You are on page 1of 15

Catatan: file audio ttg ghibah dan wara ada disini:

http://www.esnips.com/web/MQFiles

GHIBAH YANG DIBOLEHKAN

Ghibah adalah salah satu perbuatan yang tercela dan memiliki


dampak negatif yang cukup besar. Ghibah dapat mencerai-beraikan
ikatan kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia. Seseorang yang
berbuat ghibah berarti dia telah menebarkan kedengkian dan
kejahatan dalam masyarakat. Walaupun telah jelas besarnya bahaya
ghibah, tapi masih banyak saja orang yang melakukannya dan
menganggap remeh bahaya ghibah (mengum-pat/menggunjing).

Akan tetapi ternyata ada beberapa hal yang mengakibatkan


seseorang diperbolehkan untuk mengumpat/menggunjing. Namun
sebelum mengetahui kriteria masalah apa saja yang membolehkan
seseorang untuk melakukan ghibah, ada baiknya kita mengetahui
dahulu apa itu ghibah.

Definisi Ghibah

Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah e berikut ini:
"Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang
ia benci." Si penanya kembali bertanya, "Wahai Rasulullah,
bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada
padanya ?" Rasulullah e menjawab, "kalau memang benar ada
padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah
berbuat buhtan (mengada-ada)." (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud,
dan Ahmad).

Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahwa definisi ghibah yaitu


menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci
meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan
menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain.
Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku
ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri.
Allah I berfirman:

" Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari

1
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12)

Bentuk-bentuk Ghibah yang Diperbolehkan.

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-
Shalihin, menyatakan bahwa ghibah hanya diperbolehkan untuk
tujuan syara' yaitu yang disebabkan oleh enam hal, yaitu:

1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan


mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang
penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang
memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 148:

"Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus


terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui." (QS. An-Nisa' : 148).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan


keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak
ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang
mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan
amar ma'ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim,
dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah
jelas boleh hukumnya.

Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita,


pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih
baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa
ayat 149:

"Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau


memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya

2
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. An-Nisa: 149)

2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar


orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.
Pembolehan ini dalam rangka isti'anah (minta tolong) untuk
mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat
ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia
untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bahu
membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang
yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis
perbedaan antara yang haq dan yang bathil.

3. Istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal.


Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang
untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita
hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita
adukan, tidak lebih.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti:

a. Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau
kelakuannya, menurut ijma' ulama kita boleh bahkan wajib
memberitahukannya kepada kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk
memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas
diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits.
Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin
setelah Al-Qur'an.

b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau


membeli budak (untuk masa sekarang bisa dianalogikan dengan
mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri, peminum,
dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Ini
dilakukan untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap
saudara kita, bukan untuk menyakiti salah satu pihak.

c. Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada


seseorang yang fasik atau ahli bid'ah dan kita khawatir terhadap
bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasehati dengan
cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan

3
untuk kebaikan semata.

5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat


fasik atau bid'ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang
secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil
lainnya.
Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-
nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya
untuk kebaikan.

6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek,


si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya
dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti.

Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia


mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik
memanggilnya dengan nama lain tersebut.Wallahu a'lam bishshawab.

Ummu Ziyad, S.S


Sumber:
Ibnu Taimiyah, Imam Syuyuthi, Imam Syaukani,, Maktabah Al-Manar,
Yordania.

4
Pengajian : Jauhilah Ghibah

Sering dalam kehidupan sehari-hari, manakala kita tengah berkumpul


dengan teman, tanpa kita sadari kita telah berbuat "ghibah"
(menggunjing). Bahkan sering kita merasa kurang sempurna, jika
dalam topik pembicaraan kita tidak ada agenda menggunjingkan
kejelekan ataupun kekurangan orang lain.

Apalagi jika teman yang kita ajak ngobrol, tidak ada kerjaan, rasanya
waktu seharian

penuh tidak terasa. Padahal, seandainya waktu yang terbuang


dengan percuma tadi digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat,
dapat menghasilkan sesuatu yang sangat berharga.

Kalau kita menyadari, ghibah merupakan dosa besar, sebagaimana


yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqolany dalam kitab
"al-Zawaajir, bahwa banyak dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur'an,
as-Sunnah maupun pendapat para ulama yang menjelaskan bahwa
ghibah adalah merupakan dosa besar, Dalam al-Qur'an surah al-
Hujurat ayat 12, Allah swt berfirman : "Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain. Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yang lain.

Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya


yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang."

Dalam sebuah Hadist shohih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad


dan Imam Ibnu Majah: Dari Abu Bakarah berkata: "Pada suatu hari
Rasulullah s.a.w. berjalan melewati dua kuburan, lalu beliau berkata
"Sesugnguhnya kedua mayat ini sedang disiksa karena melakukan
dosa besar, yang pertama karena sebab (tidak hati-hati) ketika
kencing dan yang kedua karena suka menggunjing orang lain.

5
Dalam hadist riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda: 'Maukah kamu
saya tunjukkan dosa yang paling besar? Para Sahabat menjawab:
"Tentu wahai Rasulullah, beliau mwengulang sampai tiga kali, yang
pertama menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua."
Posisi Nabi ketika itu dalam leeadaan bersandar kemudian duduk, dan
beliau melanjutkan lagi, "Ucapan dusta dan saksi palsu, ucapan dusta
dan saksi palsu." Beliau mengulang-ulang sampai saya berkata dalam
hati semoga berhenti.

Bahkan Imam Nawawi dalam kitabnya "al ュ-Adzkaar" mengatakan,


seyogyanya bagi orang yang mendengar jika ada seorang muslim
dipergunjingkan, dia harus berusaha untuk menghentikannya, jika
tidak bisa dihentikan dengan ucapan maka harus diihentikan dengan
tangan (kekerasan), dan ketika dia tidak mampu menggunakan
keduanya, maka dia harus membubarkan perkumpulan tersebut agar
tidak berlanjut.

Apakah ghibah itu dilarang secara mutlah? Apakah tidak ada


dispensasi bagi seseorang untuk melakukan ghibah dengan alasan
yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan
permasalahan ini, Imam Muslim mengatakan bahwa, boleh bagi
seseorang melakukan ghibah hanya terbatas dalam 6 kondisi, yaitu :

1. Boleh bagi orang yang terzalimi untuk mengadukan kepada yang


berwenang maupun hakim dengan membeberkan kejahatan ataupun
kejelekan orang yang zalim tersebut;

2. Orang yang berkeinginan untuk merubah kemungkaran,


diperbolehkan melaporkan kepada orang yang mempunyai kekuasaan
(perangkat keamanan) bahwa si fulan telah melakukan perbuatan
yang tidak baik, maka cegahlah dia;

3. Bagi orang yang meminta fatwa boleh mengadukan kepada mufti,


bahwa si fulan telah menganiayanya;

4. tajrih (membuka aib) rawi dan saksi demi tujuan untuk


menjelaskan kepada kalangan umat Islam bahwa rawi dan saksi
tersebut tidak pantas untuk dipercaya perkataannya.

6
5. Boleh melakukan ghibah terhadap orang fasiq, ahli bid'ah dan
penguasa yang zalim demi tujuan untuk memberikan peringatan
kepada orang, agar tidak melakukan perbuatan serupa; dan

6. Ketika seorang terkenal karena julukannya seperti: si buta, si tuli, si


botak. Maka boleh bagi orang lain memanggil (menggunakan) julukan
tersebut tanpa bermaksud menghina.

Masyarakat yang berisi orang-orang senang melakukan ghibah, tidak


lepas dari beberapa faktor, sebagaimana Imam Ghozali menjelaskan
dalam kitab Ihya':

1. Mencari muka di depan orang banyak. Ketika seseorang berkumpul


dengan temannya, dimana ketika itu mereka sedang menggunjing,
maka rasanya kurang enak kalau tidak ikut nimbrung untuk
meramaikannya dengan tujuan mencari muka di di mata mereka;

2. Menutupi aib dirinya. Ketika seseorang melakukan suatu kesalahan


atau perbuatan yang kurang baik, biasanya dia berusaha untuk
menutupi dirinya dengan mengalihkan pembicaraan yang mengarah
pada kejelekan orang lain; dan

Akibat-akibat buruk bagi mereka yang suka ghibah:

1. Orang yang stika menggunjing kejelekan orang lain, akan


mendapatkan siksa di neraka dengan memakan bangkai busuk;

2. Allah SWT akan menyiksa si penggunjing di kuburannya.

3. Orang yang sering melakukan ghibah akan menghilangkan cahaya


keimanan yang terdapat dalam hatinya.

4. Menjadi penyakit di masyarakat yang dapat merenggangkan dan


bahkan memutuskan tali persahabatan di antara sesama saudara
muslim.

7
Melihat dampak buruk yang disebabkan oleh ghibah, alangkah
baiknya ketika kita sedang berkumpul, kalau belum bisa
mengucapkan suatu ucapan yang baik dan bermanfaat, maka lebih
baik diam. Diam bisa menjadikan seorang selamat dari kebencian.
Semakin banyak orang barbicara semakin banyak pula kesalahan
yang diucapkan.

Wallahu a'lam bishshowab

Oleh : Ulinn Niam

(Mahasiswa S2, Tafsir Hadist, IIUI Islamabad, Pakistan)

Dalam sebuah Hadist shohih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad


dan Imam Ibnu Majah: Dari Abu Bakarah berkata: "Pada suatu hari
Rasulullah s.a.w. berjalan melewati dua kuburan, lalu beliau berkata
"Sesugnguhnya kedua mayat ini sedang disiksa karena melakukan
dosa besar, yang pertama karena sebab (tidak hati-hati) ketika
kencing dan yang kedua karena suka menggunjing orang lain.

Dalam hadist riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda: 'Maukah kamu


saya tunjukkan dosa yang paling besar? Para Sahabat menjawab:
"Tentu wahai Rasulullah, beliau mwengulang sampai tiga kali, yang
pertama menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua."
Posisi Nabi ketika itu dalam leeadaan bersandar kemudian duduk, dan
beliau melanjutkan lagi, "Ucapan dusta dan saksi palsu, ucapan dusta
dan saksi palsu." Beliau mengulang-ulang sampai saya berkata dalam
hati semoga berhenti.

Bahkan Imam Nawawi dalam kitabnya "al ュ-Adzkaar" mengatakan,


seyogyanya bagi orang yang mendengar jika ada seorang muslim
dipergunjingkan, dia harus berusaha untuk menghentikannya, jika
tidak bisa dihentikan dengan ucapan maka harus diihentikan dengan
tangan (kekerasan), dan ketika dia tidak mampu menggunakan

8
keduanya, maka dia harus membubarkan perkumpulan tersebut agar
tidak berlanjut.

Apakah ghibah itu dilarang secara mutlah? Apakah tidak ada


dispensasi bagi seseorang untuk melakukan ghibah dengan alasan
yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan
permasalahan ini, Imam Muslim mengatakan bahwa, boleh bagi
seseorang melakukan ghibah hanya terbatas dalam 6 kondisi, yaitu :

1. Boleh bagi orang yang terzalimi untuk mengadukan kepada yang


berwenang maupun hakim dengan membeberkan kejahatan ataupun
kejelekan orang yang zalim tersebut;

2. Orang yang berkeinginan untuk merubah kemungkaran,


diperbolehkan melaporkan kepada orang yang mempunyai kekuasaan
(perangkat keamanan) bahwa si fulan telah melakukan perbuatan
yang tidak baik, maka cegahlah dia;

3. Bagi orang yang meminta fatwa boleh mengadukan kepada mufti,


bahwa si fulan telah menganiayanya;

4. tajrih (membuka aib) rawi dan saksi demi tujuan untuk


menjelaskan kepada kalangan umat Islam bahwa rawi dan saksi
tersebut tidak pantas untuk dipercaya perkataannya.

5. Boleh melakukan ghibah terhadap orang fasiq, ahli bid'ah dan


penguasa yang zalim demi tujuan untuk memberikan peringatan
kepada orang, agar tidak melakukan perbuatan serupa; dan

6. Ketika seorang terkenal karena julukannya seperti: si buta, si tuli, si


botak. Maka boleh bagi orang lain memanggil (menggunakan) julukan
tersebut tanpa bermaksud menghina.

Masyarakat yang berisi orang-orang senang melakukan ghibah, tidak


lepas dari beberapa faktor, sebagaimana Imam Ghozali menjelaskan

9
10
Bersikap Wara

1. Istilah wara’ sering dipakai dalam dunia tasawuf, arti dari


istilahtersebut adalah sikap menjaga diri dan membentenginya
dari hal-hal yang tidak jelas hukumnya, atau dengan kata
lain menjaga diri daribarang yang syubhat atau jelas
keharamannya, atau hal2 yg dibolehkan tp bisa
menjurus ke hall2 yg buruk atau tidak baik. Wilayah
wara tidak bolah di hal2 yg sunah.
2. Hadist abu hurairah: kun waro an takun aqbudunnas, jadila
engkau orang yg warak, maka enakau menjadi hamba yg
mencintai/rajin ibadah kpd Allah.
3. ibnu taimiyah bersikap hati2 thd hal yg dikhatarikan
kesduahnnya dan Imama inbu Qoyim atau dampal di akherat
kelak.
4. tilka hududullah, (inilah batasan2 allah) fala
taqrabuha...(jgn mendekati) fala taq taduha...(jgn engkau
melampaui batas).
5. al halal mubayinun al haram mubayinun, wama baina
huma umurun musyabihatun..... yg haram itu jelas yg halal
itu jelas, diatnaranya ada yg shubhat.
6. kata sejenis: taqwa (menjaui larangan,melaksanakan perintah)
—takut—hati2
7. konsep utama: kita dalam pengawasan/muhasabah Allah, shg
harus hati2, spt kita di lab diawasi sensei
8. Wara dlm ibadah harus dgn ilmu, wara harus menjadikan ibadah
lbh baik, bukan malah sebaliknya menjadi ragu dan
meninggalkannya.

Fadhilah:

1. mendapat kemudahan saat dihisab/mempercepat proses.

2. terhindar dari hal yg dosa/haram

3. tidak akan merasa kecewa: Rosul mengajarkan 4 hal yg membuat kita tidak akan

merasa kecewa: Menjaga amanah, bicara jujur, baik dlam akhlaq, memelihara diri.

11
Contoh wara:

Kisah umar dan ibnu umar ttg pembagian santuan, 3500 dirham abdullah bin umar krn

berhijrah krn ada aku, sdgn muhajirn berhijrah krn Allah.

Umar bin abdul azziz, mematikan lilin utk berbicara dgn anaknya.

12
Makanan

Kita tahu bahwa Islam adalah agama yang mudah, ringan dan tidak merupakan beban buat

umatnya. Termasuk dalam masalah makanan. Dalam syariah Islam, kita diperintahkan untuk

melakukan segala sesuatu berdasarkan dalil yang kuat, bukan dengan asumsi dan

perasaaan.

Ketika kita shalat dan yang kita lihat secara pisik bahwa pakaian kita bersih, tempat

shalatnya juga bersih, maka kita harus meyakini bahwa keduanya suci dan bersih. Kita

diharamkan bersikap was-was yang berlebihan, seperti was-was kalau-kalau ada setitik najis

pada pakaian kita atau tempat shalat yang tidak kita sadari. Sehingga kemudian malah

menyusahkan kita sendiri.

Sikap berlebihan seperti ini justru dilarang dalam Islam. Sikap wara' (berhati-hati) tidak bisa

disamakan dengan sikap was-was dan ragu-ragu 。 Nahnu nahkumu biz-zhowahir, wallahu

yatawallas-sarair. Kita memutuskan hukum berdasarkan bentuk zahirnya, sedangkan

masalah yang tersembunyi menjadi urusan Allah.

Keterkaitannya dengan hukum makanan di negeri minorita muslim, maka kita patut berhati-

hati, tetapi juga tidak boleh was-was berlebihan. Sehingga malah menyusahkan diri sendiri.

Kalau kita selalu curiga kepada orang lain, maka hidup ini akan semakin sempit, dan agama

ini juga akan semakin menyulitkan.

Adalah hak setiap muslim untuk menjaga diri dari hal-hal yang meragukan hatinya. Apabila
seseorang kurang yakin atas kehalalan suatu makanan, meski tidak ada fatwa yang

mengharamkannya, tidak mengapa bila dia tidak menyantap makanan itu, sebagai sebuah

sikap wara' (hati-hati) dari terkena kemungkinan jatuh kepada yang haram.

Pakaian.

Adapun bila seseorang merasa harus mengenakan sarung di atas celana panjangnya dalam

shalat, dengan semua alasan di atas, dan dia menerapkannya hanya untuk dirinya sendiri,

tidak mengapa hukumnya. Mungkin malah lebih afdhal, karena dia telah bersikap hati-hati

(wara').

Namun kewaraannya itu tidak boleh menjadi hukum halal dan haram. Dia tidak boleh

memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain, apalagi sampai harus memvonis orang lain

dengan hujatan kesalahan. Sikap wara' yang baik adalah terbatas hanya untuk dirinya

13
sendiri, bukan dengan jalan menghina atau menyalahkan orang lain yang tidak seperti

dirinya.

14
Musik .

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan

cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka

mengambil sikap wara` (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya.

Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena

mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas

mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Hal2 lain yg berkaitan dgn sikap hati2 spt pada


1 Halalkah Bekerja di Media Televisi? (Pertanyaan Lanjutan)
2 Pakaian Celana Panjang untuk Laki-Laki
3 menemukan barang di jalan spt HP
4 Keharaman Makanan di Negara Minoritas Muslim
5 Hoka-Hoka Bento Halal?
7 Haramkan yang Tidak Berlabel Halal?
8 Mengundang Makan Orang Non-Muslim
9 Ragu Diundang Makan di Rumah Non Muslim
10 Merayakan Hari Ulang Tahun atau Kelahiran
11 Design Cat Rumah
14 Pengajian dengan Memakai Musik
16 Apakah Hukumnya Musik Menurut Islam?
17 Bolehkah Saya Bernasyid dengan Diiringi Musik?

15

You might also like