You are on page 1of 14

BAB 9

FAKTOR PRODUKSI DAN FACTOR PRICING

PENDAHULUAN
Kegiatan produksi membutuhkan input-input yang disebut faktor produksi. Meskipun
tidak terdapat kesepakatan baku, tetapi faktor produksi biasanya terdiri atas alam,
modal, tenaga kerja dan kewirausahaan. Permasalahan pokok dalam faktor produksi
ini adalah: (1) bagaimana hubungan antar satu faktor produksi dengan lainnya,
termasuk menentukan apa yang lebih penting dan yang lebih dahulu berperan
dalam produksi, dan (2) bagaimana menentukan harga, yaitu harga faktor produksi
itu sendiri maupun kaitan antara faktor produksi dengan harga output.
Bagian awal pada bab ini menyajikan prinsip dasar alokasi sumber daya ekonomi untuk
mewujudkan kegiatan produksi yang sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya dibahas masalah
klasifikasi faktor produksi, baik dalam perspektif ekonomi konvensional maupun perspektif para
ekonom muslim. Bab ini juga menyajikan kritik terhadap pendekatan produk marjinal yang biasa
digunakan sebagai pedoman pengelolaan faktor produksi dalam ekonomi konvensional. Pada
bagian akhir dibahas prinsip-prinsip penentuan harga faktor produksi. Prinsip keadilan dan
pertimbangan terhadap scarcity merupakan pedoman dasar dalam factor pricing ini.

ALOKASI SUMBER DAYA EKONOMI


Prinsip dasar dan tujuan produksi tentu saja akan menentukan pola alokasi sumber daya
ekonomi dan ragam jenis produksi. Jika dalam ekonomi konvensional tujuan produksi adalah
untuk menghasilkan alat pemuas keinginan manusia melalui proses produksi yang memberikan
keuntungan paling maksimal, maka seluruh sumber daya ekonomi juga akan dialokasikan untuk
tujuan tersebut. Karena keinginan manusia sedemikian beragam maka tidaklah mengherankan
jika sumber daya ekonomi telah dieksploitir sedemikian masif guna memenuhi keinginan ini.
Para produsen juga akan berusaha sedemikian rupa agar mendapatkan keuntungan maksimal,
meskipun harus memeras dan menindas tenaga kerja. Begitulah yang terjadi dalam kebanyakan
praktek produksi saat ini.

Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing 175


Menurut Siddiqi (1992), sesuai dengan prinsip dan tujuan produksi yang Islami –
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya – maka alokasi sumber daya ekonomi (SDE)
akan berorientasi sebagai berikut:
• Berbagai barang dan jasa yang terlarang (oleh ajaran Islam) tidak akan
diproduksi sehingga tidak ada sumber daya ekonomi yang dialokasikan untuk
produksi barang dan jasa tersebut.
• Selanjutnya, produksi barang-barang kemewahan juga harus dikurangi
sedemikian rupa sehingga semakin sedikit sumber daya ekonomi yang
dialokasikan untuk memproduksinya.
• Akan ada perluasan industri untuk menghasilkan barang dan jasa yang
merupakan kebutuhan pokok masyarakat sehingga sumber daya ekonomi lebih
banyak dialokasikan untuk hal ini.
Kegiatan produksi membutuhkan berbagai jenis sumber daya ekonomi yang lazim
disebut faktor produksi. Sebuah benda hasil produksi, misalnya mobil, tidak bisa dibuat hanya
dengan tersedianya besi atau karet saja, atau ada tenaga kerja saja, atau ada pengusaha mobil
saja, tetapi merupakan hasil kombinasi antara berbagai faktor produksi sebagai input produksi.
Sebuah mobil dapat sampai ke tangan konsumen berkat adanya bahan-bahan yang mencukupi
(besi, karet, aluminium, dan lain-lain), yang diolah oleh para tenaga kerja yang memiliki
keahlian pada bidangnya-baik diolah secara manual maupun dengan dibantu mesin, dan
kemudian setelah menjadi mobil dijual atau disalurkan oleh para distributor kepada konsumen.
Keseluruhan proses pembuatan mobil di atas selain membutuhkan koordinasi manajerial
dari seorang manajer, membutuhkan gagasan dari seorang wirausahawan, juga membutuhkan
biaya-biaya atau modal. Demikian pula barang-barang hasil produksi yang nampaknya
sederhana dan bernilai rendah, misalnya kancing baju, sesungguhnya juga membutuhkan proses
yang panjang dengan melibatkan berbagai faktor produksi untuk menghasilkannya.

KLASIFIKASI FAKTOR PRODUKSI


Pada dasarnya tidak ada sebuah kesepakatan yang bulat tentang klasifikasi faktor
produksi, baik di kalangan ekonom konvensional maupun ahli ekonom Islam. Perbedaan
klasifikasi faktor produksi ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor, misalnya ketidaksamaan
tentang definisi, karakteristik, maupun peran dari masing-masing faktor produksi dalam
menghasilkan output. Menurut Al Junaid (1992, p.261) perbedaan ini juga timbul karena adanya
perbedaan elastisitas dalam penawaran faktor produksi, karakter intrinsiknya, serta bentuk harga
atau biaya atas suatu faktor produksi. Contoh dari terakhir ini misalnya dalam ekonomi
konvensional harga atau biaya dari tanah adalah sewa (rent), tenaga kerja adalah upah (wage)
dan modal adalah bunga (interest). Perbedaan ini terkadang juga dipengaruhi oleh konteks
sejarah yang melingkupinya, yaitu selama proses pengklasifikasian ini dilakukan. Misalnya
pengklasifikasian faktor produksi ke dalam modal, tanah dan buruh terkait dengan fakta
persaingan antara para pemilik modal, tuan tanah dan buruh di negara-negara Eropa Barat.
Permasalahan ekonomi dalam faktor produksi pada dasarnya mencakup 2 hal, yaitu: (1)
bagaimana hubungan antar satu faktor produksi dengan faktor produksi lainnya, termasuk

176
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
menentukan apa yang lebih penting dan apa yang lebih dahulu berperan dalam produksi, dan (2)
bagaimana menentukan harga, yaitu harga faktor produksi itu sendiri maupun kaitan antara
faktor produksi dengan harga output produksi. Kapitalisme menempatkan modal sebagai
kekuatan terpenting dari produksi (karenanya disebut kapitalisme, yaitu menjadi kapital/modal
sebagai isme), meskipun tetap menganggap penting faktor produksi alam dan tenaga kerja.
Untuk itu, demi akumulasi modal maka produksi dalam kapitalisme cenderung mengeksploitasi
alam dan tenaga kerja (buruh) secara besar-besaran. Upah buruh harus ditekan serendah
mungkin agar para pemilik modal dapat meraih surplus ekoomi sebesar mungkin, sehingga
kekayaannya akan semakin menggelembung. Karena hal inilah yang kemudian menimbulkan
prediksi dari Karl Marx dan para pemikir sosialis lain bahwa eksploitasi para pemilik modal
terhadap para butuh ini pada akhirnya akan menciptakan konflik yang berujung pada
kemenangan buruh. Kemenangan ini terjadi karena buruh memegang kunci utama kegiatan
produksi dan memiliki kuantitas yang banyak, sehingga kegiatan produksi pada dasarnya
tergantung pada para buruh. Dalam dunia nyata sejarah menunjukkan bahwa Lenin dan Stalin
melakukan rekayasa untuk melancarkan suatu revolusi oleh kaum buruh untuk mendirikan
negara sosialis Uni Sovyet, jadi tanpa menunggu konflik yang terjadi secara alamiah. Untuk
itulah sosialisme menempatkan buruh sebagai faktor produksi terpenting dibandingkan lainnya.
Faktor produksi pada umumnya diklasifikasikan ke dalam : alam (khususnya tanah),
tenaga kerja, modal, dan wirausaha. Secara ringkas keempat faktor produksi tersebut –sekaligus
dengan permasalahannya – dijelaskan sebagai berikut:
Alam
Alam merupakan salah atau faktor produksi yang sangat penting, bahkan bersamaan
dengan tenaga kerja seringkali dianggap paling penting. Alam telah memberikan banyak
faktor produksi, misalnya tanah dan segala zat yang ada didalamnya maupun di
permukaannya, udara dan segala yang ada di angkasa, dan lain-lain.Tidaklah mengherankan
kalau tokoh pemikir Barat pada abad ke 17, Sir William Pretty, mengatakan bahwa ‘tanah
adalah ibu dari produksi, sementara tenaga kerja adalah ayahnya’ (Samuelson, 1989, h. 235).
Alam telah menyediakan berbagai jenis barang atau zat yang secara langsung dapat
dikonsumsi atau kemudian diproses dalam produksi sebagai bahan baku.
Pada dasarnya alam merupakan faktor produksi yang bersifat asli, sebab merupakan
anugerah Allah yang secara alamiah diberikan kepada manusia. Ia ada bukan karena dibuat
oleh manusia, tetapi manusia sekedar mengeksplorasinya. Alam juga merupakan faktor
produksi asal, sebab dari alamlah kemudian segala jenis kegiatan produksi berlangsung 1.
Terdapat banyak isu yang berkaitan dengan sumber daya alam ini, misalnya: (1)
ketersediaan sumber daya alam dalam jangka panjang, (2) bagaimana menentukan harga
sumber daya alam (mengingat pada dasarnya manusia tinggal mengeksplorasi saja), (3)
bagaimana menjaga kelestarian alam (mengingat sumber daya ini ada yang bersifat dapat

1
Samuelson mengkategorikan alam dan tenaga kerja sebagai faktor produksi asli (original factors of
production), bukan seperti modal yang dapat berasal dari aktifitas tenaga kerja dan alam (sebagaimana dikutip Al
Junaid, 1992, h. 260)

Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing 177


diperbaharui kembali/renewable dan ada yang tidak dapat diperbaharui kembali/
unrenewable), dan lain-lain.
Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua yang dianggap paling penting, sebab
kekayaan alam semesta dapat berubah menjadi hasil produksi yang bernilai karena jasa
tenaga kerja. Emas kemungkinan akan menjadi barang yang tidak bernilai jika tetap berada
di dasar bumi dan tidak berbentuk. Setelah dieksplorasi dan dibentuknya menjadi berbagai
perhiasan oleh para pekerja maka ia menjadi barang yang sangat bernilai. Tenaga kerja
mencakup segala kerja manusia yang diarahkan untuk mencapai hasil produksi, baik
berwujud jasa, fisik maupun mental. Tenaga kerja meliputi buruh maupun manajer. Karakter
terpenting tenaga kerja dibandingkan dengan faktor produksi lain adalah karena mereka
manusia, sehingga isu-isu kemanusiaan harus selalu diperhatikan. Beberapa isu penitng ini
misalnya: (1) bagaimana hubungan antara tenaga kerja dengan faktor produksi lain, (2)
bagaimana memberi ‘harga’ atas tenaga kerja, serta (3) bagaimana menghargai unsur-unsur
keadilan, kejiwaan, moralitas dan unsur-unsur kemanusiaan lain dari tenaga kerja.
Modal
Pada awalnya pengertian modal mencakup segala kekayaan baik dalam wujud uang
(financial capital) maupun bukan uang (non financial capital). Yang termasuk dalam modal
bukan uang misalnya gedung, mesin-mesin, perabotan, dan kekayaan fisik lainnya yang
digunakan dalam menghasilkan output. Perkembangan pada masa kini pengertian modal
telah meluas hingga mencakup apa yang disebut sebagai human capital. Human capital
mencakup segala wawasan, ketrampilan, pengetahuan, dan kekayaan kemanusiaan lainnya
yang sangat berguna bagi kegiatan produksi. Berbeda dengan kedua jenis modal lainnya,
human capital tidaklah berujud fisik (non physical capital). Isu terpenting tentang modal ini
adalah bagaimana menentukan harganya, di mana dalam ekonomi konvensional harga ini
dapat berupa bunga (untuk modal uang) dan sewa (untuk capital goods).
Wirausaha
Wirausaha (entrepreneur) pada dasarnya dapat dikatakan sebagai motor penggerak
kegiatan produksi. Kegiatan produksi berjalan karena adanya gagasan, adanya upaya, dan
adanya motivasi untuk mendapatkan manfaat sekaligus bersedia menanggung segala resiko
dari para wirausahawan ini. Meskipun sama-sama manusia, wirausahawan tentu saja
berbeda dengan tenaga kerja. Tenaga kerja pada dasarnya hanyalah alat produksi, dalam arti
hanya menjalankan kegiatan produksi sebagaimana fungsinya. Dalam pengertian fungsional
tenaga kerja mungkin dapat diganti dengan mesin, tetapi hal ini tidak dapat dilakukan
terhadap seorang wirausahawan.

KLASIFIKASI FAKTOR PRODUKSI MENURUT BEBERAPA EKONOM


MUSLIM
Perbedaan klasifikasi faktor produksi juga terjadi pada pemikiran para ekonom muslim
kontemporer. Perbedaan ini muncul karena Al Qur’an dan Hadist memang tidak menyebutkan

178
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
secara eksplisit klasifikasi faktor produksi ini, tetapi hanya mengindikasikannya. Abu Saud
(1965), misalnya, menerima pengklasifikasian faktor produksi sebagaimana dalam ekonomi
konvensional, yaitu : sumber daya alam (tanah), usaha manusia (tenaga kerja), modal/kapital,
serta organisasi/wirausaha. Menurutnya, modal (baik modal fisik maupun uang) akan mengalami
depresiasi sementara tanah tidak sehingga sewa tetap (fixed rent) dapat dikenakan pada modal
tetapi tidak dapat dikenakan pada tanah. Sewa tetap ini akan mencakup berbagai biaya untuk
pemeliharaan dan depresiasi. Pandangan ini membawa implikasi bahwa pemanfaatan tanah
dengan cara muzara’ah, yaitu bagi hasil pertanian (share cropping) lebih sesuai daripada sewa
tanah untuk pertanian.
Klasifikasi yang hampir sama berasal dari Sadeq (1992) di mana ia membagi faktor
produksi ini menjadi 4, yaitu tenaga kerja, aset fisik, modal, dan wirausaha. Perbedaannya
dengan klasifikasi Saud adalah dalam hal tanah, di mana ia memasukkan sebagai salah satu
bentuk dari aset fisik. Aset fisik adalah segala sarana material yang dapat dipergunakan kembali
(reusable) dalam proses produksi. Aset ini memiliki salah satu dari karakteristik intrinsik berikut
: pertama, berwujud kekayaan sumber daya alam (termasuk tanah) atau sarana produksi lain
(dalam istilah konvensional disebut barang modal); kedua: dapat digunakan dengan sistem sewa;
ketiga akan mengalami depresiasi setelah digunakan. Yang menarik, dalam klasifikasi Sadeq ini
barang-barang modal justru tidak termasuk dalam modal sebagaimana dalam pengertian
konvensional, sebab dalam ajaran Islam modal (yaitu modal uang) tidak boleh dimanfaatkan
dengan sistem sewa tetap atau harga tetap (misalnya bunga). Karena bunga adalah riba dan riba
adalah haram maka modal uang harus dimanfaatkan dengan dasar loss-profit sharing.
Sementara itu Mannan (1970;1994), Shafi (1979), Tahawi (1992), dan Sulaiman (1992)
memiliki klasifikasi yang berbeda dengan Saud. Mannan mengeluarkan modal/kapital (modal
dianggap menyatu dengan tenaga kerja) dari faktor produksi, sehingga hanya menyebutkan tiga
faktor yaitu wirausaha, tanah dan tenaga kerja. Shafi tidak memasukkan wirausaha sebagai
faktor produksi, sehingga hanya tanah, tenaga kerja dan modal, sementara Tahawi
mengklasifikasikan 2 faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan kekayaan. Klasifikasi Sulaiman
agak berbeda dengan arus mainstream, di mana ia mengeluarkan tenaga kerja dari faktor
produksi. Ia menganggap lebih penting tanah dan modal untuk kegiatan produksi, bukan tenaga
kerja. Siapa saja yang bekerja dengan tanah dan modal akan mendapat keuntungan dari
produksi. Meskipun demikian, secara umum para ekonom muslim di atas memandang sangat
penting memperhatikan asepk-aspek kemanusiaan dan keadilan dalam tenaga kerja sebagaimana
ajaran Islam.
Siddiqi, sebagaimana dikutip Al Junaid (1992), mengklasifikasikan faktor produksi dari
2 sudut pandang yaitu tenaga kerja dan kekayaan. Klasifikasi ini didasarkan atas perbedaan-
perbedaan dalam karakteristik intrinsiknya, kerumitan dalam menghadapi resiko dan ketidak-
pastian, serta keunikannya dalam memasok jasa bagi produksi. Seorang wirausahawan
menghadapi resiko, ia adalah seorang risk taker, sementara tenaga kerja dan kekayaan
memperoleh upah dan sewa yang didasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.
Berkaitan dengan tenaga kerja, jelas tak dapat dipisahkan antara aspek manusia dan aspek jasa
yang ditawarkannya, sehingga selalu ada kebutuhan untuk kerjasama. Meskipun Islam
memandang haram terhadap bunga, tetapi Siddiqi menganggap penting adanya suatu

Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing 179


discounting of expected income dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. Diskonto ini
tidak akan menjadi suatu harga atau imbalan tetap sebagaimana bunga, tetapi hanya sekedar
untuk pedoman dalam investasi. Untuk itu ia menyarankan bahwa konsep diskonto ini dapat
diambil dari tingkat pengembalian modal (rate of return on equity) yang telah berjalan.

PENENTUAN HARGA FAKTOR PRODUKSI:


KRITIK TERHADAP PENDEKATAN PRODUKTIFITAS MARJINAL
Sebagaimana telah diketahui bahwa salah satu masalah penting dari teori produksi
adalah bagaimana menentukan harga dari faktor produksi (factor pricing). Dalam teori produksi
konvensional masalah penentuan harga ini berkait dengan upaya pencapaian tingkat keuntungan
perusahaan. Dengan kata lain, masalah pokok dari factor pricing ini adalah bagaimana
menentukan harga dan kuantitas faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga produksi dapat
menghasilkan tingkat keuntungan yang maksimum (ingat tujuan utama perusahaan dalam sistem
ekonomi konvensional adalah mencapai keuntungan maksimum). Salah satu pendekatan yang
paling populer dipergunakan untuk factor pricing ini yaitu pendekatan produktifitas marjinal
(marginal productivity).
Dalam pengertian teknis, produk marjinal dari suatu faktor produksi adalah tambahan
output yang dihasilkan akibat penambahan satu unit faktor produksi tertentu, di mana faktor
produksi lainnya tetap. Misalnya, produk marjinal tenaga kerja adalah tambahan output yang
dihasilkan akibat penambahan satu unit tenaga kerja, di mana faktor produksi lain tetap. Begitu
juga pengertian produk marjinal modal, yaitu tambahan output yang dihasilkan akibat
penambahan satu unit modal sementara faktor produksi lainnya konstan. Begitulah seterusnya
untuk setiap faktor produksi. Produktifitas marjinal suatu faktor produksi semakin lama akan
semakin menurun sejalan dengan penambahan faktor produksi tersebut. Dengan kata lain,
produktifitas marjinal ini mengikuti hukum ‘tambahan hasil yang semakin menurun’ atau law of
diminishing marginal product.
Dalam penentuan harga faktor produksi konsep produktifitas marjinal memegang
peranan yang amat penting, sebab ia merupakan ukuran harga faktor produksi yang paling
efisien yaitu harga faktor produksi yang akan memberikan keuntungan maksimum bagi
produsen. Dengan prinsip ini maka , misalnya, tingkat upah yang paling efisien adalah sama
dengan tingkat produk marjinal dari tenaga kerja, tingkat sewa barang modal yang paling efisien
adalah sama dengan produk marjinal dari barang modal, demikian seterusnya untuk setiap faktor
produksi. Penggunaan konsep produktifitas marjinal ini secara keseluruhan juga akan
menghasilkan alokasi faktor produksi atau sumber daya ekonomi dengan paling efisien. Ilustrasi
penerapan konsep ini dapat dilihat pada lampiran bab ini.
Bagaimana sesungguhnya kelayakan pendekatan produktifitas marjinal dalam
menentukan harga faktor produksi? Pendekatan ini memiliki banyak keterbatasan dalam aplikasi
pada dunia nyata, sehingga banyak dikritik oleh ekonom-ekonom konvensional sendiri. Menurut
Jan Pen, sebagaimana dikutip Sadeq (1992), beberapa keterbatasan dari pendekatan ini antara
lain:

180
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
• Pertama, konsep ini hanya dapat diterapkan pada fungsi produksi yang memiliki
homogenitas berderajat pertama, padahal fungsi ini jarang terdapat dalam dunia nyata.
Permasalahan akan lebih rumit jika diterapkan pada dua atau lebih fungsi produksi yang
lebih realistis.
• Kedua, konsep produktifitas marjinal mengasumsikan adanya persaingan sempurna
dalam pasar faktor produksi, di mana semua kekuatan ekonomi terfragmentasi. Tetapi,
konsep ini tidak dapat menjelaskan banyak kejadian diskriminasi dalam dunia nyata,
misalnya: diskriminasi antara lelaki dan wanita, antara berbagai ras, suku dan kelas
dalam masyarakat. Konsep ini juga tidak dapat menjelaskan fenomena kekuatan kolektif
(collective bargaining) yang dilakukan persatuan-persatuan dagang.
• Ketiga, konsep produktifitas marjinal juga mengasumsikan adanya wirausahawan yang
hanya bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan (profit maximizer) dengan
menetapkan tingkat upah sama dengan produk marjinal tenaga kerja (MPL = W). Dalam
kenyataan tujuan seorang wirausahawan tidak selalu demikian. Ia mungkin memiliki
beberapa tujuan, antara lain: (a) memaksimumkan tingkat penjualan, misalnya mencapai
market share terbesar dalam suatu industri, (b) mendapatkan tingkat keuntungan rata-
rata tertentu dari modal yang diinvestasikannya, dan (c) memaksimumkan beberapa
tujuan lain yang bersifat sosial atau relijius dengan kendala tingkat keuntungan tertentu.
Menurut al Junayd (1992, h. 266-267) kritik terbanyak terhadap pendekatan produktifitas
marjinal ini adalah kaitannya dengan faktor produksi tenaga kerja. Kritik yang utama adalah
bahwa pendekatan ini merupakan suatu perlakukan de-humanisasi dari tenaga kerja, sebab
tenaga kerja diperlakukan sama dengan tanah, modal atau barang fisik lainnya. Pertanyaan yang
sering muncul dalam kaitan ini antara lain ‘bagaimana modal bekerjasama dengan tenaga kerja?’
Tenaga kerja adalah manusia sementara modal bukanlah manusia dan tidak bisa membuat
keputusan-keputusan yang bersifat mental dan fisikal. Berkaitan dengan kritikan seperti ini
biasanya juga dipercayai bahwa tidak harus ada suatu produk marjinal dari tanah atau produk
marjinal dari modal, meskipun produk marjinal dari tenaga kerja tergantung kepada jumlah
modal dan tanah yang dimanfaatkan.

PRINSIP DASAR PENENTUAN HARGA FAKTOR PRODUKSI


Permintaan terhadap faktor produksi adalah permintaan turunan (derived demand) bukan
merupakan permintaan asli (genuine demand), yaitu sebagai hasil dari permintaan terhadap suatu
hasil produksi atau output. Munculnya permintaan terhadap suatu faktor produksi adalah karena
adanya pemrintaan terhadap hasil produksi. Sebagai ilustrasi, para konsumen menginginkan roti
maka kemudian para produsen memproduksi roti. Untuk memproduksi roti sesuai dengan
permintaan konsumen diperlukan sejumlah faktor produksi, misalnya tenaga kerja, modal dan
bahan-bahan dari alam. Seberapa banyak dan dengan kombinasi seperti apa faktor-faktor
propduksi ini akan ditentukan dari seberapa banyak roti yang diminta oleh konsumen. Jadi,
nampak jelas bahwa permintaan terhadap faktor produksi adalah turunan lebih lanjut dari
permintaan output. Karena merupakan permintaan turunan, maka sesungguhnya eksistensi
faktor-faktor produksi ini tergantung pada permintaan outputnya. Tidak ada artinya eksistensi

Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing 181


tenaga kerja, modal dan sumber daya alam bagi masyarakat secara sendiri, kecuali jika ada
permintaan output oleh konsumen. Secara grafis hal ini ditunjukkan oleh gambar berikut:

Gambar 9.1
Permintaan Derivatif terhadap Faktor Produksi

P P

Roti Gandum

(a) Permintaan Output (b) Permintaan Faktor Produksi


Permintaan akan faktor produksi merupakan permintaan turunan dari permintaan output
Kurva permintaan derivatif akan gandum, misalnya, berasal dari permintaan akan roti.
Seandainya permintaan terhadap roti bertambah –yaitu bergeser ke kanan atas- maka
permintaan terhadap gandum juga akan bergerak ke arah yang sama, demikian seterusnya.

Jika harga suatu output ditentukan berdasarkan mekanisme pasar, yaitu melalui proses
interaksi kurva penawaran dan permintaan, maka bagaimana faktor produksi ini ditentukan
harganya ? Dalam penentuan harga output ajaran Islam menggunakan dua pedoman, yaitu: (a)
selama pasar dapat berjalan dengan normal maka harga sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme
permintaan dan penawaran. Kenaikan dan penurunan harga akibat mekanisme pasar ini dianggap
hal yang wajar, sehingga tidak boleh ada intervensi dari pemerintah dalam wujud penetapan
harga. (b) akan tetapi, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan penetapan harga seandainya
mekanisme pasar yang normal terdistorsi oleh faktor-faktor yang tidak bersifat alami (non
genuine factors), misalnya karena ada penimbunan (ikhtikar) oleh segolongan pelaku pasar.
Bagaimana penentuan harga faktor produksi, apakah pedoman penentuan harga output ini tetap
dapat diberlakukan?
Menurut Sadeq (1992) dan Al Junayd (1992) terdapat 2 prinsip dasar yang harus
dijadikan pedoman dalam penentuan harga faktor produksi, yaitu:

182
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
(1) nilai keadilan (justice) dan
(2) pertimbangan kelangkaan (scarcity)2.
Penentuan harga faktor produksi haruslah adil, sebab keadilan merupakan salah satu
prinsip dasar dalam semua transaksi yang Islami. Bahkan, keadilan seringkali dipandang sebagai
intisari dari ajaran Islam dan dinilai Allah sebagai perbuatan yang lebih dekat dengan
ketaqwaan3. Dalam kaitannya dengan transaksi pengertian adil adalah proporsional, yaitu
seseorang mendapatkan sesuatu sesuai dengan kontribusi yang telah diberikannya. Suatu harga
faktor produksi akaan dikatakan tidak adil apabila faktor produksi tersebut mendapatkan imbalan
yang tidak sama atau proporsional dengan kontribusinya terhadap kegiatan produksi. Setiap
faktor produksi hanya berhak atas imbalan yang sepadan, tidak lebih - tidak kurang4.
Kelangkaan mengacu pada kondisi relatif antara permintaan suatu barang atau jasa
terhadap penawarannya. Jika penawaran suatu komoditas relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan penawarannya maka harga akan cenderung tinggi, demikian sebaliknya. Mekanisme
pasar akan menghasilkan harga yang mencerminkan kelangkaannya, karena ia terjadi akibat
interaksi permintaan dan penawaran. Pertimbangan kelangkaan dalam penentuan harga faktor
produksi berarti penempatan harga pasar sebagai harga dari faktor produksi tersebut.
Jika dalam output harga yang adil dan sekaligus mencerminkan kelangkaan dapat
dihasilkan oleh mekanisme pasar yang normal, maka apakah hal ini juga dapat berlaku dalam
harga faktor produksi? Apakah harga dari tenaga kerja (upah), modal dan faktor alam dapat
ditentukan secara Islami hanya oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Jawabannya adalah
tidak semua faktor produksi dapat ditentukan harganya semata – mata hanya dengan kekuatan
pasar. Berkaitan dengan hal ini beberapa hal yang mendapat perhatian khusus adalah:
• Implementasi kekuatan pasar tidak dapat dilakukan begitu saja bagi penentuan harga tenaga
kerja, yaitu upah (wage). Alasan utamanya karena tenaga kerja adalah manusia, bukan benda

2
Dua nilai dasar ini sebenarnya juga menjadi pedoman umum bagi penentuan harga yang Islami. Dalam teori
harga, konsep yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah adalah thaman al adl (harga yang adil) yang dapat diperoleh dalam
pasar yang normal. Harga pasar mencerminkan kelangkaan (scarcity) dari suatu barang dan jasa. Intervensi
pemerintah dalam situasi ini justru akan merusak harga sebagai indikator kelangkaan ini, karenanya sangat dilarang.
Harga dalam pasar normal sekaligus mencerminkan keadilan, sebab transaksi dalam pasar normal dilakukan secara
suka sama suka (antaradim minkum) sehingga tidak ada yang saling dirugikan (didzalimi).
3
Misalnya firman Allah :
• …”Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan…” (Al Hadiid: 25)
• “Hai orang-orang yang beriman , hewndaklah kamu menjadi orang-orang yang senantiasa menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (dzalim). Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dengan dengan takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan” (Al Maaidah: 8)
4
Firman Allah :
• “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain maka
mereka mengurangi…” (Al Muthafifiin: 1-3)
• “…dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
(An Najm: 39).

Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing 183


mati. Islam memiliki perhatian yang besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga dalam
penentuan upah pertimbangan mekanisme pasar akan dikombinasikan dengan pertimbangan
kemanusiaan ini. Singkatnya, penentuan tingkat upah akan dilakukan berdasarkan
pertimbangan obyektif – yaitu tingkat upah pasar – dan pertimbangan subyektif – yaitu
implementasi nilai-nilai kemanusiaan.
• Implementasi bunga (interest) sebagai harga dari modal juga tidak dapat dilakukan, karena
ajaran Islam menganggap bunga sebagai riba nasi’ah yang haram hukumnya. Pelarangan
bunga ini akan menimbulkan implikasi yang mendasar terhadap penentuan harga modal, di
mana secara garis besar adalah: (1) tidak ada suatu harga yang ditentukan di awal
(predetermined) dan bersifat tetap (fixed price) atas modal, (2) penentuan harga modal akan
dilakukan secara integratif dengan kontribusi dari kewirausahaan berdasarkan sistem bagi
hasil (loss profit sharing). Nilai bagi hasil akan diketahui setelah terdapat produktifitas nyata
(post determined). Implementasi sistem ini dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
• Penggunaan sewa (rent) sebagai harga dari tanah sebagai faktor produksi juga tidak dapat
diterima begitu saja. Terdapat kontroversi pendapat di kalangan pemikir Islam tentang
legalitas sistem sewa dalam pertanahan. Dalam histori masyarakat Islam klasik juga terdapat
alternatif lain dari harga tanah ini, yaitu dengan sistem bagi hasil (muzara’ah). Dalam sistem
ini harga tanah juga tidak ditetapkan di awal dan bersifat tetap seperti bunga, tetap
ditentukan secara bersama dengan kontribusi dari kewirausahaan.
Penjelasan lebih detail tentang masing-masing faktor produksi ini disampaikan dalam bab-bab
selanjutnya.

RANGKUMAN
Untuk menghasilkan barang dan jasa dibutuhkan faktor produksi yang umumnya dikelompokkan
dalam alam (tanah), modal, tenaga kerja dan kewirausahaan. Permasalahan pokok
dalam faktor produksi ini adalah: (1) bagaimana hubungan antar satu faktor
produksi dengan faktor produksi lainnya; dan (2) bagaimana menentukan harga
faktor produksi.
• Prinsip dasar dan tujuan produksi akan menentukan pola alokasi sumber daya ekonomi
dan ragam jenis produksi. Sesuai dengan prinsip dan tujuan produksi yang Islami alokasi
sumber daya ekonomi akan berorientasi sebagai berikut: (1) Berbagai barang dan jasa
yang terlarang tidak akan diproduksi sehingga tidak ada sumber daya ekonomi yang
dialokasikan untuk ini; (2) Produksi barang-barang kemewahan juga harus dikurangi
sedemikian rupa sehingga semakin sedikit sumber daya ekonomi yang dialokasikan
untuk memproduksinya; dan (3) Akan ada perluasan industri untuk menghasilkan
barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga sumber daya
ekonomi lebih banyak dialokasikan untuk hal ini.
• Terdapat perbedaan tentang klasifikasi faktor produksi, baik di kalangan ekonom
konvensional maupun ahli ekonom Islam. Perbedaan klasifikasi ini dilatarbelakangi oleh
banyak faktor, misalnya ketidaksamaan tentang definisi, karakteristik, maupun peran
dari masing-masing faktor produksi dalam menghasilkan output. Saud (1981) menerima

184
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
pengklasifikasian faktor produksi sebagaimana dalam ekonomi konvensional, yaitu:
sumber daya alam (tanah), usaha manusia (tenaga kerja), modal/kapital, serta
organisasi/wirausaha. Sadeq (1992) membagi faktor produksi ini menjadi 4 macam,
yaitu tenaga kerja, aset fisik, modal, dan wirausaha. Mannan mengeluarkan
modal/kapital (modal dianggap menyatu dengan tenaga kerja) dari faktor produksi,
sehingga hanya menyebutkan tiga faktor yaitu wirausaha, tanah dan tenaga kerja. Shafi
tidak memasukkan wirausaha sebagai faktor produksi, sehingga hanya tanah, tenaga
kerja dan modal, sementara Tahawi mengklasifikasikan 2 faktor produksi, yaitu tenaga
kerja dan kekayaan. Klasifikasi Sulaiman agak berbeda dengan arus mainstream, di
mana ia mengeluarkan tenaga kerja dari faktor produksi. Siddiqi mengklasifikasikan
faktor produksi dari dua sudut pandang, yaitu tenaga kerja dan kekayaan.
• Penentuan harga faktor produksi dengan pendekatan produksi marjinal mendapat banyak
kritik, antara lain: Pertama, konsep ini hanya dapat diterapkan pada fungsi produksi
yang memiliki homogenitas berderajat pertama, padahal fungsi ini jarang terdapat dalam
dunia nyata. Kedua, konsep ini mengasumsikan adanya persaingan sempurna dalam
pasar faktor produksi, di mana semua kekuatan ekonomi terfragmentasi. Ketiga, konsep
ini juga mengasumsikan adanya wirausahawan yang profit maximizer, sementara dalam
kenyataan tujuan seorang wirausahawan mungkin memiliki beberapa tujuan. Kritikan
lain adalah kaitannya dengan faktor produksi tenaga kerja di mana pendekatan ini
merupakan suatu perlakukan de-humanisasi dari tenaga kerja.
• Permintaan terhadap faktor produksi adalah derived demand bukan genuine demand.
Terdapat 2 prinsip dasar yang harus dijadikan pedoman dalam penentuan harga faktor
produksi, yaitu: nilai keadilan (justice) dan pertimbangan kelangkaan (scarcity).
Implikasi dari adanya nilai dasar ini antara lain: (1) Kekuatan pasar tidak dapat
digunakan begitu saja bagi penentuan upah. Penentuan upah dilakukan berdasarkan
pertimbangan obyektif – yaitu tingkat upah pasar – dan pertimbangan subyektif – yaitu
implementasi nilai-nilai kemanusiaan; (2) Tingkat bunga sebagai harga dari modal juga
tidak dapat dilakukan, karena ajaran Islam menganggapnya sebagai riba nasi’ah yang
haram hukumnya. Penentuan harga modal akan dilakukan secara integratif dengan
kontribusi dari kewirausahaan berdasarkan sistem loss profit sharing. (3) Penggunaan
sewa (rent) sebagai harga dari tanah sebagai faktor produksi juga tidak dapat diterima
begitu saja. Terdapat kontroversi pendapat di kalangan pemikir Islam tentang legalitas
sistem sewa dalam pertanahan.

KONSEP PENTING

Faktor produksi Derived demand, genuine demand


Orientasi alokasi SDE Marginal productivity
Klasifikasi faktor produksi Law of diminishing marginal productivity
Rent, wage, interest Prinsip harga faktor produksi

Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing 185


186
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
Lampiran Bab 9
PEMECAHAN DISTRIBUSI
MELALUI PRODUKTIFITAS MARJINAL

Bagaimana konsep produk marjinal memecahkan cara pasar mengalokasikan total


produk yang dihasilkan bersama oleh faktor produksi? Seorang teoritisi ekonomi yang terkenal
dari Columbia University AS, yaitu John Bates Clark, sekitar tahun 1900 telah memberikan
penjelasan yang sederhana (Samuelson, 1985, h. 239-242). Penjelasan Clark ini dapat diterapkan
untuk penenntuan harga dan tingkat upah yang kompetitif untuk setiap barang dan input faktor
produksi. Untuk memudahkan pemahaman maka kita ambil contoh satu total output, misalnya
panen gandum atau suatu kombinasi komoditas yang disebut Q. Fungsi produksi akan
menjelaskan berapa Q yang akan dihasilkan dari setiap jumlah jam tenaga kerja L bersama
sekian luas tanah homogen A.
Pekerja yang pertama menghasilkan produk marjinal yang sangat besar karena
banyaknya tanah yang tersedia untuk digarap, sementara pekerja kedua menghasilkan lebih
kecil. Demikian seterusnya, karena akan berlaku hukum tambahan hasil yang semakin menurun
(law of diminishing return). Tetapi, kedua pekerja ini sifatnya identik dan harus mendapat upah
yang sama. Masalahnya, atas dasar produk marjinal siapakah upah harus ditentukan? Apakah
ditentukan berdasarkan produk marjinal pekerja pertama atau kedua, atau rata-rata dari
keduanya?
Dalam situasi persaingan bebas yang sempurna tuan tanah tidak akan menggunakan
pekerja kedua kalau upah yang harus mereka bayarkan melebihi produk marjinal yang
diterimanya. Dengan demikian kurva permitaan tenaga kerja akan mengatur agar semua pekerja
yang digunakan menerima upah sebesar produk marjinal tenaga kerja yang terakhir. Bagaimana
kelebihan produk marjinal yang dihasil para tenaga kerja sebelum yang terakhir? Kelebihan ini
tentu saja akan dinikmati tuan tanah dan merupakan laba residual (residual earning). Apakah
kelebihan ini merupakan ketidakadilan karena tidak dinikmati tenaga kerja sebagai upah?
Menurut Clark, kelebihan produk marjinal yang dihasilkan para tenaga kerja sebelum yang
terakhir bukanlah hak para pekerja, tetapi merupakan sewa tanah. Karena merupakan sewa tanah
maka ia menjadi hak para tuan tanah.
Dalam situasi persaingan maka semua pekerja adalah identik dan seluruh tuan tanah
adalah pesaing sempurna yang bebas menggunakan tenaga kerja dalam jumlah berapapun.
Dalam situasi ini tenaga kerja akan terpaksa dan dipaksa menerima tingkat upah setingkat
dengan produk marjinal tenaga kerja yang terakhir, kecuali jika ia memilih tidak bekerja. Hukum
ini tidak akan memperdulikan keadilan, kecuali keadilan dalam perspektif persaingan itu sendiri.

Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing 187


Gambar 9.2
Distribusi Produk Marjinal

Tingkat Upah

produk marjinal
=permintaan
tenaga kerja
A

N E

Penawaran
tenaga kerja

O K
Jumlah Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja yang terjadi adalah perpotongan antara kurva permintaan
tenaga kerja (sekaligus produk marjinal tenaga kerja) dengan kurva penawarannya,
yaitu E dengan tingkat upah N. Meskipun output total yang dihasilkan adalah
seluas daerah AOKE, tetapi yang dikompensasikan sebagai upah total hanyalah
segiempat NOKE. Daerah segitiga ANE menunjukkan sewa tanah.

188
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing

You might also like