Professional Documents
Culture Documents
DISTOSIA BAHU
Oleh :
Iwan Kurnia
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
Obstetri dan Ginekologi
Pembimbing :
2
BAB II
Ilustrasi Kasus
3
jantung janin (DJJ) 140 dpm. Hasil inspeksi vulva dan uretra tenang. Pada
pemeriksaan dalam diperoleh porsio tipis, pembukaan 7 cm dengan kepala di
Hodge II, UUK kiri lintang dan selaput ketuban negatif. Hasil pelvimetri klinis
kesan panggul luas dengan imbang feto-pelvik baik
Pemeriksaan ultrasonography (USG) di kamar bersalin tampak janin
presentasi kepala tunggal hidup intra uterin dengan diameter biparietal (DBP) 9,6
cm, abdominal circumference (AC) 34,5 cm, femur length (FL) 7,5 cm, head
circumference (HC) 34,2 cm dengan taksiran berat janin (TBJ) 3650 gram,
plasenta di fundus dan index cairan amnion (ICA) 8. Kesan hamil aterm janin
presentasi kepala tunggal hidup (JPKTH).
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 11,8 g/dl, hematokrit 34%,
leukosit 18.200/ul, trombosit 261.000/ul, MCV 91 fl, MCH 32 pg, dan MCHC 35
g/dl, gula darah sewaktu 76 mg/dl Hasil urinalisis didapatkan protein positif dua.
Hasil cardiotokography (CTG) janin reaktif dengan frekuensi dasar 146,
variabilitas 5 -20 dengan akselerasi dan tanpa deselerasi.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G3P2 hamil 41 minggu,
janin presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 3 jam, air ketuban
berkurang, PK I aktif dengan Pre-eklampsia berat. Setelah dilakukan analisis
terhadap masalah tersebut diputuskan untuk dilakukan persalina pervaginam
dengan observasu ketat terhadap his, denyut jantung janin, tanda vital ibu dan
tanda-tanda infeksi intra-partum maupun kompresi tali pusat selama persalinan,
serta observasi terhadap tanda-tanda perburukan PEB. Pasien mendapatkan
terapi antibiotik intravena kedacillin 3x1 g, dan tatalaksana PEB.
Dalam 2 jam observasi pasien mengeluh ingin meneran, tanpa adanya
keluhan yang mengarah kepada perburukan PEB, gerak janin saat itu masih
dirasakan normal oleh pasien. Tekanan darah 180/100 mmHg, frekuensi nadi
104 x/mnt, suhu afebris dan frekuensi nafas 24 x/mnt dan status generalis lain
dalam batas normal. Pada status obstetrikus didapatkan his 3x dalam 10 menit
durasi 50 detik sedang relaksasi baik dengan djj 130 dpm, pemeriksaan dalam
sesuai dengan PK II, kepala di Hodge III+ dan ubun-ubun kiri lintang, moulage
dan kaput tidak ada. Ditegakkan masalah PK II dengan PEB tekanan darah
4
fluktuatif dan direncanakan untuk mempercepat persalinan dengan ekstraksi
vakum. Dengan ekstraksi vakum lahir kepala bayi dalam 5 menit, cup vakum
dilepaskan dan jalan nafas bayi dibersihkan, dengan pegangan biparietal dicoba
dilahirkan seluruh bagian janin, namun sulit, kesan terjadi distosia bahu,
dilakukan manuver McRobert bahu masih belum lahir, dilakukan woods
cockscrew manuver. Lahir berturut-turut bahu depan,belakang Dengan tarikan
pada ketiak, dilahirkan badan, bokong, kaki dalam waktu 7-8 menit. Lahir bayi
laki-laki, BL 3900 g, PB 51 cm, AS 1/3/5, kaput (+). Bayi tidak menangis, djj <
100 dpm, pucat, lethargi, air ketuban hijau kesan bayi tidak bugar, dicoba untuk
melakukan intubasi namun tidak dapat dilakukan karena alat tidak ada, dilakukan
resusitasi neonatus dgn VTP, pemberian Meylon 6 cc dan Adrenalin 1 cc,
selanjutnya perawatan oleh teman sejawat dokter anak.
Lima belas menit setelah bayi lahir, lahir plasenta lengkap 500 gram
dengan panjang tali pusat 48 cm dan ukuran 17 cm x 16 cm x 3 cm. Pada
eksplorasi selanjutnya didapatkan luka episiotomi sesuai ruptur perineum grade
II. Perdarahan kala III-IV 250 cc.
Pasien sempat dirawat 2 hari di ruangan dan kemudian pulang dalam
keadaan baik dengan hasil TTGO normal. Bayi meninggal dalam 3 hari
perawatan di NICU. Selama perawatan di NICU, bayi tidak pernah dijenguk oleh
keluarganya dan obat-obatan tidak ada yang menebusnya sehingga selama
perawatan di NICU bayi tidak mendapatkan pengobatan apapun.
5
BAB III
Kepustakaan dan Pembahasan
6
Gambar 1. Turtle Sign
7
- Fetal/Neonatal
- Kematian
- Hypoxia/Asphyxia Dan Sequelae
- Perlukaan kelahiran
- Faktur klavikula-humerus
- kelumpuhan plexus brakhialis
- Maternal
- Perdarahan postpartum
- Atoni
- Laseasi jalan lahir
- Ruptur uteri
8
janin telah tiada sehingga kemungkinan untuk terjadi hypoxia janin akan semakin
berkurang.
Rusaknya plexus brachialis umumnya terjadi akibat traksi lateral kepala
janin yang berlebihan. Kerusakan akar syaraf umumnya terjadi setinggi C5 Dan
C6 yang dapat berakibat lumpuh Erb-Duchenne.
9
kecacatan termasuk pada tangan, yang dapat mengakibatkan deformitas
clawhand. Hardy (1981) mempelajari prognosis pada 36 bayi dengan cedera
pleksus brakhialis. Yang menarik, distosia bahu ditemukan hanya pada 10
kasus, dan dua di antaranya dilahirkan per abdominam. Hampir 80 persen dari
anak-anak ini sembuh sempurna dalam waktu 13 bulan, dan di antara yang
mengalami defek residual tidak ada yang menderita defisit sensorik maupun
motorik berat pada tangan. Jennett dan rekan (1992) serta Gherman dan rekan
(1999) mengajukan bukti bahwa cedera pleksus brakhialis dapat mendahului
pelahiran itu sendiri dan dapat terjadi bahkan sebelum persalinan.
10
FAKTOR RISIKO. Sejumlah karakteristik pada ibu, janin dan intrapartum sering
dihubungkan dengan terjadinya distosia bahu (Baskett dan Allen, 1995; Nesbitt
et al, 1998; Nocon et al, 1993). Beberapa faktor risiko pada ibu, termasuk
obesitas, multiparitas, dan diabetes, berpengaruh terhadap distosia bahu akibat
hubungannya dengan peningkatan berat lahir. Contohnya, Keller dan rekan
(1991) mengidentifikasi distosia bahu pada 7 persen dari kehamilan dengan
penyulit diabetes gestasional. Serupa dengan hal itu, hubungan antara
kehamilan lewat waktu dengan distosia bahu tampaknya disebabkan karena
banyak janin terus tumbuh setelah usia 42 minggu .
Penyulit intrapartum yang dihubungkan dengan distosia bahu adalah
pelahiran dengan forseps tengah (midforceps) serta persalinan kala satu dan
kala dua yang memanjang (Baskett dan Allen, 1995; Nocon et al, 1993). Namun,
McFarland dan rekan (1995), dengan menggunakan kelompok kontrol yang
setara, menemukan bahwa kelainan pada persalinan kala satu dan kala dua
bukan merupakan petanda klinis yang berguna untuk meramalkan terjadinya
distosia bahu.
Faktor Resiko
- Kehamilan Post-Term
- Maternal obesitas
- Makrosomia janin
- Riwayat distosia bahu sebelumnya
- Persalinan yang prolonged
- Kencing manis yang kurang terkontrol
11
1998). Tabel dibawah ini menyajikan insidensi distosia bahu yang dihubungkan
dengan pengelompokan berat lahir di Parkland Hospital selama tahun 1994.
Jelas terlihat bahwa distosia bahu lebih sering terjadi pada berat lahir yang lebih
besar; meski demikian, hampir separuh kelahiran dengan distosia bahu memiliki
berat kurang dari 4000 g. Kenyataannya, Nocon dan rekan (1993) menemukan
distosia bahu pada bayi dengan berat lahir 2260 g. Walaupun demikian,
sejumlah penulis (O'Leary, 1992) menyarankan untuk mengidentifikasi
makrosomia dengan ultrasonografi dan untuk lebih bebas melakukan seksio
sesarea pada distosia bahu. Yang lain tidak setuju dengan konsep bahwa seksio
sesarea diindikasikan untuk setiap janin yang diketahui berukuran besar, bahkan
pada janin yang diperkirakan beratnya lebih dari 4500 g. Rouse dan Owen
(1999) menyimpulkan bahwa kebijakan untuk melakukan seksio sesarea
profilaktik untuk bayi-bayi makrosomik akan menyebabkan dilakukannya lebih
dari 1000 pelahiran sesar untuk menghindari satu cedera pleksus brakhialis
permanen. The American College of Obstetricians and Gynecologists (2000)
menyimpulkan bahwa keputusan untuk melakukan seksio sesarea pada semua
wanita yang diduga mengadung janin makrosomik adalah tidak tepat, kecuali
terdapat kemungkinan berat lahir bayi lebih dari 5000 g pada wanita non-diabetik
dan lebih dari 4500 pada wanita yang menderita diabetes.
≤ 3000 g 2953 0
3001-3500 g 4309 14 (0,3)
3501-4000 g 2839 28 (1,0)
4001-4500 g 704 38 (5,4)
> 4500 g 91 17 (19,0)
Segala berat 10,896 97 (0,9)
12
RIWAYAT DISTOSIA BAHU SEBELUMNYA. Smith dan rekan (1994)
mengidentifikasi kasus distosia bahu rekuren pada 5 dari 42 wanita (12 persen).
Tujuh dari para wanita ini melahirkan bayi yang lebih berat dibandingkan
sebelumnya, tapi hanya dua yang mengalami distosia bahu rekuren. Sebaliknya,
Baskett dan Allen (1995) mendapati risiko rekurensi distosia bahu yang lebih
kecil (1 sampai 2 persen).
13
PENATALAKSANAAN. Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku
praktek obstetrik harus mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan
penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini. Pengurangan interval
waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat penting untuk
bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran, yang
dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada
kepala atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera
serius pada bayi.
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya
diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut
dan hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan
berbagai teknik untuk membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di
bawah simfisis pubis ibu:
14
2. Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan
dinamai sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan
penggunaannya di University of Texas di Houston. Manuver ini terdiri atas
mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris dan
memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000)
menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka
mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum
terhadap vertebra lumbal, bersama dengan rotasi simfisis pubis ke arah
kepala ibu yang menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan panggul.
Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke
arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan
rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di
laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu mengurangi
tekanan ekstraksi pada bahu janin.
15
3. Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara
progresif sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti membuka tutup botol,
bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini sering disebut
sebagai manuver corkscrew Woods.
16
5. Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin
diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen.
Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang
paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke permukaan anterior bahu.
Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian
akan menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari
belakang simfisis pubis.
17
Rubin Maneuver
6. Hibbard (1982) menganjurkan untuk menekan dagu dan leher janin ke arah
rektum ibu, dan seorang asisten menekan kuat fundus saat bahu depan
dibebaskan. Penekanan kuat pada fundus yang dilakukan pada saat yang
salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dan rekan
(1987) melaporkan bahwa penekanan fundus tanpa disertai manuver lain
akan "menyebabkan angka komplikasi sebesar 77 persen dan erat
dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik (janin)."
7. Sandberg (1985) melaporkan penggunaan manuver Zavanelli untuk
mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan
secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah mengembalikan
kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin telah
berputar dari posisi tersebut. Langkah kedua adalah memfleksikan kepala
dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti
dengan pelahiran secara sesar. Terbutaline (250 µ g, subkutan) diberikan
untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau
103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil
pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus terjepitnya
18
kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli; terdapat
delapan kasus kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus
menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.
8. Fraktur klavikula yang dilakukan secara sengaja dengan cara menekan
klavikula anterior terhadap ramus pubis dapat dilakukan untuk membebaskan
bahu yang terjepit. Namun, pada praktiknya, sulit mematahkan klavikula
secara sengaja pada bayi besar. Fraktur klavikula biasanya akan sembuh
dengan cepat, dan tidak seserius cedera nervus brakhialis, asfiksia atau
kematian.
9. Kleidotomi, yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda tajam lain,
dan biasanya dilakukan pada janin mati (Schramm, 1983).
10. Simfisiotomi tampaknya juga dapat diterapkan dengan sukses, seperti
dijelaskan oleh Hartfield (1986). Goodwin dan rekan (1997) melaporkan tiga
kasus yang mengerjakan simfisiotomi setelah manuver Zavanelli gagal—
ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas ibu yang signifikan akibat cedera
traktus urinarius.
Zavenelli manoeuvre
19
Manajemen ALARMER :
E Episiotomy
R Roll over onto ‘all fours’(knee-chest position)
20
Hindari :
- Panik
- Menarik
- Mendorong
- Pivot (mengalungasi kepala secara paksa menggunakan coxy sebagai
fulcrum)
Jika cara-cara tersebut diatas telah dicoba berulang kali namun tidak
berhasil, ada cara-cara lain yang diusulkan, yaitu:
1. Patahkan tulang klavikula atau humerus
2. Symphysiotomy
3. Zavenelli manoeuver ( cephalic rep[lacement)- membalikkan gerakan
perputaran dalam persalinan. Putar kepala ke OA, fleksikan, dorong keatas,
putar menjadi lintang, disengage dan lakukan suatu seksio sesarea
21
1. Panggil bantuan—mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak. Pada
saat ini dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan kandung
kemih bila penuh.
2. Lakukan episiotomi luas (mediolateral atau episioproktotomi) untuk
memperluas ruangan di posterior.
3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter karena
alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk melakukan
penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan pada kepala
janin.
4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi satu
tungkai dan memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen.
Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus distosia
bahu. Namun, bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut dapat dicoba:
5. Manuver corkscrew Woods
6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang dalam
posisi ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan.
7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus ketika
manuver lain telah gagal. Yang termasuk dalam teknik ini adalah fraktur
klavikula atau humerus depan dengan sengaja dan manuver Zavanelli.
Penanganan distosia bahu pada kasus ini sudah benar. Awalnya kepala bayi
dilahirkan dengan menggunakan vakum ekstraksi karna pasien juga menderita
pre-eklampsia berat dengan tekanan darah yang masih fluktuatif pada saat
pasien memasuki kala II. Dalam 5 menit kepala bayi lahir tanpa adanya
kesulitan, dan bahu dapat dilahirkan dalam waktu 7-8 menit dengan
menggunakan wood’s cookscrew manuver. Tetapi pada kasus ini sempat terjadi
turtle sign dimana kemungkinan tali pusat terjepit selama terjadinya distosia bahu
dan kemungkinan rongga dada bayi tidak dapat berkembang selama distosia
bahu karna ruangan yang terlalu sempit antara rongga dada bayi dengan
panggul ibu. Setelah bayi lahir sebenarnya kemungkinan bayi masih dapat
terselamatkan dengan apgar score 1/3/5, namun karna selama perawatan bayi di
22
NICU keluarga pasien tidak ada yang pernah menjenguk dan menebus obat-
obatan yang telah diresepkan, jadi selama perawatan bayi, tidak ada obat-
obatan yang diberikan. Bayi meninggal pada hari ke 3 perawatan dengan
penyebab kematian asfiksia berat.
23
BAB IV
Kesimpulan
24
BAB V
Referensi
1. Sokol RJ, Blackwell SC, for the American College of Obstetricians and
Gynecologists. Committee on Practice Bulletins-Gynecology. ACOG practice
bulletin no. 40: shoulder dystocia. November 2002 (replaces practice pattern no.
7, October 1997). Int J Gynaecol Obstet 2003;80:87-92.
2. Mocanu EV, Greene RA, Byrne BM, Turner MJ. Obstetric and neonatal
outcomes of babies weighing more than 4.5 kg: an analysis by parity. Eur J
Obstet Gynecol Reprod Biol 2000;92:229-33.
3. Sandmire HF, DeMott RK. Erb's palsy: concepts of causation. Obstet Gynecol
2000;95(6 pt 1):941-2.
4. Lam MH, Wong GY, Lao TT. Reappraisal of neonatal clavicular fracture:
relationship between infant size and neonatal morbidity. Obstet Gynecol
2002;100:115-9.
5. Irion O, Boulvain M. Induction of labour for suspected fetal macrosomia.
Cochrane Database Syst Rev 2003;(2):CD000938.
6. Boulvain M, Stan C, Irion O. Elective delivery in diabetic pregnant women.
Cochrane Database Syst Rev 2003;(2):CD001997.
7. Stallings SP, Edwards RK, Johnson JW. Correlation of head-to-body delivery
intervals in shoulder dystocia and umbilical artery acidosis. Am J Obstet Gynecol
2001;185:268-74.
8. Gobbo R, Baxley EG. Shoulder dystocia. In: ALSO: advanced life support in
obstetrics provider course syllabus. Leawood, Kan.: American Academy of
Family Physicians, 2000.
9. Gherman RB, Tramont J, Muffley P, Goodwin TM. Analysis of McRoberts'
maneuver by x-ray pelvimetry. Obstet Gynecol 2000;95:43-7.
10. Nesbitte T, Lonsdorf DB. How to teach using mannequins (this example uses
the shoulder dystocia scenario). In: ALSO: advanced life support in obstetrics
instructor course syllabus. Eeawood, Kan.: American Academy of Family
Physicians, 2002:67.
25