Professional Documents
Culture Documents
Di susun oleh :
I. Sumanto Wp.
1974
Dicetak oleh
Percetakan BPK GUNUNG MULIA
BPK/00321/072/73
Pendahuluan …………………….
1. Asal usul dan masa muda Sadrach sebelum menjadi orang Kristen……….
2. Tindakan-tindakan pertama yang dilakukan oleh Sadrach
3. Sadrach membantu pekerjaan Ny. Philips di daerah Purworejo
4. Kegiatan Sadrach dalam membangun Gereja di Karangjoso
5. Perkembangan Jemaat Kristen dan Pembagian Daerah Kerja
6. Jemaat Kristen Jawa dipisahkan dari Gereja Pemerintah Belanda
7. Gereja-gereja Jawa menjadi anggota N.G.Z.V. …………
8. Ny. Philips meninggal dunia, dan reaksi Sadrach dalam tindakan selanjutnya
9. Ds. Bieger, utusan N.G.Z.V. dan masalah Gereja-gereja di bawah pimpinan Sadrach
10. Ds. Wilhelm berusaha bekerja-sama dengan Sadrach
11. Ds. Wilhelm diangkat menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa Karangjoso
12. Ds. Wilhelm memperkuat kedudukan Jemaat yang memanggilnya
13. Praktek-praktek kehidupan Jemaat Kristen Jawa Mardika
14. Tindakan dan keputusan Inspektur Lion Cachet
15. Pendeta L. Adriaanse
16. Sadrach diangkat menjadi Rasul
17. Sadrach meninggal dunia; Masalah Gereja Kerasulan Jawa
18. Tinjauan, analisa dan pertimbangan-pertimbangan Sejarah Sadrach
Sejarah tentang Kyai Kristen yang bernama Sadrach ini memang unik. Pengalamannya sebagai orang Jawa
dan sekaligus Kristen bukanlah sekedar suatu uraian sistematis mengenai hubungan antara Injil dan kebudayaan
Jawa. Akan tetapi jauh lebih pelik dari itu. Ketika ia mulai tertarik Injil, makin kuat pulalah ia berpegang teguh
kepada watak serta adat-istiadat ke Jawa-annya. Keputusannya yang berani itu membawa banyak soal.
Sebab waktu itu, sulit untuk memisahkan kaitan antara Injil dan Kehidupan Kristen di satu pihak dengan
sikap Kolonial dan gereja Belanda atau tafsiran gereja Belanda mengenai Injil. Nampaknya pada waktu itu
memang belum bisa diharapkan agar gereja Kristen benar-benar mendasarkan segala sikap dan keputusannya
se-mata-mata berdasarkan Injil.
Sebab ‘masuk Kristen’ sering hanya berarti harus meninggalkan dan mencemooh serta melawan
kebudayaan pribumi yang sudah tumbuh dan berkembang ber-abad-abad. Dan itu biasa-nya berarti agar gereja
Kristen tidak usah mencampuri urusan pemerintahan Kolonial. Kyai Sadrach yang sadar akan identitas
kebudayaannya sebagai orang Jawa, banyak menemui kesulitan dan kekecewaan. Masalah yang ia hadapi
merupakan masalah yang azasi yang juga kita hadapi pada masa kini.
Sampai sejauh mana Injil bersangkut paut dengan kekuatan politik tertentu yang pada hakekatnya
merupakan kekuatan yang menindas dan mengelabui masyarakat ? Bagaimana kaitan antara identitas kultural
dengan pertobatan kepada Injil, bagaimana kita mempersoalkan hubungan keduanya ? Apakah Injil sama
dengan kebudayaan barat, atau apakah kebudayaan Barat itu merupakan kebudayaan Injil ?
Karena baik Sadrach maupun gereja Belanda pada waktu itu belum punya perlengkapan theologis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, maka riwayat hidup Kyai Sadrach inipun berakhir dengan
tragis. Sadrach dipersalahkan dan dihakimi, secara resmi. Satu dua orang pendeta Belanda mencoba membela
Sadrach, akan tetapi suaranya tidak diacuhkan.
Sadrach rupanya juga tidak mampu membela diri, sebab kecuali pengetahuannya mengenai Injil sangat
terbatas, juga ia tidak punya wewenang apa-apa dalam gereja. Pengetahuannya yang sangat terbatas mengenai
Injil itulah yang rupanya merupakan kelemahannya yang paling menentukan.
Kami yakin bahwa bagi mahasiswa thelogia buku ini akan banyak sekali manfaatnya. Kecuali merangsang
dengan pertanyaan-pertanyaan pokok, juga memberikan ajakan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana
sebenarnya duduk persoalannya. Banyak fakta mengenai Kyai Sadrach ini yang masih tersembunyi dalam
sejarah.
Bagi masyarakat umum, buku ini akan memberikan gambaran yang lain tentang pola-pola persoalan
pekabaran Injil di tanah Jawa. Jarang kita baca literatur yang mengungkapkan perjuangan orang Kristen
pribumi melawan dominasi asing yang juga Kristen. Bahwa perjuangan itu ada, asli, bahkan Injili. Dan justru
disinilah bahaya terhadap mana setiap pekabar Injil harus waspada, yakni bahwa ia sendiri menjadi penentang
yang utama daripada amanat yang hendak disampaikannya.
Penerbit
Dalam buku Sejarah ini memang hanya dimuat riwayat hidup Sadrach dan kegiatannya saja, yang kami
petik dari : Sejarah Zending karang J.D. Wolterbeek. Dari sebuah buku kecil Sejarah Begelen karangan Ds.
Dharmaadmadja. Keterangan lebih lanjut diambil dari Sejarah Gereja di Indonesia karangan Dr. Th. Muller
Kruger, dan Sejarah Zending Gereformeerd di Jawa Tengah karangan Ds. J.A.C. Rullman Sr., yang dilengkapi
keterangan-keterangan dari skripsi yang ditulis oleh Sdr. Christian Soetopo seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi
Theologia “DUTA WACANA”, Yogya dan beberapa keterangan-keterangan lisan dari Ds. Soekardjo
Prawirohandoko dan Sdr. Soepono sebagai ahli waris Sadrach.
Adapun riwayat Sadrach memang mendapat perhatian besar sekali dalam Sejarah Gerejani di Jawa Tengah
terutama Gereja-gereja Gereformeerd di Negeri Belanda bahkan sampai pada saat inipun riwayat Sadrach itu tak
dapat dilupakan. Hingga pada saat akhir ini banyak para Utusan/Zendeling tak lupa juga mengadakan
peninjauan ke Desa Karangjoso guna membuktikan dengan mata kepala sendiri keadaan bekas-bekas yang
masih ditinggalkan oleh Sadrach, misalnya bangunan-bangunan gereja dan tempat kediamannya. Alat-alat
perabot rumah tangga Sadrach dan beberapa senjatanya.
Semangat dan kegiatan Sadrach yang menyala-nyala pada zaman itu, dan cara kerjanya dalam
memberitakan Injil Kristus menyebabkan banyak orang datang bertobat dan menjadi pengikut-pengikut Kristus.
Tetapi pada akhirnya membawa kekecewaan besar terutama bagi Gereja-gereja Gereformeerd Zending di negeri
Belanda, karena Sadrach mengikuti aliran Kerasulan dan menjadi Rasul di desa Karangjoso hingga matinya.
Para pembaca yang budiman, dengan penerbitan buku Sejarah ini bolehlah kita memandang sepintas pada
masa lampau, cara Roh Suci bekerja terutama bagi kemuliaan Nama Tuhan saja, dengan pertobatan dan
penyerahan jiwa kepada Sang Juruselamat Yesus Kristus. Maka dengan demikian patutlah kita mengucap
syukur kepada Tuhan karena berkat pimpinanNya hingga sampai detik ini sudah didirikan gereja-gereja
dipelosok desa dan sampai pada saat ini juga dapat berjalan baik.
Mudah-mudahan dengan buku Gereja Karangjoso ini dapat menambah sekedar pengetahuan bagi para pembaca
yang budiman.
Penyusun
Sadrach sejak masa kecilnya, orang tidak tahu siapakah orang tuanya. Waktu kanak-kanak ia bernama
Radin. Sejak kanak-kanak ia sudah ditinggal mati oleh orang tuanya sehingga hidupnya terlantar. Sebagai anak
piatu hidupnya mengemis. Dia menggantungkan hidupnya dengan minta-minta sedekah kian kemari, dari orang-
orang dermawan.
Ia dilahirkan di desa Dukuhsekti daerah Demak wilayah Jepara. Sejak kanak-kanak ia telah meninggalkan
tempat kampung halamannya dan mencoba mencari hidup nafkahnya sendiri dengan minta-minta. Pada saat itu
hidupnya sangat menderita, karena selain untuk mengisi perut pun ia harus menerima hinaan setiap hari dari
anak-anak bangsawan yang sepadan usianya. Dengan sabar ia menerima segala yang dirasakan pada saat itu,
tetapi semuanya itu tentulah tidak berlangsung lama. Tetapi cukuplah penderitaan yang ia rasakan, karena pada
akhirnya ia ditolong oleh seorang Guru Agama Islam untuk diberi pelajaran mengaji. Betapa suka hatinya,
dengan rajin ia mengikuti pelajaran agama Islam. Ternyata ia dipandang sebagai anak yang lebih pandai dari
anak-anak lain. Ia berdiam di rumah guru itu dan dianggap seperti anak sendiri.
Pada suatu hari ia dibawa oleh guru tersebut pergi Jombang untuk meneruskan pelajarannya yang lebih
tinggi yaitu dipondok Pesantren. Karena Pondok Pesantren di Jombang itu sangatlah terkenal. Sejak itu, menjadi
murid guru itu, ia diberi nama baru, yaitu : ABAS, maka namanya menjadi Radin Abas, Perjalanan menuju ke
Jombang (Jawa Timur) itu ditempuh dengan jalan kaki melalui jalan pos Semarang – Surabaya, dan memakan
waktu beberapa hari lamanya.
Dipondok Pesantren di Jombang, Radin Abas dipandang sebagai anak yang cerdas dan rajin. Semua
pelajaran dapat ia kuasai. Selamat di sana, pada waktu liburan ia sering ke Mojowarno untuk mendengar suatu
pelajaran baru yang menurut anggapannya, yang dibawa oleh Ds. Jellesma. Benih ajaran Kristen mulai tertanam
dalam hatinya melalui Ds. Jellesma. Dalam hal ini ia merasa heran ketika mendengar Injil keselamatan. Hatinya
sangat tertarik pada agama Kristen. Dengan diam-diam diluar sepengetahuan guru-guru pondok pesantren dan
teman-temannya ia mengadakan hubungan dengan Ds. Jellesma, menerima pelajaran agama Kristen. Banyak
persoalan-persoalan yang dibicarakan dan banyak pula keterangan-keterangan yang diperolehnya. Ia telah
menyatakan keinginannya menjadi murid Ds. Jellesma di Mojowarno. Radin Abas berwatak keras dan
progresif, karena ia mencari akan kebenaran Allah. Sampai pada saat itu ia belum dapat melepaskan pondok
pesantrennya dan dalam hal ini masih dirahasiakan kepada Guru dan temannya. Dari Jombang ia pindah ke
Ponorogo ke pesantren Gontor yang sudah terkenal. Pondok Pesantren di Jombang yang disebut Tebuireng dan
Gontor di Ponorogo adalah sangat terkenal. Apa yang diterima dalam Lembaga Pendidikan yaitu sebagai
pesantren-pesantren tradisional, karena ajaran-ajaran yang diberikan pada zaman itu, disamping ajaran-ajaran
pokok agama Islam, adalah bahasa Arab, tasawuf, dan juga berbagai ilmu yang bersifat magis dsb. Untuk
melanjutkan pendidikannya, dari Ponorogo ia pindah ke Semarang. Di Semarang ia bertempat tinggal di tengah-
tengah orang Arab dan kaum muslimin. Di sana ia mendapat pelajaran dari seorang guru dalam ilmu magis, dan
pula terkenal sebagai dukun dan juru tenung. Disamping itu berkenalan dengan Ds. Hoezoo seorang pendeta
utusan yang berkedudukan di Semarang, atas petunjuk-petunjuk dan nasehat dari Ds. Jellesma. Ds. Hoezoo
merasa sangat gembira menerima Radin Abas sebagai murid Katekisasi.
Pelajaran yang ia terima dari guru ilmu kebatinan itu, menurut anggapannya tidak ada jahatnya karena hal
itu hanya untuk menambah pengetahuannya saja. Tiap hari minggu ia ke gereja. Justru pada saat itu ia
diperkenalkan dengan seorang yang telah lanjut usianya bernama; Kyai Ibrahim Tunggul Wulung berasal dari
desa Bondo, sedaerah dengan Radin Abas. Radin Abas merasa girang dengan pertemuan itu, dan menyatakan
keinginan menjadi muridnya.
Kurmon, seorang murid Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang menjadi perantara mula-mula dalam
perkenalan antara Radin dengan Kyai tersebut. Radin ketika mendengar banyak tentang Kyai tersebut ia sangat
tertarik dan ingin menemuinya. Ia diajak oleh Kurmon datang di Bondo Jepara. Radin Abas tak habis mengerti
bahwa di daerahnya sendiri ada seorang Jawa yang berdiri sebagai Kyai Kristen. Orang itu berbadan tinggi
besar bermata tajam dan berjenggot panjang sampai ke dada. Ia kelihatan seperti seorang bertapa dan tak pernah
ia duduk di tanah jika berhadapan dengan siapa saja yang ia jumpai baik orang Belanda maupun orang yang
berpangkat sekalipun, bahkan ia pandai bicara disertai pengaruh. Ialah seorang yang telah mendirikan suatu desa
Kristen di Bondo, pun mempunyai banyak ilmu dan pengalaman sebelum ia menjadi orang Kristen. Ia bertindak
sebagai dukun Kristen menurut anggapan orang desa itu. Radin Abas telah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri dan seperti telah diceritakan di atas, Radin Abas menyatakan keinginannya menjadi muridnya.
Perkenalan antara Radin dengan Kyai Tunggul Wulung, menyebabkan hati Radin makin terdorong dan
sangat condong kepada Agama Kristen. Hingga akhirnya ia menyatakan ingin menjadi orang Kristen. Kyai
Tunggul Wulung sangat gembira ketika mendengar pernyataan anak muda itu, maka ia berusaha untuk
membawa Radin Abas kepada seorang Belanda Mr. Anthing yang berkedudukan di Batavia pada tahun
1865/1866.
Kyai Tunggul Wulung dan Mr. Anthing berkawan pada waktu Mr. Anthing tinggal di Semarang sebagai
petugas Pengadilan. Kemudian pada tahun 1863 Mr. Anthing pindah ke Batavia. Di Batavia Mr. Anthing
mendapat kedudukan sebagai Vice President Hoog Gerechtchef (Wakil Kejaksaan Tinggi). Iapun menjadi
anggota suatu perkumpulan “Het Genootchap voor in-en Uitwendige Zending” (Urusan Dalam dan Luar dari
Perkumpulan Persahabatan para Utusan) di Indonesia, yang bertujuan memberitakan Injil kepada orang-orang
Kristen yang sesat, dan kepada semua orang. Ia sangat memprihatinkan pekabaran Injil kepada orang-orang
Sebagaimana murid-murid Mr. Anthing yang lain sering diberi tugas untuk memberitakan Injil, demikian
juga Sadrach. Mula-mula ia mendapat tugas untuk menjual buku-buku Kristen sambil mengabarkan Injil di
sekitar kota Batavia. Tetapi jalan itu bagi Sadrach tidak cocok. Maka ia minta ijin Mr. Anthing untuk kembali
ke Jawa Tengah guna melanjutkan tugasnya dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa. Dengan segala
senang hati Mr. Anthing meluluskan permintaannya. Agar supaya Sadrach mendapat penghargaan di gereja-
gereja yang ia kunjungi, Mr. Anthing telah memberi sepucuk surat keterangan. Karena nama Mr. Anthing
cukuplah dihargai.
Sadrach mulai dengan perjalanan kembali dengan tujuan ke Bondo. Dengan berjalan kaki mula-mula ia
menuju kota Bandung, kemudian Cirebon, Tegal dan menuju kota Semarang, dan dari Semarang terus menuju
ke Bondo.
Ia singgah di tiap kota yang ia lewati sambil mengadakan perkunjungan ke Gereja-gereja serta
memperkenalkan diri terutama kepada pendeta gereja setempat dengan menunjukkan surat keterangan dari Mr.
Anthing, sehingga ia diterima dengan baik ditiap gereja yang ia kunjungi. Di situlah ia diberi tempat menginap
untuk melepaskan lelahnya. Dan pula ia mengadakan kesaksian Injil Kristus kepada orang Kristen di kota-kota
itu.
Beberapa hari kemudian barulah Sadrach sampai di Bondo, langsung menuju ketempat Kyai Tunggul
Wulung. Dan diceritakannya semua pengalamannya sebagai murid Mr. Anthing. Tetapi tak lama ia berada di
Bondo. Ia melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur menuju Surabaya, menemui Saudara-saudara Kristen Jawa,
kemudian ke Mojowarno ke tempat Paulus Tosari. Di situlah ia bermalam bersama-sama dengan orang-orang
Kristen Jawa yang dulu menjadi murid Ds. Coolen.
Paulus Tosari adalah seorang pemberita Injil di Jawa Timur yang cukup berpengalaman dan terkenal. Ia
berasal dari seorang Santri yang rusak hidupnya, kemudian ia berkenalan dengan Ds. Coolen dan menerima
ajaran Kristen dari pendeta tersebut dan menerima Baptisan di gereja Ende. Setelah itu ia berkeliling
memberitakan Injil di Jawa Timur dengan gaya dan cara khas Jawa. Banyak pembantunya dan akhirnya ia
bertempat tinggal di Mojowarno, yang pada saat itu Ds. Jellesma bekerja di Mojowarno. Paulus Tosari dianggap
sebagai rekan sepekerjaan dan tak diperlakukan sebagai bawahan yang dikuasai. Paulus Tosari sebagai
pemberita Injil dan Ds. Jellesma telah mendirikan pendidikan kader pemimpin-pemimpin jemaat.
Sementara Sadrach berkeliling di Jawa Timur, Kyai Tunggul Wulung mendengar bahwa di daerah Begelen
Purworejo sudah ada pekabaran Injil kepada bumi putera yang dilakukan oleh Ny. Philips dengan pembantu-
pembantunya. Maka segeralah ia bersama beberapa kawannya pergi ke Purworejo untuk menyaksikan keadaan
pekabaran injil di Purworejo. Rombongan ini langsung menuju rumah Ny. Philips di Tuksongo. Kedatangan
Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 6
GKJ Sabda Winedhar
rombongan Tunggul Wulung ini disambut dengan ramah-tamah oleh Ny. Philips dan pembantu-pembantunya
yaitu Abisai Reksodiwongso, Tarub dan lain-lain orang-orang Kristen yang ada di situ.
Tunggul Wulung sangat takjub mendengar cerita Ny. Philips dari hal perkembangan Injil di daerah
Purworejo. Setelah mendapat cukup keterangan-keterangan, maka lewat beberapa hari ia dan rombongan itu
kembali ke Bondo.
Pengembaraan Sadrach di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, mempunyai maksud dan tujuan
tertentu, disamping melihat keadaan saudara-saudara Kristen yang tersebar di mana-mana. Karena tiap tempat
yang ia kunjungi ia dapat membanding-bandingkan praktek-praktek masing-masing sebagai pendirian
Kekristenannya, baik di Jawa Barat, Tengah maupun Timur, serta pergaulannya dengan para pendeta Belanda
atau pemberita-pemberita Injil Jawa. Pengalaman diperluas dengan cara persiapan-persiapan untuk tugas-
tugasnya kelak. Terutama pengalaman memberitakan Injil misalnya : di Jawa Barat dengan tata cara Gereja
Zion yang beraliran Hervormd di Batavia, dan gereja-gereja pasundan di Bandung. Di Jawa Tengah, dengan
aliran gereja-gereja Gereformeerd di kota Tegal, dimana Ds. Vermeer pada saat itu masih bekerja sebagai
pendeta utusan Zending Gereformeerd berkedudukan di Tegal. Dan di Semarang ia sudah banyak mengenal Ds.
Hoezoo dan pernah menjadi murid katekisasi, kemudian di Bondo dengan Kyai Tunggul Wulung sebagai
gurunya sendiri yang sangat ia taati yang mempunyai tata cara sebagai pemberita Injil yang khas untuk orang-
orang Jawa, dan akhirnya perkunjungan kepada Paulus Tosari di Mojowarno Jawa Timur, dari golongan gereja
Ende, dan Ds. Jellesma pendeta utusan Zending Gereformeerd yang pernah juga menjadi gurunya. Di sinilah hal
yang sangat penting bagi Sadrach untuk menentukan sikap untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai
pemberita Injil. Dari sikap Sadrach yang tidak menetap di suatu tempat tertentu, menunjukkan sikapnya yang
bebas dan senang mengembara. Sebenarnya cukuplah baginya untuk bekerja pada Mr. Anthing atau bergabung
dengan Kyai Tunggul Wulung, atau menempuh jalan seperti saudara-saudara Kristen di Jawa Timur dengan
membuka hutan dan mendirikan desa Kristen atau hidup di tengah-tengah mereka. Tetapi kenyataannya ia
kembali ke Bondo, setelah ia mendengar Kyai Tunggul Wulung tentang perkembangan Injil di Bagelen
Purworejo, maka ia mengambil keputusan untuk membantu pekabaran Injil yang dilakukan oleh Ny. Philips di
Purworejo.
Hal yang memberi dorongan dalam hati Sadrach setelah mendengar cerita Kyai Tunggul Wulung tentang
perkembangan Injil di Bagelen, hingga ia sangat tertarik. Ternyata Roh Suci telah menggerakkan hatinya, ia
mengambil keputusan dengan tak pikir panjang dan tiada di ragu-ragukan lagi, maka dengan perkenan Kyai
Tunggul Wulung, ia meninggalkan Bondo langsung menuju ke Purworejo pada tahun 1869.
Keadaan di Purworejo sebelum Sadrach datang, Injil telah berkembang di daerah Purworejo di bawa oleh
Ny. Philips dan kawan-kawannya, yaitu Abisai Reksodiwongso yang berasal dari daerah Jepara dan Tarub dari
Kediri, Jawa Timur. Gereja telah didirikan di rumah Ny. Philips di kampung Tuksongo. Pelayanan baptisan
dilakukan mula-mula di Gereja Belanda, yang kemudian dilakukan di Tuksongo.
Gereja Belanda pada saat itu adalah sebagai Gereja pemerintah (Staatskerk) yang khusus untuk melayani
orang-orang Belanda dan Ambon saja, terutama kaum militer, maka disebut Gereja militer. Diantara suku Jawa
yang mula-mula dibaptis di gereja itu adalah seorang perempuan istri seorang Belanda pada tanggal 17 agustus
1815 dengan nama Baptisan Gertruida. Meskipun gereja itu sejak tahun 1800 sudah ada tetapi tidak ada
perkembangan suatu apa, karena seolah-olah tertutup bagi masyarakat Jawa.
Setelah Ny. Philips memperkembangkan Injil di daerah Purworejo, mulai ada perhatian dari gereja tersebut
terutama para Pendeta Belanda, sebab Ny. Philips sering mengadakan hubungan dan suaminya sendiri menjadi
anggota Gereja Belanda.
Siapakah sebetulnya Ny. Philips itu ? Ny. Philips adalah seorang Indo Belanda yang dilahirkan dari
perkawinan campuran. Ayahnya bernama Steven dan ibunya seorang Jawa. Ia dilahirkan pada tanggal 17
Nopember 1825 di Yogyakarta diberi nama Petronella. Setelah ia menerima baptis di gereja Goubernement
Yogyakarta diberi nama Christina. Orang tuanya seorang Tuan Tanah bertempat tinggal di desa dekat kota
Yogyakarta. Sejak kecil ia bergaul dengan anak-anak Jawa dari desa setempat, hingga ia sangat pandai bicara
bahasa Jawa.
Setelah umur 24 tahun ia menikah dengan seorang Belanda bernama Yohanes Carolius Philips pada tahun
1849, yang bekerja sebagai Opzichter Indicocultuur (Pengawas Perkebunan Nila) di desa Ambal Daerah
Kabupaten Kebumen. Kemudian lewat beberapa hari ia pindah ke desa Ambal mengikuti suaminya. Karena
kesibukan suaminya ia tak sempat memikirkan tentang Injil. Ia mulai sadar ketika ada seorang tamu Jawa dari
Semarang yang banyak menceritakan Injil Kristus hingga ia sangat terpesona mendengar cerita itu. Ia menyadari
apa yang menjadi tugas-tugas sebagai orang Kristen. Tapi suatu pertanyaan dalam hatinya, “apakah mungkin
orang Jawa bisa menerima Injil?” Apakah yang sekarang harus dilakukan, ia belum mendapat suatu jalan, maka
tak lama kemudian ia pergi ke Banyumas untuk minta nasehat dan petunjuk-petunjuk kepada iparnya bernama
Ny. Van Oostrom Philips, seorang janda pemberita Injil kepada suku Jawa di daerah Banyumas disamping
pekerjaannya sebagai pedagang kain batik. Banyaklah petunjuk-petunjuk dan nasehat yang ia terima dari
iparnya, kemudian ia kembali ke desanya di Ambal. Maka mulailah tugasnya yang suci. Mula-mula
memberitakan Injil kepada orang-orang bawahannya, hingga diantaranya dua orang pria dan tiga orang wanita
menyatakan ingin menerima Baptis. Maka baptisan telah dilakukan di Purworejo pada tanggal 27 Desember
Dalam pemasyhuran Injil di Bagelen ini, Sadrach memegang peranan penting. Ia mengerjakan di daerah-
daerah yang agak jauh dimana belum ada orang Kristen. Mula-mula ia menuju ke desa Cangkrep. Dengan izin
Kepala desa setempat ia mengundang penduduk sekitar desa itu. Maka datanglah orang-orang dari penduduk
sekitar desa Cangkrep. Mereka terdiri dari berbagai aliran kepercayaan, yaitu dari golongan Islam, Budha dan
orang-orang ahli sihir dan ahli nujum.
Sadrach menyampaikan Injil keselamatan dengan berani, dengan tata caranya sendiri yaitu dengan
mencampur aduk ilmu-ilmu Jawa didalam pemasyhuran Injil. Ia berpendapat dengan jalan ini dapat disesuaikan
dengan keadaan atau selera kepercayaan orang-orang Jawa sehingga mereka dapat menerima Injil Kristus. Dan
ternyata juga diantaranya banyak yang menerima Kristus sebagai juruselamat mereka. Kemudian dari situ ia
melanjutkan perjalanan ke Kutoarjo. Disana ia berkenalan dengan seorang Kristen bernama Brouwer. Orang ini
dengan senang hati memperbolehkan rumahnya untuk tempat berkumpul orang-orang Jawa yang sudah
mendengar Injil. Di tempat Brouwer tiap seminggu sekali diadakan Kebaktian, disamping itu ia melakukan
pemasyhuran kepada orang-orang Jawa baik di kota maupun di desa-desa sekitarnya. Ini terjadi pada tahun
1870. Dalam tahun itu tempat kebaktian terpaksa harus dipindahkan, sebab Ny. Brouwer meninggal. Oleh
Sadrach tempat Kebaktian di pindah di Karangjoso yang kurang lebih jarak 8 kilometer barat daya Kutoarjo.
Tempat ini sebetulnya tidak baik letaknya, karena sekitarnya banyak terdapat rawa-rawa dan suasana sangat
sepi. Tetapi di situ berdiam seorang ibu yang suka mendengar Injil. Di sekitar desa itu, ia mencari kenalan-
kenalan baru. Di tempat ini pula berkumpul orang-orang yang telah menerima Injil Kristus. Selama kegiatan
Sadrach, ia selalu mengadakan kontak dengan pimpinannya, yaitu Ny. Philips. Ketika Sadrach akan mengambil
Karangjoso sebagai tempat Kebaktian dan tempat tinggalnya, ia berkonsultasi terlebih dahulu dengan Ny.
Philips. Walaupun selalu ada kontak, tetapi Sadrach selalu bekerja dengan gaya kecakapan dan kebijaksanaan
sendiri. Hasil-hasilnya dilaporkan kepada Ny. Philips. Rumah Kebaktian didirikan di Karangjoso pada tahun
1871 disamping Gereja di Tuksongo. Sadrach mendirikan rumah Kebaktian ini dibantu oleh murid-muridnya
secara suka rela dan dengan semangat yang besar. Dengan pendirian tempat kebaktian itu, Sadrach telah
Hubungan antara Sadrach dan Ny. Philips tetap erat dan terpelihara dalam keesaan Jemaat. Sadrach dan
pembantu-pembatunya sering mengunjungi Ny. Philips serta membantu dalam membangun sebuah bangunan
yang menyerupai Balekambang disamping rumah kebaktian di Tuksongo. Bangunan yang direncanakan oleh
Ny. Philips yang telah lama diidam-idamkannya. Bangunan tersebut didirikan diatas sebuah kolam yang dihias
dengan tanaman-tanaman bunga terate dan ikan-ikan. Bangunan itu dijadikan tempat berkumpul para pemimpin
untuk mengadakan pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat guna membicarakan soal-soal kegerejaan dan
perkembangan Injil. Dalam pertemuan-pertemuan atau rapat yang diadakan itu kadang-kadang disertai juga oleh
Ds. Troostenburg de Bruyn dari gereja Belanda, dengan demikian ternyata ada kerjasama yang baik antara
Gereja Jawa dengan gereja Belanda. Bantuan-bantuan banyak juga didapat dari gereja Belanda untuk kebutuhan
yang diperlukan oleh gereja-gereja Jawa.
Berhubung buku-buku pelajaran agama dalam bahasa Jawa belum ada, maka Ny. Philips berusaha keras
untuk menterjemahkan buku-buku bahasa Belanda, dibantu oleh kawan-kawannya agar dapat dipergunakan
sebagai dasar-dasar pelajaran agama Kristen sebelum ada buku-buku yang tercetak. Ny. Philips berusaha minta
bantuan kepada Ds. Troostenburg untuk mencetak buku-buku pelajaran agama Kristen dalam bahasa Jawa. Usul
Ny. Philips diterima baik oleh gereja Belanda dan segera diusahakan.
Sadrach telah menikah dengan seorang puteri dari seorang ibu yang mula-mula rumahnya di Karangjoso
dipakai untuk tempat kebaktian, tapi sayang pernikahannya tidak diperoleh anak, oleh sebab itu Sadrach telah
mengambil seorang anak laki-laki dari Markus bernama Yotham.
Sadrach sangat disegani oleh murid-muridnya dan penduduk di karangjoso. Ia suka mengasingkan diri dan
jarang bergurau. Ada waktunya ia bercakap-cakap dan ada waktunya ia menyendiri untuk melakukan retrait di
tempat sepi. Maka dari itu ia telah memilih karangjoso tempat yang penuh rawa-rawa dan hutan belukar, yang
tidak disukai orang, karena ditempat itu antaranya seorang Ibu (seperti yang tersebut diatas) yang akhirnya
menjadi mertua Sadrach sendiri. Ibu tersebut sudah mengenal Sadrach karena pada waktu Sadrach
memberitakan Injil di Kutoarjo, ibu itu juga ikut mengunjungi kebaktian di rumah Brouwer mendengarkan
pemberitaan Injil. Dan Sadrach mendengar dari ibu ini mengenai desa Karangjoso yang sangat sepi itu, maka ia
sangat tertarik pada tempat itu.
Waktu senggang, Sadrach suka pergi ke sungai untuk mengail ikan dan itulah satu-satunya hiburan dan
sebagai hobinya karena ia tak mempunyai anak.
Tanah Karangjoso memang oleh Pemerintah diberikan kepada barangsiapa saja yang mau membangun
rumah atau desa serta boleh memilikinya dengan cuma-cuma. Seperti Kyai Tunggul Wulung telah membangun
desa Bondo dan saudara-saudara Kristen di Jawa Timur dengan membuka hutan dan mendirikan desa Kristen,
maka demikian juga Sadrach membangun Karangjoso menjadi desa Kristen.
Sebagai kelanjutan pemeliharaan iman bagi orang-orang yang baru saja menerima baptis Suci, dimana
sekarang sudah terpencar kepelbagai daerah, maka hal ini perlu dipikirkan, sebab pelaksanaannya tak mudah.
Perkembangan Injil diantara orang-orang Jawa pun mendapat perhatian dari Gereja Belanda dan mereka yang
telah menerima baptis juga diakui sah sebagai anggota Gereja Belanda dan nama mereka dicantumkan juga
dibuku Daftar anggota gereja Belanda. Mengingat perkembangan Injil yang sangat meluas itu, maka Majelis
Gereja Belanda telah mengangkat Ny. Philips dan Schneider dalam jabatan tua-tua khusus mengurusi dan
memelihara Jemaat yang baru lahir di desa-desa. Ongkos-ongkos perjalanan dan keperluan gereja-gereja
tersebut ditanggung oleh Gereja Belanda.
Mengingat banyaknya gereja-gereja yang timbul di pelosok-pelosok desa, tentu tidak dapat dibiarkan saja
tanpa ada yang bertanggung jawab, maka dari itu telah dibentuk Pembagian Daerah Kerja yang disusun sebagai
berikut :
Gereja Tuksongso Purworejo dijadikan pusat Daerah Kerja, yang dikerjakan oleh Ny. Philips dibantu oleh
Bp. Abisai Reksodiwongso dan putranya yaitu Timotius Reksodimurti. Jemaat-jemaat yang termasuk daerah
Purworejo ialah : Cangkrep, Bulu, Manoreh, Jelok, Slewah, Dermosari dan Kesingi.
Daerah Karangjoso dikerjakan oleh Sadrach, dibantu oleh Yotham, termasuk Kutoarjo. Daerah Ambal
termasuk Banjur, Karangpucung, Pering, Pamrian dan Pondokgede di kerjakan oleh Tarub dibantu oleh Markus
dan Yohannes.
Kamdah seorang murid Ny. Philips dibantu oleh beberapa orang murid Sadrach ditugaskan di daerah Utara
Banjarnegara dan desa-desa yang terletak dilereng pegunungan Slamet, yaitu : Bendawuluh, Karangcengis,
Watumas.
Yakub Tumpang seorang saudara angkat Sadrach ditugaskan di daerah pegunungan Dieng sebelah Utara
Wonosobo yaitu : Serang, Batu dan kemudian mengadakan perantauan sampai ke daerah Pekalongan bagian
sebelah Selatan. Ia dibantu oleh kawannya bernama Kromowijoyo.
Mintowijoyo seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach ditugaskan di daerah Pekalongan bagian
Selatan ialah : Dermo, Kasimpar dan disitulah, ia telah membangun Gereja Kristen. Kemudian sampai di desa
Katembelan, Purbo, Cituluk dan Telogohabang di daerah Kabupaten Batang, dan di daerah distrik Bawang,
Banaran dan Jampangan.
Yokanan seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach dan Ny. Philips ditugaskan di daerah
pegunungan Slamet yaitu : Kandanggotong, Batusari, Pulosari sampai di distrik Comal, Desa Gintung, Gedleg,
Dengan tumbuhnya gereja-gereja di pelosok desa-desa mengakibatkan Ds. Troostenburg de Bruyn menemui
kesukaran disebabkan oleh timbulnya berbagai pandangan yang saling bertentangan di antara Majelis Gereja
Belanda. Sebagian mereka tidak senang jikalau Ds. Troostenburg tetap melayani Gereja-gereja Jawa dalam
melayani sakramen-sakramen Perjamuan Suci dan Baptisan, dianggap melantarkan pekerjaan sendiri. Dengan
alasan bahwa Ds. Troostenburg dalam tindakannya lebih memperhatikan Gereja-gereja Jawa dari pada
Gerejanya sendiri. Tetapi sebagian lain menyatakan setuju dan perlu membantu Gereja-gereja Jawa yang masih
muda dan belum mempunyai Pendeta sendiri, dan itu sudah menjadi kewajiban bagi Gereja yang kuat, yang
harus memberi petolongan-pertolongan yang diperlukan oleh Gereja-gereja yang belum dewasa. Pertentangan
dari dua golongan itu menjadi tegang. Sebagai putusan terakhir, diambil dari suara anggota dan ternyata mereka
menyatakan tidak setuju.
Dengan keputusan itu Ds. Troostenburg merasa sangat menyesal, karena mereka ternyata belum mengerti
tugas-tugas mereka sebagai orang Kristen, yang harus mengasihi sesama manusia dengan tidak memandang
bulu. Dan memperkembangkan Injil kepada semua bangsa di dunia untuk kelebaran Kerajaan Allah.
Dalam hal ini terbukti bahwa Ds. Troostenburg sangat cinta kepada orang-orang Jawa yang mau menerima
Yesus Juruselamat, dan kemajuan Jemaat Jawa sangat ia perhatikan. Sebenarnya ia tak dapat meninggalkan
Jemaat Jawa. Setelah ia pertimbangkan, maka ia mengajukan permintaan untuk dipindah ke lain kota.
Permintaannya diluluskan. Sebelum ia meninggalkan Purworejo, telah diadakan perayaan perpisahan di gereja
Tuksongo.
Ny. Philips, Sadrach, Abisai, dan lain-lain sangat menyesalkan tindakan Gereja Pemerintah itu. Perayaan
perpisahan itu sangat mengharukan jemaat Jawa. Ds. Troostenburg meninggalkan Purworejo pada tahun 1873.
Ds. Thierme, seorang pendeta baru yang mengganti Ds. Troostenburg di Gereja Pemerintah Belanda. Sifat
dan kelakuannya tidak ramah bahkan memandang rendah kepada orang-orang Jawa. Ia tak suka jika orang
Kristen Jawa campur menjadi satu dengan orang-orang Kristen Belanda dalam gereja Pemerintah. Hal ini
menurut keputusan rapat Majelis Gereja Belanda, bahwa orang Kristen Jawa dipisahkan dari Gereja Pemerintah
Belanda, dan putuslah hubungan antara Gereja Belanda dengan Gereja Jawa.
Setelah diadakan perundingan bersama antara Ny. Philips dan kawan-kawannya, mereka memutuskan untuk
mengambil tindakan lain, yaitu akan minta bantuan Ds. Vermeer dari Purbolinggo buat melayani Sakramen
Baptis Suci dan Perjamuan Suci. Kemudian Ny. Philips, Sadrach, Abisai, bertiga pergi ke Purbolinggo langsung
menuju ke tempat Ds. Vermeer. Semua hal ikhwal yang terjadi di Purworejo diceritakannya. Setelah Ds.
Vermeer mendengar keadaan itu, maka ia bersedia membantu dengan senang hati. Dari situ mereka meneruskan
perjalanan ke Banyumas menuju ke tempat Ny. Van Oostrom. Ny. Van Oostrom bersedia juga membantunya.
Pada suatu hari Ds. Vermeer mengadakan perkunjungan di gereja-gereja Jawa di Bagelen. Mula-mula
kedatangannya langsung menuju ke tempat Ny. Philips. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh Jemaat
Kristen Jawa Purworejo, Karangjoso, Ambal dan lain-lain tempat. Pelawatan Ds. Vermeer ke pelbagai tempat di
pelosok-pelosok Desa yang sudah ada gereja, di situlah ia diminta untuk melayani Perjamuan Suci dan baptisan.
Baru pertama kali ini Ds. Vermeer mengadakan pelawatan dan selama dalam pelawatannya itu ia telah
membaptiskan 700 orang termasuk anak-anak. Ds. Vermeer tak memerlukan penterjemah, sebab ia sendiri
Siapakah Pendeta Vermeer itu ? Baiklah kita ajak para pembaca menengok sejarah Pendeta tersebut yang
banyak membantu dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa serta mengasihi Jemaat-jemaat Kristen
Jawa yang masih muda.
Ds. Vermeer adalah seorang pendeta yang menjadi Pendeta utusan dari N.G.Z.V. (De Nederlandsch
Gereformeede Zendings Vereniging) yaitu suatu Perkumpulan para Utusan dari Gereja-gereja Gereformeerd di
negeri Belanda. Perkumpulan itu didirikan pada tanggal 6 Mei 1859 di kota Amsterdam dan menjadi satu-
satunya partner di Jawa Tengah bagian Selatan.
Kedatangannya mula-mula di Tegal pada tanggal 14 Juni 1862 bersama keluarganya dan mula-mula ia
ditugaskan di Jawa Tengah bagian utara, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1867 kedudukannya dipindah ke
Jawa Tengah bagian Selatan. Bersama keluarganya mereka lalu menetap di Purbolinggo. Sejak ia di Tegal, ia
belajar bahasa Jawa selama 5 tahun dan ketika ia dipindah tugasnya di Purbolinggo disambut dengan gembira
terutama oleh Ny. Van Oostrom. Tugas mula-mula yang dikerjakan ialah melakukan pelawatan kepelbagai
daerah dan desa-desa dengan disertai oleh Ny. Van Oostrom dan beberapa kawan sekerja. Dengan cepat Injil
meluas di desa-desa hingga sampai di daerah-daerah pegunungan Dieng membujur sampai di pegunungan
Slamet. Ny. Van Oostrom menceritakan banyak tentang pemberitaan Injil di Bagelen yang sangat maju hingga
meluas sampai di daerah Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Timbulnya jemaat-jemaat didaerah pegunungan-
pegunungan itu berasal dari daerah Bagelen. Diceritakan juga bagaimana cara kerja Pemberita-pemberita Injil di
Bagelen yaitu Ny. Philips, Sadrach dan lain-lainnya, yang mempunyai semangat yang luar biasa. Ds. Vermeer
sangat gembira ketika mendengar kabar itu. Lebih gembira lagi ketika rombongan para pemberita Injil datang di
Banyumas untuk minta bantuan melayani Jemaat-jemaat di daerah Bagelen. Atas usaha Ds. Vermeer, Gereja-
gereja Jawa di wilayah Banyumas menjadi anggota N.G.Z.V.
Dengan demikian maka segala kebutuhan Gereja dapat terjamin terutama buku-buku pelajaran Agama
Kristen dan kitab-kitab Suci Bahasa Jawa. Semuanya itu terjadi pada tahun 1875.
Gereja Jawa di Bagelen diterima dan diakui sah menjadi anggota N.G.Z.V. berdasarkan laporan-laporan Ds.
Vermeer dengan fakta-fakta yang nyata tentang kemajuan dan perkembangan Injil Kristus yang sangat cepat
meluasnya. Dengan demikian keadaan daerah Bagelen menjadi perhatian besar di Gereja-gereja di negeri
Belanda, lebih-lebih tindakan dan cara kerja Sadrach yang luar biasa.
Mengingat keadaan fisik Ny. Philips lemah dan sering terganggu kesehatannya, maka terpaksa ia tak dapat
melakukan perkunjungan ke desa-desa yang jauh letaknya. Pekerjaan itu ia serahkan kepada Abisai dan
Sadrach. Karena itu, maka segala pertemuan atau rapat-rapat bagi para pengerja diadakan di Karangjoso, Ny.
Philips pada saat itu harus mengaso dan tak diperbolehkan lagi memikir yang berat-berat atau mengurusi
Jemaatnya lagi. Pekerjaan cukup dikerjakan oleh pembantu-pembantunya yaitu Sadrach, Abisai, Tarub,
Timotius, Markus, Yohanes, dan Yotham. Apabila Ny. Philips mendapat keringanan, ia berusaha sedapat
mungkin menghadiri pertemuan-pertemuan di Karangjoso. Kehadiran Ny. Philips di situ membuat besar hati
dan kegembiraan bagi Sadrach dan kawan-kawannya.
Kelemahan tubuh Ny. Philips dirasakan makin memburuk meskipun demikian tidaklah mengurangi
pengabdiannya kepada Tuhan. Bahkan dengan segala ketulusan hati ia menyerahkan segala pekerjaan dan
hidupnya didalam tangan Tuhan yang maha Kasih. Sadrach dan kawan-kawannya sering mengunjungi Ny.
Philips untuk memberi hiburan serta mendoakan. Dalam keadaan yang amat kritis, dimana ia harus mengakhiri
hidupnya, sebelum ia menutup mata tak lupa ia memberi pesan-pesan yang penting kepada Sadrach dan Abisai
untuk mengatur pekerjaan pemasyhuran Injil. Ny. Philips dengan tenang dan senyuman telah menutup mata
untuk selama-lamanya pada tanggal 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun.
Tarub telah pindah ke lain kota sebelum Ny. Philips jatuh sakit. Ia kembali ketempat asal kelahirannya di
Kediri, maka pekerjaan di Ambal diserahkan kepada Markus dan Yohanes.
Dengan meninggalnya Ny. Philips, menjadi perhatian besar bagi Gereja-gereja diseluruh Jawa Tengah dan
beberapa kota di Jawa Timur. Mereka menyatakan turut berduka cita, sehingga nama harum Ny. Philips selalu
teringat sebagai tokoh gereja dalam sejarah-sejarah gereja Kristen, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Amat disayangkan bahwa sepeninggalnya Ny. Philips, maka sebagai ahliwaris yang ditinggalkan itu tiada
menaruh perhatian kepada Gereja. Mereka acuh tak acuh mengenai urusan gereja, walaupun mereka kini
mendiami rumah Philips. Karena mereka itu sangat memerlukan uang, terpaksa mereka jual rumah serta
halaman berikut gereja di Tuksongo dan semua buku-buku pelajaran agama dan Kitab-kitab Suci kepada
seorang Tionghoa. Hal itu terjadi pada tanggal 11 Juni 1877.
Dari laporan Ds. Vermeer, N.G.Z.V. memandang perlu mengutus utusannya untuk bekerja di daerah
Bagelen. Dua tahun kemudian setelah meninggalnya Ny. Philips, pada tahun 1878, diutuslah Ds. Bieger ke
daerah ini. Sebelum ia melakukan pekerjaannya, untuk sementara ia di Tegal.
Mula-mula ia bertempat tinggal di Kutoarjo. Pada waktu ia datang ke daerah itu, kedudukan Sadrach sudah
cukup kuat sebagai pemimpin orang-orang Kristen Jawa Merdeka.
Tujuan Ds. Bieger yang pertama ialah mengadakan pembicaraan dengan Sadrach tentang pimpinan orang-
orang Kristen Jawa, dan menghendaki supaya Sadrach menyerahkan pimpinan itu kepada Ds. Bieger. Sungguh
Setahun sebelum peristiwa penangkapan Sadrach, N.G.Z.V. telah mengutus seorang pendeta muda bernama
Ds. J. Wilhelm. Ia berdiam disamping rumah Bieger, sebagai pendeta Zending ia datang di Purworejo pada
bulan Pebruari 1881. Ia bekerja tidak sebagai pendeta, tetapi membuka sekolah dan mengajar sebagai guru
agama. Meskipun selama hampir setahun tinggal di Purworejo, tapi ia tak mengetahui soal peristiwa Sadrach,
sebab ia menganggap itu bukan urusannya. Sedangkan Bieger sama sekali tidak memberitahu atau menceritakan
Sementara itu sebelum Bieger meninggalkan Purworejo dari pihak Gereja Negara sedang berusaha untuk
menguasai jemaat-jemaat Sadrach, sama halnya dengan Bieger. Ds. Heyting datang sendiri ke Karangjoso untuk
keperluan itu pada bulan Maret 1883. Sadrach menolak kemudian Sadrach pergi ke rumah Wilhelm, yang pada
pokoknya meminta agar Wilhelm sudi menjadi pendeta untuk orang-orang Kristen Jawa yang dipimpin Sadrach.
Wilhelm bersedia dan ini diberitahukan kepada pendeta Gereja Negara dan Bieger.
Hari Kamis tanggal 22 Maret 1883 menjelang hari Minggu Paskah Bieger tidak mengijinkan Gereja untuk
kebaktian orang Kristen Jawa dibawah pimpinan Sadrach, jadi terpaksa kebaktian diadakan di serambi rumah
Wilhelm. Dari peristiwa tersebut nampak kejengkelan Bieger terhadap pimpinan Wilhelm atas orang-orang
Kristen Jawa. Bahwa Wilhelm lebih disenangi dari pada Bieger. Pendeta Gereja Negara juga marah kepada
Wilhelm, sebab ini berarti mempersempit usaha Heyting untuk menguasai Sadrach.
Pada hari Minggu semua kelompok Sadrach berkumpul sebanyak 83 orang datang di Purworejo di rumah
Wilhelm yaitu mereka dari daerah Bagelen, Banyumas dan Pekalongan. Mereka bersatu menyatakan
keinginannya yaitu agar Wilhelm bersedia menjadi pendeta mereka. Pembicaraan belum selesai, maka
pertemuan ini diteruskan di Karangjoso pada tanggal 10 April 1883.
Ds. Wilhelm memberitahukan pertemuan ini kepada pendeta Heyting dan mengharap agar jangan
mencampuri utusan mereka. Tetapi Heyting merasa tidak senang, ia datang juga ke Karangjoso dengan tujuan
untuk membatalkan surat panggilan yang akan ditandatangani oleh tua-tua semua jemaat dan tanda tangan
Sadrach dibawah sendiri dengan kedudukan sebagai guru agama Kristen di Karangjoso. Heyting marah sekali
dan berkata jika maksud itu diteruskan semua tanggung jawab ada ditangan mereka. Pertemuan itu berjalan
terus dan menyelesaikan surat panggilan untuk pendeta Wilhelm. Kemudian surat panggilan disampaikan
kepada Wilhelm.
Setelah Wilhelm ditetapkan menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa, segera ia membuat surat kepada
Gubernur Jenderal yang berisi permintaan, agar golongan Sadrach jangan digabungkan dengan gereja Negara
dan jangan disalurkan dibawah pimpinan salah seorang pembantu (Hulpprediker), sebab mereka tak
menginginkan hal itu. Mereka menginginkan tetap bebas dan berhak mempunyai pendeta Belanda. Dalam surat
itu dilampirkan surat yang menerangkan bahwa mereka dengan nama : Jemaat Kristen Jawa Mardika
(Pasamuwan Kristen Jawi Mardika), telah memanggil pendeta Wilhelm sebagai pendetanya dengan tanda
tangan 83 ketua kelompok. Surat itu bertangal 17 April 1883 sewaktu mereka berapat di Karangjoso.
Tentang nama Jemaat Kristen Jawa Mardika ini berarti bahwa jemaat ini tidak di bawah gereja Negara atau
Zending. Karena nama itu menunjukkan isi dan dasar hati Kyai Sadrach. Sadrach menarik bangsanya sendiri
menjadi Kristen bukan diajak untuk menjadi Belanda atau diajak untuk menjadi beban orang-orang Kristen
Belanda, melainkan diajak untuk berdiri sendiri, meskipun di tengah mereka bekerja seorang pendeta Belanda.
Inilah sikap yang patut dihargai, lebih-lebih pada saat itu. Walaupun kuno dan sederhana tetapi disini dapat
terlihat jiwa besar.
Sikap dan langkah Wilhelmpun sangat berharga, sebab dengan pengiriman surat pada Pemerintah Pusat ini
berarti ia berusaha agar supaya Jemaat Kristen Jawa Mardika dikenal, diakui dan dimengerti kedudukan serta
sikapnya oleh pihak Pemerintah. Inilah tindakan pertama dari Wilhelm untuk menguatkan status Jemaat yang
akan dilayani dan berdasarkan hukum yang berlaku.
Tindakan selanjutnya ia harus menghadapi pekerjaan raksasa yang tidak ringan didalam jemaat sendiri, baik
dalam kerohanian maupun organisasinya. Pekerjaan yang besar sebab jumlah murid Sadrach menurut catatan
baptisan ada 1.596 orang di Bagelen, di Banyumas mungkin separuh dari jumlah itu belum terhitung yang
didaerah Pekalongan dan sebagainya. Jumlah kelompok ada 23 buah, letaknya terpencar dimana-mana, sedang
transportnya sangat sulit. Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Wilhelm sebelumnya, terutama ketika pertemuan
dengan 83 utusan dari kelompok itu, dan ia tak menunjukkan keberatannya semua akan dikerjakan dengan
senang hati.
Sebelum Wilhelm bekerja di situ, dalam jemaat sudah ada peraturan-peraturan yang berjalan. Misalnya
Kebaktian Minggu di kelompok-kelompok dipimpin oleh tua-tua kelompok yang dapat membaca. Andaikata
Kebaktian Minggu belum dapat berjalan dalam suatu kelompok mereka datang ke kelompok lain yang terdekat.
Ditiap kelompok ditempatkan tua-tua yang disebut “kamitua”. Aturan-aturan lain yaitu pertemuan tigapuluh
lima hari sekali di Karangjoso. Dengan diatur demikian maka Jemaat dapat menampakkan ikatan yang besar dan
kuat. Jika mengingat kekristenan Sadrach, tentunya ia mendapat sedikit pengetahuan jabatan gerejani dari Ds.
Taffer, yaitu pengalamannya sewaktu ia menjadi murid Mr. Anthing di Batavia (Jawa Barat) dan Ds. Hoezoo di
Jawa Tengah dan Ds. Jellesma di Jawa Timur.
Cara Sadrach memimpin tidak dengan musyawarah atau pertimbangan-pertimbangan orang lain, tetapi
dengan cara memberi perintah, petunjuknya haru ditaati. Biasanya perintah atau pesan-pesan dan petunjuk-
petunjuk diberikan melalui pembantunya yaitu Markus dan Yohanes. Demikianlah bidang yang akan dikerjakan
oleh Wilhelm. Ia bekerja sendiri, sebab rekannya yaitu Bieger pada pertengahan tahun 1884 pulang ke negeri
Belanda.
Pada bulan Juni 1883, Sadrach dan Wilhelm pergi ke Boncon, selatan Purworejo, disitu diresmikan
berdirinya Gereja Kristen, dengan ditetapkannya tua-tua. Sejak tanggal 13 April 1884 Wilhelm telah
membaptiskan dipelbagai tempat jumlah 69 orang.
Dalam organisasi dibidang kegerejaan Wilhelm mulai dengan cara desentralisasi, mengingat luas dan
besarnya daerah kerja. Maka dibentuk Klasis, dimana jemaat-jemaat berkumpul dan diadakan Sinode setahun
sekali di Karangjoso. Pertemuan tigapuluh lima hari sekali kemudian diganti menjadi empat kali dalam setahun.
Tetapi ini hanya bertahan sampai tahun 1892, sebab orang-orang ingin erat hubungan antara guru dan murid.
Wilhelm dan Sadrach menerbitkan buku anggota dan buku baptisan. Dalam hal kerohanian, Wilhelm tahu
bahwa pengetahuan Alkitab sangat sedikit dan bercampur dengan kepercayaan lain. Kemudian ia membuat
Katechismus, Seratus empat cerita dan aturan-aturan Jemaat dan semuanya ditulis dalam bahasa Jawa.
Karena sedikit sekali orang dapat membaca dan menulis, ia mendirikan beberapa sekolah akan tetapi ia
merasa kekurangan tenaga sehingga ia minta kepada N.G.Z.V. untuk mendirikan sekolah calon Guru, serta
mengirim guru serta pendeta dengan tugas mengajar disekolah. Usul tersebut disetujui dan pada bulan Januari
1888, J.P. Zuiderma dikirim, lalu membuka sekolah guru yang diberi nama “KEUCHENIUSSCHOOL”.
Sebagai Jemaat muda, maka cara-cara melaksanakan hidup kekristenan sebagai pernyataan iman mereka,
tak dapat dilepaskan dari pengaruh kehidupan tradisional yang telah mengakar dalam diri mereka.
Dalam praktek-praktek jemaat ini adalah sebagai berikut:
a. Soal tempat kebaktian dan kebaktiannya.
b. Upacara Adat
c. Siasat dalam Jemaat
d. Pelayanan Sosial
Bagi kelompok-kelompok yang belum ada gereja, maka kebaktian diadakan di rumah imam (Kamitua).
Istilah “imam” diambil dari istilah Islam, yaitu orang yang memimpin kebaktian pada hari Jumat. Sudah
menjadi kebiasaan di rumah Modin (yaitu orang yang mengurusi praktek-praktek yang berhubungan dengan
agama Islam), didirikan langgar. Modin inilah biasanya menjadi imam di Masjid.
Gereja-gereja didirikan secara gotong royong dengan bentuk dan kwalitetnya sejenis dengan rumah-rumah
sembahyang lainnya, yaitu Masjid. Seperti halnya di Masjid mempunyai bedug (alat bunyi-bunyian yang bisa
dipakai untuk memanggil orang-orang sembahyang), demikian juga dalam gereja Sadrach. Pernah ditanyakan
kepada Sadrach, mengapa memakai bedug. Jawab Sadrach, bahwa apa saja halal, asal dapat dipergunakan untuk
membangun dan memanggil jemaat.
Jika mereka akan membangun Gereja yang agak besar, dirapatkan dulu di Karangjoso, untuk mendapatkan
bantuan dari jemaat-jemaat lain. Mereka memandang gereja-gereja sebagaimana mereka memandang Masjid
sebagai tempat sembahyang. Soal mendirikan rumah sembahyang bukanlah hal yang baru bagi masyarakat.
Mereka tak pernah mengenal atau menerima bantuan luar negeri untuk mendirikan gereja.
Kebaktian dipimpin oleh tua-tua yang mereka sebut “imam”. Sebelum masuk gereja mereka mengucapkan
doa dua kali, demikian : ”Ya Bapa Kami, Tuhan Kami, Kami orang berdosa, kami mohon ampun. Amin”. Doa
ini adalah kebiasaan mereka pada saat itu.
Hal liturgi sudah ada ditiap kelompok, yang terdiri dari :
1. Pengakuan Iman Rasuli
2. Hukum Sepuluh dengan Matius 22 : 37-40
3. Doa syukur dan doa persembahan
Isi doa syukur sebagai berikut : “Oh Bapa kami, Putera dan Roh Kudus, mohon agar kami laki/wanita dapat
tetap teguh dalam memuji kepadaMu, Oh, mudah-mudahan kami diberi kekuatan didalam memuji NamaMu,
dihadiratMu, Oh Tuhan satu-satunya Bapa kami. Amin”.
Tentang nyanyian-nyanyian yang dipakai pada saat itu, yaitu dengan melodi Jawa dengan isi Doa Bapa
Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Juga doa pagi dan doa makan dinyanyikan dalam lagu Jawa. Semua itu telah
disusun oleh Ds. Wilhelm. Ketika diadakan konferensi pada tahun 1885, para Zendeling membicarakan antara
soal melodi barat yang harus diperkembangkan dalam kebaktian.
B. Upacara Adat
Hidup kerohanian orang Jawa erat hubungannya dengan adat. Bagi orang-orang Kristen Jawa upacara
selamatan tetap ada, hanya beda cara-cara dengan yang dilakukan oleh orang-orang Jawa pada umumnya.
Orang-orang Kristen tidak memakai ijab Kabul. Ijab Kabul ialah mengesahkan upacara selamatan itu dengan
penyerahan makanan kepada roh-roh halus, disertai dengan membakar kemenyan untuk mohon berkat. Akan
tetapi selamatan yang dilakukan orang Kristen dipimpin oleh imam. Sebelum makan bersama imam berkata
(misalnya dalam upacara kandungan tujuh bulan) : “Marilah kita mulai dengan hidangan yang lezat ini sebagai
ucapan terima kasih kepada Allah, karena wanita yang mengandung itu, sampai saat ini keadaannya sehat dan
baik.”
Pada upacara sedekah bumi yang bertujuan mohon kesuburan tanah dan dijauhkan dari hama-hama. Orang-
orang Kristen memandang upacara ini sebagai penyembahan berhala, sebab mereka mempersembahkan sajian-
sajian tertentu untuk Dewi Sri dan Kala, sebelum tanam padi. Tapi bagi orang Kristen cukup mengadakan di
gereja, membaca Mazmur 1 dan menyanyi Mazmur 104. Imam menjelaskan bahwa pada jaman Adam ketika ia
akan mengerjakan tanah, terlebih dahulu ia mohon berkat kepada Tuhan. Sesudah kebaktian di gereja, mereka
makan bersama.
Pada upacara penguburan, dipimpin oleh imam dengan membaca doa yang sudah dibuat formulirnya
dengan kata-kata dalam bahasa Arab (ini dibuat oleh Sadrach) isinya sebagai berikut : “ Bagi yang meninggal
dunia sudah tidak ada persoalan apa-apa untuk membujur ke arah timur, barat, selatan dan utara. Dia telah
Setelah Wilhelm diangkat menjadi pendeta mereka, tata tertib Jemaat dapat diatur lebih luas menyangkut
segala segi kehidupan Jemaat. Dalam soal-soal khusus diadakan tata-tertib untuk mengadakan kesucian
gerejanya. Ini menyangkut soal siasat gereja. Banyak persoalan dari kelompok-kelompok yang berkenaan
dengan hidup sehari-hari.
Dalam rapat tiap 105 hari di Karangjoso dibicarakan hal-hal ini. Isi pembicaraan antara lain : tentang orang
yang ikut wayangan, tayuban, judi, mengadu jago, jinah, minum madat, pelanggaran hari Minggu, orang yang
menikah Islam, beristri dua, orang yang jarang kebaktian dan sebagainya. Beberapa laporan diantaranya
menyangkut hidup imam dan orang awam.
Didapati imam menari bersama dengan wanita dalam pesta tayuban. Imam ini diberhentikan dan diganti
yang lain. Pada hari Minggu ada imam yang berdagang sapi. Kemudian Sadrach datang sendiri membaca :
Kejadian-kejadian dan diberi peringatan. Kalau membandel dipecat. Ada lagi orang imam yang berjinah. Ia
tidak boleh mengimami selama 1 tahun. Setelah kelihatan bertobat dan taat, dengan pengakuan dosa dihadapan
Jemaat, ia diperbolehkan kembali sebagai imam.
Cara pengakuan dosa, dengan pertanyaan dan jawaban, disediakan air dan bunga. Air itu untuk cuci muka.
Disambut nyanyian bersama dengan melodi Jawa, isinya : Yakub 5 : 8-10. Dan kemudian ia diakui kembali
sebagai imam.
Ada seorang awam yang mengambil istri kedua, sebab istri pertama tak punya anak. Sebelumnya sudah
dinasehati dan diperingatkan oleh imam dan saudara lainnya. Tetapi tetap membandel. Ia disiasat. Istri yang
pertama diceraikan dan kawin dengan orang lain. Sebaliknya ada orang Islam yang beristri dua ingin menjadi
orang Kristen. Bagi mereka tak diharuskan cerai. Mereka harus menunjukkan kasih. Anak-anaknya dibaptiskan.
Tapi orang ini tak boleh menjadi imam.
Bagi orang Kristen yang tidak pergi ke gereja diberi peringatan sampai 1 tahun. Pernah ada yang
dikeluarkan dari Jemaat, sebab tak ikut ambil bagian dalam sedekah bumi cara Kristen.
Demikianlah Jemaat Kristen Jawa dalam menjaga kesucian gereja. Menurut kesaksian Pemerintah, hidup
kelompok orang Kristen Jawa cukup baik. Tak pernah ada yang berurusan dengan polisi. Tertib membayar
pajak. Tak pernah ada pencuri atau penjahat. Mereka hidup rajin, giat bekerja dan berkelakuan baik.
D. Pelayanan Sosial
Disamping hal tersebut diatas, jemaat ini juga tak melupakan tugas sosialnya. Di rumah Sadrach banyak
anak-anak terlantar diterima untuk bekerja di situ. Sadrach membeli tanah bekas tanah pabrik dengan uang
pinjaman. Tanah inilah yang dikerjakan oleh mereka. Mereka bekerja sambil berguru. Dalam kumpulan
tigapuluh lima hari sekali di Karangjoso orang membawa dan mengumpulkan uang untuk menolong orang
miskin. Dari uang itu ada yang dipinjamkan dengan bunga sangat rendah dengan maksud untuk melawan
Pertumbuhan Jemaat Kristen Jawa masih banyak kekurangan, ajaran-ajaran masih bercampur-baur. Namun
ciri-ciri yang demikian itu, bagi Wilhelm cukup dimengerti dan ia berusaha sebijaksana mungkin untuk
membawa Sadrach dan murid-muridnya ke arah hidup yang sesuai dengan Alkitab. Ia duduk berdampingan
sama tinggi di tengah-tengah jemaat ini.
Laporan-laporan Wilhelm kepada bestuur di Nederland (N.G.Z.V.) memang menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan. Majalah-majalah gerejani memuat perkembangan ini. Dan kenyataannya Wilhelmlah
yang mendapat tempat di hati Sadrach, diantara para Zendeling. Dialah yang menonjol baik dalam kerjasama
maupun hasilnya.
Pada saat itu daerah Banyumas bekerja Ds. Vermeer, di Pekalongan dan Tegal bekerja Ds. Horstman dan di
Purworejo, Zuidema bekerja sebagai guru sekolah Keuchenius. Mereka melihat sendiri bahwa pengikut-
pengikut Sadrach, dalam hidup kekristenannya sangat menyimpang. Banyak kritik-kritik/tuduhan yang
dilancarkan oleh para Zendeling ini, yang didasarkan praktek-praktek hidup mereka. Kritik-kritik berupa tulisan
tidak hanya ditujukan kepada Wilhelm saja sebagai rekan kerja, tapi juga kepada N.G.Z.V. di Nederland.
Keadaan yang kurang menyenangkan ini juga sering dibicarakan dalam Rapat Kerja.
Tahun 1891 berita tentang Sadrach sebagai orang besar dan terhormat serta disembah-sembah telah tersiar
dan tersebar dalam dunia Zending Gereformeerd. Sadrach disebut sebagai : Imam, Kyai, Kanjeng bapak,
sebutan-sebutan ini merupakan penghormatan dan untuk meninggikan Sadrach, yang tidak seharusnya demikian
bagi seorang pemimpin Kristen. Sadrach juga dipandang sebagai orang yang sakti sebab ia dapat
menyembuhkan orang sakit dan tempat tinggalnya merupakan tempat keramat yang tak sembarang orang kuat
menempatinya.
Horstman melaporkan bahwa ia melihat sendiri, pengikut Sadrach menganggapnya sebagai ganti yang akan
melaksanakan segala sesuatu. Lebih-lebih dengan gelar “Suropranoto” yang mengandung maksud keilahian
yang mengatur. Horstman juga melihat sendiri bahwa dimana nama Yesus diberitakan, tapi pikiran orang
diarahkan kepada Sadrach. Dikatakan bahwa Sadrach adalah jelmaan, yang tak dilahirkan, tak berobah, tak
sakit, tak mati, ia adalah pengejawantahan Kristus. Demikian kesan Horstman. Selanjutnya didengar pula
langsung dari pengikut Sadrach bahwa orang Yahudi adalah orang Jawa dan bahasa Jawa adalah bahasa orang
Yahudi. Injil dan Roh Allah diberikan dalam bahasa itu. Sebab itu Qur’an dengan bahasa Arab tak diperlukan
lagi. Mereka percaya bahwa Injil telah keluar dan diberitakan dalam bahasa Jawa dalam diri Sadrach. Mereka
percaya bahwa Injil dalam bahasa Jawa adalah text asli.
Murid Sadrach yang bernama Yeremia dan Yakub Tumpang yang giat mengadakan PI mengajarkan bahwa
Sadrach adalah Ratu Adil. Dalam rapat di Karangjoso, Yeremia telah mendapat peringatan tentang hal ini.
Tetapi menurut pengertian Yeremia, Kristus sebagai Ratu Adil telah menjelma dalam diri Sadrach, dan
dikatakan bahwa Kristus akan datang kembali menjelma sebagai Sadrach. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan
dengan Gusti dan Suropranoto, ini jelas dianggap sebagai ketuhanan yang mengatur, seperti gelar Raja Salad an
Yogya yang ada pada orang-orang atau pengikut-pengikut Sadrach dan penyelewengannya.
Pendeta Vermeer di Purbolinggo pun sependapat dengan Horstman sebab ia juga mengurusi orang-orang
Sadrach yang ada di daerah Banyumas. Demikian juga Zuidema mempunyai pandangan yang sama.
Bestuur N.G.Z.V. mempelajari semua laporan itu. Didalam mempertimbangkan laporan-laporan itu
dipelajari juga pekerjaan zending di Jawa Timur, juga tulisan Ds. Jans tentang Tunggul Wulung; ditambah lagi
pendapat Bieger ketika pulang ke Nederland. Semua ini berlawanan dengan laporan Wilhelm. Berstuur
N.G.Z.V. mengkhawatirkan jemaat Kristen Jawa yang cepat berkembang itu akan cepat layu pula.
Kemudian bestuur menetapkan untuk mengirim seorang inspektur untuk memeriksa seluruh pekerjaan
N.G.Z.V. di Jawa. Maka dipilih orang yang sudah berpengalaman salah seorang anggota bestuur yaitu Ds. F.
Lion Cachet, pendeta dari Rotterdam, yang pernah ke Afrika Selatan dan bergaul dengan pendeta-pendeta PI
dan orang-orang Negro.
Ia berangkat bulan Maret 1891 dan tiba di Batavia Juni 1891. Ia telah menulis segala pengalaman
perjalanannya ini dengan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul : EENJAAR OP REIS IN DIENST DER
ZENDING. Dalam perjalanan ke daerah-daerah selalu disertai oleh pendeta setempat. Dan pada waktu
memeriksa daerah Bagelen, ia disertai oleh Pendeta Wilhelm.
N.G.Z.V. merasa tidak ada kemampuan lagi untuk mengatasi Jemaat-jemaat terutama di daerah-daerah di
Jawa Tengah bagian Selatan. Maka tugas selanjutnya diserahkan kepada Deputaat Synode Gereja-gereja
Gereformeerd di Nederland bagian urusan Zending yang disebut : “ZENDING GERFORMEEDE KERKEN”
(ZGK). Tahun 1894 Synode menyetujui dan menerima baik tugas itu, mengingat bahwa Zending bukan tugas
perkumpulan diluar jemaat, tetapi adalah tugas Jemaat juga. Dengan demikian ZGK menerima daerah Jawa
Tengah yang keadaannya agak kacau itu.
Para Deputaten telah mengundang para pendeta dari Gereja-gereja di Nederland untuk mengadakan
Musyawarah Kerja. Maka oleh Deputaat Synode diminta kesediaannya supaya Gereja-gereja mengutus seorang
pendeta ke daerah Bagelen.
Ds. L. Adriaanse pendeta dari Gereja Gereformeerd di Zeist, menyatakan kesediaannya menjadi pendeta
utusan ke daerah yang parah itu.
Pada pertengahan Januari 1895, Pendeta Adriaanse tiba di Purworejo, berdiam di rumah Wilhelm yang
sudah 3 tahun ditinggal kosong. Dengan hati-hati ia mulai merintis kembali hubungan dengan Sadrach dan
jemaat di Karangjoso. Sikap Sadrach tetap terbuka, menerima baik dan ramah. Ini membuktikan bahwa Sadrach
bukanlah orang yang kasar dan suka permusuhan. Banyak petunjuk-petunjuk dan pelajaran dari Adriaanse untuk
membaptiskan orang-orang di desa Jenar. Tetapi sebelum ia melakukan pembaptisan itu, menurut Adiraanse
supaya orang-orang itu diberi pelajaran katekisasi lagi, dan inipun sangat disetujui oleh Sadrach. Ia mengadakan
perkunjungan kepada jemaat-jemaat Sadrach.. Jemaat-jemaat ini menerima baik pendeta Belanda asal bisa
kerjasama dengan gurunya. Dari pengalaman Adriaanse dalam pergaulannya dengan jemaat Sadrach, ia punya
harapan baik, namun ia tetap hati-hati dalam tindakannya. Pernah Adriaanse mendapat undangan untuk
melayani Kebaktian di Karangjoso pada tanggal 17 Mei 1896, tetapi ia tak berani mengambil keputusan sendiri
sebelum ia minta ijin kepada Nederland.
Segera ia mengirim surat kepada ZGK dan baru diijinkan dan dilaksanakan pada bulan Nopember 1896.
Jelas bahwa Adriaanse masih sangat hati-hati. Apalagi mengingat Zeidena dan Scheurer sebagai rekan kerjanya
masih menganggap bahwa Sadrach dan pengikutnya masih mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang
bercampur dengan ketahayulan. Dalam hal itu timbul kecurigaan Sadrach, tindakan-tindakan Pendeta Belanda
terlalu menggantungkan pada Nederland, hingga tak dapat mengambil keputusan sendiri, padahal menurut
Sadrach bahwa segala tindakan pendeta Belanda sama sekali tidak melanggar peraturan-peraturan Gereja-gereja
di Nederland. Sadrach ingin supaya Jemaatnya lebih maju dalam pengertian hal Kitab Suci. Bahkan Sadrach
lebih suka pendeta-pendeta Belanda mencampuri dalam memberi pelajaran-pelajaran sesuai dengan peraturan-
peraturan Gerejani, dan lebih suka lagi apabila orang-orang Kristen Jawa bisa meninggalkan adat-adat
kebiasaannya yang bersifat ketahayulan itu. Bagi Sadrach dalam hal ini cukup dimengerti, memang Sadrach
membiarkan mereka berbuat demikian asal tidak mengurangi kesungguhan mereka dalam menganut
kepercayaan Kristen. Karena adat-adat kebiasaan orang-orang Jawa itu sudah sedemikian berakar, maka usaha
Sadrach dalam pemberitaan Injil ia tidak meremehkan begitu saja nilai-nilai serta kebudayaan Jawa akan tetapi
adat-adat kepercayaan orang Jawa itu diarahkan kepada kepercayaan dan pertobatan serta penyerahan kepada
Tuhan Yesus Juruselamatnya.
Tetapi sayang, gereja-gereja di Nederland tidak percaya dan menyangsikan keadaan jemaat-jemaat yang di
kuasai Sadrach. Memang Hal ini oleh gereja-gereja di Nederland masing sangat disangsikan, lebih-lebih
Zuidema dan Scheurer; menurut pendapat mereka, Sadrach tidak mungkin dapat diperdamaikan. Anggapan-
anggapan ini menyukarkan Adriaanse menuju perdamaian, hingga ia tak berani bertindak menurut pikiran dan
hatinya sendiri. Padahal apa yang ia dengar dari Sadrach sendiri tentang pekerjaan Wilhelm hingga pada saat
meninggal dunia adalah amat berjasa dan boleh dipuji karena semua dilakukan dengan penuh kebijaksaan dan
Dalam situasi sedemikian, ada usaha dari Gereja Negara untuk menganeksasi. Tapi hal ini tidak mungkin
terjadi. Jemaat tidak setuju. Karena mereka menganggap bahwa Sadrach adalah nabi dari agama Kristen. Pada
saat itu Sadrach dihubungi oleh seorang Tionghoa anggota jemaat Kerasulan bernama Liem Tjhing Kiang yang
bertempat tinggal di Magelang, yang mempunyai juga hubungan dengan Mr. Anthing di Batavia.
Seperti telah diuraikan di atas, Mr. Anthing adalah seorang anggota “Het Genootschap voor In-en
Uitwendige Zending yang sangat aktif dalam Pemasyhuran Injil kepada bumi putera. Untuk keperluan PI
tentulah membutuhkan biaya-biaya, tetapi perkumpulannya di Negeri Belanda tidak dapat memenuhinya.
Kemudian ia mengadakan hubungan dengan jemaat-jemaat Kerasulan di London (Inggris). Adapun pendiri
jemaat-jemaat Kerasulan di London bernama Eduard Irving, ialah seorang pendeta Gereja Presbyterian di
London, yang tidak puas dengan kemerosotan hidup kerohanian gereja pada saat itu. Ia berpendapat bahwa
karunia rohani yang istimewa dari Tuhan tidak terbatas hanya pada jaman para Rasul saja, melainkan terus
sampai pada hari Tuhan (Kiamat).
Tidak adanya karunia rohani yang istimewa ia dalam gereja disebabkan oleh iman yang tipis, rendah dan tak
ada kesucian Gereja. Pendapatnya diperkuat oleh suatu peristiwa kesembuhan Isabela Campell yang telah lama
dan berat menderita sakit di Glasgow. Ini dipandang sebagai karunia Roh, banyak orang datang kesana.
Anggota jemaat di Glasgow disebut “orang” yang diterangi. Dalam Kebaktian banyak orang yang berbahasa
lidah, ini dianggap sebagai karunia roh, demikian pula anggapan Irving, Eduard Irving kemudian memberi
ajaran yang menyimpang dan mendirikan gereja di Newman Street. Gerakan ini berpendapat bahwa orde
kenabian timbul dalam gereja. Tak lama kemudian adalah seorang nabi telah ditunjuk sebagai Rasul. Jabatan
gereja terdiri dari : rasul, nabi, penginjil dan gembala. Pelaksanaannya : Pilihan untuk jabatan tahbisan pertama
telah dilakukan pada hari Natal 1832 di kota Albury, hingga tahun 1833 baru ada lima orang rasul. Setelah
genap duabelas rasul, mulailah pergerakkannya. Mereka berkumpul di Albury terutama untuk memperdalam
pengetahuan Alkitab dan mengatur gerejanya. Kemudian mereka berpencar kepelbagai tempat untuk
menjalankan tugas masing-masing dan tiap dua tahun sekali mereka berkumpul. Praktek Kebaktian mereka
seperti Yahudi dan Roma Katholik. Perjamuan Suci dilakukan tiap minggu. Kebaktian diadakan tiap hari
Minggu dua kali jam 06.00 dan 18.00. Dan jika ada yang melayani, tiap hari diadakan kumpulan doa jam 09.00
dan 15.00. Para rasul berhak membaptiskan orang. Sampai di Nederland-pun mereka telah mendirikan gereja
kerasulan, walaupun anggotanya hanya beberapa orang saja. Dalam suatu kebaktian hari Minggu, Mr. Anthing
hadir juga disitu. Dalam kebaktian itu ada orang perempuan yang bernubuat bahwa Mr. Anthing hendaknya
diangkat menjadi rasul di Indonesia. Nubuat ini diterima oleh Jemaat sebagai yang datang dari Tuhan.
Kemudian Mr. Anthing diangkat menjadi Rasul di Indonesia. Dan perempuan tersebut akhirnya dinikah menjadi
istrinya.
Setelah mereka berdua kembali ke Batavia, Mr. Anthing memulai dengan usahanya mendirikan gereja
kerasulan dan istrinya sebagai nabiah. Sebagai rasul ia membaptiskan orang. Sejak gereja itu didirikan ternyata
tak ada persoalan apa-apa, baik dari pihak Pemerintah maupun dari pihak gereja-gereja lain. Ini berarti bahwa
gereja Kerasulan itu diakui sah oleh Pemerintah. Tetapi setelah ia meninggal dunia, diantara murid-muridnya
banyak yang masuk gereja-gereja Zending. Hubungan antara Mr. Anthing dan Sadrach memang sangat erat.
Hati Sadrach sangat terharu ketika mendengar dari Liem Tjhing Kiang bahwa Mr. Anthing gurunya telah
meninggal dunia, maka ia berniat mengunjungi kuburannya untuk menyatakan penghormatannya, serta
menengok keluarga Anthing dan jemaatnya. Pada suatu hari ia berangkat menuju Batavia bersama Markus dan
Yotham Martorejo. Perjumpaan antara Sadrach dan Ny. Anthing mengingatkan kembali pada masa lampau.
Sadrach sangat tertarik ketika ia mengikuti kebaktian di jemaat kerasulan, apalagi posisi gereja kerasulan itu
bebas. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk masuk Kerasulan. Keputusan Sadrach yang sangat menentukan
itu memang dapat menimbulkan berbagai tafsiran yang berbeda-beda. Bisa dikatakan kedudukannya daripada
mempertimbangkan soal-soal ajaran agama Kristen. Bisa juga ditafsirkan sebagai keputusan untuk
mempertahankan pandangannya yang teguh bahwa kekristenan Jawa lain dengan kekristenan Belanda.
Sadrach ditahbiskan menjadi rasul Jawa pada tahun 1899 di Batavia oleh Rasul Hannibal, disaksikan oleh
para pembantunya yang setia yaitu Markus dan Yotham. Dengan demikian Sadrach diperbolehkan melayani
sakramen-sakramen gerejani: membaptiskan orang dan melayani perjamuan suci. Untuk pertama kali pada
Mulai tahun 1900 kejayaan Jemaat Kerasulan Jawa di Karangjoso dan nama Sadrach sangat termasyhur. Di
almanak tahun 1900 – 1925, nama Sadrach selalu dicantumkan sebagai Rasul Jawa Tengah, diakui sah oleh
Pemerintah, juga dalam Majalah-majalah Nederland Indie.
Sadrach telah lanjut usianya, maka segala pekerjaan di serahkan kepada pembantu-pembantunya : Yotham
Martorejo dan kawan-kawannya. Ia sering menderita sakit.
Pada tanggal 14 Nopember 1924 Sadrach menutup mata untuk selama-lamanya. Penguburannya dipimpin
oleh rasul Schmit dari Cimahi. Pendeta van Dijk dari Kebumen (sebelum dipindah ke Wonosobo) Bupati
Kutoarjo utusan dari jemaat-jemaat yang tersebar di Jawa Tengah datang untuk memberi penghormatan terakhir.
Sepeninggal Sadrach, Jemaat Karangjoso dan sekitarnya goncang. Sadrach sendiri tak berputra. Anak
angkatnya yaitu Yotham Martorejo yang memperoleh warisan sehingga sekarang rumah tempat tinggal Sadrach
oleh cucu Yotham.
Pribadi Yotham tak berwibawa, tak mudah menggantikan kedudukan Sadrach. Ia sebagai murid Zuidema,
hatinya cenderung untuk menyerahkan tugas kegerejaan kepada Zending. Tetapi rasul Schmit menghendaki
supaya orang lain menggantikan kedudukan Sadrach, jika Yotham tidak sanggup. Dalam suasana yang
demikian pernah datang seorang Pastoor berkunjung ke Karangjoso. Tak jelas apa yang dibicarakan. Baru
kemudian hari ternyata putera Yotham masuk Katholik.
Walau bagaimanapun keadaannya, Yotham menerima kedudukan sebagai pengganti Sadrach. Tetapi banyak
pemimpin kelompok tidak puas dibawah kepemimpinan Yotham. Akibatnya ada yang memisahkan diri, yaitu
Abraham Wongsorejo dari Wedi Klaten. Juga Wigyosastro. Kelompok dibawah pimpinan Wijoyo juga
memisahkan diri dan akhirnya menyerah kepada Zending pada tahun 1933, dan pula tak disangka-sangka
Abraham Wongsorejo menghubungi pendeta van Dijk, menyatakan diri kepada Zending dan oleh Zending ia
diangkat menjadi guru Injil di Wonosobo.
Akhirnya Yotham Martorejo pada tahun 1933 menyerahkan jemaat Karangjoso kepada Zending. Hal ini
sebenarnya sudah menjadi angan-angan Yotham setelah Sadrach meninggal dunia. Sesungguhnya tahun 1925
hingga tahun 1933 merupakan “tahun berantakan” bagi jemaat Karangjoso. Ada beberapa pemimpin yang tetap
mempertahankan ajaran Sadrach Naluri. Karena Jemaat Karangjoso sudah diserahkan kepangkuan Zending
dengan resmi, maka mereka yang tetap mempertahankan kerasulan telah memisahkan diri kepelbagai tempat,
misalnya di desa Ketug, di daerah Solo, Grojogan dan sebagainya.
Demikianlah Jemaat Kerasulan terpecah belah, ini sangat menyedihkan. Sedangkan Sadrach sebelum
meninggal dunia telah memberi pesan agar orang-orangnya jangan tercerai berai.
Pelaksanaan penyerahan pada saat itu, telah diadakan pertemuan antara pendeta-pendeta Zending dan
pemimpin-pemimpin kelompok jemaat Karangjoso untuk mengadakan pembicaraan bersama hal penyerahan
jemaat Sadrach kepada Zending. Dalam pembicaraan itu telah menelorkan suatu keputusan bahwa semua
Jemaat Kerasulan Sadrach diserahkan kepada Zending. Walaupun sudah demikian keputusannya, tapi ada
beberapa orang yang tidak setuju dan tidak rela dengan penyerahan itu, akhirnya mereka memisahkan diri dari
Jemaat Karangjoso. Penyerahan kepada Zending telah dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1933.
Sejak itu Yotham oleh Zending diangkat menjadi guru Injil di Karangjoso. Ia mengajarkan seturut
peraturan-peraturan Gereja yang sudah ditetapkan, Yotham sebagai murid Zuidema yang setia telah mendapat
pelajaran-pelajaran cukup dalam pengertian ajaran Kitab Suci, hingga ajarannya tidak ada yang bertentangan
dengan peraturan-peraturan Gereja-gereja Zending. Adat-adat kebiasaan Jawa yang tercampur dengan
kepercayaan-kepercayaan tahyul dikalangan orang-orang Kristen makin hilang dan pengertian hal ajaran Kitab
Suci makin diperkaya.
Dari jumlah tersebut belum termasuk Jemaat Magelang yang juga termasuk lingkungan Klasis Purworejo.
Jumlah anggota Jemaat Karangjoso tahun 1938 = 122 anggota dan tahun 1944 = 200 anggota.
Dalam sejarah Sadrach ini perlu kita tinjau kembali, menganalisa dan mempertimbangkan apa yang telah
terjadi dengan aktivitas-aktivitas pada masa lampau hingga pada masa kini, dan masa akan datang. Sebagaimana
telah dikemukakan oleh W. Van de Meulen SJMA. Bahwa pengumpulan fakta-fakta sejarah saja belum cukup;
ia dapat menjadi barang yang mati, tanpa diaktualisir dengan peristiwa-peristiwa yang komplek dalam masa
silam dan kini. Tiap generasi menyumbangkan kreasinya sendiri. Sebab tiap generasi menjadi arsitek yang
dinamis untuk masa yang akan datang dengan warisan masa-masa yang lalu. Ini melalui kondituitas yaitu
pertalian yang bersifat peralihan apa yang telah lampau dan sekarang, perubahan dan pembaharuan. Dalam
proses peralihan ini sebagian memberi kepada masa kini sebagai pengaruh dan pelajaran-pelajaran penting.
Untuk menganalisa sejarah ini, kita tinjau beberapa hal-hal yang penting saja, yang boleh menjadi pegangan
kita.
Sejarah Sadrach ini dimulai dari pengembaraannya sebagai seorang santri sebelum ia menjadi orang
Kristen. Seperti yang telah diuraikan diatas. Sadrach berwatak keras dalam mencari kebenaran Allah. Ialah
seorang yang Progresif dan berjiwa bebas tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendak
dan pikiran sendiri. Pelajaran-pelajaran Islam walaupun itu telah memberi dasar permulaan sejak kecil tapi
itupun belumlah memberi kepuasan hatinya dan belum menjadi sasaran yang ia harapkan. Perkenalan dengan
Kristus atau agama Kristen melalui Jellesma, Hoezoo dan Tunggul Wulung belumlah mendalam, tetapi inilah
sudah menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk
kepribadian Kristen dengan mengambil keputusan hati untuk menerima baptisan. Ia dibina oleh ajaran gereja
Hervorm dari Gereja “Zion” di kota Batavia. Walaupun ia sudah menjadi orang Kristen, cerdas, mempunyai
cukup pengetahuan tentang Alkitab dan beriman, tapi padanya masih ada yang belum dibuang, ini menurut
kesaksian Mr. Anthing yaitu ada beberapa ilmu-ilmu Jawa yang ia telah mempelajari dari guru-guru ilmu
sebelum ia menjadi Kristen. Ilmu-ilmu itu ia pakai sebagai alat untuk mengalahkan orang-orang yang berilmu
sehingga mereka bertobat dan menjadi Kristen. Ilmu yang dimiliki Sadrach dirangkaikan dengan kepercayaan
Kristen. Ini ternyata pada waktu Sadrach berhadapan dengan guru-guru ilmu dimana ilmu yang Sadrach miliki
itu tidak dapat diketahui oleh mereka. Ini terjadi pada waktu Sadrach memberitakan Injil sebagai pembantu Ny.
Philips, dalam perjalanan ke Kutoarjo.
Sebaliknya segala ilmu yang dimiliki guru-guru itu sudah dimiliki juga oleh Sadrach. Adapun kelemahan-
kelemahan lain, Sadrach sebagai pemimpin Jemaat Kristen Jawa, kurang memperhatikan ajaran-ajaran Kitab
Suci dan membiarkan alat-alat kebiasaan orang Jawa yang bersifat ketahayulan tetap berjalan dalam Jemaat,
hanya beberapa macam saja yang dilarang mereka berbuat misalnya : Wayangan, tayuban, dan sebagainya yang
nyata sekali bertentangan dengan sepuluh hukum Tuhan. Lain dari pada itu, sebagaimana telah kita baca
dihalaman depan, rupanya Sadrach telah cenderung menjadi seorang yang sangat berpengaruh di kalangan
pengikutnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai macam anggapan dikalangan para pengikutnya yang
tidak lagi sesuai dengan Kitab Suci Injil. Sikap Sadrach yang tidak tega terhadap praktek-praktek pemujaan
orang terhadap dirinya justru merupakan titik pangkal yang melemahkan seluruh pelayanannya kepada
pekabaran Injil di tanah Jawa. Dipihak lain pemujaan yang berlebihan terhadap kepemimpinan Sadrach
menyebabkan tidak adanya orang lain yang mampu menggantikannya sehingga sesudah Sadrach meninggal