You are on page 1of 10

Qiraat Al-Quran Dan Para 

Ahlinya
Posted on Maret 29, 2007 by elfadhi| Tinggalkan komentar

Qiraat Al-Quran Dan Para Ahlinya

Qiraat adalah jamak dari qira�ah, yang berarti �bacaan�, dan ia adalah masdar
(verbal noun) dari qara�a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab
(aliran) pengucapan Qur�an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qiaraat sebagai
suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode
qurra (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur�an kepada orang-orang
menurut cara mereka-mereka masing adalah dengan berpedoman kepada masa para
sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajar qiraat ialah Ubai ra, Ali bin Abi
Thalib ra, Zaid ra, Ibn Masud ra dan Abu Musa al Ansary ra serta masih banyak lagi yang
lainnya. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi`in di berbagai negeri belajar
qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.
Az Zahabi menyebutkan di dalam kitab Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal
sebagai guru dan ahli qiraat Qur�an ada tujuh orang, yaitu :
1. Usman bin Al-`Affan ra
2. Ali bin Abi Thalib ra
3. Ubai bin Kaab ra
4. Zaid bin Haritsah ra
5. Abu Darda ra
6. Abu Musa al Anshary ra.
7. Ibnu Mas`ud ra.
Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai,
diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa`id, Ibn Abbas belajar pula
kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi�in disetiap negri
mempelajari qiraat.
Diantara para tabi�in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab,
�Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan �Ata�- keduanya putra Yasar-,
Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz al Qari�, Abdurrahman bin Hurmuz al
A�raj, Ibn Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Mekkah ialah : Ubaid bin Umar, �Ata�, bin Abu Rabah, Tawus,
Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi�in yang tinggal di Kuffah ialah : Alqamah, al Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr, bin
Syurahbil, al Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurahman as Sulami, Said bin
Jubair, an Nakha�i, dan as Sya�bi.
Yang tinggal di Basyrah ialah : Abu Aliyah, Abu Raja�, Nasr bin �Asim, Yahya bin
Ya�mar, al Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedang yang tinggal di Syam ialah : al Mughirah bin Abu Syihab al Makhzumi-murid
Usman, dan Khalifah bin Sa�d- sahabat Abu Darda�.
Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi�in, tampilah sejumlah ulama yang
membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena
keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat yang lainnya, sehingga
mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi
ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada
mereka dihubungkan;ah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini.
Para qiraat tersebut di madinah ialah : Abu Ja�far Yazid bin Qa�qa�, kemudian
Nafi� bin Abdurrahman, ahli qiraat di mekkah ialah : Abdullah bin Kasir dan Humaid
bin Qais al A�raj. Di Kufah ialah : Asim bin Abu Najud, Sulaiman al A�masy,
kemudian Hamzah dan kemudian al Kisa�i. Di Basrah ialah : Abdullah bin Abu Ishaq,,
Isa Ibn Amr, , Abu A�mar �Ala�, Asim al Jahdari dan Ya;kub al Hadrami. Dan di
Syam ialah : Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin
Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al Hadrami.
Ketujuh orang yang terkenal sebagai ahli qiraat diseluruh dunia diantara nama-nama
tersebut ialah Abu �Amr, Nafi� , Asim, Hamzah, al Kisa�I, Ibn �Amir dan Ibn
Kasir.�
Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf- sebagaimana yang dimaksdkan dalam hadis pada
bab diatas- menurut pendapat yang paling kuat. Meskipun kesamaan bilangan diantara
keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan
qur�an para imam, yang secara ijma� masih tetap exis dan digunakan umat hingga
kini. Dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti :
tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba�, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain
sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yangvtelah kita
jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( al �Urdah
al �Akhirah), yaitu ketika wilayah expansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-
huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para
sahabata pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf,
yaitu huruf quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana
telah kita jelaskan.
Popularitas Tujuh Imam Qiraat
Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh
orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi
disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang
sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja�far Yazin bin Qa�qa� al Madani,
Ya�kub Bin Ishaq al Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan
tujuh imam diatas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat diluar yang sepuluh ini
dipandang qiraat syaz. Seperti qiraat Yazidi, Hasan, A�masy, Ibn Jubair dan lain-lain.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat
tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih
terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada
abad ketiga hijri. Bila tidak demikian maka sebenarnya para imam yang dapat
mempertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada abad permulaan
kedua umat islam di Basrah memilih qiraat Ibn �Amr dan Ya�kub; di Kufah orang-
orang memilih qiraat Hamzah dan �Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn �Amir;
di mekkah mereka meilih qiraat Ibn Kasir, dan di madinag memilih qiraat Nafi�.
Mereka itulah tujuh orang qari, tetapi pada permulaan abad ke tiga Abu Bakar bin
Mujahid menetapkan nama al Kisa�I dan membuang nama Ya�kub dari kelompok
tujuh huruf tersebut.
Berkata as Suyuti : �Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat ialah Abu
Ubaid al Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al Kufi, kemudian Ismail bin
Ishaq al Maliki, murid Qalun, kemudian Abu Ja�far bin Jarir at Tabari, kemudian Abu
Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad Dajuni. Kemudian Abu Bakar bin Mujahid.
Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampulah para ahli yang
menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup qiraat maupun
tidak, secara singkat maupun panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak
terhitung jumlahnya. Hafizul islam Abu Abdullah Az Zahabi telah mentusun tabaqat
(sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra Abul Khair bin
Jaziri.�
Imam Ibn Jaziri didalam an Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah
menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaid al Qasim Ibn
Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qiraat
selain yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu,
Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang
membatasi hanya pada qiraat tujuh imam saja. Ia wafat pada 324. selanjutnya ia
mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa
qiraat yang benar ialah qiraat-qiraat yang berasal dari tujuh imam. Bahkan dalam
pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang
terdapat didalam asy- Syatibiyyah dan at-Taisir.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur pada hal masih banyak
imam-imam qirat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan
jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qiraat mereka.
Ketika semangat dan perhatian para generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya
untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat mushaf serta dapat
mempermudah penghafalan dan pen-dabi-tan qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi
penerus ini ialah memperhatikan siapa diantara ahli qiraat itu yang lebih populer
kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat adan adanya
kesepakatn untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri
dipilihlah seorang imam. Tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam diluar yang
tujuh orang itu, seperti qiraat Ya�kub al Hadrami, Abu Ja�far al Madani, Syaibah bin
Nassa� dsb.
Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat
pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut,
merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari-qari lain yang lebih
tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para
qari� yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat terpercaya. Ibn Jabr al
Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi hanya pada
lima orang qari saja. Ia memilih seorang Imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan
bahwa mushaf yang dikirimkan Usman kenegeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara
itu seebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima
buah seperti ditulis oleh al makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi
ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya.
Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang
disebarkan Usman tersebut. Maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Bahrain itu mereka
mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh
karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat itu,
tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah.sebab jumlah itu hanyalah
hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan
tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari itupun akan terkenal
pula. Abu Bakar Ibnul Arabi berkata : Penentuan ketujuh orang qari ini tidak
dimaksudkan behwa qiraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga qiraat
yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Ja�fa, Syaibah, al A�masyi dll.
Karena para qari ini pun kedudukannya sama dengan tujuh atau bahkan lebih tinggi,�
pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli qiraat lainnya.
Abu Hayyan berkata : � Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang
mengikutinyasebenarnya tidak terdapat qiraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali.
Sebagai misal Abu Amr Ibnul A�la, ia terkenal mempunyai tujuh belas perawi-
kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya
disebutkan al Yazidi, dan dari al Yazidi inipun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi.
Maka bagaimana ia dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as Susi dan ad
Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain ? sedang
para perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk
diambil.� Dan katanya pula:� aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Mujahid ini selain
dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya,�
Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz.
Menurt mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad ialah tiga
qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat pra sahabat, dan
selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah dalam hal ini
baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit
atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al Mursyidul Wajiz
mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan
kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih
(benar) dan seperti itulah qiraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun
tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari
seorang imam tersebut tanpa menukil qiraat dari yang lain, atau khusus hanya
menukilkan qiraat dari imam tujuh orang saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua
qiraat berasal dari qurra lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari
kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman ialah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-
syarat , bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang
dihubungkan kepada stiap qari yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati
(mujma� �alaih) da ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari yang tujuh
dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih
tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal darimereka melebihi qiraat yang
bersumber dari qari-qari lainnya.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,
baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti,
diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra�yu
(penalaran).
2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, sekalipun hanya mendekati saja.
Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat teah bersungguh-sungguh dalam
membuat rasm (cara ppenulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat
yang mereka ketahui. Misalnya mereka akan menuliskan �asshiratha� dalam ayat
�ihdinassirathalmustaqim� (al Fatihah: 6) dengan shad sebagai ganti dari sin. Mereka
tidak menuliskan sin yakni �assiratha�. Meskipun dalam satu segi berbeda dalam satu
rasm. Namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz
tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan
isymam untuk itupun dimungkinkan pula.
Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafaqah
ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti
�Maalikiyaumiddin� (al Fatihah: 4), lafal �Maliki� dituliskan dalam semua mushaf
dengan membuang �Alif�, sehingga dibaca �ãÇ ááÆ � sesuai dengan rasm secara
tahqiq (jelas) dan dibaca pula �Maliki� sesuai dengan rasm secara ihtimal
(kemungkinan). Dan demikian pula contoh yang lain.
Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah
�Ta�lamuun�, dengan �Ta� dan �Ya�. Juga �Yaghfirlakum� dengan �Ya�
dan �nun� dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan dan syakal baik ketika
dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat
dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian
setiap ilmu.
Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan
semua mushaf, cukup dengan apa yang tedapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya
qiraat Ibn �Amr �Wabizzuburi wabalkitabi� (Ali-�Imran: 184) dengan menetapkan
�Ba� pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan
pula dalam mushaf Syami.
3.Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang
didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa
arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau
lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung
beban apapun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalan dabit bagi qiraat yang sahih. Apa bila ketiga
syarat ini yang terpenuhi, yaitu: 1) sesuai dengan bahasa arab 2) sesuai degan rasm
mushaf dan 3) sahih sanadnya, maka qiraaat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila
salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraaat yang lemah,
syaz atau batil.
Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qiraat
sahih yang telah memenuhi ayarat-syarat tersebut, hanya semata-mata qiraat tersebut
bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan
bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi
kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan khaidah ini sebagai
pedoman bagi qur�an. Hal ini karena qur�an adalah sumber pertama dan pokok bagi
pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur�an sendiri didasarkan pada kesahihan,
penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para Qari; bagaimanapun juga adanya. Ibn
Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraaat yang sahih ini
menegaskan, kata-kata dalam kaidah diatas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami
maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih,
disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah
mengurangi kesahihan, sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan
diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi
dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh
ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka iti tidak perlu
dihiraukan. Seperti mensukunkan �Baari� kum� dan �Ya� murkum�
mengkhafadkan �Walarham� , menasabkan �Liyujzi ya qauman� dan memisahkan
antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat �Qatlu aula dahum syuraka
ihim� dan sebagainya;
Berkata Abu �Amr ad Dani, para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-
huruf qur�an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling
sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih
dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mentap maka, aturan
kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat
adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber
acuan. Zaid bin Sabit berkata� qiraat adalah sunah muttaba�ah, sunah yang harus
diikuti.
Baihaqi menjelaskan maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang
sebelum kita dalam hal qiraat qur�an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti,
tidak boleh menyalahi mushaf dan merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-
qiraat yang masyhur, meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab. Sebagian utama
menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam :
1. Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya
bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal
qiraat.
2. Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir,
sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm Usmani serta terkenal pula dikalangan para
ahli qiraat, sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para
ulama menyebutkan bahwa qiraat semacam ini termasuk qiraat yang dapat diapakai atau
digunakan.
3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi
kaidah bahasa arab atau tidaj terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah
disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya.
Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi
membaca �Mutta kiina �ala rafa rifa khudrin wa aba qariya hisanin� (ar Rahman :
76) dan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca �Laqad ja akum rasulun
min anfusikum� (at Taubah :128), dengan membaca fathah huruf �Fa�.
4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, sepeti qiraat arab �Malaka yaumad
daini� (al Fatihah: 4), dengan bentuk fi�l madi dan menasabkan �Yauma�.
5. Maudu,� yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seerti qiraat Ibn
Abbas; � Laisa �alaikum junahun an tabtaghu fadlan min rab bakum fi mawasimil
hajja faidzak fad tum min �arafatin � (al Baqarah :198). . kalimat �fi mawasimil
hajja� adalah penafsiran yang disisipkan kedalam ayat.
Keenam macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat
bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti Masyhur, tidak
boleh dibaca didalam maupun diluar salat.
An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarh Al Muhazzab berkata: �qiraat yang
syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun diluar salat, karena ia bukan qur�an.
Qur�an yang ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak
mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah satu jahil. Seandainya
seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus
diingkari baik bacaab itu didalam maupun diluar salat. Para fuqaha bagdad sepakat
bahwa orang yang membaca qur�an dengan qiraat yang syaz harus disusruh bertobat.
Ibn Abdil Barr menukilkan �ijma� kaum muslimin bahwa qur�an tidak boleh dibaca
dengan qiraat yang syaz dan juga tidak syah salat di belakang orang yang membaca
qur�an dengan qiraat-qiraat yang syaz itu.��
1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan pada hal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-
beda.
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca qur�an.
3. Bukti kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan makna (I�jaz)nya, karena setiap
qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara� tertentu tanpa perlu pergulangan lafaz.
Misalnya ayat �Wam sahu bi ru�u sikum wa arjulikum ila ka�baini� (al Midah:6)
dengan m,enasbkan dan mengkhafadkan kata �Waarjulikum�. Dalam qiraat yang
menasabkan dalam penjelasan qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum dengan
alasan lafaz itu di �athafkan kepada ma;mul fi�il masaha �Wa am sahu biru�usikum
waarjulikum� dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa
berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan
maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.misalnya, lafaz
�yathhurna� dalam ayat �Wala taq rabu hunna hatta yathhurna� (al Baqarah: 222),
yang dibaca dengan tasydid, �yaththharna� dan takhfif �yath hurna�.
Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan tahfif, sesuai dengan pendapat
jumhur ulama. Karena itu isteri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya. Karena
telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum isteri tersebut bersuci dari air.
Dan qiraat �Fam dzu ila dzikrillah� menjelaskan arti yang dimaksud qiraat �Fas
aw� yaitu pergi, bukan berjalan cepat- dalam firmanNya : �Ya ayyuhall ladzina amanu
idza nu diya ti lissalati min yaumil jum�ati fas aw ila dzikrillah� ( al Maidah: 38)
sebagai ganti kata �Aidiya huma� juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong.
Demikian pula qiraat �Wallahu akhun aw ukhtun min umma falikulla wahidin min
humas sudusu� (an Nisa; 12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam
ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan
bahwa dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbulah perbedaan dalam hukumnya.
Berkata Abu Ubaidah dalam fada�ilul qur�an, : maksud qiraat yang syaz ialah ;
menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat
Aisyah dan Hafsah �Washalatil wustha shalatil ashri�(al Bqarah:238). Qiraat Ibn
Maus�ud � Faqtha�u aimana huma� (al Maidah:38), dan qiraat Jabir �Fainnallaha
min ba�di ikri hinna lahunna ghafururrahim (an Nur: 33) katanya pula : huruf-huruf
(qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsiran qur�an.
Qiraat- penafsiran- ini adalah diriwayatkan dari tabi�in dan kemudian dianggap baik.
Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan
bahkan kemudian menjadi bagian dari suau qiraat ? tentu hal ini lebih baik dan labih kuat
dari pada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini
ialah pengetahuan tentang ta�wil yang benar (sahih).
Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin
Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan
cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan
dikembangkan qiraatnnya adalah :
1. Abu �Amirbin �Ala
Beliau seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin �Ala bin
�Amr Al Mazini Al Basri. Ada yang mengataklan bahwa namanya adalah Yahya. Juga
dikatakan bahwa nama aslinya adalah Kunyah-nya itu. ia wafat di Kufah 154 H. dan dua
orang perawinya adalah ad Dauri dan as Susi.
Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz adDauri anNahwi. Ad Dauri
nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 264 H.
As-Susi adalah Abu Syu�aib Salih bin Ziyad bin Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H.
2. Ibn Kasir.
Nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al Makki. Dia termasuk seorang tabi�in dan wafat
dimekkah tahun 120 H. dua orang perawinya ialah al Basyi dan qunbul.
Al Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Baza, muadzin di mekkah
dia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H.
Sedang Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin
Said al Makki al Makhzumi, ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan)
Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama
Qanabailah. Ia wafat di mekkah pada 291 H.
3. Nafi� al Madani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwain Nafi� bin Abdrrahman bin Abu Nua�im al
Laisi, berasal dari sifahan, dan wafat di madinah pada 169 H. Dua orang perawinya ialah
Qalun dan Warasy.
Qalun ialah Isa bin Munya al Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab yang
mempunyai kunyah Abu Musa dan mempunyai julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa
Nafi� memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya. Sebab kata Qalun
dalam bahasa rumawi berarti baik. Ia wafat dimedinah pada 220 H.
Sedang Warasy ialah �Usman bin Said al Misry. Ia diberi kunyah Abu Said dan diberi
julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir 198 H.
4. Ibn Amir asy Syami.
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Amir al Yahsubi, seorang qadi (hakim) didamaskus
pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran,
ia termasuk seorang tabi�in. wafat didamaskus pada 118 H. Dua orang perawinya ialah
Hisyam dan Ibn Zakwan.
Hisyam ialah Hisyam bin Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid.
Dan wafat pada 245 H.
Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basir bin Zakwan al Qurasyi ad
Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H. dan wafat di Damaskus
pada 242 H.
5. `Asim al Kufi.
Ia adalah Asim bin Abu Najud, dan dinamakan pula Abu Bahdalah, Abu Bakar. Ia
termasuk seorang tabi�in, dan wafat di kufah pada 128 H. dua orang perawinya ialah
Syu�bah dan Hafs.
Syu�bah ialah Abu Bakar Syu�bah bin Abbas bin Salim al Kufi. Wafat 193 H.
Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al Bazzaz al Kufi. Nama
pangilannya adalah Abu Amr, ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Muin, ia lebih
pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar. Wafat pada 180 H.
6. Hamzah AlKufi.
Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az Zayyat al Fardi at Taimi. Ia diberi kunyah
Abu Imarah. Dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan bu Ja�far al Mansyur tahun
156 H. Dua orang perawinya ialah Khalaf dan Khalad.
Khalaf ialah Khalaf bin Hisyam al Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhhamad. Wafat
dibagdad 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Walid,dn dikatakan pula Ibn Khalid
as Sairafi al Kufi. Ia diberi kunyah Abu �Isa, wafat 220 H.
7. Al Kisa�i Al-Kufi
Beliau adalah Ali bin Hamzah. Seorang imam ilmu nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah
Abul Hasan. Dinamakan dengan al Kisai karena ia memakai �kisa� disaat ihram. Ia
wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan
bersama arRsyid pada 189 H. Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad Dauri.
Abul haris adalah al Lais bin Khalid al Bagdadi, wafat pada 240 H.
Sedang Hafs ad Dauri adalah juga perawi Abu Amr yang telah disebutkan terdahulu.
Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh
ialah :
8. Abu Ja�far al Madani.
Beliau adalah Yazid bin Qa�qa�, wafat dimadinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132
H. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz.
Ibn Wardan adalah Abul Haris Isa bin Wardan al Madani, wafat dimadinah pada awal
160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi� Sulaiman bin Muslim bin Jimas al Madani,
wafat pada akhir 170 H.
9. Ya`kub al Basyri.
Beliau adalah Abu Muhhammad Ya;kub bin Ishaq bin Zaid al Hadrami, wafat di basrah
pada 205 H, tetapi dikatakan pula 185 H. Dua orang perawinya ialah Ruwais dan Rauh.
Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al Lu�lu�I al Basyri.
Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin Abdul Mu�min al Basri an Nahwi, wafat
pada 234 H atau 235 H.
10. Khalaf.
Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa�lab al Bazar al Baghdadi, ia
wafat pada 229 H, tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua
orang perawinya ialah Ishaq dan Idris.
Ishaq adalah Abu Ya;kub Ishaq bin Ibrahim bin Usman al Waraq al Marwazi kemudian al
Bagdadi. Wafat pada 286 H.
Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al Bagdadi al Haddad. Ia wafat
pada hari Idul adha 292 H.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu, keempat qiraat
itu adalah :
1. Qiraat al Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum anshar dan kaum tabi�in besar
yang terkenal dengan kezuhudannya.wafat pada 110 H.
2. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin, wafat pada
123 H. dan ia adalah syaikh. Guru Abu Amr.
3. Qiraat Yahya bin Mubarak al Yazidi an Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari
Abu Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad Dauri dan as Susi. Wafat pada
202 H.
4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy Syanbusy, wafat 388 H.

You might also like