You are on page 1of 41

TEATER TEORI

Teater (bahasa Inggris: theater atau theatre, bahasa Perancis théâtre berasal dari kata
theatron (θέατρον) dari bahasa Yunani, yang berarti "tempat untuk menonton").awalnya
sendiri diperkenalkan pada kultus dyonisius,awalnya sebagai ritual upacara pengorbanan
domba/lembu kepada Dyonisius dan nyanyian yang digunakan pada masa itu disebut
"tragedi".dalam perkembangannya Dyonisius dewa yang berwujud hewan itu kemudian
berubah menjadi manusia dan dipuja sebagai dewa anggur dan kesuburan.[1] adalah
cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton
dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka,
musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Universitas
Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai "
yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang,
menghadirkan diri mereka pada orang lain." Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet,
mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi
performance serta pantomim.
TEKNIK PENGAKTORAN

PENDAHULUAN

BEBERAPA PENGERTIAN

Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak.
Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan.

ARTI DRAMA

Arti pertama dari Drama adalah kualitas komunikasi, situasi, actiom (segala yang terlihat
di pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (axciting), dan ketegangan pada para
pendengar.

Arti kedua, menurut Moulton Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life
presented in action).

Menurut Ferdinand Brunetierre : Drama haruslah melahirkan kehendak dengan action.

Menurut Balthazar Vallhagen : Drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sifat
manusia dengan gerak.

Arti ketiga drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan
pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action dihadapan penonton (audience).

ARTI TEATER

Ada yang mengartikan sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikan sebagai
“panggung” (stage). Secara Etimologi (asal kata), Teater Adalah Gedung Pertunjukan
(auditorium).

Dalam arti luas Teater adalah kisah hidup dah kehidupan manusia yang dipertunjukan di
depan orang banyak. Misalnya Wayang Orang, Ludruk, Lenong, Reog, Sulapan.

Dalam arti sempit Teater adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan
dalam pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media, gerak, percakapan dan laku,
dengan atau tanpa dekor (layer); Didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra)
dengan atau tanpa musik.
APA PERBEDAAN DRAMA DENGAN TEATER

Teater dan drama, memiliki arti yang sama, tapi berbeda uangkapannya.Teater berasal
dari kata yunanikuno "theatron" yang secara harfiah berarti gedung/tempat pertunjukan.
Dengan demikian maka kata teater selalu mengandung arti pertunjukan/tontonan. Drama
juga dari kata yunanai 'dran' yang berarti berbuat, berlaku atau beracting. Drama
cenderung memiliki pengertian ke seni sastra. Didalam seni sastra, drama setaraf denagn
jenis puisi, prosa/esai. Drama juga berarti suatu kejadian atau peristiwa tentang manusia.
Apalagi peristiwa atau cerita tentang manusia kemudian diangkat kesuatu pentas sebagai
suatau bentuk pertunjukan maka menjadi suatu peristiwa Teater. Kesimpulan teater
tercipta karena adanya drama.

TEATER SEBAGAI ORGANISASI

Proses Teater merupakan sebuah proses organisasi (bentuk kerja kolektif; dimana segala
macam orang dengan segala macam fungsinya tergabung dalam suatu koordinasi yang
rapih,dan juga mencakup juga pengertian sampai batas-batas yang sentimentil), seperti
hal nya diri manusia itu sendiri, atau layaknya seperti sebuah negara. Keberhasilan suatu
pertunjukan Teater dapat juga sebagai keberhasilan suatu seni organisasi; baik organisasi
penyelenggaraannya (Panitia Produksi) maupun segi seni-seninya (Penyutradaraan,
Penataan set, Permainan, Musik dan unsur-unsur lain).

Berikut ini contoh Elemen dari sebuah Group Teater dalam mengadakan sebuah
Produksi.

- Pimpinan Produksi

- Sekretaris Produksi

- Keungan Produksi / Bendahara

- Urusan Dokumentasi

- Urusan Publikasi

- Urusan Pendanaan
- Urusan Ticketing atau karcis

- Urusan Kesejahteraan

- Urusan Perlengkapan

- Sutradara

- Art Director / Pimpinan Artistik

- Stage Manager

- Property Master

- Penata Cahaya

- Penata Kostum

- Penata setting

- Perias / Make Uper

- Penata Cahaya

- Penata Musik

Setiap Elemen memiliki tugas sendiri-sendiri dan sudah seharusnya untuk


bertanggungjawab penuh atas tugas itu (secara profesional). Sebagai Contoh seorang
Urusan Pendanaan, ia harus memikirkan seberapa besar dana yang dibuhtuhkan? Dari
mana dana itu didapatkan. Begitupula seorang Sutradara yang bertanggungjawab atas
pola permainan panggung; (akting pemain, cahaya, bunyi-bunyian, set, property dan lain-
lain).

Jikalau kita memandang Elemen dalam Group Teater, ada kesamaan dengan elemen
dalam tubuh kita sendiri; setiap organ tubuh memiliki fungsi sendiri, tetapi saling
berhubungan dan tergabung dalam fungsi yang sempurna. Teater ibarat laboratorium
kehidupan itu sendiri, seperti yang diungkapkan Peter Brook “Teater akan menjadi
tempat yang indah bagi orang-orang yang mabuk dan kesepian, Teater merupakan sebuah
tindak budaya, Teater bukanlah tempat untuk melarikan diri ataupun untuk mencari
perlindungan”.
RUMUSAN TEATER

Teater adalah salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan
tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang diwujutkan dalam suatu
karya seni suara, bunyi dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan kehidupan manusia.

Dari rumusan diatas dapt ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur teater menurut urutannya
adalah sebabagai berikut :

1. Tubuh, manusia sebagai unsur utama ( pemeran/pelaku/pemain)

2. Gerak, sebagai unsur penunjang.

3. Suara, sebagai unsur penunjang ( kata/untuk acuan pemeran)

4. Bunyi, sebagai unsur penunjang ( bunyi benda,efek dan musik).

5. Rupa sebagai unsur penunjang ( cahaya, rias dan kostum.).

6. Lakon sebagai unsur penjalin ( cerita,non cerita,fiksi dan narasi ).


Teknik Olah Suara Pada Seni Teater
January 13th, 2010 • Related • Filed Under

Vokal merupakan tenaga dalam olah suara. Vokal adalah suara yang menyembunyikan
kata yang keluar dari mulut. Vokal inilah yang menjadi kunci dalam pergelaran karya
seni teater. Dengan vokal yang baik akan bisa memberikan kontribusi yang besar bagi
pertunjukkan atau pementasan karya seni teater. Jika vokal tidak bagus atau jelek, maka
kalimat menjadi mubazir dan tidak berguna dalam memantaskan karya teater.

Ukuran bagus dan tidaknya suatu vokal terletak pada kuat atau tidaknya suara yang
dproduksi lewat mulut. Yang perlu diperhatikan dalam berlatih olah suara adalah tenaga
suara dari perut yang didorong ke atas melalui ruang resonansi diimbangi dengan
pengaturan nafas yang tepat. Adapun bentuk olah suara dapat dilakukan dengan latihan
dasar menyanyi dan deklamasi.
PENTINGNYA TEKNIK BERMAIN BAGI ACTOR

TEKNIK BERMAIN (Acting) merupakan unsur penting bagi pemain (Actor). Actor
dibedakan menjadi dua yaitu: pemain alam dan pemain bukan alam (buatan). Pemain
alam mengetahui itu tanpa ada yang mengajarinya secara teratur dan juga barangkali
tanpa membaca buku penuntun. Sedangkan pemain bukan alam mengetahui acting lewat
pengajaran oleh seorang guru, atau dengan jalan berguru pada buku penuntun. Kedua
jenis pemain ini berbeda, tetapi mereka disarankan untuk mengetahui seluk-beluk teknik
bermain (Acting).

Cara mencapai hasil dalam menyampaikan sang seni dan sang ilham kepada orang lain,
inilah yang disebut teknik dalam kesenian. Teknik ini ada yang unik dan ada yang umum.
Teknik yang unik timbul dari pribadi seorang seniman yang memang unik. Orang lain
bisa mempelajari karena mengaguminya, tetapi apabila ia lalu menggunakannya, maka
itu berarti ia meniru atau terpengaruh, dan apa yang semula unik, lalu menjadi tidak unik
lagi. Teknik yang umum yang sifatnya dasar, bisa dipakai, maka akan memberikan hasil
yang umum dan tidak bisa dipakai secara umum. Bila dipakai, maka akan memberikan
hasil yang umum dan tidak unik. Namum demikian teknik yang umum ini selalu penting
dalam hidup setiap seniman, karena, meskipun sederhana, sangat dasar sifatnya. Teknik
yang umum menyebabkan seniman merasa yakin dalam membawakan dirinya dalam
keseniannya, selalu dapat menguasai yang ia ajak berkomunikasi, karena ia menguasai
alat komunikasinya, atau dengan kata lain membuat ia menjadi fasih. Tapi perlu dicatat,
hanyalah dengan teknik yang unik ia bisa memancarkan pribadinya.
Demikian kedudukan teknik dalam kesenian, dan demikian pula kedudukan teknik
bermain dalam seni seorang pemain. Dalam kritik-kritik seni sering menempatkan teknik
bermain (acting) secara berlebih-lebihan. Penulis hanya menyarankan untuk meletakkan
dalam kedudukan yang wajar saja.
Sang seni dan sangilham, tanpa teknik, hanya akan menjadi gairah yang asik tapi tidak
komunikatif. Barangkali ia akan sampai sebgai sesuatu yang kacau, atau bertele-tele, atau
sama sekali tidak punya daya tarik. Sebaliknya, hampir setiap orang bisa mempelajari dan
menghafalkan teknik seni bermain yang sudah disusun dan diajarkan, namun tanpa sang
seni dan sang ilham ia tak akan mampu menyajikan seni bermain yang baik, karena ia
hanya akan sampai pada efek-efek tanpa keindahan dan gubahan yang unik. Hanya dalam
hasil kesenian yang buruk teknik itu nampak berlebihan atau kurang. Dlam hasil kesenian
yang baik teknik sudah menyatu di dalam intuisi sang seniman, sehingga, dalam hal ini,
teknik ini menjadi sepontanitas yang secara otomatis teratur dan sadar bentuk. Dengan
kata lain ia tidak lagi merupakan bagian terperinci, melainkan sudah menjadi unsur yang
padu.
Demikianlah kalau ada pemeo yang mengatakan, bahwa teknik itu dipelajari untuk
dilupakan, maka pada hakikatnya itu berarti bahwa teknik itu dipelajari dengan
penghayatan sehingga akhirnya bisa menjadi semacam naluri. Dalam hal ini, hanyalah
orang yang berbakat kesenian saja yang bisa melakukannya. Atau dengan kata lain,
hanyalah orang yang mempunyai rohani seniman saja yang bisa melakukannya.
Sedangkan yang lain, bisa saja mempelajari teknik itu dan punya banyak pengetahuan
tentang itu tapi tak dapat ia kuasai, tak bisa ia endapkan menjadi pengalaman, karena tak
bisa ia sangkutkan dengan kebutuhan rohani.
Ada pula pemain yang berbakat dan cukup paham akan teknik bermain yang umum,
namun, pada satu tingkat perkembangan tertentu, pemain menjadi kering, karena hanya
sarat dengan permainan teknik melulu.
Ternyata jika kita telusuri persoalannya adalah masalah rohani seniman yang tidak
berkembang. Tidak ada buku yang bisa mengajarkan perkembangan rohani. Dokter jiwa,
agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan tidak bisa memberi resep yang menyembuhkan. Ini
hanya masalah pribadi yang hanya dapat diatasi oleh senimannya sendiri. Cara yang biasa
dilakukan dalam menambah atau mencari pengalaman rohani / batin agar lebih kaya
dalam mendapatkan sang seni dan sang ilham.
Manfaat gai pemain berbakat dalam mempelajari teknik bermain yang umum adlaah
untuk menambah kemampuannya dalam membuat keragaman gaya. Dan bagi seorang
yang memang berbakat besar, satu pasal teknik bermain yang paling sederhana pun bisa
membukakan pintu ke arah perbendaharaan ilham artistiknya yang kaya itu.
Indonesia kaya akan seni.[1] Seni merupakan unsur kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang sejajar perkembangan manusia sebagai pencipta dan penikmat karya seni.[2]
Karya seni dapat dilihat dari bentuk pakaian dan rias, jenis makanan dan hidangan, jenis-
jenis pertunjukan, berbagai upacara adat dan prosesinya, dan lain-lain, Salah satunya
adalah sebi pertunjukan yaitu bentuk teater.[3] Seni Teater adalah seni yang kompleks,
artinya dapat bekerjasama dengan cabang seni lainnya.[4]Di Indonesia mempunyai dua
teater, diataranya adalah :[5]

1. Teater Tradisional

2. Teater Modern

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Teater Tradisional
o 1.1 Ciri-ciri Teater Tradisional
• 2 Teater Modern
o 2.1 Ciri-ciri Teater Modern
o 2.2 Kelompok dan sutradara
• 3 Unsur-unsur Teater
o 3.1 1. Naskah/Skenenario
o 3.2 2. Skenario
o 3.3 3. Pemain/Pemeran/Tokoh
o 3.4 4. sutradara
o 3.5 5. Properti
o 3.6 6. Penataan
• 4 7. Penonton

• 5 Referensi

[sunting] Teater Tradisional

Teater Tradisional adalah bentuk pertunjukan yang pesertanya dari daerah setempat
karena terkondisi dengan adat istiadat, sosial masyarakat dan struktur geografis masing-
masing daerah.[6]
Gambar ini merupakan Museum Wayang

- Ketoprak dari Yogyakarta

- Ludruk dari Surabaya

- Wayang Orang dari Jawa Tengah/Yogyakarta

- Lenong dan Topeng Blantik dari Betawi

- Mamanda dan Wayang Gong dari Kalimantan Selatan

- Mak Yong dan Mendu dari Riau

- Masres dari Indramayu

- Randai dari Sumatera Barat

- Dulmulk dari Sumatera Selatan

- Bangsawan dari Sumatera Utara

- Anak Ari dari Nusa Tenggara

- Arya Barong Kecak dari Bali

[sunting] Ciri-ciri Teater Tradisional

Teater Tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut [7]:

1. Pementasan panggung terbuka (lapangan, halaman rumah),


2. Pementasan sederhana,

3. Ceritanya turun temurun.[8]

[sunting] Teater Modern

Teater Modern adalah cerita yang bahannya dari kejadian-kejadian sehari-hari, atau karya
sastra.[9]

contoh Teater Modern :

a. drama

b. teater

c. sinetron

d. film

[sunting] Ciri-ciri Teater Modern

- Panggunga tertata

- Ada pengaturan jalan cerita

- tempat panggung tertutup

[sunting] Kelompok dan sutradara

Kelompok teater modern dan sutradara [10]:

1. Teater Gandrik : Jujuk Prabowo

2. Teater Garasi : Yudi Ahmad Tajudin

3. Teater Koma : N. Riantiarno

4. Bengkel Teater : WS Rendra

5. Teater Kecil : Arifin C. Noor dan lain-lain


[sunting] Unsur-unsur Teater

Unsur-unsur dalam teater antara lain [11]}:

[sunting] 1. Naskah/Skenenario

Naskah/Skenario berisi kisah dengan nama tokoh dan diaolog yang duicapkan.

[sunting] 2. Skenario

Skenario merupakan nsakah drama (besar) atau film, yang isinya lengkap, seperti :
keadaan, properti, nama tokoh, karakter, petunjuk akting dan sebagainya.[12] Tujuan dari
naskah/skenario untuk sutradara agar penyajiannya lebih realistis.[rujukan?]

[sunting] 3. Pemain/Pemeran/Tokoh

Pemain merupakan orang yang memeragakan tokoh tertentu pada film/sinetron biasa
disebut aktris/aktor.[13]

Macam-macam peran [14]:

a. Peran Utama

Peran Utama Yaitu peran yang menjadi pusat perhatian penonton dalam suatu kisah

b. Peran Pembantu

Peran Pembantu Yaitu peran yang tidak menjadi pusat perhatian

c. Peran Tambahan/Figuran

Figuran Yaitu peran yang diciptakan untuk memperkuat gambar suasana

[sunting] 4. sutradara

Sutradara merupakan orang yang memimpin dan mengatur sebuah teknik pembuatan atau
pementasan teater/drama/film/sinetron.[15]

[sunting] 5. Properti

Properti merupakan sebuah perlengkapan yang diperlukan dalam pementasan drama atau
film.[16] Contohnya : kursi, meja, robot, hiasan ruang, dekorasi, dan lain-lain
[sunting] 6. Penataan

Seluruh pekerja yang terkait dengan pendukung pementasan teater, antara lain[17]: a. Tata
Rias

Tata Rias adalah cara mendadndani pemain dalam memerankan tokoh teater agar lebih
meyakinkan

b. Tata Busana

Tata Busana adalah pengaturan pakaina pemain agar mendukung keadaan yang
menghendaki. Contohnya : pakaian sekolah lain dengan pakaian harian

c. Tata Lampu

Tata Lampu adalah pencahayaan dipanggung

d. Tata Suara

Tata Suara adalah pengaturan pengeras suara

e. Tata Pentas

Tata Pentas adalah seting, komposisi properti agar efektif mendukung pentas

f. Pentas/Panggung

[sunting] 7. Penonton

Penonton adalah undur dalam pementasan drama/teater/sandiwara atau film karena


sebagai saksi dari hasil akhir kerabat kerja.[18] Penonton sebagai evaluator yang
mengapresiasi dan menilai hasil karya seni yang dipentaskan.[19] Bentuk karya seni akan
sia-sia jika tidak memiliki penikmat karya.[rujukan?] Pada setiap pementasan seni pasti ada
penonton.[rujukan?] Penonton menonton untuk menghibur hatinya dan bagi senimannya bisa
sebagaievaluator dari karyanya.[20]
Sanggar Teater Populer, atau juga disebut Yayasan Teater Populer, merupakan suatu
tempat berkumpulnya para pekerja kreatif di bidang seni, drama dan film. Berazaskan
ilmu dramaturgi dan sinematografi, Kelompok Kerja Kreatif Teater Populer selalu aktif
dalam pementasan teater maupun pembuatan film layar lebar.

Teater Populer adalah sebuah cita-cita, yang berarti segala kegiatannya tidak ada yang
absurd. Teater Populer menganut aliran realis sehingga dalam bidang seni peran, dapat
langsung diaplikasikan di luar panggung seperti misalnya di media layar lebar.

Berbagai kegiatan kesenian yang mendasari ilmu panggung di sanggar Teater Populer
meliputi banyak bidang, seperti:

• Seni Peran
• Seni Rupa
• Seni Tari, Musik, dan Suara
• Seni Sastra
• Penguasaan Kamera, Tata Cahaya, dan Editting
• Penyutradaraan dan Penulisan Naskah
Tentang Kami
Indeks Artikel
Tentang Kami hal 1
Tentang Kami hal 2
Tentang Kami hal 3
Tentang Kami hal 4
Tentang Kami hal 5
Tentang Kami hal 6
Tentang Kami hal 7
Kode Etik
Semua Halaman
Halaman 1 dari 8

Jakarta, 1980.

Sebelum pementasan ke-empat Teater Koma yang berjudul Kontes 1980, Dewan
Kesenian Jakarta menggelar Temu Teater Nasional. Beberapa kelompok teater dari Jakarta
dan dari luar Jakarta mengirim kontingen, dan sebagian mementaskan karya teater
mereka. Dalam kesempatan itu, digelar pula panel diskusi yang diikuti oleh sutradara-
sutradara teater nasional. Para sutradara diminta mengungkapkan konsep berteaternya.
Lalu konsep itu didiskusikan.

Saya menuliskan konsep kesenian Teater Koma.

Judulnya; Teater Tanpa Selesai. Isinya demikian;

Dalam suratnya kepada Dewan Kesenian Jakarta sehubungan dengan


pementasan pertama Teater Koma, saya menulis; ‘Melihat sekarang ini kegiatan
teater kita sangat didominasi oleh teater-teater senior yang nampak tenang dan
bahagia dengan warna teaternya yang semakin khas itu, maka ..’ dan
seterusnya.

Pada tanggal 1 Maret 1977, Selasa Pahing, duabelas seniman yang punya iktikad sama,
mendirikan kelompok Teater Koma. Tekad mendirikan kelompok teater, antara lain
didorong oleh keinginan menghadirkan tontonan teater yang diharapkan memiliki warna
berbeda dengan kelompok teater yang sudah ada.

Teater Koma belajar dari kelompok-kelompok teater terdahulu. Mungkin bentuk


pementasannya merupakan gabungan dari bentuk teater yang sudah ada. Tapi
bisa juga bentuknya malah ‘berbeda sama sekali’. Titik tolak pembentukan
kelompok, terutama didorong oleh kegelisahan pencarian berbagai kemungkinan
lain dan upaya mewujudkannya di atas pentas. Teater Koma menganggap, karya
pentas teater yang ada selama ini, belum seluruhnya selesai.

Teater Koma bisa juga disebut sebagai teater tanpa selesai. Pencarian wujud dan isi
teater yang lebih kaya warna, akan menjadi prioritas utama.

Ada dua tujuan pokok yang menjadi landasan dalam bekerja;


1. Membentuk kelompok menjadi wadah, semacam workshop, yang berupaya mencari
berbagai kemungkinan pengucapan lain. Naskah-naskah drama yang digali
kandungan idenya, lebih diutamakan karya para penulis Indonesia. Kemudian,
workshop akan diarahkan menuju perencanaan pementasan.
2. Menyiapkan calon seniman dan pekerja teater yang tangguh. Pembinaan terhadap
calon seniman dilakukan secara tak resmi. Intim dan spontan, tapi intensif. Lewat
omong-omong dan diskusi. Akan diundang seniman-budayawan di luar kelompok
untuk memandu pembahasan sebuah topik yang punya keterkaitan dengan seni-
budaya. Akan diselenggarakan pula latihan dasar; olah tubuh, nafas, vokal, dan
berbagai pengetahuan teater.

Pegangan yang mencipta kegembiraan bekerja adalah kerjasama yang saling


menghargai. Tak perlu berikrar terlalu muluk, misal, ‘hidup dan matiku hanya
untuk teater’ atau omong kosong lain yang sloganistis. Para anggota diminta
untuk tidak berharap banyak dari teater, terutama dari segi pemenuhan materi.

Dengan kesungguhan hati, meski dalam keterbatasan, karya teater yang baik
juga bisa dilahirkan. Anggota kelompok yang terlanjur memiliki pekerjaan di luar
teater, kerjanya tak boleh terganggu. Tapi begitu ikrar terlibat dalam kegiatan,
dia harus menyediakan (mengelola) waktunya dengan sepenuh hati. Artinya, dia
harus mencari akal agar semua jadwal tak terganggu.

Untuk membuktikan hal itu, Teater Koma menggelar produksinya yang pertama berjudul
Rumah Kertas, awal Agustus 1977, di Teater Tertutup TIM. Dalam buklet pementasan,
Teguh Karya, pemimpin-guru-sutradara teater dan film yang sangat saya hormati, menulis
kata pengantar berjudul Prospek. Salah satu anjurannya, yang kemudian menjadi pegangan
adalah; ‘bikin dan lahirkan pembaruan-pembaruan!’.

Pasti banyak kekurangan dalam pentas Rumah Kertas. Saya tak berani menyatakan, apa
yang disajikan Teater Koma adalah sesuatu yang baru. Barangkali lebih tepat disebut,
‘upaya penggalian berbagai kemungkinan’. Dan apa pun hasilnya, sudah tentu bukan
sesuatu yang baru. Bisa jadi, yang dianggap ‘baru’ adalah sesuatu yang pada suatu masa
pernah akrab dengan kita. Tapi dilupakan hingga memfosil. Sebab, kata orang, ‘di bawah
matahari, tidak ada sesuatu yang baru’.-

Pernah terjadi, pada suatu masa, kondisi teater kita sungguh tidak masuk akal. Teater
ada di awang-awang. Hanya seniman saja yang memahami apa yang dilakukan orang teater.
Celakanya, bahkan orang teater pun banyak yang tak paham. Lalu penonton memandang
teater sebagai alien yang sukar dipahami dan ‘berbahaya’. Setiap kali menonton kegiatan
teater semacam itu, rasanya seperti menyaksikan, maaf, tindakan ‘masturbasi’. Pujian
datang dari sesama teman, saudara dan tetangga dekat. Hanya pujian. Tak ada kritik tajam
yang bisa dipelajari atau dipakai untuk bercermin.

Ketika hal itu terus terjadi, teater menjadi ‘benda yang aneh’. Seakan ada di
dalam lemari besi terkunci, sulit dijamah dan dijauhi. Di lain sisi, para pekerja
teater yang menggelar teater macam itu, merasa yakin karyanya sebagai hasil
semedi, lewat dupa, darah dan keringat, seluruh jiwaraga. Tapi mengapa kerja
seolah sia-sia? Mengapa seakan-akan hanya sedikit orang saja yang
‘memilikinya’?
Teater tak boleh terpencil apalagi dipencilkan. Teater bukan alien. Juga bukan
pahlawan sakti dan bersayap yang dengan pongah menatap dari langit. Lalu
hanya dengan mengangkat jari sebelah tangan, hasil perenungan bagai emas
berjatuhan, jadi rebutan khalayak. Tidak. Itu dongeng. Mitos.

Teater adalah pemaparan pemikiran, kritik dan otokritik. Salah satu upaya pencarian
jalan menuju kebahagiaan. Teater bisa mengandung berbagai pertanyaan yang seringkali
tak terjawab. Tapi teater harus akrab dengan masyarakatnya. Menjadi magnit, dibutuhkan.
Sebab, sumber teater adalah kehidupan dan alam semesta. Kisah manusia menjadi titik
pusatnya.

Teater bukan obat batuk ‘ampuh’ yang langsung menyembuhkan. Teater juga
bukan kamus yang serba tahu. Bisajadi, teater cuma kumpulan pertanyaan yang
jawabannya harus dicari bersama. Teater adalah investasi kultural jangka
panjang. Jika apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan
masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya ditilik lagi, berulang kali, mengapa
sampai tidak dipahami. Mungkin ada bagian yang magol dan tak komunikatif.
Atau mungkin, hasil keseniannya buruk. Bahkan Teater pun harus senantiasa
bercermin, selalu berupaya meneliti kembali semua kekurangan dan kelebihan.
Dan masyarakat adalah ‘cermin yang bening’ bagi teater. Jangan sampai
melupakan hal yang sangat penting itu.

Saya kurang setuju jika seniman teater hanya berkubang di dalam lingkar-teaternya saja.
Seperti katak dalam tempurung. Seniman teater sebaiknya seperti para seniman Bali, yang
ketika tidak berkesenian adalah petani-petani tekun yang mencintai tanah dan bumi. Atau
seperti para pemain lenong, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak atau kuli
pelabuhan.

Bekerja. Itu kata kunci yang utama. Keakraban dengan kehidupan nyata adalah
sumber daya kreatif para seniman teater. Bukan sebuah ‘istana asap’ yang harus
diciptakan. Karena pada suatu ketika, akan diketahui bahwa yang dibangun
hanyalah ‘istana asap’ belaka. Lalu akan datang kekecewaan dan teater pun
‘dibenci’.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka yang merelakan diri
hidup hanya untuk teater, saya menganjurkan anggota Teater Koma agar tidak
memasuki teater dengan modal kosong. Mereka harus rela mensubsidi kegiatan
sendiri, yang dikerjakan tidak tergesa-gesa. Rileks tapi tetap waspada. Dengan
cara itu, sebuah pertunjukan yang baik dan bernas pun bisa disajikan.
Persoalannya adalah, apakah rileks dilakoni dengan penuh kewaspadaan dan
rasa tanggungjawab atau hanya rileks tak waspada saja?

Cara sederhana seperti itu, berdasarkan kenyataan lapangan, malah justru mampu
mencipta kegembiraan kerja. Dalam sebuah paguyuban, yang masing-masing anggotanya
saling mengisi kekurangan, suasana akrab kemudian dibangun. Saya tidak pernah marah
jika ada pemain datang terlambat latihan. Saya hanya berusaha mengetahui mengapa dia
terlambat dan membahasnya dengan simpatik. Saya menyodorkan pemahaman mengenai
disiplin dan tanggungjawab seorang seniman.
Saya beritahu, bahwa kelompok sangat membutuhkan kehadirannya. Jika dia tidak hadir
atau datang terlambat, bisa jadi kegiatan kelompok akan tersendat atau bahkan macet.
Biasanya, pada hari latihan berikutnya, dia tidak terlambat lagi.

Sekian lama bekerja dalam teater, saya telah mencatat berbagai hal. Lalu
saya coba menuangkannya dalam tulisan. Catatan ini lebih merupakan kumpulan
pengalaman lapangan, bukan kesimpulan baku yang didata dari survei ilmiah
lalu menjadi pegangan yang kaku. Catatan-catatan saya hanya kumpulan
berbagai informasi, catatan pinggir atau percik-percik pemikiran. Meskipun
dalam arti yang lebih luwes, catatan ini bisa juga disebut sebagai sikap dan
pegangan kerja kelompok Teater Koma. Pegangan, yang sewaktu-waktu bisa
berubah, seiring dengan gerak zaman.

Di sekeliling kita, berbagai sumber kreatif mampu mencipta ‘peristiwa teater’. Dengan
kepekaan seorang seniman, berbagai sumber kreatif itu bisa diserap untuk kemudian
diproyeksikan kembali secara tajam. Saya sering merangkumnya sehingga menjadi naskah
drama. Bagaimanapun, saya masih meyakini konsep teater teks sebagai dasar dan titik
tolak menuju perwujudan peristiwa teater.

Tapi naskah drama tulisan saya, juga bukan patokan kaku. Di dalam
perjalanan, naskah punya kemungkinan berubah atau berkembang. Saya
menganjurkan pemain-pemain saya untuk menggali jawaban tidak hanya dari
teks. Peluang penggalian narasumber kreatif yang lebih luas justru lebih banyak
terdapat di luar teks. Mereka bisa mencarinya di dalam kehidupan nyata,
kemudian bersama-sama membahasnya di dalam forum latihan. Lalu memilih
yang paling tepat sebagai bahan utama.

Begitu keinginan berkelompok diikrarkan, saya harus siap berbuka hati dan
sabar. Ada beberapa anggota yang sebelumnya tak tahu apa itu teater. Bahkan
menonton pertunjukan teater pun tak pernah. Tapi karena dorongan teman,
mendadak ingin masuk kegiatan teater. Apa harus ditolak? Tentu tidak. Pada
kenyataannya, sikap ikut-ikutan semacam itu justru sering terjadi dalam dunia
teater kita. Modalnya hanya semangat atau harapan tertentu. Jika teater
dibayangkan sebagai sosok yang mengerikan, biasanya mereka akan segera lari.
Tapi jika hanya dijanjikan tepuk tangan dan popularitas saja, kenyataannya
sering tidak seperti itu. Lalu kita dianggap pembohong. Jadi, kenyataan mana
yang harus diungkapkan?

Saya akan bertindak untuk tidak menggambarkan berbagai kesulitan dalam berteater,
sekaligus juga tidak menjanjikan apa-apa. Biarlah waktu yang akan membeberkan
kenyataan. Latihan-latihan dasar yang diwajibkan, juga menjadi semacam alat seleksi.
Memperkokoh dasar, nyatanya lebih berat dibanding latihan untuk pementasan. Tapi jika
niat lahir dari keinginan yang kuat, biasanya daya tahan pun akan kuat. Jika tidak, mereka
langsung hengkang. Sebab, teater ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya.
Pengalaman lapangan, usia, kematangan dan waktu, mengajarkan banyak hal yang
berharga.

Disiplin teater bukan disiplin mati, tapi disiplin hidup. Tanggungjawab yang diminta
bukan karena paksaan tapi karena kebutuhan. Dan kerja bukan sebuah beban melainkan
menjadi kumpulan kegembiraan. Teater, ibarat sebuah kegiatan yang dijalankan dengan
dada lapang dan keikhlasan. Kejujuran. Sangat sederhana tapi bukan berarti mudah
dilakukan.
Catatan ini ditulis tidak dengan kehendak memaksa orang lain untuk mengikuti.
Kenyataan lapangan yang saya alami, bukan satu-satunya jalan dalam berteater. Saya
hanya ingin ‘mengajak untuk memahami’ apa yang sudah dan hendak dilakoni kelompok
Teater Koma, yang usianya masih sangat muda. Di luar cara saya, tentu banyak cara lain,
yang berbeda. Dan masing-masing cara, mungkin sama baiknya jika ditilik dari sisi
peyakinan dan kebutuhannya.

Semoga pembeberan ini tidak malah mengaburkan. Saya sadar, setiap cara pasti
memiliki kekurangan dan kelebihannya. Tapi dari kekurangan, biasanya, lahir
ketidakpuasan. Dan dari ketidakpuasan, seyogyanya, lahir upaya perbaikan. Dunia bergulir
dan ‘marak’ karena upaya-upaya agar menjadi lebih baik. Itulah hidup. Itulah teater. Dan
di titik itulah letak kekuatan seni pertunjukan; upaya memperbaiki diri.

Saya mulai mengenal teater pada 1965, saat masih SMA di Kota Cirebon. Saya
bermain sebagai Scipion dalam Caligula karya Albert Camus. Saya yakin bermain
buruk. Tapi saya merasa seakan menemukan dunia yang diimpikan selama ini.

Saat itu, banyak anak muda yang suka berpuisi. Saya juga. Usia 16 tahun, semangat
menggebu-gebu dan dengan pongah ingin menyaingi Shakespeare. Kegiatan saya berkisar
antara ‘diskusi tentang puisi’ dan menerbitkan majalah dinding di sekolah. Kadang saya
mengikuti lomba deklamasi (dan tidak pernah menang). Sekali seminggu membaca puisi di
radio. Sejak itu, secara tak langsung, saya sedang mempersiapkan diri untuk menjalani
semacam ‘upacara ritual’ memasuki dunia dambaan, teater. Memang belum terlalu pasti.
Dan ayun langkah saya, diiringi dengan banyak pertanyaan.

Saya samasekali tak menyangka, perjalanan kreatif mendorong saya jadi


seperti sekarang ini. Nasib? Atau cuma kebetulan saja? Entahlah. Sering saya
berkaca, bertanya mengapa. Tapi tak pernah ada jawaban pasti. Yang
mengherankan, saya tak pernah menyesalinya. Paling tidak, hingga saat ini.

Meski sering dijerat situasi buruk, saya tetap bahagia. Mungkin ini dunia saya, bagian
dari nasib saya. Saya bersyukur karena diberi peluang untuk meraih banyak hal. Diberi
kesempatan untuk menghargai. Salah satunya; menghargai segala hal. Biarlah orang
berpendapat, ada sesuatu yang sangat buruk dan sama sekali tak ada harga. Saya tetap
berusaha untuk menghargai. Pada tempatnya masing-masing, adakah ‘sesuatu’ yang
samasekali tidak berharga? Saya meragukannya. Bahkan sebutir pasir, sampah ataupun
kotoran hewan, pastilah punya harga. Pasti berguna bagi hal-hal tertentu. Nilai ‘yang
sangat buruk’ itu, pastilah spesifik, khusus.

Kesenian adalah ‘kehidupan’, sebuah inti-kehidupan. Dan kesenian telah menjalankan


tugasnya dengan baik. Dia menaruh bagian-bagian yang dimilikinya, pada tempatnya. Dan
punya harga. Saya mempercayai kesenian. Teater adalah kesenian. Segala unsur kesenian
bermuara kepada teater. Teater memiliki peluang dan kemungkinan yang sangat luas,
tergantung bagaimana si seniman memanfaatkannya.

Begitu lulus SMA, 1967, saya langsung merantau ke Jakarta. Saya belajar
dalam sebuah ‘akademi kehidupan’ di bawah bimbingan guru tunggal, Teguh
Karya. Saya mendalami pengetahuan artistik, penyutradaraan dan penulisan.

Jakarta memiliki wajah yang belang-bonteng. Kaya dan miskin, suram dan
gemerlapan, gaduh dan sunyi, merah dan hitam, biru dan kelabu, membaur jadi
satu dalam masyarakat yang mendambakan masa depan lebih baik, masa depan
lebih berbahagia. Jakarta adalah pintu berbagai kemungkinan. Harapan dan
putus-asa. Gedung-gedung tinggi mencakar langit dengan pongah. Tapi di
dekatnya, berhimpitan gubuk-gubuk reot di kawasan yang kumuh. Gang-gang
becek dan got-got mampet berbau busuk.

Pada suatu hari, saya lewat sebuah pasar yang becek. Di sudut yang luput dari
perhatian, nampak seorang lelaki tua. Tubuhnya renta, pakaiannya lusuh. Tapi
dia bukan pengemis. Mungkin hanya urban yang gagal mengadu nasib di Jakarta.
Di dekatnya membusuk gunungan sampah yang menghitam. Bau bacin. Tapi apa
yang tengah dikerjakan lelaki tua itu? Dia bersembahyang di atas kertas karton
yang dijadikannya sebagai sajadah. Dia bersembahyang dengan sangat khusuk,
tak perduli sekeliling. Segenap isi pikirannya hanya tertuju kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Sekuat daya saya menahan perasaan. Saya tak ingin dijebak keharuan, meski saya
sangat terharu. Ketika lelaki tua itu menyelesaikan sembahyang dan mengucap salam, saya
membalas salam. Saya segera berlalu dengan mata berkaca-kaca. Adakah yang sudah saya
perbuat untuk dia? Sosok yang seakan tengah membusuk tapi tetap ingat Tuhan? Sosok
yang bukan satu-satunya, sebab kita dikepung berjuta orang papa seperti dia.
Terpinggirkan. Apa arti kesenian dan teater, bagi mereka? Adakah mereka memahami?
Pernahkah mereka mendengar tentang Konstantin Stanislavsky, Bertolt Brecht, August
Strindberg, Eugene O’Neill, Arthur Miller atau Meyerhold?

Teater modern disahkan kehadirannya lewat pengetahuan dan teori-teori.


Mungkin itu yang jadi salah satu sebab, mengapa teater modern seakan barang
mewah yang sulit terjangkau oleh orang kebanyakan. Hanya mereka yang
berpendidikan saja yang mampu menikmati. Tapi haruskah seperti itu? Bukankah
semua orang berhak menikmati kesenian? Tidak bisakah agak lebih
disederhanakan? Bukankah teater rakyat memiliki kemungkinan menuju bentuk
‘penyederhanaan’ itu? Sederhana, bukan simplisitas.

Lalu timbul kesimpulan; Teater Indonesia harus dilahirkan kembali tapi tidak selalu
berpatokan kepada teori dari Barat. Sejak itu saya merasa, apa yang sudah saya serap, apa
yang sudah saya lakukan, samasekali belum memadai.

Lalu, saya mulai mengarahkan perhatian kepada teater rakyat kita yang sifatnya intim,
tak resmi, spontan, bebas, jujur dan apa adanya. Saya tidak menyesal memiliki
pengetahuan Teater Barat. Tapi saya tak ingin menelan mentah-mentah. Saya hanya ingin
menjadikannya sebagai bahan studi banding. Hanya ingin mempelajari teknik
pemanggungannya dan ‘memanfaatkannya’.

Saya menyesal karena sudah melupakan milik sendiri. Pada 1968, saya merasa teater
tradisional dan teater rakyat kita bak baju wangi kamper yang tergantung dalam lemari
terkunci. Jarang dipakai. Hanya disimpan dan dianggap pusaka. Riwayat mistiknya
dikisahkan, aturannya disakralkan dan ditabukan. Teater tradisional kita bertahan dalam
posisinya, hanya sebagai warisan tradisi belaka. Kekuatannya jarang ditimbang, apalagi
dieksplorasi. Hanya sedikit yang kenal. Itu pun sering cuma sebatas kulit saja.

Teater tradisi dan teater rakyat kita, banyak yang kemudian mati merana,
tanpa diketahui di mana letak kuburannya. Musnah sejarahnya. Hanya sedikit
yang coba memikirkan kemungkinan hadirnya teater rakyat dan teater
tradisional ke dalam bentuk dan warna teater kita masa kini. Itu pun sering
menuai berbagai penolakan karena dianggap berniat merusak warisan tradisi
budaya bangsa.

Ide-ide, pemikiran, cara penyajian, struktur penulisan cerita dan


simbolisasinya, roh dan semangatnya, jarang sekali digali untuk dipahami atau
dijadikan sumber ilham. Saya ingin menjadikannya sebagai bahan utama teater
saya kelak. Itulah ikrar yang membuat saya kemudian berkeliling Nusantara,
1975, selama enam bulan.

Teater dan kehidupan sehari-hari adalah dua hal yang saling berkaitan.
Sebagai ilmu pengetahuan, mungkin bisa nampak terasing, kering dan sunyi.
Hanya sedikit peminatnya. Tapi sebagai tontonan, teater harus membaur dengan
kehidupan sehari-hari. Mimpi-mimpinya akrab, dan pemikirannya memiliki akar.
Dia tak boleh mengajari tapi mengajak bersama-sama memecahkan berbagai
masalah kehidupan. Dia hidup, dinamis dan bergerak tanpa sungkan, tanpa ragu.
Dia tidak jauh dari masyarakatnya, menjadi media-kretif yang menjembatani dan
menciptakan ‘komunikasi estetik’.

Teater Indonesia harus mampu menembus berbagai batasan; bentuk, ruang,


waktu, aturan, dan emosi. Dia harus mampu menyodorkan pemikiran-ulang
berbagai konvensi serta memfasilitasi pikiran-pikiran baru yang bertujuan mulia;
membuat kehidupan manusia jadi lebih baik. Bentuknya, mungkin merupakan
campuran dari berbagai hal, seperti wajah Jakarta yang belang-bonteng. Dia
harus bisa dinikmati oleh kaum terpelajar dan urban-gagal yang sebelumnya
tidak pernah mengenal teater. Mengapa begitu? Karena teater lebih memihak
kepada hati nurani dan kemanusiaan. Dia harus hadir untuk semua pihak yang
membutuhkannya.

Teater harus bicara, tidak dengan sentimen yang memihak dan mengandung
prasangka. Teater sebaiknya memotret peristiwa, menyerap nilai-nilai estetik,
lalu membeberkannya secara adil dan jitu, tanpa menyakiti.

Teater harus membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh yang berguna bagi


pengembangannya, tanpa terpengaruh dari mana pengaruh itu berasal. Teater harus
menutup kemungkinan masuknya pengaruh buruk, meski pengaruh itu terbit dari dalam
negeri sendiri. Realisme, surealisme, simbolisme, ekspresionisme, bukanlah jawaban. Yang
utama, apa manfaatnya bagi kemanusiaan. Apa manfaatnya bagi kebahagiaan.

‘Apa yang akan kita sampaikan?’

Rencana itu, sebagai titik tolak yang sangat penting.

Pada dasarnya manusia cenderung tidak puas. Selalu tidak puas. Keinginan
disusul oleh keinginan lain. Setiap saat, ada seorang murid yang menyalami
gurunya dan sambil berlinang air mata mengucap, “Selamat tinggal guru, saya
tidak akan melupakan guru”. Lalu sang murid pergi dan melakukan sesuatu yang
berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh gurunya.
Detik berdirinya Teater Koma adalah awal dari sebuah babakan baru bagi saya. Baik
dalam gaya penulisan, penyutradaraan, dan gaya berteater. Dalam penulisan, saya mulai
meninggalkan gaya ‘realisme romantik’ dan melangkahkan kaki ke babakan ‘pemotretan
masalah dan membeberkannya tanpa menyakiti’. Pentas-pentas Teater Koma juga
berusaha lebih masuk ke dalam lingkaran masyarakatnya. Luwes, intim, bebas, tidak
resmi, spontan dan berseloroh. Gaya penyajian berseloroh, sumbernya dari sifat babakan
‘goro-goro’ dalam wayang, dan biasa disebut guyon parikeno.

Jika ada yang menyatakan, merawat kelompok teater semudah membalikkan


telapak tangan, maka saya berani bilang; yang berkata seperti itu adalah
pembohong besar. Memimpin para seniman, bukan hal mudah.

Setiap hari, bisa lahir berpuluh kelompok teater plus AD/ART-nya. Memang
semudah itu. Hanya perlu sedikit keberanian (atau kenekatan), beberapa
pendukung dan rencana pementasan. Mungkin pementasan bisa dilaksanakan.
Lalu, sesudah itu? Bagaimana kelanjutannya? Mampukah kelompok berdiri ajeg
di bawah hempasan badai waktu? Mampukah terus melahirkan seni pentas yang
semakin berkualitas seiring pengalaman-batin dan usia? AD/ART bukan jawaban
dari masalah. AD/ART hanya benda mati berupa sekumpulan aturan. Sedang
kegiatan kreatif selalu bergantung kepada manusianya, senimannya.

Teater lahir karena kebutuhan mewujudkan rasa estetik. Keindahan. Itu salah
satunya. Kebutuhan yang lain adalah, ‘ingin menyampaikan sesuatu’.
Pementasan, sebagai jawaban dari ‘keinginan menyampaikan sesuatu’ itu,
sebaiknya lahir karena kebutuhan yang sifatnya lebih kultural. Jika kebutuhan
‘menyampaikan sesuatu’ itu hanya terdorong oleh sesuatu yang di luar kesenian,
materi misalnya, maka boleh dibilang kegiatan itu tengah menggali lubang
kuburnya sendiri. Lalu bagaimana caranya agar kelompok teater tidak mati
muda? Padahal, kebutuhan artistik (juga pembiayaan) dari waktu ke waktu
bergerak terus? Luwes, itu jawabannya.

Saya punya pengalaman unik saat melakoni masa persiapan produksi Rumah Kertas,
pentas perdana Teater Koma itu. Ajakan-ajakan saya kepada beberapa seniman tak
dipercaya begitu saja. Niat mendirikan kelompok teater baru, nyaris dicurigai. Seakan-
akan saya hendak mendirikan partai baru. Ketika beberapa seniman kemudian ikrar
bergabung, masalah yang timbul berbeda pula. Setiap saat, kemampuan saya
menyutradarai selalu diuji. Naskah yang sudah ada, seringkali drama karya saya sendiri,
juga seringkali tidak begitu memuaskan dan harus selalu dikoreksi.

Di lapangan, banyak benturan saya temui. Sebagai penulis, pendekatan saya


lebih condong kepada imajinasi. Padahal, kenyataan panggung dan kemampuan
para aktor juga harus dipertimbangkan. Belum lagi kemampuan pembiayaan
yang harus diperhitungkan pula. Sebagai sutradara, saya harus menimbang
banyak hal dari berbagai sudut. Dan tanpa ragu saya bisa merombak naskah,
disesuaikan kembali berdasar kenyataan lapangan. Untunglah, untuk itu saya tak
perlu meminta izin. Tapi segala peristiwa di dalam perjalanan proses kreatif itu,
saya anggap sebagai sekolah. Saya menyerap semua masalah dan
menjadikannya sebagai pembelajaran.

Teater Koma tidak lahir di sebuah panggung yang sudah tersedia. Pada masa awal,
tempat latihan berpindah-pindah. Mulanya seorang simpatisan menyediakan beranda
rumahnya. Jika tamu datang, terpaksa kami menyingkir ke area parkir atau halaman
depan. Sering kami berlatih di garasi mobil yang sempit milik seorang anggota. Akhirnya
kami berlatih di halaman depan sebuah restoran. Selama masa empat bulan latihan, pada
bulan pertama kami harus berganti-ganti pemain. Mereka mengundurkan diri karena tidak
tahan berlatih dengan cara nomaden seperti itu.

Di benak saya, timbul lagi satu kesimpulan. Tempat latihan ternyata bukan hal yang
utama. Yang paling penting, justru, konsentrasi. Dan komitmen. Di dalam latihan,
konsentrasi harus tajam dan terarah. Setiap kali latihan, pasti ada penonton tidak resmi
yang kemudian berkomentar. Saya mengambil sisi baiknya. Paling tidak, komentar mereka
bisa dianggap sebagai uji coba awal sebelum kami menggelar pentas di hadapan
masyarakat yang lebih luas.

Secara sadar saya melatih pemain untuk menghadapi penonton, di sebelah mana pun
mereka menonton. Itu prinsip bermain dalam ‘teater arena’. Soal kondisi tempat latihan,
kami menerima dengan iklas. Saya selalu mengandaikan penonton ada di sekeliling area
permainan. Lalu mencari cara paling efektif agar semua dialog ‘sampai’ ke hati para
penonton. Dengan demikian, komunikasi menjadi sangat penting. Itu cara bermain para
aktor teater rakyat dalam menghadapi audiens-nya.

Jika perkembangan Teater Koma disimak, maka nampak jelas kesulitan saya dalam
mempersiapkan sebuah pentas. Pemain-pemain saya berasal dari kelompok teater yang
berbeda-beda disiplin dan keyakinannya. Cara mereka meyakini dan melatih pendekatan
terhadap karakter berbeda pula. Warna dialog mereka, jelas masih milik grup di mana
mereka berasal. Tapi saya yakin, bakat mereka besar.

Saya tidak mengubah cara mereka mengucap dialog, tapi memberikan


pemahaman. Manfaat yang bisa saya petik adalah, semua berlomba menyajikan
yang terbaik. Suatu persaingan sehat sengaja saya provokasi. Hasilnya optimal.
Dalam hampir semua naskah yang saya tulis, selalu ada peluang untuk bermain
bagus, sekecil apa pun peran di dalam naskah itu. Peluang itu kemudian digarap
dalam penyutradaraan.

Seringkali, seorang pemain, baru menyadari bahwa perannya sangat bagus,


tepat pada malam pertama pementasan. Soal sesudahnya dia bermain bagus
atau tidak, itu masalah lain. Yang penting dia sudah menyadari dan selanjutnya
tidak akan lagi menganggap remeh peran apa pun. Jika dia mau berlatih dengan
keras, apa pun peran yang dimainkan, pasti akan dirasakan juga ‘kehadiran’-
nya. Akan dikenang oleh diri sendiri dan penontonnya.

Teater Koma memang tidak memulai dari nol samasekali. Aktor-aktrisnya, sebagian
besar memiliki pengalaman bermain. Entah di panggung atau di dunia film. Tantangan saya
yang terberat adalah menciptakan sebuah kesatuan bahasa pentas, dengan kekayaan yang
sumbernya berasal dari berbagai perbedaan. Tujuannya adalah memunculkan daya tarik
yang unik dan menggoda. Semangat kerjasama kekeluargaan dan kekompakan, juga harus
senantiasa saya kondisikan.

Teater yang baik lahir dari ide yang baik, terkonsep, kerjasama, disiplin dan
tanggungjawab. Disiplin? Ya, tapi bukan kediplinan yang kaku atau semu. Kegembiraan
dalam kebersamaan bekerja, bisa dicipta oleh suasana saling menghargai dan saling
mengisi. Kepentingan pertunjukan bukan melulu kepentingan satu individu, melainkan
kepentingan kelompok. Jika hal semacam itu berhasil ditumbuhkan, rasanya tak perlu lagi
ragu-ragu merencanakan sebuah pementasan.
Bagi orang teater, kesimpulan di atas juga bukan hal yang baru. Sudah sejak lama itu
diketahui. Tapi makin menekuni kerja teater, semakin saya yakin bahwa hal itulah yang
justru berperan sangat penting dalam meraih keberhasilan.

Ambillah sebagai contoh, sebuah orkes simfoni. Ketika musik dimainkan, apa
yang terjadi jika salah satu instrumen (misal, marakas atau triangle) tidak
dibunyikan? Dan itu terjadi karena pemegang instrumennya mengantuk atau
tertidur? Akibatnya, seluruh orkestra akan rusak atau cacat. Penonton yang jeli
akan pulang dengan membawa kesan buruk. Marakas atau triangle hanya
sebuah instrumen yang kecil bentuknya dan nampak seakan tak berarti. Tapi,
begitu komposer menetapkan bunyi itu dalam komposisi musiknya, dia memiliki
nilai. Dia adalah bagian dari orkes. Dan penting.

Tak beda dengan kerja penyutradaraan dalam perencanaan pentas. Jika sudah
direncanakan sejak awal, semua materi memiliki nilai artistik yang sama besar.
Apa pun yang ada di atas panggung, pasti berguna karena memang digunakan.
Baik untuk kepentingan permainan atau untuk kebutuhan tata-rupa (visual). Jika
dianggap tidak penting, tentu tak akan dihadirkan di atas panggung.

Lenong, ketoprak, masres (sejenis ketoprak di Cirebon), wayang orang, wayang golek,
wayang kulit, tarling (gitar dan suling) dan cemeng (semacam ubrug), mempengaruhi
bentuk teater saya. Malah, hampir semua jenis teater rakyat yang pernah saya tonton,
punya andil dalam membentuk penyajian teater yang saya yakini. Jejer wayangkulit dan
wayanggolek, sering saya gunakan untuk memecahkan bloking permainan. Jejer, adalah
komposisi yang diam dan sunyi tapi indah dan mengandung dinamik yang unik. Berbicara
tanpa banyak gerak, rasanya lebih menyiratkan dinamik laten masyarakat kita. Salah satu
kekuatan dari ‘gerak’ kehidupan. Bukankah pernah kita dengar ungkapan ‘marah dalam
diam’? Dalam hal ini, memang, apa boleh buat, dibutuhkan seorang aktor.

Tarling, suatu bentuk seni musik di pesisir Cirebon, juga mewarnai musik
teater saya. Gaya pengadeganan masres, ketoprak, lenong, opera bangsawan
dan komedie stamboel, saya coba kembangkan sehingga akhirnya menjadi ‘gaya
Teater Koma’.

Teater rakyat memang banyak ragamnya. Baru beberapa saja yang bisa saya pahami.
Sampai saat ini, saya masih berburu berbagai kemungkinan. Kelak saya berniat
membaurkan semua kemungkinan teatral itu menjadi sebuah bentuk dan gaya yang mudah-
mudahan akan menjadi ciri dari teater saya. Ciri yang tidak mandek pada sebuah titik, tapi
berkembang dan menciptakan kemungkinan yang berbagai-bagai. Saya ingin membaurkan
apa yang pernah saya serap. Saya ingin melahirkan semacam ‘adonan teatral’ yang bukan
saja ‘sedap dipandang’, ‘enak dinikmati’ dan ‘menyatu’, tapi juga intim dengan
masyarakatnya. Dekat. Akrab. Dan bermakna.

Dengan jujur, tanpa kehendak merusak apa yang sudah kita miliki, barangkali teater
saya (dengan ciri itu) kelak akan berdiri sejajar dengan sumber-sumber yang sudah
mengilhami saya. Wujud dan isinya, secara keseluruhan, akan tetap memiliki perbedaan.
Juga isi pikiran dan tujuannya. Tapi roh dan semangatnya tetap berakar kepada semangat
rakyat dan tradisi. Kesederhanaan akan muncul sebagai sifatnya yang utama. Tapi
kemiskinan dan keterbatasan tak akan menghambat kehadirannya.

Hal itu hanya dimungkinkan oleh hadirnya sebuah grup teater yang kompak.
Yang kian lama semakin dewasa dan matang, terus belajar dan mencari.
Tapi melihat kenyataan yang ada, hal itu rasanya mustahil. Bukankah Teater Koma
hanya sebuah grup teater amatir? Anggotanya sebagian besar tidak bekerja hanya untuk
teater. Mereka berkumpul pada sore hari. Dan selama 4 jam sehari, 5 hari seminggu,
berlatih menyiapkan sebuah pentas teater. Bisakah harapan saya terwujud? Memang,
belum bisa saya jawab sekarang.

Dalam setiap naskah saya, selalu ada lirik. Bisa diucapkan begitu saja, seperti
sebuah dialog yang dipuisikan secara ritmis, tetapi bisa juga dinyanyikan,
dirangkum menjadi lagu dan dimusiki. Saya cenderung menulis naskah-naskah
yang punya kemungkinan dinyanyikan. Nyanyian, bisa sebuah rangkaian melodi
yang sendu atau manis. Meski bisa juga merupakan kumpulan nada-nada yang
sumbang, atau menggebrak dengan garang.

Saya merasa, ‘pesan’ tertentu bisa lebih merasuk ke hati lewat nyanyian. Mungkin gaya
‘bernyanyi’ ini, kelak akan menjadi salah satu warna teater saya. Saya tengah
mengembangkannya. Bukankah kita memiliki jenis teater tradisional yang bentuknya
seperti itu? Langendriya atau Langendriyan, misalnya, dikenal sebagai bentuk ‘opera Jawa’
yang khas. Sebagian adegan dalam wayang orang, juga dinyanyikan. Opera Bangsawan dan
makyong, meyakini bentuk ekspresi yang serupa pula.

Benturan yang saya hadapi adalah, terutama, saat ini saya tak memiliki aktor-aktris
yang bisa bermain sekaligus juga bisa bernyanyi. Saya juga tidak memiliki kelompok musik
dan pencipta lagu handal yang memahami konsep teater saya.

Dalam salah satu naskah saya, ada sebuah adegan kematian. Pacar seorang gembel yang
wadam, mati tergencet bus di terminal. Musibah terjadi ketika sang pacar sedang mencari
puntung rokok. Adegan itu adalah adegan untuk si wadam. Dia harus menumpahkan
segenap kesedihan lewat nyanyian. Lagu dan musik untuk adegan itu sudah disiapkan. Mau
tak mau, si pemeran wadam harus menyanyi.

Bakat menyanyi si pemeran wadam, biasa-biasa saja. Suaranya sumbang.


Tubuhnya kurang lentur dan gaya permainannya tidak istimewa. Dan yang paling
celaka, dia memang tidak bisa bernyanyi. Lalu, apa yang harus saya lakukan?
Setiap kali latihan, adegan itu bagai duri dalam daging. Dan mungkin
permainannya akan buruk jika saya terus bersikeras. Sudah jelas, si pemeran
wadam tak akan mampu memenuhi apa yang saya ingin. Modalnya sebagai
pemain sangat kurang. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari, juga tidak
bisa bermain sambil menyanyi.

Selama satu bulan, latihan berjalan sendat dan selalu mandek pada adegan
itu. Adegan sering dia wujudkan dengan air mata yang berderai-derai. Saya
bilang, bukan air mata yang diinginkan adegan, tapi keharuan. Sebuah
permainan dalam, yang getir. Dan dari kegetiran, penonton bisa tertawa sambil
menangis. Itulah kehidupan kita. Konyol dan getir. Mungkin permintaan saya
keterlaluan. Karena dia tetap tidak mampu melakukan apa yang saya minta.

Akhirnya saya mengambil sebuah ‘alternatif’ yang agak riskan. Saya bebaskan dia dari
semua ikatan; musik, not, ritme, ketukan, nada dan nyanyian. Dia boleh mengucapkan
dialognya dengan bunyi yang dia rasa benar. Saya berharap, melodi atau ‘nyanyian’ akan
tercipta dengan sendirinya.
Ternyata, hasilnya di luar dugaan. Langkah ‘alternatif’ itu menemukan
jalannya. Dia mampu bergerak dengan lebih bebas. Tak ada lagi ikatan.
Tubuhnya meliuk-liuk lentur dan sumbangnya ‘nyanyian’ tak terasa lagi.
Kesedihan, yang ‘dinyanyikan’, sangat meyakinkan. Adegan kematian itu sudah
menjadi miliknya, bukan lagi milik naskah dan sutradara.

Dalam pementasan, dia sangat menguasai panggung. Permainannya total dan tuntas. Dia
mampu mewujudkan apa yang saya ingin; kekonyolan yang getir. Geraknya yang kadang
karikatural, sanggup mencipta lubang-lubang respons bagi penonton. Keharuan malah lebih
muncul. Penonton tertawa sambil menangis. Dia jadi idola. Ternyata, kelemahannya
adalah juga kekuatannya. Dan kekuatan itu berhasil dimunculkan saat berbagai aturan
yang dirasakan sebagai ikatan, telah dilonggarkan dan diganti dengan pegangan bermain
yang lebih dekat dengan kemampuannya. Dia adalah aktor Salim Bungsu, pemeran wadam
dalam J.J (1979) dan Kontes 1980.

Dengan kata lain, pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa seorang pemain
yang paling lemah pun, jika kelemahannya dimanfaatkan secara tepat maka
kelemahannya justru akan menjadi kekuatannya. Sutradara, di dalam hal ini,
harus berlaku sebagai pemandu dan bukan sebagai instruktur yang mendikte.
Sutradara harus mengarahkan secara luwes apa yang pemain mampu lakukan,
yang nampak dari luar seakan sebagai kompromi, padahal itu jalan keluar yang
simpatik dan memiliki daya kekuatan untuk mencipta kekayaan permainan.

Itu, juga salah satu cara saya dalam membina pemain. Memberikan
pemahaman. Menyadarkan kekuatan yang sesungguhnya sudah dimilikinya.
Cara itu bisa lebih mengenai sasaran dibanding kukuh menggariskan ketentuan
baku. Bukankah saya bekerja dengan pemain-pemain amatir? Dan adakah
pemain yang profesional di Indonesia? Dengan pengertian, sanggup
memerankan apa saja, dan karenanya dia memperoleh honorarium yang besar
dari pekerjaannya? Bisa hidup dari pekerjaannya? Di negara kita, setahu saya,
saat ini, belum ada profesionalisme semacam itu untuk teater.

Memang, seorang aktor seharusnya sanggup mengontrol badan dan jiwa-nya, raga dan
sukma-nya. Dia harus sanggup menggerakkan anggota tubuh bahkan yang paling halus
sekalipun. Alat seorang aktor adalah raga dan sukma-nya. Alat itu harus bisa dimainkan
dengan menarik, bebas, rileks, indah, dalam, bermakna. Dan di atas panggung, aktor harus
bermain bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk penonton.

Di masa lalu, seorang pemikir teater pernah menulis; “Pemain harus mereflektir bukan
hanya refleksi dari imitasi kehidupan, tapi juga harus mempersembahkan idealnya dimana
persembahannya itu harus menyatu sebagai suatu kebenaran, ditambah dengan
keindahan”.

Tapi seorang aktor Komedie Stamboel juga pernah menyatakan pendapatnya dengan
contoh sangat sederhana; “Jangan biarkan penonton mengalihkan perhatiannya dari
permainanmu. Jika penonton sempat makan kacang pada saat kau bermain, kau boleh
menangis, sebab permainanmu sudah gagal”.

Intinya, permainan harus mencipta daya pikat dan daya magnit. Padahal di
setiap pentas teater rakyat, penonton bisa juga menikmati pertunjukan sambil
minum wedang jahe dan makan kacang. Sementara di sebuah sudut gelap
orang-orang asyik bermain dadu koprok, pentas masres tetap berjalan hingga
subuh tanpa merasa terganggu.

Ada sutradara teater yang berpendapat bahwa, pertunjukan bisa jelek dan
membosankan jika kurang latihan. Sementara itu, lenong, ketoprak, masres dan
Srimulat mampu menampilkan tontonan menarik hanya dengan latihan sesekali
bahkan tanpa latihan. Jadi, mana yang harus dipilih? Mana yang benar? Teater
masa kini, memiliki naskah yang harus dihafal dan dilatih.

Saya memilih gabungan cara dari keduanya. Latihan naskah (atau tidak dengan naskah)
mutlak perlu. Tapi saya menghindarkan diri bekerja secara mekanis dan dengan cara yang
rutin. Latihan-latihan harus ada dalam suasana segar dan gembira. Jika tidak, perasaan
bisa tertekan dan hasilnya akan berbalik menjadi buruk, kosong. Malah bisa sia-sia.

Latihan harus didorong oleh niat ‘ingin berlatih’. Jika tidak, maka latihan hanya
merupakan pengulangan tanpa pengembangan. Pernah terjadi, latihan naskah
tidak saya lakukan karena beberapa aktor nampak lesu. Kemudian, waktu saya
manfaatkan untuk membicarakan apa saja. Yang ringan dan yang lucu. Semua
boleh saling memaki asal tidak membikin sakit hati. Hari itu, ruang latihan penuh
ger. Kami tidak berlatih tapi berkeringat. Esok harinya, kesegaran nampak
kembali. Daya berlatih malah tambah besar berkali lipat.

Sejak pentas perdana, saya menulis naskah drama untuk kebutuhan grup. Setiap kali
menulis naskah, saya tahu siapa akan bermain sebagai apa. Biasanya, sebelum saya
menulis, saya ajak para calon pemeran membahas lakon. Lalu saya mengkaji-kaji
kemampuan mereka. Bahkan bisa terjadi saya mengganti pemeran di tengah perjalanan
latihan. Mungkin karena saya anggap kurang cocok. Dan hal itu sering terjadi.

Untuk itu, saya selalu meminta supaya mereka sudi berbuka hati dan menerima
kenyataan. Rasa tersinggung adalah salah satu segi yang bisa membahayakan emosi dan
kekompakan sebuah kelompok. Apalagi pada dasarnya manusia selalu ingin diakui sebagai
yang serba bisa. Padahal tentu saja, tidak selalu seperti itu.

Itu sebabnya, setiap produksi selalu melewati proses latihan yang panjang. Keuntungan
memiliki kelompok adalah, saya mengenal kekuatan dan kelemahan setiap anggota. Semua
segi tak luput dari pengamatan. Cara yang saya pakai adalah membuka pintu peluang
lebar-lebar, agar pemain berkembang mandiri. Tapi tentu ada koridornya; ukuran estetik
dan artistik.

Dan, ini yang paling penting, saya memupuk keberanian agar mereka memiliki rasa
percaya pada kemampuan sendiri. Yang saya butuhkan, inisiatif. Sehingga tanpa instruksi
pun, pekerjaan teater bisa dilakukan. Kalau hal itu sudah dimiliki, maka tanggungjawab
dan disiplin akan lahir dengan sendirinya. Lalu teater akan menggelinding tanpa harus
dikomandoi. Bergerak tanpa bisa dicegah lagi. Hidup. Indah. Bermakna.

Sebuah ide adalah biaya. Sebuah biaya adalah kumpulan jerih payah. Jerih
payah bisa mencipta sebuah hasil. Dan sebuah hasil adalah kemenangan atau
kekalahan. Hal itu, nyaris merupakan sebuah aksioma.

Pementasan yang lengkap, biasanya adalah pementasan yang mahal. Tapi pementasan
yang mahal belum tentu pementasan yang berhasil. Pementasan teater tidak hanya
ditunjang oleh sutradara dan pemain saja. Ada tata cahaya, set-dekor, property,
koreografi, olah-suara, musik, efek spesial, busana dan rias wajah, juga manajemen
produksi (termasuk publikasi dan penjualan karcis). Dan jangan lupa, penonton. Semua
unsur ikut menunjang keberhasilan pementasan.

Teater tidak digarap hanya untuk disimpan di dalam kamar. Teater harus
dinikmati bersama audiens. Dengan begitu kehadirannya menjadi lengkap. Untuk
bisa ditonton, teater membutuhkan tempat di mana seluruh penonton bisa
berkumpul dan bersama-sama melakoni sebuah peristiwa teater. Tapi untuk
melaksanakan semua itu, memang dibutuhkan biaya. Lalu dari mana biaya bisa
didapat?

Jika biaya tak memungkinkan untuk mewujudkan pementasan yang lengkap, tak perlu
cemas dan putus-asa. Kalau niat kuat untuk ‘menyampaikan sesuatu’ lewat teater, segala
kemungkinan bisa ditempuh. Tak perlu bingung jika fasilitas tata cahaya tidak memadai,
gedung berakustik buruk, kostum mahal biayanya. Manusia memiliki akal. Demikian pula
para seniman. Selalu ada alternatif. Justru di sini letak keseniannya. Kemiskinan sebaiknya
jangan jadi penyebab kegiatan berteater stop. Grotowski sudah membuktikannya. Dia
melahirkan konsep ‘teater miskin’. Lagipula, bukankah sejak dulu, teater kita miskin? Jadi,
mengapa harus dipersoalkan lagi?

Uniknya pementasan teater, juga berarti keunikan pencarian jalan keluar dari berbagai
hambatan. Segalanya dikembalikan kepada diri sendiri. Kuatkah dorongan berteater? Atau
lemah? Bukan melulu dari keserbaadaan muncul karya-karya besar, tapi biasanya, justru
dari yang mulanya tak ada. Berawal dari kosong. Teater adalah karyacipta dari yang tiada
menjadi ada.

Tapi, sesungguhnya, orang teater kita tak memulainya samasekali dari nol.
Jakarta punya Pusat Kesenian Jakarta-TIM dan 5 gelanggang remaja. Daerah
membentuk dewan-dewan kesenian dan pusat kesenian. Pemda membangun
gedung teater dan berbagai venue. Meski sering dipakai untuk acara pernikahan,
sedikitnya gedung sudah ada. Puluhan tahun yang silam, saat belum banyak
gedung teater, teater tetap bisa bergerak dan hidup. Berbagai pertunjukan yang
bagus dan baik, lahir pula.

Jika ada orang teater mengeluhkan tempat latihan, gedung pertunjukan, subsidi
pemda yang terlalu kecil dan apresiasi penonton yang buruk, maka dia adalah
orang teater yang malas. Mungkin lebih baik dia bekerja di bidang lain. Dunia
teater tak cocok baginya. Selalu mengharapkan bantuan hanya sifat manja.
Dengan adanya subsidi, memang kondisi teater menjadi agak lebih baik. Tapi itu
bukan satu-satunya penyebab lahirnya teater yang baik.

Teater tidak harus lahir di pusat-pusat kesenian. Dia bisa lahir di pojok-pojok tempat
pelacuran, di gudang sumpek, di tanah lapang yang becek, di hall penjara, atau di jalanan.
Segalanya mungkin. Dan hanya orang teaterlah yang bisa melahirkan kegiatan berteater.

Jadi, persoalannya memang hanya; mau atau tidak? Mampu atau tidak? Sesudah mau
dan mampu, pertanyaan berikut adalah; punya daya tahan atau tidak? Jika tidak punya
stamina, tanpa disuruh berhenti pun akan segera minggir dan menghentikan semua
kegiatan berteater. Dan teater tak pernah kuatir karenanya. Hilang satu, yang lain akan
segera menggantikan.
Kelompok teater yang kompak bisa menjawab tantangan semacam itu. Orang
teater yang teguh hati akan terus bekerja dan tidak mudah putus-asa.

Dengan sigap dia akan menggantikan sesuatu yang sukar diperoleh dengan alternatif
yang punya nilai estetik dan artistik serupa. Dia akan tahan menghadapi hantaman badai
waktu dan dengan gembira tetap bekerja. Dia akan tampil dengan tegar dan jiwa besar,
meski pakaian dan kehidupannya compang-camping. Keseniannya bagai rangkaian upacara
ritual yang memang sulit dilaksanakan tapi bukan berarti kemandekan. Dia bekerja.
Kesimpulan-kesimpulannya adalah hasil kerjanya dan bukan hanya keinginan di dalam hati
atau di atas kertas saja. Kenikmatan-kenikmatan artistik yang diperoleh adalah
kenikmatan yang tuntas. Kenikmatan ketika sambil tersenyum dia berkata, ‘Dan kesulitan
mana lagi yang harus saya hadapi?’

Baginya, teater merupakan kawasan tanpa istirahat. Teater bak peperangan


tanpa selesai, yang akan dilewati tanpa keluh kesah, tanpa kerut dahi.

Di dunia teater, mungkin dia seniman. Tapi di luar dunia teater, dalam kehidupan
sehari-hari, dia juga manusia, anggota dari masyarakat yang lebih besar. Manusia yang
lebur dalam persoalan yang juga dialami oleh mereka yang tidak bekerja di dunia teater.
Dia tak akan mengeluh jika diberi tugas oleh ketua RT/RW untuk ikut siskamling atau kerja
bakti, misalnya. Sebagai anggota kelompok masyarakat, semua orang memiliki tugas dan
kewajiban sosial yang harus dikerjakan. Tak ada prioritas. Orang teater sejati, tidak akan
mengasingkan diri. Dia ada dan hadir di tengah masyarakatnya. Sebab, justru di situlah
letak inti sumber dari daya kreatifnya.

Teater Koma sedang menyiapkan diri ke arah maksud-maksud seperti itu.


Teater Koma, berniat mewujudkan ide-ide yang nampak sepele, tapi dasar
pijakannya kuat dan punya akar. Berniat menjadi daya semangat. Dan ibarat
sumber air, senantiasa memancarkan kejernihan, kemudian menggenang jadi
telaga. Jadi wadah kehidupan bagi ikan-ikan serta mahluk air lainnya.
Keseniannya ibarat remah-remah nasi bagi seorang gembel, dan rempah-rempah
dalam masakan. Posisinya bagai sebatang rumput dari kumpulan rumput di
padang rumput. Hadir, akrab dan intim dengan masyarakatnya.

Teaternya adalah gabungan dari teater masa lalu dan berbagai pemikiran masa kini.
Meski begitu, ada kesadaran, bahwa, untuk mewujudkan hasil seni pertunjukan yang baik,
jelas dibutuhkan proses serta perjalanan yang panjang. Tapi, tidak perlu tegang dan
tergesa-gesa.

Jika tetap bekerja keras, waktu jua yang akan menjawab, apakah hal itu mungkin atau
tidak mungkin. Saya merasa yakin, mungkin terwujud. Rahasianya: selalu bekerja keras.
Disiplin. Bertanggungjawab. Gigih. Jujur. Tulus. Luwes. Dan semua persyaratan itu baru
ada jika ada komitmen.

Catatan ini saya tulis pada 10 Januari 1980. Dan kelak, semoga tetap dipakai
oleh kelompok sebagai dasar dalam menyikapi kesenian dan kebudayaan. Ada
Kode Etik yang merupakan pegangan hati jika secara tulus berikrar menjadi
anggota Teater Koma.
KODE ETIK TEATER KOMA

ETIKA
1. Tulus Menghargai dan Berterimakasih kepada Alam dan Kehidupan.
2. Tahudiri, Memahami, Tidak Membenci.
3. Jujur, Tenggangrasa, Mencintai Sesama.
4. Yang Tua menghargai Yang Muda, Yang Muda menghargai Yang Tua.
5. Bersikap dan Bertindak Tepat, Pada Waktu, Tempat dan Suasana yang Tepat.
6. Percaya TEATER adalah Jalan Menuju Kebahagiaan.
7. Berwatak Bagai Air: “Senantiasa berupaya berada di tempat rendah, jika
terhambat berhenti sejenak, lalu bergerak ke kiri atau ke kanan atau merembes
dan muncul di sebalik hambatan, kemudian BERJALAN menuju TUJUAN; memaknai
Lautan”.

SETIA
1. Setia kepada Hati Nurani.
2. Setia kepada Tugas dan Pekerjaan.
3. Setia kepada Tanggungjawab, Kerjasama dan Kedisiplinan.
4. Setia kepada Kelompok dan Rumah Kelompok.
5. Setia kepada Tujuan; KEBAHAGIAAN.

GUYUB
Anggota adalah Matarantai Enerji Kreatif Dalam Ikatan Persaudaraan Berdasar KASIH.
TEATER KOMA

Didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977.

Hingga 2008, sudah menggelar 115 pementasan, baik di televisi maupun di panggung.
Sering melakukan kiprah kreatifitasnya di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki,
TVRI dan Gedung Kesenian Jakarta.

Perkumpulan Kesenian yang bersifat non-profit ini, mengawali kegiatan dengan 12


seniman (kemudian disebut sebagai Angkatan Pendiri). Kini, kelompok didukung oleh
sekitar 30 anggota aktif dan 50 anggota yang langsung bergabung jika waktu dan
kesempatannya memungkinkan.
TEATER KOMA banyak mementaskan karya N. Riantiarno. Antara lain;

Rumah Kertas, Maaf.Maaf.Maaf., J.J, Kontes 1980, Trilogi OPERA KECOA (Bom Waktu,
Opera Kecoa, Opera Julini), Opera Primadona, Sampek Engtay, Banci Gugat, Konglomerat
Burisrawa, Pialang Segi Tiga Emas, Suksesi, RSJ atau Rumah Sakit Jiwa, Semar Gugat,
Opera Ular Putih, Opera Sembelit, Samson Delila, Presiden Burung-Burung, Republik
Bagong, Republik Togog, Tanda Cinta.

Juga menggelar karya para dramawan kelas dunia; The Comedy of Error dan Romeo
Juliet karya William Shakespeare, Woyzeck/Georg Buchner, The Three Penny Opera dan
The Good Person of Shechzwan/Bertolt Brecht, Orang Kaya Baru-Kena Tipu-Doea Dara-Si
Bakil-Tartuffe/Moliere, Women in Parliament/Aristophanes, The Crucible/Arthur Miller,
The Marriage of Figaro/ Beaumarchaise, Animal Farm/George Orwell, Ubu Roi/Alfred
Jarre, The Robber/Freidrich Schiller, The Visit/Der Besuch der Alten Damme/Kunjungan
Cinta/Friedrich Durrenmatt, What About Leonardo?/Kenapa Leonardo?/Evald Flisar.

TEATER KOMA, kelompok teater yang independen dan bekerja lewat berbagai pentas
yang mengkritisi situasi-kondisi sosial-politik di tanah air. Dan sebagai akibat, harus
menghadapi pelarangan pentas serta pencekalan dari pihak yang berwewenang. Berbagai
upaya juga dilakukan lewat ‘program apresiasi’ (PASTOJAK, Pasar Tontonan Jakarta, yang
digelar selama sebulan penuh di PKJ-TIM, Agustus 1997, diikuti oleh 24 kelompok kesenian
dari dalam dan luar negeri). Kelompok senantiasa berupaya bersikap optimistis. Berharap
teater berkembang dengan sehat, bebas dari interes-politik praktis dan menjadi tontonan
yang dibutuhkan berbagai kalangan masyarakat.

TEATER KOMA yakin, teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu
keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. Jujur,
bercermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk mengasah daya akal
sehat, daya budi, dan hati nurani.

TEATER KOMA adalah kelompok kesenian yang konsisten dan produktif. Juga tercatat
memiliki banyak penonton yang setia. Pentas-pentasnya sering digelar lebih dari 2 minggu.
Regenerasi Teater Koma

Kegiatan TEATER KOMA diawali dengan dukungan Angkatan Pendiri/1977, yang terdiri dari 12
seniman. Sesudah itu, angkatan demi angkatan lahir. Yang paling bungsu, Angkatan X/2005.

Tanpa gembar-gembor, tanpa publisitas yang provokatif, pada kenyataannya, TEATER KOMA telah
banyak melahirkan aktor-aktris, sutradara, penulis drama, pemusik teater, desainer artistik, desainer
pencahayaan, penata grafis, penata busana, penata rias dan rambut, penata teknik pentas, pimpinan
panggung, dan pimpinan produksi. Keahlian mereka, kini dimanfaatkan secara optimal oleh para
penggiat seni pertunjukan. Inilah anugerah yang patut disyukuri. Sumbangan berharga bagi
perkembangan seni pertunjukan di Indonesia.

Angkatan Pendiri/1977, sebagian besar memiliki pengalaman pentas sebelum bergabung dan
mendirikan TEATER KOMA. Sandiwara pertama yang digelar, Rumah Kertas karya N. Riantiarno,
jadi ajang yang mempersatukan visi dan impian bentuk yang kelak menjadi bentuk-biang (meski tetap
‘terbuka’ terhadap kemungkinan pengembangan). Yakni, bentuk yang coba mengadaptasi warna-lokal
lalu mengawinkannya dengan teknik pentas teater-Barat. Drama musikal, menjadi bentuk yang
diyakini bisa mewadahi keinginan itu. Kita tahu, seni pentas di berbagai daerah di Indonesia, memiliki
tradisi gerak dan musik.

Pengetahuan seni pentas (juga sejarah teater dan sastra drama), mulai diajarkan kepada Angkatan
II/1978, dan angkatan seterusnya. Berbagai tokoh, pakar di bidangnya, diundang datang untuk berbagi
pengalaman dengan para calon seniman yang ikrar menjadi anggota TEATER KOMA. Selain
pengetahuan teater, diprioritaskan bahan-bahan lain yang melengkapi. Antaranya; apresiasi psikologi,
pengantar antropologi, sosiologi, senirupa, bahasa-sastra dan filsafat. Apresiasi Musik dan Tari,
dipandu pakar, saat kelompok menggelar produksi.

Patut diakui, TEATER KOMA, bukan akademi atau lembaga pendidikan seni yang formal. Kelompok,
hanya paguyuban atau semacam perkumpulan kesenian yang bahkan belum memiliki sistem
penerimaan anggota baru. Maka tidak heran, jika semua pengetahuan seni teater, diserap secara acak
dan tidak tersistem. Kurikulum dan silabus pun disusun hanya berdasar kebutuhan pementasan.

Sistem penerimaan calon anggota dan pembelajaran seni-teater, baru agak terkoordinasi pada Angkatan
VIII/1994. Sejak 1994, tidak semua orang bisa menjadi calon anggota TEATER KOMA. Mulai ada
seleksi, dipilih dari formulir pendaftaran/lamaran yang masuk. Tapi, yang terseleksi pun, masih harus
menghadapi lagi beberapa wawancara khusus dan psikotes. Biasanya, dari sekitar 30 pelamar yang
dipanggil, paling banyak hanya 17 calon yang diterima.

Calon anggota wajib mengikuti pelatihan dasar teater selama satu semester, enam bulan. Tidak
dipungut biaya sepeser pun. Meski sering kesulitan dalam pembiayaan pembelajaran, kelompok
menyadari hal itu sebagai resiko tak terelakkan dari sebuah upaya ‘regenerasi’ yang swadaya. Meski
begitu, ada biaya yang ditagih dari para calon anggota. Yakni; kedisiplinan, ketekunan dan tahan
banting. Ikrar menjadi anggota TEATER KOMA, bukan tindakan main-main. Ikrar ibarat janji. Dan
janji harus ditepati, apa pun resikonya.

Sesuai tradisi, calon anggota tidak dilibatkan dalam produksi yang tengah digelar kelompok. Tugas
mereka hanya belajar. Jika dilibatkan pun, paling bekerja di belakang panggung. Setelah satu atau dua
tahun, ‘angkatan baru’ diuji dalam sebuah pementasan. Inilah yang kemudian dianggap sebagai
jembatan menuju jenjang ‘kelulusan’ mereka sebagai anggota TEATER KOMA.

Angkatan IV/1980, diuji dalam Opera Ikan Asin, 1983. Angkatan V/1984, diuji dalam pagelaran Opera
Kecoa, 1985. Angkatan VI/1989 dan VII/1990, diuji dalam Suksesi, 1990. Angkatan VIII/1994, diuji
dalam Semar Gugat, 1995. Dan Angkatan IX/2000, diuji dalam Republik Togog, 2004. Mereka
dianggap ‘lulus’ secara memuaskan. Sesudah ‘lulus’, mereka tidak lagi hanya bertanggungjawab
kepada kelompok, tapi sekaligus juga bertanggungjawab kepada masyarakat.

Sejak 1977, setiap tahun TEATER KOMA menerima anggota baru. Angkatan II diterima pada 1978
dan Angkatan III, 1979. Idealnya, memang begitu. Tapi, sesudah 1979, penerimaan anggota baru tidak
lagi dilakukan setahun sekali. Sejak Angkatan IV/1980, jarak waktu masing-masing angkatan, sekitar
empat atau lima tahun. Meski begitu, penerimaan ‘angkatan baru’ tetap dilakukan pada awal bulan
Maret, sesuai saat kelahiran TEATER KOMA, 1 Maret 1977.

Jarak waktu yang panjang, dikarenakan oleh berbagai hal. Upaya regenerasi yang swadaya,
menyebabkan biaya pembelajaran menjadi salah satu kendala. Juga dibutuhkan konsentrasi
pembelajaran dan pelatihan yang terpadu agar angkatan baru bisa hadir lebih matang, dengan dasar
yang lebih kuat. Waktu setahun, terlalu pendek untuk mempersiapkan lahirnya seniman teater.

Kini, Angkatan IX/2000 kembali diuji dalam Sampek Engtay 2005. Mereka bekerja bahu-membahu
dengan adik-adiknya, Angkatan X/2005. Budi Sobar, Edi Sutarto dan Sari Madjid -- mentor angkatan
paling bungsu -- menjamin ‘anak didiknya’ mampu menjalani ujian lewat pementasan ini dan akan
menyajikan tontonan yang sama menarik dengan Sampek Engtay sebelumnya.

Regenerasi, hal yang niscaya. Mustahil dihindari. Para senior TEATER KOMA, kini telah melewati
usia 40 bahkan 50 tahun. Mengingat hal tersebut, kini, TEATER KOMA juga menyelenggarakan
kegiatan Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, sebulan sekali, selama dua hari. SAMA SEKALI TAK
DIPUNGUT BAYARAN alias GRATIS. Kegiatan Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, dimulai
November 2005. Para peserta setiap workshop, dibatasi hanya sekitar 30 siswa.

Pelajar SMU, bisa mendaftar dan menjadi wakil dari sekolah masing-masing. Tentu atas seizin guru
dan orangtua. Dari setiap sekolah, hanya akan dipilih paling banyak 3 peserta saja. Sehingga,
diharapkan, setiap workshop akan diikuti oleh sekitar sepuluh atau duabelas sekolah. Yang tidak
terpilih, jika masih berminat, boleh mendaftar ulang untuk workshop berikutnya.

Rencana jangka panjang Workshop Teater Bagi Pelajar SMU, adalah; dalam setahun, akan digelar 10
kali workshop. Jadi, penyelenggaraannya hampir setiap bulan, kecuali Mei dan Desember. Workshop
diselenggarakan pada hari Sabtu dan Minggu, sejak pukul 10.00 hingga 17.00, dengan jeda 60 menit
untuk makan siang. Peserta workshop paling berbakat, sekitar 3 siswa, akan diberi peluang mengikuti
‘Pelatihan Lanjutan’ selama empat bulan. Ujung dari ‘Pelatihan Lanjutan’, insya Allah, adalah sebuah
pementasan panggung.

Tak ada niat samasekali untuk mencetak para peserta workshop agar menjadi seniman teater. Meski, di
masa depan, hal itu bukan sesuatu yang tak mungkin. Niat utama hanyalah keinginan menyebarluaskan
pengetahuan dasar teater yang benar, baik dan indah, sebagai upaya lahirnya sebuah apresiasi.
Sehingga, diharapkan, mereka tidak lagi memandang teater sebagai dunia yang aneh, asing serta
musykil. Jangan lupa, di masa depan, mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa. Semangat
workshop yang dipatok adalah ‘kegembiraan menyerap pengetahuan dasar teater’ dengan ‘toleransi
dan saling menghargai’.

Sesungguhnya, hasil dari kegiatan apa pun, hanya bukti yang sementara saja sifatnya. Tekad,
ketekunan, kerjakeras dan upaya pewujudan impian anak-anak muda yang ingin mengungkap jatidiri
lewat teater, adalah hal yang lebih patut dihargai. Kepada siapakah, perkembangan teater Indonesia di
masa depan bergantung, jika bukan kepada anak-anak muda itu?

Regenerasi teater sudah tentu harus menyentuh berbagai bidang. Bukan hanya wilayah keaktoran saja
yang perlu digarap. Teater membutuhkan penonton, dramaturg, sutradara, kritikus, pemikir, penulis,
pekerja panggung, manajemen pengelolaan, penyandang dana dan wadah pementasan. Semua unsur itu
seharusnya merupakan kekuatan-kekuatan yang menyatu dan sinergis. Satu hal yang juga tak kurang
pentingnya, adalah, teater membutuhkan ruang gerak yang sepadan tanpa kecurigaan. Hal itu penting
bagi pengembangan imajinasi kreatif dan kemungkinan lahirnya berbagai inovasi.

Waktu masih panjang. Perjalanan masih sangat jauh. Regenerasi hanya salah satu upaya. Dan, tentu,
sulit berjalan baik tanpa didukung masyarakat. Ya, dari Andalah dukungan diharapkan.
Detail Produksi

1 1983 - 08 - Opera Ikan Asin


2 1986 - 11 - Opera Julini
3 1987 - 10 - Sandiwara Para Binatang
4 1988 - 03 - Opera Primadona
5 1988 - 09 - Sampek Engtay (Jakarta)
6 1989 - 04 - Sampek Engtay (Surabaya)
7 1989 - 05 - Sampek Engtay (Medan)
8 1989 - 07 - Perkawinan FIGARO
9 1990 - 03 - Konglomerat Burisrawa
10 1990 - 09 - Suksesi
11 1993 - 04 - Raja Ubu
12 1997 - 06 - Sampek Engtay (Jakarta)
13 2001 - 04 - Republik Bagong
14 2004 - 07 - Republik Togog
15 2005 - 03 - Maaf. Maaf. Maaf
16 2005 - 07 - Tanda Cinta
17 2006 - 01 - Sampek Engtay 2005
18 2006 - 05 - Festival Topeng
19 2007 - 01 - Kunjungan Cinta
20 2008 - 01 - Kenapa Leonardo
21 2009 - 01 - Republik Petruk
22 2009 - 05 - Tanda Cinta
23 2009 - 08 - Penggali Intan
24 2010 - 01 - Sampek Engtay 2010
25 2010 - 02 - SieJinKwie

1.theater, adalah kejiwaan, dunia imajinasi,khayal.seseorang yang. jadi, theater itu sendiri
adalah seni yang dipentaskan. dalam lakon cerita.
2. jenis-jenis theater, yaitu ada theater kabaret,colosal.
3. sejarah perkembangan theater diawali dari kegiatan romusha zaman belanda ,,nah sejak
saat itulah ada kegiatan theater. karena rakyat dulunya yang dijajah. dan sampai saat ini
kegiatan tersebut diisyaratkan dengan lakon drama yang realita..sejak saat itu disebut
theater.
4.unsur - unsur theater,,yaitu budaya dan sosial.
5. tokoh saat ini cornelia agatha,happy salma, ria iarawan, sudjewo tejo,dan masih
banyak lagi.

materi referensi:

pribadi...karena saya ketua theater di kampus.unit kegiatan mahasiswa. theater


mahadaya..
Web nyari naskah

disini ::
http://banknaskah-fs.blogspot.com/
http://bandarnaskah.blogspot.com/2010/04…
Di mancanegara teater Jerman sering dicap sebagai ribut dan dilanda narsisme. Akan
tetapi di belakangnya terdapat sistem yang dikagumi di seluruh dunia. Kota-kota yang
tidak begitu besar pun memiliki gedung opera dan ansambel balet di samping teater
sandiwara. Secara keseluruhan terbentuk semacam panorama teater, sebuah jaringan
rapat yang terdiri dari teater milik negara bagian dan kota, teater keliling dan teater
swasta. Dengan bersumber pada gerakan mahasiswa tahun 1968, telah berkembang
paguyuban seni panggung yang besar, yaitu apa yang disebut Kelompok-Kelompok
Bebas. Eksistensi kelompok tersebut membuktikan masih tetap adanya kecintaan akan
teater yang yang ingin mengungkapkan dirinya di panggung. Sumbangan masyarakat
Jerman bagi teater cukup besar: bentuknya gagasan, perhatian dan dana. Banyak orang
menganggap panggung-panggung sebagai hal mewah, mengingat pendapatan teater dari
karcis masuk pada umumnya hanya mencapai sepuluh atau lima belas persen dari
pengeluarannya. Sistem subsidi berlaku juga untuk teater swasta – seperti Schaubühne di
Berlin, yang didirikan oleh sutradara Peter Stein. Akan tetapi sistem itu telah mencapai
titik kulminasi dalam perkembangannya dan sedang berada dalam tahap yang sulit,
karena seni suka diukur dengan prasyarat materinya.
Selama periode yang panjang Peter Stein dianggap sebagai tokoh unik dalam teater
Jerman. Berbeda dengan sutradara lainnya ia menciptakan karya yang dapat dikenali
melalui kontinuitas pengulangan motif, tema dan pengarang. Gaya penyutradaraannya
mengutamakan teks. Antara angkatan seniman yang berteater sekarang dan tokoh seperti
Peter Stein, Peter Zadek atau Claus Peymann, pemimpin Berliner Ensemble, terbentang
jarak yang jauh. Mereka yang tergolong pemberontak tahun 1968 itu memakai
perbendaharaan kata yang tidak cocok lagi untuk teater kontemporer. Pengertian seperti
mencerahkan, mengajari, menelanjangi atau menindak berkesan usang. Teater angkatan
muda tidak lagi mau menjadi avant-garde, melainkan mencari bentuk ekspresi tersendiri.
Setelah era naik daunnya seniman muda seperti Leander Haußmann, Stefan Bachmann
dan Thomas Ostermeier pada tahun 1990-an, para sutradara itu kini sudah menjadi kepala
teater.

Frank Castorf yang namanya terkenal sebagai penghancur karya drama telah menjadi
teladan bagi generasi seniman teater itu. Di teater Volksbühne yang dipimpinnya di
Berlin, ia membiarkan teks sandiwara diutak-atik dan disusun kembali sesukanya. Nama
Christoph Marthaler dan Christoph Schlingensief juga menandai pandangan baru
mengenai seni panggung yang menanggapi pergeseran yang terjadi seusai Perang Dingin
dan seiring dengan kedatangan kapitalisme global. Sutradara seperti Michael Thalheimer,
Armin Petras, Martin Kusej, René Pollesch atau Christina Paulhofer telah menciptakan
bentuk pementasan yang mengutamakan gaya daripada isi cerita: Cara bercerita
tradisional dengan berpegang pada teks terasa agak asing bagi mereka. Ciri yang
menandai teater Jerman selama kurang lebih 250 tahun, yaitu konfrontasi dengan
masyarakat, telah memudar. Hal itu tampak juga dalam Pertemuan Teater Berlin setiap
tahun. Yang ada sekarang keanekaragaman yang berwarna-warni. Namun tidak pernah
ada teater yang berlangsung terlepas dari waktu pementasannya. Teater harus
menciptakan gambaran mengenai kehidupan kita, sekaligus menghidupkan ingatan.
Untuk itu teater disubsidi. Itulah fungsi kemasyarakatannya.

You might also like