You are on page 1of 4

Dampak Positif dan Negatif Perjanjian Perdagangan

Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa
Indonesia harus ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN.
Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut
ACFTA ( Asean China Free Trade Area ).
Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama
dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya
perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip
perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege)
selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat
bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta
asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea
masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .

Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja
sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan
jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian
itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-
barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam
bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s
Republic of China , yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara
Cina.
Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga
buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan
suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya
kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk
kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya
kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang
investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian
perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.
Latar Belakang Masalah

ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia
Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan
suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian
tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai
ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini
menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN
termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia
termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri
pasar.

Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan
membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan
membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan
bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri.
Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika
informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang
kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi
demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada
kesejahteraan mereka.

Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai
diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru
menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

ACFTA Merupakan Produk Globalisasi

Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam
proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-
indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat
memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses
globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan
meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.

ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang
bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil
dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda
Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka,
pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.

Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai
diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan
masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang
yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah
dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk
lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan
adanya ACFTA.

Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit
untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri
lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut
akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri
saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami
saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh
ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara
berkembang.

Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya
terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang.
Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya
kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.

Akar Semangat Nasionalisme Bangsa Inonesia

Secara etimologis, kata nasional berasal dari bahasa Latin nation, kemudian diadopsi dalam
bahasa inggris yaitu nation yang mempunyai makna “sekelompok orang yang dikenal atau
diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh
mereka.[1] Nasionalisme berarti semangat kebangsaan yang timbul dalam satu kesatuan karena
memiliki nasib dan penderitaan pada masa lampau dan memiliki cita-cita yang sama.
Tahun 1908 merupakan momen kebangkitan nasional, dengan kesadaran untuk bersatu dan
menyaatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda dalam satu
naungan negara bangsa Indonesiala. Pemuda-pemuda Indonesia mempunyai posisi strategis
dalam mengerakkan perubahan dalam menciptakan sejarah baru. Melalui peran, komitmen,
dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional dalam
memaknai kemerdekaan serta cita-cita bersama. Pijakan bagi pembangunan bangsa yang
menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah dan diimplementasikan secara bersama.

Namun fenomena belakangan ini yang terjadi sentralisasi yang berlangsung dalam rentan
waktu yanng cukup panjang dalam posisi belum kondusif. Sehingga memunculkam dekonstruksi
nasionalisme bukan reformulasi nasional yang menawarkan wajib nasionalisme yang lebih baik.
Pada saat ini nasionalisme Indonesia masih berada dalam tahap “pencarian bentuk”.
Semestinya menampilkan good society dalam keserasian gerak di masa kini dengan prinsip
kewarganegaraan (citizenship) atas persamaan. Citizenship layak mendapat perhatian untuk
memperkuat rasa nasionalisme kita untuk mencapai civil society.

Dengan hal berbicara mengenai Nasionalisme kita seperti berbicara mengenai “State of Heaven
“. Rasa Nasionalisme bangsa Indonesia pada saat ini masih di angan-angan. Semangat
kebangsaan Indonesia menurun seiring dengan melajunya era globalisasi saat ini. Tradisi West
World atau penyakit dunia kebaratan telah menjakiti masyarakat Indonesia . Kesadaran akan
rasa nasionalisme saat ini sangatlah diperlukan untuk menghadapi persaingan perdagangan
bebas yaitu ACFTA.

You might also like