You are on page 1of 157

Judul Buku: Quo Vadis Televisi: Gerundelan Orang-orang Komunikasi

Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Ery Kurnia Putri, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya


Yogyakarta

Beberapa acara yang ditayangkan di televisi kini makin mencemaskan. Banyak


program acara televisi yang ditujukan untuk hiburan memunculkan adegan
kekerasan, pengintaian, kecemburuan, pengejaran, kemiskinan, sensualitas,
hingga mistis. Acara tersebut bahkan mengekspos hal yang semestinya dalam
ranah privasi menjadi konsumsi publik. Lihat saja reality show yang menjamur
di berbagai stasiun televisi. Acara semacam ini menyajikan berbagai kemasan
serta realitas yang ingin disuguhkan kepada pemirsa. Dengan mengusung
embel-embel ‘reality’ (kisah nyata), seolah menunjukkan bahwa masyarakat
sesungguhnya bosan dengan kisah-kisah sinetron yang ditayangkan di televisi
yang selama ini dianggap ‘meninabobokan’ pemirsanya.

Peristiwa atau hal yang sungguh-sungguh terjadi tentunya akan lebih bisa
diterima oleh masyarakat. Respon pemirsa terhadap reality show pun cukup
tinggi, dan bila dilihat dari segi biaya produksi, acara seperti ini lebih murah
daripada membuat sinetron. Maka tak heran jika beberapa televisi swasta dan
production house berlomba-lomba membuat acara serupa, seperti: Bedah
Rumah (RCTI), Tolong (RCTI), Mata-mata (RCTI), Bukan Sinetron (Global
TV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI), Be a Man (Global TV), Pacar
Pertama (SCTV), Maafin Gue Dong (ANTV), Curhat bareng Anjasmara (TPI),
Termehek-mehek, Orang Ketiga, Realigi, Make Over (Trans TV), dan lain-lain.

Drama Reality Realigi


“Insyaflah wahai manusia jika dirimu bernoda. Dunia hanya naungan ‘tuk
makhluk ciptaan Tuhan”.

Lirik lagu ini merupakan pembuka pada bumper opening drama reality Realigi
di Trans TV. Lagu Keagungan Tuhan yang dinyanyikan dengan syahdu oleh
Rita Effendi, seolah mewakili pesan dari acara itu, yakni meminta manusia
untuk bertobat. Realigi ditayangkan setiap Senin dan Rabu, pukul 20.00-21.00.
Tayangan ini dinamakan Realigi, sesuai kepanjangannya Realiti Religi, karena
mengemas dan mengangkat unsur religi. Inilah yang membedakan acara ini
dengan acara-acara reality lain.

Acara ini seolah ingin menampilkan pesan serta nilai-nilai positif dari peristiwa-
peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan kita. Misalnya, kisah tentang adik
yang ingin menyadarkan kakaknya yang menjadi pelacur; adik yang ingin

1
menyadarkan kakaknya yang berebut warisan; adik yang ingin menyadarkan
kakak yang ingin menjual dirinya; ibu yang ingin menyadarkan anaknya dari
jeratan narkoba; anak yang ingin menyadarkan ayahnya dari main perempuan;
anak yang ingin menyadarkan ayahnya yang seorang banci; dan banyak kisah-
kisah lainnya.

Konflik-konflik yang terjadi pada tayangan tersebut sering mempertontonkan


adegan kekerasan, seperti berantem dan adu mulut. Pada akhir cerita
ditampilkan pertobatan seseorang yang insyaf (tobat) dari kesalahan dan dosa
yang telah diperbuatnya. Bisa juga ending dari ceritanya adalah ganjaran atau
akibat yang diterima oleh seseorang yang melakukan kesalahan.

Pemahaman Mengenai Kekerasan


Kebanyakan orang menganggap kekerasan dalam arti sempit, yakni sesuatu
yang sifatnya brutal seperti: perang, pembunuhan, dan penganiayaan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 550), kekerasan dapat diartikan sebagai
perihal (yang bersifat, berciri) keras: perbuatan seseorang atau kelompok orang
yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; paksaan. Sedangkan
menurut James Potter (1999: 217) kekerasan adalah segala tindakan yang
membahayakan seseorang atau suatu nilai seseorang, seperti fisik, harta benda,
reputasi, atau pemikiran. Tindakan bisa dalam bentuk fisik maupun verbal;
dampaknya bisa jadi fisik, emosi, atau psikologis.

Sementara itu, Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain dari kekerasan.
Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique” atau kekerasan simbolik.
Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak dapat terlihat dengan jelas
tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam dari orang yang mengalaminya
(korbannya). Kekerasan semacam ini oleh korbannya bahkan tidak dapat dilihat
atau tidak dirasakan sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang
alamiah, wajar, dan memang harus terjadi (Kristiawan, 2007).

Rainy Hutabarat (2008) mengatakan bahwa kekerasan simbolik adalah


mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang
dan hegemoni di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior entah
dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia. Tiap tindak
kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan dan atau komunikasi yang
sewenang-wenang di antara dua pihak.

Unit konteks dalam penelitian ini adalah acara Realigi, sedangkan unit
rekamannya adalah narasi dan visualisasi dari acara tersebut. Unit analisis dan
kategorinya, yaitu:

No. Unit Analisis Kategori Dimensi (Indikator)

2
1. Kekerasan Durasi Adegan Kekerasan
kekerasan
(Jumlah detik)
2. Jenis kekerasan Fisik Menendang, memukul, menampar,
membanting, menusuk, menyiram,
melempar barang, mendorong,
membenturkan, menginjak,
mencekik, menarik paksa,
menceburkan, dihimpit, menabrak,
mencakar, dan menjambak rambut.
Verbal Memaki, membentak, menghina,
memfitnah, mengancam,
mencemooh, menakut-nakuti,
memprovokasi, dan meremehkan.
Simbolik Kekerasan agama: label “dosa”,
pengejaran.
Kekerasan terhadap perempuan:
kekerasan ekonomi, kekerasan
seksual, dan kekerasan fungsional.
Fisik dan Kombinasi fisik dan verbal.
verbal.
Fisik dan Kombinasi fisik dan simbolik.
Simbolik.
Verbal dan Kombinasi verbal dan simbolik.
Simbolik
Fisik, Verbal, Kombinasi fisik, verbal, dan
dan Simbolik. simbolik.
3. Jenis Akibat Fisik Memar, luka-luka, dan rasa sakit
Kekerasan yang dapat dilihat dari ekspresi
wajah, bahasa tubuh dan suara
(berteriak: “Aduh”, “Sakit”).
Psikologis Menangis, tertekan, marah, depresi,
sedih, dan muram.
Fisik dan Kombinasi fisik dan psikologis.
Psikologis

Kekerasan dalam Tayangan Realigi


Lima episode yang dianalisis dalam penelitian mengenai kekerasan dalam
tayangan drama reality Realigi ini, yaitu: (1) Mantan narapidana yang
meninggalkan keluarga (Senin, 31/08/2009); (2) Seorang kakak terkena kasus
menghamili seorang perempuan (Rabu, 02/09/2009); (3) Suami yang suka
selingkuh (Senin, 07/09/2009); (4) Anak yang salah pergaulan hingga

3
terjerumus narkotika (Senin, 14/09/2009); (5) Kakak yang melupakan Ibunya
(Rabu, 16/09/2009).

Berikut ini pembagian durasi acara pada ke lima tayangan Realigi:

No. Hari dan Tanggal Durasi Durasi Iklan Total Durasi


Episode Tayangan Acara
1. Senin, 31/08/2009 40:27 24:27 01:04:54
(2.427 detik) (1.467 detik) (3.894 detik)
2. Rabu, 02/09/ 2009 40:23 17:50 58: 13
(2.423 detik) (1.070 detik) (3.493 detik)
3. Senin, 07/09/2009 40:00 23:47 01:03:47
(2.400 detik) (1.427 detik) (3.827 detik)
4. Senin, 14/09/2009 36:51 18:46 55:37
(2.211 detik) (1.126 detik) (3.337 detik)
5. Rabu, 16/09/2009 38:58 14:09 53:07
(2.338 detik) (849 detik) (3.187 detik)
03:16:39 01:38:59 04:55:38
Total Durasi (11.799 detik) (5.939 detik) (17.738 detik)

Dalam tayangan Realigi tersebut terdapat porsi iklan yang cukup tinggi,
terutama pada episode 31/08/2009, dengan durasi 1.467 detik (24 menit, 27
detik). Sementara total durasi acara yang paling tinggi juga pada episode
31/08/2009, yakni 3.894 detik (1 jam, 4 menit, 54 detik). Rata-rata durasi
tayangan (tanpa iklan) pada tiap episode yaitu 2.360 detik (39 menit, 20 detik).
Jumlah durasi iklan yang paling rendah pada episode 16/09/2009, yakni hanya
849 detik (14 menit, 9 detik), dengan total durasi acara terendah yakni 3.187
detik (53 menit, 7 detik).

Durasi kekerasan pada tayangan Realigi:

No. Episode Durasi Kekerasan %


1. 31/08/2009 432 detik (7 menit 12 detik) 17,80
2. 02/09/2009 447 detik (7 menit 27 detik) 18,44
3. 07/09/2009 446 detik (7 menit 46 detik) 19,42
4. 14/09/2009 766 detik (12 menit 46 detik) 34,64
5. 16/09/2009 479 detik (7 menit 59 detik) 20,49

Berdasarkan total durasi tayangan Realigi (tanpa iklan) sebesar 11.722 detik (1
jam, 40 menit, 16 detik), maka dapat dilihat prosentase durasi adegan kekerasan
dari tiap episode Realigi sebagai berikut:

4
Gambar 1: Diagram Prosentase Durasi Kekerasan pada Kelima Episode Realigi

Total durasi kekerasan pada kelima episode sebesar 23 persen, dimana


prosentase durasi kekerasan pada episode 14/09/2009 lebih besar dari
prosentase durasi kekerasan episode lainnya, yakni sebesar tujuh persen dari
total durasi tayangan. Sebanyak 77 persen merupakan durasi lain yang tidak
menunjukkan adanya adegan kekerasan. Meski demikian, adegan-adegan yang
menampilkan akibat kekerasan seperti menangis, tertekan, dan murung dapat
dilihat dari awal hingga akhir acara. Hanya saja penelitian ini mencoba
mengukur bagaimana kekerasan yang muncul serta apa akibatnya, bukan
mengukur seberapa besar akibat tindakan kekerasan itu sendiri. Adanya adegan-
adegan yang menampilkan akibat kekerasan, menunjukkan indikator adanya
adegan kekerasan yang terjadi.

Jenis Kekerasan pada Tayangan Realigi


Rata-rata prosentase durasi berdasarkan jenis kekerasan dari kelima tayangan
Realigi tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

5%
Kekerasan Fisik
23%
Kekerasan Verbal
26%
Kekerasan Sim bolik

2% Kekerasan Fisik &


Verbal
Kekerasan Verbal &
Sim bolik
4%
Kekerasan Fisik &
Sim bolik
6%
Kekerasan Fisik, Verbal
34% & Sim bolik

Gambar 2: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Jenis Kekerasan


dari Kelima Tayangan Realigi (31/08/2009–16/09/2009)

5
Dari kelima tayangan Realigi tersebut, kita bisa menemukan rata-rata durasi tiap
jenis kekerasan yang ada pada tayangan itu. Kekerasan fisik sebesar lima
persen, kekerasan verbal sebanyak 26 persen, kekerasan simbolik sebanyak
empat persen, kombinasi kekerasan fisik dan verbal (F&V) sebanyak enam
persen, kombinasi kekerasan verbal dan simbolik (V&S) sebanyak 34 persen,
kombinasi kekerasan fisik dan simbolik (F&S) sebanyak dua persen, dan
kombinasi kekerasan fisik, verbal dan simbolik (F,V&S) sebanyak 23 persen.
Dapat dilihat disini durasi adegan kombinasi kekerasan verbal dan simbolik
(V&S) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan lainnya, yakni sebesar
34 persen.

Kekerasan Simbolik dalam Realigi


Ada beberapa kekerasan dalam tayangan Realigi yang menunjukkan adanya
bentuk-bentuk kekerasan simbolik, yakni bentuk kekerasan agama dan
kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan Agama
Tayangan drama reality Realigi yang dikemas secara religius dan Islami,
menampilkan kisah reality dimana seorang klien meminta bantuan tim Realigi
untuk menyadarkan seseorang yang dianggap telah melakukan kesalahan (dosa)
atau dianggap telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama
Islam. Klien atau si pelapor ini meminta bantuan dengan harapan masalahnya
dapat terselesaikan.

Tim Realigi pun beraksi menemani klien melakukan pengintaian, pengejaran,


dan memberi pengertian pada target dari klien. Ada semacam ajakan pada
seseorang untuk bertobat. Berbagai adegan pun terjadi mulai dari adu mulut
hingga kontak fisik. Di akhir acara, seseorang yang dianggap melakukan
perbuatan yang menyimpang akhirnya bertobat, kembali pada jalan yang benar
(agama).

Acara ditutup dengan tampilan orang bertobat yang melakukan shalat diiringi
backsound musik Islami, seolah ingin memberikan pesan moral bahwa kebaikan
selalu berhasil mengalahkan yang jahat (konsep religius). Layaknya sebuah
sinetron, kisah pun seolah berakhir happy ending. Waktu pertobatan cukup
instant. Hanya beberapa hari syuting, tim Realigi dan klien berhasil
menyadarkan seseorang (yang dianggap berdosa) untuk bertobat atau kembali
pada ajaran agama.

Kekerasan simbolik terjadi, salah satunya dalam bentuk kekerasan agama, yakni
pemaksaan terhadap seseorang untuk bertobat sesuai ajaran agama. Justifikasi
bahwa seseorang bersalah dan harus kembali pada sesuatu yang dianggap benar

6
(agama)—dikarenakan perbuatan menyimpang—dianggap merugikan atau
menyakiti pihak lain.

Kekerasan agama dapat ditemukan pada tiap episode yang sebagian besar
berupa adegan pengejaran pada target yang dilakukan oleh klien dan tim
Realigi. Hal tersebut merupakan simbol adanya pemaksaan terhadap seseorang,
terlepas apakah orang tersebut bersalah atau tidak. Target lari dan selalu
menghindar karena dirinya merasa tidak nyaman dan terancam. Terlebih lagi,
target justru merasa takut dengan banyaknya orang dengan membawa kamera
menghampirinya seolah hendak menghakiminya.

Kekerasan Terhadap Perempuan


Kekerasan simbolik terhadap perempuan meliputi segala bentuk kekerasan
berbasis jender dimana pihak yang dominan (dalam hal ini laki-laki) merasa
berhak menentukan makna dari suatu hal sebagai satu-satunya pandangan yang
paling benar. Sementara pihak yang terdominasi (dalam hal ini perempuan)
menerima proses ini sebagai sesuatu yang memang seharusnya berlaku. Di sini
terjadi semacam proses ‘naturalisasi’ ketika perempuan menerima bentuk
kekerasan simbolik dari laki-laki sebagai suatu hal yang wajar.

Lima episode Realigi (31/08/2009-16/09/2009), ternyata menampilkan bentuk


kekerasan simbolik terhadap perempuan. Kekerasan simbolik tersebut meliputi:
kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan fungsional.

Gambar 3: Cuplikan Adegan Dalam Tayangan Realigi.


Klien atau pelapor yang kebanyakan perempuan sedang curhat pada Erwin

Kekerasan simbolik terhadap perempuan pada tayangan Realigi dapat dilihat


dari simbol-simbol baik teks maupun visual yang ditampilkan. Sebagian besar
klien atau pelapor yang meminta bantuan tim Realigi adalah perempuan.
Mengapa? Secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan
adalah kaum lemah yang tidak mampu menyelesaikan persoalannya.

7
Perempuan, dalam hal ini si pelapor harus meminta bantuan pada Erwin (host
Realigi) beserta timnya untuk membantu menyadarkan orang lain yang
dianggap telah melakukan suatu kesalahan (dosa). Kita lihat saja, bagaimana
Erwin yang adalah laki-laki seolah berperan melindungi klien (perempuan)
terutama saat klien harus bersinggungan atau bersitegang dengan laki-laki.
Sosok laki-laki dalam Realigi dianggap lebih memiliki power atau kekuatan
untuk menyelesaikan persoalan.

Kekerasan ekonomi terhadap perempuan juga ada dalam tayangan Realigi ini.
Misalnya, pada episode 31/08/2009, kita melihat bagaimana Pak Joko justru
menelantarkan anak dan istrinya setelah ia keluar dari penjara. Sang istri
menderita gangguan jiwa akibat perbuatan suami sehingga ia harus dirawat di
rumah sakit jiwa. Pada episode 02/09/2009, kita lihat saat Bella diperas oleh
Hadi kakaknya.

Gambar 4: Cuplikan adegan dalam tayangan Realigi (07/09/2009)


Mario memakai uang Nadia hanya untuk bersenang-senang dan main
perempuan (gambar kiri). Wulan mengaku dihamili oleh Mario (gambar
tengah). Nadia sedih memergoki Mario telah menikah lagi (gambar kanan).

Pada episode 07/09/2009, kita melihat Mario sebagai suami yang tidak
bertanggung jawab. Sejak menikah ia tidak pernah memberi nafkah pada
Nadya. Sebaliknya justru Nadya yang membiayai kehidupan Mario yang hanya
digunakan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain.

Selain kekerasan ekonomi, ada lagi kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak
hanya dipahami sebagai kekerasan seperti: pemerkosaan, dicium paksa,
digerayangi paksa, namun segala bentuk pelecehan yang berkaitan dengan
seksual merupakan kekerasan seksual. Pemakaian kata ‘pakai’ pada episode
Suami Selingkuh (07/09/2009), teks tersebut menyamakan perempuan dengan
barang yang bisa dipakai. ‘Dipakai’, memiliki arti tidur bersama (hubungan
suami-istri). Kata-kata ‘pakai’ biasa digunakan pada barang yakni
menggunakan suatu barang. Perempuan dengan kata ‘pakai’ seolah dianggap
barang atau makhluk yang rendah yang bisa ‘dipakai’ siapa saja, kapan saja, dan
bisa dibuang apabila sudah tidak dapat dipakai lagi, layaknya barang yang
sudah usang.

8
Pada episode ini juga ditampilkan adegan mesra dan ciuman (di-blur) yang
dilakukan Mario dengan beberapa wanita, mengesankan bahwa laki-laki seolah
dibenarkan untuk berselingkuh dengan perempuan lain. Kekerasan seksual di
sini, perempuan seolah bebas dan gampang untuk dicium, dirangkul sekalipun
oleh laki-laki yang telah bersuami.

Gambar 5: Cuplikan adegan pada tayangan Realigi episode 02/09/2009


Seorang perempuan keluar dari kamar Hadi.

Pada episode 02/092009, Hadi dipergoki neneknya tengah tidur bersama


seorang perempuan di kamar. Perempuan tersebut lalu keluar kamar (di-blur)
dan dimarahi oleh Bella adik Hadi. Di sini perempuan digambarkan bisa ‘tidur’
dengan laki-laki. Hadi yang terkena kasus menghamili seorang perempuan,
menunjukkan bahwa perempuan memiliki resiko lebih besar ketika melakukan
hubungan seks tanpa status pernikahan. Ketika hamil, perempuan harus repot
meminta pertanggung jawaban laki-laki yang menghamilinya, walaupun si laki-
laki belum tentu mau bertanggung jawab. Dilihat dari kasus ini, perempuan
lebih diberatkan sebagai pihak yang menanggung malu (aib) atas perbuatan
yang melanggar susila. Perempuan menjadi pihak yang dipersalahkan dan
dicemooh oleh orang lain.

Dalam konteks kekerasan simbolik, dapat kita lihat bahwa apa yang dialami
oleh perempuan pada lima episode di atas merupakan suatu hal yang dianggap
lumrah atau sewajarnya perempuan menerima perlakuan yang demikian.
Perempuan tidak punya pilihan lain selain menuruti apa aturan laki-laki.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan inilah yang mungkin tidak disadari oleh
si perempuan bahkan oleh pemirsa yang menonton acara tersebut.

Perempuan dikonstruksi sebagai kaum yang lemah. Dalam kehidupan sehari-


hari, kaum pria dipandang pantas berbuat semena-mena, seperti meninggalkan
istri, selingkuh, berperilaku dan berkata kasar. Pria sebagai kepala rumah tangga
dianggap memiliki kekuasaan lebih atas istri. Konstruksi di atas juga tak
terlepas dari kesepakatan yang dibentuk oleh kaum mayoritas (pria). Mayoritas

9
disini bukanlah jumlah, melainkan kekuasaan atau kemampuan dalam
mengendalikan pihak lain (yang tertindas).

Akibat Tindakan Kekerasan dalam Realigi


Akibat psikologis yang tampak bisa berupa guncangan jiwa (sakit), emosi dan
perasaan tertekan. Akibat dari tindakan kekerasan pada tayangan Realigi ini
sebagian besar berakibat pada aspek psikologis si penderita dibandingkan
dengan akibat fisik yang diderita, karena lebih banyak mengandung kekerasan
verbal. Pada tiap episode tayangan Realigi ini dapat kita lihat bagaimana
tekanan psikologis begitu ditampilkan sejak awal tayangannya, yaitu pada saat
klien menceritakan permasalahannya pada tim Realigi. Hal itu dapat dilihat dari
ekspresi dan juga gesture (gerak tubuh) yang mencerminkan seseorang yang
tengah menghadapi masalah dan beban berat.

35%
Psikologis

Fisik & Psikologis


65%

Gambar 6: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Akibat Kekerasan


dari KelimaTayangan Realigi (Episode: 31/08/2009 – 16/09/2009)

Dari kelima tayangan Realigi tersebut diatas, maka didapati rata-rata durasi tiap
akibat kekerasan yang ada pada tayangan itu. Terdapat akibat psikologis sebesar
65 persen dan kombinasi akibat fisik dan psikologis sebanyak 35 persen. Dapat
dilihat disini rata-rata durasi akibat psikologis jauh lebih tinggi yakni sebesar 65
persen, dibandingkan dengan akibat fisik maupun kombinasi akibat fisik dan
psikologis.

10
1 2 3 4

5 6 7 8

Gambar 7: Cuplikan adegan-adegan yang menunjukkan adanya akibat


psikologis dari tindakan kekerasan dalam tayangan Realigi

Pada cuplikan gambar diatas dapat kita lihat: (1) Bulan sedih mengingat
Ayahnya. (2) Bella sedih mendapat kabar neneknya sakit karena tertekan. (3)
Nenek Bella shock, jatuh pingsan setelah bertengkar dengan Hadi, cucunya. (4)
dan (5) Nadia sedih karena suaminya selingkuh. (6) Ibu Ina stres akibat Naya
putrinya yang salah pergaulan. (7) Naya yang begitu tertekan karena tidak bisa
menerima kedekatan Ibunya dengan sahabat almarhum ayahnya. (8) Ibu Nia
sedih akibat perlakuan menantunya yang tidak menghargainya.

Proporsi akibat tindakan kekerasan pada kelima episode tayangan Realigi


tersebut didominasi akibat psikologis. Akibat psikologis lebih banyak terjadi
dibandingkan akibat fisik yang diterima. Hal tersebut dapat dilihat dari ekspresi
wajah seseorang yang mengalami kekerasan, yakni adanya perasaan tertekan
dan sedih.

Realigi: Antara Kenyataan dan Rekayasa


Seperti hal-nya Termehek-Mehek, Realigi pun pada akhirnya menyebut
‘dirinya’ sebagai drama reality, karena adanya unsur dramatisasi dan rekayasa.
Peneliti menemukan temuan yang cukup menarik selama mengamati beberapa
program drama reality di Trans TV. Misal saja ada salah satu peran dalam
Termehek-Mehek yang pernah muncul di acara reality show ‘Ahmad Dhani
Mencari Istri’ di SCTV. Kemudian peneliti secara tidak sengaja menemukan
pemain Realigi, yakni Ibu Ina (Realigi episode 14/09/2009) juga muncul di
reality show Orang Ketiga di Trans TV. Jika dalam Realigi Ibu Ina berperan
sebagai orang tua tunggal yang mengalami kesulitan ekonomi sejak suaminya
meninggal dan hanya memiliki seorang anak yaitu Naya, dalam Orang Ketiga
Ibu Ina berperan sebagai seorang ibu yang kaya dan hendak mengikuti putrinya
yang bermasalah. Putri Ibu Ina dalam Orang Ketiga bukanlah Naya.

11
Dari temuan tersebut dapat kita lihat bahwa acara Realigi sebagai salah satu
program drama reality unggulan Trans TV sama hal-nya dengan Termehek-
mehek memang tidak murni kenyataan. Pihak Trans TV di harian Surya
(12/06/2009) menyatakan, drama reality Termehek-Mehek yang direkayasa.
Acara semacam ini bisa diangkat berdasarkan pada kisah nyata namun
dihadirkan kembali dengan unsur dramatisasi agar menarik.

Hal yang perlu disikapi, ketika tayangan semacam itu hadir dan disaksikan oleh
orang awam, maka tayangan tersebut akan dianggap sebagai suatu kenyataan
yang sungguh-sungguh terjadi. Kasus-kasus yang dibumbui kekerasan
ditampilkan cukup sering dan ditayangkan cukup intensif (dua kali dalam
seminggu) seolah menggambarkan bahwa hal itu banyak terjadi di masyarakat
kita dan dapat diterima sebagai suatu kewajaran, padahal bisa saja kasus itu
hanya terjadi di sebagian kecil masyarakat kita.

Kesimpulan
Kekerasan sangat terasa ada pada kelima episode Realigi (episode 31/08/2009
hingga 16/09/2009). Kekerasan yang ditampilkan meliputi: kekerasan fisik,
kekerasan verbal, dan kekerasan simbolik (kekerasan agama dan kekerasan
terhadap perempuan). Secara keseluruhan, terdapat rata-rata tampilan adegan
kekerasan sebesar 23 persen dari total durasi acara (tanpa iklan). Jika dilihat
dari durasi adegan kekerasan pada kelima tayangan Realigi tersebut secara
keseluruhan, rata-rata kombinasi kekerasan verbal dan simbolik menempati
urutan paling tinggi yakni sebesar 34 persen. Konflik adu mulut memang lebih
sering terjadi daripada kekerasan fisik seperti penyerangan dan pemukulan.

Tayangan drama reality ini bukan film perang yang penuh dengan adegan
action. Meski demikian, tayangan ini tetaplah mengandung unsur kekerasan
yang seolah nyata dan sungguh-sungguh terjadi, terlebih lagi dengan adanya
bentuk kekerasan simbolik. Lain hal dengan pemirsa yang menonton film
kekerasan secara sadar dan paham bahwa itu hanyalah merupakan akting serta
cerita fiksi semata.

Dengan embel-embel: “Tayangan drama reality ini telah mendapatkan


persetujuan dari berbagai pihak yang terlibat”, justru mengesankan bahwa acara
tersebut memang nyata, padahal mungkin saja tidak. Berbagai adegan penuh
konflik seperti adu mulut, pengintaian, dan kekerasan fisik bukanlah sebuah
tayangan yang memiliki nilai edukasi khususnya bagi anak-anak mengingat
acara ini masih ditayangkan pada prime time.

Daftar Pustaka

12
Bourdieu, Pierre. 1995. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University
Press, Cambridge.
Jamil, Salmi. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Pustaka Pelajar Offset,
Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3. 2001. Balai Pustaka, Jakarta.
Krippendorff, Klauss. 1991. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi.
Rajawali Press, Bandung.
Moi, Toril, 2000. Apropriating Bourdieu: Feminist Theory and Pierre
Bourdieu’s Sociology of Culture, dalam Pierre Bourdieu, vol. IV. Sage
Publications Ltd, London.
Muhadjir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin,
Yogyakarta.
Mulyana, Deddy. 1997. Bercinta dengan Televisi. PT Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Panjaitan, Erica L & TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Potter, W. James. 1999. On Media Violence. Sage Publications, Inc, USA.
Putranto, Agus. 2004. Analisis Isi Suatu Pengantar dalam Praktek, dalam
Metode Penelitian Komunikasi. Ed, Birowo, Antonius. Gitanyali,
Yogyakarta.
Santoso, Thomas. 2002. Teori – teori Kekerasan. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming. PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung
Subono, Nur Iman. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. PT.Kompas Media
Nusantara, Jakarta.
Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.
Kanisius, Yogyakarta.
Putranti, Basilica Dyah. 2007. Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri Dalam
Perspektif Budaya Jawa: Studi di Kampung Urban Yogyakarta.
http://www.ppk.lipi.go.id/file/buletin/Artikel%204%20Basilica
%20Dyah%20Putranti.doc. diakses pada 11 Januari 2010.
Jahroni, Jajang. 2006. Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama.
http://islamlib.com/id/artikel/tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-
agama. Diakses peneliti pada 26 April 2010.
Atmojo, Juwono Tri. Modul Analisis Isi (Content Analysis), Universitas
Mercubuana Jakarta.
http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94010-8
296719548286.pdf. Diakses peneliti pada 3 Maret 2010.

13
Harun, Kristiawan. 2007. Kekerasan Simbolik di Sekolah.
http://kristiawanharun.multiply.com/journal/item/2. Diakses peneliti
pada 11 Januari 2010.
Hutabarat, Rainy MP. 2008. Tentang Kekerasan Simbolik.
http://yakomapgi.wordpress.com/2008/01/07/tentang-kekerasan-
simbolik/. Diakses 11 Januari 2010.
Termehek-mehek Bohongi Pemirsa. Jumat, 12 Juni 2009.
http://www.surya.co.id/2009/06/12/termehek-mehek-bohongi-
pemirsa.html

14
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

Yohanes Widodo, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Perubahan yang cepat dan perkembangan sosial politik di Indonesia berdampak


pada perubahan landscape dan dinamika media di Indonesia. Pada masa Orde
Baru (sebelum 1998), media didominasi oleh negara/pemerintah. Pada masa itu
terjadi sejumlah pembredelan media lewat pencabutan Surat Ijin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Pers dibayangi tangan penguasa dan Undang-Undang,
pengusaha, masyarakat, dan penegak hukum yang sewaktu-waktu bisa
memberhentikan pers dan memenjarakan pekerja jurnalistik (Astraatmaja,
2009).

Di bidang penyiaran, negara lewat TVRI dan RRI mendominasi informasi


dengan menyiarkan program-program yang isinya lebih bersifat propagandis.
Media penyiaran menjadi instrumen pemerintahan yang otoriter. Demi
mengamankan kepentingan Presiden Soeharto, lima stasiun televisi swasta
pertama yang muncul di zaman Soeharto, dimiliki oleh orang-orang di
lingkungan Cendana, seperti Bambang Triatmodjo, Siti Hardijanti Rukmana,
Sudwikatmono, Sudono Salim, dan Peter Gontha (Widiyanto, 2006).

Reformasi 1998 diharapkan memberi arah baru bagi demokratisasi dan


desentralisasi media di Indonesia. Pada era ini lahir Undang-Undang Pers
Nomor 40 Tahun 1999 dan Undang Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Keduanya punya kontribusi penting bagi pemajuan proses demokratisasi di
Indonesia.

Pasca reformasi 1998, terjadi perpindahan dominasi negara dan pemerintah ke


dalam sentralisasi dan dominasi sektor swasta dengan dominasi segelintir
pemilik modal (Siregar, 2008). Fenomena perpindahan dari suatu sistem otoriter
represif oleh negara ke dalam suatu sistem otoritarianisme dan monopoli baru
oleh kelompok swasta ini sama berbahayanya dengan dominasi negara (Siregar,
2008).

Sentralisasi dan dominasi media-media Jakarta sangat tampak pada media


penyiaran yang melakukan siaran nasional. Implikasi dari sentralisasi itu antara
lain: Pertama, Jakarta mendikte isi siaran sesuai dengan selera Jakarta sehingga
rujukan nilai isi siaran televisi adalah standard budaya Jakarta. Kedua,
masyarakat daerah tidak dapat memanfaatkan televisi sebagai sarana informasi
mengenai daerahnya sendiri. Ketiga, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari
kegiatan pertelevisian hanya bisa dinikmati oleh Jakarta dan bisnis pertelevisian

15
tidak menumbuhkan industri pendukung maupun lapangan pekerjaan di daerah
luar Jakarta. Keadaan inilah yang hendak dirombak oleh Undang Undang
Penyiaran No. 32 Tahun 2002 (Armando, 2007).

Mengapa bisnis media, terutama televisi, begitu menggiurkan pemilik modal?


Menurut Ishadi S.K, selain motif ekonomi, bisnis televisi juga memberikan
keuntungan politis. “Tak ada bisnis lain yang memiliki kekuatan seperti media
TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaligus politik. Diakui atau tidak,
media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa dimanfaatkan untuk memberikan
informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga bisa digunakan untuk
memoles atau merusak citra seseorang. Media TV sangat efektif untuk
mempengaruhi opini masyarakat.” (Harto et.al; 2006)

Meski persaingannya ketat—bahkan pengusaha sekaliber Jakob Oetama yang


terkenal visioner dan profesional di industri media akhirnya harus merelakan
mayoritas sahamnya di TV7 jatuh ke tangan TransTV—namun kue yang
dijanjikan bisnis televisi sungguh mengundang selera. Nielsen Media Research
mencatat, dari total belanja iklan di Indonesia yang mencapai Rp 23 triliun,
televisi melahap sekitar Rp 16 triliun, atau sekitar 70 persennya, dan sisanya
yang 30 persen dibagi ke media lain.

Diversity of Ownership

Isu penting berkaitan dengan pluralitas kepemilikan (diversity of ownership)


adalah merger antarkorporasi media. Di satu sisi, merger dipandang sebagai
langkah ekonomi dengan pertimbangan-pertimbangan efisiensi dari pemilik
modal. Di sisi lain, merger bisa dilihat sebagai langkah politik, terutama karena
keterlibatan tokoh-tokoh politis dan sistem industri media dalam pengambilan
keputusannya.

Konglomerasi, akuisisi, dan merger antarkorporasi media membawa sejumlah


dampak. Pertama, semakin sedikit jumlah industri media yang menjadi aktor
dalam industri ini karena makin terkonsentrasi di tangan sekelompok
pengusaha. Kedua, banyak dari konglomerat ini yang memiliki, mengontrol atau
mempunyai kepentingan substansial dalam perusahaan media dan non media.
Ini acapkali rentan menimbulkan konflik kepentingan: kepentingan jurnalistik
dan kepentingan pemilik perusahaan. Ketiga, terjadinya homogenisasi karena
pemilik hanya satu maka semua media memiliki konten yang serupa (Bagdikian
2000). Keempat, turunnya kualitas jurnalistik: berita, current affairs dan
jurnalisme investigasi berubah ke arah hiburan, populisme dan infotainment
yang biayanya kecil namun mendatangkan keuntungan besar. Kelima, terjadinya
monopoli arus informasi yang disetir oleh segelintir orang atau pemilik modal
untuk kepentingan ekonomomi maupun politik. Lebih berbahaya lagi bila

16
segelintir orang tersebut juga menjadi elit politik di lingkaran kekuasaan yang
bisa mendikte arus informasi seperti apa yang akan dikehendakinya, untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.

Pluralitas pemilikan media bertujuan untuk mengurangi bias kepentingan


pemilik media. Semakin plural kepemilikan media, maka akan mendorong
semakin beragam pula isi media. Karena itu perlu terjamin adanya pluralitas
kepemilikan dan menjaga pluralitas dari kemungkinan konsentrasi, yakni
terjadinya monopoli horisontal atau kepemilikan di satu tangan terhadap
berbagai media sejenis) ataupun monopoli vertikal atau kepemilikan media dari
hulu hingga hilir, misalnya menguasai pabrik kertas, media cetak, hingga
perusahaan distributornya (Faisal, 2009). Keberagaman media dalam konteks
kepemilikan, konten dan agenda punya arti penting untuk membangun media-
sphere yang dinamis, sehat dan mencerminkan kompleksitas persoalan yang
berkembang di tengah masyarakat (Farid, 2010).

Diversity of Content

Ada beberapa hal yang menjadi persoalan dalam jurnalistik secara umum,
terkait dengan monopoli kepemilikan dan pengaruhnya terhadap isi media.
Pertama, pada tingkat tertentu mainstream media ini tidak bisa memenuhi
kebutuhan masyarakat karena keterbatasan space, kepentingan industri, dan
bisnis. “Dalam menjalankan tugasnya, wartawan harus tunduk pada agenda
perusahaan. Seorang wartawan tidak sepenuhnya leluasa mengangkat perspektif
yang ingin ditekankannya karena ia harus tunduk pada aturan perusahaan dan
harus berkompromi pada kepentingan bisnis media.” (Farid, 2006)

Kedua, banyak persoalan masyarakat, persoalan publik, tidak terakomodasi


dengan baik di media karena media telah mengalami kondisi krisis. “Ruang-
ruang redaksi kian sulit menghindarkan rutin itu: mencoba tidak bias, obyektif,
imparsial, terus-menerus, dari hari ke hari, ketika publik telah mempunyai akses
masing-masing yang ternyata amat mudah dan murah ke sebuah peristiwa yang
sama. Pada persilangan ini, orang dengan gampang kecewa, misalnya, setelah
dengan mudah dan, sekali lagi amat murah, dapat mendeteksi ketidakakuratan
media massa. Keserbacepatan dan keserbamudahan informasi telah melahirkan
tantangan luar biasa pada elitisme media mainstream.” (Farid, 2006)

Ketiga, kecenderungan media Indonesia untuk mempromosikan kapitalisme dan


globalisasi dengan mencuci otak pikiran publik. Ada dua tantangan besar bagi
pluralisme media di Indonesia dalam hal ini. “Pertama, arus globalized news
terlalu besar untuk dilawan. Kedua, pengelolaan media yang sudah tidak bisa
lagi dibedakan dengan pengelolaan jenis bisnis lainnya. Hal ini membuat
elemen idealisme dan perhatian terhadap berita yang benar-benar diinginkan

17
audiens tidak mendapat tempat. Berita hari ini diproduksi dengan komando:
Inilah informasi yang menurut kami (sebagai pemilik modal) dianggap penting
bagi audiens.” (Farid, 2010)

Keempat, masyarakat cenderung merasa bosan dengan mainstream media


karena adanya self censorship dan tingginya ketergantungan media terhadap
iklan. “Media mainstream mendidik wartawannya dengan serangkaian nilai
ideal, sederet etika dan batasan norma dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Sayangnya, dalam prakteknya, wartawan seringkali lebih banyak gagal
memenuhi segenap harapan ideal ini. Penyebabnya antara lain, kuatnya
pengaruh bisnis dalam industri pers sehingga terdapat kepentingan bisnis atau
kelompok tertentu yang tidak dapat diganggu gugat atau diberitakan oleh media
bersangkutan. Selain itu, semakin tingginya tingkat ketergantungan perusahaan
media terhadap pemasukan iklan membuat kategori nilai berita juga lebih
ditentukan pada “sejauh mana berita tertentu memancing pendapatan iklan”.
Sebagai akibatnya, pendekatan sensasional pada liputan lebih diutamakan demi
memancing banyaknya pembaca.” (Farid, 2006).

Dengan kondisi pemilikan yang makin mengerucut, konsekuensi logis dari


pengerucutan ini adalah efisiensi di ruang redaksi. Ini merupakan tren global
yang membuat berita semakin seragam. “Yang paling parah kena dampak berita
seragam adalah audiens di daerah. Meski punya media lokal, sebagian isi media
itu baik cetak dan elektronika diasup dari sentra produksi di Jakarta. Media
cetak masih agak mending, tapi tetap memprihatinkan, karena berita lokal juga
telah mengalami pergeseran mendasar. Ramuannya, mengutip Dan Gillmor,
"when it bleeds, it leads": kalau berita itu heboh, akan jadi headlines. Heboh di
sini tak jauh dari berita kriminal dan provokatif, bukan berita investigatif.”
(Farid, 2010)

Dengan kondisi demikian, maka dampak yang kelihatan adalah keseragaman


dalam hal content. Dengan pertimbangan komersial, maka media, khususnya
televisi menayangkan atau menyajikan content yang seragam. Ada semacam
kelatahan dari pengelola acara-acara televisi untuk melihat keberhasilan suatu
acara, kemudian diikuti dan ditiru. Saat tayangan kriminal naik daun, hampir
semua televisi berlomba ‘berdarah-darah’. Ketika tayangan bernuansa
seksualitas mendapat rating bagus, seluruh televisi ramai-ramai menayangkan
acara bernuansa seksualitas. Ketika tren bergeser ke tayangan reality show dan
religi, hampir semua televisi jualan reality show dan tayangan religi. Jadi apa
yang ditawarkan adalah apa yang menonjol dan up to date.

Keberhasilan suatu acara akan memberi keuntungan besar kepada pengelola


acara televisi. Keseragaman ini adalah bentuk konformitas, yakni kesamaan
dalam mengunggulkan acara-acara yang diperkirakan dapat meningkatkan

18
minat masyarakat untuk menonton acara tersebut. Hal ini sesuai dengan ide
kapitalisme (Buwana, 2009). Efek dari keseragaman tayangan dan isi media
adalah pembodohan dan membuat masyarakat tidak berkembang.

Media dan Kepentingan

Dari sisi hukum, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan ini adalah
negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media. Undang-Undang ini
antara lain mengatur tentang kehadiran televise lokal yang bertujuan menjamin
perkembangan media di daerah dan memberi ruang tumbuh bagi pluralisme
media (Farid, 2010). Namun dalam praktiknya, raja-raja media bisa dengan
mudah memanfaatkan jaringan medianya untuk kepentingan komersial dan
pribadi mereka (Dhyatmika and Herawatmo, 2006).

Gejala konglomerasi media perlu diwaspadai karena suksesnya persilangan


antara kepentingan kekuasaan (kehendak untuk berkuasa dan mengontrol)
kepentingan akumulasi modal serta pengejaran profit. Para pemilik modal
menggunakan stasiun televisi—yang mempergunakan publik domain—untuk
kepentingan bisnis, politik, dan kekuasaan.

Ada beberapa contoh yang bisa diangkat. Pertama, televisi sering menjadi
kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosikan produk-
produk yang kebetulan berada dalam genggamannya. Misalnya, di Trans TV,
iklan Bank Mega muncul secara rutin. Iklan Esia kerap hadir di ANTV. RCTI-
TPI-Global TV intens menayangkan iklan Radio Trijaya Network, majalah
Trust, tabloid Genie, dan koran Seputar Indonesia. Indosiar punya program
rutin malam mingguan Gebyar BCA merujuk pada bank milik Salim.

Kedua, persaingan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie dalam memperebutkan


posisi Ketua Umum Partai Golkar. Surya Paloh (Media Indonesia dan Metro
TV) bersaing dengan Aburizal Bakrie (ANTV dan TVOne). Tegangan di antara
dua tokoh terus berlanjut. Bahkan Abrurizal Bakrie menolak menjawab
pertanyaan wartawan Metro TV yang bertanya soal sengketa pajak yang
melibatkan PT Kaltim Prima Coal (KPC). Ketika wartawan lain menanyakan,
apakah kasus KPC ini sengaja digulirkan? "Tanya saja pihak-pihak yang merasa
kalah dan mencari kesalahan orang lain. Kamu merasa kalah, nggak?" ujarnya
seraya menunjuk ke wartawan Metro TV (Harahap, 2010). Berikut alasan Ical
tidak mau menjawab pertanyaan wartawan Metro TV: "Kalau orang cari makan
wartawan ‘kan dari berita. Beritanya dipakai untuk 'makan' saya. Nah, saya
nggak mau ngasih makan karena itu," jawab Ical (Yunanto, 2010). Kentalnya
kepentingan bisnis dan pengaruh kelompok pemilik media, menjadikan fungsi
kontrol media terhadap penyelenggaraan kekuasaan, menjadi tidak efektif.

19
Misalnya, Media Indonesia dan Metro TV milik Ketua Dewan Pembina Partai
Golkar, Surya Paloh, mustahil dijadikan rujukan untuk mencari berita-berita
yang mengkritisi partai pimpinan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu (Farid, 2010).

Ketiga, kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) ‘bodong’ senilai US$ 28


juta dari Unibank ke PT Citra Marga Nusaphala Persada yang menimpa
Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Harry Tanoe). Di sini, manajemen
RCTI menyiapkan program khusus untuk menghadang ‘propaganda hitam’ atas
bos mereka. Program berkedok acara bincang-bincang itu didesain membela
Harry Tanoe. Pembicaranya yang dipilih semuanya memihak kepada Harry
Tanoe (Dhyatmika and Herawatmo, 2006; Siregar, 2008; Windyaningrum et.al,
2007).

Keempat, kasus ANTV dan TVOne milik kelompok Bakrie. Ketika meliput
Lumpur Sidoarjo, televisi ini menggunakan framing sesuai kepentingan pemilik
modal dengan penggunaan istilah “Lumpur Porong” atau “Lumpur Sidoarjo”
sebagai pengganti “Lumpur Lapindo” (Yayat R. Cipasang, Indopos, 05/06/
2008). Dari sini tampak bahwa monopoli dalam industry penyiaran tidak bisa
dilihat hanya secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif (monopoli laten atau
ideologis). Dalam hal ini, pemilik tidak hanya memiliki kepentingan ekonomi
tetapi juga ideologi, yang ujungnya adalah juga kepentingan ekonomi.

Beberapa kalangan, terutama dari media mainstream, tidak terlalu merisaukan


tentang isu kepemilikan. Misalnya, Pepih Nugraha (2010) mengatakan,
kepemilikan silang sangat penting, karena kepemilikan silang dimungkinkan
terjadinya konvergensi media maupun konten. Sehingga hampir semua
konglomerasi media berkeinginan memiliki jenis media yang beragam. Pepih
juga tidak mengkhawatirkan dengan kepemilikan (monopoli) media selama
media tersebut tetap menjaga independensinya.

Hal ini senada dengan mantan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
Bimo Nugroho, yang mengatakan bahwa kepemilikan satu pengusaha terhadap
berbagai media tidak menjadi masalah selama tidak ada kontrol informasi dan
penggalangan opini publik. Menurut Bimo Nugroho, kalau demi membela
kepentingan politik atau ekonomi, lalu pengusaha menggunakan media
miliknya, itu baru masalah besar (Windyaningrum, et al., 2007).

Dalam kaitan ini, penulis berpendapat bahwa pembatasan perlu dilakukan demi
terjaminnya landasan dasar bagi pluralisme media. Mengutip Ignatius Haryanto
(2004): “Tanpa pluralitas suara dan pendapat, media tak bisa menunaikan
tugasnya dalam kehidupan demokrasi. Pembatasan di sini dilakukan, berangkat
dari suatu keprihatinan bahwa keterpusatan industri media kepada segelintir
pemilik saja akan mengakibatkan kondisi yang tidak sehat dan tidak demokratis,

20
karena cenderung mengabaikan pluralitas pendapat yang ada. Pembatasan ini
sendiri adalah demi sehatnya industri media itu sendiri, wibawa pemerintah, dan
sehatnya masyarakat.”

Sistem Stasiun Jaringan

Pemberlakukan sistem siaran nasional menjadi sistem siaran lokal berjaringan


merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang No. 32/2002 tentang
Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan ini adalah negara ingin
mewujudkan dan menjamin pluralime media sebagai salah satu kondisi
mendasar bagi pembentukan public sphere dalam masyarakat demokratis
(Klimkiewicz, 2005).

Konsep stasiun berjaringan adalah satu upaya menghindari terjadinya


pemusatan kepemilikan atau monopoli media. Konsep ini penting bagi
demokratisasi penyiaran karena keterpusatan industri media kepada segelintir
pemilik saja akan cenderung mengabaikan pluralitas pendapat dan gagasan.
Diversity of ownership menjadi penting karena kepemilikan media akan
mempengaruhi isi media, dan isi media selalu merefleksikan kepentingan
mereka yang membiayainya (McQuail, 2000). Pluralitas pemilikan media
bertujuan untuk mengurangi bias kepentingan pemilik media. Semakin plural
kepemilikan media, maka akan mendorong semakin beragam pula isi media.

Ada dua ketentuan penting dari Undang Undang Penyiaran tentang Sistem
Stasiun Jaringan. Pertama, televisi nasional tidak dapat lagi menyelenggarakan
siarannya secara nasional yang menjangkau seluruh wilayah negara namun tetap
dapat melakukan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan
wilayah terbatas (pasal 20 jo 31 ayat 3). Kedua, dalam sistem stasiun jaringan,
televisi nasional dapat bertindak sebagai induk stasiun jaringan dan televisi
lokal bertindak sebagai anggota stasiun jaringan dimana induk bertindak
sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh anggota (pasal 34 ayat 1).
Televisi nasional yang sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib
melepaskan kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat 28 Desember 2009.

Pemberlakuan sistem stasiun jaringan ini di atas kertas memang sangat ideal,
namun di lapangan kita dihinggapi sejumlah pesimisme. Pertama, televisi
nasional enggan untuk berubah. Meski telah disahkan sejak 2002, namun
pelaksanaan ketentuan ini terus ditunda. Keterlambatan ini memperlihatkan
keengganan berubah dari pemikiran yang bersifat sentralistis ke arah yang
desentralistis (Siregar, 2008). Waktu tujuh tahun lebih tampaknya belum cukup
bagi 10 televisi Jakarta yang terlanjur ‘nyaman’ menjadi televisi ‘nasional’.

Ketidaksiapan itu terekam saat acara Evaluasi Dengar Pendapat (EDP)


pengajuan ijin operasional televisi berjaringan yang diselenggarakan oleh

21
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta, Januari 2010. Penulis
menemukan bahwa perubahan yang diharapkan pasca pemberlakukan Sistem
Siaran Jaringan di Yogyakarta—terwujudnya keragaman kepemilikan dan
keragaman isi—tampaknya masih jauh. Evaluasi Dengar Pendapat seolah
sekedar formalitas. Proposal yang diajukan terkesan ala kadarnya. Kalau boleh
membandingkan, kualitasnya tak lebih baik dari proposal mahasiswa.

Kedua, dari segi keragaman kepemilikan juga tidak ada perubahan signifikan.
Hampir semua televisi ‘nasional’ Jakarta yang mengajukan ijin membentuk
Perseroan Terbatas (PT) baru, dan orang yang dipasang adalah orang Jakarta.
Kalau pun ada orang Yogyakarta, ia merupakan bagian dari manajemen televisi
Jakarta. Televisi Jakarta belum mau menggandeng televisi lokal. Sehingga,
harapan bahwa kehadiran televisi jaringan bisa menampung sumber daya
manusia lokal, menggairahkan iklim bisnis di daerah dan tumbuhnya industri
kreatif di daerah, belum terlihat gambaran riilnya. Padahal, menurut Agus
Yuniarto (2007) jika televisi Jakarta itu mau bermitra atau menjalin kerjasama
dengan televisi lokal, maka proses pendirian televsi swasta lokal yang selama
ini terkendala karena rebutan kanal, akan jauh lebih ‘mudah’.

Ketiga, kesiapan televisi Jakarta untuk mengusung konten lokal cenderung


minimalis. Dari proses Evaluasi Dengar Pendapat terungkap, kebanyakan
menawarkan program berita yang menurut mereka lebih gampang. Beberapa
televisi menyediakan slot waktunya kurang dari satu jam (pada jam-jam non
prime time). Bahkan ada televisi yang ‘menyempilkan’ program atau konten
lokal pada jam 02.00 atau 04.00, saat dimana warga Yogyakarta masih tidur
lelap. Dari sini tampak bahwa televisi ‘nasional’ Jakarta tidak siap atau kurang
serius melaksanakan sistem stasiun jaringan dan mengubah stasiun daerah dari
stasiun relai menjadi stasiun mandiri.

Hambatan atau Peluang?

Dari Evaluasi Dengar Pendapat juga terungkap sejumlah hambatan yang


dihadapi oleh televisi ‘nasional’ Jakarta untuk bermigrasi menjadi televisi
mandiri berjaringan. Pertama, persoalan infrastruktur—ini terkait dengan biaya
investasi. Mereka mengatakan bahwa bisnis televisi membutuhkan investasi
besar. Dengan sistem stasiun jaringan ini, mereka harus mengelola stasiun relai
menjadi stasiun mandiri yang biaya investasinya mahal. Menurut Agus
Yuniarso (2007), justru dengan sistem stasiun jaringan dan bermitra dengan
televisi lokal, maka investasi teknis bisa relatif lebih rendah.

Kedua, program dengan konten lokal. Selama ini stasiun Jakarta terbiasa
mengelola program yang nasional. Ketika harus mengelola program lokal,
mereka seperti kehilangan ide dan kreativitas. Sehingga program yang

22
ditawarkan kebanyakan program berita. Lewat kerjasama dengan mitra lokal,
televisi Jakarta tak perlu lagi pusing-pusing dengan program siarannya karena
program lokal bisa disiapkan oleh mitra lokal. Untuk televisi jaringan yang
mengudara 24 jam sehari, televisi lokal anggotanya hanya perlu me-manage
program siaran kurang dari 7 setengah jam. Itupun jumlah maksimal karena
pada tahap awal, regulasi mensyaratkan hanya 10persen dari total jam siaran
(sekitar 2,5 jam). Bicar konten lokal untuk Yogyakarta seharusnya bukan
masalah, karena Yogyakarta adalah gudangnya orang-orang kreatif.

Ketiga, sumber daya manusia. Ketersediaan sumber daya manusia yang


mumpuni dan siap pakai menurut mereka menjadi persoalan. Meski demikian,
jika televisi Jakarta menjalin kerjasama dengan mitra lokal, maka sumber daya
manusia telah tersedia dan disiapkan oleh mitra local. Kalau pun tidak menjalin
kerjasama, sumber daya manusia seharusnya juga bukan masalah karena di
Yogyakarta terdapat beberapa universitas yang membuka program studi Ilmu
Komunikasi. Mereka adalah stakeholder yang menyiapkan sumber daya
manusia untuk industri televisi dan bisa menjadi referensi dalam hal konten
program.

Semangat dari sistem stasiun jaringan ini adalah agar penjajahan Jakarta atas
Indonesia harus dihentikan dan asas keberagaman dihormati setinggi-tingginya
(Ade Armando, 2007). Stasiun televisi berjaringan ini diharapkan ikut
membangun berkembangnya televisi lokal, merangsang dan membangun
dinamika ekonomi lokal dan sosial budaya lokal. Bila semua stasiun ‘nasional’
Jakarta melakukan transformasi ke stasiun lokal berjaringan, maka akan tercipta
sebuah sistem penyiaran yang sehat, yang menjamin adanya diversity of
ownership dan diversity of content, yang akan memperkaya bangsa ini baik
secara sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Penutup

Sistem stasiun jaringan: quo vadis? Dalam hal ini, pihak televisi Jakarta yang
harus menjawabnya. Panggilan untuk bertransformasi menjadi stasiun
berjaringan ini berdasarkan pada fakta bahwa mereka menggunakan frekuensi
yang merupakan domain publik Yogyakarta. Jika selama ini publik Yogyakarta
sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta untuk target iklan dan memperkuat
bisnis mereka, kini saatnya bagi publik Yogyakarta untuk mendapatkan haknya,
dalam bentuk tayangan bermutu dan mereka mendapatkan ruang untuk
meyampaikan pemikiran dan aspirasinya.

Untuk itu, televisi Jakarta yang ingin menjadi stasiun siaran jaringan di
Yogyakarta diharapkan lebih serius karena publik Yogyakarta yang merupakan
publik yang terdidik. Gerakan literasi media di Yogyakarta juga cukup masif.

23
Jika program-program yang ditawarkan oleh televisi Jakarta sekadar ‘itu lagi,
itu lagi!’, dan tidak ada sesuatu yang lebih baik dan kekhasan yang ditawarkan
kepada public Yogyakarta, maka program-program televisi Jakarta ini akan
ditinggalkan pemirsanya.

Untuk mewujudkan hal itu, perlu dukungan pemerintah, Komisi Penyiaran


Indonesia Daerah (KPID), serta masyarakat. Pemerintah harus tegas
menegakkan hukum. Jangan sampai pemerintah justru diperdaya dan
dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk kepentingan bisnis mereka. Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) perlu memperjuangkan aspirasi publik
Yogyakarta. Jika televisi-televisi ‘nasional’ Jakarta itu tidak serius
mentransformasi stasiun relai menjadi stasiun televisi lokal berjaringan, ijin
penyelenggaraan itu semestinya tidak diberikan.

Publik perlu memonitor pelaksanaan ketentuaan Undang-Undang Penyiaran


tentang sistem stasiun jaringan ini. Jika terjadi pelanggaran, kita wajib
melaporkan sesuai ketentuan yang berlaku. Kita berharap dengan sistem stasiun
jarngan ini, tayangan yang sehat dan membumi; tontonan yang bisa menjadi
tuntunan, akan mewarnai televisi kita.

Daftar Pustaka

Armando, A. 2007. (Seharusnya) Tak Ada Lagi Stasiun Televisi Nasional,


http://adearmando.wordpress.com/2007/08/30/seharusnya-tak-ada-lagi-
stasiun-televisi-nasional/
Astraatmadja, A. 2009. “Tuntutan Zaman ; Kebebasan Pers dan Ekspresi.
Jakarta: VHRBook
Bagdikian, Ben H. 2000. The New Media Monopoly, Beacon Press
Buwana, D.S.2009. “Ramadhan di Lazar Kaca”, Republika, 10/09/2009,
http://www.republika.co.id/koran/24/75368/Ramadhan_di_Layar_Kaca
Cahya, N.W. 2007. “Mengerucutnya kepemilikan media televisi di Indonesia,”
http://nurulwibawacahya.blogspot.com/2007/01/mengerucutnya-
kepemilikan-media.html
Dhyatmika, W. and Herawatmo. 2006. “Jangan Seperti Jualan Kacang Goreng,”
http://reporter-jakarta.blogspot.com/2006/06/laporan-utama-jangan-
seperti-jualan.html
Farid, Lily Y. 2006a. Merayakan Jurnalisme Orang Biasa di Panyingkul!
(unpublished)
Farid, Lily Y. 2006b. Citizen Journalism: sebuah pengantar (unpublished)
Harto, PP., Ratnasari, E; Saragih, HP.,Mudjiono, 2010. “Raja-Raja TV: Raja
TV, Raja Akuisisi”, Warta Ekonomi, 19 December 2006

24
Haryanto, I. 2004. Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap
Demokrasi, http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0408/04/Bentara/1189006.htm)
Klimkiewicz, Beata. 2005. 2005. Media Pluralis: European Regulatory Policies
and the Case of Central Europe, European University Institute
Luwarso, Lukas. 2000. Pers Indonesia, Pergulatan untuk Kebebasan,
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/31/0006.html
McQuail, Denis, 2000. Mass Communication Theory. Sage Publication
Meier, Werner A. 2002 “Media Ownership – Does It Matter?” In Networking
Knowledge for Information Societies: Institutions & Intervention Edited
by Robin Mansell, Rohan Samarajiva and Amy Mahan, Delft University
Press
Munandar, Satrio, Sen, Krishna and David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan
Politik di Indonesia, ISAI
Siregar, A.E. 2008. Ekonomi Politik Televisi: Melawan PEmusatan
Kepemilikan dan Penguasaan, paper presented in Forum Studi
Komunikasi, UAJY.
Widiyanto. 2006. Televisi Batavia,
http://andreasharsono.blogspot.com/2006/02/televisi-batavia.html)
Windyaningrum, A; Ratnasari, E , dan SHP. 2007. “Sekali di Udara,Tetap di
Udara, Warta Ekonomi, Jum'at, 25 Mei 2007
Yusuf, I.A. 2009. Pentingnya Regulasi Monopoli dan Konglomerasi Media,
http://bincangmedia.wordpress.com/?archives-list=1

Interviews
Farid, Lily Yulianti (email and chatting): 11/02/2007; 14/03/2008; 20/06/2010.
Nugraha, Pepih (email): 07/06/2010

25
Parodi di Balik Layar Kaca

Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista, mahasiswa Ilmu Komunikasi


Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kehidupan manusia merupakan sebuah proses yang terus-menerus ‘menjadi’,


selalu berevolusi seiring dengan perkembangan jaman. Kehidupan manusia tak
lepas dari unsur kebudayaan. Kebudayaan dapat menjadi pembeda antara
generasi manusia yang satu dengan generasi yang lain.

Kebudayaan terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu kebudayaan lisan, tulisan,
dan audiovisual. Kebudayaan lisan atau tutur adalah kebudayaan tertua
manusia, dimana komunikasi, pembelajaran, penyebaran nilai-nilai kehidupan
dan moral disebarkan dengan cara lisan atau tutur. Biasanya dengan media
dongeng, nyanyian (tembang), upacara adat, dan ritual adat. Meski hanya dari
mulut ke mulut, namun nilai-nilai moral tetap terjaga teguh dalam kehidupan
bermasyarakat. Kelompok manusia dalam kebudayaan ini mempunyai ingatan
(memori) yang kuat dan lebih senang bersosialisasi.

Kebudayaan tulisan (literasi) masuk ketika masyarakat mengenal dunia menulis


dan membaca. Sehingga peraturan pemerintahan, adat-istiadat dan nilai-nilai
kehidupan dan moral, tidak hanya disebarkan dengan cara lisan, namun juga
tertuang dalam bentuk tulisan dan terdokumentasi. Bahkan tata letak dekorasi
rumah juga berubah. Ruang keluarga yang biasanya cukup dengan sofa dan
hiasan foto keluarga, dilengkapi rak-rak buku dan perpustakan kecil. Kelompok
manusia dalam kebudayaan ini lebih tertutup dan lebih suka menghabiskan
banyak waktu untuk menekuni koleksi buku-bukunya daripada bersosialisasi.

Kebudayaan audiovisual berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi.


Kebudayaan jenis ini merupakan perpaduan antara teknologi audio (suara) dan
visual (gambar/gerak). Contoh benda hasil budaya audiovisual adalah internet
dan televisi. Kelompok masyarakat dalam budaya ini berciri: aktif, kreatif,
modern, dan menyukai hal-hal yang bersifat instan.

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan medium


yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian baru
masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh satelit dan pesatnya
perkembangan jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke
wilayah terpencil (Wibowo, 1997 : 1).

Kultur baru ini pada dasarnya sudah dikenal sejak lama, sebelum kebudayaan
tulis atau cetak menggesernya. Sebelum kebudayaan cetak dan tulis

26
berkembang, orang sudah menggunakan bahasa verbal dan visual, misalnya
dalam pagelaran wayang kulit, gamelan, ketoprak. Masa ini disebut kebudayaan
audiovisual lama atau kebudayaan lisan pertama. Karena kemiripan tersebut,
maka kebudayaan audiovisual baru juga sering disebut sebagai kebudayaan
lisan kedua.

Keunggulan kebudayaan lisan (baik pertama maupun kedua) dibandingkan


kebudayaan tulis adalah, kebudayaan lisan mengembangkan memori manusia.
Sajian dalam bahasa audiovisual lebih gampang diingat daripada apa yang
ditulis atau dibaca (Wibowo, 1997 :1). Kebudayaan lisan masih tertanam pada
sebagian besar masyarakat Indonesia, yang notabene budaya literasinya masih
rendah. Sehingga, ketika budaya audiovisual (kebudayaan lisan kedua) masuk
di saat mayoritas masyarakat masih menjadi kelompok masyarakat tutur
(kebudayaan lisan pertama), maka perkembangan teknologipun tidak dapat
dimanfaatkan secara maksimal.

Misalnya, telpon atau handphone lebih sering digunakan untuk menggosip bagi
ibu-ibu rumah tangga, fasilitas internet kebanyakan digunakan untuk chating
bagi anak-anak muda, sedangkan televisi yang seharusnya netral, demokratis
dan bersifat edukatif, oleh para politisi justru digunakan sebagai ajang debat dan
saling mempengaruhi. Banyak orang ingin berbicara dan didengarkan daripada
mendengarkan. Dari situ, terlihat begitu kentalnya budaya tutur yang masih
tertanam bagi masyarakat Indonesia.

Manfaat Televisi
Pada dasarnya, televisi dibuat oleh sebuah lembaga penyiaran. Penyiaran adalah
kegiatan pembuatan dan proses menyiarkan acara siaran radio maupun televisi,
serta pengelolaan operasional perangkat lunak dan keras, yang meliputi segi
idiil, kelembagaan dan sumber daya manusia, untuk memungkinkan
terselenggaranya siaran radio atau televisi (Wahyudi, 1994 : 6).

Siaran televisi memiliki daya penetrasi sangat kuat terhadap individu/kelompok,


akibatnya siaran televisi dapat menimbulkan dampak yang luas bagi
masyarakat. Karena memiliki pengaruh yang besar bagi khalayak, maka dalam
hal ini terdapat patokan-patokan bagi penyiaran televisi, agar menimbulkan efek
yang positif bagi khalayak. Patokan-patokan tersebut menurut Wahyudi (1994:
5) adalah dihasilkannya siaran yang berkualitas, baik, dan benar.

Siaran yang berkualitas adalah siaran yang kualitas suara atau gambar prima.
Siaran yang baik adalah siaran yang isi pesannya, baik audio dan visualnya
bersifat normatif, edukatif, persuasif, akumulatif, komunikatif, dan stimulatif,
serta sejalan dengan ideologi, norma, etika, estetika dan nilai-nilai yang berlaku.
Siaran yang benar adalah siaran yang isi pesannya baik audio dan atau visualnya

27
diproduksi sesuai dengan sifat fisik medium radio dan atau televisi. Sehingga
dapat disimpulkan, bahwa penyiran televisi dapat dikatakan bermutu tinggi
apabila dapat memenuhi standar atau patokan yang telah disebutkan diatas.
Apabila salah satu dari aspek tersebut tidak ada, maka penyiaran televisi dapat
dikatakan kurang bermutu.

Sedangkan, menurut Wibowo (1997 : 1), unsur esensial dari kebudayaan televisi
berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka
menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu, dan hiburan.
Televisi ada untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Manfaat yang
diberikan hendaknya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan bukan
hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. Oleh karena itu, harus ada
keberimbangan pada setiap acara-acara dalam televisi tersebut.

Penyiaran acara televisi harus mencakup ketiga manfaat televisi: sarana hiburan,
edukasi/pengajaran dan menyampaikan informasi sehingga dapat memberikan
manfaat positif bagi masyarakat. Program acara televisi yang bersifat hiburan
misalnya sinetron, sitkom, acara komedi dan kuis interaktif. Sedangkan acara
yang bersifat edukasi adalah talkshow, penyuluhan, dan program acara layanan
sosial masyarakat. Program acara yang bersifat menyampaikan informasi adalah
berita, liputan langsung dan infotaiment. Apabila hanya salah satu aspek saja
yang ditekankan, misalnya acara-acara hiburan yang lebih banyak ditayangkan
dalam televisi, maka hal tersebut dapat dikatakan bahwa televisi memberikan
manfaat yang tidak berimbang.

Acara-acara yang hiburan jauh memberikan keuntungan/profit bagi stasiun


televisi karena akan mendapatkan banyak sponsor (iklan). Akibatnya, stasiun
televisi lebih banyak memberikan program acara yang bersifat hiburan daripada
edukasi ataupun informasi. Tentu hal tersebut sangat disayangkan, karena
masyarakat tidak dapat mendapatkan haknya untuk memperoleh siaran yang
mendidik atau mendapatkan informasi yang mencukupi.

Televisi Saat Ini


Acara-acara televisi yang ditampilkan saat ini menggambarkan apa manfaat
yang ingin dicapai. Apakah ada ketimpangan dari segi manfaat, dapat dilihat
dari frekuensi tayangan-tayangan yang ditampilkan di televisi. Setiap tayangan
yang akan disajikan, terlebih dahulu isinya disaring oleh pihak media tentang
apa saja yang akan ditampilkan dan bagaimana cara menampilkannya.
Tujuannya, apa yang ditayangkan dianggap sesuai untuk ditampilkan ke
hadapan masyarakat.

Meski pekerja media antara satu dengan yang lainnya berbeda ideologi, namun
tujuan utama nya untuk memenuhi kebutuhan masayarakat sehingga semua

28
yang mereka tampilkan akan bermanfaat bagi masyarakat secara menyeluruh
dan berdampak baik bagi kepentingan bersama. Bermanfaat bagi masyarakat
berarti tidak hanya bermanfaat bagi segelintir pihak.

Menampilkan informasi secara objektif dan faktual merupakan salah satu


manfaat yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Namun jika ditilik lebih
mendalam, hal itu tidak cukup. Sudut pandang pemberitaan yang berbeda-beda
juga akan memberikan dampak yang berbeda pula bagi para penonton televisi.
Karena televisi juga bisa digunakan untuk membangun opini pemirsa. Sudut
pandang pemberitaan merupakan kebijakan masing-masing televisi dalam
menyiarkan sesuatu.

Isi media dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, seperti ideologi
para pekerja, pasar, pemilik media, ideologi negera dan lain sebagainya. Namun
setiap pekerja tentunya akan mengikuti ideologi yang lebih besar (ideologi
perusahaan media). Ideologi perusahaan tentunya dibangun oleh para pendiri
atau pemilik saham. Tujuan mendirikan media, selain memenuhi kebutuhan
masyarakat/bermanfaat bagi masayarakat, ada tujuan-tujuan lain, salah satunya
tujuan bisnis. Hal itu tentu saja sangat tidak salah karena pemasukan negara dari
perusahaan media juga merupakan suatu hal yang penting. Namun, perusahaan
harus memenuhi kebutuhan orang banyak karena mereka telah membuat
keputusan untuk membuat media yang akan berhubungan dengan orang banyak.
Apa yang mereka persembahkan seharusnya bermanfaat bagi orang banyak,
bukan malah menyesatkan atau mengacaukan.

Mengutamakan kepentingan orang dalam atau kepentingan kelompok bisa


mengacaukan manfaat bagi masyarakat. Pemilik media memiliki andil yang
sangat besar dalam menentukan isi media. Persoalannya, apakah kebijakan yang
diambil memberikan manfaat bagi masyarakat atau justru memberikan manfaat
hanya bagi pihak tertentu? Kita memang tidak pernah bisa tahu, namun melalui
pola-pola tertentu kita bisa melihat apa tujuan media dalam setiap kebijakannya.
Karena itu, kebijakan perusahaan media merupakan cerminan bagaimana media
televisi memahami manfaat yang ditujukan kepada masyarakat.

Salah satu faktor ketimpangan manfaat bisa jadi berasal dari kepemilikan
media. Apa jadinya jika stasiun-stasiun televisi dikuasai oleh segelintir orang?
Apakan segelintir orang tadi bisa bertindak objektif dengan media-media yang
dia miliki atau sebaliknya mereka menggunakan media sebagai alat untuk
menguntungkan diri mereka ataupun melindungi mereka dari sesuatu?

Jika demikian, televisi tidak lagi akan bermanfaat bagi masyarakat tapi hanya
bermanfaat bagi pemilik serta kelompok-kelompok yang dimenangkan oleh

29
media tersebut. Jika ini berlangsung terus-menerus maka makna dari manfaat
televisi di masa depan akan semakin bergeser.

Media televisi bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi dan tidak
ada lagi fakta yang disebarkan oleh televisi. Maka nilai jurnalisme pun akan
hancur karena media tidak lagi dapat dipercaya akibat penyalahgunaannya. Jika
demikian untuk apa ada televisi? Sebuah sarana yang digunakan untuk
memberikan manfaat bagi kehidupan orang banyak malah menjadi sesuatu
yang diagendakan oleh segelintir orang atupun para penguasa.

Televisi Masa Depan


Di masa depan televisi bisa menjadi senjata perang di antara pemilik media atau
penguasa untuk saling menjatuhkan. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi
terkena imbas manfaat, melainkan akan dibuat bingung oleh media-media
tersebut dan tidak tahu lagi mana media yang bisa dipercaya.

Konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang akan merusak asas


demokratisasi. Hal ini berlaku di Jerman, Inggris, maupun Indonesia,
Konsentrasi dan kendali yang berada dalam kekuasaan segelintir orang,
terutama investor asing, dapat menggerogoti kedaulatan negara (Vogt, 2001 :
30). Jika ini terjadi, tidak akan ada lagi manfaat untuk masyarakat. Televisi
akan menjadi sumber kekacauan karena mengaburkan fakta objektif demi
menutupi kepentingan segelintir orang. Fakta bukan lagi sesuatu yang murni
karena campur tangan sesuatu. Tak heran apabila nanti, media bisa membuat
agenda setting untuk suatu peristiwa untuk menutupi sesuatu. Jadi mereka bisa
merencanakan kejadian apa yang harus terjadi di keesokan harinya sehingga
mereka bisa menjadikan hal tersebut sebagai berita.

Melihat ilustrasi fiksi dari film Ian Flaming, Tommorow Never Dies, salah satu
sekuel dari agen rahasia 007, kita bisa melihat betapa besar pengaruh penguasa
media dalam menjalankan media miliknya. Film tersebut dibuat sebagai
sindiran bagi Rupert Murdoch, yang merupakan seorang penguasa media hingga
saat ini.

Menguasai saham media baik cetak terutama televisi bisa membuat para
penguasa media seakan-akan menjadi dewa di dunia ini. Media bisa menjadi
alat pengendali keadaan. Jadi selama memiliki media televisi, para penguasa
dapat mengendalikan peristiwa sehingga peristiwa yang akan terjadi akan selalu
menguntungkan mereka.

Melihat kepemilikan media yang dimiliki oleh Rupert Murdoch, kita bisa
mengandaikan apa yang akan terjadi di masa depan. Dia adalah pemilik News
Corporation yang memiliki jaringan ratusan media cetak, radio dan televisi di

30
seluruh dunia. Yang paling menonjol adalah jaringan televisi. Ia memiliki
mayoritas saham di Fox Channel yang menjadi channel keempat setelah ABC,
NBC dan CBS. Ia memiliki 30 saluran kabel dan satelit di negeri itu. Separuh
dari kepemilikan saham National Geography dan sebagian saham GE yang
menjadi induk dari televisi saingannya NBC.

Di luar Amerika, Murdoch memiliki dua puluh delapan saluran televisi di


Inggris, delapan diantaranya share kepemilikan dengan Paramount dan
Nickelodeon, cartoon channel yang paling kuat di dunia. Murdoch memiliki
dua televisi di Jerman, 16 televisi lokal di Australia, satu di Canada enam di
India. Murdoch lewat perusahaannya Star TV menguasai enam saluran televisi
yang secara total menguasai 60 persen dari audience share negara itu. Tak
ketinggalan, penguasa media ini juga memiliki saham minoritas sebuah stasiun
TV Italia, dua di Jepang, delapan di Amerika Latin. Lewat Star TV Murdoch
mengakuisisi mayoritas saham ANTV dan sedang berancangancang mengambil
stasiun televisi kedua di Indonesa, Lativi kala itu (Kompasiana, 16/01/2010/01).

Masih banyak kepemilikan media yang dia miliki. Belum lagi radio, media
internet, serta media cetaknya. Hal ini sangat memungkinkan bahwa dia masih
akan tetap berjaya di kehidupan televisi masa mendatang. Semua opini
masyarakat bisa saja digiring oleh idealismenya. Hal ni tentunya akan
membawa manfaat bagi dirinya seorang. Dia menguasai hampir semua televisi
di dunia karena dia selalu menaruh saham di tiap-tiap televisi dia anggap dapat
bermanfaat entah bagi siapa.

Pada akhirnya televisi di masa depan bukanlah lagi milik masyarakat tapi benar-
benar hanya dimiliki oleh para penguasa dan para pemilik medianya.
Masyarakat hanya akan menjadi penonton persaingan mereka dan tidak lagi
dapat berperan aktif di dalam televisi di masa depan. Hal ini bukan hanya
sebagai dugaan, apabila kebiasaan memanfaatkan media demi kepentingan
pribadi tidak dihilangkan mulai dari sekarang.

Jika kita menilik kasus-kasus kecil yang sedang terjadi di Indonesia, mungkin
kita bisa melihat kasus peristiwa lumpur di daerah Sidoharjo yang menyebabkan
banyak kerugian bagi para penduduk di sekitarnya. Lumpur tersebut diselidiki
merupakan hasil dari human error oleh salah satu perusahaan terkemuka di
Indonesia, Lapindo. Maka dari itu berita tersebut seringkali memakai kata
Lumpur Lapindo untuk menegaskan bahwa peristiwa itu merupakan human
error dari perusahaan tersebut.

Di sisi lain, ada pula media yang menyebutkan dalam pemberitaannya dengan
memakai nama Lumpur Sidoarjo serta menekankan bahwa peristiwa tersebut
merupakan bencana alam. Kita mengetahui, human error dari sebuah

31
perusahaan yang menyebabkan malapetaka, merupakan tanggung jawab dari
perusahaan tersebut. Namun apabila lumpur itu ditekankan sebagai bencana
alam, maka yang berkewajiban bertanggung jawab adalah pemerintah.

Dari sini kita bisa menduga mengapa ada sudut pandang pemberitaan yang
begitu berbeda antara satu dengan yang lain. Apakah memang hal ini
merupakan pertarungan para penguasa yang ingin saling menjatuhkan? Apakah
yang sebenarnya terjadi ataukah ada sesuatu yang harus ditutupi sehingga pada
akhirnya kasus ini sampai sekarang masih saja menggantung. Bahkan di bulan
ramadhan lalu, salah satu media sempat-sempatnya meliput sang pemilik saham
saat berbuka puasa bersama dengan korban lumpur yang ada di daerah Sidoarjo
tersebut.

Dengan menjadi pemilik media, begitu mudahnya bisa membeli siaran untuk
meliput acara buka bersama yang sebenarnya hal tersebut merupakan acara
pribadi. Kami rasa masyarakat tidak membutuhkan berita di televisi tentang
keluarga yang sedang berbuka bersama. Hal itu sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan kepentingan masyarakat, apalagi sampai memberikan manfaat
bagi orang banyak.

Berita semacam itu tentunya merupakan sarana promosi atau mengiklankan diri
bahwa “Saya adalah orang yang baik hati.” Tapi sekali lagi perlu ditekankan,
media televisi tidak hanya berbicara tentang hal pribadi. Jika semakin lama
televisi terpuruk di dalam keegoisan para penguasa, maka prediksi akan
bergesernya makna dan manfaat televisi akan terjadi. Selamat tinggal
kepentingan masyarakat dan selamat datang persaingan para penguasa.
Jika melihat keadaan yang demikian, alangkah tragisnya nasib televisi di masa
depan. Televisi yang pada awalnya memiliki tujuan suci demi kepentingan
masyarakat banyak akan menjadi mainan bagi penguasa untuk mencari
keuntungan pribadi. Imbasnya tidak hanya dalam media televisi. Ilmu
jurnalisme bisa menjadi hal yang tidak lagi bermakna. Jurnalisme akan
kehilangan ideologinya karena termakan oleh penguasa yang lebih besar.

Segala hal yang dipelajari oleh para jurnalis akan menjadi hal yang sia-sia.
Yang perlu dipelajari pada nantinya mungkin adalah bahwa para jurnalis harus
bekerja sesuai dengan keinginan para penguasa yang menaunginya. Tidak ada
lagi kebebasan bagi para jurnalis untuk membuat sudut pandang namun
semuanya akan ditentukan oleh hal-hal yang berkuasa diatasnya. Apakah hal ini
bermanfaat bagi jurnalis? Tentu saja tidak karena hal tersebut akan merebut
kemerdekaan para jurnalis.

Kita bisa melihat kasus yang lain. Kasus Gaza pernah menenggelamkan kasus
kecelakaan sebuah kapal laut di dalam negeri. Masyarakat mendapat informasi

32
tentang luar negeri tetapi informasi penting yang terjadi di dalam negeri seolah
menguap begitu saja tanpa mendapat perhatian. Apakah yang membuat media
memilih kebijaksanaan seperti ini? Apakah masalah dalam negeri menjadi
kurang penting jika dibandingkan dengan masalah Gaza? Apa bangsa kita
memiliki kepentingan di Gaza? Sangat benar apabila media memberikan
informasi tentang hal yang sedang berlangsung di sana. Namun bukan berarti
masalah dalam negeri yang lebih penting menjadi terlupakan. Pasti di balik
pemberitaan ini ada suatu kepentingan yang ingin diwujudkan.

Hanya dengan melempar issue tanpa mendapatkan penyelesaiannya tidak sama


dengan memberikan manfaat kepada masyarakat. Sama seperti melempar kasus
Century atau Gayus, namun tidak pernah ada penyelesaiannya. Bahkan ketika
kasus itu semakin terpuruk muncul kasus lain yang menenggelamkan kasus
negara yang lebih penting, yaitu kasus video mesum artis. Kasus video tersebut
sampai mengalahkan berita serta peristiwa lainya sehingga seolah-olah tidak
ada yang lebih penting dari kasus ini. Dengan hati yang bertanya-tanya kita
pasti berpikir apa maksud dari media televisi menampilkan hal ini. Media
televisi yang dikenal sebagai alat penyampai pesan yang lebih mengekalkan
ingatan serta cepat digunakan untuk memberitakan hal-hal macam seperti ini.

Sekali lagi tidaklah salah. Namun kemanakah kasus-kasus yang dilempar


sebelumnya? Mengapa sepertinya kasus sebelumnya seperti sudah menemukan
penyelesaiannya dan ditutup? Apakah kasus video mesum ini digunakan media
untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus-kasus yang lebih penting
sebelumnya? Atau mungkin bisa saja kasus video ini digunakan untuk menutup
kasus ngara yang lebih penting. Namun siapakah yang yang memiliki kebijakan
bahwa media televisi sekarang tugasnya adalah memberitakan kasus video
mesum? Tentu saja penguasalah yang menetukan. Jika sudah sampai seperti ini,
bisa dilihatlah bahwa televisi digunakan sebagai pelindung serta
pengalihperhatian akan kasus Negara yang lebih penting. Masyarakat senang
menonton hal tersebut. Tapi apakah masyarakat memperoleh manfaatnya?
Tentu saja tidak.

Demikianlah gambaran bagaimana media televisi digunakan pada saat ini dan
imbasnya nanti. Kami rasa tidak akan jauh berbeda dengan yang terjadi
sekarang: siapa yang paling berkuasa, dia yang paling bisa menentukan apakah
yang harus ditampilkan di televisi. Dengan demikian, kepentingan penguasalah
yang selalu terpenuhi. Dengan kata lain manfaat hanya akan didapat bagi para
penguasa. Di masa depan, manfaat televisi lambat laun akan semakin bergeser
dari manfaat untuk masyarakat menjadi manfaat untuk para penguasa.

Daftar Pustaka

33
Vogt, Erich. 2001. Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran.
Jakarta : Friedrich-Ebert-Stiftung .
Wahyudi, JB. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia.

34
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

Desideria Cempaka Wijaya Murti, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas


Atma Jaya Yogyakarta dan Meredian Alam, mahasiswa Pasca Sarjana
Universitas Oslo, Norwegia

Wayang kulit dari Jawa khususnya, mengisyaratkan ketampanan Arjuna


dengan perut yang tipis, muka yang halus, dada bidang, dan badan kerempeng.
Ksatria Pandawa seperti Yudistira, Nakula dan Sadewa pun digambarkan
memiliki tubuh yang kecil dan langsing dengan perut kecil, bentuk badan yang
lincah dan kurus. Adapun Bima atau Wrekudara meskipun berbadan besar
seperti raksasa, dalam penggambaran melalui media wayang dibentuk dengan
perut belikat ramping dan badan yang tinggi. Lain halnya dengan gambaran
para Kurawa atau Buto Cakil yang bermain antagonis dalam pewayangan Jawa,
digambarkan dengan perut buncit, badan yang menggelambir, dan postur yang
lambat serta membungkuk. Wajah pun digambarkan bertaring, bermuka lebar
dan berbadan besar.

Sebagai sebuah media hiburan pada masa 50 tahun yang lalu, wayang menjadi
media promosi bagi ajaran agama, kebijakan, dan kearifan lokal. Selain itu juga
menjadi sebuah media yang mengkonstruksikan dan membentuk pemikiran
masyarakat kala itu mengenai arti sebuah ketampanan (Utami, 2008). Wayang
sebagai media tontonan saat itu sudah mengklasifikasikan definisi ketampanan
atau kesatria dengan gambaran atau wujud wayang Pandawa yang langsing,
kurus, berperut tipis, berbadan tegap, lincah, serta berbahu bidang. Sedangkan
klasifikasi untuk pria jelek, antagonis, tidak kesatria, dan jahat cenderung
digambarkan buncit, badan menggelambir dengan lemak, prostur yang bungkuk
dan terlihat lambat. Semar juga digambarkan buncit, pendek, terlihat lambat
tetapi berperan protagonis dan bijak, tetapi tidak termasuk kategori wayang
yang tampan.

Setelah periode dominasi TVRI usai (1962-1971) dan munculnya Surat


Keputusan Menteri Penerangan No.190A/KEP/MENPEN/1987 yang berisi
perluasan konsepsi mengenai pertelevisian dengan mengadakan apa yang
disebut sebagai siaran saluran umum, mulailah media televisi swasta yang
masuk dalam industri televisi (Budi, 2004). Variasi program yang dihadirkan
oleh televisi telah membuat masyarakat selangkah dua langkah melupakan
wayang dan kategorisasi wayang dalam gambaran ketampanannya. Tetapi
masyarakat, dalam hal ini obyek positioning dari penggambaran ketampanan itu
tetap ada. Media televisi yang berperan sebagai media massa juga
menyuguhkan gambaran mengenai apa dan bagaimana sebenarnya tampan itu.

35
Ajang di televisi swasta yang menayangkan mengenai kompetisi pria-pria
tampan dan berotot yang diprakarsai dan disponsori oleh merek susu pembentuk
tubuh terkenal L-Men, memberikan visualisasi mengenai kategori ketampanan
ini. Berbeda dengan wayang, kontes ajang pria ini, dalam hal ini disebut
Handsome Pageant or Muscle Pageant menggambarkan proses perlombaan
yang sudah memasuki babak final. Para penonton divisualisasikan proses
seleksi yang cukup ketat dalam pemilihan Pria L-Men. Dari 2.500 peserta di 10
kota yang diaudisi, pada akhirnya hanya ada 12 grand finalist pria L-Men.
Finalis ini akan dipilih satu yang menjadi L-Men of The Year, dan bertanding di
Mr. International yang akan diselenggarakan di Indonesia tahun 2010 ini. Tidak
ada satu pun pria yang masuk ke babak final ini bertubuh kurus, kerempeng,
atau sebaliknya bertubuh gemuk dan berperut buncit.

Pemirsa televisi disuguhi pria-pria yang masuk final sebagai pria tampan,
berkulit mulus agak kecoklatan, maupun jenis kulit putih yang mendominasi
finalis L-Men. Pria-pria ini memiliki postur tubuh tegap, berperut six-packs atau
berkotak-kotak berjumlah enam, dan badannya mengeluarkan otot-otot yang
membentuk badannya sedemikian rupa, dalam bahasa Jawa digunakan istilah
pothok, atau muscle man dalam istilah Bahasa Inggris. Jenis postur tubuh ini
mengisyaratkan ketampanan seorang pria yang dilihat dari kegagahannya dan
kekesatriaannya. Tubuh berotot yang berasal dari latihan keras di fitnes center
atau gym diharapkan nantinya dapat menghasilkan pria yang tampak kuat dan
mampu melindungi wanita.

Jika melihat postur tubuh ini, penonton mungkin akan cenderung


membayangkan Superman (Super Hero dari Amerika) dari pada Arjuna.
Agaknya jika dibayangkan lebih jauh, mungkin Janaka atau Arjuna akan sulit
untuk masuk babak final di ajang ini mengingat tubuhnya yang kerempeng dan
perutnya yang tipis dan one pack, meskipun pada era keemasannya Arjuna
disebut-sebut mampu memikat banyak wanita, seperti Woro Srikandhi, Woro
Sembodro, Larasati dan lain-lain. Atau akan sulit jika kini ada gubahan bentuk
wayang Pandawa menjadi bentuk wayang yang berotot dan berbentuk six packs
untuk mengikuti tren ketampanan masa kini, mungkin justru masyarakat akan
merasa aneh jika postur tubuh six packs dimasukkan dalam wayang.

Apakah Arjuna, jika mengikuti seleksi Man Peageant ini dapat lolos sampai
tahap final dan menang atau tidak bukan hal yang penting. Tetapi yang perlu
diperhatikan dengan jeli adalah bahwa media massa baik itu wayang maupun
media televisi dalam tayangan L-Men misalnya, memiliki pedoman dan
kategorisasi dalam arti ketampanan itu sendiri.

Mitos Ketampanan

36
Jaman memang berubah, jenis ketampanan pun berubah. Hanya keberadaan
ukuran ketampanan itu yang tetap ada. Ketampanan yang berubah dari jaman ke
jaman, dari bangsa ke bangsa menjadikan ketampanan menjadi sebuah wacana
sosial. Ketampanan ini adalah sebuah konstruksi sosial yang nantinya mengarah
pada sebuah mitos yang oleh kelompok tertentu berkuasa untuk memaknai dan
menyebarkan pemaknaan itu kepada masyarakat luas

Pengertian mitos di sini tidak hanya menunjuk pada mitologi dalam pengertian
sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tentang dewa-dewi atau cerita Nyi Roro
Kidul misalnya– melainkan sebuah cara pemaknaan. Roland Barthes (dalam
Hermawan, 2008) menyebutnya sebagai tipe wicara. Pada dasarnya semua hal
dapat menjadi mitos; satu mitos muncul dalam kurun waktu tertentu, kemudian
hilang atau tenggelam oleh mitos-mitos yang lain. Oleh sebab itu, Barthes
melihat bahwa mitos bukanlah tanda yang tak berdosa, netral atau bebas nilai;
melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang bisa
jadi sangat berbeda dengan makna asalnya. Mitos juga tidak dapat disebut salah
atau dinilai salah sehingga dipertentangkan dengan kebenaran. Tetapi mitos
merupakan sebuah fenomena sosial yang terjadi saat sebuah praktik penandaan
dilakukan sehingga memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks
menggambarkan situasi sosial budaya, mitos juga mempunyai dimensi
tambahan yang disebut naturalisasi. Melalui naturalsasi sistem makna menjadi
masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk
masa yang lain.

Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang
kecantikan, kejantanan atau ketampanan, pembagian peran dalam gender dan
lain-lain. Charles Darwin (Danandjaja, 1986 dalam Sumaryono, 2009)
menyebutkan bahwa dalam mitologi terjadi evolusi (evolusi kebudayaan sama
halnya dengan evolusi biologi), dan Andrew Lang juga menyatakan bahwa
setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan berevolusi. Sehingga
dapat dikatakan disini bahwa mitos ketampanan itu ada dan mengalami evolusi
dari jaman ke jaman. Perubahan evolusi mitos ketampanan yang dulu mirip
seperti wayang dengan tubuh yang kurus lincah dan berperut tipis yang
menggambarkan pria-pria Jawa masa lampau telah terganti menjadi pria
bertubuh besar berperut six packs yang menggambarkan pria-pria superhero
seperti Batman dan Superman.

Jenis ketampanan yang berevolusi ini terjadi dalam tataran kognitif pada
paradigma masyarakat. Teori sosial konstruktivisme dalam buku An
Introduction to Social Constructionism oleh Vivien Burr (1995) menyebutkan:
”Social constructionis a concept or practice that is the construct (or artifact) of
a particular group. When we say that something is socially constructed, we are
focusing on its dependence on contingent variables of our social selves.” Dalam

37
wacana ini, teori tersebut menguatkan pendapat bahwa konstruksi social
mengenai ketampanan itu dibentuk oleh kelompok tertentu. Suatu kelompok
yang melihat bahwa konstruksi ketampanan tersebut pada akhirnya akan
membawa mereka pada tujuan-tujuan tertentu misalnya sales atau penjualan dan
acceptance atau penerimaan masyarakat.

Rekonstruksi Ketampanan
Mengkaji masalah tampan dan tidak tampan, sebenarnya merupakan salah satu
kajian tentang substansi dalam fenomena kebudayaan manusia, yakni berkaitan
dengan sistem komunikasi dan persepsi yang mengikutinya. Hanya dengan
komunikasi yang efektif dan intensif maka kebudayaan manusia dapat dibentuk,
diubah, atau dipertahankan. Umberto Eco menyebutkan dalam The Theory of
Semiotics (1976): ”Culture is signification and communication and that
humanity and society exist only when communicative and significantive
relationship are established” (dalam Kasiyan, 2008: 78). Sehingga ketika suatu
fenomena social akan diangkat menjadi bagian dari budaya itu sendiri, maka
ada proses komunikasi dan proses signifikansi dari substansi dan signifansi
hubungan yang dibangun.

Budaya sendiri mewujud dalam bentuk symbol-simbol, AL Kroeber dan C.


Kluckhon dalam A Critical Review of Concepts and Definition yang
menyebutkan bahwa substansi budaya adalah berupa bentuk-bentuk, baik secara
implicit maupun eksplisit yang ditransmisikan melalui symbol-simbol, secara
konstruktif oleh sekelompok manusia. Seperti berikut ini: “Culture consist of
patterns, explicit and implicit, of and for behaviour acquired and transmitted by
symbol, constituting the distinctive achievements of human groups, including
their embodiments in artefacts.” (Liang Gie,1977: 127)

Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol ketampanan itu masuk dalam bentuk-


bentuk yang secara eksplisit maupun implisit disampaikan melalui simbol baik
dalam wayang maupun dalam kontes Man Peageant seperti L-Men. Simbol
tersebut ditransmisikan secara signifikan oleh interpretasi sekelompok orang
sehingga simbol tersebut pada akhirnya melahirkan arti yang ditangkap oleh
banyak orang. Seperti dalam istilah Ernest Cassier dalam bukunya An Essay on
Man, An Introduction to a Philosophy of Human Culture, yang menyebutkan
bahwa “human is anima symbolicum” atau hewan yang suka menyimbolkan
sesuatu (Herusatoto, 2001: 9). Lebih tegas lagi Wieman dan Walter (1957)
menyebutkan bahwa daya simbol ini yang bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup manusia, bahwa manusia menangkap data melalui
inderanya dan membuat simbol pada data tersebut. Manusia kemudian membuat
arti dari simbol tersebut dan secara turun temurun mentransfer pengetahuan
tersebut kepada generasi berikutnya.

38
Dalam konstruksi mengenai ketampanan ini, jaman dulu wayang mengalami
proses simbol dari manusia, yakni manusia menangkap data melalui indera
yakni cerita pewayangan itu sendiri dan bentuk tubuh manusia dinilai yang ideal
saat itu menjadi bentuk wayang lalu kemudia ditransfer turun-temurun melalui
budaya cerita wayang dan pertunjukkan wayang. Dalam kasus ini budaya
pertunjukan wayang menjadi media komunikasi untuk mentransfer ilmu dan
persepktif mengenai ketampanan itu.

Sejalan dengan pudarnya budaya pertunjukkan wayang dan diganti dengan


kotak ajaib bernama televisi yang menampilkan berbagai macam cerita dan
pertunjukkan, maka ada perubahan media yang signifikan dan perubahan pesan
pula. Konstruksi mengenai ketampanan ini tetap ada tetapi mengalami
pergeseran atau perubahan. Sekelompok orang dalam industri pertelevisian dan
produsen yang masuk dalam industri bina raga (seperti susu pembentuk otot
tubuh ini) menangkap data melalui indera misalnya film-film barat seperti
Superman atau Batman yang memiliki tubuh six packs kemudian membuat
simbol atas data yang mereka tangkap, lalu membuat arti dalam simbol itu
yakni ketampanan dan kegagahan lalu diturunkan dan ditransfer dari generasi ke
generasi melalui televisi. Hal ini dapat dilihat perbedaan persepsi mengenai
bentuk pemikiran mengenai ketampanan dulu dan sekarang.

Perubahan itu sejalan dengan wacana Goldmann mengenai vision du monde


atau visi duniawi, yakni kesadaran kolektif terhadap totalitas pikiran yang
ekspresinya bisa berupa aspirasi atau perasaan, yang sama sekali bukan
kenyataan empiris (Wibowo, 2003). Visi duniawi ini muncul seiring dengan
krisis sosial dan menurut Goldmann pula visi duniawi ini selalu mencerminkan
pandangan kelas sosial karena tumbuh dan berkembang dari situasi social
ekonomi tertentu yang dihadapi suatu komunitas. Visi duniawi ini misalnya
tentang simbolisasi ketampanan tersebut bagaimana terdapat pembentukan
kesadaran kolektif terhadap pemikiran mengenai ketampanan yang berupa
aspirasi pembentukan tubuh pria dan pembentukan pandangan ini diikuti
dengan kenyataan yang bukan empiris. Sehingga ketampanan yang
dikonstruksikan oleh sekelompok orang yang terlibat dalam industri pembentuk
ketampanan seperti produsen yang mengklaim memiliki produk yang mampu
menunjang ketampanan seseorang, semakin kuat. Dengan demikian tokoh-
tokoh yang terlibat dalam pembentukan konstruksi ketampanan ini dianggap
identik dengan tokoh model heroisme kapitalis industri ketampanan.

Jika kini dapat dilihat mengenai rekonstruksi ketampanan yang berbeda dengan
ketampanan pada jaman keemasan wayang maka dapat kita lihat arah kiblat
ketampanan itu sendiri. Jika industri produk-produk pria dikuasai oleh
hegemoni perusahaan dari barat, maka tidak heran bahwa konstruksi

39
ketampanan itu sendiri akan berkiblat ke barat, sebagai standard acuan industri
tersebut.

Komunikasi Pemasaran dalam Konstruksi Ideal


Iklan didefinisikan oleh Coutland Bouvee dan William Arens dalam
Contemporer Advertising sebagai “non-personal communication of information
that paid for and naturaly persuasive about product, service or idea that
identified the sponsor through various media” (Bouvee and Arens, 1986: 5)
maka tayangan man paegeant dapat digolongkan dalam usaha untuk
memperkuat iklan yang selama ini ada. Iklan dari produk susu pembentuk tubuh
ini selalu menampilkan pria dengan bentuk tubuh six packs dan selalu
diperlihatkan bagaimana para wanita menatap dengan terpukau pada badan si
pria.

Sebagai bentuk aktivitas yang mendukung iklan tersebut dilaksanakanlah suatu


kompetisi ketampanan pria yang standarnya sesuai dengan keinginan produk
tersebut. Philip Kotler dan Gary Armstrong (1984: 635) menyebutkan bahwa
dalam aktivitas Marketing Communication, aktivitas yang mendukung antara
lain advertising atau iklan, personal selling, sales promotion, publisitas dan
public relations. Tayangan kontes ketampanan dan kegagahan ini masuk dalam
aktivitas marketing communication.

Industri yang menginginkan pembentukan konstruksi ketampanan ini menjadi


semakin mengakar dibenak prospek, salah satunya adalah dengan proses
komunikasi dan signifikansi sehingga harapannya adalah konstruksi
ketampanan ini akan menjadi (bahkan) budaya dalam masyarakat Indonesia,
yang dulunya konstruksi ketampanan itu seperti Arjuna yang kerempeng dan
berperut tipis. Wahyu Wibowo (2003: 125) menyebutkan bahwa selain strategi
4P yang disebutkan oleh Phillip Kotler yakni Product (Produk), Price (Harga),
Place (Kiat mengenai penenmpatan dan distribusi produk), dan Promotion (atau
kiat bagaimana produk itu dipasarkan pada masyarakat luas, ada lagi satu
strategi yakni Power atau kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah
kekuasaan produsen untuk ”memaksakan” penayangan iklannya, semua ini
amat berkaitan dengan money atau seberapa besar modal yang dimiliki produsen
untuk membentuk konstruksi masyarakat mengenai standar ketampanan
sehingga akhirnya membeli produknya agar dapat sesuai dengan idealisme
ketampanan yang dimaksud oleh produsen.

Power dan 4P lainnya pada akhirnya ingin membentuk persepsi sesuai


keinginan produsen. Persepsi berasal dari kata percipere yang berarti menerima,
perseption, pengumpulan, penerimaan, pandangan (Komarudin, 2000:91).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 863) kata persepsi memiliki dua
pengertian yaitu tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan proses

40
seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. Sementara
menurut Rahmat (1998: 51) persepsi adalah pengamatan tentang objek peristiwa
atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Persepsi juga memberikan makna pada stimuli inderawi.
Melalui beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi sangat
ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional (Rahmat, 2004: 51 ).
Sedangkan Krch dan Crutchfield (1977: 235) menyebutkan perpsepsi sangat
dipengaruhi oleh faktor fungsional dan faktor struktural.

Persepsi mengenai ketampanan ini dibentuk dalam proses seperti yang disebut
oleh Wahyu Wibowo dalam bukunya Sihir Iklan yakni: (a) Nilai, atau sikap kita
terhadap faktualitas-juga aktualitas-berita atau informasi yang berkembang.
Nilai seseorang dipengaruhi oleh apa yang dirasakan seseorang pula.
Berdasarkan nilai, persepsi masyarakat luas terbentuk bahwa penyaji iklan
memiliki kuasa untuk mengisi iklannya sekehendaknya dengan substansi yang
bebas. (b) Unsur Budaya, dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah budaya
konsemerisme yang mengalami proses pencampuran fakta dan imajinasi,
sehingga gaya hidup yang ada dalam media diadopsi menjadi gaya hidup
budaya masyarakat luas. Termasuk mengenai gaya hidup urban mengenai tubuh
pria dan ketampanan. (c) Unsur Kepercayaan, yakni kepercayaan pada
pengalaman masa lalu seseorang yang erat dipengaruhi oleh konsep atau prinsip
kebutuhannya. Persepsi seseorang pada suatu produk terutama dalam hal ini
tayangan di televisi mengenai kontes ketampanan dan iklan-iklan yang
mendukungnya membawa pengalaman masa lalu pria-pria yang masuk dalam
kategori finalis kontes yakni pengalaman masa lalu mereka saat mengkonsumsi
produk sehingga menghasilkan tubuh seperti standar ketampanan yang dibentuk
oleh produsen.

Melalui penjelasan diatas dapat disimpulkan yakni tidak hanya produk yang
terlibat dalam proses komunikasi pemasaran tetapi juga bisa konstruksi ideal,
budaya, dan lain-lain. Bedanya wayang memiliki produk agama atau budaya
lokal L-Men yang tujuan akhirnya adalah sales produk susu L-Men yang
diharapkan meningkat. Konstruksi ideal atau figur sebenarnya hanyalah sebagai
sebuah alat untuk memvisualisasikan output suatu produk sebagai brand
ambassador, tetapi tujuan sebenarnya adalah sales.

Wayang dan Televisi sebagai Media Persuasif


Pertunjukan wayang pada masa keemasannya dulu, sangat digandrungi oleh
banyak pemuda-pemudi pada zamannya, yang rela lek-lekan atau tidak tidur
semalam suntuk untuk melihat pertunjukkan wayang yang menampilakn cerita-
cerita Baratayudha atau Ramayana. Wayang yang pada saat itu juga sebagai
media untuk mempromosikan kearifan dan ajaran agama memiliki perspektif
sendiri terhadap ketampanan yang diwujudkan dalam bentuk wayangnya. Tetapi

41
dalam hal ini kbentuk wayang tersebut merupakan pesan sekunder yang
disampaikan, dan bukan merupakan pesan utama karena wayang sendiri tidak
mewujudkan diri dalam bentuk manusia sesungguhnya, hanya dalam bentuk
pupet atau boneka wayang. Sehingga konstruksi ketampanan itu sendiri tidak
terlihat sebegitu signifikan seperti dalam tayangan televisi mengenai kontes pria
tampan saat ini. Wayang hanya menunjukkan postur tubuh sebagai penunjang
pesan utamanya yakni cerita wayang itu sendiri.

Tayangan televisi mengenai Kontes bina raga yang salah satunya adalah
Pemilihan Pria L-Men, memiliki pesan utama yakni mengenai standar postur
tubuh pria sesuai dengan standar L-Men dan pembelian atau sales dari produk
L-Men itu sendiri, didukung dengan iklan-iklannya di televisi. Dalam kekuatan
media ini televisi menjadi media yang sangat dominan untuk membentuk
persepsi audience mengenai ketampanan itu. Hadad (1993) menyebutkan
bagaimana media audio visual sebenarnya banyak menghabiskan tenaga
pemirsa, karena media tersebut memaksa pemirsa duduk berjam-jam untuk
mengikuti acara yang ditayangkan, sementara jiwa pirsawan menerima semua
yang disuguhkan kepadanya tanpa membantah (Budi, 2004). Ditambahkan pula
bahwa televisi hadir di tengah budaya membaca yang belum mapan. Karena itu
bukan kehadiran televisinya yang memberikan dampak pada masyarakat tetapi
program televisinya yang berdampak pada masyarakat. Deddy Mulyana juga
menyebutkan bahwa bangsa kita adalah bangsa lisan yang kurang tertarik pada
tulis menulis. Sehingga televisi menjadi media yang memiliki kekuatan yang
besar sebab merupakan media lisan yang masuk dalam konteks budaya
masyarakat yang lisan.

Dalam wacana kekuatan televisi sebagai media persuasif, Siregar (2001)


menyebutkkan bahwa televisi telah mengganti peran sumber pendidikan
konvensional dan tradisional bahkan menjadi surrogate parents atau subtitute
teacher dimana kekuatan televisi sebagai media persuasif dalam konteks
pendidikan sangat kuat. Menurut Nugroho (1995) televisi juga merupakan
instrumen untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus mengajari kita cara
untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri. Sehingga televisi tidak hanya
berfungsi untuk menyebarkan pesan tetapi nilai-nilai pesan itu sendiri. Televisi
tidak hanya menyebarkan mengenai siapa yang tampan saja, tetapi apa makna
dan standar tampan itu sendiri.

Salah satu teori yang mengungkapkan mengenai kekuatan media itu adalah teori
Agenda Setting. Teori yang diangkat oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw
(Griffin, 2003) ini mengemukakan beberapa pemikiran mendasar mengenai
bagaimana media mempengaruhi khalayak. Media massa memiliki kemampuan
untuk mentransfer items dalam agenda berita mereka kepada agenda public
sehingga membuat publik bukan lagi berfikir apa yang berfikir tetapi berfikir

42
tentang apa. Dengan kata lain, media telah menyediakan segala hal yang perlu
dipikirkan oleh audience, audience akan menyerap apa saja yang diperlukan
olehnya. Untuk itu bisa dikatakan bahwa media disini menjadi seperti peluru
yang menembakkan isinya kearah audiens. Sama halnya dengan tayangan
kontes man peageant ini yang sebenarnya sangat mengandalkan teori ini,
dimana diharapkan bahwa dengan dipublikasikannya tayangan dan iklan-
iklannya di televisi ini maka audiens akan memikirkan hal-hal yang disuguhkan
oleh media dan mempengaruhi konsumen untuk: (1) tertarik memikirkannya (2)
tertarik membicarakannya (3) tertarik mencobanya (4) tertarik mencobanya.

Agenda media dan agenda publik adalah pasangan yang dekat. Dalam premis
ini media adalah puhak yang berkuasa untuk mendikte mengenai apa yang perlu
dipikirkan oleh publik. Demikian pula halnya dengan tayangan kontes
ketampanan di televisi ini yang mendikte apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
si tokoh yang akan memperoleh bentuk tubuh “ideal” sesuai dengan standar
yang dikehendaki producen dengan meminum susu pembentuk otot . Oleh
karena itu, posisi tayangan kontes ketampanan ini merupakan media yang
digunakan untuk memberikan exposure kepada target audience.

Identitas ketampanan yang melekat dalam diri seorang lelaki dibentuk melalui
proses kontruksi tentang ‘self’ yang dipertajam dalam media iklan yang
tersirkulasi melalui televisi, surat kabar, dan online advertisement. Kesemua ini
tidak terlepas dari technological packaging yang mempermudah setiap individu
mengakses produk-produk dari media iklan tersebut. Dalam konteks ini, Zukin
dan Macguire (2004) dengan asertif mencoba mengingatkan tentang bagiaman
identitas tentang ‘self’ ini dibentuk dengan cair dalam konteks posmodernisme
dimana dominasi media dan kolaborasi apik dalam iklan telah melahirkan
destruksi kreatif tentang ‘self’. Disini kita dapat memahami bahwa definisi
individu tentang dirinya sendiri sudah tidak lagi secara otonomi, independen,
dan bebas nilai dibentuk dan dikonstruksi melalui rasionalitasnya sendiri, tetapi
lebih dari itu telah terdistorsi oleh nilai-nilai kolektif dalam iklan.

Tidak ada yang salah dalam iklan dan by nature memang ditampilkan dan
diproduksi untuk pemenuhan profit pembuatnya. Diskusi menjadi menarik
ketika iklan tersebut dikontekstualisasikan dalam image building of identity
yang dialami oleh individu. Tentu saja ini bukan suatu proses yang ‘socially’
ahistoris. Leonore Davidoff dan Catherine Hall (dalam Segal 1993:626)
mengafirmasi argumentasi ini: “Masculinity and femininity are constructs
specifics to historical time and place. They are catagories and re-affirmed in
social institution and practices as well as a range of ideologies.”

Dari kajian ini, dapat dipahami bahwa pembentukan identitas tidak terlepas dari
praktek-praktek ideologi dimana seorang atau sekelompok individu menjadi

43
bagian dari penikmat produk dan institusi sebagai sphere untuk berinteraksi
lebih lanjut memperkuat proses ini. Kontes ketampanan dan kegagahan seperti
L-Men yang secara luas diikuti oleh remaja dan lelaki dewasa laki-laki
(dibawah 30 tahun) dalam kontekstualisasi ini mempercepat pendefinisian
tentang self yang mencitrakan framework lelaki sehat dan bugar dengan perut
‘kotak-kotak’, tampan, atletis, dan otot bisep dan trisep menonjol. Praktek-
praktek pembentukan identitas dalam memang tidak serta-merta diarahkan ke
individu, tetapi secara simultan terjadi negosiasi antara teknologi dengan
individu yang bersangkutan (Cerulo, 1997).

Kebutuhan Aktualisasi Diri


Kebutuhan manusia yang beragam, menjadi titik tolak industri untuk membidik
kebutuhan individu. Dalam bagan kebutuhan manusia, Maslow memberi
gambaran bahwa kebutuhan manusia dibentuk seperti piramida yang harus
dipenuhi tingkat-pertingkat, tetapi sekarang ada banyak pandangan mengenai
piramida Maslow tersebut dan memodifikasinya. Seperti Executive Values in
Strategy Consultant dalam values frameworknya mencoba menginterpretasikan
kembali piramida Maslow dan memodifikasinya menjadi Integrated Human
Needs of Maslow Pyramids dimodifikasi sebagai analisis kebutuhan manusia
dan bagaimana industri berusaha memenuhi kebutuhan tersebut (lihat
http://www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm).

Bagan Piramida Maslow yang sudah dimodifikasi

Adaptasi Kebutuhan Maslow ini memberi gambaran kepada kita bahwa: (a)
Manusia pada dasarnya ingin memenuhi kebutuhan dalam waktu yang

44
bersamaan. (b) Kebutuhan manusia dalam hirarki Maslow sebelumnya yang
menyebut bahwa self esteem yang paling atas dan paling sedikit kini berubah
menjadi semakin besar, kebutuhan manusia untuk dihargai pada dasarnya
merupakan kebutuhan terbesar manusia, dan integrasi seluruh kebutuhan adalah
yang terbesar. (c) Gambar ini membedakan tiga kebutuhan: Warna Merah yaitu
kebutuhan yang berlangsung terus-menerus dan harus dipenuhi dengan kadar
kontinuitas yang tinggi, tetapi belum itu kebutuhan ini yang terbesar, justru
termasuk yang kecil. Warna Kuning merupakan kebutuhan yang berdaasrkan
pada orang lain, kondisi sekitar, dan pandangan sekitar terhadap manusia.
Warna Biru sebagai kebutuhan dari dalam kognisi manusia yaitu kebutuhan
akan kecantikan atau keindahan, kebutuhan untuk tahu, menggali, dan mengerti
serta integrasi dari kebutuhan seluruhnya. (d) Kebutuhan ini menjelaskan pada
hakikatnya manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas dengan apa
yang diperolehnya, tetapi yang juga penting, bagaimana sekarang ini manusia
disediakan suatu pilihan untuk memenuhinya secara bersamaan dan
mendapatkan semuanya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa memang
kebutuhan manusia bukan merupakan sebuah bentuk yang pakem atau baku,
tetapi juga dinamis dan fleksibel, tergantung pada kondisi jaman yang ada, dan
tentu kondisi seseorang.

Ini yang dibidik bahwa kebutuhan aktualisasi diri itu kebutuhan yang penting
yakni bagaimana dihargai orang lain. Caranya dengan menyesuaikan dengan
tokoh ideal atau orang yang dianggap ideal, jika mendekati ideal maka akan
dihargai. Kebutuhan manusia untuk diterima oleh orang lain ini disesuaikan
dengan persepsi dari masyarakat yang sudah dibentuk mengenai ketampanan itu
yakni berbadan six packs, sehingga jika seseorang mendekati proporsi tubuh
yang ideal seperti persepsi masyarakat, maka diharapkan orang tersebut dapat
semakin diterima oleh masyarakat dan disukai oleh masyarakat.

Kontes pria di televisi yang menawarkan secara audio dan vidual kegagahan
dan ketampanan tubuh sesuai standar yang baru juga membidik kebutuhan
masyarakat secara integratif dan bersamaan. Kebutuhan yang dibidik secara
integratif itu antara lain kebutuhan dicintai dan diterima (warna merah muda)
yaitu menampilkan bagaimana pria-pria finalis kontes tersebut diterima dan
disanjung oleh masyarakat, disukai oleh para wanita cantik, esteem from other
atau penghargaan dari orang lain (warna kuning) yakni penghargaan sebagai
pria tertampan dan tergagah se-Indonesia, achievement (warna krem) yakni
perasaan memperoleh penghargaan, pujian seperti yang testimoni yang
diberikan oleh para juri dan penonton kepada pemenang atau finalis kontes pria,
dan secara kognitif (warna biru) kebutuhan bahwa dirinya sesuai dan masuk
dalam standar ketampanan di televisi membuat kebutuhan ini terintegrasi dan
terpenuhi secara bersamaan (harapannya).

45
Penonton televisi yang melihat kontes tersebut diharapkan merasa bahwa
melalui produk yang ditawarkan kebutuhan-kebutuhan mereka dapat dipenuhi.
Hal ini digambarkan dengan jelas oleh media televisi yang mempunyai
kekuatan untuk secara visual dan audio menampilkan pemenuhan kebutuhan ini.

Alienasi Ketampanan Meminjam dari Marx


Teori alienisasi atau ‘proses menuju keterasingan’ dikeluarkan oleh Karl Marx
saat terjadi disparitas yang sangat tinggi antara rakyat biasa yang menderita
dengan kaum kapitalis yang menggambarkan keadaan para buruh atau proletar
mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupanya. Karl Marx
percaya bahwa alienisasi adalah hasil dari eksploitasi kapitalisme terhadap
buruh dengan mengartikanya sebagai modal (Magnis-Suseno, 2000). Dalam
kasus ini keterasingan dialami bukan dalam persepektif proletariat tetapi dalam
perspektif non-sixpactariat atau pria maupun remaja laki-laki yang tidak
memperoleh standar bentuk kegagahan dan ketampanan yang dikonstruksi oleh
media massa saat ini.

Kaum non-sixpactariat ini memperoleh keadaan terasing sebab tidak sesuai


dengan bentuk ideal seorang pria yang dibentuk media. Keterasingan atau
alienasi dalam benak pria ini menjadi sebuah bentuk keterasingan terhadap diri
sendiri sebab mereka tidak dapat menikmati potensi dan ketampanan mereka
yang beragam. Refleksi dari alienasi ini dapat berbentuk dalam berbagai macam
kekecewaan terhadap diri sendiri, keterasingan pada bentuk tubuh sendiri
karena terlalu kurus atau gemuk dan tidak sesuai dengan ketampanan ideal.

Kesamaan feeling of being the other atau alien dari planet diluar planet pria ini
dengan kesamaan dengan kaum proletariat pada jaman Karl Marx antara lain:
Pertama, Karl Marx menyebut bahwa kaum proletariat terasing dengan
pekerjaanya sendiri, di mana tugas kerja tidak memberi kepuasan hati yang
hakiki karena buruh tidak diberi kesempatan mengatur keadaan fisik atau batin
dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan eksternalnya. Sementara kaum
non-sixpactariat terasing dari dirinya sendiri, dimana bentuk tubuh dan rupa
sendiri tidak memberi kepuasan hati yang hakiki dan adanya ketidakpuasan
terhadap diri sendiri, tidak nyaman pada diri sendiri sebab kekuatan eksternal
yaitu mitos ketampanan status quo ingin membentuk setiap pria untuk menjadi
ideal.

Kedua, pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing. Hubungan


masyarakat cenderung disederhanakan menjadi kegiatan-kegiatan pasar. Pola
hubungan sosial juga membawa kaum non-sixpactariat menjadi terasing karena
tidak sesuai dengan kondisi ideal yang di blow-up media. Kemampuan dan
kekuatan media mampu menghadirkan persepsi ketampanan yang begitu kuat
sehingga hubungan-hubungan sosial pun dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ideal

46
dan standar industri kapitalis. Hubungan-hubungan sosial yang dalam, valuable,
dan dinamis menjadi beralih pada hubungan-hubungan sosial yang memandang
secara peripheral atau sekedar rupa dan perut.

Ketiga, manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yang merupakan
ekspresi dan hasil hubungannya dan menjadi pembeda antara manusia dengan
hewan. Pekerjaan yang terasing lebih menurunkan kegiatan produktif manusia
ke tingkat adaptasi pada alam, layaknya hewan. Disini kaum non-sixpactariat
juga dibentuk untuk berpikir, bekerja, dan berolah raga demi sekedar tubuh six
pacts seperti yang dibentuk oleh media, produktivitas yang dipengaruhi
motivasi untuk sehat dan menjadi manusia seutuhnya dikebiri menjadi aktivitas
demi rupa dan tubuh semata yang sifatnya berevolusi, berubah, dan sementara.
Muna Hada (1993) menyebutkan bahwa media audio visual sebenarnya
memaksa pemirsanya untuk duduk dan menerima tayangan yang disuguhkan
tanpa adanya perlawanan. Dalam hal ini para pria maupun wanita disuguhkan
tayangan yang memberikan standar ketampanan dan kegagahan tanpa bisa
melawan sehingga menimbulkan refleksi pada diri sendiri apakah dirinya sudah
sesuai dengan standar di televisi.

Tentu saja asumsi yang meminjam dari Karl Marx adalah asumsi yang
bergantung pada individu dan karakter market, sehingga tidak bisa dipukiul rata
pada semua orang, tetapi kekuatan exposure media mampu membentuk
individu-individu untuk merasa terasing terhadap dirinya dan bentuk dirinya
sendiri. Individu yang menderita karena melihat kenyataan bahwa tubuhnya
tidak sesempurna idealisme industri dan apa yang telah disediakan oleh televisi.
Individu yang sangat berharga, dimana keterasingan sedang menanti dengan
kekuatan televisi sebagai media audio visual yang begitu kuat. Meminjam salah
satu status facebook seorang teman yang non-sixpactariat, yang kecewa
terhadap konstruksi media televisi terhadap mitos ketampanan dan sebagai
bentuk pengusiran keterasingan dirinya terhadap tubuhnya sendiri. “Transform
your body into six pacts, to be “healthy outside, brainless inside”, trust me it
works” (Facebook Status: Meredian Alam, 11/07/2010).

Penutup
Masyarakat, mau tidak mau, akan memperoleh media exposure mengenai
konstruksi ketampanan yang akan menunjang industri dan kapitalisme.
Kekuasaan kelompok tertentu untuk membentuk konstruksi masyarakat
mengenai suatu simbol misalnya nilai dan standar ketampanan terkadang tidak
dapat dihindari. Ketampanan menjadi mitos yang akan selalu ada, meskipun
mengalami perubahan dalam dinamika masyarakat.

Proses revamping media dalam merekonstruksi mitos ketampanan ini


merupakan bentuk power dari sekelompok masyarakat yang memiliki interest

47
dari pembentukan konstruksi kognitif masyarakat. Power ini dimiliki oleh
industri kapitalis yang memiliki money untuk melakukan serangkaian strategi
marketing communication demi peningkatan sales produknya melalui pencarian
brand ambassador yakni kontes ketampanan dimana brand ambassador harus
sesuai dengan standar ketampanan yang ditetapkan oleh industri tersebut.

Kekuatan televisi yang besar untuk menjadi subtitute teacher membuat sebagian
masyarakat yang lemah dan mudah mengikuti arus televisi akan menjadi korban
proses alienasi terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaan televisi yang kuat,
membuat individu dan komunitas telalu berkaca pada media, sehingga individu
kehilangan keunikan dan identitas tubuhnya. Padahal keunikan individu dapat
mendefinisikan potensi yang dimiliki oleh individu manusia yang sangat
berharga. Semoga individu Indonesia menjadi lebih cerdas dan kritis dalam
menyikapi media televisi, baik dalam mitos ketampanan maupun mitos-mitos
yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Budi, Setio. 2004. Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Persepektif


Ekonomi Politik-Jurnal Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Prodi Komunikasi
UAJY
Cerulo, Karen A. 1997. “Identity Construction: New Issues, New Direction”.
Annual Review of Sociology, Vol. 23, pp. 385-409.
Segal, Lynne. 1993. “Changing Men: Masculinities in Context”. Theory and
Society, ol. 22, No. 5, Special Issues: Masculinities (Oct., 1993), pp. 625-
641.
Zukin, Sharon & Maguire, Jennifer S. 2004. “Consumer and Consumption”.
Annual Review of Sociology, Vol. 30 (2004), pp. 173-197.
LOTY 2010, http://www.l-men.com/category/loty/gran-finalis-loty/loty-2010-
gran-finalis-loty-loty, 31 Juli 2010
Hermawan, Anang. 2008. Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika
Roland Barthes,
http://www.averroes.or.id/thought/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-
semiotika-roland-barthes.html, diakses pada tanggal 31 Juli 2010
Sumaryono. 2009. Teori Mitologi, http://gampingnews-
support.socialgo.com/magazine/read/teori-mitos_14.html diakses pada
tanggal 31 juli 2010
Values Framework, http://www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm
diakses pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 15.20.30
Bouvee, Coutland dan Arens, William. 1986. Comtemporary Advertising. New
York: Irwin Mc Graw-Hill
Burr, Vivien (1995). An Introduction to Social Constructionism. London:
Routledge

48
Griffin. 2003. First Look at Communication Theory. New York: Mc Graw Hill
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan.
Yogyakarta, Ombak
Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1984. Principles of Marketing. New Jersey:
Prentice-Hall Inc
Liang Gie. 1977. Suatu Konsepsi ke Arah Pengertian Bidang Filsafat.
Yogyakarta: Karya Kencana
Magnis-Suseno, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Nugorho, Garin. 1995. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya
Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

49
MEREVITALISASI TVRI SEBAGAI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK

Agusly Irawan, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan stasiun televisi yang memiliki


sejarah panjang. Sebagai stasiun televisi tertua di Indonesia, sangat masuk akal
bila TVRI menjadi stasiun televisi yang mapan dari segi organisasi maupun
dalam hal menghasilkan output siaran yang berkualitas. TVRI sempat menjadi
media yang sangat digemari dan menjadi pilihan masyarakat Indonesia.

Periode keemasan memang sempat dialami TVRI. TVRI menjadi satu-satunya


pilihan pemirsa televisi di Indonesia. Hal ini masuk akal karena sejak berdiri
hingga akhir 1980-an, TVRI hanya menjadi satu-satunya pilihan pemirsa.
Namun ketika keran keterbukaan dibuka dan beberapa stasiun televisi swasta
mulai mengudara, perlahan-lahan TVRI mengalami penurunan hingga tidak lagi
berdaya melawan kepungan stasiun televisi swasta.

Persoalan TVRI semakin rumit ketika masa reformasi bergulir. Semangat


reformasi mampu mengubah tatanan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Hal
ini juga berimbas pada TVRI. Selama 30 tahun, TVRI dicap sebagai stasiun
televisi pemerintah dan corong pemerintah untuk menyampaikan pesan dan
ideologi Orde Baru. Singkatnya, TVRI akhirnya dilemahkan perannya.
Pemerintah tidak lagi boleh berkuasa penuh atas TVRI. Intinya, TVRI harus
independen.

Berbagai upaya membentuk kemandirian dan independensi TVRI dilakukan.


Salah satunya, melalui Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 yang
menghendaki TVRI tampil sebagai stasiun televisi publik. Harapannya, TVRI
bisa menjadi media komunikasi yang mengutamakan kepentingan publik
sekaligus menjaga independensi dari negara/pemerintah dan tidak tunduk
terhadap tuntutan pasar.

Dilihat secara sekilas, tujuan ini tentu sangat mulia. Satu cita-cita yang ideal
ketika TVRI bisa menjadi sarana publik untuk saling berinteraksi antarsesama
warga dan warga dengan pemerintah. Tapi, cita-cita ini ternyata sulit untuk
diwujudkan. Ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Bagaimana TVRI
bisa menjadi sarana berinteraksi antarwarga jika TVRI tidak menjadi pilihan
utama bagi pemirsa? Dari sisi ini, logika kapitalisme akan bermain. TVRI tidak
menjadi pilihan pemirsa karena TVRI tidak mengikuti selera pasar atau
konsumen. Jika TVRI harus mengikuti selera konsumen berarti TVRI akan
berbentuk televisi komersial, bukan televisi publik seperti cita-cita awal.

50
Bagaimana TVRI bisa memenuhi program-program siarannya jika tidak ada
sumber dana? Jika memang televisi publik, harusnya publik ikut bertanggung
jawab terhadap kelangsungan hidup TVRI. Tapi apakah warga mau membayar
(lagi) iuran TVRI? Memang rumit melihat persoalan TVRI. Itu baru dari sisi
ekonomis, belum pertarungan kepentingan aktor-aktor yang punya kepentingan
di dalam tubuh TVRI.

Penulis berharap, TVRI bisa menjadi televisi publik yang baik: tujuan idealnya,
manajemen organisasinya, program siarannya, sehingga TVRI bisa berperan
lebih besar dan lebih baik dibandikan stasiun televisi swasta, yang mendekati
titik jenuh sehinga lebih sering melahirkan kritik daripada manfaat. Apalagi bila
dibandingkan stasiun televisi publik yang sudah mapan seperti BBC (Inggris)
atau NHK (Jepang).

Tinjauan Historis
Sejarah TVRI dimulai sejak Ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 ditetapkan.
Pasal 18 Bab I menyatakan pentingnya membangun stasiun televisi untuk
kepentingan pendidikan nasional. Pemerintah lalu mengeluarkan Surat
Keputusan Mentri Penerangan No 20/SK/M/61 tanggal 21 Juli 1960 tentang
Panitia Persiapan Televisi (P2TV). TVRI melakukan ujicoba siaran pada
perayaan kemerdekaan, 17 Agustus 1962. Dengan siaran TVRI, Indonesia
menjadi negara keempat yang memiliki media televisi setelah Jepang, Filipina,
Thailand (Heryanto, 2003: 46). Tugas P2TV berakhir dengan berhasilnya
ujicoba tersebut. TVRI lalu dimasukkan ke dalam Biro Radio dan Televisi
Organizing Committe Asian Games IV.

TVRI melakukan siaran live acara pembukaan dan penutupan acara Asian
Games IV, 24 Agustus 1962. Tanggal 24 dikenal sebagai tanggal berdirinya
TVRI. Setelah Asian Games selesai, TVRI dimasukkan ke dalam Yayasan
Gelora Bung Karno melalui Keppres No 318/1962. Setahun kemudian, dibentuk
Yayasan TVRI melalui Keppres no 215/1963 dengan pimpinan umum Presiden
dan dibantu staf Presiden urusan TVRI. Secara operasional, ditunjuk seorang
direktur dan tiga orang direktur muda urusan programma/perencanaan, urusan
teknik dan administrasi, serta urusan komersil dan perbendaharaan. Perjalanan
TVRI sejak 1962-1975 dikenal sebagai ‘Era Yayasan TVRI’ (Heryanto, 2003:
47). Pada era ini, TVRI membangun beberapa Stasiun Penyiaran Daerah yaitu
Stasiun Yogyakarta, Stasiun Medan, Surabaya, Ujungpandang (Makassar),
Manado, Denpasar dan Balikpapan (bantuan Pertamina).

Era selanjutnya disebut ‘Era Status Ganda’, karena TVRI memliki dua status
hukum: Yayasan TVRI dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen
Penerangan, lewat SK Mentri Penerangan No 55 B tahun 1975 yang
diperbaharui lagi dalam SK Menpen No 230A tahun 1984 tentang Organisasi

51
dan Tata Kerja Depertemen Penerangan dimana Direktorat Televisi berada
dibawah Dirjen RTF.

Status hukum ganda ini tentu menimbulkan masalah. Pertama, kebingungan


siapa pemegang otoritas tertinggi terhadap TVRI. Jika TVRI sebagai yayasan
maka presiden yang menjadi pemimpin umumnya. Dengan berbentuk UPT
maka TVRI berada di bawah wewenang Mentri Penerangan. Kedua, status
hukum TVRI berbentuk yayasan yang memegang monopoli penyiaran televisi
di Indonesia dan modalnya merupakan kekayaan negara yang terpisah dirasa
tidak tepat. Definisi yayasan lebih bermakna swasta daripada milik negara.
Apalagi salah satu modal Yayasan TVRI adalah iuran pemilik stasiun televisi.
Status TVRI sebagai UPT terus berlanjut sejak 1975-1997 dan dikuatkan lagi
dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1997 yang berlaku hingga 1999,
sebelum Deppen dihilangkan dalam masa reformasi.

Selama era status ganda ini, TVRI membangun Stasiun Produksi Keliling (SPK)
di beberapa propinsi: SPK Jayapura, SPK Ambon, SPK Kupang, SPK Malang
(Tahun 1982 diintegrasikan dengan TVRI Stasiun Surabaya), SPK Semarang,
SPK Bandung, SPK Banjarmasin, SPK Pontianak, SPK Banda Aceh, SPK
Jambi, SPK Padang, SPK Lampung.
Pembangunan SPK ini dimulai sejak 1977 dan berfungsi sebagai perwakilan
TVRI di daerah.

Penetapan TVRI sebagai UPT dibawah Departemen Penerangan tentu memiliki


dampak yang luas. Salah satu dampak tersebut yaitu semakin sentralnya TVRI
sebagai humasnya pemerintah. Selain menjadi humas negara atau pemerintah,
TVRI juga mempu menjadi sarana penekan negara trerhadap warganya hingga
ke dalam bentuk yang lebih jauh yaitu kebebeasan berdemokrasi termasuk
kebebasan pers. Singkatnya, TVRI menjadi media organik negara (Heryanto,
2003: 49).

Era ketiga disebut era Reformasi (1998) dengan dihilangkannya Departemen


Penerangan (Deppen) dan diganti Badan Informasi dan Komunikasi Nasional
(BIKN). Namun, TVRI tidak berada di bawah BIKN. Kondisi tersebut ternyata
mendorong pimpinan TVRI dari pusat dan daerah untuk berkoordinasi tentang
kondisi TVRI. Pertemuan maraton menghasilkan aspirasi bahwa TVRI
haruslah berstatus televisi publik. Rapat antara Kantor Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara, Departermen Keuangan, dan Sekretaris
Kabinet mengusulkan bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) TVRI, yang
ditetapkan melalui PP No 36 tahun 2000.

Beberapa alasan perubahan status TVRI menjadi Perjan yaitu: Pertama, untuk
meningkatkan daya saing di bidang pelayanan jasa penyiaran kepada

52
masyarakat pada era globalisasi sehingga perlu untuk mengalihkan bentuk
satuan kerja instansi pemerintah menjadi badan usaha pelayanan yang secara
mandiri dan otonom mengelola manajemen instansinya. Sehingga dirasa perlu
landasan hukum bagi TVRI untuk meningkatkan kualitasnya.

Kedua, adanya jeda waktu selama pembahasan RUU Penyiaran yang baru untuk
mengganti UU Penyiaran nomor 24 tahun 1997. Padahal tuntutan agar TVRI
menjadi televisi publik terus menguat. Untuk mengatasi hal tersebut maka
Perjan diambil sebagai solusi sementara.

Ketiga, dengan bentuk Perjan maka TVRI juga berhak atas APBN yang bisa
digunakan untuk membiayai operasional karyawan (Heryanto, 2003: 54).
Dengan status hukum Perjan, maka TVRI berbentuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Maksud dan tujuan Perjan adalah menyelenggarakan kegiatan
penyiaran televisi sesuai prinsip-prinsip televisi publik yang independen, netral,
mandiri, dan program siarannya senantiasa berorientasi kepada kepentingan
masyarakat serta tidak semata-mata mencari keuntungan (pasal 6 PP
No.36/2000).

Ketika TVRI berbentuk Perjan, wilayah cakupan kerja TVRI semakin luas.
TVRI terbagi dalam beberapa bagian yaitu: (1) Kantor Pusat berkedudukan di
Jakarta (2) Divisi I-Siaran Nasional, berkedudukan di Jakarta (3) Divisi II-
Siaran Berita Nasional dan Informasi, berkedudukan di Jakarta.(4) Divisi III-
Wilayah Sumatera, berkedudukan di Medan terdiri dari 4 TVRI daerah berkelas
A yaitu Medan, Banda Aceh, Palembang dan Padang serta 4 TVRI daerah
kelas B yaitu : Pekanbaru, Jambi, Lampung, Bengkulu. (5) Divisi IV- Wilayah
Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, yang berkedudukan di Bandung. Terdiri dari 3 TVRI daerah Kelas A
yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang serta 2 TVRI daerah kelas B yaitu
Pontianak dan Palangkaraya. (6) Divisi V- wilayah Jawa Timur, Bali, NTT,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, berkedudukan di Surabaya terdiri
dari 3 TVRI daerah berkelas A yaitu Surabaya, Denpasar, dan Samarinda, serta
2 TVRI daerah berkelas B yaitu Banjarmasin dan Kupang. (7) Divisi VI-
wilayah Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, berkedudukan di Makasar, tediri dari 3
TVRI daerah berkelas A yaitu Makasar, Ambon, Menado serta 1 TVRI daerah
berkelas B yaitu Jayapura. (8) Sektor Transmisi, merupakan sektor untuk
memfasilitasi daerah yang tidak memiliki TVRI daerah kelas A atau
B,berkedudukan di ibukota Propinsi yaitu sektor Transmisi Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, NTB. (9) Divisi VII-Pengembangan Organisasi dan Diklat
(Heryanto, 2003: 60-66).

TVRI kembali mengalami perubahan status hukum. Menurut PP Nomor 9 tahun


2002 tanggal 17 April 2002, TVRI seharusnya berbentuk Persero. Namun

53
karena banyaknya permasalahan yang terjadi khsusnya konflik di tingkat
manajemen maka perubahan TVRI sebagai persero baru bisa terlaksana pada 15
April 2003, sesuai surat kuasa Menteri Negara BUMN. Perubahan TVRI dari
Perjan menjadi Persero tentu membawa konsekuensi pula. Sebagai Persero
maka TVRI tidak lagi mendapatkan APBN seperti ketika berbentuk Perjan. Ini
persoalan yang belum dipersiapkan TVRI ketika ia harus mandiri, selain
terjadinya konflik antara Serikat Karyawan dengan manajemen di tingkat
Direktur Utama.

Tuntutan Sebagai Lembaga Penyiaran Publik


Ketika TVRI resmi menjadi Persero, keluarlah Undang-Undang Penyiaran
Nomor 32 tahun 2002 yang mengamanatkan agar TVRI menjadi lembga
penyiaran Publik. Status TVRI sebagai persero merupakan status transisi selama
tiga tahun sebelum menjadi lembaga penyiaran publik.

Pengertian lembaga penyiaran publik tentu bermacam-macam. Menurut Effendi


Ghazali (2002: 24) lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang
mempunyai visi untuk memperbaiki kualitas kehidupan publik, kualitas
kehidupan suatu bangsa, dan juga kualitas hubungan antarbangsa pada
umumnya; serta mempunyai misi untuk menjadi forum diskusi, artikulasi, dan
pelayanan kebutuhan publik. Lembaga penyiaran ini memberikan pengakuan
secara signifikan terhadap peran supervisi dan evaluasi oleh publik dalam
posisinya sebagai khalayak dan partisipan yang aktif, karena itu lembaga
penyiaran publik bukanlah lembaga penyiaran pemerintah, serta bukan pula
lembaga penyiaran yang semata-mata mendasarkan dirinya pada hukum-hukum
pasar.

Menurut Effendi Ghazali, pengertian di atas setidaknya memiliki empat


konsekuensi. Pertama, akses publik, yaitu adanya kesempatan seluas-luasnya
bagi publik untuk mengakses siaran stasiun televisi atau radio tersebut. Secara
praktis, berarti bersedia untuk mendirikan stasiun hingga ke pelosok-pelosok
terpencil di saat stasiun televisi komersial enggan untuk menjangkau daerah
tersebut terutama karena hitung-hitungan nilai ekonomis.

Kedua, penggunaan dana publik, yaitu dana operasional lembaga penyiaran


publik utamanya berasal dari dana publik baik yang dikelola negara misalnya
APBN/APBD maupun penghimpunan dana yang dilakukan lembaga penyiaran
publik bersama publiknya misalnya melalui sponsor yang tentu saja semuanya
disupervisi dan dievaluasi oleh publik.

Ketiga, tuntutan akan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dalam hal ini
ada dua yaitu lembaga penyiaran publik harus mampu
mempertanggungjawabkan seluruh program acaranya sesuai standar moral dan

54
nilai publiknya serta akuntabilitas dalam hal operasional lembaga penyiaran
tersebut misalnya dalam penggunaan dana, dan lain-lain.

Keempat, adanya keterlibatan publik. Publik diharapakan bisa berpartisipasi


dalam lembaga penyiaran publik dan lembaga yang bersangkutan harus siap dan
bersedia dengan keterlibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat salah satunya
melalui lembaga yang bertugas men-supervisi lembaga siaran publik tersebut.

Sementara itu, Harmens Tahir (2002: 154,159) menghendaki adanya sistem


benevolent, artinya suatu organisasi nirlaba yang dibentuk oleh publik, dimiliki
oleh publik, dan dikontrol oleh publik. Harmens juga menyebutkan salah satu
ketentuan siaran televisi publik berdasarkan resolusi Eropa 1996: (1) TV publik
mendukung terwujudnya masyarakat informasi, sebagai agen pemersatu
pluralisme berbagai kelompok dalam kelompok dalam masyarakat untuk
pembentukan opini publik. (2) TV publik menyiarakan program siaran yang
bermutu untuk segala lapisan masyarakat. (3) TV publik mampu menciptakan
standar kualitas program sebagai tuntutan bagi khalayak. (4) TV publik mampu
melayani kepentingan kelompok penduduk minoritas. (5) TV publik
menyiarkan informasi yang independen dan obyektif,sehingga menjadi referensi
bagi publik dalam mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. (6) TV publik
berperan penting untuk mendorong pelaksanaan debat publik dalam rangka
mewujudkan demokrasi. (7) TV publik menjamin bahwa masyarakat
memperoleh akses layanan yang menjadi kegemaran sebagian besar
masyarakat.

Tuntutan TVRI untuk menjadi sebuah lembaga penyiaran publik dipertegas


dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal 14 ayat 1: “Lembaga
penyiaran publik merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum
yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan
berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Yang tercakup
dalam lembaga penyiaran publik dalam UU ini adalah TVRI dan RRI.” Pasal
15 menyebutkan: “Sumber pendanaan lembaga penyiaran publik adalah iuran
penyiaran, APBN atau APBD, sumbangan masyarakat, siaran iklan, maupun
usaha lain yang terkait penyelenggaran penyiaran.”

Sepintas, UU ini memberikan power yang cukup kuat bagi TVRI menjadi
lembaga penyiaran publik yang ideal. Ideal karena ada keinginan menjadikan
TVRI netral, independen, tidak komersial dan memberikan layanan untuk
kepentingan masyarakat. Sepertinya, TVRI bisa menjadi stasiun televisi yang
baik. Apalagi tuntutan reformasi menginginkan pemerintah tidak terlalu
berperan besar dalam TVRI. Prinsip-prinsip dasar yang berkaitan lembaga
penyiaran publik seperti penggunaan dana publik juga dimungkinkan misalnya
melalui APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan sumber dana lain seperti

55
yang disebutkan dalam pasal 15 UU No.32 ini. Apakah kenyataannya
demikian? Ternyata tidak semudah yang kita bayangkan.

Pertama, TVRI memang sudah tidak lagi “dekat” dengan pemerintah.


Negara/pemerintah sudah mengurangi keterlibatannya. Namun, ketika TVRI
akan diserahkan ke tangan publik, publik ternyata tidak siap merespon
perubahan ini. Sebagian besar publik menganggap TVRI membosankan, kuno,
identik dengan siaran orang tua. Entah karena sifat stasiun televisi publik yang
harus berbeda dengan stasiun televisi komersial sehingga asing bagi publiknya
atau memang publik yang sudah terbiasa dan dicekokin siaran-siaran stasiun
komersial. Akhirnya, publik dan TVRI seolah-olah tidak nyambung.

Ini berimbas pada operasional misalnya sulitnya untuk mendapatkan dana dari
iklan atau sponsor. Padahal, meskipun lembaga penyiaran publik, TVRI bukan
berarti tidak boleh untung. TVRI tetap harus untung agar ia bisa mandiri tetapi
sekali lagi, iklan atau sponsor harus mendapatkan supervisi dari publik. Jika
melihat keadaan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang menghendaki
partisipasi publik, tentu ini merupakan hal sulit. Bagaimana mungkin publik
bisa berpartisipasi bila menonton pun tidak. Akhirnya, ketika publik tidak
antusias terhadap TVRI, pelan-pelan pemerintah akan kembali campur tangan
terhadap TVRI.

Kedua, TVRI masih identik sebagai humas pemerintah. Perubahan image TVRI
dari humas pemerintah menjadi pelayan publik merupakan hal yang sulit. Hal
ini bisa dimaklumi mengingat sejak berdiri hingga era reformasi, TVRI dikenal
dekat dengan pemerintah. Image tersebut tentu tidak mudah diubah dalam wktu
sekejap karena harus mengubah budaya organisasi dan budaya kerja TVRI.
Bagi sebagian masyarakat, TVRI masih indentik dengan corong pemerintah.
Hal ini bisa datang dari pihak pemerintah maupun pihak TVRI. Pemerintah
tentu tetap ingin mempertahankan supremasinya terhadap TVRI. Sedangkan
dari pihak TVRI, rasanya masih sungkan untuk sedikit ‘memberontak’ pada
pemerintah terutama karena TVRI masih tergantung dana APBN/APBD. Dalam
kadar tertentu, pemerintah memang masih diperbolehkan untuk memanfaatkan
TVRI karena sebagai televisi publik, TVRI diharapkan bisa menjadi
jembatan/sarana komunikasi pemerintah dengan publik/ masyarakat. Namun
alur komunikasi ini bukan lagi bersifat satu arah dari negara pada masyarakat
melainkan dari dua arah. Sehingga TVRI bisa menjadi ruang publik yang bebas
dari intervensi siapa pun baik negara ataupun pasar.

Ketiga, harus diakui pemerintah masih enggan melepaskan pengaruhnya di


tubuh TVRI. Bisa dikatakan, pemerintah masih setengah hati mereformasi
TVRI. Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran tidak terlalu eksplisit
menentukan apa bentuk stasiun televisi publik yang akan diberikan pada TVRI.

56
Bentuk TVRI yang sangat operasional hanya diatur dalam aturan sekelas
Peraturan Pemerintah (PP) yang sangat mungkin terdapat kompromi-kompromi.
Pada tataran politis, pemerintah masih enggan melepaskan dominasinya
terhadap TVRI. Sebisa mungkin TVRI menjadi ‘anak yang baik’ bagi
pemerintah. Hal ini tentu wajar bila melihat sepak terjang stasiun televisi swasta
yang lebih sering mengkritik negara/pemerintah. Apalagi TVRI masih
tergantung pada dana APBN/APBD. Tuntutan akan keseimbangan di aktor
publik dan negara merupakan satu keharusan. Aktor pasar harus mengalah
karena sifat penyiaran publik yang lebih menitik beratkan pelayanan pada
publik daripada memperoleh keuntungan semata.

Salah satu bentuk keinginan pemerintah untuk tetap mendominasi TVRI yaitu
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyiaran Publik yang
menghendaki peleburan RRI dan TVRI menjadi Radio Televisi Republik
Indonesia. Dengan peleburan ini maka pemerintah memiliki kewenangan
kembali sebagai pembina lembaga penyiaran publik sekaligus memiliki otoritas
dalam intervensi kebijakan lembaga penyiaran publik misalnya pemilihan
direksi, dewan pengawas, termasuk budgetting. Padahal jelas-jelas dalam
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 ini, lembaga penyiaran publik seperti
TVRI dan RRI harus independen dan netral.

Keempat, persoalan dana menjadi persoalan yang sangat besar di tubuh TVRI.
TVRI masih kesulitan mencari dana. Hutang TVRI belum bisa diselesaikan.
Sumber dana dari APBN/APBD minim. Pemasukan iklan juga terbatas
minimnya jumlah pemirsa TVRI. Pemerintah menyiasatinya dengan iklan-iklan
layanan masyarakat. Bahkan sempat ada aturan bahwa stasiun televisi swasta
harus memberikan sebagian pendapatannya untuk TVRI. Namun tetap saja tidak
cukup untuk menutupi biaya operasional yang sangat tinggi.

Selain itu, pengelolaan dana TVRI juga tidak jelas. Ini ada kaitannya dengan
akuntabilitas publik yang menjadi tuntutan sebuah lembaga penyiaran publik.
Kita jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan laporan keuangan dari
TVRI, apa saja biaya pengeluarannya, berapa pendapatannya, dan lain-lain.
Harusnya, TVRI siap memberikan laporan keuangannya kepada publik yang
mendanainya melalui APBN.

Apa yang bisa ditawarkan untuk membuat TVRI menjadi lebih baik? Secara
historis, kita sepakat bahwa TVRI sangat kuat dan mapan dalam menjalankan
perannya pada era Orde Baru. Di era reformasi, TVRI dilemahkan perannya
agar TVRI tidak menjadi corong pemerintah lagi. Keadaan TVRI semakin
mengenaskan ketika ia harus bertarung dengan stasiun televisi swasta. TVRI
berjalan tertatih-tatih bahkan untuk sekedar survive di tingkat pusat dan daerah.
Bahkan ada beberapa stasiun daerah yang harus berhenti operasi sementara

57
waktu. Sudah saatnya TVRI kembali bangkit bukan menjadi sebuah stasiun
yang melayani pemerintah tetapi menjadi sebuah stasiun televisi yang melayani
kepentingan publik.

Ada beberapa tindakan yang bisa diupayakan untuk memperbaiki TVRI.


Pertama, advokasi terhadap TVRI harus terus dilanjutkan. Advokasi terhadap
TVRI harus dilaksanakan secara luas mulai dari segi kebijakan hingga persoalan
yang sederhana, misalnya program, dana, partisipasi publik, dan lain-lain.
Untuk level kebijakan misalnya, masyarakat yang diwakili oleh praktisi
komunikasi, akademisi, dan LSM harus terus mendampingi TVRI agar tidak
lagi menjadi alat pemerintah. Advokasi dilakukan untuk mendesak pemerintah
menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 agar segera
menyiapkan Peratuaran Pemerintah (PP) atau aturan hukum lainnya agar TVRI
sebagai lembaga penyiaran publik bisa berjalan dengan baik sesuai cita-cita
Undang-Undang tersebut. Kelompok advokasi juga harus tetap mengkritisi
setiap kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Salah satunya tentang
rencana PP yang ingin menggabungkan TVRI dan RRI.

Kedua, manajemen TVRI harus terus berbenah dan menyiapkan diri menjadi
lembaga penyiaran publik yang baik dan sesuai amanat Undang-Undang Nomor
32 tahun 2002 sebagai payung hukum TVRI sebagai lembaga penyiaran publik.
Pihak manajemen harus mampu menerjemahkan amanat undang-undang
tersebut ke dalam visi misi hingga unit terkecil, seperti program-program siaran.
Ini tidak mudah karena audiens juga tidak mudah menerima sesuatu yang
berbeda dari yang biasa ditonton di televisi swasta. TVRI mungkin bisa meniru
beberapa program yang baik di televisi swasta. Namun, jangan sampai
keseragaman sebagai sesuatu yang dikritisi dari stasiun televisi swasta berulang
pada TVRI. Apalagi ada keleluasaan bagi stasiun daerah untuk lebih
mengedepankan kekayaan lokal sehingga informasi dan isu-isu daerah akan
lebih mengemuka dibandingkan isu-isu Jakarta. TVRI dimungkinkan untuk
membuat acara lokal berdasarkan permintaan pemirsa melalui semacam dewan
atau lembaga yang bisa memberikan masukan kepada TVRI daerah sebagai
bentuk partisipasi masyarakat.

Selain kreativitas, pembenahan manajemen menjadi keharusan untuk memenuhi


tuntutan akuntabilitas publik. Manajemen profesional dan tata kelola keuangan
yang bersih menjadi syarat utama. Mental birokratis perlu ditanggalkan diganti
prinsip-prinsip profesionalisme layaknya swasta sehingga tata manajemen bisa
berjalan lebih baik. Sehingga, kasus korupsi Sumita Tobing atau konflik
manajemen dengan serikat pekerja tidak terulang di masa depan.

Kualitas TVRI sebagai lembaga penyiaran publik bisa dilihat dari program-
progam siarannya. Namun ada kekhawatiran para pekerja TVRI tidak mampu

58
mengembangkan reativitasnya karena minimnya dana. Penulis yakin, kreativitas
bukan datang dari kondisi yang mapan melainkan dari keterbatasan. Bukan
berarti pula penulis ingin membenarkan bahwa keadaan TVRI sebaiknya berada
pada kondisi yang serba minim. Ini tantangan bagi pekerja TVRI untuk bisa
membuat program yang baik, bermutu, namun tidak harus seragam dengan
stasiun televisi lain. Untuk masalah dana, TVRI mendapatkan anggaran dari
APBN dan APBD. Selebihnya, tergantung dari kreativitas TVRI. Ketika TVRI
mampu membuat program yang baik dan bermutu, maka TVRI bisa menjadi
pilihan pemirsa. Ketika TVRI sudah menjadi pilihan pemirsa, ia bisa menjalin
kerja sama dengan sponsor untuk menghidupi operasionalnya.

Ketiga, upaya pendanaan untuk TVRI. Ini bisa dimulai dari kerjasama instansi
pemerintah dengan menjadikan TVRI sebagai sarana sosialisasi program-
program pemerintah melalui iklan layanan masyarakat. TVRI juga
dimungkinkan untuk memaksimalkan peran serta masyarakat melalui
penggalangan dana, misalnya pajak atau bentuk lain, dengan catatan mereka
bisa menikmati kembali dalam bentuk tayangan berkualitas serta adanya
akuntabilitas atau transparansi pengelolaan dana.

Solusi-solusi tersebut harus berjalan beriringan. Upaya pembenahan TVRI


tanpa kerelaan pemerintah untuk ikut membangun TVRI menjadi lebih baik,
tidak akan maksimal. Sebaliknya jika pemerintah mengucurkan dana besar
tanpa dibarengi upaya pembenahan manajemen, budaya organisasi, upgrade
kemampuan dan kreativitas awak TVRI maka upaya ini akan sia-sia juga. Jika
pemerintah sudah berusaha membangun TVRI, manajemen sudah berupaya
memperbaiki diri, namun publik tidak peduli dengan TVRI maka tidak besar
manfaat TVRI yang sudah berubah menjadi lembaga penyiaran publik.

Kesimpulan
Dari latar belakang historis, TVRI memang sangat dekat dengan pemerintah.
Hal ini terlihat dari upaya Bung Karno yang berkeinginan kuat agar Indonesia
memiliki satu lembaga penyiaran sendiri. Dalam perjalanannya, TVRI selalu
dekat dengan pemerintah melalui relasi negara sebagai regulator dan TVRI
sebagai pelaksana sekaligus memainkan perannya untuk menjadi salah satu alat
negara dalam bidang penyampaian informasi. Peran ini dimainkan pada
pemerintahan Orde Baru. Namun perubahan zaman dan kondisi di Indonesia
menghendaki perubahan TVRI. Negara tidak boleh lagi terlalu dekat dan kuat
pengaruhnya. TVRI harus menjadi lembaga yang berorientasi pada pelayanan
masyarakat. Logika pun harus berubah dari pelayan negara menjadi pelayan
publik.

Salah satu bentuk yang bisa mengakomodasi adanya pelayanan kepada publik
adalah dengan menjadikan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Hal ini

59
dianggap ideal karena dari perkembangan kondisi saat ini, TVRI cocok untuk
menjalankan peran ini. Karena DNA TVRI berbeda dengan DNA stasiun
televisi swasta. TVRI terlihat lebih mapan dari segi infrastuktur dan usia.
Namun kenyataannya terbalik. Yang terjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak
siap dalam menghadapi perubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI
juga tidak terlalu dekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi
kerasnya pertarungan dengan stasiun televisi swasta.

Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian dan kesediaan berbagai pihak


untuk mengembalikan kejayaan TVRI. Berjaya bukan sebagai pelayan negara
melainkan pelayan publik. Upaya ini bisa dilakukan mulai dari level kebijakan
hingga upaya sederhana melalui terus memantau TVRI dan memberikan
masukan-masukan kepada TVRI untuk terus berbenah diri. Kritik dan masukan
terasa aneh disampaikan kepada TVRI bila kita tidak pernah melihat dan
menonton TVRI. Maka, mulailah untuk kembali menilik keadaan TVRI. Karena
TVRI adalah media publik kita.

DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Effendi. 2002. Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak: Sebuah Acuan


tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta : Jurusan Ilmu
Komunikasi. Fisip UI.
Heryanto, Gun Gun. 2003. Relasi Kekuasaan pada Kebijakan Perubahan Status
Hukum TVRI: Studi Ekonomi Politik Media. Thesis untuk mencapai gelar
MSI dalam Bidang Ilmu Komunikasi. FISIP UI.
Tahir Harmens. TVRI sebagai TV Publik Sumbangan Pemikiran terhadap
Keberadaan TVRI, dalam 40 tahun TVRI dari Pembebasan Menuju
Pencerahan, Jakarta :FSP-TVRI.
UU Penyiaran No. 32 tahun 2002

Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik_Indonesia.

60
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi, mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Billy adalah warga negara Indonesia yang sedang menimba ilmu di negeri
kangguru, Australia. Informasi mengenai negara kelahirannya mulai berkurang
sejak ia tinggal di Australia. Seakan terkekang rutinitas serta kurangnya
informasi yang beredar di Australia, ia hampir tidak mengenal lagi apa yang
sudah, sedang dan akan terjadi di negaranya, Indonesia. Sejak ada penyediaan
TV Streaming yang dikelola langsung oleh televisi nasional yang bersangkutan,
Billy merasa sangat diuntungkan. Pertukaran informasi mengenai
perkembangan masyarakat Indonesia di dalam maupun luar negeri berjalan
lebih lancar. Ia juga dapat mengetahui kondisi terkini di Indonesia termasuk
kota asalnya. Hal ini membuat ia nyaman karena merasa dekat dengan
Indonesia.

***

Teknologi adalah elemen penting yang tidak pernah lepas dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam setiap aktivitas manusia. Mulai dari bangun pagi hingga
tidur lagi manusia modern hampir selalu berhubungan dan memanfaatkan alat-
alat hasil teknologi. Misalnya, kita bangun karena bunyi alarm handphone,
mandi dengan shower, minum kopi dari mesin pembuat kopi, sarapan roti dari
alat pemanggang roti. Selesai sarapan, berangkat beraktivitas menggunakan
kendaraan bermotor. dalam aktivitas belajar atau bekerja kita dibantu komputer.
Pulang dari aktivitas, kita istirahat sejenak memberikan hiburan pada otak
melalui acara yang disuguhkan televisi sembari melakukan relaksasi di kursi
pijat. Setelah itu, kita kembali beraktivitas menggunakan laptop yang terkoneksi
internet. Begitu seterusnya.

Ilustrasi di atas menggambarkan tanpa disadari, individu sangat tergantung


dengan teknologi. Teknologi pun mengalami perkembangan pesat. Bandingkan
misalnya, lampu bohlam saat ditemukan pada 1900 dan bohlam era sekarang.
Ada beberapa jenis teknologi yang berkembang secara perlahan maupun secara
pesat dalam waktu singkat. Misalnya, komputer dengan fasilitas Pentium I,
disempurnakan pada Pentium II, Pentium III, Pentium IV, Core Duo dan
seterusnya.

Perkembangan teknologi tidak dapat dihentikan, seiring perputaran hidup yang


tiada henti. Teknologi terus maju dan menghasilkan kepraktisan dalam
beraktivitas. Tak hanya itu, perkembangan teknologi ini pada gilirannya
berdampak pada bidang komunikasi. Dampak perkembangan teknologi pada

61
bidang komunikasi sangatlah luas. Seperti umumnya diketahui, komunikasi
merupakan transfer pesan baik secara verbal maupun nonverbal dari individu
atau kelompok yang satu kepada individu atau kelompok yang lainnya.

Perkembangan Teknologi dan Media


Perkembangan teknologi bagi komunikasi berupa alat komunikasi seperti
telepon seluler, televisi hingga cybermedia. Dengan kata lain, perkembangan
teknologi komunikasi meliputi teknologi untuk komunikasi interpersonal dan
komunikasi massa. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang
dilakukan oleh individu dengan individu. Komunikasi massa adalah komunikasi
yang dilakukan oleh satu atau lebih individu dengan sejumlah individu lainnya
dengan menggunakan media perantara. Komunikasi massa dibagi menjadi dua
yaitu media cetak dan media penyiaran.

Perkembangan teknologi media cetak dapat dilihat melalui mesin cetak oleh
Guttenberg maupun mesin copy xerografik. Perkembangan teknologi media
penyiaran dapat dilihat dari lahirnya media informasi dan hiburan seperti radio,
televisi, dan komputer yang memberikan kemudahan dalam bekerja dan
menyajikan informasi serta hiburan.

Media penyiaran juga mengalami perkembangan setiap dekadenya. Diawali


dengan eksperimen-eksperimen pertama dengan arus listrik (1800), diikuti
penemuan induksi elektromagnetik oleh Faraday dan layanan telegraf listrik
(1825), kemudian sistem gambar hidup dan kamera gambar hidup hingga
perubahan gambar menjadi sinyal-sinyal listrik (1875). Tahun 1900, tabung
vakum ditemukan dan siaran audio pertama dimulai. Tahun 1925, sistem
televisi pertama ditemukan dan disusul penemuan radio FM. Pada tahun yang
sama dimulai pula siaran televisi komersial di Amerika. Kemudian disusul
lahirnya sistem TV kabel, film layar lebar dan film 3D (1950). Tidak hanya itu
saja, layanan pesawat televisi warna pun mulai ditemukan. Perkembangan
media penyiaran tidak berhenti disitu saja. Menurut Roger (2003: 303) dalam
buku Mediamorfosis, perkembangan media penyiaran di California dan
sekitarnya terus berjalan hingga tahun 2000. Perkembangan ini ditandai dengan
adanya teater-teater rumah, layar datar besar, film-film RV (realitas virtual)
komersial, film-film holografik dan sebagainya.

Meski terkesan lahir secara beruntun dan saling mendukung, pada dasarnya,
radio dan televisi saling bersaing menarik perhatian masyarakat. Media
penyiaran ini saling mendahului dan berusaha memberikan fasilitas-fasilitas
yang memanjakan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan
hiburan. Namun demikian, menurut data dari Nielsen Media Research, media
yang paling banyak dikonsumsi dan digemari oleh hampir semua orang di
Indonesia adalah televisi (Majalah Cakram dalam Adwika, 2009: 2) karena

62
adanya keunggulan dari segi audio dan visual yang ditawarkan sehingga
memudahkan masyarakat dalam menangkap dan menafsirkan pesan.

Kehadiran televisi di Indonesia ditandai dengan siaran perdana TVRI pada


tahun 1962 yang mendukung penyelanggaraan Asian Games IV di Jakarta.
Setelah berdiri dan melakukan siaran perdana, TVRI sempat mengalami masa
hidup-mati dalam siaran. Kurangnya persiapan saat pendirian membuat TVRI
tidak bisa melakukan siaran secara rutin. Setahun kemudian, Keppres No.215
Tahun 1963 hadir untuk mengatur keberadaan lembaga penyiaran pertama di
tanah air ini (Zulkarnaen dalam Mulyana, 1997: 12).

Perkembangan pertelevisian di Indonesia mulai saat RCTI hadir sebagai stasiun


televisi swasta pertama (1987-1988). Setahun kemudian SCTV mulai
mengudara. Disusul TPI (1991), AN-TV (1993), dan Indosiar (1994). Lahirnya
stasiun-stasiun ini didukung oleh Surat Keputusan Menteri Penerangan (SK
Menpen) Nomor 111 tahun 1990 (Zulkarnaen dalam Mulyana, 1997: 12) yang
menjadi pemicu pesatnya perkembangan pertelevisian di Indonesia.

Setelah kemunculan lima stasiun televisi swasta tersebut, lahir SK Menpen


No.286/SK/Menpen/1999 yang memberikan ijin pendirian stasiun televisi
swasta baru (Setyobudi, 2006:12). Metro TV kemudian lahir memulai siaran
pada 1999-2000, diikuti oleh tiga stasiun televisi swasta lainnya: Trans TV, TV
7 (Trans7) dan Lativi (TV One). Televisi swasta nasional terakhir adalah Global
TV (2002). Kemudian diikuti kelahiran stasiun televisi lokal di berbagai kota di
Indonesia, seperti Jogja TV, JTV, RBTV, dan lain-lain pada kurun 2000-2005
(Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2006: 33).

Perkembangan Cybermedia dan TV Streaming


Perkembangan pertelevisian di Indonesia ini diikuti pula dengan perkembangan
internet (cyber media). Menurut Fidler, cybermedia merupakan bentuk
komunikasi berperantara komputer (2003: 421). Komunikasi ini dapat
dilakukan oleh siapapun selama memiliki perangkat komputer. Perkembangan
cybermedia di Indonesia diawali dengan kegiatan radio amatir, yaitu Amateur
Radio Club (ARC) ITB (1986) disusul dengan perkembangan jaringan paket
radio di Indonesia. Kegiatan radio amatir ini kemudian melahirkan
PaguyubanNet (1992). Perkembangan jaringan paket radio ini berupa usaha
mengaitkan jaringan amatir Bulletin Board System (BBS)—jaringan e-mail
store and forward—dengan banyak “server” BBS amatir radio di seluruh dunia;
dengan tujuan agar e-mail dapat berjalan dengan lancar. Perkembangan internet
terus diusahakan hingga tahun 1995-an, sambungan leased line 14.4Kbps ke
RISTI Telkom sebagai bagian dari IPTEKNET akses internet diberikan secara
cuma-cuma (Mujahidin, 2008).

63
Secara mendasar, cybermedia memiliki sifat yang khas yang menjadi ciri
utamanya sebagai media maya. Seperti disebutkan Fidler (2003: 251) dalam
bukunya Mediamorfosis, ciri-cirinya adalah tanpa perantara, dua arah-
partisipatori, dan tak berjadwal. Tidak adanya perantara menunjukkan sistem di
dalamnya yang berperan untuk menghubungkan antara penyedia layanan dan
penggunanya. Selain itu, ciri komunikasi dua arah juga semakin mempertegas
bahwa ketiadaan perantara membuat komunikasi dua arah yang akan terjadi
dengan pemanfaatan teknologi dan sistem tersebut. Begitu pula dengan ciri tak
terjadwal, dimana akses cybermedia dengan perangkat komputer dapat
dilakukan kapan saja tanpa jadwal tertentu. Dengan demikian, ciri-ciri tersebut
menegaskan kembali peran teknologi di dalam cybermedia.

Pada awal kemunculannya, cybermedia digembar-gemborkan merupakan


wilayah baru yang akan banyak memberikan keuntungan. Peluang-peluang baru
dan kesempatan tersedia dalam dunia yang dibentuk oleh sekumpulan sistem
hasil pengembangan teknologi. Peluang tersebut ada karena keunggulan-
keunggulan yang ditawarkan. Keunggulan tersebut adalah akses secara murah
yang mampu menyediakan informasi dalam waktu yang relatif singkat. Tidak
hanya itu saja, cybermedia juga semakin menghilangkan jarak antara satu
tempat dengan tempat yang lain, wilayah yang satu dengan yang lain hingga
mempersempit jarak antar negara bahkan benua. Cybermedia ini semakin
berkembang seiring lahirnya World Wide Web (disingkat www). Web sendiri
merupakan global dan praktis yang dapat diakses oleh siapa pun yang memiliki
komputer (Fidler, 2003: 361).

Perkembangan cybermedia di tengah zaman modern ini disambut dengan cepat


oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan perkembangan pengguna
cybermedia di dunia yang hampir mencapai angka dua milyar user internet
pada 2010, seperti dirilis Internet World Stats yang memuat statistik pengguna
internet di seluruh dunia dalam situsnya
http://www.internetworldstats.com/stats3.htm. Di Indonesia, pengguna internet
mencapai 45 juta pada pertengahan 2010 seperti diungkapkan Kementerian
Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam acara Rakernas APJII 2010 dan
IPv6 Summit yang berlangsung di Padma Resort Bali, 8-9 Juni 2010
(www.detikinet.com).

Sambutan yang luar biasa ini kemudian dimanfaatkan oleh media penyiaran
dengan lahirnya sistem streaming. Streaming merupakan teknologi untuk
memainkan file video atau audio secara langsung ataupun dengan pre-recorder
dari sebuah mesin server (web server). Pemutaran file video atau audio ini dapat
dilakukan setelah adanya permintaan dari user (www.ittelkom.ac.id, diakses
01/08/2010). Secara sederhana, sistem streaming merupakan sistem yang

64
memberikan informasi melalui layanan cyber media baik secara langsung
maupun tidak.

Sistem ini pada mulanya digunakan untuk penyiaran audio (radio streaming).
Namun seiring percobaan-percobaan pengembangan, sistem ini kemudian mulai
diterapkan untuk penyiaran audio-visual (TV streaming). TV
Streamingmerupakan salah satu terobosan dalam penyiaran televisi.
Pemanfaatan teknologi komunikasi dan cybermedia membuat TV
Streamingmemiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan TV analog.

Salah satunya, TV Streaming tidak memerlukan perangkat khusus atau


tambahan. Komputer dan jaringan internet dengan kemampuan akses yang
cukup cepat adalah modal utama untuk bisa menikmati TV streaming. Ditambah
lagi, adanya laptop memudahkan akses TV Streamingdimana saja. Mobilitas
yang tinggi dan semakin tersedianya fasilitas hot spot di berbagai tempat
memungkinkan seseorang tetap dapat memperoleh informasi dan hiburan dari
televisi.

Selain itu, disaat yang bersamaan, user dapat mengakses TV Streaming serta
situs-situs lain untuk efisiensi waktu. Adanya TV Streaming ini juga mampu
memberikan fasilitas interaktif tanpa perantara di waktu yang singkat. Ketika
user mengakes TV Streaming dan merasa acara tersebut kurang menarik, maka
pada waktu yang bersamaan user dapat langsung memberikan tanggapan.
Tanggapan ini merupakan fasilitas komunikasi dua arah yang dimiliki oleh TV
Streaming. Tidak hanya itu, sesuai dengan pengertiannya, TV Streaming dapat
menyimpan dokumentasi acara siaran langsung yang telah diputar sebelumnya.
Dokumentasi acara ini dapat diputar sewaktu-waktu saat ada permintaan user.
Dengan demikian, user tidak perlu lagi takut kehilangan informasi maupun
hiburan sebelumnya.

Keunggulan lain yang ditawarkan sistem streaming ini adalah user tidak perlu
mengunduh dahulu ketika akan menyaksikan acara yang sedang berlangsung.
Efisiensi waktu karena user hanya menunggu sekian detik untuk
menghubungkan koneksi dan selanjutnya tayangan dapat langsung dinikmati.
Prinsip TV Streaming sendiri sebenarnya tidak berbeda jauh dengan radio
streaming yang sekarang sudah cukup banyak dimanfaatkan. Perbedaan hanya
terletak pada kemampuan TV Streaming untuk bisa menyimpan dan memutar
ulang tayangan yang sudah berlalu. Tidak hanya itu, dengan TV Streaming juga
memungkinkan user untuk menikmati siaran televisi nasional ketika sedang
berada di luar negeri.

Keunggulan-keunggulan yang diberikan TV Streaming itulah yang menjadi


kekuatan TV Streaming sebagai televisi masa depan. Selain dapat dimanfaatkan

65
sebagai alternatif televisi bagi masyarakat, TV Streaming merupakan peluang
bagi perusahaan-perusahaan televisi nasional karena ternyata tidak semua
stasiun televisi di Indonesia menyediakan fasilitas TV Streaming di web mereka.
Walaupun sekarang sudah mulai dirintis, TV Streaming saat ini masih dalam
bentuk siaran-siaran berita saja.

Hal ini sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang umum, yaitu penyiaran berita
streaming. Seperti juga yang ditulis Dominick, Messere, dan Sherman (2004:
146) dalam buku Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond sebagai
berikut: “News streaming is common on many websites and the standards for
encoding Internet video such as MPEG-4 are evolving rapidly.” Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa streaming berita merupakan hal yang sudah lazim
di web. Sama pula yang terjadi di Indonesia, beberapa stasiun televisi
menyediakan streaming untuk acara beritanya, seperti Metro TV, Liputan6
SCTV serta TV One.

Selain sebagai penyiaran berita streaming, TV Streaming di Indonesia masih


sebatas web yang menyuguhkan jadwal acara, program-program unggulan,
jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, akses ke klub fans atau
klip-klip video tertentu saja. Apabila ada penayangan live streaming biasanya
difasilitasi oleh web lainnya. Seperti MivoTV, Masronny TV Streaming, dan
lain sebagainya.

MivoTV hadir sebagai salah satu penyedia layanan TV Streaming. MivoTV


menyediakan layanan siaran dari beberapa televisi swasta, seperti RCTI, SCTV,
Trans TV, Global TV, dan TV One. Dalam layanan MivoTV ini juga tersedia
layanan komunikasi interaktif (chat). MivoTV selain dimanfaatkan oleh mereka
yang sedang menggunakan fasilitas internet di dalam negeri juga dapat
digunakan oleh masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri. Hanya saja,
masih banyak yang belum mengetahui keberadaan adanya MivoTV, penyedia
fasilitas TV Streaming. Terbukti dalam salah satu kelas kuliah di Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, banyak mahasiswa yang tidak mengetahui MivoTV
sebagai TV Streaming yang menyiarkan tayangan dari televisi nasional.

Begitu juga dengan keberadaan Masronny TV Streaming, masih banyak yang


belum mengetahui dan memanfaatkannya. Masronny TV Streaming merupakan
penyedia fasilitas TV Streaming yang lebih lengkap dari pada MivoTV. TV
Streaming ini menyediakan layanan siaran dari televisi swasta dan beberapa
televisi lokal hingga televisi luar negeri, yaitu RCTI, SCTV, TV One, Trans
TV, Spacetoon, Kompas TV, FAJAR, ANTV, Metro TV, Indosiar, Global TV,
Bali TV, CNN, dan sebagainya. Tidak hanya itu saja, TV Streaming ini
menyediakan pula layanan komunikasi interaktif (chat).

66
Kurang diketahuinya keberadaan situs ini tentunya mengurangi pula
pemanfaatannya. Ditambah lagi, masih sering terjadinya trouble yang membuat
user tidak dapat menerima layanan siaran televisi-televisi tersebut. Dilihat dari
fasilitas chat yang tertera pada situs-situs TV Streaming yang sudah ada, banyak
masyarakat yang mulai tertarik untuk mencoba fasilitas ini. Hal ini tentunya
dapat menjadi peluang tersendiri untuk televisi nasional dalam penyediaan TV
Streaming baik secara live maupun on demand.

Memaksimalkan TV Streaming di Indonesia


Sejauh ini, televisi nasional yang sudah melakukan pemanfaatan teknologi
streaming secara live hanya Metro TV saja. Peluang bagi televisi nasional untuk
membuat layanan TV Streaming didukung Fidler (2003: 324) yang menyatakan
bahwa web memiliki kemampuan untuk menyajikan data yang kompleks,
termasuk di dalamnya audio, video serta grafik. Hal ini menjadi salah satu
peluang untuk bisa menyampaikan informasi dan mendapatkan tanggapan dari
masyarakat yang lebih luas melalui web, karena TV Streaming dapat
menjangkau masyarakat hingga lintas negara sejauh dapat mengakses
cybermedia.

Tidak hanya televisi swasta nasional yang diharapkan bisa memaksimalkan


teknologi streaming dalam perluasan penyiaran, tetapi juga televisi-televisi
lokal yang juga sudah tumbuh hampir di setiap provinsi di Indonesia. Televisi
lokal diharapkan pula dapat mengikuti perkembangan teknologi yang ada, salah
satunya dengan TV Streaming ini. Pemanfaatan TV Streamingbagi televisi lokal
dapat juga sebagai media informasi bagi masyarakat daerah yang sedang
merantau ke luar daerahnya.

Tanggapan dari audience televisi ini tentu saja akan memberikan keuntungan
tersendiri bagi produser-produser acara dan tentu saja yang berada di belakang
layar setiap tayangan televisi, termasuk anchor (pembawa berita), reporter,
pengisi acara, dan kru acara. Masyarakat akan secara langsung menilai dan
memberikan komentarnya terhadap acara yang sedang ditontonnya. Respon
yang masuk juga akan langsung dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka yang
berada dalam tayangan.

Sistem yang ada mampu menampung setiap saran yang masuk. Suatu saat
dimungkinkan pula penggunaan video call dengan memanfaatkan salah satu
layanan online, contohnya Skype yang dapat dimanfaatkan untuk berinteraksi
secara langsung antara audience dan pengisi acara. Hal ini dapat kita lihat
dalam tayangan Oprah Winfrey Show yang sudah menerapkan interaksi
langsung dalam program acaranya.

67
Penerapan TV Streaming sebagai televisi alternatif di masa depan di Indonesia
berlum berjalan mulus. Namun, adanya target dan optimisme pemerintah seperti
disampaikan Menkominfo melalui Dirjen Potsel bahwa sesuai misi World
Summit on the Information Society (WSIS), Indonesia menargetkan 120 juta
masyarakat sudah mengakses internet pada tahun 2015 (www.detikinet.com).
Hal ini akan menjadi tantangan yang sejalan dengan target yang sudah
ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, Indonesia diharapkan tidak lagi
menjadi negara yang jauh tertinggal dalam teknologi dan informasi.

Penyediaan TV Streaming oleh stasiun-stasiun televisi merupakan salah satu


bentuk pengaplikasian teknologi bagi dunia penyiaran. Selain faktor teknis dan
audience, ruang iklan yang baru di web juga terbuka lebar dan tentu saja akan
memberikan keuntungan berlipat bagi perusahaan televisi swasta. Keuntungan
lain bagi stasiun televisi juga dapat berupa tanggapan yang berisi kritik dan
saran dalam waktu yang relatif singkat, serta kedekatan dan kepemilikan
audience terhadap televisi yang akan lebih terbangun hingga masyarakat
Indonesia yang berada di luar negeri. Selain itu, menjadi penyedia TV
Streaming dalam web masing-masing stasiun televisi akan menguatkan tujuan
utama keberadaan televisi yaitu selain sebagai pemberi informasi dan hiburan,
juga sebagai perantara (media) pemerintah terhadap masyarakatnya.

TV Streaming juga memungkinkan pengembangan acara dan keluasan informasi


yang bisa diperoleh. Misalnya saja, televisi dapat langsung menerima kabar dari
mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri mengenai up date berita
terakhir di negara tersebut. Selain itu juga, dapat menjadi peluang acara
interaktif yang baru dengan membuat program-program acara yang bisa
melibatkan audience langsung dari berbagai belahan dunia.

Selain memberikan banyak manfaat bagi perusahaan televisi, TV Streaming juga


sangat menguntungkan audience. Sebagai masyarakat yang memperoleh
informasi dan hiburan dari televisi sekarang, audience dituntut untuk aktif dan
kritis. Dengan memanfaatkan TV Streaming maka kemungkinan audience untuk
bisa aktif dan kritis akan sangat terbuka lebar. Fasilitas interaktif yang memang
tersedia dalam TV Streaming tentu saja akan semakin menyemarakkan
komunikasi dua arah antara penyiar dan audience. Selain itu juga, akses TV
Streaming dan murahnya biaya untuk berinteraksi tentu akan semakin
menyemarakkan komunikasi yang dilakukan. Jika sebelumnya audience perlu
menelepon atau mengirimkan SMS (short message service) untuk
menyampaikan opini ke televisi, dengan adanya TV Streaming cukup dengan
mengetik pesan dan klik “kirim”.

Kemudahan akses tanpa perlu membeli perangkat baru atau tambahan bagi
komputer, juga semakin memungkinkan masyarakat dapat memaksimalkan TV

68
Streaming ini di masa depan. Penggunaan cybermedia yang meningkat dari hari
ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan, dan bisnis, memungkinkan
masyarakat modern lebih banyak mengakses TV Sstreaming. Dengan demikian,
informasi yang didapatkan tidak lagi hanya berupa teks digital tetapi siaran
audio-visual. Hal ini tentu saja sesuai dengan prinsip yang diungkapkan Fidler
(2003: 324) bahwa ada peningkatan kemampuan para pengguna komputer
rumah tangga untuk secara ekonomis mengakses isi multimedia melalui
jaringan-jaringan telekomunikasi kecepatan tinggi yang murah. Akses yang
murah dan lebih efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan
informasi dan hiburan di masa depan.

Media informasi di masa depan ini, tidak menutup kemungkinan akan terus
berkembang dan dikembangkan oleh perusahaan televisi seiring dengan
meningkatnya audience yang memanfaatkannya. Semakin banyak masyarakat
yang menggunakan dan mengakses TV Streaming maka memungkinkan
produsen akan memproduksi progam-program acara yang baru dan memenuhi
kebutuhan khalayaknya. Kebutuhan akan informasi tentang daerah atau negara
asal serta dapat melihat kondisi dengan perantaraan audio-video tentu akan
lebih memberikan kepuasan tersendiri bagi audience. Hal ini sesuai dengan
salah satu prinsip nilai berita yaitu proximity (kedekatan). Juga sebaliknya, akan
memberikan informasi yang memadai pula bagi masyarakat lokal atau negara
untuk mengetahui kondisi masyarakat yang sama asalnya.

Program acara yang dikembangkan oleh stasiun-stasiun televisi memberikan


kesempatan bagi audience untuk berinteraksi dengan audience yang lain secara
live. Perkembangan teknologi dan kemampuan akses yang meningkat di masa
depan akan semakin memberikan kemudahan untuk komunikasi interkatif
dengan audio-video. Dengan demikian, TV Streaming merupakan televisi
alternatif yang memanfaatkan teknologi televisi di masa depan.

Daftar Pustaka
Andwika, Eskarina, “Pengaruh Posisi Penempatan Iklan Spot di Televisi
Terhadap Tingkat Brand Awareness Khalayak”, Skripsi FISIP UAJY.
Dominick, Joseph R, Fritz Messere, dan Barry L.Sherman. 2004. Broadcasting,
Cable, the Internet, and Beyond. New York: McGrawHill.
Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Institut Teknologi Telkom. 2009. Konsep Dasar Video Streaming,
http://www.ittelkom.ac.id/library/index.php?
view=article&catid=6:internet&id=645:konsep-dasar-video-
streaming&option=com_content&Itemid=15 diakses pada 1 Agustus 2010
pukul 02.04 WIB.

69
Internet World Stats. 2009. Internet Usage in Asia,
http://www.internetworldstats.com/stats3.htm), diakses pada 31 Juli 2010
pukul 14.11 WIB
Mujahidin, Andi. 2008. Sejarah dan Perkembangan Internet,
http://www.andimujahidin.com/2008/01/sejarah-dan-perkembangan-
internet/ diakses pada 1 Agustus 2010 pukul 14.45 WIB
Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2006. Indonesia Media Guide
2005. Jakarta: Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Setyobudi, Ciptono.2006. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suryadhi, Adhi. 2010. Pengguna Internet Indonesia Capai 45 Juta,
(http://www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/penggun
a-internet-indonesia-capai-45-juta) diakses 31 Juli 2010 pukul 14.05 WIB.

70
“Melihat Kembali” TVRI

Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas Nurogo, mahasiswa Ilmu


Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pemberitaan TVOne yang menayangkan penangkapan tersangka teroris, yang


diduga Nurdin M. Top di Temanggung kemudian diklaim oleh TVOne sebagai
penangkapan Nurdin M. Top—dan ternyata salah—merupakan salah satu
bentuk ketergesa-gesaan stasiun TVOne memberitakan suatu peristiwa dan
merugikan masyarakat. Ini ditambah mengenai berita soal makelar kasus palsu,
yang semuanya adalah upaya untuk mencari berita-berita sensasional yang
sedang hangat dan mengundang masyarakat untuk menontonnya.

Selain itu, running text dari TVOne yang menyatakan Gesang, maestro
keroncong telah meninggal dunia padahal kenyataan belum meninggal dunia,
meskipun akhirnya meninggal dunia, namun di sini televisi bukan bertindak
sebagai peramal dan berarti terjadi pembohongan publik, di mana televisi tidak
mengabarkan realitas yang sesungguhnya dan beribu-ribu masyarakat yang
meluangkan waktunya untuk dapat melihat beritanya secara langsung
mendapatkan informasi yang keliru dari pemberitaan melaui tayangan berita
TVOne.

Dari gambaran di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan penonton pada saat
tayangan penangkapan teroris di Temanggung pada bulan Agustus 2009. Di
mana penonton 168 persen dari minggu sebelumnya 22.000 orang menjadi
59.000. Ini menandakan bahwa berita hangat dan disiarkan langsung merupakan
komoditas yang menarik untuk diberitakan dan dijual. Namun yang menjadi
masalah adalah berita tersebut ternyata bohong. Yang ditangkap bukanlah
Nordin M. Top. Semuanya hanya mengejar rating dengan menampilkan berita
yang sensasional.

Contoh pada media lain, juru bicara Trans7 Hadiansyah Lubis, mengatakan,
pihaknya masih mematok rating sebagai pertimbangan dalam program acara.
Pihaknya tidak perlu lagi menunggu 13 episode. Jika tiga episode jika rating
tidak bagus, bisa langsung dieksekusi. ujarnya. Dia menambahkan, rating tetap
menjadi acuan dan performa tayangan juga dipantau setiap hari
(www.kpi.go.id). Televisi memprioritaskan rating yang tinggi. Rating
merupakan salah satu indikator tayangan televisi ditonton oleh masyarakat.
Rating menjadi tolok ukur sejauh mana program tersebut diakses banyak
masyarakat dan ini berarti mendatangkan pundi-pundi uang dalam bentuk iklan.

71
Rating didapat dengan melakukan survei ke berbagai kota seperti Jakarta,
Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang,
Denpasar, Banjarmasin, menggunakan alat yang bernama panel TAM
(Television Audience Measurement) atau GG TAM yang dikeluarin oleh AGB
Nielsen. Alat inilah yang jadi pemacu industri media untuk menyajikan
tayangan semenarik mungkin. Definisi menarik adalah rating tinggi. Meskipun
alat ini dikatakan tidak valid oleh banyak orang, namun alat ini yang dirasakan
cukup representatif.

Tayangan televisi yang memperoleh rating pemirsa yang tinggi cenderung


menjadi incaran bagi para pengelola stasiun siaran. Rating dalam penyiaran
program televisi memberi jaminan income atau pemasukan dari iklan yang
menyertai program. Pada umumnya tayangan hiburan yang menarik
memperoleh rating tinggi sementara tayangan yang bersifat informasi dan
pendidikan memperoleh rating rendah.

Data BPS tahun 2006 (Kompas, 31/07/2010) menyebutkan, masyarakat lebih


memilih menonton televisi (85,95), dan atau mendengarkan radio (40,35),
membaca koran (23,5 persen). Data ini menunjukan bahwa media televisi
sekarang sebagai media yang paling banyak diakses masyarakat. Hampir 86
persen masyarakat mengakses media televisi, berarti media televisi memiki efek
yang dapat mempengaruhi orang banyak. Dengan daya hipnotisnya, penetrasi
yang hampir tanpa batas, dan efektivitas media audiovisual ini, menjadikan
televisi pada posisi yang sangat strategis, konsekuensi logikanya adalah
munculnya berbagai kepentingan yang saling berdesakan, baik politik, bisnis,
pendidikan, hiburan, dan lain-lain.

Fungsi Televisi Yang Ideal


Sebagai media, televisi berfungsi menyambaikan informasi yang benar kepada
masyarakat. Informasi yang benar dapat memiliki fungsi sebagai pendidik bagi
masyarakat, bukan berorientasi kepentingan komersial yang hanya diukur
dengan rating. Menurut Haryatmoko (2007: 19) informasi yang benar
mencerahkan kehidupan. Ia membantu menjernihkan pertimbangan untuk bisa
mengambil keputusan yang tepat. Informasi yang tepat menjadi sarana
pendidikan yang efektif. Ia membuka peluang memperbaiki nasib seseorang
atau kelompok. Informasi yang benar dapat mendidik masyarakat. Masyarakat
memiliki tambahan pengetahuan dan mampu untuk menentukan pilihan yang
tepat dan kritis berdasarkan informasi, bukan pencitraan.

Sebagai industry dan organ kapitalisme, televisi dituntut mencari keuntungan


sebesar-besarnya untuk tetap bertahan hidup dan memenangkan persaingan.
Hariatmoko (2007: 1) menambahkan derap-langkah realitas sangat diwarnai
oleh struktur pemaknaan ekonomi yang dirasakan menghambat idealisme itu.

72
Dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan
dan keindahan. Logika pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi.
Banyak pimpinan media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan
logika pasar tersebut. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media berada di
bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat.

Bertahan hidup dengan mencari pemasukan. Pemasukan didapat jika media


ditonton oleh banyak orang sehingga menarik pengiklan. Pengiklan datang
karena mereka berpikir bahwa media ini efektif karena dapat ditonton oleh
banyak orang. Di sini televisi mulai tergoda untuk berpikir praktis. Salah
satunya, dengan membuat tayangan-tayangan yang ‘disukai masyarakat’.

Dedy Iskandar Muda (2003: 7) mengatakan, stasiun televisi dapat memiih


program yang menarik dan memiliki nilai jual kepada pemasang iklan,
sementara perusahaan produksi acara televisi dapat meraih keuntungan dari
produksinya. Di Indonesia kecenderungan televisi swasta sudah mulai
mengarah kepada sistem di Amerika. Ini dimulai dari garapan-garapan sinetron,
kuis, dan beberapa acara hiburan lainnya. Cara seperti ini memang sangat
menguntungkan bagi stasiun televisi tersebut karena semuanya dapat dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis, yaitu untung dan rugi.

Terjadi disorientasi dari sifat mendasar dari televisi, dari medium untuk
mencerahkan kehidupan masyarakat menjadi medium yang meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Hal ini melupakan esensi dari sifat pencerahan tadi. Sifat
memberikan tayangan yang mendidik dilupakan dan diganti dengan tayangan-
tayangan yang bersifat mendatangkan keuntungan. Ini berarti tidak ada media
televisi yang ‘merelakan dirinya’ sebagai media pendidikan bagi masyarakat.
Seakan mereka lepas tangan dari tanggung jawab bersama untuk mencerdaskan
bangsa. Ini berarti, tidak ada media televisi yang menjadi tumpuan untuk
memberikan pencerahan masyarakat karena semua telah berubah orientasi:
mengejar rating.

Mengembalikan Televisi Publik


Dalam titik ini, harus ada televisi yang independen dalam pendanaan sehingga
tidak berorientasi pada iklan dan rating. Televisi ini harus idealis, menjadi
televisi pendidikan bagi public dan menjadi ‘ruang publik’ yang memfasilitasi
berbagai kelompok masyarakat. Kami berpikir untuk ‘melihat kembali’ Televisi
Republik Indonesia (TVRI). Melihat kembali berarti (1) menata kembali
manajeman sampai programnya dan (2) menyaksikan kembali TVRI kaerna
TVRI menyajikan acara-acara yang menarik, mengemban misi pendidikan dan
patut dibanggakan. Apalagi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2005 menyatakan bahwa TVRI adalah
Lembaga Penyiaran Publik yang bersifat independen, netral, tidak komersial

73
dan berfungsi melayani masyarakat. Dengan payung undang-undang ini, TVRI
dapat digunakan sebagai media yang benar-benar melayani masyarakat. Media
ini dapat dijadikan sebagai pedoman dan ruang bersama seluruh publik di
Indonesia.

Sejarah dan latar belakang TVRI memang memosisikan TVRI pada posisi dan
fungsi yang tidak tepat. Plato melimpahkan kekuasaan pada Negara sehingga
Negara berhak mengatur segala-galanya, termasuk pers. Sementara Lenin
menempatkan pers dalam kerangka besar kepentingan partai (Lan, 2002; 52).
Mungkin percampuran fungsi pers antara Plato dan Lenin sangat cocok
disamakan dengan fungsi TVRI pada saat era Orde Lama dan Orde Baru. Di era
Presiden Sukarno, TVRI menjadi alat propaganda nasionalisme dan demokrasi
terpimpin. Di era Orde Baru, TVRI tak ubahnya alat politik untuk memuluskan
konsensus nasional tentang pembangunan, persatuan bangsa dan stabilitas
politik yang secara tidak langsung menguntungkan kelompok Golongan Karya.

Di era reformasi, kondisinya tetap sama. Berbagai keputusan pemerintah


terhadap TVRI dianggap mempunyai tujuan politik sehingga memunculkan
kecurigaan berbagai pihak. Mulai dari perebutan jajaran komisaris antarpartai,
dualisme TVRI hingga keputusan presiden yang bertolak belakang dengan
fungsi TVRI. Keputusan yang dianggap paling netral dan tidak dianggap berbau
politis adalah status TVRI sebagai televisi public yang mempunyai tugas dan
fungsi: memberikan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat,
kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan
seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang
menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

TVRI seharusnya dapat dijadikan rujukan mengenai tayangan yang memiliki


idealisme nilai dan melayani masyarakat untuk dapat berpikir kritis, lepas dari
semua orientasi mencari rating, keuntungan, dan kepentingan politis. Ruang
publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah
keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur tetapi juga
memberikan nilai tambah dalam masyarakat.

Keberadaan TVRI sebagai televisi publik mengharuskan segenap jajarannya


untuk menampilkan tayangan atau program yang bermanfaat untuk kepentingan
publik. Hal ini terkait dengan fungsi lembaga penyiaran yang merupakan media
komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial
budaya, politik, dan ekonomi yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab
dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, hiburan, serta kontrol
sosial, dan sekaligus sebagai perekat bangsa.

74
Program-program TVRI harus terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan, memancing emosi negatif, sadisme, tidak mendidik, melanggar
etika, dan norma agama. Peralihan status TVRI menjadi televisi publik memiliki
kewenangan otonom yang lebih mandiri. Diakui, TVRI memang memerlukan
waktu yang lama untuk menghapus citra historisnya sebagai ‘corong
pemerintah’. Hal itu terkait masa Orde Baru dulu. Namun sekarang TVRI
sebagai televisi publik, harus tampil beda, baik dalam format tayangan maupun
isi siarannya.

Anggaran APBN untuk belanja TVRI yang hanya sekitar Rp 500 miliar
pertahun—jauh di bawah dana televisi swasta yang rata-rata Rp 1,5 triliun per
tahun—perlu dikoreksi. Dengan dana sejumlah itu, TVRI belum dapat bersaing
dengan televisi-televisi swasta, terutama untuk pengadaan alat yang
memungkinkan kualitas gambar yang bagus dan peningkatan standar gaji bagi
para pegawainya sehingga dapat menjaga independensi terhadap sogokan-
sogokan.

TVRI harus mewakili semua kalangan, sebagai wadah bersama, karena sifatnya
dari rakyat dan untuk rakyat. TVRI bukan hanya menjadi alat propaganda
budaya Jawa seperti era Suharto, namun dapat diakses oleh semua golongan.
TVRI harus membantu daerah-daerah yang tertinggal menjadi berubah dan
tidak semata-mata berpatokan pada rating.

Tantangan utamanya bagaimana mengubah isi siaran TVRI sehingga menarik


bagi penonton. Jika kita membandingkan isi siaran TVRI dan NHK (Jepang),
dua stasiun televisi tersebut sama, namun yang membedakan adalah cara
penyajiannya. Dalam membuat program, televisi publik perlu melibatkan
masyarakat untuk merencanakan isi dan kemasan. Perdebatan untuk mengemas
acara amat diperlukan agar nilai-nilai kepublikan mengkristal sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Semakin kritisnya penonton televisi, semakin banyak tuntutan untuk


meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas siaran TVRI (Wahyudi, 1984;13).
TVRI harus menampilkan Indonesia secara menarik dalam pemberitaannya.
Menarik belum tentu hal-hal yang bagus, namun bagaimana program itu
dikemas secara lebih menarik dan berbeda. Bila itu semua berhasil, maka tak
mustahil menyandingkan TVRI dengan NHK (Jepang) dan BBC (Inggris).

Daftar Pustaka
Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi.Yogyakarta:Kanisius, 2007

75
Intani, Retno ZA. 2009. TVRI Yang Terlupakan.
(http://nasional.kompas.com/read/2009/08/24/02543179/TVRI.yang.Terlu
pakan), 17 Agustus 2010 pukul 21.12 WIB
Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010
Lan, May. Pers, Negara dan Perempuan.Yogyakarta:Kalika, Cetakan Pertama,
2002.
Muda. Deddy Iskandar. Jurnalisme Televisi: menjadi Reporter
Profesional.Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003
Pribadi, Benny A dan Bambang Sutjiatmo. 2009. Pemanfaatan Siaran Televisi
Pendidikan. (http://lppm.ut.ac.id/publikasi/ptjj/9_A5-benny-edit.pdf), 17
Agustus 2010 pukul 20.58 WIB.
Puspasari, Eka dan Mohammad Adam. 2010. Pemerintah Harus Tambah
Anggaran TVRI dan RRI
(http://nasional.vivanews.com/news/read/120851-
pemerintah_harus_tambah_anggaran_tvri_dan_rri), 17 Agustus 2010 pukul
21.41 WIB.
Ulum, Akhmad Samsul. 2006. Televisi untuk Kepentingan Bisnis.
(http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/22/opi04.htm), 17 Agustus
2010 pukul 21.01 WIB.
Wahyudi, J.B. Jurnalistik Televisi: Tentang dan Sekitar Siaran Berita TVRI.
Bandung:Penerbit Alumni, 1985.
www. tvri.co.id, diakses pada 17 Agustus 2010.
www.agbnielsen.co.id, diakses 17 Agustus 2010.
www.kpi.go.id, diakses pada 17 Agustus 2010.

76
Memimpikan Televisi Impian

Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana, mahasiswa Ilmu Komunikasi


Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Perkembangan peradaban berjalan seiring dengan perkembangan teknologi.


Tuntutan kemudahan berkomunikasi mendorong munculnya teknologi
informasi yang dapat menyebarkan informasi dengan cepat. Para peneliti dan
penemu melakukan terobosan teknologi yang luar biasa dalam bidang
komunikasi, khususnya komunikasi massa, berupa transmisi tanpa kabel yang
mampu mengirimkan bukan hanya suara melainkan suara dan gambar (televisi).

Dengan kemudahan dalam penerimaan pesan kepada khalayak luas, pengaruh


televisi menjadi begitu besar. Teknologi televisi yang maju turut menjadi salah
satu pengaruh dalam perubahan sosial dalam masyarakat. ‘Kotak ajaib’ ini
banyak memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat, negatif maupun
positif. Televisi dengan kekuatannya membuat dunia seakan tidak berjarak.
Televisi menjadi ‘tutor’ yang paling handal dalam menciptakan watak dan
karakter manusia. Contohnya, anak kecil yang tidak mengetahui cara bergulat,
ia mahir berkelahi dengan temannya setelah melihat tayangan di sebuah acara
televisi.

Televisi merupakan kebudayaan baru di dalam masyarakat yang dinamakan


‘kebudayaan audiovisual’. Produksi budaya televisi merupakan simbol lahirnya
budaya baru tersebut. Perkembangannya di masyarakat menjadikan
‘kebudayaan visual’ membawa pengaruh yang kuat dalam membentuk sikap
dan kepribadian baru. Pesatnya perkembangan jaringan televisi hingga ke
wilayah yang terpencil, juga menjadi penyebab munculnya kultur baru tersebut.
Keunggulan televisi yang menjadikannya sebuah kultur baru yang berbeda dari
kultur-kultur sebelumnya Kemampuan mampu memberi penekanan secara
efektif terhadap pesan atau maksud yang dituju dengan meng-close up objeknya
atau memberi pemusatan pandangan.

Berbagai faktor di atas menjadikan ‘kebudayaan visual’ semakin maju dan


berkembang. Tak mengherankan apabila hingga kini televisi memiliki daya
tarik yang luar biasa apabila program yang disajikan dalam televisi tersebut
sesuai dengan karakter manusia yang terpengaruh oleh televisi tersebut. Maka
dari itu, program televisi yang disajikan disesuaikan dengan karakteristik
penonton.

Televisi menyajikan berbagai macam program tayangan berdasar realitas,


rekaan dan ciptaan yang sama sekali baru. Televisi lebih cenderung sebagai
medium domestik dengan audiensnya keluarga. Ketergantungan terhadap

77
televisi di dalam keluarga dapat mempengaruhi hubungan interpersonal di
antara anggota-anggota keluarga. Menonton televisi dapat dijadikan sarana
mengakrabkan diri antara ayah, ibu, maupun anak. Maka dari itu kadang
menonton televisi juga menjadi rutinitas penting yang dijadwalkan dalam
sebuah keluarga. Terkadang juga menonton televisi dapat dijadikan sebagai
pengisi waktu luang.

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kebutuhan mengkonsumsi


‘kultur’ baru ini semakin meningkat. Televisi menjadi media hiburan yang
paling dicari oleh masyarakat saat ini. Hampir semua acara televisi dikemas dan
diformat sebagai hiburan, karena hiburanlah yang dimaui penonton dan
pengiklan. Selain media hiburan, televisi menjadi alat kontrol sosial.
Kenyataannya, televisi sebagai alat kontrol sosial belum sepenuhnya terwujud.
Yang terjadi di lapangan, televisi malah membuat masyarakat memiliki gaya
hidup hedonis.

Dalam sebuah konsepsi Fiske (1987), televisi berfungsi sebagai a


bearer/provoker of meaning and pleasures, artinya televisi berfungsi sebagai
bagian dari dinamika sosial yang memelihara struktur sosial dalam suatu proses
melalui makna. Televisi yang membudaya di tengah masyarakat kita membuat
masyarakat percaya bahwa realitas televisi adalah suatu realitas yang empirik.
Maksudnya, dalam televisi ada sebuah kepercayaan. Kemampuannya
menyebarkan pesan ke banyak orang menjadi sumber kekuatan informasi atas
apa yang disebarkannya.

Terlepas dari kebaikan dan ‘kultur’ yang diciptakannya di tengah masyarakat,


tidak sedikit dampak negatif dari televisi. Tujuan awal diciptakannya televisi
adalah memberikan manfaat-manfaat positif. Televisi menjadi sumber informasi
masyarakat sebagai alat komunikasi massa. Televisi merupakan alat komunikasi
yang paling banyak dikonsumsi public. Namun, manfaatnya sebagai alat
komunikasi justru menyimpan masalah karena banyak acara televisi saat ini
menampilkan gosip dan mengeksploitasi orang miskin, lewat program
pengumpulan uang, perbaikan rumah dan sebagainya.

Dampak negatif dari ‘kotak ajaib’ semakin sering dirasakan di tengah


masyarakat. Dampak yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagi
masyarakat adalah dampak kepada sistem sosial yang dipunyai oleh sebuah
sistem masyarakat (Baran, 2000). Efek sosial yang muncul bisa memuat unsur-
unsur perubahan sosial dan kebudayaan baru yang tak lazim di kalangan
masyarakat. Televisi seakan menjadi ‘anutan baru’ di kalangan masyarakat. Apa
pun ditawarkan oleh televisi diterima begitu saja tanpa disaring terlebih dahulu.
Hal tersebut dapat berimbas pada interaksi sosial di masyarakat dengan segala
dampak negatifnya.

78
Perkembangan Teknologi Televisi
Perkembangan kebutuhan dan ketergantungan masyarakat terhadap televisi,
memunculkan banyak keinginan tentang hadirnya teknologi televisi yang
makin cerdas dan canggih. Para ilmuwan mengembangkan teknologi televisi
menjadi semakin ringan, tipis, dan moderen. Televisi masa depan bahkan
mampu untuk membaca ‘mood’ penontonnya. Remote control akan menjadi
usang dan ditinggalkan karena teknologi yang semakin canggih untuk
melahirkan televisi cerdas yang memudahkan masyarakat untuk menonton
televisi. Ashley Highfield, Managing Director of Microsoft mengatakan,
televisi cerdas akan semakin intuitif dan mampu mengenali ekspresi wajah
pemilik maupun gerak tubuh. Dengan demikian, televisi akan mampu mengukur
mood dan memberikan bantuan untuk mengikuti kemauan anda sesuai
keinginan anda (Okezone.com, 17/07/ 2010).

Ron Tepper dalam bukunya How to Get into the Intertainment Business
mengatakan, di masa depan sebuah berita akan dapat direkam dan dihentikan
sesuai kehendak penontonnya. Hal ini akan berakibat bagi kehidupan
masyarakat yaitu tidak digunakan lagi seorang pembaca dan redaktur yang
bergaji tinggi. Dikatakan bahwa kita akan memasuki dunia baru yaitu dunia
interaktif. Tidak diketahui secara pasti apa yang akan menjadi dampak dari
permainan era interaktif tersebut. Yang dapat diprediksikan dari dampaknya
akan sangat signifikan dan dapat menciptakan peluang yang benar-benar baru
dalam dunia bisnis hiburan.

Konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah


lahirnya konvergensi berbagai jenis media baru. Jenis-jenis media ini tidak
lantas secara sederhana dapat langsung dikelompokkan ke dalam bagian dari
penyiaran, telekomunikasi ataupun internet. Jenis teknologi tersebut semuanya
saling terhubung secara sifat dari fungsi dan kegunaannya. Teknologi awal
televisi menjadikan penonton pasif. Mereka hanya menikmati apa yang
disajikan di layar televisi tanpa dapat mengubah atau memberikan tanggapan.
Dengan berkembangnya media baru, penonton punya kesempatan untuk aktif
memberi interaksi mengenai apa yang disukainya dan mana yang tidak sesuai
pilihannya (relying on choice). Dengan begitu televisi akan mampu memberikan
kepuasan yang maksimal kepada konsumennya.

Media yang menggunakana teknologi baru yang sedang berkembang dan mulai
digandrungi di seluruh dunia saat ini, yaitu IPTV (Internet Protocol Television).
IPTV adalah siaran televisi, video, teks atau data berbasis internet dengan
kecepatan minimal dua megabyte perdetik yang dapat diakses oleh para
pelanggannya. Teknologi ini menggunakan jaringan internet, kabel telepon dan
televisi kabel atau satelit. Dengan jaringan internet, teknologi ini dapat memberi
pesan yang dapat dikonsumsi secara langsung, memiliki kemampuan untuk

79
merekam, bahkan menghentikan gambar saat penayangan pesan sedang
berlangsung.

Dengan kemampuan yang ditawarkan teknologi ini maka pengendalian atas


IPTV sepenuhnya dikuasai oleh konsumen (personal). Bahkan IPTV dapat
menayangan pesan tersebut langsung secara mobile tanpa harus berada di suatu
tempat yang tetap atau tidak bergerak. Tentu saja bila hendak menikmati secara
mobile, dibutuhkan alat-alat lain seperti decoder yang dapat terhubung dengan
internet sehingga tayangan dapat dinikmati dari jarak jauh. Hal-hal tersebut
merupakan sebagian keunggulan yang mampu diberikan oleh IPTV daripada
televisi biasa.

Jika ingin mengakses IPTV di rumah, diperlukan sebuah Personal Computer


(PC) serta set top box yang terhubung dengan televisi. Set top box harus
dilengkapi Internet Protocol Multimedia System (IMS) untuk
mengkombinasikan antara mobile internet dan content broadcast. Penonton
dapat menggunakan remote untuk mengontrol sistem yang ada dalam set top
box misalnya untuk merekam, browsing, chatting, dan sebagainya.

IPTV memiliki delapan jenis layanan yang tersedia. Pertama, Live Television,
yakni siaran televisi yang dipancarkan oleh stasiun-stasiun televisi biasa.
Kedua, Video and Music On Demand, yakni layanan siaran musik dan video
sesuai permintaan penonton. Ketiga, News On Demand, yakni layanan siaran
berita sesuai permintaan penonton. Keempat, Voice Over Internet
Protocol (VoIP), yakni teknologi yang memungkinkan komunikasi suara dan
fax dengan menggunakan jaringan berbasis Internet Protocol (IP). Teknologi
ini juga dapat mengubah suara atau fax menjadi sebuah format data digital yang
dapat dikirim melalui jaringan IP. Keelima, Network-based Private Video
Recorder (NPVR), yakni fitur untuk merekam siaran langsung (real time
broadcast) dalam jaringan server yang dapat diakses kapanpun saat
dikehendaki. Keenam, Online games, yakni layanan aneka games. Ketujuh,
Parental guide atau layanan untuk melindungi anak dan remaja dari siaran yang
yang tidak diperuntukkan bagi usia mereka. Terakhir, Shopping online, yaitu
layanan bagi para penonton untuk memesan dan membeli barang yang diminati
saat menyaksikan sebuah tayangan.

Dalam sistem layanan IPTV terdapat empat pihak yang berperan. Pertama,
content provider yaitu penyedia program-program televisi dan konten
multimedia. Kedua, service provider yang befungsi untuk mengatur dan
mengendalikan layanan IPTV. Ketiga, network provider yang merupakan pihak
yang menjalankan fungsi pengiriman dan distribusi. Terakhir, customer yaitu
pelanggan yang menikmati layanan IPTV.

80
Sampai saat ini, perkembangan penggunaan IPTV di banyak negara semakin
meningkat seiring bertambahnya pengguna internet. Tahun 2010 pengguna
IPTV diperkirakan bertambah sekitar 70 persen yang didorong oleh negara-
negra berpopulasi padat seperti Cina, India dan Indonesia. Peluang ini
tampaknya dimanfaatkan oleh beberapa lembaga penyiaran berlangganan di
Indonesia untuk menjajaki kemungkinan menerapkan layanan IPTV sambil
menunggu regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah mengenai teknis
penyiaran melalui IPTV.

Sebagian besar IPTV provider di dunia berasal dari provider telekomunikasi


dan internet. Hal ini karena layanan IPTV merupakan gabungan layanan
penyiaran, telekomunikasi dan internet (triple play). Inilah yang dikatakan
bahwa teknologi masa depan sulit untuk dikelompokkan ke bagian penyiaran,
komunikasi, atau informasi karena semuanya berhubungan fungsinya. Beberapa
provider IPTV besar di dunia antara lain: AT&T-U Verse; Verizon Fios TV
(Amerika), T-Home (Jerman), MaLigne TV (Prancis), Telefonica Imagenio
(Spanyol), Swiss Com-Blue Win TV (Swiss), British Telecom (Inggris), PCCW
(Hongkong), Hanaro (Korea), Chunghwa (Taiwan), Sing Tel Mio TV
(Singapore).

Televisi masa depan akan menjadi layanan yang sangat dinanti-nanti oleh para
pengguna karena manfaat yang besar dan sifatnya yang sangat personal dan
interaktif. Sebagai interaktif televisi berbasis internet, IPTV memiliki
keunggulan dari segi tampilan yakni ketajaman gambar yang sangat tinggi dan
memberikan peluang komunikasi dua arah dan multiple stream. Dengan
kehadiran IPTV, konsep komunikasi telah bergeser menjadi ‘broadcast
yourself’ dimana semua pengguna bebas menentukan apa yang ingin
dikonsumsi sesuai kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan ini
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang menjamin
keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut. Bagaimana pengaturan
televisi interaktif ini, akan menjadi pekerjaan rumah regulator. Selamat datang
televisi masa depan!

Daftar Pustaka
Fiske, John. 1987. “Television culture”, London: Routledge.
Budiman, Kris, “Di depan Kotak Ajaib : Menonton Televisi Sebagai Praktik
Konsumsi”, Galang Press, Yogyakarta, 2002.
Wahyudi, J.B. 1992, “Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak”,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Morrisan, M.A. 2008, “Manajemen Media Penyiaran : Strategi Mengelola
Radio&Televisi”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

81
Severin, Werner J, James W.Tankard, Jr. 2005, “Teori Komunikasi Sejarah,
Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa”, Indonesia : Kencana Prenada
Media Group.
Parker, Steve. 2000, “Jendela Iptek Seri 1: Listrik”, Jakarta: PT. balai pustaka.
Taryadi, Alfons. 1999, “Buku dalam Indonesia Baru”, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Tepper, Ron. 2006. “How To Get Into The Entertainment Business”, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
S. Wijaya, Benny. 2008. “Produk-produk Edan di Masa Depan”, Jakarta: Ufuk
Publishing House.
http://www.kpi.go.id, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.
http://techno.okezone.com, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.

82
Nilai di Balik Teknologi Layar Kaca

Devi Astiarini dan Lili Susanti, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas


Atma Jaya Yogyakarta

Televisi dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi massa dimana dengan


penyiaran televisi, informasi dapat disebarluaskan kepada audience lebih luas.
Televisi disebut sebagai bentuk komunikasi modern yang memberikan cara baru
dalam berkomunikasi. Hal ini ditunjang dengan perkembangan teknologi yang
memungkinkan audience berinteraksi langsung via televisi. Teknologi informasi
diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan
dan meningkatkan kualitas informasi, serta percepatan arus informasi ini tidak
mungkin lagi dibatasi oleh ruang dan waktu.

Awal kehadiaran televisi tidak bisa dipisahkan dari penemuan hukum


Gelombang Elektromagnetik oleh Joseph Henry dan Michael Faraday (1831)
yang merupakan awal dari era komunikasi elektronik. Tahun 1900, istilah
televisi pertama kali dikemukakan Constatin Perskyl dari Rusia pada acara
International Congress of Electricity pertama dalam Pameran Teknologi Dunia
di Paris. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision, yang mempunyai arti
jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat
dari jarak jauh.

Menurut Agee et.al, (dalam Ardianto, 2007), siaran percobaan televisi di


Amerika Serikat dimulai pada tahun 1920-an. John L. Baird, sebagai penemu
dari Skotlandia, memeragakan pertama kali teknologi gambar hidup televisi di
London tahun 1926. Sejak itu televisi dapat menayangkan gambar-gambar
hidup seperti film layar lebar. Kemudian British Broadcast Corporation (BBC)
merupakan televisi siaran pertama di dunia yang membuat jadwal televisi secara
teratur pada 2 November 1936.

Pada 11 Mei 1939, untuk pertama kalinya, sebuah pemancar televisi


dioperasikan di kota Berlin, Jerman dan menandai bahwa dunia mulai
berkenalan dengan alat komunikasi secara visual. Stasiun televisi itu kemudian
diberi nama Nipko, sebagai penghargaan terhadap Powel Nipkov, ilmuwan
terkenal Jerman dan salah seorang penemu peralatan televisi. Kemudian pada
1956, Robert Adler kelahiran Amerika Serikat bersama rekannya Eugene
Polley, menemukan remote control televisi yang tujuannya menghindari iklan.

Tahun 1948 terjadi perubahan dari televisi eksperimen ke televisi komersial di


Amerika. Tahun 1975, Larry Weber seorang ilmuwan dari Universitas Illionis
mulai merancang layar plasma berwarna. Sejak itu teknologi televisi terus

83
berkembang. Layar televisi berkembang dari yang 7 inci, 12, 17, 21, 24, dan
seterusnya. Hingga sekarang, teknologi televisi semakin canggih, mulai dari
bentuk, suara, maupun gambarnya.

Di Indonesia, Televisi Republik Indonesia (TVRI) mulai mengudara untuk yang


pertama kalinya pada 17 Agustus 1962. Siaran pertama kali ini diisi dengan
siaran percobaan dari halaman Istana Merdeka Jakarta yang meliput acara hari
ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-17. TVRI juga
menayangkan pembukaan pesta olahraga se-Asia atau yang lebih dikenal
dengan Asean Games di Senayan.

Zaman Orde baru, TVRI ditempatkan menjadi alat penyampai aspirasi


pemerintah. Apa yang ditayangkan oleh TVRI harus sesuai dengan kehendak
pemerintah. Bagi yang tidak sepaham dengan pemerintah, tidak akan muncul di
TVRI.kemudian pada tanggal 16 Agustus 1976, Presiden Soeharto meresmikan
penggunaan satelit palapa untuk telekomunikasi dan siaran televisi (Ardianto,
2007:136).

Akhir tahun 80an, masyarakat mulai jenuh akan acara yang ditayangkan di
TVRI. Mereka ingin tayangan yang beragam. pada tahun 1987, pemerintah
memenuhi keinginan publik, dan memberikan izin kepada RCTI untuk memulai
siaran, namun harus menggunakan dekoder. Siaran RCTI hanya dapat ditangkap
oleh pelanggan yang memiliki dekoder dan membayar iuran setiap bulannya.
RCTI melepas dekodernya pada akhir 1989. Pemerintah mengizinkan RCTI
melakukan siaran bebas secara nasional sejak tahun 1990 tapi baru terwujud
pada akhir 1991 setelah membuat RCTI Bandung pada 1 Mei 1991.

Tahun 1990, pemerintah memberikan izin kepada SCTV untuk bersiaran,


namun dengan jangkauan yang terbatas (Surabaya). Baru pada 1993, SCTV
melakukan siaran nasional. Tanggal 1 Agustus 1990, pemerintah memberikan
izin kepada TPI dengan izin siaran nasional, memanfaatkan antena transmisi
dan fasilitas TVRI. TPI merupakan TV yang dikelola Siti Hardiyanti Rukmana,
anak presiden Soeharto. Kemudian disusul ANTV pada 17 September 1991 dan
memulai siarannya di Lampung. Baru pada 30 Januari 1993, ANTV bersiaran
secara nasional. Indosiar juga mengudara pada 19 Juni 1992. Sehingga pada
1992, ada lima TV yang bersiaran nasional. Setelah reformasi (1998)
pemerintah mengizinkan berdirinya lima TV baru, yakni Metro TV, Lativi
(TVOne), TV7, Trans TV dan Global TV.

Jatuhnya rezim Soeharto, dan diikuti jatuhnya Orde Baru, membawa perubahan
besar dalam dunia pertelevisian Indonesia. Yang berkuasa atas siaran dan
tayangan televisi bukan lagi pemerintah, namun pemilik perusahaan televisi.
Merekalah yang berkuasa untuk menentukan isi dan format siaran televisi.

84
Industri televisi menjadi semakin komersial, di mana pemilik perusahaan
cenderung berorientasi terhadap keuntungan dan uang, bukan kepentingan
publik. Pada era reformasi, juga banyak bermunculan TV lokal dan komunitas.
Sehingga televisi semakin beragam dan masyarakat bisa menyuarakan
aspirasinya dengan lebih bebas.

Televisi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bukan hanya sebagai
sumber informasi tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi manusia. Hal tersebut
dapat dilihat dari kepemilikan televisi tersebut pada setiap orang. Hampir setiap
orang mempunyai televisi di rumahnya. Menonton televisi sudah menjadi
kegiatan rutin. Daripada membaca koran atau buku, orang lebih memilih
menonton televisi karena televisi bersifat menghibur. Televisi hadir di tengah
masyarakat dengan pengaruhnya yang kuat. Ketika menonton televisi, mereka
tak berkedip, ikut tertawa, menangis, emosi, dan sebagainya. Seolah ikut
merasakan apa yang ditayangkan di televisi.

Menonton televisi telah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar orang. Di


Yogyakarta, pernah ada sebuah penelitian tentang adanya fenomena baru bahwa
Jam Belajar Masyarakat (JBM) yang sedang digalakkan pemerintah DIY
mengalami pergeseran fungsi menjadi Jam Belajar Menonton Televisi (JBMT).
Maka JBM relatif tak membekas sama sekali (Nurudin, 1997:63). Hal tersebut
dikarenakan masyarakat pada jam tersebut belajar sambil menonton televisi,
atau bahkan tidak belajar tapi malah menonton televisi. Kecenderungan orang
untuk menonton televisi tidak luput dari keadaan masyarakat. Masyarakat
belum terbiasa dengan budaya membaca. Mereka cenderung malas membaca,
dan lebih memilih yang instan saja, yaitu menonton televisi.

Rating dan Kualitas Tayangan


Munculnya stasiun televisi baru membuktikan bahwa televisi makin digemari
dan tetap dibutuhkan. Fungsi dan kegunaannya selain sebagai sumber informasi,
televisi dijadikan sebagai sumber hiburan yang cukup murah dan terjangkau
untuk semua kalangan. Posisi televisi sebagai komunikasi masa dengan
jangkauan siaran yang luas, membuat televisi menjadi salah satu media yang
diminati oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan terhadap khalayak luas
misalnya pihak pengiklan.

Isi acara atau program yang disajikan oleh media, pada dasarnya ialah gabungan
atau akumulasi dari pengaruh yang beragam. Misalnya faktor institusi di luar
media (pemerintah, politik, pemasang iklan), faktor dalam media itu sendiri
(individu pekerja media, jurnalis, editor, pemilik), atau faktor ideologi.
Semuanya itu bisa mempengaruhi media dan isi media.

85
Dalam media televisi, rating adalah ukuran keberhasilan. Sedangkan untuk
koran atau majalah, kriteria yang berlaku adalah jumlah pelanggan, yang pada
gilirannya akan menentukan daya tarik bagi pemasang iklan (Haryatmoko,
2007:10). Program atau isi media bergantung pada rating atau jumlah
pelanggan. Hal ini menandakan bahwa media lebih menitikberatkan sektor
ekonomi ketimbang fungsi utama memberikan informasi yang berarti kepada
masyarakat, sehingga masyarakat diharapkan mendapat ’sesuatu’ dari media.
”The primary function of the mass media is to attract and hold a large
audience for advertisers . They also inform and entertain, of course, but
informing and entertaining are only means to the end of delivering a mass
audience to advertisers” (Jamieson and Campbell, 1992). Ini berarti fungsi
utama media ialah untuk menarik audiens untuk kepentingan pengiklan.

Pada kenyataannya, baik media televisi atau media cetak, menjadikan iklan
sebagai tujuan utamanya. Croteau dan Hoynes (2001) mengatakan, ”in reality,
to varying degrees, the consumers that media companies responding to are
advertisers, not the people who read, watch, or listen to the media. Adanya pola
pikir yang menyebutkan, jika suatu program acara di sebuah stasiun televisi
mendapatkan rating tinggi, dan karenanya banyak perusahaan yang akan
beriklan, maka stasiun televisi atau production house yang lain akan segera
berlomba-lomba membuat program yang serupa dengan harapan kebagian iklan.
Jika tidak, stasiun televisi tersebut, atau program acaranya, seringkali merasa
tidak layak untuk bisa bertahan. Dengan pertimbangan iklan inilah rating tiba-
tiba menjadi sebuah pertimbangan penting dalam industri media massa.
Program televisi yang memiliki rating tinggi, akan terus diperpanjang. Bahkan
ada kecenderungan ketika suatu program televisi diminati dan memiliki rating
tinggi, maka stasiun televisi lain akan membuat program yang serupa. Hal
tersebut menyebabkan keseragaman program acara dibeberapa stasiun televisi.

Masyarakat terkadang jenuh dengan tayangan yang disajikan oleh stasiun


televisi, tetapi tidak banyak yang dapat mereka lakukan. Adanya fatwa yang
diungkapkan oleh pihak tertentu pun tidak mampu mengatur atau membatasi
tayangan televisi. Permintaan atau kecenderungan pasar yang bisa memberikan
pengaruh terhadap isi tayangan atau program acara, tentunya selain otoritas dari
pemilik media.

Dengan adanya rating, stasiun televisi lebih mementingkan kuantitas acara


daripada kualitas acara yang ditayangkan. Acara yang diproduksi
menitikberatkan pada jumlah keuntungan yang diraih daripada mutu acara itu
sendiri. Nilai komersial jauh lebih penting daripada fungsi utama media massa,
yaitu memberi informasi. Televisi memang bersifat menghibur, tapi bukan
berarti membodohi masyarakat. Seperti misalnya acara infotainment, atau
tayangan reality show yang bisa dikatakan absolutely not reality show, karena

86
dibalik itu semua ada skenarionya. Kemudian sinetron yang ceritanya tidak
masuk akal, dan lain sebagainya.

Di tengah keberagaman stasiun televisi, terjadi persaingan untuk merebut hati


penonton. Memang ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya, bisa
membuat stasiun televisi lebih kreatif untuk membuat suatu tayangan
berkualitas, agar bisa membedakan dengan stasiun televisi lainnya. Namun yang
terjadi justru sebaliknya, acara televisi malah cenderung seragam. Jika ada suatu
acara sukses, lalu stasiun televisi lain membuat acara serupa. Jika stasiun
televisi yang satu tidak menayangkan acara serupa, maka akan dianggap
ketinggalan. Mengapa mereka tidak mencari alternatif lain untuk membuat
sesuatu yang lebih dari itu? Jika ide mereka bagus, maka akan menjadi kredit
tersendiri bagi stasiun televisi tersebut. Banyaknya stasiun televisi yang ada
seharusnya membuat keberagaman tayangan bagi masyarakat.

Masyarakat sebagai penikmat hanya bisa menonton tanpa berbuat apa-apa.


Mereka mau protes, protes dengan cara apa? Lalu apakah dengan protes,
tayangan televisi bisa berubah begitu saja? Tentu butuh proses yang sangat
panjang. Ada sebagian masyarakat yang sudah sadar akan buruknya sebagian
tayangan televisi. Mereka telah mengkritik lewat buku, artikel, dan sebagainya.
Lalu apa yang terjadi? Tayangan-tayangan yang tidak bermutu tetap saja ada.

Tayangan-tayangan televisi yang tidak berkualitas tetap ada karena adanya


komersialisasi industri televisi, di mana mereka lebih mementingkan
keuntungan daripada kualitas tayangan. Tidak bisa dipungkiri lagi, industri
televisi hidup dari para pengiklan. Tanpa iklan, industri televisi akan sangat
minim pemasukan. Jika seperti ini, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Satu
hal yang harus dilakukan adalah, jika tidak suka dengan acara yang
ditayangkan, lebih baik matikan saja televisinya.

Televisi Masa Depan


Televisi mengalami perkembangan yang cukup pesat. Di awal kemunculannya,
televisi hadir dengan bentuk dan teknologi sederhana. Pada perkembangannya
televisi mengalami kemajuan dengan adanya teknologi yang mendukungnya.
Teknologi membantu manusia dan memberikan solusi praktis dalam
kehidupannya. Kemajuan teknologi membawa televisi pada bentuknya yang
semakin canggih. Jika dilihat saat ini, bentuk televisi sudah demikian simpel
dan praktis, ditambah lagi dengan fasilitas pendukungnya yang beragam dan
begitu memanjakan manusia. Sudah bisa diperkirakan bahwa untuk
kedepannya, televisi baik secara bentuk ataupun pendukungnya akan semakin
berkembang pesat dan lebih modern.

87
Apakah yang dibutuhkan audience hanyalah bentuk visual dari televisi saja?
Ketika berada didepan layar televisi penonton mencari hiburan, informasi
ataupun tayangan baru yang merupakan tujuan awal dari interaksinya dengan
dunia luar. Tetapi kecenderungan program televisi adalah memberikan tayangan
yang kurang beragam, jika dilihat pada tayangan televisi dan bandingkan antara
stasiun televisi yang satu dengan yang lain akan dijumpai keseragaman program
acara. Ketika penonton menyalakan televisi pada pukul 12.00 siang, maka
hampir semua stasiun televisi akan menyajikan program acara berita. Begitu
juga pada pukul 17.00, hampir semua stasiun televisi mempunyai program
berita yang ditayangkan pada jam yang bersamaan. Ada Liputan 6, Seputar
Indonesia, Reportase dan beberapa program acara berita yang ditayangkan
bersamaan.

Keseimbangan antara teknologi dan program acara yang disajikan oleh stasiun
televisi tidak terjadi. Akan lebih baik dan bermanfaat jika televisi sebagai media
masa mampu memberikan tayangan yang bernilai dan bermanfaat bagi
masyarakat secara langsung. Perkembangan teknologi yang tidak disertai
dengan kemajuan dari segi isi merupakan hal yang sia-sia. Tidak ada manfaat
yang dapat diperoleh dan berguna bagi penonton. Penonton berada dalam situasi
stagnan dan dipersuasi dengan tayangan yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, M.Si., Lukiati, Komala, M.Si., Siti Karlinah, M.Si.


Komunikasi Massa. Suatu Pengantar. 2007. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Croteau, David, & Hoynes, William. 2001. The Business of Media. Fine Forge
Press.
Jamieson, K.H., & Campbell, K.K. 1992. The Interplay of Influence (3rd
edition). Wadsworth, Inc.
Wahyudi, J.B. 1992. Teknologi informasi dan produksi citra bergerak.
Jakarta:Gramedia.
Haryatmoko. 2007. Etika komunikasi. Kanisius.
Nurudin. 1997. Televisi. Agama Baru Masyarakat Modern.
Pandjaitan SH, Hinca IP dan MH. Drs amir effendi siregar, MA.2003.
Membangun sistem penyiaran yang demokratis di indonesia. PT Warta Global
Indonesia.

88
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

Yahya Zakaria, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman

Sinetron remaja tumbuh subur seiring perkembangan stasiun televisi di


Indonesia pada akhir 1990-an, saat Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI)
didirikan dan diikuti oleh kemunculan beberapa stasiun swasta lainnya, seperti
SCTV dan TPI. Dalam kemunculannya, televisi swasta memiliki jam tayang
yang sangat terbatas dengan acara yang tentunya tidak beragam (Panjaitan dan
Iqbal, 2006: 9-17). Kemunculan awal sinetron remaja di televisi swasta,
menurut Sunardian Wirodono (2005: 35) ditandai oleh munculnya sinetron
berjudul Pernikahan Dini pada 2001 yang memicu kemunculan sinetron remaja
lainnya.

Sinetron remaja yang hingga kini masih terus ditayangkan oleh stasiun televisi
swasta di Indonesia merupakan produk dari production house dengan target
audiens golongan umur 14-21 tahun. Melalui tema cerita yang mengangkat
persoalan keseharian layaknya cinta, persahabatan, konflik keluarga, bahkan
hingga ke seksualitas, sinetron remaja kian diminati masyarakat dari hari ke
hari. Tercatat, terdapat lebih dari 247 judul sinetron remaja yang terdiri dari
14.762 episode atau 1.791 jam tayang sepanjang tahun 2007 menurut penelitian
yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA-Kidia)
(Suara Merdeka, 20/06/2008). Hal ini mengindikasikan, sinetron remaja tidak
pernah sepi dari peminat bahkan hingga hari ini. Kecenderungan terus tingginya
peminat terhadap sinetron remaja pada akhirnya menjadi alasan kuat bagi
berbagai production house untuk melakukan produksi massal.

Produksi massal sinetron remaja baik yang berbentuk serial maupun yang
berbentuk film televisi (FTV), justru semakin menurunkan kualitas sinetron
remaja, baik dari segi tema cerita, maupun dari teknis sinematografinya. Dari
sisi tema cerita, kerap ditemui banyaknya kesamaan antara satu sinetron remaja
dengan sinetron remaja lainnya, orisinalitas menguap, duplikasi terjadi, bahkan
seolah menjadi hal lumrah. Tema cerita yang seharusnya mengandung
pembelajaran bagi remaja bukan lagi menjadi hal pokok dalam proses produksi.
Selain itu, dari sisi sinematografi, hampir setiap sinetron remaja memiliki
standar yang sama, keunikan jarang ditemui di dalamnya. ‘Kejar tayang’,
mungkin inilah istilah yang tepat menggambarkan bagaimana sinetron remaja
diproduksi massal dalam jumlah besar-besaran, sehingga kualitas tidak lagi
menjadi orientasi. Sunardian Wirodono (2005: 80) mengungkapkan, “...tidak
pernah muncul kegalauan para mahluk sinetron itu, jika karya mereka
sesungguhnya tidak memiliki kedalaman. Ukuran-ukuran kesenian akan mereka
patahkan dengan jumawa bahwa yang penting mereka ‘kaya raya’...”

89
Remaja sebagai audiens, mau tidak mau akan terkena dampak dari buruknya
kualitas sinetron remaja hari ini, karena sebagai salah satu produk televisi,
sinetron remaja—sebagaimana produk televisi lainnya—memiliki fungsi untuk
menyampaikan nilai-nilai, berupa, gagasan, pola pikir, sikap, hingga ke gaya
hidup pada masyarakat luas. Lantas, nilai-nilai seperti apakah yang disampaikan
oleh sinetron remaja pada audiensnya? Karena nilai dalam pandangan Althusser
merupakan sebuah kekuasaan, nilai menyimpan kepentingan dari kelas dominan
di masyarakat. Lebih jauh, dengan kondisi sinetron remaja yang tidak
berkualitas, dangkal, serta berorientasi pada kepentingan materi, maka nilai
yang disampaikan akan berorientasi pada kepentingan para pemilik modal
sebagai kelas dominan dalam struktur sosial masyarakat. Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana mekanisme kelas dominan dalam menjadikan nilai-nilai
yang disampaikan sinetron remaja berpihak pada kepentingan mereka?

Nilai dalam Sinetron Remaja Sebagai Ideologi


Untuk menjawab pertaanyaan di atas, pembahasan akan bermula dari pemikiran
Althusser mengenai ideologi. Dalam konsepsinya mengenai ideologi, Althusser
menyebutkan bahwa ideologi merupakan sebuah praktik, sebuah mekanisme
yang berjalan di wilayah deep structure masyakat dan secara tidak sadar
mengkonstruksi perilaku, sikap serta pandangan masyarakat, sehingga ideologi
dalam konsepsi Althusser sangat berbeda dengan ideologi yang dipahami oleh
masyarakat saat ini. Lantas, ideologi bukanlah sesuatu yang terlepas dari
kekuasaan, tetapi merupakan kekuasaan yang bersemayam di dalam struktur,
sehingga ideologi menjadi mekanisme dalam struktur yang tak disadari telah
mengkonstruksi pandangan dan pola pikir masyarakat agar sesuai dengan
kepentingan kelas dominan. Eriyanto (2009: 99) menyebutkan: “Manusia
sebagai subjek bagi struktur dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan
ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan untuk dan
identik dengan kepentingan kelompok penciptanya.”

Pemikiran Alhusser banyak dipengaruuhi oleh gerakan strukturalisme 1960 di


Perancis. Strukturalisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang muncul
sebagai reaksi dan kritik terhadap perkembangan Marxisme—Leninisme, serta
humanisme—Sartre kala itu. Strukturalisme memiliki pandangan bahwa dalam
setiap aspek kehidupan, pikiran dan tindakan kita sebenarnya diatur oleh
struktur dalam (deep structure) yang biasanya tidak kita sadari. Struktur-
struktur dalam yang tidak kita sadari itu dapat digunakan untuk mempelajari
aspek-aspek kehidupan manusia. Strukturalisme menjelaskan dari segi
eksistensi dan interaksi struktur yang mendasarinya, yakni sebagai ganti dari
agensi, cara berfikir dan memutuskan manusia. Paham strukturalisme
memandang makna suatu unsur/elemen, tidak ditentukan oleh substansinya
tetapi oleh relasi dengan beberapa unsur dalam struktur, sehingga strukturalisme

90
lebih mengutamakan struktur dari pada subyek (Lihat: MacDonnel, 2005; 1-7;
Sarup, 2007: xvii-xxiii).

Layaknya Karl Marx, Althusser membagi masyarakat kedalam dua kelas, yakni
kelas dominan dan kelas yang didominasi. Kelas dominan adalah mereka yang
memiliki alat produksi, seperti produser, pemegang saham stasiun TV, dan
sebagainya. Sementara kelas yang didominasi adalah mereka yang tidak
memiliki alat produksi, sehingga harus menjual tenaganya demi mendapatkan
imbalan. Relasi yang terjadi pada kedua kelas tersebut merupakan relasi
antagonistik, saling bersitegang, saling berebut kekuasaan, dari relasi yang
antagonistik tersebut lahirlah ideologi. Pada titik ini, karakteristik dari
strukturalisme sangat kental terlihat, karena keberadaan sesuatu dipandang
sebagai akibat dari adanya hal yang berlawanan—oposisi. Jadi, tanpa adanya
dua hal yang bertentangan, ideologi tidak akan pernah lahir.

Terdapat tiga landasan pokok ideologi menurut Althusser (2006: 39, 42-44 dan
47-48). Pertama, ideologi merupakan representasi hubungan imajiner
antarindividu dalam berbagai kondisi eksistensi riilnya. Dalam hal ini, sinetron
remaja merepresentasikan relitas imajiner karena telah menjadikan remaja
kehilangan sejarahnya, seolah yang disebut sebagai remaja saat ini adalah
sebagaimana direpresentasikan dalam sinetron remaja, sehingga wajar diikuti
semua hal yang direpresentasikannya.

Kedua, ideologi merupakan sebuah kekuatan material di dalam masyarakat.


Kekuatan material ideologi tidaklah berbentuk konkret layaknya benda-benda di
sekitar kita, tetapi ideologi memiliki kekuatan untuk membuat individu di dalam
masyarakat patuh secara suka rela mengikuti mekanisme ideologi yang tak kasat
mata, kepatuhan tersebut pada akhirnya akan termanifestasikan dalam bentuk
atau wujud nyata yang kasat mata. Dalam konteks sinetron remaja, kekuatan
material dari mekanisme ideologi sinetron remaja tidak pernah terlihat
wujudnya oleh kita semua, tetapi kepatuhan secara suka rela akan terlihat secara
nyata, misal, remaja mengadopsi cara berbicara dari sinetron remaja atau remaja
mengikuti cara berpakaian sebagaimana direpresentasikan oleh sinetron remaja.
Jadi, dampak dari mekanisme ideologi yang akan mewujud secara kasat mata,
sementara kekuatan material ideologi tak kasat mata.

Ketiga, ideologi meminta individu menjadi subjek di dalam ideologi-ideologi


tertentu. Dalam proses meminta individu menjadi subjek atau dalam bahasa
Althusser menginterpelasi subjek, ideologi melakukan subjeksi pada individu-
individu. Subjeksi merupakan sebuah keadaan dimana individu akan berpikir
mengenai keberadaanya dengan proses membandingkan pada keberadaan orang
lain. Identitas merupakan akhir dari subjeksi, dimana seorang individu akan
mendefinisikan identitasnya melalui perbandingan dengan identitas lain yang

91
sedang menginterpelasinya. Dalam kegiatan remaja mengkonsumsi sinetron
remaja, hal tersebut merupakan sebuah subjeksi, melalui mekanisme pemberian
identitas, dimana remaja yang sedang menonton sinetron akan selalu
mendefinisikan identitasnya dengan melakukan perbandingan terhadap identitas
yang terdapat di dalam sinetron tersebut, maka secara tidak sadar, remaja yang
sedang menonton tersebut diinterpelasi oleh ideologi untuk menjadi subjek
secara suka rela.

Proses negosiasi yang terjadi ketika seorang remaja menonton sinetron,


merupakan sebuah medan bagi dua identitas saling bertemu dan berkontradiksi,
saling memberikan penafsiran, di titik inilah ideologi meminta individu menjadi
subjek. Dari ketiga landasan pokok yang tersebut, maka seluruh individu dalam
masyarakat tidak akan mampu mengelak dari ideologi. Diane MacDonell (2005:
39) menjelaskan: “Kita tidak dapat keluar dari ideologi. Kesadaran kita
dikonstruksi dalam bentuk subjek imajiner... dalam praktik sehari-harinya, kita
menjadi individu tertentu yang bertindak di dalam keyakinan yang memberikan
kita untuk berpikir.” Althusser (2006: 45) menyatakan formula Pascal dimana,
‘berlutut, gerakan bibirmu di dalam doa dan Anda akan percaya...”

Masyarakat secara umum dan khususnya remaja, akan selalu hidup di dalam
realitas imajiner selama sistem sosial masih dikuasai oleh kelas dominan,
karena dengan terus terjaganya sistem sosial saat ini melalui reproduksi, maka
struktur akan terus mengkonstruksi pikiran hingga sikap masyarakat. Ideologi
dalam hal ini, terus melakukan reproduksi atas sistem sosial yang mapan,
dengan tujuan “unified around the essential interest of the dominant class...”
(Matheron and Corpet, ed., 2006: 286). Dengan fungsi ideologi sebagai ‘wadah’
yang menyatukan kepentingan mendasar dari kelas dominan dalam masyarakat,
maka sinetron remaja yang saat ini menjadi salah satu media dari ideologi untuk
melakukan mekanisme dominasinya, akan terus merepresentasikan nilai dari
kelas dominan untuk menciptakan realitas yang imajiner.

Sebagai contoh, dalam sinetron remaja, perempuan kerap direpresentasikan


sebagai makhluk yang gemar menangis dan tergantung pada laki-laki.
Sementara laki-laki direpresentasikan sebagai mahluk kuat yang mandiri dan
tidak gemar menangis. Sungguh lumrah ketika seorang perempuan dalam
sinetron remaja menyerah saat menghadapi mobil mogok dan perempuan
tersebut menunggu pertolongan dari seorang laki-laki atau saat seorang
perempuan berlari menangis karena memergoki pacarnya selingkuh dengan
perempuan lain. Sebaliknya, hal tersebut tidak akan menjadi lumrah ketika laki-
laki dalam sinetron remaja menyerah ketika menghadapi mobil yang mogok,
ataupun ketika seseorang laki-laki menangis saat memergoki pacarnya
berselingkuh dengan laki-laki lain.

92
Bayangkan saja, bagaimana ketika kita menonton sebuah sinetron remaja yang
menceritakan seorang laki-laki mendapatkan bantuan dari seorang perempuan
untuk memperbaiki mobilnya yang sedang mogok? Atau seorang laki-laki
menangis karena diselingkuhi, hingga ia mengunci diri di kamar dan seharian
menangisi hal tersebut? Mungkin kita akan merasa janggal dan tidak terbiasa
melihat hal-hal tersebut. Inilah bukti berjalannya mekanisme ideologi yang
menciptakan relasi imajiner berupa kelumrahan-kelumrahan atau nilai
“kewajaran” dalam memandang relasi laki-laki dan perempuan dalam dunia
sosial remaja, hingga seolah-olah relasi perempuan dan laki-laki sebagaimana
yang dicontohkan tadi merupakan sebuah kewajaran, dan remaja sebagai
audiens patut untuk melakukannya.

Relasi imajiner sebagai hasil dari mekanisme ideologi memang menjadikan


sesuatu terlepas dari konteks sejarahnya, seolah-olah relasi perempuan dan laki-
laki seperti apa yang direpresentasikan oleh sinteron remaja hari ini, tidak lebih,
padahal relasi perempuan dan laki-laki yang direpresentasikan oleh sinetron
remaja memiliki sejarah, memiliki sebab, tidak serta merta relasi tersebut
muncul dan mapan di tengah masyarakat. Maka, dengan terlepasnya konteks
kesejarahan, sesuatu akan menjadi sebuah kewajaran, atau masyarakat kerap
menyebutnya: lumrah. Pada akhirnya kelumrahan tersebut akan melanggengkan
kekuasaan kelas dominan, karena sistem sosial patriarkis merupakan sistem
sosial yang selalu direproduksi, dijaga keberadaannya oleh kelas dominan demi
keuntungannya.

Contoh lain adalah representasi gaya hidup kekinian remaja, yang sering
direpresentasikan melalui cara berpakaian, cara berinteraksi, cara bergaul,
hingga cara menyelasaikan masalah. Perempuan dengan hot pants, berambut
lurus, langsing, blackberry, gemar berbelanja, dan sebagainya. Laki-laki dengan
pakaian bergaya casual atau sporty, turun naik mobil, cool, rambut tersisir
dengan rapi, dan sebagainya, merupakan kelumrahan atau kewajaran bagi
remaja yang patut untuk ditiru. Mekanisme ideologi yang akhirnya menciptakan
relasi imajiner pun terjadi. Seolah-olah gaya hidup seperti itulah yang menjadi
kewajaran di kalangan remaja: remaja masa kini adalah remaja yang memiliki
kriteria sebagaimana disebutkan di atas. Pada titik ini, sejarah menguap, remaja
menjadi kehilangan masa lalunya, sehingga remaja tanpa sejarah adalah remaja
masa kini, berikut segala kriterianya.

Representasi gaya hidup remaja dan relasi perempuan dan laki-laki, keduanya
merupakan nilai yang disampaikan melalui sinetron remaja. Nilai-nilai tersebut
bersemayam di dalam struktur dan lambat laun mengkonstruksi pandangan dan
sikap remaja, hingga remaja berkubang dalam realitas imajiner, terasing dari
sejarahnya dan menganggap wajar nilai-nilai tersebut. Setelah kewajaran
muncul, remaja akan melayani kepentingan kelas dominan dan

93
mempertahankan kekuasaannya yang telah mapan. Dengan berlangsungnya
proses tersebut, ideologi telah menjalankan praktiknya dalam struktur, menjadi
mekanisme bagi status quo.

Pandangan, sikap, cara berpakaian, hingga gaya hidup sehari-hari yang telah
dikonstruksi oleh ideologi merupakan sebuah identitas bagi individu.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, individu memiliki identitas yang
berbeda dengan individu lain, atau dalam terminologi Althusser adalah subjek-
subjek ideologi yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam konstruksi identitas,
seseorang akan melewati fase bernama identifikasi, yang merupakan sebuah
proses pembentukan identitas melalui perbandingan dengan identitas lain,
maupun penerimaan dari identitas lain.

Remaja dan Identifikasi


Identitas adalah perbedaan cara kita memandang diri sendiri (Widiastuti, 2005:
13) atau dalam bahasa Amin Maalouf (2004: 10) identitas saya adalah apa yang
mencegah saya jadi identik dengan orang lain. Identitas memang berfungsi
untuk membedakan satu individu dengan individu lain berdasarkan keunikan
masing-masing. Melalui perbedaan cara pandang terhadap diri sendiri maupun
cara pandang terhadap orang lain, seorang individu akan melakukan penafsiran
hingga terjadi peniruan, penolakan maupun penggabungan identitas, karena
identitas bukanlah hal yang tetap dan kekal, melainkan selalu berubah seiring
bertumbuhnya usia dan berubahnya lingkungan sekitar. Struktur akan selalu
mengkonstruksi identitas tiap individu dan hal ini berlaku pula dalam proses
penerimaan identitas dari nilai-nilai yang direpresentasikan oleh sinetron
remaja.

Amin Maalouf (2004: 23) menambahkan, identitas tidaklah terberi sekali untuk
selamanya: ia dibangun. Sebagai sebuah bangunan, identitas mampu
dihancurkan atau dikuatkan, hal yang sama juga berlaku dalam konteks remaja,
dimana identitas remaja merupakan sebuah bangunan yang mampu hancur dan
dibentuk. Proses pembangunan identitas tersebut berjalan melalui proses yang
disebut sebagai identifikasi. Identifikasi merupakan proses seorang individu
ketika melakukan pendefinisian identitas dengan cara membandingkan dengan
identitas lainnya. Dalam proses pendefinisian tersebut, seseorang akan
melakukan proses peniruan, penolakan dan penggabungan identitas, hingga
seseorang puas akan identitasnya. Dalam kegiatan seorang remaja menonton
sinetron remaja, representasi nilai-nilai akan ditangkap dan diinternalisasi oleh
si remaja, lantas, proses identifikasi berjalan, yakni si remaja akan
membandingkan identitasnya hari ini dengan identitas yang direpresentasikan di
dalam sinetron remaja. Proses tersebut terus berjalan, dan tanpa disadari secara
perlahan, identitasnya akan bergeser menuju identitas sebagaimana yang telah
direpresentasikan oleh sinetron remaja.

94
Secara psikologis, remaja merupakan fase dimana identitas diri sedang
mengalami pencarian bentuknya. Proses pencarian tersebut berlangsung hingga
fase remaja telah terlewati. Institusi sekolah, keluarga, media massa, lingkungan
bermain, hingga kebijakan pemerintah turut andil memengaruhi pembentukan
identitas remaja. Kecenderungan untuk meninggalkan ikatan emosional dengan
orang tua sangat kuat. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua akan
ditinggalkan dan mulai membuka diri untuk menerima nilai-nilai baru, sebagai
referensi baru dan pembanding identitas. Pembentukan identitas pada fase
remaja akan menentukan kehidupan dalam fase berikutnya. Sehingga wajar jika
remaja merupakan fase yang labil sekaligus rentan dalam pembentukan
identitas. Dalam hal ini Singgih D. Gunarsa (2008, 210) menambahkan, remaja
pada fase ini sedang merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orang
tuanya. Mereka sedang membongkar landasan hidup yang sudah diletakkan
orang tuanya sepanjang masa anak... pada masa ini remaja harus menemukan
identitas diri.

Identitas diri bagi remaja merupakan kebutuhan yang tak terbendung. Fase
pencarian dan krisis bagi remaja pada akhirnya membuat remaja membutuhkan
banyak referensi identitas untuk melakukan identifikasi dan memapankan
identitasnya yang khas. Sinetron remaja menjadi salah satu pilihan bagi remaja
dalam proses identifikasi, karena menyediakan referensi identitas. Pada titik
inilah peliknya permasalahan, dimana sinetron remaja justru tidak mampu
menyediakan referensi identitas yang luas, beragam dan demokratis bagi
remaja, identitas yang direpresentasikan merupakan identitas yang didalamnya
telah bersemayam mekanisme ideologis yang penuh kepentingan kelas
dominan. Dengan situasi ini, remaja menjadi miskin referensi, remaja mengidap
krisis identitas. Singgih D. Gunarsa (2008, 211) menambahkan, remaja melihat
tokoh yang dikagumi, ingin menjadi sama dengan tokoh tersebut. Sejuh mana
persamaan bisa dicapai, tergantung dari kemampuan dan kesempatan baginya.
Masalah yang sering timbul dalam menunaikan tugas perkembangan ini,
terletak pada ‘langkanya’ tokoh identifikasi.

Sinetron remaja memang belum mampu menyediakan ‘tokoh’ identifikasi yang


beragam bagi remaja. Tokoh identifikasi yang sering kita lihat di layar kaca
selalu seragam, dengan gaya hidup yang tidak jauh berbeda. Tengok saja, Film
Televisi atau FTV yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta
dengan segmen remaja, tokoh-tokoh identifikasi di dalamnya adalah mereka
yang bergaya hidup mapan, keluar-masuk kendaraan pribadi, selalu ikut arus
teknologi, makan di restoran, shopping di mall, pacaran, nongkrong di kafe,
setting di Bali, Yogyakarta, Bandung, Jakarta—semuanya adalah kota-kota
besar. Identitas tersebut seolah menjadi kewajaran, hal yang patut untuk
dijadikan identitas bagi remaja saat ini.

95
Identitas yang saling berinteraksi dan berkontradiksi dalam kegiatan seseorang
menonton sinetron remaja bukanlah sebuah interaksi yang setara, melainkan
terdapat identitas yang superior. Identitas superior adalah identitas yang
direpresentasikan dalam sinetron remaja, karena dengan kondisi psikologis
remaja yang rentan dan labil, menyebabkan tidak adanya sebuah mekanisme
untuk mempertahankan diri secara kuat dalam menolak dominasi identitas
sinetron remaja. Sementara itu, di lain pihak, identitas di dalam sinetron remaja
memiliki kekuatan besar untuk mengajak audiensnya secara tidak sadar
menerima identitas yang telah menjadi kewajaran. Ketidaksetaraan inilah yang
menyebabkan banyaknya remaja pada akhirnya mengadopsi identitas
sebagaimana direpresentasikan sinetron remaja. Lebih lanjut, Sunardian
Wirodono (140) menyebutkan: “Anak-anak, remaja dan kaum ibu, ketiganya
memiliki hubungan yang rentan dan sensitif terhadap televisi. Apalagi jika hal
tersebut dikaitkan dengan daya perlawanan, ketiga kelompok ini relatif lebih
rendah. Bukan berarti bahwa kelompok umur di luar itu tidak terpengaruh.
Namun dalam konteks struktur masyarakat mayoritas Indonesia, penetrasi
media televisi pada kelompok umur ini tidak sekeras untuk ketiganya.”

Sinetron Remaja: Representasi Kepentingan Kelas Dominan


Sempitnya ruang identifikasi di dalam sinetron remaja pada akhirnya membuat
sebuah keseragaman identitas yang secara kasat mata terlihat beragam, unik dan
demokratis, tetapi secara substansi memiliki satu kesamaan prinsip: mendukung
kepentingan kelas dominan. Itulah mengapa saat ini, sinetron remaja dinilai
memiliki ruang sempit indentifikasi dan keseragaman identitas karena memiliki
satu kesamaan prinsip. Dengan kepentingan kelas dominan, identitas remaja
secara tidak sadar diarahkan pada konsumerisme serta liberalisasi gaya hidup:
kemewahan, kebahagiaan material, kebanggaan atas hal-hal artifisial. Remaja
menjadi sempit layaknya lembaran uang, menjadi obsesif pada hal-hal material.

Dengan sistem sosial yang cenderung kapitalistik saat ini, maka orientasi kelas
dominan adalah untuk semakin mengukuhkannya. Menjadikan remaja sebagai
makhluk konsumtif merupakan salah satu jalan untuk mengukuhkan sistem
sosial yang telah mapan di Indonesia. Marcel Danesi, seorang pakar komunikasi
dari University of Toronto memiliki keresahan yang tidak jauh berbeda pada
praktek televisi hari ini, yang produk-produknya kerap merepresentasikan
kepentingan kelas dominan di dalam masyarakat. Ia menulis: “Pada
kenyataannya, teks televisi nyaris tidak bersifat inovatif atau memberikan
ilham. Televisi hanya membuat acara-acara yang memperkuat kecenderungan
gaya hidup yang sudah mapan” (Danesi, 2010: 165). Sinetron remaja sebagai
salah satu teks televisi memiliki kecenderungan untuk memapankan gaya hidup
kelas dominan di dalam sistem sosial saat ini.

96
Lebih lanjut, kelas dominan juga menerapkan mekanisme kontrol dalam proses
identifikasi, sehingga remaja akan sulit mengelak dan melawan arus, karena
kontrol yang diciptakan berupa nilai-nilai yang wajar atau dengan kata lain,
nilai yang “baik”. Dalam terminologi Pecheux, seorang pemikir yang
meneruskan tradisi Althusser: identifikasi adalah model ‘subjek yang baik’, bagi
yang perhatian pada citra yang diberikan pada mereka (Macdonnel, … 40).
Pada titik ini, dengan berlandaskan argumen Pecheux, kelas dominan telah
membuat kontrol degan mengatasnamakan nilai yang ‘baik’, atau sering
disebut, wajar, lumrah. Secara struktural, dengan adanya nilai ‘baik’, maka akan
beroposisi dengan nilai ‘buruk’, yakni segala sesuatu yang tak wajar dan tak
lumrah. Oposisi biner antara nilai ‘baik’ dan nilai ‘buruk’, akan memaksa
remaja mengejar nilai ‘baik’ agar identitasnya sesuai dengan kewajaran.

Nilai ‘baik’ merupakan kepentingan kelas dominan untuk melakukan kontrol


dan melakukan penghakiman secara tidak langsung pada nilai ‘buruk’. Sebagai
contoh, dalam sinetron remaja kerap direpresentasikan remaja yang ‘baik’
adalah remaja yang sukses secara material, bekerja di sebuah perusahaan
swasta, berikut segala pernak-pernik kehidupannya yang kekinian. Di luar itu
merupakan sebuah nilai ‘buruk’, identitas yang tidak kekinian. Remaja secara
tidak sadar dikonstruksi pola pikirnya hingga mengikuti standar nilai ‘baik’,
agar identitasnya di tengah masyarakat diakui. Konstruksi pikiran merupakan
hasil dari mekanisme ideologi sebagaimana telah diuraikan di awal. Nilai-nilai
‘baik’ terus direproduksi hingga saat ini, dan struktur masyarakat
menjadikannya sebagai ‘hidup remaja yang wajar’. Bayangkan ketika seorang
remaja bercita-cita menjadi pekerja kasar, buruh tani atau kuli harian, maka
struktur sosial akan memberikan penghakiman sebagai nilai ‘buruk’ dan bukan
identitas remaja keknian yang layak atau wajar untuk ditiru, karena memang
sinetron remaja tidak pernah memberikan representasi identitas remaja yang
kekinian sebagai petani, buruh, atau pekerja kasar. Itulah contoh dari oposisi
antara nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ dalam wilayah identitas profesi bagi remaja.

Mekanisme ideologi dalam struktur masyarakat yang mewujud dalam nilai


‘baik’ memang menjebak remaja pada lingkaran yang sulit ditemukan celah
untuk mengelak atau melawan arus, karena ketika seseorang akan melawan
arus, berarti harus berhadapan dengan masyarakat, berikut ‘norma’ dan ‘batas
kewajarannya’. Struktur pada akhrirnya menjepit, menghakimi dan memaksa
secara halus remaja yang sedang berada dalam fase pencarian identitas. Dalam
konteks ini, Althusser mencatat: ”The individual/subject demands that he be
recognized as an individuality and a unity, as ‘a someone’. But ‘the one’ (the
subject) must be recognized by the other. It seems that one has a psychosocial
need to identify with ‘the other’ in order to recognize one self as existing.”
(Matheron and Corpet,ed., 2006: 284).

97
Dalam pandangan Althusser, kontrol yang dilakukan oleh kelas dominan akan
berjalan di alam bawah sadar remaja, karena setiap remaja membutuhkan
identitas dan identitas tidak akan ada tanpa identitas pembanding maupun tanpa
pengakuan dari remaja-remaja lain. Dengan kebutuhan akan pengakuan secara
sosial maka kontrol pasti akan berjalan, karena kontrol lahir dari penilaian satu
identitas terhadap identitas lain. Lebih jauh, kontrol mampu mewujud dalam
beragam bentuk; rasa malu, minder, dijauhi, dimusuhi, dan sebagainya. Remaja
pada akhirnya akan takluk dihadapan kontrol yang berjalan dalam struktur
sosial, karena diteror oleh rasa malu atau minder jika tidak memiliki identitas
sesuai dengan nilai ‘baik’.

Sinetron remaja memang memberikan ruang sempit bagi para remaja untuk
melakukan identifikasi sebagai proses pembentukan identitasnya, tidak ada
keberagaman identitas dalam sinetron remaja, semua menjadi seragam, menjadi
pendukung struktur sosial yang menguntungkan kelas dominan saat ini. Tak
hanya itu, reproduksi sebuah identitas yang dilakukan oleh sinetron remaja pada
akhirya menciptakaan nilai “baik” dan menjadi kontrol, agar remaja patuh,
seragam, tidak melawan arus.

Masa Depan Sinetron Remaja


Sudah saatnya sinetron remaja melakukan perubahan dan menjalankan
fungsinya sebagai media pembelajaran remaja sekaligus menjadi media
identifikasi yang luas, beragam dan demokratis, karena dengan kondisi seperti
saat ini, remaja akan terus menjadi korban, terus kerdil dan seragam. Remaja
seharusnya memiliki banyak referensi identitas agar mampu berkembang dan
menjadi identitas yang dinamis serta kritis. Dalam sistem sosial Indonesia,
remaja menempati posisi startegis karena perannya sebagai penerus tongkat
kepemimpinan negeri ini, maka jika keadaan seperti ini terus dibiarkan, remaja
hanya akan terjebak menjadi agen-agen kelas dominan untuk terus melakukan
reproduksi kemapanan.

Production house, stasiun televisi dan produser sinetron remaja seharusnya


menjadikan moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi materi, karena jika
hanya materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akan selalu seperti ini, tragis.
Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang, menjadi tanggung jawab.
Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan sinetron remaja mampu
berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi identitas, dan terdapat
keberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya. Memang tidak sedikit waktu
yang dibutuhkan untuk berbenah diri, tetapi jika tidak dimulai dengan langkah
kecil saat ini, maka keadaan tidak akan sedikitpun berubah, remaja akan selalu
mengidap krisis identitas, akan menjadi individu yang tidak pernah kenyang
mengkonsumsi. ***

98
Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2006. Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,


Cultural Studies. Jalasutra, Yogyakarta.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra,
Yogyakarta.
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengatar Analisis Teks Media. LKIS,
Yogyakarta.
Gunarsa, Singgih D.. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK
Gunung Mulia, Jakarta.
Harian Suara Merdeka, edisi 20 Juni 2008.
Maalouf, Amin. 2004. In The Name Of Identity. Resist Book, Yogyakarta.
MacDonnel, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus. Penerbut Teraju, Jakarta.
Matheron, Francois and Oliver Corpet (ed.). 2006. Philosophy of the Encounter
Later Writing 1978-1987 Louis Althusser. Verso, New York.
Panjaitan, Erica L. dan TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalisme dan Posmodernisme; Sebuah
Pengantar Kritis. Penerbit Jendela, Yogyakarta.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Peerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Widiastuti, Tuti. Menggagas Komunikasi Antra Budaya Dalam Keragaman.
Jurnal Komunika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Vol.8 No.2, 2005.
Wirodono, Sunardian. 2005. Matikan TV-Mu. Resist Book, Yogyakarta.

99
Kemana Acara Televisi untuk Anak?

Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari, mahasiswa Ilmu


Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan medium


yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian
masyarakat. Hal ini disebabkan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang
menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil. Sajian dalam bahasa
audiovisual lebih mudah diingat daripada apa yang ditulis dan dibaca.
Penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan
sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu, dan hiburan (Wibowo,
1997). Televisi merupakan media multidimensi karena televisi dibangun dari
adanya konsolidasi kepemilikan, perpaduan teknologi, dari visual dan audio,
serta programnya merupakan penysusunan bersama (King dan Russel, 2009:
323).

Televisi memercikkan rasa ingin tahu pada anak-anak dan membuka mata
mereka terhadap dunia-dunia yang jauh. Dengan melihat tayangan di televisi,
anak-anak dapat berimajinasi tentang apa yang mereka lihat seperti istana,
pangeran berkuda, bahkan sampai superhero yang menyelamatkan dunia dengan
tenaga supernya, yang tangannya mengelurkan api dan mempunyai kekuatan
ajaib untuk menumpas musuh. Dengan menonton secara selektif, televisi bisa
memberikan sumbangan besar bagi kesiapan untuk sekolah.

Tidak mengherankan televisi memiliki daya tarik yang luar biasa apabila sajian
program dapat menyesuaikan dengan karakter televisi dan manusia yang
terpengaruh oleh televisi (Wibowo, 1997). Apalagi bagi anak-anak, televisi
sangat mereka gemari. Setiap ada waktu, anak-anak menghabiskan waktu untuk
menonton televisi, apalagi progran acara yang sangat mereka senangi, mereka
akan menyempatkan diri untuk menontonnya, terkadang sampai menunda jam
belajar karena hanya ingin menonton acara kesukaan dan tokoh idolanya. Daya
tarik yang kuat dari televisi ini dikarenakan televisi merupakan gabungan dari
gambar, warna, suara, dan gerak, sehingga mampu menyihir penggunanya.
Televisi siap sedia selama 24 jam, sehingga orang-orang tidak perlu khawatir
ketika mereka belum bisa tidur di tengah malam (King dan Russel, 2009: 327).

Pentingnya Peran Orang Tua


Anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat. Anak-anak senang
sekali menonton televisi, bahkan untuk belajar pun ditunda hanya untuk
menonton acara kegemarannya. Tak banyak hal lain dalam kebudayaan kita
yang mampu menandingi kemampuan televisi yang luar biasa menyentuh anak-
anak dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka. Selama anak-anak

100
menonton televisi pasti ada tokoh yang mereka idolakan dan itu menjadi salah
satu ‘patokan’ dalam berperilaku seperti gaya bicara dan penampilan. Lebih dari
25 tahun, hampir tiap orang dalam bisnis televisi komersial masih saja
memikirkan cara mengeruk keuntungan dari anak-anak (Chen, 1996).

Televisi bisa membantu anak-anak mendapatkan pengetahuan atau wawasan


yang luas, karena di sekolah tidak cukup untuk mendapatkan pengetahuan. Jam
belajar di sekolah terbatas. Pengetahuan bisa didapat dari bimbingan belajar.
Namun, anak-anak tidak terlalu tertarik mengikuti bimbingan belajar. Mereka
lebih memilih bermain atau menonton televisi.

Televisi bisa membantu anak-anak memahami hak-hak dan kewajiban, tetapi


televisi tidak akan berhasil melayani anak-anak tanpa keterlibatan orang tua.
Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting untuk mendampingi anak-anak
saat menonton. Banyak program televisi yang ditayangkan untuk anak-anak,
tetapi tidak semua program televisi pantas ditonton dan terdapat pengetahuan
yang seharusnya ditujukan pada anak-anak. Daya tangkap anak-anak begitu
cepat dan anak-anak mudah untuk mengingat apa yang mereka lihat dan mereka
akan menirukannya. Menonton televisi adalah kegiatan khusus. Program-
program harus diseleksi. Setiap kegiatan menonton televisi harus ada akhirnya.
Maksudnya adalah setiap anak-anak setelah menonton televisi, mereka
mendapatkan pengetahuan yang mereka pantas terima dan terdapat pesan moral
(Chen, 1996).

Program Televisi untuk Anak-anak Masa Lalu


Dahulu orang yang memiliki televisi masih jarang. Satu-satunya stasiun televisi
adalah TVRI. TVRI sangat terkenal dan banyak menayangkan acara yang
berbau anak-anak, seperti lagu anak-anak, lagu daerah, kuis untuk anak-anak.
Saat itu sinetron sangat jarang bahkan tidak ada. Dahulu anak-anak tidak
mengerti tentang pergaulan yang sangat luas seperti sekarang. Tayangannya
banyak dikhususkan pada anak-anak agar mereka mendapat bekal yang cukup
dan memiliki pengetahuan luas.

Ada pilihan program yang cukup memadai, yang bisa digunakan orang tua
untuk menunjang kegiatan belajar anak melalui saluran televisi terbuka maupun
televisi kabel. Salah satu hambatan utama orang tua adalah usaha memperoleh
informasi mengenai bahan-bahan apa saja yang tersedia, kapan bahan-bahan itu
tersedia, dan bahan-bahan apa yang terkait dengan anak, sehingga anak-anak
mendapatkan ilmu yang luas, karena televisi adalah salah satu media yang
mendukung anak untuk mendapatkan pengetahuan yang layak.

Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap dampak


negatif siaran televisi. Pada 2002, jumlah jam menonton TV pada anak di

101
Indonesia sekitar 30-35 jam/minggu atau 1.560-1.820 jam/tahun. Angka ini jauh
lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai 1.000
jam/tahun. Tidak semua acara TV aman untuk anak. Bahkan, KIDIA mencatat,
pada 2004 acara untuk anak yang aman hanya 15 persen. Oleh karena itu harus
betul-betul diseleksi. Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan
sekolah dasar perminggu sekitar 80 judul ditayangkan dalam 300 kali
penayangan selama 170 jam. Padahal dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168
jam! Jadi, selain sudah sangat berlebihan, acara untuk anak juga banyak yang
tidak aman.

Acara TV bisa dikelompokkan dalam tiga kategori: aman, hati-hati, dan tidak
aman untuk anak. Acara yang aman adalah acara yang tidak banyak
mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman karena
kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak boleh
menonton tanpa didampingi. Acara yang hati-hati adalah acara yang isinya
mengandung kekerasan, seks dan mistis, namun tidak berlebihan. Tema cerita
dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus
didampingi ketika menonton. Acara yang tidak aman adalah acara yang isinya
banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan
terbuka. Daya tarik yang utama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya
anak-anak tidak menonton acara ini, jika anak mau nenonton televisi setidaknya
didampingi orang tua (www.suaramedia.com, 6/5/2010).

Beberapa acara yang ditayangkan di TVRI dikhususkan pada tayangan untuk


anak-anak, antara lain: Voyage from the Bottom of the Sea (film monster), Time
Tunnel (lorong waktu), Land of the Giant (terdampar di planet raksasa), Little
House on the Prairi (Laura Ingals, Mary dan anjing gondrongnya), Highway to
Heaven, Battle Star Galactica (film ruang angkasa yang popular pada
jamannya), Bring 'Em Back Alive (mirip Indiana Jones), Rintintin (untuk anak
TK/SD) (9), The Iron Horse (Film cowboy tentang kereta api).

Selain itu, ada program tentang budaya, seperti Taman Bhineka Tunggal Ika dan
program pendidikan seperti Cerdas Cermat (pengetahuan untuk anak-anak dan
ini terkait dengan pelajaran di sekolah) dan Hasta Karya Elektronika. Jadi ada
beberapa program TVRI yang lebih diarahkan untuk anak-anak, membantu
anak-anak untuk mendapatkan apa yang ingin mereka tahu dan penambah
pengetahuan mereka. Jaman dahulu, TVRI adalah stasiun televisi banyak
menyajikan acara untuk anak-anak. Beberapa acara kebanggaan lainnya yang
ditayangkan di TVRI, seperti Aneka Ria Safari, Film Boneka Si Unyil, Film
Cerita Akhir Pekan, Selekta Pop, dan Ria Jenaka. Acara-acara tersebut
merupakan acara kesayangan yang selalu di tunggu-tunggu jaman TVRI dulu.

Kehebatan Televisi

102
Televisi adalah media yang paling lengkap bagi kebutuhan masyarakat. Televisi
menyajikan audio, visual, bahkan televisi dapat menjangkau jarak yang jauh.
Media massa, khususnya televisi, telah membawa manusia memasuki era
globalisasi. Tidak ada lagi batasan-batasan atau sekat di antara manusia di
seluruh dunia. Meskipun peran televisi hampir tergantikan oleh internet, namun
pamornya tidak pernah turun. Kepemilikan televisi semakin luas. Orang-orang
golongan rendah pun sekarang memiliki televisi. Apabila tidak ada televisi,
orang merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Televisi seakan sudah menjadi
kebutuhan pokok selain sandang dan papan.

Pengaruh televisi sangat besar diterima oleh anak-anak. Faktor yang


mempengaruhi, salah satunya, adalah pola pikir anak yang sederhana dan labil.
Televisi memberi pengaruh pada emosi atau perasaan seseorang. Ketika orang
menonton televisi, emosi mereka akan terlibat. Pembentukan kepribadian
seseorang akan berjalan secara sistematis dan terpola. Dimulai dari lingkungan
terdekat, hingga akhirnya anak siap untuk belajar di luar yang lebih luas. Karena
itu bimbingan orang terdekat, keluarga, terutama orang tua adalah faktor
penentu pembentukan kepribadian seseorang.

Kenyataannya, pembelajaran yang didapat anak bisa diperoleh dari televisi.


Mereka belajar banyak mengenai dunia di luar rumah mereka sendiri dan
mudah didapatnya tanpa harus keluar rumah. Televisi menjadi ‘teman bermain’
anak di rumah. Mereka tahan berlama-lama di depan televisi hanya untuk
menonton acara kesukaannya. Melalui cara itulah, televisi memasuki alam
bawah sadar seseorang untuk setia menontonya. Ini yang harus menjadi
perhatian orang tua. Mereka harus bisa memilah-milah apa tontonan yang tepat
untuk perkembangan anak.

Program televisi saat ini memang beragam. Bahkan kita bingung harus
menonton yang mana ketika beberapa acara menarik ditampilkan pada jam
tayang yang sama. Kita akan betah di depan televisi ketika kita merasa
kebutuhan informasi dan hiburan telah terpenuhi. Masalah yang sedang
dihadapi sekarang adalah bagaimana dampak program televisi terhadap
perkembangan anak. Banyak orang tua mulai khawatir terhadap perkembangan
psikologis dan intelektual anak mereka. Pelajaran sekolah soeralah kalah
dengan televisi.

Program acaranya semakin memprihatinkan banyak pihak. Menurut penelitian


Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), persentase program televisi
yang ditujukan untuk anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7-4,5 persen dari
seluruh acara yang ada. Angka ini sungguh memprihatinkan karena kecukupan
kebutuhan anak akan acara anak yang berkualitas sangat kurang (Anshori,
2006). Penelitian itu juga menemukan jumlah persentase acara anak tersebut

103
memiliki materi acara yang mengkhawatirkan bagi perkembangan anak.
Melihat fakta ini, bagaimana dengan hak asasi manusia untuk anak untuk bisa
mendapatkan pengetahuan yang layak bagi perkembangan mereka? Jumlah
anak Indonesia sangat besar, namun acara yang ditampilkan sangat sedikit.

Kita tahu seperti apa acara televisi saat ini, mulai dari humor, berita, dan
pengetahuan. Banyak orang mengatakan program televisi semakin tidak
berkualitas. Niat ingin menghibur tidak selamanya memberi tontonan yang
layak. Contohnya acara Opera Van Java. Acara ini memiliki rating tinggi
karena dinilai lucu dan banyak yang terhibur dengan lawakan yang diberikan.
Bahkan acara yang meniru konsep ini pun banyak. Namun tidak sedikit orang
mengecam acara ini terutama karena humor yang disertai kekerasan. Meski
menerima kritik banyak pihak, tidak membuat konsep acaranya berubah. Pihak
pembuat acara hanya menambahkan tulisan pada tampilan televisi bahwa
properti yang digunakan tidak berbahaya. Muncul pendapat bahwa unsur
lucunya berada pada aksi wayang yang mengalami kekerasan. Ini hanya salah
satu contoh program televisi yang masih harus ditinjau ulang.

Faktanya, program televisi baik hiburan, berita, atau program lainnya dibuat
sesuai dengan kebutuhan orang dewasa. Para pengelola kurang memperhatikan
kebutuhan anak. Orang dewasa telah memiliki pikiran yang matang. Ketika
mereka disuguhi hiburan yang mengandung kekerasan, mereka bisa menerima
dengan akal sehat. Namun, pikiran orang dewasa berbeda dengan anak. Anak
melihat orang dewasa tertawa dan senang melihat adegan kekerasan jenaka itu,
maka anak pun akan ikut berpikir bahwa itu memang sah dilakukan. Ini yang
berbahaya. Karena itu, bimbingan orang tua sangat dibutuhkan untuk menemani
anak ketika mereka menggunakan fasilitas televisi.

Beberapa contoh dampak kekerasan televisi pada anak-anak adalah kekerasan


terhadap teman-temannya menirukan adegan Smack Down yang diadopsi dari
reality show Amerika. Acara kekerasan ini ditayangkan sebelum masuk jam
malam sehingga anak-anak bisa menonton. Bahkan pakaian bergambar Smack
Down laris terjual di pasaran. Memang, tindakan seperti itu tidak dapat
disalahkan sepenuhnya kepada pengaruh televisi. Anak yang sering melakukan
kekerasan biasanya memiliki tingkat emosi dan agresivitas yang tinggi.

Contoh lainnya, adalah gaya atau penampilan anak-anak hingga remaja masa
kini. Jakarta yang selalu ditampilkan sebagai kota surga Indonesia berhasil
membius anak-anak dari berbagai pelosok mengikuti gaya para artis. Band
musik orang-orang dewasa, seperti Wali Band, Hijau Daun, Kangen Band
menjadi idola baru bagi anak-anak. Padahal isi lirik lagu-lagu mereka tidak
sesuai bagi anak-anak. Hal-hal seperti ini yang harus menjadi perhatian semua
pihak.

104
Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan program televisi yang sesuai usia
mereka. Penentu kualitas berpikir anak Indonesia adalah kita, orang dewasa
yang memproduksi program-program televisi. Sesuaikan kebutuhan mereka dan
beri ruang belajar yang besar untuk mereka. Semuanya membutuhkan informasi
dan pengetahuan, namun alangkah lebih baiknya generasi penerus diberi ruang
luas juga untuk mendapatkannya.

Acara Televisi: Dulu dan Sekarang

Pada masa kejayaan TVRI, tidak sembarang acara dapat tampil di sana.
Pemerintah berwenang memilah program apa yang cocok untuk TV Indonesia.
Alasan inilah yang membuat TVRI memberikan sajian yang cukup baik,
terutama hak anak Indonesia dalam menikmati televisi. Semua tingkat usia
mendapatkan haknya untuk memperoleh informasi dari televisi. Beberapa acara
televisi yang pernah jaya di TVRI antara lain: Album Minggu Ini, Kethoprak,
Flora Fauna, Belajar Menggambar, dan lain-lain.

Bila dibandingkan dengan program televisi sekarang ini, sangat jauh


perbandingannya. Berbagai acara luar negeri diadopsi dan isinya selalu
berbicara tentang uang. Industri televisi hebat dalam mengeruk keuntungan dari
penonton. Sayangnya masyarakat menikmati kapitalisme ini. Membuat reality
show yang mengharuskan penonton mengeluarkan uang. Misalnya, agar
penyanyi idolanya menang, mereka harus memberi suara melalui SMS
dukungan. Bayangkan saja, apabila satu SMS seharga Rp. 2000,00, dan jumlah
masyarakat Indonesia yang mengikuti kuis itu mencapai 800.000 jiwa, sudah
bisa didapatkan 1,6 milyar rupiah dalam semalam.

Sekarang ini hampir semua stasiun televisi di Indonesia menampilkan sinetron,


reality show, infotainment, berita kriminalitas, dan iklan. Bahkan untuk berita
kriminalitas, setiap stasiun televisi punya. Stasiun televisi yang sangat gemar
menampilkan sinetron adalah RCTI, SCTV, dan Indosiar. Sinetronnya pun
tergolong sinetron yang tidak mendidik. Bahkan TPI pun mulai sering
menampilkan sinetron dengan efek-efek visual yang tidak masuk akal.
Pembuatan sinetron yang berlandaskan agama tertentu juga harus hati-hati. Niat
awal untuk memberi ajaran yang baik, namun pengemasannya malah menjadi
tidak masuk akal dan tidak dapat diterima sebagai pendidikan. Bila sudah
seperti ini anak-anak yang menjadi korban.

Anak-anak adalah sasaran empuk untuk dicekoki dengan sinetron dan reality
show. Tidak hanya anak-anak, tetapi remaja juga menjadi konsumen sejati
acara-acara seperti ini. Keahlian menampilkan reality show senatural mungkin
yang membuat orang tertegun dan tidak sadar bahwa ceritanya belum tentu

105
sesuai kisah nyatanya. Bukannya memberi tayangan yang dapat menjadi
informasi pengetahuan, tetapi justru masyarakat Indonesia dibodohi oleh acara-
acara televisi semacam itu.

Salah satu keprihatinan yang dapat dirasakan adalah saat hari kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 2010. Pagi hingga siang, hampir seluruh stasiun televisi
menampilkan prosesi upacara bendera, namun salah satu stasiun swasta
(Indosiar) menayangkan sinetron berjudul Hippo Si Kuda Air Raksasa, sebuah
sinetron dengan efek visual dan jalan cerita yang tidak masuk akal dan kurang
mendidik. Seharusnya anak-anak diajari dan disuguhi tontonan untuk
menumbuhkan rasa nasionalisme, tetapi justru disuguhi oleh sinetron seperti itu.

Industri iklan pun semakin berkembang. Namun iklan di televisi pun banyak
yang menyesatkan, mengumbar mimpi, membuat orang terpukau, dan
menjadkan ornag konsumtif. Ketika televisi swasta belum bermunculan, belum
ada yang menggunakan iklan di televisi. TVRI pun tidak menampilkan iklan.
Namun sekarang jumlah iklan dalam sekali jeda bisa mencapai 30 iklan.
Contohnya, sinetron Cinta Fitri. Jumlah iklan yang tayang ketika jeda mencapai
25 hingga 32 iklan. Angka yang cukup besar, ditambah lagi penayangannya
tidak hanya sekali, tetapi berulang kali.

Sinetron-sinetron menampilkan setting tempat mewah, pemeran yang cantik dan


tampan, pakaian yang bagus, make up yang fotogenik, menggunakan kendaraan
mewah, tempat makan mahal, peran jahat, iri, penentang, kekerasan,
kecurangan, pornografi, dan lain-lain. Bahkan anak-anak memerankan peran
jahat di dalamnya. Tayangan seperti ini yang bisa menumbuhkan sikap
konsumerisme dan agresivitas, terutama pada anak dan remaja. Iklan-iklan
komersil juga menumbuhkan sikap keinginan yang tinggi dalam diri anak untuk
bisa memiliki barang yang diiklankan.

Infotainment yang sekarang sedang dalam pembicaraan pun punya pengaruh


besar. Kehidupan selebritis dibongkar sehingga seluruh Indonesia tahu. Hingga
cerita perselingkuhan selebriti, seperti Krisdayanti dan Raul Lemos yang
kemarin mendapat protes keras dari masyarakat Indonesia karena adegan tak
pantas mereka di depan kamera. Berita seperti ini tidak tepat apabila anak-anak
menonton. Menggambarkan bagaimana kelakuan orang tuanya yang
berselingkuh, bisa membentuk kepribadian anak menjadi takut ataupun was-was
dengan orang tua mereka sendiri.

Reality show semakin hari semakin kaya dengan mengeruk uang pemirsa yang
mengikuti kuisnya, hingga kuis judi seperti Super Deal 2 Milyar yang
menampilkan penghamburan uang untuk orang-orang yang sudah mampu,
sedangkan rakyat miskin hanya bisa melongo dan terpukau dengan uang-uang

106
itu. Pada akhirnya mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang
banyak dengan mudah.

Bagaimana dengan anak-anak yang masih labil dan memiliki kecenderungan


meniru? Anak-anak menganggap apa yang dilakukan orang dewasa adalah
tindakan yang benar. Akibatnya mereka akan mengikuti tindakan, sikap, hingga
bahasa yang digunakan. Sinetron yang sering mengeluarkan kata hinaan kasar
bisa memicu anak ikut mengucapkannya dalam pergaulan sehari-hari. Kalau
sudah seperti ini yang repot lagi adalah orang tua. Mereka harus gencar
menghentikan pengaruh-pengaruh seperti ini.

Perkembangan dunia pertelevisian memungkinkan acara-acara luar negeri


diadopsi di televisi nasional. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus ekstra
ketat menyeleksi dan mengontrol tayangan televisi Indonesia. Sebenarnya
televisi mampu menjangkau audiens tertentu. Televisi mengandung variasi
komposisi bagi audiennya, mulai dari isi program, waktu siaran, dan cakupan
geografis siarannya (Morissan, 2007:187). Maka, seharusnya televisi dapat
memenuhi semua golongan audiennya, tidak menguasai beberapa golongan
saja.

Perkembangan anak, terutama pada usia sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama, masih harus dibimbing. Mereka tergantung pada apa yang ada di
sekitar mereka. Jangan jadikan televisi menjadi musuh besar tetapi jadikan
televisi sebagai teman yang positif. Namun tidak seluruhnya acara televisi
nasional Indonesia merugikan. Masih ada orang yang peduli pada tontonan yang
layak dan berkualitas. Misalnya Trans7 menayangkan acara untuk anak-anak
seperti Si Bolang, Koki Cilik, Laptop si Unyil, Ayo Menyanyi, atau acara
pengetahuan yang dapat dikonsumsi oleh semua usia adalah Asal Usul.

Di TVRI dulu ada acara belajar menggambar yang dibawakan oleh Pak Tino
Sidin. Anak-anak diberi kesempatan mengirimkan hasil gambar mereka. Ada
pula acara Home Stay yang isinya pengetahuan kata-kata bahasa Inggris untuk
anak-anak dengan ditampilkan anak bule sebagai pengisi acaranya. Tayangan-
tayangan seperti ini sebenarnya dapat menjadi konsumsi semua umur. Orang
dewasa pun banyak yang menyukai acara-acara seperti ini. Sebenarnya acara
anak-anak pun bisa dikonsumsi orang dewasa. Namun acara orang dewasa
belum tentu layak dikonsumsi untuk anak-anak. Keadaan ini seharusnya
menyadarkan orang dewasa yang memproduksi program acara televisi untuk
memikirkan juga kebutuhan anak Indonesia akan pengetahuan, informasi, dan
hiburan yang tepat usia. Ini salah satu harapan besar semua pemerhati anak.

Harapan pada Televisi Indonesia

107
Perkembangan komunikasi di zaman modern ini seharusnya lebih teliti dan
cermat. Tidak ada batas dan sekat bukan berarti semua tayangan layak
ditampilkan. Kebebasan berkreasi tidak dibatasi, namun tetap harus sesuai
norma dan aturan yang berlaku. Semakin modern maka tantangan dunia
semakin berat. Terutama tantangan orang tua zaman sekarang untuk lebih
berhati-hati mendidik anak. Mendidik tidak hanya diceramahi setiap hari, tetapi
bisa melalui media-media pendukung seperti televisi, radio, ataupun koran.
Namun, tetap ada batasan apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh
anak-anak mereka.

Televisi Anak bisa diartikan sebagai usaha untuk kembali memberikan ruang
kepada anak-anak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh
mereka melalui media massa seperti televisi. Mereka berhak mendapatkan
dukungan dari pihak yang lebih dewasa untuk membantu perkembangan pola
pikir dan perilaku mereka.

Pertelevisian yang modern, namun memberi keuntungan bagi semua pihak


rasanya akan lebih berguna dan bermakna. Pembimbingan paling besar
sekarang ini adalah pembimbingan bagi anak. Kalau tidak dibimbing sejak dini,
akibat lanjutannya adalah saat mereka dewasa. Pengajaran untuk mereka tidak
hanya didapat dari sekolah dan lingkungan hidup, namun apa yang mereka lihat,
baca, dan dengar menjadi pelajaran juga.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh pemerhati pertelevisian, ditemukan


adanya peningkatan jumlah anak yang menonton televisi. Rata-rata anak yang
menonton program televisi pada usia sekolah dasar mencapai 4-5 jam perhari
pada hari biasa. Sedangkan untuk hari minggu atau hari libur mencapai 7-8 jam
perhari. Bila dihitung keseluruhan anak menghabiskan waktu menonton televisi
sekitar 30-35 jam perminggu atau 120-140 jam perbulan. Begitu baik apabila
angka-angka itu digunakan untuk menonton program televisi yang sesuai
dengan usia mereka. Namun, sayangnya acara anak di televisi tidak mencapai
jam tayang seperti di atas. Apabila acara anak hanya 1 jam dari jumlah waktu
anak menonton, maka 3-4 jam lainnya digunakan untuk menonton acara lain
(acara dewasa, berita kriminalitas, infotainment, reality show, dll).

Kepedulian untuk memberikan tayangan sehat dan mendidik pada anak menjadi
harapan semua orang tua dan pemerhati anak. Paling tidak mereka mendapatkan
pengetahuan yang tidak mereka dapatkan di sekolah melalui media yang mereka
konsumsi setiap hari karena belajar bisa didapat di mana saja selain di sekolah.

Televisi Anak
Banyak yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi pada anak,
salah satunya membuat program acara televisi yang berorientasi anak-anak.

108
Berisi pengetahuan yang berguna untuk anak, namun juga dapat dinikmati oleh
siapa pun. Jumlah anak-anak di Indonesia tidak kalah banyak dibandingkan
orang dewasa. Seharusnya para pengusaha industri televisi dan pembuat acara
tidak perlu khawatir kehilangan pamor dan rating tinggi. Apabila acaranya bisa
berguna bagi semua orang terutama anak-anak, maka mereka tidak akan
kehilangan penonton.

Pemenuhan dan pemberian hak mendapatkan informasi untuk anak ini bisa
dilakukan dengan memberi jam tayang yang lebih banyak dan panjang untuk
acara anak. Yang selama ini memiliki durasi hanya setengah jam, dapat
ditambahkan menjadi satu jam. Alternatif lain adalah mengajak semua pemilik
stasiun televisi dan perusahaan yang memproduksi acara televisi untuk mulai
memproduksi acara anak. Semakin banyak acara anak, maka pilihan anak akan
tontonan yang cocok untuk mereka juga semakin banyak. Selama ini banyak
anak yang menonton acara dewasa yang tidak sesuai umur karena mereka tidak
memiliki pilihan tontonan.

Biarkan acara seperti Laptop Si Unyil, Si Bolang, Ayo Menyanyi, Asal Usul, dan
lain-lain bisa tetap bertahan. Belajar Indonesia yang ditayangkan di TransTV
seharusnya menyadarkan kita sebagai warga negara Indonesia untuk lebih peka
dan bersedia belajar dan mengenal kebudayaan dalam negeri sendiri yang begitu
banyak. Kalau orang luar negeri saja mau dan bangga belajar Indonesia,
seharusnya orang Indonesia lebih antusias dari mereka. Acara ini memberi
pengetahuan kepada penonton mengenai kesenian dan kebiasaan adat istiadat
suatu daerah di Indonesia.

Program kartun memang bagus untuk mengembangkan kemampuan imajinasi


anak. Namun, kartun pun memiliki tingkatan sasarannya. Ada beberapa kartun
dewasa seperti Crayon Sinchan dan Spongebob Square Pants, sayangnya kedua
kartun ini sangat digemari oleh anak-anak. Asalkan ada pembimbingan dari
orang tua, maka kedua acara ini dapat diterima sebagai hiburan. Contoh kartun
mendidik adalah Upin dan Ipin, Dora the Explorer, Go Diego Go, Barnie, dan
lain-lain cocok untuk ditayangkan di televisi. Namun, penghargaan besar akan
diberikan dari anak-anak Indonesia apabila Indonesia sendiri dapat membuat
film kartun mendidik bagi mereka.

Stasiun televisi khusus anak sudah mulai dibuat oleh salah satu stasiun lokal
Banten, yaitu Spacetoon. Stasiun televisi ini berisi semua acara anak, mulai dari
kartun, lagu-lagu anak, pengetahuan-pengetahuan umum, kompetisi-kompetisi
bakat, seperti lomba menyanyi, menggambar, dan pelajaran. Lagu anak-anak
yang semakin terkikis perlu dihidupkan kembali. Penyanyi cilik seperti Umay
dan Amel sudah mulai mengepakkan sayap mereka di dunia musik anak. Kita
juga jangan lupa dengan para anak bangsa yang telah berkompetisi di ajang

109
Idola Cilik yang telah diadakan hingga empat musim. Mereka yang telah
berhasil menjadi penyanyi cilik Indonesia harus tetap dikembangkan agar dapat
membantu mengangkat popularitas lagu anak kembali. Diharapkan anak lebih
senang dengan lagu anak, yang dulu pernah populer oleh penyanyi anak yang
sekarang telah dewasa, seperti Bondan Prakoso, Eno Lerian, Agnes Monica, dan
lain-lain.

Acara kuis yang berkonsep kompetisi pelajaran sekolah juga baik dilakukan.
Dengan melihat teman-teman yang berprestasi, maka anak-anak yang menonton
pun akan termotivasi untuk memiliki kemampuan yang sama dengan teman-
teman yang berkompetisi di televisi. Juga, acara yang di dalamnya mengajarkan
mata pelajaran, seperti acara BINAR (Bahasa Indonesia yang Benar) yang
pernah ditayangkan oleh TVRI dan dibawakan oleh Susan Bachtiar. Di sana
diajarkan ejaan yang disempurkan yang menjadi dasar memahami Bahasa
Indonesia dengan baik dan benar dalam menulis maupun berbicara. Atau acara
yang memberi pengajaran matematika. Acara ini membantu anak-anak sekolah
yang kurang paham dengan matematika. Namun bukan berarti sekolah
berpindah ke televisi. Acara-acara seperti itu membantu anak-anak untuk sadar
bahwa mereka perlu belajar dengan baik. Acara seperti ini dapat membantu
kesulitan anak-anak dengan tampilan yang lebih menarik. Mereka juga bisa
berbincang langsung dengan pengajar dalam acara tersebut untuk bertanya
kesulitan yang anak-anak hadapi.

Kuis dapat dibuat secara bertingkat, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Isi
kuisnya adalah pelajaran-pelajaran yang telah mereka terima agar mereka dapat
mengingat kembali yang telah dipelajari. Bahkan mereka bisa mendapatkan
pengetahuan lain yang belum didapat.

Sinetron dapat dibuat dengan konsep yang berbeda, lebih umum atau tidak
memihak pada satu ajaran agama, mematuhi norma dan aturan yang ada, dan
memiliki nilai moral yang mendidik. Sehingga kebaikan dapat diterima oleh
anak, bukan kebohongan dan sajian kemewahan yang membuat mereka
materialistis. Sinetron yang menceritakan perjuangan seorang anak untuk
mencapai sesuatu, tentunya dengan cara yang benar dan halal, bisa diproduksi.
TVRI pernah menayangkan sinetron Aku Cinta Indonesia, Jendela Rumah Kita,
sinetron untuk anak yaitu Cerita untuk Anak, serta sinetron Sangaji tentang
seorang anak cerdas berkacamata mirip tokoh Harry Potter.

Sebenarnya masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat televisi
anak yang mendidik sekaligus menghibur. Perkembangan anak-anak Indonesia
harus menjadi yang utama juga. Apabila anak-anak Indonesia berkualitas, maka
Indonesia pun akan berkualitas seperti putra-putri bangsanya. Sebutan Televisi

110
Anak berarti berikan hak anak untuk memperoleh tontonan yang baik dan
berguna bagi anak.

DAFTAR PUSTAKA

Chen, Milton. 1996. Anak-anak dan Televisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
King, Whitehill dan J. Thomas Russell. 2009. Prosedur Periklanan. Kleppner’s
Edition ke-17. Jilid 1. Indeks: Jakarta.
Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Ramdina
Prakarsa: Tangerang.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. PT Gramedia
Widiasarana Indonesia: Jakarta
Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu.

http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/anak/21488-hati-hati-sering-nonton-tv-
bikin-anak-semakin-bodoh.html, tanggal akses 27 Agustus, 13.30.
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Pengaruh-Buruk-TV-
Terhadap-Anak&dn=20061124211425, tanggal akses 30 Agustus, 10.15.

111
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Bonaventura S. Bharata, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya


Yogyakarta

Taufik Savalas, Asmuni, Basuki, Alda Risma, Chrisye, Gito Rollies: siapa yang
tidak kenal mereka? Tiga nama pertama merupakan komedian papan atas
Indonesia. Tiga nama berikutnya adalah artis/penyanyi yang cukup dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Semuanya telah meninggal dunia pada 2007-2008.
Masyarakat Indonesia pun berduka. Semua informasi tentang meninggalnya
tokoh terkenal seperti artis dan pejabat pemerintah rata-rata diketahui
masyarakat Indonesia dari media massa.

Media massa menginformasikan seluk-beluk meninggalnya para artis tersebut,


mulai dari penyebab meninggal, detik-detik terakhir, duka yang ditinggalkan,
hingga prosesi pemakamannya. Semuanya dideskripsikan secara detil. Tak
hanya itu, dia awal 2004, TV7 (sekarang Trans7), bahkan pernah menyiarkan
secara langsung detik-detik terakhir kehidupan artis muda Sukma Ayu, yang
koma hampir setahun penuh pasca operasi yang dilakukan oleh tim dokter
rumah sakit MMC Jakarta.

Perhatian media massa terhadap peristiwa kematian tidak hanya berhenti sampai
di sini. Saat meninggalnya mantan Presiden Soeharto pada akhir Januari 2008,
perhatian media pada peristiwa kematian menjadi lebih besar lagi. Semua
media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan peristiwa langka ini. Dua
hari berturut-turut headline media cetak memberitakan kematian mantan
penguasa era Orde Baru ini. Semua saluran televisi juga memberitakan secara
langsung hal yang sama. Semua media berfokus pada pemberitaan mengenai
wafat dan prosesi pemakamannya. Hingga berita tentang naiknya harga minyak
goreng dan kacang kedelai yang meresahkan para pengrajin tahu dan tempe pun
sempat terpinggirkan. Hal ini memicu kontroversi. Beberapa elemen masyarakat
memprotes siaran langsung ini dengan dalih bahwa para pengelola stasiun
televisi swasta tersebut dituding melakukan blocking time siaran yang kemudian
meniadakan siaran yang lain sebagai alternatif tontonan masyarakat.

Khusus untuk kasus kematian Soeharto, sangat menarik jika mencermati


perilaku media dalam menyorot kematian tokoh yang dijuluki Bapak
Pembangunan tersebut. Wafat dan pemakaman sang jenderal berbintang lima ini
tidak hanya muncul di acara-acara berita formal, namun muncul pula di
beberapa segmen acara infotainment di televisi, seperti di acara Insert
Investigasi (Trans TV), Cek dan Ricek (RCTI), KISS (Indosiar), dan Expresso
(ANTV) yang nyata-nyata sebenarnya merupakan acara yang mengkhususkan
diri pada para artisdan selebriti. Terbitan media cetak pun demikian. Berita

112
tentang kematian Soeharto tak hanya muncul di suratkabar besar macam
Kompas, Republika, Suara Pembaruan, dan Koran Tempo, namun muncul pula
di beberapa terbitan tabloid hiburan seperti Bintang Indonesia, Cek dan Ricek
dan di tabloid khusus perempuan, seperti Nova.

Di sisi lain, perilaku media dalam memberitakan kematian juga bukan tanpa
cela. Siaran langsung yang mendeskripsikan detik-detik terakhir kehidupan artis
Sukma Ayu ataupun siaran langsung yang mengiringi prosesi pemakaman
Soeharto ternyata juga terselip iklan komersial. Khusus untuk wafatnya mantan
Presiden Soeharto, situs Indonesia TV Guide dalam laporan khususnya
menunjukkan bahwa penayangan kematian Soeharto ternyata mendongkrak
rating1. Artinya, proses pemakaman Soeharto ternyata sangat menarik minat
penonton televisi sehingga mengundang minat pengiklan untuk mensponsori
acara tersebut. Tak hanya di siaran langsungnya, ketika pemakaman Soeharto
masuk dalam tayangan infotainment pun, iklan yang muncul pun tak kalah
banyak. Saat peristiwa kematian artis-artis terkenal seperti Taufik Savalas,
Chrisye, Basuki, Asmuni dan Gito Rollies, pun kondisinya tak jauh berbeda.
Selipan iklan komersial pun tampak dalam tontonan tersebut.

Namun bisa pula dipahami bahwa selipan iklan dalam tayangan langsung
prosesi pemakaman mantan Presiden Soeharto tersebut ditayangkan oleh
televisi swasta. Televisi swasta atau televisi komersial untuk Indonesia
merupakan bentuk siaran televisi yang penyelenggaraannya berbasis pada
industri sehingga pembiayaan operasionalnya sangat tergantung dari pendapatan
iklan yang diperoleh. Artinya siaran televisi ini sangat mengandalkan
perhitungan untung rugi. Bila diyakini sebuah tayangan bersifat laku jual, maka
tayangan tersebut layak ditayangkan di televisi. Namun sebaliknya, jika sebuah
tayangan diyakini tidak mendatangkan laba, maka tayangan tersebut pun tidak
akan bisa disiarkan di televisi. Dengan demikian dalam industri televisi, dituntut
untuk sekreatif mungkin memformat suatu acara agar laku jual di mata
pengiklan.

Di sinilah bertemunya realitas ini dengan term komodifikasi yang diperkenalkan


oleh Vincent Mosco dalam bukunya The Political Economy of Communication,
Rethinking and Renewal. Secara ringkas komodifikasi merupakan cara
kapitalisme dalam mencapai tujuannya untuk mengakumulasikan kapital atau
1
Berdasarkan data harian hasil survei elektronik kepemirsaan televisi AGB Nielsen Media Research yang
diterima SP, baru-baru ini, jumlah pemirsa di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, yang menonton
tayangan berita wafatnya Soeharto pada hari Minggu mencapai 5.504.000 pemirsa. Jumlah tersebut meningkat
1,4 persen dibandingkan hari sebelumnya (Sabtu, 26/1) yang mencapai 5.005.000 orang, atau mencapai 15,3
persen dari total populasi individu yang memiliki televisi di empat kota tersebut dan berusia di atas 5 tahun yang
berjumlah 36.008.962 orang. Sementara tayangan pemakaman Soeharto pada hari Senin ditonton oleh 5.935.000
pemirsa atau meningkat hingga 16,5 persen dari total populasi di keempat kota tersebut. (dalam
http://indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html)

113
merealisasikan nilai melalui transformasi dari penggunaan nilai-nilai ke dalam
sistem pertukaran (Mosco, 1996). Artinya, jika ini terjadi dalam industri
televisi adalah bagaimana cara yang dilakukan oleh para pekerja media untuk
mengubah realitas sosial menjadi realitas media yang laku jual. Proses
mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar atau proses perubahan produk dari
yang nilainya ditentukan oleh kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan individu
atau kelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat
dibawa produk itu ke pasar. Dalam fenomena ini, peristiwa kematian
mengalami proses komodifikasi ketika bersentuhan dengan industri media.
Pengelola media melakukan upaya sedemikian rupa untuk mengemas sebuah
peristiwa kematian untuk kemudian menjadi sebuah produk berita dan tontonan
yang mampu menarik perhatian audiens. Semakin besar perhatian audiens,
semakin besar pula kemungkinan produk ini meraih iklan. Dari sisi etis, inilah
permasalahannya. Apakah pantas peristiwa kematian yang jelas merupakan
peristiwa duka cita ini kemudian mengalami proses komodifikasi sedemikian
rupa untuk meraih audiens dan dijual kepada para pengiklan untuk kemudian
mendatangkan profit yang tinggi?2

Penelitian tentang komodifikasi sendiri pernah dilakukan oleh Diah Kurniati,


dengan judul Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Analisis Wacana Kritis
terhadap Acara Harap-Harap Cemas (H2C) di SCTV. Dalam penelitian skripsi
tersebut dinyatakan bahwa proses produksi tayangan reality show oleh rumah
produksi (REC Production) ini ternyata masih sangat dipengaruhi oleh
kepentingan untuk mendatangkan profit. Ini terwujud dalam bentuk adanya
intervensi pada praktek produksi yang dilakukan oleh SCTV agar tayangan
reality show ini lebih mampu menyesuaikan dengan selera pasar. Padahal
tayangan ini jelas-jelas melanggar privasi para pelakunya. Artinya, ditinjau
secara etis komunikasi, acara ini melanggar norma-norma etika (Kurniati dalam
Jurnal Thesis, 2006; 151).

Sedangkan penelitian tentang kematian, dalam hal ini iklan kematian di surat
kabar, pernah dilakukan oleh Iwan Awalludin Yusuf dalam bukunya Media,
Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, Representasi Etnik Tionghoa dalam
Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka Semarang. Penelitian ini dilakukan
terhadap beragam iklan kematian yang diterbitkan atas inisiatif masyarakat
Tionghoa di SKH Suara Merdeka pada rentang waktu 1997-1999. Kesimpulan
2
Sejenak mungkin perlu pula kita bercermin pada peristiwa serupa yang dialami oleh Putri Diana (Lady Diana)
dari Inggris pada saat kematiannya di akhir Juli 1997 lalu akibat kecelakaan di sebuah terowongan terkenal
(Pont d’Alma) di kota Paris - Perancis. Televisi BBC memperkenankan stasiun televisi lain di seantero dunia
untuk ikut menyiarkan siaran langsung prosesi pemakamannya, namun BBC melarang keras stasiun-stasiun TV
tersebut menyelipkan iklan dalam tayangan tersebut. Alasan etis merupakan landasan argumentasi BBC untuk
pelarangan penyelipan iklan pada tayangan tersebut. Padahal acara tersebut diyakini ditonton tidak kurang dari
satu milyar penduduk dunia. Sebuah angka fantastis yang pasti menggiurkan untuk para pemasang iklan di
industri televisi.

114
akhir dari penelitian ini, bahwa etnik Tionghoa ternyata memaksimalkan peran
iklan kematian yang diterbitkan di SKH Suara Merdeka untuk menunjukkan
eksistensi komunitas Tionghoa di tengah tekanan sosial atas masyarakat
Tionghoa akibat upaya represi pemerintah Orde Baru. Upaya ini menemukan
jalannya di tengah kapitalisasi industri media cetak di era yang sama, dalam hal
ini SKH Suara Merdeka Semarang.

Temuan lain yang menarik adalah munculnya istilah necrocultura yang


dipopulerkan oleh Fabio Giovannini. Necrocultura berarti pandangan positif
terhadap peristiwa kematian. Berbeda dengan masa lalu yang memandang
kematian sebagai sesuatu yang mengerikan dan ditakuti, pada masa sekarang
kematian merupakan peristiwa yang logis atau bukan sesuatu yang ditakuti
karena merupakan peristiwa wajar yang akan menimpa siapapun. Yang perlu
dipersiapkan justru bagaimana menghadapi kematian tersebut (dalam Yusuf,
2005; 70). Dalam perkembangan berikutnya kematian pun bahkan menjadi
komoditas3. Peluang ini bertemu dengan konsep komodifikasi di ranah media
massa. Media pun ikut merayakan necrocultura.

Penelitian lain yang menarik tentang kematian pernah ditulis oleh Ronny E.
Turner dan Charles Edgley (dalam Mulyana dan Solatun, 2007; 185-186).
Mereka menjelaskan bagaimana peristiwa kematian dapat dikonstruksi
sedemikian rupa hingga mengesankan sebuah pertunjukan. Dikatakan bahwa
pada dasarnya para pengatur pemakaman merupakan pebisnis yang unik.
Dikatakan unik karena para pengatur pemakaman ini tidak dapat meningkatkan
pendapatannya dengan meningkatkan jumlah kematian di lingkungannya.
Karenanya bisnis ini harus dijalankan secara hati-hati. Iklan perusahaan pun
dikemas sedemikian rupa sehingga tidak mengesankan adanya harapan akan
jumlah kematian yang meningkat untuk mendongkrak pendapatan. Peningkatan
penghasilan justru diperoleh seberapa ahli seorang pengatur pemakaman
mengemas peristiwa kematian menjadi sebuah ’pertunjukan’. Keberhasilan ini
akan berdampak pada reputasi mereka yang pada akhirnya mampu memperluas
pasar sehingga secara tidak langsung mendongkrak pendapatan.

Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan pemahaman bahwa ternyata


peristiwa kematian pun dapat merupakan sebuah komoditas ketika bersentuhan
dengan aspek kapital (uang). Ini tidak berbeda dengan peristiwa ulang tahun,
pernikahan, ataupun kelahiran. Masalahnya, jika peristiwa-peristiwa ini
merupakan peristiwa suka cita, peristiwa kematian sebenarnya lebih dekat
3
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bila tanah pemakaman kemudian mampu berfungsi pula sebagai taman
bermain dan belajar anak-anak. Menjadi jamak pada masa sekarang, anggota masyarakat justru mengikuti
program asuransi kematian sebagai sebuah persiapan. Dan tidak menjadi aneh apabila upacara kematian yang
digelar oleh beberapa suku tertentu justru memakan biaya yang lebih besar daripada menyelenggarakan upacara
pernikahan. Peluang-peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa orang sebagai sebuah bisnis yang
menjanjikan.

115
dengan peristiwa duka cita. Namun ketika peristiwa ini dilihat sebagai peluang
bisnis, peristiwa kematian pun berubah wujud menjadi sebuah pertunjukan yang
tidak berbeda dengan peristiwa ulang tahun, pernikahan, dan kelahiran. Lalu
bagaimana bila peristiwa kematian para tokoh terkenal bersentuhan dengan
industri media? Apakah juga merupakan jalan untuk menjadi sebuah
pertunjukan atau bahkan sebuah necrocultura? Penelitian ini dimaksudkan
untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah lembaga media (dalam hal ini Trans
TV) mengkonstruksi peristiwa kematian (Sophan Sophiaan)?

Program Insert Investigasi Kematian Sophan Sophiaan


Insert Investigasi ditayangkan setiap sore pukul 17.30 WIB. Menilik dari
namanya yang menggunakan kata investigasi, Insert Investigasi idealnya
merupakan tayangan dalam format laporan (mendalam) yang mendeskripsikan
permasalahan tertentu. Biasanya tayangan Insert Investigasi berupaya mengupas
seorang sosok artis tertentu atau mengangkat tema tertentu. Karena masuk
dalam acara infotaiment (yang dalam pemahaman masyarakat Indonesia adalah
informasi tentang dunia hiburan), format isinya pun diupayakan dalam bentuk
yang sekiranya dapat menghibur. Walaupun dengan format menghibur, belum
tentu isinya bersifat menghibur. Salah satu topik yang sering diangkat oleh
Insert Investigasi adalah masalah perceraian artis. Perceraian tentu bukanlah
realitas yang menghibur. Namun dalam tayangan Insert Investigasi, kabar
perceraian artis ini mampu diformat dalam bentuk yang menghibur.

Demikian pula pada realitas kematian (artis). Kematian bagi siapa saja, tentu
saja bukan merupakan peristiwa menghibur. Termasuk bagi keluarga artis
sekalipun. Realitas kematian selalu dekat dengan suasana sedih, duka, isak
tangis, kelam, dan hitam. Namun ketika realitas ini dinaikkan ke layar kaca
melalui acara Insert Investigasi, kematian memiliki nuansa yang berbeda.
Kematian bukanlah persitiwa yang sedih dan duka. Justru sebaliknya: kematian
menjadi peristiwa yang memberikan hiburan tersendiri. Seperti terjadi pada
peristiwa kematian artis Sophan Sophiaan. Bagaimana Insert Investigasi
mengkonstruksi peristiwa tersebut menjadi kematian yang menghibur?

Dari Sisi Teknik Produksi :


a. Dramatisasi Adegan
Dramatisasi adalah bagaimana membuat sebuah peristiwa yang sebenarnya
biasa, menjadi tayangan yang memiliki kesan luar biasa atau impresi yang
mendalam. Dramatisasi dalam dunia produksi program televisi dapat dilakukan
melalui proses pengambilan gambar dan proses editing (baik suara maupun
gambar). Melalui proses pengambilan gambar, misalnya ketika ingin
menampilkan profil seseorang dengan mengesankannya sebagai sosok yang
kharismatis, kamerawan dapat saja mengambil gambar dari arah bawah.
Pengambilan gambar dengan mengarahkan kamera dari arah bawah (low

116
angle) akan mengesankan seseorang menjadi sosok yang berwibawa dan
kharismatik. Jika menggunakan editing gambar, perubahan warna dari berwarna
menjadi hitam putih pada sebuah peristiwa akan memunculkan kesan masa lalu
bagi yang menyaksikannya. Dramatisasi dalam peristiwa kematian Sophan
Sophiaan dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:

b. Memformat bumper in
Bumper ini merupakan gambar atau rentetan potongan gambar atau adegan yang
disusun sedemikian rupa menjelang memasuki isi sebuah acara (Cremer, dkk,
1996: 419). Biasanya dilakukan untuk menggugah calon penonton agar tertarik
untuk menyaksikan acara tersebut. Gambar-gambar yang dipilih untuk mengisi
bumper in ini biasanya diambil dari bagian yang sekiranya paling menarik
sehingga mampu memunculkan ketertarikan penonton. Dalam tayangan Insert
Investigasi tentang peristiwa kematian Sophan Sophiaan, gambar yang dipilih
untuk mengisi bumper in adalah gambar yang mengisahkan firasat yang dialami
oleh Widyawati (istri Sophan Sophiaan) menjelang kematian Sophan Sophiaan.

Dalam bumper in yang dimunculkan sebagai pembuka pada acara Insert


Investigasi ini sebenarnya bukan hanya gambar yang mendeskripsikan firasat
yang dirasakan oleh Widyawati selaku istri almarhum Sophan Sophiaan, namun
juga berisi gambar yang lain. Gambar-gambar tersebut di antara lain pernyataan
Paramitha Rusady, Winkey Wiryawan dan Kennes, serta kakak-beradik
Chintami dan Minati Atmanegara, tentang kesan-pesan terhadap perkawinan
Widyawati dan Sophan Sophiaan. Kemudian dilanjutkan dengan gambar
nostalgia, yakni kenangan antara Sophan Sophiaan dan Widyawati yang
membeberkan rahasia kelanggengan rumah tangga mereka.

Dari beberapa gambar yang disajikan tersebut, gambar yang mendeskripsikan


tentang firasat Widyawati mendapatkan porsi dominan. Selain mendapatkan
posisi pertama (sebagai pembuka acara), durasinya pun memakan waktu
sepuluh detik. Ini berbeda dengan gambar-gambar berikutnya yang hanya
mendapatkan rata-rata durasi sekitar tiga detik saja. Penempatan gambar pada
posisi pertama dan memiliki durasi yang relatif panjang dibandingkan dengan
gambar yang lain dimaksudkan sebagai impresi khusus untuk menggugah rasa
tertarik calon khalayak untuk bersedia menyaksikan acara tersebut.

No Time Narasi Gambar


Code

117
1 00:00- Bumper in
00.10
Widyawati : Buat saya dia
masih ada aja. Saya
merasa kaya mimpi gitu
lho, lain kalo dalam
keadaan sakit. Tapi kalo
seperti ini, anda-anda
pasti akan seperti saya.
Terakhir dia peluk saya,
Saya ga jawab. Saya
sedih bener itu.
2 00:10- Paramitha Rusady :
00:13 seperti di kisah roman
kalo saya bilang sih …

3 00:13- Kennes : memang


00:15 pasangan yang ideal
banget …

4 00:15- Minati : gak ada ya yang


0018 punya hubungan sehebat
mereka …

5 00:18- Sophan : kuncinya kalo


00:22 orang jawa itu …. Nrimo

118
6 00:22-
00:38

Sebagai sebuah bumper in tayangan infotainment peristiwa kematian, Insert


Investigasi Trans TV bisa dikatakan cerdik. Mengapa cerdik? Dalam
masyarakat Indonesia, salah satu pembicaraan menarik dalam peristiwa
kematian adalah firasat apa yang sebenarnya muncul menjelang seseorang
meninggal dunia. Menjadi semakin menarik apabila yang bercerita adalah
orang-orang terdekat dari individu yang meninggal dunia, seperti istri dan anak-
anak. Kisah yang dituturkan oleh Widyawati ketika mengalami firasat tersebut
menjadi peristiwa unik yang dipilih dan diduga akan menarik perhatian
penonton.

Dalam tayangan Insert Siang Minggu (18 Mei 2008), peristiwa firasat kematian
Sophan Sophiaan juga ditampilkan. Kali ini firasat tersebut dialami oleh putera
Sophan Sophiaan (Romy Sophiaan). Romy menceritakan bahwa Sophan
Sophiaan pernah memiliki keinginan untuk menjual motor besarnya setelah
selesai melakukan Touring Merah Putih. Ini akan dilakukan oleh Sophan
Sophiaan karena ia sudah merasa yakin bila touring yang dijalaninya ini
merupakan touring terakhirnya.

Dalam Insert Investigasi Minggu sore (18 Mei 2008), sekali lagi firasat yang
dialami oleh keluarga Sophan Sophiaan diceritakan kembali oleh puteranya
Romy Sophiaan. Dikatakan bahwa dua hari sebelum kematian Sophan, Romy
merasa ada suara langkah kaki di depan kamar tidurnya. Ia merasakan bahwa
itulah langkah kaki ayahnya. Padahal Sophan pada saat yang sama masih
melakukan touring dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan
Nasional. Di samping itu firasat yang dirasakan oleh sesama rekan touring
Sophan Sophiaan juga diceritakan dalam Insert Investigasi tersebut. Dinyatakan
oleh Freddy Soemitro, bahwa Sophan Sophiaan pernah menyatakan keinginan
untuk cepat-cepat kembali ke Jakarta.

Penceritaan firasat atas kematian memang diakui sebagai bagian yang termasuk
menarik yang menyertai peristiwa kematian itu sendiri. Tidak mengherankan
setiap ada penayangan kematian artis di infotainment Insert Investigasi,
penceritaan tentang firasat ini selalu muncul. Misalnya pada penayangan Insert
Investigasi tentang kematian artis Gito Rollies beberapa minggu sebelum
Sophan Sophiaan meninggal dunia. Istri Gito Rollies (Michelle) menceritakan

119
bahwa suaminya sering meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk selalu
mendoakan dirinya.

c. Perpindahan gambar yang cepat


Dalam tayangan Insert Investigasi, ada beberapa bagian cerita yang
dideskripsikan secara cepat dan dinamis. Cepat di sini berarti perpindahan dari
gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan dengan tempo yang singkat,
dengan gambar yang beraneka ragam. Dinamis artinya perpindahan dari gambar
yang satu ke gambar yang lain dilakukan dengan teknik tertentu, bisa dengan
teknik cut to cut ataupun dissolve. Teknik perpindahan gambar ini memberikan
impresi tertentu pula. Seperti teknik cut to cut biasanya ingin menunjukkan
perpindahan tema cerita (Bordwell dan Thompson, 2008: 477). Sedangkan
dissolve, merupakan teknik perpindahan gambar yang ingin memunculkan
kesinambungan antar gambar (Bordwell dan Thompson, 2008: 478).

Pada tayangan Insert Investigasi Sophan Sophiaan terdapat beberapa bagian


alur cerita yang disampaikan dengan tempo cepat. Ini ditandai perpindahan dari
gambar yang satu ke gambar yang lain dalam waktu singkat. Teknik
perpindahan gambarnya pun bervariasi, ada cut to cut dan ada pula yang
dissolve. Perpindahan gambar yang cepat ini disertai dengan teknik perpindahan
gambar yang bervariasi memberikan kesan dinamis pada peristiwa. Sesuatu
yang dinamis biasanya berkait dengan hal yang menyenangkan dan
menggembirakan. Tentu ini bertolak belakang dengan peristiwa kematian itu
sendiri. Kematian tentu tidak ditandai dengan kedinamisan peristiwa. Kematian
biasanya dikesankan sedih, duka, gelap, dan suram tentu jauh dari hal-hal yang
bersifat dinamis. Namun dengan teknik editing tertentu, peristiwa kematian
justriu mendapatkan kesan dinamis tersebut.

NO Time Narasi Gambar dan Perpindahan


Code Gambar
1 01.08 (ilustrasi musik)

2 01.10

120
3 01.11

4 01.13 Jika …

5 01.14 hidup adalah sebuah


film

6 01.15 Sophan Sophiaan


adalah

7 01.16 lakon melodrama


terbaik …

8 01.18 Selama …. (delapan


windu perjalanannya
…)

Dari rentetan gambar dalam tayangan Insert Investigasi Trans TV, terkesan jelas
bahwa perpindahan gambar atas peristiwa dilakukan dengan sangat cepat dan
dinamis. Penampilan gambar hanya dilakukan rata-rata per satu detik. Bahkan
proses perpindahan gambar dengan menggunakan teknik dissolve juga hanya

121
memakan waktu satu detik saja. Perpindahan gambar yang sangat singkat ini
tentu mempengaruhi narasi yang disampaikan. Narasi pun dibuat seringkas
mungkin. Per satu detik diucapkan rata-rata tiga kata (diksi). Tentu ini juga
mempengaruhi secara tidak langsung durasi pengucapan yang juga dituntut
cepat.

Demikian pula saat berganti antar sequences dari prolog menuju isi cerita. Tak
jarang perpindahan gambar yang cepat ini turut mengiringi alur cerita yang
disampaikan. Padahal peristiwa yang disampaikan adalah cuplikan-cuplikan
gambar dari suasana pemakaman dari Sophan Sophiaan yang sudah dilakukan
sehari sebelumnya dan tentu sudah ditayangkan pada sore dan pagi hari sebelum
tayangan Insert Investigasi ini diudarakan. Selain itu juga cuplikan-cuplikan
gambar yang menunjukkan suasana tahlilan yang digelar di rumah duka.
Namun karena disampaikan dalam tempo yang cepat, susunan gambar tersebut
malah berkesan tidak menunjukkan kedukaan.

Di bagian tayangan yang lain, perpindahan gambar semuanya juga ada yang
dilakukan per satu detik. Konsekuensinya pun berimbas pada narasi tayangan.
Narasi yang dibacakan pun hanya sekitar tiga kata per satu detik. Sama dengan
contoh sebelumnya. Perpindahan gambar pada suasana pemakaman dilakukan
dengan teknik dissolve-flash. Ini tentu dimaksudkan untuk melakukan semacam
flashback (kembali ke masa lalu) pada peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya,
yakni peristiwa pemakaman Sophan Sophiaan di Pemakaman Tanah Kusir
(Jakarta). Ketika masuk rentetan gambar yang menunjukkan suasana tahlilan di
rumah duka Widyawati, teknik perpindahan gambar yang digunakan adalah
dissolve. Diruntutkan gambar-gambar yang mengetengahkan acara tahlilan
tersebut dilakukan.

Teknik dissolve digunakan dalam sequences ini tentu dengan maksud


menunjukkan kepada penonton tentang kesinambungan kronologis suasana
tahlilan di rumah duka. Namun ketika rentetan peristiwa tersebut disajikan
dengan tempo yang cepat dan teknik editing dengan perpindahan gambar
tertentu (dissolve flash dan dissolve), justru yang muncul adalah kesan yang
dinamis dan bergairah. Kesan dinamis dan bergairah ini jauh dari kesan duka,
sedih, gelap, dan kelam yang menjadi ciri pada realitas kematian itu sendiri. Di
sinilah keunikan terjadi.

d. Penumpukan gambar
Selain mengemas bumper in dan melakukan teknik perindahan gambar yang
cepat, dramatisasi adegan juga diberikan dengan cara melakukan penumpukan
gambar. Penumpukan gambar yang dimaksud adalah menggabungkan dua buah
gambar yang berbeda menjadi satu dengan teknik editing tertentu. Teknik
editing tertentu yang dimaksud adalah dengan cara seolah-olah akan melakukan

122
perpindahan gambar dengan teknik dissolve, namun hasilnya adalah dua gambar
berbeda menumpuk menjadi satu.

No. Time Code Narasi Gambar


03.26- Narator : Ada sebuah
03.28 sapaan

03.28- Narator : terakhir dari


03.29 almarhum

03.29- Narator : yang tidak ia


03.30 sadari

03.30- Sama sekali


03.31

03.31- Layaknya pesan


03.33 perpisahan

123
03.33- Widyawati : Terakhir dia
03.35 peluk saya … I love you,
ma …

Dari runtutan gambar di atas, terdapat dua kali gambar yang dengan sengaja
ditumpuk. Keduanya adalah gambar Sophan Sophiaan dan Widyawati pada
menit ke 03.28 dan 03.31. Entah kebetulan atau tidak, penggabungan atau
penumpukan dua gambar tersebut terasa mulus. Dalam arti, gambar Sophan
Sophiaan yang ditumpukkan ke gambar Widyawati terlihat proporsional. Tidak
terlihat salah satu obyek lebih besar atau lebih kecil dari yang lain. Sehingga
mengesankan antara Sophan Sophiaan dan Widyawati terasa berimbang.
Penumpukan gambar yang proporsional ini tentu memunculkan impresi
tertentu. Impresi ini dapat bermakna macam-macam. Pertama, pekerja media
ingin mengesankan hubungan yang tidak saling mendominasi antara Sophan
Sophiaan dan Widyawati. Kedua, impresi tersebut seakan ingin menyatakan
bahwa antara Sophan Sophiaan dengan Widyawati itu ibarat dua sisi mata uang,
dua sisi yang sebenarnya adalah satu jiwa. Impresi ini terasa pas dengan
penguatan yang diperoleh dari penggabungan atau penumpuan dua gambar dari
masing-masing individu yang berbeda tersebut.

e. Penggunaan Diksi dan Majas


Unsur dramatisasi lain yang diberikan oleh acara Insert Investigasi adalah
dengan menggunakan diksi yang menarik untuk mengantarkan cerita. Harus
diakui sebagai salah satu acara infotainment dari sekian banyak acara serupa di
televisi, Insert Investigasi memiliki tampilan yang berbeda untuk bahasa
narasinya. Perbedaan yang menyolok dari sisi bahasa ini adalah dengan
penggunaan diksi yang dipilih sedemikan rupa. Selain itu Insert Investigasi juga
sering menggunakan gaya bahasa atau majas untuk memperindah pesan yang
disampaikannya.

Gaya bahasa atau majas merupakan bahasa yang indah yang digunakan untuk
meningkatkan impresi tertentu, dengan jalan memperkenalkan atau
membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang
lebih umum (Sumadiria, 2006: 145). Penggunaan gaya bahasa atau majas dalam
tayangan ini masih ditambah lagi dengan intonasi suara yang dikemas
sedemikian rupa untuk menarik perhatian pemirsa.

124
Sebenarnya penggunaan bahasa baik dari sisi pemilihan diksi dan gaya bahasa
(serta intonasi pembawaan yang khusus karena ini adalah media televisi)
merupakan hal yang wajar dalam acara sejenis Insert Investigasi. Walaupun
banyak pihak menolak bahwa infotainment bukanlah karya jurnalistik, harus
diakui bahwa prosesnya tidak jauh berbeda dengan karya jurnalistik yang lain.
Tayangan Insert sebagai sebuah infotainment sebenarnya dapat dimasukkan
sebagai berita ringan (soft news) ataupun berita kisah (feature). Berita ringan
atau berita kisah merupakan formart berita yang mengandalkan nilai berita
(news values) prominence atau keterkenalan, kedekatan (proximity) dan human
interest (Itule dan Anderson, 2008: 12).

Sebagai berita ringan atau berita kisah, tentu memiliki keluwesan yang lebih
luas dibandingkan dengan jenis berita langsung (straight news atau hard news).
Jika dalam berita langsung lebih mengandalkan pemilihan diksi yang bersifat
lugas dan denotatif serta meminimalisir penggunaan majas (gaya bahasa), maka
berita ringan atau berita kisah justru sebaliknya. Berita ringan dan berita kisah
justru dapat mengandalkan pemilihan diksi yang lebih luas dan memaksimalkan
penggunaan majas. Tentu ini dimaksudkan untuk mempercantik atau
memperindah cerita yang disusun.

Perhatikan penggunaan diksi dan majas dalam acara Insert Investigasi Trans
TV, Senin 19 Mei 2009: “Selamat sore pemirsa. Makam itu memang masih
basah. Untaian bunga masih segar di pusara. Dan air mata Widyawati pun
terus mengalir membasahi hatinya yang masih luka karena kepergian sang
belahan jiwa. Kini hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah
terbang jauh. Bersama saya Deasy Noviani inilah Insert Investigasi.”
(dinarasikan oleh Presenter Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).

“Jika hidup adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama
terbaik. Selama delapan windu perjalanan nafasnya, Sophan Sophiaan adalah
aktor terbaik. Pria Makassar itu sempurna memerankan dua dunia terpisah yang
musti dimainkannya. Dia merupakan seniman produktif dan politisi yang bersih
anti korupsi dan feodalisme. Di sisi lain, Sophan juga seorang suami terbaik,
setia dengan perkawinannya. Almarhum adalah potret sebuah totalitas. Di saat
banyak artis beramai-ramai mencalonkan diri untuk duduk di Senayan, Sophan
Sophiaan malah memilih hengkang. Dia tak tergiur jabatan gubernur, walikota,
bahkan bupati. Sophan bahkan memutuskan mundur dari DPR-MPR setelah 10
tahun menghuni Senayan. Saat selebritis ramai-ramai bercerai, Sophan justru
makin mesra bersama Widyawati. Sayang tragika berdarah di alas Widodaren,
Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya, mencerabut seluruh mimpinya yang
ada. Namun semangatnya tak ikut terkubur bersama jasadnya di tanah kusir.
Seperti apa sosok Sophan di mata istri dan para sahabatnya? Apa saja mimpi-
mimpi besar sang aktor nasionalis yang belum terwujudkan? Pemirsa inilah

125
Insert Investigasi!” (Narator dalam Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei
2008).

Diksi basah dalam kalimat: “Makam itu memang masih basah…” yang
diucapkan oleh presenter Deasy Novianti, tentu bermakna kiasan atau konotatif.
Basah dalam arti denotatif mensyaratkan adanya kadar air yang tinggi pada
suatu obyek. Tentu kata “basah” yang digunakan dalam kalimat tersebut
bukanlah bermakna bahwa makam Sophan Sophiaan sedang tergenang air
dalam volume yang besar. Namun lebih bermakna bahwa makam tersebut
masih baru digali dan digunakan untuk memakamkan seseorang. Demikian pula
dengan kata pusara dalam kalimat: “Untaian bunga masih segar di pusara”
merupakan kata lain yang halus dan lembut untuk kata “makam”. Bisa jadi ini
dimaksudkan untuk mencegah perulangan kata yang sama dalam narasi yang
diucapkan, agar tidak membosankan telinga pendengar.

Penggunaan majas juga tampak dari narasi yang dituturkan oleh presenter acara
Insert Investigasi tersebut. Seperti dalam kalimat: “Kini hanya doa yang mampu
terangkai untuk cinta yang telah terbang jauh.” Perhatikan anak kalimat cinta
yang telah terbang jauh. Anak kalimat ini tentu merupakan majas simbolik.
Majas simbolik merupakan majas atau gaya bahasa yang bertujuan untuk
melukiskan sesuatu atau orang dengan simbol atau lambing tertentu. Tentu yang
dimaksud cinta yang telah terbang jauh di sini adalah sosok Sophan Sophiaan.
Dengan meninggalnya Sophan Sophiaan, praktis Widyawati harus menjalani
hidup seorang diri. Sosok Sophan Sophiaan yang sangat berarti bagi Widyawati
ini disimbolkan sebagai cinta. Karena kebetulan Sophan Sophiaan sudah
meninggal dunia, maka dinyatakan sebagai cinta yang telah terbang jauh.

Demikian pula narasi yang dituturkan oleh narator acara Insert Investigasi,
banyak menggunakan majas atau gaya bahasa untuk mempercantik pesan yang
disampaikan. Seperti dalam kalimat: “Bila hidup adalah sebuah film, Sophan
Sophiaan adalah lakon melodrama terbaik.” Kalimat ini mengandung majas
atau gaya bahasa alegori. Majas alegori merupakan majas yang digunakan untuk
menyatakan sesuatu dengan cara lain, bisa melalui kiasan atau penggambaran.
Dinyatakan dalam kalimat tersebut, bahwa sosok kehidupan Sophan Sophiaan
ibarat sebuah film. Dalam drama kehidupan ini, Sophan Sophiaan menjadi
lakon atau tokoh pemain yang terbaik yang berhasil menjalani kehidupannya di
dunia nyata. Majas ini pun bertujuan untuk mempercantik pesan yang
disampaikan.

Penggunaan diksi yang unik juga muncul dalam kalimat: “Sayang tragika
berdarah di alas Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya,
mencerabut seluruh mimpinya yang ada”. Perhatikan pemilihan diksi tragika
berdarah untuk menggantikan tragedi berdarah. Dalam Bahasa Indonesia

126
memang dikenal kata tragika sebagai kata lain tragedi. Namun diksi ini relatif
masih jarang digunakan. Sehingga ketika Insert Investigasi Trans TV
menggunakan diksi ini, terasa ada sesuatu yang baru, yang ingin disampaikan
pada pemirsa.

Tidak sekali ini saja Insert Investigasi menggunakan kata-kata yang relatif
masih jarang terdengar. Dalam acara Insert yang lain, seperti Insert Siang pada
Minggu, 18 Mei 2008, narator Insert juga menggunakan kata berdedai-dedai
untuk mendeskripsikan suasana beramai-ramai dari para politisi, seniman, dan
artis yang turut menjemput jenazah Sophan Sophiaan di Bandara Soekarno
Hatta setelah diterbangkan dari Solo. Tentu saja dinyatakan unik karena diksi
tersbut terhitung masih sangat jarang digunakan dalam Bahasa Indonesia.

Sebagai perbandingan, perhatikan pemilihan diksi dan penggunaan majas di


acara Insert Investigasi Trans TV hari Minggu tanggal 18 Mei 2008 :

“Derai air mata seakan menetes dari ribuan pasang mata, mengiringi kepergian
sang aktor legendaris Sophan Sophiaan. Kepergian untuk selamanya yang
begitu cepat masih terasa lirih membekas dalam hati. Akankah kekuatan itu
masih tersisa meski ragamu sudah tak terlintas nyata lagi ? Bersama saya
Deasy Novianty, inilah Insert Investigasi …” (Presenter dalam Insert Investigasi
Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008)

“Pemakaman Sophan Sophiaan berlangsung hikmat. Siang hari tadi, akhirnya


jenazah aktor sekaligus sutradara kawakan Sophan Sophiaan dikebumikan.
Almarhum dibaringkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan berdampingan
dengan pusara ayahanda, Manai Sophiaan. Ribuan pelayat membanjir dari
berbagai kalangan. Mulai dari pejabat, politisi, sampai semua kolega di dunia
seni Memang paruh terakhir dalam kehidupan almarhum banyak dihabiskan di
kancah politik nasional. Tetapi ternyata Khalam berkehendak lain. Seluruh
reputasi kebesaran Sophan Sophiaan rupanya dicukupkan Sang Pencipta di usia
64 tahun. Sekali lagi bangsa ini berduka. Seperti apa suasana detik-detik
terakhir pemakaman jenazah Sophan Sophaan. Apa firasat dan pesan kematian
almarhum? Pemirsa inilah Insert Investigasi.” (Narator dalam Insert Investigasi
Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008)

Perhatikan penggunaan kata kepergian sang aktor legendaris pada kalimat yang
diucapkan oleh presenter Insert Investigasi, Deasy Novianti untuk edisi
Minggu, 18 Mei 2008. Kata kepergian tentu untuk menggantikan kata
meninggal dunia. Kemudian sosok Sophan Sophiaan yang diwakili kata aktor
legendaris masih diimbuhi kata sang. Kata sang biasanya diberikan untuk
orang-orang yang dipandang ahli. Karena dipandang sebagai orang yang ahli,
kedudukan orang ini biasanya akan mendapatkan posisi istimewa di tengah

127
masyarakat. Dengan demikian kata sang menunjukan pula pengakuan
masyarakat kepada si tokoh yang diberikan mbuhan kata tersebut. Demikian
pula dengan kata membanjir yang digunakan oleh narator untuk menarasikan
peristiwa pada acara yang sama. Kata membanjir yang merupakan majas atau
gaya bahasa ini, tentu ingin mengaskan demikian banyaknya pelayat yang
menghadiri upacara pemakaman Sophan Sophiaan.

f. Ilustrasi musik dan lagu


Ilustrasi musik dan lagu juga merupakan salah satu cara melakukan dramatisasi
dalam acara Insert Investigasi di Trans TV. Dalam sebuah tayangan program
televisi ataupun film, alunan ilustrasi musik dan selipan lagu tentu dimaksudkan
untuk memperkuat impresi pesan yang disampaikan oleh acara tersebut
(Bordwell dan Thompson, 2008: 273). Dalam teknik produksi, bagaimana suatu
suasana hendak dibangun dalam alunan cerita, salah satunya dilakukan dengan
memberikan ilustrasi musik ataupun selingan lagu. Dalam dunia penyiaran baik
di radio maupun di televisi, ini sudah menjadi semacam pakem atau aturan
main. Apabila ingin membangun suasana ceria, tentu diberikan ilustrasi musik
atau selipan lagu dengan tempo cepat. Untuk membangun suasana bersemangat,
tinggal diberikan ilustrasi musik atau selipan lagu dengan tempo cepat dan
bersifat menghentak. Bila ingin membangun suasana untuk mengesankan
peristiwa yang rutin terjadi, diberikan ilustrasi musik ataupun selipan lagu
dengan tempo sedang. Sebaliknya bila ingin menonjolkan suasana sedih, tinggal
diberikan ilustrasi musik atapun selingan lagu dengan tempo lambat.

Dalam mengiringi peristiwa kematian, biasanya akan diberikan iringan lagu


atau selingan lagu dengan tempo yang lambat. Dalam tradisi kematian orang
Kristiani, biasanya diperdengarkan lagu-lagu gregorian untuk kematian. Lagu
ini memiliki tempo yang lambat. Tentu ini menyesuaikan dengan suasana
kematian yang tidak jauh dari dari kesan sedih dan duka. Namun dalam acara
Insert Investigasi Trans TV yang mendeskripsikan Sophan Sophiaan, ilustrasi
musik yang menyertai narasi tidaklah selalu didominasi oleh musik yang
memiliki tempo lambat. Di beberapa bagian cerita, ilustrasi musik justru diisi
dengan iringan lagu dalam tempo sedang, bahkan cepat. Untuk tempo cepat ini
bahkan tampak nyata ketika mendeskripsikan secara ringkas pemakaman
Sophan Sophiaan sebagai pembuka cerita sebelum memasuki adegan tahlilan di
rumah duka. Tidak hanya itu ilustrasi musik yang mengiringi perpindahan
gambar bahkan dipilih dengan teknik smash.

Dari runtutan gambar di atas, dapat diperhatikan bagaimana Insert Investigasi


Trans TV memberikan ilustrasi musik pada peristiwa pemakaman Sophan
Sophiaan. Pemberian ilustrasi musik dengan tempo cepat tentu merupakan
konsekuensi dari perpindahan gambar yang juga cepat. Seperti yang diamati
pada tabel transkrip di atas, perpindahan antargambar hanya berlangsung per

128
satu detik dari gambar yang satu ke gambar berikutnya. Belum lagi dalam
perpindahan gambar, diberikan efek flash (kilat atau petir) berwarna putih
terang. Ilustrasi musik pun mengikuti dengan efek smash (dentuman). Dengan
tempo cepat dan efek flash yang menyertai runtutan gambar tersebut, justru
memberikan kesan dinamis pada peristiwa yang disampaikan. Padahal sekali
lagi, peristiwa yang ditayangkan adalah peristiwa kematian, bukan peristiwa
gembira atau ceria.

Dari Sisi Substansi:


a. Tayangan Gambar yang Berulang-Ulang
Dalam tayangan Insert Investigasi (Senin, 19 Mei 2008) yang mengisahkan
kematian Sophan Sophiaan seringkali ditemui pengulangan gambar. Ada
beberapa gambar yang digunakan secara berulang. Namun pengulangan tersebut
pada frekuensi tidak lebih dari dua kali. Sedangkan tiga gambar di atas muncul
dalam frekuensi yang sangat sering (sekitar tiga sampai lima kali penayangan).
Bahkan di gambar terakhir (gambar nomor 3), gambar Sophan Sophiaan
bersama motor besarnya muncul dua kali dalam waktu yang sangat berdekatan,
yakni di menit 11:10 dan 11:34.

Pengulangan gambar tidak hanya terjadi di dalam satu acara ini. Ada beberapa
gambar yang digunakan secara berulang di dalam acara Insert. Jadi sudah
digunakan pada Insert Siang dan Insert Investigasi di jam atau hari sebelumnya,
kemudian digunakan di acara ini. Seperti misalnya gambar suasana pemakaman
Sophan Sophiaan di Tanah Kusir, sudah digunakan di Insert Siang edisi Minggu
18 Mei 2008 dan Senin 19 Mei 2008, kemudian digunakan kembali untuk Insert
Investigasi edisi Senin 19 Mei 2008.

Sebagai sebuah acara hiburan, Insert Investigasi terikat pada teknik-teknik


produksi tertentu. Seperti perpindahan gambar yang cepat agar terkesan dinamis
dan durasi waktu yang sudah ditentukan. Perpindahan gambar yang cepat dan
tuntutan durasi waktu tertentu, tentu menuntut stok gambar yang cukup. Namun
bisa jadi Trans TV tidak memiliki stok gambar yang cukup untuk memenuhi
tuntutan produksi, hingga yang akhirnya yang dilakukan adalah pengulangan
gambar. Pengulangan gambar tentu menjadi solusi di tengah kurangnya stok
gambar, walaupun solusi ini sebenarnya dari sisi estetika tidak dibenarkan
dalam produksi audio visual karena dapat menyebabkan kebosanan di mata
penonton. Padahal dalam sebuah produksi audio visual sebaiknya jangan sampai
terjadi penonton bosan dalam melihat sebuah karya produksi. Sehingga
perencanaan produksi harus dilakukan secara matang agar kekurangan stok
gambar dapat dihindari.

b. Tema yang bervariasi

129
Sisi substansi lain yang dilakukan oleh Trans TV dalam tayangan Insert
Investigasi mengenai peristiwa kematian aktor Sophan Sophiaan adalah dengan
melakukan variasi tema pada tayangan Insert Investigasi. Tema yang diangkat
untuk beberapa tayangan Insert Investigasi :
• Insert Investigasi Minggu 18 Mei 2008 : Pemakaman Sophan Sophiaan
• Insert Investigasi Senin 19 Mei 2008 : In Memoriam Sophan Sophiaan
(dikaitkan dengan hobi motor besar dan kelanggengan keluarga)
• Insert Investigasi Selasa, 20 Mei 2008 : In Memoriam Sophan Sophiaan
(dikaitkan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional)
• Insert Investigasi Rabu, 21 Mei 2008 : Pemakaman Ali Sadikin
• Insert Investigasi Kamis, 22 Mei 2008 : In Memoriam Ali Sadikin dan
Sophan Sophiaan (sebagai tokoh politik yang berani berseberangan
dengan penguasa)

Bila dikaitkan dengan jurnalisme, maka variasi tema biasanya akan dilakukan
oleh jurnalis untuk mengaktualkan peristiwa sehingga tetap layak diberitakan.
Variasi tema dalam tayangan Insert Investigasi mengenai kematian Sophan
Sophiaan ini tentu dilakukan dengan maksud tersebut, yakni untuk
mengaktualkan peristiwa agar tetap layak untuk disiarkan. Walaupun pelebaran
tema ini juga memicu konsekuensi lain, yakni ketersediaan gambar untuk
membangun program acara tersebut. Tidak jarang ditemui pengulangan gambar
yang dilakukan oleh Insert Investigasi Trans TV untuk tema-tema yang berbeda
tersebut. Namun karena tema yang saling berbeda, penonton seakan diajak pula
untuk selalu memperbaharui wawasan tentang Sophan Sophiaan meski harus
melihat gambar yang sama.

Apalagi beberapa hari setelah Sophan Sophiaan meninggal dunia, disusul oleh
meninggalnya Ali Sadikin. Ali Sadikin dan Sophan Sophiaan kebetulan
memiliki kedekatan karakter, yakni sama-sama merupakan orang-orang yang
berani berseberangan dengan penguasa (Orde Baru). Ali Sadikin yang
merupakan mantan gubernur Jakarta (1966-1977) merupakan tokoh Petisi 50 di
era Presiden Soeharto berkuasa. Petisi 50 merupakan sekelompok masyarakat
yang menolak dicalonkannya kembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga
kalinya pasca Pemilu 1977. Kebetulan pula salah satu penanda tangan Petisi
tersebut selain Ali Sadikin adalah Manai Sophiaan yang merupakan ayah
kandung Sophan Sophiaan. Kebetulan yang tidak dirancang ini, akhirnya malah
memperpanjang episode penceritaan Sophan Sophiaan di layar kaca. Jika
dihitung sejak meninggalnya, artinya tayangan Sophan Sophiaan hampir
memakan waktu seminggu lamanya.

Dan Kematian pun Menjadi Hibuaran

130
Dari data yang diperoleh melalui analisis isi kualitatif, diperoleh temuan
bagaimana melalui sebuah proses kerja produksi media, peristiwa kematian
tidak lagi hadir dalam suasana yang sedih dan duka. Sebaliknya, peristiwa
kematian dikonstruksi sedemikian rupa, melalui teknik produksi tertentu,
sehingga ketika dipertontonkan kembali justru memunculkan hiburan tersendiri.
Di sini sebenarnya terlihat bagaimana kelihaian media melakukan konstruksi
terhadap sebuah peristiwa, sehingga peristiwa berubah wajah ketika sampai di
mata audiens. Termasuk dalam hal ini adalah peristiwa kematian. Peristiwa
kematian yang sebenarnya merupakan peristiwa sedih dan duka, namun di
tangan media (pekerja media) mampu membalik semua itu menjadi peristiwa
yang justru memberian hiburan.

Masalah bagaimana media mampu melakukan konstruksi sedemikian rupa,


tentu mengingatkan pada beberapa konsep dalam komunikasi massa. Pertama,
konsep framing. Konsep framing sebenarnya lebih banyak dimunculkan dalam
kasus-kasus produksi berita (jurnalisme). Dalam jurnalisme, framing memiliki
arti bagaimana media membingkai sebuah peristiwa. Artinya framing
merupakan proses bagaimana media memberikan definisi, penjelasan, evaluasi,
bahkan rekomendasi terhadap sebuah peristiwa. Muara dari framing adalah
bagaimana media memberikan pemaknaan tehadap sebuah peristiwa. Sebuah
peristiwa dapat dimaknai dengan cara yang berbeda-beda. Bahkan dengan
pemaknaan yang berbeda ini, sebuah peristiwa dapat tampil demikian berubah
dibandingkan dengan realitas sosialnya ketika sudah menjadi teks media.
(Nugroho, dkk, 1999). Dalam penelitian ini, peristiwa kematian Sophan
Sophiaan yang merupakan peristiwa sedih dan duka, dapat sangat berubah
wajah melalui proses framing ini, untuk kemudian menjadi sebuah tontonan
ataupun bacaan yang menghibur ketika tampil di media massa.

Lalu bagaiamana proses framing berlangsung di sebuah lembaga media? Proses


framing berlangsung dengan menggunakan bahasa. Dalam berita, seperti teks
surat kabar misalnya, tentu bisa dipahami, bagaimana pekerja media, dalam hal
ini jurnalis, banyak bermain dengan bahasa ketika menuliskan realitas atau
peristiwa yang diliputnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa verbal dan non
verbal. Bahasa verbal tentu digunakan jurnalis untuk mengurai substansi
peristiwa. Di sini pun, jurnalis perlu untuk memilih diksi dan menyusun kalimat
yang sekiranya tepat untuk menggambarkan peristiwa.

Selain bahasa verbal, jurnalis juga menggunakan bahasa non verbal. Bahasa non
verbal digunakan untuk memberikan impresi khusus bagi pembaca. Ini bisa
dilakukan dengan penentuan placement berita di lembar suratkabar, penulisan
headline yang khusus (misalnya dengan huruf tebal dan tinta merah), kemudian
memberikan tambahan foto (dengan angle, komposisi, warna, dan manipulasi

131
tertentu) dan ilustrasi grafis tertentu (ilustrasi gambar, diagram, dan grafik
misalnya) untuk memberikan kesan tersendiri bagi pembaca.

Demikian pula dengan peristiwa kematian Sophan Sophiaan, di layar Insert


Investigasi Trans TV. Terlihat jelas bagaimana pekerja media di lembaga media
tersebut memanfaatkan semua potensi bahasa, baik verbal maupun non verbal
untuk mengkonstruksi peristiwa kematian Sophan Sophiaan. Misalnya,
bagaimana mereka melakukan editing gambar untuk membangun kesan
kelanggengan hubungan antara Sophan Sophiaan dan Widyawati, memberikan
ilustrasi musik tertentu untuk membangun suasana tahlilan yang dilakukan di
rumah duka, bahkan menyusun secara khusus narasi cerita yang dilantunkan
baik oleh presenter Insert Investigasi atau narator yang mendeskripsikan
gambar-gambar tentang peristiwa kematian Sophan Sophiaan.

Dalam konsep framing juga diutarakan, bahwa proses framing yang dilakukan
oleh jurnalis dan lembaga media bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Artinya
konstruksi yang dilakukan oleh jurnalis dan pekerja media terhadap sebuah
peristiwa bukanlah tanpa kepentingan. Terdapat sejumlah kepentingan mengapa
jurnalis dan lembaga media secara khusus melakuan konstruksi tertentu
terhadap sebuah peristiwa. Jika bersinggungan dengan tradisi pemikiran kritis
yang dipopulerkan oleh Marx, salah satu kepentingan tersebut adalah
mendapatkan keuntungan.

Di sinilah titik temu dengan konsep yang kedua, yakni kepentingan ekonomi
atau bisnis media. Dalam pemikiran kritis Marx yang menyangkut media massa,
diyakini bahwa media bukan merupakan saluran yang netral. Media massa pada
dasarnya merupakan alat dari kelompok penguasa dominan untuk melakukan
dominasi pada kelompok yang lain. Dengan menjadi alat dari kelompok
dominan, isi media pun mencerminkan kepentingan dari kelompok dominan
tersebut. Dalam kasus media, salah satu kepentingannya adalah kapital, dalam
arti keuntungan yang sebesar-besarnya (Rogers, 1994: 102-125).

Dari deretan iklan yang muncul di Insert Investigasi, dapat dibayangkan berapa
banyak pendapatan yang diterima oleh Trans TV. Satu kali tayang saja Insert
Investigasi mampu menayangkan hampir 50 iklan. Padahal iklan yang
ditampilkan sering pula tidak hanya sekali. Sebuah produk iklan dapat
ditayangkan dua hingga tiga kali dalam satu kali break iklan. Bila dihitung
kasar saja, harga iklan tersebut adalah 10 juta rupiah per sekali tayang, artinya
ketika ada 50 iklan, berarti pendapatan kotor Insert Investigasi Trans TV adalah
500 juta rupiah atau setengah milyar rupiah per tayangan. Padahal tayangan
tentang kematian Sophan Sophiaan di Insert Investigasi tidak hanya sekali.
Hampir satu pekan lamanya pasca kematian Sophan Sophiaan, tayangan Insert

132
Investigasi menyiarkan tema tentang Sophan Sophiaan walau dengan angle
yang berbeda-beda.

Seperti dipaparkan pada data di atas, peristiwa kematian Sophan Sophiaan


masih bisa diaktualkan ketika Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) juga
meninggal dunia. Katakanlah bila tayangan tentang kematian Sophan Sophiaan
muncul dalam lima kali acara Insert Investigasi, maka penghasilan kotor Insert
Investigasi Trans TV mencapai 2,5 milyar rupiah. Ini tentu jumlah yang tidak
kecil. Jumlah ini juga belum termasuk ketika peristiwa kematian Sophan
Sophiaan ini ditayangkan dalam program Insert yang lain, seperti Insert Pagi
dan Insert Siang.

Dari sisi etis, yang kemudian bisa diperdebatkan adalah: apakah etis
menayangkan peristiwa kematian, yang merupakan peristiwa sedih dan duka
untuk kemudian mendapatkan keuntungan sedemikian rupa? Padahal bila
belajar dari kasus penyiaran di negara-negara maju, penayangan kematian
sangat kecil untuk melibatkan pengiklan. Yang paling diingat adalah siaran
langsung dari peristiwa kematian dan pemakaman Putri Diana dari Inggris.
Kematian dan pemakaman Putri Diana disiarkan langsung oleh BBC Inggris
dan direlai oleh hampir semua stasiun televisi di dunia. Namun BBC pun
memberikan syarat, bahwa siaran relai boleh dilakukan, namun tidak untuk
kemudian dijual kepada pengiklan.

Dari analisis inilah, ditemukan relevansi dengan konsep yang ketiga yakni
komodifikasi. Seperti telah dinyatakan dalam kerangka teori, komodifikasi atau
commodification adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau
barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Artinya bagaimana
mengubah komoditi dari nilai gunanya menjadi nilai yang dapat dipertukarkan
di pasar. Tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan
iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah
audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang
dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat
digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang
lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber
produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya
profit bagi pengusaha (dalam Mosco, 1996).

Demikian pula dalam peristiwa kematian Sophan Sophiaan. Pemberitaan


Sophan Sophiaan tentu dilakukan untuk memberitahukan bahwa ada sosok
tokoh masyarakat yang meninggal dunia akibat kecelakaan. Ini sebenarnya
peristiwa lumrah dan biasa. Sama halnya peristiwa kelahiran dan perkawinan
yang juga selalu diikuti oleh pemberitahuan kabar akan peristiwa tersebut

133
kepada orang-orang terdekat, demikian pula dengan peristiwa kematian.
Peristiwa kematian pun selalu akan dikabarkan kepada orang-orang terdekat.

Bila yang meninggal dunia adalah tokoh masyarakat, maka pengabaran atau
pemberitahuan kematian pun biasanya akan bersifat massal dengan
menggunakan fasilitas media massa. Namun karena yang mengabarkan adalah
media massa yang berbasis industri (media massa komersial), maka pesan
kematian pun harus melalui proses modifikasi. Proses inilah yang kemudian
mengubah pesan kematian, tidak hanya untuk mengabarkan kematian semata,
namun berubah wajah menjadi pesan kematian yang sifatnya komersial karena
persentuhannya dengan industri (kapital). Di sinilah proses komodifikasi
berlangsung.

Dalam logika industri media massa, pertama yang harus dilakukan adalah
bagaimana mengkonstruksi teks media, yang tidak hanya memiliki nilai
informatif namun juga laku jual. Laku jual di sini dalam arti diminati oleh
audiens, baik penonton televisi maupun pembaca surat kabar (dalam hal ini
adalah tabloid). Eksistensi audiens tentu memiliki arti penting bagi media massa
yang berbasis industri. Audiens atau khalayak inilah yang akan dijual oleh pihak
pengelola lembaga media kepada para pengiklan.

Untuk media televisi, penjualan audiens ini biasa ditandai dengan rating yang
biasanya dilakukan oleh lembaga rating di luar kuasa media. Sedangkan untuk
media cetak, seperti surat kabar, majalah, ataupun tabloid tentu terlihat dari
jumlah eksemplar media yang mampu dijual. Di sisi lain, pengiklan juga akan
mempertimbangkan besar kecilnya audiens guna memperhitungkan pemasangan
iklannya. Pertemuan kepentingan antara mendapatkan keuntungan bagi lembaga
media massa dengan kepentingan dalam mendapatkan jumlah audiens yang
memadai dari lembaga pengiklan inilah yang kemudian memaksa pihak
pengelola media untuk dapat merancang sedemikian rupa pesan teks media agar
dapat diminati audiens.

Inilah yang terjadi pada Insert Investigasi Trans TV: bagaima para pekerja
media berusaha mengemas sedemikian rupa teks media, dalam hal ini kematian
aktor dan mantan politisi senior Sophan Sophiaan. Bahkan harus pula
melakukan strategi tersendiri untuk mengaktualkan peristiwa tersebut, misalnya
dengan memberikan angle atau sudut pandang berbeda. Ketika tema atau sudut
pandang ini terasa sudah mulai tidak aktual setelah beberapa hari, Insert Trans
TV mendapatkan ’berkah’ dengan kematian Ali Sadikin (tiga hari sesudah
kematian Sophan Sophiaan). Proses komodifikasi pun terus berlangsung, karena
memang secara tidak sengaja kedua tokoh yang meninggal juga memiliki relasi
satu dengan yang lainnya. Keuntungan usaha yang diperoleh pun terus
mengalir.

134
Untuk menarik minat audiens, Trans TV dipaksa berpikir keras mengenai
format tampilan pesan teks media. Peristiwa kematian harus dikemas
sedemikian rupa hingga jauh dari kesan sedih dan duka. Ini dilakukan tentunya
untuk menarik perhatian perhatian audiens. Kemasan yang ditampilkan
kemudian adalah kemasan menghibur melalui teknik-teknik produksi tertentu.
Dalam kasus Insert Investigasi Trans TV, ini dilakukan melalui teknik
pengambilan gambar, teknik editing gambar dan suara, serta ilustrasi musik.
Selain itu juga dengan memberi tema atau sudut pandang atau angle yang
bervariasi. Dari sinilah kemudian bisa dipahami bagaimana masalah etis
dikesampingkan dalam peristiwa kematian. Dalam arti peristiwa kematian yang
seharusnya bukan merupakan komoditi yang diperjualbelikan. Namun karena
formatnya sudah berubah dalam proses produksi media, justru menjadi hiburan
bagi audiens, yang kemudian menjadi sah apabila menjadi komoditi yang
diperjualbelikan.

Dari pemaparan analisis data di atas, membawa pada konsep terakhir dalam
penelitian ini, yakni necrocultura. Seperti dipaparkan di kerangka teori,
Necrocultura merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Fabio Giovanni,
memiliki pemahaman suatu kebudayaan di mana kematian menjadi kecintaan.
Kematian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mengerikan atau kesedihan
yang teramat sangat. Namun dikemas sedemikian rupa sehingga lebih
merupakan perayaan daripada peristiwa duka cita (Giovanni dalam Sudiardja,
2002; 193). Bila dilihat dari pemaparan di atas, terlihat bagaimana
persinggungan antara kepentingan kapitalistik media mengubah wajah realitas
kematian Sophan Sophiaan.

Kematian Sophan Sophiaan jelas melahirkan perasaan duka yang mendalam


bagi pihak yang ditinggalkannya, khususnya Widyawati selaku istri dan Romi-
Roma Sophiaan selaku putera almarhum. Sebagai sosok terkenal, kematian
Sophan Sophiaan pun diberitakan di media massa, termasuk di Insert
Investigasi Trans TV. Namun karena Trans TV berada dalam satu latar sebagai
media komersial, Insert Investigasi Trans TV perlu pula mengkonstruksi realitas
tersebut secara khusus karena adanya kepentingan media tersebut untuk mencari
keuntungan.

Di sinilah sebenarnya persinggungan antara realitas kematian Sophan Sophiaan


dengan kepentingan media yang kapitalistik bertemu. Perubahan wujud realitas
kematian pun terjadi. Realitas kematian yang semula bernuansa kesedihan dan
duka, berubah wajah menjadi tontonan yang memberikan penghiburan
tersendiri bagi para audiensnya. Jadilah akhirnya sebuah perayaan kematian
yang menghibur ....

135
Penutup
Merayakan realitas kematian bukan hanya milik adat istiadat dan budaya
tertentu dari sebagian keyakinan umat manusia. Merayakan kematian ternyata
juga merupakan milik media massa. Trans TV mampu mengubah wajah
kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan memilukan, menjadi peristiwa
dengan karakter yang menghibur. Semua dilakukan melalui proses
pembingkaian. Proses pembingkaian yang melibatkan konstruksi bahasa, baik
verbal maupun non verbal, dilakukan sedemikian rupa untuk mengubah wajah
kematian tersebut. Insert Trans TV melakukannya dengan teknik produksi, baik
melalui pemberian bumper in (penceritaan firasat dari si nara sumber),
perpindahan gambar yang cepat dan manipulatif, penumpukan gambar, dan
ilustrasi musik.

Persinggungan antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi media


(melalui proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah peristiwa
kematian menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Pekerja media perlu mengemas
sedemikian rupa realitas kematian Sophan Sophiaan tersebut, menjadi sebuah
pertunjukan yang menghibur. Semua ini dilakukan dalam rangka mendapatkan
iklan sebsar-besarnya. Insert Investigasi Trans TV dalam tafsiran penulis,
mampu meraih sekitar 2,5 milyar rupiah dari pendapatan iklannya. Realitas
kematian yang ditampilkan oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan
sedih dan duka, bahkan jauh dari menakutkan dan mengerikan. Konstruksi
sedemikian rupa pada peristiwa kematian Sophan Sophiaan mampu
memunculkan hiburan tersendiri bagi audiens media yang bersangkutan. Teks
media pun menjadi bagian dari perayaan necrocultura itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Bharata, Bonaventura S. dan Dina Listiorini, 2007, Ekonomi Politik Bahasa


Siaran dan Pekerja Media di Jaringan Radio Anak Muda – Studi
Deskriptif Kualitatif di Radio Prambors, Yogyakarta, Riset Dosen Muda
DIKTI
Bordwell, David and Kristin Thompson, 2008, Film Art, An Introduction, Eight
Edition, McGraw-Hill International,
Cremer, Charles F, Phillip O. Kirstead, Richard D. Yoakam, 1996, ENG
Television News, Third Edition, McGraw-Hill Companies
Fiske, John, 1990, Introduction to Communication Studies, London, Routledge
Itule, Bruce D. and Douglas A. Anderson, 2008, News Writing and Reporting
for Today’s Media, McGraw Hill International, New York.
Kurniati, Diah, 2006, Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Jurnal Penelitian
Ilmu Komunikasi Thesis V/1 Januari-April, Depok, Departemen
Komunikasi FISIP-UI

136
Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking
and Renewal. California: Sage Publication
Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007, Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-
Contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis, Bandung,
Penerbit Rosda
Nugroho, Bimo, dkk, 1999, Politik Media Mengemas Berita, Jakarta, ISAI
Rogers, Everett M., 1994, A History of Communication Studiy: A Biographical
Approach, New York, The Free Press
Suara Pembaruan, 06/02/2008, “Pak Harto Dongkrak Rating” diakses dari
http://indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-
rating.html
Sudiardja, A, 2002, Dan Kematian pun Semakin Akrab, Jurnal Ilmu Humaniora
Baru Retorik I/3, November, Yogyakarta, Ilmu Religi dan Budaya USD
Sumadiria, AS Haris, 2006, Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis, Simbiosa Rekatama Media, Bandung
Yusuf, Iwan Awaluddin, 2005, Media, Kematian, dan Identitas Budaya
Minoritas, Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH
Suara Merdeka – Semarang, Yogyakarta, UII Press

137
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia:
Mungkinkah?

Salvatore Simarmata, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya


Yogyakarta

“At the heart of democracy is talk,” demikian Barber (1990: 174). Demokrasi
pada hakekatnya adalah perbincangan politik yang didasarkan pada dan untuk
mencapai kesepakatan bersama. Bukan sekadar kesepakatan tanpa dasar, tetapi
kesepakatan yang berlandaskan kepentingan bersama. Bagi para pengagas
demokrasi deliberatif yang melihat partisipasi warga negara sebagai tulang
punggung demokrasi, political talk merupakan sebuah keharusan (Barber, 1990;
Bohman, 1996), agar tercapai kesepahaman (consensus) terkait model dan cara
apa yang terbaik dalam mewujudkan kepentingan bersama (Habermas, 1974).

Dalam demokrasi langsung pada zaman Yunani kuno, proses deliberasi


diperankan langsung oleh tiap-tiap warga Athena di polis tanpa perlu
mewakilkannya pada lembaga tertentu. Proses tersebut sangat berbeda dalam
demokrasi modern. Pada demokrasi sekarang, proses kesepakatan politik bukan
hanya diwakilkan, tetapi terjadi secara termediasi. Media massa, khususnya
televisi adalah yang utama dalam memerankan proses mediasi tersebut. Televisi
bahkan tampil sebagai aktor politik baru dalam demokrasi liberal dewasa ini.

Masalah kemudian muncul ketika media pada hakekatnya tidak dibentuk atas
dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Media terlebih televisi pada dasarnya
didirikan untuk kepentingan privat individu, yaitu: mengejar profit. Televisi
dengan sistem dual market-nya (McQuail, 2000), berusaha untuk
melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjual produk media dalam
bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untuk menjual para penontonnya.
Pembelinya adalah agen iklan dan perusahan tertentu yang membutuhkan
publikasi. Angka-angka hasil surve rating menjadi ukuran bagi kesuksesan
‘pasar ganda’ televisi ini.

Di sisi lain, televisi seperti juga radio berbeda secara struktural dengan media
lain. Televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi gelombang radio yang
merupakan sumber daya yang terbatas, sehingga penggunaannya perlu diatur.
Berbeda dengan televisi, surat kabar dan majalah seperti sekarang ini di
Indonesia, tidak perlu diatur secara ketat sebab siapa saja yang punya modal
bisa mendirikan media tersebut. Artinya, televisi menjadi lebih rawan terhadap
represi kekuasaan lewat intervensi kekuasaan baik dalam bentuk undang-
undang, pencabutan izin, maupun tindakan kekesaran, khususnya pada rezim
otoritarian.

138
Tetapi, rezim otoritarian di Indonesia sudah lengser. Lalu, apakah media televisi
telah memberi kontribusi yang substantif bagi konsolidasi demokrasi? Apakah
dengan tumbangnya rezim otoritarian, media televisi bisa menjadi ruang publik
di Indonesia? Dengan sistem demokrasi perwakilan, mungkinkah secara
struktural televisi menfasilitasi demokrasi deliberatif di era pemilihan langsung
sekarang ini?

Menelisik peran televisi dalam konteks dinamika politik Indonesia merupakan


bagian dari upaya konsolidasi demokrasi itu sendiri. Sebab, pertama, demokrasi
tidak mungkin hidup tanpa media yang demokratis, otonom, dan plural. Kedua,
munculnya gejala industrialisasi politik (Kompas, 15/06/2010). Dewasa ini
politik bukan lagi persoalan politik semata. Politik telah menjadi sebuah
korporat yang ditandai dengan munculnya kecenderungan industrialisasi politik.
Proses pemilihan politik (nasional dan lokal) telah sepenuhnya melibatkan
banyak pihak dan kepentingan, seperti konsultan politik, lembaga survei, dan
sponsor, di mana citra menjadi yang utama daripada program dan ideologi
kandidat. Sejak pemilu langsung tahun 2004, serangan imaji-imaji iklan lebih
mendominasi layar kaca ketimbang diskusi hangat tentang rencana strategi
implementasi agenda politik yang feasible. Gejala ini menempatkan televisi
sebagai alat politik sempurna untuk membangun citra, dan hubungan simbiosis
mutualistik antara keduanya pun terbentuk.

Ketika citra menjadi tumpuan, rasionalitas menjadi tidak penting. Banalitas


politik demokrasi tergerus oleh permainan citra-citra yang membentuk realitas
palsu, sebuah simulakra, kata Jean Baudrillard (1992). Sebagai alasan ketiga,
sebaliknya pada saat yang sama masyarakat membutuhkan informasi yang
beragam dan relevan dengan kehidupan dan kepentingan sehari-hari mereka.
Informasi diperlukan oleh masyarakat untuk melakukan penilaian atas jalannya
pemerintahan sehingga mereka dapat mengambil sikap politik yang pada
akhirnya menguatkan sistem demokrasi yang substantif, bukan sekedar
demokrasi prosedural-makanistis. Alasan terakhir, mencuatnya kecenderungan
elit partai sebagai pemilik televisi tertentu, sebuah paralelisme politik yang bisa
berbahaya bagi demokrasi.

Sesungguhnya, bukan hanya rakyat biasa, para elit politik juga sangat
tergantung pada informasi yang disediakan oleh media lewat pemberitaanya.
Hanya dengan informasi yang cukup, deliberasi politik baik oleh para politisi,
pengamat, akademisi, dan rakyat biasa dapat terwujud secara berkualitas.
Sejalan dengan itu, televisi sebenarnya menggunakan fasilitas publik, yaitu
gelombang frekuensi yang dikelola oleh negara. Maka bentuk pertanggung-
jawaban publik tersebut hendaknya dapat diwujudkan lewat pelayanan televisi
dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk

139
membangun komunitasnya, memperbaiki kehidupannya, serta terdorong untuk
membela nilai-nilai demokrasi demi kemajuan bangsanya.

Media dan Demokrasi


Posisi media dalam demokrasi telah lama dikaji dalam konteks komunikasi
politik, khususnya yang berkaitan dengan media effect (a.l. Lasswell, et al.,
1980; McNair, 2003, Crigler, 1999). Di sisi lain teori-teori klasik telah
dikembangkan untuk melihat bagaimana media menjadi variabel dependen atas
sistem politik, khususnya di negara-negara otoriter (Siebert, et. al., 1963;
Hachten, 1989; McQuil, 2000). Dalam negara otoriter misalnya, media
ditempatkan sangat lemah dan menjadi bagian dari alat propaganda negara.
Tidak ada tanda-tanda perbincangan politik secara terbuka di sana.

Dari kedua tinjauan tersebut dapat ditarik benang merah hubungan antara media
dan demokrasi merupakan sebuah hubungan timbal-balik. Resiprokalitas
hubungan tersebut dikembangkan oleh Mughan dan Gunther (2000) untuk
mengkaji media dalam demokrasi lewat pendekatan mikro dan makro. Setelah
melihat kajian yang sudah disebutkan sebelumnya, pendekatan ini bukanlah
sesuatu yang baru, tetapi integratif. Sebuah pendekatan integratif tentu akan
mampu membaca fenomena secara mendalam dan komprehensif. Di samping
itu, diperlukan konsep-konsep kekinian untuk mengambarkan dinamika terbaru
atas hubungan media dan politik dalam konteks demokrasi liberal dewasa ini.

Pendekatan makro diterapkan dengan mengkaji struktur sistem media dan


bagaimana sistem tersebut memengaruhi politik. Pada umumnya, karakter
sistemik yang dibahas adalah pola peraturan pemerintah, pola kepemilikan
media, pola program acara, struktur audiens, dan tingkat penonton (viewership).
Sementara pendekatan mikro lebih fokus pada investigasi efek komunikasi
politik pada level individual, biasanya pada musim kampanye menjelang pemilu
(Mughan dan Gunther, 2000). Tetapi dalam level makro, Gunther dan Mughan
(2000) juga melihat munculnya faktor ekonomi yang mempengaruhi posisi
media dalam demokrasi dalam bentuk liberalisasi ekonomi dan liberalisasi
media.

Pendekatan filosofis dalam mengembangkan teori pers oleh Siebert, et al.


(1963), teoritisasi dinamis dari Hachten (1989), dan kategorisasi model dari
Hallin dan Mancini (2005) merupakan kajian level makro. Berikut
digambarkan pemodelan teoritis tersebut:

Tabel 1: Faktor Pengaruh Level Makro pada Media4


4
Penyusunan model ini didasarkan pada perspektif makro dengan meletakkan sistem politik dalam dua tipe
secara berlawanan (demokrasi dan non-demokrasi). Model sistem media yang terbentuk akibat faktor makro

140
(Diolah dari: Sibert et al, 1963; Hallin & Mancini, 2005; dan Hachten, 1989)

Model Sistem Media


Tokoh Faktor Makro Demokratis Non-
No
demokratis
1 Siebert, et Social and Libertarian Authoritarian
al. political Social Soviet
(1963) structures responsibility communist
Philosophical
rationales
2 Hachten Political system Western concept Authoritarian
(1989) and historical Communist
traditions Developmental
Hallin & Media sirculation Polarized Revolutionary
3 Mancini Political pluralist
(2005) parallelism Democratic
Professionalism corporatist
State intervention Liberal model

Persamaan di antara model di atas adalah: politik merupakan variabel pengaruh


bagi keberadaan media. Konsep Hachten (1989) tidak jauh berbeda dengan
pemikiran klasik dari Siebert et al. (1963). Kebaruan pada Hachten adalah
munculnya model baru yang dipengaruhi oleh pemanfaatan media sesuai
dinamika masyarakatnya, seperti model pembangunan. Pada kesempatan kali
ini, kita akan menfokuskan pembahasan pada model tipe demokratis. Tujuan
dari internalisasi model ini adalah untuk melihat faktor-faktor makro yang
masih relevan dalam melihat bagaimana media di Indonesia berperan/tidak
berperan bagi pengembangan demokrasi sebagaimana mestinya. Dari model-
model di atas, pemikiran Hallin dan Mancini (2005) akan dijadikan sebagai
dasar teoritis.

Hallin dan Mancini (2005) mengusulkan tiga model media dalam demokrasi
dengan berpijak pada empat indikator empiris, yaitu: (1) Pertumbuhan pasar
media dilihat dari tingkat sirkulasi media; (2) Political Parallelism dimana
antara media dan partai politik memiliki kemiripan. secara ideologis; (3)
Profesionalisme wartawan dan kinerja jurnalistiknya; dan (4) Tingkat intervensi
negara terhadap media. Berdasarkan empat kriteria tersebut, Hallin dan Mancini
menemukan tiga bentuk model media, seperti terlihat pada tabel di atas.

Jika kita korelasikan antara keempat indikator ini dengan sistem media ideal,
maka akan terbentuk empat hipotesis berikut: pertama, semakin tinggi tingkat

tersebut diletakkan sesuai dengan karakter sistem politik demokratis dan non-demokratis.

141
pertumbuhan pasar media, maka makin independenlah media tersebut terhadap
pengaruh dari luar khususnya negara. Media yang sukses secara ekonomi akan
lebih bebas dari intervensi politik, ketimbang media yang kurang sehat secara
bisnis. Media yang independen adalah pilar penting bagi demokrasi. Kedua,
keragaman ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika juga
terrepresentasi dalam media. Walaupun indikator ini mengandung paradoks
tersendiri yang nanti akan dijelaskan. Dalam konteks ini, sejauh keragaman
tersebut masih dalam batas nilai-nilai demokrasi dan koridor hukum. Ketiga,
semakin tinggi profesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media
tersebut. Profesionalisme ini biasanya ditandai oleh kode etik, organisasi
jurnalis, perlindungan terhadap jurnalis, prinsip jurnalisme seperti objektivitas,
dan lain-lain. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap media,
makin bagus bagi peran media dalam demokrasi. Keempat proposisi tersebut
menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana peran media dalam demokrasi,
termasuk di Indonesia.

Politik demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat mengesankan.


Banyak pujian datang dari negara lain dan lembaga internasional atas
kesuksesan Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi (The Jakarta Post,
28/06/2010). Tetapi banyak ahli menilai bahwa demokrasi yang dinilai sebagai
kesuksesan tersebut masih sebatas demokrasi minimalis, sekadar pelaksaan
pemilu yang demokratis. Demokrasi secara substansial masih jauh dari
kenyataan, atau oleh Boni Hargens disebut sebagai demokrasi permukaan
(Kompas, 27/01/2009). Demokrasi substansial terwujud ketika kesejahteraan
masyarakat menjadi fokus utama dalam usaha-usaha politik secara nyata, di
mana hasil pembangunan dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk
kemerdakaan yang hakiki. Terbebas tidak hanya dari aspek fisik, seperti
makanan, pakaian, kesehatan, tetapi juga dari aspek kebebasan untuk berkarya,
berkumpul, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya.

Realitasnya, politik Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Krisis


demokrasi perwakilan sebagaimana disinggung oleh Barber (1990) menguap di
tengah disorientasi lembaga-lembaga politik di tanah air. Ketika realitas politik
menunjukkan gambar yang buram, media menjadi bagian dari struktur yang
tidak mencerdaskan tersebut. Apa yang kita saksikan di televisi akhir-akhir ini
lebih banyak berita bersifat elitis. Mulai dari pergantian sekretaris jenderal
partai, krisis koalisi, hingga konflik legislatif-eksekutif. Ketika hari berganti,
muncul berita tentang kasus korupsi para pejabat negara yang makin melukai
rasa keadilan. Di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, televisi menyajikan
tontonan yang membuat masyarakat semakin merasa dipinggirkan. Krisis
demokrasi perwakilan karena ulah para elit ini membuat masyarakat makin
apatis terhadap politik. Konsekuensinya, warga negara semakin jauh dari
keterlibatan politik. Di satu sisi karena ulah elit politik, di sisi lain media tidak

142
memberikan informasi yang substantif berkaitan dengan kepentingan mereka.
Pada akhirnya, rendahnya partisipasi politik berdampak buruk pada kualitas
demokrasi.

Dalam tataran inilah televisi semakin mendesak untuk direvitalisasi, demi


menegakkan demokrasi. Media televisi mestinya dapat lebih berperan tidak
hanya sebatas pengawas (watch dog), tetapi sebagai ruang publik ideal. Dengan
kata lain televisi mestinya tidak hanya sebatas sarana, melainkan juga sebagai
ruang untuk deliberasi demokratis. Dalam ruang publik perlu ditegakkan
pluralitas pikiran dan partisipannya, sehingga media televisi tidak berubah
menjadi alat propaganda elitis yang pervasif. Alih-alih mencerdaskan, televisi
bisa terjerumus menjadi aktor hegemoni kultural. Paletz dan Etnman (1981:
194) menyatakan bahwa: By granting the elites substantial control over the
content, emphases, and flow of public opinion, media practices diminish the
public’s power. Eliminasi atas publik ini bisa disengaja oleh media, bisa juga
tidak disadari.

Di tengah proses deliberasi yang termediasi sekarang ini, kredibilitas media


menjadi penentu keberhasilan deliberasi publik, sehingga dapat mewujudkan
apa yang disebut Gamson (2001): collective action frames. Kerangka tindakan
kolektif, menurut Gamson adalah: some sense of collective efficacy and deny
the immutability of some undesirable situation. They empower people by
defining them as potential agents of their own history (Gamson, 2001: 59).
Peran media ini membutuhkan komunikator professional, orang-orang yang
tidak hanya membantu para ahli untuk saling berkomunikasi, tetapi juga
mengumpulkan, menjelaskan, memperdebatkan, dan menyebarluaskan
informasi dan ide-ide terbaik tentang kebijakan publik sehingga dapat ditangkap
oleh warga masyarakat biasa (Page, 1996: 5).

Warga negara yang well-informed akan membuat rational political choices.


Pilihan politik rasional penting bagi demokrasi, bukan hanya karena landasan
pembuatan keputusannya tetapi juga karena dengan demikian masyarakat
terdorong untuk berpartisipasi. Partisipasi politik yang tinggi niscaya
menciptakan budaya politik yang kuat. Barber (1990) menyebutnya: strong
democracy. Sebagai antithesis terhadap thin democracy, Barber menegaskan:

Strong democracy is defined by politics in the participatory mode: literally it is


self-government by citizens rather than representative government in the name
of citizens. Active citizens govern themselves directly here, not necessarily at
every level and in every instance, but frequently enough and in particular when
basic policies are being decided and when significant power is deployed. Self-
government is carried on through institutions designed to facilitate ongoing

143
civic participation in agenda-setting, deliberation, legislation, and policy
implementation (in the form of ‘common work’)” (Barber, 1984: 151).

Televisi menjadi salah satu dari berbagai institusi yang berfungsi untuk
menfasilitasi partisipasi warga dalam pembentukan agenda politik, deliberasi,
legislasi, dan implementasi kebijakan politik. Pekerjaan ini ditempatkan sebagai
common work, sebagai dasar terbentuknya apa yang disebut Gamson sebagai
collective action frames. Pusat dari demokrasi partisipatif adalah warga negara
(the citizens). Maka demokrasi deliberatif yang menempatkan partisipasi warga
negara sebagai pilar utama dalam sistem politik sangat relevan dengan
kehadiran teknologi media baru. Demokrasi deliberatif, menurut Bohman
(1996) secara teoritis memiliki empat ciri, yaitu: (1) menekankan pentingnya
deliberasi untuk mencapai keputusan politik; (2) menolak reduksi politik dan
pengambilan keputusan pada rasionalitas instrumental-strategis; (3) bersifat
proseduralis; dan (4) menjungjung universalitas.

Dalam demokrasi deliberatif terdapat kekuatan tindakan komunikatif dalam


forum publik. Proses deliberasi dalam forum terbuka tersebut adalah: sebuah
proses di mana warga negara berusaha untuk meyakinkan warga lainnya untuk
menerima kebijakan yang diusulkan dengan berlandasan penggunaan reason di
hadapan publik (public use of reason) lewat proses dialog deliberatif yang take
and give (Bohman, 1996: 15). Demokrasi yang dibangun secara diskursif lewat
ruang publik tersebut merupakan “rumah” bagi konstestasi berbagai wacana, di
mana pada proses komunikasi tersebut harus dipenuhi tiga syarat, yaitu: mampu
merangsang pemikiran reflektif, non-koersif, dan mampu menghubungkan
pengalaman individual/kelompok dengan sebuah prinsip yang lebih umum
(Dryzek, 2003: 9-10).

Sejalan dengan itu, Bohman (1996) menyebutkan bahwa proses deliberasi dapat
berhasil jika dipenuhi tiga syarat, yaitu: (1) tidak ada dominasi dalam proses
deliberasi di mana ada seseorang atau kelompok yang memaksakan
kekuasaannya untuk kepentingan tertentu; (2) adanya kesetaraan di mana setiap
warga negara memiliki akses yang sama terhadap proses pengambilan
keputusan; dan (3) deliberasi akan bersifat demokratis ketika dilakukan secara
publik.

Media televisi memiliki kualitas yang sangat tepat mengembangkan model


demokrasi deliberaif ini. Dua bentuk genre berita televisi yang paling tepat
untuk demokrasi delibertif adalah television debate dan current affairs, karena
dimungkinkannya terjadi dialog. Sifat mediumnya yang mampu menghadirkan
pesan audio-visual menjadi kekuatan tersendiri ketika ditayangkan secara live
untuk sebuah acara dialog. Diskusi “interaktif” yang menghadirkan berbagai
kalangan, mulai dari pemerintah, warga masyarakat, akademisi, LSM, dan lain-

144
lain, akan menciptakan kesepahaman (mutual understanding) yang lebih
komprehensif. Secara struktural, berikut digambarkan proses interaksi tersebut:
The State/Government/Political
Establisement

Trade Public
Unions opinion

Political parties
Editoria
Features
ls

Pressure Business
groups News
Media

Current
Affairs
TV
debates

Public Terrorist
organizations organizations

Citizens

Bagan 1. Televisi sebagai Ruang Publik


(Dikutip dari: McNair, 2003, hal. 20).

Ruang publik (public sphere) merupakan sebuah ruang yang bebas dari tekanan
kekuasaan negara dan ekonomi, di mana warga negara melakukan pembicaraan
politik atau deliberasi guna mewujudkan suatu kesepahaman bersama terkait
dengan kepentingan umum yang lebih luas. Konsep dasar ruang publik ini
umumnya didasarkan pada pemikiran Jurgen Habermas. Habermas
mengungkapkan beberapa defenisi tentang ruang publik tersebut sebagai
berikut: “The public sphere is a realm of our social life in which something
approaching public opinion can be formed (Habermas 1974: 49); private
persons making public use of their reason (Habermas 1989: 27); populated by
private people gathered together as a public and articulating the needs of
society with the state (hal.176).”

Setidaknya ada empat “elemen” penting dalam ruang publik, yaitu: private
persons, use of reason, needs articulation, dan public opinion. Jadi, debat
politik dalam acara televisi (TV debates) maupun pada program dialog pada
program current affairs merupakan upaya untuk merealisasikan elemen-elemen
penting tersebut.

145
3. Media Televisi: Kapital vs Publik
Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa faktor makro politik lebih
dominan dalam menentukan ruang gerak media. Faktor struktural tersebut
terdiri dari peraturan pemerintah dan intervensi negara terhadap media.
Pengekangan terhadap media akibat struktur politik ini umumnya terjadi di
negara-negara otoriter, di mana kebebasan menjadi barang langka.

Namun ketika kebebasan diraih, apakah media menjadi sejalan dengan prinsip-
prinsip demokrasi? Sayangnya jawabannya: tidak! Mughan dan Gunther (2000)
menengarai bahwa liberalisasi yang pada awalnya meruntuhkan rezim otoriter,
kemudian menumbuhkan liberalisasi media, pada akhirnya media tidak serta-
merta menunjukkan prinsip-prinsip demokrasi. Media dalam era kebebasan
(demokrasi) disandera oleh kekuatan yang dulu membebaskannya, yaitu
kekuatan liberalisasi ekonomi. Kapitalisme sebagai dasar liberalisasi mengeser
media tidak lebih dari sekadar pelipatgandaan modal.

Dalam prinsip pasar bebas, sebagai mesin penggerak kapitalisme, media tidak
lagi berupaya untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh ‘publik’. Upaya-
upaya yang dilakukan oleh media mulai dari komodifikasi, spasialisasi, hingga
strukturasi, dimaksudkan untuk mengejar keuntungan belaka (Mosco, 1996).
Media lebih terdorong untuk menyediakan informasi yang paling banyak dicari,
lepas dari diperlukan atau tidak oleh masyarakat. Media lebih berorientasi
mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga ekonomi. Profit menjadi
prioritas utama dibandingkan fungsi normatif yang harusnya dipengang oleh
media. Pada saat yang sama akses masyarakat terhadap media rendah terlebih
untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Masyarakat juga kurang bisa memilih informasi yang lebih sesuai dengan
kepentingannya, karena patokan utama yang dipegang oleh media adalah
melayani kebutuhan mayoritas jenis informasi yang diinginkan dalam kebijakan
free-market information. Jenis informasi yang tersedia (supplied) pada akhirnya
adalah informasi yang paling banyak dicari (demanded), lepas dari bermanfaat
atau tidak bagi masyarakat. Akibatnya, deliberasi demokratis lewat media lama
niscaya terkikis oleh dorongan kepentingan ekonomi media. Dalam situasi ini,
Jurgen Habermas (1989) pernah membongkar bahwa media yang mestinya
berperan sebagai ruang publik, telah ‘mengidap penyakit’ refeodalisasi ruang
publik.5 Ruang partisipasi politik lewat media akhirnya tertutup rapat.
Penjajahan ruang publik membuat oleh kukuatan luar yang menjadi pengerak
5
Feodalisasi ruang publik, menurut Habermas (1989) terjadi di awal pembentukannya lewat kooptasi politik
dari negara (hirarki kekuasaan) pada abad ke-16. Refeodalisasi ruang publik (abad ke-19) ini disebabkan
karena makin absolutnya kekuatan kapitalisme dalam ruang publik (media massa khususnya), di mana
bombardir tayangan iklan dan hiburan massa menyatu sebagai alat untuk menundukkan sikap kritis warga
negara.

146
nafas ruang publik tersebut, membuat sesuatu yang publik (masalah politik
misalnya) menjadi tunguk pada logika yang ‘privat’. Colonization in this sense
thus means the almost unconditional surrender of politics … to the logic of the
media system (Meyer & Hinchman, 2002: 57).

Sebagian kalangan berpendapat, tidak salah jika media televisi menjadi lembaga
bisnis, dan beroperasi demi kepentingan bisnis. Apakah ada yang salah dengan
itu? Tentu tidak ada yang salah. Tetapi eksistensi media pada dasarnya ditopang
oleh kepercayaan masyarakat. Kepercayaan ini yang melahirkan hubungan
mutualisme yang baik. Kepercayaan tersebut perlu dipelihara lewat kinerja
media yang dapat memberi kontribusi bagi kebaikan masyarakat. Maka sangat
tepat McQuail (2000) menyebut media sebagai “institusi sosial”, bukan media
corporation misalnya. Institusi sosial mengindikasikan adanya dimensi
sosiologis atas keberadaan media tersebut. Tanpa interaksi yang produktif
antara media dan masyarakat, maka media tersebut tidak akan eksis. Di samping
alasan sosiologis ini, ada alasan legal-politis yang lebih tegas untuk mendorong
agar media televisi menjungjung kepentingan publik.

Televisi di mana pun, termasuk di Indonesia menggunakan fasilitas publik,


yaitu gelombang siaran yang terbatas. Sumber daya tersebut diserahkan kepada
negara untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat. Pada butir (b) bagian
pertimbangan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dituliskan: bahwa
spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan
kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan
cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 (penekanan oleh penulis).

Sayangnya, kinerja media televisi di Indonesia terlebih 10 tahun terakhir sangat


dikendalikan oleh keseragaman, eksploitasi sisi human interest, irrasionalistas,
dan tubuh yang seksi. Semuanya demi meningkatkan tingkat viewership.
Singkat kata, the economy reigns! Dalam situasi seperti itu, pemerintah
sebenarnya harus turun tangan.

Negara sebagai bentuk kristalisasi kepentingan publik harus menjamin


terwujudnya prinsip kepublikan tersebut.6 Bentuk yang paling lazim adalah
penegasan fungsi pengawasan, serta menjalankan pengaturan pemakaian
gelombang sebagaimana telah diatur Undang-Undang. Fungsi Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakili kepentingan publik perlu

6
Keterlibatan negara dalam hal ini bukan dimaksudkan untuk mengontrol media televisi, tetapi untuk
memastikan terpenuhinya hak-hak publik. Bentuknya tentu tidak bersifat represif, tetapi sebagai bagian dari
wujud law enforcement. Regulasi di satu sisi memang sering berkonotasi buruk, tetapi di sisi lain dia juga
diperlukan sesuai konteks. Deregulasi terhadap media televisi, tidak otomatis menjamin terpenuhinya hak-hak
publik. Justru ketika pasar menjadi “penguasa”, kepentingan publik harus dibela lewat penjaminan oleh
negara.

147
mengandung sifat mengikat, bukan hanya fungsi pengawasan normatif saja.
Kemudian, evaluasi penggunaan gelombang siaran pasti efektif untuk
‘meluruskan’ kepentingan publik dalam televisi. Pasal 34 ayat 1 butir b, UU No.
32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran berbunyi demikian: “Izin penyelenggaraan
penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 tahun”; ayat 6, berbunyi:
“Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin
dan tidak diperpanjang kembali”. Apakah mekanisme kontrol ini sudah
dijalankan, tampaknya kita masih harus menunggu political guts dari KPI.

Persoalan terbesar muncul ketika di era neoliberal ini, kehadiran negara tidak
hanya samar-samar, tetapi menjadi bagian dari kekuatan ekonomi yang
menggerogoti eksistensi ruang publik televisi di Indonesia. Kedekatan antara
penguasaha media televisi dengan pemerintah, bahkan menjadi bagian dari
incumbent sangat berbahaya terhadap terwujudnya televisi sebagai ruang
publik. Tanda-tanda buruk lainnya adalah ketika kekuatan politik dan kekuatan
ekonomi, menyatu di dalam kepemilikan media televisi seperti sekarang ini.
Sehingga acap kali televisi tidak lebih dari sekadar alat personal marketing
kalau bukan corong propaganda pemiliknya.

Politik dan Televisi di Indonesia


Sebelumnya saya telah menegaskan ada empat pintu masuk untuk mengukur
televisi sebagai ruang publik dalam demokrasi, yaitu: pertama, semakin tinggi
tingkat pertumbuhan pasar media, makin independenlah media tersebut
terhadap pengaruh dari luar. Kedua, keragaman, atau saya menyebut: pluralitas
ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam
media. Ketiga, semakin tinggi profesionalisme wartawan maka semakin bagus
kinerja media tersebut. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap
media, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi.

Indonesia sendiri tidak punya pengalaman yang ‘sehat’ tentang televisi dalam
demokrasi. Artinya belum ada sebuah periode di mana politik dan media saling
bekerja sama secara sinergis untuk memajukan nilai-nilai demokrasi itu sendiri,
walaupun awalnya televisi merupakan hasil pilihan politik dari pemerintah.
Televisi pertama Indonesia, TVRI yang didirikan oleh Soekarno tahun 24
Agustus 1962 yang awalnya ditujukan untuk ‘mempromosikan’ kemampuan
Indonesia di dunia internasional, ‘diubah’ menjadi alat politik negara selama
kurang lebih 32 tahun. Bukan hanya tidak boleh memberitakan informasi yang
berbeda dari penguasa, TVRI juga menjadi badan tersendiri untuk mengekang
informasi yang diberitakan oleh televisi swasta yang muncul awalnya tahun
1987. Setelah mendominasi ruang keluarga selama 32 tahun lebih, TVRI
akhirnya harus bersaing dengan televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI,
ANTV, dan Indosiar. State intervention pada masa itu juga tidak sekuat era
sebelumnya. Tetapi, sepak terjang televisi swasta ini selain tidak pernah

148
menikmati kebebasan yang sesungguhnya, pada dasarnya punya orientasi yang
sama. D’Haenens, et al. (2000) menemukan bahwa:

Generally, it can be said that the commercial stations are beginning to look like
because the fierce competition between them. Although RCTI, for example,
focuses a little more on the Indonesian society’s upper social and economic
echelons and TPI more on the lower ones, actual differences are minimal. All
commercial stations share the same aim: maximizing profits (hal. 218).

Sejak reformasi media televisi mengalami perubahan yang besar, baik dari segi
struktur maupun fungsinya. Perubahan struktur disebabkan karena munculnya
stasiun televisi swasta baru sehingga tercipta kompetesi di antara mereka.
Perubahan fungsi tersebut juga dipengaruhi oleh menjamurnya produksi budaya
yang mengubah pola perilaku masyarakat. Lengsernya Orde Baru,
menempatkan media sebagai sumber informasi yang penting dan dipercaya oleh
masyarakat. Media televisi tidak hanya banyak, tetapi mulai muncul perhatian
serius pada aspek berita seperti SCTV dan MetroTV, dan terakhir TVone. Pada
era ini state intervention murni sudah sangat longgar. Walaupun muncul wujud
baru dari intervensi ini ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk
menjamin kebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol
dengan sistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu
sebagai warranty body atas kepentingan pengelola media.

Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketika televisi
tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagi dipandang sebatas
kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politik para aktor-aktor politik.
Kini, televisi telah menjadi kekuatan politik tersendiri bagi para aktor-aktor dan
partai politik. Perubahan fungsi politik media televisi ini dimobilisasi oleh
semakin canggihnya strategi komunikasi politik aktor dan partai politik dengan
melibatkan para professional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada
saat yang sama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap politik dan lembaga-lembaga politik, sehingga televisi
dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut. Apa yang
ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics, yang nota bene
berbeda dengan the real politics.

Media televisi di Indonesia menikmati kebebasan yang sangat besar, sejak


dihapuskannya Departemen Penerangan pada era pemerintahan Abdurrahman
Wahid. Tekanan negara terhadap media televisi juga makin menurun termasuk
dari pihak militer. Pada saat yang sama bermunculan stasiun-stasiun televisi
baru. Dunia jurnalistik juga mulai dibenahi dengan membentuk berbagai
lembaga organisasi keprofesian seperti Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi
(JTV), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan berbagai organisasi media wacth.

149
Di tengah itu semua, Indonesia memasuki era konsolidasi demokrasi sambil
berusaha keluar dari keterpurukan ekonomi akibat krisis ekonomi. Pantaslah
kita berharap bahwa media televisi akan semakin bergerak mendekati bentuk
idealnya dalam demokrasi.
Secara struktural media televisi di Indonesia telah memenuhi indikator-indikator
dasar dengan mana dia dapat memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan
publik. Banyaknya stasiun televisi nasional mestinya menjamin keragaman
informasi politik yang disebarluaskan. Dengan alasan itu pula berarti bisnis
televisi (media economy) mengalami kemajuan sehingga dia tidak tergantung
pada sumbangan pemerintah seperti terjadi pada masa orde baru. Kemudian
makin ada kesadaran tentang bagaimana para pekerja media televisi mestinya
dapat menegakkan profesionalisme mereka. Selain dibuatnya kode etik jurnalis,
lembaga-lembaga independen juga banyak dibentuk sebagai wujud kepedulian
pada jurnalisme yang professional. Dengan jurnalisme professional, media
televisi dapat terhindar dari pemberitaan yang bertentangan dengan nilai-nilai
demokrasi.

Tetapi pendekatan di atas bisa jadi masih politically one sided. Analisis tersebut
kurang memperhatikan kekuatan ekonomi yang bahkan jauh lebih dominan
dalam media televisi. Media televisi sangat tergantung dengan iklan. Hal ini
berbeda dengan media cetak seperti surat kabar dan majalah, atau film. Media
televisi memiliki sumber revenue utamnya dari iklan, sementara surat kabar bisa
dari iklan dan juga hasil penjualan oplah. Sehingga media televisi secara politik
sangat tergantung pada kekuatan iklan. Pada saat yang sama kandidat pejabat
publik dan partai politik secara lihai telah melihat kelemahan televisi ini.
Bersedia tidaknya sebuah stasiun televisi untuk menyiarkan materi iklan politik
tertentu tidak ditentukan apakah isi iklan tersebut layak atau tidak dikonsumsi
oleh publik, apakah iklan tersebut mencerdaskan pemilih atau tidak, tetapi lebih
ditentukan oleh apakah partai politik sanggup membayar biaya tayang iklan
tersebut.

Ketika uang yang menjadi penentu kesediaan televisi untuk menayangkan iklan
politik partai-partai dan aktor politik, maka hukum klasik pasar berlaku.
Kandidat dan partai politik dalam pemilu yang tidak kaya misalnya sulit untuk
punya akses terhadap media televisi. Dengan demikian ‘partai-partai besar’ saja
yang akan menguasai jagat ruang publik tersebut. Kompetisi politik dalam
kontes pesta demokrasi berubah menjadi persaingan bisnis. Masalahnya spirit
bisnis, sangat jauh berbeda dengan spirit demokrasi. Maka pada situasi seperti
ini, semua indikator politik makro yang disebutkan sebelumnya menjadi tidak
relevan.

Kecenderungan akomodasi media televisi ini juga berdampak pada corak


pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputar kekuasaan, di

150
mana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politik yang ditampilkan di
ruang publik. Makna ‘publik tidak lagi berkorelasi dengan res public, tetapi
seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana ‘publik’ atau ‘kepublikan’ sendiri
hanya muncul dalam konteks ‘perwakilan’, atau representation lewat kehadiran
‘lembaga publik’, ‘pejabat publik’ (Habermas, 1991: 5). Muncul keseragaman
corak dan wacana pemberitaan media televisi oleh karena memiliki kerangka
kerja yang sama. Karakter buruk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab “publik”
mestinya hadir sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara
bersama-sama ‘melampaui perbedaan di antara mereka’, mencapai suatu
kesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaan akan
perbedaan informasi yang dipertukarkan.

Jurgen Habermas (1984) menyatakan untuk mencapai ruang publik ideal,


deliberasi publik mestinya didasarkan pada kualitas-kualitas berikut:
comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara Steven Schneider
(1997), dengan mengembangkan konsep teori demokrasi Habermas menemukan
empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan (equality), keragaman (diversity),
saling berbalasan (reciprocity), dan kualitas (quality). Kelengkapan berarti
informasi yang dipertukarkan secara menyentuh seluruh aspek isu yang dibahas,
ada keragaman wacana di dalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh
pihak-pihak terlibat harus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut
diharapkan akan memberi nilai kebaikan bagi masing-masing pihak. Jadi
deliberasi dalam televisi itu bukan merupakan alat politik untuk
mempertahankan citra, melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan
secara bersama-sama dengan bertumpu pada reasoned arguments.

Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pihak diperlakukan secara
sama, walaupun pada diri mereka terdapat keberagaman. Ukuran kualitas
keberagaman informasi tersebut tidak dilihat dari sisi perbedaannya, tetapi
alasan rasional yang mendukungnya. Dengan demikian ketidaksetujuan bukan
merupakan hal yang janggal dalam proses deliberasi di ruang publik, tetapi
sebagai proses pemurnian pemikiran secara dialektis ketahap yang paling
sempurna. Televisi khususnya lewat dua format programnya, yaitu: debat
langsung dan current affairs atau dialog sangat ideal untuk menerapkan
paradigma ruang publik ideal ini.
Sayangnya, yang sering terjadi di Indonesia adalah informasi (berita khususnya)
yang bias kepentingan pemilik media. Di dalam televisi juga lebih dominan
eksploitasi sisi-sisi emosional lewat dramatisasi, rekayasa, dan sensasionalisasi.
Akibatnya, ‘informasi’ yang disampaikan menjadi hilang substansi. Gejala ini
seolah menegaskan bahwa praktek komunikatif televisi tidak lebih dari sekadar
kelatahan, sehingga cara menyampaikannya dipandang menjadi lebih pentingan
dari apa yang disampikannya itu sendiri. Sehingga, wujud persaingan televisi di
Indonesia tidak lagi terletak pada televisi mana yang paling berkualitas

151
informasinya, melainkan cara menyampaikan seperti apa yang paling
sensasional dan dramatis.

Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadi wacana
dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi di Indonesia
tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agenda setting theory.
Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandang masyarakat, tetapi
bombardir informasi dengan sudut pandang tertentu akan menentukan apa yang
diperbincangkan di masyarakat. Penting atau tidak penting bukan merupakan
suatu pertimbangan di sini. Dalam realitas politik seperti muncul sebuah
kecenderungan bangkitnya elit politik sebagai pemilik televisi: sebuah
paralelisme yang menyimpan toksit bagi demokrasi. Meleburnya elit partai
sebagai pemilik televisi bisa menjadi televisi tersebut sebagai alat politik
penyeragaman wacana, tentu sesuai dengan kepentingan pemiliknya. Pluralitas
ideologi dan nilai-nilai politik dalam masyarakat tidak diakomodir di sini.

Informasi Politik dan Perilaku Pemilih


Peran televisi yang paling utama dalam demokrasi adalah bagaimana
masyarakat dapat memperoleh informasi yang beragam, substantif, dan relevan
dengan kepentingan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilai dan
menentukan pilihan politiknya.

Sepuluh tahun terakhir boleh dikatakan perilaku politik di Indonesia sudah


mulai bergeser ke arah politik rasional. Keyakinan ini didukung oleh beberapa
faktor. Pertama, semakin besarnya kuantitas masyarakat kelas menengah ke
atas dengan tingkat pendidikan yang memadai. Kedua, semakin terbukanya
sumber-sumber informasi yang beragam berkat perkembagan teknologi
informasi, sehingga mengubah cara pandang masyarakat tentang dirinya dan
dunia luar, termasuk atas politik.

Berikutnya yang ketiga, ditandai oleh tetap eksisnya partai-partai nasional,


sementara pada saat yang sama banyak partai-partai berbasis agama yang
menurun popularitasnya atau bubar. Keempat, seiring dengan itu mulai menarik
dirinya para tokoh-tokoh agama dari panggung politik. Kelima, mekanisme
pemilihan langsung mau tidak mau mendorong setiap orang untuk berusaha
mengenali siapa tokoh yang akan dipilihnya. Pencarian informasi merupakan
modal awal untuk menentukan pilihan politik yang lebih rasional. Keenam, pada
saat yang sama terjadi migrasi pemilih dari satu partai ke partai lain yang tidak
lagi didasarkan pada faktor identitas keagamaan tertentu.

Saiful Mujani dan William Liddle (2010) menegaskan tren yang sama. Kedua
ahli politik tersebut menyimpulkan bahwa: “As in 1999 and 2004, however, we
found little evidence that voters were influenced by their religious, ethnic,

152
regional, or social-class identities. […]. Indonesian voters have become
increasingly rational—setting standards, identifying goals, and choosing
leaders based on those standards and goals. Their preference for secular
national parties reduces the likelihood of ethnic or religious conflict.” (hal. 48).

Dinamika politik nasional sebenarnya memberi sinyal makin dibutuhkannya


informasi politik yang substantif oleh pemilih. Setelah masyarakat sebagai
pemilih (voters), terlepas dari kungkungan ikatan-ikatan tradisional dalam
mengambil keputusan, maka diperlukan landasan yang lebih kokoh dan rasional
untuk mengiring perubahan perilaku politik tersebut. Dalam situasi seperti ini
media sangat diharapkan dapat mengisi posisi itu. Sayang sekali, yang terjadi
adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa informasi di
media televisi kita cenderung elitis. Oleh karena itu pula, menjadi sangat top
down. Informasi politik yang menggambarkan hiruk-pikuk struktur politik
tidaklah salah. Tetapi, pendekatan tersebut harus disandingkan dengan
informasi dari bawah, dari masyarakat. Dengan pola top-down, maka:
“Political opinions flow downward. They originate among elites, are picked up
and propagated among attentive, then reach and shape the thinking of the mass
citizenry. Apoliticals are uninvolved, attracted only bey a major controversy
and dramatic event. The prestige and popular media are the prime conveyor
belts.” (Paletz dan Etnman, 1981: 186).

Akibat terparah dari informasi politik yang elitis adalah selain cenderung bias
kepentingan, juga membuat masyarakat menjadi cenderung penerima pasif atas
informasi. Bahkan bisa jadi apolitis. Padahal, dalam demokrasi, pilihan politik
yang rasional mesti didorong oleh keinginan aktif. Bahkan bentuk partisipasi ini
perlu mencapai ranah deliberasi secara diskursif di ruang publik. Dalam konteks
ini, seperti ditegaskan juga oleh Hardiman (2010: 1) ruang publik mendorong
partisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik sosio-politis mereka
lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Media televisi harus
tampil sebagai ruang yang mendorong deliberasi publik.

Salah satu upaya untuk mewujudkannya peran tersebut adalah pertama-tama


menyelamatkan ruang publik itu sendiri. Herry-Priyono (2010) mengaskan
bahwa ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan ruang publik,
yaitu: lewat rute kebijakan publik, rute re-edukasi selera pasar, dan rute re-
edukasi aktor.
Ditegaskan bahwa ‘ruang publik’ selalu mengisyaratkan ‘kebijakan publik’.
Oleh karena itu, kebijakan publik dapat diarahkan untuk menyelamatkan ruang
publik walaupun lembaga yang menjalankannya tidak selalu yang namanya
pemerintah. JIka kita kaitkan dengan media televisi di tanah air, maka ranah
kebijakannya tampaknya berada di tangan pemegang kekuasaan. Kebijakan
publik terkait dengan media televisi, mungkin bisa dimulai dari reorganisasi

153
televisi pertama kita, TVRI. Cita-cita menjadikan TVRI sebagai TV publik
tampaknya masih sebatas cita-cita, belum pada tingkat praktek. Persoalan di
tubuh TVRI boleh jadi lebih dari sekadar ‘kebijakan publik’. Pelaksana
‘kebijakan publik’ dalam konteks ini bisa juga KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia). Tetapi KPI juga mungkin membutuhkan ‘kebijakan’ sendiri yang
lebih memihak kepada publik.7 Atau terkait dengan lembaga tersebut, perlu
disusun ulang sebuah ‘kebijakan publik’.

Rute berikutnya adalah reedukasi selera pasar, baik dalam ranah produsen
maupun konsumen. Kasus televisi di Indonesia merupakan contoh yang sangat
tepat untuk ini. Selain perubahan mindset dan paradigma para produser dan
pekerja media lainnya, masyarakat juga perlu disadarkan dari mimpi-mimpi
semu yang mengelabui ketika mereka mengkonsumsi media televisi. Literasi
media yang mendorong, bermedia secara cerdas merupakan salah satu pilihan
praktis.

Serta, re-edukasi aktor sosial yang menjadi pelaku-pelaku utama dalam ruang
publik. Contoh yang sangat sederhana adalah bagaimana membudayakan nilai-
nilai civility dalam hidup keseharian, mulai dari budaya antri yang tertib hingga
bertoleransi secara menghargai. Upaya penyelamatan ini memang sudah
melebar. Tidak hanya dari segi struktur televisi sebagai ruang publik, tetapi
masyarakat atau agency juga ikut mempengaruhi perubahan struktur media
televisi. Dari segi struktur, pemberitaan media televisi perlu memegang teguh
prinsip impartiality khususnya atas pendapat dan informasi yang saling
bertentangan (competing views). Dua hal penting yang harus ditegakkan untuk
mencapainya adalah media pluralism dan nonpartisan news coverage of politics
(Gunther dan Mughan, 2000: 422).

Penutup
Televisi sebagai ruang publik di Indonesia tampaknya masih menggambarkan
panggang jauh dari api. Realitas televisi kurang mencerminkan kualitas ruang
publik sebagaimana diharapkan dalam konteks berdemokrasi. Kekuatan
struktural yang menggerogoti fungsi kepublikan televisi tersebut adalah
kepentingan kapitalis media, dan kepentingan politis pemilik medianya sendiri.
Sejalan dengan itu, struktur kekuasaan yang hadir dalam bentuk birokrasi
negara (pembuat kebijakan) telah dimanfaatkan oleh media sebagai penjamin
kepentingan media sendiri. Artinya, represi kekuasaan atas ruang publik yang
dihadirkan televisi tidak termanifestasi secara langsung dan eksplisit. Tren ini
seolah menggambarkan merajainya semangat neoliberalisme yang ingin
mengangkangi negara demi kepentingan pasar. Para elit politik juga lebih
melihat televisi sebagai alat untuk pembentukan citra. Bibit industrialisasi
7
Analisis kritis tentang “lembaga publik” yang satu ini lihat: Agus Sudibyo (2009) Kebebasan Semu,
Penjajahan Baru di Jagat Media, khususnya Bagian Pertama bab ke-3.

154
politik khususnya menjelang pemilu makin menggeser fungsi deliberatif televisi
sebagai ruang publik. Di tengah semua fenomena itu televisi di Indonesia masih
sulit untuk hadir sebagai ruang publik.

Bagi saya, krisis ruang publik adalah krisis demokrasi. Sebab, mustahil lahir
demokrasi yang benar-benar demokrasi secara substantif, bukan sekadar
prosedur-mekanistis, tanpa hadirnya ruang publik. Saya sangat sepakat dengan
pemikiran Thomas Meyer berikut:

In a democracy a public sphere is and will always remain the sine qua non of
politics, for even when high levels of participation are not expected or
encouraged, elections still have to be held. Legitimacy, the lifeblood of
democratic politics, can be acquired only through citizen’s consent to what they
perceive as the decisions made by political elites. (Meyer & Hinchman, 2002:
52).

Ruang publik adalah elemen konstitutif demokrasi. Televisi secara struktural


merupakan ruang publik yang ideal. Untuk mewujudkan peran tersebut
diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya hak-hak publik
dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya ditransformasi secara
total untuk memperjuangkan kepentingan publik di tengah degradasi fungsi
televisi komersil untuk demokrasi. Televisi mestinya menjadi ruang publik
strategis di tengah konsolidasi demokrasi di Indonesia sekarang ini.

Daftar Pustaka

Barber, Benjamin. 1990. Strong Democracy: Participatory Politics for a New


Age. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Baudrillard, Jean. 1992. Jean Baudrillard, Selected Writings (edited by Mark
Poster). Cambridge: Polity Press.
Bohman, James. 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity and
Democracy. Cambridge, MA: MIT Press.
Crigler, Ann N (Ed). 1999. The Psychology of Political Communication. Ann
Arbor: The University of Michigan Press.
d’Haenens, L., Verelst, C., & Gazali, E. 2000. “In search of Quality Measures
for Indonesian Television News”. Dalam French David & Michael Richards
(Eds), Television in Contemporary Asia. New Delhi: Sage Publication, hal. 179-
232.
Dryzek, John S. 2003. “Deliberative Democracy in Divided Societies:
Alternatives to Agonism and Analgesia.” Research School of Social Science,
Australian National University. Daikses dari: http://socpol.anu.edu.au/pdf-
files/Dryzek_divided.pdf, pada 25 Juni 2010.

155
Gamson, William. 2001. Promoting Political Engagement. Dalam W. Lance
Bennett & Robert M. Entman (Eds), Mediated Politics, Communication in the
Future of Democracy. United Kigndom: Cambridge University Press, hal. 56-
74.
Gunther, Richard & Mughan, Anthony. 2000. The Political Impact of the
Media: A Reassesment. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds),
Democracy and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom:
Cambridge University Press, hal. 402-448.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere,
An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press.
Habermas, Jurgen. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopaedia Article.” New
German Critique 3, Autum, hal. 49-55.
Hachten, William A. 1981. The World News Prism: Changing Media, Clashing
Ideologies, 2nd edition. United State of America: Iowa State University Press.
Hallin and Mancini. 2005. Comparing Media System, Three Models of Media
and Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Hardiman, F. B. 2010. Pendahuluan. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang
Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 1-20.
Herry-Priyono, B. 2010. Menyelamatkan Ruang Publik. Dalam F. B. Hardiman
(Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 369-398.
Lasswell, Harold, Lerner D., & Speir Hans. 1980. Propaganda and
Communication in World History. Honolulu: University of Hawaii Press.
McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, Third
edition. London & New York: Routledge.
McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage
Publication.
Meyer, Thomas & Hinchman, Lew. Media Democracy, How the Media
Colonize Politics. Great Britain: Polity Press.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication: Renewal and
Rethinking. London: Sage Publication.
Mughan, Anthony & Gunther, Richard. 2000. The Media in Democratic and
Nondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective. Dalam Richard Gunther &
Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative
Perspective. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27.
Mujani, S & Liddle, W. 2010. Personalities, Parties, and Voters. Journal of
Democracy Volume 21, Number 2 April 2010, hal. 35-49.
Page, Benjamin I. 1996. Who Deliberates? Mass Media in Modern Democracy.
USA: The University of Chicago Press.
Paletz, David L., & Entman, Robert M. 1981. Media, Power, Politics. New
York: The Free Press.
Schneider, Steve M. 1997. Expanding the Public Sphere through Computer-
Mediated Communication: Political Discussion about Abortion in a Usenet

156
Newsgroup. Ph.D dissertation, Massachusetts Institute of Technology. Diakses
dari: http://www.sunyit.edu/!steve/, pada tanggal: 25 Juni 2010.
Siebert, Peterson, & Schramm. 1963. Four Theories of the Press. Urbana and
Chicago: University of Illinois Press.
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kompas, 15/06/2010.
Kompas, 27/01/2009
The Jakarta Post, 28/06/2010.

Tentang Penulis
Penulis adalah alumni Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Saat ini sedang mengikuti program magister Ilmu Komunikasi di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.

157

You might also like