You are on page 1of 14

Judul Konsep Corporate Social Responsibility, Pengaturan dan Pelaksanaannya di

Indonesia.
Penulis Holy K. M. Kalangit, SH
Tanggal 2 Februari 2009

Pendahuluan
Maraknya peristiwa kerugian yang dialami oleh suatu komunitas masyarakat karena kerusakan
lingkungan hidup tempat mereka tinggal akibat beroperasinya suatu perusahaan makin
menimbulkan sinisme masyarakat terhadap keberadaan suatu perusahaan.1 Apakah
perusahaan memang didirikan semata-mata hanya untuk mengejar keuntungan, yaitu
keuntungan para pemegang sahamnya – dan mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar
dan lingkungan hidup di mana perusahaan menjalankan aktifitas bisnisnya? Apa sebenarnya
yang menjadi tujuan didirikannya suatu perusahaan?

Dari asal katanya, ‘company’ (perusahaan) berasal dari dua kata dalam bahasa Latin (‘cum’ dan
‘panis’) yang berarti memecahkan roti bersama-sama.2 Karena itu, ide asli dari pembentukkan
suatu perusahaan sebenarnya memiliki konotasi komunal / sosial. 3 Dari asal kata tersebut,
menarik menyimak pendapat Dave Packard (co-founder dari Hewlett Packard Company)
mengenai tujuan berdirinya suatu perusahaan4:

“I think many people assume, wrongly, that a company exist simply to make money. While this
is an important result of a company’s existence, we have to go deeper and find the real reasons
for our being. As we investigate this, we inevitably came to the conclusion that a group of
people get together and exist as an institution that we called a company so that they are able
to accomplish something collectively that they could not achieve separately - they make
contribution to the society, a phrase which sounds trite but is fundamental.”

Karena itu, sebenarnya, berdirinya suatu perusahaan tak terlepas dari peran perusahaan
tersebut terhadap masyarakat sekitarnya. Seperti dikatakan oleh B. Tamam Achda, memang
diakui bahwa di satu sisi sektor industri atau korporasi skala besar telah banyak memberikan
kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional tetapi di sisi lain, eksploitasi sumber-sumber
daya alam oleh industri telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang parah. 5
Hal inilah yang menjadikan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) relevan dan penting
(perlu) dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan. Tulisan di bawah ini hendak membahas
mengenai definisi dan sejarah dari konsep CSR ; bagaimana pengaturan konsep ini di beberapa
negara lain; pengaturan di Indonesia serta kendala-kendala dalam pelaksanaannya.

1
Contoh : Kasus Newmont di Teluk Buyat, konflik PT Freeport Indonesia dengan masyarakat Papua, konflik
masyarakat Aceh dengan PT Exxon dan yang terakhir : Lapindo. Ini baru sebagian kasus yang terjadi di Indonesia,
dan belum termasuk yang terjadi di luar Indonesia.
2
Ardnt, Michael, “An Ode to ‘The Money-Spinner, Business Week, March 24, 2003, pp. 22-23; review of ‘The
Company : A Short History of a Revolutionary Idea’, by John Micklewaith & Adrian Wooldridge, Modern Library,
2003 , diakses pada tanggal 4 Nov. 2008 dari http://www6.miami.edu/ethics/pdf_files/csr_guide.pdf
3
Asongu, J.J., “The History of Corporate Social Responsibility”(http://www.jbpponline.com/article/view/1104/842)
4
Ibid. Mengutip Charles Handy, “What’s a Business For?”, Harvard Business Review, Dec. 2002, p54.
5
Achda, Tamam B., “Konteks Sosiologis dan Perkembangan Corporate Social Responsibilities dan
Implementasinya di Indonesia” disampaikan pada Seminar Nasional : A Promise of Gold Rating : Sustainable CSR,
23 Agustus 2006, http://www.menlh.go.id/serbaserbi/csr/sosiologi.pdf, diakses pada tanggal 5 Nov. 2008

1
Definisi
Ada banyak definisi yang diberikan untuk konsep CSR. Dari kata-kata ‘corporate’, ‘social’ dan
‘responsibility’ yang terkandung dalam istilah ini maka CSR dapat didefinisikan sebagai
tanggung jawab yang dimiliki oleh suatu perusahaan terhadap masyarakat di mana perusahaan
tersebut berdiri atau menjalankan usahanya.6

Kamus online Wikipedia mendefinisikan CSR sebagai suatu konsep bahwa suatu organisasi
(khususnya, tapi tidak terbatas pada, perusahaan) memiliki kewajiban untuk memperhatikan
kepentingan pelanggan, karyawan, pemegang saham, komunitas dan pertimbangan-
pertimbangan ekologis dalam segala aspek dari usahanya.7 Sedangkan Schermerhorn secara
singkat mendefinisikannya sebagai kewajiban dari suatu perusahaan untuk bertindak dalam
cara-cara yang sesuai dengan kepentingan perusahaan tersebut dan kepentingan masyarakat
secara luas.8

The International Organization of Employers (IOE) mendefinisikan CSR sebagai "initiatives by


companies voluntarily integrating social and environmental concerns in their business
operations and in their interaction with their stakeholders." Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa pertama, CSR merupakan tindakan perusahaan yang bersifat sukarela dan
melampaui kewajiban hukum terhadap peraturan perundang-undangan Negara. Kedua, definisi
tersebut memandang CSR sebagai aspek inti dari aktifitas bisnis di suatu perusahaan dan
melihatnya sebagai suatu alat untuk terlibat dengan para pemangku kepentingan.9

Definisi yang diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah definisi menurut The World
Business Council for Sustainable Development yaitu bahwa CSR merupakan suatu komitmen
terus-menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk memberikan kontribusi bagi
perkembangan ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya,
juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya.10 Dari definisi ini kita melihat
pentingnya ‘sustainability’ (berkesinambungan / berkelanjutan), yaitu dilakukan secara terus-
menerus untuk efek jangka panjang dan bukan hanya dilakukan sekali-sekali saja. Konsep CSR
memang sangat berkaitan erat dengan konsep sustainability development (pembangunan yang
berkelanjutan).

Konsep CSR dengan demikian memiliki arti bahwa selain memiliki tanggung jawab untuk
mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk menjalankan bisnisnya
sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral,
etika, dan filantropik. Pandangan tradisional mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung
jawab utama (jika bukan satu-satunya) perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya,
atau para pemegang saham. Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki
6
http://www6.miami.edu/ethics/pdf_files/csr_guide.pdf, , diakses pada tanggal 4 Nov. 2008
7
Asongu, J.J op.cit.
8
http://www.personal.psu.edu/kez5001/CSR.htm mengutip Schermerhorn, John. Management. New York: John
Wiley & Sons, Inc. 2005, diakses pada tanggal 6 Nov. 2008
9
Burkett W., Brian dan Douglas G. Gilbert, “Voluntary Regulation of International Labour Standards: An Overview
of the Corporate Social Responsibility Phenomenon” diakses dari
http://library.findlaw.com/2005/Jul/11/246322.html pada tanggal 11 Nov. 2008 mengutip "Corporate Social
Responsibility: An IOE Approach," International Organization of Employers Position Paper, at p. 2, online:
http://www.uscib.org/ docs/03_21_03_CR.pdf
10
Asongu, J.J., op.cit. dan http://www.mallenbaker.net/csr/CSRfiles/definition.html , diakses pada tanggal 4 Nov.
2008

2
pandangan yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap
pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas setempat, masyarakat
secara luas, pemerintah, dan kelompok – kelompok lainnya. 11 Dalam hal ini, jika sebelumnya
pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line),
kini dikenal konsep ‘triple bottom line’, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada
3 dasar, yaitu : finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga dikenal dengan 3P (profit, people,
planet).

Sejarah
Istilah CSR memang baru digunakan secara luas pada tahun 1960-an12 namun hakikat CSR
mungkin adalah sama tuanya dengan bisnis itu sendiri, dan bahkan di beberapa masyarakat
tertentu, seseorang tidak dapat melakukan bisnis tanpa bertanggung jawab secara sosial.13

Ada banyak ulasan mengenai sejarah CSR, antara lain adalah oleh J.J. Asongu yang membagi
periode sejarah keberadaan konsep CSR menjadi 2 bagian, yaitu sebelum tahun 1900 dan
sesudah tahun 1900. 14 Pada periode sebelum tahun 1900, J.J Asongu menelusuri sampai pada
sekitar tahun 1700 SM pada masa pemerintahan Raja Hammurabbi di Kerajaan Mesopotamia
kuno yang diketahui telah mengeluarkan sebuah peraturan yang memberikan ancaman
hukuman mati terhadap para pembangun, pengurus penginapan dan petani apabila karena
kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain, atau menyebabkan ketidaknyamanan yang
sangat mengganggu bagi pihak lain. Sejarah juga mencatat bagaimana pada tahun 1622 para
pemegang saham dari Dutch East India Company mengeluarkan pamflet-pamflet yang
berisikan keluhan mereka atas sikap pihak manajemen yang tidak transparan dan malah
memperkaya diri sendiri. Setelah tahun 1900, khususnya pada awal tahun 1920-an, menurut
J.J. Asongu, diskusi-diskusi mengenai tanggung jawab sosial dari suatu organisasi bisnis telah
berkembang ke tahap gerakan CSR ‘modern’.

Tim Barnett15 menguraikan sejarah hadirnya konsep CSR dengan merujuk pada masa ketika
Adam Smith memberikan pandangannya mengenai pentingnya interaksi yang bebas antara
para pihak yang melakukan bisnis. Pandangan ini masih menjadi dasar dari ekonomi pasar
bebas hingga sekitar 200 tahun yang lalu. Namun bagaimana pun juga, bahkan Smith melihat
bahwa pasar bebas tidak selalu berjalan dengan baik dan bahwa para pelaku pasar bebas harus
berlaku jujur dan adil terhadap satu dengan yang lainnya apabila kondisi atau tujuan ideal dari
pasar bebas hendak dicapai. Satu abad setelah masa Adam Smith, Revolusi Industri
memberikan kontribusi besar dalam terjadinya suatu perubahan yang radikal, khususnya di
Eropa dan Amerika Serikat. Banyak yang menganut paham ‘social Darwinism’ , yaitu
pemahaman bahwa seleksi alam dan ‘survival of the fittest’ adalah berlaku juga untuk dunia
bisnis. Akibatnya, diberlakukanlah strategi kompetisi bisnis yang brutal dan tidak peduli
terhadap karyawan, komunitas dan masyarakat luas. Meski ada pengusaha-pengusaha yang
memberikan banyak sumbangan, namun itu adalah sebagai pribadi dan bukan atas nama
perusahaan. Perusahaan-perusahaan saat itu malah mempraktekkan suatu metode yang
sangat eksploitatif terhadap para pekerjanya.

11
Barnett, Tim., “Corporate Social Resposibility” , http://www.referenceforbusiness.com/management/Comp-
De/Corporate-Social-Responsibility.html, , diakses pada tanggal 4 Nov. 2008
12
Ibid.
13
Asongu, J.J., op.cit.
14
Ibid.
15
Barnett, Tim op.cit.

3
Sekitar permulaan abad ke-20, reaksi keras terhadap perusahaan-perusahaan besar mulai
mendapatkan momentumnya. Usaha-usaha besar dikritik terlalu berkuasa dan telah
mempraktikkan bisnis yang antisosial dan anti persaingan. Maka muncullah peraturan seperti
Sherman Antitrust Act yang bertujuan mengontrol perusahan-perusahaan besar dan
melindungi pekerja, konsumen, dan masyarakat luas. Juga semakin banyak yang menyuarakan
dan meminta kepedulian yang lebih besar terhadap kelas pekerja dan orang miskin. Gerakan
buruh juga meminta pelaku bisnis untuk memiliki kepedulian sosial yang lebih besar. Antara
tahun 1900 dan 1960 dunia bisnis secara perlahan-lahan mulai menerima tanggung jawab
tambahan selain semata-mata mendapatkan laba dan menaati hukum.

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan hak-hak masyarakat dan para aktivis lingkungan
mempengaruhi harapan-harapan masyarakat dari dunia bisnis. Berdasarkan asumsi umum
bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang besar juga memiliki tanggung jawab yang besar,
maka banyak yang menyuarakan agar dunia bisnis menjadi lebih proaktif dalam menghentikan
aktifitas-aktifitas yang mengakibatkan terjadinya masalah sosial dan mulai berpartisipasi dalam
menyelesaikan masalah-masalah sosial. Wacana mengenai konsep ini terus berkembang
sampai KTT Bumi pada tahun 1992 di Rio menegaskan konsep sustainability development
(pembangunan berkelanjutan) yang tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara, namun
terlebih lagi perusahaan yang kekuasaannya makin menggurita. 16 Hasil KTT Bumi di atas makin
dipertegas melalui riset yang dilakukan oleh James Colins dan Jerry Porras, ditunjukan bahwa
perusahaan-perusahaan yang bertahan lama bukanlah perusahaan yang hanya mengejar profit
semata.17 Selanjutnya, pertemuan di Johannesburg pada tahun 2002 yang dihadiri oleh para
pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengikuti dua konsep yang
telah muncul sebelumnya yaitu economic dan environmental sustainability yang kemudian
menjadi dasar bagi perusahaan di atas dalam melakukan tanggung jawab sosialnya (CSR).
Terakhir pada pertengahan tahun 2007 yang lalu, pada UN Global Compact yang dibuka oleh
SekJen PBB, pertemuan tersebut meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab
dan prilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). 18
Hingga saat ini, konsep corporate social responsibility telah menjadi paham yang diterima
secara umum untuk diterapkan oleh dunia usaha.

Pengaturan tentang CSR di Negara-Negara Lain


Sebagaimana diuraikan mengenai definisi CSR di atas, konsep CSR merupakan ‘inisiatif’
perusahaan dan merupakan tindakan sukarela. Hal tersebut melahirkan dua pandangan
mengenai perlu atau tidaknya regulasi mengenai CSR menjadi suatu kewajiban hukum. Ada
pandangan yang mengatakan bahwa apabila diatur sebagai kewajiban hukum maka itu adalah
tidak sesuai dengan semangat CSR itu sendiri yang sebenarnya merupakan aktifitas sukarela
dari perusahaan untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Menurut Andi Syafrani, regulasi CSR
dalam ‘hard law’ (yaitu dalam UU PT No. 40 tahun 2007 dalam hukum Indonesia) dapat
dikatakan sebagai suatu langkah kemunduran di tengah tren hukum bisnis global yang menuju
pada arah deregulasi dan lebih memberikan ruang pada upaya ‘self regulation‘ melalui

16
Daniri, Mas Achmad, “Standardisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, lih.
http://pkbl.bumn.go.id/file/Standarisasi%20Tanggung%20Jawab%20Sosial%20Perusahaan%20%2028%20Jan%20
08.pdf diaskes pada tanggal 11 Nov. 2008
17
Ibid.
18
Ibid.

4
perangkat ‘soft law ’19. Andi Syafrani juga menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya
preseden regulasi CSR di Negara manapun di dunia.20

Di sisi lain, tidak sedikit pihak-pihak yang mendukung, bahkan mendorong diaturnya CSR
menjadi kewajiban hukum perusahaan. Misalnya Friends of the Earth Europe melalui
Direkturnya, Fouad Hamdan mewakili kalangan NGO menyatakan kepada Komisi Uni Eropa
bahwa “Voluntary measures will not address most of social and environmental problems
related to companies’ operations. We need clear rules and regulations on CSR.” Juga dikatakan
bahwa “voluntary initiatives can be successful in some cases but regulatory measures are
necessary to ensure all corporations abide in national and international rules…”.21 Secara
umum, kalangan NGO mendesak adanya pengaturan yang mengikat perusahaan secara hukum
untuk melakukan CSR. 22 Dari kalangan di dalam negeri pun tidak sedikit yang mendukung
diaturnya CSR menjadi kewajiban hukum perusahaan.

Tidak ditemukannya preseden regulasi CSR di Negara manapun di dunia seperti dikemukakan
Andi Syafrani di atas tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada pengaturan mengenai hal
tersebut. Maksudnya adalah bahwa tidak ada istilah CSR tersebut yang secara eksplisit
diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan di Negara lain. Yang ada adalah seperti yang
diatur dalam Sarbanes Oxley Act of 2002 di Amerika Serikat yang mengatur kewajiban direktur
dalam membuat laporan keuangan dan performa perusahaan sebagai jalan untuk
meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan. Begitu juga di Inggris dalam Companies Act
terbaru versi 2007 yang memperbanyak dan meningkatkan kewajiban direktur untuk
mencakup pembuatan laporan yang berisi analisis keuangan yang menggunakan financial key
performance indicators (Section 172(6)) dan laporan yang berisi informasi terkait dengan
lingkungan dan para pekerja.23 Perancis. mempunyai “The New Economic Regulation Law of
2001” yang mewajibkan perusahaan untuk selalu memberikan informasi mengenai aktifitas
perusahaan yang berdampak terhadap lingkungan dan bagaimana perusahaan
mempertimbangkan aspek sosial dalam aktifitasnya ke dalam laporan tahunan perusahaan dan
semuanya diwajibkan untuk selalu bersifat transparan.24 Selain itu yang dilakukan oleh negara-
negara maju adalah mengembangkan sistem insentif yang mendorong perusahaan melakukan
investasi sosial sebagai bagian dari ‘welfare mix’ (kesejahteraan sebagai tanggung jawab
bersama).25 Misalnya di Amerika, pemerintah memberikan pemotongan pajak bagi
perusahaan-perusahaan yang menyumbang pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

19
Syafrani, Andi., “Paradoks Regulasi Corporate Social Responsibility”, 19 Nov. 1997, lihat di
http://www.legalitas.org/?q=Paradoks+Regulasi+Corporate+Social+Responsibility+(CSR), diakses pada 6
November 2008
20
Ibid.
21
Lihathttp://www.foeeurope.org/publications/2006/FoEE_on_CSR_EU_Finish_Presidency_Conference_Brussels_
22nov06.pdf diakses pada 12 Nov. 2008
22
Lihat Burkett, op.cit.
23
Syafrani, Andi., “CSR dalam Perspektif Corporate Law : Sebuah Upaya Pemetaan Anatomi Teoritis”,lihat
http://www.legalitas.org/?q=CSR+Dalam+Pespektif+Corporate+Law%3A+Sebuah+Upaya+Pemetaan+Anatomi+T
eoritis+(Bagian+1) diakses pada 12 Nov. 2008
24
Permana, Adhitya Hadi, “Urgensi CSR ke dalam RUU PT”, lih.
http://adhitya82.wordpress.com/2006/06/10/urgensi-csr-kedalam-ruu-perseroan-terbatas/ diakses pada 11 Nov.
2008
25
Jalal, “Argumentasi Menentang Regulasi Dana CSR”, 29 Mei 2007, lih.
http://www.csrindonesia.com/data/articles/20070529121722-a.pdf diakses pada 11 Nov. 2008

5
Jadi yang diatur bukanlah kewajiban untuk melakukan CSR secara langsung, melainkan
kewajiban membuat laporan mengenai kegiatan-kegiatan perusahaan. Dengan perkataan lain,
yang diatur adalah apa laporan atas apa yang telah dilakukan oleh perusahaan dan bukannya
mengatur apa yang harus dilakukan oleh perusahaan. Hal ini bisa jadi karena tingkat komitmen
dan kesadaran perusahaan dalam melakukan CSR sudah tinggi. Kesadaran masyarakat akan
hak-hak dan partisipasinya pun juga sudah lebih baik dari Negara kita. Ketut Ali Sukadana,
mengutip Yanuar Nugroho (peneliti dan staf pengajar di Manchester, Inggris), mengatakan
bahwa di Eropa, jika ada perusahaan yang mencemari atau merusak lingkungan, misalnya,
nama perusahaan akan diumumkan kepada publik dan masyarakat diajak memboikot
produksinya. 26

Namun seperti yang dikatakan oleh Juniati Gunawan bahwa sebenarnya secara implisit dapat
dipastikan bahwa tiap negara di seluruh dunia sudah mempunyai regulasi yang mengarah pada
praktek CSR, seminim apapun bentuknya. Sebagai contoh, peraturan mengenai tenaga kerja
(misal upah, hak dan kewajiban pegawai) atau lingkungan hidup.27 Jadi meski tidak disebutkan
secara eksplisit mengenai kewajiban melakukan CSR, namun ada pengaturan mengenai
kewajiban-kewajiban perusahaan untuk bertanggung jawab dalam bidang-bidang lain di luar
tanggung jawab terhadap para pemiliknya.

Dalam tingkat internasional, lembaga-lembaga seperti OECD (Organization for Economic


Cooperation and Development) , ILO (International Labour Organization) dan PBB pun berusaha
menciptakan kerangka untuk mengatur tentang CSR. Pengaturan dari ketiga lembaga tersebut
berupa ‘guidelines’ / pedoman yang kekuatan mengikatnya adalah sukarela dengan demikian
tidak mengikat secara hukum / hanya berupa soft law. 28 Cukup banyak pihak yang menjadi
anggota (baik Negara maupun NGO dan perusahaan – perusahaan multi nasional / MNCs) dari
ketiga deklarasi di atas, namun sekali lagi kepatuhan atasnya bersifat sukarela sehingga tidak
dapat dipaksakan keberlakuannya dan tidak ada akibat hukum bagi yang tidak mematuhinya.
Selain itu, International Organization of Standardization (ISO) sedang menyusun panduan dan
standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000 : Guidance Standard on
Social Responsibility yang diperkirakan akan diberlakukan mulai tahun 2009. ISO 26000
menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu
institusi yang mencakup semua sektor badan publik maupun badan privat baik di negara
berkembang maupun negara maju.29 Ini pun bukan termasuk perangkat hukum, melainkan
pedoman saja yang keberlakuannya bergantung pada komitmen masing-masing institusi.

Pengaturan dan Pelaksanaan CSR di Indonesia


1. Pra –UU No. 40 Tahun 2007. Sebelum diatur secara eksplisit dalam UU No. 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (dan sebelumnya dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal), konsep CSR sebenarnya telah diatur dalam beberapa Undang-undang
di Indonesia. Mengingat definisi dan cakupan CSR yang luas, yaitu termasuk bidang
lingkungan, konsumen, ketenagakerjaan dan lain-lain, maka di bawah ini diuraikan tentang

26
Sukadana, Ketut Ali, “Lomba Tulis YPHL : ISO 26000, Sebuah Peluang Integralisasi Kepedulian Lingkungan”.
Lih. http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20081022120545, diakses pada 26 Nov. 2008
27
Gunawan, Juliati. “Regulasi dalam CSR : Perlukah?”. Lihat http://www.csrreview-
online.com/lihatartikel.php?id=18, diakses pada 12 Nov. 2008.
28
Lihat Burkett, op.cit.
29
Sukadana, Ketut Ali, op.cit.

6
beberapa Undang-undang yang di dalamnya secara tidak langsung mengatur tentang
konsep CSR.
a. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 6 (1): Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
Pasal 6 (2): Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 16(1): Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan
pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 17(1): Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan
pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

b. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Undang-undang ini banyak mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan
terhadap konsumennya.
Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan:
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
Pasal 7 Mengatur tentang kewajiban pelaku usaha

BAB IV (Pasal 8 - 17)


Mengatur tentang Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha

BAB V (Pasal 18 )
Mengatur tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku

BAB VI (Pasal 19 – 28)


Mengatur tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha

c. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Undang-undang ini antara lain bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada tenaga
kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan
tenaga kerja dan keluarganya (pasal 4). Selain diatur dalam UU yang mengatur berbagai
aspek tersebut di atas, konsep CSR juga telah diatur dan diwajibkan dalam UU No. 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal sebagai berikut:

Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban:
a. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
b. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman
modal;
c. Penjelasan pasal 15 Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung jawab yang
melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan
yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat.

7
Pasal 16
Setiap penanam modal bertanggung jawab:
a. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
b. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; …

Pasal 34
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha
c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau
lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai
sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari pengaturan-pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban dan tanggung


jawab perusahaan telah ditambah, bukan lagi hanya kepada pemilik modal semata,
melainkan juga kepada lingkungan hidup, karyawan dan keluarganya, konsumen dan
masyarakat sekitar.

Telah adanya pengaturan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
sebagaimana tersebar dalam berbagai undang-undang di atas menyebabkan banyak pihak
yang berpendapat bahwa tidak perlu diatur lagi mengenai kewajiban melakukan CSR secara
khusus dalam UU korporasi. Yang harus dilakukan adalah memastikan pelaksanaan dari
pengaturan dalam undang-undang tersebut di atas. Namun hal tersebut tidak menyurutkan
pihak legislatif dan eksekutif yang memiliki pertimbangan tersendiri dan akhirnya
mengesahkan pengaturan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dalam
UU PT yang baru, yaitu UU No. 40 Tahun 2007 sebagaimana akan dibahas di bawah berikut
ini.

2. UU NO. 40 Tahun 2007


Latar Belakang. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perseroan Terbatas yang
diajukan Pemerintah pada awalnya tidak mengandung pasal mengenai kewajiban
perusahaan dalam aspek sosial dan lingkungan.30 Desakan itu ternyata muncul dalam
diskusi RUU di DPR karena parahnya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri
pertambangan, baik di Papua maupun di daerah lain, juga karena peristiwa bencana
lingkungan yang disebabkan oleh Lapindo Brantas. Menurut Ratnawati Prasodjo, salah satu
pihak yang terlibat dalam pembuatan RUU PT, pembahasan mengenai pasal tersebut
berlangsung sangat seru karena adanya pro dan kontra mengenai perlu tidaknya CSR
menjadi kewajiban hukum yang diatur dalam Undang-undang, sehingga akhirnya terjadi
kompromi antara Pemerintah dengan DPR.31 Rencana diaturnya mengenai hal ini sempat

30
Jalal, “Pasal 74 UU Perseroan Terbatas : TJSL Tidak Sama dengan CSR”, lih.
http://www.csrindonesia.com/data/articles/20071203075719-a.pdf, diakses pada 25 November 2008.
31
Ibid.

8
menimbulkan reaksi yang keras di kalangan pengusaha mengingat sewaktu dilakukannya
acara dengar pendapat mengenai RUU ini dengan kalangan pengusaha, pengaturan
mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan / TJSL (demikian istilah yang
digunakan dalam UU ini merujuk pada ‘CSR’ – untuk selanjutnya akan digunakan istilah TJSL
mengikuti istilah dalam UU Perseroan Terbatas) ini tidak ada dalam rencana. Kalangan
pengusaha spontan menolak rencana dimasukkannya hal ini menjadi ketentuan yang diatur
secara hukum karena menurut pendapat mereka CSR adalah kegiatan di luar kewajiban
perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal,
sehingga jika diatur akan bertentangan dengan prinsip kerelaan dan akan memberikan
beban baru kepada dunia usaha. Sedangkan Ketua Panitia Khusus UU PT, Akil Mochtar
menjelaskan bahwa kewajiban CSR terpaksa dilakukan karena banyak perusahaan
multinasional yang beroperasi di Indonesia melepaskan diri dari tanggung jawabnya
menjaga lingkungan di Indonesia.

Keberatan kalangan pengusaha juga karena mendengar rencana bahwa Pemerintah akan
menetapkan besaran persentase yang harus dianggarkan oleh perusahaan yang harus
disisihkan dari laba bersih untuk kegiatan tersebut. Dikhawatirkan perusahaan-perusahaan
kecil yang belum sanggup untuk mengalokasikan dana untuk itu menjadi terbebani
mengingat besaran pajak yang juga tidak kecil. Belakangan keberatan tersebut melunak
setelah akhirnya perusahaan yang wajib melakukan TJSL tersebut dibatasi menjadi
perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam saja. Juga bahwa anggaran yang harus dikeluarkan tersebut
diperhitungkan sebagai biaya sehingga mengurangi pajak yang harus dibayarkan kepada
pemerintah tanpa menentukan besaran persentasenya, tapi diatur agar sesuai dengan
kepatutan dan kewajaran yang interpretasinya kembali ke pemahaman masing-masing
selama belum diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Akhirnya Undang-undang
tersebut diundangkan secara resmi pada tanggal 16 Agustus 2007.

Pengaturan dan Analisa. Pasal - pasal yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perusahaan dalam UU No. 40 tahun 2007 tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I – Ketentuan Umum


Pasal 1
a. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan adalah komitmen Perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun pada masyarakat pada umumnya.

Bab IV – Rencana Kerja,Laporan Tahunan dan Penggunaan Laba


Bagian Kedua – Laporan Tahunan
Pasal 66
1) Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan
Komisaris dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir
2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang
kurangnya : laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Bab V – Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan


Pasal 74

9
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan
kewajaran
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah

Penjelasan Pasal 74
(1) Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi,
seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat
setempat.
(2) Yang dimaksud dengan ‘Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
sumber daya alam’ adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan
mengusahakan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan ‘Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam’ adalah
Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi
kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.

Dari pengaturan-pengaturan di atas, penulis memberikan beberapa catatan sebagai berikut:


1. Istilah yang digunakan dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM)
dengan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UU PT) di atas tidak sama. UU
No. 25 / 2007 menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial Perusahaan’ sedangkan UU
Perseroan Terbatas menggunakan istilah ‘Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan’, meski makna yang terkandung pada dasarnya sama. Sepertinya pembuat UU
PM menerjemahkan langsung dari istilah ‘corporate social responsibility’. Selain istilah yang
berbeda, uraian definisinya pun tidak sama meski dalam penjelasan pasal 74(1), UU PT
mengutip definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang digunakan dalam UU PM sebagai
tujuan dari ketentuan tentang TJSL dalam UU PT.
2. Masalah sanksi, dalam UU Penanaman Modal telah diatur dalam pasal 34 yang meliputi
sanksi administratif maupun sanksi lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan dalam UU Perseroan Terbatas, sanksi bagi perusahaan
yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak diatur secara spesifik
melainkan ‘diserahkan’ pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan pasal 74 (3) UU Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa sanksi yang
dikenakan adalah sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
terkait. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sanksi sebagaimana diatur dalam UU
Penanaman Modal bagi perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dapat
pula diberlakukan bagi perusahaan – perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab
sosial dan lingkungan sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas, sepanjang kriteria
perusahaan yang dimaksud adalah sesuai dengan pengaturan dalam UU Penanaman
Modal. Begitu juga dengan sanksi-sanksi yang ada dalam UU terkait lainnya seperti UU
Perlindungan Konsumen, UU Lingkungan Hidup, UU Tenaga Kerja, dan sebagainya.

10
3. Subyek yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas yang diwajibkan melakukan tanggung
jawab sosial dan lingkungan dibatasi hanyalah perusahaan yang ‘menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam’. Pengaturan ini
membatasi jenis-jenis perusahaan yang harus melakukan TJSL. Tapi jika membaca
penjelasan pasal 74 (1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah yang usahanya adalah
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam. Sedangkan yang menjalankan kegiatan
usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah yang kegiatan usahanya berdampak
pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Menurut Muh. Endro Sampurno, penjelasan
ayat 1 tersebut dapat diinterpretasikan berlaku bagi seluruh sektor industri tanpa
terkecuali karena apabila dicermati lebih teliti, maka sebenarnya seluruh aktifitas manusia
di muka bumi ini memiliki dampak terhadap eksistensi sumber daya alam. 32

Implementasi dan Kendala. Pengimplementasian ketentuan tentang TJSL dalam UU PT di atas


dapat menimbulkan beberapa masalah. Misalnya tentang ketidakjelasan perusahaan –
perusahaan mana yang wajib melakukan TJSL mengingat kurang selarasnya pengaturan dalam
pasal 74 dengan penjelasan pasal tersebut. Jika mengacu pada pasal 74(1) maka perusahaan
seperti bank, perusahaan asuransi, dan lain-lain tidak diwajibkan. Namun jika mendasarkan
pada penjelasan pasal 74(1), maka semua perusahaan sebenarnya bisa dikenakan kewajiban
melakukan TJSL. Akhirnya terpulang kembali pada komitmen perusahaan masing-masing.
Kepatuhan terhadap hukum adalah kewajiban ‘standar’ yang harus dipenuhi. Namun
melakukan sesuatu yang beyond the law adalah lebih baik lagi. Saat ini salah satu kriteria
penilaian masyarakat dan stake holder (termasuk share holder) terhadap suatu perusahaan
adalah bagaimana komitmen perusahaan tersebut pada masyarakat dan lingkungan. Yang
mendapat kepercayaan dan yang memiliki reputasi baik adalah perusahaan-perusahaan yang
terlibat dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan.

Selain itu, kegiatan seperti apakah yang dapat dinamakan sebagai CSR / TJSL? Bagaimana kita
bisa menilai bahwa suatu Perusahaan telah melakukan TJSL? Jika menilik pada konsep asalnya
maka sebenarnya perusahaan yang telah memperhatikan kepentingan dan mengusahakan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya melalui pemberian upah dan tunjangan-tunjangan
kesehatan dan lain-lain serta yang telah menjaga serta melestarikan lingkungan hidup dalam
kegiatan-kegiatan operasional perusahaan sebenarnya telah melakukan CSR. Begitu juga
dengan perusahaan-perusahaan yang memperhatikan dan mengutamakan kepentingan
konsumen dengan memberikan produk yang terbaik dan aman telah juga melakukan CSR. Hal-
hal tersebut di atas sebenarnya dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan CSR dalam arti sempit
atau dalam arti pelaksanaan CSR secara ‘minimum’ mengingat kegiatan-kegiatan tersebut
adalah berhubungan langsung dengan pelaksanaan bisnisnya. Meski merupakan pelaksanaan
CSR secara ‘minimum’ namun dalam kenyataannya perusahaan-perusahaan besar seperti Bank
Mandiri dan RS Pertamina pun tersandung kasus yang menjatuhkan pamor mereka sebagai
perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan karyawan melalui perseteruan kedua institusi
tersebut dengan karyawannya. Atau kasus susu yang terbuat dari bahan melamin di Cina yang
jelas-jelas telah merugikan konsumennya. Perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR
dengan ‘good will’ benar-benar memperhatikan segala aspek bisnisnya mulai dari penyediaan
bahan baku, pengolahan, proses distribusi, pemasaran (misalnya melalui iklan yang edukatif

32
Endro Sampurno, Muh., “Catatan atas Pemahaman Negara terhadap CSR, di antara Hiruk Pikuk Pengesahan
UU PT” , lih. http://www.csrindonesia.com/data/articles/20070904110959-a.pdf diakses pada 11 Nov. 2008

11
dan tidak menipu), hubungan dengan tenaga kerja dan lain sebagainya. Perusahaan –
perusahaan yang demikian memandang karyawannya sebagai asset - bukan obyek dan benar-
benar memiliki tanggung jawab pribadi (perusahaan) untuk menyediakan barang / jasa yang
terbaik bagi konsumennya tanpa merugikan lingkungan dan masyarakat.

Namun, dalam arti yang lebih luas, yang diharapkan dari perusahaan-perusahaan adalah
melampaui hal-hal tersebut. Dalam praktik ada beberapa perusahaan yang telah melampui
kewajiban-kewajiban dasar tersebut dan melakukan program-program yang melampaui
cakupan bisnisnya, seperti misalnya yang dilakukan oleh PT Sampurna dalam program
beasiswanya melalui Sampurna Foundation (meski core business-nya yaitu industri rokok terus
mendapat tentangan dari banyak pihak) atau The Body Shop yang secara terus-menerus
berkampanye dan mendukung permberdayaan perempuan dan perjuangan hak-hak
perempuan (misalnya dalam hal Kekerasan Dalam Rumah Tangga / KDRT). Kegiatan-kegiatan
seperti itulah yang dalam hemat saya adalah sesuai dengan prinsip CSR yang sebenarnya, yaitu
melampaui kewajiban perusahaan terhadap tenaga kerja, lingkungan dan konsumen yang
secara langsung sebenarnya memang merupakan tanggung jawab perusahaan.

Aspek lain menurut penulis yang menentukan kegiatan seperti apakah yang dapat dikatakan
sebagai suatu CSR / TJSL adalah aspek keberlanjutan atau ‘sustainability’. Konsep CSR / TJSL
sangat erat kaitannya dengan aspek ini (lihat juga definisi TJSL dalam pasal 1 (3) UU PT).
Sehingga, kegiatan-kegiatan TJSL Perusahaan haruslah dibuat dalam rencana jangka panjang
dan yang memiliki efek jangka panjang bagi masyarakat atau lingkungan. Sebagai catatan,
banyak perusahaan yang melakukan kegiatan-kegiatan ‘charity’ seperti sumbangan sembako
atau bantuan lainnya kepada masyarakat yang terkena musibah banjir dan meng-klaim-nya
sebagai salah satu bentuk CSR Perusahaan. Melihat definisi dalam pasal 1(3) UU PT di atas,
menurut penulis, kegiatan seperti itu belumlah termasuk dalam cakupan definisi TJSL / CSR
yang sebenarnya. Kegiatan-kegiatan seperti itu tidak memberikan dampak jangka panjang bagi
masyarakat.

Perlu juga dikemukakan mengenai apa yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas yang memberi
‘bantuan’ (ganti rugi) kepada korban Lumpur Lapindo dan meng-klaim-nya sebagai salah satu
kegiatan CSR mereka. 33 Hal ini pun menurut pendapat penulis tidaklah termasuk dalam
kegiatan CSR / TJSL. Perbaikan kondisi karena aktifitas merugikan yang dilakukan perusahaan
bukan termasuk cakupan CSR / TJSL. Melihat definisi-definisi tentang CSR sebagaimana
diuraikan di atas dan juga dari pengaturan dalam pasal 1(3) UU PT di atas, TJSL adalah untuk
“…meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan…” dan bukannya ‘memperbaiki kondisi
kehidupan dan lingkungan’ karena kerusakan yang diakibatkannya.

Dalam praktik, belum banyak perusahaan yang melakukan kegiatan CSR / TJSL. Mengutip hasil
penelitian tahun 2003, hanya 20 persen perusahaan besar di Indonesia yang melakukan CSR.
Dari 24 persen itu, hanya sedikit yang memberikan laporan CSR secara menyeluruh34.
Perusahaan-perusahaan yang meng-klaim telah melakukannya pun masih banyak yang bersifat
‘kosmetik’ belaka. Dilakukan untuk mendongkrak popularitas dan tidak terporgram dengan

33
Rahman, Taufik dan Jalal, “CSR di Tahun 2008 : Tak Ada Kecenderungan Menyurut”, lih.
http://www.csrindonesia.com/data/articles/20080409121448-a.pdf, diakses pada 26 Nov. 2008
34
Lihat http://pemberdayaan-lifeskill-csr.blogspot.com/2008/05/perdebatan-csr-di-media-bahan-bagi.html, diakses
pada 26 Nov. 2008

12
baik karena belum adanya visi dan komitmen yang jelas untuk memberi sumbangsih bagi
masyarakat dan lingkungan.

Untuk implementasi pasca UU PT, pasal 66 UU PT mewajibkan Perusahaan untuk memasukkan


Laporan TJSL dalam Laporan Tahunan untuk disampaikan dalam RUPS. Kewajiban ini selaras
dengan pengaturan di beberapa negara lain seperti yang telah disinggung dalam bagian
sebelumnya. Hal ini tentu akan memicu Perusahaan untuk mengimplementasikan segera
kewajiban ini. Sebenarnya, alangkah baiknya apabila bisa diberikan penghargaan bagi
perusahaan-perusahaan yang telah melakukan kewajiban melakukan TJSL secara tepat, yaitu
misalnya dengan memberikan pengurangan pajak.

Yang menjadi kendala saat ini adalah bahwa sampai tulisan ini dibuat, Peraturan Pemerintah
seperti yang ditentukan dalam pasal 74 (4) di atas untuk mengatur lebih lanjut tentang
pelaksanaan dan standar pelaporan TJSL belum dikeluarkan. Sehingga perusahaan masih
meraba-raba dalam pengimplementasian kewajiban baru ini. Meski demikian, telah adanya
berbagai standar pengaturan dari berbagai lembaga internasional seperti yang telah
disebutkan sebelumnya di atas dapat menjadi acuan bagi perusahaan-perusahaan dalam
merencanakan, mengimplementasikan dan dalam menyusun laporan pelaksanaan CSR / TJSL
tersebut.

Saran dan Solusi. Dari pembahasan di atas, beberapa hal yang dapat dilakukan ke depan
adalah:
1. Pemerintah perlu mempertegas cakupan TJSL yang diharapkan dari dunia usaha. Hal ini
dapat dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah tentang TJSL. Perlindungan terhadap
tenaga kerja 35, lingkungan hidup dan konsumen tidak perlu diatur lagi. Hal-hal tersebut
telah diatur dalam Undang-undang tersendiri sebagaimana telah disebutkan di atas. Yang
perlu dipertegas adalah bahwa TJSL yang diharapkan haruslah kegiatan-kegiatan yang
dapat “meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat… bagi…
komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya” sebagaimana yang ditentukan
dalam pasal 1 (3) UU PT. Jadi, kegiatan TJSL yang dilakukan haruslah membawa suatu
peningkatan dan bukannya memperbaiki kondisi belaka, apalagi karena kerusakan akibat
aktifitas bisnis tersebut. Juga mengenai aspek ‘berkelanjutan’ dalam pelaksanaan TJSL
tersebut. Meski demikian, PP tidak perlu terlalu teknis mengatur jenis-jenis kegiatan yang
termasuk dalam cakupan TJSL . Mengenai teknis pelaksanaan atau teknis pelaporan,
perusahaan bisa merujuk pada pedoman-pedoman yang dikeluarkan oleh beberapa
institusi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

2. Mengingat adanya dualisme antara pengaturan dalam pasal 74 (1) dengan penjelasannya
mengenai jenis perusahaan yang harus diwajibkan melakukan TJSL, maka hal ini harus
dipertegas juga dalam Peraturan Pemerintah tentang TJSL. Karena jika tidak dikhawatirkan
akan terjadi kesulitan dalam pengevaluasiannya nanti. Jika perusahaan-perusahaan
tertentu merasa mereka tidak wajib melakukannya sedangkan pihak lain (misalnya
pemerintah atau masyarakat atau LSM) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut masuk dalam ketentuan sesuai penjelasan pasal 74(1), maka dapat terjadi
ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam penerapan sanksinya.

35
Dari informasi yang ada, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang TJSL, Pemerintah membagi TJSL
dalam 2 kategori : ke dalam dan ke luar. Yang termasuk ‘ke dalam’ adalah perlindungan terhadap K3 tenaga kerja.

13
3. Mengingat kemampuan setiap perusahaan tidaklah sama, maka diharapkan juga
keterlibatan dan partisipasi masyarakat, media massa serta LSM-LSM untuk tidak menuntut
semua perusahaan melakukan TJSL dalam kapasitas dan kualitas yang sama.

4. Perlu ditetapkan adanya institusi pemerintah tertentu untuk mengawasi dan mengevaluasi
pelaksanaan TJSL ini secara obyektif dan transparan.

Kesimpulan dan Penutup


Cakupan konsep CSR sangatlah luas, mencakup seluruh pemangku kepentingan (stake holders)
di dalam dan di sekitar suatu perusahaan. Secara umum, masyarakat dunia telah menerima
dan menyepakati bahwa CSR adalah sesuatu yang perlu menjadi komitmen setiap perusahaan.
Indonesia, berbeda dengan Negara-negara lain, telah menjadikannya sebagai suatu kewajiban
hukum (meski belum berlaku bagi semua jenis perusahaan). Terlepas dari berbagai
kekurangsempurnaan dalam pengaturannya, namun semoga pewajiban atas sesuatu yang
sebenarnya merupakan kegiatan sukarela ini bukannya menjadi beban baru bagi dunia usaha
(seperti yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan usaha), tapi dapat melihatnya sebagai suatu
kesempatan untuk berpartisipasi dalam perbaikan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat
dan lingkungan di mana mereka, perusahaan-perusahaan tersebut, berdiri, beroperasi dan
mendapatkan keuntungan.

14

You might also like