You are on page 1of 32

ASUHAN KEPERAWATAN

NYERI ABDOMEN

LBM 6
Ners A bekerja di UGD, melakukan pengkajian terhadap pasien yang datang dengan
keluhan nyeri di daerah abdomen, nyeri hilang timbul, menurut klien neyri berada pada
skala 6. Dan hasil pengkajian ners A mendapatkan eberapa masalah keperawatan dan
merencanakan tindakan yang akan dilakukan. Saat nyeri timbul ners A menganjurkan
pasien untuk melakukan tehnik napas dalam dan klien menyatakan nyeri sudah
berkurang hingga skala 4.

Key Word
Nyeri abdomen, nyeri hilang timbul, skala nyeri 6, tehnik napas dalam, tehnik relaksasi,
pengkajian perawatan, perencanaan dan evaluasi

Pertanyaan
1. Apakah yang dimaksud dengan nyeri dan nyeri abdomen
2. Bagaimana tipe nyeri berdasarkan durasi dan lamanya.
3. Jelaskan tipe nyeri berdasarkan intensitas
4. Jelaskan tipe nyeri berdasarkan transmisi
5. Bagaimanakah tipe nyeri berdasarkan sumbernya.
6. Apakah penyebab nyeri.
7. Bagaimana proses nyeri abdomen
8. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi respon dan persepsi nyeri.
9. Sebut dan jelaskan teori-teori nyeri
10. Bagaimanakah mekanisme nyeri abdomen
11. Dasar-dasar penatalaksanaan nyeri
12. Uraikan tindakan untyuk mengatasi nyeri
13. Uraikan proses keperawatan
14. Bagaimanakah asuhan keperawatan nyeri abdomen yang benar

1
1. Konsep dasar nyeri
a. Definisi nyeri
Nyeri adalah suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial
atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. (Potter
& Perry, 2005).
Definisi lain nyeri adalah pengalaman subjektif, sangat pribadi dipengaruhi oleh
pendidikan, budaya, makna situasi dan kognitif ( menurut Bonica dan Melzack,
1987).
b. Tipe nyeri berdasarkan durasi dan lamanya
Nyeri biasanya dibedakan menjadi dua tipe besar yaitu nyeri akut dan nyeri
kronis. Keduanya bisa dibedakan dari onset, durasi dan penyebab nyeri.
1) Nyeri akut
Nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan
memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (Meinhart dan Mc
Caffery, 1983, NIH 1986 dalam Potter and Perry, 1997).
Menurut Bonica tahun 1987, nyeri akut sebagai kumpulan pengalaman yang
tidak menyenangkan yang berkaitan dengan sensori, persepsi dan emosi
serta berkaitan dengan respon autonomi, emosional dan perilaku.
Nyeri akut biasanya peristiwa baru, tiba-tiba dan durasinya singkat. Hal ini
berkaitan dengan penyakit akut, operasi atau prosedur pengobatan atau
trauma dan rasa nyeri dapat membantu untuk menentukan lokasinya.
Karakteristik yang lain adalah rasa nyeri biasanya dapat diidentifikasi, rasa
nyerinya cepat berkurang / hilang, sifatnya jelas dan mungkin sekali untuk
berakhir / hilang.
2) Nyeri kronis
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung lama, intensitasnya bervariasi
dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan (Mc Caffery, 1986 dalam
Potter and Perry, 1997). Pada klien dengan nyeri kronik sering mengalami
periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi

2
(keparahan meningkat). Sifat nyeri kronik ini tidak dapat diprediksi yang
membuat klien frustrasi dan sering mengarah pada depresi psikologis.
Nyeri kronis adalah suatu situasi atau keadaan pengalaman nyeri yang
menetap / kontinyu selama beberapa bulan / tahun setelah fase
penyembuhan dari suatu penyakit akut / injuri. Karakteristik nyeri kronis
adalah area nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas nyeri sukar
diturunkan, rasa nyerinya biasanya meningkat, sifatnya kurang jelas dan
kemungkinan kecil untuk sembuh / hilang.
Nyeri kronis dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu nyeri kronis maligna
dan non maligna. Nyeri kronis maligna dapat digambarkan sebagai nyeri
yang berhubungan dengan kanker atau penyakit progresif lainnya. Nyeri
kronis non maligna biasanya dikaitkan dengan nyeri akibat kerusakan
jaringan non progresif atau telah mengalami penyembuhan.

c. Tipe nyeri berdasarkan intensitas.


Intensitas nyeri seseorang dapat diketahui dari alat-alat pengkajian yang
digunakan. Pada deskripsi verbal tentang nyeri, individu merupakan penilai
terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya harus diminta untuk
menggambarkan dan membuat tingkatannya. Intensitas nyeri didapat diukur
dengan menggunakan skala diantaranya; skala intensitas nyeri deskriptif
sederhana, skala intensitas nyeri numerik 0-10 dan skala analog visual (VAS).
Skala dipergunakan untuk mendeskripsikan intensitas / beratnya rasa nyeri.
1) Skala intensitas nyeri deskriptif sederhana
Skala intensitas nyeri nyeri deskriptif sederhana ini menggunakan enam
gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda , menampilkan wajah bahagia
hingga wajah sedih, yang dipergunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri.
Skala ini dapat dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun.

0 2 4 6 8 10
Tidak ada nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri hebat Nyeri sangat Nyeri paling
hebat hebat

2) Skala intensitas nyeri numerik 0-10

3
Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan
mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik, digunakan dari 0
hingga 10, nol ( 0 ) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan
sepuluh (10) , suatu nyeri yang sangat hebat.

Tidak ada nyeri Nyeri sedang Nyeri paling hebat

3) Skala analog visual (VAS)


Skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa bebas
mengekspresikan nyeri, ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit
tidak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang. Klien diminta
menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua nilai ekstrem. Bila
menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri sedang

I_________________________________________I
Tidak ada nyeri Nyeri sehebat
yang dapat terjadi

d. Tipe nyeri berdasarkan transmisi.


1) Reseptor nyeri (nosiseptor)
Nosiseptor adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada
stimulus yang kuat, secara potensial merusak. Stimuli tersebut sifatnya
mekanik, termal, kimia. Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang
kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada
kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, se-sel mast,
folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimulasi serabut ini menimbulkan
pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi.
Serabut kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh
dan berhubungan dengan rantai simpatis paravertebrata sistem saraf dan
dengan organ internal yang lebih besar. Sebagai akibat hubungan antara
serabut saraf ini, nyeri sering disertai dengan efek vasomotor, otonom dan
viseral. Meski aktivasi yang kuat dari serabut reseptor nyeri pada kulit yang

4
akan menyebabkan hubungan viseral dari serabut yang sama, hal sebaliknya
juga terjadi. Stimulasi kuat pada cabang viseral dapat menyebabkan
vasodilatasi dan nyeri pada area tubuh yang berkaitan denga serabut
tersebut. Hasiln ya disebut nyeri alih.
2) Mediator kimia dari nyeri.
Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujungf-ujung saraf atau
reseptor nyeri dilepaskan kejaringan ekstraseluler sebagai akibat dari
kerusakan jaringan. Zat kimia yang meningkatkan transmisi atau persepsi
nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan prostaglandin.
Prostaglandin adalah zat kimia yang diduga dapat meningkatkan sensitivitas
reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari
bradikinin. Endorfin dan enkefalin adalah substansi lain dalam tubuh yang
berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri. Endorfin dan enkefalin
adalah zat kimia endogen yang terstruktur serupa dengan opioid. Serabut
interneural inhibitori yang mengandung enkefalin terutama diaktifkan
melalui aktivitas dari serabut perifer nosiseptor, pada tempat yang sama
dengan reseptor nyeri atau nosiseptor dan serabut desenden, berkumpul
bersama dalam suatu sistem yang disebut descending control.
Keberadaan endorfin dan enkefalin membantu menjelaskan bagaimana
orang orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari
stimuli neyeri yang sama. Kadar endorfin beragam diantara individu seperti
tingkat ansietas seseorang yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu
dengan endorfin yang banyak lebih sedikit merasakan nyeri dan mereka
dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Beberapa tehnik mungkin efektif dalam meredakan nyeri, paling tidak
sebagian karena tehnik tersebut menyebabkan pelepasan endorfin.
Transcutaneus electric nerve stimulation (TENS) dapat menstimulasi
pelepasan endorfin, seperti penggunaan plasebo, dimana pasien berfikir
pengobatannya bekerja meskipun hal tersebut tidak ada hasilnya. Metode
pereda nyeri lainnya seperti imaginasi terbimbing, dapat membantu pasien
melepaskan endorfin.
e. Tipe nyeri berdasarkan sumber.

5
Rasa nyeri dapat timbul dalam berbagai modalitas bergantung pada letak
reseptor
1) Nyeri somatik superfisial (nyeri kulit)
Rangsang yang dapat menimbulkan rasa nyeri kulit adalah rangsang
nosiseptif yaitu rangsang yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Rangsang dapat berupa rangsang mekanis, listrik, termal atau kimia.
Nyeri kulit biasanya dirasakan sebagai sensasi yang datang berurutan.
Pertama terasa sebagai rasa yang tajam, lokasi rangsang dapat ditunjukkan
dengan tepat, sensasi yang terasa dapat dijelaskan sesuai dengan rangsang
yang diberikan dan segera hilang bila rangsang dihentikan. Rasa nyeri yang
segera terasa pada saat rangsang diberikan ini disebut fast pain / initial pain/
nyeri primer. Kemudian disusul dengan nyeri yang tumpul, lokasi rangsang
tidak dapat ditunjukkan dengan tepat, sensasi rasa kurang dapat diuraikan
dengan jelas. Biasanya terasa sebagai rasa panas, menusuk yang sifatnya
difus. Sensasi tetap terasa beberapa saat sesudah rangsang dihentikan. Nyeri
susulan ini disebut slow pain / delayed pain / nyeri sekunder.
Pada beberapa keadaan patologis tertentu kulit, kepekaan reseptor nyeri
dapat berubah yang menimbulkan hiperalgesia yaitu;
a) Hiperalgesia primer bersifat setempat, pada daerah luka atau radang,
ambang reseptor menurun. Disebabkan oleh lepasnya histamin, dapat
terasa sampai berhari-hari.
b) Hiperalgesia sekunder, disebabkan oleh rangsangan nosiseptif yang kuat
dan cukup lama yang menyebabkan impuls menyebar dari daerah
rangsang baik secara horizontal maupun vertikal. Reseptor nyeri sekitar
daerah luka akan terangsang.
2) Nyeri somatik dalam
Reseptor terdapat pada sendi, otot, tendon dan fascia. Agak sukar
melokalisasi tempat asal nyeri somatik dalam karena dermatom kulit yang
ada tepat diatas sklerotom tempat asal nyeri somatik dalam, tidak disarafi
saraf spinal yang sama dengan sklerotom tersebut. Sensasi nyeri yang terasa
umumnya adalah nyeri tumpul yang sering disertai rasa mual. Hal tersebut
menunjukkan adanya keterlibatan sistem saraf otonom. Rasa nyeri somatik

6
dalam cenderung menyebar, sehingga lebih sukar lagi untuk menentukan
tempat asal nyeri. Rangsangan adekuat untuk membangkitkan nyeri somatik
dalam adalah rangsangan mekanik tarikan atau kimia.
Iskemia otot yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah menyebabkan
tertumpuknya asam laktat yang merangsang reseptor rasa nyeri somatik
dalam. Spasme otot menyebabkan tarikan cukup kuat dan dalam pada
tendon.
3) Nyeri viseral
Lokasi tempat asal nyeri viseral sukar ditentukan karena jumlah reseptornya
hanya sedikit. Sering disertai keterlibatan sistem saraf otonomdengn adanya
rasa mual, berkeringat dan perubahan tekanan darah. Rangsang adekuatnya
adalah regangan, spasme atau kerutan yang berlebihan pada otot polos,
iskemia dan kimiawi. Biasanya nyeri viseral juga disertai kerutan otot
rangka yang ada didekat viseral yang terkena. Hal tersebut bertujuan untuk
melindungi viseral yang sedang menderita nyeri.
4) Nyeri alih
Sensasi nyeri atau rasa nyeri somatik dalam atau rasa nyeri viseral yang
terasa didaerah somatik superfisial. Nyeri viseral mempunyai letak nyeri
alih yang khas untuk tiap viseral yang terkena. Beberapa teori tentang
terjadinya nyeri alih adalah;
a) Teori dermatom
Nyeri alih terasa pada kulit yang berasal dari dermatom yang sama
dengan alat viseral yang terkena. Misalnya nyeri jantung dialihkan ke
lengan.
b) Teori konvergensi
Traktus spinotalamikus lateralis adalah tempat berkumpulnya serat-serat
sensori nyeri, baik dari somatik maupun dari viseral, yang akan berakhir
di thalamus dan kemudian di relay oleh thalamus ke kortek
somatosensorik. Karena impuls nyeri somatik lebih sering terjadi
daripada impuls nyeri viseral, maka korteks somatosensorik seolah lebih
mengenal nyeri somatik dari pada nyeri viseral. Karena itu nyeri viseral
sering diinterpretasikan sebagai nyeri oleh korteks.

7
c) Teori fasilitasi
Impuls nyeri viseral dikatakan merendahkan ambang rangsang neuro
traktus spinothalamikus, yang menerima sinaps dari serat aferen
somatik. Fasilitas tersebut dengan adanya cabang serat aferen visera
yang bersinap di neuron traktus spinothalamikus tersebut dan
menimbulkan excitatory post synaptic potential (EPSP). Dengan
demikian neuron-neuron traktus spinothalamikus lateralis yang
menerima sinaps ganda tersebut sangat mudah untuk terbangkit oleh
impuls lemah dari aferen nyeri somatik, pada keadaan biasa tidak
terbangkit oleh impuls lemah tersebut.

f. Tipe nyeri berdasarkan penyebab.


Berdasarkan penyebab, nyeri dapat disebabkan oleh rangsang mekanis (tusuk,
tembak, potong), listrik, termal (panas) atau kimia.

g. Proses terjadinya nyeri.


Nosiseptor yang diterima reseptor-reseptor di kulit, pembuluh darah, visera,
muskuloskletal dan lain-lain, dapat digambarkan sebagai berikut: adanya
stimulasi yang diterima reseptor kemudian diteruskan menuju korteks. Dari
korteks ini kemudian diteruskan menuju thalamus di otak dan diteruskan
menuju medulla spinalis, yang selanjutnya di teruskan ke saraf tepi sehingga
ada reaksi emosi, psikis dan motorik tanpa ada modulasi, sedangkan dalam
perjalanan hanya kesan sensorik yang dipersepsikan

h. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon dan persepsi nyeri.


Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami
intensitas nyeri yang sama. Suatu stimulus dapat mengakibatkan nyeri pada
suatu waktu, tetapi tidak pada waktu lain. Faktor-faktor tersebut dapat
meningkatkan atau menurunkan sensitifitas komponen yang berbeda dari sistem
nosiseptif. Adapun hal-hal yang dapat mempengruhi respon dan persepsi nyeri
adalah;
1) Usia

8
Pada anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami prosedur
tindakan yang menyebabkan nyeri. Anak kecil yang belum dapat
mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan untuk mengungkapkan
secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas
kesehatan. Secara kognitif anak usia todler dan pra sekolah tidak mampu
mengingat penjelasan tentang nyeri atau mengasosiasikan nyeri sebagai
pengalaman yang dapat terjadi diberbagai situasi.
Pada lansia memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan nyeri dan
dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakitdisertai
gejala samar yang mungkin mengenai bagian tubuh yang sama. Tidak
semua lansia mengalami gangguan kognitif. Namun, ketika seorang lansia
mengalami bingung, maka ia akan mengalami kesulitan untuk mengingat
pengalaman nyeri dan memberi penjelasan yang rinci.
2) Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam respon
terhadap nyeri (Gil, 1990 dalam Potter and Perry, 1997).
3) Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu
yang alamiah. Kebudayaan yang lain cenderung untuk melatih perilaku
yang tertutup. Clancy dan Mc Vicar (1992), menyatakan bahwa sosialisasi
budaya menentukan perilaku psikologis seseorang.
4) Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Indicidu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan
tantangan. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan
dengan makna nyeri.

5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan

9
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun (Gil, 1990 dalam Potter and Perry,
1997).
6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu
perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan
ansietas (Gil, 1990 dalam Potter and Perry, 1997).
7) Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini
dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit
dalam waktu lama.
8) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu
sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah
sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas atau rasa takut dapat
muncul. Apabila individu tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi
pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri.
9) Gaya koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka
sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil
akhir dari suatu peristiwa, seperti nyeri (Gil, 1990 dalam Potter and Perry,
1997). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal,
mempersepsikan faktor-faktor lain didalam lingkungan mereka.

10) Dukungan keluarga dan sosial


Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan

10
perlindungan. Walaupun nyeri tetap dirasakan, kehadiran orang yang
dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.

2. Teori-teori tentang nyeri


a. Teori spesifikasi
Teori yang mengemukakan bahwa reseptor dikhususkan untuk menerima suatu
stimulus yang spesifik, yang selanjutnya dihantarkan melalui serabut A delta
dan serabut C di perifer dan traktus spinothalamikus anterolateralis di medulla
spinalis menuju ke pusat nyeri di thalamus. Teori ini tidak mengemukakan
komponen psikologis.
Serat nyeri memasuki medula spinalis melalui radiks dorsalis, naik turun satu
sampai dua segmen, lalu berakhir pada neuron didalam kornu dorsalis
substansia grisea medula spinalis, serat tipe Aᵟ didalam lamina I dan V serta
serat tipe C didalam lamina II-III, suatu area yang juga dinamai substansia
gelatinosa. Kemudian bagian terbesar dari isyarat ini melintasi satu atau lebih
neuron tambahan berserat pendek, akhirnya memasuki serat panjang yang
segera menyeberang ke sisi medula spinalis berlawanan dan naik ke otak melalu
traktus spinothalamikus anterolateralis. Ketika lintasan nyeri masuk kedalam
otak, mereka terpisah menjadi dua lintasan tersendiri; lintasan nyeri tusuk
hampir seluruhnya terdiri atas serabut kecil jenis A delta dan lintasan nyeri
terbakar hampir seluruhnya terdiri atas serabut C yang lambat.
b. Teori pola
Teori ini menyatakan bahwa elemen utama pada nyeri adalah pola informasi
sensoris. Pola aksi potensial yang timbul oleh adanya suatu stimulus timbul
pada tingkat saraf perifer dan stimulus tertentu menimbulkan pola aksi potensial
tertentu. Pola aksi potensial untuk nyeri berbeda dengan pola untuk rasa
sentuhan.
Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat oleh dua sistem serat. Satu
sistem nosiseptor terbentuk oleh serat-serat Aᵟ kecil bermielin, yang satunya
terdiri atas serat C tak bermielin. Kedua kelompok serat ini berakhir ditanduk
dorsal; serat A berakhir di neuro-neuron lamina I dan V sementara serat C akar
dorsal berakhir di neuron di lamina I dan II. Sebagian akson neuron tanduk

11
dorsal berakhir di medula spinalis dan batang otak, yang lain masuk ke sistem
anterolateral, termasuk traktus spinothalamikus lateral. Rangsang nyeri
mengaktifkan 3 daerah korteks: SI, SII dan girus singuli di sisi korteks yang
berlawanan dengan rangsangan. Girus singuli berperan dalam emosi dan
girektomi singuli dilaporkan mengurangi stres yang timbul karena nyeri kronik.
Serat sensorik Aβ yang menyalurkan impuls dari reseptor sentuh ke susunan
saraf pusat, dan sebagian impuls sentuh juga dihantarkan melalui serat C.
Informasi rasa sentuh disalurkan baik melaui jalur lemniskus maupun jalur
anterolateral, sehingga hanya lesi yang sangat luas saja yang dapat
menghilangkan sama sekali sensasi sentuh. Namun terdapat perbedaan jenis
informasi sentuh yang disalurkan di kedua sistem tersebut. Apabila kolumna
dorsalis dirusak, sensasi getaran dan propriosepsi berkurang, ambang rasa
sentuh meningkat dan jumlah daerah peka sentuh dikulit berkurang, selain itu
lokalisasi sensasi sentuh terganggu.

c. Teori kontrol pintu gerbang (gate control)


Teori gate control menurut Melzack and Wall tahun 1965, mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan
disepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-
sel gelatinosa substansia didalam kornu dorsalis pada medula spinalis thalamus
dan sistem limbik (Clancy dan Mc Vicar, 1992 dalam Potter and Perry 1997).
Konsep dasarnya menggabungkan teori spesifik dan teori pola ditambah dengan
interaksi antara aferen perifer dan sistem modulasi yang berbeda di medulla
spinalis (subtansia gelatinosa). Selain itu juga mengemukakan sistem modulasi
desenden (dari pusat ke perifer). Menurut teori ini, aferen terdiri dari dua
kelompok serabut, yaitu kelompok yang berdiameter besar (Aβ) dan serabut
berdiameter kecil (Aᵟ dan C). Kedua kelompok aferen ini berinteraksi dengan
substansia gelatinosa ini berfungsi sebagai modulator (gerbang kontrol)
terhadap Aβ, Aᵟ dan C. Apabila substansia gelatinosa (SG) aktif, gerbang akan
menutup. Sebaliknya apabila SG menurun aktivitasnya, gerbang membuka.
Aktif dan tidaknya SG tergantung pada kelompok aferen mana yang terangsang.
Apabila serabut berdiameter besar terangsang, SG menjadi aktif dan gerbang

12
menutup. Ini berarti bahwa rangsang yang menuju pusat melalui transitting cell
(T-cell) terhenti atau menurun. Serabut Aᵟ adalah penghantar rangsang non-
nosiseptif (bukan nyeri) misalnya sentuhan, proprioseptif. Apabila kelompok
berdiameter kecil (Aᵟ, C) terangsang, SG akan menurun aktivitasnya sehingga
gerbang membuka. Aᵟ dan C adalah serabut pembawa rangsang nosiseptif,
sehingga kalau serabut ini terangsang, gerbang akan membuka dan rangsang
nyeri akan diteruskan ke pusat.

3. Mekanisme nyeri sebagai gejala atau kelainan organ-organ di rongga perut


a. Macam-macam reseptor tertentu, stimulus yang adekuat untuk rasa nyeri dan
Proyeksi eksterna serta nyeri setempat di abdomen pada alat-alat detail rongga
perut.
1) Nyeri lambung, nyeri yang timbul di area lambung biasanya disebabkan oleh
gas yang dialihkan ke permukaan anterior dada atau area atas dari sedikit
dibawah jantung sampai dengan satu inci di bawah prosesus xifoideus. Nyeri
ini digolongkan sebagai nyeri terbakar dan merupakan nyeri dari esofagus
bawah, menyebabkan rasa terbakar yang dikenal sebagai hearthburn (rasa
terbakar uluhati.
Kebanyakan ulkus peptikum terjadi 1-2 inci pada salah satu sisi pilorus di
daerah lambung atau di dalam duodenum, dan nyeri diarea seperti itu
biasanya dialihkan kesuatu tempat di permukaan kira-kira dipertengahan
diantara umbilikus dan prosesus xifoideus. Asal nyeri ulkus hampiran pada
proses kimia, karena bila getah asam lambung tidak akan mencapai serabut
nyeri didalam lubang pilorus. Nyeri tersebut tidak timbul. Nyeri ini khas
seperti nyeri terbakar kuat.
2) Nyeri bilier dan kandung empedu, terjadi pada saluran empedu dan kandung
empedu di lokasi midepigastrium hampir tepat dengan tempat pilorus yang
disebabkan oleh ulkus peptikum. Juga area lien dan kandung empedu sering
bersifat tetap seperti nyeri ulkus, meskipun juga sering timbul nyeri.
Penyakit bilier, disamping menyebabkan nyeri pada permukaan abdomen,
sering mengalihkan ke suatu daerah kecil diujung skapula kanan. Nyeri ini

13
dihantarkan melalui serabut aferen simpatis memasuki segmen torakalis ke
sembilan neuron kanalis.
3) Nyeri uterus, nyeri aferen parietalis dapat dihantarkan dari uterus. Nyeri
kejang pada abdomen bawah pada sakit menstruasi dihantarkan ke neuron
aferen simpatis dan suatu operasi untuk memperbaiki nervus hipogastrika
diantara pleksus hipogastrika uterus akan mengurangi nyeri ini pada bagian
bawah atau sebaliknya.
4) Nyeri saluran kencing, serabut aferen dari ginjal memasuki medula spinalis
T10-T12. Nyeri dari ureter mencapai segmen L1. Sehingga pada penyakit
ginjal akan timbul nyeri di punggung, kurang lebih di daerah ginjal itu
sendiri. Kontraksi ureter yang hebat, seperti pada batu ureter nyeri dialihkan
kebawah sesuai dengan segmen L1, yaitu ke daerah fosa iliaka, daerah
inguinal dan testis sisi yang sama dengan letak batu ureter. Dari kandung
kencing diteruskan lewat serabut aferen para simpatis. Nyeri dari trigonum
vesikae dapat dialihkan ke ujung penis. Peritonium yang menutupi kandung
kencing disarafi oleh saraf-saraf interkostal yang bawah dan saraf L1.
5) Nyeri Usus Besar, kontaksi berlebihan dari usus besar, menimbulkan rasa
nyeri yang bersifat kolik. Rasa nyeri ini secara samar dapat dilokalisir di
daerah atas umbilikus, bawah umbilikus maupun di garis tengah. Bila
peritonium parietal terlibat dalam penyakit seperti misalnya radang usus
buntu, nyeri lokasi, hiperalgesia dan ketegangan otot dapat dijumpai di
daerah yang meradang.
b. Cara pemeriksaan fisik pada nyeri daerah perut.
Pemeriksaan fisik pada daerah perut dilakukan dengan cara inspeksi, auskultasi,
perkusi dan palpasi, dengan tujuan untuk mengetahui / mendapatkan kondisi
dan fungsi organ-organ pada rongga abdomen.
1) Inspeksi
Perhatikan bentuk dan keadaan secara umum meliputi distensi permukaan
abdomen, adanya retraksi atau tonjolan, kesimetrisan abdomen. Perhatikan
gerakan kulit sehubungan dengan pernapasan, perhatikan pula pigmentasi,
adanya bekas luka dan adanya bendungan vena. Perhatikan keadaan

14
umbilikus dan daerah inguinalis untuk mengetahui apakah ada benjolan,
inflamasi dan pulsasi.
2) Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran peristaltik
dan kebisingan usus serta
3) Perkusi
Adakah cairan bebas (suara pekak) atau udara (suara timpani).
4) Palpasi
Ketegangan dinding perut pada daerah hipokondrium. Hati teraba atau tidak
bila teraba bagaimana tepi, permukaan dan derajat pembesarannya. Ada
tidaknya benjolan pada daerah abdomen. Adakah penonjolan dinding perut
c. Pemeriksaan tambahan untuk mencari sumber nyeri pada kelainan alat-alat
dalam rongga perut.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan seperti pemeriksaan ultrasonografi
(USG) abdomen, BOF serta pemeriksaan CT scan dan MRI abdomen untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan untuk menunjang hasil dari pemeriksaan fisik.

4. Dasar-dasar penatalaksanaan nyeri


a. Prinsip dasar intervensi keperawatan pada nyeri.
Prinsip dasar intervensi keperawatan pada nyeri meliputi
1) Mengidentifikasi tujuan dan penatalaksanaan nyeri
2) Membina hubungan perawat klien
3) Memberikan perawatan fisik
4) Mengatasi kecemasan pasien yang berhubungan dengan nyeri.
5) Melakukan intervensi farmakologis
6) Melakukan intervensi non farmakologis
7) Melakukan penyuluhan
8) Melakukan evaluasi keefektifan strategi intervensi nyeri.

b. Tindakan noninvasif untuk mengurangi nyeri dan alasannya.

15
Banyak aktivitas keperawatan nonfarmakologis dan noninvasif yang dapat
membantu menghilangkan nyeri. Metode pereda nyeri nonfarmakologis
biasanya mempunyai risiko yang sangat rendah. Tindakan nonfarmakologis
bukan merupakan pengganti obat-obatan, tindakan tersebut mungkin diperlukan,
atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya
beberapa detik atau menit.
1) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor
tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri, tetapi
dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden. Masase dapat
membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
Teori gate control telah menjelaskan, bertujuan untuk menstimulasi serabut-
serabut yang menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau
menurunkan transmisi impuls nyeri.
2) Terapi es (dingin) dan panas.
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas
reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat
proses inflamasi. Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera
setelah terjadi cedera, (Cohen, 1989 dalam Suddart dan Brunner, 1997).
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke
suatu area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan
mempercepat penyembuhan. Namun penggunaan panas kering dengan
lampu pemanas tidak seefektif penggunaan es.
Diduga es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non
nosiseptor) dalam bidang reseptor yang sama seperti pada cedera.
3) Stimulasi saraf elektris transkutan / Transcutan electric nerve stimulation
(TENS)
Tens menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektrode yang
dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau
mendengung pada area nyeri. Tens digunakan baik pada menghilangkan
nyeri akut dan kronik.

16
Tens diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak
nyeri (non nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut yang
mentransmisi nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori nyeri gate kontrol
4) Distraksi
Distraksi mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada
nyeri, misalnya dengan cara kunjungan dari keluarga dan teman-teman
pasien. Melihat film layar lebar dengan suara surround. Tidak semua pasien
mencapai peredaan nyeri melalui distraksi
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi
sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri
yang ditransmisikan ke otak.
5) Tehnik relaksasi
Tehnik relaksasi terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan
dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung
dalam hati dan lambat bersama setiap ekshalasi dan inhalasi.
Relaksasi otot skletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan
ketegangan otot yang menunjang nyeri.
6) Imajinasi terbimbing
Menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara
khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Imajinasi terbimbing menyebabkan relaksasi otot dan pikiran dimana
efeknya hampir sama dengan penggunaan tehnik relaksasi dengan metode
yang berbeda.
7) Hipnosis
Tehnik ini mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama
dalam situasi sulit.
Mekanisme bagaimana kerjanya hiposis tidak jelas tetapi tidak jelas tetapi
tidak tampak diperantaraioleh sistem endorfin (Moret et.all, 1991 dalam
Suddart and Brunner, 1997).
c. Macam-macam obat pengurang rasa nyeri, farmakodinamika, farmakokinetika
serta efek sampingnya.

17
1) Opioid (narkotika)
Opioid sangat efektif untuk menghilangkan nyeri pasca operatif dan nyeri
berat lainnya.
Farmakodinamika
Opioid menimbulkan efek primernya terhadap susunan saraf pusat dan organ
yang mengandung otot polos. Opioid menimbulkan analgesia, rasa
mengantuk eforia, depresi pernapasan terkait dosis, gangguan respons
adrenokorteks terhadap stres (pada dosis tinggi), dan penurunan tahana
perifer (dilatasi arteriol dan venosa) dengan sedikit atau tanpa efek terhadap
indeks jantung. Efek terapiutik opioid pada edema paru merupakan akibat
sekunder dari peningkatan pada dasar kapasitansi. Efek konstipasi opioid
timbul akibat induksi dari kontraksi non propulsif melalui traktus gastro
intestinal. Opioid dapat menyebabkan spasme traktus biliaris dan
peningkatan tekanan duktus biliaris komunis diatas kadar pra obat. Depresi
reflek batuk adalah melalui efek langsung terhadap pusat batuk dalam
medula. Opioid mengurangi aliran darah ke otak dan tekanan intra kranial.
Dapat menimbulkan mual dan muntah dengan mengaktifasi zona pemicu
kemoreseptor. Opioid melepaskan histamin dan dapat menyebabkan pruritus
setelah pemberian oral atau sistemik. Perubahan modulasi sensorik sebagai
akibat sekunder pengikatan langsung opioid pada reseptor opiatdalam
medula oblongata dapat merupakan mekanisme terjadinya pruritus setelah
pemberian epidural / intratekal. Analgesia intra artikuler terjasi sebagai
akibat sekunder pengikatan opioid dengan reseptor opiat dalam sinovium.
Farmakokinetika
Awitan aksi; IV < 1 menit, IM 1-5 menit, SK 15-30 menit, oral 15-60 menit
dan epidural spinal 15-60 menit.
Efek puncak; IV 5-20 menit, IM 30-60 menit, SK 50-90 menit, oral 30-60
menit dan epidural / spinal 90 menit.
Lama aksi; IV, IM, SK, 2-7 jam, oral 6-12 jam dan epidural / spinal 90
menit.
Interaksi / toksisitas; efek depresi SSP dan sirkulasi dipotensiasi oleh
alkohol, sedatif, antihistamin, fenotiazin, butirofenon, inhibitor MAO dan

18
antidepresan trisiklik. Dapat mengurangi efek diuretik pada pasien dengan
gagal jantung kongestif. Anelgesia dipertinggi dan diperpanjang oleh agonis
alfa-2. Penambahan epineprin dan morpin intratekal / epidural menimbulkan
peningkatan efek samping dan perpanjangan blok motorik.
Efek samping
Kardiovaskuler; Hipotensi, hipertensi, bradikardi, aritmia, kekakuan dinding
dada.
Pulmoner; Bronkospame dan laringospasme.
SSP; penglihatan kabur, sinkope, euforia dan disforia.
Urinaria; retensi urine, efek anti diuretik dan spasme ureter.
Gastrointestinal; spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah
dan penundaan pengosongan lambung.
Mata; miosis
Muskuloskletal; kekakuan dinding dada.
Alergi; pruritus dan urtikaria.

2) Non Steroid Anti Inflamasi Drugs (NSAID)


Sangat efektif untuk menghilangkan nyeri pasca operatif dan nyeri berat
lainnya. Sangat baik digunakan pada pasien yang rentan terhadap efek
pendepresi pernapasan dari opioid atau mengalami toleransi terhadap opioid
karena penggunaan jangka panjang.
Farmakodinamika
NSAID memperlihatkan aktivitas analgesik, anti inflamasi dan anti piretika.
NSAID diduga dapat menurunkan nyeri dengan menghambat produksi
prostaglandin dari jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi, yang
menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitif terhadap stimulus
menyakitkan sebelumnya. NSAID juga mempunyai suatu aksi sentral.
Pada dosis klinis tidak terdapat perubahan yang abermakna pada jantung
atau parameter hemodinamik. NSAID menghambat agregasi trombosit dan
memperpanjang masa perdarahan. NSAID ditoleransi dengan baik oleh
banyak pasien. Namun, mereka yang mengalami kerusakan fungsi ginjal

19
dapat membutuhkan dosis yang lebih kecil dan harus dipantau ketat terhadap
efek sampingnya.
Farmakokinetika
Awitan aksi; IV < 1 menit, IM < 10 menit dan oral < 1 jam.
Efek puncak; IV / IM / oral 1-3 jam.
Lama aksi; IV / IM / oral 3-7 jam.
Interaksi dan toksisitas; efek dipotensiasi dengan pemberian bersama
salisilat, peningkatan toksisitas litium, metotreksat. Risiko perdarahan
ditingkatkan dengan pemberian bersama dengan antikoagulan atau terapi
heparin dosis rendah. Dapat mencetuskan gagal ginjal pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, gagal jantung atau disfungsi hati, pasien dengan
terapi diuretik dan manula.
Efek samping
Kardiovaskuler; vasodilatasi, pucat, angina
Pulmoner; dispnoe, asma
SSP; rasa mengantuk, pusing, sakit kepala, berkeringat, depresi dan euforia.
Gastrointestinal; ulserasi, perdarahan, dispepsia, mual, muntah, diare dan
nyeri gastrointestinalis.
Dermatologi; pruritus dan urtikaria.
d. Obat-obatan yang dipakai untuk melawan rasa nyeri selain analgetika
farmakodinamika, farmakokinetika serta efek samping.
1) Plasebo
Farmakodinamika
Efeknya terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut
akan memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut
benar-benar bekerja.
Farmakokinetika
Efek plasebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorfin dalam sistem
kontrol desenden. Efek ini merupakan respon fisiologis sejati yang dapat
diputar balik oleh nalokson.
Efek samping

20
Efek plasebo bukan suatu indikasi bahwa seseorang tidak mengalami nyeri,
sebaliknya adalah suatu respon fisiologis yang nyata. Plasebo tidak boleh
digunakan untuk menguji kejujuran seseorang tentang nyeri atau sebagai
pengobatan garis depan. Respon positif terhadap plasebo, menurunkan nyeri
jangan pernah diinterpretasikan sebagai suatu indikasi bahwa nyeri yang
dialami pasien tidak nyata.
Pasien jangan pernah diberikan suatu plasebo sebagai suatu pengganti
analgetika. Meskipun plasebo dapat menghasilkan analgetik.

5. Proses Keperawatan.
Proses perawatan merupakan cara yang sistematis yang dilakukan oleh perawat
bersama klien dalam menentukan kebutuhan asuhan keperawatan dengan
melakukan pengkajian, menentukan diagnosis, merencanakan tindakan yang akan
dilakukan, serta mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan dengan berfokus
kepada klien, berorientasi pada tujuan pada setiap tahap terjadi ketergantungan dan
saling berhubungan.
Berdasarkan pentingnya proses perawatan maka terdapat beberapa alasan yang
menjadikan proses perawatan bermanfaat bagi pasien maupun perawat karena
proses keperawatan memiliki karakterristik atau cirri khas dalam pemecahan
masalah, adapun karakteristik dari pemecahan masalah tersebut adalah :

a. Proses keperawatan merupakan metode pemecahan masalah yang


bersifat terbuka dan fleksibel dan berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman.
b. Proses keperawatan dapat dilakukan melalui dengan pendekatan
secara individual dari pemenuhan kebutuhan pasien.
c. Melalui proses keperawatan melalui beberapa permasalahan yang
sangat perlu direncanakan.
d. Melalui proses perawatan akan diarahkan tujuan pelayanan
keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
e. Proses perawatan itu sendiri merupakan siklus yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.
f. Adanya proses perawatan penentuan masalah akan lebih cepat diatasi.

21
Berdasarkan pandangan beberapa para ahli tentang proses keperawatan, terdapat
beberapa komponen yang dapat di simpulkan deangn melalui tahapan proses
keperawatan di antaranya:

a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan dengan
pengumpulan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui
permasalahan yang ada. Pengkajian terdiri dari :
1) Pengumpulan Data
Merupakan upaya untuk mendapatkan data yang dapat digunakan sebagai
informasi tentang klien. Data yang dibutuhkan tersebut merupakan data
biologis, psikologis sosial dan spiritual dari klien, data yang berhubungan
dengan masalah klien serta tentang faktor-faktor yang mempengaruhi atau
yang berhubungan dengan klien seperti data keluarga klien dan lingkungan.
Dalam pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara:
a) Wawancara : melalui komunikasi untuk mendapatkan respon
dari klien dengan tatap muka
b) Observasi: Dengan mengadakan pengamatan secara visual
dengan klien.
c) Konsultasi: Dengan melakukan konsultasi kepada ahli atau
spesialis bagian yang mengalami gangguan.
d) Pemeriksaan Fisik: dengan metode inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi.
e) Pemeriksaan penunjang: laboratorium serta pemeriksaan
Rontgen.
2) Validasi Data
Validasi data merupakan upaya untuk memberikan justifikasi pada data yang
telah dikumpulkan dengan melakukan perbandingan data subyektif dan
obyektif yang didapat dari berbagai sumber dengan berdasarkan standar nilai
normal
3) Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan tahapan terakhir dari pengkajian setelah
dilakukan validasi data dengan mengidentifikasi pola atau masalah yang

22
mengalami gangguan yang ada dimulai dari pengkajian pola fungsi
kesehatan.

b. Diagnosa keperawatan
Merupakan keputusan klinik mengenai seseorang, keluarga, atau masyarakat
sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan aktual atau
potensial (nanda 1990 )
Diagnosa keperawatan ini dapat memberikan dasar pemilihan intervensi
untuk menjadi tanggung gugat perawat. Formulasi diagnosa keperawatan
adalah bagaimana diagnosa keperawatan digunakan dalam proses pemecahan
masalah karena melalui identifikasi masalah dapat di gambarkan berbagai
masalah keperawatan yang membutuhkan asuhan keperawatan.
Dalam penulisan pernyataan diagnosa keperawatan meliputi tiga komponen
yaitu, komponen P (problem), komponen E (etiologi) S (simptom) atau
dikenal dengan batasan karakteristik. Dengan demikian cara membuat
diagnosa keperawatan adalah dengan menentukan masalah keperawatan yang
terjadi, kemudian mencari penyebab dari masalah yang ada.
Katagori Diagnosa keperawatan
Ada beberapa tipe diagnosa keperawatan diantaranya, aktual resiko,
kemungkinan, sehat sejahtera (wellness) dan sindrom.
1) Diagnosa keperawatan aktual.
Diagnosa keperawatan aktual menurut NANDA adalah penyajian keadaan
secara klinis yang telah dipalidasikan melalui batasan karakteristik mayor
yang di identifikasikan. Diagnosis keperawatan aktual penulisanya adalah
P+E +S
2) Diagnosa keperawatan risiko.
Menurut NANDA adalah keputusan klinis tentang individu, keluarga, atau
komunitas sangat rentan untuk mengalami masalah di bandingkan yang
lain pada situasi yang sama penulisannya adalah P E (Problem + Etiologi)
3) Diagnosa keperawatan kemungkinan.

23
Menurut NANDA adalah pernyataan tentang masalah-masalah yang
diduga masih memerlukan data tambahan, dengan harapan masih
diperlukan untuk memastikan adanya tanda dan gejala utama faktor resiko

4) Diagnosa keperawatan sehat sejahtera (Wellness).


Menurut NANDA diagnosa keperawatan sehat adalah ketentuan klinis
mengenai individu kelompok atau masyarakat dalam transisi dari tingkat
kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik
5) Diagnosa keperawatan sindrom
Menurut NANDA diagnosa keperawatan sindrom adalah diagnosa
keperawatan yang terdiri dari sekelompok diagnosa keperawatan aktual
atau resiko tinggi yang diduga akan tampak karena suatu kejadian atau
situasi tertentu.
c. Perencanaan
Merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang
dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi masalah-masalah
klien
Perencanaan ini merupakan langkah ke 3 dalam membuat suatu proses
keperawatan, pada tahap perencanaan dapat dilaksanakan dengan berbagai
kegiatan sebagai berikut
1) Menentukan prioritas diagnosa
Penentuan prioritas diagnosa ini dilakukan pada tahap perencanaan
setelah tahap diagnosa keperawatan, dengan menentukan diagnosa
keperawatan maka dapat diketahui diagnosa mana yang akan dilakukan
atau diatasi pertama kali.
a) Prioritas berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa)
b) Prioritas berdasarkan kebutuhan menurut Maslow
2) Menentukan tujuan dan hasil yang diharapkan.
Tujuan merupakan hasil yang ingin dicapai untuk mengatasi masalah
diagnosa keperawatan dengan kata lain tujuan merupakan sinonim dari

24
kriteria hasil yang mempunyai komponen sebagai berikut : S (Subyek) P
(Predikat) K (Kriteria) K (Kondisi) W (Waktu) dengan penjabaran sbb:
S : Perilaku pasien yang diamati.
P : Kondisi yang melengkapi pasien.
K : Kata kerja yang dapat diukur untuk menentukan pencapaian tujuan.
K : Sesuatu yang menyebabkan asuhan yang diberikan.
W : Waktu yang ingin dicapai.
Kriteria hasil yang diharapkan merupakan standar evaluasi yang
memberikan gambaran tentang faktor-faktor dan dapat memberikan
petunjuk bahwa tujuan telah tercapai, setiap kriteria hasil berhubungan
dengan tujuan yang ditetapkan
d. Pelaksanaan
Merupakan langkah ke 4 dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini
perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya bahaya fisik dan
perlindungan klien, tehnik komunikasi dalam prosedur tindakan
e. Evaluasi
Merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
mekakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak, dalam melakukan evaluasi perawat seharusnya memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi
keperawatan.
1) Jenis Evaluasi
Evaluasi formatif, menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat
memberikan intervensi dengan respon segera.
Evaluasi sumatif, merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisa
status pasien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan
pada tahap perencanaan. Disamping itu evaluasi juga sebagai alat ukur
suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah
tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
S (Subyek)

25
O (Obyek)
A (Asessment)
P ( Planning).
2) Tujuan tercapai, tujuan dikatakan tercapai apabila telah menunjukkan
perubahan dan kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan.
3) Tujuan tercapai sebagian, tujuan dikatakan tercapai sebagian apabila
tujuan tidak tercapai secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari
berbagai masalah atau penyebabnya.
4) Tujuan tidak tercapai, tujuan dikatakan tidak tercapai apabila tidak
menunjukkan adanya perubahan kearah kemajuan sebagaimana kriteria
yang diharapkan.

6. Asuhan keperawatan pada klien dengan nyeri abdomen


a. Pengkajian pada klien dengan nyeri abdomen
Pada saat pengkajian yang perlu diketahui adalah tanyakan lokasi dimana nyeri
dirasakan. Kapan nyeri mulai dirasakan. Bagaimana nyeri yang dirasakan,
apakah terasa tajam, tumpul, seperti terbakar, seperti tertindih benda berat Apa
yang dapat membuat nyeri menjadi lebih ringan dan menjadi lebih berat
dirasakan.
b. Penetapan diagnosa keperawatan dengan nyeri
Menurut NANDA, 2005-2006 diagnosa keperawatan pada pasien nyeri
abdomen dapat ditegakkan dua jenis yaitu nyeri akut dan nyeri kronis, dengan
karakteristik sebagai berikut
1) Nyeri akut, ditegakkan pada kasus serangan mendadak atau perlahan dari
intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi durasi
nyeri kurang dari 6 bulan. Batasan karakteristik untuk nyeri abdomen yaitu;
a) Melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal.
b) Menunjukkan kerusakan.
c) Posisi untuk mengurangi nyeri.
d) Gerakan untuk melindungi.
e) Tingkah laku berhati-hati.

26
f) Muka topeng.
g) Gangguan tidur.
h) Fokus pada diri sendiri.
i) Fokus menyempit.
j) Tingkah laku distraksi
k) Respon otonom.
l) Perubahan otonom dalam tonus otot.
m) Tingkah laku ekspresif.
n) Perubahan dalam nafsu makan.
Faktor yang berhubungan adalah adanya agen cedera (biologi, psikologi,
kimia dan fisik).
2) Nyeri kronis, ditegakkan pada kasus serangan mendadak atau perlahan dari
intensitas ringan sampai berat, nyeri konstan atau berulang yang tidak dapat
diantisipasi atau diprediksi kesembuhannya dengan durasi nyeri lebih dari 6
bulan. Batasan karakteristik untuk nyeri abdomen kronis yaitu;
a) Perubahan berat badan.
b) Melaporkan secara verbal atau non verbal atau menunjukkan perilaku
melindungi, perilaku berhati-hati, muka topeng, iritabilitas, fokus pada
diri sendiri, gelisan dan depresi.
c) Perubahan pola tidur.
d) Kelelahan.
e) Takut cedera kembali.
f) Interaksi dengan orang lain menurun.
g) Perubahan kemampuan dalam melanjutkan aktifitas.
h) Respon mediatik simpatik.
i) Anoreksia.
Faktor yang berhubungan adalah adanya ketidakmampuan psikososial /
fisik secara kronis.
c. Rencana keperawatan pada klien dengan nyeri abdomen.
Rencana keperawatan yang umum dilakukan pada klien dengen nyeri abdomen
adalah
Mandiri.

27
1) Catat keluhan nyeri klien, termasuk lokasi, lamanya, intensitas (0-10).
2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
3) Catat petunjuk nyeri non verbal dan selidiki ketidak sesuaian antara
petunjuk verbal dan non verbal.
4) Berikan makanan sedikit tetapi sering sesuai indikasi untuk klien.
5) Identifikasi dan batasi makan yang menimbulkan ketidak nyamanan.
6) Bantu latihan rentang gerak aktif / pasif.
7) Ijinkan klien untuk memulai posisi yang nyaman.
8) Dorong penggunaan tehnik relaksasi misalnya; bimbingan imajinasi,
visualisasi. Berikan aktivitas senggang.
9) Berikan perawatan oral sering dan tindakan kenyamanan.
Kolaboratif
1) Pertahankan puasa / penghisapan NGT
2) Berikan dan lakukan perubahan diet.
3) Berikan rendam duduk.
4) Gunakan susu biasa dari pada susu skim, bila susu dimungkinkan.
5) Berikan obat sesuai indikasi
Pembuatan rencana keperawatan dilakukan menyesuaikan dengan data pasien
dan klinis saat itu.
d. Implementasi pada klien dengan nyeri abdomen.
Implementasi dilakukan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dan atau
disepakati antara pasien dengan perawat.
e. Evaluasi pada klien dengan nyeri abdomen.
Dari asuhan keperawatan terhadap masalah nyeri yang dialami pasien maka
diharapkan hasil
1) Pencapaian peredaan nyeri
a) Nilai nyeri pada intensitas yang lebih rendah setelah intervensi.
b) Nilai nyeri pada intensitas yang lebih rendah untuk periode yang lebih
panjang.
2) Pasien atau keluarga memberikan medikais analgetika yang diresepkan
secara benar.
a) Menyebutkan dosis obat dengan benar.

28
b) Memberikan dosis obat yang benar dengan menggunakan prosedur yang
benar.
c) Mengidentifikasi efek samping obat.
d) Menjelaskan tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengoreksi
efek samping.
3) Perawat menggunakan strategi nyeri non farmakologi sesuai yang
direkomendasikan.
a) Melaporkan praktik dari segi non farmakologis.
b) Menggambarkan hasil yang diharapkan dari strategi non farmakologi.
4) Klien melaporkan efek minimal nyeri dan efek samping minimal dari
intervensi yang meliputi
a) Berpartisipasi dalam aktivitas yang penting untuk penyembuhan.
b) Berpartisipasi dalam aktivitas yang penting untuk diri sendiri dan
keluarga.
c) Melaporkan tidur yang adekuat dan tidak ada keletihan.

29
Referensi

Brunner and Suddarth’s, 1996. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Edisi 8


Lippincott Raven Publisher. Philadelpia USA.
Doenges. Marilynn E, et all, 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Alih bahasa I
Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Ganong. William F, 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Alih bahasa
Djauhari Widjajakusumah, et all. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Guyton. Arthur C, 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit edisi 3. Alih
bahasa Petrus Adrianto. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Guyton. Arthur C, 1997. Fisiologi dan Mekanisme Penyakit. Alih bahasa Petrus
Adrianto. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Hadinoto. Soedono et all, 1991. Nyeri dan Penatalaksanaan. Edisi 1. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang.
Hidayat. A Aziz Alimul, 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 2.
Salemba Medika. Jakarta.
Nanda, 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan 2005-2006. Definisi dan Klasifikasi.
Alih bahasa Budi Santosa. Prima Medika.
Omoigui. Sota, 1997. Buku Saku Obat-Obatan Anestesia. Edisi 2. Alih bahasa R.F
Maulani. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Potter. Patricia A and Perry. Anne Griffin, 1997. Fundamentals of Nursing: Concept,
Process and Practice 4 edition. Mosby Year Book Inc.
Priharjo. Robert, 1993. Perawatan Nyeri, Pemenuhan Aktifitas Istirahat Pasien.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Tambayong. Jan, 1997. Farmakologi Untuk Keperawatan. Widya Medika. Jakarta.

30
ASUHAN KEPERAWATAN NYERI ABDOMEN

Sebagai Persyaratan Untuk Mengikuti Ujian Praktikum


M.K Ilmu Keperawatan Dasar

KELOMPOK VI

DESAK MADE PUJA ASTUTI


DESAK KETUT SUMADI
I KETUT SUDIARTA
I NYM SUKANADA
LUH PUTU ARTINI
MADE SETIAWATI
NI NYM SURATMITI

31
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI
DENPASAR
2008

32

You might also like