You are on page 1of 10

TRADISI PANTUN DALAM NYANYIAN

DESA LETWURUNG KEPULAUAN BABAR


MALUKU TENGGARA BARAT

Oleh: Mariana Lewier1

Pengantar
Wilayah Kepulauan Maluku dikenal dengan julukan Seribu Pulau karena terdiri dari
banyak pulau besar dan kecil yang kaya dengan berbagai hal yang berharga. Salah satu
hal berharga yang perlu diingat dan dilestarikan adalah bahasa sebagai bagian dari
kebudayaan Maluku pada umumnya. Menurut Taber (1996) kurang lebih terdapat 200
bahasa daerah yang digunakan di Maluku, mulai dari Maluku Utara (sekarang telah
menjadi Provinsi tersendiri) hingga Kabupaten Maluku Tenggara Barat, termasuk di
dalamnya bahasa Melayu Ambon yang digunakan sebagai bahasa penghubung
antardaerah selain bahasa Indonesia.

Dengan media bahasa daerah yang tersebar di berbagai pulau di wilayah Kepulauan
Maluku, kita menemukan banyak tradisi lisan yang menjadi aset kekayaan budaya yang
tak ternilai. Di bidang sastra lisan atau tradisi lisan, masyarakat Maluku memiliki tradisi
bercerita dan berpuisi yang masih tetap dipelihara sampai saat ini. Berbagai dongeng,
mitos, legenda, pantun, dan mantra diyakini sebagai bagian dari jati diri setiap pewaris
tradisi tersebut. Tari-tarian daerah yang ada juga banyak yang disajikan secara integratif
bersama pantun dan musik pengiring yang khas, seperti tifa, suling bambu, tahuri (alat
tiup yang terbuat dari kerang laut/bia laut, atau pun jup (gitar kecil sejenis ukulele). Satu
catatan penting adalah bahwa tradisi drama hampir tidak ada di Maluku (pernyataan ini
berdasarkan survei di beberapa wilayah Maluku yang penulis lakukan bersama
mahasiswa sejak tahun 2001), tetapi salah satu tradisi spontanitas (sejenis sosiodrama)
sering dilakukan dalam perayaan hari-hari besar keagamaan nasrani.

Salah satu bentuk tradisi lisan yang cukup popular di kalangan masyarakat Maluku
adalah tradisi pantun. Pantun sebagai suatu bentuk puisi lama menjadi alat penyuara
kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dalam berbagai bentuk dan ragam bahasa

1
Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Pattimura Ambon

1
daerah di Maluku. Pada wilayah Maluku Tenggara Barat, khususnya di Desa Letwurung
Pulau Babar Besar, tradisi pantun menjadi suatu identitas yang selalu dinyatakan dalam
acara-acara adat maupun acara-acara khusus lainnya. Oleh karena itu, penulis
mengangkat topik tentang Pantun-Pantun dari Desa Letwurung ini sebagai suatu
pengenalan tradisi lisan dari Maluku yang belum begitu dikenal, bahkan oleh kalangan
masyarakat daerah lainnya di Maluku mengingat begitu luasnya wilayah Kepulauan
Maluku.

Sekilas tentang Kepulauan Babar

Kepulauan Babar yang terletak di selatan Provinsi Maluku juga terdiri atas beberapa
pulau besar dan kecil. Salah satunya adalah Pulau Babar itu sendiri yang terdiri atas
beberapa desa. Kata Babar itu sendiri memiliki arti ’terbakar, terbentang, terpapar,
terhambar’. Membabarkan berarti ’membentangkan, menghamparkan, mengembangkan,
menerangkan’.

Dalam mitos yang diyakini hingga saat ini, menurut orang tua-tua di Kepulauan Babar,
ada sebuah mitos tentang pulau-pulau yang merupakan Kepulauan Babar. Mitos tersebut

2
menyatakan bahwa Kepulauan Babar merupakan tubuh seorang manusia yang dipotong-
potong dengan bagian-bagian sebagai berikut:
a. Pulau Babar besar adalah tubuhnya/badan
b. Pulau Wetang adalah salah satu kakinya, dan Pulau Masela adalah kakinya yang
lain.
c. Pulau Dai adalah kepalanya
d. Pulau Dawelor dan Dawera adalah kedua matanya
e. Pulau Luang adalah salah satu tangannya, Pulau Sermatang adalah tangannya
yang lain
f. Pulau-Pulau Teon, Nila, dan Serua adalah gigi-gigi dan tulang-tulangnya.
(Lewier, 2005)

Daerah Kepulauan Babar dengan jumlah desa sebanyak 56 buah memiliki suatu berbagai
pranata adat: perkawinan, pelantikan raja, pembangunan rumah baru yang dilakukan
dengan menggunakan bahasa adat daerah Babar. Umumnya penyampaian bahasa secara
adat ini dilakukan dengan cara menyanyikannya saja atau pun sambil menyanyikan dan
menari. Perlakuan tradisi ini secara umum menjadi suatu ciri tradisi budaya yang
berkembang di Maluku pada umumnya. Sebut saja Tari Maru-Maru atau Maku-Maku
atau Mahu-Mahu dari Pulau Seram yang ditarikan dalam iringan nyanyian bersyair
pantun; Tari Tore dari Kepulauan Tanimbar juga diiringi nyanyian bersyair dalam
bahasa Yamdena atau bahasa Fordata. Demikian pula dengan pantun-pantun di Desa
Letwurung yang juga mentradisi dalam nyanyian serta dijadikan nyanyian pengiring
dalam tarian adat Kepulauan Babar, yakni Tari Seka Besar, Tari Seka Kecil, dan Tari
Seka Lelana.

Walaupun hanya terdiri dari 6 pulau, Kepulauan Babar memiliki sekitar dua belas bahasa
yang berasal dari rumpun Austronesia. Kedua belas bahasa ini tersebar di desa-desa yang
berada dalam wilayah Babar Barat dan Babar Timur (menurut pembagian Lewier, 2005)
atau Babar Utara, Babar Tenggara dan Babar Barat (Taber,1996).

3
Desa Letwurung berada di Pulau Babar Besar, tepatnya di bagian Babar Timur. Kini,
Desa Letwurung telah menjadi ibu kota kecamatan Babar Timur sejak 1 Juni 2003.
Letaknya di antara Desa Kroing dan Desa Kokwari. Tradisi lisan yang hidup dan
berkembang di Desa Letwurung menggunakan bahasa yang serumpun dengan
masyarakat di bagian Babar Timar/Tenggara dan di sebagian besar Pulau Marsela.
Sampai saat ini belum ada data penelitian secara khusus mengenai struktur bahasa-bahasa
tersebut.

Tradisi Lisan Pantun dalam Nyanyian di Desa Letwurung


Tradisi berpantun di Desa Letwurung ada yang disampaikan secara langsung, berbalasan,
dan dinyanyikan. Pantun-pantun yang disampaikan sehari-hari ada yang menggunakan
bahasa Melayu dialek Ambon dan bahasa Babar. Umumnya pantun-pantun berbahasa
Melayu dialek Ambon yang dikenal di Desa Letwurung jenisnya mengikuti jenis pantun
Indonesia lama lainnya, seperti pantun muda-mudi, pantun orang tua, pantun percintaan,
ataupun pantun anak-anak. Contohnya:
Lemon cina tanaman cina,
Akar dua menjadi satu
Nyong cinta Nona pun cinta
Dua dua men jadi satu

Jang dekat pohon manggis


Pohon papaya banya getahnya
Jang dekat Nona yang manis
Nona yang manis banya tingkahnya

Dari Ambon menyeberang Banda


Kelihatan si gunung api
Sisir rambut manyimpan muka
Lihat di mata sadap di hati

Kabaena gung yang tinggi


Ombak di laut sama ratanya
Sungguh enak orang yang pergi
Orang yang tinggal apa rasanya

Ombak di laut sama ratanya


Rata dengan orang berdiri
Orang yang tinggal apa rasanya
Rasa-rasa mau bunuh diri

4
Tradisi berpantun dalam nyanyian berbahasa Melayu dialek Ambon secara umum dikenal
dengan corak reffrain lagu-lagu seperti: Ole Sioh, Sayang Dilale, Apa-Apa Jaga Kalapa,
dan Ou Ulat e (selalu memiliki rima akhir e). Jenis nyanyian ini juga dikenal di Desa
Letwurung dan sering dinyanyikan dalam acara santai untuk berbalas pantun.

Tentang pantun-pantun yang dinyanyikan di Desa Letwurung yang menggunakan bahasa


Babar dan berhubungan secara khusus dengan adat istiadat setempat diperoleh dari
beberapa narasumber. Mereka pada umumnya sudah berusia di atas 60 tahun. Walaupun
syair-syair tersebut dinyatakan oleh masyarakat penuturnya sebagai pantun, tetapi
bentuk dan strukturnya tidaklah mirip dengan bentuk dan struktur pantun pada
umumnya, misalnya dalam pola persajakan atau rima tidak mengikuti aturan yang
selayaknya. Pola rima lebih tampak pada pelafalan seruan pada setiap akhir baris yang
umumnya bervokal o atau e yang hampir selalu ditambahkan oleh penlantun nyanyian.
Hal ini tentunya membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Untuk lebih jelasnya berikut ini dapat kita lihat kategori pembagian nyanyian (adat)
daerah dari Desa Letwurung.
a. Nyanyian Tiarka/Carka
Jenis lagu ini pada umumnya memakai bahasa tinggi dan digunakan untuk
menyambut tamu-tamu kehormatan dan ada pula yang digunakan dalam upacara
adat pemakaman atau pelantikan raja. Lagu sejenis ini juga dapat dipakai dalam
acara peminangan untuk menyambut keluarga mempelai lelaki sebagai bentuk
penghormatan sebelum mereka masuk ke dalam rumah mempelai wanita.
Cara menyanyikan lagu-lagu tersebut biasanya sambil menggenggam jemari
tangan orang yang menjadi tujuan/sasaran lagu.

b. Nyanyian Duduk
Jenis lagu ini dinyanyikan pada syukuran acara keagamaan atau syukuran acara-
acara khusus lainnya. Dinamakan lagu duduk karena umumnya dinyanyikan
dalam keadaan para tamu sedang duduk.

5
c. Nyanyian Bahari/Laut
Umumnya lagu ini dinyanyikan di laut saat berlayar dan biasanya dinyanyikan
pada waktu malam. Isinya merupakan ungkapan pengharapan dan permohonan
untuk dilindungi oleh Yang Mahakuasa.

d. Nyanyian Masohi/Lekore/Narera
Saat panen jagung atau yang dikenal dengan istilah potong kabong lagu ini
biasanya dinyanyikan secara bergiliran menurut jumlah anggota kelompok tani
yang hadir pada saat itu. Jadi. Jika dikaitkan dengan teori Danangdjaya, jenis lagu
ini dapat dikategorikan Nyanyian Kerja (work song). Kata masohi pada umumnya
dikenal di Maluku sebagai suatu istilah yang berarti ’melakukan pekerjaan secara
bersama-sama, gotong royongm kerja’ (bandingkan, Koentjaraningrat dan
Cooley)

e. Nyanyian Tarian Seka


Tarian adat dari Kepulauan Babar yang juga diwarisi oleh masyarakat Desa
Letwurung rata-rata diringi oleh lagu bersyair pantun dengan alat musik pengiring
berupa Tifa Besar dan Tifa Kecil. Adapun syair lagunya disesuaikan dengan
peristiwa yang menjadi latar tari, misalnya Tarian Seka untuk merayakan tahun
baru memiliki syair yang berbeda dengan Tarian Seka untuk merayakan HUT
desa.

f. Nyanyian Panjang
Jenis lagu ini dinyanyikan saat menidurkan anak/cucu di waktu malam setelah
bercerita.

Berikut ini akan disajikan beberapa contoh syair-syair pantun yang dinyanyikan oleh
masyarakat Desa Letwurung.

6
a. Pantun dalam Nyanyian Tiarka/Carka
Bahasa Babar Timur Terjemahan Bebas Bahasa Indonesia

1. O Wulyo minyorewa moi lillyo 1. Kami mohon Tuhan pelihara dan


O nere ilyo wukye metan ooo lindungi kami agar hidup baik-baik dan
Metan ooo, kererye Wulyo dalam suasana bahagia
Notilyo wana raayoo
O wlili lemyaro ilyara ooo! Salam sejahtera!
O kalwedoooooo, Hoe!!!

2. Muwalilyo hawana lyona 2. Kapas yang dipintal oleh tangan-tangan


Muwali lyawo ne lyone e manusia sangat berbeda dengan kapas
Muwane hawe melay yang dipintal oleh mesin-mesin industri.
muwane hawe melay noo Pendapat leluhur bahwa kapas yang
Muwalilio hawana lyona dipintal oleh tangan-tangan manusia
Rtorwuhlely kota ite adalah pertanda bahwa mati dan hidup
Muwane hawe lyona itu bersama-sama
Ike ruke twane nane ite (bait ini mengungkapkan kegembiraan
Yayo lar ahai nyarie wuky yang luar biasa berkenaan dengan hari
hepy riana riryo ulang tahun, baik negara, desa, atau
numye ryapi wa ryoi rora nyora gereja)
lelyo o ray nyorak
Yayo lar ahai nyarie wuky
hepy riana riyo

b. Pantun dalam Nyanyian Duduk


Bahasa Babar Timur Terjemahan Bebas Bahasa Indonesia

Lerowaye wanat pneluly Telah bertambah setahun usia yang


Noti liro molepir membawa kesukacitaan dan kegembiraan
Wulyo minyewara moilil bagi kita semua.
Komori rinora lely Allah pelihara kita baik-baik supaya
dapat hidup aman dan bahagia

7
c. Pantun dalam Nyanyian Bahari
Bahasa Babar Timur Terjemahan Bebas Bahasa Indonesia

A uli nya ee U linye ee Setahun lamanya lima peristiwa tersebut


Oo ulinyeo nuye lelya ee di atas
Ulnyia riore nuye lelye pene wulye Berlayar di lautan lepas tanpa pamrih
rarewa moy lilyee Namun, dengan perlindungan Allah
pene wulye nerewa moy ee Tiba di pelabuhan dengan selamat
Ventosa

d. Pantun dalam Nyanyian Tari Seka


Bahasa Babar Timur Terjemahan Bebas Bahasa Indonesia

1. Tari Seka Besar

Rewlyale wanat oo kreye lonera HUT Gereja yang kita rayakan


Iwai lyaoara loyai lyal o membawa sukacita bersama
Neriwa moylilye neriwa moy Semoga Allah berkenan melindungi kita
O wlili lemyaro ilyara ooo! dalam memasuki tahun yang akan datang
(setiap bagian diulang 2x)

2. Tari Seka Lelana

Wulyo mominyoy makote warak oo Dengan tanda kehadiran Allah


Kreye lenora liro remetan Kita rayakan HUT Gereja
Ryeyo keilye wuky molepiryo Sebagai ungkapan rasa syukur dan
Lerana ryeye wuky melepiry oo sukacita kita
kepada Allah sepanjang sejarah

Jika ditilik makna pantun-pantun tersebut di atas, nilai religi mewarnai hampir semua
bentuk nyanyian. Dapat dikatakan tradisi berpantun secara adat mewakili ungkapan
keyakinan dan sikap hidup masyarakat Desa Letwurung yang mengakui keberadaan dan
campur tangan Allah (Sang Penguasa) dalam setiap aspek kehidupan mereka. Tentang hal
ini, Lewier (1998) pernah menyebut bentuk dan corak pantun Babar sebagai Mazmur
Kepulauan Babar. Isinya disesuaikan dengan peristiwa atau keadaan yang sementara
dialami. Jadi, dikreasikan kembali atau diciptakan oleh penuturnya. Sifat dinamis dan

8
kontekstual ini dilantukan secara perseorangan maupun kelompok. Sekali lagi, hal ini
tentu masih harus didukung dengan data-data pantun dalam nyanyian lainnya.

Tradisi pantun yang dinyanyikan ini mengharuskan penyanyinya menguasai teknik-


teknik dan olah vokal yang cukup sulit mengingat pelafalan yang membutuhkan teknik
pernafasan yang baik. Selama ini, tidak banyak orang yang mampu menyanyikannya
dengan pengusaan ekspresi yang tepat. Kemampuan ini rata-rata dimiliki oleh orang-
orang tertentu atau para tokoh adat. Selain harus memiliki penguasaan bahasa Babar,
seorang penyanyi atau penutur pantun juga harus memiliki kemampuan memukul tifa
yang disebut Tifa Besar dan Tifa Kecil karena biasanya dipakai untuk mengiringi tarian.
Jadi, penyanyi/penutur bernyanyi sambil memukul tifa dengan irama tertentu sesuai
konteks syair dan gerakan tari. Oleh karena itu, tidak banyak orang yang berani
melakukannya, selain takut terjadi kesalahan yang melanggar adat, tetapi juga karena
faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya.

Proses Revitalisasi

Usaha menanamkan rasa memiliki dan bangga terhadap tradisi adat budaya daerah
memang bukanlah suatu proses yang mudah. Walaupun Kepulauan Babar terletak jauh
dari jangkauan transportasi, tetapi gaung globalisasi dalam bidang teknologi dan
informasi juga merambah hingga ke sana dengan sajian media elektonik yang lebih
menarik para anak muda untuk menggaulinya dibandingkan dengan sajian tradisi yang
menuntut latihan yang kontinyu dan sekaligus penguasaan pengetahuan adat istiadat.

Proses pewarisan tradisi budaya Kepulauan Babar di Desa Letwurung saat ini diupayakan
dengan melibatkan pihak sekolah, yakni dengan memasukkannya ke dalam muatan lokal.
Pada 9 September lalu telah diadakan Pagelaran Seni Budaya Babar dari Desa Letwurung
dengan melibatkan lebih kurang 50 orang pendukung tari dan lagu. Menarik untuk dicatat
bahwa sebagian dari para pendukung tari dan laru tersebut adalah anak remaja tingkat
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mereka dengan fasih dan lincah melakukan gerakan-
gerakan Tari Seka dan secara fasih pula melafalkan syair-syair pengiring tarian. Hal ini

9
dapat dikatakan sebagai suatu proses revitalisasi yang menciptakan kader-kader penerus
tradisi lisan. Saya melihat hal ini sebagai suatu langkah yang sangat baik dan memberi
harapan. Setidaknya sudah ada tanda-tanda keberlangsungan tradisi setelah sekian lama
hal ini hanya menjadi milik generasi tua yang jika diprediksikan 5-10 ke depan sudah
tidak ada lagi. Maka, ruang-ruang pewarisan masih membuka pintu bagi suatu revitalisasi
yang memungkinkan penciptaan kreasi baru seiring konteks dan situasi sekarang tanpa
melupakan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pantun yang dinyanyikan.

Penutup

Dari uraian singkat atau lebih tepat disebut saja sebagai suatu pengenalan awal, dapat
dinyatakan bahwa tradisi berpantun, khususnya dalam nyanyian di Desa Letwurung
masih tetap eksis dan bahkan mulai disadari kepentingan pewarisannya. Langkah
selanjutnya yang perlu digiatkan adalah penelitian-penelitian di bidang kebahasaan dan
kesastraan, juga bidang antroplogi untuk mengungkap pandangan hidup maupun jati diri
masyarakat setempat.

Karakteristik isi pantun yang mengikuti konteks, menjadikan tradisi pantun dalam
nyanyian Desa Letwurung senantiasa aktual dan selaras dengan tuntutan zaman. Di satu
sisi, hal ini menjadi suatu keunggulan sekaligus tantangan bagi masyarakat pewarisnya
untuk senantiasa menjaga tradisi ini sebagai suatu kekayaan budaya yang menggenerasi
dari waktu ke waktu.

Daftar Bacaan

Cooley, J. 1984. Mimbar dan Tahta. Jakarta.

Lewier, F.C. 1998. ”Mazmur-Mazmur Kepulauan Babar” dalam Majalah Tifa No. 2
Edisi Juni-Juli 1998.

___________. 2005. ”Kebudayaan Babar” (makalah yang tidak dipublikasikan). Ambon.

Taber, Mark (editor). 1996. Atlas Bahasa Tanah Maluku. Ambon: Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Maluku Universitas Pattimura dan Summer Institute of Lingustics.

10

You might also like