You are on page 1of 43

Paradigma Konstruktivisme dan

pembelajaran Lesson Study

Oleh : Rum Rosyid


NIP : 196609141990021002

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TAHUN 2010
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT kami dapat menyelesaikan karya
ilmiah mengenai Lesson Study sebagai kegiatan pembelajaran yang memusatkan pada
kegiatan membelajarkan siswa. Semoga shalawat dan salam atas Nabi Besar Muhammad
SAW. Paradigma Behavoristik yang mendominasi dunia kependidikan sepanjang orde
baru, melahirkan para lulusan yang memandang guru sebagai sumber pengetahuan yang
utama, dengan demikian tatanan masyarakat Paternalistik lebih masuk akal sebagai akibat
dari paradigma tersebut. Gelombang demokratisasi, tidak urung melanda bangsa
Indonesia sehingga membawa bangsa ini menuju era reformasi 1997. gerakan
Mahasiswa meruntuhkan hegemoni kekuasaan orde baru yang selama 32 tahun
mendominasi kehidupan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara
profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang
memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan
menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para
guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran,
yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun
penelitian tindakan) sangat sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika
para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang
merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan
di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan
mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata
di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model
pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya
khazanah model pembelajaran yang telah ada.
Jika memperkuat keunggulan yang dimiliki para siswa dan mahasiswa maka kedepan
gerakan pembaharuan akan menjadi fenomena yang menggelombang. Disinilah penulis
merasakan kemanfaatan pembelajaran dengan mengembangkan Lesson Study.

2
Meskipun pendekatan pragmatis sangat berperanan dalam memahami LS, tetapi setiap
kebenaran pada dasarnya saling melengkapi. Artinya semangat untuk menemukan
kebenaran secara lengkap tidak akan membatasi setiap sudut pandang. Baik idealisme,
realisme, esensialisme, perenialisme dan pragmatisme itu sendiri.
Terselesaikannya tulisan ini tidak terlepas dukungan dari kolega di FKIP UNTAN.
Semoga diskusi-diskusi dilingkungan perguruan tinggi akan menambah pencerahan bagi
diri dan masyarakat.
Ahirul kalam
Pontianak, 8 Agustus 2010

Rum Rosyid

3
Daftar Isi
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 4
Pendahuluan 5
Pembelajaran Menurut Konsep Konstruktivisme 7
Konstruktivisme Individu dan Konstruktivisme Sosial 11
1. Konstruktivisme Individu 12
2. Konstruktivisme Sosial 12
Proses Belajar Menurut Konstruktivisme 13
Realitas dan kebenaran 15
Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hadjar Dewantara 17
Dari Teori Konvergensi ke ‘Sistem Merdeka’ 21
Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar 24
Hubungan Teori Konstruktivis dan lesson study 27
Menerapkan Pembelajaran “Student-centered learning strategies” 29
Dimensi Pembelajaran Konstruktivisme 33
Lingkungan Belajar Yang Konstruktivistik 34
Pengertian Pendekatan, Strategi, Model , Metode, teknik
dan taktik Pembelajaran 36
Penutup 40
Daftar Pustaka: 40

4
Pendahuluan
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran
konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan
bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-
aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat
menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan
segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini
berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori
psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk
menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar
dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi,
dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).

Paradigma konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut


paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian
masalah,mengembangkan konsep, konstruksi solusi dan algoritma ketimbang menghafal
prosedur dan menggunakannya untuk memperoleh satu jawaban benar. Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya
bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini

5
merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:


 Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
 Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan
mereka.
 Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses
saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran
terbaru. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan
dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
 Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor
ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten
atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
 Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Pembelajaran lebih dicirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan,


investigasi, hipotesis, dan model-model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Secara
umum, terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu (1)
meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan siswa, (2) menyusun
pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama, (3)menghargai pandangan siswa, (4)
materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan siswa, (5) menilai pembelajaran
secara kontekstual. Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima
otonomi siswa, investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan
hanya buku teks), menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai
pengarah pembelajaran.Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian
“menirukan”suatu proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru
informasi yang baru disajikan dalam laporan atau quis dan tes.

6
Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu
siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi
baru. Pembelajaran teori kontemporer adalah pembelajaran berdasarkan teori belajar
konstruktivisme. Pembelajaran berfungsi membekali kemampuan siswa mengakses
berbagai informasi yang dibutuhkan dalam belajar. Sesuai dengan prinsip belajar teori
konstruktivisme, maka dalam pembelajarannya nampak ada pergeseran fungsi guru dan
buku sumber sebagai sumber informasi. Guru lebih berfungsi membekali kemampuan
siswa dalam menyeleksi informasi yang dibutuhkan.

Pembelajaran Menurut Konsep Konstruktivisme


Menurut konsep konstruktivisme, pengetahuan seseorang bersifat temporer, terus
berkembang, terbentuk dengan mediasi masyarakat dan budaya. Pengetahuan itu tidak
pernah berhenti berkembang. Pengetahuan dalam diri seseorang terbentuk ketika sese-
orang mengalami tempaan kognitif. Melalui perspektif ini belajar dapat dipahami seba-
gai proses terbentuknya konflik kognitif yang bergulir dengan sendirinya dalam diri
seseorang ketika yang bersangkutan memperoleh pengalaman kongkrit, wacana kolabo-
ratif, dan kegiatan melakukan refleksi.
Dalam pengertian konstruktivisme, belajar adalah suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh pelajar atau orang yang mau
mengerti. Orang itulah yang aktif berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna.
Guru atau pendidik di sini hanyalah membantu agar proses konstruksi itu berjalan. Guru
bukan mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar anak
didik membentuk pengetahuannya.
Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid untuk membentuk
pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan, lingkungan, dan fasilitas
disediakan untuk membantu pembentukan itu. Murid diberi kesempatan mengungkapkan
pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri
dan mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi pribadi
yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational.
Dalam pengertian konstruktivisme, murid tidak dianggap sebagai suatu tabula rasa yang
kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid dipahami sebagai subyek yang

7
sudah membawa "pengertian awal" akan sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara
formal. Bahkan seorang murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal
mengenai macam-macam hal yang dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan persoalan.
Pengetahuan awal tersebut, meski kadang sangat naif atau tidak cocok dengan pengertian
para ahli, perlu diterima dan nanti dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran
para ahli. Pemikiran mereka itu meski naif, bukanlah salah; tetapi terbatas berlakunya.
Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat memahami jalan
pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan menunjukkan apakah jalan pikiran
murid benar. Guru tidak mengklaim bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yang
sama dengannya. Kesalahan pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan.
Bukankah perkembangan semua ilmu mulai dari kesalahan, demikian tandas para
konstruktivis.
Para pendidik yang telah mencoba mewujudkan paradigma konstruktivisme di
dalam kelas kemudian mendeskripsikan prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan para-
digma tersebut. Catherine Twomey Fosnot, ketika memberikan pengantarnya untuk bu-
ku berjudul In Search of Understanding the Case for Constructivist Classrooms karya
Grennon Brooks dan Brooks (1993) memformulasikan 5 prinsip belajar menurut para-
digma konstruktivisme yang satu sama lain berjalin berkelindan, yaitu: (1) menghadap-
kan peserta didik kepada problem yang saling berkaitan; (2) membuat struktur pembel-
ajaran lewat konsep pokok dan di sekitar pikiran dasarnya; (3) mendorong dan meng-
hargai munculnya pandangan dari dalam diri peserta didik; (4) kurikulum disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemauan peserta didik, dan (5) selalu menilai kemajuan peserta
didik melalui konteks pembelajaran.

Kelima prinsip akan menjadi lebih hidup subur di dalam kelas apabila guru dengan ikhlas
menerima dan mendorong tumbuhnya otonomi dalam diri siswa, data mentah hasil
belajar dan sumber utama rekaman hasil belajar lainnya dijadikan dasar untuk meneliti
kemajuan belajar siswa. Kelas akan menjadi hidup dan suasana kelas konstruktuvisme
akan mendapatkan lahan yang subur apabila guru menerima dengan dada terbuka dan
memberikan tempat terhadap munculnya pi- kiran siswa, rasa ingin tahu, keinginan
meneliti, dialog guru-siswa dan siswa-siswa, serta keberanian mempersoalkan sesuatu

8
yang belum jelas Kelima ciri di atas bertolak belakang dengan pola belajar-mengajar
konvensional yang dikenal memiliki ciri-ciri berikut: (1) pendidik yang banyak berbicara
di dalam kelas, (2) pembelajaran banyak ditekankan pada penggunaan buku teks, (3)
meskipun mengaku menggunakan strategi belajar kooperatif, pendidik jarang
memberikan kesempatan kepada murid untuk bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas
yang mestinya dapat diselesaikan bersama oleh siswa, (4) menyuruh peserta didik
mengerjakan tugas mandiri padahal tugasnya tergolong low level skill yang tidak
menuntut kemampuan berpikir rumit, dan (5) Guru kurang menghargai kemampuan
berpikir peserta didik.
Kebanyakan pendidik tidak membuat peserta didik mampu berpikir dengan membiasakan
mereka berhadapan dengan isu yang menantang, dan acapkali meminta Murid hanya
memberikan satu jawaban yang benar, (6) Pendidikan di sekolah dirumuskan sebagai
dunia yang pasti. Peserta didik datang ke sekolah untuk tahu hal yang pasti tersebut, dan
ini pun sepenuhnya disediakan oleh guru. Tidak ada kemungkinan bagi siswa untuk
memperoleh sesuatu yang lain yang ingin diketahuinya. Berbeda dengan ciri kelas
konvensional di atas, kelas konstruktivistik mempunyai ciri penanda yang berbeda secara
signifikan dengan keadaan kelas yang tidak berwawasan konstruktivisme.

Ciri yang dimaksud adalah seperti berikut ini.


1. Guru akan selalu berusaha menciptakan kelas yang dapat membuat siswa berani
berinteraksi.
2. Kelas selalu didorong untuk bekerja sama antar murid dan munculnya inisiatif
bekerjasama tersebut mendapatkan penghargaan.
3. Untuk memberikan kesadaran kepada siswa bahwa pelajaran yang dipelajarinya itu
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, guru memberikan tugas-tugas dan materi
yang interdisiplin. Untuk itu, guru lain dari bidang studi yang berbeda dapat hadir
di suatu kelas untuk menyaksikan dan memberikan penilaian terhadap kemajuan
belajar siswa.
4. Memberikan ruang kepada peserta didik yang suka melakukan sesuatu yang
beresiko, misalnya dengan memberikan tugas-tugas yang penuh tantangan.
5. Suasana yang kolaboratif selalu diupayakan diciptakan di dalam kelas. Karena itu

9
guru perlu menghindari munculnya kebiasaan peserta didik yang acapkali bertindak
mencari “menang” sendiri dan tidak mau menerima dan menghargai pendapat
temannya.

Untuk dapat mewujudkan kelas dengan ciri-ciri di atas diperlukan pendidik de-
ngan perspektif konstruktivisme. Pendidik dikatakan mempunyai ciri konstruktivisme
apabila dirinya mampu memperlihatkan perilaku seperti berikut ini:
1. Memberikan dorongan dan menerima kemandirian dan inisiatif peserta didik;
2. Membiasakan peserta didik berhadapan dengan beragam data: data asli (alamiah),
manipulatif, interaktif, atau benda nyata;
3. Merumuskan tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didiknya dengan rumusan
tujuan seperti klasifikasikanlah, analisislah, ramalkan, atau buatlah kreasi sesuai
dengan pengalaman yang kamu miliki;
4. Tidak berkeberatan mengubah strategi pembelajaran, isi atau arah pelajaran sesuai
dengan tuntutan keadaan, terutama apabila hal tersebut lebih membawa keuntungan
di pihak peserta didik;
5. Berusaha keras agar peserta didik memahami konsep tentang sesuatu sebelum
pendidik memberitahukan bagaimana pemahamannya tentang sesuatu tersebut.
6. Berusaha mendorong keberanian peserta didik untuk berdialog dengan pendidik,
dengan teman sekelasnya, dengan orang asing atau orang yang belum pernah kenal
dengan mereka, terutama bila hal tersebut berhubungan dengan pencarian kebe-
naran.
7. Berusaha membangun keberanian Murid untuk meneliti/ingin tahu sesuatu dengan
cara mendorong mereka mengajukan pertanyaan, memberikan pertanyaan dengan
jawabannya ganda (open-ended question), atau saling bertanya satu sama lain.
8. Tidak membiasakan anak didiknya menjawab dengan jawaban pendek, terutama bila
jawaban yang dituntut memerlukan penalaran. Pendidik hendaknya mendorong pe-
serta didik untuk mengembangkan jawabannya.
9. Berusaha melibatkan peserta didiknya dengan pengalaman yang mungkin kontra-
diktif dengan hipotesis peserta didik semula; untuk ini perlu diusahakan kesempat-
an berdiskusi jika peserta berhadapan hal-hal yang kontradiktif tersebut.

10
10. Memberikan waktu berpikir yang cukup kepada peserta didiknya untuk memikirkan
jawab yang tepat untuk pertanyaan yang diajukan oleh Gurunya; Guru tidak boleh
membiasakan murid berpikir tergesa-gesa.
11. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membangun hubungan baik
dengan teman kelompoknya, maupun teman lain di luar kelompoknya;
12. Membangun rasa-ingin tahu (curiosity) peserta didiknya secara alamiah melalui ke-
lompok kecil yang dibentuk untuk belajar, berusaha memecahkan persoalan, dan
mencari jalan keluar bagi masalah yang dihadapi oleh kelompok secara bersama-
sama.

Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut paradigma


konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuaidengan
pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.1.Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.2.Menggunakan data primer dan bahan
manipulatif dengan penekanan padaketerampilan berpikir kritis.3.Mengutamakan kinerja
siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis, memprediksi,dan mengkreasi dalam
mengerjakan tugas.4.Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah
model atau strategipembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.5.Menggali
pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum sharing
pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.

Konstruktivisme Individu dan Konstruktivisme Sosial


Menurut teori konstruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa
harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan
kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak
tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa
sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).

11
Konstruktivisme berfokus pada: bagaimana orang menyusun arti, baik dari sudut pandang
mereka sendiri, maupun dari interaksi dengan orang lain. Dengan kata lain, individu-
individu membangun struktur kognitif mereka sendiri, persis seperti mereka
mengintepretasikan pengalaman-pengalamannya pada situasi tertentu. Pandangan ini
didasari oleh penelitian Piaget, Vygotsky, psikologi Gestalt, Bartlett, dan Brunner.
Satu cara untuk mendapatkan intisari pandangan konstruktivisme adalah membahas dua
bentuknya, yaitu konstruktivisme individu dan sosial.

1. Konstruktivisme Individu
Pandangan ini fokus pada kehidupan “inner psikologi” manusia, yakni mengartikan
sesuatu dengan menggunakan pengetahuan dan keyakinannya secara individu.
Pengetahuan disusun dengan mentransformasikan, mengorganisasi, dan
mereorganisasikan pengetahuan yang sebelumnya. Pengetahuan bukan merupakan
cermin dari luar, walaupun pengalaman mempengaruhi pemikiran, dan pemikiran
mempengaruhi pengetahuan.

Eksplorasi dan penemuan, jauh lebih penting dari pengajaran. Piaget menekankan pada
hal-hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan yang tidak bias secara langsung
dipelajari dari lingkungan. Pengetahuan muncul dari merefleksikan dan menghubungkan
kognisi atau pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget
melihat lingkungan sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi,
tapi dia tidak meyakini bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam
mengubah pikiran.

2. Konstruktivisme Sosial
Vygotsky meyakini, bahwa interaksi sosial, unsur-unsur budaya, dan aktivitasnya adalah
yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu. Atau dengan kata lain,
pengetahuan disusun berdasarkan interaksi sosial dalam konteks sosialbudayanya.
Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring dan dipengaruhi oleh budaya,
bahasa, keyakinan, interaksi antar sesama, pengajaran klasikal, dan role modeling.
Penemuan yang terencana, pengajaran, model dan pelatihan, seperti juga pengetahuan,

12
keyakinan dan pemikiran siswa, mempengaruhi pembelajaran. Vygotsky juga dianggap
sebagai konstruktivis sosial, sekaligus individu. Yang pertama, disebabkan teorinya
sangat bergantung kepada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan
pembelajaran. Beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai konstruktivis individu,
karena ketertarikannya dalam pengembangan individu.

Proses Belajar Menurut Konstruktivisme


Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari
aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika dipandang dari
pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari
luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi
yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang
dari segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang
terlepas-lepas.
2.Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang
sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata
lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya
paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar
proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak
mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sebdiri.
4.Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan
belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala
sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan
untuk membantu pembentukan tersebut.
5.Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan,

13
serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
Adapun Model Pengajaran Konstruktivisme
Model Pengajaran Interaktif (Biddulph & Osborne)
Guru lebih sensitif kepada ide dan persoalan pelajar.
Guru menyediakan pengalaman penerokaan yang membolehkan pelajar menimbul
persoalan dan mencadangkan penerangan yang munasabah.
Guru menydiakan aktiviti yang memfokuskan kapada ide dan persoalan oleh guru
Guru menyediakan aktiviti yang menggalakkan pelajar membuat penyiasatan.
Guru berinteraksi dengan pelajar untuk mencabar dan melanjutkan idea mereka.
Pengajaran Model Berpusatkan Masalah (Wheatley)
guru memilih tugasan yang berkemungkinan menjadi masalah besar kepada pelajar.
Pelajar membuat tugasan dalam kelompok kecil.
Pelajar akan berkumpul semula untuk membentangkan kepada kelas dan guru.guru hanya
berperan sebagai fasilistor.
Cara-cara Pelajar Membina Konsep Matematik
Pelajar membuat penyelesaian matematik dengan manipulatif.
Pelajar berbincang keputusan penyiasatan mereka.
Pelajar menulis hasil pengalaman mereka.
Pelajar belajar cara penemuan mereka.
Pelajar berfikir secara mencapah.
Pelajar menyelesaikan masalah yang terbuka.
Keberkesanan Strategi Pengajaran Matematik Melalui Pendekatan Kontruktivisme
pelajar berpeluang mengemukakan pandangan mereka terhadap suatu konsep.
Pelajar dapat berkongsi persepsi/ pandangan/ ide antara satu dengan yang lain.
Pelajar dapat menerima serta menghormati semua pandangan dari pada rekan-rekan
mereka.
Semua pandangan bisa diterima dan tidak dipandang rendah.
Pelajar dapat mengaplikasi ide baru dalam konteks yang berbeda untuk mengukuhkan
kepahaman tersebut.
Pelajar dapat merenung dan mengimbas kembali proses pembelajaran yang telah dilalui
Pelajar dapat menghubung kaitkan ide yang asal dengan ide yang baru dibinanya.

14
Pelajar dapat mengemukakan hpotesis dari pada taktifi yang dilaluinya tetapi bukan guru
yang menerangkan teori.
Pelajar dapat berinteraksi dengan pelajar lain dan guru
Memupuk kerja sama antar individu dan kumpulan melalaui aktifiti koperatif
Pengajaran berpusatkan pada pelajaran
Guru akan dapat meningkatkan kemahiran berfikir di kalangan pelajarnya
Guru menjadi lebih prihatin terhadap keperluan , kebolehan serta minat pelajar.

Realitas dan kebenaran


Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara
ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang
sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur
konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang konstruktivisme tidak
bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau
menjadi tahu. Bagi konstruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan
pengamat. Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa
pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Konstruktivisme meletakkan kebenaran dari
pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam
penggunaan. Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-
macam persoalan yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat
digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya,
mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum. Yang membatasi
konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi
proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman
kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita
yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman
akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan
pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan
kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat jelas peranan pengalaman
dan percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori dan konsep-konsep ilmu
tersebut. Konsep, gagasan, gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan

15
yang lain membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut
ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut dengan
setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual di atas.
Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan.
a. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-
jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti
materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat
mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya
tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti
dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yangkeras para
sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
b.Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para
sisiwa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru
kedalam kerangka kognitifnya.
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang
dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d.Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing
konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi
mental yang diperlukan
e. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat
situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.sedangkan
Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar adalah sebagai berikut:

16
1)Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer,
selalu berubah dan tidak menentu.
2)Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas
kolaboratif dan refleksi dan interpretasi.
3)Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung
pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.

Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hadjar Dewantara


Sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan, konstruktivisme menegasikan bahwa
pengetahuan kita sesungguhnya merupakan hasil konstruksi atau bentukan kita sendiri
(Von Glaserfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Artinya teori ini
bersandarkan pikiran bahwa seorang siswa sesungguhnya pengemudi sekaligus
pengendali informasi dan pengalaman baru yang mereka peroleh dalam sebuah proses
memahami, mencermati secara kritis, sekaligus melakukan re-interpretasi pengetahuan
dalam sebuah siklus belajar-mengajar (Billett 1996). Secara operasional memang tidaklah
sederhana memahami teori ini. Tetapi jika para guru mampu memahami ide bahwa
pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu
merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan siswa (Mind as inner individual
representation of outer reality), maka baik guru maupun siswa dapat secara bersama-sama
mengonstruksi skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur dalam membangun
pengetahuan, sehingga setiap bangunan proses belajar-mengajar memiliki skema kognitif,
kategori, konsep, dan struktur yang lebih kaya sekaligus berbeda.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, mengingatkan pada pendekatan


konstruktivisme dalam pendidikan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat
proses belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator atau
instruktur yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi dari masalah
yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang optimal adalah
pembelajaran yang berpusat pada murid (student center learning). Kesamaan ini bukan
suatu kebetulan.

17
Konstruktivisme yang sudah besar pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di
Amerika, juga di Eropa, secara langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah
dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan konstruktivisme dalam
pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia
merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature) dan faktor pengasuhan (nurture).
Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan ajar” di Pusara Nopember 1940-Jilid 9 no.
9/11, Ki Hadjar menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi. Menurutnya,
baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan dalam pembentukan
watak seseorang.

Fitur kunci yang lain dari konstruksi pengetahuan adalah konteks fungsional, sosial, dan
kegunaan. Ketika seluruh konteks dapat disatukan dalam sebuah skema pembelajaran
secara efektif, maka pengetahuan dapat digunakan secara maksimal (Johnson dan
Thomas 1994). Meskipun kita tahu bahwa belajar adalah suatu penafsiran personal dan
unik dalam sebuah konteks sosial, tetapi akan lebih bermakna jika akhir dari suatu proses
pembelajaran dapat secara langsung memotivasi siswa untuk memahami sekaligus
membangun arti baru (Billett 1996). Untuk itu, seorang guru dalam pendekatan
konstruktivis harus berfungsi sebagai fasilitator aktif, terutama dalam memandu siswa
untuk mempertanyakan asumsi diam-diam mereka, serta melatih siswa dalam
merekonstruksi makna baru dari sebuah pengetahuan. Berbeda dengan behavioralist,
seorang guru konstruktivis lebih tertarik untuk membongkar sebuah makna daripada
menentukan suatu materi. Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran
konstruktivisme adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan
kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang
siswa berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi hasil belajar siswa.
Seluruh proses ini merupakan pendekatan paling baik dalam mekanisme pengembangan
kurikulum sekolah kejuruan.

Beberapa penelitian tentang bagaimana siswa belajar dalam sebuah lingkungan dan
tempat kerja menunjukkan bahwa proses magang-kognitif dari pendekatan
konstruktivisme untuk sekolah kejuruan sangatlah penting. Penelitian dari para praktisi

18
ragam profesi (Buckmaster & LeGrand, 1992) mengungkapkan bahwa praktik kerja
dalam sebuah pendidikan kejuruan pada awalnya memang menempuh risiko tinggi.
Tetapi jika guru bertindak benar, baik sebagai fasilitator maupun pemandu, guru dapat
membantu para siswa dalam belajar merekonstruksi pikiran mereka melalui sebuah
prakondisi secara bersama-sama. Meskipun konstruksi dari sebuah pemahaman adalah
unik bagi setiap individu, hal tersebut akan mudah dibentuk oleh kultur dan lingkungan
tempat bekerja sekaligus belajar dalam sebuah sekolah kejuruan. Yang harus selalu
diingat oleh para guru di sekolah kejuruan adalah menghargai siswa dengan instruksi
langsung kepada sumber informasi. Kualitas instruksi seorang guru/fasilitator sangat
penting, terutama dalam membantu siswa untuk memahami mengapa sesuatu harus
dilakukan dan bagaimana mencapai derajat atau level tertentu dari penguasaan sebuah
pengetahuan dan keterampilan.

Aktivitas adalah salah satu faktor kunci dalam konstruksi pengetahuan, dan keikutsertaan
siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran setiap hari merupakan kekuatan
untuk mengakses informasi dan keterampilan yang lebih tinggi. Bertambahnya
pengalaman secara rutin dan langsung dalam melakukan suatu pekerjaan akan
memberikan siswa kemampuan untuk memecahkan masalah secara reflektif dan
berkesinambungan. Karena itu diperlukan sinergi yang jelas antara sekolah kejuruan dan
industri terkait dalam rangka memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk
melakukan proses magang. Pendekatan konstruktivisme memandang bahwa penguatan
keterampilan siswa melalui sebuah praktik magang adalah dalam rangka menumbuhkan
kepuasan batin agar perasaan siswa terstimulasi secara positif. Dalam pandangan Billett
(1996), tempat magang sebagai bagian dari proses belajar-mengajar di sekolah kejuruan
memiliki sejumlah kekuatan sebagai lingkungan belajar yang: (1) asli (authentic), tujuan
dari setiap aktivitas diarahkan; (2) juga berfungsi sebagai panduan (guideline) untuk
mengakses sumber belajar secara langsung; (3) keterikatan siswa satu sama lain untuk
memecahkan masalah setiap hari; dan (4) penguatan intrinsik.

Hasil riset lainnya juga menunjukkan bahwa fokus dalam proses belajar-mengajar harus
tertuju pada aktivitas individual siswa dalam merekonstruksi pengetahuan (Stevenson

19
1994, p 29). Dengan demikian peran penting sekolah kejuruan adalah memfasilitasi
konstruksi pengetahuan yang dilakukan para siswa melalui sederetan pengalaman
lapangan (magang), kontekstual dengan kondisi dan lingkungan sosial yang berkembang
(Lynch 1997, p 27). Karena titik fokus dari sekolah kejuruan adalah upaya peningkatan
keterampilan siswa, sekolah kejuruan harus digagas dan dijadikan sebagai wadah dari
sebuah proses belajar, bukan proses mengajar. Artinya, baik siswa maupun guru harus
sama-sama belajar membina hubungan yang positif dan setia dalam berbagi kehendak
dan tujuan pembelajaran (Stevenson 1994).

Menurut Hyerle (1996), meskipun pendekatan konstruktivisme dalam model cooperative


learning dan assessment portofolio telah mulai digunakan dalam proses belajar di sekolah
kejuruan, dalam praktiknya masih terbatas pada aspek partisipasi siswa semata. Hyerle
mengingatkan agar para guru juga secara kreatif dapat menggunakan alat-alat visual
dalam proses pembelajaran seperti brainstorming webs, thinking process maps, concept
mapping, dan juga perangkat multimedia lainnya.

Para guru dan pengelola sekolah kejuruan harus dengan cerdas memahami bahwa tujuan
pembelajaran dari pendekatan konstruktivisme adalah untuk mengembangkan self-
directed dan pemahaman saling ketergantungan satu sama lain dalam mengakses dan
menggunakan pengetahuan sekaligus keterampilan.

Beberapa macam konstruktivisme


Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan
pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan
konstruktivisme yang biasa. Konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara
pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal, pengetahuan
adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang.
Menurut aliran ini kita hanya tahu apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan
bukanlah representasi kenyataan. Realisme hipotesis memandang pengetahuan sebagai
suatu hypotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju
pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Sedangkan konstruktivisme yang

20
biasa, masih melihat pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan
suatu objek.

Dari segi subyek yang membetuk pengetahuan, dapat dibedakan antara konstruktivisme
psikologis personal, sosiokulturalisme, dan konstruktivisme sosiologis. Yang personal
dengan tokohnya Piaget, menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang
secara pribadi dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Orang
itu sendiri yang membentuk pengetahuan. Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh
Vygotsky, menjelaskan bahwa pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh
interaksi sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu dan
lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam suatu masyarakat
ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu, maka orang itu membentuk
pengetahuannya. Sedangkan konstruktivisme sosiologis menyatakan bahwa pengetahuan
itu dibentuk oleh masyarakat sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedang unsur
pribadi tidak
diperhatikan.
Dari Teori Konvergensi ke ‘Sistem Merdeka’
Dalam penerapannya di bidang pendidikan, oleh Ki Hadjar teori konvergensi diturunkan
menjadi sistem pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem
merdeka’. Dalam tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham
Baru” yang dimuat di Waskita edisi Mei 1929-Jilid I no. 8, Ki Hadjar mengemukakan 10
syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil yang baik. Inti dari
syarat-syarat itu adalah memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat
dijadikan media pembelajaran, mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis dari
tindakan sesuai dengan hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya belajar
bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar menunjukkan bahwa
pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang
merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi
manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan
sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan
menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir.

21
Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan
konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil
konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang
yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno,
1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada
orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.

Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode


pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach &
Tobin, 1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai
orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam
lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan
peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek
utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun
pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya
pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya
memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal
terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar
(Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan
sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.

Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar


yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya
perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan
melakukan perintah (dalam bahasa Jawa = dhawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik
sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti
(rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...”
Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang
yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia
mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada

22
ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai
hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.” Ini mengingatkan saya kepada teori
perkembangan dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954), bahwa anak
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-
objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah
memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari
tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari
konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar dan
konstruktivisme.

Ki Hadjar dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa
untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan
dari guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses
belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta
makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap
berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara
kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.

Sejalan dengan konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri


Handayani”, menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa,
membimbing dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu
siswa membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna
bagi masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami
konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam
menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga
siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat siswa
sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk
menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.

Pengajar harus memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan

23
menghargai pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang
berbeda bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid
dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika
jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau membahayakan,
maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan sampai pengarahan
yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau menimbulkan konflik antara
pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hadjar, “Si pendidik hanya boleh membantu
kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul
karena adanya rintangan, atau kalau buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”

Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar


Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hadjar adalah pendidikan
Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang
dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh
pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta
ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang
banyak merujuk mereka.

Dari banyaknya rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang
giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah
pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus
menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya
sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan
Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia,
khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan pemikiran-
pemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau
meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan mengembangkannya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan


sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan

24
keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya
“Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar” dalam Keluarga edisi
Desember 1936 th. 1 no.2, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam
proses pembelajaran rakyat Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis.
Di situ ia mengemukakan ‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena
praktisnya, mudah dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk
dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam keluarga.” Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga
menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan
Keluarga” yang dimuat dalam Keluarga edisi Oktober 1937 tahun ke-1 no. 11, Ki Hadjar
menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam alam keluarganya”.
Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas anak dari keluarganya.
Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke sekolah karena kebutuhan utama
anak ada dalam keluarga.

Bagi Ki Hadjar, keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak.
Apalagi di Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga
dinilai sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah
keluarganya.” Begitu tulis Ki Hadjar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam
“masa peka”-nya ... maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran ... mendapat
pengaruh yang sebanyak-banyaknya serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masing-
masing.” Keluarga merupakan lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang
terjadi dalam keluarga merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa
penting dan oleh karena itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha
memahami dunia. Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung
diabaikan anak sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.

Pemikiran Ki Hadjar tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi
anak sejalan dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan
perolehan pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan
dipelajari dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna
(dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga representasinya

25
disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan. Sebaliknya objek-
objek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak memilih sendiri
pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran berdasarkan derajat
kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai pusat, memberikan dasar
penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran ini juga sejalan dengan
pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar dari konstruktivisme-sosial.

Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil


dari Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan
yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja
rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru
dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan (terbit ulang
tahun 2004), kita temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks
Indonesia itu. Di antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman
Madya”, “Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka
panggulawentah/Olah gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”,
“Faedahnya sistim pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk
pentingnya pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan
budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi dalam
masyarakatnya.

Penelusuran dalam karya-karya tulis Ki Hadjar memberi pelajaran penting bagi saya:
orisinalitas dan progresivitas Ki Hadjar dalam hal pemikiran tentang pendidikan
merupakan teladan berharga bagi Bangsa Indonesia. Orisinalitas itu lahir dari wawasan
dan pemahaman yang luas tentang bidang pendidikan yang ia geluti, juga tentang
kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia. Tentunya pemahaman itu diperoleh melalui
proses belajar yang panjang. Ketekunan dan kegigihan tercakup di dalamnya. Secara
kreatif berbagai pemahaman dan pengetahuan itu diolah oleh Ki Hadjar untuk
menghasilkan pemikiran yang khas dan orisinal. Di situ juga tampak jelas keterbukaan
pikiran Ki Hadjar terhadap berbagai pandangan dan pemikiran tokoh-tokoh dunia.
Ketekunannya mempelajari berbagai perkembangan baru dalam pendidikan

26
memungkinkannya menyerap itu semua.

Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan


progresivitas pemikiran Ki Hadjar. Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan
melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang
menjadikan pikirannya tetap relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai
pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk
menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya memahami
Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada
aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya
secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang
dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari pergulatannya dengan berbagai
persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

Hubungan Teori Konstruktivis dan lesson study


Dalam dunia pendidikan dikenal beberapa jenis teori belajar yang dirancang sebagai
model untuk pembelajaran yang berasal dari temuan beberapa ahli psikologi dan
pendidikan. Teori belajar itu diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu teori belajar
Behavioristik, teori belajar Kognitif dan teori belajar Humanistik. Para ahli yang
mendasarkan teori belajarnya terhadap hasil penelitian mencoba merumuskan konsep
belajar dengan tujuan agar dapat mencerdaskan manusia mulai dikenal dengan konsep-
konsep yang dikemukakannya, tentunya dengan argumentasi ilmiah mereka dalam hal
yang mereka temukan tersebut.

Namun, apakah teori belajar yang demikian terkenal itu merupakan teori belajar yang
baik, terutama jika indikasinya untuk mempengaruhi pembelajaran dan proses
sebelumnya yang disebut perencanaan pembelajaran dapat berhasil efektif
membelajarkan manusia. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham
progesifisme john dewey. Yang mana intinya siswa akan belajar dengan baik apabila apa
yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang mereka ketahui, serta proses belajar
akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar disekolah.

27
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran
konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori yang melatar belakangi teori
Konstruktivisme.yaitu teori kognitif, siswa akan belajar dengan baik apabila mereka
terlibat secara aktif dalam segala kegiatan dikelas dan berkesempatan untuk menemukan
sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa
yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual
untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi. Berpijak
dari dua pandangan itu Konstruktivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan
keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit.
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan
lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-
benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja
memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah
payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori
pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin
dalam Nur, 2002: 8).

Lesson study adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian
pembelajaran kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan
mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson study dipilih dan
diimplementasikan dalam rangka peningkatan profesionalisme guru karena lesson study
merupakan suatu cara efektif untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar di kelas
mengingat pengembangan lesson study dilakukan dan didasarkan pada hasil “sharing”
pengetahuan profesional yang berlandaskan pada praktek dan hasil pembelajaran yang
dilaksanakan para guru. Tahapan pelaksanaan lesson study ada enam, yaitu : (1)
membentuk group lesson study, (2) menentukan fokus kajian, (3) merencanakan research
lesson, (4) pelaksanaan pembelajaran dan observasi kegiatan pembelajaran, (5)
mendiskusikan dan menganalisis hasil observasi, dan (6) refleksi dan penyempurnaan.
Keenam tahapan tersebut dilaksanakan dalam bentuk siklus plan-do-see (reflection).

28
Melalui lesson study diharapkan terjadi peningkatan kompetensi dan profesionalisme
guru, peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran, serta pengembangan
pembelajaran yang demokratis berbasis paradigma konstruktivisme.
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan,
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya
modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran
konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata. Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu
filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa pengetahuan dibangun dengan
merefleksikan pengalaman-pengalaman sendiri. sedangkan teori Konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau
mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.

Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan
terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

29
Menerapkan Pembelajaran “Student-centered learning strategies”
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan
perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi
empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan
(4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi
pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005)
menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into
their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses
to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by
the process of assimilation” .

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan
teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan
secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
• Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
• Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.
• Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
• Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
• Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.
Pembelajaran konstruktivisme mengkritisi konsep pembelajaran yang selama ini, belajar
mengajar dalam arti cenderung berpusat pada subjek belajar. Pengajar dan siswa sama-

30
sama aktif, siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pengajar sebagai fasilitator.
Bentuk pembelajaran “student-centered” dilaksanankan melalui belajar aktif, belajar
mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, generative learning dan problem-based
learning. Model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan teori konstruktivisme
mencakup pembelajaran kontekstual dan kuantum.

Dalam peraturan pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional


pendidikan merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu Pendidikan di
Indonesia. Suasana belajar perlu dirancang dengan baik oleh guru agar dalam Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) tumbuh minat belajar siswa. Penciptaan suasana belajar
merupakan langkah awal bagi guru untuk memfasilitasi siswa-siswanya untuk belajar.

Suasana belajar yang kondusif memungkinkan imajinasi dan kreativitas siswa


berkembang. Latar belakang siswa yang beragam dapat merupakan masukan yang baik
dalam kelas bila dikelola secara benar. Pengelolaan siswa berdasarkan kelompok
keterampilan berfikir, keterampilan bertindak, dan keterampilan lainnya dirancang oleh
guru dalam pengelolaan kelas. Perencanaan pembelajaran, penilaian, dan pengelolaan
kelas sangat menentukan keberhasilan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).

Tiga dasa warsa antara tahun 1970-2000, usaha-usaha inovasi pembelajaran di Indonesia
sangat intensif. Saat ini, inovasi pembelajaran berakar dari paradigma pembelajaran yang
dimotori oleh filsafat konstruktivisme. Pandangan konstruktifis tentang belajar menurut
Brophy dalam Sulton, (1997:1), dipengaruhi oleh pandangannya terhadap ilmu
pengetahuan. Konstruktifis memiliki dua pandangan dasar terhadap sifat ilmu
pengetahuan. Pertama, empiricist-oriented constructivists, pandangan ini melihat ilmu
pengetahuan berada pada lingkungan eksternal, serta keberadaannya tidak bergantung
pada aktifitas kognitif siswa. Karena itu dalam pandangan Case yang dikutip oleh Brophy
dalam Sulton (1997:1) menyarankan dalam pembelajaran hendaknya guru memberikan
bantuan kepada siswa dalam membangun konsep-konsep yang akurat. Kedua, radical
constructivists, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dalam struktur kognisi
siswa. Oleh karena itu, Rumel Hart & Norman yang dikutip Brophy dalam Sulton,

31
(1997:1) menyarankan bahwa dalam pembelajaran, guru dituntut untuk memberikan
kesempatan pada siswa untuk membangun konsep yang akurat.

Sejalan dengan dua pandangan tersebut di atas dapat dikemukakan konsep belajar sebagai
berikut. Pertama, belajar sebagai proses konstruksi, yaitu aktifitas siswa untuk
membangun pengetahuan, representasi internal terhadap pengalaman. Pada tahun 1983,
Resnick dalam penelitiannya merangkum bahwa seseorang yang belajar itu membentuk
pengertian. Orang yang belajar tidak sekedar meniru atau mencerminkan yang diajarkan
atau yang dibaca, melainkan secara aktif membentuk pengertian (Bettencour dalam
Suparno, 1997:11). Interpretasi siswa terhadap lingkungan merupakan aktifitas yang
penting untuk membentuk pengetahuan baru dalam diri kognisi siswa. Kedua, belajar
merupakan suatu proses yang aktif dalam mengembangkan makna berdasarkan
pengalaman. Ketiga, belajar merupakan interpertasi terhadap lingkungan melalui
perbedaan struktur atau skemata sehingga merupakan pemaknaan baru (Brooks dalam
Sulton, 1997:1).

Konstruktivis sebagai akar pembelajaran optimal bertolak dari pentingnya peranan aktif
siswa dalam proses belajarnya. Dalam pada itu maka proses pembelajaran optimal, akan
tampak pada optimasi keterlibatan mental emosional anak pada proses asimilasi dan
akomodasi kognitif dalam pemerolehan pengetahuan melalui perbuatan serta pengalaman
langsung dalam pembentukan keterampilan, dan penghayatan serta internalisasi nilai-
nilai dalam pembentukan sikap dan nilai (Raka Joni; 1980). Memandu terwujudnya
proses pembelajaran optimal, pola dasarnya menggariskan terciptanya proses
pembelajaran dengan menerapkan “innovatory knowledge” ( Pembentukan pengetahuan).
Pengembangan keterampilan kognitif dalam proses belajar dengan penekanan pada
terbentuknya pengertian dan penggunaan informasi untuk pemecahan masalah, dari pada
perolehan informasinya itu sendiri.

Siswa dalam proses belajarnya terarahkan untuk mengetahui dan menemukan


pengetahuan melalui kegiatan analisis terhadap pengalaman belajarnya. Tujuan kegiatan
belajar anak adalah berkembangnya kemampuan berpikir produktif dan kreatif. Oleh

32
karena itu, perolehan dan pemilikan ilmu pengetahuan disikapi sebagai sarana bagi
terjadinya proses berpikir produktif dan bukan sebagai tujuan belajar utama. (T. Raka
Joni; 1980). Peran guru di kelas sebagai implikasi dari proses pembelajaran optimal
tersebut di atas, adalah sebagai fasilitator yang mampu mengembangkan kemampuan
belajar anak. Sehubungan dengan itu, maka tugas guru yang utama adalah menyediakan
kondisi belajar yang relevan yang memungkinkan terwujudnya aktivitas belajar anak
dalam situasi yang wajar dengan penuh kegembiraan.

Kondisi belajar yang efektif sebagai wujud proses pembelajaran optimal, di susun dengan
ketentuan sebagai berikut: (1) disusun dengan memberikan kesempatan pada anak untuk
melakukan penemuan-penemuan sebagai wujud perolehan hasil belajarnya (2) mampu
menuntun anak untuk mengolah perolehan hasil belajarnya sendiri, (3) memacu
kemampuan mental, fisik, dan sosial anak sebagai penggerak tercapainya kemampuan-
kemampuan berikutnya yang lebih tinggi, (4) memberikan kesempatan kepada anak
untuk menunjukkan kreatifitas dan bertangung jawab terhadap kegiatan itu, (5) memberi
kesempatan kepada anak untuk menetapkan kegiatan belajar sesuai dengan kecepatan
masing-masing, (6) memberi kesempatan anak untuk mengembangan kegiatan belajar
sesuai dengan minat dan perbedaan bakatnya, (7) memberi peluang terjadinya akselerasi
belajar individual dengan tetap terbinanya sikap kebersamaan dalam proses
pembelajaran.

Dimensi Pembelajaran Konstruktivisme


1. Lingkungan Belajar yang Kompleks dan Tugas-tugas Otentik
Siswa tidak boleh diberikan bagian-bagian yang terpisah, penyederhanaan masalah, dan
pengulangan keterampilan dasar, tetapi sebaliknya: siswa dihadapakan pada lingkungan
belajar yang kompleks, terlihat samar-samar, dan masalah yang tidak beraturan.
Masalah-masalah yang kompleks itu harus dihubungkan pada aktivitas dan tugas yang
otentik, karena keberagaman situasi yang siswa hadapi tersebut, seperti juga aplikasi
yang mereka hadapi tentang dunia nyata.
2. Negosiasi Sosial
Tujuan utama pembelajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam

33
membangun serta mempertahankan posisi mereka, dan disaat bersamaan menghormati
posisi orang lain dan bekerjasama untuk berdiskusi atau membangun pengertian bersama-
sama. Guna mnyelesaikan perpaduan ini, haruslah berbicara dan mendengarkan satu
sama lain.Dengan kata lain, proses mental ini melalui negosiasi sosial dan interaksi,
sehingga kolaborasi dalam pembelajaran dapat dimungkinkan, yakni melahirkan sebuah
sikap intersubyektif – sebuah komitmen untuk membangun keragaman pengertian dan
menemukan kesamaan umum serta perpaduan penafsiran.
3. Keragaman Pandangan dan Representasi Bahasan
Acuan-acuan untuk pembelajaran harus sudah dapat memfasilitasi representasi beragam
bahasan dengan menggunakan analogi contoh dan metafora yang berbeda. Peninjauan
materi yang sama, pada waktu yang berbeda-beda dalam penyusunan kembali konteks
untuk tujuan yang berbeda, dan dari pandangan konseptual yang berbeda adalah penting
untuk mencapai tujuan kemampuan pengetahuan yang lebih maju.
4. Proses Konstruksi Pengetahuan
Pendekatan konstruktivisme mengedepankan untuk membuat siswa peduli pada peran
mereka dalam membangun pengetahuan. Asumsinya adalah keyakinan dan pengalaman
individu, membentuk apa yang dikenal sebagai dunia. Asumsi dan pengalaman berbeda,
mengarahkan kepada pengetahuan yang berbeda pula. Apabila siswa peduli terhadap
pengaruh-pengaruh yang membentuk pola pikir mereka, maka mereka akan lebih mampu
untuk memilih, mengembangkan, dan memanfaatkan posisi dengan cara introspeksi diri,
pada saat yang bersamaan menghormati posisi orang lain.
5. Pembelajaran Siswa Terhadap Kesadaran Dalam Belajar
Fokus dalam proses ini adalah menempatkan berbagai usaha siswa untuk memahami
pembentukan pembelajaran dalam pendidikan. Kesadaran yang timbul pada diri siswa,
bukan berarti guru melonggarkan tanggungjawabnya untuk memberikan pengarahan atau
bimbingan.

Lingkungan Belajar Yang Konstruktivistik


Sebagaimana telah dinyatakan sebelum ini, konstruktivisme adalah terori tentang
belajar. Karena itu, kelas yang dibangun menjadi lingkungan yang konstruktivistik
adalah kelas yang amat memperhatikan bagaimana pengetahuan itu terbentuk dalam diri

34
peserta didik kita. Guru di dalam kelas konstruktivistik akan menganggap bahwa
pengetahuan itu selalu tumbuh dan dapat ditafsirkan sesuai dengan kondisi lingkungan
di sekeliling Murid. Wilson (dalam Wilson, 1996:3-4) menegaskan bahwa beda Guru
konstruktivistik dengan yang bukan dapat dilihat dari cara pandangnya terhadap waktu
dan tempat belajar, produk yang hendak disampaikan, dan sistem serta proses yang
harus dilalui. Guru konstruktivistik memandang kesemuanya itu secara lentur: Murid
tidak diharuskan mengikuti kesemuanya itu secara seragam. Ada 4 cara pandang yang
berbeda antara Guru konstruktivistik dengan yang bukan (Wilson, dalam Wilson, 1996:
4) di dalam cara memandang bagaimana pengetahuan itu terbentuk, sebagaimana tabel
di berikut ini (Tabel 1).
Untuk menciptakan kelas menjadi lingkungan yang konstruktivistik, Guru perlu
melakukan perubahan pandangan terhadap tujuan pendidikan. Honebein (dalam Wilson,
1996: 11) mengembangkan lingkungan kelas konstruktivistik berdasarkan pikiran Cun-
ningham, Duffy dan Knuth (1993) dan Knuth dan Kunningham (1993). Ada 7 (tujuh)
kondisi yang dapat diciptakan oleh Guru dalam mewujudkan kelas konstruktivistik.
1. Guru memberikan kesempatan kepada Murid untuk mencari pengalaman pada saat
proses pembentukan pengetahuan berlangsung. Guru perlu menumbuhkan sikap
bertanggung-jawab pada diri Murid dengan mendorong mereka mengembangkan
topik dan sub-topik yang sesuai dengan minat mereka masing-masing.
Tabel 1. Cara Pandang terhadap Terbentuknya Pengetahuan yang Mempengaruhi Cara
Pandang Guru terhadap Pembelajaran
Jika Anda menganggap pengetahuan/ilmu sebagai …
Maka Anda menganggap pembelajaran sebagai …kuantitas atau paket yang siap
disajikan produk yang boleh diantarkan dengan kendaraan tertentu saja keadaan kognitif
pembelajaran sebagai-mana terefleksi dalam skemata dan keterampilan proseduralnya
seperangkat strategi pembelajaran yang bertujuan mengubah skemata murid
Makna yang ditangkap oleh murid dibentuk oleh interaksinya dengan lingkungan
Sekitarnya. Murid menggali dengan alat dan sumber dari lingkungan yang kaya
Pembiasaan dan pengadopsian cara melihat dan melakukan sesuatu secara berkelompok
Partisipasi pembelajaran dalam komunitas seperti dalam kehidupan sehari-hari
2. Guru melatih Murid berpengalaman dan membiasakan mereka menghargai kondisi

35
dari perspektif yang berbeda, karena keadaan yang nyata jarang sekali memiliki
perspektif tunggal.
3. Menghubungkan belajar dengan konteks yang realistis dan relevan. Guru Bahasa
mudah sekali membawa Murid untuk menghubungkan materi pelajaran dengan
dunia nyata yang dimiliki oleh Murid.
4. Melatih Murid menghargai pendapat dan temuannya sendiri. Untuk itu, Guru
mendorong Murid untuk berani menetapkan apa yang akan dipelajari, isu apa yang
menarik, cara apa yang akan ditempuh, bagaimana mereka merumuskan tujuan
yang hendak dicapai.
5. Ciptakan suasana belajar yang berada di dalam suasana interaksi sosial..
6. Doronglah Murid untuk berani menggunakan bentuk penyajian yang berbeda.
7. Doronglah anak didik untuk senantia menyadari proses terbentuk pemahaman dan
pengetahuan dalam diri mereka.

Pengertian Pendekatan, Strategi, Model , Metode, teknik


dan taktik Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna,
sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut
adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode
pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model
pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut, dengan harapan dapat
memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah tersebut.

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita
terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu
proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi,
menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat
dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan
(2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered
approach).

36
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam
strategi pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003)
mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu :
 Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan
sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan
selera masyarakat yang memerlukannya.
 Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling
efektif untuk mencapai sasaran.
 Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh
sejak titik awal sampai dengan sasaran.
 Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran
(standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
 Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan
profil perilaku dan pribadi peserta didik.
 Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang
dipandang paling efektif.
 Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan
teknik pembelajaran.
 Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria
dan ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip
pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi
pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya
masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu
pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan
ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-
individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian

37
dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi
pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya
digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan
“a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving
something” (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai
cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam
bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat
beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan
strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4)
simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9)
simposium, dan sebagainya.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran.
Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan
seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan,
penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak
membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan
penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula,
dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas
yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal
ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode
atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang
sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam
taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi
dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang
satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat
bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya
pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai
dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan.
Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni (kiat)

38
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran
sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut
dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk
pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh
guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari
penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan
dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model
pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3)
model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian,
seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi
pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat
divisualisasikan sebagai berikut:
Gambar 10 Hirarki Model Pembelajaran

Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain
pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan
prosedur umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk

39
kepada cara-cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah
ditetapkan strategi pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah,
strategi membicarakan tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak
dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya), masing-masing
akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan desain adalah
menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun beserta bahan-bahan yang
diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria penyelesaiannya,
mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang
akan dibangun.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara
profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang
memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan
menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para
guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran,
yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun
penelitian tindakan) sangat sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika
para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang
merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan
di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan
mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata
di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model
pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya
khazanah model pembelajaran yang telah ada.

40
Daftar Pustaka:
Adib, Khoirul. 2007. Lesson Study: Starting Point Revolusi Pendidikan yang Masih
Terabaikan. Malang : Universitas Negeri Malang.
Alessi, S.M. dan Trollip, S.R. 1991. Computer Based Instruction: Methods and
Development. New Jersey; Prentice Hall.
Angkowo dan Kosasih. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta; Grasindo.
Bagus Takwin, Konstruktivisme dalam Pemikiran , Sabtu, 01 Desember 2007
Buzan. Tony dan Barry. 2004. Memahami Peta Pikiran : The Mind Map Book. Interaksa:
Batam.
Direktori Lembaga Pendidikan Nasional (DLPN). 2008. Mutu Tenaga Kependidikan.
Jakarta: Depdiknas.
De Porter. Bobbi, dkk. 2000. Quantum Teaching. Kaifa: Bandung.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit KAIFA.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2000. Quantum Business: Membiasakan Bisnis
secara Etis dan Sehat. Bandung: Penerbit KAIFA.
Istamar Syamsuri (2007),Membangun Learning Community menuju sekolah berprestasi
Apa dan mengapa Lesson Study
Istamar Syamsuri dan Ibrohim (2008) Lesson Study (studi Pembelajaran), FMIPA, UM,
Malang.
Ibrahim, Muslimin. Mohammad Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah
.Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
I Wayan Dasna dan Sutrisno. 2000. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based
Learning) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang
Jensen. Eric dan Karen Makowitz. 2002. Otak Sejuta Gygabite: Buku Pintar Membangun
Ingatan Super. Kaifa : Bandung.
Kardi, Soeparman. Mohammad Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: Universitas
Negeri Malang.

41
Lewis, Catherine C. (2002). Lesson study: A Handbook of Teacher-Led Instructional
Change. Philadelphia, PA: Research for Better Schools, Inc.
Meier, Dave. 2000. The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-Hill.
Parmin dan Siti Aminah. 2008. Menerapkan Lesson Study Dalam Pembelajaran di MI
http://batang-karso.blogspot.com/2009/05/laporan-lesson-study.html
Robert E. Slavin (1994), A Practical Guide to Cooperative Learning. Disadur oleh
Muhammad Nur, 2005, dalam Pembelajaran Kooperatif, Surabaya, Pusat
Sains dan Matematika Sekolah Unesa.
Nurhadi.2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Grasindo.
Robinson, Naomi. 2006. Lesson Study: An example of its adaptation to Israeli middle
school teachers . (Online): stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/
Robinson_proposal.doc
Richardson, J. 2006. Lesson study: Teacher Learn How to Improve Instruction. Nasional
Staff Development Council . (Online): www.nsdc.org. 03/05/06.
Robinson, Naomi. 2006. Lesson Study: An example of its adaptation to Israeli middle
school teachers . (Online): stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/
Robinson_proposal.doc
Richardson, J. 2006. Lesson study: Teacher Learn How to Improve Instruction. Nasional
Staff Development Council . (Online): www.nsdc.org. 03/05/06.
Saito, E., Imansyah, H. dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia:
Studi Kasus dari IMSTEP . Jurnal Pendidikan “Mimbar Pendidikan”,
No.3. Th. XXIV: 24-32.
Silberman, Melvin L. 1996. Active Learning: 101 Step to Teach Any Subject.
Massachusetts: A Simon and Schuster Company.
Sumar Hendayana dkk (2007) Lesson Study : Pengalaman IMSTEP-JICA, FPMIPA UPI
dan JICA, Bandung.
Saito, E., Imansyah, H. dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia:
Studi Kasus dari IMSTEP . Jurnal Pendidikan “Mimbar Pendidikan”,
No.3. Th. XXIV:
Susilo, H. 2005. Kumpulan Makalah dalam Seminar dan Workshop Lesson Study dalam
Rangka Persiapan Workshop Kolaborasi FMIPA-MGMP MIPA dan SMA

42
Kota Malang, Lesson Study: Apa dan Mengapa (hlm 1-12). Malang:
FMIPA Universitas Negeri Malang.
Takashi A. (2006). Implementing lesson study in North American schools and school
(makalah yang dipresentasikan pada seminar “APEC International
Yoshida, M. (1999). Lesson Study: A Case Study of a Japanese Approach to Improving
Instruction Through School-Based Teacher Development. Disertasi
Doktoral yang tidak diterbitkan, The University of Chicago
Muhammad Faiq Dzaki(2009), Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning),
Minggu, 08 Maret 2009,
http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/
http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/21/
Nurgito, Eko. 2007. Pendidikan Indonesia Menyambut Pasar Bebas.
http/www.duniaguru.com. 13 Maret 2009.
Susilo, Herawati. 2005. Lesson Study: Apa dan Mengapa ? Makalah seminar dan
workshop Lesson Study dalam rangka persiapan Lesson study di Malang,
Universitas Negeri Malang. Makalah tidak diterbitkan.
Salma, Sulistyowati. 2008, Membentuk Guru Profesional Melalui Lesson Study Harian
Jawa Pos edisi 10 Januari 2008.
Dahar, R.W. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta; Penerbit Erlangga
Yusufhadi Miarso. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
Lorsbach, A. & K. Tobin. 1992. “Cosntructivism as a referent for Science Teaching”.
NARST Research Matters to the Science Teacher, No. 30.
Novak, J.D., & B. Gowin. 1984. Learning How to Learn. Cambridge: Cambridge
University Press.
Piaget, Jean (1954). The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine
Books.

43

You might also like