini jika antara penjual dan pembeli tidak
dicapai kesepakatan dan pembeli tidak memilih salah satu pilihan atau tawaran yang
diberikan penjual.

Kedua: pendapat yang memperbolehkan hal tersebut –ini adalah pendapat mayoritas
ulama-. Mereka adalah:
1. Ibn Abbas: diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah: seorang penjual boleh berkata ketika
akad, jika dibayar tunai, harganya sekian, dan jika diangsur, maka harganya sekian.
Akan tetapi, sebelum mereka berpisah, mareka telah mencapai suatu kesepakatan.207
2. Thawus bin Kisan: diceritakan oleh Hafsh bin Ghiyats dari Laits dari Thawus, juga
diriwayatkan oleh Waki’dari Laits dari Thawus: boleh-boleh saja, ketika seorang
penjual berkata kepada pembeli, jika dibayar tunai, harga baju ini sekian, dan jika
diangsur, harganya sekian. Setelah itu, pembelilah yang berhak menentukan harga

207 Shahih, al-Mushannaf (5/45)


manakah yang akan dia pilih.
diriwayatkan oleh Abdurrazak: Diceritakan oleh Muammar dari Thawus dari Ayahnya:
boleh-boleh saja, ketika penjual berkata: “saya menjual baju ini seharga sepuluh dinar
dalam jangka waktu satu bulan, dan dua puluh dinar dalam jangka waktu dua bulan”. Jika
pembeli telah menentukan harga mana yang dia pilih sebelum mereka berpisah dari tempat
akad, maka akad tersebut diperbolehkan.208
3. Atha’ bin Abi Rabbah: seorang penjual boleh berkata kepada pembeli: “baju ini saya
jual sekian jika tunai, jika diangsur, maka harganya sekian” kemudian pembeli
menentukan sendiri harga yang akan ia sepakati,209 sebagaimana telah diceritakan
oleh Waki’ dari al-Auza’I dari Atha’. Hal ini juga diceritakan oleh Yahya bin Abi
Zaidah dari Ibn Juraij dari Atha’.210
4. Hakam bin ‘Utaibah dan Hammad dan Ibrahim an-Nakha’i: dari Ibn Abi Syaibah:
diceritakan oleh Hasyim Ibn al-Qasim dari Syu’bah: saya bertanya kepada Hakam
dan Hammad tentang seseorang yang membeli sesuatu dari orang lain, dan orang
tersebut (penjual) berkata: jika dibayar tunai, maka harganya sekian, dan jika
diangsur, maka harganya sekian. Kemudian beliau menjawab: “tidak apa-apa jika si
pembeli telah cenderung kepada salah satu harga yang telah ditawarkan”. Syu’bah
juga menyebutkan apa yang diriwayatkan oleh Mughirah: Ibrahim an-Nakha’I tidak
menemukan adanya kebolehan jika mereka telah berpisah dari tempat akad dan
pembeli belum menentukan pilihan.211
5. az-Zuhry dan Qatadah: Muammar berkata: az-Zuhri dan Qatadah tidak menemukan
adanya kebolehan jika mereka telah berpisah dari tempat akad dan pembeli belum
menentukan pilihan.212
6. ats-Tsauri: jika penjual berkata kepada pembeli “saya menjual barang ini kepadamu.
Jika dibayar tunai, maka harganya sekian dan jika diangsur, maka harganya sekian”,
kemudian pembeli memilih salah satunya, maka hal tersebut adalah khiyar (pilihan).
Jika pembeli tidak menentukan pilihan dan transaksi masih dilanjutkan, maka ini
termasuk dalam kategori mengumpulkan dua akad jual beli dalam satu akad yang
tidak diperbolehkan.
208 Shahih, Ibn Abi Syaibah (5/55), salah satu periwayatnya adalah Laits bin Abi Salim yang dhaif,
Abdurrazak (14626) dengan sanad yang shahih
209 Shahih, al-Mushannaf (5/55)
210 Ibid (5/55)
211 Ibid (5/55)
212 Ibid (14630)
7. Abu Hanifah dan pengikutnya: jika penjual berkata kepada pembeli “jika dibayar
tunai, maka harganya sekian dan jika diangsur, maka harganya sekian”, kemudian
pembeli memilih salah satu harga yang ditawarkan, maka transaksi itu
diperbolehkan.213
8. Imam Malik: beliau berpendapat tentang penjual yang berkata kepada pembeli “saya
menjual barang ini kepadamu. Jika dibayar tunai, maka harganya sepuluh dinar dan
jika diangsur, maka harganya lima belas dinar”, jika penjual dan pembeli berniat
untuk menggagalkan transaksi itu, maka transaksi itu tidak terjadi.
9. al-Auza’i: Walid bin Muslim berkata: saya bertanya kepada al-Auza’I tentang
hadits yang tidak membolehkan penawaran yang diberikan oleh penjual, kemudian
beliau menjawab: “saya lebih sepakat dengan pendapat Atha’ bin Abi Rabbah yang
memperbolehkan penjual memberikan penawaran harga kepada pembeli”.214
10. as-Syafi’i: menurut saya (penulis), as-Syafi’I lebih banyak memberikan toleransi
dalam transaksi jual beli jika telah tercapai sebuah kesepakatan antara penjual dan
pembeli. Maka dia membolehkan seseorang membeli barang secara angsuran
kemudian dia menjual barang tersebut kepada penjual lain dengan harga yang lebih
rendah tapi secara tunai berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an:

Padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah: 275)

Menurut beliau dalam kitab al-Umm: orang yang membeli sebuah barang secara angsuran
boleh menjualnya kepada pembeli lain secara tunai dengan harga yang lebih murah dan dia
tetap menawarkan pembelian secara angsuran kepada pembelinya. Beliau berbicara tentang
hal tersebut berdasarkan pada atsar Aisyah dalam kisah Zaid bin Arqam.
Abu Umar: as-Syafi’I memberi contoh tentang pengumpulan dua akad yang dilarang
Rasulullah SAW sebagaimana diceritakan oleh al-Muzanni dan Arrabi’ dan az-Za’farani:
saya menjual seorang budak kepadamu seharga seribu dinar tunai atau dua ribu jika
diangsur sampai setahun. Dalam hal ini, pembeli tidak memilih keduanya.
11. Ibn Taimiyah: beliau ditanya tentang orang yang mempunyai seekor kuda yang ia
jual seharga 180 dirham dan ada orang lain yang ingin membeli kuda tersebut 300
dirham yang diangsur selama tiga bulan, apakh hal tersebut boleh atau tidak?
213 Ibn Abdul Jabbar, al-Istidzkar (20/178)
214 Sumber atsar tersebut telah diungkapkan pada bab sebelumnya
Beliau menjawab: Alhamdu Lillah, jika ada orang yang ingin membeli kuda tersebut untuk
dimanfaatkan atau akan dijual kembali, maka penjual itu boleh menjualnya secara angsuran
(kredit).
Abu Umar: penjelasan hal diatas adalah jika pembeli tidak memilih tawaran yang
ditawarkan oleh penjual, maka transaksi itu tidak diperbolehkan karena tidak tercapainya
kesepakatan di kedua belah pihak.

Ringkasan:
Menurut saya, mayoritas ulama sepakat bahwasanya jika pihak pembeli telah setuju dan
memilih salah satu penawaran, maka transaksi tersebut diperbolehkan. Sebagaimana yang
telah diungkapkan oleh Imam al-Khatthabi: jika pembeli telah memilih salah satu dari yang
ditawarkan, maka transaksi tersebut diperbolehkan dan tidak ada perbedaan tentangnya.
Ibn Mas’ud , dan Ibn Sirin juga sependapat akan hal itu dan mereka juga membolehkan
transaksi jual beli secara kredit yang berkaitan dengan harga barang tersebut di pasaran,
kesepakatan ini disebabkan oleh universalitas syariat sebagaimana firman Allah SWT:

Padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah: 275)

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (an-Nisa’: 29).

Sedangkan hadits Nabi SAW tentang larangan mengumpulkan dua akad, dan hal ini
dianalogikan berbeda.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
PENUTUP
Semua yang saya jeklaskan dalam buku ini adalah berkat taufik dan hidayah dari
Allah SWT. Masalah yang terjadi antara pemberi hutang dan yang berhutang, cara
membayarnya, dan semua masalah yang berkaitan dengan hutang saya paparkan dengan
jelas dan rinci menurut metode ahli hadits, pendapat ulama klasik, para Imam dan
pengikut-pengikut mereka.
Saya hanya mencantumkan hadits yang mempunyai ketetapan sanad dari ahli hadits. Oleh
karena itu, jika hadits yang saya cantumkan dhaif (lemah), maka saya juga menjelaskan
letak kedhaifannya.
Saya menyadari bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan hutang tidak semuanya
terdapat dalam buku ini. Tetapi saya yakin bahwa masalah-masalah yang saya angkat dalam
buku ini belum pernah terjadi sebelumnya menurut babnya masing-masing, dan saya sangat
berharap bahwa masalah-masalah seputar hutang piutang yang saya tulis, dapat membantu
tuntutan kebutuhan yang dialami umat islam.
Pada akhirnya, mudah-mudahan kesejahteraan dan keselamatan selalu mengalir keharibaan
Nabi besar Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam.

Yogyakarta, 23 Maret 2007. 21.35


DAFTAR ISI
Kata pengantar
Pengantar penulis
Pendahuluan
Definisi dain
Keutamaan memberi hutang
Keutamaan bertransaksi dengan benardan penangguhan hutang bagi orang yang kesulitan
Orang yang menangguhkan pembayaran hutangbagi orang yang kesulitan, maka allah
akanmemberinya naungan pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-nya
Jaminan ampunan dosa bagi orang yang meringankan nominal hutangnya orang yang
kesulitan
Allah akan memberi kemudahan di dunia dan akhirat bagi orang yang memberi kemudahan
bagi orang lain
Memohon kepada allah agar dijauhkan dari banyak hutang
Memohon perlindungan kepada allah dari hutang
Rasulullah enggan menshalati mayit yang masih memiliki tanggungan hutang
Berhati-hati terhadap kelalaian tidak melunasi hutang
Semua dosa syuhada’ diampuni kecuali hutangnya
Balasan di dunia dan akhirat bagi orang yang tidak melunasi hutang
Balasan bagi orang yang berkemampuan melunasi hutang tetapi tidak melaksanakannya
Orang yang paling baik adalah orang yang melunasi hutangnya dengan cara yang baik
Rasulullah mengasihi orang yang memiliki tanggungan hutang
Doa agar diberi kemampuan melunasi hutang
Orang yang bermaksud membayar hutang maka allah akan memenuhi maksudnya
Allah memberkati harta seseorang yang saleh dan bersungguh-sungguh bekerja demi
membayar hutangnya
Wajib membayar hutang
Bersedekah pada orang yang memiliki hutang agar dapat segera melunasinya
Melunasi hutang yang menjadi tanggungan mayit sebelum melaksanakan wasiatnya
Orang yang diberi wasiat membayar hutang si mayit tanpa persetujuan ahli warisnya
Hutang yang menghasilkan keuntungan adalah riba
Atsar-atsar (perkataan sahabat) yang menjelaskan tentang hutang yang berbunga:
Pendapat para imam menyangkut bab di atas
Boleh mengembalikan lebih dari hutang yang sebenarnya jika tidak ada pensyaratan
sebelumnya
Boleh meringankan nominal hutang
Riba
Siksa kubur bagi orang yang melakukan praktik riba:
Siksa bagi orang yang makan harta riba pada hari kiamat:
Membayar sebagian hutang dan memajukan pembayaran
Penegasan hutang
Argumentasi ulama fiqh yang mengatakan ketidakbolehan seorang saksi dan sumpah serta
sebab dasar hadits yang meragukan
Rahn (gadai)
Jual beli hutang dengan hutang
Salam
Hiwalah
Kafalah
Suftajah
Permasalahan dalamjual beli menggunakan cek
Hukum jual beli secara angsuran beserta penambahan dalam harganya
Penutup

You might also like