You are on page 1of 20

INFLATION TARGETING FRAMEWORK

(Paradigma Inflasi sebagai Target)

Oleh Drs. Rum Rosyid, MM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
2010
Daftar Isi 2
Kata Pengantar 3
Pendahuluan 4
Inflation Targeting Framework (ITF) 4
Perubahan Paradigma Moneter : dari Uang Beredar ke ITF 5
Inflasi sebagai anchor 8
Kritik terhadap ITF 11
Obat yang diberikan lebih buruk daripada penyakit itu sendiri 14
Penutup 17
Kepustakaan 18

2
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, kami dapat menyelesaikan karya
ilmiah mengenai inflation targeting framework. Gejala inflasi dalam dunia ekonomi
modern adalah risiko sistematis dimana seluruh sektor perekonomian dan social tidak
dapat menghindari yang ditimbulkannya. Oleh karena itu telah menjadi axioma.
Permasalahannya inflasi dapat timbul dari tekanan biaya maupun tekanan permintaan.
Dengan paradigma ITF ini yang hendak dikembangkan adalah pemikiran berapa tingkat
inflasi yang kita ekspektasikan. Artinya tidak lagi bagaimana menghindari inflasi itu
sendiri, karena ternyata tidak dapat dihindarkan.
Kebijakan BI ini setidaknya dimulai semenjak tahun 1999. meskipun tidak berpretensi
untuk tidak menyetujui setidaknya kritik terhadap ITF ini dapat menggambarkan betapa
harapan untuk menemukan solusi terbaik masih terus dimimpikan. Stiglizt sendiri
sebenarnya menolak paradigma ITF ini karena kegagalannya, bahkan memperparah
keadaan.
Semoga kita dapat memperoleh manfaat dengan memahami bahwa lingkungan
kehidupan kita telah terbiasa dengan fenomena inflasi. Oleh karena itu penurunan nilai
uang menjadi sesuatu yang biasa. Meskipun demikian bagi pengabdi kemanusiaan, akan
terus melakukan kritiknya bahwa model inflasi merupakan transfer kekayaan secara tidak
adil. Akhirul kalam
Pontianak, 4 Mei 2010
Wassalam

Penulis

3
Pendahuluan
Isu tentang akuntabilitas bank sentral menghangat sejalan dengan proses amendemen
Undang-Undang Bank Indonesia (UUBI). Meskipun UU No 23/1999 tentang BI telah
memberikan dimensi lebih fokus dan jelas tentang tujuan yang ingin dicapainya, namun
sorotan mengenai sisi akuntabilitas BI terus mengemuka. Dalam UUBI yang kini berlaku,
sebagaimana tertuang pada pasal 7, tujuan tunggal BI adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dapat diartikan terhadap nilai barang dan
jasa yang tercermin dalam angka inflasi, serta kestabilan terhadap mata uang lain yang
terefleksi dalam nilai tukar/kurs.
Dalam konteks sistem nilai tukar rupiah mengambang (free floating system) yang dianut
sejak 14 Agustus 1997, kestabilan nilai rupiah tersebut tentunya lebih tepat dipahami
sebagai laju inflasi yang rendah dan stabil. Upaya pencapaian tingkat inflasi yang
diinginkan akan sangat terkait dengan berbagai faktor. Antara lain sisi permintaan dan
sisi penawaran, tingkat independensi bank sentral, dan koordinasi dengan pemerintah.
Selain itu, dalam penetapan sasaran inflasi (inflation targeting) juga perlu ditunjang oleh
peningkatan akuntabilitas dan transparansi BI kepada masyarakat.

Paradigma inflation targeting yang telah dipilih di berbagai negara, menuntut pentingnya
akuntabilitas dan transparansi. Untuk mendukung penegakan akuntabilitas tersebut,
independensi BI secara utuh perlu tetap dipertahankan. Tujuannya, agar memberikan
kejelasan bagi BI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sehingga lebih mudah
bagi masyarakat (DPR) dalam menilai kinerja BI. Untuk itu, BI dituntut selalu melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait guna memperlancar pencapaian sasaran yang telah
diamanatkan.

Perubahan Paradigma Moneter : dari Uang Beredar ke ITF


Mulai Juli 2005 Bank Indonesia mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan
moneter yang baru konsisten dengan Inflation Targeting Framework, yang mencakup
empat elemen mendasar: penggunaan suku bunga BI Rate sebagai sasaran operasional,
proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif, strategi komunikasi yang lebih

4
transparan, dan penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah
dimaksud ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan tata kelola (governance)
kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
Inflation Targeting Framework:
1. Secara umum, Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja
kebijakan moneter yang secara eksplisit mentargetkan inflasi dan kebijakan moneter
secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi dimaksud.
Meskipun definisi berbeda secara rinci, terdapat konsensus umum mengenai karakteristik
pokok dari rezim kebijakan moneter ini, yaitu: adanya sasaran inflasi yang secara
eksplisit menjadi tujuan utama pemeliharan kestabilan harga oleh bank sentral,
terbatasnya dominasi fiskal dan tidak adanya sasaran nominal yang lain, dan otoritas
moneter yang dibekali dengan independensi instrument dan beroperasi secara transparan
dan terbuka kepada publik.
2. Dalam pelaksanaannya, rezim kebijakan moneter dengan ITF dilakukan dengan empat
prinsip pokok, yaitu:
a) Sasaran inflasi sebagai tujuan utama (overriding objective) dan jangkar nominal
(nominal anchor) kebijakan moneter,
b) Menerapkan strategi antisipatif (pre-emptive atau forward looking) dengan
mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi
jangka menengah ke depan,
c) Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu (policy rules)
dalam menetapkan respon kebijakan moneter (constrained discretion), dan
d) Sesuai dengan praktek tata kelola kebijakan (good policy governance) yaitu
berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan akuntabel.

Dari sisi moneter, sejak pertengahan tahun 2005 telah terjadi perubahan paradigma, yakni
perubahan dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation
Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan instrumen suku bunga. Perkembangan
perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan
beberapa indikator dasar makroekonominya, diantaranya suku bunga, jumlah uang yang

5
beredar, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran. Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga
otoritas moneter telah melakukan stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, dimana
penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar. Ketika jumlah
uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak (berlebih), maka hal ini akan
menyebabkan terjadinya inflasi.
Gonjang-ganjing harga minyak dan harga-harga komoditas pangan menghantui
perekonomian Indonesia pada tahun 2008. Ancaman ini terjadi di negara-negara Asia dan
Amerika Latin, khususnya negara yang sedang berkembang. Nampaknya pada tahun ini
dipenuhi oleh kebijakan-kebijakan pengetatan moneter di negara-negara yang terkena
tekanan inflasi tersebut. Kenaikan harga minyak yang sempat mencapai US$100 pada
akhir tahun 2007, walaupun pada awal tahun 2008 mengalami penurunan, imbasnya
masih mempengaruhi perekonomian pada tahun ini. Namun, kenaikan harga minyak
global tersebut tidak menyebabkan kenaikan harga BBM di Indonesia. Hal ini
dikarenakan pemerintah meningkatkan subsidi BBM untuk meredam goncangan harga
minyak global tersebut.

Kebijakan moneter adalah kebijakan pengendalian jumlah uang yang beredar. Jumlah
uang beredar itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga lingkup kebijakan
moneter menjadi sangat luas. Faktor yang terutama adalah berkenaan dengan kebijakan
perbankan, suku bunga, dan sistem pembayaran. Kebijakan perbankan antara lain
mengenai: kecukupan modal bank, rasio minimum antara modal dengan kredit yang
disalurkan, serta berbagai aturan teknis lainnya. Kompleksitasnya membuat kebijakan
moneter di banyak negara, termasuk Indonesia, dilaksanakan oleh bank sentral yang
relatif independen terhadap pemerintah. Adapun mekanisme koordinasi dengan
pemerintah diatur oleh Undang-undang.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan BI rate tetap seperti posisi bulan lalu,
12,5%. Kondisi ini pada gilirannya akan membuat pasar semakin bingung membaca
sinyal moneter yang dipancarkan oleh BI. Jika mengacu pada paradigma Inflation
Targeting Framework (ITF) yang selama ini menjadi ikon kerja BI, maka tindakan BI
dalam mempertahankan BI rate pada level yang tinggi boleh jadi mencederai semangat

6
ITF mengingat inflasi sudah berada pada level yang jauh dari mengkhawatirkan. Coba
tengok saja data dari Badan Pusat Statistik (BPS), infasi pada maret 2006 sebesar 0.03%.
Sementara inflasi tahun kalender berjalan (Januari-Maret 2006) mencapai 1,98% dan laju
inflasi year on year (Maret 2005- Maret 2006) mencapai 15,74%. Inflasi pada bulan Mei,
masih menurut data BPS, juga berada pada level yang relatif rendah yaitu sebesar 0,37%
(bulanan) dan 15,6% (tahunan) yang berarti masih berada dibawah posisi inflasi tahun
2005.

Jika kita melihat ke belakang, perjalanan BI rate hingga saat ini sangatlah panjang dan
berliku. Tingginya harga minyak dunia dan kenaikan suku bunga internasional dalam
tahun 2005 memberi tekanan pada stabilitas moneter di dalam negeri sejak triwulan
II/2005. Pada gilirannya kurs rupiah sempat melemah tajam hingga menyentuh Rp
12.000,- per USD pada perdagangan harian menjelang akhir Agustus 2005. Sehingga BI
menempuh berbagai rangkaian tindakan penyelamatan yang dimulai pada tanggal 30
Agustus 2005 dengan suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan sebesar 75 bps menjadi 9,5
persen. Pada bulan September dan Oktober 2005, suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan lagi
menjadi 10,0 persen dan 11,0 persen. Selanjutnya untuk menjaga kepercayaan terhadap
rupiah dengan tingginya laju inflasi bulan Oktober 2005, BI rate dinaikkan lagi pada awal
November 2005 dan awal Desember 2005 masing-masing sebesar 125 bps dan 50 bps
menjadi 12,25 persen dan 12,75 persen. Hingga pada akhirnya pada tanggal 9 mei 2006
BI rate diturunkan sebesar 25 bps menjadi 12,5%.

Inflasi, merujuk data BPS yang telah dijabarkan diatas, secara perlahan telah dapat
dijinakkan, meskipun kinerja saudaranya sesama indikator makroekonomi yaitu nilai
tukar masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Keputusan teranyar BI terkait BI
rate secara tidak langsung telah mengubah kerangka kerja yang sebelumnya lebih fokus
ke arah pengendalian inflasi menjadi fokus ke arah nilai tukar. Hal ini tentunya tidak
akan menjadi masalah tatkala BI secara tegas mengumumkan target-targetnya, apakah itu
inflasi yang rendah atau rupiah yang stabil.

7
Inflasi sebagai anchor
Menyikapi pasal 7 UU No 23/1999, BI cenderung menempatkan inflasi sebagai anchor
(landasan) dalam kebijakan moneternya melalui penetapan kisaran inflasi yang akan
menjadi target BI. Menempatkan inflasi sebagai anchor atau target akhir (ultimate target)
kebijakan moneter disebut inflation targeting. Bank Indonesia mendefinisikan Inflation
Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang
ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai
dalam beberapa periode ke depan. ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi
sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter.

Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya Indonesia
dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting lite countries". Kebijakan ini diilhami
oleh keberhasilan menekan laju inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output oleh
negara–negara industri maju seperti New Zealand (1990), Israel (1991), Kanada (1991),
United Kingdom (1992), Swedia (1993), Australia (1993), Switzerland dan beberapa
negara berkembang seperti Republik Czech, Polandia, Hungaria, dengan menerapkan
kebijakan target inflasi (Mishkin, 2001).

Secara teoritis, menempatkan inflasi sebagai anchor memberikan banyak manfaat. Antara
lain, (i) mudah dipahami oleh masyarakat karena masyarakat hanya akan melihat ukuran
keberhasilannya pada pencapaian laju inflasi; (ii) dapat menciptakan ekspektasi yang
rendah terhadap inflasi, sehingga pada akhirnya menghasilkan tingkat inflasi aktual
(actual inflation) seperti yang diinginkan; (iii) dapat menghindari kemungkinan
munculnya kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan deviasi terhadap pencapaian
target inflasi (discretionary policy).

Inflasi merupakan outcome dari interaksi antara permintaan agregat dan penawaran
agregat. Terjadinya ketimpangan antara permintaan agregat dan penawaran agregat
mempengaruhi tingkat inflasi. Aspek moneter, yang dalam hal ini lebih dapat

8
dikendalikan oleh BI, hanya mempengaruhi sisi permintaan agregat. Sementara
penawaran agregat lebih banyak dipengaruhi kondisi sektor riil yang terjadi seperti
kondisi musim yang mempengaruhi produksi komoditas pertanian dan kondisi distribusi
barang. Ini menjadi perhatian BI dalam pencapaian target inflasi yang diinginkan.
Terdapat pula dilema antara pertimbangan kepentingan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan laju inflasi yang rendah. Dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami
krisis, pemerintah cenderung mengambil kebijakan yang cenderung ekspansif untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, dampak kebijakan pemerintah yang ekspansif cenderung memberikan tekanan


inflasi. Di sisi lain, bank sentral melalui penetapan inflation targeting, cenderung
mengarahkan kebijakannya untuk menciptakan inflasi yang rendah dan stabil.
Selanjutnya, apabila inflasi telah disepakati sebagai target akhir kebijakan moneter
(anchor), maka kebijakan di bidang keuangan lainnya seperti di perbankan dan sistem
pembayaran, selayaknya menjadi penyangga (buffer) dalam menciptakan tingkat inflasi
yang rendah. Mengarahkan pemberian kredit kepada sektor produksi dibanding konsumsi
akan memberikan iklim kondusif bagi tercapainya inflasi rendah dan stabil.
Akuntabilitas bank sentral.

Beberapa pasal di UUBI seperti pasal 58, 59, 60, 61, dan 62 menjelaskan konsep dan
mekanisme akuntabilitas BI sebagai bank sentral yang independen. Dalam
perbendaharaan bahasa Inggris, accountability memiliki makna kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Apakah sesuai dengan rencana/
tujuan yang ditetapkan atau tidak. Dari definisi tersebut, ada tiga kata utama yang
menjadi perhatian, yaitu kewajiban, tanggung jawab, dan sesuai rencana/tujuan.
Kewajiban artinya `keharusan` untuk memenuhi semua proses akuntabilitas, sehingga
secara eksplisit akuntabilitas harus tertuang dalam suatu produk hukum. Tanggung jawab
memiliki pemahaman adanya hubungan dua arah antara yang menyampaikan
akuntabilitas (BI) maupun yang menerima akuntabilitas (DPR).

9
Pertanyaannya, apakah pihak yang menyampaikan akuntabilitas telah memenuhi semua
kewajiban yang diembannya, dan apakah yang menerima akuntabilitas sudah
memberikan tanggapan (respons). Sedangkan `sesuai rencana/tujuan` sangat terkait
dengan tanggung jawab, yaitu apakah hasil yang dicapai sesuai tujuan yang telah
ditetapkan. Apabila hasil yang dicapai sesuai tujuan, maka sepatutnya memperoleh
imbalan (reward) dan sebaliknya.

Merujuk konsep accountability, selain memberikan makna adanya kewajiban untuk


mempertanggungjawabkan suatu tindakan, juga tersirat makna adanya tanggapan dari
pihak yang menerima akuntabilitas, yaitu DPR. Dewan harus memberikan tanggapan atas
pertanggungjawaban yang disampaikan oleh BI, khususnya mengenai pencapaian dan
pemeliharaan kestabilan nilai rupiah. Apabila pada akhir periode, BI tidak dapat
mencapai target-target yang telah ditetapkan, maka DPR dapat saja memberikan teguran
kepada BI. Tentunya semua target yang ditetapkan oleh BI harus disampaikan kepada
DPR pada awal periode dengan disertai berbagai pertimbangan yang mendasari
penetapan target dimaksud.

Walsh C dalam tulisannya Optimal Contract for Independent Central Bank yang dimuat
dalam American Economic Review 1995, telah mencoba mengangkat unsur akuntabilitas
dalam penetapan model inflation targeting, yang disebut accountable model. Dalam
modelnya, Walsh memberikan perhatian yang seimbang antara pencapaian target inflasi
dan stabilitas pertumbuhan ekonomi. Hal yang menarik dalam model yang dikemukakan
Walsh adalah adanya unsur penalti atau sanksi. Apabila kinerja bank sentral tidak sesuai
seperti yang disepakati, maka pihak yang menerima pertanggungjawaban (parlemen)
dapat memberikan sanksinya.

Menurut Walsh, keseimbangan terhadap pencapaian target inflasi dan stabilitas


pertumbuhan ekonomi serta ditunjang dengan adanya sanksi bagi bank sentral, akan
memberikan hasil yang optimal yaitu stabilitas pertumbuhan ekonomi tetap terjaga
sementara tingkat inflasi dapat ditekan pada tingkat cukup rendah. Apabila model
akuntabilitas yang sebagaimana dimaksud akan diakomodasikan dalam penetapan

10
mekanisme pertanggungjawaban BI, diperkirakan di satu sisi hal tersebut akan dapat
memberikan situasi kondusif bagi keberlangsungan pemulihan ekonomi. Di sisi lain,
tingkat inflasi dapat dijaga pada tingkat yang cukup rendah mengingat adanya komitmen
yang kuat dari BI untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam rangka mencapai target
yang telah ditetapkan.

Tingginya komitmen itu akan tumbuh sebagai konsekuensi adanya sanksi yang harus
diterima apabila BI tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, berupa
tidak tercapainya target-target yang ditetapkan. Sanksi dimaksud dapat berupa peringatan
yang dipublikasikan, penurunan gaji manajemen sampai dengan pemberhentian
manajemen.

Persoalan penting dalam setting kebijakan Bank Indonesia adalah mengidentifikasi


variabel informasi yang secara hubungan teoritis menjadi penyebab inflasi, dan dapat
digunakan sebagai indikator utama signal inflasi sekaligus sebagai penentu besaran
inflasi. Variabel yang dimaksud hendaknya dalam kendali kebijakan Bank Indonesia agar
pencapaian tujuan kebijakan dapat efektif. Analisis transmisi kebijakan moneter Bank
Indonesia sangat penting dalam hal ini ; pertama, menentukan variabel ekonomi dan
keuangan mana yang paling kuat dijadikan leading indicators terhadap pergerakan inflasi
kedepan serta variabel mana untuk penentuan sasaran operasional kebijakan moneter.
Kedua, untuk mengetahui seberapa kuat dan lamanya tenggang waktu masing-masing
saluran transmisi tersebut bekerja, baik sejak tindakan moneter dilakukan bank sentral
sampai ke perubahan masing-masing saluran dan 3 saluran transmisi keperubahan inflasi
dan pertumbuhan ekonomi.

Kritik terhadap ITF


Di tahun 80-an, Sepertinya bank-bank sentral di seluruh dunia terpengaruh oleh konsep
monetarism, teori ekonomi yang relatif sederhana, yang dipromosikan oleh Milton
Friedman. Kemudian monetarism telah didiskreditkan oleh biaya yang sangat mahal yang
ditanggung terutama di negara-negara yang menggunakan mantra monetarism, walaupun
kemudian negara-negara tersebut berusaha untuk menemukan sebuah mantra baru.

11
“Perekonomian yang lemah dengan jumlah pengangguran yang lebih besar yang
disebabkan oleh inflation targeting tidak banyak memberikan pengaruh terhadap inflasi“
Mantra yang selama ini digunakan adalah “inflation targeting” yang mengatakan ketika
pertumbuhan harga melebihi target yang suda ditentukan, suku bunga harus dinaikkan.
Resep ini didasarkan pada teori ekonomi atau bukti empiris yang menyatakan apapun
sumber dari inflasi, jawaban terbaik adalah menaikkan suku bunga. Orang berharap
bahwa kebanyakan negara akan memiliki panca indera yang baik untuk tidak menerapkan
inflation targeting, dan Joseph E. Stiglitz memberikan simpatinya kepada orang-orang
yang ingin menerapkan konsep tersebut.
Negara-negara yang menerapkan inflation targeting adalah Israel, Republik Czech,
Polandia, Brazil, Chile, Colombia, Afrika Selatan, Thailand, Korea, Mexico, Hungaria,
Peru, Filipina, Slovakia, Indonesia, Rumania, New Zealand, Canada, Inggris, Swedia,
Australia, Iceland, dan Norwegia.
Hari ini inflation targeting sedang menghadapi cobaan, dan sudah hampir pasti akan
gagal. Negara-negara berkembang saat ini menghadapi kenaikan inflasi yang tinggi
bukan karena manajemen makroekonomi yang buruk tetapi karena kenaikan harga
minyak dan bahan pangan; dan komoditas ini mengabilsebagian besar anggaran rumah
tangga dibandingkan dengan rumah tangga di negara-negara maju. Menurut data, di
China inflasi sudah mendekati 8%, di Indonesia 12% atau lebih. Di Vietnam bahkan lebih
tinggi lagi mendekati 18,2% tahun ini, di India mencapai 5,8%. Berbeda dengan di
Amerika Serikat inflasi hanya mencapai 3%. Apakah ini berarti bahwa negara-negara
berkembang harus menaikkan suku bunganya lebih dari yang di Amerika Serikat.

Bagaimana cara kita merajut ulang negara ini amat bergantung pada bagaimana kita
mendiagnosis permasalahan yang melilit negara kita sebelum kita bisa merumuskan resep
pemecahannya. Pada tahap diagnosis, dari sudut mana kita menatap permasalahan
memainkan peran kunci. Sudut yang terbatas menghasilkan dimensi pandang yang cupet
sehingga diagnosanya pun keliru. Alhasil, resep penyembuhan yang ditulis dari diagnosis
yang keliru bukannya meringankan derita sang pasien, malah lebih menyengsarakan dan
membahayakan sang pasien.

12
Itulah prahara yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997- 1998 akibat kekeliruan
diagnosis dan resep yang disadurkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan
kesimpulan tentang kekeliruan diagnosis IMF ini pula yang menjadi tema utama yang
mengantar Stiglitz menjadi maestro ekonomi.
Stiglitz menyimpulkan bahwa resep IMF untuk menaikkan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) hingga 70,7 persen pada 1998 di kala perusahaan-perusahaan tengah
sekarat akibat ketidakmampuan membeli bahan baku impor pada kurs yang melambung
dari Rp 2.500 ke sekitar Rp 15.000 per dollar AS merupakan pangkal utama dari
munculnya gelombang gulung tikarnya perusahaan dan pemutusan hubungan kerja.
Untuk membeli bahan baku saja sudah setengah mati, apalagi harus membayar beban
bunga yang jauh lebih tinggi. Bagi pengusaha, lebih baik bubar jalan. PHK massal pun
terjadi bersahutan, seolah ada kesepakatan bersama dari banyak pengusaha untuk
menciutkan skala perekonomian nasional dan memaksimalkan risiko kebangkrutan
nasional (default risks).
Indonesia mengalami lebih dari stagflasi (munculnya stagnasi dan inflasi secara
bersamaan) karena yang terjadi bukan stagnasi perekonomian, tetapi depresi
perekonomian. Produk Domestik Bruto (PDB= GDP) kita menciut jadi minus 13,13
persen pada tahun 1998.

Inflasi di negara-negara ini sebagian besar merupakan hasil inflasi yang diimport.
Menaikkan suku bunga tidak akan memberikan pengaruh pada harga-harga internasional
seperti tepung terigu atau minyak. Bahkan bila melihat ukuran ekonomi di Amerika
Serikat, melambatnya perekonomian memberikan pengaruh yang lebih besar
dibandingkan melambatnya ekonomi di negara berkembang yang mengindikasikan
bahwa suku bunga di Amerika Serikat, bukan suku bunga di negara berkembang, yang
seharusnya dinaikkan.
Selama negara berkembang masih terintegrasi ke dalam ekonomi global atau globalisasi
dan tidak melakukan usaha untuk membatasi pengaruh harga internasional terhadap harga
domestik, maka harga domestik komoditas seperti beras dan tepung terigu akan
meningkat mengikuti harga pasar dimana harga internasional terus meningkat. Pada
negara-negara berkembang harga minyak dan bahan pangan yang tinggi melambangkan 3

13
ancaman yaitu tidak hanya negara pengimport harus membayar lebih untuk mendapatkan
tepung trigu mereka harus membayar lebih untuk membawanya ke negara masing-masing
dan harus mengirimkan/mendistribusikan kepada konsumen yang boleh jadi tinggal jauh
dari pelabuhan.
Menaikkan suku bunga dapat mengurangi aggregate demand, yang akan memperlambat
perekonomian dan menjinakkan harga-harga barang dan jasa, terutama sekali barang dan
jasa yang tidak diperdagangkan. Namun, kecuali peningkatan suku bunga pada dilakukan
pada level yang sangat tinggi, maka tindakan ini tidak akan dapat membuat inflasi turun
pada level yang menjadi target. Sebagai contoh walaupun harga energi dan bahan pangan
meningkat pada level moderate dibandingkan sekarang, sebagai contoh 20% per tahun,
dan direfleksikan pada harga domestik, akan membawa inflasi hingga katakanlah 3%
maka dibutuhkan penurunan harga di komoditas yang lainnya. Hal ini tentunya akan
menghasilkan kelambatan pertumbuhan perekonomian dan pengangguran yang tinggi.

Obat yang diberikan lebih buruk daripada penyakit itu sendiri


Lalu apa yang dapat diperbuat? Tentunya pemerintah dan bank sentral tidak boleh
disalahkan terhadap inflasi yang diimpor, sama saja ketika inflasi mencapai angka yang
rendah ketika lingkungan bisnis dalam kondisi baik pemerintah dan bank sentral tidak
mendapatkan applause.
Kedua kita harus mengenali bahwa harga yang tinggi dapat menyebabkan perasaan stres
terutama sekali pada individu dengan pendapatan rendah. Demo dan protes di negara-
negara berkembang merupakan manifestasi dari pada hal tersebut.
Liberalisasi perdagangan telah dianggap sebagai sebuah kelebihan, namun mereka tidak
sepenuhnya jujur terhadap risiko yang mungkin ditimbulkan. Risiko dimana market gagal
memberikan jaminan yang cukup. Sekitar 25 tahun yang lalu, Joseph E. Stiglitz
menunjukkan pada kondisi yang dapat diterima liberalisasi perdagangan dapat membuat
kondisi lebih buruk. Beliau tidak beragumentasi mengenai proteksi pasar, namun lebih
menyuarakan suara hati-hati yang harus kita pahami terutama risiko buruk dan kita harus
siap untuk menghadapinya.
Ketika kita berbicara mengenai pertanian, negara maju seperti US dan Uni eropa, berhasil
memisahkan baik konsumen maupun petani dari risiko-risiko tersebut. Akan tetapi

14
kebanyakan negara berkembang tidak memiliki institusi yang terstruktur atau sumber
daya untuk melakukan hal yang sama. Kebanyakan negara mengambil tindakan
emergency seperti mengenakan tarif pajak ekspor atau larangan ekspor yang barangkali
dapat membantu warga negaranya, akan tetapi menyebabkan permasalahan di negara
lain. Jika kita ingin menghindari perseteruan yang lebih keras terhadap globalisasi,
negara-negara barat harus melakukan tindakan nyata lebih cepat dan lebih serius. Subsidi
bio-fuel yang memotivasi petani untuk memindahkan produksinya dari bahan pangan
kepada sumber energi harus dibatalkan. Uang Miliar dollar yang digunakan untuk
memberikan subsidi kepada para petani di negara barat harus digunakan untuk membantu
negara-negara berkembang yang lebih miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar akan
makanan dan energi.

Lebih penting lagi bahwa negara berkembang maupun negara maju harus meninggalkan
inflation targeting. Permasalahan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan pangan dan
energi yang harganya terus meningkat cukup menyita waktu dan sangat berat.
Perekonomian yang lemah dengan jumlah pengangguran yang lebih besar yang
disebabkan oleh inflation targeting tidak banyak memberikan pengaruh terhadap inflasi;
hal ini hanya akan membuat tugas untuk bertahan pada kondisi seperti ini menjadi
semakin sulit.

Krisis ekonomi global telah mengubah paradigma berbagai negara dalam memandang
inflasi. Sebelumnya, hingga pertengahan 2008, pandangan hampir seluruh bank sentral di
dunia adalah mengendalikan tekanan inflasi yang meningkat. Namun, krisis yang
semakin dalam telah mengubah pandangan itu. Kini, banyak bank sentral lebih khawatir
pada tertekannya pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, inflasi adalah musuh bangsa yang
paling berbahaya. Ernest Hemingway bahkan pernah menulis bahwa inflasi lebih
berbahaya dari perang. Keduanya bisa merenggut harta, kehidupan, dan nyawa, dengan
cara yang kejam. Inflasi yang tinggi merenggut kebahagiaan masyarakat secara umum.
Untuk itulah negara-negara di dunia membentuk sebuah bank sentral yang ditugasi untuk
mengurus inflasi.

15
Dalam menjalankan tugas pengendalian inflasi itu, bank sentral sepanjang perjalanan
zaman menggunakan berbagai cara dan strategi kebijakan moneter. Dan dalam beberapa
tahun belakangan ini, lebih dari 42 bank sentral di dunia, termasuk Indonesia,
menerapkan sebuah kerangka kebijakan moneter yang disebut Inflation Targeting
Framework (ITF). Dalam kerangka ini, kebijakan moneter bank sentral ditargetkan untuk
mencapai sasaran inflasi di jangka menengah panjang. Inflasi menjadi satu-satunya target
bank sentral dalam mewujudkan kredibilitas kebijakan moneternya. Dalam menerapkan
ITF, peranan inflation forecast targetting, atau peramalan inflasi menjadi penting. Inflasi
untuk jangka menengah diramalkan pada saat ini dan instrumen suku bunga digunakan
untuk menembak sasaran itu.

Begitu di-imani-nya kerangka kerja ITF ini melahirkan beberapa pendukung yang
fanatik. Terpecahlah pemikiran-pemikiran di bank sentral beberapa negara. Ada kaum
akomodatif, yang melihat peran bank sentral juga harus akomodatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Dan ada kaum fanatik yang “madhep manthep ndherek ITF”
(membela ITF mati-matian). Kelompok terakhir ini kerap disebut dengan istilah FPI
(Front Pembela ITF). Keyakinan mereka adalah bahwa ITF merupakan kerangka kerja
yang harus dijalankan secara terukur dan mekanistis. Inflasi harus menjadi tujuan utama
tugas bank sentral. Inflasilah alasan keberadaan asali dari bank sentral sejak dahulu.
Dan terjadilah krisis keuangan global yang mengubah kredo tersebut. Saat ini, inflasi
bukan sebuah persoalan utama. Anjloknya harga komoditas dunia dan melambatnya
ekonomi global telah menurunkan tekanan inflasi secara signifikan. Fokus perhatian
dunia kini tak lagi pada inflasi, tapi justru menciutnya pertumbuhan ekonomi.
Respons kebijakan moneter seluruh bank sentralpun seragam dalam mengatasi krisis
global, yaitu memangkas suku bunga secara agresif. Namun, langkah terus menerus
memangkas suku bunga bisa kehilangan efektivitasnya. Di beberapa negara, bahkan suku
bunga kebijakan telah mendekati nol persen, seperti yang terjadi di Amerika dan Inggris.
Meski tingkat suku bunga sudah di angka sekitar nol persen, perbankan tak serta merta
mengikuti penurunan tersebut dengan menurunkan bunga kreditnya. Ekonomi juga belum
mengeliat dan bergerak. Berbagai cara alternatif kebijakanpun dicari untuk mendorong
ekonomi. Stimulus fiskal oleh pemerintah, dan dukungan likuiditas oleh bank sentral

16
pada perekonomian. ITF yang selama ini mereka pegang, untuk sementara terlupakan.
Fokus dari bank sentral di berbagai negara adalah mencari instrumen selain suku bunga
untuk mendorong perekonomian.
Di Indonesia sendiri, tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih rendah. Inflasi untuk
keseluruhan 2009 diperkirakan hanya berada pada kisaran 5%. Perhatian utama bank
sentral adalah bagaimana mendorong geliat ekonomi agar daya beli masyarakat tidak
terlalu anjlok. Masyarakat yang sudah tertekan akibat krisis, jangan sampai lebih tertekan
lagi. Beberapa bank sentral telah mencari cara baru untuk mendorong kegiatan
ekonominya, selain melalui penurunan suku bunga. Kebijakan ini, bukan hanya
dilakukan oleh mereka yang akomodatif, namun juga oleh para anggota FPI, pendukung
ITF. Menyikapi krisis global, tak apalah sekali-kali mengkhianati FPI.

Penutup
Persoalan inflasi, sesungguhnya tidak semata ketimpangan antara moneter dan input.
Tetapi lebih dari itu juga persoalan ideologis, dalam arti siapa dan bagaimana kekayaan
Negara didistribusikan secara adil bagi masyarakat. Dan selanjutnya kita dapat menebak
arah munculnya persoalan adalah ketika munculnya mereka yang tidak rela berada pada
posisi yang seimbang dengan yang lainnya. Oleh karena itu pendekatan mekanistik untuk
memahami inflasi, seperti ITF ini tidak akan mampu menyelesaikan akar persoalan
inflasi ini.

17
Kepustakaan
Achjar Iljas, Inflasi dan Akuntabilitas BI, Media Indonesia - Ekonomi (24/07/2001)
Admin, Menakar Inflasi di tengah Pengkhianatan FPI , 19 Maret 2009, 17:06
BJ Habibie, Melepas Timor Timur, DPTHNEWS 11
Dawam Rahardjo, M, Tinjauan Wawasan Habibie dalam Pemikiran Ekonomi-
Pembangunan, CIDES, , 25 Januari 1997, Jakarta
Mudrajad Kuncoro,Ph.D, Prof(2007), Miranda dan Koordinasi Kebijakan , Sumber:
http://www.investorindonesia.com , 26/12/2007 21:20:15 WIB
SUNNY BOY BATUBARA, Gejolak Ekonomi Global dan Implikasinya bagi Kebijakan
Ekonomi Makro di Indonesia, Posted on February 1st, 2009
Ascarya, (2002). Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Dernburg, T.F., and McDougall, D.M., (1983). Macroeconomics : The Measurement,
Analysis, and Control of Aggregate Economic Activity. Sixth Edition, Asian
Student Edition, McGraw-Hill International Book Company, London,
Ferry Warjiyo, (2004). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Froyen, R.T., (1993). Macroeconomics : Theories and Policies. Fourth Edition,
University of North Carolina at Chapel Hill, Macmillan Publishing Company,
New York, USA.
F.X. Sugiyono, (2004). Instrumen Pengendalian Moneter : Operasi Pasar Terbuka. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Gunanto E.S, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie: Gejolak Batin Manusia Multidimensional ,
Friday, 06 October 2006 15:35 , www.beritaindonesia.co.id
Gordon, R.J., (1993). Macroeconomics. Sixth Edition, Harper-Collins Publishers, New
York, USA.
Hadi Suprapto(2010), "Masalah BI Muncul Sejak Era Habibie" , sumber : VIVAnews
5/Jan/2010 12:16 , hadi.suprapto@vivanews.com

18
McKenzie, R.B., and Tullock G., (1985). Modern Political Economy : An Introduction to
Economics. International Student Edition, McGraw-Hill International Book
Company, London, UK.
Samuelson, P.A. and Nordhaus, W. D. (2002). Economics. 17th Edition, McGraw-Hill
Irwin, International Edition, USA.
Sutyastie soemitro, dkk. (2007). Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia. Jurusan
Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran
Bandung.
Thomas, Lloyd B., (1997). Money, Banking and Financial Markets. McGraw-Hill Irwin,
International Edition, Kansas University, USA.
Mankiw, N. Gregory, and David Romer, eds. New Keynesian Economics. 2 vols.
Cambridge: MIT Press, 1991.
Muhammad Chatib Basri, 90 HARI PEMERINTAHAN HABIBIE: MENUJU
KEBANGKRUTAN, Xpos, No 34/I/22 - 28 Agustus 98
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
N. Gregory Mankiw is a professor of economics at Harvard University.
(http://gregmankiw.blogspot.com/).
Clarida, Richard, Jordi Gali, and Mark Gertler. “The Science of Monetary Policy: A New
Keynesian Perspective.” Journal of Economic Literature 37 (1999): 1661–
1707.
Goodfriend, Marvin, and Robert King. “The New Neoclassical Synthesis and the Role of
Monetary Policy.” In Ben S. Bernanke and Julio Rotemberg, eds., NBER
Macroeconomics Annual 1997. Cambridge: MIT Press, 1997. Pp. 231–283.
Redaksi Makro Ekonomi Membaik, Mikro Memburuk, Januari 7th, 2009, Jakarta (SIB)
Rizal Ramli: "Jangan Kebijakan Ekonomi Dijadikan Eksperimen", TEMPO
Interaktif
Ros Tina, WSC Inspirational Public Figure: Bacharuddin Jusuf Habibie.
Syafruddin , Habibie, http://dinazar.multiply.com, Jun 9, '08 12:55 PM, November 1996
WINARNO ZAIN, Zig-Zag Habibie google, 2010

19
Umar Juoro, Dapatkah Investasi Menjadi Pendorong Ekonomi?, CIDES, Jakarta.

20

You might also like