Professional Documents
Culture Documents
peninggalan ibu bapak dan karib kerabat; dan bagi perempuan ada
hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
2. Q.S. An-nisa (4):8, yang artinya “Dan apabila sewaktu pembagian
itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik”.
3. Q.S. An-nisa (4):9, yang artinya “Dan hendaklah takut kepada Allah
yang artinya:
“ Dari Huzail bin Surahbil berkata: Abu Musa ditanya tentang kasus
kewarisan seorang anak perempuan dari anak laki-laki dan seorang
saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak perempuan
setengah, untuk saudara peremuan satengah. Datanglah kepada
Ibnu Mas’ud, tertentu dia akan mengatakan seperti itu pula.”
Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan dia menjawab:
“Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi
SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan
seperenam, sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara
perempuan.”
4. Hadits Nabi dari ‘Umran bin Husein menurut riwayat Ahmad, yang
artinya :
“Dari ‘Umran bin Husein bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi
sambil berkata: “Bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal
dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya.” Nabi berkata:
“Kamu mendapat seperenam.”
5. Hadits Nabi dari Qubaishah bin Zueb menurut lima perawi hadits
artinya :
“Dari Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah berkata
keduanya berkata Rasul Allah SAW.: “Seorang bayi tidak berhak
menerima warisan kecuali ia lahir dalam keadaan bergerak dengan
jeritan. Gerakannya diketahui dari tangisan, teriakan dan bersin.”
C. Sumber-sumber Hukum Kewarisan Islam dalam Ijtihad
Ijithad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga, dimana yang
dimaksud dengan ijtihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dan
sekuat tenaga untuk mencari dan menemukan hukum baru terhadap
masalah yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, Ketentuan-
ketentuan hukum bidang kewarisan Islam yang bersumber dari Ijtihad,
yaitu :
1. Kewarisan cucu
Kewarisan cucu tidak kita temukan dalam al-Qur’an maupun
Hadits sehingga para ulama mujtahid menetapkan ketentan
warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata walad yang berarti
anak dalam Q.S. an-Nisa ayat 11, yaitu bukan hanya anak yang
dilahirkan tapi juga termasuk keturunan kebawah (cucu). (Hazairin,
1990 : 28)
2. Kewarisan anak saudara
Kewarisan anak saudara (kemenakan) sama sekali tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan Hadits sehingga para mujtahid menetapkan
ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian akhun
(saudara) yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa ayat 176, yaitu bukan
hanya saudara kandung atau seayah, juga keturunannya. (Hazairin,
1990 : 36)
3. kewarisan paman
Ketentuan kewarisan paman tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadits sehingga para mujtahid menetapkan ketentuan warisannya
berdasarkan perluasan pengertian kata kakek dan nenek yang terdapat
dalam Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek
dan nenek dilakukan dengan memasukkan keturunannya kebawah.
(Hazairin, 1990 : 102. Zainuddin Ali, 1995 : 49)
BAB III: ASAS – ASAS DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Asas Ijbari
Kata “Ijbari” secara leksibel mengandung arti paksaan
(compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.
Pengertian “wali mujbir” dalam terminologi fikih munakahat
(perkawinan) mengandung arti, bahwa wali dapat mengawinkan anak
gadisnya di luar kehendak anak gadisnya itu tanpa memerlukan
persetujuan dari anak yang akan dikawinkan itu. Begitu pula kata jabari
dalam terminologi ilmu kalam yang juga mengandung arti paksaan, yang
berarti semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, buka atas
kehendak dari hamba tersebut tetapi karena kehendak dan kekuasaan
Allah, seperti yang berlaku menurut aliran hukum kalam jabariyah.
(Syarifuddin, 2004 : 17)
Berlakunya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam, berarti
bahwa peralihan harta dari seorang yang telah meninggal kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa
harus tergantung kepada kehendak pewaris atau permintaan ahli waris.
Unsur paksaan dari asas ijbari terlihat dari keharusan ahli waris
untuk menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirnya sesuai
dengan bagian yang telah ditentukan, berbeda dengan hukum kewarisan
pada BW, dimana peralihan hak waris tergantung pada kemauan pewaris
serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima dan tidak
berlaku dengan sendirinya.
Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa sebelum meninggal
ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut, dengan alasan apapun
sedangkan kamauan pewaris terhadap harta hanya dibatasi oleh
ketentuan Allah.
Asas ijbari dalam Hukum Waris Islam tidak akan memberatkan
orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan Hukum
Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan
tidak berkewajiban memikul hutang yang ditinggalkan oleh pewaris.
Keawajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris
dengan harta yang ditinggalkan oleh pewaris dan tidak berkewajiban
melunasi utang itu dengan hartanya sendiri, sedangkan dalam BW
diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan, karena
menerima akan menanggung resiko untuk melunasi utang pewaris.
Adanya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat
dari beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta
yang beralih, dari segi kepada siapa harta itu beralih.
Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa
mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudang ditentukan secara
pasti sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat
mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan
orang yang berhak. Adanya unsur ijbari dalam ayat-ayat 11, 12, dan 176
dalam surat an-Nisa.
B. Asas Bilateral
Asas ini berarti bahwa ahli waris menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak
kerabat keturunan perempuan, Asas ini terdapat dalam al-Qur’an surat
an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang
anak laki-laki berhak untuk mendapatkan warisan dari pihak ayah dan
ibunya, dimana ayat ini merupakan dasar dari kewarisan bilateral. Dalam
ayat 11, dinyatakan bahwa anak perempuan berhak menerima warisan
dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki
dengan bandingan seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang
didapat dua orang anak perempuan, seorang ibu juga berhak
mendapatkan warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.
Juga ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari
anak-anaknya, baik laki-laki, maupun perempuan sebesar seperenam
bagian, bila pewaris meninggalkan anak. Dalam ayat 12 dinyatakan
bahwa apabila seorang laki-laki yang tidak memiliki pewaris langsung
(anak/ayah) maka saudara laki-laki dan atau perempuannya berhak
menerima bagian dari harta tersebut, juga apabila pewaris seorang
perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka
saudara laki-laki dan atau perempuan berhak menerima harta tersebut.
Dalam pasal 176 menyatakan bahwa terhadap seorang laki-laki yang
tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan ia
mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudaranya itu
berhak menerima warisannya, juga seorang perempuan yang tidak
mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan dia
mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan, maka saudara-
saudaranya berhak mendapatkan warisannya.
Kekerabatan bilateral ini berlaku juga untuk kerabat menurut garis
ke samping, ke bawah maupun keatas. (Syarifuddin, 2004 : 19 - 21)
C. Asas Individual
Asas ini berarti bahwa harta warisan dapat dibagi kepada masing-
masing ahli waris untuk kemudian dimiliki secara perorangan, asas ini
dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176.
Pembagian warisan secara individu bersifat mengikat dan wajib
dijalankan oleh setiap muslim, dimana pelanggaran atas asas ini akan
mendapat sangksi berat dari Allah SWT. yang tertuang dalam surat an-
Nisa ayat 13, dan 14 yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dengan terlaksananya asas individu dalam Hukum Kewarisan Islam
ini, maka setiap ahli waris berhak untuk bertindak atas harta yang
diperolehnya, apabila para ahli waris telah mempunyai kemampuan
untuk itu, apabila ahli waris belum memiliki belum memiliki
kemampuan untuk itu maka diangkat wali untuk mengurus hartanya
menurut ketentuan perwalian, dimana wali tersebut bertanggung jawab
mengurus harta ahli waris yang belum mampu mengurus harta tersebut,
dan akan segera mengembalikan harta itu apabila pemiliknya telah
mampu bertindak sepenuhnya terhadap harta miliknya tersebut.
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan
kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai
kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang di
dalam Ushul Fikih disebut “ahliyat al-wujub”.Dengan pengertian ini
setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu
dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian (Syarifuddin, 2004 : 21-
23).
Apabila diperhatikan dengan seksama, maka dapat kita temukan
dua sisi dimana sisi pertama ada ahli waris yang berhak secara penuh
atas harta yang diwarisinya, dan dilain sisi terdapat ahli waris yang
belum cukup umur untuk menggunakan harta warisannya, dimana ahli
waris yang sudah berhak menggunakan warisannya dapat memberikan
warisannya itu kepada siapun yang diingikan termasuk kepada ahli waris
yang belum dewasa, namun sifat individu harus tetap dipertahankan
dengan mengadakan perhitungan terhadap bagian masing-masing ahli
waris. Seperti yang telah dinyatakan oleh Allah SWT. dalam surat an-
Nisa ayat 2, yang artinya :
................................................, dimana warisan ahli waris yang belum
dewasa akan dipelihara dan dijaga hartanya hingga ia dewasa dan cakap
untuk menggunakannya. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa
pewarisan secara kolektif tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena
dikahawatirkan hal tersebut akan memakan hak anak yatim yang
terdapat dalam harta tersebut. (Syarifuddin, 2004 : 21-23).
yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak-
anak laki-laki dengan anak perempuaan dalam ayat 11 dan saudara
laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat 176. Dalam kasus yang
terpisah duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh oleh janda
yaitu setengah banding seperempat bila pewaris tidak meninggalkan
anak; dan seperenam banding seperdelapan bila pewaris
meninggalkan anak sebagaimana tersebut dalam ayat 12 surat an-
Nisa.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak,
memang ada ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak
adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan
jumlah yang di dapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan
kepada kegunaan dan kebutuhan, dimana laki-laki membutuhkan materi
yang lebih banyak jika dibandingkan dengan wanita, karena laki-laki
mempunyai kewajiban ganda terhadap dirinya dan keluarganya seperti
yang tertuang dalam surat an-Nisa ayat 34, yang telah dijelaskan
sebelumnya. Dan apabila kita hubungkan jumlah yang diterima dengan
kewajiban dan tanggung jawab laki-laki terhadap keluarganya, maka
akan bisa dirasakan oleh pihak wanita kalau manfaat yang diterimanya
sama dengan manfaat yang dirasa pihak laki-laki.
Tanggung jawab pihak laki-laki terhadap kelurganya merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi, seperti yang termuat dalam surat al-
Baqarah ayat 233. yang artinya :
“ .....................dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian untuk
para ibu dan anak-anak secara yang makruf.”
Begitu pula dengan kewajiban untuk membantu kerabat, seperti
yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 215, yang artinya :
“ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan;
jawablah : “apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak dan karib kerabat..........”
Dari ayat tersebut di atas maka seorang anak berhak menerima warisan
lebih banyak dari apa yang diterima orang tua kepada anaknya, hal
tersebut merupakan sesuatu yang adil karena merupakan tanggung jawab
orang tua untuk menyantuni anaknya, begitu pula ketika orang tua
meninggal dunia. (Syarifuddin, 2004 : 24-27)
yaitu hak-hak yang bersifat pribadi, seperti hak pemeliharaan dan hak
kewalian atas anaknya.
3. Hak-hak yang diperselisihkan oleh ulama tentang kelegaan
pewarisnya adalah hak-hak yang tidak bersifat pribadi dan tidak pula
bersifat kebendaan, seperti hak khiyar dan hak pencabutan
pemberian.
Sedangkan yang menyangkut dengan utang-utang dari yang
meninggal menurut Hukum Islam tidak dapat diwarisi, dengan arti
bukan kewajiban ahli waris untuk melunasinya dengan hartanya sendiri,
ahli waris hanya berkewajiban untuk sekedar menolong membayarkan
uangnya dari harta peninggalannya, sebanyak yang dapat dibayar atau
ditutupi oleh hartanya, namun ahli waris tidak berkewajiban untuk
menutupi kekurangan dengan hartanya sendiri.
A. Masalah ‘Aul
‘Aul secara harfiah diartikan meninggikan atau menaikkan
Masalah ‘aul ini terjadi karena jumlah warisan tidak mencukupi
untuk semua ahli waris, untuk mengatasi masalah tersebut jumhur ulama
berpendapat bahwa kekurangan kadar harta tersebut dibebankan kepada
semua pihak yang berhak berdasarkan kadar perbandingan furudh
mereka, sehingga hak mereka akan berkurang secara adil
Menurut pasal 192 KHI menyatakan bahwa “Apabila dalam
pembagian harta warisan di antara ahli waris Dzawil Furud
menunjukkan bahwa angka pembilangan lebih kecil dari pada angka
penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang, dan baru sesudah itu harta warisannya dibagi secara aul
menurut angka pembilang.”
Menutur ketentuan umum tentang furudh penyelesaiannya adalah
sebagai berikut : (Syarifuddin, op. cit, hal 99- 100)
1. Suami mendapat 1/2 karena tidak ada anak.
2. Ibu mendapat 1/3 karena tidak ada anak dan beberapa orang saudara.
3. 2 orang saudara seibu mendapat 1/3 bagian.
Masalah’aul dapat disebut sebagai masalah yang sebenarnya karena
terdapat benturan dari beberapa sumber yang ada. Penggunaan teori ini
akan menyebabkan ahli waris tidak akan mendapat bagian warisan yang
seharunya didapat.
Beberapa sebutan yang digunakan para ahli untuk masalah ‘aul :
1. Mubahalah :
Apabila ahli waris terdiri dari mereka yang jumlah furudhnya
menghasilkan penyelesaian ‘aul dari bagiannya yang semula perenam
menjadi perdelapan, contoh:
• Suami yang mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Saudara perempuan 1/2 atau 3/6 bagian
• Ibu mendapat 1/3 atau 2/6 bagian
Jumlahnya: 8/6 menjadi 8/8
2. Gharra’ :
Masalah gharra’ timbul karena ada ahli waris yang karena
jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dari bagian
pecahan perenam menjadi persembilan, contoh :
• Suami mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Saudara perempuan kandung mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Saudara perempuan seayah mendapat 1/6 atau 1/6 bagian
3 orang saudara seibu mendapat 1/3 atau 2/6 bagian
Jumlahnya: 9/6
3. Ummu al-furukh :
Masalah ummu al-furukh atau disebut juga syuraihiyah yang
terjadi karena ahli waris yang karena jumlah furudhnya menyebabkan
penyelesaian secara ‘aul dengan menigkatkan pecahan dari bagian
pecahan perenam menjadi persepuluh, contoh:
• Suami mendapat 1/2 atau 3/6 bagian
• Ibu mendapat 1/6 atau 3/6 bagian
• 2 orang saudara kandung mendapat 2/3 atau 4/6 bagian
Jumlah: 10/6
4. Ummu al-aramil :
Masalah ummu al-aramil terjadi karena ahli waris yang karena
jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dengan
meningkatkan pecahan dari perdua belas menjadi pertujuh belas,
contoh:
• Isteri yang mendapat 1/4 atau 3/12 bagian
• 2 saudara perempuan kandung mendapatkan 2/3 atau 8/12 bagian
• 2 saudara seibu mendapatkan 1/3 atau 4/12 bagian
• Ibu mendapatkan 1/6 atau 2/12 bagian
Jumlah: 17/12
5. Minbariyah :
Masalah minbariyah terjadi karena ahli waris yang karena
jumlah furudhnya menyebabkan penyelesaian secara ‘aul dengan
meningkatkan pecahan dari perdua puluh empat menjadi perdua
puluh tujuh, contoh:
• Isteri yang mendapat 1/8 atau 3/24
• 2 anak perempuan mendapatkan 2/3 atau 16/24
• Ayah mendapatkan 1/6 atau 4/24
• Ibu mendapatkan 1/6 atau 4/24
Jumlah: 27/24
B. Masalah Sisa Harta
Yang dimaksud dengan sisa harta dalam bahasan ini ada dua hal
yaitu kelebihan harta setelah selesai dibagi kepada ahli waris dan dalam
hal tidak ada orang yang berhak mendapat sisa harta atau ‘ashabah
dalam kelompok ahli waris
Dalam al-Qur’an berkaitan dengan kelebihan harta setelah dibagi
kepada ahli waris tidak dibicarakan secara detail tentang siapa yang
berhak mendapatkan sisa harta tersebut, namun disebutkan orang-orang
yang berhak atas warisan dengan tidak menyebutkan bagiannya secara
tertentu seperti ayah bila tidak ada anak, anak laki-laki bila tidak
bersama anak perempuan dan saudara laki-laki bila tidak bersama
saudara perempuan. Pengaturan tentang kelebihan harta disebutkan
dalam hadits Nabi, yang artinya :
“Berikanlah furudh-furudh itu kepada orang yang berhak menerimanya,
sedangkan selebihnya berikanlah kepada laki-laki terdekat melalui
garis kerabat laki-laki”
Berkaitan dengan sisa harta yang tidak terbagi habis oleh ahli waris
sedangkan ahli waris ashabah tidak ada, sehingga terdapat beberapa
pendapat dikalangan ahli waris, pendapat pertama dari ulama Syi’ah
yang sepakat menyatakan bahwa sisa harta akan diberikan kepada ahli
waris kerabat, sedang pendapat kedua dari kalangan ulama Ahlu Sunnah
yang menimbulkan perbedaan pendapat kelompk pertama yang terdiri
dari Malik, Syafi’i, al-Awza’i dan lainnya berpendapat bahwa kelebihan
harta tidak dikembalikan kepada ahli waris, namun diserahkan kepada
baitul maal yang digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan
menurut kelompok kedua yang terdiri dari Abu Hanifah, al-Tsauri,
Mujahid, Atho’ Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa kelebihan harta
dikembalikan kepada ahli waris.
Kelompok kedua memperkuat pendapat mereka dengan firman
Allah yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Anfal ayat 75, yang artinya
:
“Orang-orang yang mempunyai hubungan rahim sebagiannya lebih
utama dari yang lain dalam kitab Allah”
Selain dalil tersebut di atas, golongan kedua juga memberikan
landasan pendapat mereka berdasarkan Hadits muttafaq alaih, yang
artinya :
“Sesiapa yang meninggalkan utang adalah saya pembayarnya dan
siapa yang meninggalkan harta warisan adalah untuk ahli warisnya”
C. Masalah Radd
Menurut pasal 193 “Apabila dalam pembagian harta warisan di
antara para ahli waris Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan tidak ada
ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan
secara raad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris,
sedangkan sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”
Radd timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan kepada
dzaul furudh sedangkan ahli waris yang berhak untuk itu tidak ada,
dimana semua sisa harta yang ada dikembalikan kepada ahli waris
furudh berdasarkan bagian furudh masing-masing.
Para ulama berpendapat bahwa sisa harta diserahkan kepada ahli
waris berdasarkan hubungan rahim, dengan demikian ahli waris furudh
berdasarkan perkawinan tidak berhak mendapatkan pengembalian sisa
harta warisan.
Contoh kasus :
Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris ibu dan seorang
anak perempuan, pembagian warisannya adalah :
Ibu = 1/6
Anak perempuan = 1/2
Asal masalah =6
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Anak perempuan = 1/2 x 6 = 3
Jumlah =4
Sisa = 6 - 4 =2
Jumlah = 6 (asal masalah)
Pada awalnya asal masalah adalah 6, tetapi karena tidak ada ahli waris
yang berhak mendapatkan sisa harta, maka asal masalah berubah
menjadi 4 asal masalah sehingga :
Ibu = 1/4 x harta
Anak perempuan = 3/2 x harta
Jumlah = 4/4 harta
D. Masalah ‘Umariyah
. Masalah ‘Umariyah I
Masalah ‘umariyah merupakan salah satu bentuk masalah dalam
kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh
mayoritas sahabat dan diikuti oleh para ulama, masalah ini terjadi
pada saat penjumlahan beberapa furudh dalam salah satu kasus
kewarisan yang hasinya tidak memuaskan beberapa pihak.
(Syarifuddin, Op.Cit, hal 108)
Hal ini terjadi apabila ahli waris terdiri dari suami, ibu dan ayah,
menurut al-Qur’an suami mendapat 1/2 bagian karena pewaris tidak
meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 bagian karena pewaris tidak
meniggalkan anak. Dalam kasus ini ayah tidak termasuk dzaul
furudh, namun merupakan ashabah.
. Masalah ‘Umariyah II
Masalah ‘umariyah II pada hakekatnya sama dengan masalah
‘umariyah I diatas, namun berbeda pada kasusnya, dimana dalam
‘umariyah I ahli warisnya terdiri dari ayah, ibu dan suami, sedangkan
pada ‘umariyah II yang menjadi ahli waris adalah ayah, Ibu dan
isteri.
Menurut al-Qur’an, isteri menerima furudh sebanyak 1/4 bagian
karena pewaris tidak meniggalkan anak, ibu menerima 1/3 bagian
karena pewaris tidak meniggalkan anak dan beberapa orang saudara.
Jumlah furudh adalah 1/4 + 1/3 = 3/12 + 4/12 = 7/12. ayah sebagai
ashabah akan mendapat 5/12. pendapat ulama tetap memahami
furudh ibu sebesar 1/3 yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai 1/3
sisa harta sebagaimana bila ayah dan ibu mewaris bersama suami.
(Ibid, hal 110-111)
E. Masalah Himariyah
Masalah ‘himariyah terjadi karena pertentangan antara prinsip yang
satu dengan prinsip yang lainnya, misalnya apabila ahli waris terdiri dari
suami, ibu, beberpa orang saudara seibu dan beberapa orang saudara
laki-laki kandung, menurut al-Qur’an suami mendapat 1/2 karena
pewaris tidak meniggalkan anak tetapi apabila pewaris meninggalkan
beberapa orang saudara, makak saudara seibu mendapatkan 1/2 bagian
karena lebih dari satu. Sedangkan saudara laki-laki kandung yang
merupakan ahli waris ashabah tidak mendapat bagian apapun.
I. Kewarisan Khunsa
Yang dimaksud dengan khunsa adalah seseorang yang mempunyai
dua alat kelamin, masalah khunsa ini memang selalu dipermasalahkan
karena pada kenyataannya hal ini sering terjadi sedangkan dalam
kehidupan sehari-hari sedangkan hukum dalam keadaan tertentu
memisahkan antara laki-laki dan perempuan.
Khunsa ada dua macam :
1. Khunsa yang telah jelas (wadlih), yaitu khunsa yang dapat
dihukumkan laki-laki dan perempuan dengan memperhatikan tanda-
tandanya, dimana tanda-tandanya dapat diperhatikan pada alat
kelamin itu sendiri atau pada sifat-sifatnya, apakah mirip kepada
perempuan atau kepada laki-laki.
2. Khunsa yang belum jelas (musykil), yaitu khunsa yang belum dapat
dihukumkan laki-laki atau perempuan, karena belum jelas tanda-
tandanya.
Dalam menentukan hukum bagi khunsa ulama menginginkan
adanya kejelasan jenis kelamin dari subyek hukum.walaupun khunsa
memiliki dua kelamin namun harus diberlakukan padanya satu jenis
kelamin saja, laki-laki atau perempuan.
Menurut para ulama untuk ahli waris khunsa itu separuh hak laki-
laki dan separuh hak perempuan berbeda pendapat mengenai cara
pewarisan mereka.
N. Kewarisan Berganda
Kewarisa berganda berarti bahwa seseorang dalam satu kasus
mempunyai dua hak kewarisan. Dari segi bentuknya ada dua macam hak
kewarisan berganda yang disebabkan oleh dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, karena timbulnya kasus kewarisan baru sebelum
kewarisan lama diselesaikan pembagiannya. Bentuk ini sering disebut
dengan al-munasakhaat (atau kewarisan beruntun). Kedua, dalam
bentuk seorang memiliki dua sebab dalam kewarisan dan mewarisi dari
setiap sebab itu. (Syarifuddin, Op., Cit, hal 152)
Munasakat terjadi apabila terjadi kematian kepada ahli waris yang
berhak sebelum warisan dibagikan kepadanya, menyebabkan seorang
kerabat lainnya yang ditinggalkan, selain menerima hak warisan dari
pewaris pertama, juga mendapat warisan dari pewaris kedua dari harta
warisan yang diterimanya dari pewaris pertama.
Bentuk kedua akan timbul apabila terjadi perkawinan antara dua
orang yang mempunyai hubungan kewarisan, contohnya perkawinan
antar sepupu dan apabila isterinya meninggal maka ia berhak mendapat
bagian warisan sebagai suami dan sebagai sepupu (anak paman).
Menurut golongan syafi’i ia hanya menerima dari satu kedudukan
terkuat yang bisa menghijab kedudukan yang lainnya.
BAB VI : SISTEM KEWARISAN BILATERAL
Hibah
1. Pengertian Hibah
Hibah adalah pengeluaran harta semata hidupnya atas dasar
kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk kepentingan
sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang
berhak menjadi ahli warisnya.
Menurut pasal 171 Kompilasi Hukum Islam hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki
Hal-hal mengenai hibah yang diatur dalam KHI adalah :
a. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua
puluh satu) tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang
saksi untuk dimiliki.
b. Harta benda yang dihibahkan harus dapat
diperhitungkan sebagai warisan. (Pasal 210)
c. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan. (Pasal 211)
d. hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua
kepada anaknya. (Pasal 212).
e. Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam
keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya. (Pasal 213)
f. Warga Negara Indonesia yang berada di negara asing dapat
Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang
lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia
dasar hukumnya ditenukan dalam al-Qur’an surat al-Imron ayat 180
dan 240.
Menurut pasal 171 Kompilasi Hukum Islam wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Hal-hal yang berkaitan dengan wasiat yang tertuang dalam KHI
adalah :
1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu)
tahun berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewariskan
sebagian bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3. Pemilikan terhadap harta seperti yang dimaksud dalam ayat 411
baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. (Pasal
194)
4. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau
tertulis di hadapan dua saksi, atau dihadapan Notaris.
5. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari
harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
6. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua
ahli waris.
7. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) Pasal ini dibuat secara
lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang
saksi atau di hadapan Notaris. (Pasal 195)
8. Dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus
disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau
lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang
diwasiatkan. (Pasal 196)
9. Warisan menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan
putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum karena :
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat kepada pewasiat;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancamaan mencegah
pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat
untuk kepentingan calon penerima dari wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau
memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
10. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima
wasiat itu :
b. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal
dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
c. mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk
menerimanya;
d. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan
menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum
meninggalnya pawasiat.
11. Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah. (Pasal 197)
12. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan
suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. (Pasal 198)
13. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat
belum menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik
kembali.
14. Pencabutan wasit dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan
oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang
saksi atau berdasarkan Akta Notarais bila wasiat terdahulu dibuat
secara lisan.
15. Bila wasiat dapat dilakukan secara tertulis, maka hanya dapat
dicabut dengan tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akta Notaris.
16. Bila wasiat dibuat berdasarkan akta Notaris, maka hanya dapat
dicabut berdasarkan akta Notaris. (Pasal 199)
17. Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak bila karena suatu
sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi
debelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya
akan menerima harta yang tersisa. (Pasal 200)
18. Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan
ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasit hanya
dilaksanakan sampai batas waktu sepertiga harta warisan. (Pasal
201)
19. Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan,
sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat
menetukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
(Pasal 202)
20. Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka
penyimpanannya ditempat notaris yang membuatnya atau di tempat
lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
21. Bilamana surat surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199, maka
surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali ke pewasiat.
(Pasal 203)
22. Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan
disimpan pada notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris,
disaksikan dua orang saksi dengan membuat berita acara
pembukaan surat wasiat itu.
23. Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada noratis, maka
penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau
Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau
Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan
dalam ayat (1) Pasal ini.
24. Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh
Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima
wasiat guna penyelesaian selanjutnya. (Pasal 204)
25. Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang
termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah
pertempuran atau yang berada di suatu tempat yang ada dalam
kepunagan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
seorang komandan atasannya dengan dihadiri dua orang saksi.
(Pasal 205)
26. Mereka yang sedang berada dalam perjalanan melalui laut
dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nahkoda atau mualim
kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat dihadapan
seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
(Pasal 206)
27. Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayaran perawatan bagi seorang dan kepada orang yang
memberikan tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk
membalas jasanya. (Pasal 207)
28. Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akta
tersebut. (Pasal 208)
29. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-pasal 176
sampai dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat sebanyak-
banyaknya 1/3 (sepertiga) dai harta wasiat anak
angkatnya.Terhadap anak angkatnya yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajib sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta
warisan orang tua angkatnya. (Pasal 209)
2. Dasar Hukum Wasiat
a. QS. Al-Imron, ayat 180, yang artinya :
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) akan mati, apabila ia mempunyai
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kaum
kerabatnya.”
b. QS. Al-Imron, ayat 181, artinya :
“ Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya untuk orang-
orang yang mengubah. ”
c. QS. Al-Imron, ayat 182, yang artinya :
“ Akan tetapi barang siapa khawatir terhadap orang-orang yang
berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia
mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa
baginya. ”
d. QS.............. Ayat 106, yang artinya :
“ Seseorang yang akan berwasiat, maka hendaklah disaksikan
oleh dua orang saksi yang adil di antara kamu. ”
e. QS. Al-Imron, ayat 240, yang artinya :
“ Dan orang-orang yang akan meniggal di antara kamu dan
meniggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri (isteri-
isteri), diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah dari rumahnya. ”
3. Rukun Wasiat
Ada 4 rukun wasiat, yaitu :
a. Orang yang berwasiat :
− Baligh (dewasa).
− Berakal sehat.
− Bebas menyatakan kehendaknya.
− Merupakan tindakan tabarru’ (derma).
− Harta tidak berada dalam penjaminan.
− Islam.
Orang yang menerima wasiat :
−Harus dapat diketahui dengan jelas siapa yang menerima wasiat
itu, nama badan, organisasi atau masjid tertentu.
−Telah ada ketika atau pada waktu wasiat dinyatakan.
−Bukan untuk kemaksiatan
b. Suatu yang diwasiatkan.
−Dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi obyek
perjanjian.
−Benda ada (berwujud) pada saat diwasiatkan.
−Hak milik pewasiat
3. Lapaz wasiat
Ijab yang merupakan pernyataan kehendak dari pewasiat dan
kabul merupakan pernayaan dari penerima wasiat bahwa ia
menerima wasiat tersebut.
Menurut KUH Perdata pasal 889 menyatakan bahwa wasiat tidak
memandang agama
Wasiat dapat batal apabila :
a. Pewasiat menarik wasiatnya.
b. Pewasiat kehilangan kecakapannya untuk bertindak.
c. Pewasiat meniggalkan hutang yang mengakibatkan hartanya habis.
d. Penerima lebih dahulu meniggal dunia dari pewasiat.
e. Penerima wasiat membunuh pewasiat.
f. Penerima wasiat menolak wasiat.
g. Sesuatu yang diwasiatkan tidak menjadi milik pewasiat lagi
sebelum meninggal.
BAB VIII : PERKEMBANGAN HUKUM KEWARISAN DI
INDONESIA
Al-Qur’an
Abdul Aziz al-Halawi, Muhammad 1999 Fatwa dan Ijatihad Umar Bin
Khathab Risalah Guasti : Surabaya,
Ali, Zainuddin, 1995, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di
Kabupaten Donggala” Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta,
Ali Daud Muhammad, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf,
UI Press, Jakarta,
Dja’far, H. Idris, dan Taufik Yahya, 1995, Kompilasi Hukum Kewarisan
Islam, Jakarta, Pustaka Jaya,
Harahap, M. Yahya, 1990, Kedudukan, kewenangan dan Acara Peradilan
Agama: UU No. 7 tahun 1989, Pustaka Kartini, 1990,
Hasan, M. Ali 1973 Hukum Kewarisan dalam Islam, Bulan Bintang :
Jakarta,
Hazm, Ibnu, 1970, al-Muhalla, Matba’ah al-Jumhuriyah, al-Arabiyah,
Mesir,
Hazairin 1990, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits,
Tintamas, Jakarta,
------------------, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta,
Idris, Ramulyo M. 1987 Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus,
Perbandingan Ajaran Syafi’i (Patrilineal) Hazairin (Bilateral) dan
Praktek di Pengadilan Agama), Grafikatama Offset, Jakarta,
Oemarsalim, 1987, Dasar-dasar Hukum waris di Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta,
Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum
Waris, Alumni, Bandung,
Purwadi, Imam 2006 Diktat Hukum Kewarisan Islam Fakultas Hukum
Universitas Mataram,
Thalib, Sayuti, 1985, Receptio Contrario, Bina Aksara, Jakarta,
Undang-undang Nomor 1 Tentang Perkawinan Nasional,
Undang-undang Nomor 9 tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam,
Qudamah, Ibnu, 1970, al-Mughniy VI , Maktabah al-Qahiriyah, Cairo,
Seikanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia,
Jakarta, Rajawali,
Soepomo dan Djokosutono, 1955, Sejarah Politik Hukum Adat, Jakarta,
Djambatan,
Syarifuddin, Amir 2004 Hukum Kewarisan Islam Jakarta : Kencana,