You are on page 1of 101

BAB I : PENGERTIAN HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Pegertian Hukum Kewarisan lslam


Hukum kewarisan yang berlaku di indonesia pada umumnya
belum merupakan satu kesatuan hukum sehingga dalam hal mewaris
terdapat banyak hukum yang mengaturnya, salah satunya adalah
Hukum Kewarisan Islam.
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berupa
bagiannya masing-masing (Pasal 171 KHI). Berdasarkan Surat Edaran
Mahakamah Agung Nomor 2 Tahun 1994, maksud Pasal tersebut
ialah; ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian.
Menurut M. Idris Ramuyo, SH., hukum kewarisan ialah himpunan
aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang
berhak mewarisi harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan
harta peninggalan.
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seorang
yang telah meninggal kepada yang masih hidup (Syarifuddin, 2004: :
5). Dalam literatur hukum Islam dijumpai beberapa istilah yang
menamai Hukum Kewarisan Islam Seperti Faraid, Fikih Mawaris dan
Hukm.
Hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Kewarisan Islam dalam
KHI Pasal 171 adalah :
1. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalkannya atau
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
2. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
menjadi ahli waris.
3. Harta peninggalan adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz)
pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
4. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang
lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia.
5. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
6. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkat
berdasarkan putusan Pengadilan.
7. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.
B. Pengertian Faraid
Secara etimologi kata “Faraid” dalam sebutan jama’ dari
“faridhah” dengan makna maf’ul (objek), yang berarti sesuatu yang
ditentukan jumlahnya. Menurut istilah disebutkan “hak-hak kewarisan
yang dijumlahkannya telah ditentukan secara pasti dalam al-Qur’an dan
sunnah Nabi”.
Hak-hak ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya
dinyatakan dalam jumlah atau bagian tertentu dengan angka yang pasti,
yang dinyatakan dalam al-Qur’an, sebagai sumber utama Hukum
Kewarisan Islam. Para ulama menamakan hukum tentang pembagian
warisan dengan faraid karena menurut angka yang pasti biasanya
disebut dalm kitab-kitab dengan “faridhah” dengan bentuk jama’
“Faraid”. Bila ahli waris tidak termasuk dalam angka tersebut maka
jumlah mereka tidaklah banyak.
BAB II : SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Sumber Hukum Kewarisan Islam dalam Al-Qur’an


Sumber hukum diartikan sebagai sebab mengapa berlakunya hukum
yang bersangkutan secara mengikat, maksudnya adalah dasar hukum
yang mengikat dan berlaku, yang biasa disebut sebagai sumber hukum
dalam arti materiil, sedangkan sumber hukum dalam arti formal
diartikan sebagai tempat ditemukannya hukum.
Sumber hukum yang utama dari hukum Islam yang terdapat dalan
Al-Qur’an, sebagai hukum agama (Islam) yang mengatur tentang hukum
kewarisan terdapat dalam :
1. QS. An-nisa (4):7, yang artinya ”Bagi laki-laki ada hak bagian harta

peninggalan ibu bapak dan karib kerabat; dan bagi perempuan ada
hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
2. Q.S. An-nisa (4):8, yang artinya “Dan apabila sewaktu pembagian

itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik”.
3. Q.S. An-nisa (4):9, yang artinya “Dan hendaklah takut kepada Allah

orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka


anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar”.
4. Q.S. An-nisa (4):10, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang

yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka


itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala”
5. Q.S. An-nisa (4):11, yang artinya “Allah mensyari’atkan bagimu

tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian


seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu samuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua sepertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak ada
meninggalkan anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sudah dibayar utangnya. Tentang orang-orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak manfaatnya bagimu) ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana”.
6. Q.S. An-nisa (4):12, yang artinya “Dan bagimu (suami-suami)

seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika


meninggalkan anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak-anak
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu ada
mempunyai anak maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seorang
mati, baik laki-laki meupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meniggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu
saja), maka bagi masing-masing di antara saudara itu saperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuatnya atau (dan) sesudah dibayar utangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahliwaris) (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar
dari Allah; dan Allah Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
7. Q.S. An-nisa (4):13, yang artinya “(Hukum-hukum tersebut) itu

adalah ketentuan-ketentuan dari Allah; barang siapa taat kepada


Allah dan rasulnya-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedangkan mereka
kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar”.
8. Q.S. An-nisa (4):14, yang artinya “Dan barang siapa yang

mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-


ketentuannya, siscaya Allah memasukannya ke dalam neraka
sedangkan ia kekal di dalamnya; baginya siksa yang
menghinakan”.
9. Q.S. An-nisa (4):33, yang artinya “Bagi masing-masing kami

jadikan mawali terhadap apa yang ditinggalkan oleh ibu-bapak


dan karib kerabat; dan jika ada orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
10. Q.S. An-nisa (4):176, yang artinya “Mereka meminta fatwa

kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memfatwakan


kepadamu tentang kalalah yaitu jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai seorang saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya; dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang laki-laki sebanyak bagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”.
11. Q.S. al-Anfal (8):75, yang artinya “...............Orang-orang yang

mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak


terhadap sesamanya (dari yang bukan kerabat) di dalam kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

B. Sumber Hukum Kewarisan Islam dalam Hadits


Dalam Hadits yang memuat masalah kewarisan antara lain
(Syarifuddin, 2004 : 11-16) :
1. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari dalam al-

Bukhari, shahih al-Bukhariy IV , yang artinya :


“ Berikanlah Faraid (bagian-bagian yang ditentukan itu kepada
yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari
keturunan laki-laki yang terdekat”
2. Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Dawud, al-Tirmizi, Ibnu

Majah dan Ahmad, yang artinya:


“Dari Jabir bin Abdullah berkata : Janda Sa’ad datang kepada
Rasul Allah SAW. Bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia
berkata “Ya Rasul Allah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang
telah gugur secara syahid bersamamu di Perang Uhud. Paman
mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak
memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawan
tanpa harta.” Nabi berkata: “Allah akan menetapkan hukum dalam
kejadian ini.” Kemudian turun ayat-ayat tentang kewarisan. Nabi
memanggil si paman dan berkata : “Berikan dua pertiga untuk dua
orang anak Sa’ad, sepedelapan untuk isteri Sa’ad dan selebihnya
ambil untukmu.”
3. Hadits dari Surahbil menurut riwayat kelompok Hadits selain Muslim

yang artinya:
“ Dari Huzail bin Surahbil berkata: Abu Musa ditanya tentang kasus
kewarisan seorang anak perempuan dari anak laki-laki dan seorang
saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan
setengah, untuk saudara peremuan satengah. Datanglah kepada
Ibnu Mas’ud, tertentu dia akan mengatakan seperti itu pula.”
Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan dia menjawab:
“Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi
SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan
seperenam, sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara
perempuan.”
4. Hadits Nabi dari ‘Umran bin Husein menurut riwayat Ahmad, yang

artinya :
“Dari ‘Umran bin Husein bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi
sambil berkata: “Bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal
dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya.” Nabi berkata:
“Kamu mendapat seperenam.”
5. Hadits Nabi dari Qubaishah bin Zueb menurut lima perawi hadits

selain al-Nisa, yang artinya :


“Dari Qubaishahbin Zueb yang berkata: seseorang nenek
mendatangi Abu Bakar yang meminta warisan dari cucunya. Berkata
kepadanya Abu Bakar: “saya tidak menemukan suatu untukmu
dalam Kitab Allah dan saya tidak mengetahui ada hakmu dalam
sunnah Nabi. Kembalilah dulu, nanti saya akan bertanya kepada
orang lain tentang hal ini.: Mugirah bin Syu’bah berkata: “Saya
pernah menghadiri Nabi yang memberikan hak nenek sebanyak
seperenam.” Berkata Abu Bakar: Apakah ada orang lain selain
kamu yang mengetahuinya.” Muhammad bin Masalah berdiri dan
berkata seperti yang dikatakan Mughirah. Maka akhirnya Abu Bakar
memberikan hak warisan nenek itu.”
6. Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhary,
Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi san Ibnu Majah, yang artinya :
“Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah Meridhainya) bahwa Nabi
SAW. Bersabda: “Seorang muslim tidak mewarisi non-muslim dan
non-muslim tidak mewarisi seorang muslim.”
7. Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Dawud dan

Ibnu Majah, yang artinya :


“Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
“Pembunuh tidak boleh mewarisi.”
8. Hadits Nabi dari Sa’ad bin Abi Waqqash menurut riwayar al-

bukhary, yang artinya :


“Dari Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: “Saya pernah sakit di
Makkah, sakit yang membawa kematian. Saya dikunjungi oleh Nabi
SAW. Saya berkata kepada nabi: “Ya Rasul Allah, saya memiliki
harta yang banyak, tidak ada yang akan mewarisi harta kecuali
seorang anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua
pertiganya.” Jawab Nabi: “Tidak.” Saya berkata lagi: “Bagaimana
kalau separuhnya ya Rasul Allah?” Jawab Nabi: “Tidak.” Saya
berkata lagi: Sepertiga?”Nabi berkata lagi: “Sepertiga itu sudah
banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan keluargamu
berkecukupan lebih baik dari meninggalkannya berkekurangan,
sampai-sampai meminta kepada orang.”
9. Hadits Nabi dari Ibnu ‘Amir al-Husain menurut riwayat Abu Dawud,

al-Tirmizi dan Ibnu Majah, yang artinya :


“Dari Amir bin Muslim dari Thawus, dari ‘Aisyah yang berkata:
bersabda Rasul Allah: “Saudara laki-laki ibu menjadi ahli waris
bagi yang tidak ada ahli warisnya.”
10. Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhari dan

Muslim, yang artinya :


“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW. yang berkata:
“Saya adalah lebih utama bagi seorang muslim dari diri mereka
sendiri. Siapa-siapa yang meninggal dan mempunyai utang dan tidak
meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan
melunasinya. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka harta
itu untuk ahli warisnya.”
11. Hadits Nabi dari Jabir bi Abdullah menurut riwayat Ibnu Majah, yang

artinya :
“Dari Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah berkata
keduanya berkata Rasul Allah SAW.: “Seorang bayi tidak berhak
menerima warisan kecuali ia lahir dalam keadaan bergerak dengan
jeritan. Gerakannya diketahui dari tangisan, teriakan dan bersin.”
C. Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam dalam Ijtihad
Ijithad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga, dimana yang
dimaksud dengan ijtihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dan
sekuat tenaga untuk mencari dan menemukan hukum baru terhadap
masalah yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, Ketentuan-
ketentuan hukum bidang kewarisan Islam yang bersumber dari Ijtihad,
yaitu :
1. Kewarisan cucu
Kewarisan cucu tidak kita temukan dalam al-Qur’an maupun
Hadits sehingga para ulama mujtahid menetapkan ketentan
warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata walad yang berarti
anak dalam Q.S. an-Nisa ayat 11, yaitu bukan hanya anak yang
dilahirkan tapi juga termasuk keturunan kebawah (cucu). (Hazairin,
1990 : 28)
2. Kewarisan anak saudara
Kewarisan anak saudara (kemenakan) sama sekali tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan Hadits sehingga para mujtahid menetapkan
ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian akhun
(saudara) yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa ayat 176, yaitu bukan
hanya saudara kandung atau seayah, juga keturunannya. (Hazairin,
1990 : 36)
3. kewarisan paman
Ketentuan kewarisan paman tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadits sehingga para mujtahid menetapkan ketentuan warisannya
berdasarkan perluasan pengertian kata kakek dan nenek yang terdapat
dalam Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek
dan nenek dilakukan dengan memasukkan keturunannya kebawah.
(Hazairin, 1990 : 102. Zainuddin Ali, 1995 : 49)
BAB III: ASAS – ASAS DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Asas Ijbari
Kata “Ijbari” secara leksibel mengandung arti paksaan
(compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.
Pengertian “wali mujbir” dalam terminologi fikih munakahat
(perkawinan) mengandung arti, bahwa wali dapat mengawinkan anak
gadisnya di luar kehendak anak gadisnya itu tanpa memerlukan
persetujuan dari anak yang akan dikawinkan itu. Begitu pula kata jabari
dalam terminologi ilmu kalam yang juga mengandung arti paksaan, yang
berarti semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, buka atas
kehendak dari hamba tersebut tetapi karena kehendak dan kekuasaan
Allah, seperti yang berlaku menurut aliran hukum kalam jabariyah.
(Syarifuddin, 2004 : 17)
Berlakunya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam, berarti
bahwa peralihan harta dari seorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa
harus tergantung kepada kehendak pewaris atau permintaan ahli waris.
Unsur paksaan dari asas ijbari terlihat dari keharusan ahli waris
untuk menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirnya sesuai
dengan bagian yang telah ditentukan, berbeda dengan hukum kewarisan
pada BW, dimana peralihan hak waris tergantung pada kemauan pewaris
serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima dan tidak
berlaku dengan sendirinya.
Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa sebelum meninggal
ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut, dengan alasan apapun
sedangkan kamauan pewaris terhadap harta hanya dibatasi oleh
ketentuan Allah.
Asas ijbari dalam Hukum Waris Islam tidak akan memberatkan
orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan Hukum
Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan
tidak berkewajiban memikul hutang yang ditinggalkan oleh pewaris.
Keawajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris
dengan harta yang ditinggalkan oleh pewaris dan tidak berkewajiban
melunasi utang itu dengan hartanya sendiri, sedangkan dalam BW
diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan, karena
menerima akan menanggung resiko untuk melunasi utang pewaris.
Adanya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat
dari beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta
yang beralih, dari segi kepada siapa harta itu beralih.
Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa
mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudang ditentukan secara
pasti sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat
mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan
orang yang berhak. Adanya unsur ijbari dalam ayat-ayat 11, 12, dan 176
dalam surat an-Nisa.
B. Asas Bilateral
Asas ini berarti bahwa ahli waris menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak
kerabat keturunan perempuan, Asas ini terdapat dalam al-Qur’an surat
an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang
anak laki-laki berhak untuk mendapatkan warisan dari pihak ayah dan
ibunya, dimana ayat ini merupakan dasar dari kewarisan bilateral. Dalam
ayat 11, dinyatakan bahwa anak perempuan berhak menerima warisan
dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki
dengan bandingan seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang
didapat dua orang anak perempuan, seorang ibu juga berhak
mendapatkan warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.
Juga ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari
anak-anaknya, baik laki-laki, maupun perempuan sebesar seperenam
bagian, bila pewaris meninggalkan anak. Dalam ayat 12 dinyatakan
bahwa apabila seorang laki-laki yang tidak memiliki pewaris langsung
(anak/ayah) maka saudara laki-laki dan atau perempuannya berhak
menerima bagian dari harta tersebut, juga apabila pewaris seorang
perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka
saudara laki-laki dan atau perempuan berhak menerima harta tersebut.
Dalam pasal 176 menyatakan bahwa terhadap seorang laki-laki yang
tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan ia
mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudaranya itu
berhak menerima warisannya, juga seorang perempuan yang tidak
mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan dia
mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan, maka saudara-
saudaranya berhak mendapatkan warisannya.
Kekerabatan bilateral ini berlaku juga untuk kerabat menurut garis
ke samping, ke bawah maupun keatas. (Syarifuddin, 2004 : 19 - 21)

C. Asas Individual
Asas ini berarti bahwa harta warisan dapat dibagi kepada masing-
masing ahli waris untuk kemudian dimiliki secara perorangan, asas ini
dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176.
Pembagian warisan secara individu bersifat mengikat dan wajib
dijalankan oleh setiap muslim, dimana pelanggaran atas asas ini akan
mendapat sangksi berat dari Allah SWT. yang tertuang dalam surat an-
Nisa ayat 13, dan 14 yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dengan terlaksananya asas individu dalam Hukum Kewarisan Islam
ini, maka setiap ahli waris berhak untuk bertindak atas harta yang
diperolehnya, apabila para ahli waris telah mempunyai kemampuan
untuk itu, apabila ahli waris belum memiliki belum memiliki
kemampuan untuk itu maka diangkat wali untuk mengurus hartanya
menurut ketentuan perwalian, dimana wali tersebut bertanggung jawab
mengurus harta ahli waris yang belum mampu mengurus harta tersebut,
dan akan segera mengembalikan harta itu apabila pemiliknya telah
mampu bertindak sepenuhnya terhadap harta miliknya tersebut.
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan
kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai
kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang di
dalam Ushul Fikih disebut “ahliyat al-wujub”.Dengan pengertian ini
setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu
dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian (Syarifuddin, 2004 : 21-
23).
Apabila diperhatikan dengan seksama, maka dapat kita temukan
dua sisi dimana sisi pertama ada ahli waris yang berhak secara penuh
atas harta yang diwarisinya, dan dilain sisi terdapat ahli waris yang
belum cukup umur untuk menggunakan harta warisannya, dimana ahli
waris yang sudah berhak menggunakan warisannya dapat memberikan
warisannya itu kepada siapun yang diingikan termasuk kepada ahli waris
yang belum dewasa, namun sifat individu harus tetap dipertahankan
dengan mengadakan perhitungan terhadap bagian masing-masing ahli
waris. Seperti yang telah dinyatakan oleh Allah SWT. dalam surat an-
Nisa ayat 2, yang artinya :
................................................, dimana warisan ahli waris yang belum
dewasa akan dipelihara dan dijaga hartanya hingga ia dewasa dan cakap
untuk menggunakannya. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa
pewarisan secara kolektif tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena
dikahawatirkan hal tersebut akan memakan hak anak yatim yang
terdapat dalam harta tersebut. (Syarifuddin, 2004 : 21-23).

D. Asas Keadilan Berimbang


Kata adil berasal dari bahasa Indonesia yang berasal dari kata
al-‘adlu yang dalam al-Qur’an disebutkan lebih dari 28 kali, kata adil
dalam kaitannya dengan hak yang menyangkut warisan dapat diartikan
sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan kegunaannya. (Syarifuddin,
2004 : 24)
Yang dimaksudkan dengan keseimbangan dalam kewarisan adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
Tentang jumlah yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat
dua bentuk :
1. Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan;

seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan


pewaris meninggalkan anak kandung, sebagaimana yang dinyatakan
dalam ayat 11 surat an-Nisa. Begitu pula saudara laki dan saudara
perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam kasus pewaris
adalah seorang yang tidak memiliki ahli waris langsung sebagaimana
tersebut dalam ayat 12 surat an-Nisa.
2. Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari

yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak-
anak laki-laki dengan anak perempuaan dalam ayat 11 dan saudara
laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat 176. Dalam kasus yang
terpisah duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh oleh janda
yaitu setengah banding seperempat bila pewaris tidak meninggalkan
anak; dan seperenam banding seperdelapan bila pewaris
meninggalkan anak sebagaimana tersebut dalam ayat 12 surat an-
Nisa.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak,
memang ada ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak
adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan
jumlah yang di dapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan
kepada kegunaan dan kebutuhan, dimana laki-laki membutuhkan materi
yang lebih banyak jika dibandingkan dengan wanita, karena laki-laki
mempunyai kewajiban ganda terhadap dirinya dan keluarganya seperti
yang tertuang dalam surat an-Nisa ayat 34, yang telah dijelaskan
sebelumnya. Dan apabila kita hubungkan jumlah yang diterima dengan
kewajiban dan tanggung jawab laki-laki terhadap keluarganya, maka
akan bisa dirasakan oleh pihak wanita kalau manfaat yang diterimanya
sama dengan manfaat yang dirasa pihak laki-laki.
Tanggung jawab pihak laki-laki terhadap kelurganya merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi, seperti yang termuat dalam surat al-
Baqarah ayat 233. yang artinya :
“ .....................dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian untuk
para ibu dan anak-anak secara yang makruf.”
Begitu pula dengan kewajiban untuk membantu kerabat, seperti
yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 215, yang artinya :
“ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan;
jawablah : “apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak dan karib kerabat..........”
Dari ayat tersebut di atas maka seorang anak berhak menerima warisan
lebih banyak dari apa yang diterima orang tua kepada anaknya, hal
tersebut merupakan sesuatu yang adil karena merupakan tanggung jawab
orang tua untuk menyantuni anaknya, begitu pula ketika orang tua
meninggal dunia. (Syarifuddin, 2004 : 24-27)

E. Asas Semata Akibat Kematian


Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seorang kepada
orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah
yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta
seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris
selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala
bentuk peralihan harta seorang yang masih hidup baik secara langsung,
maupun terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk ke dalam istilah
kewarisan menurut Hukum Islam. (Syarifuddin, 2004 : 28)
Asas semata akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan
asas ijbari yang disebutkan sebelumnya. Pada dasarnya seseorang yang
memenuhi syarat sebagai subyek hukum dapat menggunakan hartanya
secara penuh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara penuh, tetapi
setelah meninggal dunia ia tidak lagi dapat melakukannya.
Asas semata akibat kematian ini dapat ditemukan penggunaannya
dalam kata-kata “waratsa”, yang banyak terdapat dalam al-Qur’an,
terutama dalam ayat-ayat kewarisan. Dan keseluruhan pemakaian kata-
kata tersebut dapat diketahui bahwa peralihan harta berlaku setelah yang
mempunyai harta itu meninggal dunia. (Syarifuddin, 2004 : 28 - 29)
BAB IV : HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEWARISAN

A. Sebab-Sebab Terjadinya Kewarisan


Menurut Hukum Kewarisan Islam, ada dua hal yang menyebabkan
seseorang dapat menjadi ahli waris, sebab terjadinya itu adalah :
1. Hubungan kekerabatan
Hubungan kekeluargaan ditentukan oleh adanya hubungan
darah, yang dapat diketahui pada peristiwa kelahiran, dimana ibu
yang melahirkan seorang anak pasti mempunyai hubungan kerabat
dengan anak-anak yang dilahirkan, dan hal tersebut tidak dapat
diingkari oleh siapa pun juga. Hubungan kekerabatan juga dapat
ditemukan dengan mencari laki-laki yang menyebabkan ibu
melahirkan, yang dapat dibuktikan dengan perkawinan yang sah
menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.
Selain hubungan ibu dengan anaknya dan ayah dengan anaknya,
ada pula hubungan kekeluargaan dengan garis keatas, yaitu kakek
dan nenek, selain itu juga ada hubungan kekerabatan kesamping yaitu
kepada saudara dan keturunannya.Syarifuddin, 2004 : 40-41.
Zainuddin Ali,
2. Hubungan Perkawinan
Dalam hukum Islam perkawinan adalah hubungan yang
diakibatkan karena perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan
Islam
Syarat-syarat Kewarisan
Terdapat 3 (tiga) syarat pokok terjadinya kewarisan, yaitu :
1. Pewaris telah meninggal dunia (Ibid, hal 52)
Meninggalnya pewaris menyebabkan harta peninggalannya
beralih kepada ahli warisnya dalam bentuk kewarisan yang telah
ditentukan, dimana juga ditentukan penyelesaian tentang harta
peninggalan terhadap utang piutang pewaris kepada pihak lain.
2. Ahli waris masih hidup ketika pewaris meninggal dunia
Ahli waris adalah orang yang berhak atas warisan yang
ditinggalkan pewaris karena hubungan darah atau hubungan
kekerabatan, dimana pewaris harus benar-benar masih hidup ketika
pewaris meninggal dunia.(Zainuddin Ali, 1995 : 93)

C. Penghalang – Penghalang Kewarisan


Dalam hubungannya dengan hukum kewarisan, yang menjadi
penghalang ditetapkan hukumnya, yaitu pembunuhan yang dilakukan
oleh ahli waris terhadap pewaris dan perbedaan agama antara pewaris
dengan ahli waris. Terhalangnya seseorang menerima hak kewarisan
disebut “terhalang secara hukum”
1. Pembunuhan
Pembunuhan yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan
hak waris dari orang yang dibunuhnya. Hal ini didasarkan kepada
hadits Nabi yang artinya: “Pembunuh tidak boleh mewarisi”. Karena
pembunuhan itu mencabut hak seseorang atas warisan, perlu
dijelaskan bentuk-bentuk pembunuhan dan cara-cara pembunuhan
yang menjadi penghalang itu. Hal ini menghendaki penjelasan
pendahuluan tentang bentuk dan cara pembunuhan secara umum.
Pembunuhan merupakan kejahatan yang dilarang keras oleh
agama, namun ada pembunuhan yeng menyebabkan pelakunya tidak
berdosa. Pembunuhan dapat dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu :
b. Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu

pembunuhan yang pelakunya tidak dinyatakan pelaku kejahatan


atau berdosa. Termasuk dalam kategori pembunuhan seperti ini
adalah :
• pembunuhan terhadap musuh dalam medan perang
• pembunuhan dalam pelaksanaan hukuman mati.
• Pembunuhan dalam membela jiwa, harta dan kehormatan.
c. Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu

pembunuhan yang dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya


dikenakan sanksi dunia dan atau akhirat. Pembunuhan seperti
inilah yang disebut suatu kejahatan.
2. Berbeda Agama
Maksud dari pernyataan ini adalah orang yang berbeda agama
tidak saling mewarisi, artinya seseorang muslim tidak mewarisi non
muslim, begitu pula sebaliknya.
Dasar dari halangan ini adalah Hadits Nabi dari Usamah bin
Zaid munurut riwayat al-Bukhari dan Muslim yang maksudnya:
“Seseorang yang non muslim tidak mewarisi seseorang muslim dan
muslim tidak mewarisi non muslim”.
Petunjuk pasti dalam al-Qur’an tentang hak kewarisan antara
orang berbeda agama memang tidak ada, tetapi hubungan perkawinan
antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim ahli kitab
terdapat penjelasannya dalam al-Qur’an yaitu pada QS. Al-Maidah
ayat 5, yang artinya : “................... dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari
wanita-wanita ahli kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
maskawin mereka..............)

D. Hak-hak Yang Berhubungan dengan Harta Peninggalan


Ahli waris dalam adalah orang yang berhak menerima warisan
karena hubungan kekerabatan atau hubungan kewarisan dengan pewaris,
namun sebelum mereka dapat menerima warisan mereka harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Ahli waris masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.
2. Tidak memiliki hal-hal yang dapat menghalanginya secara
hukum untuk menerima warisan.
3. Tidak tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.
Sebelum melaksanakan pembagain warisan harus diselesaikan
dahulu beberapa hak yang berkaitan dengan harta peninggalan tersebut,
yaitu : (Hasan, 1981 : 10-11)
1. Zakat : apabila telah ada waktunya untuk mengeluarkan zakat, maka
dikeluarkan untuk itu terlebih dahulu.
2. Belanja : yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan dan
pengurusan mayat, seperti harga kafan, upah menggali kuburan dan
sebagainya.
3. Hutang : jika mayat itu meninggalkan hutang, maka hutangnya itu

harus dibayar terlebih dahulu.


4. Wasiat, jika mayat meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagian dari

harta peninggalannya diberikan kepada seseorang, maka wasiat


inipun harus dilaksanakan. Sesuai dengan firman Allah SWT. dalam
Q.S. an-Nisa ayat 11, yang artinya :
“ (Pembagian harta warisan itu dilaksanakan) sesudah
dikeluarkan wasiat yang diwasiatkan dan sesudah dibayar
hutang”
Wasiat tidak dibolehkan kepada ahli waris karena ahli waris
akan mendapat bagian warisan dari pewaris, kecuali wasiat tersebut
disepakati oleh ahli waris yang lain. Berdasarkan Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh ahli Hadits selain an-Nisa), yang artinya :
“ Diriwayatkan dari Abu Umamah, beliau berkata : saya telah
mendengar Nabi SAW. bersabda : “sesungguhnya Allah SWT.
telah menentukan hak tiap-tiap orang yang mempunyai hak (ahli
waris), maka oleh sebab itu tidak dibenarkan lagi berwasiat
kepada ahli waris.”
Wasiat diperbolehkan oleh agama asal tidak melebihi 1/3 dari
harta peninggalan, sesuai dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim, yang artinya :
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Alangkah
baiknyam jika manusia itu mengurangi wasiatnya dari sepertiga
menjadi seperempat. Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda :
“(wasiat itu) sepertiga , sedangkan sepertiga itupun sudah
banyak.”
Dalam menetukan bentuk hak yang mungkin dijadikan harta
warisan menurut perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Yusuf
Musa mencoba membagi hak tersebut kepada beberapa bentuk sebagai
berikut : (Syarifuddin, Op., Cit hal 209)
1. Hak kebendaan ; yang dari segi haknya tidak dalam bentuk
benda/harta tetapi karena hubungannya yang kuat dengan harta
dinilai sebagai harta; seperti hak melewati jalan umum atau hak
pengairan.
2. Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut pribadi si meninggal seperti

hak mencabut pemberian kepada seseorang.


3. Hak-hak kebendaan tetapi menyangkut dengan kehendak si mayit,

seperti hak khiyar (pilihan untnuk melangsungkan atau membatalkan


sebuah transaksi).
4. Hak-hak bukan bentuk benda dan menyangkut pribadi seseorang
seperti hak ibu untuk menyusui anaknya.
Diantara hak-hak di atas ada yang dapat diwariskan, antara lain :
(Ibid, hal : 210)
1. Hak-hak yang oleh ulama disepakati dapat diwariskan, yaitu hak-hak

kebendaan yang dapat dinilai dengan harta seperti hak melewati


jalan.
2. Hak-hak yang disepakati oleh para ulama tidak dapat diwariskan,

yaitu hak-hak yang bersifat pribadi, seperti hak pemeliharaan dan hak
kewalian atas anaknya.
3. Hak-hak yang diperselisihkan oleh ulama tentang kelegaan
pewarisnya adalah hak-hak yang tidak bersifat pribadi dan tidak pula
bersifat kebendaan, seperti hak khiyar dan hak pencabutan
pemberian.
Sedangkan yang menyangkut dengan utang-utang dari yang
meninggal menurut Hukum Islam tidak dapat diwarisi, dengan arti
bukan kewajiban ahli waris untuk melunasinya dengan hartanya sendiri,
ahli waris hanya berkewajiban untuk sekedar menolong membayarkan
uangnya dari harta peninggalannya, sebanyak yang dapat dibayar atau
ditutupi oleh hartanya, namun ahli waris tidak berkewajiban untuk
menutupi kekurangan dengan hartanya sendiri.

E. Pengelompokan Ahli Waris


Dalam hukum kewarisan Islam dikenal istilah hijab, yang artinya
dinding yang menjadi penghalang, maksudnya adalah dinding yang
menjadi pengalang untuk mendapatkan warisan bagi sebagian ahli waris,
karena terdapat ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang
lebih dekat dengan pewaris.
Ada dua macam hijab : (Hasan, op. cit : 30 )
1. Hijab Nuqshan, yaitu dinding yang hanya mengurangi
bagian ahli waris, disebabkan oleh adanya ahli waris yang lain
bersama-sama dengannya.
2. Hijab Hirman, yaitu dinding yang menghalangi untuk
mendapat warisan, disebabkan karena adanya ahli waris yang
mempunyai hubungan lebih dekat dengan pewaris.
Ahli waris dapat dikelompokkan :
1. Ahli Waris dalam hubungan kerabat
Anak laki-laki dan anak perempuan
Dasar kewarisan anak laki-laki dan dan perempuan adalah
firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11, dimana anak laki-laki
dan perempuan ini tidak dapat dihalangi / terhijab oleh ahli waris
mana pun.
Cucu, baik laki-laki maupun perempuan
Kewarisan cucu dalam Qur’an tidak dijelaskan secara
spesifik, karena dalam Qur’an kata cucu merupakan perluasan dari
kata walad yang berarti anak yang berlaku juga untuk garis
keturunan ke bawah.
Ayah
Ayah dalam kedudukannya sebagai ahli waris dijelaskan
Allah dalam al-Qur’an serat an-Nisa ayat 11. Ayah sebagai ahli
waris tidak dapat dihijab secara penuh oleh siapapun.
Ibu
Kedudukan ibu dalam kewarisan dijelaskan dalam al-Qur’an
ayat 11 surat an-Nisa, yang menyatakan bahwa kedudukan ibu
dalam kewarisan juga tidak dapat dihijab secara penuh oleh
siapapun.
Kakek
Kewarisan kakek tidak terdapat dalam al-Qur’an, hanya
terdapat dalam Hadits nabi yang kurang kuat, pengertian kakek
secara tidak langsung disebut dalam al-Qur’an dengan sebutan
abun yang artinya ayah yang berarti juga kakek dan seterusnya
keatas.
Nenek
Seperti halnya kakek nenek juga tidak terdapat dalam al-
Qur’an, namun nenek merupakan perluasan dari ibu.
Saudara
Yang dimaksud dengan saudara ialah saudara kandung, seibu
ataupun seayah laki-laki maupun perempuan, dimana hak
kewarisan mereka sudah dijelaskan secara langsung dalam al-
Qur’an surat an-Nisa ayat 12 dan 176. Para ahli tafsir menjelaskan
bhawa kewarisan saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan
diatur dalam ayat 12 dan saudara kandung maupun seayah baik
laki-laki maupun perempuan diatur dalam ayat 176.
Anak saudara
Anak saudara secara jelas tidak terdapat hak kewarisannya
dalam al-Qur’an dan juga tidak terdapat dalam Hadits nabi,
adanya hak kewarisan tersebut disebabkan karena perluasan
pengertian dari saudara yang haknya dijelaskan dalam al-Qur’an,
karena saudara tidak ada, maka kedudukannya digantikan oleh
anaknya, dimana anak saudara itu belum akan mendapatkan hak
selama ayahnya yang menghubungkannya kepada pewaris masih
hidup.
Paman
Kewarisan paman tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan
Hadits, hak kewarisannya ditetapkan dengan ijtihad ulama dengan
menghubungkannya kepada kakek, dimana apabila kakek sudah
meninggal lebih dahulu, maka anaknya yaitu paman menempati
posisi kakek
Anak paman
Kewarisan anak paman diperbolehkan dari perluasan
pengertian paman.
2. Ahli waris dalam hubungan perkawinan
Ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah
suami atau isteri. Suami menjadi ahli waris bagi isterinya dan
sebaliknya.
Adanya hubungan perkawinan antara seorang laik-laki dan
perempuan tidak menyebabkan hak kewarisan apapun terhadap
kerabat isteri atau kerabat suami, hal ini berlaku pula bagi anak tiri
suami atau isteri.
Dijelaskan ahli waris berdasarkan jenis kelamin menurut
golongan Ahlu Sunnah sebagai berikut : (syarifuddin, Op., Cit hal
221-225)
1. Ahli waris golongan laki-laki :
a. Anak.
b. Cucu.
c. Ayah.
d. Kakek.
e. Saudara kandung.
f. Saudara seayah.
g. Saudara seibu.
h. Anak laki-laki saudara kandung.
i. Anak laki-laki saudara seayah.
j. Paman kandung.
k. Paman seayah.
l. Anak paman kandung.
m. Anak paman seayah
n. Suami
o. Orang yang memerdekakan dengan hak wala’

2. Ahli waris golongan perempuan


a. Anak.
b. Cucu.
c. Ibu.
d. Ibu dari ibu.
e. Ibu dari ayah.
f. Saudara kandung.
g. Saudara seayah.
h. Saudara seibu.
i. Isteri.
j. Orang yang memerdekakan dengan hak wala’.
Jika ahli waris yang diatas hanya seorang diri, maka mereka
jelas berhak mendapatkan harta warisan. Namun, bila ia mewaris
bersama dengan ahli waris yang lain diberlakukan ketentuan hijab
yang prinsipnya hubungan yang lebih dekat dengan pewaris akan
menghijab yang jauh hubungan kekerabatannya dengan pewaris.
Adapun rincian siapa yang menghijab secara penuh penuh adalah
sebagai berikut :
1. Dari kelompok laki-laki
a. Anak sebagai ahli waris tidak ada yang dapat
menghijab atau menutupnya.
b. Cucu ditutup oleh anak.
c. Ayah tidak seorang pun dapat menghijabnya.
d. Kakek hanya bisa dihijab oleh ayah.
e. Saudara kandung ditutup oleh anak, cucu dan ayah.
f. Saudara seayah ditutup oleh anak, cucu, ayah dan
saudara kandung.
g. Saudara seibu ditutup oleh anak, cucu, ayah dan
kakek.
h. Anak saudara kandung ditutup oleh saudara seayah
dan oleh orang yang menutup saudara seayah, seperti tersebut
di atas.
i. Anak saudara seayah ditutup oleh anak saudara
kandung dan oleh orang-orang yang menutup anak saudara
kandung, seperti tersebut diatas.
j. Paman kandung ditutup oleh anak saudara seayah dan orang-
orang yang menutup anak saudara seayah, seperti tersebut di
atas.
k. Paman kandung ditutup oleh anak saudara seayah dan orang-
orang yang menutup anak saudara seayah, seperti tersebut di
atas.
l. Paman seayah ditutup oleh paman kandung dan oleh orang-
orang yang menutup paman kandung, seperti tersebut di atas.
m. Anak paman kandung ditutup oleh paman seayah dan oleh
orang-orang yang menutup paman seayah, seperti tersebut di
atas.
n. Anak paman seayah ditutup oleh anak paman kandung dan
oleh orang-orang yang menutup anak paman kandung, seperti
tersebut di atas.
o. Suami tidak ditutup oleh ahli waris mana pun.
p. Orang yang memerdekakan ditutup oleh ahli waris hubungan
kerabat
2. Ahli waris golongan perempuan
a. Anak perempuan tidak ada seorang pun yang
menutupinya.
b. Cucu perempuan ditutup oleh anak laki-laki dan oleh dua

orang anak perempuan. Seorang anak perempuan tidak dapat


menutup cucu menurut golongan Ahlu Sunah; sedangkan
seorang anak perempuan menutup cucu perempuan manurut
ulama Syi’ah.
c. Ibu tidak tertutup oleh siapapun.
d. Ibu dari ibu tertutup oleh ibu; dan tidak tertutup oleh ayah.
e. Ibu dari ayah tertutup oleh ibu dan juga oleh ayah.
f. Saudara perempuan kandung tertutup oleh anak laki-laki,
cucu laki-laki dan ayah menurut Ahlu Sunnah; sedangkan
menurut ulama Syi’ah saudara perampuan kandung tertutup
oleh anak laki-laki cucu laki-laki dan anak perempuan, ayah
dan ibu.
g. Saudara perempuan seayah tertutup oleh anak laki-laki
(juga oleh anak perempuan oleh ulama Syi’ah) cucu laki-laki,
ayah (juga ibu oleh Syi’ah) saudara laki-laki kandung dan
dua orang saudara perempuan kandung.
h. Saudara perempuan seibu tertutup oleh anak laki-laki,

anak perempuan, cucu, ayah dan kakek, tidak tertutup oleh


ibu kecuali menurut ulama Syi’ah.
i. Isteri tidak tertutup oleh siapapun
j. Perempuan yang memerdekakan terutup oleh seluruh ahli
waris kerabat

F. Penggolongan Ahli Waris


Ahli waris digolongkan menjadi dua golongan, yaitu yang
berkedudukan sebagai zawil furudl dan yang berkedudukan sebagai
ashabah.
Pengertian ashabah menurut bahasa Arab adalah anak laki-laki dan
kaum kerabat dari pihak bapak, dimana para ulama telah menyepakati
kalau mereka mendapat warisan. Ashabah akan mendapat semua bagian
warisan apabila yang meninggal tidak mempunyai ahli waris bagian
tertentu (zawil furudl), namun apabila ada diantara ahli waris mendapat
bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian ashabah.
Ashabah-ashabah yang berhak mendapat semua sisa harta adalah :
1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah melalui garis
keturunan laki-laki.
3. Bapak.
4. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas dengan syarat
pertaliannya belum putus dari pihak bapak.
5. Saudara laki-laki sekandung.
6. Saudara laki-laki sebapak.
7. Anak saudara laki-laki kandung.
8. Anak saudara laki-laki sebapak.
9. Paman yang sekandung dengan bapak.
10. Paman yang sebapak dengan bapak.
11. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak.
12. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.
Dalam istilah ilmu Faraidl ‘ashabah tersebut diatas disebut
‘ashabah binnafsi, karena mereka secara otomatis menjadi ‘ashabah,
tanpa disebabkan oleh orang lain. (Hasan, Op., cit., hal 27)
Perempuan dapat juga menjadi ‘ashabah dengan ketentuan sebagai
berikut : (Ibid, hal 28)
1. Anak laki-laki dapat menarik saudara perempuannya
menjadi ‘ashabah dengan ketentuan, bahwa untuk laki-laki mendapat
bagian dua kali lipat perempuan.
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki juga dapat menarik
saudara perempuannya menjadi ‘ashabah.
3. Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudara
perempuannya menjadi ‘ashabah.
4. Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudara
perempuannya menjadi ‘ashabah.
Dalam istilah ilmu Faraidl, ashabah tersebut di atas dinamakan
‘ashabah bilghair, yaitu ‘ashabah dengan pengaruh orang lain.
Selain yang terebut di atas ada juga ‘ashabah ma’al-ghair, yaitu
‘ashabah bersama orang lain, dimana ‘ashabah ini hanya terdiri dari dua
macam, yaitu :
1. Saudara perempuan sekandung.
Apabila ahli waris terdiri dari saudara peremuan sekandung yang
terdiri dari seorang atau lebih dan anak perempuan seorang atau
lebih, atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan
seorang atau lebih, maka saudara perempuan akan menjadi ‘ashabah
ma’alghair.
2. Saudara perempuan sebapak.
Apabila ahli waris terdiri dari saudara perempuan sebapak yang
terdiri dari seorang atau lebih, dan anak perempuan seorang atau
lebih, atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan seorang
atau lebih, maka saudara perempuan menjadi ‘ashabah ma’alghair.
Syarat saudara perempuan sekandung atau sebapak untuk dapat
menjadi ‘ashabah ma’alghair, apabila mereka tidak mempunyai
saudara laki-laki, namun apabila mereka mempunyai saudara laki-
laki maka mereka akan menjadi ‘ashabah bilghair.

BAB V : PERHITUNGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN

Cara Pembagian Warisan


Bagi para ahli waris telah ditentukan bagian masing-masing dengan
tegas, diantara mereka ada yang mendapat seperdua (1/2), seperempat
(1/4), seperdelapan (1/8), sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6).
Cara pembagian yang demikian adalah apabila seseorang mendapat
1/3 bagian dan seorang lagi mendapat seperdua (1/2) bagian, hal pertama
yang harus dilakukan adalah mencari KPK (Kelipatan Persekutuan yang
Terkecil) dari bilangan itu. KPK dari kedua bilangan itu adalah, enam
(6), yaitu satu bilangan yang habis dibagi dengan tiga (3) dan dua (2).
Yang dalam ilmu Faraidl lebih dikenal dengan nama asal masalah,
dimana terdapat tujuh asal masalah, yaitu : (Ibid, hal 37)
1. Masalah dua (2)
2. Masalah tiga (3)
3. Masalah empat (4)
4. Masalah enam (6)
5. Masalah delapan (8)
6. Masalah dua belas (12)
7. Masalah dua puluh empat (24)

Contoh Pelaksanaan Pembagian Warisan


1. Anak perempuan tunggal
(mendapat 1/2 bagian) dan selaku ‘ashabah
a. Seorang wanita meninggal, ahli warisnya seorang anak perempuan,
suami dan bapak. Harta peninggalannya sebanyak Rp.
20.000.000,-, bagian masing-masing adalah :
Anak perempuan = 1/2 (karena tunggal)
Suami = 1/4 (karena ada anak)
Bapak = ‘Ashabah (karena tidak ada anak laki-laki dan
cucu laki-laki
Asal masalah = 4
Anak perempuan = 1/2 x 4 = 2
Suami = 1/4 x 1 = 1 +
Jumlah = 3
Sisa = 4 - 3 = 1 +(untuk bapak selaku ‘ashabah)
Jumlah = 4 (asal masalah)
Anak perempuan = 1/2 x Rp. 20.000.000,- = Rp.10.000.000,-
Suami = 1/4 x Rp. 20.000.000,- = Rp. 5.000.000,-
Bapak = 1/4 x Rp. 20.000.000,- = Rp. 5.000.000,- +
Jumlah = Rp. 20.000.000,-
b. Seorang laki-laki meninggal, ahli warisnya terdiri dari isteri, tiga
orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki, harta
peninggalannya sebesar Rp. 24.000.000,-, bagian masing-masing
adalah :
Isteri = 1/8 (karena ada anak)
Anak = ‘Ashabah (sisa)
Asal masalah = 8
Isteri = 1/8 x 8 = 1
Sisa = 8 -1 = 7 (untuk anak)
Jumlah = 8 (asal masalah)
Isteri = 1/8 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 3.000.000,-
Anak = Rp. 24.000.000 – 3.000.000 = Rp. 21.000.000,-
Jumlah = Rp. 24.000.000,-
Anak perempuan = 1/7 x 21.000.000 = Rp. 3.000.000,-
Anak laki-laki = 2/7 x 21.000.000 = Rp. 6.000.000,-
Cucu perempuan tunggal mendapat seperdua (1/2) dan seperenam
a. Seorang meninggal, ahli warisnya dua orang ibu bapak dan
seorang cucu perempuan. Harta warisannya sebanyak Rp.
60.000.000,-, bagian masing-masing adalah
Cucu = 1/2 (karena tidak ada anak perempuan)
Ibu = 1/6 (Karena ada cucu)
Bapak = ‘Ashabah (karena tidak ada anak laki-laki dan
cucu laki-laki)
Asal masalah = 6
Cucu = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4
Sisa = 6 - 4 = 2 (untuk bapak)
Jumlah = 6
Cucu = 3/6 x Rp. 60.000.000 = Rp. 30.000.000,-
Ibu = 1/6 x Rp. 60.000.000 = Rp. 10.000.000,-
Bapak = 2/6 x Rp. 60.000.000 = Rp. 20.000.000,-
Jumlah = Rp. 60.000.000,-
b. Seorang meninggal, ahli warisnya seorang
anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki,
suami dan kakek, harta warisan sebesar Rp. 72.000.000,-, bagian
masing-masing adalah
Anak perempuan = 1/2 (karena tunggal)
Cucu perempuan = 1/6 (karena ada seorang anak perempuan dan
untuk mencukupi bagian anak perempuan
menjadi dua pertiga (2/3) bagian.
Suami = 1/4 (karena ada anak)
Kakek = ‘Ashabah (karena tidak ada anak laki-laki,
cucu laki-laki dan bapak)
Asal masalah = 12
Anak perempuan = 1/6 x 12 = 6
Cucu perempuan = 1/6 x 12 = 2
Suami = 1/4 x 12 = 3
Jumlah = 11
Sisa = 12 – 11 = 1 (untuk kakek)
Jumlah = 12
Anak perempuan = 6/12 x Rp. 72.000.000 = Rp. 36.000.000,-
Cucu perempuan = 2/12 x Rp. 72.000.000 = Rp. 12.000.000,-
Suami = 3/12 x Rp. 72.000.000 = Rp. 18.000.000,-
Kakek = 1/12 x Rp. 72.000.000 = Rp. 6.000.000,-
Jumlah = Rp 72.000.000,-
3. Saudara perempuan tunggal sekandung mendapat seperdua (1/2)
Seorang meninggal dunia, ahli warisnya isteri dan saudara
perempuan, harta peninggalannya sebanyak Rp. 30.000.000.-, bagian
masing-masing adalah
Isteri = 1/4 x 4 = 1
Saudara perempuan = 1/2 x 4 = 2
Jumlah =3
Sisa = 4-3 =1
Jumlah = 4
Isteri = 1/4 x Rp. 30.000.000 = Rp. 7.500.000,-
Saudara perempuan = 2/4 x Rp. 30.000.000 = Rp. 15.000.000,-
Sisa = 1/4 x Rp. 30.000.000 = Rp. 7.000.000,-
Jumlah = Rp. 30.000.000,-
Sisa uang tersebut diatas akan diserahkan kepada saudara perempuan
atas nama Radd.
4. Suami mendapat seperdua (1/2) dan seperempat (1/4)
a. Seorang meninggal, ahli warisnya suami, ibu dan bapak, harta
peninggalan sebesar Rp. 36.000.000,-, bagian masing-masing
sebesar
Suami = 1/2
Ibu = 1/3
Bapak = ‘Ashabah
Asal masalah =6
Suami = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/3 x 6 = 2
Jumlah = 5
Sisa = 6 - 5 = 1 (untuk bapak)
Jumlah = 6
Suami = 3/6 x Rp. 36.000.000 = Rp. 18.000.000,-
Ibu = 2/6 x Rp. 36.000.000 = Rp. 12.000.000,-
Bapak = 1/6 x Rp. 36.000.000 = Rp. 6.000.000,-
Jumlah = Rp. 36.000.000,-
b. Seorang meniggal dunia, ahli warisnya dua orang anak laki-laki
suami dan bapak. Harta peninggalan sebanyak Rp. 72.000.000,-,
bagian masing-masing
Bapak = 1/6 (karena ada anak)
Suami = 1/4
Anak laki-laki = ‘Ashabah (sisa)
Asal masalah = 12
Bapak = 1/6 x 12 = 2
Suami = 1/4 x 12 = 3
Jumlah = 5
Sisa = 12 – 5 = 7 (untuk anak)
Jumlah = 12
Bapak = 2/12 x Rp. 72.000.000 = Rp. 12.000.000,-
Suami = 3/12 x Rp. 72.000.000 = Rp. 18.000.000,-
Anak laki-laki = 7/12 x Rp. 72.000.000 = Rp. 42.000.000,-
Jumlah = Rp 72.000.000,-
Masing-masing anak = 1/2 x Rp. 42.000.000,- = Rp. 21.000.000,-
5. Isteri mendapat seperempat (1/4) dan seperdelapan (1/8)
a. Seorang meniggal duni, ahli warisnya terdiri
dari seorang isteri, ibu dan seorang saudara laki-laki sekandung.
Harta peninggalannya sebesar Rp. 96.000.000,-, bagian masing-
masing adalah
Isteri = 1/4
Ibu = 1/3
Saudara laki-laki = ‘Ashabah
Asal masalah = 12
Isteri = 1/4 x 12 = 3
Ibu = 1/3 x 12 = 4
Jumlah = 7
Sisa = 12 - 7 = 5
Jumlah = 12 (untuk saudara laki-laki)
Isteri = 3/12 x Rp. 96.000.000 = Rp. 24.000.000,-
Ibu = 4/12 x Rp. 96.000.000 = Rp. 32.000.000,-
Saudara laki-laki = 5/12 x Rp. 96.000.000 = Rp. 40.000.000,-
Jumlah = Rp. 96.000.000,-
b. Seorang meniggal duni ahli warisnya terdiri dari
seorang isteri, seorang anak laki-laki dan bapak. Harta
peninggalannya sebesar Rp. 40.000.000,-
Isteri = 1/8
Bapak = 1/6
Anak laki-laki = ‘Ashabah
Asal masalah = 24
Isteri = 1/8 x 24 = 3
Bapak = 1/6 x 24 = 4
Jumlah = 7
Sisa = 24 - 7 = 17
Jumlah = 24
Isteri = 3/24 x Rp. 48.000.000 = Rp. 6.000.000,-
Bapak = 4/24 x Rp. 48.000.000 = Rp. 8.000.000,-
Anak laki-laki = 17/24 x Rp. 48.000.000 = Rp. 34.000.000,-
Jumlah = Rp. 48.000.000,-
Apabila isteri yang ditinggalkan lebih dari seorang, maka mereka
mendapat yang seperempat (1/4) atau yang seperdelapan (1/8)
yang dibagi dua sama rata.
c. Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri dari
empat orang isteri dan kakek. Harta peninggalan sejumlah Rp.
40.000.000,-, bagian masing-masing adalah
Isteri = 1/4 (4 orang isteri)
Kakek = ‘Ashabah
Isteri = 1/4 x Rp. 40.000.000 = Rp. 10.000.000,-
Kakek = Rp. 40.000.000-Rp. 10.000.000
= Rp. 30.000.000,-
Jumlah = Rp. 40.000.000,-
Masing-masing isteri 1/4 x Rp. 10.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
6. Dua orang anak perempuan atau lebih mendapat dua
pertiga (2/3) dan selaku ‘Ashabah.
a. Seorang meniggal, ahli warisnya terdiri dari
empat orang anak perempuan, ibu dan bapak serta isteri. Harta
peninggalannya sebesar Rp. 192.000.000,-, bagian masing-masing
adalah
4 orang anak perempuan = 2/3
Ibu = 1/6
Isteri = 1/8
Bapak = ‘Ashabah
Asal masalah = 24
4 orang anak perempuan = 2/3 x 24 = 16
Ibu = 1/6 x 24 = 4
Isteri = 1/8 x 24 = 3
Jumlah = 23
Sisa = 24 - 23 = 1
Jumlah = 24
4 orang anak
perempuan = 16/24 x Rp.192.000.000 = Rp.128.000.000,-
Ibu = 4/24 x Rp.192.000.000 = Rp. 32.000.000,-
Isteri = 3/24 x Rp.192.000.000 = Rp. 24.000.000,-
Bapak = 1/24 x Rp.192.000.000 = Rp. 8.000.000,-
Jumlah = Rp. 192.000.000,-
Masing-masing
anak perempuan = 1/4 x Rp. 128.000.000 = Rp. 32.000.000,-
b. Seorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri
dari suami, ibu, bapak, seorang anak laki-laki dan dua orang anak
perempuan. Harta peninggalan sebesar Rp. 24.000.000,-. Bagian
masing-masing adalah
Suami = 1/4
Bapak = 1/6
Ibu = 1/6
Anak = ‘Ashabah
Asal masalah = 12
Suami = 1/4 x 12 = 3
Bapak = 1/6 x 12 = 2
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 7
Sisa = 12 - 7 = 5 (untuk anak)
Jumlah = 12
Suami = 3/12 x Rp. 24.000.000 = Rp. 6.000.000,-
Bapak = 2/12 x Rp. 24.000.000 = Rp. 4.000.000,-
Ibu = 2/12 x Rp. 24.000.000 = Rp. 4.000.000,-
Anak = 5/12 x Rp. 24.000.000 = Rp. 10.000.000,-
Jumlah = Rp. 24.000.000,-
Anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan,
maka sisa harta dibagi empat (4) :
Anak laki-laki = 2/4 x Rp. 10.000.000 = Rp. 5.000.000,-
Masing-masing
anak perempuan = 1/4 x Rp. 10.000.000 = Rp. 2.500.000,-
7. Dua orang saudara seibu atau lebih (laki-laki atau
perempuan) mendapat sepertiga (1/3)
a. Seorang meniggal dunia, ahli warisnya terdiri
dari tiga orang saudara laki-laki seibu, seorang isteri, ibu dan
paman sekandunga dengan bapak. Harta peninggalan sebesar Rp.
96.000.000,-, bagian masing-masing adalah
3 orang saudara
laki-laki seibu = 1/3
Isteri = 1/4
Ibu = 1/6
Paman = ‘Ashabah
Asal masalah = 12
3 orang saudara
laki-laki seibu = 1/3 x 12 = 4
Isteri = 1/4 x 12 = 3
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9
Sisa = 12 - 9 = 3
Jumlah = 12
3 orang saudara
laki-laki seibu = 4/12 x Rp. 96.000.000 = Rp. 32.000.000,-
Isteri = 3/12 x Rp. 96.000.000 = Rp. 24.000.000,-
Ibu = 2/12 x Rp. 96.000.000 = Rp.16.000.000,-
Paman = 3/12 x Rp. 96.000.000 = Rp. 24.000.000,-
Jumlah = Rp. 96.000.000,-
8. Saudara perempuan (seorang atau lebih) yang sebapak
mendapat seperenam (1/6)
Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri dari seorang saudara
perempuan kandung, seorang saudara perempuan sebapak dan bapak.
Harta peninggalan sebesar Rp. 60.000.000,-, bagian masing-masing
adalah
Saudara perempuan kandung = 1/2
Saudara perempuan sebapak = 1/6
Bapak = ‘Ashabah
Asal masalah = 6
Saudara perempuan kandung = 1/2 x 6 = 3
Saudara perempuan sebapak = 1/6 x 6 = 1
Jumlah =4
Bapak = 6 - 4 =2
Saudara perempuan
kandung = 3/6 x Rp.60.000.000 = Rp.30.000.000,-
Saudara perempuan
sebapak = 1/6 x Rp.60.000.000 = Rp.10.000.000,-
Bapak = 2/6 x Rp.60.000.000 = Rp. 20.000.000,-
Jumlah = Rp. 60.000.000,-
Saudara perempuan sebapak diberikan seperenam (1/6) bagian untuk
mencukupi bagian saudara perempuan sekandung.
BAB VI : PERMASALAHAN DALAM PENYELESAIAN FARAID

A. Masalah ‘Aul
‘Aul secara harfiah diartikan meninggikan atau menaikkan
Masalah ‘aul ini terjadi karena jumlah warisan tidak mencukupi
untuk semua ahli waris, untuk mengatasi masalah tersebut jumhur ulama
berpendapat bahwa kekurangan kadar harta tersebut dibebankan kepada
semua pihak yang berhak berdasarkan kadar perbandingan furudh
mereka, sehingga hak mereka akan berkurang secara adil
Menurut pasal 192 KHI menyatakan bahwa “Apabila dalam
pembagian harta warisan di antara ahli waris Dzawil Furud
menunjukkan bahwa angka pembilangan lebih kecil dari pada angka
penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang, dan baru sesudah itu harta warisannya dibagi secara aul
menurut angka pembilang.”
Menutur ketentuan umum tentang furudh penyelesaiannya adalah
sebagai berikut : (Syarifuddin, op. cit, hal 99- 100)
1. Suami mendapat 1/2 karena tidak ada anak.
2. Ibu mendapat 1/3 karena tidak ada anak dan beberapa orang saudara.
3. 2 orang saudara seibu mendapat 1/3 bagian.
Masalah’aul dapat disebut sebagai masalah yang sebenarnya karena
terdapat benturan dari beberapa sumber yang ada. Penggunaan teori ini
akan menyebabkan ahli waris tidak akan mendapat bagian warisan yang
seharunya didapat.
Beberapa sebutan yang digunakan para ahli untuk masalah ‘aul :
1. Mubahalah :
Apabila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya
menghasilkan penyelesaian ‘aul dari bagiannya yang semula perenam
menjadi perdelapan, contoh:
• Suami yang mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Saudara perempuan 1/2 atau 3/6 bagian
• Ibu mendapat 1/3 atau 2/6 bagian
Jumlahnya: 8/6 menjadi 8/8
2. Gharra’ :
Masalah gharra’ timbul karena ada ahli waris yang karena
jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dari bagian
pecahan perenam menjadi persembilan, contoh :
• Suami mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Saudara perempuan seayah mendapat 1/6 atau 1/6 bagian
3 orang saudara seibu mendapat 1/3 atau 2/6 bagian
Jumlahnya: 9/6
3. Ummu al-furukh :
Masalah ummu al-furukh atau disebut juga syuraihiyah yang
terjadi karena ahli waris yang karena jumlah furudhnya menyebabkan
penyelesaian secara ‘aul dengan menigkatkan pecahan dari bagian
pecahan perenam menjadi persepuluh, contoh:
• Suami mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Ibu mendapat 1/6 atau 3/6 bagian
• 2 orang saudara kandung mendapat 2/3 atau 4/6 bagian
Jumlah: 10/6
4. Ummu al-aramil :
Masalah ummu al-aramil terjadi karena ahli waris yang karena
jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dengan
meningkatkan pecahan dari perdua belas menjadi pertujuh belas,
contoh:
• Isteri yang mendapat 1/4 atau 3/12 bagian
• 2 saudara perempuan kandung mendapatkan 2/3 atau 8/12 bagian
• 2 saudara seibu mendapatkan 1/3 atau 4/12 bagian
• Ibu mendapatkan 1/6 atau 2/12 bagian
Jumlah: 17/12
5. Minbariyah :
Masalah minbariyah terjadi karena ahli waris yang karena
jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dengan
meningkatkan pecahan dari perdua puluh empat menjadi perdua
puluh tujuh, contoh:
• Isteri yang mendapat 1/8 atau 3/24
• 2 anak perempuan mendapatkan 2/3 atau 16/24
• Ayah mendapatkan 1/6 atau 4/24
• Ibu mendapatkan 1/6 atau 4/24
Jumlah: 27/24
B. Masalah Sisa Harta
Yang dimaksud dengan sisa harta dalam bahasan ini ada dua hal
yaitu kelebihan harta setelah selesai dibagi kepada ahli waris dan dalam
hal tidak ada orang yang berhak mendapat sisa harta atau ‘ashabah
dalam kelompok ahli waris
Dalam al-Qur’an berkaitan dengan kelebihan harta setelah dibagi
kepada ahli waris tidak dibicarakan secara detail tentang siapa yang
berhak mendapatkan sisa harta tersebut, namun disebutkan orang-orang
yang berhak atas warisan dengan tidak menyebutkan bagiannya secara
tertentu seperti ayah bila tidak ada anak, anak laki-laki bila tidak
bersama anak perempuan dan saudara laki-laki bila tidak bersama
saudara perempuan. Pengaturan tentang kelebihan harta disebutkan
dalam hadits Nabi, yang artinya :
“Berikanlah furudh-furudh itu kepada orang yang berhak menerimanya,
sedangkan selebihnya berikanlah kepada laki-laki terdekat melalui
garis kerabat laki-laki”
Berkaitan dengan sisa harta yang tidak terbagi habis oleh ahli waris
sedangkan ahli waris ashabah tidak ada, sehingga terdapat beberapa
pendapat dikalangan ahli waris, pendapat pertama dari ulama Syi’ah
yang sepakat menyatakan bahwa sisa harta akan diberikan kepada ahli
waris kerabat, sedang pendapat kedua dari kalangan ulama Ahlu Sunnah
yang menimbulkan perbedaan pendapat kelompk pertama yang terdiri
dari Malik, Syafi’i, al-Awza’i dan lainnya berpendapat bahwa kelebihan
harta tidak dikembalikan kepada ahli waris, namun diserahkan kepada
baitul maal yang digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan
menurut kelompok kedua yang terdiri dari Abu Hanifah, al-Tsauri,
Mujahid, Atho’ Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa kelebihan harta
dikembalikan kepada ahli waris.
Kelompok kedua memperkuat pendapat mereka dengan firman
Allah yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Anfal ayat 75, yang artinya
:
“Orang-orang yang mempunyai hubungan rahim sebagiannya lebih
utama dari yang lain dalam kitab Allah”
Selain dalil tersebut di atas, golongan kedua juga memberikan
landasan pendapat mereka berdasarkan Hadits muttafaq alaih, yang
artinya :
“Sesiapa yang meninggalkan utang adalah saya pembayarnya dan
siapa yang meninggalkan harta warisan adalah untuk ahli warisnya”

C. Masalah Radd
Menurut pasal 193 “Apabila dalam pembagian harta warisan di
antara para ahli waris Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada
ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan
secara raad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris,
sedangkan sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”
Radd timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan kepada
dzaul furudh sedangkan ahli waris yang berhak untuk itu tidak ada,
dimana semua sisa harta yang ada dikembalikan kepada ahli waris
furudh berdasarkan bagian furudh masing-masing.
Para ulama berpendapat bahwa sisa harta diserahkan kepada ahli
waris berdasarkan hubungan rahim, dengan demikian ahli waris furudh
berdasarkan perkawinan tidak berhak mendapatkan pengembalian sisa
harta warisan.
Contoh kasus :
Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris ibu dan seorang
anak perempuan, pembagian warisannya adalah :
Ibu = 1/6
Anak perempuan = 1/2
Asal masalah =6
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Anak perempuan = 1/2 x 6 = 3
Jumlah =4
Sisa = 6 - 4 =2
Jumlah = 6 (asal masalah)
Pada awalnya asal masalah adalah 6, tetapi karena tidak ada ahli waris
yang berhak mendapatkan sisa harta, maka asal masalah berubah
menjadi 4 asal masalah sehingga :
Ibu = 1/4 x harta
Anak perempuan = 3/2 x harta
Jumlah = 4/4 harta
D. Masalah ‘Umariyah
. Masalah ‘Umariyah I
Masalah ‘umariyah merupakan salah satu bentuk masalah dalam
kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh
mayoritas sahabat dan diikuti oleh para ulama, masalah ini terjadi
pada saat penjumlahan beberapa furudh dalam salah satu kasus
kewarisan yang hasinya tidak memuaskan beberapa pihak.
(Syarifuddin, Op.Cit, hal 108)
Hal ini terjadi apabila ahli waris terdiri dari suami, ibu dan ayah,
menurut al-Qur’an suami mendapat 1/2 bagian karena pewaris tidak
meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 bagian karena pewaris tidak
meniggalkan anak. Dalam kasus ini ayah tidak termasuk dzaul
furudh, namun merupakan ashabah.
. Masalah ‘Umariyah II
Masalah ‘umariyah II pada hakekatnya sama dengan masalah
‘umariyah I diatas, namun berbeda pada kasusnya, dimana dalam
‘umariyah I ahli warisnya terdiri dari ayah, ibu dan suami, sedangkan
pada ‘umariyah II yang menjadi ahli waris adalah ayah, Ibu dan
isteri.
Menurut al-Qur’an, isteri menerima furudh sebanyak 1/4 bagian
karena pewaris tidak meniggalkan anak, ibu menerima 1/3 bagian
karena pewaris tidak meniggalkan anak dan beberapa orang saudara.
Jumlah furudh adalah 1/4 + 1/3 = 3/12 + 4/12 = 7/12. ayah sebagai
ashabah akan mendapat 5/12. pendapat ulama tetap memahami
furudh ibu sebesar 1/3 yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai 1/3
sisa harta sebagaimana bila ayah dan ibu mewaris bersama suami.
(Ibid, hal 110-111)
E. Masalah Himariyah
Masalah ‘himariyah terjadi karena pertentangan antara prinsip yang
satu dengan prinsip yang lainnya, misalnya apabila ahli waris terdiri dari
suami, ibu, beberpa orang saudara seibu dan beberapa orang saudara
laki-laki kandung, menurut al-Qur’an suami mendapat 1/2 karena
pewaris tidak meniggalkan anak tetapi apabila pewaris meninggalkan
beberapa orang saudara, makak saudara seibu mendapatkan 1/2 bagian
karena lebih dari satu. Sedangkan saudara laki-laki kandung yang
merupakan ahli waris ashabah tidak mendapat bagian apapun.

F. Masalah Kakek Bersama Saudara


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kakek adalah pewaris
pengganti ayah, yang memperoleh hak warisan baik sebagai furudh
maupun ashabah yang dalam kedudukannya sebagai penghijab saudara
seibu juga telah disepakati oleh para ulama.
Kedudukan kakek dalam kewarisan mendatangkan masalah karena
kedudukan kakek sebagai pengganti ayah yang berarti akan menghijab
saudara, sehingga segolongan ulama yang dipelopori oleh Abu Bakar
berpendapat bahwa kakek menghijab hak saudara laki-laki maupun
perempuan dalam ketiga hubungan (saudara seayah, seibu dan
sekandung), landasan dari golongan ini untuk berpendapat demikian
adalah:
Hadits Nabi, yang artinya :
“Berikan furudh itu kepada yang berhak menerima dan selebihnya
berikan kepada yang terdekat dari laki-laki dalam segaris laki-laki”
2. Bahwa dalam pengertian al-Qur’an kata “kakek” termasuk dalam
kata “ayah”, sehingga kakek mewarisi dengan menggantikan
kedudukan ayah dalam kondisi tidak adanya ayah. Ia menutup anak
dari ayah sebagaimana yang berlaku untuk ayah. (Ibnu Qudamah,
1970 : 307-308)
Menurut pendapat golongan kedua yang dipelopori oleh Ali ibn
Tsabit dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa saudara bersama kakek
dapat sama-sama mewaris, dimana kakek tidak dapat menghijabnya,
selain anak laki-laki atau cucu laki-laki. Alasan dari golongan ini
adalah :
1. bahwa saudara-saudara itu hak kewarisannya ditetapkan
dengan nash yang sharih (jelas dan pasti) dan tidak mungkin terhijab
kecuali dinaytakan oleh nash atau ijma’
2. bahwa mereka memiliki kedudukan yang sama dalam faktor
yang menyebabkan mereka mendapatkan hak waris dan oleh karena
itu, ia juga berhak mendapatkannya. Ia dihubungkan kepada pewaris
malalui ayah sebagaimana juga kakek dihubungkan kepada pewaris
melalui ayah. Ia hanya akan terhijab oleh ayah yng
menghubungkannya kepada pewaris dan tidak terhijab oleh kakek.
Ibnu Mas’ud memilih jalan tengah dengan melakukan pembagian
warisan kepada kakek sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bila ahli
waris hanya kakek bersama saudara dan bila disamping kakek saudara
memiliki ahli waris furudh lainnya maka hak kakek adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Zaid ibn Tsabit.(Ibid)
Masalah kakek bersama saudara akan semakin rumit apabila
terdapat ahli waris furudh lainnya seperti ibu. kakek sebagai pengganti
ayah mendapat bagian lebih banyak dari ibu, selain itu saudara laki-laki
tidak mungkin mendapatkan bagian yang lebih sedikit dari saudara
perempuan, hingga terjadi perbedaan pendapat antara para ulama
mengenai hal itu.
Menurut Abu bakar hal tersebut tidak menjadi masalah karena
semua pihak sudah memiliki bagian yang sudah ditentukan, ibu sebagai
furudh menerima 1/3, sedangkan saudara perempuan telah terhijab oleh
kakek sebagai satu-satunya ahli waris laki-laki mendapat sisanya, yaitu
2/3 bagian.
Menurut Zaid ibn Tsabit memberikan hak furudh kepada ibu
sebanyak 1/3 sedangkan sisa harta dibagikan kepada kakek dan saudara
perempuan, dengan pembagian dua banding satu.

G. Kewarisan Janin dalam Kandungan


Menurut para ulama bayi kandungan dinyatakan sebagai orang yang
pantas menerima warisan. Disamping itu oleh para ulama menetapkan
syarat-syarat seseorang untuk dapat menguasai dan mengendalikan harta
yang dimiliki yang dimiliki setelah seseorang dinyatakan telah dewasa,
dimana masalah kewarisan hanya masalah hak bukan menguasai, maka
janin dalam kandungan berhak menjadi ahli waris yang sah.
Persyaratan ahli waris yang disepakati oleh para ulama mengenai
ahli waris yang berhak menerima warisan bila pada saat kematian
pewaris ia telah nyata ada, dimana pada saat yang dinyatakan bahwa
janin itu lahir dalam jarak waktu kurang dari enam bulan dari kematian
pewaris. Ditentukan demikian karena pada saat perumusan kitab fikih itu
belumada alat yang secara meyakinkan dapat menyatakan ada tidaknya
janian, berbeda dengan dengan sekarang yang telah tersedia alat canggih
yang secara meyakinkan dapat menyatakan wujudnya janin sehingga
kemungkinan batas kelahiran tidak relevan lagi.

H. Kewarisan Orang Hilang


Dalan fikih orang hilang disebut mafqud, yang berarti orang yang
terputus beritanya sehingga tidak diketahui kondisinya hidup atau mati.
Faraid menjelaskan salah satu syarat ahli waris adalah jelas hidup
pada saat kematian pewaris, sehingga ketidak pastian tersebut
menimbulkan masalah dalam hal kewarisan.
Dalam pewarisan mafqud menyangkut dua hal yaitu posisinya
sebagai ahli waris dan pewaris. Dalam hal kedudukannya sebagai
pewaris, para ulama sepakat menyatakan bahwa orang hilang dianggap
masih hidup selama menghilang dan harta warisannya tidak dapat dibagi
kepada ahli warisnya, isterinya juga masih berstatus sebagai isteri.
Waktu kematian bagi mafqud dinyatakan apabila kepergiannya
telah melewati jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu waktu yang ia
tidak mungkin hidup lebih dari masa itu.
Yang menjadi perdebatan di kalangan ulama adalah masa hilangnya
orang tersebut. Abdul Malik bin Majison menetapkan batas waktu
selama 90 tahun karena umumnya tidak ada orang yang dapat hidup
selama itu. Menurut Abdullah bin Hakam menetapkan batas waktu
selama 70 tahun (termasuk tahun menghilangnya orang tersebut),
alasannya sepenggal hadits nabi, yang artinya : “Umurku antara 70 dan
60 tahun”. Sedangkan menurut Hasan bin Ziyad harus menunggu selama
120 tahun.
Untuk menetapkan kematian seseorang dapat dilakukan dengan
cara : (Hasan, Op., Cit, hal 91)
1. berdasarkan kesaksian bahwa orang tersebut masih
hidup.
2. Berdasarkan keterangan dari sekurang-kurangnya dua
orang saksi yang dapat dipercaya.
3. Dengan menghubungkan dengan hukum orang yang
hidup, yaitu kepada usia rata-rata manusia pada umumya.

I. Kewarisan Khunsa
Yang dimaksud dengan khunsa adalah seseorang yang mempunyai
dua alat kelamin, masalah khunsa ini memang selalu dipermasalahkan
karena pada kenyataannya hal ini sering terjadi sedangkan dalam
kehidupan sehari-hari sedangkan hukum dalam keadaan tertentu
memisahkan antara laki-laki dan perempuan.
Khunsa ada dua macam :
1. Khunsa yang telah jelas (wadlih), yaitu khunsa yang dapat
dihukumkan laki-laki dan perempuan dengan memperhatikan tanda-
tandanya, dimana tanda-tandanya dapat diperhatikan pada alat
kelamin itu sendiri atau pada sifat-sifatnya, apakah mirip kepada
perempuan atau kepada laki-laki.
2. Khunsa yang belum jelas (musykil), yaitu khunsa yang belum dapat
dihukumkan laki-laki atau perempuan, karena belum jelas tanda-
tandanya.
Dalam menentukan hukum bagi khunsa ulama menginginkan
adanya kejelasan jenis kelamin dari subyek hukum.walaupun khunsa
memiliki dua kelamin namun harus diberlakukan padanya satu jenis
kelamin saja, laki-laki atau perempuan.
Menurut para ulama untuk ahli waris khunsa itu separuh hak laki-
laki dan separuh hak perempuan berbeda pendapat mengenai cara
pewarisan mereka.

J. Kewarisan Orang Mati Bersama


Apabila dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan kewarisan
mengalami kecelakaan, dimana masih memungkinkan untuk mengetahui
salah seorang dari mereka yang meninggal terlebih dahulu dari yang
lainnya, maka yang meninggal berhak untuk mewaris dari orang yang
meninggal terlebih dahulu, namun apabila tidak bisa diketahui siapa
yang lebih dahulu meninggal atau meninggalnya secara bersamaan,
maka mereka tidak saling mewaris. Harta masing-masing diwarisi oleh
ahli waris yang ada.
K. Kewarisan Akibat Li’an
Li’an adalah sumpah suami yang menuduh isterinya berzina dan
tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, untuk memperkuat
ucapannya. Li’an akan terjadi apabila tuduhan zina oleh suaminya
dibantah oleh isteri. Tuduhan suami termasuk dalam pengingkaran anak
yang akan dilahirkan nanti. Li’an yang diucapkan suami tersebut
berakibat pada putusnya hubungan kewarisan antara suami-isteri, dan
putusnya hubungan antara suami dengan anak yang dilahirkan,
sedangkan kewarisan antara suami di satu pihak dan anak dengan ibunya
di pihak lain menjadi pembicaraan dikalangan ulama.
Pendapat para ulama mengenai putusnya hubungan kewarisan
antara suami isteri akan terajdi apabila kedua belah pihak sudah
menyelesaikan sumpah li’annya, artinya apabila keduanya belum
menyelesaikan sumpah li’annya maka keduanya masih saling mewarisi.
Menurut pendapat di kalangan Hanabilah hubungan kewarisan
antara laki-laki yang meli’an dengan anak dari isteri yang dili’annya
akan terputus sejak li’an selesai diucapkan dalam hal menafkahi anak
tersebut, namun apabila dalam li’an tidak disebutkan menafkahi anak
yang akan lahir oleh suami, maka hubungan anak dan laki-laki itu tidak
putus dan diantar mereka masih memiliki hubungan mewaris.
Menurut pendapat dikalangan Abu Bakar bahwa anak yang lahir itu
akan putus hubungannya dengan laki-laki yang meli’annya sejak
perkawinan keduanya dinyatakan putus, walaupun dalan ucapan li’an
tidak disebutkan menafkahi anak.
L. Kewarisan Anak Zina
Anak zina adalah anak yang dilahirkan diluar hubungaan
perkawinan yang sah, dimana anak tersebut hanya dihubungkan dengan
ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan anak tersebut tidak dihubungkan
dengan laki-laki yang berzina dengan ibunya, dengan artian ia tidak
berhak mewaris dari laki-laki itu begitu pula sebaliknya, laki-laki
tersebut tidak berhak menerima warisan dari padanya.
Anak zina hanya berhak waris dan mewaris dengan keluarga ibunya
saja dan apabila anak zina itu kembar, maka mereka dianggap sebagai
saudara seibu saja.
Mengenai pembagian warisan anak zina, para ulama berpendapat :
(Ibid, Hal 94-95)
1. Menurut Zaid bin Tsabit dan ahli hukum aliran
Madinah berpendapat, bahwa harta warisan anak zina sama dengan
ketentuan harta warisan anak bukan zina.
2. Menurut pendapat Malik bin Anas, Syafi’iy, dan Abu
Hanifah beserta pengikutnya menyatakan bahwa apabila ibunya
masih ada, maka ibunya mendapat 1/3 bagian dan selebihnya
diserahkan ke baitul maal. Juga apabila ia mempunyai saudara-
saudara seibu, maka mereka juga mendapat 1/3 bagian. Apabila
semua ahli waris yang disebutkan di atas tidak ada, maka semua
warisan akan jatuh ke baitul maal.
3. Menurut pendapat Ali bin Abi Thalib, ‘Umar bin
Khattab dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa harta warisan
dibagikan kepada ‘ashabah anak zina itu, yaitu setiap orang yang
memiliki hak ‘ashabah atas ibunya, jika ibunya tidak ada.

M. Kewarisan Dzaul Arham


Pengertian dzaul arham secara umum adalah orang yang
mempunyai hubungan kekerabatan, namun dalah hal hak menjadi ahli
waris dan cara mendapat warisan masih menjadi perdebatan di kalangan
ulama. Kelompok ulama yang terdiri dari Umar, Ali, Abdullah, Ubaidah
bin al-Jarah, Mu’az ibn Jabal dan Abu Darda dari kalangan sahabat dan
ulama sesuidanya seperti Syureih, Umar bin Abdul Aziz, ‘Atha’, Thaus,
‘Alqamah, Masruq, Ahmad, dan ahli Kufah berpendapat bahwa dzaul
arham berhak menjadi ahli waris apabila tidak ada ahli waris furudh dan
ashabah.
Dasar dari pendapat golongan ini adalah Q.S. al-Anfal ayat 75,
yang artinya :
“Orang-orang yang mempunyai hubungan keturunan, sebagainya
lebih utama dibandingkan dengan yang lain dalam kitab Allah.”
Juga berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, yang artinya :
“Saudara ibu menjadi ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai
ahli waris”
Kelompk kedua terdiri dari Zaid bin Tsabit dari sahabat yang
kemudian diamalkan oleh Malik, al-Awza’i, al-Syafi’i, Abu Tsaur, Daud
dan Ibnu Jaris yang berpendapat bahwa dzaul arham tidak berhak
menerima warisan, karena menurut kelompok ini semua sisa warisan
diserahkan kepada baitul maal. Dasar bagi kelompok ini adalah wahyu
yang diturunkan kepada Nabi yang menyatakan bahwa saudara orang tua
tidak berhak mewaris.

N. Kewarisan Berganda
Kewarisa berganda berarti bahwa seseorang dalam satu kasus
mempunyai dua hak kewarisan. Dari segi bentuknya ada dua macam hak
kewarisan berganda yang disebabkan oleh dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, karena timbulnya kasus kewarisan baru sebelum
kewarisan lama diselesaikan pembagiannya. Bentuk ini sering disebut
dengan al-munasakhaat (atau kewarisan beruntun). Kedua, dalam
bentuk seorang memiliki dua sebab dalam kewarisan dan mewarisi dari
setiap sebab itu. (Syarifuddin, Op., Cit, hal 152)
Munasakat terjadi apabila terjadi kematian kepada ahli waris yang
berhak sebelum warisan dibagikan kepadanya, menyebabkan seorang
kerabat lainnya yang ditinggalkan, selain menerima hak warisan dari
pewaris pertama, juga mendapat warisan dari pewaris kedua dari harta
warisan yang diterimanya dari pewaris pertama.
Bentuk kedua akan timbul apabila terjadi perkawinan antara dua
orang yang mempunyai hubungan kewarisan, contohnya perkawinan
antar sepupu dan apabila isterinya meninggal maka ia berhak mendapat
bagian warisan sebagai suami dan sebagai sepupu (anak paman).
Menurut golongan syafi’i ia hanya menerima dari satu kedudukan
terkuat yang bisa menghijab kedudukan yang lainnya.
BAB VI : SISTEM KEWARISAN BILATERAL

Pokok-pokok Hukum Kewarisan Bilateral


Hukum kewarisan bilateral merupakan ajaran hasil ijtihad dari
prof. Dr. Mr. Hazairin, SH., yaitu suatu ajaran yang serasi dari hukum
kewarisan yang dipandang dari suatu seginya. (Ramulyo, 1984 : 57)
Menurut Q.S an-Nisa ayat 7 menyatakan ada 6 garis hukum,
yaitu : (Hazairin, ...... : 16)
Laki-laki dalam hubungan ibu bapak (walidani).
Laki-laki dengan aqrabun (Keluarga dekat).
Wanita dengan ibu-bapak.
Wanita dengan keluarga dekat (aqrabun).
Besar kecilnya.
Wajibnya
Dapat diuraikan dengan membaca satu pasal saja seperti tersebut
diatas orang akan langsung memahaminya : (Ibid, hal 17)
1. Bagi laki-laki ada bagian harta warisan dari harta peniggalan ibu
bapaknya, atau bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta
peninggalan ibu bapaknya.
2. Bagi laki-laki ada bagian harta warisan dari harta peninggalan
keluarga dekatnya (aqrabun).
Dengan membaca teks ini kita sudah mengetahui maksudnya,
yaitu terdapat dua garis hukum untuk laki-laki dan anak laki-laki.
3. Bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu
bapaknya atau bagi anak wanita ada bagian warisan dari harta
peninggalan bapaknya.
4. bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan keluarga
dekatnya (aqrabun).
5. Bagian warisan itu ada yang banyak dan ada yang sedikit.
6. Pembagian seperti di atas 1, 2, 3, 4 dan 5 itu adalah pembagian
yang wajib dilakukan. Oleh Prof. Dr. Mr. Hazairin disebut
pembagian yang pasti.

Pengertian Harta Peninggalan


Harta peninggalan dalam al-Qur’an disebut, maa taraka. Maa
artinya harta atau apa-apa, taraka artinya peninggalan atau
meninggalkan.
Dalam kehidupan berkeluarga harta dapat digolongkan 3
menjadi macam :
1. Harta milik pribadi suami atau isteri yang telah dimiliki sebelum
pernikahan, baik karena usahanya sendiri atau diperoleh sebagai
warisan dan sebagainya, dimana harta tersebut tetap menjadi milik
masing-masing pihak sehingga mereka dapat melaksanakan
tindakan hukum atas barang tersebut dengan kekuasaan penuh.
Tetapi bisa dijadikan harta bersama dengan jalan syirqah, yang
lebih dikenal dengan nama syarikat.
2. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai hadiah atau hibah
setelah mereka menikah, yang tetap menjadi milik masing-masing
pihak.
3. Harta yang diperoleh setelah pernikahan dengan usaha sendiri
oleh masing-masing secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
yang disebut dengan harta bersama, yang menjadi milik bersama
mereka.
Pada bahasan ini yang kita bicarakan lebih lanjut adalah
mengenai harta bersama, dimana apabila terjadi perceraian atau putus
perkawinan, akan berpengaruh pada harta perkawinan juga :
1. Cerai hidup
Terhadap cerai hidup, harta bersama dibagi secara berimbang
kepada kedua belah pihak, dilihat dari usaha mereka dalam
mendapatkan harta tersebut.
2. Cerai mati
Jika suami yang meninggal dunia, maka semua kekayaan
suami dinilai sebagai harta peninggalan.

Harta Bersama dalam Perkawinan


Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta yang diperoleh
setelah pernikahan dengan usaha sendiri oleh masing-masing secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang menjadi milik bersama
mereka.
Bahasan kali ini kita akan membicarakan tentang harta bersama
dalam perkawinan yang terdapat dalam pasal 35 dan pasal 37 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan
bahwa .............................................
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang percampuran
harta dalam perkawinan disamakan dengan percampuran harta dalam
Perseroan Terbatas.

Ahli Waris Kelompok Pertama, Dzul Faraid


Dzul farid adalah ahli waris yang mendapat bagian harta waisan
tertentu dalam keadaan tertentu. Dzul atau Dzawul atau dzamu, artinya
mempunyai sedangkan al-faraid merupakan kata jamak dari al-
faridha, yang artinya bagian, maka dzamul al-faridha atau dzul faraid
untuk golongan ahli waris pertama digunakan oleh semua pihak yang
mengemukakan ajaran mengenai hukum kewarisan. (Purwadi, 3006 :
45).
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 11, 12, 176, yang disebut dzul
faraid adalah :
Anak perempuan dalam hal tidak ada anak laki-laki :
a. 1/2 bagian, apabila hanya seorang.
b. 2/3 bagian, apabila dua orang atau lebih.
Ibu :
a. 1/6 bagian, apabila ada anak.
b. 1/3 bagian, apabila tidak ada anak.
Bapak dalam hal ada anak :
a. 1/6 bagian, apabila bersama-sama dengan anak
Duda (suami yang ditinggal mati isteri) :
b. 1/4 bagian, apabila ada anak.
c. 1/2 bagian, apabila tidak ada anak.
5. Janda (isteri yang ditinggal
mati suami) :
b. 1/8 bagian, apabila ada anak.
c. 1/4 bagian, apabila tidak ada anak.
Saudara laki-laki dalam hal mati punah (kalalah) :
b. 1/6 bagian, apabila hanya seorang, tidak ada keluarga yang lain.
c. 1/3 bagian, untuk dua orang atau lebih, apabila tidak ada
bapak dan anak
Saudara perempuan dalam hal mati punah (kalalah) :
a. 1/2 bagian, apabila hanya seorang, tidak ada keluarga yang lain
b. 2/3 bagian, untuk dua orang atau lebih, apabila tidak ada
anak dan bapak.
8. Saudara laki-laki dan saudara
perempuan bergabung dalam hal mati punah (Kalalah) :
Bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang
saudara perempuan.

Ahli Waris Kelompok Kedua, Dzul Qarabat


Dzul qarabat adalah ahli waris yang mendapat bagian harta
warisan yang tidak tertentu jumlahnya, disebut juga ahli waris bagian
terbuka, ahli waris dzul qarabat adalah ahli waris yang mempunyai
hubungan kekerabatan dengan pewaris, baik melalui garis laki-laki
maupun perempuan secara serentak dan tidak terpisah. (Ibid, hal 47 -
48)
Ahli waris yang termasuk dzul qarabat, ahli waris yang mendapat
bagian harta warisan tidak tertentu jumlahnya, yaitu :
1. Anak laki-laki
2. Anak perempuan karena ada anak laki-laki.
3. Bapak.
4. Saudara laki-laki dalam hal mati punah (kalalah).
5. Saudara karena ada saudara laki-laki, dalam hal mati punah
(kalalah).

Ahli Waris Kelompok Ketiga, Mawali


Mawali adalah ahli waris pengganti, maksudnya ahli waris yang
menggatikan kedudukan seseorang untuk memproleh bagian harta
warisan yang tadinya akan diperoleh oleh kedua orang yang
digantikannya. (Thalib, 1983 : 80)
BAB VII : BENTUK-BENTUK PENGALIHAN HAK LAINNYA
SELAIN KEWARISAN

Hibah
1. Pengertian Hibah
Hibah adalah pengeluaran harta semata hidupnya atas dasar
kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk kepentingan
sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang
berhak menjadi ahli warisnya.
Menurut pasal 171 Kompilasi Hukum Islam hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki
Hal-hal mengenai hibah yang diatur dalam KHI adalah :
a. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua
puluh satu) tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang
saksi untuk dimiliki.
b. Harta benda yang dihibahkan harus dapat
diperhitungkan sebagai warisan. (Pasal 210)
c. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan. (Pasal 211)
d. hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua
kepada anaknya. (Pasal 212).
e. Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam
keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya. (Pasal 213)
f. Warga Negara Indonesia yang berada di negara asing dapat

membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Keduataan


Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan
dengan ketentuan Pasal-pasal ini. (Pasal 214).
2. Dasar hukum hibah :QS. Al-Imron ayat 77, dan An-Nisa ayat 38.
3. Rukun Hibah, yaitu :
a. Pemberi hibah
Pemberi hibah adalah pemilik sah barang yang dihibahkan
dan pada waktu pemberian dilakukan berada dalam keadaan sehat,
baik jasmana maupun rohaninya.
Syarat yang harus dipenuhi adalah pemberi hibah :
- Dewasa.
- Cakap melakukan tindakan hukum.
- Mempunyai barang yang hibahkan. (Daud Ali, 1988 : 24)
b. Penerima wasiat.
Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan
maupun badan hukum yang menerima hibah.
Syarat yang harus dipenuhi oleh penerima hibah adalah harus
cakap melakukan perbuatan hukum, apabila masih dibawah umur
maka ia diwakili oleh walinya atau orang yang diwasiatkan
menerimanya. (Ibid)
c. Harta atau barang yang dihibahkan
harta atau barang yang dihibahkan dapat berupa barang
bergerak maupun barang tidak bergerak, bahkan manfaat barang/
benda dapat dihibahkan. (Ibid)
Syarat harta/benda yang dihibahkan :
- Nilainya jelas.
- Barang itu ada pada saat terjadi hibah.
- Barang tersebut memiliki nilai.
- Barang tersebut dapat dipindah tangankan.
- Milik pemberi hibah secara sah. (Zainuddin Ali, 1995 : 148)
d. ijab-qabul
Ijab merupakan lafaz penyerahan barang / benda dari
pemberi hibah dan disambut oleh qabu dari penerima hibah
yang menyatakan dirinya menerima hibah dari pemberi hibah
tersebut. Dimana antara ijab dan qabul tersebut saling mengikat.
Menurut ajaran Islam hibah tidak dapat dibatalkan atau
ditarik kembali berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim, yang artinya adalah :
“Orang yang menarik kembali hibahnya diibaratkan dengan
orang yang muntah lalu ia memakan muntahnya itu kembali.

Pengecualian hadits tersebut apabila hibah dilakukan oleh
orang tua kepada anaknya, maka hibah tersebut dapat ditarik
kembali.
Perbedaan mendasar antara hibah dan waris adalah terletak
pada saat penyerahan harta dimana pada hibah penyerahan hak milik
hanya dapat dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup, berbeda
dengan warisan yang pemindahan hak terjadi apabila pewaris
meniggal dunia.

Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang
lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia
dasar hukumnya ditenukan dalam al-Qur’an surat al-Imron ayat 180
dan 240.
Menurut pasal 171 Kompilasi Hukum Islam wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Hal-hal yang berkaitan dengan wasiat yang tertuang dalam KHI
adalah :
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu)
tahun berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewariskan
sebagian bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3. Pemilikan terhadap harta seperti yang dimaksud dalam ayat 411
baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. (Pasal
194)
4. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau
tertulis di hadapan dua saksi, atau dihadapan Notaris.
5. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari
harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
6. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua
ahli waris.
7. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) Pasal ini dibuat secara
lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang
saksi atau di hadapan Notaris. (Pasal 195)
8. Dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus
disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau
lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang
diwasiatkan. (Pasal 196)
9. Warisan menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan
putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat kepada pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancamaan mencegah
pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat
untuk kepentingan calon penerima dari wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau
memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
10. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima
wasiat itu :
b. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal
dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
c. mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk
menerimanya;
d. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan
menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum
meninggalnya pawasiat.
11. Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah. (Pasal 197)
12. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan
suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. (Pasal 198)
13. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat
belum menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik
kembali.
14. Pencabutan wasit dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan
oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang
saksi atau berdasarkan Akta Notarais bila wasiat terdahulu dibuat
secara lisan.
15. Bila wasiat dapat dilakukan secara tertulis, maka hanya dapat
dicabut dengan tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akta Notaris.
16. Bila wasiat dibuat berdasarkan akta Notaris, maka hanya dapat
dicabut berdasarkan akta Notaris. (Pasal 199)
17. Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak bila karena suatu
sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi
debelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya
akan menerima harta yang tersisa. (Pasal 200)
18. Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan
ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasit hanya
dilaksanakan sampai batas waktu sepertiga harta warisan. (Pasal
201)
19. Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan,
sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat
menetukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
(Pasal 202)
20. Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka
penyimpanannya ditempat notaris yang membuatnya atau di tempat
lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
21. Bilamana surat surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199, maka
surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali ke pewasiat.
(Pasal 203)
22. Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan
disimpan pada notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris,
disaksikan dua orang saksi dengan membuat berita acara
pembukaan surat wasiat itu.
23. Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada noratis, maka
penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau
Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau
Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan
dalam ayat (1) Pasal ini.
24. Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh
Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima
wasiat guna penyelesaian selanjutnya. (Pasal 204)
25. Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang
termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah
pertempuran atau yang berada di suatu tempat yang ada dalam
kepunagan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
seorang komandan atasannya dengan dihadiri dua orang saksi.
(Pasal 205)
26. Mereka yang sedang berada dalam perjalanan melalui laut
dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nahkoda atau mualim
kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat dihadapan
seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
(Pasal 206)
27. Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayaran perawatan bagi seorang dan kepada orang yang
memberikan tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk
membalas jasanya. (Pasal 207)
28. Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akta
tersebut. (Pasal 208)
29. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-pasal 176
sampai dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat sebanyak-
banyaknya 1/3 (sepertiga) dai harta wasiat anak
angkatnya.Terhadap anak angkatnya yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajib sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta
warisan orang tua angkatnya. (Pasal 209)
2. Dasar Hukum Wasiat
a. QS. Al-Imron, ayat 180, yang artinya :
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) akan mati, apabila ia mempunyai
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kaum
kerabatnya.”
b. QS. Al-Imron, ayat 181, artinya :
“ Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya untuk orang-
orang yang mengubah. ”
c. QS. Al-Imron, ayat 182, yang artinya :
“ Akan tetapi barang siapa khawatir terhadap orang-orang yang
berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia
mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa
baginya. ”
d. QS.............. Ayat 106, yang artinya :
“ Seseorang yang akan berwasiat, maka hendaklah disaksikan
oleh dua orang saksi yang adil di antara kamu. ”
e. QS. Al-Imron, ayat 240, yang artinya :
“ Dan orang-orang yang akan meniggal di antara kamu dan
meniggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri (isteri-
isteri), diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah dari rumahnya. ”
3. Rukun Wasiat
Ada 4 rukun wasiat, yaitu :
a. Orang yang berwasiat :
− Baligh (dewasa).
− Berakal sehat.
− Bebas menyatakan kehendaknya.
− Merupakan tindakan tabarru’ (derma).
− Harta tidak berada dalam penjaminan.
− Islam.
Orang yang menerima wasiat :
−Harus dapat diketahui dengan jelas siapa yang menerima wasiat
itu, nama badan, organisasi atau masjid tertentu.
−Telah ada ketika atau pada waktu wasiat dinyatakan.
−Bukan untuk kemaksiatan
b. Suatu yang diwasiatkan.
−Dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi obyek
perjanjian.
−Benda ada (berwujud) pada saat diwasiatkan.
−Hak milik pewasiat
3. Lapaz wasiat
Ijab yang merupakan pernyataan kehendak dari pewasiat dan
kabul merupakan pernayaan dari penerima wasiat bahwa ia
menerima wasiat tersebut.
Menurut KUH Perdata pasal 889 menyatakan bahwa wasiat tidak
memandang agama
Wasiat dapat batal apabila :
a. Pewasiat menarik wasiatnya.
b. Pewasiat kehilangan kecakapannya untuk bertindak.
c. Pewasiat meniggalkan hutang yang mengakibatkan hartanya habis.
d. Penerima lebih dahulu meniggal dunia dari pewasiat.
e. Penerima wasiat membunuh pewasiat.
f. Penerima wasiat menolak wasiat.
g. Sesuatu yang diwasiatkan tidak menjadi milik pewasiat lagi
sebelum meninggal.
BAB VIII : PERKEMBANGAN HUKUM KEWARISAN DI
INDONESIA

A. Politik Hukum Pemerintah Kolonial Belanda


Indonesia merupakan suatu negara yang majemuk, begitu pula
dengan hukumnya, sampai pada saat inipun di Indonesia terdapat
beberapa hukum yang berlaku dan dipatuhi di masyarakat, antara lain
hukum adat, hukum Islam dan huikum barat.
Hukum yang tertua berlaku di Indonesia adalah hukum adat
yang sudah digunakan oleh masyarakat sekitar abad ke VII sampai
awal abad ke XIII, walaupun hukum adat ini baru dikenal sebagai
sistem hukum sekitar abad ke XX.
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui Sumatera, yang
dibawa oleh pedagang asing berasal dari India dan Arab dengan cara
mengadakan perkawinan sehingga terjadi percampuran kebudayaan
diantara mereka, dalam perkembangannya agama Islam ini menyebar
dengan pesat.
Bangsa Belanda datang ke Indonesia pada akhir abad XVI,
dengan tujuan awal berdagang. Untuk mempermudah tujuannya
Belanda mendirikan persekutuan dagang yang lebih kita kenal dengan
nama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Dalam masa
pendudukannya VOC menerapkan hukum Belanda terhadap semua
bidang kehidupan, namun sejalan dengan bertambahnya daerah
kekuasaannya, hukum Belanda yang diterapkan oleh VOC tidak efektif
lagi, sehingga akhirnya VOC membiarkan hukum setempat untuk tetap
berlaku, dengan dikeluarkannya Statuten Batavia, yang menyatakan
bahwa bagi perkara kewarisan orang-orang Kristen dan Tionghoa
berlaku hukum barat, sedangkan dalam hal kewarisan bagi orang
Indonesia yang beragama Islam berlaku hukum Islam. (Soepomo dan
Djokosutono, 1955 : 2)
Untuk tetap melanjutkan pemikiran tersebut maka D.W. Freijer
diberi tugas unutk menyusun suatu Compendium yang memuat hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam dengan bantuan penghulu dan
ulama Indonesia, yang kemudian kitab hukum tersebut dikenal dengan
nama Compendium Freijer. (Ali, Kedudukan ............: Op. Cit, hal 11)
Beralihnya pemerintahan dari VOC ke Pemerintah Hindia
Belanda tidak membawa perubahan terhadap perkembangan hukum di
Indonesia karena hukum yang berlaku masih sama dimana bagi bangsa
Eropa berlaku hukum barat, untuk bangsa Indonesia berlaku hukum
adat, kebiasaan atau agama, sementara itu apabila itu jika terjadi
perkara yang melibatkan pihak yang berbeda, hukum yang ditetapkan
adalah hukum yang berlaku bagi yang dituntut. Pada masa itu hukum
hukum adat dipandang sebagai hukum yang tepat untuk diberlkaukan
di Indonesia. Sebagai ahli hukum Belanda menganggap, bahawa
hukum adat identik dengan hukum Islam karena mereka memandang
bahwa hukum yang dhidup dalam masyarakat Indonesia adalah hukum
Islam. Pandangan tersebut melahirkan sebuat teori Receptio in
complexu. Teori tersebut dipelopori oleh para ahli hukum Belanda
seperti C.F. Winter, Solomon Keyser, dan mencapai puncak
ketenarannya melalui L.W.C. van den Berg. (Sayuti Talib, 1985 : 4-8)
Pengaruh teori tersebut dapat ditemukan pada politik hukum
kolonial Belanda pada waktu itu sekitar tahun 1600-1880, dimana
hukum Islam diberlakukan bagi penduduk pribumu yang beragama
Islam. Oleh pemerintah kolonial Belanda, hal ini kemudian dituangkan
dalam Reglement op de beleid der Regeering van Nederlandsch Indie,
yang kemudian dikenal dengan nama R. R atau Regeeringsreglement,
dengan Stb. 1854 : 129 dan Stb. 1885 : 2. ( Ismail Suny, 1987 : 5)
Dasar politik hukum pemerintah kolonial mengenai teori
Receptio in complexu pasa sekitar awal abad XX mendapat kritik
tajam dari C. Snouck Hurgronje, dengan menerbitkan kedua bukunya
yang berjudul de Atjehers dan het Gajoland, yang menyatakan bahwa
di Aceh selain hukum Islam berlaku pula ketentuan lainnya. Dengan
pemikiran tersebut C. Snouck Hurgronje mengemukakan suatu jalan
pemikiran yang sangat berlawanan dengan ajaran sebelumnya.
Pemikiran baru tersebut dikenal dengan nama teori Receptie yang
berpendapat bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum
adat asli dimana di dalam hukum adat tersebut telah masuk pengaruh
hukum Islam. Hukum Islam hanya mempunyai kekuatan berlaku
apabila hukum adat menginginkannya. (Thalip, Op. Cit )
Teori Receptie menjadi dasar dalam menentang isi R. R, yang
menyebabkan pemerintah kolonial belanda mengadakan perubahan
politik hukum kolonial terhadap pasal-pasal dalam R. R.

B. Politik Hukum Pemerintah Indonesia


Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
mengukuhkan RI sebagai salah satu negara yang berdaulan dan berhak
mengatur urusannya sendiri, begitu pula dengan menentukan hukum
yang berlaku di wilayahnya, sebagai negara yang baru merdeka pada
waktu itu RI masih menggunakan I. S karena UUD 1945
memperbolahkan hal tersebut dengan pasal II aturan peralihannya.
Aturan tersebut secara umum membagi hukum yang berlaku bagi
masyarakat Indonesia, dimana untuk golongan Bumuputera berlaku
hukum adat dan hukum Islam, untuk golongan Eropa berlaku KUH
Perdata, dan untuik golongan Timur Asing berlaku hukumnya masing-
masing. Dan hal menyatakan fakta bahwa teori receptie masih berlaku.
Menurut Hazairin, bahwa I.S yang merupakan konstitusi
pemerintah kolonial Belanda tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya
proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, (Lihat Hazairin, Demokrasi
Pancasila, 1990 : 98).
Dalam UUD 1945 pasal 29 menyatakan bahwa :
1. Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama
dan kepercayaan itu.
Hazairin berpendapat bahwa negaya yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat dalam pasal 29 UUD 1945
tersebut kemungkinan hanya dapat ditafsirkan ke dalam enam
kemungkinan. Ketiga diantaranya yang berhubungan dengan politik
hukum adalah : (Hazairin, op. cit, hal 33-34)
1. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku
suatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat
Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Nasrani bagi
umat Nasrani, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah agama
Hindu Bali bagi orang-orang Hindu Bali, atau bertentangan
dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha.
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bgai
orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at
Hindu Bali bagi orang Hindu Bali, sekedar menjalankan syari’at
tersebut memerlukan perantara kekuasaan negara.
3. Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh
setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban
pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankan
sendiri menurut agamanya masing-masing.
Untuk menentang teori receptie yang banyak ditentang para ahli,
para murid Hazairin mengembangkan teori receptio a contrario yang
merupakan kebalikan dari teori receptie milik Snouck Hurgronje dan
kawan-kawan. Dasar dari teori receptio a contrario adalah kenyataan
bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam
yang taat sehingga mereka menghendaki agar hukum Islam
diberlakukan pada bidang-bidang tertentu.
Tanggapaan posirtif terhadap konsep teori receptio dan tafsiran
pasal 29 UUD 1945 menyebabkan dikeluarkannya Ketetapan MPRS
Nomor II/MPRS/1960. untuk menindak lanjuti ketetapan MPRS
tersebut, dalam bidang hukum keluarga telah dikelaurkannya
keputusan dari Badan Perencana Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional tertanggal 28 Mei 1962, mngenai hukum keluarga. (Purwadi,
Op., Cit, 75)
Dalam pasal 12 keputusan tersebut menyatakan bahwa :
Mengenai hukum keluarga ditetapkan asas-asas (Lih Hazairin, Hk
Kekeluargaan Nasional, Jakarta, 1982 : 16-17)
1. Di seluruh Indonesia berlaku satu sistem kekelurgaan, yaitu sistem
parental, yang diatur dengan Undang-undang, dengan
menyesuaikan dengan sistem-sistem lain yang terdapat dalam
hukum adat seperti pada sistem parental.
2. Supaya sistem parental itu berlaku secara efisien, maka adalah
conditio sine qua non, yang semua larangan terhadapt perkawinan
antara croos-cousin dan parental-cousin dihapuskan.
3. Sila kerakyatan dalam pancasila menghendaki pula sistem
parental tersebut didemokrasikan, yaitu dengan menghapuskan
tingkat-tingkat kemasyarakatan, sehingga diantara suami isteri
tidak ada lagi perbedaan martabat. Dengan demikian maka dalam
pologami suani isteri sama haknya dan kewajibannya; demikian
pula semuaanak-anak sama haknya dan kewajibannya dengan
tidak memandang lagi siapa ibu anak itu.
4. Dalam setiap perkawinan diakui ada harta bersama anatara suami
isteri mengenai harta benda yang diperoleh dalam perkawinan itu
atas usaha suami isteri.
5. (a) Dalam prinsipnya perkawinan adalah monogami.
(b) Poligami bagi golongan-golongan tertentu hanya dapat
dilakukan dalam hal-hal tertentu dan di bawah pengawasan
yang berwajib, dengan pengertian bahwa pilogami itu tidak
boleh dipaksakan terhadap isteri yang tidak mau dimadu.
(c) Undang-undang hukum perkawinan untuk rakyat Islam
membutuhkan penyempurnaan, antara lain (disamping
penyempurnaan peraturan mengenai poligami), juga
menyempurnakan peraturan mengenai perceraian, talak, dan
nafkah istri sesudah perceraian : (menjatuhkan talak di bawah
pengawasan yang berwajib), kemungkinan nafkah sesudah
iddah).
6. Hukum Waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral
individual, dengan kemudian adanya variasi dalam sistem bilateral
tersebut untuk kepeantingan golongan Islam yang
memerlukannya.
7. Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris
pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit
perubahan bagi hukum waris Islam.
8. Hukum adat yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan
diakui sebagai hukum pelengkap disisi hukum perundang-
undangan.

Momentum ditetapkannya Garis-garis Besar Haluan Negara


(GBHN) dengan dekeluarkannya TAP MPR Nomor IV/MPR/1973
merupakan tonggak perkembangan politik Indonesia.
Untuk masalah hukum kewarisan telah disahkan Undang-undang
Nomor 7 tahun 1999 tentang peradilan Agama. Selain itu juga
dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang
kompilasi Hukum Islam (KHI).

C. Permasalahan Hukum Kewarisan di Indonesia


Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang
menggambarkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam
masyarakat. (Hazairin, Hk. Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan
Hadits, 1990 :11). Hal itu disebabkan oleh karena hukum kewarisan
mempunyai hubungan dengan ruang lngkup kehidupan manusia yang
dalam kehidupan sehari-hari tidak akan terlepas dari peristiwa hukum
yang disebut meninggal dunia, dimana peristiwa ini akan menimbulkan
akibat hukum terhadap pengurusan dan kelanjutan hak-hak orang yang
meniggal itu. Dimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai
akibat adanya peristiwa hukum karena meniggalnya seseorang yang
diatur dalam hukum kewarisan. (Oemarsalim, 1987 : 1)
Di negara Indonesia sistem kewarisan secara umum dibedakan
menjadi empat, yaitu :
1. Sistem patrilineal (garis keturunan bapak)
Sisten kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari garis
keturunan ayah atau garis keturunan laki-laki. Akibat dari
pernikahan pada sistem keturunan ini menyebabkan seorang isteri
harus melepaskan diri dari hubungan keluarga dengan orang
tuanya, nenek moyangnya, saudara sekandung, saudara sepupu
dan keluarganya yang lain karena istri akan akan masuk ke dalam
keluarga suami secara penuh. Sistem kekerabatan seperti ini
dianut oleh Masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Bali, Ambon,
dan Irian Jaya. (Hazairin, Ibid, Seikanto dan Taneko, Ibid,
Prodjokoro, Ibid, Koentrjaraningarat, Ibid.)
2. sistem matrilineal (garis keturunan ibu)
Sistem keturunan yang menarik garis keturunan dari ibu dan
seterusnya ke atas mengambil garis keturunan perempuan. Sistem
kekeluargaan ini bersifar keibuan, dimana suami ikut berdian di
rumah isteri dan keluarganya, namun suami tetap mempunyai
hubungan dengan keluarganya dan tidak masuk ke dalam keluarga
isteri, hanya keturunannyalah yang masuk ke dalam keluarga ibu.
Di Indonesia sistem seperti ini masih dianut oleh masyarakat di
daerah Minangkabau.(Prodjodikoro, Ibid, Hazairin, Ibid,
Koentjaraningrat, Ibid)
3. Sistem bilateral atau parental (garis keturuan ibu dan bapak)
Sistem keturunan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu dan
pihak bapak, sehingga dalam kekeluargaan seperti ini tidak
terdapat perbedaan kedudukan antara pihak ayah dan pihak ibu.
Akibat pernikahan tersebut suami menjai anggota keluarga isteri
demikian sebaliknya sehingga baik suami atau isterimemiliki dua
keluarga. Begitu pula dengan anak dari hasil perkawinan dalam
sestem ini akan mempunyai dua keluarga, yaitu keluarga dari
pihak ibu dan keluarga dari pihak bapak, tidak ada perbedaan
antara anak laki-laki dan anak perempuan, dan seterusnya. Di
Indonesia sistem kekeluargaan seperti ini dianut oleh masyarakat
Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan,
Sulawesi, Ternate, dan Lombok. (Prodjodikoro, Ibid, Hazairin di
dalam Seokanto, dan Taneko, op. cit, hal 61, juga
Koentjaraningrat, Ibid)
4. Sistem bilineal (garis unilateral)
Sistem kekerabatan yang dalam beberapa hal tertentu hanya
menarik hubungan kekerabatan laki-laki saja, atau perempuan
saja. Sistem kekerabatan ini dianut oleh masyarakat Aceh dan
Sawu. (Koentjaraningrat, Ibid, Lih. Salman, op. cit)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumya bahwa pendududk
Indonesi dapat di golongkan menjadi tiga golongan yaitu golongan
Bumi Putera, golongan Eropa, dan golongan Timur Asing yang bagi
ketiga golongan tersebut berlaku hukum yang berlainan pula.
Dalam BW juga disebutkan bahwa adanya hak mutlak bagi
masing-masing ahli waris untuk menuntut pembagian warisannya
sewaktu-waktu, sedangkan menurut hukum adat ada saat dimana
warisan tidak dapat diganti, namun bagi masyarakat Indonesia yang
sebagian besar memeluk agama Islam tidak bisa mengabaikan hukum
kewarisan Islam.
Hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia
adalah :
1. Berlaku hukum adat bagi orang-orang asli Indonesia.
2. Berlaku hukum Islam bagi penduduk asli Indonesia yang
beragama Islam dan telah dipengaruhi oleh hukum kewarisan
Islam
3. Berlaku hukum Islam bagi orang-orang Arab.
4. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku BW (KUH Perdata)
(Koentjaraningrat, Ibid)
Kewarisan dalam hukum adat selalu dipengaruhi oleh garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Dalam huku adat
dikenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu :
1. Sistem kewarisan individual, adalah sistem kewarisan dimana
harta peniggalan oleh pemilihnya dapat dibagi-bagikan kepada
para ahli waris. ahli waris secara perorangan seperti yang berlaku
pada masyarakat bilateral-jawa, patrilineal di tanah Batak.
2. Sistem kewarisan kolektif, adalah sistem kewarisan dimana harta
peninggalan diwarisi secara bersama-sama oleh ahli waris,
dimanan harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-bagikan
oleh pemiliknya, namun ahli waris dapat memanfaatkan harta
warisan tersebut. Sistem kewarisan seperti ini seperti sistem
kewarisan pada masyarakat yang menganut sistem matrilineal,
seperti pada masyarakat Minangkabau.
3. Sistem kewarisan mayorat, adalah sistem kewarisan dimana anak
tertua adalah pewaris tunggal yang berhak mewarisi semua harta
warisan. Hak mayorat terhadap anak laki-laki tertua berlaku di
masyarakat Lampung dan Bali, sedangkan hak mayoraqt anak
perempuan tertua terdapat di tanah Semedo Sumatera selatan.
(Ibid, hal 185-186)
Terhadap sistem kewarisan individual bilateral Hazairin
menemukan hal-hal baru yang merupakan ciri dari sistem hukum
kewarisan Islam, spesifikasi itu adalah : (Ibid, hal 17-18)
1. Pewaris bersama anak-anaknya serentak sebagai ahli waris ,
sedangkan dalam sistem hukum kewarisan di luar al-Qur’an, hal
tersebut tidak mungkin terjadi karena hal tersebut bisa terjadi
apabila ahli waris meniggal dunia tanpa meninggalkan katurunan
(mati punah).
2. Apabila pewaris meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan,
maka kemungkinan bahwa saudara-saudara pewaris bersama-
sama bertindak sebagai pewaris dengan orang tuanya, manurut
alQur’an hal tersebut tidak mungkin terjadi karena saudara
pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.
3. Suami dan Isteri saling mewaris. Artinya pihak yang terlama
hidup akan menjadi ahli waris dari pihak lainnya.

D. Perkembangan Hukum Kewarisan di Indonesia


1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran terhadap hukum
Islam
Beberapa faktor yang menimbulkan kesadaran umat Islam
terhadap tata nilai adat dan Barat, jika dihadapkan dengan nilai-
nilai Islam, khususnya bidang perdata adalah :
a. Penerimaam masyakat yang beragama Islam terhadap
berlakunya hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum
kewarisan, dan hukum wakaf) langsung terjadi pasa saat
keislaman seseorang harus diterima, karena peristiwa tersebut
berkaitan dengan nilai hukum yang akan dialami dan dijalani
oleh setiap muslim dalam kahidupan hidupnya.(Ibid)
Tiap muslim akan mengalami peristiwa perkawinan
dankewarisan dalam menempuh perjalan hidupnya, walaupun
kualitas keislamannya kurang sempurna, namun dalam
peristiwa yang berkaitan dengan perkawinan dan kewarisan
dapat dipastikan bahwa mereka selalu berpedoman pada
hukum Islam, walaupuan dalam peristiwa tertentu.
b. Terjadinya transformasi kesadaran masyarakat muslim yang
cenderung mengangkat nilai-nilai hukum Islam sebagai salah
satu aspek kaidah iman. (Ibid, hal 19)
Pembuktian hal tersebut dapat dilakukan walaupun
seorang muslim tidak taat menjalankan ibadahnyanya, namun
dalam perkawinan ia akan tetap meletakkan nilai-nilai Islam
terlebih dahulu, demikian pula halnya dengan hukum
kewarisan.
c. Hukum keluarga (perkawinan dan kewarisan) merupakan
bidang hukum Islam yang sempurna berdasarkan al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah.
Kesadaram masyarakat muslim mendorong mereka
untuk menjadikan hukum Islam sebagai aturan dan landasan
hidup bermasyarakat.

2. Hukum kewarisan dan Kekuasaan Peradilan Agama


Sejak tahun 1600 hingga 1800-an sebelum terbentuknya
Peradilan Agama tahun 1882, Pemerintah Belanda sudah
mengakui kebenaran hukum Islam.
Perjalan Peradilan Agama di Masyarakat muslim Indonesia
dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Pada tahun 1769, VOC mengeluarkan Compendium Freijer
yang berupa himpunan peraturan hukum Islam mengenai
kewarisan, nikah dan talak sesuai dengan perintah Statuten
van Batavia 1642, yang menyatakan bahwa sengketa
kewarisan antara orang-orang pribumi yang beragama Islam
harus mempergunakan hukum Islam (Ali, Kedudukan, Ibid,
hal 11)
b. Tahun 1808 terdapat istruksi dari pemerintah kolonial
Belanda kepada para Bupati yang menyatakan bahwa urusan
agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan,
sedangkan kepala-kepala “pendeta’ mereka dibiarkan untuk
memutusperkara-perkara tertentu. ( H. Idris Djakfar dan
Taufik Yahya, Op. cit hal 5)
c. Tahun 1832 berdasarkan Resolusi Gebernus Jenderal tanggal
3 Juni 1823 Nomor 12 diresmikan “Pengadilan Agama” di
Palembang.
d. Tahun 1835 dengan resolusi tanggal 7 Desember 1835
dinyatakan bahwa apabila terjadi sengketa orang-orang Jawa
satu dengan lainnya harus diputus menurut hukum Islam.
BAB IX : PENUTUP

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang


pelaksanaan pewarisan menurut hukum Islam yang terkandung dalam al-
Qur’an, Hadits Nabi dan Ijtihad. Hukum kewarisan Islam mengatur tentang
harta warisan yang ditinggalkan seseorang kepada ahli warisnya baik laki-
laki maupun perempuan, dimana laki-laki mendapat bagian lebih banyak
dari perempuan. Dasar berlakunya hukum kewarisan Islam ini adalah dalam
al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 7, 11,12,23,14, 33 dan 17, beserta hadits-
hadits Nabi maupun Ijtihad dari para ulama.
Hukum kewarisan menyangkut beberapa hal pokok, yaitu : pewaris,
yang terdiri dari orang tua, anak, kerabat ahli waris lainnya, ahli waris yang
terdiri dari anak. Isteri, suani, orang tua, saudara dan harta warisan dapat
berupa harta bergerak dan tidak bergerak milik dari pewaris.
Asas-asas dalah hukum kewarisan Islam adalah asas ijbari, asas
bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat
kematian.
Di Indonesia berlaku hukum kewarisan Islam yang secara patrilineal
dikembangkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah madzhab Syafi’i, yang
dalam perkembangannya terdapat pertentangan-pertentangan dengan
hukum adat yang telah berlaku sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Abdul Aziz al-Halawi, Muhammad 1999 Fatwa dan Ijatihad Umar Bin
Khathab Risalah Guasti : Surabaya,
Ali, Zainuddin, 1995, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di
Kabupaten Donggala” Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta,
Ali Daud Muhammad, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf,
UI Press, Jakarta,
Dja’far, H. Idris, dan Taufik Yahya, 1995, Kompilasi Hukum Kewarisan
Islam, Jakarta, Pustaka Jaya,
Harahap, M. Yahya, 1990, Kedudukan, kewenangan dan Acara Peradilan
Agama: UU No. 7 tahun 1989, Pustaka Kartini, 1990,
Hasan, M. Ali 1973 Hukum Kewarisan dalam Islam, Bulan Bintang :
Jakarta,
Hazm, Ibnu, 1970, al-Muhalla, Matba’ah al-Jumhuriyah, al-Arabiyah,
Mesir,
Hazairin 1990, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits,
Tintamas, Jakarta,
------------------, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta,
Idris, Ramulyo M. 1987 Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus,
Perbandingan Ajaran Syafi’i (Patrilineal) Hazairin (Bilateral) dan
Praktek di Pengadilan Agama), Grafikatama Offset, Jakarta,
Oemarsalim, 1987, Dasar-dasar Hukum waris di Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta,
Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum
Waris, Alumni, Bandung,
Purwadi, Imam 2006 Diktat Hukum Kewarisan Islam Fakultas Hukum
Universitas Mataram,
Thalib, Sayuti, 1985, Receptio Contrario, Bina Aksara, Jakarta,
Undang-undang Nomor 1 Tentang Perkawinan Nasional,
Undang-undang Nomor 9 tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam,
Qudamah, Ibnu, 1970, al-Mughniy VI , Maktabah al-Qahiriyah, Cairo,
Seikanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia,
Jakarta, Rajawali,
Soepomo dan Djokosutono, 1955, Sejarah Politik Hukum Adat, Jakarta,
Djambatan,
Syarifuddin, Amir 2004 Hukum Kewarisan Islam Jakarta : Kencana,

You might also like