You are on page 1of 29

KYAI SADRACH

SEORANG PENCARI KEBENARAN

SEBABAK SEJARAH PEKABARAN INJIL


DI JAWA TENGAH

Di susun oleh :
I. Sumanto Wp.

1974
Dicetak oleh
Percetakan BPK GUNUNG MULIA
BPK/00321/072/73

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 1


GKJ Sabda Winedhar
DAFTAR ISI

Pendahuluan …………………….

1. Asal usul dan masa muda Sadrach sebelum menjadi orang Kristen……….
2. Tindakan-tindakan pertama yang dilakukan oleh Sadrach
3. Sadrach membantu pekerjaan Ny. Philips di daerah Purworejo
4. Kegiatan Sadrach dalam membangun Gereja di Karangjoso
5. Perkembangan Jemaat Kristen dan Pembagian Daerah Kerja
6. Jemaat Kristen Jawa dipisahkan dari Gereja Pemerintah Belanda
7. Gereja-gereja Jawa menjadi anggota N.G.Z.V. …………
8. Ny. Philips meninggal dunia, dan reaksi Sadrach dalam tindakan selanjutnya
9. Ds. Bieger, utusan N.G.Z.V. dan masalah Gereja-gereja di bawah pimpinan Sadrach
10. Ds. Wilhelm berusaha bekerja-sama dengan Sadrach
11. Ds. Wilhelm diangkat menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa Karangjoso
12. Ds. Wilhelm memperkuat kedudukan Jemaat yang memanggilnya
13. Praktek-praktek kehidupan Jemaat Kristen Jawa Mardika
14. Tindakan dan keputusan Inspektur Lion Cachet
15. Pendeta L. Adriaanse
16. Sadrach diangkat menjadi Rasul
17. Sadrach meninggal dunia; Masalah Gereja Kerasulan Jawa
18. Tinjauan, analisa dan pertimbangan-pertimbangan Sejarah Sadrach

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 2


GKJ Sabda Winedhar
PRAKATA

Sejarah tentang Kyai Kristen yang bernama Sadrach ini memang unik. Pengalamannya sebagai orang Jawa
dan sekaligus Kristen bukanlah sekedar suatu uraian sistematis mengenai hubungan antara Injil dan kebudayaan
Jawa. Akan tetapi jauh lebih pelik dari itu. Ketika ia mulai tertarik Injil, makin kuat pulalah ia berpegang teguh
kepada watak serta adat-istiadat ke Jawa-annya. Keputusannya yang berani itu membawa banyak soal.
Sebab waktu itu, sulit untuk memisahkan kaitan antara Injil dan Kehidupan Kristen di satu pihak dengan
sikap Kolonial dan gereja Belanda atau tafsiran gereja Belanda mengenai Injil. Nampaknya pada waktu itu
memang belum bisa diharapkan agar gereja Kristen benar-benar mendasarkan segala sikap dan keputusannya
se-mata-mata berdasarkan Injil.
Sebab ‘masuk Kristen’ sering hanya berarti harus meninggalkan dan mencemooh serta melawan
kebudayaan pribumi yang sudah tumbuh dan berkembang ber-abad-abad. Dan itu biasa-nya berarti agar gereja
Kristen tidak usah mencampuri urusan pemerintahan Kolonial. Kyai Sadrach yang sadar akan identitas
kebudayaannya sebagai orang Jawa, banyak menemui kesulitan dan kekecewaan. Masalah yang ia hadapi
merupakan masalah yang azasi yang juga kita hadapi pada masa kini.
Sampai sejauh mana Injil bersangkut paut dengan kekuatan politik tertentu yang pada hakekatnya
merupakan kekuatan yang menindas dan mengelabui masyarakat ? Bagaimana kaitan antara identitas kultural
dengan pertobatan kepada Injil, bagaimana kita mempersoalkan hubungan keduanya ? Apakah Injil sama
dengan kebudayaan barat, atau apakah kebudayaan Barat itu merupakan kebudayaan Injil ?
Karena baik Sadrach maupun gereja Belanda pada waktu itu belum punya perlengkapan theologis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, maka riwayat hidup Kyai Sadrach inipun berakhir dengan
tragis. Sadrach dipersalahkan dan dihakimi, secara resmi. Satu dua orang pendeta Belanda mencoba membela
Sadrach, akan tetapi suaranya tidak diacuhkan.
Sadrach rupanya juga tidak mampu membela diri, sebab kecuali pengetahuannya mengenai Injil sangat
terbatas, juga ia tidak punya wewenang apa-apa dalam gereja. Pengetahuannya yang sangat terbatas mengenai
Injil itulah yang rupanya merupakan kelemahannya yang paling menentukan.
Kami yakin bahwa bagi mahasiswa thelogia buku ini akan banyak sekali manfaatnya. Kecuali merangsang
dengan pertanyaan-pertanyaan pokok, juga memberikan ajakan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana
sebenarnya duduk persoalannya. Banyak fakta mengenai Kyai Sadrach ini yang masih tersembunyi dalam
sejarah.
Bagi masyarakat umum, buku ini akan memberikan gambaran yang lain tentang pola-pola persoalan
pekabaran Injil di tanah Jawa. Jarang kita baca literatur yang mengungkapkan perjuangan orang Kristen
pribumi melawan dominasi asing yang juga Kristen. Bahwa perjuangan itu ada, asli, bahkan Injili. Dan justru
disinilah bahaya terhadap mana setiap pekabar Injil harus waspada, yakni bahwa ia sendiri menjadi penentang
yang utama daripada amanat yang hendak disampaikannya.

Penerbit

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 3


GKJ Sabda Winedhar
Pendahuluan

Dalam buku Sejarah ini memang hanya dimuat riwayat hidup Sadrach dan kegiatannya saja, yang kami
petik dari : Sejarah Zending karang J.D. Wolterbeek. Dari sebuah buku kecil Sejarah Begelen karangan Ds.
Dharmaadmadja. Keterangan lebih lanjut diambil dari Sejarah Gereja di Indonesia karangan Dr. Th. Muller
Kruger, dan Sejarah Zending Gereformeerd di Jawa Tengah karangan Ds. J.A.C. Rullman Sr., yang dilengkapi
keterangan-keterangan dari skripsi yang ditulis oleh Sdr. Christian Soetopo seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi
Theologia “DUTA WACANA”, Yogya dan beberapa keterangan-keterangan lisan dari Ds. Soekardjo
Prawirohandoko dan Sdr. Soepono sebagai ahli waris Sadrach.
Adapun riwayat Sadrach memang mendapat perhatian besar sekali dalam Sejarah Gerejani di Jawa Tengah
terutama Gereja-gereja Gereformeerd di Negeri Belanda bahkan sampai pada saat inipun riwayat Sadrach itu tak
dapat dilupakan. Hingga pada saat akhir ini banyak para Utusan/Zendeling tak lupa juga mengadakan
peninjauan ke Desa Karangjoso guna membuktikan dengan mata kepala sendiri keadaan bekas-bekas yang
masih ditinggalkan oleh Sadrach, misalnya bangunan-bangunan gereja dan tempat kediamannya. Alat-alat
perabot rumah tangga Sadrach dan beberapa senjatanya.
Semangat dan kegiatan Sadrach yang menyala-nyala pada zaman itu, dan cara kerjanya dalam
memberitakan Injil Kristus menyebabkan banyak orang datang bertobat dan menjadi pengikut-pengikut Kristus.
Tetapi pada akhirnya membawa kekecewaan besar terutama bagi Gereja-gereja Gereformeerd Zending di negeri
Belanda, karena Sadrach mengikuti aliran Kerasulan dan menjadi Rasul di desa Karangjoso hingga matinya.
Para pembaca yang budiman, dengan penerbitan buku Sejarah ini bolehlah kita memandang sepintas pada
masa lampau, cara Roh Suci bekerja terutama bagi kemuliaan Nama Tuhan saja, dengan pertobatan dan
penyerahan jiwa kepada Sang Juruselamat Yesus Kristus. Maka dengan demikian patutlah kita mengucap
syukur kepada Tuhan karena berkat pimpinanNya hingga sampai detik ini sudah didirikan gereja-gereja
dipelosok desa dan sampai pada saat ini juga dapat berjalan baik.
Mudah-mudahan dengan buku Gereja Karangjoso ini dapat menambah sekedar pengetahuan bagi para pembaca
yang budiman.

Penyusun

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 4


GKJ Sabda Winedhar
1. ASAL USUL DAN MASA MUDA SADRACH SEBELUM MENJADI ORANG KRISTEN

Sadrach sejak masa kecilnya, orang tidak tahu siapakah orang tuanya. Waktu kanak-kanak ia bernama
Radin. Sejak kanak-kanak ia sudah ditinggal mati oleh orang tuanya sehingga hidupnya terlantar. Sebagai anak
piatu hidupnya mengemis. Dia menggantungkan hidupnya dengan minta-minta sedekah kian kemari, dari orang-
orang dermawan.
Ia dilahirkan di desa Dukuhsekti daerah Demak wilayah Jepara. Sejak kanak-kanak ia telah meninggalkan
tempat kampung halamannya dan mencoba mencari hidup nafkahnya sendiri dengan minta-minta. Pada saat itu
hidupnya sangat menderita, karena selain untuk mengisi perut pun ia harus menerima hinaan setiap hari dari
anak-anak bangsawan yang sepadan usianya. Dengan sabar ia menerima segala yang dirasakan pada saat itu,
tetapi semuanya itu tentulah tidak berlangsung lama. Tetapi cukuplah penderitaan yang ia rasakan, karena pada
akhirnya ia ditolong oleh seorang Guru Agama Islam untuk diberi pelajaran mengaji. Betapa suka hatinya,
dengan rajin ia mengikuti pelajaran agama Islam. Ternyata ia dipandang sebagai anak yang lebih pandai dari
anak-anak lain. Ia berdiam di rumah guru itu dan dianggap seperti anak sendiri.
Pada suatu hari ia dibawa oleh guru tersebut pergi Jombang untuk meneruskan pelajarannya yang lebih
tinggi yaitu dipondok Pesantren. Karena Pondok Pesantren di Jombang itu sangatlah terkenal. Sejak itu, menjadi
murid guru itu, ia diberi nama baru, yaitu : ABAS, maka namanya menjadi Radin Abas, Perjalanan menuju ke
Jombang (Jawa Timur) itu ditempuh dengan jalan kaki melalui jalan pos Semarang – Surabaya, dan memakan
waktu beberapa hari lamanya.
Dipondok Pesantren di Jombang, Radin Abas dipandang sebagai anak yang cerdas dan rajin. Semua
pelajaran dapat ia kuasai. Selamat di sana, pada waktu liburan ia sering ke Mojowarno untuk mendengar suatu
pelajaran baru yang menurut anggapannya, yang dibawa oleh Ds. Jellesma. Benih ajaran Kristen mulai tertanam
dalam hatinya melalui Ds. Jellesma. Dalam hal ini ia merasa heran ketika mendengar Injil keselamatan. Hatinya
sangat tertarik pada agama Kristen. Dengan diam-diam diluar sepengetahuan guru-guru pondok pesantren dan
teman-temannya ia mengadakan hubungan dengan Ds. Jellesma, menerima pelajaran agama Kristen. Banyak
persoalan-persoalan yang dibicarakan dan banyak pula keterangan-keterangan yang diperolehnya. Ia telah
menyatakan keinginannya menjadi murid Ds. Jellesma di Mojowarno. Radin Abas berwatak keras dan
progresif, karena ia mencari akan kebenaran Allah. Sampai pada saat itu ia belum dapat melepaskan pondok
pesantrennya dan dalam hal ini masih dirahasiakan kepada Guru dan temannya. Dari Jombang ia pindah ke
Ponorogo ke pesantren Gontor yang sudah terkenal. Pondok Pesantren di Jombang yang disebut Tebuireng dan
Gontor di Ponorogo adalah sangat terkenal. Apa yang diterima dalam Lembaga Pendidikan yaitu sebagai
pesantren-pesantren tradisional, karena ajaran-ajaran yang diberikan pada zaman itu, disamping ajaran-ajaran
pokok agama Islam, adalah bahasa Arab, tasawuf, dan juga berbagai ilmu yang bersifat magis dsb. Untuk
melanjutkan pendidikannya, dari Ponorogo ia pindah ke Semarang. Di Semarang ia bertempat tinggal di tengah-
tengah orang Arab dan kaum muslimin. Di sana ia mendapat pelajaran dari seorang guru dalam ilmu magis, dan
pula terkenal sebagai dukun dan juru tenung. Disamping itu berkenalan dengan Ds. Hoezoo seorang pendeta
utusan yang berkedudukan di Semarang, atas petunjuk-petunjuk dan nasehat dari Ds. Jellesma. Ds. Hoezoo
merasa sangat gembira menerima Radin Abas sebagai murid Katekisasi.
Pelajaran yang ia terima dari guru ilmu kebatinan itu, menurut anggapannya tidak ada jahatnya karena hal
itu hanya untuk menambah pengetahuannya saja. Tiap hari minggu ia ke gereja. Justru pada saat itu ia
diperkenalkan dengan seorang yang telah lanjut usianya bernama; Kyai Ibrahim Tunggul Wulung berasal dari
desa Bondo, sedaerah dengan Radin Abas. Radin Abas merasa girang dengan pertemuan itu, dan menyatakan
keinginan menjadi muridnya.
Kurmon, seorang murid Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang menjadi perantara mula-mula dalam
perkenalan antara Radin dengan Kyai tersebut. Radin ketika mendengar banyak tentang Kyai tersebut ia sangat
tertarik dan ingin menemuinya. Ia diajak oleh Kurmon datang di Bondo Jepara. Radin Abas tak habis mengerti
bahwa di daerahnya sendiri ada seorang Jawa yang berdiri sebagai Kyai Kristen. Orang itu berbadan tinggi
besar bermata tajam dan berjenggot panjang sampai ke dada. Ia kelihatan seperti seorang bertapa dan tak pernah
ia duduk di tanah jika berhadapan dengan siapa saja yang ia jumpai baik orang Belanda maupun orang yang
berpangkat sekalipun, bahkan ia pandai bicara disertai pengaruh. Ialah seorang yang telah mendirikan suatu desa
Kristen di Bondo, pun mempunyai banyak ilmu dan pengalaman sebelum ia menjadi orang Kristen. Ia bertindak
sebagai dukun Kristen menurut anggapan orang desa itu. Radin Abas telah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri dan seperti telah diceritakan di atas, Radin Abas menyatakan keinginannya menjadi muridnya.
Perkenalan antara Radin dengan Kyai Tunggul Wulung, menyebabkan hati Radin makin terdorong dan
sangat condong kepada Agama Kristen. Hingga akhirnya ia menyatakan ingin menjadi orang Kristen. Kyai
Tunggul Wulung sangat gembira ketika mendengar pernyataan anak muda itu, maka ia berusaha untuk
membawa Radin Abas kepada seorang Belanda Mr. Anthing yang berkedudukan di Batavia pada tahun
1865/1866.
Kyai Tunggul Wulung dan Mr. Anthing berkawan pada waktu Mr. Anthing tinggal di Semarang sebagai
petugas Pengadilan. Kemudian pada tahun 1863 Mr. Anthing pindah ke Batavia. Di Batavia Mr. Anthing
mendapat kedudukan sebagai Vice President Hoog Gerechtchef (Wakil Kejaksaan Tinggi). Iapun menjadi
anggota suatu perkumpulan “Het Genootchap voor in-en Uitwendige Zending” (Urusan Dalam dan Luar dari
Perkumpulan Persahabatan para Utusan) di Indonesia, yang bertujuan memberitakan Injil kepada orang-orang
Kristen yang sesat, dan kepada semua orang. Ia sangat memprihatinkan pekabaran Injil kepada orang-orang

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 5


GKJ Sabda Winedhar
bumi putera. Disamping pekerjaannya ia telah mendirikan sebuah pendidikan Kristen untuk anak-anak muda
bumi putera. Pendidikan itu bersifat Theologis, supaya anak-anak yang lulus dari pendidikan itu menjadi
seorang pekabar Injil.
Kedatangan Kyai Tunggul Wulung bersama Radin di Batavia, diterima dengan gembira oleh Mr. Anthing.
Bagaimana mesranya pertemuan itu karena sahabat lama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa.
Kyai Tunggul Wulung menyatakan maksud dan tujuan kedatangannya, yaitu hendak menyerahkan Radin Abas
kepada pendidikan Mr. Anthing. Dengan suka hati Mr. Anthing menerima Radin Abas sebagai muridnya.
Dalam pendidikan tersebut, mula-mula Radin diterima sebagai pelayan. Kemudian setelah dipandang baik
dan rajin mengatur rumah tangga dan setia dan keinginan yang sungguh-sungguh menjadi orang Kristen,
haruslah ia mendapat pelajaran-pelajaran agama Kristen. Mr. Anthing sangat suka pada Radin karena anak
muda itu di pandang cerdas otaknya dan mudah menerima segala pelajaran yang diberikannya. Akhirnya Radin
diangkat menjadi anak-mas Mr. Anthing. Pelajaran agama Kristen telah diberikan oleh Ds. Taffer, seorang
pendeta pensiunan. Akhirnya Radin Abas mengambil keputusan untuk menerima Baptis Suci. Setahun
kemudian ia lulus dari pendidikan tersebut, ia menerima Baptis Suci di Gereja “Zion” pada tanggal 14 April
1867, dengan nama Baptisan “Sadrach”, dan ia mengganti nama santrinya “Abas”, maka ia pakai namanya
sebagai “Sadrach Radin” dan akhirnya ia terkenal dengan sebutan “Sadrach” saja. Pada saat ia dibaptiskan, ia
telah berusia 26 tahun.
Beberapa kesimpulan mengenai jalan hidup Sadrach hingga menjadi seorang Kristen adalah sbb:
1. Sejak kecil ia sangat menderita, hidup mengembara untuk mengatasi segala kesulitan-kesulitannya
sendiri. Maka di sinilah terbentuk jiwa bebas dan tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri
menurut kehendaknya dan pikirannya sendiri.
2. Ia seorang yang cukup mendapatkan dasar-dasar pendidikan Islam tradisionil, bercampur magis, dan
seorang santri yang berpengalaman.
3. Setelah mengenal Kristus melalui Ds. Jellesma, Ds. Hoezoo dan Kyai Tunggul Wulung belum begitu
mendalam, tetapi hal itu menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi.
4. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk kepribadian Kristen dengan keputusan hatinya untuk menerima
Baptisan.
5. Kekristenan Sadrach telah diisi dan dibina oleh ajaran gereja yang beraliran Hervormd, karena dia
menjadi anggota Gereja “Zion” di Batavia.

2. TINDAKAN-TINDAKAN PERTAMA YANG DILAKUKAN OLEH SADRACH

Sebagaimana murid-murid Mr. Anthing yang lain sering diberi tugas untuk memberitakan Injil, demikian
juga Sadrach. Mula-mula ia mendapat tugas untuk menjual buku-buku Kristen sambil mengabarkan Injil di
sekitar kota Batavia. Tetapi jalan itu bagi Sadrach tidak cocok. Maka ia minta ijin Mr. Anthing untuk kembali
ke Jawa Tengah guna melanjutkan tugasnya dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa. Dengan segala
senang hati Mr. Anthing meluluskan permintaannya. Agar supaya Sadrach mendapat penghargaan di gereja-
gereja yang ia kunjungi, Mr. Anthing telah memberi sepucuk surat keterangan. Karena nama Mr. Anthing
cukuplah dihargai.
Sadrach mulai dengan perjalanan kembali dengan tujuan ke Bondo. Dengan berjalan kaki mula-mula ia
menuju kota Bandung, kemudian Cirebon, Tegal dan menuju kota Semarang, dan dari Semarang terus menuju
ke Bondo.
Ia singgah di tiap kota yang ia lewati sambil mengadakan perkunjungan ke Gereja-gereja serta
memperkenalkan diri terutama kepada pendeta gereja setempat dengan menunjukkan surat keterangan dari Mr.
Anthing, sehingga ia diterima dengan baik ditiap gereja yang ia kunjungi. Di situlah ia diberi tempat menginap
untuk melepaskan lelahnya. Dan pula ia mengadakan kesaksian Injil Kristus kepada orang Kristen di kota-kota
itu.
Beberapa hari kemudian barulah Sadrach sampai di Bondo, langsung menuju ketempat Kyai Tunggul
Wulung. Dan diceritakannya semua pengalamannya sebagai murid Mr. Anthing. Tetapi tak lama ia berada di
Bondo. Ia melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur menuju Surabaya, menemui Saudara-saudara Kristen Jawa,
kemudian ke Mojowarno ke tempat Paulus Tosari. Di situlah ia bermalam bersama-sama dengan orang-orang
Kristen Jawa yang dulu menjadi murid Ds. Coolen.
Paulus Tosari adalah seorang pemberita Injil di Jawa Timur yang cukup berpengalaman dan terkenal. Ia
berasal dari seorang Santri yang rusak hidupnya, kemudian ia berkenalan dengan Ds. Coolen dan menerima
ajaran Kristen dari pendeta tersebut dan menerima Baptisan di gereja Ende. Setelah itu ia berkeliling
memberitakan Injil di Jawa Timur dengan gaya dan cara khas Jawa. Banyak pembantunya dan akhirnya ia
bertempat tinggal di Mojowarno, yang pada saat itu Ds. Jellesma bekerja di Mojowarno. Paulus Tosari dianggap
sebagai rekan sepekerjaan dan tak diperlakukan sebagai bawahan yang dikuasai. Paulus Tosari sebagai
pemberita Injil dan Ds. Jellesma telah mendirikan pendidikan kader pemimpin-pemimpin jemaat.
Sementara Sadrach berkeliling di Jawa Timur, Kyai Tunggul Wulung mendengar bahwa di daerah Begelen
Purworejo sudah ada pekabaran Injil kepada bumi putera yang dilakukan oleh Ny. Philips dengan pembantu-
pembantunya. Maka segeralah ia bersama beberapa kawannya pergi ke Purworejo untuk menyaksikan keadaan
pekabaran injil di Purworejo. Rombongan ini langsung menuju rumah Ny. Philips di Tuksongo. Kedatangan
Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 6
GKJ Sabda Winedhar
rombongan Tunggul Wulung ini disambut dengan ramah-tamah oleh Ny. Philips dan pembantu-pembantunya
yaitu Abisai Reksodiwongso, Tarub dan lain-lain orang-orang Kristen yang ada di situ.
Tunggul Wulung sangat takjub mendengar cerita Ny. Philips dari hal perkembangan Injil di daerah
Purworejo. Setelah mendapat cukup keterangan-keterangan, maka lewat beberapa hari ia dan rombongan itu
kembali ke Bondo.
Pengembaraan Sadrach di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, mempunyai maksud dan tujuan
tertentu, disamping melihat keadaan saudara-saudara Kristen yang tersebar di mana-mana. Karena tiap tempat
yang ia kunjungi ia dapat membanding-bandingkan praktek-praktek masing-masing sebagai pendirian
Kekristenannya, baik di Jawa Barat, Tengah maupun Timur, serta pergaulannya dengan para pendeta Belanda
atau pemberita-pemberita Injil Jawa. Pengalaman diperluas dengan cara persiapan-persiapan untuk tugas-
tugasnya kelak. Terutama pengalaman memberitakan Injil misalnya : di Jawa Barat dengan tata cara Gereja
Zion yang beraliran Hervormd di Batavia, dan gereja-gereja pasundan di Bandung. Di Jawa Tengah, dengan
aliran gereja-gereja Gereformeerd di kota Tegal, dimana Ds. Vermeer pada saat itu masih bekerja sebagai
pendeta utusan Zending Gereformeerd berkedudukan di Tegal. Dan di Semarang ia sudah banyak mengenal Ds.
Hoezoo dan pernah menjadi murid katekisasi, kemudian di Bondo dengan Kyai Tunggul Wulung sebagai
gurunya sendiri yang sangat ia taati yang mempunyai tata cara sebagai pemberita Injil yang khas untuk orang-
orang Jawa, dan akhirnya perkunjungan kepada Paulus Tosari di Mojowarno Jawa Timur, dari golongan gereja
Ende, dan Ds. Jellesma pendeta utusan Zending Gereformeerd yang pernah juga menjadi gurunya. Di sinilah hal
yang sangat penting bagi Sadrach untuk menentukan sikap untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai
pemberita Injil. Dari sikap Sadrach yang tidak menetap di suatu tempat tertentu, menunjukkan sikapnya yang
bebas dan senang mengembara. Sebenarnya cukuplah baginya untuk bekerja pada Mr. Anthing atau bergabung
dengan Kyai Tunggul Wulung, atau menempuh jalan seperti saudara-saudara Kristen di Jawa Timur dengan
membuka hutan dan mendirikan desa Kristen atau hidup di tengah-tengah mereka. Tetapi kenyataannya ia
kembali ke Bondo, setelah ia mendengar Kyai Tunggul Wulung tentang perkembangan Injil di Bagelen
Purworejo, maka ia mengambil keputusan untuk membantu pekabaran Injil yang dilakukan oleh Ny. Philips di
Purworejo.

3. SADRACH MEMBANTU PEKERJAAN NY. PHILIPS DI DAERAH PURWOREJO

Hal yang memberi dorongan dalam hati Sadrach setelah mendengar cerita Kyai Tunggul Wulung tentang
perkembangan Injil di Bagelen, hingga ia sangat tertarik. Ternyata Roh Suci telah menggerakkan hatinya, ia
mengambil keputusan dengan tak pikir panjang dan tiada di ragu-ragukan lagi, maka dengan perkenan Kyai
Tunggul Wulung, ia meninggalkan Bondo langsung menuju ke Purworejo pada tahun 1869.
Keadaan di Purworejo sebelum Sadrach datang, Injil telah berkembang di daerah Purworejo di bawa oleh
Ny. Philips dan kawan-kawannya, yaitu Abisai Reksodiwongso yang berasal dari daerah Jepara dan Tarub dari
Kediri, Jawa Timur. Gereja telah didirikan di rumah Ny. Philips di kampung Tuksongo. Pelayanan baptisan
dilakukan mula-mula di Gereja Belanda, yang kemudian dilakukan di Tuksongo.
Gereja Belanda pada saat itu adalah sebagai Gereja pemerintah (Staatskerk) yang khusus untuk melayani
orang-orang Belanda dan Ambon saja, terutama kaum militer, maka disebut Gereja militer. Diantara suku Jawa
yang mula-mula dibaptis di gereja itu adalah seorang perempuan istri seorang Belanda pada tanggal 17 agustus
1815 dengan nama Baptisan Gertruida. Meskipun gereja itu sejak tahun 1800 sudah ada tetapi tidak ada
perkembangan suatu apa, karena seolah-olah tertutup bagi masyarakat Jawa.
Setelah Ny. Philips memperkembangkan Injil di daerah Purworejo, mulai ada perhatian dari gereja tersebut
terutama para Pendeta Belanda, sebab Ny. Philips sering mengadakan hubungan dan suaminya sendiri menjadi
anggota Gereja Belanda.
Siapakah sebetulnya Ny. Philips itu ? Ny. Philips adalah seorang Indo Belanda yang dilahirkan dari
perkawinan campuran. Ayahnya bernama Steven dan ibunya seorang Jawa. Ia dilahirkan pada tanggal 17
Nopember 1825 di Yogyakarta diberi nama Petronella. Setelah ia menerima baptis di gereja Goubernement
Yogyakarta diberi nama Christina. Orang tuanya seorang Tuan Tanah bertempat tinggal di desa dekat kota
Yogyakarta. Sejak kecil ia bergaul dengan anak-anak Jawa dari desa setempat, hingga ia sangat pandai bicara
bahasa Jawa.
Setelah umur 24 tahun ia menikah dengan seorang Belanda bernama Yohanes Carolius Philips pada tahun
1849, yang bekerja sebagai Opzichter Indicocultuur (Pengawas Perkebunan Nila) di desa Ambal Daerah
Kabupaten Kebumen. Kemudian lewat beberapa hari ia pindah ke desa Ambal mengikuti suaminya. Karena
kesibukan suaminya ia tak sempat memikirkan tentang Injil. Ia mulai sadar ketika ada seorang tamu Jawa dari
Semarang yang banyak menceritakan Injil Kristus hingga ia sangat terpesona mendengar cerita itu. Ia menyadari
apa yang menjadi tugas-tugas sebagai orang Kristen. Tapi suatu pertanyaan dalam hatinya, “apakah mungkin
orang Jawa bisa menerima Injil?” Apakah yang sekarang harus dilakukan, ia belum mendapat suatu jalan, maka
tak lama kemudian ia pergi ke Banyumas untuk minta nasehat dan petunjuk-petunjuk kepada iparnya bernama
Ny. Van Oostrom Philips, seorang janda pemberita Injil kepada suku Jawa di daerah Banyumas disamping
pekerjaannya sebagai pedagang kain batik. Banyaklah petunjuk-petunjuk dan nasehat yang ia terima dari
iparnya, kemudian ia kembali ke desanya di Ambal. Maka mulailah tugasnya yang suci. Mula-mula
memberitakan Injil kepada orang-orang bawahannya, hingga diantaranya dua orang pria dan tiga orang wanita
menyatakan ingin menerima Baptis. Maka baptisan telah dilakukan di Purworejo pada tanggal 27 Desember

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 7


GKJ Sabda Winedhar
1860 dilayani oleh Ds. B. Braams di gereja Belanda. Karena semua itu dilakukan dengan bahasa Belanda maka
Ny. Philips sebagai perantara menterjemahkan dalam bahasa Jawa.
Keluarga Philips pindah ke Purworejo pada tahun 1862, bertempat tinggal di kampong Tuksongo. Di
Purworejo mulailah ia dengan pekerjaan baru dalam melakukan pemberitaan Injil kepada penduduk setempat.
Karena keramahan dan tata sopan santun Ny. Philips, maka banyak orang suka padanya serta banyak pula yang
mau menerima Injil. Di rumah kediamannya ia mendirikan gereja Kristen untuk kaum bumi putera. Pada saat itu
datang seorang dari daerah Jepara bernama Abisai Reksodiwongso, dengan maksud akan membantu
pemberitaan Injil di daerah Purworejo, atas petunjuk dan nasehat Ny. Van Oostrom. Mula-mula ia menjadi
murid Ny. Philips kemudian ia menerima baptisan pada tahun 1868 yang dilayani oleh Ds. Th. C.M. Hanegraat
dari Gereja Belanda.
Pada suatu hari datang lagi seorang dari Kediri, Jawa Timur bernama Tarub pada tahun 1868. Tarub adalah
seorang murid dari Ds. Poensen dan telah menerima Baptisan di Kediri. Di Purworejo ia ingin bekerja
membantu dalam melakukan pemberitaan Injil. Ny. Philips dan Abisai menerima Tarub dengan segala senang
hati. Dengan demikian pemberitaan Injil makin luas sampai di luar kota. Pengikut-pengikut Kristus makin
bertambah. Disamping itu juga, Ny. Philips telah mendidik keagamaan kepada anak-anak diantaranya anak-anak
Abisai yang akhirnya telah menerima Baptisan diberi nama Samuel, yang kelak menjadi dokter, bekerja kepada
Zending di Mojowarno. Dan Timotius, kelak menjadi guru Injil merangkap guru sekolah rakyat di Purworejo,
serta membantu pekerjaan Ds. Wilhelm dan Ds. Adriaanse. Inilah kegiatan-kegiatan Ny. Philips sebagai ibu
yang memulai Pemberitaan Injil di daerah Jawa Tengah Selatan sebelum Sadrach datang di daerah ini.
Sadrach datang di Purworejo dengan tujuan menghadap Ny. Philips. Dari surat baptis Sadrach dan
pengalamannya di rumah Mr. Anthing, lebih menyakinkan Ny. Philips. Maka Sadrach diterima dengan senang
hati menjadi pembantu Ny. Philips. Ia bekerja di bawah pimpinan Ny. Philips, tetapi di dalam menerima
pimpinan itu Sadrach tetap mendasarkan pekerjaannya pada kemampuan dan kebijaksanaan sendiri. Memang
telah diceritakan diatas, bahwa karakter dan sifat Sadrach lain dari pada kawan-kawannya, karena ia seorang
yang progresif dan suka bebas. Ia tidak suka bergantung kepada orang, inilah yang menjadi sifat dan ciri-ciri
Sadrach. Dan segala petunjuk-petunjuk serta nasehat Ny. Philips bagi Sadrach bukanlah hal yang baru, sebab
Sadrach sudah cukup pengalaman sebagai pekabar Injil dengan menjual buku-buku sewaktu di Batavia.
Sadrach dalam membantu pekerjaan Ny. Philips di Purworejo merasa senang dan besar hati, karena di
sinilah ia dapat melihat dibeberapa tempat yang harus digalinya sebab di tempat itu terdapat banyak orang yang
menentang ajaran-ajaran Kristen terutama di daerah Cangkrep dan Kutoarjo, dan tempat itulah lapangan kerja
Sadrach.
Di Purworejo Sadrach hanya sebentar-sebentar, karena ia selalu ke luar kota. Sadrach tidak mempunyai
pondokan yang tetap, ia seorang pengembara. Adapun caranya memberitakan Injil datang ke rumah orang,
bicara-bicara hingga malam hari dan bermalan juga di situ, kemudian pindah ke lain tempat lagi. Ia selalu
disambut dengan baik oleh penduduk yang ia kunjungi itu. Dan suatu keistimewaan Sadrach, bahwa setiap
orang yang dijumpainya, orang itu akhirnya bertobat menerima Tuhan Yesus.

4. KEGIATAN SADRACH DALAM MEMBANGUN GEREJA DI KARANGJOSO

Dalam pemasyhuran Injil di Bagelen ini, Sadrach memegang peranan penting. Ia mengerjakan di daerah-
daerah yang agak jauh dimana belum ada orang Kristen. Mula-mula ia menuju ke desa Cangkrep. Dengan izin
Kepala desa setempat ia mengundang penduduk sekitar desa itu. Maka datanglah orang-orang dari penduduk
sekitar desa Cangkrep. Mereka terdiri dari berbagai aliran kepercayaan, yaitu dari golongan Islam, Budha dan
orang-orang ahli sihir dan ahli nujum.
Sadrach menyampaikan Injil keselamatan dengan berani, dengan tata caranya sendiri yaitu dengan
mencampur aduk ilmu-ilmu Jawa didalam pemasyhuran Injil. Ia berpendapat dengan jalan ini dapat disesuaikan
dengan keadaan atau selera kepercayaan orang-orang Jawa sehingga mereka dapat menerima Injil Kristus. Dan
ternyata juga diantaranya banyak yang menerima Kristus sebagai juruselamat mereka. Kemudian dari situ ia
melanjutkan perjalanan ke Kutoarjo. Disana ia berkenalan dengan seorang Kristen bernama Brouwer. Orang ini
dengan senang hati memperbolehkan rumahnya untuk tempat berkumpul orang-orang Jawa yang sudah
mendengar Injil. Di tempat Brouwer tiap seminggu sekali diadakan Kebaktian, disamping itu ia melakukan
pemasyhuran kepada orang-orang Jawa baik di kota maupun di desa-desa sekitarnya. Ini terjadi pada tahun
1870. Dalam tahun itu tempat kebaktian terpaksa harus dipindahkan, sebab Ny. Brouwer meninggal. Oleh
Sadrach tempat Kebaktian di pindah di Karangjoso yang kurang lebih jarak 8 kilometer barat daya Kutoarjo.
Tempat ini sebetulnya tidak baik letaknya, karena sekitarnya banyak terdapat rawa-rawa dan suasana sangat
sepi. Tetapi di situ berdiam seorang ibu yang suka mendengar Injil. Di sekitar desa itu, ia mencari kenalan-
kenalan baru. Di tempat ini pula berkumpul orang-orang yang telah menerima Injil Kristus. Selama kegiatan
Sadrach, ia selalu mengadakan kontak dengan pimpinannya, yaitu Ny. Philips. Ketika Sadrach akan mengambil
Karangjoso sebagai tempat Kebaktian dan tempat tinggalnya, ia berkonsultasi terlebih dahulu dengan Ny.
Philips. Walaupun selalu ada kontak, tetapi Sadrach selalu bekerja dengan gaya kecakapan dan kebijaksanaan
sendiri. Hasil-hasilnya dilaporkan kepada Ny. Philips. Rumah Kebaktian didirikan di Karangjoso pada tahun
1871 disamping Gereja di Tuksongo. Sadrach mendirikan rumah Kebaktian ini dibantu oleh murid-muridnya
secara suka rela dan dengan semangat yang besar. Dengan pendirian tempat kebaktian itu, Sadrach telah

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 8


GKJ Sabda Winedhar
mengambil sikap dan langkah sendiri tak bersandar pada orang lain, dan tiada suatu bantuan diminta dari
pemimpinnya, yaitu Ny. Philips. Karena ia tahu bahwa tugas Ny. Philips cukup banyak dan berat, maka ia
berbuat sesuatu yang dipandang perlu untuk segera dikerjakan tanpa menunggu-nunggu uang banyak untuk
mendirikan tempat kebaktian. Meskipun tempat itu kurang baik letaknya dan sepi, justru itulah yang ia pilih
untuk menjadi tempat pemasyhuran Injil dan menghendaki agar kelak menjadi suatu desa Kristen. Ia mengajar
murid-muridnya dengan cara khas Jawa dan sebagai orang Jawa yang mengetahui isi hati kaumnya sendiri ia
memberitakan Injil itu sesuai dengan keadaannya. Sadrach sebagai seorang yang pernah menjadi santri yang
berpengalaman dan pernah berguru pada orang-orang berilmu, ditambah pergaulannya dengan para pendeta
Belanda, dimana ditambah pergaulannya dengan para pendeta Belanda, dimana ia memperoleh ilmu baru, yaitu
Injil. Dengan memiliki itu, maka Sadrach dengan mudah menghadapi orang-orang, santri-santri dan guru-guru
ilmu. Dengan modal pengalamannya ia dapat benar-benar mendalami dan memahami sangkalan orang lain
terhadap Injil. Cara Sadrach berdebat dengan guru-guru ilmu untuk menyampaikan berita Injil, dan yang biasa
dimiliki dan dikuasai guru-guru itu sudah dimengerti oleh Sadrach, tetapi sebaliknya apa yang dikuasai dan
dimiliki Sadrach, mereka tidak mengetahuinya, misalnya tentang sepuluh hukum Allah yang sama sekali tidak
dikenal oleh mereka, maka kesempatan inilah terus dipakai oleh Sadrach untuk menjelaskan kedudukan sebagai
orang Kristen dan jalannya keselamatan. Akhirnya guru-guru itu tertarik dan ingin belajar ilmu baru yang
dimiliki Sadrach.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Jawa pada saat itu, jika guru-gurunya menyerah, dan menjadi orang
Kristen, maka semua penganutnya-pun mengikuti jejak gurunya. Dengan demikian Sadrach menjadi sangat
termasyhur namanya sebagai orang yang pandai dan seorang guru yang penuh dengan Roh Suci, hingga orang
menyebutnya sebagai Kyai Kristen atau Kyai Sadrach.
Hasil pemberitaan Injil dalam tahun 1871 adalah dua puluh orang dibaptiskan yaitu pada tanggal 6 Februari
1871, dan pada tanggal 16 Juli 1871 sebanyak tiga puluh orang, diantaranya bernama Simon Wirosono dan
Samuel Citrojoyo, sebagai tokoh di Jelok. Tanggal 18 Oktober 1871 ada empat orang. Baptisan semua ini telah
dilakukan di Purworejo yang dilayani oleh Ds. De Bryn, pendeta dari gereja Belanda.
Kedatangan Sadrach baik di Cangkrep maupun di daerah Kutoarjo mendapat tentangan keras dari dua orang
guru ahli nujum, bernama R. Ranukusumo dan Setrodiwongso. Adapun ajaran dari kedua ahli nujum itu
menurut tata caranya sendiri yang hampir menyerupai ajaran Budha. Dengan kedatangan kedua orang di daerah
Cangkrep dan Kutoarjo-pun menghebohkan dipihak agama Islam, karena mereka itupun menentang agama
Islam. Ketika kedua orang itu berhadapan dengan Sadrach maka terjadilah suatu perdebatan yang hebat hingga
berhari-hari lamanya. Kedua belah pihak saling mengadu kepandaian ilmu masing-masing. Dalam hal itu,
Sadrach dengan keuletannya, selalu dipihak yang unggul. Sadrach tetap bertekun serta minta kekuatan dari
Tuhan. Karena berkat pertolongan Tuhan, akhirnya kedua guru ahli nujum itu menyerah dan menyatakan ingin
belajar ilmu yang baru yang dimiliki oleh Sadrach. Dengan kekalahan kedua orang guru itu, maka sebagian
muridnya sebanyak 179 orang pun menyerah kepada ajaran Kristen menjadi murid-murid Sadrach.
Pada tanggal 26 Oktober 1872 dilakukan Baptisan kepada 181 orang yang dilayani oleh Ds. Troostenburg
de Bruyn, dan pada tanggal 5 April 1873 menyusul sebagian yang lain ialah sebanyak 310 orang lagi. Inilah
suatu yang luar biasa bagi sejarah Gereja, dimana telah terjadi selama setengah tahun gereja di Purworejo
membaptiskan hampir 500 orang. Dengan penyerahan sejumlah itu, diantaranya dua orang yang juga menjadi
pemimpin mereka telah pergi meninggalkan kawan-kawanya dan tidak sudi buat menyerah kalah.
Kemudian orang-orang yang telah menerima Baptisan itu, kembali ke desanya masing-masing. Pemberitaan
Injil terus dilakukan oleh orang-orang itu di desa mereka sendiri. Maka sejak masa itu, timbulah jemaat-jemaat
kecil diberbagai desa yaitu di desa-desa: Banjur, Pamilan, Pondokgede, Karangpucung, Mamoreh, Slewah,
Kesingi, Dermosari, Jelok dan Bulu. Demikian kegiatan Sadrach sebagai pembantu Ny. Philips. Pekerjaan
Sadrach telah dibantu oleh Markus dan Johannes dan pula oleh murid-murid Sadrach. Jika di pandang dalam hal
pengetahuan mereka yang telah menerima Baptis sebenarnya masih sedikit, sebab Sadrach dan murid-muridnya
telah mengajarkan berdasar sepuluh Hukum Allah, Doa Bapa Kami dan Dua belas pengakuan Rasuli saja.
Mereka dibaptis berdasarkan kesanggupan dan kepercayaan mereka yang sungguh-sungguh dan kelihatan teguh,
setelah di dengar oleh para pemimpin diantaranya Ny. Philips, bapak Abisai dan lain-lainnya, yang mana
dihadiri juga oleh Ds. Troostenburg de Bruyn dari gereja Belanda. Pemeriksaan iman telah dilakukan di
Purworejo. Murid-murid Sadrach yang sangat giat dalam memberitakan Injil ialah : Paulus Kasanmentaram,
Yohanes, Markus dari desa Banjur, Musa dan Sulaiman.
Kegiatan Sadrach dan murid-murid tak hanya beroperasi di daerah lembah selatan saja, melainkan terus
mengadakan operasinya ke pegunungan arah utara dan barat sampai perbatasan dengan daerah Banyumas.
Bahkan menerobos daerah Banyumas Utara dan Selatan. Murid-murid yang tersebar di pegunungan yang
membujur dari gunung Sindoro sampai gunung Slamet, menjalar ke utara turun ke lembah ke daerah
Pekalongan dan Tegal. Kegiatan-kegiatan itu terjadi pada tahun 1874. Inilah hal-hal yang sangat
menggembirakan dalam sejarah pemberitaan Injil yang sangat cepat meluasnya hingga Baptisan makin
bertambah-tambah.

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 9


GKJ Sabda Winedhar
5. PERKEMBANGAN JEMAAT KRISTEN DAN PEMBAGIAN DAERAH KERJA

Hubungan antara Sadrach dan Ny. Philips tetap erat dan terpelihara dalam keesaan Jemaat. Sadrach dan
pembantu-pembatunya sering mengunjungi Ny. Philips serta membantu dalam membangun sebuah bangunan
yang menyerupai Balekambang disamping rumah kebaktian di Tuksongo. Bangunan yang direncanakan oleh
Ny. Philips yang telah lama diidam-idamkannya. Bangunan tersebut didirikan diatas sebuah kolam yang dihias
dengan tanaman-tanaman bunga terate dan ikan-ikan. Bangunan itu dijadikan tempat berkumpul para pemimpin
untuk mengadakan pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat guna membicarakan soal-soal kegerejaan dan
perkembangan Injil. Dalam pertemuan-pertemuan atau rapat yang diadakan itu kadang-kadang disertai juga oleh
Ds. Troostenburg de Bruyn dari gereja Belanda, dengan demikian ternyata ada kerjasama yang baik antara
Gereja Jawa dengan gereja Belanda. Bantuan-bantuan banyak juga didapat dari gereja Belanda untuk kebutuhan
yang diperlukan oleh gereja-gereja Jawa.
Berhubung buku-buku pelajaran agama dalam bahasa Jawa belum ada, maka Ny. Philips berusaha keras
untuk menterjemahkan buku-buku bahasa Belanda, dibantu oleh kawan-kawannya agar dapat dipergunakan
sebagai dasar-dasar pelajaran agama Kristen sebelum ada buku-buku yang tercetak. Ny. Philips berusaha minta
bantuan kepada Ds. Troostenburg untuk mencetak buku-buku pelajaran agama Kristen dalam bahasa Jawa. Usul
Ny. Philips diterima baik oleh gereja Belanda dan segera diusahakan.
Sadrach telah menikah dengan seorang puteri dari seorang ibu yang mula-mula rumahnya di Karangjoso
dipakai untuk tempat kebaktian, tapi sayang pernikahannya tidak diperoleh anak, oleh sebab itu Sadrach telah
mengambil seorang anak laki-laki dari Markus bernama Yotham.
Sadrach sangat disegani oleh murid-muridnya dan penduduk di karangjoso. Ia suka mengasingkan diri dan
jarang bergurau. Ada waktunya ia bercakap-cakap dan ada waktunya ia menyendiri untuk melakukan retrait di
tempat sepi. Maka dari itu ia telah memilih karangjoso tempat yang penuh rawa-rawa dan hutan belukar, yang
tidak disukai orang, karena ditempat itu antaranya seorang Ibu (seperti yang tersebut diatas) yang akhirnya
menjadi mertua Sadrach sendiri. Ibu tersebut sudah mengenal Sadrach karena pada waktu Sadrach
memberitakan Injil di Kutoarjo, ibu itu juga ikut mengunjungi kebaktian di rumah Brouwer mendengarkan
pemberitaan Injil. Dan Sadrach mendengar dari ibu ini mengenai desa Karangjoso yang sangat sepi itu, maka ia
sangat tertarik pada tempat itu.
Waktu senggang, Sadrach suka pergi ke sungai untuk mengail ikan dan itulah satu-satunya hiburan dan
sebagai hobinya karena ia tak mempunyai anak.
Tanah Karangjoso memang oleh Pemerintah diberikan kepada barangsiapa saja yang mau membangun
rumah atau desa serta boleh memilikinya dengan cuma-cuma. Seperti Kyai Tunggul Wulung telah membangun
desa Bondo dan saudara-saudara Kristen di Jawa Timur dengan membuka hutan dan mendirikan desa Kristen,
maka demikian juga Sadrach membangun Karangjoso menjadi desa Kristen.
Sebagai kelanjutan pemeliharaan iman bagi orang-orang yang baru saja menerima baptis Suci, dimana
sekarang sudah terpencar kepelbagai daerah, maka hal ini perlu dipikirkan, sebab pelaksanaannya tak mudah.
Perkembangan Injil diantara orang-orang Jawa pun mendapat perhatian dari Gereja Belanda dan mereka yang
telah menerima baptis juga diakui sah sebagai anggota Gereja Belanda dan nama mereka dicantumkan juga
dibuku Daftar anggota gereja Belanda. Mengingat perkembangan Injil yang sangat meluas itu, maka Majelis
Gereja Belanda telah mengangkat Ny. Philips dan Schneider dalam jabatan tua-tua khusus mengurusi dan
memelihara Jemaat yang baru lahir di desa-desa. Ongkos-ongkos perjalanan dan keperluan gereja-gereja
tersebut ditanggung oleh Gereja Belanda.
Mengingat banyaknya gereja-gereja yang timbul di pelosok-pelosok desa, tentu tidak dapat dibiarkan saja
tanpa ada yang bertanggung jawab, maka dari itu telah dibentuk Pembagian Daerah Kerja yang disusun sebagai
berikut :
Gereja Tuksongso Purworejo dijadikan pusat Daerah Kerja, yang dikerjakan oleh Ny. Philips dibantu oleh
Bp. Abisai Reksodiwongso dan putranya yaitu Timotius Reksodimurti. Jemaat-jemaat yang termasuk daerah
Purworejo ialah : Cangkrep, Bulu, Manoreh, Jelok, Slewah, Dermosari dan Kesingi.
Daerah Karangjoso dikerjakan oleh Sadrach, dibantu oleh Yotham, termasuk Kutoarjo. Daerah Ambal
termasuk Banjur, Karangpucung, Pering, Pamrian dan Pondokgede di kerjakan oleh Tarub dibantu oleh Markus
dan Yohannes.
Kamdah seorang murid Ny. Philips dibantu oleh beberapa orang murid Sadrach ditugaskan di daerah Utara
Banjarnegara dan desa-desa yang terletak dilereng pegunungan Slamet, yaitu : Bendawuluh, Karangcengis,
Watumas.
Yakub Tumpang seorang saudara angkat Sadrach ditugaskan di daerah pegunungan Dieng sebelah Utara
Wonosobo yaitu : Serang, Batu dan kemudian mengadakan perantauan sampai ke daerah Pekalongan bagian
sebelah Selatan. Ia dibantu oleh kawannya bernama Kromowijoyo.
Mintowijoyo seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach ditugaskan di daerah Pekalongan bagian
Selatan ialah : Dermo, Kasimpar dan disitulah, ia telah membangun Gereja Kristen. Kemudian sampai di desa
Katembelan, Purbo, Cituluk dan Telogohabang di daerah Kabupaten Batang, dan di daerah distrik Bawang,
Banaran dan Jampangan.
Yokanan seorang murid Sadrach oleh beberapa murid Sadrach dan Ny. Philips ditugaskan di daerah
pegunungan Slamet yaitu : Kandanggotong, Batusari, Pulosari sampai di distrik Comal, Desa Gintung, Gedleg,

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 10


GKJ Sabda Winedhar
Kendaldoyong Sidokare yang letaknya di dekat Comal. Di Sokowangi, Temuireng Jebed, Bandar sampai
dijajahan Kabupaten Kendal, dan selanjutnya di Pidodo, Kalibening dan Karangcengis sampai desa Kertayasa.
Ny. Philips bersama Sadrach pada suatu hari telah mengadakan pelawatan kepada Jemaat-jemaat diseluruh
wilayahnya, perlu untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri perkembangan kekristenan di desa-desa itu.
Perjalanan ditempuh dengan berkuda kadang-kadang dengan jalan kaki. Pelawatan itu disambut dengan
kesukaan oleh orang-orang Kristen di desa-desa dimana ia kunjungi. Mereka menyebut Ny. Philips “eyang
(bahasa Jawa, nenek). Mereka merasa puas dan dengan sukacita mendengar kata-kata Ny. Philips yang sopan
dan tata bahasanya enak di dengar. Demikian juga dengan Ny. Philips hal ini merupakan kesukaan besar sebab
ia menjadi wanita pertama yang memberitakan Injil keselamatan kepada orang-orang Jawa. Demikian hasil
pekerjaan yang gilang gemilang yang selalu akan tercatat dalam sejarah Gerejani.
Perjalanan mereka dilanjutkan terus sampai di daerah Banyumas, mula-mula mereka langsung menuju ke
rumah iparnya yaitu Ny. V. Oostrom. Kedatangan rombongan itu disambut hangat oleh Ny. Oostrom dan
penduduk di Banyumas, dan tak lupa mengunjungi Ds. Vermeer. Menurut keterangan-keterangan yang
diperolehnya, sudah ada beberapa orang yang minta dibaptis. Kemudian orang-orang ini dibaptis di Banyumas
oleh Pendeta Vermeer sebanyak enambelas orang. Dengan adanya baptisan ini, memberi kegembiraan besar di
tengah-tengah kelelahannya. Inilah perjalanan yang pertama. Dan pada perjalanan yang kedua ke Banyumas
lebih besar lagi hasilnya. Sadrach dengan beberapa murid calon baptisan ikut menyerti Ny. Philips. Mereka
meneruskan perjalanan menuju ke pegunungan Slamet. Sambutan-sambutan di sana pun tidak kurang
meriahnya. Dan itu adalah suatu kesukaan besar bagi penduduk desa-desa itu. Pada waktu perjalanan kembali,
Ds. Vermeer ikut ke Purworejo. Perjalanan mereka itu memakan waktu dua minggu lamanya. Perjalanan
selanjutnya telah dilakukan pada waktu lain, hingga akhirnya dapat tercapai hampir semua tempat dimana
mereka menyebarnya, sampai di daerah pegunungan Dieng dan Daerah Pekalongan dan Tegal.

6. JEMAAT KRISTEN JAWA DIPISAHKAN DARI GEREJA PEMERINTAH BELANDA

Dengan tumbuhnya gereja-gereja di pelosok desa-desa mengakibatkan Ds. Troostenburg de Bruyn menemui
kesukaran disebabkan oleh timbulnya berbagai pandangan yang saling bertentangan di antara Majelis Gereja
Belanda. Sebagian mereka tidak senang jikalau Ds. Troostenburg tetap melayani Gereja-gereja Jawa dalam
melayani sakramen-sakramen Perjamuan Suci dan Baptisan, dianggap melantarkan pekerjaan sendiri. Dengan
alasan bahwa Ds. Troostenburg dalam tindakannya lebih memperhatikan Gereja-gereja Jawa dari pada
Gerejanya sendiri. Tetapi sebagian lain menyatakan setuju dan perlu membantu Gereja-gereja Jawa yang masih
muda dan belum mempunyai Pendeta sendiri, dan itu sudah menjadi kewajiban bagi Gereja yang kuat, yang
harus memberi petolongan-pertolongan yang diperlukan oleh Gereja-gereja yang belum dewasa. Pertentangan
dari dua golongan itu menjadi tegang. Sebagai putusan terakhir, diambil dari suara anggota dan ternyata mereka
menyatakan tidak setuju.
Dengan keputusan itu Ds. Troostenburg merasa sangat menyesal, karena mereka ternyata belum mengerti
tugas-tugas mereka sebagai orang Kristen, yang harus mengasihi sesama manusia dengan tidak memandang
bulu. Dan memperkembangkan Injil kepada semua bangsa di dunia untuk kelebaran Kerajaan Allah.
Dalam hal ini terbukti bahwa Ds. Troostenburg sangat cinta kepada orang-orang Jawa yang mau menerima
Yesus Juruselamat, dan kemajuan Jemaat Jawa sangat ia perhatikan. Sebenarnya ia tak dapat meninggalkan
Jemaat Jawa. Setelah ia pertimbangkan, maka ia mengajukan permintaan untuk dipindah ke lain kota.
Permintaannya diluluskan. Sebelum ia meninggalkan Purworejo, telah diadakan perayaan perpisahan di gereja
Tuksongo.
Ny. Philips, Sadrach, Abisai, dan lain-lain sangat menyesalkan tindakan Gereja Pemerintah itu. Perayaan
perpisahan itu sangat mengharukan jemaat Jawa. Ds. Troostenburg meninggalkan Purworejo pada tahun 1873.
Ds. Thierme, seorang pendeta baru yang mengganti Ds. Troostenburg di Gereja Pemerintah Belanda. Sifat
dan kelakuannya tidak ramah bahkan memandang rendah kepada orang-orang Jawa. Ia tak suka jika orang
Kristen Jawa campur menjadi satu dengan orang-orang Kristen Belanda dalam gereja Pemerintah. Hal ini
menurut keputusan rapat Majelis Gereja Belanda, bahwa orang Kristen Jawa dipisahkan dari Gereja Pemerintah
Belanda, dan putuslah hubungan antara Gereja Belanda dengan Gereja Jawa.
Setelah diadakan perundingan bersama antara Ny. Philips dan kawan-kawannya, mereka memutuskan untuk
mengambil tindakan lain, yaitu akan minta bantuan Ds. Vermeer dari Purbolinggo buat melayani Sakramen
Baptis Suci dan Perjamuan Suci. Kemudian Ny. Philips, Sadrach, Abisai, bertiga pergi ke Purbolinggo langsung
menuju ke tempat Ds. Vermeer. Semua hal ikhwal yang terjadi di Purworejo diceritakannya. Setelah Ds.
Vermeer mendengar keadaan itu, maka ia bersedia membantu dengan senang hati. Dari situ mereka meneruskan
perjalanan ke Banyumas menuju ke tempat Ny. Van Oostrom. Ny. Van Oostrom bersedia juga membantunya.
Pada suatu hari Ds. Vermeer mengadakan perkunjungan di gereja-gereja Jawa di Bagelen. Mula-mula
kedatangannya langsung menuju ke tempat Ny. Philips. Kedatangannya disambut dengan hangat oleh Jemaat
Kristen Jawa Purworejo, Karangjoso, Ambal dan lain-lain tempat. Pelawatan Ds. Vermeer ke pelbagai tempat di
pelosok-pelosok Desa yang sudah ada gereja, di situlah ia diminta untuk melayani Perjamuan Suci dan baptisan.
Baru pertama kali ini Ds. Vermeer mengadakan pelawatan dan selama dalam pelawatannya itu ia telah
membaptiskan 700 orang termasuk anak-anak. Ds. Vermeer tak memerlukan penterjemah, sebab ia sendiri

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 11


GKJ Sabda Winedhar
mahir berbahasa Jawa, maka dari itu hubungannya dengan orang-orang Jawa sangat mudah, hingga semua itu
dapat berjalan dengan baik.

7. GEREJA-GEREJA JAWA MENJADI ANGGOTA N.G.Z.V.

Siapakah Pendeta Vermeer itu ? Baiklah kita ajak para pembaca menengok sejarah Pendeta tersebut yang
banyak membantu dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Jawa serta mengasihi Jemaat-jemaat Kristen
Jawa yang masih muda.
Ds. Vermeer adalah seorang pendeta yang menjadi Pendeta utusan dari N.G.Z.V. (De Nederlandsch
Gereformeede Zendings Vereniging) yaitu suatu Perkumpulan para Utusan dari Gereja-gereja Gereformeerd di
negeri Belanda. Perkumpulan itu didirikan pada tanggal 6 Mei 1859 di kota Amsterdam dan menjadi satu-
satunya partner di Jawa Tengah bagian Selatan.
Kedatangannya mula-mula di Tegal pada tanggal 14 Juni 1862 bersama keluarganya dan mula-mula ia
ditugaskan di Jawa Tengah bagian utara, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1867 kedudukannya dipindah ke
Jawa Tengah bagian Selatan. Bersama keluarganya mereka lalu menetap di Purbolinggo. Sejak ia di Tegal, ia
belajar bahasa Jawa selama 5 tahun dan ketika ia dipindah tugasnya di Purbolinggo disambut dengan gembira
terutama oleh Ny. Van Oostrom. Tugas mula-mula yang dikerjakan ialah melakukan pelawatan kepelbagai
daerah dan desa-desa dengan disertai oleh Ny. Van Oostrom dan beberapa kawan sekerja. Dengan cepat Injil
meluas di desa-desa hingga sampai di daerah-daerah pegunungan Dieng membujur sampai di pegunungan
Slamet. Ny. Van Oostrom menceritakan banyak tentang pemberitaan Injil di Bagelen yang sangat maju hingga
meluas sampai di daerah Banyumas, Tegal dan Pekalongan. Timbulnya jemaat-jemaat didaerah pegunungan-
pegunungan itu berasal dari daerah Bagelen. Diceritakan juga bagaimana cara kerja Pemberita-pemberita Injil di
Bagelen yaitu Ny. Philips, Sadrach dan lain-lainnya, yang mempunyai semangat yang luar biasa. Ds. Vermeer
sangat gembira ketika mendengar kabar itu. Lebih gembira lagi ketika rombongan para pemberita Injil datang di
Banyumas untuk minta bantuan melayani Jemaat-jemaat di daerah Bagelen. Atas usaha Ds. Vermeer, Gereja-
gereja Jawa di wilayah Banyumas menjadi anggota N.G.Z.V.
Dengan demikian maka segala kebutuhan Gereja dapat terjamin terutama buku-buku pelajaran Agama
Kristen dan kitab-kitab Suci Bahasa Jawa. Semuanya itu terjadi pada tahun 1875.
Gereja Jawa di Bagelen diterima dan diakui sah menjadi anggota N.G.Z.V. berdasarkan laporan-laporan Ds.
Vermeer dengan fakta-fakta yang nyata tentang kemajuan dan perkembangan Injil Kristus yang sangat cepat
meluasnya. Dengan demikian keadaan daerah Bagelen menjadi perhatian besar di Gereja-gereja di negeri
Belanda, lebih-lebih tindakan dan cara kerja Sadrach yang luar biasa.

8. NY. PHILIPS MENINGGAL DUNIA DAN REAKSI SADRACH DALAM TINDAKAN


SELANJUTNYA.

Mengingat keadaan fisik Ny. Philips lemah dan sering terganggu kesehatannya, maka terpaksa ia tak dapat
melakukan perkunjungan ke desa-desa yang jauh letaknya. Pekerjaan itu ia serahkan kepada Abisai dan
Sadrach. Karena itu, maka segala pertemuan atau rapat-rapat bagi para pengerja diadakan di Karangjoso, Ny.
Philips pada saat itu harus mengaso dan tak diperbolehkan lagi memikir yang berat-berat atau mengurusi
Jemaatnya lagi. Pekerjaan cukup dikerjakan oleh pembantu-pembantunya yaitu Sadrach, Abisai, Tarub,
Timotius, Markus, Yohanes, dan Yotham. Apabila Ny. Philips mendapat keringanan, ia berusaha sedapat
mungkin menghadiri pertemuan-pertemuan di Karangjoso. Kehadiran Ny. Philips di situ membuat besar hati
dan kegembiraan bagi Sadrach dan kawan-kawannya.
Kelemahan tubuh Ny. Philips dirasakan makin memburuk meskipun demikian tidaklah mengurangi
pengabdiannya kepada Tuhan. Bahkan dengan segala ketulusan hati ia menyerahkan segala pekerjaan dan
hidupnya didalam tangan Tuhan yang maha Kasih. Sadrach dan kawan-kawannya sering mengunjungi Ny.
Philips untuk memberi hiburan serta mendoakan. Dalam keadaan yang amat kritis, dimana ia harus mengakhiri
hidupnya, sebelum ia menutup mata tak lupa ia memberi pesan-pesan yang penting kepada Sadrach dan Abisai
untuk mengatur pekerjaan pemasyhuran Injil. Ny. Philips dengan tenang dan senyuman telah menutup mata
untuk selama-lamanya pada tanggal 23 Mei 1876 dalam usia 51 tahun.
Tarub telah pindah ke lain kota sebelum Ny. Philips jatuh sakit. Ia kembali ketempat asal kelahirannya di
Kediri, maka pekerjaan di Ambal diserahkan kepada Markus dan Yohanes.
Dengan meninggalnya Ny. Philips, menjadi perhatian besar bagi Gereja-gereja diseluruh Jawa Tengah dan
beberapa kota di Jawa Timur. Mereka menyatakan turut berduka cita, sehingga nama harum Ny. Philips selalu
teringat sebagai tokoh gereja dalam sejarah-sejarah gereja Kristen, baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Amat disayangkan bahwa sepeninggalnya Ny. Philips, maka sebagai ahliwaris yang ditinggalkan itu tiada
menaruh perhatian kepada Gereja. Mereka acuh tak acuh mengenai urusan gereja, walaupun mereka kini
mendiami rumah Philips. Karena mereka itu sangat memerlukan uang, terpaksa mereka jual rumah serta
halaman berikut gereja di Tuksongo dan semua buku-buku pelajaran agama dan Kitab-kitab Suci kepada
seorang Tionghoa. Hal itu terjadi pada tanggal 11 Juni 1877.

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 12


GKJ Sabda Winedhar
Mengingat keadaan itu, sungguh sangat menyedihkan bagi Jemaat di Purworejo. Pada saat itu, Abisai
terpaksa mencari tempat lain untuk mengadakan kebaktian. Setelah diadakan perundingan bersama dengan
Sadrach, maka untuk sementara kebaktian digabung di Karangjoso sebelum Abisai mendapat tempat.
Walaupun dengan penggabungan kebaktian itu, masih juga dirasa suatu penderitaan bagi Jemaat di daerah
Purworejo, dimana mereka harus setiap minggu dengan jalan kaki menempuh jarak l.k. 20 kilometer jauhnya
antara Purworejo dan Karangjoso.
Apakah dengan lenyapnya gereja Tuksongo berarti juga hancurnya kekristenan di Bagelen ? Tidak, sebab
sebelum Ny. Philips wafat, ia telah menyampaikan isi hatinya dan pandangannya mengenai pemeliharaan
kerohanian orang Kristen Jawa kepada kedua pembantunya yang setia yaitu Abisai Reksodiwongso dan
Sadrach. Orang-orang Kristen di Purworejo dan sekitarnya diserahkan kepada Abisai dan daerah Karangjoso
dan sekitarnya kepada Sadrach. Maka dengan demikian orang-orang Kristen Jawa dapat tetap bertahan, artinya
tak melepaskan kepercayaan Kristen mereka.
Soal penyerahan pimpinan ini langsung diberitahukan oleh Sadrach kepada para pembantu-pembantunya
yang bekerja di kelompok-kelompok. Menurut pendapat Sadrach dan kawan-kawannya, sekarang mereka tidak
bergantung kepada siapapun. Mereka ingin mengatur dirinya, sebab itu mereka menyebut dirinya : Kristen Jawa
Merdeka. Ini bukan kesombongan atau berdasar rasa benci, tetapi ini keadaan yang sebenarnya. Sebab Gereja
Negara sudah tidak mau menganggap lagi dan Ny. Philips sudah meninggal dunia. Kemudian Sadrach telah
mengumumkan nama barunya sebagai pemimpin orang Kristen Jawa Merdeka, dengan nama :
SUROPRANOTO, yang berarti berdiri sendiri (berdikari) tidak dibawah siapapun, dan semuanya diatur
menurut tata caranya sendiri (Mranata).
Soal ini bagi Sadrach sudah biasa, sebab ia sudah biasa hidup tak tergantung kepada orang lain. Situasi
seperti ini mengingatkan Sadrach kepada gurunya dulu yaitu Kyai Tunggul Wulung, dimana pendeta Jawa tak
tergantung kepada siapapun.
Sadrach dengan seribu lima ratus orang dewasa atau kurang lebih tiga ribu anggota ingin mengatur diri
bersama-sama. Dia mengambil inisiatif dan menetapkan aturan-aturan bagi semua kelompok. Tiap-tiap
tigapuluh lima hari sekali jatuh pada hari Selasa Kliwon, semua ketua kelompok berkumpul di Karangjoso. Hari
Selasa Kliwon bagi orang Jawa mendapat perhatian besar sebagai hari kelahiran Syiwa, dan tiap-tiap malam
Selasa Kliwon di rumah atau di tempat keramat dan kuburan, orang membakar kemenyan. Dengan
ditetapkannya hari itu untuk berkumpul maka perhatian kepada upacara pembakaran kemenyan beralih. Sebab
yang datang dalam kumpulan itu tidak hanya wakil-wakil dari kelompok, tetapi orang-orang dari kaum awam
juga. Ini merupakan pertemuan besar dibawah pimpinan Sadrach. Di situ dibicarakan soal-soal misalnya :
jumlah anggota gereja, kelahiran, kematian, pemisahan kelompok-kelompok yang makin besar, menetapkan
ketua-ketua kelompok, menentukan pembangunan rumah-rumah kebaktian dan sebagainya. Demikianlah semua
kemungkinan di situ dikemukakan, diperbincangkan dan diatur. Dengan demikian hingga merupakan persatuan
yang ampuh. Dari pelbagai tempat orang-orang itu berkumpul, berdoa, berbakti bersama-sama. Pada malam hari
mereka bermalam di rumah Sadrach dan saling mengadakan perkenalan dan bercakap-cakap sebagai kakak
beradik, bapak dan anak, hingga merupakan kekeluargaan yang penuh dengan kasih. Suasana yang tak
diinginkan tak pernah terjadi, sebab mereka merasa menjadi tamu di rumah gurunya, mereka takut berbuat apa-
apa yang kurang hormat dalam pertemuan itu. Soal makanan mereka, tak mungkin Sadrach menjaminnya. Para
tamu membawa sendiri hingga tak dibebankan pada seorang saja. Aturan ini berjalan terus tak penah lowong,
dan menunjukkan suatu keluarga yang besar dibawah seorang bapak Sadrach. Ikatan ini semakin kuat, sebab
mereka dalam satu perguruan merasa seperti saudara-saudara sekandung. Keadaan sosial ekonomi umumnya
cukup, sebab hampir setiap keluarga mempunyai sawah dan tanah sendiri.
Para murid-murid Sadrach menaruh kepercayaan besar kepada gurunya. Sikap dan kelakuan Sadrach
bernilai tinggi diantara murid-muridnya. Ia seorang yang dapat menguasai diri. Tak banyak tertawa, orang yang
serius, tak suka bersenda-gurau. Tak pernah mengejek atau menghina orang lain. Kenalannya tak hanya orang-
orang yang rendah, tetapi sampai pejabat-pejabat tinggipun mengenal dia. Dengan demikian menambah gengsi
dihadapan para murid-muridnya.
Kelompok Sadrach tetap bernama Kristen. Mereka menegakkan sepuluh Hukum dan Doa Bapa Kami dan
Pengakuan Iman Rasuli dan biasanya itu dihafalkan pada tiap Kebaktian hari Minggu. Hal-hal inilah sebagai ciri
orang-orang Kristen yang nampak di tengah-tengah masyarakat desa sekitar Karangjoso, dan ini memang
merupakan persekutuan yang sangat bermutu.

9. DS. BIEGER, UTUSAN N.G.Z.V. DAN MASALAH GEREJA-GEREJA DI BAWAH PIMPINAN


SADRACH.

Dari laporan Ds. Vermeer, N.G.Z.V. memandang perlu mengutus utusannya untuk bekerja di daerah
Bagelen. Dua tahun kemudian setelah meninggalnya Ny. Philips, pada tahun 1878, diutuslah Ds. Bieger ke
daerah ini. Sebelum ia melakukan pekerjaannya, untuk sementara ia di Tegal.
Mula-mula ia bertempat tinggal di Kutoarjo. Pada waktu ia datang ke daerah itu, kedudukan Sadrach sudah
cukup kuat sebagai pemimpin orang-orang Kristen Jawa Merdeka.
Tujuan Ds. Bieger yang pertama ialah mengadakan pembicaraan dengan Sadrach tentang pimpinan orang-
orang Kristen Jawa, dan menghendaki supaya Sadrach menyerahkan pimpinan itu kepada Ds. Bieger. Sungguh

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 13


GKJ Sabda Winedhar
aneh dan mengherankan, apalagi bagi Sadrach hal ini tidak bisa dimengerti. Apakah tugas seorang pendeta
Zending itu memang demikian ? Apakah Ds. Bieger tidak mengerti bahwa Sadrach dan kelompok-kelompoknya
tak ada sangkut pautnya dengan gereja Negara maupun N.G.Z.V. ? Memang dulu Ds. Vermeer telah
membaptiskan orang-orang yang di bawa oleh Sadrach, tetapi menurut anggapan Sadrach, hal itu bukan berarti
bahwa mereka itu menjadi anggota gereja Negara atau N.G.Z.V. Dan pula usaha Ds. Vermeer dimana gereja-
gereja di daerah Bagelen termasuk Karangjoso diakui sah sebagai anggota N.G.Z.V., hal ini sebenarnya oleh
Sadrach dianggap sebagai bantuan yang diperlukan untuk kebutuhan gereja, dan bukan untuk menguasainya.
Sadrach sendiri tak mengerti sebenarnya status gereja Negara, N.G.Z.V dengan kelompoknya sendiri. Tetapi
jelas menurut pandangan Sadrach, bahwa adanya kelompok-kelompok dan perkembangan jemaat-jemaat di
daerah Karangjoso adalah hasil jerih payah Sadrach dan kawan-kawannya. Dan Sadrach telah diakui sah sebagai
pimpinan mereka. Andaikata Sadrach menanyakan kepada murid-muridnya tentang maksud Bieger itu, tentu
mereka akan menolaknya. Bieger adalah orang asing yang begitu datang terus minta kedudukan. Ini sukar
diterima oleh Sadrach.
Usaha Bieger selanjutnya adalah mendekati Abisai. Dengan mudah daerah kerja Abisai diserahkan kepada
N.G.Z.V. atau tangan Bieger. Dalam hal ini, pendirian Abisai jauh berbeda dengan Sadrach. Dia tetap mengakui
bahwa daerah kerjanya menjadi anggota N.G.Z.V hingga pernyataan Bieger hal penyerahan itu bukanlah
menjadi soal Ilahi dan pada saat itu jemaat di Purworejo sedang dalam keadaan parah. Pada saat itu Abisai
dijadikan pembantu Bieger dengan gaji tigapuluh gulden. Menurut anggapan Bieger, Sadrach harus dapat ia
kuasai seperti Abisai. Ia harus sekali lagi mengadakan pertemuan dengan Sadrach untuk maksud itu, tetapi
Sadrach tetap pada pendiriannya tak mau menyerah.
Persoalan ini sedikitnya dalam waktu tiga puluh lima hari sudah tersebar di seluruh pelosok kelompok. Baik
tiap murid Sadrach maupun jemaat-jemaat di wilayah Sadrach mengetahui persoalan ini. Ternyata aturan yang
ditetapkan Sadrach memang tepat. Murid-muridnya mengerti kehendak gurunya dan gurunya-pun mengerti
kesetiaan murid-muridnya. Ini menyebabkan pendirian Sadrach tetap teguh.
Pada suatu hari Sadrach menerima surat panggilan dari pembesar setempat, yaitu Bupati Kutoarjo dan
Asisten Residen. Ia diminta keterangannya tentang bagaimana sikapnya terhadap permintaan Bieger. Sadrach
menjawab bahwa ia tetap pada pendiriannya. Sejak itu Sadrach mengerti bahwa Bieger dalam usahanya untuk
menguasainya telah memakai alat Negara.
Sadrach telah menerima juga peraturan-peraturan Gereja tertulis dari Bieger, tetapi peraturan-peraturan
yang diberikan itu oleh Sadrach ditolak. Menurut anggapan Sadrach peraturan-peraturan itu tak dapat dijalankan
karena terlalu sukar dimengerti oleh jemaat. Pokok utama, bukannya dengan dasar Kitab Suci atau pelajaran-
pelajaran agama, tetapi cukuplah dengan berbagai cara lain asal orang mau bertobat dan menyerahkan hidupnya
kepada Juruselamat Yesus Kristus, maka Sadrach tetap tidak mau tunduk pada peraturan-peraturan yang
diberikan.
Bieger berusaha dengan berbagai macam jalan, supaya Sadrach mau menerima peraturan-peraturan gereja
itu. Sadrach tidak menghendaki kalau N.G.Z.V. turut campur urusan jemaat-jemaat sekitar Karangjoso.
Ketika Bieger pindah ke Purworejo dan bertempat tinggal di kampung Plaosan, ia mengadakan hubungan
dengan Residen Ligvoet yang berkedudukan di Purworejo, setelah didengar keterangan-keterangan maka
Ligvoet menaruh curiga atas tindakan Sadrach, dikuatirkan kalau Sadrach mengadakan pemberontakan terhadap
pemerintah. Dengan demikian maka diutus beberapa anggota polisi untuk mengamat-amati segala gerak-gerik
Sadrach. Tetapi suatupun tiada terdapat kesalahan yang melanggar hukum pemerintah. Sedang para petugas
pemerintah itupun dapat pula memuji dan menganggap pimpinan Sadrach itu baik. Karena tiada suatu kejahatan
yang terdapat, maka Sadrach tak mungkin ditangkap tanpa alasan.
Dalam tahun 1882 wabah penyakit cacar menjalar di daerah Bagelen, hingga penduduk yang berada di
daerah itu oleh Pemerintah diharuskan mencacarkan diri. Jawatan Kesehatan mengirim para mantri cacar ke
pelosok-pelosok desa untuk mengadakan pencacaran penduduk.
Karena pencacaran itu dilakukan dengan cara paksa, maka Sadrach tidak setuju cara yang dilakukan itu.
Pengaruh Sadrach di daerah itu amat besar, hingga di daerah itu terdapat hanya sedikit saja yang telah
mencacarkan diri, dengan demikian menjadi keheranan bagi para mantri cacar tersebut. Setelah diselidiki dan
diperoleh keterangan dari beberapa orang, disebabkan pengaruh Sadrach. Dengan alasan-alasan itu cukup
sebagai bukti untuk menangkap Sadrach. Kemudian Residen mengirim beberapa anggota polisi buat menangkap
Sadrach. Peristiwa penangkapan itu terjadi pada bulan Maret 1882 yang cukup mengejutkan, Sadrach ditangkap
dan dimasukkan dalam Penjara atas perintah Residen Ligvoet. Penangkanan itu diberitahukan juga kepada Ds.
Heyting, pendeta dari Gereja Negara, dengan alasan penangkapan soal cacar. Bahwa menurut laporan-laporan
yang diperoleh, Sadrach tidak memperbolehkan orang-orangnya dicacar. Alasan-asalan itu sebenarnya salah.
Residen ligvoet dengan beberapa anggota polisi datang di tempat kediaman Sadrach dengan maksud akan
mencari dokumen-dokumen yang bertujuan akan memberontak kepada Negara. Penggeledahan telah dilakukan
dengan keras, tetapi sia-sialah. Karena ternyata tidak mendapatkan suatu bukti yang bermaksud jahat. Yang
diketemukan adalah sebuah tombak kecil, yaitu satu-satunya senjata Sadrach yang diperuntukkan membela diri
jika ada pencuri atau perampok. Pada saat penggeledahan, hadir juga beberapa murid-murid Sadrach, misalnya
Markus, Yohanes dan lain-lain lagi. Setelah Residen mendapat banyak keterangan dari Debora, istri Sadrach,
para penggeledah kemudian meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat Pemerintah menutup Gereja di
Karangjoso sejak peristiwa penggeledahan itu. Tapi Yohanes tetap memimpin Kebaktian pada hari Minggu,
seolah-olah tidak mempedulikan larangan itu. Karena itu Yohanes ditangkap dan dihadapkan kepengadilan di

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 14


GKJ Sabda Winedhar
Purworejo. Dalam perkara itu Residen sendiri yang menjadi hakim pengadilan, disitu hadir juga Bieger. Putusan
terakhir diserahkan kepada Bieger. Yohanes diperbolehkan mengajar asal menurut peraturan-peraturan yang
sudah ditetapkan. Kemudian ia diperkenankan pulang. Yohanes menyatakan sanggup dan bersedia melakukan
keputusan tersebut.
Sementara Sadrach ditahan dipenjara, pada tanggal 15 Maret 1882 ada pertemuan besar dari kelompok-
kelompok Sadrach. Pertemuan ini diadakan atas undangan (pangggilan) Residen Ligvoet. Mereka datang
dengan rasa takut, sebab gurunya tidak ada, mereka kuatir akan mengalami nasib yang sama seperti gurunya.
Pertemuan itu dihadiri oleh ketua-ketua kelompok dari Bagelen dan Banyumas, dan dari pihak Pemerintah hadir
Residen, Bupati Kutoarjo, Kepala Jaksa Purworejo. Jaksa Kutoarjo, Assisten Residen Kutoarjo, dan dari pihak
Gereja, hadir Ds. Heyting, pendeta gereja Negara dan Ds. Bieger. Dalam pertemuan itu diumumkan bahwa
Sadrach diberhentikan dari kedudukannya sebagai pemimpin mereka dan diasingkan dari Karangjoso, sebagai
gantinya yaitu Ds. Bieger. Peristiwa ini terkenal diantara murid-murid Sadrach dengan nama “peristiwa Jum’at
Wage” yang tak terlupakan dimana mereka kehilangan gurunya.
Para pejabat pulang, Bieger tinggal bersama mereka. Sudah menjadi kebiasaan menurut pandangan orang
Jawa, jika ada orang kena kecelakaan dianggap sebagai hukuman Tuhan (bahasa Jawa : Kena dendaning
Pangeran). Apakah peristiwa yang menimpa diri Sadrach juga dipandang demikian ?
Muris-murid Sadrach memandang peristiwa ini bukan sebagai persoalan kedudukan gurunya, tetapi hanya
soal cacar saja. Dalam hati mereka, Sadrach tetap sebagai gurunya, walaupun Bieger sudah ditetapkan sebagai
pendeta mereka. Demikian Bieger mendapat kedudukan. Kedudukan ini diberi oleh Residen. Inilah jabatan
dalam urusan kegerejaan, tapi anehnya Bieger juga menerima dengan senang hati, tanpa memikirkan nasib
penderitaan orang lain, misalnya Jemaat-jemaat Sadrach yang kehilangan gurunya yang sangat dicintanya.
Bukan pelayanan, melainkan kedudukan yang dikejar oleh Bieger sebagai pendeta utusan. Bagi orang Kristen
Jawa yang belum mengerti peraturan-peraturan gereja, mendapat kesan bahwa begitulah cara orang Belanda
mengatur gereja. Mereka menerima petunjuk dan ajaran dari Bieger dalam suasana hati yang masih kacau.
Peristiwa tersebut jika ditinjau dari etika orang Jawa menunjukkan bahwa utusan N.G.Z.V. datang di
Bagelen untuk menduduki tikar yang sudah terhampar (bahasa Jawa : nglungguhi klasa gumelar), sedang yang
menganyam tikar itu ialah Sadrach.
Lain halnya dengan Ds, Jellesma di Mojowarno. Telah nampak bahwa Ds. Jellesma lebih bertindak sebagai
pelayan dari pada penguasa terhadap Paulus Tosari.
Pada tanggal 23 Maret 1882 diadakan pertemuan lagi. Kali ini diadakan di gedung Pemerintah Kutoarjo.
Hadir duaratus orang. Pertemuan ini tidak hanya dihadiri ketua-ketua kelompok, tetapi juga murid-murid lain.
Pertemuan itu bagi mereka suatu tanda tanya : mungkin pihak penguasa akan memperlakukan mereka seperti
perlakuan terhadap gurunya. Tetapi tidak demikian. Di sini mereka berkumpul kebaktian bersama dibawah
pimpinan Bieger dengan renungan. Sesudah makan bersama, lalu diumumkan oleh Residen Ligvoet bahwa
mulai saat itu, guru mereka Sadrach tak diperkenankan memberi ajaran apa-apa dan ia harus berada di
Purworejo di rumah Bieger dengan dijaga oleh polisi. Memang itulah atas permintaan Bieger, supaya Sadrach
tetap ditahan di rumahnya setelah ia melakukan peninjauan ke gereja-gereja di wilayah Bagelen dan daerah
Pekalongan dan Tegal bagian baratdaya, karena disanalah terdapat banyak orang-orang Kristen yang berasal
dari ajaran Sadrach.
Dalam kumpulan itu Sadrach menyatakan kesanggupannya. Dengan demikian Sadrach direndahkan dan
dipermalukan. Nampaknya Sadrach mendapat keringanan sebab telah dikeluarkan dari penjara, tetapi
sebenarnya hal itu dimaksudkan sebagai penghinaan didepan pengikut-pengikutnya, meruntuhkan kewibawaan
Sadrach.
Di rumah Bieger, Sadrach seharusnya mengalami suasana yang tenang, sebab di rumah pendeta, bukan
penjara. Tiap hari makan bersama, bicara-bicara soal kerohanian, baca Alkitab bersama dan saling memberi
tuntunan, kalau demikian keadaannya, tentu besar sekali manfaatnya bagi Sadrach. Adapun maksud Bieger
yaitu supaya Sadrach dapat menyadari segala tindakan yang salah dalam memberi ajaran-ajaran agama Kristen.
Tindakan Bieger meskipun baik atau jelek, oleh Sadrach ditelan dengan sabar dan tenang. Segala nasehatnya
diterima dengan baik. Hanya satu yang paling tidak disukai oleh Sadrach, yaitu cara tindakan diktator Bieger,
yang sebenarnya tidak patut dilakukan oleh seorang pendeta. Sadrach mengetahui bahwa tindakan Bieger itu
sebetulnya mempunyai tujuan dan maksud baik, tetapi belum saatnya dan tidak cocok untuk ditindakkan kepada
orang-orang Jawa di desa-desa yang pengetahuannya masih jauh berbeda dibandingkan orang-orang Kristen di
kota-kota besar atau di negeri Belanda. Pula Bieger tidak dapat menyelami apakah sebenarnya yang dikehendaki
oleh orang-orang Jawa yang mempunyai latar belakang yang sangat lain, baik dilihat dari kepercayaan Kristen
maupun kebudayaan Belanda. Ia tak dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang Jawa terutama di pelosok-
pelosok desa.

10. DS. WILHELM BERUSAHA BEKERJASAMA DENGAN SADRACH.

Setahun sebelum peristiwa penangkapan Sadrach, N.G.Z.V. telah mengutus seorang pendeta muda bernama
Ds. J. Wilhelm. Ia berdiam disamping rumah Bieger, sebagai pendeta Zending ia datang di Purworejo pada
bulan Pebruari 1881. Ia bekerja tidak sebagai pendeta, tetapi membuka sekolah dan mengajar sebagai guru
agama. Meskipun selama hampir setahun tinggal di Purworejo, tapi ia tak mengetahui soal peristiwa Sadrach,
sebab ia menganggap itu bukan urusannya. Sedangkan Bieger sama sekali tidak memberitahu atau menceritakan

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 15


GKJ Sabda Winedhar
soal itu kepada Ds. Wilhelm. Mungkin Bieger ingin mengatasi soal-soal ini sendiri, sebab ia anggap bahwa
Wilhelm masih muda dan kurang pengalamannya. Ia mulai menaruh perhatian dan curiga dengan adanya
beberapa anggota polisi menjaga rumah Bieger. Akhirnya ia mengetahui peristiwa itu. Ia agak heran, mengapa
Bieger sama sekali tidak pernah menceritakan peristiwa itu. Ia mulai berkenalan dengan Sadrach di rumah
Bieger, tapi tidak sekali-kali turut campur urusan Bieger. Hubungan kedua orang itu makin erat. Ds. Wilhelm
memang suka bergaul dengan orang-orang Jawa lagipula ia pandai berbahasa Jawa. Dan tindakan Wilhelm yang
manis budi dapat dirasakan juga oleh Sadrach. Wilhelm seorang pendeta yang masih sangat muda tapi sabar dan
bijaksana itu tercermin dalam sikap dan kata tuturnya.
Siapa Wilhelm itu ? Jakob Wilhelm dilahirkan pada tangal 6 April 1854 di Ommen, Overijsel Nederland.
Ayahnya bekerja sebagai dokter hewan. Setelah lulus dari pendidikan Theologia di Dedemsvaart, kemudian ia
mengambil ujian untuk memasuki Sekolah Perguruan Theologia bagian calon pendeta utusan pada “De
Utrechtsche Zendings Vereniging (U.Z.V.) tetapi sayang tidak diterima. Dengan pertolongan Ds. Witteveen di
Ermelo, ia dapat memasuki sebagai mahasiswa calon pendeta utusan pada “Nederlandsche Gereformeerde
Zendings Vereniging (N.G.Z.V.) dikota Leiden. Mula-mula ia menjadi murid Ds. J.H. Donner. Disini ia
mendapat pelajaran bahasa Jawa dan Pengetahuan Umum selain Alkitab.
Dengan berkat Tuhan, ia lulus pada ujian terakhir sebagai calon Pendeta Utusan, pada tahun 1879. Menurut
keputusan rapat N.G.Z.V. di Renkum dan Heelsum dengan persetujuan Gereja-gereja dalam lingkungan
N.G.Z.V., Jakob Wilhelm dipilih dan diangkat menjadi pendeta Utusan untuk Daerah Bagelen, sebagai
pembantu Ds. Bieger. Pelantikan sebagai Pendeta Utusan dilakukan pada tanggal 17 Nopember 1880. Dan pada
tanggal 28 Pebruari 1881 bersama isterinya, ia tiba di kota Purworejo. Mula-mula oleh Bieger, ia diperkenalkan
kepada jemaat-jemaat dalam lingkungan daerah Bagelen. Semuanya itu sebelum terjadi peristiwa Sadrach.
Menurut Ds. Wilhelm, setelah mengadakan tinjauan ke jemaat-jemaat di daerah Bagelen, ternyata bahwa
keadaan orang-orang Kristen Jawa sebagian besar masih buta huruf dan sama sekali tidak ada kemajuan.
Kepercayaannya berdasarkan cerita-cerita yang didengar saja, maka ia menghendaki untuk membuka sekolah
terutama bagi anak-anak Jawa, supaya dikemudian kelak dapat memimpin jemaat Tuhan dengan lebih
sempurna. Mula-mula ia mengumpulkan anak-anak dari pelbagai tempat untuk diberi ajaran menulis dan
membaca dalam bentuk praktis, dan diadakan di pelbagai tempat. Dengan demikian ternyata mendapat banyak
kemajuan. Lambat laun murid-murid makin banyak, hingga Wilhelm merasa tak mampu lagi untuk melayani
sendiri. Demi kepentingan Pendidikan Sekolah, maka atas usul Ds. Wilhelm kepada N.G.Z.V., telah dibangun
sebuah gedung sekolah Pendidikan Kristen di Kota Kutoarjo dan dibuka dengan resmi pada tanggal 10 Januari
1888 dengan nama Sekolah KEUCHENIUS, sebagai guru sekolah, N.G.Z.V. telah mengutus J.P. Zuidema.
Setelah Sadrach diamankan di rumah Bieger, maka Bieger kemudian mengadakan kegiatan-kegiatannya.
Tanggal 10 April 1882, diadakan kebaktian di gereja yang terletak di halaman rumah Pendeta Bieger. Diadakan
bukan hari Minggu melainkan hari Senin. Dalam kebaktian itu dilayani Perjamuan Kudus. Sadrach hadir juga
dalam kebaktian itu, dan murid-murid Sadrach hadir juga. Bieger mengetahui bahwa hubungan murid-murid
dengan gurunya masih kuat, sehingga Perjamuan kudus itu berjalan dalam suasanan yang tidak enak.
Hari-hari berikutnya Bieger berkeliling ke-kelompok-kelompok. Di situ terdapat banyak orang yang belum
dibaptiskan, meskipun mereka sudah menerima pelajaran-pelajaran agama Kristen dari Sadrach dan pembantu-
pembantunya. Dalam bulan April 1882, Bieger telah membaptiskan sejumlah enam ratus enam puluh delapan
(668) orang. Jumlah sebesar itu, dikarenakan sejak Gereja Jawa dipisahkan dari Gereja Negara (Belanda) oleh
Thieme dan sepeninggalnya Ny. Philips sama sekali tidak ada baptisan. Orang sebanyak itu, adalah hasil kerja
Sadrach dan pembantu-pembantunya. Baptisan itu dilakukan di gereja Purworejo, Karangjoso, Banjur,
Karangjambu, Kedungpring, Karangpucung, Pondok dan Kedungdawa.
Bulan Mei 1882 lagi di: Purworejo, Ngawu-awu, Jelok, Sapuran, sebanyak 243 orang. Menyusul bulan
Agustus 1882 sebanyak 12 orang di Purworejo. Tahun 1883 seorang dan tahun 1884 dua orang, lalu berhenti.
Jumlah keseluruhan yang telah dibaptiskan oleh Bieger sebanyak 961 orang, dan inilah sebagai tahun kepuasan
Bieger, sebab segala cita-cita telah tercapai, yaitu mencapai kedudukan. Sadrach telah disingkirkan dan ia telah
berhasil membaptiskan orang banyak sekali.
Tetapi akhir tahun 1882 merupakan saat yang pahit, karena pada tanggal 10 Juni 1882 ada surat kawat dari
Pemerintah Pusat (Gubernur Jendral) di Bogor kepada Residen Bagelen, yang berisi perintah agar melepaskan
Sadrach kembali ke Karangjoso dan boleh melakukan tugas seperti semula.
F’s Jacob yang berkedudukan sebagai Gubernur Jendral di Bogor sejak tahun 1881, setelah mendengar
beberapa laporan, tidak dapat membenarkan tindakan Residen Ligvoet dari Bagelen yang telah memfitnah
Sadrach, yang terang tidak bersalah atau melakukan kejahatan terhadap hukum Negara. Sebagai Residen telah
mempergunakan haknya secara sewenang-wenang terhadap sesama orang. Tindakan itu sungguh tidak
bijaksana. Maka sebelum terlambat, segera ia mengirim kawat, supaya Sadrach segera dilepaskan dan
dikembalikan ketempat kediamannya di Karangjoso, kemudian Ligvoet dihentikan dari jabatan sebagai Residen
di Purworejo. Ia telah dipindahkan sebelum Sadrach di bebaskan.
Sadrach meninggalkan tempat kediaman Bieger kembali ke Karangjoso diiringkan oleh murid-muridnya.
Kedatangannya di Karangjoso disambut dengan gembira oleh penduduk setempat terutama orang-orang Kristen.
Sadrach masih tetap diakui sah sebagai guru. Ketika diadakan kebaktian hari Minggu di Karangjoso, hadir juga
Residen, Bupati, Asisten Residen, Kontrolir dari Purworejo dan Kutoarjo. Dengan demikian sebagai tindakan
Rehabilitasi, hal ini merupakan suatu pukulan yang berat bagi Bieger. Ia kecewa dengan kebebasan Sadrach,
dan Ligvoet sudah turun dari jabatannya sebagai Residen telah pindah ke lain kota. Dengan kehendak sendiri ia

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 16


GKJ Sabda Winedhar
mengirim surat kepada N.G.Z.V. dengan maksud hendak pulang ke negeri Belanda. Tetapi ia harus tunggu dua
tahun lagi, baru pada tahun 1884 ia diperkenankan kembali ke negeri Belanda.
Pekerjaan Wilhelm makin bertambah banyak, karena selain tugas di daerah Bagelen, iapun oleh N.G.Z.V.
diserahi untuk melayani daerah Tegal, menggantikan pekerjaan Ds. Ulenbusch, yang belum lama telah
dihentikan dari pekerjaanya. Jemaat di daerah Tegal dan Pekalongan sudah menjadi anggota N.G.Z.V. sejak
tahun 1882.
Sebelum Sadrach meninggalkan rumah Bieger, memang telah ada kata sepakat dan berjanji akan
mengadakan kerjasama dalam bidang pemberitaan Injil dengan saling membantu.
Ketika Sadrach kembali ke Karangjoso pada tahun 1883, makin nyatalah hubungan mereka makin erat
seolah-olah tidak dapat terpisah satu sama lain. Mereka telah melakukan pemberitaan Injil bersama kepelbagai
tempat dengan jalan berkuda.
Setelah Bieger meninggalkan Purworejo pada tahun 1884, bagi Sadrach dan orang-orang Kristen Jawa ada
suatu keuntungan sebab hasil-hasil pemberitaan Injil mereka telah dibaptiskan oleh Bieger. Hampir semua
masih setia kepada gurunya, hanya sebagian kecil sekali yang tak menggabung dengan Karangjoso, misalnya
Akimdarmo dan Kesingi.
Tak lama kemudian setelah Sadrach kembali ke Karangjoso, ia pergi ke rumah Wilhelm untuk memasukkan
anak angkatnya bernama Yotham, anak Markus dari Banjur. Yotam adalah seorang murid yang setia dan sangat
dikasihi oleh Wilhelm. Kemana gurunya pergi selalu diikuti oleh Yotam. Ia banyak membantu pekerjaan
gurunya.
Ds. Wilhelm merasa sangat berkewajiban dimana ia harus mengasuh Jemaat-jemaat itu, karena anggota-
anggota jemaat diantaranya masih terdapat kepercayaan-kepercayaan takhayul dan buta huruf dan sangat kurang
pengertian mereka mengenai Alkitab. Dengan penuh kebijaksanaan dan ketekunan, sedikit demi sedikit ia
memberi pelajaran-pelajaran terutama pelajaran dari Katakhismus, 12 pengakuan kepercayaan rasuli dan
Peraturan Gereja.
Untuk pertama kali telah diadakan konperensi di Karangjoso yang dihadiri oleh wakil-wakil jemaat di
seluruh Begelen dengan maksud mengadakan pembentukan tua-tua dan penempatan tenaga guru-guru Injil
ditiap jemaat. Dalam konperensi, dilakukan pembagian Klasis dan setiap setahun sekali diadakan pertemuan
sinode di Karangjoso yang dihadiri oleh wakil-wakil Klasis. Daftar anggota lebih ditertibkan. Dan
menganjurkan kepada semua jemaat supaya memasukkan anak-anaknya ke sekolah Pendidikan Guru Injil di
Purworejo.
Untuk menghadapi jemaat-jemaat itu, Wilhelm bertindak sebijaksana mungkin, karena ia mengetahui
dengan cara bagaimana harus melayani jemaat-jemaat dan juga terutama Sadrach yang masih kurang
pengertiannya mengenai Kitab Suci. Semua itu ia lakukan sedikit demi sedikit dan semua itu dilakukan dengan
ramah dan penuh kesabaran dan bijaksana. Tak pernah ia menghalang-halangi apa yang ditindakan oleh
Sadrach, maka dengan demikian ia sangat disukai oleh Sadrach dan jemaat di Karangjoso. Usaha membuka
pendidikan Kristen itu sungguh berhasil, sebab ternyata bahwa anak-anak muda yang telah lulus dari Sekolah
Keuchenius akan mewarisi semua Jemaat Kristen Jawa serta membawa ke arah kemajuan dan kelebaran
Kerajaan Allah.

11. DS. WILHELM DIANGKAT MENJADI PENDETA JEMAAT KRISTEN JAWA


KARANGJOSO

Sementara itu sebelum Bieger meninggalkan Purworejo dari pihak Gereja Negara sedang berusaha untuk
menguasai jemaat-jemaat Sadrach, sama halnya dengan Bieger. Ds. Heyting datang sendiri ke Karangjoso untuk
keperluan itu pada bulan Maret 1883. Sadrach menolak kemudian Sadrach pergi ke rumah Wilhelm, yang pada
pokoknya meminta agar Wilhelm sudi menjadi pendeta untuk orang-orang Kristen Jawa yang dipimpin Sadrach.
Wilhelm bersedia dan ini diberitahukan kepada pendeta Gereja Negara dan Bieger.
Hari Kamis tanggal 22 Maret 1883 menjelang hari Minggu Paskah Bieger tidak mengijinkan Gereja untuk
kebaktian orang Kristen Jawa dibawah pimpinan Sadrach, jadi terpaksa kebaktian diadakan di serambi rumah
Wilhelm. Dari peristiwa tersebut nampak kejengkelan Bieger terhadap pimpinan Wilhelm atas orang-orang
Kristen Jawa. Bahwa Wilhelm lebih disenangi dari pada Bieger. Pendeta Gereja Negara juga marah kepada
Wilhelm, sebab ini berarti mempersempit usaha Heyting untuk menguasai Sadrach.
Pada hari Minggu semua kelompok Sadrach berkumpul sebanyak 83 orang datang di Purworejo di rumah
Wilhelm yaitu mereka dari daerah Bagelen, Banyumas dan Pekalongan. Mereka bersatu menyatakan
keinginannya yaitu agar Wilhelm bersedia menjadi pendeta mereka. Pembicaraan belum selesai, maka
pertemuan ini diteruskan di Karangjoso pada tanggal 10 April 1883.
Ds. Wilhelm memberitahukan pertemuan ini kepada pendeta Heyting dan mengharap agar jangan
mencampuri utusan mereka. Tetapi Heyting merasa tidak senang, ia datang juga ke Karangjoso dengan tujuan
untuk membatalkan surat panggilan yang akan ditandatangani oleh tua-tua semua jemaat dan tanda tangan
Sadrach dibawah sendiri dengan kedudukan sebagai guru agama Kristen di Karangjoso. Heyting marah sekali
dan berkata jika maksud itu diteruskan semua tanggung jawab ada ditangan mereka. Pertemuan itu berjalan
terus dan menyelesaikan surat panggilan untuk pendeta Wilhelm. Kemudian surat panggilan disampaikan
kepada Wilhelm.

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 17


GKJ Sabda Winedhar
Di sini terwujudlah suatu kerjasama antara utusan N.G.Z.V. dengan Kyai Sadrach dan golongannya. Ini
berarti bahwa golongan Sadrach adalah golongan yang berdiri sendiri yang memanggil pendeta Wilhelm dan dia
berhak menerima atau menolak panggilan pendeta itu. Keduanya mempunyai pertanggungan jawab dihadapan
Tuhan Raja Gereja. Pendeta harus memberikan segala yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus kepada gereja-nya
dan jemaat harus mendengar kepada hamba Tuhan yang menyampaikan firman Tuhan serta segala ajaran-ajaran
Kristen. Kerjasama ini berarti juga bahwa N.G.Z.V. memberikan bantuannya berupa seorang pendeta kepada
Jemaat Kristen Merdeka, berdasarkan kesediaan hati bagi kemuliaan Nama Tuhan Yesus. Demikianlah
seharusnya status mereka. Peristiwa yang telah lampau itu memang membingungkan sebab dalam kejadian-
kejadian diatas jelaslah bahwa urusan gereja telah bercampur-aduk dengan urusan Negara.

12. DS. WILHELM MEMPERKUAT KEDUDUKAN JEMAAT YANG MEMANGGILNYA.

Setelah Wilhelm ditetapkan menjadi pendeta Jemaat Kristen Jawa, segera ia membuat surat kepada
Gubernur Jenderal yang berisi permintaan, agar golongan Sadrach jangan digabungkan dengan gereja Negara
dan jangan disalurkan dibawah pimpinan salah seorang pembantu (Hulpprediker), sebab mereka tak
menginginkan hal itu. Mereka menginginkan tetap bebas dan berhak mempunyai pendeta Belanda. Dalam surat
itu dilampirkan surat yang menerangkan bahwa mereka dengan nama : Jemaat Kristen Jawa Mardika
(Pasamuwan Kristen Jawi Mardika), telah memanggil pendeta Wilhelm sebagai pendetanya dengan tanda
tangan 83 ketua kelompok. Surat itu bertangal 17 April 1883 sewaktu mereka berapat di Karangjoso.
Tentang nama Jemaat Kristen Jawa Mardika ini berarti bahwa jemaat ini tidak di bawah gereja Negara atau
Zending. Karena nama itu menunjukkan isi dan dasar hati Kyai Sadrach. Sadrach menarik bangsanya sendiri
menjadi Kristen bukan diajak untuk menjadi Belanda atau diajak untuk menjadi beban orang-orang Kristen
Belanda, melainkan diajak untuk berdiri sendiri, meskipun di tengah mereka bekerja seorang pendeta Belanda.
Inilah sikap yang patut dihargai, lebih-lebih pada saat itu. Walaupun kuno dan sederhana tetapi disini dapat
terlihat jiwa besar.
Sikap dan langkah Wilhelmpun sangat berharga, sebab dengan pengiriman surat pada Pemerintah Pusat ini
berarti ia berusaha agar supaya Jemaat Kristen Jawa Mardika dikenal, diakui dan dimengerti kedudukan serta
sikapnya oleh pihak Pemerintah. Inilah tindakan pertama dari Wilhelm untuk menguatkan status Jemaat yang
akan dilayani dan berdasarkan hukum yang berlaku.
Tindakan selanjutnya ia harus menghadapi pekerjaan raksasa yang tidak ringan didalam jemaat sendiri, baik
dalam kerohanian maupun organisasinya. Pekerjaan yang besar sebab jumlah murid Sadrach menurut catatan
baptisan ada 1.596 orang di Bagelen, di Banyumas mungkin separuh dari jumlah itu belum terhitung yang
didaerah Pekalongan dan sebagainya. Jumlah kelompok ada 23 buah, letaknya terpencar dimana-mana, sedang
transportnya sangat sulit. Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Wilhelm sebelumnya, terutama ketika pertemuan
dengan 83 utusan dari kelompok itu, dan ia tak menunjukkan keberatannya semua akan dikerjakan dengan
senang hati.
Sebelum Wilhelm bekerja di situ, dalam jemaat sudah ada peraturan-peraturan yang berjalan. Misalnya
Kebaktian Minggu di kelompok-kelompok dipimpin oleh tua-tua kelompok yang dapat membaca. Andaikata
Kebaktian Minggu belum dapat berjalan dalam suatu kelompok mereka datang ke kelompok lain yang terdekat.
Ditiap kelompok ditempatkan tua-tua yang disebut “kamitua”. Aturan-aturan lain yaitu pertemuan tigapuluh
lima hari sekali di Karangjoso. Dengan diatur demikian maka Jemaat dapat menampakkan ikatan yang besar dan
kuat. Jika mengingat kekristenan Sadrach, tentunya ia mendapat sedikit pengetahuan jabatan gerejani dari Ds.
Taffer, yaitu pengalamannya sewaktu ia menjadi murid Mr. Anthing di Batavia (Jawa Barat) dan Ds. Hoezoo di
Jawa Tengah dan Ds. Jellesma di Jawa Timur.
Cara Sadrach memimpin tidak dengan musyawarah atau pertimbangan-pertimbangan orang lain, tetapi
dengan cara memberi perintah, petunjuknya haru ditaati. Biasanya perintah atau pesan-pesan dan petunjuk-
petunjuk diberikan melalui pembantunya yaitu Markus dan Yohanes. Demikianlah bidang yang akan dikerjakan
oleh Wilhelm. Ia bekerja sendiri, sebab rekannya yaitu Bieger pada pertengahan tahun 1884 pulang ke negeri
Belanda.
Pada bulan Juni 1883, Sadrach dan Wilhelm pergi ke Boncon, selatan Purworejo, disitu diresmikan
berdirinya Gereja Kristen, dengan ditetapkannya tua-tua. Sejak tanggal 13 April 1884 Wilhelm telah
membaptiskan dipelbagai tempat jumlah 69 orang.
Dalam organisasi dibidang kegerejaan Wilhelm mulai dengan cara desentralisasi, mengingat luas dan
besarnya daerah kerja. Maka dibentuk Klasis, dimana jemaat-jemaat berkumpul dan diadakan Sinode setahun
sekali di Karangjoso. Pertemuan tigapuluh lima hari sekali kemudian diganti menjadi empat kali dalam setahun.
Tetapi ini hanya bertahan sampai tahun 1892, sebab orang-orang ingin erat hubungan antara guru dan murid.
Wilhelm dan Sadrach menerbitkan buku anggota dan buku baptisan. Dalam hal kerohanian, Wilhelm tahu
bahwa pengetahuan Alkitab sangat sedikit dan bercampur dengan kepercayaan lain. Kemudian ia membuat
Katechismus, Seratus empat cerita dan aturan-aturan Jemaat dan semuanya ditulis dalam bahasa Jawa.
Karena sedikit sekali orang dapat membaca dan menulis, ia mendirikan beberapa sekolah akan tetapi ia
merasa kekurangan tenaga sehingga ia minta kepada N.G.Z.V. untuk mendirikan sekolah calon Guru, serta
mengirim guru serta pendeta dengan tugas mengajar disekolah. Usul tersebut disetujui dan pada bulan Januari
1888, J.P. Zuiderma dikirim, lalu membuka sekolah guru yang diberi nama “KEUCHENIUSSCHOOL”.

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 18


GKJ Sabda Winedhar
Disamping itu Ds. Wilhelm juga mengajar dan memberi kursus-kursus kepada tua-tua kelompok untuk
menambah dan memperdalam pengetahuan Alkitab dan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam tugas
mereka sebagai tua-tua kelompok.

13. PRAKTEK-PRAKTEK KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN JAWA MARDIKA

Sebagai Jemaat muda, maka cara-cara melaksanakan hidup kekristenan sebagai pernyataan iman mereka,
tak dapat dilepaskan dari pengaruh kehidupan tradisional yang telah mengakar dalam diri mereka.
Dalam praktek-praktek jemaat ini adalah sebagai berikut:
a. Soal tempat kebaktian dan kebaktiannya.
b. Upacara Adat
c. Siasat dalam Jemaat
d. Pelayanan Sosial

A. Soal Tempat Kebaktian dan Kebaktiannya.

Bagi kelompok-kelompok yang belum ada gereja, maka kebaktian diadakan di rumah imam (Kamitua).
Istilah “imam” diambil dari istilah Islam, yaitu orang yang memimpin kebaktian pada hari Jumat. Sudah
menjadi kebiasaan di rumah Modin (yaitu orang yang mengurusi praktek-praktek yang berhubungan dengan
agama Islam), didirikan langgar. Modin inilah biasanya menjadi imam di Masjid.
Gereja-gereja didirikan secara gotong royong dengan bentuk dan kwalitetnya sejenis dengan rumah-rumah
sembahyang lainnya, yaitu Masjid. Seperti halnya di Masjid mempunyai bedug (alat bunyi-bunyian yang bisa
dipakai untuk memanggil orang-orang sembahyang), demikian juga dalam gereja Sadrach. Pernah ditanyakan
kepada Sadrach, mengapa memakai bedug. Jawab Sadrach, bahwa apa saja halal, asal dapat dipergunakan untuk
membangun dan memanggil jemaat.
Jika mereka akan membangun Gereja yang agak besar, dirapatkan dulu di Karangjoso, untuk mendapatkan
bantuan dari jemaat-jemaat lain. Mereka memandang gereja-gereja sebagaimana mereka memandang Masjid
sebagai tempat sembahyang. Soal mendirikan rumah sembahyang bukanlah hal yang baru bagi masyarakat.
Mereka tak pernah mengenal atau menerima bantuan luar negeri untuk mendirikan gereja.
Kebaktian dipimpin oleh tua-tua yang mereka sebut “imam”. Sebelum masuk gereja mereka mengucapkan
doa dua kali, demikian : ”Ya Bapa Kami, Tuhan Kami, Kami orang berdosa, kami mohon ampun. Amin”. Doa
ini adalah kebiasaan mereka pada saat itu.
Hal liturgi sudah ada ditiap kelompok, yang terdiri dari :
1. Pengakuan Iman Rasuli
2. Hukum Sepuluh dengan Matius 22 : 37-40
3. Doa syukur dan doa persembahan
Isi doa syukur sebagai berikut : “Oh Bapa kami, Putera dan Roh Kudus, mohon agar kami laki/wanita dapat
tetap teguh dalam memuji kepadaMu, Oh, mudah-mudahan kami diberi kekuatan didalam memuji NamaMu,
dihadiratMu, Oh Tuhan satu-satunya Bapa kami. Amin”.
Tentang nyanyian-nyanyian yang dipakai pada saat itu, yaitu dengan melodi Jawa dengan isi Doa Bapa
Kami, Pengakuan Iman Rasuli. Juga doa pagi dan doa makan dinyanyikan dalam lagu Jawa. Semua itu telah
disusun oleh Ds. Wilhelm. Ketika diadakan konferensi pada tahun 1885, para Zendeling membicarakan antara
soal melodi barat yang harus diperkembangkan dalam kebaktian.

B. Upacara Adat

Hidup kerohanian orang Jawa erat hubungannya dengan adat. Bagi orang-orang Kristen Jawa upacara
selamatan tetap ada, hanya beda cara-cara dengan yang dilakukan oleh orang-orang Jawa pada umumnya.
Orang-orang Kristen tidak memakai ijab Kabul. Ijab Kabul ialah mengesahkan upacara selamatan itu dengan
penyerahan makanan kepada roh-roh halus, disertai dengan membakar kemenyan untuk mohon berkat. Akan
tetapi selamatan yang dilakukan orang Kristen dipimpin oleh imam. Sebelum makan bersama imam berkata
(misalnya dalam upacara kandungan tujuh bulan) : “Marilah kita mulai dengan hidangan yang lezat ini sebagai
ucapan terima kasih kepada Allah, karena wanita yang mengandung itu, sampai saat ini keadaannya sehat dan
baik.”
Pada upacara sedekah bumi yang bertujuan mohon kesuburan tanah dan dijauhkan dari hama-hama. Orang-
orang Kristen memandang upacara ini sebagai penyembahan berhala, sebab mereka mempersembahkan sajian-
sajian tertentu untuk Dewi Sri dan Kala, sebelum tanam padi. Tapi bagi orang Kristen cukup mengadakan di
gereja, membaca Mazmur 1 dan menyanyi Mazmur 104. Imam menjelaskan bahwa pada jaman Adam ketika ia
akan mengerjakan tanah, terlebih dahulu ia mohon berkat kepada Tuhan. Sesudah kebaktian di gereja, mereka
makan bersama.
Pada upacara penguburan, dipimpin oleh imam dengan membaca doa yang sudah dibuat formulirnya
dengan kata-kata dalam bahasa Arab (ini dibuat oleh Sadrach) isinya sebagai berikut : “ Bagi yang meninggal
dunia sudah tidak ada persoalan apa-apa untuk membujur ke arah timur, barat, selatan dan utara. Dia telah

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 19


GKJ Sabda Winedhar
meninggal dan telah sempurna, kami berdoa kepadaMu ya Tuhan, sebagai sukma kepada sukma, kami
menyerahkan keadaan orang yang meninggal ini kepadaMu, Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang menentukan
Amin.” Kemudian berdoa lagi tanpa bahasa Arab, isinya : ”Oh Bapa kami, kami menyerahkan roh ini, semoga
selalu ada disisiMu. Agar roh itu kembali masuk dalam kesucianMu. Agar kamipun yang masih hidup di dunia
ini kelak kembali keasalnya pula. Amin.” Setelah imam menghadap keutara, ia pindah tempat menghadap ke
selatan dengan membaca doa bahasa Arab dan Jawa, yang isinya : supaya badan kembali kepada tanah dan
sukma kembali kepada Tuhan. Imam pindah lagi menghadap ke barat dengan doa setengah bahasa Arab dan
setengah bahasa Jawa, isinya : “Ya Tuhan di surga, yang dalam hakekatnya sifatnya dan Namanya adalah
kebenaran sejati sumber hidup manusia dan dunia. Dunia ini hanya sementara saja, tetapi Engkau kekal
selamanya. Amin.” Akhirnya ditutup dengan doa bahasa Arab. Sesudah itu menyanyi bersama. Di rumah
diadakan upacara selama tujuh hari dari hari kematian.
Sadrach mengatur upacara demikian dengan maksud menghilangkan ejekan orang Islam, yang mengatakan
bahwa orang Kristen jika meninggal dunia hanya di timbun dengan tanah tanpa selamatan, seperti mengubur
anjing saja.
Kebiasaan-kebiasaan yang mereka buang misalnya: pesta wayang, tayuban, ruahan
(memperingati/menghormati para leluhur yang sudah mati. Ini kepercayaan asli Jawa yang oleh Islam
diteruskan).
Sudah menjadi kebiasaan orang membaca rapal (rumusan doa tertentu untuk maksud-maksud tertentu) agar
tidak diganggu oleh roh yang menguasai tempat yang dituju, untuk ini Sadrach juga membuat rapal-rapal untuk
orang sakit, yang disertai dengan ludah, ditiup, digosok, obat Jawa, air kencing Sadrach dan sebagainya.
Hal lain yang menarik ialah upacara baptisan anak-anak. Air baptisan diambil dari sumber mata air, diberi
bunga-bunga, setelah upacara baptisan mereka berdoa dengan membakar kemenyan.
Demikianlah upacara adat masih hidup dalam hati mereka. Orang-orang Kristen tak mudah begitu saja
melepaskan diri dari hal-hal tersebut. Walaupun dengan tegas orang Kristen membuang beberapa kebiasaan,
tetapi masih banyak unsur-unsur kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Islam tetap hidup. Sadrach
memasukkan ajaran-ajaran Kristen melalui adat kebiasaan mereka agar ajaran itu berakar dalam hati orang-
orang Jawa.

C. Siasat dalam Jemaat

Setelah Wilhelm diangkat menjadi pendeta mereka, tata tertib Jemaat dapat diatur lebih luas menyangkut
segala segi kehidupan Jemaat. Dalam soal-soal khusus diadakan tata-tertib untuk mengadakan kesucian
gerejanya. Ini menyangkut soal siasat gereja. Banyak persoalan dari kelompok-kelompok yang berkenaan
dengan hidup sehari-hari.
Dalam rapat tiap 105 hari di Karangjoso dibicarakan hal-hal ini. Isi pembicaraan antara lain : tentang orang
yang ikut wayangan, tayuban, judi, mengadu jago, jinah, minum madat, pelanggaran hari Minggu, orang yang
menikah Islam, beristri dua, orang yang jarang kebaktian dan sebagainya. Beberapa laporan diantaranya
menyangkut hidup imam dan orang awam.
Didapati imam menari bersama dengan wanita dalam pesta tayuban. Imam ini diberhentikan dan diganti
yang lain. Pada hari Minggu ada imam yang berdagang sapi. Kemudian Sadrach datang sendiri membaca :
Kejadian-kejadian dan diberi peringatan. Kalau membandel dipecat. Ada lagi orang imam yang berjinah. Ia
tidak boleh mengimami selama 1 tahun. Setelah kelihatan bertobat dan taat, dengan pengakuan dosa dihadapan
Jemaat, ia diperbolehkan kembali sebagai imam.
Cara pengakuan dosa, dengan pertanyaan dan jawaban, disediakan air dan bunga. Air itu untuk cuci muka.
Disambut nyanyian bersama dengan melodi Jawa, isinya : Yakub 5 : 8-10. Dan kemudian ia diakui kembali
sebagai imam.
Ada seorang awam yang mengambil istri kedua, sebab istri pertama tak punya anak. Sebelumnya sudah
dinasehati dan diperingatkan oleh imam dan saudara lainnya. Tetapi tetap membandel. Ia disiasat. Istri yang
pertama diceraikan dan kawin dengan orang lain. Sebaliknya ada orang Islam yang beristri dua ingin menjadi
orang Kristen. Bagi mereka tak diharuskan cerai. Mereka harus menunjukkan kasih. Anak-anaknya dibaptiskan.
Tapi orang ini tak boleh menjadi imam.
Bagi orang Kristen yang tidak pergi ke gereja diberi peringatan sampai 1 tahun. Pernah ada yang
dikeluarkan dari Jemaat, sebab tak ikut ambil bagian dalam sedekah bumi cara Kristen.
Demikianlah Jemaat Kristen Jawa dalam menjaga kesucian gereja. Menurut kesaksian Pemerintah, hidup
kelompok orang Kristen Jawa cukup baik. Tak pernah ada yang berurusan dengan polisi. Tertib membayar
pajak. Tak pernah ada pencuri atau penjahat. Mereka hidup rajin, giat bekerja dan berkelakuan baik.

D. Pelayanan Sosial

Disamping hal tersebut diatas, jemaat ini juga tak melupakan tugas sosialnya. Di rumah Sadrach banyak
anak-anak terlantar diterima untuk bekerja di situ. Sadrach membeli tanah bekas tanah pabrik dengan uang
pinjaman. Tanah inilah yang dikerjakan oleh mereka. Mereka bekerja sambil berguru. Dalam kumpulan
tigapuluh lima hari sekali di Karangjoso orang membawa dan mengumpulkan uang untuk menolong orang
miskin. Dari uang itu ada yang dipinjamkan dengan bunga sangat rendah dengan maksud untuk melawan

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 20


GKJ Sabda Winedhar
praktek-praktek lintah darat. Pinjaman bunga hanya satu persen sebulan. Dalam enam bulan harus lunas.
Mereka mendirikan semacam bank kredit. Tiap setahun menyetorkan sepuluh sen, jadi tiap bulan satu duit
(duabelas duit setahun = sepuluh sen). Hal ini tak langsung diurus oleh Sadrach melainkan oleh anggotanya
sendiri.
Demikianlah praktek-praktek dalam kehidupan Jemaat Kristen Jawa. Wilhelm sebagai pendeta cukup berat
tugasnya. Di sini dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sebab Wilhelm harus menghadapi orang-orang Kristen
dimana kepercayaannya masih campur aduk dengan adat-adat yang bertentangan dengan iman Kristen. Rupanya
bagi orang Jawa, adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang itu, sukar sekali dilepaskan. Dalam hati mereka
masih ada rasa takut, baik takut terhadap kekuatan magis maupun takut dikatakan orang yang tak mau hidup
bermasyarakat sebab meninggalkan adat. Walaupun demikian mereka bangga dengan sebutan Kristen dengan
seorang bapak Sadrach, di tengah-tengah masyarakat yang tradisinya masih kuat.

14. TINDAKAN DAN KEPUTUSAN INSPEKTUR LION CACHET

Pertumbuhan Jemaat Kristen Jawa masih banyak kekurangan, ajaran-ajaran masih bercampur-baur. Namun
ciri-ciri yang demikian itu, bagi Wilhelm cukup dimengerti dan ia berusaha sebijaksana mungkin untuk
membawa Sadrach dan murid-muridnya ke arah hidup yang sesuai dengan Alkitab. Ia duduk berdampingan
sama tinggi di tengah-tengah jemaat ini.
Laporan-laporan Wilhelm kepada bestuur di Nederland (N.G.Z.V.) memang menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan. Majalah-majalah gerejani memuat perkembangan ini. Dan kenyataannya Wilhelmlah
yang mendapat tempat di hati Sadrach, diantara para Zendeling. Dialah yang menonjol baik dalam kerjasama
maupun hasilnya.
Pada saat itu daerah Banyumas bekerja Ds. Vermeer, di Pekalongan dan Tegal bekerja Ds. Horstman dan di
Purworejo, Zuidema bekerja sebagai guru sekolah Keuchenius. Mereka melihat sendiri bahwa pengikut-
pengikut Sadrach, dalam hidup kekristenannya sangat menyimpang. Banyak kritik-kritik/tuduhan yang
dilancarkan oleh para Zendeling ini, yang didasarkan praktek-praktek hidup mereka. Kritik-kritik berupa tulisan
tidak hanya ditujukan kepada Wilhelm saja sebagai rekan kerja, tapi juga kepada N.G.Z.V. di Nederland.
Keadaan yang kurang menyenangkan ini juga sering dibicarakan dalam Rapat Kerja.
Tahun 1891 berita tentang Sadrach sebagai orang besar dan terhormat serta disembah-sembah telah tersiar
dan tersebar dalam dunia Zending Gereformeerd. Sadrach disebut sebagai : Imam, Kyai, Kanjeng bapak,
sebutan-sebutan ini merupakan penghormatan dan untuk meninggikan Sadrach, yang tidak seharusnya demikian
bagi seorang pemimpin Kristen. Sadrach juga dipandang sebagai orang yang sakti sebab ia dapat
menyembuhkan orang sakit dan tempat tinggalnya merupakan tempat keramat yang tak sembarang orang kuat
menempatinya.
Horstman melaporkan bahwa ia melihat sendiri, pengikut Sadrach menganggapnya sebagai ganti yang akan
melaksanakan segala sesuatu. Lebih-lebih dengan gelar “Suropranoto” yang mengandung maksud keilahian
yang mengatur. Horstman juga melihat sendiri bahwa dimana nama Yesus diberitakan, tapi pikiran orang
diarahkan kepada Sadrach. Dikatakan bahwa Sadrach adalah jelmaan, yang tak dilahirkan, tak berobah, tak
sakit, tak mati, ia adalah pengejawantahan Kristus. Demikian kesan Horstman. Selanjutnya didengar pula
langsung dari pengikut Sadrach bahwa orang Yahudi adalah orang Jawa dan bahasa Jawa adalah bahasa orang
Yahudi. Injil dan Roh Allah diberikan dalam bahasa itu. Sebab itu Qur’an dengan bahasa Arab tak diperlukan
lagi. Mereka percaya bahwa Injil telah keluar dan diberitakan dalam bahasa Jawa dalam diri Sadrach. Mereka
percaya bahwa Injil dalam bahasa Jawa adalah text asli.
Murid Sadrach yang bernama Yeremia dan Yakub Tumpang yang giat mengadakan PI mengajarkan bahwa
Sadrach adalah Ratu Adil. Dalam rapat di Karangjoso, Yeremia telah mendapat peringatan tentang hal ini.
Tetapi menurut pengertian Yeremia, Kristus sebagai Ratu Adil telah menjelma dalam diri Sadrach, dan
dikatakan bahwa Kristus akan datang kembali menjelma sebagai Sadrach. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan
dengan Gusti dan Suropranoto, ini jelas dianggap sebagai ketuhanan yang mengatur, seperti gelar Raja Salad an
Yogya yang ada pada orang-orang atau pengikut-pengikut Sadrach dan penyelewengannya.
Pendeta Vermeer di Purbolinggo pun sependapat dengan Horstman sebab ia juga mengurusi orang-orang
Sadrach yang ada di daerah Banyumas. Demikian juga Zuidema mempunyai pandangan yang sama.
Bestuur N.G.Z.V. mempelajari semua laporan itu. Didalam mempertimbangkan laporan-laporan itu
dipelajari juga pekerjaan zending di Jawa Timur, juga tulisan Ds. Jans tentang Tunggul Wulung; ditambah lagi
pendapat Bieger ketika pulang ke Nederland. Semua ini berlawanan dengan laporan Wilhelm. Berstuur
N.G.Z.V. mengkhawatirkan jemaat Kristen Jawa yang cepat berkembang itu akan cepat layu pula.
Kemudian bestuur menetapkan untuk mengirim seorang inspektur untuk memeriksa seluruh pekerjaan
N.G.Z.V. di Jawa. Maka dipilih orang yang sudah berpengalaman salah seorang anggota bestuur yaitu Ds. F.
Lion Cachet, pendeta dari Rotterdam, yang pernah ke Afrika Selatan dan bergaul dengan pendeta-pendeta PI
dan orang-orang Negro.
Ia berangkat bulan Maret 1891 dan tiba di Batavia Juni 1891. Ia telah menulis segala pengalaman
perjalanannya ini dengan panjang lebar dalam bukunya yang berjudul : EENJAAR OP REIS IN DIENST DER
ZENDING. Dalam perjalanan ke daerah-daerah selalu disertai oleh pendeta setempat. Dan pada waktu
memeriksa daerah Bagelen, ia disertai oleh Pendeta Wilhelm.

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 21


GKJ Sabda Winedhar
Apa yang didapati di daerah Bagelen banyak persamaannya dengan apa yang dilaporkan Horstman,
Vermeer dan sebagainya. Sepanjang perjalanan Wilhelm selalu dimarahi. Beberapa pengalaman dalam
perjalanan ini yang memperkuat pendapat Lion Cachet, antara lain misalnya pada perjalanan di Kutoarjo. Ia
melihat Mbok Kadar sakit di pasar, lalu pergi ke Karangjoso minta air dari Sadrach, lalu diminumnya supaya
sembuh. Pernah Lion Cachet mendapat penghormatan bahkan disembah-sembah, dicium ujung sepatunya, tetapi
ia marah-marah. Bagi orang Jawa, sikap Lion Cachet aneh sekali, sebab pada umumnya orang menerima
penghormatan dengan senang hati, tetapi dia malah marah-marah. Bagi orang Jawa sudah biasa, bahkan sebagai
pelaksanaan hukum kelima.
Di desa Bulu Lion Cachet menjumpai orang yang mengatakan bahwa Gusti adalah yang membahagiakan
mereka. Kemudian Lion Cachet bertanya : siapa yang dimaksud Gusti itu ? Apakah Yesus atau Sadrach ? Sebab
pengikut Sadrach menyebut gurunya itu “Gusti” (Panutan) yang ditaati ajarannya dan nasehatnya. Dari
pernyataan Lion Cachet jelas bahwa sebelum datang ke Jawa ia sudah membawa prasangka.
Bagi Wilhelm yang mengetahui lebih banyak keadaan orang Jawa melihat sikap Lion Cachet itu kasar dan
menyakiti hati. Adat kesopanan Jawa tak dihiraukan sama sekali, bahkan ia sangat meremehkan. Apalagi ia
menganggap diri sebagai pemimpin mereka, kedudukan Sadrach direndahkan. Lion Cachet tidak mau menerima
jika orang memberikan penghormatan terhadap Sadrach. Bagi Lion Cachet adalah hal yang aneh atau tak
mungkin jika Sadrach memang mengajarkan murid-muridnya dengan sungguh-sungguh sebab pada
kenyataannya adalah penyelewengan.
Demikianlah hasil pemeriksaaan Lion Cachet terhadap Jemaat-jemaat Kristen Jawa. Memang sebelum
kedatangannya ia telah banyak dipengaruhi oleh laporan-laporan, hingga seolah-olah ia sudah menjatuhkan
vonis lebih dulu sebelum pemeriksaan. Dalam perjalanan di daerah Banyumas, Vermeer yang sudah lanjut usia,
dicela pekerjaannya, kemudian dipensiunkan. Tak lama kemudian Vermeer meninggal dunia pada saat Lion
Cachet masih di Purworejo. Setelah selesai pemeriksaan, para tenaga Zending berapat untuk mengambil
keputusan yang penting. Mereka sependapat bahwa Sadrach adalah guru yang menyeleweng dan menyimpang
dari ajaran Kristen, ini harus disingkirkan dari N.G.Z.V. termasuk juga pembantu-pembantunya. Dan melarang
pendeta Wilhelm mengadakan hubungan dengan mereka lagi.
Wilhelm harus ikut menanda tangani keputusan tersebut. Memang diakui bahwa banyak hal-hal yang masih
bercampur dengan kepercayaan lain, namun tidak berarti bahwa mereka harus dibubarkan. Menurut
pendapatnya dalah suatu tindakan yang kurang bijaksana. Sebab siapa yang dapat menilai kekristenan Jawa,
harus mengetahui betul-betul watak dan hati dan keistimewaan orang Jawa lebih dulu. Keistimewaan itu tak
terletak disepanjang jalan besar dimana mudah dapat dilihat oleh wisatawan yang hanya sepintas lalu. Tetapi ini
adalah suatu kekayaan yang terpendam dalam sekali. Dan ini hanya dapat ditemukan dengan cara hidup bersama
dengan mereka, hingga dapat mengenal betul-betul barulah memberi penilaian yang objektif.
Lion Cachet disini boleh dikatakan seperti kaum wisatawan yang hanya sepintas lalu mengenal orang Jawa,
apalagi sudah ada apriori. Keputusannya sangat tidak bijaksanan sebab ini berarti menutup kemungkinan untuk
memperbaiki kekurangan-kekurangan. Ini bisa berakibat seperti Gandum mati sebab ilalang dicabut. Semangat
untuk memurnikan gereja tidak bisa dengan jalan memecah. Dan ia tak menyadari bahwa pengikut Sadrach
sangat setia pada gurunya. Setelah keputusan ini Wilhelm datang di Karangjoso menyatakan bahwa keputusan
ini bukanlah kehendaknya. Ia hanya taat kepada pimpinan saja. Sebab kalau tidak demikian ia akan dipecat.
Dalam persoalan ini Sadrach menjawab dengan tegas bahwa jika Wilhelm dipecat oleh N.G.Z.V. orang Kristen
Jawa menyediakan tanah untuk hidupnya. Di sini nampak kepribadian dan jiwa besar yang sudah biasa tak
tergantung pada siapapun. Dan seharusnyalah Jemaat yang memikul keperluan pendetanya.
Wilhelm mengenangkan segala peristiwa tindakan Inspektur Lion Cachet yang sama sekali tidak mau
mengerti segala adat-istiadat orang Jawa, serta tak mau menerima segala keterangan yang diberikan. Sayang
pada peristiwa itu Wilhelm tidak mempunyai pembela. Ia tunduk pada putusan tersebut. Di dalam sekejap mata
ia tidak hanya kehilangan cita-citanya tetapi segala karyanya hancur berantakan. Tak lama ia menghayati
kehancuran ini. Sebelum Inspektur Lion Cachet tiba di tanah airnya di Nederland pada tanggal 3 Maret 1892
Wilhelm telah dipanggil oleh Tuhan ketempat baka pada usia 37 tahun.
Lion Cachet kembali ke Nederland pada tanggal 18 Januari 1892. Sepeninggalnya Lion Cachet, daerah
N.G.Z.V. di Jawa menjadi lebih parah, karena ada dua orang pendeta Zending telah meninggal dunia yaitu
Vermeer dan Wilhelm. Dua tenaga yang penting untuk daerah Jawa tengah bagian selatan, sebab nyata bahwa
keduanya itu adalah pendeta Belanda yang dapat bekerja dan mengerti sedalam-dalamnya rahasia-rahasia yang
dimiliki orang Jawa, hingga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setempat.
Dengan meninggalnya Wilhelm yang amat dikasihinya, Sadrach, Yohanes dan Markus dari Banjur, berikut
para pengikutnya berduyun-duyun datang di Purworejo mengikuti upacara pemakaman, menyatakan turut
berdukacita. Jasa Wilhelm tak mudah dilupakan oleh Sadrach dan Jemaatnya di daerah Karangjoso. Wilhelm
tetap diakui sebagai Pendeta dan guru yang bijaksana, yang mengerti akan sifat dan watak orang Jawa. Ialah
satu-satunya pendeta Belanda yang dapat bekerja sama dalam bidang PI diantara orang-orang Jawa yang masih
banyak kekurangan dan yang memerlukan bimbingan ke arah kemajuan.
Keputusan Lion Cachet dan meninggalnya Wilhelm niscaya menyebabkan kehancuran total. Segala
pengharapan bahwa Jemaat Sadrach akan kembali kepangkuan Zending lenyap sebagai asap dimalam buta.
Pintu yang semula terbuka lebar-lebar sekarang tertutup rapat-rapat. Dan akibat itu membawa kemunduran dan
kerugian yang besar di pihak N.G.Z.V. sendiri, sedang kedudukan Sadrach tak goyah sama sekali, bahwa
sepeninggalnya Wilhelm orang-orang Jawa tetap terikat dengan gurunya. Kewibawaan Sadrach tetap menguasai

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 22


GKJ Sabda Winedhar
orang-orang Kristen baik di daerah Bagelen maupun di daerah Banyumas dan Pekalongan. Anak-anak yang
bersekolah di sekolah Keuchenius yang diasuh oleh Zuidema, semuanya ditarik kembali ke kampungnya
masing-masing. Dengan demikian merupakan suatu pukulan yang hebat lagi dipihak N.G.Z.V. Lebih-lebih pula
jemaat-jemaat Jawa dalam wilayah N.G.Z.V. mengalami kehancuran total, yang semula jumlah anggota 6.374
orang dan kini hanya tinggal 150 orang saja meliputi daerah Bagelen, Banyumas dan Pekalongan. Di Jemaat di
Purworejo hanya terdapat 37 orang, daerah Temon 32 orang, daerah Tegal Pekalongan 60 orang dan daerah
Banyumas (Purbolinggo) kira-kira hanya 30 orang saja.
Setibanya Lion Cachet di Nederland, segera ia memberi laporan-laporan kepada bestuur N.G.Z.V. Dengan
terjadinya kemunduran Jemaat di Jawa Tengah bagian Selatan amat disedihkan dan disesalkan oleh Pengurus
tersebut, karena tindakan yang terburu-buru dari Lion Cachet. Bestuur mengalami kebingungan, karena apakah
yang harus dilakukan untuk mengembalikan jemaat-jemaat itu pada kedudukan semula. Ini berarti kerugian
besar bagi N.G.Z.V. dalam usaha-usahanya. Pada saat yang penuh dengan penyesalan itu, Lion Cachet mencoba
mengusulkan kepada Bestuur N.G.Z.V. mengutus seorang dokter Zending untuk daerah Purworejo. Ada
kemungkinan besar dengan jalan pengobatan akan membawa mereka kembali kepada jalan yang benar.
Usul disetujui, maka Dr. J.G. Scheurer diutus sebagai dokter Zending untuk melayani di daerah Bagelen. Ia
tiba di Batavia pada tanggal 9 Mei 1893. Sebelum ia ke Purworejo, untuk sementara ia tinggal di Solo perlu
belajar bahasa Jawa. Pada tanggal 13 Desember 1893 barulah ia tiba di kota Purworejo.

15. PENDETA L. ADRIAANSE

N.G.Z.V. merasa tidak ada kemampuan lagi untuk mengatasi Jemaat-jemaat terutama di daerah-daerah di
Jawa Tengah bagian Selatan. Maka tugas selanjutnya diserahkan kepada Deputaat Synode Gereja-gereja
Gereformeerd di Nederland bagian urusan Zending yang disebut : “ZENDING GERFORMEEDE KERKEN”
(ZGK). Tahun 1894 Synode menyetujui dan menerima baik tugas itu, mengingat bahwa Zending bukan tugas
perkumpulan diluar jemaat, tetapi adalah tugas Jemaat juga. Dengan demikian ZGK menerima daerah Jawa
Tengah yang keadaannya agak kacau itu.
Para Deputaten telah mengundang para pendeta dari Gereja-gereja di Nederland untuk mengadakan
Musyawarah Kerja. Maka oleh Deputaat Synode diminta kesediaannya supaya Gereja-gereja mengutus seorang
pendeta ke daerah Bagelen.
Ds. L. Adriaanse pendeta dari Gereja Gereformeerd di Zeist, menyatakan kesediaannya menjadi pendeta
utusan ke daerah yang parah itu.
Pada pertengahan Januari 1895, Pendeta Adriaanse tiba di Purworejo, berdiam di rumah Wilhelm yang
sudah 3 tahun ditinggal kosong. Dengan hati-hati ia mulai merintis kembali hubungan dengan Sadrach dan
jemaat di Karangjoso. Sikap Sadrach tetap terbuka, menerima baik dan ramah. Ini membuktikan bahwa Sadrach
bukanlah orang yang kasar dan suka permusuhan. Banyak petunjuk-petunjuk dan pelajaran dari Adriaanse untuk
membaptiskan orang-orang di desa Jenar. Tetapi sebelum ia melakukan pembaptisan itu, menurut Adiraanse
supaya orang-orang itu diberi pelajaran katekisasi lagi, dan inipun sangat disetujui oleh Sadrach. Ia mengadakan
perkunjungan kepada jemaat-jemaat Sadrach.. Jemaat-jemaat ini menerima baik pendeta Belanda asal bisa
kerjasama dengan gurunya. Dari pengalaman Adriaanse dalam pergaulannya dengan jemaat Sadrach, ia punya
harapan baik, namun ia tetap hati-hati dalam tindakannya. Pernah Adriaanse mendapat undangan untuk
melayani Kebaktian di Karangjoso pada tanggal 17 Mei 1896, tetapi ia tak berani mengambil keputusan sendiri
sebelum ia minta ijin kepada Nederland.
Segera ia mengirim surat kepada ZGK dan baru diijinkan dan dilaksanakan pada bulan Nopember 1896.
Jelas bahwa Adriaanse masih sangat hati-hati. Apalagi mengingat Zeidena dan Scheurer sebagai rekan kerjanya
masih menganggap bahwa Sadrach dan pengikutnya masih mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang
bercampur dengan ketahayulan. Dalam hal itu timbul kecurigaan Sadrach, tindakan-tindakan Pendeta Belanda
terlalu menggantungkan pada Nederland, hingga tak dapat mengambil keputusan sendiri, padahal menurut
Sadrach bahwa segala tindakan pendeta Belanda sama sekali tidak melanggar peraturan-peraturan Gereja-gereja
di Nederland. Sadrach ingin supaya Jemaatnya lebih maju dalam pengertian hal Kitab Suci. Bahkan Sadrach
lebih suka pendeta-pendeta Belanda mencampuri dalam memberi pelajaran-pelajaran sesuai dengan peraturan-
peraturan Gerejani, dan lebih suka lagi apabila orang-orang Kristen Jawa bisa meninggalkan adat-adat
kebiasaannya yang bersifat ketahayulan itu. Bagi Sadrach dalam hal ini cukup dimengerti, memang Sadrach
membiarkan mereka berbuat demikian asal tidak mengurangi kesungguhan mereka dalam menganut
kepercayaan Kristen. Karena adat-adat kebiasaan orang-orang Jawa itu sudah sedemikian berakar, maka usaha
Sadrach dalam pemberitaan Injil ia tidak meremehkan begitu saja nilai-nilai serta kebudayaan Jawa akan tetapi
adat-adat kepercayaan orang Jawa itu diarahkan kepada kepercayaan dan pertobatan serta penyerahan kepada
Tuhan Yesus Juruselamatnya.
Tetapi sayang, gereja-gereja di Nederland tidak percaya dan menyangsikan keadaan jemaat-jemaat yang di
kuasai Sadrach. Memang Hal ini oleh gereja-gereja di Nederland masing sangat disangsikan, lebih-lebih
Zuidema dan Scheurer; menurut pendapat mereka, Sadrach tidak mungkin dapat diperdamaikan. Anggapan-
anggapan ini menyukarkan Adriaanse menuju perdamaian, hingga ia tak berani bertindak menurut pikiran dan
hatinya sendiri. Padahal apa yang ia dengar dari Sadrach sendiri tentang pekerjaan Wilhelm hingga pada saat
meninggal dunia adalah amat berjasa dan boleh dipuji karena semua dilakukan dengan penuh kebijaksaan dan

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 23


GKJ Sabda Winedhar
pengertian; tapi sayang, apa yang dilakukan Wilhelm sama sekali tidak mendapat perhatian dari rekan-rekannya
sendiri dan N.G.Z.V. . sebaliknya malahan dituduh sebagai murid Sadrach yang murtad.
Inspektur Lion cachet yang telah melihat dari dekat pun tidak mau menerima keterangan-keterangan
Wilhelm malahan menuduh yang tidak-tidak bahwa Wilhelm tidak tegas dalam menjalankan tugasnya dan
sangat lemah menghadapi Sadrach. Adriaanse pun sangat menyesali peristiwa yang pahit dan menyedihkan itu,
tetapi Adriaanse pun tetap berlaku hati-hati untuk mengambil langkah mencegah pandangan-pandangan yang
salah atau kesalahfahaman dari rekan-rekan sendiri, hingga tidak terjadi peristiwa seperti yang dialami Wilhelm.
Kecurigaan Sadrach makin kuat, maka ia mengambil keputusan untuk mengokohkan pendiriannya bahwa
Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan “Kristen Londo”, karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan
adat serta pemikiran oang Jawa, asal tidak menyimpang dari kepercayaan Kristen.

16. SADRACH DIANGKAT MENJADI RASUL

Dalam situasi sedemikian, ada usaha dari Gereja Negara untuk menganeksasi. Tapi hal ini tidak mungkin
terjadi. Jemaat tidak setuju. Karena mereka menganggap bahwa Sadrach adalah nabi dari agama Kristen. Pada
saat itu Sadrach dihubungi oleh seorang Tionghoa anggota jemaat Kerasulan bernama Liem Tjhing Kiang yang
bertempat tinggal di Magelang, yang mempunyai juga hubungan dengan Mr. Anthing di Batavia.
Seperti telah diuraikan di atas, Mr. Anthing adalah seorang anggota “Het Genootschap voor In-en
Uitwendige Zending yang sangat aktif dalam Pemasyhuran Injil kepada bumi putera. Untuk keperluan PI
tentulah membutuhkan biaya-biaya, tetapi perkumpulannya di Negeri Belanda tidak dapat memenuhinya.
Kemudian ia mengadakan hubungan dengan jemaat-jemaat Kerasulan di London (Inggris). Adapun pendiri
jemaat-jemaat Kerasulan di London bernama Eduard Irving, ialah seorang pendeta Gereja Presbyterian di
London, yang tidak puas dengan kemerosotan hidup kerohanian gereja pada saat itu. Ia berpendapat bahwa
karunia rohani yang istimewa dari Tuhan tidak terbatas hanya pada jaman para Rasul saja, melainkan terus
sampai pada hari Tuhan (Kiamat).
Tidak adanya karunia rohani yang istimewa ia dalam gereja disebabkan oleh iman yang tipis, rendah dan tak
ada kesucian Gereja. Pendapatnya diperkuat oleh suatu peristiwa kesembuhan Isabela Campell yang telah lama
dan berat menderita sakit di Glasgow. Ini dipandang sebagai karunia Roh, banyak orang datang kesana.
Anggota jemaat di Glasgow disebut “orang” yang diterangi. Dalam Kebaktian banyak orang yang berbahasa
lidah, ini dianggap sebagai karunia roh, demikian pula anggapan Irving, Eduard Irving kemudian memberi
ajaran yang menyimpang dan mendirikan gereja di Newman Street. Gerakan ini berpendapat bahwa orde
kenabian timbul dalam gereja. Tak lama kemudian adalah seorang nabi telah ditunjuk sebagai Rasul. Jabatan
gereja terdiri dari : rasul, nabi, penginjil dan gembala. Pelaksanaannya : Pilihan untuk jabatan tahbisan pertama
telah dilakukan pada hari Natal 1832 di kota Albury, hingga tahun 1833 baru ada lima orang rasul. Setelah
genap duabelas rasul, mulailah pergerakkannya. Mereka berkumpul di Albury terutama untuk memperdalam
pengetahuan Alkitab dan mengatur gerejanya. Kemudian mereka berpencar kepelbagai tempat untuk
menjalankan tugas masing-masing dan tiap dua tahun sekali mereka berkumpul. Praktek Kebaktian mereka
seperti Yahudi dan Roma Katholik. Perjamuan Suci dilakukan tiap minggu. Kebaktian diadakan tiap hari
Minggu dua kali jam 06.00 dan 18.00. Dan jika ada yang melayani, tiap hari diadakan kumpulan doa jam 09.00
dan 15.00. Para rasul berhak membaptiskan orang. Sampai di Nederland-pun mereka telah mendirikan gereja
kerasulan, walaupun anggotanya hanya beberapa orang saja. Dalam suatu kebaktian hari Minggu, Mr. Anthing
hadir juga disitu. Dalam kebaktian itu ada orang perempuan yang bernubuat bahwa Mr. Anthing hendaknya
diangkat menjadi rasul di Indonesia. Nubuat ini diterima oleh Jemaat sebagai yang datang dari Tuhan.
Kemudian Mr. Anthing diangkat menjadi Rasul di Indonesia. Dan perempuan tersebut akhirnya dinikah menjadi
istrinya.
Setelah mereka berdua kembali ke Batavia, Mr. Anthing memulai dengan usahanya mendirikan gereja
kerasulan dan istrinya sebagai nabiah. Sebagai rasul ia membaptiskan orang. Sejak gereja itu didirikan ternyata
tak ada persoalan apa-apa, baik dari pihak Pemerintah maupun dari pihak gereja-gereja lain. Ini berarti bahwa
gereja Kerasulan itu diakui sah oleh Pemerintah. Tetapi setelah ia meninggal dunia, diantara murid-muridnya
banyak yang masuk gereja-gereja Zending. Hubungan antara Mr. Anthing dan Sadrach memang sangat erat.
Hati Sadrach sangat terharu ketika mendengar dari Liem Tjhing Kiang bahwa Mr. Anthing gurunya telah
meninggal dunia, maka ia berniat mengunjungi kuburannya untuk menyatakan penghormatannya, serta
menengok keluarga Anthing dan jemaatnya. Pada suatu hari ia berangkat menuju Batavia bersama Markus dan
Yotham Martorejo. Perjumpaan antara Sadrach dan Ny. Anthing mengingatkan kembali pada masa lampau.
Sadrach sangat tertarik ketika ia mengikuti kebaktian di jemaat kerasulan, apalagi posisi gereja kerasulan itu
bebas. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk masuk Kerasulan. Keputusan Sadrach yang sangat menentukan
itu memang dapat menimbulkan berbagai tafsiran yang berbeda-beda. Bisa dikatakan kedudukannya daripada
mempertimbangkan soal-soal ajaran agama Kristen. Bisa juga ditafsirkan sebagai keputusan untuk
mempertahankan pandangannya yang teguh bahwa kekristenan Jawa lain dengan kekristenan Belanda.
Sadrach ditahbiskan menjadi rasul Jawa pada tahun 1899 di Batavia oleh Rasul Hannibal, disaksikan oleh
para pembantunya yang setia yaitu Markus dan Yotham. Dengan demikian Sadrach diperbolehkan melayani
sakramen-sakramen gerejani: membaptiskan orang dan melayani perjamuan suci. Untuk pertama kali pada

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 24


GKJ Sabda Winedhar
tanggal 30 April 1899, ia melayani perjamuan suci di Karangjoso. Jemaat-jemaat yang dibawah pimpinan
Sadrach, setelah Sadrach diangkat menjadi Rasul mereka memutuskan hubungan dengan pendeta Adriaanse.
Dengan keputusan Sadrach itu, maka tertutuplah kemungkinan yang dirintis oleh Adriaanse. Kedudukan
Sadrach makin kuat, baik keluar maupun ke dalam. Gereja Kerasulan Jawa ini diberi nama Gereja Kerasulan
Zebulon. Walaupun secara lahir adalah Jemaat Kerasulan, tetapi dalam prakteknya sehari-hari tetap memakai
peraturan-peraturan yang lama yang sudah ditetapkan oleh Sadrach dan Wilhelm. Bedanya ialah sekarang
Sakramen-sakramen Gerejani dilayani oleh Sadrach sendiri dan pejabat-pejabat Gerejani ditambah sesuai
dengan gereja kerasulan misalnya: Imam, Opzicther, rasul dan sebagainya. Sadrach sebagai rasul jarang
berkeliling, tetapi cukup jemaat itu diperintahkan dari Karangjoso saja dibantu oleh Markus dan Yotham. Jaman
ini Sadrach dan jemaatnya sungguh-sungguh menikmati kemerdekaan Kristen. Tetapi sayang, dalam
kemerdekaan itu sama sekali tidak diisi untuk membangun dan memperluas jemaatnya menurut ajaran
Kerasulan. Apa sebabnya ? Mungkin Sadrach sendiri kurang jelas dengan ajaran-ajaran yang baru, atau takut
kalau dikatakan orang sebagai tukang merubah peraturan sehingga dalam hal ini membingungkan para
pengikutnya. Selama ini tidak ada peristiwa-peristiwa penting, hanya hubungan dengan gereja kerasulan di
Batavia tetap berlangsung, juga dengan gereja kerasulan di Cimahi Jawa Barat yang sekarang menjadi pusat
Gereja Kerasulan di Indonesia.

17. SADRACH MENINGGAL DUNIA; MASALAH GEREJA KERASULAN JAWA

Mulai tahun 1900 kejayaan Jemaat Kerasulan Jawa di Karangjoso dan nama Sadrach sangat termasyhur. Di
almanak tahun 1900 – 1925, nama Sadrach selalu dicantumkan sebagai Rasul Jawa Tengah, diakui sah oleh
Pemerintah, juga dalam Majalah-majalah Nederland Indie.
Sadrach telah lanjut usianya, maka segala pekerjaan di serahkan kepada pembantu-pembantunya : Yotham
Martorejo dan kawan-kawannya. Ia sering menderita sakit.
Pada tanggal 14 Nopember 1924 Sadrach menutup mata untuk selama-lamanya. Penguburannya dipimpin
oleh rasul Schmit dari Cimahi. Pendeta van Dijk dari Kebumen (sebelum dipindah ke Wonosobo) Bupati
Kutoarjo utusan dari jemaat-jemaat yang tersebar di Jawa Tengah datang untuk memberi penghormatan terakhir.
Sepeninggal Sadrach, Jemaat Karangjoso dan sekitarnya goncang. Sadrach sendiri tak berputra. Anak
angkatnya yaitu Yotham Martorejo yang memperoleh warisan sehingga sekarang rumah tempat tinggal Sadrach
oleh cucu Yotham.
Pribadi Yotham tak berwibawa, tak mudah menggantikan kedudukan Sadrach. Ia sebagai murid Zuidema,
hatinya cenderung untuk menyerahkan tugas kegerejaan kepada Zending. Tetapi rasul Schmit menghendaki
supaya orang lain menggantikan kedudukan Sadrach, jika Yotham tidak sanggup. Dalam suasana yang
demikian pernah datang seorang Pastoor berkunjung ke Karangjoso. Tak jelas apa yang dibicarakan. Baru
kemudian hari ternyata putera Yotham masuk Katholik.
Walau bagaimanapun keadaannya, Yotham menerima kedudukan sebagai pengganti Sadrach. Tetapi banyak
pemimpin kelompok tidak puas dibawah kepemimpinan Yotham. Akibatnya ada yang memisahkan diri, yaitu
Abraham Wongsorejo dari Wedi Klaten. Juga Wigyosastro. Kelompok dibawah pimpinan Wijoyo juga
memisahkan diri dan akhirnya menyerah kepada Zending pada tahun 1933, dan pula tak disangka-sangka
Abraham Wongsorejo menghubungi pendeta van Dijk, menyatakan diri kepada Zending dan oleh Zending ia
diangkat menjadi guru Injil di Wonosobo.
Akhirnya Yotham Martorejo pada tahun 1933 menyerahkan jemaat Karangjoso kepada Zending. Hal ini
sebenarnya sudah menjadi angan-angan Yotham setelah Sadrach meninggal dunia. Sesungguhnya tahun 1925
hingga tahun 1933 merupakan “tahun berantakan” bagi jemaat Karangjoso. Ada beberapa pemimpin yang tetap
mempertahankan ajaran Sadrach Naluri. Karena Jemaat Karangjoso sudah diserahkan kepangkuan Zending
dengan resmi, maka mereka yang tetap mempertahankan kerasulan telah memisahkan diri kepelbagai tempat,
misalnya di desa Ketug, di daerah Solo, Grojogan dan sebagainya.
Demikianlah Jemaat Kerasulan terpecah belah, ini sangat menyedihkan. Sedangkan Sadrach sebelum
meninggal dunia telah memberi pesan agar orang-orangnya jangan tercerai berai.
Pelaksanaan penyerahan pada saat itu, telah diadakan pertemuan antara pendeta-pendeta Zending dan
pemimpin-pemimpin kelompok jemaat Karangjoso untuk mengadakan pembicaraan bersama hal penyerahan
jemaat Sadrach kepada Zending. Dalam pembicaraan itu telah menelorkan suatu keputusan bahwa semua
Jemaat Kerasulan Sadrach diserahkan kepada Zending. Walaupun sudah demikian keputusannya, tapi ada
beberapa orang yang tidak setuju dan tidak rela dengan penyerahan itu, akhirnya mereka memisahkan diri dari
Jemaat Karangjoso. Penyerahan kepada Zending telah dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 1933.
Sejak itu Yotham oleh Zending diangkat menjadi guru Injil di Karangjoso. Ia mengajarkan seturut
peraturan-peraturan Gereja yang sudah ditetapkan, Yotham sebagai murid Zuidema yang setia telah mendapat
pelajaran-pelajaran cukup dalam pengertian ajaran Kitab Suci, hingga ajarannya tidak ada yang bertentangan
dengan peraturan-peraturan Gereja-gereja Zending. Adat-adat kebiasaan Jawa yang tercampur dengan
kepercayaan-kepercayaan tahyul dikalangan orang-orang Kristen makin hilang dan pengertian hal ajaran Kitab
Suci makin diperkaya.

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 25


GKJ Sabda Winedhar
Dengan kembalinya Jemaat Karangjoso kepada Zending, sejak saat itu juga, Jemaat Karangjoso dimasukkan
dalam wilayah Klasis Purworejo sebagai gereja yang belum dewasa. Hingga tahun 1936 jumlah anggota gereja
di Karangjoso 110 orang. Dan jumlah anggota dalam Klasis Purworejo 1575 orang.

Gereja-gereja yang termasuk lingkungan Klasis Purworejo adalah :

Purworejo sebagai ibu Jemaat 280 anggota


Temon (dewasa) 110 anggota
Kesingi (dewasa) 80 anggota
Pahlian (dewasa) 120 anggota
Kutoarjo (belum dewasa) 90 anggota
Dermosari (belum dewasa) 50 anggota
Geparang (belum dewasa) 100 anggota
Karangjoso (belum dewasa) 110 anggota
Tlepok (belum dewasa) 120 anggota
Pituruh, Jambean, Jenar-Purwodadi
Kaliboto, Kaligesing, tunggulrejo dan 515 anggota
Rejosari
Jumlah 1575 anggota

Dari jumlah tersebut belum termasuk Jemaat Magelang yang juga termasuk lingkungan Klasis Purworejo.
Jumlah anggota Jemaat Karangjoso tahun 1938 = 122 anggota dan tahun 1944 = 200 anggota.

18. TINJAUAN, ANALISA DAN PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN SEJARAH SADRACH

Dalam sejarah Sadrach ini perlu kita tinjau kembali, menganalisa dan mempertimbangkan apa yang telah
terjadi dengan aktivitas-aktivitas pada masa lampau hingga pada masa kini, dan masa akan datang. Sebagaimana
telah dikemukakan oleh W. Van de Meulen SJMA. Bahwa pengumpulan fakta-fakta sejarah saja belum cukup;
ia dapat menjadi barang yang mati, tanpa diaktualisir dengan peristiwa-peristiwa yang komplek dalam masa
silam dan kini. Tiap generasi menyumbangkan kreasinya sendiri. Sebab tiap generasi menjadi arsitek yang
dinamis untuk masa yang akan datang dengan warisan masa-masa yang lalu. Ini melalui kondituitas yaitu
pertalian yang bersifat peralihan apa yang telah lampau dan sekarang, perubahan dan pembaharuan. Dalam
proses peralihan ini sebagian memberi kepada masa kini sebagai pengaruh dan pelajaran-pelajaran penting.
Untuk menganalisa sejarah ini, kita tinjau beberapa hal-hal yang penting saja, yang boleh menjadi pegangan
kita.
Sejarah Sadrach ini dimulai dari pengembaraannya sebagai seorang santri sebelum ia menjadi orang
Kristen. Seperti yang telah diuraikan diatas. Sadrach berwatak keras dalam mencari kebenaran Allah. Ialah
seorang yang Progresif dan berjiwa bebas tidak suka dipengaruhi orang lain. Ia selalu berdiri menurut kehendak
dan pikiran sendiri. Pelajaran-pelajaran Islam walaupun itu telah memberi dasar permulaan sejak kecil tapi
itupun belumlah memberi kepuasan hatinya dan belum menjadi sasaran yang ia harapkan. Perkenalan dengan
Kristus atau agama Kristen melalui Jellesma, Hoezoo dan Tunggul Wulung belumlah mendalam, tetapi inilah
sudah menjadi suatu dorongan yang kuat untuk memperdalam lagi. Di tempat Mr. Anthing mulai terbentuk
kepribadian Kristen dengan mengambil keputusan hati untuk menerima baptisan. Ia dibina oleh ajaran gereja
Hervorm dari Gereja “Zion” di kota Batavia. Walaupun ia sudah menjadi orang Kristen, cerdas, mempunyai
cukup pengetahuan tentang Alkitab dan beriman, tapi padanya masih ada yang belum dibuang, ini menurut
kesaksian Mr. Anthing yaitu ada beberapa ilmu-ilmu Jawa yang ia telah mempelajari dari guru-guru ilmu
sebelum ia menjadi Kristen. Ilmu-ilmu itu ia pakai sebagai alat untuk mengalahkan orang-orang yang berilmu
sehingga mereka bertobat dan menjadi Kristen. Ilmu yang dimiliki Sadrach dirangkaikan dengan kepercayaan
Kristen. Ini ternyata pada waktu Sadrach berhadapan dengan guru-guru ilmu dimana ilmu yang Sadrach miliki
itu tidak dapat diketahui oleh mereka. Ini terjadi pada waktu Sadrach memberitakan Injil sebagai pembantu Ny.
Philips, dalam perjalanan ke Kutoarjo.
Sebaliknya segala ilmu yang dimiliki guru-guru itu sudah dimiliki juga oleh Sadrach. Adapun kelemahan-
kelemahan lain, Sadrach sebagai pemimpin Jemaat Kristen Jawa, kurang memperhatikan ajaran-ajaran Kitab
Suci dan membiarkan alat-alat kebiasaan orang Jawa yang bersifat ketahayulan tetap berjalan dalam Jemaat,
hanya beberapa macam saja yang dilarang mereka berbuat misalnya : Wayangan, tayuban, dan sebagainya yang
nyata sekali bertentangan dengan sepuluh hukum Tuhan. Lain dari pada itu, sebagaimana telah kita baca
dihalaman depan, rupanya Sadrach telah cenderung menjadi seorang yang sangat berpengaruh di kalangan
pengikutnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai macam anggapan dikalangan para pengikutnya yang
tidak lagi sesuai dengan Kitab Suci Injil. Sikap Sadrach yang tidak tega terhadap praktek-praktek pemujaan
orang terhadap dirinya justru merupakan titik pangkal yang melemahkan seluruh pelayanannya kepada
pekabaran Injil di tanah Jawa. Dipihak lain pemujaan yang berlebihan terhadap kepemimpinan Sadrach
menyebabkan tidak adanya orang lain yang mampu menggantikannya sehingga sesudah Sadrach meninggal

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 26


GKJ Sabda Winedhar
dunia dapat dikatakan bahwa persekutuan Kristen yang ia pimpin kemudian terpecah belah, serta makin lama
makin menipis, hal itu tentu patut disayangkan.
Tapi sebaliknya, Sadrach adalah orang yang sangat berwibawa. Ia sangat ditaati orang. Pengaruhnya sangat
besar dan tak mudah ditundukkan orang lain, dan berjiwa bebas lagi pula suka bergaul dengan siapa saja yang
dijumpainya. Baik kepada orang-orang yang berpangkat atau kedudukan tinggi maupun sampai yang rendah.
Hubungannya sangat luas. Hatinya sangat keras dalam arti kata keras mencari kebenaran Allah, tapi ia ramah
terhadap sesama orang, baik orang itu pernah menyakitkan hati atau tidak, pendiriannya selalu baik terhadap
siapa saja, hal ini ternyata pada waktu ia dipenjarakan karena dituduh melanggar peraturan pemerintah
(pencacaran) dan lebih-lebih direndahkan dihadapan orang banyak oleh Bieger. Apakah ia marah atau dendam
sekali-kali tidak. Ia terima segala hinaan dan fitnahan-fitnahan Bieger, sebagai suatu ujian imannya. Semua
diterimanya dengan besar hati. Dalam kenyataan ia telah mengangkat seorang pendeta Belanda utusan NGZV.
Yaitu Wilhelm menjadi pendetanya, dan apa yang diajarkan dan diatur oleh Wilhelm tak pernah ditentangnya.
Demikian pula dengan Adriaanse yang sangat diharapkan bantuan-bantuannya, tapi sayang, Adriaanse bertindak
terlalu hati-hati hingga selalu tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Adriaanse ingin merintis kembali
hubungannya dengan Sadrach tetapi ia kurang tegas dan terlalu takut kepada atasanya, hingga gagal. Apakah
jeleknya dan salahnya kalau Sadrach minta bantuan demi kemajuan jemaatnya, tetapi selalu terhambat, karena
Adriaanse tidak dapat mengambil keputusan sendiri selalu minta ijin dari negeri Belanda. Sebenarnya hal ini
sangat mengecewakan jemaat Sadrach di Karangjoso. Lebih-lebih ketika Lion Cachet dengan keputusannya
yang kurang bijaksana.
Akhirnya membawa kerugian besar dipihak Zending sendiri. Dengan keputusan itu berarti menutup rapat
bagi Jemaat Sadrach untuk mengadakan kontak dengan pihak Zending, ini berarti pula bahwa kemungkinan
untuk saling belajar juga tertutup. Lion Cachet seorang Belanda dan bertindak seperti orang Belanda terhadap
jemaat di negeri Belanda yang sudah banyak kemajuan dalam pengertian Alkitab. Dalam hal ini tentulah tak
dapat disamakan dengan keadaan orang Jawa. Pandangannya kurang sesuai dengan cara hidup orang Jawa.
Pertanyaan yang penting setiap kali muncul disini, bagaimanakah dapat menilai kekristenan orang Jawa dengan
segala watak dan hati dan serta keistimewaannya ? Kecuali orang yang dapat hidup bersama-sama, bergaul
bersama-sama dalam waktu yang lama. Hal ini tak dapat dipandang sepintas lalu saja sebagai kaum wisatawan.
Lion Cachet bertindak dan mengambil keputusan dengan apriori seperti kaum wisatawan saja, dan sangat
berbeda pandangannya dengan Wilhelm yang sudah bergaul bersama-sama hingga mengerti benar-benar apakah
yang dikehendaki dan cara bagaimana harus melayani jemaat yang masih terlalu kurang dalam pengertian
sebagai orang Kristen terhadap orang-orang Kristen Jawa. Ia merintis segala kesukaran-kesukaran yang ia
hadapi untuk menuju kearah kemurnian jemaat-jemaat Jawa dengan usaha membuka sekolah.
Ia mengetahui bahwa adat-adat kebiasaan orang Jawa memang tak mudah dibuang saja, bahkan semua harus
dilakukan dengan bijaksana dan penuh kesabaran. Perintisan dimulai dari pendidikan sekolah guru Injil bagi
anak-anak, dimana ia telah menganjurkan kepada jemaat-jemaat supaya orang-orang tua menyekolahkan anak-
anaknya. Ternyata tindakan dan usaha Wilhem membawa berkat Tuhan yang amat besar, dengan penambahan-
penambahan anggota jemaat yang tidak sedikit, baik di daerah Bagelen maupun sampai di wilayah Yogyakarta.
Jasa Wilhelm amat besar bagi Jemaat Jawa. Tetapi sayang usaha-usaha Wilhelm sangat ditentang oleh rekan-
rekannya sendiri yaitu Horstman, Vermeer dan Zuidema.
Apakah mungkin mereka iri hati, mengapakah Wilhelm dapat bergaul baik dengan orang-orang Jawa
sedangkan mereka tidak ? Dalam hubungan ini muncul suatu pertanyaan pokok dalam misi pekabaran Injil yang
dilakukan oleh gereja-gereja dari Barat : bagaimanakah kaitan antara kebudayaan dan Injil, seberapa jauhkan
Injil telah tercampur baur dengan kebudayaan barat dalam hal ini kebudayaan negeri Belanda ? bagaimana
hubungan antara identitas kulturil dan Injil keselamatan ? Sampai seberapa jauhkah perbedaan antara
kekristenan Jawa dan kekristenan Belanda ? Persoalan-persoalan itulah yang nampaknya terus menerus
digumuli oleh Kyai Sadrach terbukti ketika ia mengatakan bahwa Jemaat Kristen Jawa tidak ingin dijadikan
“Kristen Londo”, karena Kristen Jawa tetap menurut peraturan dan adat serta pemikiran Orang Jawa, asal tidak
menyimpang dari kepercayaan Kristen. Hal ini ternyata mereka telah memberikan laporan-laporan yang
bertentangan dengan laporan Wilhelm kepada NGZV, seolah-olah ingin menjatuhkan Wilhelm. Laporan-
laporan mereka lebih dikuatkan oleh kenyataan-kenyataan yang dilihat sendiri oleh Lion Cachet dari dekat,
ketika ia berjumpa dengan seorang yang menderita sakit dan ingin minta obat dari Sadrach dan mendengar
sendiri dari beberapa murid Sadrach dari hal kesaktian-kesaktian Sadrach dan sebagainya. Sayang, Lion Cachet
hanya banyak mendengar dari murid-murid Sadrach saja dan kurang menghubungi Sadrach sendiri, dan tidak
mengetahui benar-benar apa yang dilakukan oleh Sadrach sendiri. Ia tak menyadari bahwa pengikut-pengikut
Sadrach sangat setia pada Gurunya. Mereka menjunjung tinggi gurunya. Maka keputusan Lion Cachet itu benar-
benar menutup pintu segala kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan Jemaat tersebut Wilhelm
seolah-olah menjadi saingan besar terhadap rekan-rekannya sendiri. Soal ini berarti pihak Zending salah
bertindak meskipun tujuan dan maksudnya mungkin benar. Akhirnya membawa perpecahan, berantakan dan
kemunduran yang amat menyedihkan. Tetapi dipihak Sadrach tetap teguh, sedikitpun tak goyah. Pengikut-
pengikutnya tetap setia kepadanya. Akhirnya Sadrach memutuskan hubungan dengan Zending. Adapun
kerugian yang diderita oleh Zending adalah pertama kehilangan 2 pendeta utusan yaitu Wilhelm dan Vermeer.
Horstman kembali ke Nederland karena istrinya meninggal dunia. Murid-murid Sekolah Keuchenius ditarik
kembali oleh orang tuanya, hingga kosong dan anggota Jemaat Jawa dalam orang tuanya, hingga kosong dan
anggota Jemaat Jawa dalam lingkungan Zending sebagian besar meninggalkan Gerejanya, menurut catatan

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 27


GKJ Sabda Winedhar
mula-mula jumlah 6374 dan kini hanya tinggal 150 termasuk jemaat-jemaat : Purworejo, Temon, Tegal,
Pekalongan dan daerah Banyumas. NGZV, tidak berdaya lagi untuk menrintis kembali jemaat Jawa di Jawa
Tengah ini, maka mereka mencoba menyerahkan tugas ini kepada Synode Gereja-gereja Gereformeerd di
Nederland. Akhirnya Gereja-gereja ini mengutus Adriaanse, tetapi Adriaanse pun gagal usahanya.
Dalam situasi demikian itu, dalam keadaan yang masih keruh itu, datang seorang Tionghoa dari aliran
gereja Kerasulan di Magelang bernama Liem Tjhing King, mula-mula kedatangannya memberitahu tentang
meninggalnya Mr. Anthing yang saat itu sudah menjadi rasul di Indonesia. Inilah sebagai suatu dorongan mula-
mula masuknya Sadrach menjadi rasul, dasar pada saat itu Sadrach merasa bebas tidak tergantung lagi kepada
Zending maupun aliran lain. Ia bebas 100 %, dengan demikian maka baginya bebas untuk mengambil tindakan-
tindakan selanjutnya menurut kehendaknya sendiri. Dorongan menjadi rasul lebih dikuatkan ketika ia meninjau
keluarga Anthing dan menghadiri kebaktian di gereja Kerasulan. Kemudian ia menyatakan kesediaannya
diangkat menjadi Rasul. Sifat dan ciri Sadrach, ia selalu suka pada hal yang ia anggap baru. Hatinya sangat
tertarik masuk menjadi Rasul mengikuti teladan-teladan gurunya yaitu Mr. Anthing. Biasanya orang diangkat
menjadi rasul berdasarkan percaya akan nubuat-nubuat yang datang daripada Allah sendiri. Menurut
kepercayaan Gereja Kerasulan, Rasul itu harus tetap ada hingga akhir jaman. Orang yang diangkat menjadi
Rasul berhak melayani sakramen-sakramen gereja. Kedudukan inilah sebenarnya yang dikehendaki Sadrach
dimana ia dulu sebagai kaum awam tapi sekarang sebagai Rasul yang berhak melayani Baptisan dan Perjamuan
Suci, hingga tidak lagi memerlukan pendeta untuk melayaninya. Dengan pengangkatan Sadrach menjadi Rasul,
sebenarnya bagi Sadrach belum jelas, bagaimanakah peraturan-peraturan yang harus dipraktekkan, bukti bahwa
segala peraturan Gerejanya masih tetap memakai peraturan-peraturan yang lain, hanya ada beberapa
penambahan yang terdapat dalam jabatan-jabatan.
Ketika Sadrach meninggal dunia, terjadi kegoncangan. Jemaat Sadrach terpecah belah dan berantakan. Ini
sebenarnya hanya disebabkan Yotham yang menghendaki agar Jemaatnya diserahkan kepangkuan Zending. Ia
sendiri tidak ada kesanggupan untuk menggantikan kedudukan Sadrach. Yotham yang sejak muda menjadi
murid Wilhelm dan Zuidema di sekolah Keuchenius. Sedikit banyak ia telah memperoleh pengertian-pengertian
tentang Kitab Suci dan peraturan Gereja. Ia berpendirian lain dari pada Sadrach, bahkan ia lebih condong untuk
menyerahkan kepangkuan Zending. Angan-angan ini sebenarnya sudah ada sebelum Sadrach meninggal dunia,
ia sebenarnya tidak setuju dengan peraturan-peraturan adat-adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang Kristen
Jawa yang oleh Sadrach dibiarkan saja, dan lagi tentang pendirian gereja kerasulan dalam hati Yotham kurang
setuju, karena ia anggap menyimpang dari ajaran kitab suci. Tapi angan-angan tetap tinggal angan-angan saja.
Hal ini barulah terwujud setelah Sadrach meninggal dunia.
Rasul Schmidt dari Cimahi mencoba mempertahankan aliran kerasulan Sadrach, maka diusulkan supaya
mencari pengganti orang lain. Akhirnya Yotham menerima juga untuk menggantikan kedudukan Sadrach.
Sebenarnya Yotham sudah mempunyai rencana-rencana tertentu. Dengan menerima pengangkatan itu
termaksud hanya agar memuaskan rasul dari gereja Kerasulan dan pemimpin-pemimpin kelompok yang masih
setia kepada Sadrach. Hal ini terbukti dalam pimpinannya tidak dapat memuaskan kepada pemimpin-pemimpin
kelompok atau para imam. Karena itu beberapa pemimpin kelompok telah memisahkan diri dari Jemaat itu dan
akhirnya mereka telah menyatukan diri kepada Zending. Menurut Yotham, haruslah diadakan pembaharuan
Jemaat sebab mengingat tidak ada kemajuan sama sekali. Ia telah mengadakan musyawarah, dengan
mengundang beberapa pendeta Zending dan semua pemimpin kelompok bermaksud akan menyerahkan Jemaat-
jemaat Sadrach pengakuan Zending. Dengan senang hati Zending menerima baik, tetapi ada beberapa pemimpin
yang telah mempertahankan Naluri Kerasulan Sadrach. Mereka terpaksa memisahkan diri. Dan hingga kini
Jemaat Kerasulan Naluri tetap ada. Misalnya di desa Ketug, sebagai pemimpin sampai pada saat ini (akhir 1971)
ialah Bapak Martosugondo, yang masih keturunan Yotham Martorejo sendiri.
Jumlah anggota Jemaat hanya terdapat beberapa orang saja, sedangkan anak-anak dan cucu-cucunya tidak
mengikuti aliran itu. Mereka menjadi anggota Jemaat GKJ (Gereja Kristen Jawa). Jemaat Karangjoso
dipersatukan dengan jemaat-jemaat lain. Sebagai ibu jemaat adalah jemaat di Purworejo. Dengan demikian
sampai pada saat ini, adat-adat kebiasaan yang dulu masih berjalan dalam jemaat, ternyata sekarang sudah
lenyap sama sekali, nyanyian-nyanyian yang dipakai sekarang adalah Nyanyian Kidung seperti yang
dipergunakan di jemaat-jemaat lain. Liturgi Kebaktian dan peraturan-peraturan lain kini sudah sesuai dengan
Jemaat lain. Hingga pada saat ini (akhir 1971) sebagai guru Injil adalah Bp. Soeprapto Martoseputro, cucu dari
Yotham Martorejo.
Sampai pada saat ini juga di Karangjoso masih ada Gereja Kerasulan Baru, tapi ini bukan Gereja Kerasulan
naluri Sadrach. Gereja tersebut dalam corak dan bentuk lain, yang memakai bahasa campuran yaitu kotbah
dengan bahasa Jawa tetapi nyanyiannya bahasa Indonesia.
Demikian Sejarah Jemaat GKJ di Karangjoso dapat berjalan dengan baik karena berkat-berkat Tuhan
setelah mengalami berbagai proses yang tak mudah dilupakan dalam Sejarah Gerejani.
Bagaimana menilai orang seperti Kyai Sadrach ? Pertanyaan ini memang sulit sekali dijawab. Dan buku
kecil ini juga hanya semacam sketsa yang tidak memberikan penjelasan-penjelasan terperinci tentang masalah-
masalah tehologia yang dihadapi oleh Sadrach.
Namun, buku seperti ini sangatlah penting artinya. Sebab didalamnya dilukiskan pergumulan seorang
pemimpin agama Kristen di Jawa melawan otoritas Gereja resmi, badan Zending serta pemerintah kolonial
Belanda. Hal seperti ini belum pernah dikupas secara khusus dalam literatur Kristen. Sehingga sering

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 28


GKJ Sabda Winedhar
menimbulkan kesan ditengah masyarakat luas dan juga dikalangan warga Gereja, seolah-olah persoalan
semacam ini tidak pernah ada.
Masalah pokok yang bisa muncul dari buku kecil semacam ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut : Sampai seberapa jauhkah pekabaran Injil di Indonesia ini tercampur dengan unsur-
unsur kebudayaan Barat, khususnya kolonialisme ? Apakah perbedaan atau pertentangan antara kebudayaan
Barat dan kebudayaan Jawa dapat dianggap sebagai pertentangan antara Injil dan unsur-unsur kekafiran dari
kebudayaan Jawa ? Bagaimana hubungan antara identitas kulturil dengan pertobatan kepada Injil Yesus
Kristus ?
Riwayat Kyai Sadrach dalam buku ini sedikitnya menunjukkan bahwa pada waktu itu (pertengahan abad ke-
19), Gereja Kristen belum mampu memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu secara jernih. Sejarah akan
berkembang ke arah lain, seandainya gereja benar-benar taat kepada Tuhannya.

Rewriting by Pdt.Immanuel Adi Saputro 29


GKJ Sabda Winedhar

You might also like