You are on page 1of 24

TRADISI LISAN DALAM KONTEKS MASA KINI:

KARAKTERISTIK SOSIAL- KULTURAL DIBALIK MITOS


I RATU AYU MAS MEMBAH1

Mitos dan logos keduanya adalah momen-momen dalam


pengetahuan manusia mengenai kenyataan yang sama-sama
berusaha menyusun skema kenyataan agar dapat dimengerti secara
teratur. Mitos dan logos adalah dua saudara sekandung yang
sebenarnya memiliki musuh bersama, yaitu khaos atau
kekacaubaluan. Manusia tidak tahan hidup dalam sebuah dunia
yang tidak mampu memberikan jawaban atas mengapa-nya
kehidupan dan realitas, dan mitos adalah kakak kandung logos
yang menyelematkan manusia dari khaos dan logos datang
kemudian tampil lebih maju.
(Hardiman,2003:172).

I. Pendahuluan
Sebagai sebuah refleksi perlu kiranya dicermati bahwa di Bali problema dan isu
yang menonjol sakarang ini adalah: (1) terjadinya perebutan atau kompetensi tajam
pemanfaatan sumber daya yang terbatas, seperti lahan dan air. Bali adalah pulau kecil
dengan sumber daya lahan dan air yang terbatas, namun kni menjadi rebutan antar-
kepentingan industri pariwisata, perumahan, dan pertanian. Di Bali dalam waktu lima
tahun terakhir ini menurunnya areal persawahan diperkirakan mencapai 1000 ha per
tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat lebih-lebih untuk daerah dekat kota,
karena dipicu oleh harga tanah yang meroket. Rupanya, bagi petani pemiliki sawah di
daerah dekat perkotaan cenderung tergoda oleh tawaran harga tanah yang sangat tinggi.
Sebab, jika dibandingkan dengan mengusahakan sendiri untuk bercocok tanam hasilnya
sungguh tidak seimbang. Ratusan hektar sawah dalam waktu singkat telah
dialihfungsikan ke pemakaian lain di luar sektor pertanian khususnya pemukiman, (2)
tekanan pada lingkungan berupa erosi dan abrasi pantai, polusi lahan oleh plastik, air oleh
polutan sisa pestisida, sabun, zat warna, air panas, pencemaran udaya, pemasangan
reklame yang sembarangan, (3) dislokasi budaya berupa perilaku konsumerisme dan
1
Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan Nusantara pada tanggal
1-4 Desember 2006 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang diselenggarakan oleh Direktorat
Tradisi, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi
Lisan Nusantara (ATL).

1
senang meniru dari apa yang dilakukan oleh wisatawan terutama oleh generasi muda, (4)
pembagian keuntungan ekonomis yang tak merata baik antar-daerah satu dengan yang
lainnya, antara yang punya dengan yang tak punya, sehingga memunculkan kecemburuan
sosial yang tajam, dan (5) kelemahan manajemen merupakan juga penyebab dari
munculnya isu dan problem terutama dikaitkan dengan masalah koordinasi dalam
menetapkan satu kebijakan (Manuaba,1999:9-10; Sutawan,1997:251). Isu dan problem
itu sepantasnya mendapatkan perhatian semua komponen masyarakat Bali, sehingga
dapat ditemukan jalan pemecahan yang bersifat holistik yang mengacu pada konsep Tri
Hita Karana2
Meskipun Bali memiliki landasan filosofi tri hita karana dalam mengelola
perubahan atas problema dan isu seperti di atas, namun sekarang ini secara realitas orang
Bali telah mengalami perubahan karakter, sebagai imbas dari modernisasi dan globalisasi.
Perubahan karakter ini menyangkut; munculnya kasus (1) kekerasan, seperti perkelahian
masal antar-banjar, pemuda, kelompok, desa adat, (2) kasus bunuh diri; gantung diri,
minum racun, (3) kasus aborsi dan penyimpangan seksual di kalangan remaja, (4)
menipisnya keyakinan akan nilai-nilai agama (pranata) yang sesungguhnya dipedomani
dalam menjalankan hidup, (5) terkikisnya sistem jaringan sosial; dalam keluarga,
kelompok, maupun masyarakat melalui berbagai lembaga sosial maupun aktivitas sosial,
(6) menipisnya kepercayaan kepada orang lain, lembaga, maupun pemerintah sebagai
institusi sosial, (7) kecenderungan hubungan sosial yang bersifat eksploitasi dan
bermusuhan pada individu, kelompok, maupun lembaga (Duija,2006:33).
Berdasarkan refleksi di atas, tampaknya masyarakat Bali perlu menengak sejenak
masa lampau yang mememunculkan masalah sosial-kultural di beberapa bagian daerah di
Bali. Masa lampau yang dimaksud adalah refleksi diri yang terpesankan di dalam sebuah
tradisi lisan, yang terlindas oleh hiruk-pikuknya modernitas bahkan postmodernitas
sekarang ini. Pemahaman terhadap sebuah tradisi diperlukan jika mau memahami lebih
jauh budaya sebuah komunitas, sekecil apapun sebuah komunitas itu. Setiap komunitas
2
Tri Hita Karana merupakan landasan filosofis dalam membuat, menetapkan, memecahkan setiap
persoalan yang muncul pada masyarakat Bali khususnya, Indonesia umumnya. Artinya, orientasi
pemecahan masalah mengacu pada hubungan vertikal dan horizontal, yakni memiliki fondasi nilai agama
(parahyangan), berlandaskan pada hubungan harmonis antar komponen manusia itu sendiri secara
sosiologis, baik menyangkut perbedaan kaya-miskin, hubungan sosial, kekuasaan dan sebagainya
(pawongan). Dan memiliki keterkaitan dengan keseimbangan kosmologi yang terkait dengan lingkungan
(palemahan) Baca: I Gusti Ketut Kaler Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali 2, 1994. hal 85-90.

2
memiliki akar tradisi (tradition roots) yang berbeda-beda berdasarkan, geografis, adat-
istiadat, bahasa, agama dan sebagainya. Sebuah tradisi bisa lahir atas penghayatan
masyarakat terhadap alam lingkungannya sebagai jawaban pralogis dari sebuah misteri
alam sekitarnya. Oleh karena itu, dalam sebuah tradisi akan ditemukan juga fakta-fakta
budaya di dalamnya. Menurut Edi Sedyawati (1995:4) di dalam sebuah tradisi lisan
(sastra lisan) dapat digali fakta-fakta budaya, seperti: sistem geneologis, kosmologi dan
kosmogoni, sejarah, filsafat, etika, moral, sistem pengetahuan dan kaidah-kaidah
kebahasaan. Pengungkapan makna secara holistik fakta-fakta budaya itulah sebagai
alasan mengapa begitu penting arti sebuah tradisi lisan di masa kini (zaman modern).
Salah satu tradisi lisan yang akan dicermati pada kesempatan ini berasal dari
sebuah daerah yang disebut sebagai bagian dari masyarakat Bali Aga. Konsep Bali-Aga
merupakan konsep yang secara teoretis digunakan dalam rangka pengaruh Jawa-Hindu
di Bali terutama pasca-Majapahit (1343) pada saat ekspidisi Gajah Mada ke Bali.
Perbedaan ini adalah perbedaan pengaruh kebudayaan Jawa-Hindu di berbagai daerah di
Bali dalam zaman Majapahit dahulu, yang menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat
di Bali, ialah Bali Aga dan Bali Majapahit (wong Majaphit). Masyarakat Bali Aga kurang
sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindu dari Majapahit dan mempunyai
struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah
pegunungan, seperti: Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tigawasa di Kabupaten
Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem (Bagus,
(Bagus,1987:286). Orang Bali-Aga sekarang tinggal mendiami beberapa desa di
pegunungan di Bali Utara ialah desa-desa Sembiran, Pedawa, Tigawasa, Cempaga,
Sidatapa, dan desa-desa di Bali Selatan adalah Tenganan Pegrinsingan dan Trunyan
(Dhari,1985:241-242). Kedua tipe masyarakat Bali tersebut memiliki karakteristik
tersendiri termasuk dalam hal adat dan sistem kepercayaan yang berlaku sejak dahulu
sampai sekarang masih dipertahankan.
Sebuah Desa yang tidak masuk di dalam kategori di atas adalah daerah Munti
Gunung di Kabupaten Karangasem, yang sampai ini masyarakatnya ‘identik dengan
pengemis laten’ yang ada di Bali. Demikian juga daerah-daerah pegunungan tandus yang
berada di Kabupeten Buleleng bagian Timur, ternyata berkaitan dengan sebuah tradisi
lisan yang berkembang dari munculnya mitos air yang berhulu pada Gunung Batur dan

3
Danau Batur di Kintamani, Kabupaten Bangli. Keterkaitan ini bukan secara fakta
geografis maupun geopolotik, namun keterkaitan secara sosio-kultural, khususnya
masalah kosmologi dan kosmogoni yang tersirat dalam mitos ”I RATU AYU MAS
MAMPEH”3 sebuah mitos yang kekuasaan Ida Bhatari Batur4 sebagai penguasa air.
Masalah makna tradisi itu dalam kekinian akan diangkat dalam tulisan ini, dan diuraikan
lebih lanjut di bawah ini.

II. Pembahasan
2.1 Beberapa Penjelasan Konsep
Sebelum diuraikan pembahasan lebih lanjut, maka akan diberikan batasan
beberapa konsep yang terkait dengan judul di atas. Penjelasan ini dimaksudkan untuk
sekedar memberikan penegasan maupun pembatasan pada aspek analisis, agar tidak
terlampau out-focus. Istilah tersebut, antara lain:
2.1.1 Tradisi Lisan
Menurut Suripan Sadi Hutomo (1991:11), tradisi lisan itu mencakup beberapa hal,
yakni (1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang
berupa pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa
unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang
berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan (6) yang
berupa hukum adat. Kemudian Pudentia (1999:32-35) memberikan pemahaman tentang
hakikat orality sebagai berikut.
Tradisi lisan (oral tradition) mencakup segala hal yang berhubungan dengan
sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian
lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi, tradisi lisan tidak hanya
mencakup ceritera rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan
legenda seperti yang umumnya diduga orang, tetapi juga berkaitan dengan sistem
kognitif kebudayaan, seperti sejarah, hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan adalah
3
Mitos ini telah diterbitkan di dalam majalah Taksu, 2001. Edisi November. No.73 Tahun II. Dalam
kolom Asal-Usul. Penulisnya adalah Dr. Jero mangku Ketut Riana seorang Dosen Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali.
4
Bhatari Batur adalah sistem kedewataan dalam teologi Hindu yang merupakan sebuah konsepsi Purusa-
Pradana (laki-perempuan), di mana purusa adalah Siwa yang dilambangkan dengan linggam atau
gunung, dan danau batur sebagai pradana (wanita) yang dilambangkan dengan yoni atau danau. Dewa-
dewa dealam agama Hindu, khususnya Dewa-dewa tertinggi, digambarkan memiliki suatu kekuatan
(tenaga) yang diperlukan untuk melakukan semua “tugas” yang harus mereka jalankan. Kekauatan atau
tenaga ini disebut sakti dan seringkali diwujudkan sebagai dewi pasangan dewa-dewa tersebut. Hariani
Santiko,1992. hal.1. Bhatari Durgha. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

4
“segala wacana yang diucapkan/disampaikan secara turun-temurun meliputi yang
lisan dan yang beraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan
beraksara.” Tradisi lisan tidak hanya dimiliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata
“lisan” dalam pasangan lisan – tertulis berbeda dengan lisan-beraksara. Lisan
yang pertama (oracy) mengandung maksud ‘keberaksaraan bersuara’, sedangkan
lisan kedua (orality) mengandung maksud kebolehan bertutur secara beraksara.
Kelisanan dalam masyarakat beraksara sering diartikan sebagai hasil dari
masyarakat yang tidak terpelajar; sesuatu yang belum dituliskan; sesuatu yang
dianggap belum sempurna/matang, dan sering dinilai dengan kriteria
keberaksaraan.

Bila diberikan deskripsi tentang kelisanan dengan memakai ukuran dari hal-hal
yang berasal dari dunia keberaksaraan, masih ada hal-hal tertentu yang khas dari
kelisanan yang belum terungkap. Ada pula hal-hal yang diungkapkan, tetapi tidak
diwujudkan. Hal ini tidaklah berarti bahwa kelisanan sama sekali terlepas dari dunia
keberaksaraan atau sebaliknya, dunia keberaksaraan tidak berkaitan dengan dunia
kelisanan. Ada saling pengaruh di antara kedua dunia tersebut dan interaksi antara
keduanya justru sangat menarik (Teeuw, 1980:4-5). Hubungan di antara tradisi lisan dan
tradisi tulis khususnya dalam dunia Melayu didasari oleh anggapan bahwa dengan
mengetahui interaksi keduanya, baru dapat memahami masing-masing tradisi tersebut
(Sweeney, 1991:17-18).
Pada beberapa tempat hubungan atau penulisan tradisi lisan ke dalam naskah tulis,
sebagaimana telah dijelaskan pada hakikat kelisanan di atas, tentu memiliki latar
belakang yang berbeda-beda. Salah satunya sebagai bentuk pelestarian terhadap nilai-
nilai yang dianggap penting untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Dalam
perjalanannya, naskah-naskah yang berawal dari riwayat lisan menimbulkan banyak
versi. Hal ini dipengaruhi oleh selera penulis atau penyalinnya, dengan cara menambah
atau mengubah urutan atau alur cerita. Dengan demikian terdapat sejumlah besar naskah
tertulis yang asalnya dari riwayat atau sastra lisan (Lubis, 1996:13).
Jika tidak demikian, maka tradisi tersebut lama kelamaan akan hilang ditelan
zaman. Demikian halnya mitos I Ratu Ayu Mas Membah ini hingga kini masih diingat
dan dipercayai kebenaranya oleh daerah-daerah yang terlewati oleh persebaran mitos ini.
Perjalanan mitos ini telah memunculkan sejarah lisan tentang terbentuknya nama desa.
2.1.2 Konteks Masa Kini

5
Konteks masa kini yang dimaksudkan adalah sebuah tatanan kehidupan yang
dipengaruhi oleh budaya global. Globalisasi yang telah menjadi mode dalam ilmu-ilmu
sosial, merupakan kata kunci dalam resep-resep pakar ilmu manajemen dan kata bertuah
yang digunakan para wartawan dan politisi dari berbagai tingkatan untuk menarik
perhatian. Di mana-mana orang mengatakan bahwa sekarang hidup manusia ada dalam
zaman dengan kehidupan sosial yang sebagaian besar ditentukan oleh proses global;
dalam zaman dimana garis-garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah
nasional semakin kabur (Hirst,2001:1).
Konsekuensi mitos globalisasi tersebut adalah adanya sebuah perubahan besar
yang terjadi pada awal Milenium Ketiga, yaitu terbentuknya sebuah dunia baru akibat
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang didalamnya tercipta
berbagai definisi dan pemahaman baru mengenai apa yang disebut realitas. Di dalam
relasi baru realitas tersebut tanda tidak lagi merefleksikan realitas; representasi tidak lagi
berkaitan dengan kebenaran; informasi tidak lagi mengandung objektivitas pengetahuan.
Dunia baru itu, sebaliknya adalah dunia yang dibangun oleh berbagai bentuk distorsi
realitas, permainan bebas tanda, penyimpangan makna, dan kesemuan makna
(Piliang,2004:53).
Dalam perspektif sosial-budaya pada abad ke-21 tekanan-tekanan yang
mempengaruhi objek kebudayaan adalah; ekonomi, teknologi dan etika, hakikatnya
adalah Pertama perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan
mempengaruhi keputusan-keputusan estetik, ia akan berkembang ke arah sistem
kompleks. Kedua tekanan ekonomi pasar bebas telah mengubah konsep manusia
posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, bangsa dan negara.
Ketiga tekanan moral yang menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus
meningkat, termasuk tekanan pada objek kebudayaan (Pilliang, 1999:334-335). Suatu
peradaban baru sedang tumbuh dalam kehidupan manusia, peradaban ini membawa gaya
baru dalam kehidupan keluarga, mengubah cara kerja, cara bercinta dan cara hidup,
membawa tatanan ekonomi baru, konflik-konflik baru dan di atas semua itu mengubah
kesadaran manusia (Toffler,-1990:23). Konteks masa kini sebagaimana uraian tersebut,
seakan telah ‘menelan’ habis segala sesuatu yang yang berbau tradisi. Dengan demikian
pertanyaannya menjadi: apakah tradisi lisan masih mendapat tempat dalam konteks

6
budaya masa kini, dimana manusia telah ada dalam konteks modernisasi bahkan
posmodernitas. Penelusuran konteks kekinian dari tradisi inilah sesungguhnya
dimaksudkan dari konsep di atas itu.
2.1.3 Karakteristik Sosio-kultural Bali
Suku bangsa Bali yang menghuni pulau ini merupakan suatu kelompok etnik yang
terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya. Kesadaran kesatuan seperti itu
lebih diperkuat oleh adanya bahasa yang sama dan eksistensi agama Hindu yang telah
lama terintegrasi ke dalam kebudayaan Bali. Meskipun ada kesadaran yang demikian,
kebudayaan Bali pada hakikatnya mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat
(Bagus dkk,1981:1). Variasi ini bukan hanya berlaku antara kabupaten/kota di Bali,
namun juga berlaku antara desa di sebuah kabupaten, yang sering disebut sebagai bentuk
sima5.
Masyarakat Bali dalam tatanan kehidupan sosial-budayanya memiliki ciri-ciri
khusus sebagai sebuah komunitas yang disebut desa adat6 . Namun kehidupan sosial-
budaya masyarakat Bali sekarang ini telah mengalami berbagai perubahan. Paling tidak
terdapat sepuluh kecenderungan perubahan Bali pada permulaan abad XXI yang
mempengaruhi kebudayaannya, antara lain (1) makin sesaknya ruang pulau Bali yang
berdampak membesarnya tekanan terhadap manusia Bali dan kebudayaanya, (2) makin
padat dan heterogennya penduduk dengan beragam potensi konflik, (3) makin
berkembangnya format ekonomi industri dan jasa disertai dengan menurunnya ekonomi
agraris, (4) makin mengentalnya komitmen otonomi daerah dengan diiringi bangkitnya
primordialisme, (5) makin meluasnya dan kompleksnya jaringan relasi dengan menembus
batas-batas lokal, nasional, dan global, (6) makin berkembangnya demokrasi dengan
paradigma baru dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, (7) makin
terakselerasinya kemajuan pendidikan dan iptek dengan berbagai peluang dan

5
Sima adalah digunakan dalam wilayah adat kebiasaan yang berlaku pada satuan hidup setempat. Baca.
Warna dkk,1991. hal. 650. Kamus Bali – Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar propinsi Bali. Namun di sisi
lain kata sima sering mengalami bentukan menjadi sima-krama yang artinya hampir mirip dengan
silahturahmi. Dalam setiap kesatuan hidup setempat selalu terdapat sima yang berbeda-beda, meskipun
ada sima yang sama antara satu daerah dengan yang lain.
6
Dalam pandangan orang Bali konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu: pertama desa sebagai suatu
kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersama-sama mengonsepsikan dan mengaktifkan
upacara-upacara dan berbagai kegiatan soaial yang ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa
adat dan kedua desa sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dina. Geriya dkk,1981,
hal.44. Ssitem Kestuan hidup Stetempat Daerah Bali.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

7
tantangannya, (8) makin membesarnya partisipasi dan aksi pemeberdayaan perempuan,
(9) makin diversifikasinya kelembagaan sosial sebagai manifestasi demokratisasi,
lokalisasi, dan globalisasi, dan (10) makin tumbuhnya kesadaran akan signifikansi dari
kualitas SDM sebagai bagian dari persoalan dasar tentang arti dan makna kehidupan
sebagai manusia (Geriya,2000:43-50).
Kesepuluh kecenderungan tersebut akan mengubah karakteristik sosio-kultural
masyarakat di masa kini dan masa yang akan datang. Perubahan itu akan berdampak pada
kehidupan sosial masyarakar Bali secara vertikal (kaya-miskin) yang pada akhirnya
menuju pada kecemburuan sosial yang semakin tajam. Dibalik perubahan tersebut,
ternyata ada daerah-daerah tertentu di Bali yang mengalami masalah sosial khususnya
kemiskinan “yang laten” yang hingga kini sulit diatasi, yaitu penduduk Munti Gunung, di
Karangasem. Pertanyaannya adalah mengapa seakan sosio-kultur orang Munti Gunung
sulit dirubah bahkan hingga kini. Mungkin pertannyaaan ini akan dicoba diungkapkan
melalui tradisi lisan sebagaimana judul di atas, yang dikaitkan dengan karakteristik
kehidupan sosial dan topografi daerahnya.
2.1.4 Mitos I Ratu Ayu Mas Membah
Mitos merupakan sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Ini membenarkan
seseorang berprasangka bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide;
mitos adalah cara pemaknaan (Barthes,2004:152). Dalam mitos kita menyaksikan
bagaimana manusia menyusun suatu strategi, mengatur hubungan antara daya-daya
kekuatan alam semesta. Mitos adalahsebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah
tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat dituturkan, tetapi juga dapat
diungkapkan lewat tarian-tarian atau pementasan wayang misalnya. Inti-inti cerita itu
ialah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba; lambang-
lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan
dan kesuburan, firdaus dan akhirat (Peursen,1988:36-37).
Bagi Levi-Strauss mitos juga berada dalam dua waktu sekaligus, yaitu waktu yang
bisa berbalik, dan waktu yang tidak bisa berbalik. Ini terllihat dari fakta bahwa mitos
selalu menunjuk ke peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau; seperti adanya kata-
kata “konon dahulu kala”, “alkisah di zaman dahulu” dan sebagainya , selalu ditemukan
dalam setiap pembukaan sebuah mitos. Di puhak lain, pola-pola khas dari mitos

8
merupakan ciri yang membuat mitos dapat tetap relevan dan oprasional dalam konteks
yang ada sekarang. Pola-pola tertentu yang diungkapkan mitos, yang dideskripsikan oleh
mitos bersifat timeless. Pola-pola ini menjelaskan apa yang terjadi di masa lampau,
namun sekaligus juga dapat menjelaskan apa yang tengah terjadi sekarang, dan apa yang
akan terjadi di masa yang akan datang (Dalam Ahimsa-Putra,2001:81).
Berdasarkan pemahaman konsep mitos di atas tersebut, jalaslah bahwa mitos
masih memiliki relevansi dengan konteks kekinian. Sedikitnya mitos memiliki ‘logika
semesta’ yang patut dicermati untuk mengidentifikasi karakter sebuah komunitas tertentu.
Salah satunya adalah mitos I Ratu Ayu Mas Membah7, adalah mitos yang muncul dari
penguasa danau Batur (Dewi Danu) yang menjual (ngadep=bhs.Bali) yeh (air) sampai ke
daerah Buleleng timur bahkan sampai ke daerah Munti Gunung, Karangasem. Dalam
perjalanan penjualan air inilah dapat terindentifikasi daerah-daerah yang diberi anugrah
dan daerah-daerah yang dikutuk karena sesuatu hal. Untuk lebih jelasnya secara
deskriptif –analisis mitos tersebut akan diuraikan di bawah ini.

2.2 Analisis Mitos I Ratu Ayu Mas Membah dan Karakteristik Sosio-Kultural
Analisis ini merupakan analisis inti dari mitos I Ratu Ayu Mas Membah yang
dapat dicermati dari aspek kebahasaannya, dalam arti ungkapan bahasa tertentu
menunjukkan sebuah konsep sosio-budaya yang masih terlihat hingga sekarang ini.
Untuk itu akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
2.2.1 Sinopsis
Konon zaman dahulu di Gunung Tampu Hyang berstana Ida Bhatari Batur yang bergelar
I Ratu Ayu Mas Membah. Pada suatu hari beliau sedang berbincang-bincang dengan putranya I
Ratu Gede Nengah. Isi perbincangannya adalah mengenai amanat ayahandanya Ida Bhatara Indra
di Tirta Empul dahulu yang menyatakan air di Tirta Mampeh tidak diperkenankan membagikan
di sini dan harus dijual.
Mendengar renacana penjualan air tersebut, I Ratu Gede Nengah, menawarkan diri untuk
menjual air yang dimaksud, dengan alasan putranya itu khawatir kalau yang menjual air itu
seorang wanita, akan banyak godaannya. Namun ibunya, tetap tidak menijinkan putranya menjual
air, tetapi ibunya sendiri yang akan berangkat dengan mengubah diri menjadi seorang nenek tua,

7
Secara etimologi istilah I Ratu Ayu Mas adalah sebutan untuk kekuatan para Dewa yang disebut sakti
atau permaisur. Ayu Mas menandakan beliau adalah seorang dewi (pradana) yang disebutkan dalam
mitos ini sebagai permaisuri Dewa Indra (dewa hujan dan perang). Sedangkan kata membah artinya
mengalir, yang mengacu pada sesuatu yang mengalir, yaitu air atau dalam bahasa Bali disebut yeh,tirtha,
toya dan lain-lain. Dengan demikian, mitos ini adalah menunjukkan adanya “penguasa air” yang
memberikan anugrah maupun kutukan pada daerah-daerah tertentu menjadi berair atau kering/tandus.

9
kudisan, berjalan bungkuk dan air dimasukkan ke dalam dua buah labu lalu dipikulnya menuju
arah timur.
Sesampainya di daerah pegunungan sebelum desa Blandingan, air dlihat dan dituangkan
sedikit, karena beliau curiga sejak tadi air menetes di daerah Pinggan. Ternyata air itu memancar,
dan sejak itu daerah ini dinamakan Tirta Manik Muncar di sebelah barat desa Blandingan,
Kintamani.
Perjalanan diteruskan sambil menawarkan air yang dibawanya, namun setiap
menawarkan air selalu mendapat jawaban dari penduduk yang mengatakan bahwa untuk apa
membeli air karena di sini sudah ada air laut. Bahkan mengejek orang tua itu dengan ejekan yang
menyinggung perasaan. Orang tua itu merasa tersinggung lalu berkata, “wahai orang Munti
Gunung, engkau menghina aku, tidak tahu engkau kalau aku adalah Bhatari Batur. Mulai saat ini
semoga engkau menjadi peminta-minta dan menjadi cemohan orang lain, serta kehidupanmu
serba kekurangan”. Demikian kutukan Bhatari Batur yang merasa tersinggung.
Perjalanan dilanjutkan dan turun di Batu ringgit, lalu menawarkan air, namun karena bau
busuk dari badan orang tua itu tak satupun yang maun membeli airnya. Kemudian di tawarkan
kepada penduduk Panjingan, lalu penduduk Panjingan berniat membeli dengan dua kepeng, yaitu
satu kepeng untuk membayar air dan satu kepeng dengan menggadaikan sabit besar (tah),
sehingga hanya membayar dengan satu kepeng. Bhatari Batur lalu berkata, “untuk mengingat
bahwa Tuan membeli air dengan menggadaikan sabit, maka di tempat ini akan ada mata air yang
kadang-kadang mengeluarkan air, kadang-kadang tidak dan tempat ini dinamakan Yeh Tah”.
Yang satunya karena membayar, maka berilah nama Yeh mampeh (air terjun) seperti namanya di
batur.
Selanjutnya beliau menuju ke barat dan tiba di suatu tempat yang semula, yakni tempat
orang-orang buangan dari Sukawana, kastanya diturunkan. Di sana beliau menawarkan air dan
penduduk membeli dengan dua kepeng. Lalu Bhatari Batur berkata’ “Untuk mengingat bahwa
tuan membeli air, maka tempat ini dinamakan Banjar Batur. Sejak ini status tuan saya naikkan
yang semula menjadi abdi-kaula dan setelah saya datang menjadi bersinar, sehingga kelak desa
ini diberi nama Teja Kula (abdi yang bersinar). Sebagai bayarannya setiap tahun harus membayar
ke Batur di samping membayar dengan dua kepeng, serta sesaji atos”.
Penjualan dilanjutkan ke barat dan rupanya mendapat sambutan penduduk dengan
membeli air dengan tiga kepeng. Namun ketika gayung dimasukkan ke dalam labunya, ternyata
berisi beberapa jentik (temiluk), maka serta merta penduduk membatalkan membeli air dan akan
tetap menggunakan air sumur. Bhatari Batur berkata, “jika demikian tuan menghina saya, dan
tuan tak tahu saya Bhatari batur, karena kesombongan kalian, semoga sumur kalian tetap dalam
dan desa ini berubah menjadi “buhun dalem” yang artinya, “buhun dalem” adalah dalam, kini
desa tersebut bernama Bondalem, Kecamatan Tejakula, Kabupten Buleleng. Selesai

2.2.2 Mitos Sebagai Stereotipe Sosio-Kultural


Fungsi mitos yang pertama adalah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-
kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-
kekuatan itu, tetapi membentu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai
sesuatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.
Fungsi kedua dari mitos adalah bertalian erat dengan fungsinya yang pertama: mitos
memberi jaminan bagi masa kini. Banyak para ahli, di antara mereka juga G. van der
Leeuw, telah menerangkan fungsi itu dengan banyak contoh. Pada musim semi misalnya

10
bila ladang-ladang mulai digarap, diceritakan dongeng – tetapi ini juga dapat
diperagakan, misalnya dalam sebuah tarian—bagaimana pada zaman purbakala para
dewa juga mulai menggarap sawahnya dan memperoleh hasil yang berlimpah. Dengan
demikian fungsi-fungsi mitos adalah sebagai berikut: menampakkan kekuatan-kekuatan,
menjamin hari ini, memberi pengetahuan tentang dunia (Peursen,1988:58-40).
Berdasarkan fungsi mitos sebagaimana dijelaskan di atas, maka tampak
bagaimana mitos memberi pengaruh terhadap sukunya, untuk mengerti dan mampu
menghayati alam lingkungan yang membentuk dirinya. Kesadaran ini merupakan
kesadaran terhadap kosmis yang memberi makna terhadap kehidupan kelompok atau
individu yang empunya mitos bersangkutan.
Jika dicermati mitos di atas, nampaknya stereotipe daerah yang pertama
dijelaskan adalah makna kutukan8 yang dilakukan oleh tokoh Bhatari Batur yang juga
bergelar I Ratu Ayu Mas Membah. Kutukan itu ditujukan kepada orang-orang Munti
Gunung untuk menjadi pengemis. Untuk jelasnya simak kutipan berikut.
Tidak beberapa lama orang tua kudisan itu melanjutkan perjalanan sambil
menawarkan airnya. Setiap kali beliau menawarkan air selalu mendapat jawaban
dari penduduk yang mengatakan bahwa untuk apa membeli air karena di sini
sudah ada air laut. Tidak hanya itu, tidak jarang penduduk menyinggung bau
busuk penjual air. “jangan-jangan airnya berisi racun”, kata penduduk, “paling-
paling engkau mau meminta pekerjaan atau mengemis“. Orang tua itu merasa
tersinggung lalu berkata, “ Wahai orang Munti Gunung, engkau menghina aku,
tidak tahu engkau kalau aku adalah Bhatari batur. Mulai saat sekarang, semoga
engkau menjadi peminta-minta, dan menjadi cemohan orang lain, serta
kehidupanmu serba kekurangan. Kutukan itu benar adanya selanjutnya penduduk
Munti Gunung selalu meminta-minta (Teks. Mt.alinea III).

Munti Gunung adalah sebuah desa di Kecamatan Kubu, Karangasem yang


daerahnya secara topografi merupakan pegunungan tandus atau kering, meskipun sangat
dekat dengan laut di sebelah Timurnya. Munti Gunung ini masih merupakan satu
gugusan pegunungan yang membelah Bali menjadi Bali utara dengan Bali selatan. Jika

8
Kutukan dalam istilah Bali sering disebut sebagai pastu yang artinya kutuk; disamping kata pastu ada
juga bentukan mastu yang artinya mengutuk; mapastu yang artinya terkutuk; pamastu yang artinya
kutukan, dan pastuna yang artinya dikutuknya. Baca: Warna dkk,1991. hal 503. Kamus Bali – Indonesia.
Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali. Dalam konteks agama Hindu Kutukan berkaitan
dengan kemampuan indra keenam yang umumnya dimiliki oleh para dewa maupun para orang suci
zaman dahulu. Kutukan adalah hasil perbuatan seseorang yang hakikatnya tidak sesuai dengan norma-
norma yang berlaku. Namun kini kutuk-mengutuk juga dikumandangkan pada setiap perbuatan yang
bertentangan dengan kemanusiaan seperti pengeboman, pembunuhan dan sebagainya.

11
ditemukan orang yang mengemis di jalanan sekitar kota-kota di Bali, maka jawabannya
tidak jauh dari penduduk yang berasal dari Munti Gunung. Secara realitas mereka
mengemis hingga sekarang, meskipun pemerintah daerah asal maupun lainnya di Bali
telah memulangkan mereka baik secara persuasif maupun pulang paksa. Dalam bahasa
Bali pengemis ini sering disebut tukang idih-idih9, mereka keliling desa maupun kota
untuk meminta-minta sekedar untuk menyambung hidup sanak keluarganya.
Namun sekarang ini masalah gepeng ini bukan hanya menjadi titik perhatian
penduduk Munti Gunung, akan tetapi tidak menutup kemungkinan warga lain yang
mengatasnamakan orang dari Munti Gunung. Sekarang ini peminta-minta telah mewarnai
jalan-jalan di ibu kota, setiap persimpangan jalan, di pasar, di rumah, ataupun pusat-pusat
hiburan lainnya. Jika dihubungkan dengan mitos di atas, maka logika yang ditanamkan
adalah Munti Gunung tidak dikaruniai anugrah Tuhan berupa air yang menjadi titik tolak
subur-tidaknya suatu daerah. Kekeringan adalah salah satu faktor pembentuk karakter
orang menjadi “keras dan sedikit pemalas”, karena apapun yang dilakukan selalu dihantui
oleh kegagalan hasil yang diperolehnya. Dengan demikian, lebih baik mereka menjadi
pengemis daripada berusaha tanpa hasil apa-apa. Kemalasan cara berpikir dan berbuat ini
telah laten dan terus membudaya dari generasi ke genarasi sampai sekarang ini. Di sinilah
sosio-kultural secara stereotipe terbentuk bahkan seakan mendapat legitimasi kosmis.
Barangkali penting dibuat sebuah mitos baru di Munti Gunung, sebagai jawaban atas
kekerasan alam dengan mengambil analog pada mitos Hercules pada suku Indian, di
Amerika sebagai manusia super atau manusia penakluk alam.
Jika dicermati lebih dalam mitos di atas, maka cerita itu telah memberi pedoman
kepada manusia sekitarnya atau pemerintah daerah setempat sebuah logika antisipasi atas
kemiskinan dan pemiskinan mentalitas sosio-kultural orang Munti Gunung, agar: (1)
mencari benang merah antara mitos gunung dan air sebagai landasan filosofi mengatasi
kemiskinan di Munti Gunung, (2) mencoba menemukan akar sosio-kultural mengapa
orang Munti Gunung memiliki mentalitas seperti itu, (3) meningkatkan kualitas orang
9
Tukang idih-idih di Bali awalnya sering berasal dari daerah-daerah Trunyan (Kintamani, Bangli), Desa
Pemenang (Klungkung), dan Munti Gunung (Karangasem). Orang Trunyan dan Pemenang awalnya
meminta-minta dengan menggunakan sistem barter (tukar-menukar) barang dengan barang tertentu.
Orang Trunyan umumnya membawa bawang merah, kacang-kacangan, atau bawang putih lalu ditukar
dengan beras kepada setiap keluarga di daerah dataran baik di kota maupun di desa-desa. Sedangkan
orang pemenang membawa produk industri rumah tangga yang kebanyakan sebagai pengerajin ayaman
janur seperti topi (capil =bhs. Bali) lalu ditukar dengan janur atau uang.

12
Munti melalui pendidikan sehingga mentalitas tradisi tidak menjustifikasi perilaku
meraka, (4) mempelajari penstereotipan orang Munti sebagai pengemis dapat
dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk mencari keuntungan pribadi, (5) mengembangkan
daerah Munti Gunung yang berbasis lokal, artinya pengembangan harus sejalan dengan
tingkat pemahaman orang Munti sendiri terhadap alam sekitarnya. Demikian karakteristik
sosio-kultural yang tersirat dalam mitos I Ratu Ayu Mas Membah terhadap orang-orang
Munti Gunung.
2.2.3 Mitos sebagai Karakter Lingkungan Alam
Sederetan pegunungan yang menjadi titik jelajah mitos I Ratu Ayu Mas Membah,
ternyata memunculkan pola-pola karakter lingkungan alam pegunungan. Hal ini mulai
dari perjalanan Bhatari Batur yang memeriksa airnya hingga memunculkan Tirta Manik
Muncar di desa Pinggan Kintamani. Daerah ini berada di sebelah barat desa blandingan,
Kintamani, Bangli. Untuk lebih jelasnya simak kutipan berikut.
“sesampai di daerah pegunungan, sebelum desa Blandingan, air dilihat dan
dituangkan sedikit, karena beliau curiga sejak tadi air menetes di daerah Pinggan.
Ternyata air itu memancar dan air itu diberi nama Tirta Manik Muncar, letaknya
di daerah agak tinggi di sebelah barat Desa Blandingan, Kintamani, Bangli”
(Teks.Mt. alinea II).

Berdasarkan kutipan di atas, nampak bahwa pegunungan yang ada di Kintamani


umumnya memiliki curah hujan yang cukup baik. Mitos adanya air (Tirta Manik
Muncar) di daerah pegunungan Pinggan telah menyadarkan manusia untuk senantiasa
memlihara lingkungan itu sehingga tidak menimbulkan dampak kekeringan sebagaimana
daerah Munti Gunung di atas. Hingga kini gugusan pegunungan itu merupakan daerah-
daerah yang memiliki tingkat kesuburan yang cukup baik, sehingga cocok ditanami kopi
dan tanaman hortikultural lainnya.
Kemudian disebut ada daerah Batu Ringit yang memunculkan nama daerah yang
disebut Yeh Mampeh. Untuk lebih jelasnya simak kutipan berikut.
“Orang tua itu kembali melanjutkan perjalanan, dan turun di daerah Batu Ringit,
“tuan-tuan apa ada niat membeli air, saya menjual air”, pintanya. Karena baunya
menusuk hidung serta pakaiannya compang-camping, maka ada penduduk yang
mau membeli air. Orang tua itu berusaha menawarkan airnya, kali ini kepada
penduduk Panjingan, “Apakah ada niat Tuan membeli air ?, katanya. Penduduk
itu mengatakan berniat membeli air dengan dua kepeng, namun dengan ketentuan
satu kepeng untuk membayar air dan satu kepeng dengan menggadaikan sabit

13
besar (tah), sehingga membayar hanya satu kepeng. “Wahai Tuan pembeli air,
saya Bhatari Batur, untuk mengingat bahwa Tuan membeli air dengan
menggadaikan sabit besar, maka di tempat ini akan ada mata air yang terkadang
mengeluarkan air dan terkadang tidak dan tempat ini diberi nama Yeh Tah (air
sabit besar). Yang satunya lagi karena membayar, maka berilah nama Yeh
Mampeh (air terjun) seperti namanya di Batur. Nanti setiap upacara di Pura Ulun
Danu Batur, tuan membayarnya dengan “atos”(Teks. Mt alinea V-VI).

Jika disimak kutipan di atas, maka ada beberapa hal yang patut dicatat, yaitu (1)
penggunaan uang kepeng (pis bolong) sebagai alat pembayaran,10(2) terdapat daerah yang
bernama Yeh Tah (sabit besar), (3) terdapat nama daerah yang disebut Yeh mampeh (air
terjun), (4) terdapat hubungan sosio-religius orang di Yeh Mampeh yang wajib
11
mempersembahkan “atos”, jika ada upacara di Pura Ulun Danu Batur. Dengan
demikian, daerah-daerah itu sesungguhnya adalah daerah yang subur karena tidak
kekurangan air. Dengan kesuburan itu, sekaligus merupakan daerah penyangga eksistensi
Pura Ulun Danu Batur secara material. Hubungan sosio-religius ini telah mampu
menyatukan penduduk di daerah Pegunungan di Kintamani yang jaraknya cukup jauh
menjadi penyangga keberadaan dan keberlangsungan Pura batur ke sejak dulu hingga di
masa depan.
Selanjutnya perjalanan tokoh Bhatari Batur sampai di Balik bukit, yakni daerah
Buleleng Timur. Di tempat ini beliau menyaksikan orang-orang buangan dari Sukawana
(Kintamani, Bangli). Secara sosiologis beliau telah membebaskan orang-orang di sini dari
beban sosial yang tengah menimpanya. Untuk lebih jelasnya simak kutipan berikut.
“… terjadilah dialog antara pedagang dengan penduduk, “Apakah tuan akan
membali air ? Ada yang menjawab, “hamba akan membeli dengan dua kepeng”.
Mendengar permintaan penduduk, menjawab pedagang itu, “saya Bhatari Batur,
untuk mengingat bahwa tuan membeli air, maka tempat ini dinamakan Banjar
Batur. Sejak saat ini status tuan saya naikkan yang semula menjadi abdi-kaula,
dan setelah saya datang menjadi bersinar, sehingga kelak desa ini diberi nama
Teja Kula (abdi yang bersinar – lama-lama menjadi Tejakula). Sebagai
bayarannya setiap tahun harus membayar ke Batur di samping membayar dengan
10
Uang kepeng atau dalam istilah Bali disebut pipis-bolong, yaitu sejenis uang logam pecahan yang
diproduksi di Cina yang berbentuk bulat yang didalamnya berlubang segi empat (bolong=berlubang).
Uang kepeng ini sekarang digunakan untuk keperluan upacara keagamaan bagi umat Hindu, sebagai
lambang windu atau kosong. Uang kepeng yang asli sekarang ini sulit ditemukan karena memang tidak
diproduksi lagi, namun beberapa pengrajin di Bali telah mengembangkan namun tidak seperti produk
aslinya di negeri Cina.
11
Atos adalah persembahan sejenis upeti kepada pura batur, dalam bentuk sarana upacara keagamaan.
Namun dalam konteks sekarang ini kata atos juga dimaksudkan sebagai persembahan bahan mentah
kepada pada Pendeta yang menyelesaikan suatu uapacara keagamaan.

14
dua kepeng, serta sesaji atos. Penduduk hiliran Tejakula merasa senang dan
membayar dengan dua kepeng, juga memberikan kerbau yang dimasukkan ke
dalam bambu oleh Bhatari Batur “ (Teks Mt.alinea VII).

Jika disimak kutipan di atas, maka terdapat ekspansi Bhatari Batur ke Singaraja
Timur, sehingga yang perlu dicatat adalah (1) adanya daerah banjar Batur, (2) adanya
penduduk buangan dari kabupaten Bangli (Sukawana), (3) terbentuknya daerah Tejakula
yang sekarang menjadi kota Kecamatan Tejakula, (4) menyambungkan tradisi
kepercayaan Batur di Kintamani dengan penduduk Tejakula yang ternyata berasal dari
Sukawana, Kintamani, Bangli.
Dengan demikian, maka persembahan penduduk Tejakula ke Pura Batur setiap
ada upacara, merupakan pengukuhan secara sosio-religius bahwa penduduk Tejakula
masih nyungsung Bhatari Batur di Pura Ulun Danu Batur. Ini adalah akar budaya sebagai
perekat sosial antara Buleleng dengan Bangli. Di Tengah-tengah desa Tejakula
sesungguhnya terdapat sebuah mata air yang cukup besar, yang konon merupakan
rembesan dari danau Batur, sehingga kondisi penduduk Tejakula tergolong mampu dan
subur. Di Tahun 70-an ketika masih jayanya tanaman jeruk, maka penduduk Tejakula
masuk dalam daerah dengan pendapatan perkapita tinggi, namun setelah terkena virus
CVVD, jeruk menjadi hancur hingga sekarang penduduk trauma menanam jeruk.
2.2.4 Mitos dan Pusat Orientasai Religius
Suatu sistem kepecayaan yang erat dengan hubungannya dengan nilai-nilai
tradisional yang hidup di Bali adalah sistem kepercayaan terhadap klasifikasi dualistik
(oposisi biner), yaitu sistem klasifikasi alam semesta (makrokosmos) atas dua kategori
yang berlawanan, yakni; atas-bawah, sakral-profan, luan (hulu)-teben (hilir), laki-
perempuan, gunung-laut (sagara-giri) dan sebagainya. Klasifikasi tersebut
mencerminkan sifat religius masyarakat dan besar peranannya dalam pola tindakan
mereka sebagai warga suatu komunitas (Geriya dkk,1981:120).
Dua kategori tersebut dalam pandangan kosmologi Hindu di Bali memunculkan
arah suci yang mengacu pada konsep luan-teben (hulu-hilir). Sebagai luanan (hulu)
adalah gunung (tempat teringgi) yang dalam bahasa Bali disebut Kaja (utara menurut
konsepsi orang Bali). Arah mata angin di Bali diberikan nilai susila secara pasti, yakni
hulu, huluan, ataupun luan, merupakan arah yang dirasa bernilai tinggi (utama),

15
sedangkan teben adalah arah yang rendah nilainya (nista). Timur, yakni arah tempat
menanjaknya matahari, serta kaja (arah letak gunung pada umumnya; Utara bagi Bali
Selatan dan Selatan bagi Bali Utara) adalah arah hulu. Sebaliknya Barat dan Selatan
(kauh dan kelod) adalah arah teben (Kaler,1994:92).
Makna kata kaja sebagai arah hulu (luan) dan kaja-kangin sebagai arah kesucian
diambil dari kata kaadya (adya = gunung). Dengan demikian di Bali orang Bali Selatan
berhulu (arah kaja) ke gunung yang terletak disebelah Utara, sedangkan bagi orang Bali
Utara (Singaraja), berhulu (arah kaja) ke gunung yang terletak disebelah Selatan
Singaraja. Gunung bagi orang Bali adalah sebagai pusat orientasi religius, estetis, dan
mengandung nilai etika (susila). Karena diyakini gunung merupakan tempat
bersemayamnya para Dewa (baca: Dihhyang = dalam Tantu Panggelaran). Dalam Mitos
I Ratu Ayu Mas Membah jelas bahwa mitos ini mengukuhkan bahwa Batur sebagai pusat
orientasi (arah religius) bagi orang Bangli, Munti Gunung (Karangasem), Tejakula
(Buleleng) supaya tetap menggunakan arah Gunung Batur sebagai puncak nilai kesucian
khususnya di Pura Ulun Danu Batur. Pada alinea I disebutkan ”Di Gunung Tampur
Hyang berstana Ida Bhatari batur yang bergelar I Ratu Ayu Mas Membah”. Tampur
Hyang adalah sebutan lain untuk Gunung Batur sebagai stana Ida Bhatari Batur
(penguasa air). Demikian mitos telah menjelaskan konsepsi kepercayaan orang Bali
terhadap tata ruang kosmologinya, dimana gunung menjadi puast orientasi nilai kesucian,
estetika dan etika.
2.2.5 Mitos dan Hakikat Air dalam Masyarakat Bali
Keunikan lingkungan Bali terbentuk berkat adanya sistem kearifan tradisional,
yakni konsep berpikir yang merupakan sintesis antara ketajaman analisis da kepekaan
rasa. Kearifan tradisional Bali senantiasa berupaya mencapai keseimbangan, keserasian
dan keharmonisan Tuhan-manusia dan lingkungan dengan mengsubordinasikan
keberadaan manusia dalam sebuah totalitas alam semesta (Surata,1999:34). Adanya
konsepsi nyagara-gunung sesungguhnya adalah pemahaman akan sirkulasi air secara
alamiah. Dengan ketentuan bahwa keduanya dalam kondisi wajar (normal), artinya
gunung masih tetap berfungsi sebagai daerah penyangga dan resapan air hujan melalui
kelebatan hutannya. Pemeliharaan hutan sebagai hulu (luan) akan berpengaruh pada
posisi air di hilir (teben).

16
Orang Bali mulai terkikis kesadaran akan hakikat air dalam tatanan sosio-
religiusnya. Orang Bali memuja dewa Wisnu sebagai dewa air, namun hakikat air justru
tidak dipahami dengan benar. Jika perlakuan terhadap eksistensi air melalui hutan
pegunungan sudah tidak berorientasi pada keseimbangan nilai antara luan-teben,
nyagara-gunung dan sebagainya, maka setiap haripun Wisnu dipuja, Bali tetap akan
mengalami krisis air.
Mitos I Ratu Ayu Mas Membah ini telah menjelaskan hakikat air bagi kehidupan
manusia dengan adanya “pusat-pusat” air yang ditorehkan oleh tokoh Bhatari Batur
sebagai tonggak pemeliharaan air di daerah pegunungan di Kintamani dan Tejakula.
Adanya kewajiban orang-orang di luar Batur untuk mempersembahkan upeti (atos) ke
Batur adalah sebuah konsepsi bagaimana semua orang Bali agar memelihara daerah
pegunungan dengan hutannya sebagai “pusat perairan di Bali Utara dan Bali Selatan.
Menumbuhkan kesadaran ini salah satunya dapat dilakukan melalui mitos I Ratu Ayu
Mas Membah ini. Jika manusia Bali masih menganggap gunung dan hutannya sebagai
pusat air (hakikat air), sebagai hulu (kepala), arah suci, dan tempat para dewa yang harus
dipelihara, maka kerusakan lingkungan, kekeringan, tidak mungkin terjadi. Apalagi
proyek geothermal Bedugul telah menggunduli hutan (hulu=kepala) orang Bali, mungkin
dampaknya bukan sekejap, namun dalam jangka panjang tidak hanya merusak tata
lingkungan fisik, namun lebih luas adalah rusaknya tatanan kosmologi Hindu Bali.

III. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi
sebagai sebuah simpulan adalah sebagai berikut.
Tradisi lisan lisan sesungguhnya masih sangat relevan untuk diungkapkan di masa
kini, karena tradisi lisan memberikan pedoman bagaimana manusia menghayati hidupnya
berkaitan dengan alam semesta. Dalam tradisi lisan terkandung nilai, geneologi,
kosmologi, kosmogoni, etika, moralitas dan sebagainya.
Mitos I Ratu Ayu Mas Membah adalah mitos yang sesungguhnya memberikan
manusia Bali konsepsi dasar yang menyangkut; karakteristik sosio-kultural, karakteristik
daerah tertentu, pengetahuan pusat orientasi nilai orang Bali, dan hakikat air bagi
kehidupan manusia Bali. Dengan demikian, mitos menyediakan logika kepada manusia,

17
pertama perlakuan manusia terhadap alam lingkungannya, kedua perlakuan manusia
terhadap tata ruang kosmologinya (etika luan-teben), ketiga senantiasa mencari akar
masalah setiap akan menyelesaikan masalah, keempat rasa kebersamaan itu bisa muncul
dari sebuh mitos melalui keterikatan sosio-religius, kelima membiasakan diri
menganalisis permasalahan dengan pendekatan holistik-integralistik untuk mencapai
hasil yang sempurna.

Daftar Pustaka
Ahmad, Yani,. 1998. Wawancara tanggal 8 Februari sebagai Tokoh dan Seniman Janger
di Jember.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri.2001. Srtukturalisme Levi-Strauss. Mitos dan Karya Sastra.


Yogyakarta: Galang Press.

Bagus, I Gusti Ngurah dkk.1981. Ikhtisar Etnografi Bali Utara (Sebuah Laporan
Penelitian). Denpasar: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas
Udayana.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1987. “Manusia dan Kebudayaan Bali”. Dalam Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Editor Koentjaraningrat. Jakarta: Djambatan.

Barthes, Roland.2004. Mitologi. Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Dhari, Mas Aboe,1985. “Upacara Ngaben di Bali”. Dalam Ritus Peralihan di Indonesia.
Editor Koentjaraningrat. Jakarta: Balai Pustaka.

Duija, I Nengah.2006. Revitalisasi Modal Sosial Orang Bali Berbasis Kearifan Lokal.
Makalah Seminar Nasional’ Bali Bangkit Bali Kembali. Jakarta: Menbudpar
RI.

Geriya, I Wayan dkk.1981. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan daerah Bali.

Geriya, I Wayan.2000. Tranformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar:


Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Hardiman, Budi F.2003. Melampui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis


tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Herusantoto, Budiono, 1987 Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Kanisius

18
Hirst, Paul dan Grahame Thompson,2001. Globalisasi Adalah Mitos. Sebuah Kesangsian
Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia dan Kemungkinan
Aturan Mainnya. Penerjemah P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Hutomo, Suripan Sadi.1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan.
Surabaya: HISKI Jawa Timur.

Kaler, I Gusti Ketut.1992. Butir-Butir Tercecer tantang Adat Bali 2. Denpasar: Kayumas
Agung.

Lubis, Nabilah. 1996. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum
Kajian Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.

Manuaba, Ida Bagus Adnyana.1999 .”Isu, Problema, dan Masa Depan Bali”. Dalam Bali
dan Masa Depannya. Penyunting I Wayan Suparta. Denpasar: Bali Post.

Kayam, Umar, 1981. Seni Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Gramedia

Peursen, van C.A. 1988. Strategi Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius.

Pudentia MPSS (Ed). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

________________.1999. Makyong : Transformasi Seni Melayu Riau. Laporan


Penelitian. Jakarta: ATL

Pilliang, Yasraf Amir,1999. Sebuah Dunia yang Dilipat Realitas Kebudayaan Menjelang
Millenium Ketiga Dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan

--------------------------,2004. Posrealitas. Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika.


Bandung: Penerbit Jalasutra.

Santiko, Hariani.1992. Bhatari Dugha. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Sedyawati, Edi,1981 Pertumbuhan Seni Pertunjukkan . Jakarta: Sinar Harapan.

------------------,1995. “Kedudukan Tradisi Lisan dalam ilmu-ilmu Sosial dan Budaya” :


Makalah Semiloka Tradisi Lisan Nusantara 1-21 Juni di Malang.

Surata, Kaler.1999. “Keunikan Lingkungan Bali : Kemantapan yang Rapuh”. Dalam Bali
dan Masa Depannya. Penyunting I Wayan Suparta. Denpasar: Bali Post.

Sutawan, I Nyoman,1997. “Prospek Kajian Subak Dalam Pergeseran Masyarakat Agraris


Ke Masyarakat Industri”. Dalam Masalah Budaya Dan Pariwisata
Dalam Pembangunan. I Gusti Ngurah Bagus (Penyunting). Denpasar:
Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana.

19
Sweney, Amin. 1991. Malay Word Music: A Celebration of Oral Creativity. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Toffler, Alvin,1990. The Third Wave. Gelombang Ketiga. Jakarta: Pantja Simpati

Warna, I Wayan dkk.1991. Kamus Bali – Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar
Propinsi Bali.

20
ABSTRAK
TRADISI LISAN DALAM KONTEKS MASA KINI: KARAKTERISTIK
SOSIAL- KULTURAL DIBALIK MITOS
I RATU AYU MAS MEMBAH12
Oleh : Dr. I Nengah Duija, M.Si13

Mitos dan logos keduanya adalah momen-momen dalam pengetahuan manusia


mengenai kenyataan yang sama-sama berusaha menyusun skema kenyataan agar dapat
dimengerti secara teratur. Mitos dan logos adalah dua saudara sekandung yang
sebenarnya memiliki musuh bersama, yaitu khaos atau kekacaubaluan. Manusia tidak
tahan hidup dalam sebuah dunia yang tidak mampu memberikan jawaban atas mengapa-
nya kehidupan dan realitas, dan mitos adalah kakak kandung logos yang menyelematkan
manusia dari khaos dan logos datang kemudian tampil lebih maju (Hardiman,2003:172).
Mitos itu adalah memiliki akar yang kuat pada setiap tradisi lisan di mana mitos itu
tumbuh dan berkembang.
Salah satu tradisi lisan yang akan dicermati pada kesempatan ini berasal dari
sebuah daerah yang disebut sebagai bagian dari masyarakat Bali Aga. Konsep Bali-Aga
merupakan konsep yang secara teoretis digunakan dalam rangka pengaruh Jawa-Hindu
di Bali terutama pasca-Majapahit (1343) pada saat ekspidisi Gajah Mada ke Bali.
Perbedaan ini adalah perbedaan pengaruh kebudayaan Jawa-Hindu di berbagai daerah di
Bali dalam zaman Majapahit dahulu, yang menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat
di Bali, ialah Bali Aga dan Bali Majapahit (wong Majaphit). Masyarakat Bali Aga kurang
sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindu dari Majapahit dan mempunyai
struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah
pegunungan, seperti: Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tigawasa di Kabupaten
Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem (Bagus,
(Bagus,1987:286). Orang Bali-Aga sekarang tinggal mendiami beberapa desa di
pegunungan di Bali Utara ialah desa-desa Sembiran, Pedawa, Tigawasa, Cempaga,
Sidatapa, dan desa-desa di Bali Selatan adalah Tenganan Pegrinsingan dan Trunyan
(Dhari,1985:241-242). Kedua tipe masyarakat Bali tersebut memiliki karakteristik
tersendiri termasuk dalam hal adat dan sistem kepercayaan yang berlaku sejak dahulu
sampai sekarang masih dipertahankan.
Sebuah Desa yang tidak masuk di dalam kategori di atas adalah daerah Munti
Gunung di Kabupaten Karangasem, yang sampai ini masyarakatnya ‘identik dengan
pengemis laten’ yang ada di Bali. Demikian juga daerah-daerah pegunungan tandus yang
berada di Kabupeten Buleleng bagian Timur, ternyata berkaitan dengan sebuah tradisi
lisan yang berkembang dari munculnya mitos air yang berhulu pada Gunung Batur dan
Danau Batur di Kintamani, Kabupaten Bangli. Keterkaitan ini bukan secara fakta
geografis maupun geopolotik, namun keterkaitan secara sosio-kultural, khususnya
12
Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan Nusantara pada tanggal
1-4 Desember 2006 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang diselenggarakan oleh Direktorat
Tradisi, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi
Lisan Nusantara (ATL).
13
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, sekarang sebagai Asiten
Direktur I Program Pascasarjana IHDN Denpasar.

21
masalah kosmologi dan kosmogoni yang tersirat dalam mitos ”I RATU AYU MAS
MAMPEH”14 sebuah mitos yang kekuasaan Ida Bhatari Batur15 sebagai penguasa air.
Masalah makna tradisi itu dalam kekinian akan diangkat dalam tulisan ini, dan diuraikan
lebih lanjut di bawah ini.
Mitos merupakan sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Ini membenarkan
seseorang berprasangka bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide;
mitos adalah cara pemaknaan (Barthes,2004:152). Dalam mitos kita menyaksikan
bagaimana manusia menyusun suatu strategi, mengatur hubungan antara daya-daya
kekuatan alam semesta. Mitos adalahsebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah
tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat dituturkan, tetapi juga dapat
diungkapkan lewat tarian-tarian atau pementasan wayang misalnya. Inti-inti cerita itu
ialah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba; lambang-
lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan
dan kesuburan, firdaus dan akhirat (Peursen,1988:36-37).
Berdasarkan pemahaman konsep mitos di atas tersebut, jalaslah bahwa mitos
masih memiliki relevansi dengan konteks kekinian. Sedikitnya mitos memiliki ‘logika
semesta’ yang patut dicermati untuk mengidentifikasi karakter sebuah komunitas tertentu.
Salah satunya adalah mitos I Ratu Ayu Mas Membah16, adalah mitos yang muncul dari
penguasa danau Batur (Dewi Danu) yang menjual (ngadep=bhs.Bali) yeh (air) sampai ke
daerah Buleleng timur bahkan sampai ke daerah Munti Gunung, Karangasem. Dalam
perjalanan penjualan air inilah dapat terindentifikasi daerah-daerah yang diberi anugrah
dan daerah-daerah yang dikutuk karena sesuatu hal. Untuk lebih jelasnya secara
deskriptif –analisis mitos tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Fungsi mitos yang pertama adalah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-
kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-
kekuatan itu, tetapi membentu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai
sesuatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.
Fungsi kedua dari mitos adalah bertalian erat dengan fungsinya yang pertama: mitos
memberi jaminan bagi masa kini. Banyak para ahli, di antara mereka juga G. van der
Leeuw, telah menerangkan fungsi itu dengan banyak contoh. Pada musim semi misalnya
bila ladang-ladang mulai digarap, diceritakan dongeng – tetapi ini juga dapat
diperagakan, misalnya dalam sebuah tarian—bagaimana pada zaman purbakala para
dewa juga mulai menggarap sawahnya dan memperoleh hasil yang berlimpah. Dengan
14
Mitos ini telah diterbitkan di dalam majalah Taksu, 2001. Edisi November. No.73 Tahun II. Dalam
kolom Asal-Usul. Penulisnya adalah Dr. Jero mangku Ketut Riana seorang Dosen Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali.
15
Bhatari Batur adalah sistem kedewataan dalam teologi Hindu yang merupakan sebuah konsepsi Purusa-
Pradana (laki-perempuan), di mana purusa adalah Siwa yang dilambangkan dengan linggam atau
gunung, dan danau batur sebagai pradana (wanita) yang dilambangkan dengan yoni atau danau. Dewa-
dewa dealam agama Hindu, khususnya Dewa-dewa tertinggi, digambarkan memiliki suatu kekuatan
(tenaga) yang diperlukan untuk melakukan semua “tugas” yang harus mereka jalankan. Kekauatan atau
tenaga ini disebut sakti dan seringkali diwujudkan sebagai dewi pasangan dewa-dewa tersebut. Hariani
Santiko,1992. hal.1. Bhatari Durgha. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
16
Secara etimologi istilah I Ratu Ayu Mas adalah sebutan untuk kekuatan para Dewa yang disebut sakti
atau permaisur. Ayu Mas menandakan beliau adalah seorang dewi (pradana) yang disebutkan dalam
mitos ini sebagai permaisuri Dewa Indra (dewa hujan dan perang). Sedangkan kata membah artinya
mengalir, yang mengacu pada sesuatu yang mengalir, yaitu air atau dalam bahasa Bali disebut yeh,tirtha,
toya dan lain-lain. Dengan demikian, mitos ini adalah menunjukkan adanya “penguasa air” yang
memberikan anugrah maupun kutukan pada daerah-daerah tertentu menjadi berair atau kering/tandus.

22
demikian fungsi-fungsi mitos adalah sebagai berikut: menampakkan kekuatan-kekuatan,
menjamin hari ini, memberi pengetahuan tentang dunia (Peursen,1988:58-40).
Stereotipe daerah yang pertama dijelaskan adalah makna kutukan17 yang
dilakukan oleh tokoh Bhatari Batur yang juga bergelar I Ratu Ayu Mas Membah. Munti
Gunung adalah sebuah desa di Kecamatan Kubu, Karangasem yang daerahnya secara
topografi merupakan pegunungan tandus atau kering, meskipun sangat dekat dengan laut
di sebelah Timurnya. Munti Gunung ini masih merupakan satu gugusan pegunungan
yang membelah Bali menjadi Bali utara dengan Bali selatan. Jika ditemukan orang yang
mengemis di jalanan sekitar kota-kota di Bali, maka jawabannya tidak jauh dari
penduduk yang berasal dari Munti Gunung. Secara realitas mereka mengemis hingga
sekarang, meskipun pemerintah daerah asal maupun lainnya di Bali telah memulangkan
mereka baik secara persuasif maupun pulang paksa. Dalam bahasa Bali pengemis ini
sering disebut tukang idih-idih18, mereka keliling desa maupun kota untuk meminta-minta
sekedar untuk menyambung hidup sanak keluarganya.
Jika dicermati lebih dalam mitos di atas, maka cerita itu telah memberi pedoman
kepada manusia sekitarnya atau pemerintah daerah setempat sebuah logika antisipasi atas
kemiskinan dan pemiskinan mentalitas sosio-kultural orang Munti Gunung, agar: (1)
mencari benang merah antara mitos gunung dan air sebagai landasan filosofi mengatasi
kemiskinan di Munti Gunung, (2) mencoba menemukan akar sosio-kultural mengapa
orang Munti Gunung memiliki mentalitas seperti itu, (3) meningkatkan kualitas orang
Munti melalui pendidikan sehingga mentalitas tradisi tidak menjustifikasi perilaku
meraka, (4) mempelajari penstereotipan orang Munti sebagai pengemis dapat
dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk mencari keuntungan pribadi, (5) mengembangkan
daerah Munti Gunung yang berbasis lokal, artinya pengembangan harus sejalan dengan
tingkat pemahaman orang Munti sendiri terhadap alam sekitarnya. Demikian karakteristik
sosio-kultural yang tersirat dalam mitos I Ratu Ayu Mas Membah terhadap orang-orang
Munti Gunung.
Sederetan pegunungan yang menjadi titik jelajah mitos I Ratu Ayu Mas
Membah, ternyata memunculkan pola-pola karakter lingkungan alam pegunungan. Hal
ini mulai dari perjalanan Bhatari Batur yang memeriksa airnya hingga memunculkan
Tirta Manik Muncar di desa Pinggan Kintamani. Daerah ini berada di sebelah barat desa
blandingan, Kintamani, Bangli. Nampak bahwa pegunungan yang ada di Kintamani
umumnya memiliki curah hujan yang cukup baik. Mitos adanya air (Tirta Manik

17
Kutukan dalam istilah Bali sering disebut sebagai pastu yang artinya kutuk; disamping kata pastu ada
juga bentukan mastu yang artinya mengutuk; mapastu yang artinya terkutuk; pamastu yang artinya
kutukan, dan pastuna yang artinya dikutuknya. Baca: Warna dkk,1991. hal 503. Kamus Bali – Indonesia.
Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali. Dalam konteks agama Hindu Kutukan berkaitan
dengan kemampuan indra keenam yang umumnya dimiliki oleh para dewa maupun para orang suci
zaman dahulu. Kutukan adalah hasil perbuatan seseorang yang hakikatnya tidak sesuai dengan norma-
norma yang berlaku. Namun kini kutuk-mengutuk juga dikumandangkan pada setiap perbuatan yang
bertentangan dengan kemanusiaan seperti pengeboman, pembunuhan dan sebagainya.
18
Tukang idih-idih di Bali awalnya sering berasal dari daerah-daerah Trunyan (Kintamani, Bangli), Desa
Pemenang (Klungkung), dan Munti Gunung (Karangasem). Orang Trunyan dan Pemenang awalnya
meminta-minta dengan menggunakan sistem barter (tukar-menukar) barang dengan barang tertentu.
Orang Trunyan umumnya membawa bawang merah, kacang-kacangan, atau bawang putih lalu ditukar
dengan beras kepada setiap keluarga di daerah dataran baik di kota maupun di desa-desa. Sedangkan
orang pemenang membawa produk industri rumah tangga yang kebanyakan sebagai pengerajin ayaman
janur seperti topi (capil =bhs. Bali) lalu ditukar dengan janur atau uang.

23
Muncar) di daerah pegunungan Pinggan telah menyadarkan manusia untuk senantiasa
memlihara lingkungan itu sehingga tidak menimbulkan dampak kekeringan sebagaimana
daerah Munti Gunung di atas. Hingga kini gugusan pegunungan itu merupakan daerah-
daerah yang memiliki tingkat kesuburan yang cukup baik, sehingga cocok ditanami kopi
dan tanaman hortikultural lainnya. Di samping itu gunung juga sebagai pusat orientasi
nilai yang dapat dilihat dari konsep arah. Makna kata kaja sebagai arah hulu (luan) dan
kaja-kangin sebagai arah kesucian diambil dari kata kaadya (adya = gunung). Dengan
demikian di Bali orang Bali Selatan berhulu (arah kaja) ke gunung yang terletak
disebelah Utara, sedangkan bagi orang Bali Utara (Singaraja), berhulu (arah kaja) ke
gunung yang terletak disebelah Selatan Singaraja. Gunung bagi orang Bali adalah sebagai
pusat orientasi religius, estetis, dan mengandung nilai etika (susila). Karena diyakini
gunung merupakan tempat bersemayamnya para Dewa (baca: Dihhyang = dalam Tantu
Panggelaran). Dalam Mitos I Ratu Ayu Mas Membah jelas bahwa mitos ini mengukuhkan
bahwa Batur sebagai pusat orientasi (arah religius) bagi orang Bangli, Munti Gunung
(Karangasem), Tejakula (Buleleng) supaya tetap menggunakan arah Gunung Batur
sebagai puncak nilai kesucian khususnya di Pura Ulun Danu Batur. Pada alinea I
disebutkan ”Di Gunung Tampur Hyang berstana Ida Bhatari batur yang bergelar I Ratu
Ayu Mas Membah”. Tampur Hyang adalah sebutan lain untuk Gunung Batur sebagai
stana Ida Bhatari Batur (penguasa air). Demikian mitos telah menjelaskan konsepsi
kepercayaan orang Bali terhadap tata ruang kosmologinya, dimana gunung menjadi puast
orientasi nilai kesucian, estetika dan etika.
Orang Bali mulai terkikis kesadaran akan hakikat air dalam tatanan sosio-religiusnya.
Orang Bali memuja dewa Wisnu sebagai dewa air, namun hakikat air justru tidak
dipahami dengan benar. Jika perlakuan terhadap eksistensi air melalui hutan pegunungan
sudah tidak berorientasi pada keseimbangan nilai antara luan-teben, nyagara-gunung dan
sebagainya, maka setiap haripun Wisnu dipuja, Bali tetap akan mengalami krisis air.
Mitos I Ratu Ayu Mas Membah ini telah menjelaskan hakikat air bagi kehidupan manusia
dengan adanya “pusat-pusat” air yang ditorehkan oleh tokoh Bhatari Batur sebagai
tonggak pemeliharaan air di daerah pegunungan di Kintamani dan Tejakula. Adanya
kewajiban orang-orang di luar Batur untuk mempersembahkan upeti (atos) ke Batur
adalah sebuah konsepsi bagaimana semua orang Bali agar memelihara daerah
pegunungan dengan hutannya sebagai “pusat perairan di Bali Utara dan Bali Selatan.
Menumbuhkan kesadaran ini salah satunya dapat dilakukan melalui mitos I Ratu Ayu
Mas Membah ini. Jika manusia Bali masih menganggap gunung dan hutannya sebagai
pusat air (hakikat air), sebagai hulu (kepala), arah suci, dan tempat para dewa yang harus
dipelihara, maka kerusakan lingkungan, kekeringan, tidak mungkin terjadi. Apalagi
proyek geothermal Bedugul telah menggunduli hutan (hulu=kepala) orang Bali, mungkin
dampaknya bukan sekejap, namun dalam jangka panjang tidak hanya merusak tata
lingkungan fisik, namun lebih luas adalah rusaknya tatanan kosmologi Hindu Bali.

24

You might also like