You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang bebas, tetapi


kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam
bentuk kompetisi (persaingan). Karena kerjasama meupakan tema umum dalam
organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin
sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling
memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka
mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan kepada para pemeluknya
agar memperhatikan bahwa perbuatan baik (‘amal sâlih) bagi masyarakat
merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik-
baiknya demi kebaikan orang lain.
Ajaran ini bisa ditemukan di semua bagian Al-Qur’an dan ditunjukkan
secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri. Prinsip
persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah, sehingga karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi mereka
sebagai hak milik bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam.
Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada sanak keluarga dalam keluarga besar
juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain, karena berbuat baik
(ber’amal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya dihimbau tetapi
juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam). Kerukunan hidup dengan
tetangga sangat sering ditekankan baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah; di sini
kita juga melihat penampilan kepedulian sosial lain yang ditanamkan oleh Islam.
Dan akhirnya, kesadaran, kepedulian dan kesiapan untuk melayani dan berkorban
di saat diperlukan demi kebaikan masyarakat keseluruhan amat sangat ditekankan.
Ajaran-ajaran Islam pada umumnya dan terutama ayat-ayat Al-Qur’an berulang-
ulang menekankan nilai kerjasama dan kerja kolektif. Kerjasama dengan tujuan
beramal saleh merupakan perintah Allah yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Baik
dalam masalah-masalah spiritual, urusan-urusan ekonomik atau kegiatan sosial,
Nabi SAW menekankan kerjasama diantara umat Muslim sebagai landasan
masyarakat Islam dan merupakan inti penampilannya
BAB II

SISTEM EKONOMI DI DUNIA

II.1 Sistem Ekonomi Kapitalisme


John Adam Smith (lahir di Kirkcaldy, Skotlandia, 5
Juni 1723 – meninggal di Edinburgh, Skotlandia, 17 Juli 1790 pada umur 67
tahun), adalah seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia yang menjadi pelopor
ilmu ekonomi modern. Karyanya yang terkenal adalah buku An Inquiry into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations (disingkat The Wealth of Nations)
adalah buku pertama yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan
perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan
bebas dan kapitalisme. Adam Smith adalah salah satu pelopor sistem
ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini muncul pada abad 18 di Eropa Barat
dan pada abad 19 mulai terkenal disana.

Secara sederhana Sistem Ekonomi Kapitalisme, mengantung 3 (tiga)


prinsip dasar yaitu :
1) Kebebasan memilih harta secara perorangan; dimana setiap negara mengetahui
hak kebebasan individu untuk memiliki harta perseorangan. Setiap individu dapat
memiliki, membeli dan menjual hartanya menurut yang dikehendaki tanpa
hambatan. Individu mempunyai kuasa kuiasa penuh terhadap hartanya dan bebas
menggunakan sumber-sumber ekonomi menurut cara yang dikehendaki. Setiap
individu berhak menikmati manfaat yang diperoleh dari produksi dan distribusi
serta bebas untuk melakukan pekerjaan.
2) Kebebasan ekonomi dan persaingan bebas; Setiap individu berhakuntuk
mendirikan, mengorganisasi dan mengelola perusahaan yang diinginkan. Individu
juga berhak terjun dalam semua bidang perniagaan dan me3mperoleh sebanyak-
banyaknya keuntungan.Negara tidak boleh campur tangan dalam semua kegiatan
ekonomi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, selagi aktivitas yang
dilakukan itu sah dan menurut peraturan negara tersebut. Berdasarkan prinsip
ekonomi dan tuntunannya yaitu persaingan bebas maka, untuk itu tiap individu
dapat menggunakan potensi fisiknya, mental dan sumber-sumber yang tersedia
untuk dimanfaatkan  bagi kepentingan individu tersebut.
3) Ketimpangan ekonomi; Dalam sistem ekonomi kapitalis,modal merupakan
sumber produksi dan sumber kebebasan. Individu-individu yang memiliki modal
lebih besar akan menikmati hak kebebasan yang lebih baik untuk mendapatkan
hasil yang sempurna. Ketidaksamaan kesempatanmewujudkan jurang perbedaan
di antara golongan kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin.

II.2 Sistem Ekonomi Sosialis


Prinsip dasar ekonomi sosialis itu ada tiga antara lain :
1. Pemilikan harta oleh negara; Seluruh bentuk dan sumber pendapatan menjadi
milik negara atau masyarakat keseluruhan. Hak individu untuk memiliki harta
atau memanfaat produksi tidak diperbolehkan. Dengan demikian individu secara
langsung tidak mempunyai hak pemilikan.
2. Kesamaan ekonomi; Sistem ekonomi sosialis menyatakan (walaupun sulit
ditemui di negara komunis) bahwa hak-hak individu dalam suatu bidang ekonomi
ditentukan oleh prinsip kesamaan. Setiap individu disediakan kebutuhan hidup
menurut keperluan masing-masing.
3. Disiplin Politik; Untuk mencapai tujuan di atas, keseluruhan negara diletakkan
di bawah  peraturan kaum buruh, yang mengambil alih semua aturan produksi dan
distribusi. Kebebasan ekonomi serta hak pemilikan hartya dihapuskan sama
sekali.
II.3 Sistem Ekonomi Modern (Kapitalis – Sosialis)
John Maynard Keynes, 1st Baron Keynes of Tilton (Cambridge, 5
Juni 1883 - Sussex, 21 April 1946) adalah seorang ahli ekonomi Inggris. Ide-
idenya yang radikal mempunyai dampak luas pada ilmu ekonomi modern. Ia
menjadi terkenal dengan karyanya; The General Theory of Employment, Interest
and Money (1936) yang merupakan reaksi terhadap Depresi Besar Amerika
Serikat pada tahun 1930-an. Dalam karyanya Keynes menulis bahwa Pemerintah
kadangkala harus menstimulasi pertumbuhan ekonomi, terutama pada
saat konjungtur lemah. Pemikiran dan filsafatnya biasa disebut dengan
istilah Keynesianisme. Pemikiran ini muncul sebagai alterrnatif atas kelemahan 2
sistem ekonomi klasik di atas. Sistem ini merupakan campuran antara sistem
kaptalis dan sosialis.
BAB III
SISTEM EKONOMI ISLAM

III.1 Konsep Sistem Ekonomi Islam


Islam mengambil suatu kaidah terbaik antara kedua pandangan yang
ekstrim (kapitalis dan komunis) dan mencoba untuk membentuk keseimbangan di
antara keduanya (kebendaan dan rohaniah). Keberhasilan sistem ekonomi Islam
tergantung kepada sejauh mana penyesuaian yang dapat dilakukan di antara
keperluan kebendaan dan keperluan rohani / etika yang diperlukan manusia.
Sumber pedoman ekonomi Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul, yaitu dalam:
- Qs.Al-Ahzab : 72 (Manusia sebagai makhluk pengemban amanat Allah).
- Qs.Hud : 61 (Untuk memakmurkan kehidupan di bumi).
- Qs.Al-Baqarah : 30 (Tentang kedudukan terhormat sebagai khalifah di bumi).
Hal-hal yang tidak secara jelas diatur dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut
diperoleh ketentuannya dengan jalan ijtihad.

III.2 Tokoh Di Balik Sistem Ekonomi Islam


Ibnu Khaldun, nama lengkap: Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad
ibn Khaldun al-Hadrami (‫رمي‬KKKK‫دون الحض‬KKKK‫د بن خل‬KKKK‫رحمن بن محم‬KKKK‫د ال‬KKKK‫ )عب‬lahir 27
Mei 1332/732H, wafat 19 Maret 1406/808H) adalah seorang sejarawan muslim
dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri
ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal
adalah Muqaddimah (Pendahuluan).
Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi
Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu
Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia
bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori
ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih
dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi
Murad secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad :
Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun.(1962) Dalam tulisan
tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama
ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikannya pada Simposium
tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih
bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari
perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti
ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir
zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan
hukum.
Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan
negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual.
Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi
kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.
Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas,
termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum
penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal,
pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur
perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran,
dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat
dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang
menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang
mundur.
Sejalan dengan Shiddiqy Boulokia dalam tulisannya Ibn Khaldun: A
Fourteenth Century Economist”, menuturkan :
Ibnu Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi
fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia
menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan
Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu
teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan
negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn
Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu
sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah
mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…
Lafter, penasehat economi president Ronald Reagan, yang menemukan
teori Laffter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan
meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar
dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika
pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang
lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar.
S.Colosia berkata dalam bukunya, Constribution A L’Etude D’Ibnu
Khaldaun Revue Do Monde Musulman, sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-
Thahawi, mengatakan, ”Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang
kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka
pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya
sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern .(1974, hlm.477)
Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran
ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika
kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi.”[1]
Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut
sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the
greatest economist of Islam)(Shiddiqy, hlm. 260)
Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan
terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun,
khususnya dalam bidang ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertasi tentang Ibnu
Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khaldun’s Writing
dan Nasha’t menulis “al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic
Though in the Prolegomena of Ibn Khaldun).. Selain itu kita masih memiliki
kontribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun. Ini menunjukkan
kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun sebagai intelektual terkemuka yang
telah merumuskan pemikiran-pemikiran briliyan tentang ekonomi. Rosenthal
misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the Muqaddimah : An Introduction to
History, Spengler menulis buku Economic Thought of Islam: Ibn Khaldun,
Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist, Ahmad Ali
menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, Ibn al Sabil menulis Islami
ishtirakiyat fi’l Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke ma’ashi khayalat”, (Economic
Views of Ibn Khaldun), Rifa’at menulis Ma’ashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat”
(Ibn Khaldun’s Views on Economics) Somogyi menulis buku Economic Theory
in the Classical Arabic Literature, Tahawi al-iqtisad al-islami madhhaban wa
nizaman wa dirasah muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought and a
System, a Comparative Study), T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture”,
Abdul Sattar menulis buku Ibn Khaldun’s Contribution to Economic Thought” in:
Contemporary Aspects of Economic and Social Thingking in Islam.

III.3 Dasar dan Prinsip dalam Sistem Ekonomi Islam


Berikut ini adalah dasar-dasar sistem ekonomi Islam, yaitu :
1) Bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera baik di dunia dan di
akhirat,tercapainya pemuasan optimal berbagai kebutuhan baik jasmani maupun
rohani secara seimbang, baik perorangan maupun masyarakat. Dan untuk itu alat
pemuas dicapai secara optimal dengan pengorbanan tanpa pemborosan dan
kelestarian alam tetap terjaga.
2) Hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan
dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.
3) Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlentar.
4) Dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang selalu meminta,
oleh karena itu harus dinafkahkan sehingga dicapai pembagian rizki.
5) Pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat.
6) Perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang.
7) Tiada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama dan yang menjadi
ukuran perbedaan adalah prestasi kerja.

Prinsip dasar sistem ekonomi Islam sendiri secara garis besar dapat kita
jelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Kebebasan individu; Individu mempunyai hak kebebasan sepenuhnya untuk
berpendapat atau membuat suatu keputusan yang dianggap perlu dalam sebuah
negara Islam. Karena tanpa kebebasan tersebut individu muslim tidak dapat
melaksanakan kewajiban mendasar dan penting dalam menikmati kesejahteraan
dan menghindari terjadinya kekacauan dalam masyarakat.
2. Hak terhadap harta; Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta.
Walaupun begitu ia memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu tidak
merugikan ke3pentingan masyarakat umum.
3. Ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar; Islam mengakui adanya
ketidaksamaan ekonomi antara orang perorang tetapi tidakmembiarkannya
menjadi bertambah luas, ia mencoba menjadikan perbedaan tersebut dalam batas-
batas yang wajar, adil dantidak berlebihan.
4. Kesamaan sosial; Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi tetapi nia
mendukung dan menggalakkan kesamaan sosial sehingga sampai tahap bahwa
kekayaan negara yang dimiliki tidak hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu
masyarakat saja. Disamping itu amat penting setiap individu dalam sebuah negara
mempunyai peluang yang sama untuik berusaha mendapatkan berbagai aktifitas
ekonomi.
5. Jaminan sosial; Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah
negara Islam; dan setiap warga negara dijamin untuk memperoleh kebutuhan
pokoknya masing-masing. Memang menjadi tugas dan tanggung jawab utama
bagi sebuah negaranIslam untuk menjamin setiap warga negara, tanpa kecuali
muslim atau non muslim, dalam memenuhi kebutuhannya sesuai fengan prinsip
“hak untuk hidup”. Dan terdapat persamaan sepenuhnya di antara warga negara
apabila kebutuhan pokoknya telah terpenuhi.
6. Distribusi kekayaan secara meluas; Islam mencegah penumpukan kekayaan
pada kelompok kecil tertentu orang dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada
semua lapisan masyarakat.  
7. Larangan menumpuk kekayaan; Sistem ekonomi Islam melarang individu
mengumpulkaqn harta kekayaan secara berlebihan dan mengambil langkah-
langkah yang perlu untuk mencegah perbuatan yang tidak baik tersebut supaya
tidak terjadi dalam negara.
8. Kesejahteraan individu dan masyarakat; Islam mengakui kesejahteraan individu
dan kesejahteraan sosial masyarakat yang saling melengkapi satu dengan yang
lain, bukannya salig bersaing dan bertentangan antar mereka. Maka sistem
ekonomi Islam mencoba  meredakan konflik ini sehingga terwujud kemanfatan
bersama.

III.4 Strategi Politik Ekonomi islam


Sistem ekonomi Islam telah menetapkan suatu strategi politik yang harus
dilaksanakan agar pemenuhan tersebut dapat berjalan dengan baik. Secara garis
besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan
kebutuhan pokok yang berupa barang dengan kebutuhan pokok berupa jasa.
Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan
jaminan pemenuhan kebutuhan pokok antara kebutuhan yang berbentuk barang
dengan yang berbentuk jasa.
Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang Islam
memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan
menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan
tersebut. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan
mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa
pokok tersebut, antara lain :
1). Pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan).
Hukum Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan
pokok (primer) warga negara secara menyeluruh, seperti sandang, pangan dan
papan. Caranya dengan mewajibkan bekerja kepada setiap laki-laki yang
mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya
sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi
tanggungannya. Kalau orang tersebut sudah tidak mampu bekerja,
maka Islam mewajibkan kepada anak-anaknya serta ahli warisnya untuk
memenuhi kebutuhan primernya. Bahkan Islam juga mewajibkan kepada
tetangganya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan pokok tetangganya. Jika
orang-orang yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada atau tidak mampu,
baru negaralah melalui baitul mal yang wajib memenuhinya. Allah berfirman
dalam QS. Al-Jumu’ah : 10
“…Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”
2) Negara menyediakan lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu
bekerja dapat memperoleh pekerjaan.
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan,
namun ia tidak memperoleh pekerjaan sementara ia mampu bekerja dan telah
berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan
pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat
bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi
tanggung jawab negara.
Rasullah saw bersabda :
“ Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan
diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
3) Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk
bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika kepala
keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi
tanggungannya.
Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas
pekerjaan, namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga dan tidak
mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya,
maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah : 233
“ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban
demikian…”
4) Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari
Seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.
Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-
orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur
urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban
terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
pokoknya secara sempurna –baik karena mereka telah berusaha namun tidak
cukup (fakir dan miskin) ataupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat
yang tidak mampu untuk bekerja–maka negara harus menempuh berbagai cara
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Negara dapat saja memberikan nafkah
baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban Syar’iy,
dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya.
sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah : 103
“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka…”

III.5 Mekanisme Sistem Ekonomi Islam


Mekanisme ekonomi yang ditempuh Sistem Ekonomi Islam dalam rangka
mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya, adalah
dengan sejumlah cara, yakni :
1) Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab
kepemilikan (asbabu al-tamalluk) dalam kepemilikan individu (al-milkiyah al-
fardiyah).
2) Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan
kepemilikan (tanmiyatu al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
3) Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta
yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat
distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
Allah SWT berfirman dalam QS At-Taubah : 34
“ Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfakkannya
di jalan Allah, maka berilah mereka kabar gembira dengan siksaan yang pedih ”
4) Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai
kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
5) Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi
pasar. Islam melarang terjadinya monopoli terhadap produk- produk yang
merupakan jenis kepemilikan individu (private property). Sebab dengan adanya
monopoli, maka seseorang dapat menetapkan harga jual produk sekehendaknya,
sehingga dapat merugikan kebanyakan orang.
6) Larangan kegiatan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada
penguasa. Judi dan riba menyebabkan uang hanya akan bertemu dengan uang
(bukan dengan barang dan jasa), dan beredar diantara orang kaya saja. Karena
Islam melarang serta mengharamkan aktivitas tersebut.
7) Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma) hasil dari
barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara
seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi
kesejahteraan rakyat.

III.6 Berbagai Pandangan Islam

Pandangan Islam Terhadap Harta


Sesungguhnya harta adalah alat untuk tiga tujuan: tabungan (iddikhâr),
belanja (infâq), dan sirkulasi (tadâwul). Islam telah menetapkan hukum-hukum
bagi masing-masing peruntukan harta itu yang menjamin harta tetap sebagai
pelayan manusia untuk dimanfaatkan dan memberikan manfaat kepada orang lain;
bukan sebaliknya, yaitu manusia menjadi hamba dan pelayan harta yang
menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Mengenai hukum tabungan (iddikhâr), seseorang boleh menabung
mengumpulkan biaya untuk keperluannya. Namun, atas harta tabungan harus
ditunaikan zakatnya setelah berlalu satu haul dan telah mencapai nishâb zakat.
Adapun menabung hanya sekadar untuk menabung, menimbun dan
menghimpunnya saja adalah haram (QS 9: 34).
Mengenai belanja (infâq), Islam menetapkan mana pembelanjaan yang
wajib, yang sunah, mubah, makruh dan yang haram. Adapun masalah sirkulasi
(tadâwul), Islam telah mengaturnya melalui dua aspek:
1. Islam menetapkan uang dan membatasinya dengan emas dan perak, bukan
yang lain.
2. Islam menjelaskan berbagai muamalah syar’i yang sah, seperti hukum-
hukum perseroan (syirkah), akad sewa dan tenaga kerja (ijârah),
perdagangan (tijârah), pertanian, mengairi kebun (musâqah), jual-beli,
pesanan (salam), penukaran uang (sharf), wakalah, dan seterusnya. Islam
juga menetapkan bahwa industri mengikuti hukum barang yang
diproduksi.

Pandangan Islam Terhadap Uang


Islam telah menentukan emas dan perak sebagai mata uang. Islam telah
menetapkan hanya emas dan perak saja yang menjadi standar mata uang untuk
mengukur barang dan jasa. Berdasarkan asas emas dan perak berlangsung semua
bentuk muamalah. Islam menetapkan standar untuk uang emas (dinar) dan perak
(dirham): 1 dinar=4,25 gram emas murni dan 1 dirham=2,975 gram perak murni.

Pengharaman Riba Secara Keras


Nash-nash syariah telah mengharamkan riba dengan sangat keras. Nash-
nash itu bersifat qath’i ats-tsubût (pasti sumbernya) dan qath’i ad-dilâlah (pasti
pengertiannya), tidak menyisakan ruang bagi ijtihad atau penakwilan (QS 2: 275–
279).
Karena itu, sistem keuangan di negara Khilafah tidak mengenal bank dan
lembaga kredit ribawi yang sudah masyhur di dalam Kapitalisme. Ketiadaan
lembaga ribawi ini memiliki tiga dimensi dalam menjamin kehidupan
perekonomian yang aman:
1. Mengarahkan fokus masyarakat pada ekonomi produktif atau sektor riil.
2. Melindungi kaum Muslim dan ahl adz-dzimmah dari kerugian harta
mereka karena riba.
3. Tidak akan memunculkan fenomena kebangkrutan, sebagaimana terlihat
pada bank-bank kapitalis, dan menyisakan kelompok besar orang yang
kehilangan harta mereka atau rekening mereka menguap. Dengan
menghalangi sistem riba dan mengharamkannya secara keras dan tegas,
Islam telah menutup celah-celah yang memungkinkan masuknya krisis
keuangan. Dengan itu kehidupan kaum Muslim akan tetap aman, kokoh
dan kuat terhadap krisis.
Selain itu, Islam mendorong kaum Muslim untuk saling memberi utang di
antara mereka. Lebih dari itu, di antara tugas berbagai institusi (direktorat) di
negara Khilafah adalah menyediakan kredit tanpa riba dalam sektor pertanian,
perdagangan dan industri, dalam kerangka program negara untuk
mengembangkan perekonomian dan menjalankan berbagai kebijakannya untuk
memerangi kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja dan menjamin
produksi barang.

Distribusi dan Kepemilikan Harta


Hukum-hukum distribusi harta dalam Islam mencakup sebuah pemahaman
yang unik, yaitu kepemilikan umum. Islam menetapkan kepemilikan dalam negara
Khilafah ada tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan
kepemilikan negara. Negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga
jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Kepemilikan umum mencakup:
1. Harta yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara individu,
seperti sungai, danau, laut, dsb.
2. Apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti jalan, masjid, dsb;
termasuk yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:

ِ َّ‫ َوالن‬،َ‫أل‬
‫ار‬ ِ ‫ َو ْال َك‬،‫ فِ ْي ْال َما ِء‬:‫ث‬
ٍ َ‫ن ُش َر َكا ٌء فِ ْي ثَال‬Kَ ‫اَ ْل ُم ْسلِ ُم ْو‬
Kaum Muslim berserikat dalam tiga jenis harta: air, padang gembalaan dan api.
Termasuk dalam cakupan pengertian api adalah seluruh jenis energi yang
digunakan sebagai bahan bakar bagi industri, mesin, dan transportasi. Demikian
pula industri gas yang digunakan sebagai bahan bakar dan industri batubara.
Semua itu adalah kepemilikan umum.
3. Barang tambang yang depositnya banyak dan tidak terputus; baik yang
berbentuk padat, cair maupun gas; baik tambang dipermukaan maupun di dalam
perut bumi. Semuanya merupakan kepemilikan umum.
Negara Khilafah adalah pihak yang mengelola berbagai kekayaan itu baik
dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun pendistribusiannya. Negara Khilafah-lah
yang menjamin hak setiap rakyat untuk menikmati haknya dalam kepemilikan
umum tersebut. Negara Khilafah mendistribusikan hasil bersihnya, setelah
dikurangi biaya-biaya, dalam bentuk zatnya dan atau dalam bentuk pelayanan
kepada semua warga negara.
Adapun kepemilikan negara ada pada harta yang hak pengelolaannya
berada di tangan Khalifah sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, seperti harta
fai’, kharâj serta harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan semisalnya,
dengan syarat syariah memang tidak menentukan arah pengelolaannya. Khalifah
mengelola kepemilikan negara sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya dalam
berbagai urusan negara dan rakyat. Misal: untuk menciptakan keseimbangan
finansial di tengah masyarakat sehingga harta itu tidak hanya beredar di tangan
orang-orang kaya saja (QS 59: 7). Khalifah boleh memberikan harta itu kepada
orang miskin saja dan tidak memberikannya kepada orang kaya. Hal itu seperti
yang pernah dilakukan Rasulullah dalam pembagian fai’ Bani Nadhir.
Sementara itu, kepemilikan individu adalah harta yang pengelolaannya
diserahkan kepada individu, pada selain harta milik umum. Kepemilikan individu
itu terlindungi. Negara tidak boleh melanggarnya. Tidak ada seorang pun yang
boleh merampasnya, termasuk negara sekalipun. Nasionalisasi, yaitu penguasaan
negara terhadap kepemilikan individu, merupakan bentuk perampasan dan
merupakan dosa besar.

Bursa dan pandangan Islam Terhadapnya


Pasar modal dan bursa berjangka komoditas dalam sistem Kapitalisme
berperan penting seperti riba dalam mengkonsentrasikan kekayaan pada tangan
segelintir orang. Lebih dari itu, bursa juga menghalangi sirkulasi harta di sektor
riil, dan mengubahnya menjadi per-ekonomian angka dan kertas (ekonomi non-
riil).
Dalam pandangan Islam, pasar jual beli harus diatur dengan hukum
syariah yang menjamin tidak adanya konflik dan tidak adanya aktivitas memakan
harta dengan jalan yang batil. Di antara hukum-hukum itu adalah:
1. Melarang penjualan barang yang belum dimiliki oleh penjual dan belum
berada di bawah kuasanya seperti yang terjadi dalam bursa berjangka
komoditas.
2. Melarang tanâjusy atau spekulasi, yaitu menaikkan tawaran bukan untuk
membeli, tetapi hanya untuk menaikkan harga jual.
3. Melarang jual-beli enam jenis komoditas ribawi (emas dan perak
[termasuk uang], gandum, jewawut, kurma, dan garam) tanpa serah-terima
secara langsung dalam jual-beli antar jenis yang berbeda; dan tanpa serah-
terima langsung dan kesamaan jumlah dalam jual pada jenis yang sama.
4. Melarang sirkulasi saham karena perseroan terbatas (PT) dan sahamnya
adalah batil (tidak sah). Saham itu merupakan surat berharga yang
mengandung campuran antara sejumlah modal yang halal dan keuntungan
yang haram, dalam satu akad yang batil dan muamalah yang batil, tanpa
bisa dibedakan antara harta yang halal dan yang haram. Syariah Islam juga
melarang sirkulasi dan jual-beli obligasi (bonds). Sebab, obligasi
merupakan surat utang yang diinvestasikan dengan riba. Apalagi ada
keharaman jual-beli utang dengan utang. Sirkulasi dan jual beli seluruh
surat berharga ribawi juga dilarang.
Walhasil, pasar jual-beli dalam Islam merealisasikan perdagangan yang
halal, aman serta bebas dari krisis, konflik, spekulasi, gambling, dan penipuan.
Pasar dalam Islam merupakan pasar yang bersih yang senantiasa memperhatikan
hukum-hukum syariah dalam sirkulasi harta.
BAB IV

EKONOMI ISLAM DAN TANTANGAN KAPITALISME

IV.1 Perbedaan Antara Sistem Ekonomi Islam Dengan Sistem Ekonomi Yang
Lain
Asumsi dasar dalam interaksi kegiatan ekonomi yang diberlakukan dalam
sistem ekonomi Islam asumsi dasarnya adalah syari’ah Islam, diberlakukan secara
menyeluruh baik terhadap individu, keluarga, kelompok masyarakat, usahawan
maupun penguasa/pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk
keperluan jasmaniah maupun rohaniah. Prinsip ekonomi Islam adalah penerapan
asas efisiensi dan manfaat dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan
alam.Motif ekonomi Islam adalah mencari keberuntungan di dunia dan di akhirat
selaku khalifatullah dengan jalan beribadah dalam arti yang luas.
Berbicara tentang sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis tidak bisa
dilepaskan dari perbedaan pendapat mengenai halal-haramnya bunga yang oleh
sebagian ulama dianggap sebagai riba yang diharamkan oleh al-Qur’an.
Manfaat uang dalam berbagai fungsi baik sebagai alat penukar, alat penyimpan
kekayaan dan pendukung peralihan dari sistem barter ke sistem perekonomian
uang, oleh para penulis Islam telah diakui, tetapi riba mereka sepakati sebagai
konsep yang harus dihindari dalam perekonomian.
Sistem bunga dalam perbankan (rente stelsel) mulai diyakini oleh sebagian
ahli sebagai faktor yang mengakibatkan semakin buruknya situasi perekonomian
dan sistem bunga sebagai faktor penggerak investasi dan tabungan dalam
perekonomian Indonesia, sudah teruji bukan satu-satunya cara terbaik mengatasi
lemahnya ekonomi rakyat.
Larangan riba dalam Islam bertujuan membina suatu bangunan ekonomi
yang menetapkan bahwa modal itu tidak dapat bekerja dengan sendirinya, dan
tidak ada keuntungan bagi modal tanpa kerja dan tanpa penempatan diri pada
resiko sama sekali. Karena itu Islam secara tegas menyatakan perang terhadap
riba dan ummat Islam wajib meninggalkannya (Qs.al-Baqarah:278), akan tetapi
Islam menghalalkan mencari keuntungan lewat perniagaan (Qs.83:1-6).
Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba
adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta
riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir,
membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya
disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya
dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar
dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)”
(HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah
SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa
orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279). Jika pada
awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum
Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari
ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari
Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil
maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari
Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah
SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba
(bunga) bank:
“Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba; padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya
lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
(dipungut) pada waktu dulu (sebelum datangnya larang ini) dan urusannya
(terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya” (QS Al Baqarah : 275).

Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata :


“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya,
maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk
menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel,
maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.

Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata :


“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer)
adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan
ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang
adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar
orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut
menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi”.

Apa sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan bahwa


definisi riba adalah : “Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari
salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang, dan atau waktu,
tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut”. Definisi ini
kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada
pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), maupun riba yang
ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari
pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya,
dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya
banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda
namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam
menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui
penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa
suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan
(bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau
telah diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman
sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan
ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin.
Sabda Rasulullah saw:
“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari
macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai)
ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid
II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).
Juga sabda Rasulullah saw:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di
antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang
(berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR
Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu
Hurairah).
Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba
adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa
jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan
pada ayat 275 surat Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya
mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun tersembunyi,
sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif.

You might also like