You are on page 1of 27

Apakah syarat-syarat pemekeran desa?

apakah syarat-syarat pemekeran desa dan bagaimana untuk menyusun struktural perangkat
dalam persiapan pemerkaran desa dan bagaimana cara pemanfaatan aset atau pendapatan
desa
• 6 bulan lalu
Tatacara Pembentukan Desa ....>> diatur dalam Permendagri No.28 tahun 2008
tentang PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN
PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN
Selanjutnya Pasal 4 dijelaskan bahwa Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat
dengan memperhatikan asal usul desa, adat istiadat dan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat. Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan setelah mencapai usia penyelenggaraan pemerintahan desa
paling sedikit 5 (lima) tahun.

Pasal 5
Tatacara Pembentukan Desa adalah sebagai berikut:
a.Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat antuk membentuk desa;
b.Masyarakat mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD dan Kepala
Desa;
c.BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul
masyarakat tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkan
dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang Pembentukan Desa;
d.Kepala Desa mengajukan usul pembentukan Desa kepada Bupati/Walikota
melalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayah
administrasi desa yang akan dibentuk;
e.Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota
menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan
observasi ke Desa yang akan dibentuk, yang hasilnya menjadi bahan
rekomendasi kepada Bupati/Walikota;
f.Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak dibentuk desa baru, Bupati/
Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa;
g.Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa
sebagaimana dimaksud pada huruf f, harus melibatkan pemerintah desa, BPD,
dan unsur masyarakat desa, agar dapat ditetapkan secara tepat batas-batas
wilayah desa yang akan dibentuk;
h.Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pembentukan Desa hasil pembahasan pemerintah desa, BPD, dan unsur
masyarakat desa kepada DPRD dalam forum rapat Paripurna DPRD;
i.DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan
Peraturan Daerah tentang pembentukan desa, dan bila diperlukan dapat
mengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;
j.Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah disetujui
bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;
k.Peryampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa
sebagaimana dimaksud pada huruf j, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling
lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;
1.Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagai:ana
dimaksud pada huruf k, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan
m.Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa
yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf
1, Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalam
Lembaran Daerah.

PENGGABUNGAN DAN PENGHAPUSAN DESA


Pasal 7
(1)Desa yang karena perkembangan tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dapat digabung dengan Desa lain atau dihapus.
(2)Penggabungan atau penghapusan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh Pemerintah Desa dan BPD dengan
masyarakat desa masing-masing.
(3)Hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dalam
Keputusan Bersama Kepala Desa yang bersangkutan.
(4)Keputusan Ber'sama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan oleh salah satu Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
(5)Hasil penggabungan atau penghapusan desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

materi referensi:
PERMENDAGRI NO. 28 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN,
PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

• 6 bulan lalu
Pendaftaran Penduduk WNI Tinggal
Sementara

Written by admin
Monday, 02 August 2010 23:57
A. Ketentuan Umum :
1. Penduduk Pendatang WNI Tinggal Sementara adalah setiap Warga Negara Republik
Indonesia yang berasal dari luar wilayah Kabupaten Klungkung dan bermaksud
bertempat tinggal sementara di Kabupaten Klungkung
2. Penjamin adalah penduduk/badan hukum/lembaga yang berkedudukan di wilayah
Kabupaten Klungkung yang bersedia menjamin keberadaan penduduk pendatang
3. Kartu Identitas Penduduk Sementara ( KIPS ) adalah dokumen kependudukan sebagai
bukti diri yang sah diberikan kepada penduduk pendatang tinggal sementara yang
beridentitas penduduk luar Propinsi Bali
4. KIPS berlaku selama 3 ( tiga ) bulan dan dapat diperpanjang satu kali
5. Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara ( STPPTS ) adalah dokumen
kependudukan sebagai bukti diri yang sah diberikan kepada penduduk tinggal
sementara yang beridentitas penduduk Propinsi Bali
6. STPPTS berlaku selama 6 ( enam ) bulan dan dapat diperpanjang satu kali
7. Tamu adalah setiap orang baik WNI maupun WNA yang melakukan perjalanan
singkat ke daerah, bukan untuk bertempat tinggal tetap yang lamanya tidak lebih dari
30 ( tiga puluh ) hari
8. Penduduk Sirkuler adalah penduduk yang melakukan perjalanan pulang pergi dari
tempat tinggalnya tidak lebih dari 24 ( dua puluh empat ) jam
9. Tamu dan Penduduk Sirkuler tidak termasuk kategori penduduk pendatang
B. Persyaratan Pendaftaran Penduduk Pendatang Tinggal Sementara :
1. KTP asli dari daerah asal
2. Surat Keterangan Bepergian dari Kepala Desa/Kelurahan daerah asal
3. Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari POLRI daerah asal
4. Memiliki Penjamin yang dinyatakan dengan Surat Pernyataan Sebagai Penjamin
5. Surat Rekomendasi dari Klian Banjar/Bendesa Adat/Pakraman di daerah tujuan
6. Surat Pengantar dari Kepala DusunLingkungan di daerah tujuan
7. Foto copy Akta Kelahiran
8. Membayar biaya administrasi dalam rangka penerbitan KIPS/STPPTS sesuai dengan
Kesepakatan Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se Bali Nomor 153 Tahun 2003
tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Provinsi Bali.
C. Persyaratan Penjamin :
1. Penduduk tetap desa/kelurahan dimana penduduk pendatang yang bersangkutan
didaftarkan dengan bukti KTP yang masih berlaku
2. Memahami dan mematuhi ketentuan administrasi kependudukan
D. Kewajiban Penduduk Pendatang Tinggal Sementara :
1. Memenuhi segala ketentuan dan persyaratan pendaftaran penduduk pendatang yang
telah ditetapkan
2. Mentaati segala ketentuan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku
3. Menghormati aturan yang menyangkut sukerta tata parhyangan, pawongan dan
palemahan yang berlaku di Banjar/Desa Adat/Pakraman setempat
4. Melaksanakan swadharmaning tamiu yang diatur dalam Awig – awig atau Pararem
Banjar/Desa Adat/Pakraman setempat.
E. Kewajiban Penjamin :
1. Melaporkan kedatangan penduduk pendatang yang dijamin selambat – lambatnya 2 x
24 jam kepada Kepala Desa/Kelurahan melalui Kepala Dusun/Lingkungan setempat
2. Bertanggung jawab atas segala perbuatan penduduk pendatang yang dijamin kepada
yang berwajib, apabila penduduk pendatang tersebut melanggar ketentuan yang
berlaku
3. Bertanggung jawab atas kelengkapan administrasi penduduk pendatang yang dijamin
dan mengembalikan ke daerah asal apabila masa berlaku KIPS atau STPPTS nya
sudah habis
4. Melaporkan kepada Kepala Desa/Kelurahan melalui Kepala Dusun/Lingkungan
setempat tentang mutasi atau perpindahan penduduk pendatang yang dijaminnya ke
daerah lain, selambat – lambatnya 2 hari kerja sebelum mutasi atau perpindahan
penduduk pendatang yang bersangkutan.
F. Biaya Administrasi Pendaftaran Penduduk Pendatang Tinggal Sementara :
1. Biaya Administrasi penerbitan KIPS/STPPTS sesuai dengan Kesepakatan Bersama
Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se Bali Nomor 153 Tahun 2003 tentang
Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Provinsi Bali
2. Biaya selaku Krama Tamiu di Banjar/Desa Adat/Pakraman sesuai dengan Awig –
awig/Pararem Banjar/Desa Adat/Pakraman setempat
G. Prosedur Pendaftaran Penduduk Pendatang Tinggal Sementara :
1. Penduduk pendatang dan penjamin memenuhi kelengkapan administrasi yang telah
ditetapkan
2. Penduduk pendatang bersama penjamin melapor kedatangannya secara langsung
kepada Klian Banjar/Bendesa Adat/Pakraman setempat dengan menyerahkan
kelengkapan persyaratan administrasi yang telah ditetapkan untuk mohon rekomendasi
3. Penduduk pendatang bersama penjamin melapor kedatangannya secara langsung
kepada Kepala Dusun/Lingkungan setempat dengan menyerahkan kelengkapan
persyaratan administrasi yang telah ditetapkan dengan dilampiri rekomendasi dari
Klian Banjar/Bendesa Adat/Pakraman untuk memohon surat pengantar
4. Penduduk pendatang bersama penjamin melapor kedatangannya secara langsung
kepada Kepala Desa/Kelurahan dengan menyerahkan kelengkapan persyaratan
administrasi yang telah ditetapkan dengan dilampiri rekomendasi dari Klian
Banjar/Bendesa Adat/Pakraman dan surat pengantar dari Kepala Dusun/Lingkungan
untuk memohon penerbitan Kartu Identitas Penduduk Sementara ( KIPS ) atau Surat
Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal Sementara ( STPPTS )
H. Tugas dan Kewajiban Aparat Lembaga Adat dan Dinas dalam Pendaftaran
Penduduk Pendatang Tinggal Sementara :
1. Klian Banjar/Bendesa Adat/Pakraman
• Memeriksa kelengkapan dan keabsahan persyaratan administrasi pendaftaran
penduduk pendatang dan penjamin yang diserahkan secara langsung oleh penduduk
pendatang dan penjamin yang bersangkutan
• Menyerahkan formulir surat pernyataan sebagai penjamin kepada penjamin untuk di
tandatangani
• Memberikan penjelasan seperlunya mengenai swadharmaning krama tamiu di
Banjar/Desa Adat/Pakraman setempat
• Mencatat identitas penduduk pendatang ke dalam buku registrasi pendaftaran
penduduk pendatang
• Memungut biaya krama tamiu sesuai dengan Awig – awig/Pararem Banjar/Desa
Adat/Pakraman setempat
• Menerbitkan Surat Rekomendasi
2. Kepala Dusun/Lingkungan
• Memeriksa kelengkapan dan keabsahan persyaratan administrasi pendaftaran
penduduk pendatang dan penjamin serta rekomendasi dari Klian Banjar/Bendesa
Adat/Pakraman yang diserahkan secara langsung oleh penduduk pendatang dan
penjamin
• Memberikan penjelasan seperlunya mengenai hak dan tanggung jawab penduduk
pendatang dan penjamin dalam konteks kedinasan
• Mencatat identitas penduduk pendatang dan penjamin ke dalam buku registrasi
pendaftaran penduduk pendatang
• Menerbitkan Surat Pengantar permohonan KIPS/STPPTS
3. Kepala Desa/Kelurahan
• Menerima dan memeriksa kelengkapan dan keabsahan persyaratan administrasi
penduduk pendatang dengan dilampiri surat rekomendasi dari Klian Banjar/Bendesa
Adat/Pakraman dan Surat Pengantar dari Kepala Dusun/Lingkungan
• Mencatat identitas dan keberadaan penduduk pendatang dalam buku register penduduk
pendatang
• Memungut biaya administrasi penerbitan KIPS/STPPTS sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
• Menerbitkan KIPS/STPPTS
• Mengarsipkan berkas – berkas pendaftaran penduduk pendatang
• Melaporkan identitas dan keberadaan penduduk pendatang kepada kecamatan
4. Kecamatan
• Menerima dan meneliti berkas pelaporan dari Desa/Kelurahan
• Melakukan perekaman data
• Mengarsipkan berkas pelaporan
• Mengirim file perekaman data kepada Pmerintah Kabupaten
5. Pemerintah Kabupaten
• Menerima pengiriman data dari Kecamatan
• Memverifikasi dan memutahirkan data ke bank data.

PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG


DESA PAKRAMAN
Oleh: I Ketut Sudantra
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract
The problems that caused by migrant have been felt nowadays disturbing the
comfort of Balinese community. Because that, many step have been taken, by both
of government and Balinese traditional organization of desa pakraman. In
common, desa pakraman has been regulated this migrant matter on an adat
regulation of awig awig. Even if the models and substances of the migrant
regulation are varying, one common principle on awig awig desa pakraman is the
principle of balance between the rights and obligations of the migrants that live
on domain of desa pakraman.
Keywords: awig awig, desa pakraman, migrants, tamyu
PENDAHULUAN
Sesungguhnya, sudah lama orang-orang (pendatang) hadir di Bali, baik
untuk tujuan menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena
melakukan suatu perjalanan. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya
telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun
desa-desa pakraman. Sejarah juga mencatat kedatangan orang-orang muslim yang
”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang
kemudian dilokalisasi dikawasan tertentu, seperti sekarang dapat dilihat di Desa
Saren (Buda Keling Karangasem), Pegayaman (Buleleng), Kepaon (Denpasar).
Sejarah kepariwisataan Bali juga mencatat pendatang-pendatang asing pertama
yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman
(1597), van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan asing
setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda
Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920. Fakta-fakta sejarah tersebut
menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali sesungguhnya
bukanlah suatu hal yang baru.
2
Pada masa lalu, kehadiran pendatang-pendatang ke Bali barangkali belum
menjadi suatu masalah. Tetapi, belakangan ini serbuan penduduk pendatang
dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah menjadi
permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di daerah
perkotaan. Berbagai permasalahan kependudukan dengan dampak ikutannya
seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, pengangguran, kriminalitas,
prostitusi, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya telah mengganggu
kenyamanan orang Bali sendiri. Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat
banyak untuk menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah
dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu
identitas khusus bagi penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang
cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban yang sudah sering dilakukan,
tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi. Dalam kondisi
demikian, orang mulai melirik kepada peranan desa pakraman dalam penanganan
penduduk pendatang. Desa pakraman dengan awig-awignya sering dianggap
sebagai ”dokter segala macam penyakit” yang dapat menangani segala macam
persoalan yang terjadi diwilayahnya. Walaupun orang waras manapun pasti tidak
setuju dengan anggapan tersebut, tampaknya masuk akal bila diadakan kajian
khusus mengenai bagaimana desa pakraman mengatur masalah penduduk
pendatang. Kajian ini penting, sebab sesuai konsep ”wilayah Bali dibagi habis
oleh wilayah-wilayah desa pakraman –kecuali pada kantung-kantung pemukiman
non-Hindu” maka hampir 99% penduduk pendatang yang datang kewilayah
Provinsi Bali dipastikan juga akan menjamah wilayah-wilayah desa pakraman.
Tentu saja desa pakraman sangat berkepentingan untuk mengatur persoalan ini
untuk mewujudkan tujuan desa pakraman itu sendiri, yaitu kasukertan desa sekala
niskala (ketertiban dan ketentraman di desa)
Tulisan berikut mencoba mengkaji kewenangan desa pakraman dalam
mengatur masalah penduduk pendatang dalam awig-awignya, model dan
substansi pengaturannya. Tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan
dengan meneliti bahan-bahan hukum yang relevan, khususnya awig-awig desa
pakraman yang ditelusuri dengan teknik bola salju.
3
AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
Awig-awig sebagai Produk Hukum Desa Pakraman
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti:2005:19).
Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwernang membuat awig-awig
adalah desa pakraman. Disamping desa pakraman, masih banyak lagim organisasi
tradisional Bali lain yang juga mempunyai awig-awig, seperti subak (organisasi
petani lahan sawah), subak abian (organisasi petani lahan tanah kering), dan
kelompok-kelompok sosial lain yang tergabung dalam sekaa-sekaa, seperti sekaa
teruna (organisasi pemuda), sekaa dadya (kelompok sosial yang didasarkan atas
kesamaan leluhur), dan sebagainya.
Penting dikemukakan disini bahwa desa pakraman berbeda dengan desa
yang umum dikenal sebagai organisasi modern yang melaksanakan fungsi
administrasi pemerintahan negara di desa. Desa yang tersebut belakangan lazim
disebut sebagai desa dinas untuk membedakannya dengan desa pakraman yang
melaksanakan fungsi sosial religius dalam masyarakat desa. Kebetradaan dua
bentuk pemerintahan desa ini sudah dimulai sejak jaman kolonial, bahkan
embrionya sudah terbentuk sejak jaman kerajaan Bali-Majapahit (Hunger, 1982:6;
Parimartha, 2003:3-4). Pemerintahan desa pakraman diselenggarakan oleh
prajuru adat dipimpin oleh Bendesa, sedangkan pemerintahan desa dinas
diselenggarakan oleh Pemerintahan Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Produk
hukum desa dinas disebut “peraturan desa” yang termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan RI, dibuat dan ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD
(Sudantra, 2007:84). Produk hukum desa pakraman disebut awig-awig desa
pakraman yang termasuk dalam jenis hukum tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan RI (hukum adat), yang dibuat secara musyawarah mufakat
oleh kerama desa pakraman melalui sebuah paruman desa (rapat desa). Dengan
4
demikian, sudah dapat dibedakan dengan jelas perbedaan antara pengertian istilah
“peraturan desa” dengan istilah “awig-awig desa pakraman” sehingga kedua
istilah tersebut tidak boleh dikacaukan dalam penggunaannya.
Kalau landasan hukum Pemerintahan Desa dalam menetapkan peraturan
desa sudah jelas diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, kini timbul pertanyaan: apa landasan kewenangan desa pakraman
untuk membuat awig-awig?
Sesungguhnya kewenangan desa pakraman dalam membuat awig-awig
mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari
kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.
Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa
pakraman telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk
membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman yang
bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa pakraman
mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”
Desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di
Bali. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
sebagaiomana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
dengan jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 1 angka (4) yang menyatakan
sebagai berikut:
”Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyabngan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”
5
Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 keberadaan desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan
dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa pakraman adalah membuat
awig-awig, disamping menyelenggarakan pemerintahan sendiri, serta
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang
berupa sengketa ataupun pelanggaran adat (Griadhi,1994:10-12). Semua itu
merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa pakraman Dengan demikian,
landasan konstitusional kewenangan desa pakraman untuk membuat awig-awig
dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam tataran peraturan lokal, landasan kewenangan desa pakraman
dalam membuat awig-awig terbaca jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001. Pada Pasal 1 angka 4 (pengertian desa pakraman) dengan
jelas diakui adanya otonomi desa pakraman dengan menyatakan bahwa “desa
pakraman…berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Kemudian dalam Pasal 5
dengan tegas dinyatakan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas…membuat
awig-awig…”. Berdasarkan Peraturan Daerah ini, awig-awig diartikan sebagai
“aturan yang dibuat oleh kerama desa pakraman dan atau kerama banjar pakraman
yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan
desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masingmasing”.
Dari pengertian awig-awig di atas, maka dapat dipahami jika tidak ada
awig-awig yang seratus persen seragam diseluruh Bali, karena awig-awig dibuat
oleh desa pakraman disesuaikan dengan kondisi setempat (desa mawacara) yang
mungkin saja bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan yang lainnya.
Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofi Awig-awig
Dari pengertian awig-awig di atas dapat pula dipahami bahwa awig-awig
adalah penjabaran dari filosofi Tri Hita Karana. Filosofi inilah yang
sesungguhnya menjadi karakter desa pakraman yang membedakannya dengan
kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di luar Bali. Filosofi Tri Hita Karana
ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab
kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut
6
adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pemcipta), Bhuana (alam semesta),
dan manusa (manusia)(Institut Hindu Dharma, 1996:3). Secara umum dapat
dikemukakan bahwa konsepsi Tri Hita Karana berarti bahwa bahwa kesejahteraan
umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terajadi keseimbangan
hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, baik
sebagai individu maupun kelompok.
b. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
c. Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian, sesungguhnya saripati konsepsi tri hita karana tiada lain
adalah nilai harmoni atau keseimbangan. Disamping nilai keseimbangan, nilai
Ketuhanan dan kekeluargaan/kebersamaan juga mewarnai konsespi ini. Nilai
Ketuhanan dapat dilihat dari unsur hubungan yang seimbang antara manusia
dengan Sanghyang Jagat Karana/Tuhan Sang Pencipta, sedangkan nilai
kekeluargaan tercermin dalam unsur hubungan antara dengan sesamanya, baik
sebagai individu maupun kelompok. Nilai-nilai ini sesuai dengan alam pikiran
tradisional masyarakat Indonesia umumnya yang bersifat kosmis,relegius magis
dan komunal.. Manusia diilihat sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat
dipisahkan dengan Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Semua itu, yaitu
manusia, alam semesta, dan Tuhan Sang Pencipta, saling berhubungan dan berada
dalam suatu keseimbangan yang senantiasa harus tetap dijaga. Untuk dapat
mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu kesejahteraan atau kebahagiaan jasmani
dan rohani (moksartham jagadhitaya ca iti dharma) maka masyarakat Bali (etnis
Bali beragama Hindu) senantiasa mengupayakan dan menjaga terpeliharanya
suasana yang harmonis dalam masyarakat, baik vertikal (dalam hubungan
manusia dengan Tuhan) maupun horisontal (dalam manusia dengan sesamanya
dan lingkunagan alamnya). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan
lestari merupakan bagian dari cita-cita masyarakat Bali, suatu konsepsi berpikir
yang merupakan repleksi dari filsafat tri hita karana. Dalam kontek hukum,
suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat diterjemahkan sebagai
suasana yang tertib, adil, aman dan damai atau trepti, sukerta sekala niskala
7
(Sudantra, 2001:2). Dalam bahasa awig-awig desa pakraman, cita-cita di atas
umumnya dirumuskan dengan kalimat: ”ngerajegang sukertan desa saha
pawonganya sekala kalawan niskala”, seperti misalnya dapat dilihat dalam Pawos
3 Awig-awig Desa Adat Kapal, Badung (2007:3)
Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig
Semua desa pakraman di Bali dapat dipastikan mempunyai awig-awig
walaupun bentuknya mungkin saja tidak semua tertulis. Pada awalnya, ketika
masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, awig-awig
ditetapkan secara lisan melalui keputusan-keputusan dalam rapat
(paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah
mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa
itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat. Belakangan, terutama sejak 1969,
ada kecendrungan desa pakraman membuat awig-awig dalam bentuk tertulis,
dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman
Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan
awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek
pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk mmbuat awig-awig tertulis
telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa
hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan
sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior).
Dengan penulisan awig-awig diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)
dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama
desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan
awig-awig penting untuk dilakukan dalam rangka penemuan hukum
(rechtsvinding), yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan
memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat
akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa,
polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan
hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Biro Hukum
Setda Provinsi Bali, 2001:1-2).
8
Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman –
terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan awig-awig
yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara
Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada awig-awig yang ditulis
di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam
kertas biasa. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya
mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan,
sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan
contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig
terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awigawig
terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet
(bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam
beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti
misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas
Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara
Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,
sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali,
yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format
peraturan perundang-undangan, sistematika awig-awig desa pakraman
menyerupai sistematika UUD 1945.
Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok (aturan-aturan
pokok) mengenai kehidupan desa pakraman, sedangkan aturan-aturan
pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam
pengertian luas, awig-awig meliputi pula pararem, dadang-kadang keduanya tidak
dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai
keputusan-keputusan paruman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari
substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama, pararem
penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan
pelaksanaan dari awig-awig; kedua: pararem ngele/pareram lepas, yaitu keputusan
paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam
9
awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat; dan
ketiga: pararem penepas wicara, yang berupa keputusan paruman mengenai suatu
persoalan hukum (perkara) tertentu, baik yang berupa sengketa maupun
pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).
Materi muatan awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita
Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau
parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau
pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun
kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa
dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir awig-awig
umumnya dijelaskan mekanisme penyelesaian masalah apabila terjadi
pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian
masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda
(Masalah dan Sanksi) (Parwata, 2007:56).
Sanksi dalam Awig-awig
Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai
tujuan untuk mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan
keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan),
kemasyarakatan (pawongan), dan keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini
dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim
dikenal sebagai sanksi adat. Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi
adat) ini terdiri dari tiga golongan, yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda
(uang atau barang) disebut artha danda; sanksi yang berkaitan dengan nestapa
jiwa atau fisik disebut jiwa danda; serta sanksi yang berkaitan dengan upaya
pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut panyangaskara danda.
Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat bervariasi dari
yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan artha
danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang
disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag
(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi
10
kewajibannya di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong
ringan misalnya adalah kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman),
sedangkan yang berat adalah kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama
(dipecat sebagai kerama desa). Bantuk sanksi dari golongan panyangaskara
danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci
untuk mengembalikan kesucian desa).
Mekanisme penjatuhan sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman
secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru
banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan
atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di
sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan
sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara
umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa
terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala
dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena
merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman)
desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang
sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau
kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara
pasupati atau pemelaspasan.
PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DALAM AWIG-AWIG
Konsep Penduduk Pendatang dalam Awig-awig
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa desa pakraman mempunyai
kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)
yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya
mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman
dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang. Mengenai
istilah penduduk pendatang, ternyata ternyata sampai saat ini belum ada
keseragaman difinisi. Dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor
11
470/1159/B.T.Pem. tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan bahwa “penduduk
pendatang adalah penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan dari luar
Daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan”, sedangkan
dalam Surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B.Tapen tanggal 14 Nopember 2002
lebih ditegaskan lagi dengan menyatakan bahwa “Penduduk pendatang adalah
penduduk yang datang akibat mutasi kepindahan antar Kabupaten/Kota atau
Propinsi Bali”. Dalam Surat Gubernur yang tersebut terakhir ini, penduduk
pendatang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
(1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga
tahun;
(2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama tinggal paling
lama satu tahun.
Tahun 2003, Gubernur Bali mengadakan kesepakatan bersama dengan Bupati dan
Walikota se Bali yang intinya menyangkut tertib administrasi kependudukan di
masing-masing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali Dalam naskah
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,
pengertian penduduk pendatang dipersempit lagi, tidak termasuk mutasi antar
Kabupaten/Kota seperti yang pernah dirumuskan dalam Surat Gubernur Bali
Nomor 470/7587/B.Tapen. Dalam Pasal 1 Kesepakatan Bersama dinyatakan
bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi
Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara”
Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa
disebut dengan istilah tamiu. Tahun 2006, Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali
mengadakan pesamuan (rapat) yang menghasilkan suatu keputusan mengenai
penggolongan penduduk yang ada diwilayah Provinsi Bali. Dalam Keputusan
Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP
BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali
tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa penduduk Bali dikelompokkan
menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat
sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang
12
tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah
penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Dalam beberapa awigawig
desa pakraman yang sempat diteliti, tampaknya konsep yang dianut sampai
saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua
golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang
beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan
hak dan kewajibannya saja.
Pengaturan Penduduk Pendatang (Tamiu)
Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.
Pertama adalah pengaturan secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja,
sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Model ini misalnya
ditemukan dalam Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan Tabanan
(2004:3) yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Sapasira ugi jenek mapaumahan ring wawengkon wewidangan Desa
Pakraman Gadungan kasinanggeh warga desa;
(2) Warga desa ring ajeng linggihnyane wenten 2 (kalih) soroh:
ha. Warga sane magama Hindu tur sareng nyungkemin kahyangan Desa
Pakraman Gadungan, sinanggeh kerama desa Pakraman Gadungan;
na. Sajaba punika, sinanggeh krama tamiu, sane kasulurang manut
pararem.
Substansi Pawos (Pasal) 4 Awig-awig Desa Pakraman Gadungan di atas pada
prinsipnya adalah bahwa warga (penduduk) yang ada diwilayah Desa Pakraman
Gadungan meliputi:
a. Krama Desa, yaitu warga desa yang beragama Hindu dan ikut
bertanggung jawab terhadap Kahyangan Desa Pakraman Gadungan;
b. Krama Tamiu yang diatur lebih lanjut dalam pararem (keputusan rapat
desa).
Sebagian besar awig-awig desa pakraman yang diteliti menggunakan model ini,
seperti misalnya terdapat dalam Pawos 6 kaping (2) Awig-awig Desa Pakraman
13
Unggasan Badung (2006:3), Pawos 4 kaping (2) Awig-awig Desa Adat Beasan
Klungkung (1993:2), Pawos 5 kaping (3) Awig-awig Desa Adat Jungutbatu Nusa
Penida, dan sebagainya.
Ada beberapa keuntungan dari model pengaturan seperti ini. Pertama,
adanya keleluasaan pengaturan masalah penduduk pendatang secara lebih detil
dalam pararem. Kedua, pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan
dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap
waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan
perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai
masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak
dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu (Parwata, 2007:59).
Kelemahan model ini adalah awig-awig tidak langsung bisa dioperasikan karena
harus menunggu adanya pararem.
Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam
awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya. Model
ini ditemukan dalam Awig-awig Desa Pakraman Kapal (2007:3 dan 5). Dalam
Pawos 4 Awig-awig Desa Pakraman Kapal didifinisikan mengenai pengertian
tamiu, yaitu sebagai penduduk yang ada di wilayah Desa Pakraman Kapal selain
penduduk yang menjadi kerama desa dan warga Desa Adat Kapal. Selengkapnya
Pawos 4 menyatakan sebagai berikut:
(1) Sane sinanggeh krama, inggih punika kulawarga sane magama Hindu
saha ngemong tanah karang ayahan Desa Adat Kapal utawi tanah
bhukti, sampun marabian tur katedunang mabanjar, wioadin kulawarga
sane sareng nyungsung Kahyangan Desa Adat Kapal;
(2) Sane kabawos warga, sahananing kulawarga sane mawiwit saking
krama;
(3) Sajaba punika sinanggeh tamiu.
Selanjutnya, dalam Pawos 12 disebutkan mengenai hak dan kewajiban tamiu
dengan menyatakan sebagai berikut:
Swaddharman lan olih-olihan tamiu:
14
ha. Tamiu sane jumenek ring sajeroning Desa Adat Kapal patut masadok
ring prajuru Banjar, sakirang-kirang ipun adina sasampune wenten
ring Desa Asdat Kapal, malarapan antuk ilikita pastika;
na. Tinut ring tetiwak desane ngupadu pasukertan sakala;
ca. Tan piwal ring sapargin desane;
ra. Ngamolihang pasayuban sakala, makadi: anyud, katiben abing lan
sapanunggilannya.
Termasuk dalam model ini adalah Awig-awig Desa Adat Griyana Kangin
Karangasem yang mengatur sampai besaran kewajiban krama tamiu yang berupa
sesabu, yaitu ”krama desa tamiyu...kakenenin sesabu 10 kg beras” (Pawos 10).
Keuntungan model pengaturan ini adalah awig-awig langsung dapat dioperasikan,
tetapi cendrung kurang fleksibel, sulit menyesuaikan aturan-aturannya dengan
perubahan masyarakat yang sangat cepat karena untuk mengubahnya diperlukan
prosedur tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang agak berat. Itu sebabnya
tidak banyak desa pakraman yang mengatur masalah penduduk pendatang secara
detil dalam awig-awignya.
Pengaturan mengenai bentuk hak dan kewajiban tamiu pada masingmasing
Awig-awig Desa Pakraman yang diteliti juga sangat bervariasi. Variasi ini
dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awigawig
atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing.
Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi
tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap
awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai
penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa
pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada
umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban
sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah,
seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain.
Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban
tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan
sukarela (dana punia), dan sebagainya.
15
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran kedatangan (pasadok), pengawasan, serta tindakan bagi tamiu
apabila melalaikan kewajibannya (linyok ring swadharman tamiu) atau melanggar
awig-awig (mamurug daging awig-awig desa) dilakukan oleh prajuru desa
pakraman (pengurus desa pakraman) selaku penyelenggara pemerintahan desa
pakraman. Struktur prajuru desa pakraman ini bervariasi antara desa pakraman
satu dengan lainnya, tetapi secara umum meliputi Bendesa (Klian Desa) dibantu
oleh pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi sebagai sekretaris (penyarikan),
bendahara (patengen), petugas komunikasi/kurir (kasinoman, juru arah), dan
petugas keamanan (pacalang). Di tingkat banjar (kelompok bagian dari desa
pakraman) prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta
pembantu-pembantunya. Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab
terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal
sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka
mewujudkan kasukertan desa sekala niskala (ketertiban dan kemanaan desa lahir
dan bathin).
PENUTUP
Sebagai penutup uraian ini, beberapa hal perlu ditegaskan kembali.
Pertama, desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk
pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim
disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah
penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman
bersumber dari otonomi desa pakraman yang diakui dan dihormati oleh konstitusi
negara Kesatuan RI melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa model pengaturan
penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan
model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang
terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara
kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam
16
awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang
tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman
(pasayuban) dari desa pakraman sesuai dengan harkatnya sebagai manusia,
berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin
terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang
bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut,
penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan
bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian
dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang
artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya masing-masing.
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari
proses pendaftaran (pasadok), pengawasan dan tindakan yang berkaitan dengan
penduduk pendatang ditangani oleh prajuru desa pakraman sebagai
penyelenggara pemerintahan desa pakraman.
DAFTAR PUSTAKA
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana
Biro Hukum Setda Provinsi Bali, 2001, Pedoman Penyusunan Awig-awig dan
Keputusan Desa Adat.
Desa Duda Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem, tanpa tahun, Awig-awig
Desa Adat Griana Kangin
Desa Pakraman Gadungan Tabanan, 2004, Awig-awig Desa Pakraman Gadungan
Desa Pakraman Kapal Badung, 2004, Awig-awig Desa Adat Kapal
Desa Pakraman Unggasan Badung, 2006, Awig-awig Desa Pakraman Unggasan
Desa Adat Besan Klungkung, 1993, Awig-awig Desa Adat Beasan
Desa Adat Jungutbatu Nusa Penida, tanpa tahun, Awig-awig Desa Adat
Jungutbatu
17
Griadhi I Ketut, 1994, “Karakteritik Dari Otonomi Desa Adat (Suatu Kajian
Teoritis)”, makalah dalam Seminar Desa Adat dalam Pembangunan Daerah
Bali, dalam Lustrum VI dan HUT XXX Fakultas Hukum Unud.
Hunger, F.W.F, 1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan. (terjemahan I Wayan
Dangin), tanpa nama dan alamat penerbit.
Institut Hindu Dharma, 1996, Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Proyek Daerah Tingkat I Bali.
Parimartha, I Gde, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa
Pakraman (Suatu Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas
Udayana, Kampus Bukit Jimbaran.
Parwata, AA Gede Oka, 2007, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”, dalam I
Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Wicara Lan Pamidanda,
Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara Di Luar
Pengadilan, Upada Sastra Denpasar.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor
050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung
Pertama MDP Bali tanggal 3 Maret 2006
Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153
Tahun 2003 tanggal 10 Februari 2003
Sudantra I Ketut, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum
Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III (1), Lembaga Penelitian
Universitas Udayana, Denpasar.
Sudantra I Ketut, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali”, Tesis Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Desa Adat di Bali Dapat Rp 8,9 Milyar


Senin, 12 April 2010 | 11:27 WIB
Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Jakarta -Komitmen untuk menjaga adat dan budaya Bali diwujudkan
Pemerintah Provinsi Bali dengan memberikan bantuan dana hingga Rp 8,9 milyar. Bantuan
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) itu tertuju pada
1.471 Desa dan masing-masing memperoleh Rp 55 juta.

Bantuan itu naik dari tahun lalu yang masing-masing hanya menerima Rp 50 juta. “Kita
harapkan benar-benar dapat membantu kegiatan adat istiadat masyarakat,” ujar Wakil
Gubernur Bali AA Ngurah Puspayoga, Senin (12/4). Misalnya untuk pemeliharaan pura,
upacara keagamaan serta perbaikan fasilitas desa.

Dia menyebut, desa adat adalah wadah berkumpul warga untuk mewujudkan nilai
kebersamaan ajaran “Salungkung Sebayang Taka “ atau kebersamaan di atas segala-galanya.
Tanpa adat, pembangunan Bali yang berdasarkan nilai-nilai budaya tidak aka nada artinya.

Kepala Dinas Kebudayaan Bali Ida Bagus Sedawa mengungkapkan, proses pencairan dana
untuk tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Sebab, pihak Desa Adat harus
mengajukan proposal kegiatan sebelum dapat mencairkan dananya. Hal itu terkait dengan
model pertanggungjawaban keuangan negara yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Tahun lalu, ungkap Sedawa, bantuan Desa Adat itu sempat menjadi catatan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) karena diberikan tanpa prosedur pertanggungjawaban yang jelas.
Akibatnya, sejumlah Desa Adat kesulitan untuk memenuhi persyaratan administrasi setelah
dana dialokasikan. “Yang belum selesia urusan itu kita tunda dulu bantuan untuk tahun ini,”
ujarnya.

Salah-satu Bendesa atau pengurus Desa Adat Pekraman dari kabupaten Buleleng
menyebutkan, saat ini model pertanggungjawaban memang lebih rumit. “Tapi kita merasa
lebih nyaman karena petunjuknya jauh lebih jelas,” kata Made Rimbawa. Bantuan itu sendiri
sangat bermanfaat karena mengurangi beban desa adat khususnya dengan berbagai upacara
adat.
Media ini dibuat untuk menampung segala saran dan kritik Anda, manfaatkan kesempatan ini
untuk kemajuan kota Denpasar.

PENGIRIM : diyael
TANGGAL : 3 Februari 2010
SARAN : Mohon info syarat nikah di Kantor Capil Bali
Dengan Hormat,
Bersama ini kami mohon informasinya bagaimana caranya bagi kami warga negara
indonesia yang tinggal di Luar negri untuk dapat menikah di Bali ? Krn kami sudah tidak
ada KTP asal, hanya ada KK, paspor & surat keterangan dari consulat RI di negara kami
tinggal, surat menikah dari gereja di Indonesia. Dan sekiranya Bp/ Ibu dapat memberitahu
kepada kami dimana kami dapat menghubungi kantor Capil di Kota Denpasar.
Demikian pertanyaan ini kami sampaikan, besar harapan kami Bp/ Ibu dapat membantu
kami & Kami ucapkan terima kasih atas segala bantuan & informasinya.
Hormat kami,

Diyael.

TANGGAPAN DARI :
Dinas Kependudukan & Catatan Sipil Kota Denpasar
http://kependudukan.denpasarkota.go.id

Saudara Diyael,

jika saudara sudah memiliki surat menikah dari gereja di Indonesia, maka saudara cukup
mencatatkan pernikahan saudara di Catatan Sipil setempat. jika saudara belum memiliki
surat menikah dari gereja di Indonesia, maka saudara silahkan menikah dahulu di Gereja,
dengan identitas paspor & surat keterangan dari consulat RI di negara saudara tinggal.
saudara bisa menghubungi Dinas Kependudukan & Catatan Sipil Kota Denpasar, Jl.
Surapati no. 4 - Denpasar, Telp (0361) 237501.

terima kasih.

Perkawinan yang Ideal Menurut Ajaran


Agama Hindu
Posted by: githa90 on: 21 Januari 2010
• In: Artikel Hindu
• Comment!
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut
Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal
katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan;
perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai
dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan
yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa pawiwahan adalah


ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga
mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah
menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-
masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai
naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda
seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan
peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava
dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami
dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada
keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3
hal yaitu:
1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan
Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti
melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat
dilaksanakan secara sempurna.
2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan
melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan
lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang
jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para
guru (Rsi rna).
3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-
kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan
berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan
No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan
untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama
Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya
sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan
dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan
adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga
bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran
Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri
terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah
mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra
yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan
kebahagiaan kekal (moksa).
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk
perkawinan sebagai berikut:
Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu
1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan
baik yang diundang oleh pihak wanita.
2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak
timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan
dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
4. Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang
putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan
mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan
dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
5. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima
wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh
pihak wanita.
6. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta
dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
7. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa
wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
8. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-
diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga
mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra
maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
• Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua
calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan
tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin
serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang
memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah.
Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu
yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra
III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan
air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan
pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
• Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah
mutlak karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita,
sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava
Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai
usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya,
bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus
menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat
dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka
tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat
mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
• Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974,
dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari
dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan
sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan
upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari
Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang
memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang
tidak memiliki etika.
• Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu
disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat
keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan
tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat
keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili,
surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu
Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu
perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai
berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya
dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara
kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan
hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak
mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain
Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan
kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan
melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara
adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut
dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan
mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah
meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan Sudharta,
2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat
maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama
Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu
menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat
pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai
itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya
daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua
calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya
jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain
masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk
kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh
bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini
kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh
suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka
simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan
biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum
yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada
lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda
atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian
pujaan yang dilantunkan.
9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan
menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk
memamerkan kemewahan.
Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang
ideal menurut agama Hindu. Perkawinan yang sakral tidak boleh dilakukan secara
sembarangan dan oleh sebab itu sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan
dahulu secara matang agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga

Persyaratan Pendaftaran Pernikahan Di Kantor Catatan Sipil


Saturday January 16th, 2010 in Wedding Preparation | No Comments »
Berikut Persyaratan Pendaftaran Pernikahan Di Kantor Catatan Sipil :
1. Akte Kelahiran kedua calon mempelai (asli dan photocopy).
2. Surat Pemandian/Baptis/Sidi/ kedua calon mempelai.
3. Surat simpatisan dari Gereja/Tanda Warga Katholik (asli dan photocopy).
4. Surat Nikah Gereja (asli dan photocopy) kedua calon mempelai (2 lembar).
5. Surat Tanda Anggota Bina Agama Hindu/Budha yang bersangkutan (asli dan photocopy).
6. Surat Keterangan Penduduk (KTP) (asli dan photocopy) yang berlaku.
7. Surat Keterangan Belum Pernah Kawin dari Kelurahan/Kecamatan (asli).
8. Bagi yang umurnya belum genap 21 tahun agar menyertakan :
a. Akta Izin Kawin dari orangtua
b. Akta Kematian orangtua (jika orangtuanya telah meninggal dunia)
c. Photocopy KTP orangtua
d. Orangtua hadir pada waktu pencatatan perkawinan
1. Bagi yang sudah menikah :
a. Akta Perceraian asli dan photocopy (2 lembar)
b. Akta Kematian dari Catatan Sipil asli dan photocopy (2 lembar) suami/istri (jika
janda/duda telah meninggal dunia)
10. Kartu Keluarga (asli dan photocopy) yang masih berlaku.
11. Pemberkatan Perkawinan menurut Agamanya (asli dan photocopy).
12. Pas foto 4 x 6 (3 lembar) berwarna, latar belakang biru dan berdampingan.
13. Akta Nikah orangtua (asli dan photocopy).
14.Akta Kelahiran orangtua.
15. Photocopy KTP saksi 2 (dua) orang.
16. Surat Keterangan Gereja (dari kota yang bersangkutan) bagi Pemberkatannya diluar
kota.
17. Surat Kuasa dan photocopy KTP.
18. Surat keterangan dari lurah masing-masing Model N1 – N4 1 set asli dan photocopy
(2 set).
19. Materai Rp. 6.000,- (6 lembar).
20. Photocopy dari SKBRI** untuk WNI Keturunan (2 lembar).
21. Photocopy K-1 kedua calon mempelai untuk WNI Keturunan (2 lembar).
22. Surat Izin Komandan (bagi anggota ABRI).
UPACARA
NGABEN KETURUNAN RAJA UBUD

Pada tanggal 8 Juli 2003 lalu telah meninggal dunia


seorang keturunan langsung dari kerajaan Ubud
bernama Cokorda Oka Sudharsana. Beliau adalah
salah satu keluarga yang tinggal di sebelah barat
Puri Ubud yaitu Puri Saren Kangin.

Upacara Ngaben Cokorda Oka Sudharsana


dilaksanakan Sabtu (27/12) di Pura dalam puri
Ubud. Upacara ini diselenggarakan secara simbolik
dengan kayu cendana. Pasalnya, jasad Cokorda
telah dikremasi pada waktu meninggal dan rohnya
telah dititipkan di laut.

Pada awal-awal bulan Desember, tanpa diminta


masyarakat sekitar yang ditinggalkan mendiang
sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Kepedulian dan pengorbanan sesama masyarakat


di Bali sangat tinggi. Meski mereka masih terbagi
dalam beberapa kasta, mereka tetap bersatu
bekerja bersama-sama untuk menyukseskan
upacara Ngaben.

ADA TIGA TINGKATAN


Kematian bagi orang Bali adalah kembalinya
manusia kepada asalnya yaitu air, tanah, api,
udara, dan kosong sesuai dengan ajaran Hindu
Bali. Kematian, bagi masyarakat Bali tak bisa lepas
dari upacara adat Ngaben. "Upacara Ngaben dapat
dilakukan sendiri-sendiri atau secara massal dan
dilaksanakan sesuai dengan kasta orang yang telah
meninggal. Masing-masing kasta mempunyai
tempat pembakaran. Keturunan raja akan selalu
mendapatkan posisi Ngaben di panggung tengah.
Masyarakat biasa berposisi di sekitar panggung
tengah yang tempatnya lebih rendah dari
keturunan raja," ujar Cokorda Raka Kerthyasa,
pemuka adat setempat, kepada NOVA.

Menurut Kerthyasa, tidak semua kematian dapat


langsung diupacarakan Ngaben. Keputusan ini
harus ditanyakan dahulu kepada seorang Pedanda
(Pendeta) yang akan memperhitungkan kapan
waktu terbaik. "Selain itu, pihak keluarga juga
memperhitungkan kondisi keuangannya. Biaya
untuk mengadakan Ngaben memang tidak kecil.
Canang Sari - Dharmawacana

Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa


Nawa Sandhi

Tentang: SWADARMANING PEMANGKU DAN CUNTAKA 16

5 Okt 2003

Rekan-rekan sedharma Yth.


Om Swastyastu,

Bulan yll. saya sudah pernah membahas mengenai cuntaka, dan sudah
dimuat di Raditya No. 74 September 2003 halaman 87-88, harap dibuka-
buka lagi. Untuk orang yang meninggal dunia penjelasannya lebih
lengkap, mengacu pada Lontar Catur Cuntaka, dan Kesatuan Tafsir
Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu sebagai berikut:

1. Bila sudah lama meninggal (lebih dari 42 hari sejak dikubur), lalu akan dibuatkan
upacara Pitra Yadnya, maka cuntaka mulai sejak upacara Mejauman, sampai
Ngaben. Setelah Ngaben, cuntaka segera berakhir jika sudah ada upacara mecaru di
rumah, mabeyakala dan maprayascita bagi seluruh keluarga yang ngaben, sehingga
ketika melanjutkan pada upacara Nyekah, Mepaingkup dan Meajar-ajar, sudah
tidak cuntaka lagi.
2. Untuk jenazah baru yang di kuburkan, cuntaka dimulai sejak wafatnya keluarga itu
(paling jauh sampai mindon) sampai tiga hari setelah dikuburkan. Namun ada juga
yang memakai "tradisi" gugon tuwon membebaskan cuntaka lebih dari tiga hari
setelah di kubur, misalnya 7 hari, 42 hari dst.
3. Untuk jenazah baru yang dibuatkan upacara "Makingsan ring Gni" cuntaka dimulai
sejak wafatnya keluarga itu (paling jauh sampai mindon) sampai selesai
pembakaran di setra dan nganyut ke segara, dengan syarat di rumah duka mecaru
dan semua keluarga mabeakala dan maprayascita.
4. Untuk jenazah baru yang dibuatkan upacara "Pitra Yadnya", cuntaka
dimulai sejak wafatnya keluarga itu (paling jauh sampai mindon) sampai
selesai upacara Ngaben, dengan syarat di rumah duka ada upacara
mecaru dan semua keluarga mabeakala dan maprayascita.
Jero Mangku dan semua orang yang sudah Mawinten jika memegang jenazah, nyumbah
jenazah, atau "kaungkulin" Tirta Pengentas, maka Pawintenannya harus diulang kembali,
dengan istilah di Bali disebut "Masepuh" tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita,
apalagi hanya me-banyuawangan saja.
Sekarang bagaimana halnya kalau yang meninggal itu kakak/ ayah/ ibu/ kakek/ nenek dari
mereka yang mawinten, apakah juga yang mawinten tidak boleh nyumbah atau memegang
(apalagi memandikan) jenazahnya? Jawabannya tegas: TIDAK BOLEH. Karena Jero
Mangku sudah menjadi TAPAKAN WIDHI.
Apakah ia tidak berdosa atau kurang bhakti kepada yang lebih tua? Jawabannya: TIDAK,
karena:
1. Sebelum dia mawinten dia harus "Nyumbah" dahulu semua kakak/ ayah/ ibu/
kakek/ nenek/ dll. Jadi ketika mereka meninggal dunia, Jero Mangku sudah tidak
berhutang sumbah.
2. Ada jalan lain jika yang nomor 1 belum dilaksanakan, yaitu "mesatia rambut" di
mana Jero Mangku menggunduli seluruh rambut kepalanya jadi plontos
("amundi"). Rambut itu di bungkus dengan kain putih, diberikan "kwangen"
dengan uang 11 kepeng, lalu di letakkan di dada jenazah, ketika selesai "nyiramang
layon" (memandikan jenazah). Rambut itu terus di"lelet" (bungkus) bersama
jenazah, menyatu.
Upacara pensucian keluarga untuk kasus jenazah yang ditanam di kuburan seperti yang
dikemukakan di atas, dengan mecaru, mabeakala, maprayascita adalah tiga hari setelah di
kubur. Sekali lagi tidak cukup hanya dengan ma-banyuawangan saja.

Mebanyuawangan itu hanya bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga (sampai
mindon) dilakukan segera setelah pulang melayat. Jika jenazahnya bermalam tujuh hari
(misalnya) dan setiap hari anda (bukan keluarga) ngeleyat maka setiap hari pulang dari
ngelayat anda harus mebanyuawangan. "Banyu" artinya air, dan "awang" artinya
pengentas kesucian. Jadi Banyuawang adalah tirta yang diperoleh dari air kelapa gading
muda (klungah) diisi dengan tepung tawar: semacam banten kecil terdiri dari unsur-unsur:
arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris, kemudian ada "lis" dari
"jejahitan" daun kelapa muda.

"Mindon" artinya anak-anak dari Bapak/ Ibu yang "memisan" (bersepupu). Jadi kalau
Bapak/ Ibunya bersepupu dengan Bapak/ Ibu lain, maka anak-anaknya ini namanya
"mindon". Itulah batasan cuntaka dalam lingkup keluarga. Namun walaupun ia sudah lebih
dari memindon jika ia turut aktif dalam upacara kematian maka dia terkena cuntaka.
Sebaliknya jika ia lebih dari hubungan mindon dengan "sang lina" (almarhum), karena
tempatnya jauh, tidak sempat pulang/ ketemu, walaupun "tunggal dadia" (ada dalam satu
kekerabatan Sanggah Pamerajan), maka dia TIDAK terkena cuntaka.
Apa sudah jelas? Atau malah makin bingung? Nah jika makin bingung tanya lagi, atau
baca lagi berkali-kali. Jangan putus asa atau mundur. Makin banyak kita belajar rasanya
makin bodoh. Logikanya makin banyak kita belajar, baru kita tahu bahwa Ilmu itu begitu
luasnya, sedangkan yang kita kuasai ibarat sebutir pasir dari samudra. Itulah Weda.
Wejangan Nabe saya, andaikan anda reinkarnasi ke dunia sampai 20 kali, dan setiap kali
reinkarnasi anda belajar Weda dengan tekun, belum tentu anda bisa menguasai Weda
seluruhnya dengan sempurna, karena Weda itu ibarat mutiara yang terlepas dari
untaiannya, kita harus mencari, mencari, mencari, mencari terus, jangan berhenti belajar
selama hayat dikandung badan.
Om Santi, Santi, Santi, Om....

Top of Form

Cari ibd

Mencari Kata

Bottom of Form
16
Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa
Nawa Sandhi

Geria Tamansari Lingga Ashrama

Jalan Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja, Bali

Telpon: 0362-22113, 0362-27010. HP. 081-


797-1986-4

You might also like