You are on page 1of 25

Laporan Kasus

DISTOSIA BAHU

Oleh :

Iwan Kurnia
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
Obstetri dan Ginekologi

Pembimbing :

dr. Taufik Z, SpOG (K)

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


Department Obstetri dan Ginekologi
RS. Fatmawati
Jakarta, Oktober 2006
BAB I
PENDAHULUAN

Insidensi distosia bahu amat bervariasi tergantung kriteria diagnosis yang


digunakan. Sebagai contoh, Gross dan rekan (1987) berhasil mengidentifikasi
0,9 persen dari hampir 11.000 persalinan pervaginam yang dikategorikan
sebagai mengalami distosia bahu di Toronto General Hospital. Meski demikian,
distosia bahu sejati—yang baru didiagnosis ketika diperlukan manuver lain selain
traksi ke bawah dan episiotomi untuk melahirkan bahu—hanya ditemukan pada
24 kelahiran (0,2 persen). Trauma nyata pada janin ditemukan hanya pada
distosia bahu yang memerlukan manuver untuk melahirkan. Laporan-laporan
terkini, yang membatasi diagnosis distosia bahu pada pelahiran yang
memerlukan manuver, menyatakan insidensi yang bervariasi antara 0,6 sampai
1,4 persen (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000; Baskett
and Allen, 1995; McFarland et al, 1995; Nocon et al, 1993).
Berkisar dari 1 per 1000 bayi dengan berat badan kurang dari 3,500g, sampai
16 per 1000 bayi yang lahir di atas 4000 g. Di samping banyak studi untuk
mengidentifikasi faktor predisposisi distosia bahu, lebih dari 50% kasus terjadi
tanpa adanya faktor resiko. Distosia bahu dapat menjadi salah satu dari
keadaan darurat yang paling menakutkan di kamar bersalin. Walaupun banyak
faktor telah dihubungkan dengan distosia bahu, kebanyakan kasus terjadi
dengan tidak ada peringatan.
Kasus ini diangkat sebagai salah satu kejadian distosia bahu yang tidak
diperkirakan sebelumnya dan bagaimana penanganan yang dilakukan dalam
mengatasi masalah tersebut baik dalam hal maneuver yang dipilih dalam
mengatasinya dan tindakan-tindakan yang dilakukan setelah bayi lahir, dalam hal
ini termasuk resusitasi neonatus. Semoga dengan dibawakannya kasus ini dapat
menjadi pelajaran bagi kita akan kasus tersebut.

2
BAB II
Ilustrasi Kasus

Ny. M, 29 tahun, datang ke kamar bersalin RS Fatmawati pada tanggal 12


Oktober 2006 pukul 05.00 WIB dirujuk bidan dengan keterangan tekanan darah
tinggi. Pasien mengaku hamil 9 bulan dengan hari pertama haid terakhir (HPHT)
1 Januari 2006 dan taksiran partus (TP) 8 Okrober 2006, sesuai dengan hamil 41
minggu. Selama ini pasien memeriksakan kehamilannya di bidan secara teratur.
Pada pasien tidak ada keluhan demam, batuk pilek dan keputihan. Buang air
besar dan buang air kecil pasien juga tidak ada keluhan. Riwayat tekanan darah
tinggi selama kehamilan dan pada kehamilan sebelumnya tidak ada, pasien
mengeluh mules-mules, gerakan janin dirasakan normal dan keluar air-air sejak
3 jam yang lalu. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga tidak ada yang bermakna.
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, kehamilan ini merupakan kehamilan
yang ketiga. Anak pertama dan kedua lahir spontan di bidan dengan berat lahir
masing-masing 2100 gram dan 3800 gram, usia 9 tahun dan 4 tahun, tidak ada
penyulit dalam kehamilan dan kelahiran sebelumnya. Pasien menikah satu kali
pada bulan Juni 1994. Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi
sebelumnya. Siklus haid sebelum hamil teratur dengan siklus 30 hari, lama
menstruasi 5 hari, 3 kali ganti pembalut perhari dan tidak ada keluhan nyeri haid
sebelumnya. Pasien haid pertama kali di usia 14 tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 180/110 mmHg,
frekuensi nadi 92 kali permenit, suhu 36,9 0C dan frekuensi nafas 20 kali
permenit dengan status generalis lain dalam batas normal dengan edema pada
extrimitas. Pada pemeriksaan status obstetrikus didapatkan tinggi fundus uteri
(TFU) 39 cm, presentasi kepala, taksiran berat janin (TBJ) 3700 gram, his 3x/10
menit lamanya 40 detik dengan kekuatan sedang relaksasi baik, dan denyut

3
jantung janin (DJJ) 140 dpm. Hasil inspeksi vulva dan uretra tenang. Pada
pemeriksaan dalam diperoleh porsio tipis, pembukaan 7 cm dengan kepala di
Hodge II, UUK kiri lintang dan selaput ketuban negatif. Hasil pelvimetri klinis
kesan panggul luas dengan imbang feto-pelvik baik
Pemeriksaan ultrasonography (USG) di kamar bersalin tampak janin
presentasi kepala tunggal hidup intra uterin dengan diameter biparietal (DBP) 9,6
cm, abdominal circumference (AC) 34,5 cm, femur length (FL) 7,5 cm, head
circumference (HC) 34,2 cm dengan taksiran berat janin (TBJ) 3650 gram,
plasenta di fundus dan index cairan amnion (ICA) 8. Kesan hamil aterm janin
presentasi kepala tunggal hidup (JPKTH).
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 11,8 g/dl, hematokrit 34%,
leukosit 18.200/ul, trombosit 261.000/ul, MCV 91 fl, MCH 32 pg, dan MCHC 35
g/dl, gula darah sewaktu 76 mg/dl Hasil urinalisis didapatkan protein positif dua.
Hasil cardiotokography (CTG) janin reaktif dengan frekuensi dasar 146,
variabilitas 5 -20 dengan akselerasi dan tanpa deselerasi.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G3P2 hamil 41 minggu,
janin presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 3 jam, air ketuban
berkurang, PK I aktif dengan Pre-eklampsia berat. Setelah dilakukan analisis
terhadap masalah tersebut diputuskan untuk dilakukan persalina pervaginam
dengan observasu ketat terhadap his, denyut jantung janin, tanda vital ibu dan
tanda-tanda infeksi intra-partum maupun kompresi tali pusat selama persalinan,
serta observasi terhadap tanda-tanda perburukan PEB. Pasien mendapatkan
terapi antibiotik intravena kedacillin 3x1 g, dan tatalaksana PEB.
Dalam 2 jam observasi pasien mengeluh ingin meneran, tanpa adanya
keluhan yang mengarah kepada perburukan PEB, gerak janin saat itu masih
dirasakan normal oleh pasien. Tekanan darah 180/100 mmHg, frekuensi nadi
104 x/mnt, suhu afebris dan frekuensi nafas 24 x/mnt dan status generalis lain
dalam batas normal. Pada status obstetrikus didapatkan his 3x dalam 10 menit
durasi 50 detik sedang relaksasi baik dengan djj 130 dpm, pemeriksaan dalam
sesuai dengan PK II, kepala di Hodge III+ dan ubun-ubun kiri lintang, moulage
dan kaput tidak ada. Ditegakkan masalah PK II dengan PEB tekanan darah

4
fluktuatif dan direncanakan untuk mempercepat persalinan dengan ekstraksi
vakum. Dengan ekstraksi vakum lahir kepala bayi dalam 5 menit, cup vakum
dilepaskan dan jalan nafas bayi dibersihkan, dengan pegangan biparietal dicoba
dilahirkan seluruh bagian janin, namun sulit, kesan terjadi distosia bahu,
dilakukan manuver McRobert bahu masih belum lahir, dilakukan woods
cockscrew manuver. Lahir berturut-turut bahu depan,belakang Dengan tarikan
pada ketiak, dilahirkan badan, bokong, kaki dalam waktu 7-8 menit. Lahir bayi
laki-laki, BL 3900 g, PB 51 cm, AS 1/3/5, kaput (+). Bayi tidak menangis, djj <
100 dpm, pucat, lethargi, air ketuban hijau kesan bayi tidak bugar, dicoba untuk
melakukan intubasi namun tidak dapat dilakukan karena alat tidak ada, dilakukan
resusitasi neonatus dgn VTP, pemberian Meylon 6 cc dan Adrenalin 1 cc,
selanjutnya perawatan oleh teman sejawat dokter anak.
Lima belas menit setelah bayi lahir, lahir plasenta lengkap 500 gram
dengan panjang tali pusat 48 cm dan ukuran 17 cm x 16 cm x 3 cm. Pada
eksplorasi selanjutnya didapatkan luka episiotomi sesuai ruptur perineum grade
II. Perdarahan kala III-IV 250 cc.
Pasien sempat dirawat 2 hari di ruangan dan kemudian pulang dalam
keadaan baik dengan hasil TTGO normal. Bayi meninggal dalam 3 hari
perawatan di NICU. Selama perawatan di NICU, bayi tidak pernah dijenguk oleh
keluarganya dan obat-obatan tidak ada yang menebusnya sehingga selama
perawatan di NICU bayi tidak mendapatkan pengobatan apapun.

5
BAB III
Kepustakaan dan Pembahasan

Terdapat sejumlah bukti bahwa insidensi distosia bahu meningkat sejak


tahun 1960 sampai 1980 (Hopwood, 1982). Hal ini tampaknya disebabkan oleh
peningkatan berat lahir. Modanlou dan rekan (1982) menyatakan bahwa
neonatus yang mengalami distosia bahu memiliki disproporsi bahu-kepala dan
dada-kepala yang secara nyata lebih besar dibanding dengan bayi lain yang
sama-sama makrosomik yang dilahirkan tanpa distosia. Tampaknya
kecenderungan peningkatan insidensi distosia bahu sebagian disebabkan oleh
meningkatnya perhatian terhadap dokumentasinya yang tepat (Nocon dan rekan,
1993).
Definisi :
- Impaksi bahu depan di atas symphysis
- Ketidak-Mampuan untuk melahirkan bahu dengan metoda umum
Setelah kepala lahir, terjadi impaksi bahu depan pada symphysis pubis dalam
diameter AP, sedemikian rupa sehingga sisa badan tidak dapat dilahirkan
dengan metode umum. Mungkin terjadi ketiadaan rongga antara Kepala bayi
terhadap panggul maternal umumnya dikanal sebagai " tanda kura-kura". Dalam
hal ini resusitasi tidak mungkin dilakukan.
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu
untuk melipat kedalam panggul (mis. pada makrosomia) disebabkan oleh fase
aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan
kepala yang terlalu cepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada saat
melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah
mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu berhasil melipat masuk ke dalam
panggul.

6
Gambar 1. Turtle Sign

Penggunaan manuver untuk menetapkan adanya distosia bahu telah menuai


kritik (Beall et al, 1998; Spong et al, 1995). Pada pelahiran yang diperkirakan
akan terjadi distosia bahu, satu atau lebih manuver mungkin digunakan sebagai
profilaksis, tapi diagnosis distosia bahu tidak tercatat. Pada kasus lain, satu atau
lebih manuver digunakan dan menghasilkan penyelesaian distosia bahu dengan
cepat dan hasil akhir yang baik, dan diagnosisnya tidak jelas. Spong dan rekan
(1995) mencoba mendefinisikan distosia bahu secara lebih obyektif dengan
menyaksikan 250 pelahiran yang dipilih secara acak dan menghitung interval
waktu sejak pelahiran kepala, bahu, sampai pelahiran lengkap seluruh anggota
badan. Insidensi yang didefinisikan sebagai penggunaan manuver obstetrik lebih
tinggi daripada yang dilaporkan sebelumnya (11 persen); namun, hanya
setengah dari kasus ini yang terdeteksi oleh dokter. Rerata waktu pelahiran
kepala-sampai-tubuh pada kelahiran normal adalah 24 detik, dibanding 79 detik
pada kasus-kasus distosia bahu. Mereka mengajukan bahwa waktu pelahiran
kepala-sampai-tubuh yang lebih dari 60 detik dianggap sebagai distosia bahu.

Komplikasi distosia bahu meliputi:

7
- Fetal/Neonatal
- Kematian
- Hypoxia/Asphyxia Dan Sequelae
- Perlukaan kelahiran
- Faktur klavikula-humerus
- kelumpuhan plexus brakhialis
- Maternal
- Perdarahan postpartum
- Atoni
- Laseasi jalan lahir
- Ruptur uteri

Asfiksia janin sekunder akibat kompesi tali pusat dapat mengakibatkan


kerusakan syaraf permanen dan bahkan kematian. Dalam menggunakan bayi
monyet pH bayi turun 0.04/min ketika tali pusat secara total dihambat. Jadi, jika
terjadi sumbatan total tali pusat selam 7 menit, pH hanya akan turun 0.28. Dalam
distosia bahu, kecuali jika tali pusat telah dijepit dan dipotong maka sirkulasi ibu–

8
janin telah tiada sehingga kemungkinan untuk terjadi hypoxia janin akan semakin
berkurang.
Rusaknya plexus brachialis umumnya terjadi akibat traksi lateral kepala
janin yang berlebihan. Kerusakan akar syaraf umumnya terjadi setinggi C5 Dan
C6 yang dapat berakibat lumpuh Erb-Duchenne.

KONSEKUENSI PADA IBU. Perdarahan pospartum , biasanya disebabkan oleh


atonia uteri, tapi bisa juga akibat laserasi vagina dan serviks, merupakan risiko
utama kematian ibu (Benedetti dan Gabbe, 1978; Parks dan Ziel, 1978). Infeksi
masa nifas setelah seksio sesarea tetap merupakan suatu masalah.

KONSEKUENSI PADA JANIN. Distosia bahu dapat dihubungkan dengan


morbiditas dan bahkan mortalitas janin yang signifikan. Gherman dan rekan
(1998) meninjau 285 kasus distosia bahu dan 25 persennya dihubungkan
dengan cedera pada janin. Kecacatan pleksus brakhialis sesaat adalah jenis
cedera yang paling sering, mencapai dua pertiga kasus; 38 persen mengalami
fraktur klavikula, dan 17 persen menderita fraktur humerus. Terdapat satu kasus
kematian neonatal, dan empat bayi mengalami cedera pleksus brakhialis
persisten. Pada rangkaian penelitian ini, hampir separuh kasus distosia bahu
memerlukan manipulasi janin langsung, seperti manuver Woods, selain prosedur
McRoberts, untuk membebaskan bahu yang terjepit. Namun, dibanding
penggunaan prosedur McRoberts sendiri, manipulasi janin langsung tidak
dihubungkan dengan peningkatan angka cedera janin.

CEDERA PLEKSUS BRAKHIALIS. Cedera pada pleksus brakhialis dapat


terletak di bagian atas atau bawah dari pleksus tersebut. Hal ini biasanya terjadi
akibat traksi pleksus brakhialis ke bawah pada pelahiran bahu depan. Erb palsy
terjadi akibat cedera pada saraf spinalis C5-6 dan terkadang juga C7. Kelainan ini
terdiri atas paralisis otot-otot bahu dan lengan atas yang mengakibatkan lengan
atas menggantung yang dapat mencapai siku. Keterlibatan saraf-saraf spinal
bawah (C7-T1) selalu melibatkan cedera pada saraf di atasnya dan menyebabkan

9
kecacatan termasuk pada tangan, yang dapat mengakibatkan deformitas
clawhand. Hardy (1981) mempelajari prognosis pada 36 bayi dengan cedera
pleksus brakhialis. Yang menarik, distosia bahu ditemukan hanya pada 10
kasus, dan dua di antaranya dilahirkan per abdominam. Hampir 80 persen dari
anak-anak ini sembuh sempurna dalam waktu 13 bulan, dan di antara yang
mengalami defek residual tidak ada yang menderita defisit sensorik maupun
motorik berat pada tangan. Jennett dan rekan (1992) serta Gherman dan rekan
(1999) mengajukan bukti bahwa cedera pleksus brakhialis dapat mendahului
pelahiran itu sendiri dan dapat terjadi bahkan sebelum persalinan.

FRAKTUR KLAVIKULA. Fraktur klavikula relatif sering terjadi dan telah


didiagnosis pada 0,4 persen bayi yang dilahirkan per vaginam di Parkland
Hospital (Roberts et al, 1995). Fraktur jenis ini, meski terkadang dihubungkan
dengan distosia bahu, sering terjadi tanpa kejadian klinis apapun yang
mencurigakan. Para peneliti menyimpulkan bahwa fraktur klavikula tersendiri
tidak dapat dihindari dan diramalkan serta tidak memiliki konsekuensi klinis
apapun (Chez et al, 1994; Roberts et al, 1995).

PERKIRAAN DAN PENCEGAHAN DISTOSIA BAHU. Terjadi evolusi pemikiran


yang cukup besar di bidang obstetrik mengenai kemampuan untuk mencegah
distosia bahu selama dua dekade terakhir. Selama tahun 1970an, saat praktek
seksio sesarea meningkat dengan cepat, diharapkan sejumlah faktor risiko pada
kehamilan dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang membutuhkan
seksio sesarea untuk mengatasi distosia bahunya. Namun, selama tahun
1980an, tampak jelas bahwa angka persalinan sesar cenderung berlebihan.
Juga menjadi jelas bahwa meramalkan—untuk kemudian mencegah—distosia
bahu tidaklah mudah. Meski tampaknya beberapa faktor risiko jelas
berhubungan dengan distosia bahu, tidak mungkin dilakukan identifikasi aktual
terhadap contoh-contoh individual sebelum faktanya dibuktikan.

10
FAKTOR RISIKO. Sejumlah karakteristik pada ibu, janin dan intrapartum sering
dihubungkan dengan terjadinya distosia bahu (Baskett dan Allen, 1995; Nesbitt
et al, 1998; Nocon et al, 1993). Beberapa faktor risiko pada ibu, termasuk
obesitas, multiparitas, dan diabetes, berpengaruh terhadap distosia bahu akibat
hubungannya dengan peningkatan berat lahir. Contohnya, Keller dan rekan
(1991) mengidentifikasi distosia bahu pada 7 persen dari kehamilan dengan
penyulit diabetes gestasional. Serupa dengan hal itu, hubungan antara
kehamilan lewat waktu dengan distosia bahu tampaknya disebabkan karena
banyak janin terus tumbuh setelah usia 42 minggu .
Penyulit intrapartum yang dihubungkan dengan distosia bahu adalah
pelahiran dengan forseps tengah (midforceps) serta persalinan kala satu dan
kala dua yang memanjang (Baskett dan Allen, 1995; Nocon et al, 1993). Namun,
McFarland dan rekan (1995), dengan menggunakan kelompok kontrol yang
setara, menemukan bahwa kelainan pada persalinan kala satu dan kala dua
bukan merupakan petanda klinis yang berguna untuk meramalkan terjadinya
distosia bahu.
Faktor Resiko
- Kehamilan Post-Term
- Maternal obesitas
- Makrosomia janin
- Riwayat distosia bahu sebelumnya
- Persalinan yang prolonged
- Kencing manis yang kurang terkontrol

Walaupun banyak orang berasumsi bahwa kencing manis adalah faktor


resiko yang utama untuk distosia bahu, hal ini hanya terjadi jika diabetes yang
kurang terkontrol dan berhubungan dengan maternal obesitas. Maternal obesitas
Dan kehamilan Post-Term adalah faktor yang paling sering mengakibatkan
terjadinya suatu distosia bahu.
Benang merah yang menghubungkan semua laporan penelitian mengenai
faktor risiko untuk distosia bahu adalah peningkatan berat lahir (Nesbitt et al,

11
1998). Tabel dibawah ini menyajikan insidensi distosia bahu yang dihubungkan
dengan pengelompokan berat lahir di Parkland Hospital selama tahun 1994.
Jelas terlihat bahwa distosia bahu lebih sering terjadi pada berat lahir yang lebih
besar; meski demikian, hampir separuh kelahiran dengan distosia bahu memiliki
berat kurang dari 4000 g. Kenyataannya, Nocon dan rekan (1993) menemukan
distosia bahu pada bayi dengan berat lahir 2260 g. Walaupun demikian,
sejumlah penulis (O'Leary, 1992) menyarankan untuk mengidentifikasi
makrosomia dengan ultrasonografi dan untuk lebih bebas melakukan seksio
sesarea pada distosia bahu. Yang lain tidak setuju dengan konsep bahwa seksio
sesarea diindikasikan untuk setiap janin yang diketahui berukuran besar, bahkan
pada janin yang diperkirakan beratnya lebih dari 4500 g. Rouse dan Owen
(1999) menyimpulkan bahwa kebijakan untuk melakukan seksio sesarea
profilaktik untuk bayi-bayi makrosomik akan menyebabkan dilakukannya lebih
dari 1000 pelahiran sesar untuk menghindari satu cedera pleksus brakhialis
permanen. The American College of Obstetricians and Gynecologists (2000)
menyimpulkan bahwa keputusan untuk melakukan seksio sesarea pada semua
wanita yang diduga mengadung janin makrosomik adalah tidak tepat, kecuali
terdapat kemungkinan berat lahir bayi lebih dari 5000 g pada wanita non-diabetik
dan lebih dari 4500 pada wanita yang menderita diabetes.

TABEL Insidensi Distosia Bahu Berdasarkan Pengelompokan Berat Lahir pada


Bayi Tunggal yang Dilahirkan Per Vaginam tahun 1994 di Parkland Hospital
Kelompok Berat Lahir Kelahiran Distosia Bahu (Persentase)

≤ 3000 g 2953 0
3001-3500 g 4309 14 (0,3)
3501-4000 g 2839 28 (1,0)
4001-4500 g 704 38 (5,4)
> 4500 g 91 17 (19,0)
Segala berat 10,896 97 (0,9)

12
RIWAYAT DISTOSIA BAHU SEBELUMNYA. Smith dan rekan (1994)
mengidentifikasi kasus distosia bahu rekuren pada 5 dari 42 wanita (12 persen).
Tujuh dari para wanita ini melahirkan bayi yang lebih berat dibandingkan
sebelumnya, tapi hanya dua yang mengalami distosia bahu rekuren. Sebaliknya,
Baskett dan Allen (1995) mendapati risiko rekurensi distosia bahu yang lebih
kecil (1 sampai 2 persen).

KESIMPULAN. The American College of Obstetricians and Gynecologists


(1997, 2000) meninjau penelitian-penelitian yang diklasifikasikan menurut
metode evidence-based yang dikeluarkan oleh the United States Preventive
Services Task Force. Hasilnya menyimpulkan bahwa sebagian besar bukti-bukti
terbaru sejalan dengan pandangan bahwa:
1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah
karena tidak ada metode yang akurat untuk mengidentifikasi janin mana yang
akan mengalami komplikasi ini.
2. Pengukuran ultrasonik untuk memperkirakan makrosomia memiliki akurasi
yang terbatas.
3. Seksio sesarea elektif yang didasarkan atas kecurigaan adanya makrosomia
bukan merupakan strategi yang beralasan.
4. Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik dengan
perkiraan berat lahir janin lebih dari 5000 g atau wanita diabetik yang berat
lahir janinnya diperkirakan akan melebihi 4500 g.
Pada kasus ini distosia bahu tidak diperkirakan sebelumnya karna taksiran
berat janin pasien per USG 3650 gram (walaupun dengan kemungkinan
kesalahan taksiran berat janin 20%, namun pasien pernah melahirkan bayi 3800
gram sebelumnya tanpa adanya kesulitan dalam persalinan. Ternyata bayi lahir
dengan berat badan 3900 gram dan terjadi distosia bahu. Hal ini mungkin terjadi
akibat lebar bahu pada bayi tersebut mungkin jauh lebih lebar dibandingkan
lebar bahu pada kelahiran sebelumnya walaupun perbedaan berat lahir hanya
100 gram.

13
PENATALAKSANAAN. Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku
praktek obstetrik harus mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan
penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini. Pengurangan interval
waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat penting untuk
bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran, yang
dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada
kepala atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera
serius pada bayi.
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya
diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut
dan hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan
berbagai teknik untuk membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di
bawah simfisis pubis ibu:

1. Penekanan suprapubik sedang dilakukan oleh seorang asisten sementara


dilakukan traksi ke bawah terhadap kepala bayi.

Gambar. Suprapubic Pressure (Massanti Maneuver)

14
2. Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan
dinamai sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan
penggunaannya di University of Texas di Houston. Manuver ini terdiri atas
mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris dan
memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000)
menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka
mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum
terhadap vertebra lumbal, bersama dengan rotasi simfisis pubis ke arah
kepala ibu yang menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan panggul.
Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke
arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan
rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di
laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu mengurangi
tekanan ekstraksi pada bahu janin.

Gambar. Manuver McRoberts

15
3. Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara
progresif sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti membuka tutup botol,
bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini sering disebut
sebagai manuver corkscrew Woods.

4. Pelahiran bahu belakang meliputi penyusuran lengan belakang janin secara


hati-hati hingga mencapai dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan
tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah salah satu diameter
oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan.

16
5. Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin
diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen.
Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang
paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke permukaan anterior bahu.
Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian
akan menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari
belakang simfisis pubis.

17
Rubin Maneuver

6. Hibbard (1982) menganjurkan untuk menekan dagu dan leher janin ke arah
rektum ibu, dan seorang asisten menekan kuat fundus saat bahu depan
dibebaskan. Penekanan kuat pada fundus yang dilakukan pada saat yang
salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dan rekan
(1987) melaporkan bahwa penekanan fundus tanpa disertai manuver lain
akan "menyebabkan angka komplikasi sebesar 77 persen dan erat
dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik (janin)."
7. Sandberg (1985) melaporkan penggunaan manuver Zavanelli untuk
mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan
secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah mengembalikan
kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin telah
berputar dari posisi tersebut. Langkah kedua adalah memfleksikan kepala
dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti
dengan pelahiran secara sesar. Terbutaline (250 µ g, subkutan) diberikan
untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau
103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil
pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus terjepitnya

18
kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli; terdapat
delapan kasus kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus
menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.
8. Fraktur klavikula yang dilakukan secara sengaja dengan cara menekan
klavikula anterior terhadap ramus pubis dapat dilakukan untuk membebaskan
bahu yang terjepit. Namun, pada praktiknya, sulit mematahkan klavikula
secara sengaja pada bayi besar. Fraktur klavikula biasanya akan sembuh
dengan cepat, dan tidak seserius cedera nervus brakhialis, asfiksia atau
kematian.
9. Kleidotomi, yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda tajam lain,
dan biasanya dilakukan pada janin mati (Schramm, 1983).
10. Simfisiotomi tampaknya juga dapat diterapkan dengan sukses, seperti
dijelaskan oleh Hartfield (1986). Goodwin dan rekan (1997) melaporkan tiga
kasus yang mengerjakan simfisiotomi setelah manuver Zavanelli gagal—
ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas ibu yang signifikan akibat cedera
traktus urinarius.

Zavenelli manoeuvre

19
Manajemen ALARMER :

A Ask for help (Minta bantuan)


L Lift/hyperflex Legs
- Hyperflexi kedua kaki ( McRobert's Manoeuver)
- Distosia Bahu umumnya dapat tertanggulangi sampai dengan 70%
kasus oleh manoeuver ini.
A Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
- Pendekatan secara abdominal à penekanan suprapubic terhadap bahu
depan (Mazzanti Manuver)
- Pendekatan pervaginal à Adduction bahu depan dengan tekanan untuk
mempermudah aspek bahu belakang( yaitu. bahu didorong ke arah dada)
dimana hal Ini menghasilkan diameter tekecil ( Rubin Manuver)

R Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)


- Seperti sekrup manoeuver. Bahu belakang diputar 180° menjadi bahu
depan.
M Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual)

E Episiotomy
R Roll over onto ‘all fours’(knee-chest position)

20
Hindari :
- Panik
- Menarik
- Mendorong
- Pivot (mengalungasi kepala secara paksa menggunakan coxy sebagai
fulcrum)
Jika cara-cara tersebut diatas telah dicoba berulang kali namun tidak
berhasil, ada cara-cara lain yang diusulkan, yaitu:
1. Patahkan tulang klavikula atau humerus
2. Symphysiotomy
3. Zavenelli manoeuver ( cephalic rep[lacement)- membalikkan gerakan
perputaran dalam persalinan. Putar kepala ke OA, fleksikan, dorong keatas,
putar menjadi lintang, disengage dan lakukan suatu seksio sesarea

Yang harus dikerjakan setelah distosia bahu terjadi :


1. Selalu ingat akan adanya resiko perlukaan jalan lahir ibu dan perdarahan
postpartum. Penanganan aktif kala tiga. Meriksa dan memperbaiki laserasi jalan
lahir.
2. Lakukan resusitasi bayi yang sesuai dan benar. Mencari adanya trauma pada
bayi.
3. Setiap kejadian distosia bahu harus didokumentasikan dan manoeuvers apa
yang digunakan untuk mengatasinya harus diuraikan sepenuhnya.
4. Informed consent kepada pasien dan keluarga.

Hernandez dan Wendel (1990) menyarankan perlunya pelatihan distosia


bahu untuk mengatur penatalaksanaan darurat bahu yang terjepit dengan lebih
baik. Pelatihan itu merupakan seperangkat manuver yang dilakukan secara
sekuensial seperti yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pelahiran per vaginam.
The American College of Obstetricians and Gynecologists (1991)
merekomendasikan langkah-langkah berikut ini—urut-urutannya bergantung
pada pengalaman dan pilihan pribadi masing-masing operator:

21
1. Panggil bantuan—mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak. Pada
saat ini dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan kandung
kemih bila penuh.
2. Lakukan episiotomi luas (mediolateral atau episioproktotomi) untuk
memperluas ruangan di posterior.
3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter karena
alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk melakukan
penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan pada kepala
janin.
4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi satu
tungkai dan memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen.
Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus distosia
bahu. Namun, bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut dapat dicoba:
5. Manuver corkscrew Woods
6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang dalam
posisi ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan.
7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus ketika
manuver lain telah gagal. Yang termasuk dalam teknik ini adalah fraktur
klavikula atau humerus depan dengan sengaja dan manuver Zavanelli.

Penanganan distosia bahu pada kasus ini sudah benar. Awalnya kepala bayi
dilahirkan dengan menggunakan vakum ekstraksi karna pasien juga menderita
pre-eklampsia berat dengan tekanan darah yang masih fluktuatif pada saat
pasien memasuki kala II. Dalam 5 menit kepala bayi lahir tanpa adanya
kesulitan, dan bahu dapat dilahirkan dalam waktu 7-8 menit dengan
menggunakan wood’s cookscrew manuver. Tetapi pada kasus ini sempat terjadi
turtle sign dimana kemungkinan tali pusat terjepit selama terjadinya distosia bahu
dan kemungkinan rongga dada bayi tidak dapat berkembang selama distosia
bahu karna ruangan yang terlalu sempit antara rongga dada bayi dengan
panggul ibu. Setelah bayi lahir sebenarnya kemungkinan bayi masih dapat
terselamatkan dengan apgar score 1/3/5, namun karna selama perawatan bayi di

22
NICU keluarga pasien tidak ada yang pernah menjenguk dan menebus obat-
obatan yang telah diresepkan, jadi selama perawatan bayi, tidak ada obat-
obatan yang diberikan. Bayi meninggal pada hari ke 3 perawatan dengan
penyebab kematian asfiksia berat.

23
BAB IV
Kesimpulan

1. Selalu antisipasi dan siap-siap akan kemungkinan terjadinya suatu


distosia bahu karna sebagian besar kasus terjadi tanpa diduga
sebelumnya dan tanpa adanya suatu faktor resiko.
2. Selalu ingat akan tatalaksana distosia bahu (ALARMER)
3. Bila distosia bahu terjadi, jangan panik, jangan menarik, jangan
mendorong dan jangan memutar kepala bayi dengan menggunakan leher
atau kepala bayi.

24
BAB V
Referensi

1. Sokol RJ, Blackwell SC, for the American College of Obstetricians and
Gynecologists. Committee on Practice Bulletins-Gynecology. ACOG practice
bulletin no. 40: shoulder dystocia. November 2002 (replaces practice pattern no.
7, October 1997). Int J Gynaecol Obstet 2003;80:87-92.
2. Mocanu EV, Greene RA, Byrne BM, Turner MJ. Obstetric and neonatal
outcomes of babies weighing more than 4.5 kg: an analysis by parity. Eur J
Obstet Gynecol Reprod Biol 2000;92:229-33.
3. Sandmire HF, DeMott RK. Erb's palsy: concepts of causation. Obstet Gynecol
2000;95(6 pt 1):941-2.
4. Lam MH, Wong GY, Lao TT. Reappraisal of neonatal clavicular fracture:
relationship between infant size and neonatal morbidity. Obstet Gynecol
2002;100:115-9.
5. Irion O, Boulvain M. Induction of labour for suspected fetal macrosomia.
Cochrane Database Syst Rev 2003;(2):CD000938.
6. Boulvain M, Stan C, Irion O. Elective delivery in diabetic pregnant women.
Cochrane Database Syst Rev 2003;(2):CD001997.
7. Stallings SP, Edwards RK, Johnson JW. Correlation of head-to-body delivery
intervals in shoulder dystocia and umbilical artery acidosis. Am J Obstet Gynecol
2001;185:268-74.
8. Gobbo R, Baxley EG. Shoulder dystocia. In: ALSO: advanced life support in
obstetrics provider course syllabus. Leawood, Kan.: American Academy of
Family Physicians, 2000.
9. Gherman RB, Tramont J, Muffley P, Goodwin TM. Analysis of McRoberts'
maneuver by x-ray pelvimetry. Obstet Gynecol 2000;95:43-7.
10. Nesbitte T, Lonsdorf DB. How to teach using mannequins (this example uses
the shoulder dystocia scenario). In: ALSO: advanced life support in obstetrics
instructor course syllabus. Eeawood, Kan.: American Academy of Family
Physicians, 2002:67.

25

You might also like