Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kegiatan produksi membutuhkan input-input yang disebut faktor produksi. Meskipun
tidak terdapat kesepakatan baku, tetapi faktor produksi biasanya terdiri atas alam,
modal, tenaga kerja dan kewirausahaan. Permasalahan pokok dalam faktor produksi
ini adalah: (1) bagaimana hubungan antar satu faktor produksi dengan lainnya,
termasuk menentukan apa yang lebih penting dan yang lebih dahulu berperan
dalam produksi, dan (2) bagaimana menentukan harga, yaitu harga faktor produksi
itu sendiri maupun kaitan antara faktor produksi dengan harga output.
Bagian awal pada bab ini menyajikan prinsip dasar alokasi sumber daya ekonomi untuk
mewujudkan kegiatan produksi yang sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya dibahas masalah
klasifikasi faktor produksi, baik dalam perspektif ekonomi konvensional maupun perspektif para
ekonom muslim. Bab ini juga menyajikan kritik terhadap pendekatan produk marjinal yang biasa
digunakan sebagai pedoman pengelolaan faktor produksi dalam ekonomi konvensional. Pada
bagian akhir dibahas prinsip-prinsip penentuan harga faktor produksi. Prinsip keadilan dan
pertimbangan terhadap scarcity merupakan pedoman dasar dalam factor pricing ini.
176
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
menentukan apa yang lebih penting dan apa yang lebih dahulu berperan dalam produksi, dan (2)
bagaimana menentukan harga, yaitu harga faktor produksi itu sendiri maupun kaitan antara
faktor produksi dengan harga output produksi. Kapitalisme menempatkan modal sebagai
kekuatan terpenting dari produksi (karenanya disebut kapitalisme, yaitu menjadi kapital/modal
sebagai isme), meskipun tetap menganggap penting faktor produksi alam dan tenaga kerja.
Untuk itu, demi akumulasi modal maka produksi dalam kapitalisme cenderung mengeksploitasi
alam dan tenaga kerja (buruh) secara besar-besaran. Upah buruh harus ditekan serendah
mungkin agar para pemilik modal dapat meraih surplus ekoomi sebesar mungkin, sehingga
kekayaannya akan semakin menggelembung. Karena hal inilah yang kemudian menimbulkan
prediksi dari Karl Marx dan para pemikir sosialis lain bahwa eksploitasi para pemilik modal
terhadap para butuh ini pada akhirnya akan menciptakan konflik yang berujung pada
kemenangan buruh. Kemenangan ini terjadi karena buruh memegang kunci utama kegiatan
produksi dan memiliki kuantitas yang banyak, sehingga kegiatan produksi pada dasarnya
tergantung pada para buruh. Dalam dunia nyata sejarah menunjukkan bahwa Lenin dan Stalin
melakukan rekayasa untuk melancarkan suatu revolusi oleh kaum buruh untuk mendirikan
negara sosialis Uni Sovyet, jadi tanpa menunggu konflik yang terjadi secara alamiah. Untuk
itulah sosialisme menempatkan buruh sebagai faktor produksi terpenting dibandingkan lainnya.
Faktor produksi pada umumnya diklasifikasikan ke dalam : alam (khususnya tanah),
tenaga kerja, modal, dan wirausaha. Secara ringkas keempat faktor produksi tersebut –sekaligus
dengan permasalahannya – dijelaskan sebagai berikut:
Alam
Alam merupakan salah atau faktor produksi yang sangat penting, bahkan bersamaan
dengan tenaga kerja seringkali dianggap paling penting. Alam telah memberikan banyak
faktor produksi, misalnya tanah dan segala zat yang ada didalamnya maupun di
permukaannya, udara dan segala yang ada di angkasa, dan lain-lain.Tidaklah mengherankan
kalau tokoh pemikir Barat pada abad ke 17, Sir William Pretty, mengatakan bahwa ‘tanah
adalah ibu dari produksi, sementara tenaga kerja adalah ayahnya’ (Samuelson, 1989, h. 235).
Alam telah menyediakan berbagai jenis barang atau zat yang secara langsung dapat
dikonsumsi atau kemudian diproses dalam produksi sebagai bahan baku.
Pada dasarnya alam merupakan faktor produksi yang bersifat asli, sebab merupakan
anugerah Allah yang secara alamiah diberikan kepada manusia. Ia ada bukan karena dibuat
oleh manusia, tetapi manusia sekedar mengeksplorasinya. Alam juga merupakan faktor
produksi asal, sebab dari alamlah kemudian segala jenis kegiatan produksi berlangsung 1.
Terdapat banyak isu yang berkaitan dengan sumber daya alam ini, misalnya: (1)
ketersediaan sumber daya alam dalam jangka panjang, (2) bagaimana menentukan harga
sumber daya alam (mengingat pada dasarnya manusia tinggal mengeksplorasi saja), (3)
bagaimana menjaga kelestarian alam (mengingat sumber daya ini ada yang bersifat dapat
1
Samuelson mengkategorikan alam dan tenaga kerja sebagai faktor produksi asli (original factors of
production), bukan seperti modal yang dapat berasal dari aktifitas tenaga kerja dan alam (sebagaimana dikutip Al
Junaid, 1992, h. 260)
178
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
secara eksplisit klasifikasi faktor produksi ini, tetapi hanya mengindikasikannya. Abu Saud
(1965), misalnya, menerima pengklasifikasian faktor produksi sebagaimana dalam ekonomi
konvensional, yaitu : sumber daya alam (tanah), usaha manusia (tenaga kerja), modal/kapital,
serta organisasi/wirausaha. Menurutnya, modal (baik modal fisik maupun uang) akan mengalami
depresiasi sementara tanah tidak sehingga sewa tetap (fixed rent) dapat dikenakan pada modal
tetapi tidak dapat dikenakan pada tanah. Sewa tetap ini akan mencakup berbagai biaya untuk
pemeliharaan dan depresiasi. Pandangan ini membawa implikasi bahwa pemanfaatan tanah
dengan cara muzara’ah, yaitu bagi hasil pertanian (share cropping) lebih sesuai daripada sewa
tanah untuk pertanian.
Klasifikasi yang hampir sama berasal dari Sadeq (1992) di mana ia membagi faktor
produksi ini menjadi 4, yaitu tenaga kerja, aset fisik, modal, dan wirausaha. Perbedaannya
dengan klasifikasi Saud adalah dalam hal tanah, di mana ia memasukkan sebagai salah satu
bentuk dari aset fisik. Aset fisik adalah segala sarana material yang dapat dipergunakan kembali
(reusable) dalam proses produksi. Aset ini memiliki salah satu dari karakteristik intrinsik berikut
: pertama, berwujud kekayaan sumber daya alam (termasuk tanah) atau sarana produksi lain
(dalam istilah konvensional disebut barang modal); kedua: dapat digunakan dengan sistem sewa;
ketiga akan mengalami depresiasi setelah digunakan. Yang menarik, dalam klasifikasi Sadeq ini
barang-barang modal justru tidak termasuk dalam modal sebagaimana dalam pengertian
konvensional, sebab dalam ajaran Islam modal (yaitu modal uang) tidak boleh dimanfaatkan
dengan sistem sewa tetap atau harga tetap (misalnya bunga). Karena bunga adalah riba dan riba
adalah haram maka modal uang harus dimanfaatkan dengan dasar loss-profit sharing.
Sementara itu Mannan (1970;1994), Shafi (1979), Tahawi (1992), dan Sulaiman (1992)
memiliki klasifikasi yang berbeda dengan Saud. Mannan mengeluarkan modal/kapital (modal
dianggap menyatu dengan tenaga kerja) dari faktor produksi, sehingga hanya menyebutkan tiga
faktor yaitu wirausaha, tanah dan tenaga kerja. Shafi tidak memasukkan wirausaha sebagai
faktor produksi, sehingga hanya tanah, tenaga kerja dan modal, sementara Tahawi
mengklasifikasikan 2 faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan kekayaan. Klasifikasi Sulaiman
agak berbeda dengan arus mainstream, di mana ia mengeluarkan tenaga kerja dari faktor
produksi. Ia menganggap lebih penting tanah dan modal untuk kegiatan produksi, bukan tenaga
kerja. Siapa saja yang bekerja dengan tanah dan modal akan mendapat keuntungan dari
produksi. Meskipun demikian, secara umum para ekonom muslim di atas memandang sangat
penting memperhatikan asepk-aspek kemanusiaan dan keadilan dalam tenaga kerja sebagaimana
ajaran Islam.
Siddiqi, sebagaimana dikutip Al Junaid (1992), mengklasifikasikan faktor produksi dari
2 sudut pandang yaitu tenaga kerja dan kekayaan. Klasifikasi ini didasarkan atas perbedaan-
perbedaan dalam karakteristik intrinsiknya, kerumitan dalam menghadapi resiko dan ketidak-
pastian, serta keunikannya dalam memasok jasa bagi produksi. Seorang wirausahawan
menghadapi resiko, ia adalah seorang risk taker, sementara tenaga kerja dan kekayaan
memperoleh upah dan sewa yang didasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.
Berkaitan dengan tenaga kerja, jelas tak dapat dipisahkan antara aspek manusia dan aspek jasa
yang ditawarkannya, sehingga selalu ada kebutuhan untuk kerjasama. Meskipun Islam
memandang haram terhadap bunga, tetapi Siddiqi menganggap penting adanya suatu
180
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
• Pertama, konsep ini hanya dapat diterapkan pada fungsi produksi yang memiliki
homogenitas berderajat pertama, padahal fungsi ini jarang terdapat dalam dunia nyata.
Permasalahan akan lebih rumit jika diterapkan pada dua atau lebih fungsi produksi yang
lebih realistis.
• Kedua, konsep produktifitas marjinal mengasumsikan adanya persaingan sempurna
dalam pasar faktor produksi, di mana semua kekuatan ekonomi terfragmentasi. Tetapi,
konsep ini tidak dapat menjelaskan banyak kejadian diskriminasi dalam dunia nyata,
misalnya: diskriminasi antara lelaki dan wanita, antara berbagai ras, suku dan kelas
dalam masyarakat. Konsep ini juga tidak dapat menjelaskan fenomena kekuatan kolektif
(collective bargaining) yang dilakukan persatuan-persatuan dagang.
• Ketiga, konsep produktifitas marjinal juga mengasumsikan adanya wirausahawan yang
hanya bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan (profit maximizer) dengan
menetapkan tingkat upah sama dengan produk marjinal tenaga kerja (MPL = W). Dalam
kenyataan tujuan seorang wirausahawan tidak selalu demikian. Ia mungkin memiliki
beberapa tujuan, antara lain: (a) memaksimumkan tingkat penjualan, misalnya mencapai
market share terbesar dalam suatu industri, (b) mendapatkan tingkat keuntungan rata-
rata tertentu dari modal yang diinvestasikannya, dan (c) memaksimumkan beberapa
tujuan lain yang bersifat sosial atau relijius dengan kendala tingkat keuntungan tertentu.
Menurut al Junayd (1992, h. 266-267) kritik terbanyak terhadap pendekatan produktifitas
marjinal ini adalah kaitannya dengan faktor produksi tenaga kerja. Kritik yang utama adalah
bahwa pendekatan ini merupakan suatu perlakukan de-humanisasi dari tenaga kerja, sebab
tenaga kerja diperlakukan sama dengan tanah, modal atau barang fisik lainnya. Pertanyaan yang
sering muncul dalam kaitan ini antara lain ‘bagaimana modal bekerjasama dengan tenaga kerja?’
Tenaga kerja adalah manusia sementara modal bukanlah manusia dan tidak bisa membuat
keputusan-keputusan yang bersifat mental dan fisikal. Berkaitan dengan kritikan seperti ini
biasanya juga dipercayai bahwa tidak harus ada suatu produk marjinal dari tanah atau produk
marjinal dari modal, meskipun produk marjinal dari tenaga kerja tergantung kepada jumlah
modal dan tanah yang dimanfaatkan.
Gambar 9.1
Permintaan Derivatif terhadap Faktor Produksi
P P
Roti Gandum
Jika harga suatu output ditentukan berdasarkan mekanisme pasar, yaitu melalui proses
interaksi kurva penawaran dan permintaan, maka bagaimana faktor produksi ini ditentukan
harganya ? Dalam penentuan harga output ajaran Islam menggunakan dua pedoman, yaitu: (a)
selama pasar dapat berjalan dengan normal maka harga sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme
permintaan dan penawaran. Kenaikan dan penurunan harga akibat mekanisme pasar ini dianggap
hal yang wajar, sehingga tidak boleh ada intervensi dari pemerintah dalam wujud penetapan
harga. (b) akan tetapi, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan penetapan harga seandainya
mekanisme pasar yang normal terdistorsi oleh faktor-faktor yang tidak bersifat alami (non
genuine factors), misalnya karena ada penimbunan (ikhtikar) oleh segolongan pelaku pasar.
Bagaimana penentuan harga faktor produksi, apakah pedoman penentuan harga output ini tetap
dapat diberlakukan?
Menurut Sadeq (1992) dan Al Junayd (1992) terdapat 2 prinsip dasar yang harus
dijadikan pedoman dalam penentuan harga faktor produksi, yaitu:
182
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
(1) nilai keadilan (justice) dan
(2) pertimbangan kelangkaan (scarcity)2.
Penentuan harga faktor produksi haruslah adil, sebab keadilan merupakan salah satu
prinsip dasar dalam semua transaksi yang Islami. Bahkan, keadilan seringkali dipandang sebagai
intisari dari ajaran Islam dan dinilai Allah sebagai perbuatan yang lebih dekat dengan
ketaqwaan3. Dalam kaitannya dengan transaksi pengertian adil adalah proporsional, yaitu
seseorang mendapatkan sesuatu sesuai dengan kontribusi yang telah diberikannya. Suatu harga
faktor produksi akaan dikatakan tidak adil apabila faktor produksi tersebut mendapatkan imbalan
yang tidak sama atau proporsional dengan kontribusinya terhadap kegiatan produksi. Setiap
faktor produksi hanya berhak atas imbalan yang sepadan, tidak lebih - tidak kurang4.
Kelangkaan mengacu pada kondisi relatif antara permintaan suatu barang atau jasa
terhadap penawarannya. Jika penawaran suatu komoditas relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan penawarannya maka harga akan cenderung tinggi, demikian sebaliknya. Mekanisme
pasar akan menghasilkan harga yang mencerminkan kelangkaannya, karena ia terjadi akibat
interaksi permintaan dan penawaran. Pertimbangan kelangkaan dalam penentuan harga faktor
produksi berarti penempatan harga pasar sebagai harga dari faktor produksi tersebut.
Jika dalam output harga yang adil dan sekaligus mencerminkan kelangkaan dapat
dihasilkan oleh mekanisme pasar yang normal, maka apakah hal ini juga dapat berlaku dalam
harga faktor produksi? Apakah harga dari tenaga kerja (upah), modal dan faktor alam dapat
ditentukan secara Islami hanya oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Jawabannya adalah
tidak semua faktor produksi dapat ditentukan harganya semata – mata hanya dengan kekuatan
pasar. Berkaitan dengan hal ini beberapa hal yang mendapat perhatian khusus adalah:
• Implementasi kekuatan pasar tidak dapat dilakukan begitu saja bagi penentuan harga tenaga
kerja, yaitu upah (wage). Alasan utamanya karena tenaga kerja adalah manusia, bukan benda
2
Dua nilai dasar ini sebenarnya juga menjadi pedoman umum bagi penentuan harga yang Islami. Dalam teori
harga, konsep yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah adalah thaman al adl (harga yang adil) yang dapat diperoleh dalam
pasar yang normal. Harga pasar mencerminkan kelangkaan (scarcity) dari suatu barang dan jasa. Intervensi
pemerintah dalam situasi ini justru akan merusak harga sebagai indikator kelangkaan ini, karenanya sangat dilarang.
Harga dalam pasar normal sekaligus mencerminkan keadilan, sebab transaksi dalam pasar normal dilakukan secara
suka sama suka (antaradim minkum) sehingga tidak ada yang saling dirugikan (didzalimi).
3
Misalnya firman Allah :
• …”Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan…” (Al Hadiid: 25)
• “Hai orang-orang yang beriman , hewndaklah kamu menjadi orang-orang yang senantiasa menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (dzalim). Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dengan dengan takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan” (Al Maaidah: 8)
4
Firman Allah :
• “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain maka
mereka mengurangi…” (Al Muthafifiin: 1-3)
• “…dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
(An Najm: 39).
RANGKUMAN
Untuk menghasilkan barang dan jasa dibutuhkan faktor produksi yang umumnya dikelompokkan
dalam alam (tanah), modal, tenaga kerja dan kewirausahaan. Permasalahan pokok
dalam faktor produksi ini adalah: (1) bagaimana hubungan antar satu faktor
produksi dengan faktor produksi lainnya; dan (2) bagaimana menentukan harga
faktor produksi.
• Prinsip dasar dan tujuan produksi akan menentukan pola alokasi sumber daya ekonomi
dan ragam jenis produksi. Sesuai dengan prinsip dan tujuan produksi yang Islami alokasi
sumber daya ekonomi akan berorientasi sebagai berikut: (1) Berbagai barang dan jasa
yang terlarang tidak akan diproduksi sehingga tidak ada sumber daya ekonomi yang
dialokasikan untuk ini; (2) Produksi barang-barang kemewahan juga harus dikurangi
sedemikian rupa sehingga semakin sedikit sumber daya ekonomi yang dialokasikan
untuk memproduksinya; dan (3) Akan ada perluasan industri untuk menghasilkan
barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga sumber daya
ekonomi lebih banyak dialokasikan untuk hal ini.
• Terdapat perbedaan tentang klasifikasi faktor produksi, baik di kalangan ekonom
konvensional maupun ahli ekonom Islam. Perbedaan klasifikasi ini dilatarbelakangi oleh
banyak faktor, misalnya ketidaksamaan tentang definisi, karakteristik, maupun peran
dari masing-masing faktor produksi dalam menghasilkan output. Saud (1981) menerima
184
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing
pengklasifikasian faktor produksi sebagaimana dalam ekonomi konvensional, yaitu:
sumber daya alam (tanah), usaha manusia (tenaga kerja), modal/kapital, serta
organisasi/wirausaha. Sadeq (1992) membagi faktor produksi ini menjadi 4 macam,
yaitu tenaga kerja, aset fisik, modal, dan wirausaha. Mannan mengeluarkan
modal/kapital (modal dianggap menyatu dengan tenaga kerja) dari faktor produksi,
sehingga hanya menyebutkan tiga faktor yaitu wirausaha, tanah dan tenaga kerja. Shafi
tidak memasukkan wirausaha sebagai faktor produksi, sehingga hanya tanah, tenaga
kerja dan modal, sementara Tahawi mengklasifikasikan 2 faktor produksi, yaitu tenaga
kerja dan kekayaan. Klasifikasi Sulaiman agak berbeda dengan arus mainstream, di
mana ia mengeluarkan tenaga kerja dari faktor produksi. Siddiqi mengklasifikasikan
faktor produksi dari dua sudut pandang, yaitu tenaga kerja dan kekayaan.
• Penentuan harga faktor produksi dengan pendekatan produksi marjinal mendapat banyak
kritik, antara lain: Pertama, konsep ini hanya dapat diterapkan pada fungsi produksi
yang memiliki homogenitas berderajat pertama, padahal fungsi ini jarang terdapat dalam
dunia nyata. Kedua, konsep ini mengasumsikan adanya persaingan sempurna dalam
pasar faktor produksi, di mana semua kekuatan ekonomi terfragmentasi. Ketiga, konsep
ini juga mengasumsikan adanya wirausahawan yang profit maximizer, sementara dalam
kenyataan tujuan seorang wirausahawan mungkin memiliki beberapa tujuan. Kritikan
lain adalah kaitannya dengan faktor produksi tenaga kerja di mana pendekatan ini
merupakan suatu perlakukan de-humanisasi dari tenaga kerja.
• Permintaan terhadap faktor produksi adalah derived demand bukan genuine demand.
Terdapat 2 prinsip dasar yang harus dijadikan pedoman dalam penentuan harga faktor
produksi, yaitu: nilai keadilan (justice) dan pertimbangan kelangkaan (scarcity).
Implikasi dari adanya nilai dasar ini antara lain: (1) Kekuatan pasar tidak dapat
digunakan begitu saja bagi penentuan upah. Penentuan upah dilakukan berdasarkan
pertimbangan obyektif – yaitu tingkat upah pasar – dan pertimbangan subyektif – yaitu
implementasi nilai-nilai kemanusiaan; (2) Tingkat bunga sebagai harga dari modal juga
tidak dapat dilakukan, karena ajaran Islam menganggapnya sebagai riba nasi’ah yang
haram hukumnya. Penentuan harga modal akan dilakukan secara integratif dengan
kontribusi dari kewirausahaan berdasarkan sistem loss profit sharing. (3) Penggunaan
sewa (rent) sebagai harga dari tanah sebagai faktor produksi juga tidak dapat diterima
begitu saja. Terdapat kontroversi pendapat di kalangan pemikir Islam tentang legalitas
sistem sewa dalam pertanahan.
KONSEP PENTING
Tingkat Upah
produk marjinal
=permintaan
tenaga kerja
A
N E
Penawaran
tenaga kerja
O K
Jumlah Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja yang terjadi adalah perpotongan antara kurva permintaan
tenaga kerja (sekaligus produk marjinal tenaga kerja) dengan kurva penawarannya,
yaitu E dengan tingkat upah N. Meskipun output total yang dihasilkan adalah
seluas daerah AOKE, tetapi yang dikompensasikan sebagai upah total hanyalah
segiempat NOKE. Daerah segitiga ANE menunjukkan sewa tanah.
188
Bab 9 Faktor Produksi dan Factor Pricing