You are on page 1of 8

KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich

Konsep Dasar Kedudukan dan Fungsi Bahasa

Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai.
Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi baut yang
Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai kedua istilah
itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak
pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya
pengertian kedudukan dan fungsi bahasa? Samakah dengan pengertian yang pernah kita
pakai?

Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan
maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan
nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya
selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti
kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota
bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit
oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.

Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat
bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan
mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya
secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’
yang dikenakan padanya.

Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingual), akan dapat ‘memilah-
milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak
akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa
bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya
dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah.
Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah
disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke
dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan
unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.

Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan,
misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya
ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang
bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan
nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat
dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

Janganlah sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa


Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran
bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan
pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagi Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.)
Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti
prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta
batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda
Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.

Kami poetera dan poeteri Indonesia


mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.

Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah
butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian,
sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal
yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh
pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah
mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada
mereka.

Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai
sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad
sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak
merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa
bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab
yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu
yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah.
Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran
masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung
lancarnya inspirasi sakti di atas.

Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia
pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata
jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya.
Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan
atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu
sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa
semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.

“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada
tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2)
lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-
beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya
antardaerah.

Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial


budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa
Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus
mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita
harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga
memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.

Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa


Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat,
perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu,
maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di
dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa
Indonesia yang sebenarnya.

Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar
belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam
kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa
Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan
tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan
bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya
daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi
bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah
diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.

Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan
sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang
berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat
bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita
tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa
Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat
saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan
strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya.
Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat
peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan
pembangunan akan cepat tercapai.

Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi

Sebagaimana kedudukannya sebagai bhasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa


negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian
berikut.

Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari
bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga
digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan
sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa
Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang
mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia.
Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi
berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.

Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu
terlihat pada perbandingan berikut ini.
Bahasa Melayu: Bahasa Indonesia:
a. Bahasa resmi kedua di samping a. Bahasa yang digunakan dalam
bahasa Belanda, terutama untuk gerakan kebangsaan untuk
tingkat yang dianggap rendah. mencapai kemerdekaan Indonesia.
b. Bahasa yang diajarkan di sekolah- b. Bahasa yang digunakan dalam
sekolah yang didirikan atau penerbitan-penerbitan yang
menurut sistem pemerintah Hindia bertuju-an untuk mewujudkan
Belanda. cita-cita perjuangan kemerdekaan
Indonesia baik berupa:
c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola
oleh jawatan pemerintah Hindia 1) bahasa pers,
Belanda.
2) bahasa dalam hasil sastra.

Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.

Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus


1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam
Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan
yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang
akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara
tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat
tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.

Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa
negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk
negara itu, (2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3)
bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa yang terdapat
di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama
faktor yang nomor (3). Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin
mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk
menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya
dengan negara Indonesia. Ketig faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun
1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya
sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, hal yang
dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab
itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.

Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di


Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya
sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
(4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan serta teknologi modern.

Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai
ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.

Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI
1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan
kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.

Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh


pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato
atas nama pemerintah atau dalam rangka menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan
dituliskan dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap
presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan
kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana
dengan kita?

Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-
lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya
saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya
menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah
anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.

Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di


lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak
hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan
buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan,
sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu
pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia
berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.

Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan


perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai
dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat.
Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu
media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi
atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua
(baca: masyarakat).

Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa
Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal
dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat
disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain
bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang
Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam
penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas,
penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer,
majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakn bahasa
Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai
bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan
tinggi.

Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia


sebagai Bahasa Negara/Resmi

Perbedaan dari Segi Ujudnya

Apabila kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari
Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka
peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang
semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau,
bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.

Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-
surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.

Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau
suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’,
‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak
akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita
sebagaimana contoh di atas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat
yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.

Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedan ujud antara bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di
atas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita
lakukan pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan
secara khusus memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan
oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata
tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan administrasi.
Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum
terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan
dan situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk
memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia
punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya),
‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk
begini), dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.

Perbedaan dari Proses Terbentuknya

Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa
Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di dalam uraian
pada butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.

Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putra
Indonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu
kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh
mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang
menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah srana
komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa
Indonesia yang lingua franca itu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.

Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya


bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa
Indonesia itu sendiri yang secara geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh
wilayah Indonesia dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada
saat itu bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu
bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh pemakai
bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu menerimanya dengan
suara bulat.

Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut


dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang berbeda.

Perbedaan dari Segi Fungsinya

Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan
tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.

Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab kita
terhadp pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai
fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga kita
berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas
pertanyaan itulah yng membedakan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi
bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai
bahasa negara/resmi.

Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung


antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah tanah air
Indonesia. Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di
wilayah Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab
moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.

Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi
karena dia warga negara Indonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga
Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotnyan
berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar
berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina
yang berwarga negara Indonesia ataukah tidak.

Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena


dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara
Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.

You might also like