You are on page 1of 16

Aturan Zakat

Jenis Zakat

Zakat Fitrah/Fidyah

Dari Ibnu Umar ra berkata :

“Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau gandum pada budak, orang merdeka, lelaki perempuan, anak

kecil dan orang dewasa dari ummat Islam dan memerintahkan untuk membayarnya sebelum mereka keluar untuk sholat (‘iid ).

( Mutafaq alaih ).

Besarnya zakat fitrah menurut ukuran sekarang adalah 2,176 kg. Sedangkan makanan yang wajib dikeluarkan yang disebut nash

hadits yaitu tepung, terigu, kurma, gandum, zahib (anggur) dan aqith (semacam keju). Untuk daerah/negara yang makanan

pokoknya selain 5 makanan di atas, mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan membayar zakat dengan makanan pokok yang lain.

Menurut mazhab hanafi pembayaran zakat fitrah dapat dilakukan dengan membayar- kan harganya dari makanan pokok yang di

makan.

Pembayaran zakat menurut jumhur ‘ulama :

Waktu wajib membayar zakat fitrah yaitu ditandai dengan tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan

Membolehkan mendahulukan pembayaran zakat fitrah di awal.

Keterangan :Bagi yang tidak berpuasa Ramadhan karena udzur tertentu yang dibolehkan oleh syaria’t dan mempunyai

kewajiban membayar fidyah, maka pembayaran fidyah sesuai dengan lamanya seseorang tidak berpuasa.

Zakat Maal

Pengertian Maal (harta)

Menurut terminologi bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk memiliki,

memanfaatkan dan menyimpannya.


Sedangkan menurut terminologi syari’ah (istilah syara’), harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat

digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim). Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua)

syarat, yaitu:

Dapat dimiliki, dikuasai, dihimpun, disimpan

Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dll.

Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib di Zakati

Milik Penuh

Artinya harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh.

Harta tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat Islam, seperti : usaha, warisan,

pemberian negara atau orang lain dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang

haram, maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus dibebaskan dari tugasnya dengan cara

dikembalikan kepada yang berhak atau ahli warisnya.

Berkembang

Artinya harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.

Cukup Nishab

Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara’. sedangkan harta yang tidak sampai

nishabnya terbebas dari Zakat dan dianjurkan mengeluarkan Infaq serta Shadaqah

Lebih Dari Kebutuhan Pokok

Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk

kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak.

Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum, misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah,

kesehatan, pendidikan, dsb.

Bebas Dari hutang

Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu

mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.


Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)

Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu (mencapai) satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi

ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat

haul.

Harta (maal) yang Wajib di Zakati

Binatang Ternak

Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba) dan unggas (ayam, itik, burung).

Emas Dan Perak

Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain merupakan tambang elok, juga sering dijadikan perhiasan. Emas dan perak

juga dijadikan mata uang yang berlaku dari waktu ke waktu. Islam memandang emas dan perak sebagai harta yang (potensial)

berkembang. Oleh karena syara’ mewajibkan zakat atas keduanya, baik berupa uang, leburan logam, bejana, souvenir, ukiran

atau yang lain.

Termasuk dalam kategori emas dan perak, adalah mata uang yang berlaku pada waktu itu di masing-masing negara. Oleh

karena segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya, termasuk

kedalam kategori emas dan perak. sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak.

Demikian juga pada harta kekayaan lainnya, seperti rumah, villa, kendaraan, tanah, dll. Yang melebihi keperluan menurut

syara’ atau dibeli/dibangun dengan tujuan menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat di uangkan. Pada emas dan perak atau

lainnya yang berbentuk perhiasan, asal tidak berlebihan, maka tidak diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.

Harta Perniagaan

Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang

seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan

seperti : CV, PT, Koperasi, dsb.

Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-

mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll.

Ma’din dan Kekayaan Laut

Ma’din (hasil tambang) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seperti emas,

perak, timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi, batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari

laut seperti mutiara, ambar, marjan, dll.

Rikaz

Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut dengan harta karun. Termasuk didalamnya harta yang

ditemukan dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.

Zakat Profesi/Pendapatan

Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi dimaksud

mencakup profesi pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, wiraswasta, dll.

Dasar Hukum Syari’at

Firman Allah SWT:

“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bahagian”. (QS.

Adz-Dzaariyaat (51): 19)

Firman Allah SWT:

“Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang

Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (QS Al Baqarah: 267)

Hadist Nabi SAW:

“Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu”.(HR. AL Bazar dan Baehaqi)

Hasilan profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, wiraswasta, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab)

yang tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu, oleh karenanya bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khususnya yang
berkaitan dengan “zakat”. Lain halnya dengan bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan

perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. Meskipun demikian bukan berarti harta yang

didapatkan dari hasil profesi tersebut bebas dari zakat, sebab zakat pada dasarnya/hakekatnya adalah pungutan harta yang

diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin diantara mereka (sesuai dengan ketentuan syara’).

Dengan demikian apabila seseorang dengan penghasilan profesinya ia menjadi kaya, maka wajib atas kekayaannya itu zakat,

akan tetapi jika hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup (dan keluarganya), maka ia menjadi mustahiq (penerima zakat).

Sedang jika hasilnya hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, atau lebih sedikit maka baginya tidak wajib zakat.

Kebutuhan hidup yang dimaksud adalah kebutuhan pokok, yakni, papan, sandang, pangan dan biaya yang diperlukan untuk

menjalankan profesinya.

Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan Islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dapat

dikategorikan ke dalam zakat harta (simpanan/kekayaan). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi

ketentuan wajib zakat maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.

Contoh perhitungan:

Iwan Darsawan adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di kota Bekasi, memiliki seorang istri dan 2 orang anak.

Penghasilan bersih perbulan Rp. 1.500.000,-.

Bila kebutuhan pokok keluarga tersebut kurang lebih Rp. 625.000 per bulan maka kelebihan dari penghasilannya = (1.500.000 –

625.000) = Rp. 975.000 perbulan.

Apabila saldo rata-rata perbulan 975.000 maka jumlah kekayaan yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu satu tahun adalah

Rp. 11.700.000 (lebih dari nishab).

Dengan demikian Akbar berkewajiban membayar zakat sebesar 2.5% dari saldo.

Dalam hal ini zakat dapat dibayarkan setiap bulan sebesar 2.5% dari saldo bulanan atau 2.5 % dari saldo tahunan.

Perhitungan Zakat Pendapatan/Profesi

Nisab zakat pendapatan / profesi setara dengan nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah

setara dengan 520 kg beras, kadar zakatnya sebesar 2,5 %. Waktu untuk mengeluarkan zakat profesi pada setiap kali menerima
diqiyaskan dengan waktu pengeluaran zakat tanaman yaitu setiap kali panen. “Dan tunaikanlah haknya di hari memetik

hasilnya ( dengan dikeluar kan zakat nya ). ( QS : Al-An’am : 141 ).

Contoh perhitungan:

Nisab sebesar 520 kg beras, asumsi harga beras 2000 jadi nilai nisab sebesar 520 x 2000 = 1.400.000

Jumlah pendapatan perbulan Rp 2.000.000,-

Zakat atas pendapatan ( karena telah mencapai nisab ) 2,5 % x 2.000.000,- = 50.000,-

Zakat Uang Simpanan

Uang simpanan ( baik tabungan, deposito, dll ) dikenakan zakat dari jumlah terendah bila telah mencapai haul. Besarnya nisab

senilai dengan 85 gr emas ( asumsi 1 gr emas Rp 75.000, nisab sebesar Rp 6.375.000 ). Kadarnya zakatnya sebesar 2,5 %.

Uang TabunganTanggal Masuk Keluar Saldo

01/03/99 20.000.000 20.000.000

25/03/99 2.000.000 18.000.000

20/05/99 5.000.000 13.000.000

01/06/99 200.000* 13.200.000

12/09/99 1.000.000 12.200.000

11/10/99 2.000.000 14.200.000

31/02/00 1.000.000 15.200.000

* Bagi hasil

Jumlah saldo terakhir dalam tabel di atas adalah 15.200.000 telah melebihi nisab (asumsi 1 gr emas Rp 75.000, nisab sebesar

Rp 6.375.000) dan genap satu tahun. Tahun haul menurut contoh di atas 01/03/99 – 31/02/00.. uang bagi hasil ini dikeluarkan

terlebih dahulu sebelum perhitungan zakat.

Perhitungan :
Tahun haul : 01/03/99 – 31/02/00

Nisab : Rp 6.375.000,-

Saldo terakhir : Rp 15.200.000,- – Rp 200.000,- = Rp 15.000.000,-

Besarnya zakat : 2,5 % x Rp 15.000.000,- = Rp 375.000,-

Bila seseorang mempunyai beberapa tabungan maka semua buku dihitung setelah dilihat haul dan saldo terendah dari masing-

masing buku.

Perhitungan:

Haul : 01/03/99 – 31/02/00

Saldo terakhir:

- Buku 1: 5.000.000- Buku 2: 3.000.000- Buku 3: 2.000.000

Jumlah total : Rp 10.000.000

Zakat : 2,5 % x Rp 10.000.000 = Rp 250.000,-

Simpanan Deposito

Seseorang mempunyai deposito di awal penyetoran tanggal 01/04/99 sebesar Rp 10.000.000 dengan jumlah bagi hasil 300.000

setahun. Haul wajib zakat adalah tanggal 31/03/00, nisab sebesar 6.375.000. Maka setelah masa haul tiba zakat yang harus

dikeluarkan sebesar :

2.5 % x Rp 10.000.000 = Rp 250.000

Bila seseorang mempunyai beberapa simpanan deposito maka seluruh jumlah simpanan deposito dijumlahkan. Bila mencapai

nisab dengan masa satu tahun kadar zakatnya sebesar 2,5 % dengan perhitungan seperti di atas.

Zakat Emas/Perak
Seorang muslim yang mempunyai emas dan perak wajib mengeluarkan zakat bila sesuai dengan nisab dan haul. Adapun nisab

emas sebesar 85 gr dan nisab perak 595 gr.

Emas yang tidak dipakai

Emas yang tidak dipakai adalah perhiasan emas yang tidak digunakan atau sekali pun dipakai hanya sekali setahun. Dengan

demikian bila seseorang menyimpan me-nyamai atau melebihi 85 gr maka ia wajib mengeluarkan zakat emas tersebut. Ada pun

kadar zakatnya besarnya 2,5 % di hitung dari nilai uang emas tersebut. Misalnya : seseorang mempunyai 90 gr emas. Harga 1 gr

emas 70.000. Maka besarnya zakat yang dikeluarkan sebesar : 90 x 70.000 x 2,5 % = 157.500

Emas yang dipakai

Emas yang dipakai adalah dalam kondisi wajar dan tidak berlebihan. Jadi bila seorang wanita mempunyai emas 120 gr, dipakai

dalam aktivitas sehari-hari sebanyak 15 gr. Maka zakat emas yang wajib dikeluarkan oleh wanita tersebut adalah 120 gr – 15 gr

= 105 gr. Bila harga emas 70.000 maka zakat yang harus dikeluarkan sebesar : 105 x 70.000 x 2,5 % = 183.750

Keterangan :

Perhitungan zakat perak mengikuti cara per hitungan di atas.

Zakat Investasi

Zakat investasi adalah zakat yang dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari hasil investasi. Diantara bentuk usaha yang

masuk investasi adalah bangunan atau kantor yang disewakan, saham, rental mobil, rumah kontrakan, investasi pada ternak

atau tambak, dll.

Dilihat dari karakteristik investasi, biasanya modal tidak bergerak dan tidak terpengaruh terhadap hasil produksi maka zakat

investasi lebih dekat ke zakat pertanian. Pendapat ini diikuti oleh ulama modern seperti Yusuf Qordhowi, Muhammad Abu

Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Abdurahman Hasan, dll.

Dengan demikian zakat investasi dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang

dikeluarkan sebesar 5 % atau 10 %. 5 % untuk penghasilan kotor dan 10 untuk penghasilan bersih.

Zakat Hadiah dan Sejenisnya

Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji maka ketentuannya sama dengan zakat profesi/pendapatan. Dikeluarkan pada saat

menerima dengan kadar zakat 2,5 %.


Jika komisi, terdiri dari 2 bentuk : pertama, jika komisi dari hasil prosentasi keuntungan perusahaan kepada pegawai, maka

zakat yang dikeluarkan sebesar 10 % (sama dengan zakat tanaman), kedua, jika komisi dari hasil profesi seperti makelar, dll

maka digolongkan dengan zakat profesi. Aturan pembayaran zakat mengikuti zakat profesi.

Jika berupa hibah, terdiri dari dua kriteria, pertama, jika sumber hibah tidak di duga-duga sebelumnya, maka zakat yang

dikeluarkan sebesar 20 %, kedua, jika sumber hibah sudah diduga dan diharap, hibah tersebut digabung kan dengan kekayaan

yang ada dan zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 %.

Zakat Perniagaan-Zakat Perdagangan

“Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari semua yang kami persiapkan untuk berdagang.” ( HR. Abu

Dawud )

Ketentuan zakat perdagangan:

Berjalan 1 tahun ( haul ), Pendapat Abu Hanifah lebih kuat dan realistis yaitu dengan menggabungkan semua harta

perdagangan pada awal dan akhir dalam satu tahun kemudian dikeluarkan zakatnya.

Nisab zakat perdagangan sama dengan nisab emas yaitu senilai 85 gr emas

Kadarnya zakat sebesar 2,5 %

Dapat dibayar dengan uang atau barang

Dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.

Perhitungan Modal diputar + Keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) – (hutang + kerugian) x 2,5 %

Contoh :

Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu

maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 85 gram emas murni).

Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau

setara dengan 85 gram emas (asumsi jika per-gram Rp 75.000,- = Rp 6.375.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar

2,5 %
Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan

lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim,

maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila jumlahnya lebih dari nishab)

Cara menghitung zakat :

Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :

Kekayaan dalam bentuk barang

Uang tunai

Piutang

Maka yang dimaksud dengan harta perniagaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.

Contoh :

Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb :

Sofa atau Mebel belum terjual 5 set Rp 10.000.000

Uang tunai Rp 15.000.000

Piutang Rp 2.000.000

Jumlah Rp 27.000.000

Utang & Pajak Rp 7.000.000

Saldo Rp 20.000.000

Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-

Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk

harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang)

Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut,

pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:
Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil

jasa, seperti taksi, kapal, hotel, dll, kemudian keluarkan zakatnya 2,5 %.

Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun,

kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya

hanya didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya.

Zakat Perusahaan

Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya dalam zakat perusahaan bersifat kolektif.

Dengan kriteria sebagai berikut :

Jika perusahaan bergerak dalam bidang usaha perdagangan maka perusahaan tersebut mengeluarkan harta sesuai dengan

aturan zakat perdagangan. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 %

Jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi

atau pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat.

Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5 % atau 10 %. 5 % untuk penghasilan kotor dan 10 % untuk pengahasilan bersih.

Catatan :Bila dalam perusahaan tersebut ada penyer taan modal dari pegawai non muslim maka penghitungan zakat setelah

dikurangi ke- pemilikan modal atau keuntungan dari pegawai non muslim

~ oleh Tommie Pramudji Haryono di/pada Januari 21, 2010.

Ditulis dalam Ilmu Pengetahuan

Perhitungan zakat mal :

a.Zakat Pertanian :
- 5% dari hasil panen ( untuk sawah yang pengairannya membutuhkan biaya/ pompanisasi )
- 10% dari hasil panen ( untuk sawah tadah hujan dan irigasi biasa )
Nisabnya ( batas minimal hasil panen ) adalah : 520 kg beras, atau kurang lebih 653 kg gabah ( ada yang
mengatakan 750 kg ) atau yang setara dengan nilai tersebut bagi pertanian non padi seperti : palawija dan buah-
buahan. Zakat di bayarkan tiap kali panen.

b. Zakat Perdagangan / Perniagaan :


Ketentuan zakat perdagangan:
1. Berjalan 1 tahun ( haul ),
2. Nisab zakat perdagangan sama dengan nisab emas yaitu senilai 93,6 gr emas 24 karat ( ada sebagian yang
mengatakan 85 gr )
3. Kadarnya zakat sebesar 2,5 % dari nilai total barang dagangan (setelah dikurangi utang dan pajak terutang ),
BUKAN dari total laba bersih.
Contoh perhitungan :
Harga emas saat ini ( per November 2008 ) Rp. 275,000 jadi Nisabnya = Rp. 25,740,000
Seorang pedagang mempunyai total aktiva dagang pada akhir tahun sebesar Rp. 35,000,000
Hutang dan kewajiban lainnya sebesar Rp. 5,000,000. Harta yang wajib dizakati = Rp 30,000,000, maka zakatnya
: 2,5% x Rp. 30,000,000 = Rp 750,000

c. Zakat Pendapatan Profesi :


- Nisabnya setara dengan 93,6 gr emas 24 karat ( ada yang mengatakan 85 gr )
- Pendapatan yang terkena wajib Zakat adalah setelah dikurangi asumsi kebutuhan rumah
tangga Indonesia ( sesuai UMR Regional ).
- besarnya 2,5% dari penghasilan kena Zakat

Contoh perhitungan untuk daerah DKI Jakarta ;


- Nisabnya sama ( 93,6 gr emas ) yaitu senilai Rp. 25,740,000
- UMR DKI Rp. 972,000/bulan atau Rp. 11,664,000/tahun

- Jika Anda mempunyai penghasilan Rp. 4,000,000/bulan, maka total pendapatan Anda adalah Rp. 48,000,000/
tahun- Rp.11,664,000 = Rp 36,336,000 ( sudah Nisab )
- Maka Zakat penghasilan Anda sebesar 2,5% x Rp 36,336,000 = Rp. 908,400 di bayarkan 1 tahun sekali.

Untuk daerah lain mengikuti UMR yang berlaku, nisab dapat berubah sesuai harga emas.
Terdapat perbedaan pendapat dalam menghitung Nisab dikarenakan perbedaan dalam penelitian, sedangkan
Penulis memakai 93,6 gr emas dan 653 kg gabah adalah hasil penelitian dari Ustadz (Alm) KH. Wahid Zuhdi,
Ngaringan-Wirosari.

Wallahu a'lam Bissawab

Zakat Profesi: Dua Puluh Persen?


Oktober 18, 2009Ali RezaTinggalkan komentarGo to comments
Menurut Emha Ainun Nadjib, Dr. Amien Rais pernah dituduh “kafir” karena menetapkan
zakat profesi (Gala, 19 April 1990). Sebenarnya dia “dikafirkan” bukan karena zakat profesinya, tetapi karena dia
menetapkan dua puluh persen. Buktinya, di seantero tanah air, para ilmuwan fikih Majelis Ulama Indonesia
membahas zakat profesi. Kita merasakan ada yang tidak adil dalam konsep zakat yang kita miliki. Petani, yang
memperoleh penghasilan 1.000 kg beras setahun, wajib mengeluarkan zakat 10 persen dari hasil itu. Jika kita
konversikan dengan uang, petani harus mengeluarkan Rp 60.000,- dari penghasilan tahunannya yang Rp
600.000,- Bagilah itu menjadi 12 bulan. la akan memperoleh rata-rata Rp 50.000,- sebulan (konversikan saja
dengan harga beras sekarang, harga tersebut adalah harga ketika artikel ini ditulis). Kata ilmuwan fikih, petani
itu wajib mengeluarkan zakatnya rata-rata Rp 5.000,- setiap bulan.
Berapa zakat untuk dokter spesialis? Bila sehari ia menerima rata-rata sepuluh orang pasien, katakanlah ia
memperoleh Rp 150.000,- Sebulan ia mendapat kira-kira tiga juta rupiah—60 kali penghasilan petani itu. Petani
wajib mengeluarkan Rp 5.000,- —sepuluh persen dari pendapatannya. Dokter, menurut sebagian ilmuwan fiqih,
tidak wajib zakat. Menurut Kitab Al-Fiqh ‘alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah 1:596, (jilid 1, halaman 596), harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya itu ada empat macam: ternak, emas dan perak, perdagangan, barang tambang dan
rikaz, dan pertanian. “Lâ zakâta fî mâ ada hâdzihil khamsah (Tidak ada zakat di luar yang lima ini),” kata
Abdurrahman Al jazairi, penulis kitab itu.
Berdasarkan kitab yang mu’tabar ini, pernah sekelompok ulama tidak berani mewajibkan zakat atas penghasilan
dokter. Dokter hanya diwajibkan infak saja. Bersama dokter, dibebaskan juga dari kewajiban zakat semua
pekerjaan di luar yang lima itu: pegawai negeri, ABRI, konsultan, pemilik media-massa, pengusaha jasa
angkutan, penulis buku, kontraktor, psikolog, dan ratusan profesi lainnya, termasuk para pialang saham. Padahal
penghasilan mereka ini jauh di atas penghasilan petani.
Jangan-jangan, kata kawan saya aktivis LSM, fikih kita ini merupakan fikih kapitalis. Atau dengan gaya bahasa
aktivis Muslim kontemporer, jangan-jangan ini fikihnya kaum mustakbarînuntuk melestarikan penindasan. Ada
yang menggugat lebih jauh. Bukan lagi fikih yang digugat, tetapi Islam. Kata kawan ini (lebih repot kalau kawan
itu pejabat tinggi), banyak ayat Al-Quran sudah tidak relevan lagi. Apalagi sunnah Nabi. Peraturan zakat itu
hanya sesuai dengan perkembangan ekonomi di zaman Nabi, khususnya dalam masyarakat agrikultural.
Peternakan, pertanian, perdagangan, emas dan perak, pertambangan dan harta temuan, adalah sektor-sektor
ekonomi tempo doeloe! Sekarang kita berada pada era industri—bahkan era informasi. Pada era informasi, lebih
dari 60 persen kegiatan ekonomi berada dalam sektor pengelolaan informasi. Pekerjaan informasi tidak ada
zakatnya sama sekali. Bukankah ini berarti Islam bukanlah agama untuk zaman modern?
Astaghfirullâh, begitu jerit kawan saya yang lain. Itu tidak mungkin. Islam mengandung aturan yang lengkap dan
universal. Dr. Amien Rais, dengan ijtihadnya, menemukan ketentuan 20 persen itu. Orang-orang mengerubuti
Dr. Amien Rais dengan sejumlah pertanyaan: dalilnya apa, ayat atau hadisnya mana, metode istinbath-nya
bagaimana? Konon Amien Rais menjawab pendek: “Saya bukan ahli fikih.” Emha Ainun Nadjib, yang jebolan
Pesantren Gontor, memberikan penjelasan: “Di atas hukum formal ada moralitas, di atas moralitas ada cinta. Di
atas fikih ada akhlak, di atas akhlak ada takwa dan tawakal dan hubb.” Menurut fikih, kita cukup membayar
zakat dua setengah persen; menurut cinta mungkin kita harus membayar bahkan 100 persen. Tentu saja ahli
fikih tidak akan menerima argumentasi Emha Ainun Nadjib. Soalnya, tidak ada kaidah cinta dalam ushûl fiqh.
Kemelut zakat profesi ini sebetulnya dapat dilacak pada satu penyebab saja: kerancuan ushûl fiqh. Bukan fikih
kita yang kapi talistis, bukan pula Islam tidak sempurna, tetapi ushûl fiqh-lah yang harus diluruskan. Tidak
mungkin kita menguraikan kerancu an ushûl fiqh dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini. Dengan risiko
mengundang kesalahpahaman, saya akan menunjukkan kerancuan ini dengan mengambil kasus zakat profesi.
Berdasarkan hadis Mu’adz yang terkenal, ada tiga tahap penetapan hukum dalam Islam. Tetapkanlah dalam Al-
Quran, jika ada aturannya di sana. jika tidak ada, cari dalam as-sunnah. Jika tidak ada di dalam kedua-duanya,
gunakanlah ra’yu (pendapat). Jadi, untuk kasus-kasus baru yang tidak ada rujukannya di dalam Al-Quran dan
as-sunnah, kita boleh mengemukakan pendapat sen diri. Untuk itu, tidak diperlukan dalil naqli (karena dianggap
tidak ada).
Bila konsisten pada aksioma ini, kita harus mengasumsikan dua hal. Pertama, ada kasus-kasus yang tidak dapat
dijawab oleh Al-Quran dan Al-Sunnah. Ini berarti sumber syariat itu tidak lengkap, tidak universal, dan tidak
selalu relevan. Kedua, ijtihad adalah proses penetapan hukum yang murni rasional, sama sekali tidak
relevansional (berdasarkan wahyu). Sehingga tidak heran kalau ada ulama yang menetapkan tiga sumber hukum
Islam: Al- Quran, as-sunnah, dan ijtihad.
Asumsi pertama —Al-Quran dan Al-Sunnah— tidak lengkap tentu sangat sukar diterima. Banyak dalil yang
menjelaskan bahwa agama ini sudah sempurna, dan Al-Quran dapat menjadi penjelasan untuk segala persoalan
(tibyânan likulli sya`i). Asumsi kedua juga sukar dibenarkan. Bila mujtahid dapat menetapkan syariat dengan
nalarnya, ia sudah menyaingi Allah dan Rasul-Nya. Ia telah menjadi syar`î.
Berangkat dari kemelut ini, para ulama—antara lain—menghasilkan kesimpulan (yang masih tetap rancu). Yaitu,
mereka membagi hukum Islam dalam dua bagian besar: urusan ibadat, dan urusan adat (keduniaan).
Berdasarkan hadis Nabi yang populer “Antum a’lamu bi umûri dunyâkum (Kamu lebih tahu urusan duniamu),”
terjadilah pemisahan pendekatan di antara keduanya. Dalam urusan ibadat, kita tidak boleh menggunakan nalar.
Tidak ada ijtihad di situ. Bila tidak ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah: bas (Ya sudah)! Jangan
lakukan. Dibuatlah kaidah: Apa pun (yang ditambah-tambah) dalam ibadat hukumnya haram, jika tidak ada dalil
yang memerintahkan (dalam Al-Quran dan Al- Sunnah). Karena zakat itu termasuk urusan ibadat, maka tidak
boleh melakukan sesuatu yang tidak ada dalilnya. Zakat profesi tidak diatur dalam syariat; karena itu, tidak
wajib.
Kaum modernis—seperti Persis, Muhammadiyah—berpen dapat tidak ada qiyâs dalam urusan
ibadat. Qiyâs adalah proses penggunaan ra’yu, dan ra’yu tidak dibenarkan dalam urusan ibadat. Anehnya, ulama
Persis dan Muhammadiyah—seperti ditunjukkan dalam salah satu diskusi di Pusat Pengkajian Islam – UNISBA—
menggunakan qiyâs untuk zakat profesi. Mereka lupa dengan kritik Ibnu Hazm—yang juga digunakan oleh Ibnu
Taymiyah—terhadap qiyâsdalam penetapan hukum syariat.
Karena tidak ada dalil yang tegas tentang zakat profesi (yang sekarang disebut al-mâlul mustafad), maka
mereka menggunakan qiyâs (analogi). Dengan melihat illat (sebab hukum) yang sama, mereka meng-qiyâs-kan
zakat profesi dengan aturan zakat yang sudah ada. Yangmusykil—seperti lazimnya bila kita mengguna kan qiyâs
—adalah ketidakjelasan tentang harus di-qiyâs-kan ke mana?
Penghitungan Zakat Profesi Menurut Ulama Sunni
Syaikh Muhammad Al-Ghazali meng-qiyâs-kan zakat profesi dengan zakat pertanian. Di sini
berlaku nishab (batas minimal wajib zakat), tetapi tidak berlaku hawl (masa satu tahun pemilikan). Zakat
profesi, seperti zakat pertanian, dikeluarkan kapan saja kita memperoleh penghasilan (“keluarkan zakatnya pada
saat menuainya”). Nishab zakat pertanian adalah 653 kg. Bila yang dijadikan ukuran beras, maka nishab-nya—
setelah dikonversikan—menjadi 653 x Rp 600,- = Rp 391.000,- (itu harga beras waktu dulu, konversikan saja
dengan harga sekarang). Jika Anda mem peroleh penghasilan sejumlah itu, Anda harus mengeluarkan zakatnya.
Berapa? Ini kemusykilan qiyâs dalam pertanian. Bila pertani an itu menggunakan irigasi, maka Anda
mengeluarkan 5 persen. Bila pertanian itu mengambil air langsung dari langit, maka Anda keluarkan 10 persen.
Jadi, perkirakanlah apakah profesi Anda itu seperti sawah yang diairi irigasi atau air hujan (konglomerat,
tampaknya, kebanyakan mengambil air dari langit!)
Karena kemusykilan ini, ulama yang lain memilih meng-qiyâs-kannya dengan emas dan perak. Menurut sebagian
ulama (dan ini pun masih diperdebatkan), di sini berlaku nishab dan hawl. Bila di-qiyâs-kan dengan emas,
maka nishab-nya itu 85 gram (± Rp 1.700.000,-, kalau sekarang (Okt. 2009) sudah lebih dari Rp 27.000.000,-).
Bila di-qiyas-kan dengan perak, maka jumlah nisbahnya 653 gram (kurang lebih Rp 326.000,-, kalau sekarang
(Okt. 2009) sudah lebih dari Rp 3.000.000,-). Karena ada hawl, maka jumlah nishab itu haruslah setelah
penghasilan Anda dijumlahkan selama satu tahun. Bila gaji Anda setahun sama dengan atau lebih dari Rp
1.700.000,- (di-qiyâs-kan dengan emas), keluarkanlah dua setengah persennya. Kemusykilannya—seperti telah
disebutkan—terletak pada standar yang mau kita ambil: emas atau perak. Tidak ada kepastian hukum. Yang
dirasa kan berat adalah bila di-qiyâs-kan dengan perak, maka penghasilan Anda sebulan sebesar Rp 30.000,00
saja harus dizakati.
Sebagian ulama ada yang meng-qiyâs-kan zakat profesi ini dengan zakat perdagangan (tijârah). Dalam zakat
perdagangan masih diperdebatkan apakah ada nishab dan hawl. Menurut Ustad Abdurrahman dari UNISBA, zakat
perdagangan tidak mengenal nishab. Begitu pula hadis-hadis tentang hawl semuanya dhaif. Walaupun begitu,
Abdurrahman berpendapat (aneh!), “Namun karena ibadat zakat itu tidak semata-mata `ibadah, tetapi ibadat
yang erat kaitannya dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakat an, maka apabila terlihat kemaslahatannya
dan dapat memudah kan untuk menentukan nishab dan kadar zakat, dapat saja kita menggunakan hawl…“
Tampak bahwa meng-qiyâs-kan zakat profesi kepada pertani an, emas dan perak, serta perdagangan sangat
musykil. Memilih satu di antaranya hanya menjadi selera seorang pemilih. Tidak ada keterangan terkuat.
Semuanya lemah. Boleh jadi orang meng-qiyâs-kannya dengan zakat peternakan atau zakat rikâz (barang
temuan). Kalau boleh di-qiyâs-kan dengan pertanian, mengapa tidak boleh di-qiyâs-kan kepada rikâz?
Umumnya mereka ber-istidlal kepada surah Al-Baqarah ayat 267, “Infakkanlah sebagian yang baik-baik dari hasil
usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluarkan dari bumi…” Di sini kewajiban infak dari hasil usaha direndengkan
dengan infak dari hasil-hasil “yang Kami keluarkan dari bumi”. Apa yang “Kami kelurkan dari bumi”? Emas dan
perak, pertanian, juga barang tambang dan barang temuan. Jika di-qiyâs-kan dengan yang pertama, zakat
profesi Anda menjadi dua setengah persen; dan dengan yang kedua menjadi 10 persen; dengan yang ketiga
menjadi 20 persen. Walhasil, ayat Al-Baqarah 267 tidak dapat menyelesaikan kemusykilan.
Adakah jalan keluar? Apakah tanpa qiyâs dan tanpa asumsi, syariat menjadi tidak lengkap? Tulisan ini secara
singkat akan me nunjukkannya. Karena singkat, perincian keterangan tambahan tidak disertakan. Tulisan ini
lebih dimaksudkan untuk mengun dang diskusi ketimbang memberikan instruksi.
Penghitungan Zakat Profesi Menurut Ulama Syiah
Marilah kita lihat lagi konsep ijtihad. Ijtihad haruslah diarti kan sebagai konsep menetapkan keputusan dengan
menggali dalil-dalilnya dari Al-Quran dan as-sunnah. Jadi, sumber hukum Islam hanya yang dua itu. Kita percaya
setiap kasus baru pasti ditunjuk kan jawabannya dalam Al-Quran dan as-sunnah. Bila betul-betul kasus itu tidak
terjawab oleh kedua sumber itu, maka kita ber pegang pada kaidah al-barâ’atul ashliyyah. Pada pokoknya bila
Allah tidak menyebutkan atau memberikan petunjuk-Nya yang jelas, maka kita jangan mengasumsikan bahwa
Allah lupa; tetapi Dia ingin memberikan keleluasaan kepada manusia.
Marilah kita kembali ke zakat profesional. Adakah dalil di dalam Al-Quran atau as-sunnah tentang zakat
profesional tanpa menggunakan qiyâs? jawabannya: ada, yaitu surah Al-Anfâl ayat 41. Biasanya ayat ini
diterjemahkan sebagai berikut: “Dan hendak lah kamu ketahui bahwaapa-apa yang dapat kamu rampas dalam
peperangan, sesungguhnya separuhnya untuk Allah, untuk Rasul, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan.” Kalimat dengan huruf tegak ini sebenarnya terjemahan (yang
setengah benar) dari kata annamâ ghanimtum min syai.
Apa arti ghanimtum? Ghanimtum berasal dari kata ghanimah. Dalam Al-Quran kata ghanimtumdisebut sebanyak
dua kali dan maghânim (bentuk jamak dari maghnam) disebut sebanyak empat kali. Ghanimah tidak selalu
berarti rampasan perang. Ghanimah, dapat juga berarti pahala atau keuntungan. Misalnya, “…padahal di sisi
Allah adalah keuntungan yang banyak (maghânim katsîrah)” (QS. An-Nisâ`: 94). Begitu juga, dalam hadis-hadis.
Surga disebut sebagai ghanimah majlis dzikr (Musnad Ahmad, 2 : 330). Puasa disebut sebagai ghanimahorang
beriman (Musnad Ahmad, 2:177). Dalam doa shalat hajat yang terkenal, ada kalimat “aku memohon ghani
mah untuk segala kebajikan”. Ghanimah di situ artinya “keuntung an lebih”.
Karena itu, kamus-kamus besar bahasa Arab mengartikan ghanimah bukan hanya rampasan perang, tetapi juga
pahala, keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan. “Ghanimahadalah kelebihan harta yang diperoleh baik
dari peperangan mau pun bukan peperangan,” Al-Raghib dalam Al-Mufradât, Ibnu Faris dalam Muqayis, Al-
Jauhari dalam Shahah Al-Lughah, dan Ibn Al-Atsir dalam Lisân Al-Arab).
Dengan demikian, surah Al-Anfal ayat 41 harus kita artikan, “Dan ketahuilah bahwa apa-apa yang kamu peroleh
sebagai ke lebihan penghasilan (keuntungan), yang seperlima adalah kepunya an Allah Rasul, kerabat…” dan
seterusnya. Jadi, di samping zakat, di dalam Islam dikenal adanya perlimaan (khumus). Banyak keterangan dari
as-sunnah bahwa Nabi memungut khumus di luar zakat untuk kelebihan penghasilan selain rampasan perang. Se
bagian di antaranya kita cantumkan berikut ini:
Pertama, rombongan Bani Qays menemui Nabi saw. Mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi kecuali di bulan
Haram. Mereka takut kepada kaum musyrik Mudhar. Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan syahadat,
menegakkan shalat, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan penghasilan mereka (Shahîh Al-Bukhârî, 4 :
205; Shahîh Muslim, 1 : 35-36; Musnad Ahmad, 3 : 318). Tidak mungkin mereka disuruh mengeluarkan
seperlima dari rampasan perang, karena mereka justru selalu meng hindari peperangan.
Kedua, ketika Nabi saw mengutus Umar bin Hazm ke Yaman, Nabi menyuruhnya untuk mengumpulkan
perlimaan di samping zakat (Futuh Al-Buldan, 1 : 81; Sirah Ibnu Hisyam, 4 : 265). Begitu pula ketika beliau
menulis surat kepada kepala-kepala suku (Lihat: Tanwir Al-Hawalik; Syarh Al-Muwaththa, 1 : 157; Thabaqat
Ibnu Saad, 1:270, dan lain-lain). Kepada Juhaynah bin Zaid, Nabi juga menyuruh, “Minumlah airnya dan
keluarkan perlimaannya” (Al-Watsaiq Al-Siyasiyah, 142).
Seperti telah disebutkan di muka, kita mencukupkan saja keterangan-keterangan ini. Secara singkat, di luar
zakat, ada kewajiban mengeluarkan perlimaan dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikenai kewajiban zakat;
pekerjaan-pekerjaan ini kita sebut sekarang sebagai profesi. Pandangan ini sebetulnya bukan hal yang baru. Di
antara mazhab-mazhab dalam Islam, mazhab Ahlul Bait (mazhab Ja’fari) sudah lama menetapkan kewajiban
perlimaan ini. Parafuqahâ mereka menetapkan perlimaan dari (1) rampasan perang, (2) barang tambang, (3)
barang temuan, (4) barang-barang lautan seperti mutiara, (5) barang yang bercampur antara halal dan haram,
lalu tidak diketahui dengan pasti yang mana, dan (6) kelebihan pendapatan setelah dipotong oleh mu’nah.
Apa yang disebut mu’nah? Mu’nah adalah pengeluaran untuk kebutuhan pokok: sandang, pangan, dan pangan.
Biasanya, di setiap negeri ada ukuran kebutuhan pokok. Para ahli ekonomi bahkan telah membuat rumus
matematis untuk itu. Harus juga dimasukkan ke dalammu’nah pengeluaran kita untuk menolong keluarga yang
menjadi tanggungan kita.
Contoh Praktis
Anda seorang dokter, mendapat penghasilan Rp 3.000.000,- satu bulan. Keluarkanlah dari penghasilan itu untuk
sewa tempat praktek, membayar gaji pegawai, membayar obat-obatan dan listrik, membayar biaya transport,
juga membayar kebutuhan pokok dan orang-orang yang menjadi tanggungan Anda. Katakan lah, Anda
menghabiskan satu juta setengah untuk segala pengeluar an itu. Ini disebut mu’nah. Kemudian Anda harus
mengeluarkan seperlima dari sisanya. Dipotong mu’nah, penghasilan Anda tinggal satu juta setengah lagi.
Keluarkanlah seperlimanya; yaitu sejumlah Rp 300.000,- satu bulan.
Anda seorang dosen dengan pangkat III/D. Jika gaji Anda sebesar Rp 350.000,- dipandang cukup untuk
membayar kebutuhan pokok Anda sekeluarga, maka Anda tidak membayar perlimaan. Kemudian Anda menulis
buku, Anda mendapat royalti sebesar dua juta. Bayarkanlah sebagian royalti itu untuk ongkos tukang tik, beli
kertas, dan hubungan dengan penerbit. Setelah dipotong pengeluaran itu, Anda memperoleh hasil bersih satu
setengah juta rupiah. Keluarkan Rp 300.000,- Begitulah seterus nya.

Penutup
Jadi Dr. Amien Rais tidak “kafir” ketika menetapkan zakat profesi sebesar 20 persen. Dia sekaligus menunjukkan
arah untuk memperbaiki konsep-konsep dasar kita dalam ushûl fiqh. Selama ini, kita dipenuhi oleh inkonsistensi
berpikir dalam memutuskan zakat profesi. Kita menganggap profesi baru itu tidak diatur dalam syariat, tetapi
kita tidak mau menerima asumsi bahwa syariat tidak sempurna. Kita melarang qiyâs dalam urusan ibadat, tetapi
kita mempraktekkannya dalam zakat.
Akhirnya, perlimaan bukan saja menyelesaikan kemusykilan fikih tetapi juga menegakkan keadilan Islam.
Sekarang tidak satu pun profesi yang dapat lolos dari kewajiban menyantuni kaum mustadh’afîn. Para konsultan,
penjual jasa, konglomerat, keluar kanlah 20 persen dari penghasilan lebihmu! Allah akan mem berkati hartamu
dan keluargamu.
Sumber:
Islam Aktual (1991) karya Jalaluddin Rakhmat

You might also like