You are on page 1of 7

BEBERAPA POKOK PIKIRAN ANTONIO GRAMSCI

Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith, ed. & trans., Selections
from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (New York:
International Publishers, 1987, 9th ed.)

1. Dibanding Lukacs dan Horkheimer, lokasi sosial pemikiran


Gramsci, menurut saya, lebih dekat dengan Marx muda.
Sebagaimana Marx muda bergelut dengan dunia aktivitas
advokasi perburuhan pada zamannya, Gramsci pun demikian.
Pikiran-pikirannya banyak dibentuk oleh aktivitas kongkritnya
dalam gerakan perburuhan melalui Partai Komunis Italia.
Meskipun ia juga terlibat dalam parlemen Italia sampai
Musolini memegang kekuasaan penuh atas Italia, namun
pengalaman riil berada di antara para buruh yang berjuang
untuk perbaikan nasib mereka, sedikit banyak mempengaruhi
pemikiran-pemikiran Gramsci.

2. Di antara ketiganya, Lukacs, Horkheimer dan Gramsci,


Horkheimer lebih dekat ke Gramsci terkait pertanyaan-
pertanyaan yang mengilhami mereka berteori. Pasca Revolusi
Bolsheviks 1917, kalangan Marxis-Komunis diliputi oleh
optimisme besar akan tatanan dunia yang sebentar lagi akan
didominasi oleh komunisme. Dalam tulisan Lukacs, History
and Consciousness, optimisme ini amat terasa sekali.
Situasinya menjadi terbalik 180 derajat ketika baik di Italia
dan kemudian di Jerman, bukan komunisme yang menang
tetapi fasisme dan totalitarianisme. Horkheimer dan kawan-
kawannya di Jerman memahami persoalan ini dari sudut
pandang yang berbeda dari Gramsci dan kawan-kawannya di
Italia. Bila Horkheimer melihat jawabannya pada budaya,
otoritas dan psyche, dan terasa sekali tulisannya sarat dengan
suatu “filsafat,” maka Gramsci mencoba menemukan

1
jawabannya dari sudut pandang yang aktivisme sosial-
politisnya lewat Partai Komunis Italia, dari dalam gerakan
advokasi buruh di Italia serta pengalaman-pengalaman riilnya
sebagai orang dari kelas bawah dalam struktur masyarakat
Italia.

3. Hal yang khas pada Gramsci, yang membedakannya dari


tokoh Marxis-Komunis Eropa lainnya, adalah sebagai berikut.
Pertama-tama, dalam menjelaskan kuatnya cengkeraman
ideologi dan praxis borjuisme, Gramsci tidak memakai istilah
budaya dan psyche seperti pada Horkheimer tetapi pada apa
yang disebutnya hegemoni. Hegemoni adalah suatu operasi
kekuasaan suatu kelompok atas kelompok lainnya namun
yang dialami dan diterima oleh kelompok yang didominasi
tidak sebagai paksaan atau tekanan melainkan diterima
sebagai suatu hal yang sah dan baik untuk mereka. Kata kunci
penting dari pengertian hegemoni adalah “persetujuan” yang
diberikan oleh massa yang dikuasai kepada “the general
direction imposed on life by the dominant fundamental group”
(12).1 Terhadap hegemoni, orang yang dikuasai malah
memberikan persetujuannya ketimbang penolakan, apalagi
perlawanan.2

4. Bagaimana sampai terjadi, bahwa kaum yang ditindas sampai


memilih para penindasnya sebagai pemimpinnya? Bagaimana
sampai terjadi bahwa kaum yang dirugikan sampai sukarela
memilih kelompok yang sebenarnya bertanggung jawab atas
kerugian yang dideritanya selama ini? Di sini, Gramsci
menyodorkan 2 analisis yang berkaitan. Analisis pertama,

1
Bnd. Dwight B. Billings, “Religion as Opposition: A Gramscian Analysis” dalam The American
Journak of Sociology, Vol. 96, No. 1, (July 1990): 6.
2
Tesis Gramsci ini di kemudian hari dibantah oleh James Scott. Berdasarkan studinya atas perjuangan
kaum tani di Malaysia, ia menemukan bahwa bahkan di dalam hegemoni sekalipun penolakan dan
perlawanan tetap dilancarkan hanya dalam bentuk yang tersembunyi (hidden resistance). Penelitiannya
didokumentasikan di dalam bukunya Weapons of the Week dan Domination and the Arts of Resistance.

2
Gramsci melihat peranan penting yang dimainkan oleh the
intellectuals. Di sini Gramsci membagi 2 tipe intelektual.
Intelektual tipe pertama dinama-kannya intelektual tradisional
dan kasar (traditional and vulgarised type of intellectual).
Mereka terdiri atas orang-orang seperti sastrawan, filsuf, artis,
bahkan jurnalis. Mereka adalah para profesional, dalam mana
“their specific professional activity is weighted, whether
towards intellectual elaboration or towards muscular-nervous
effort” (9). Dalam suatu masyarakat mereka
menyembunyikan keterkaitannya dengan “various historical
class formations” (3). Intelektual tipe kedua adalah “the new
intellectual” yang terlibat secara aktif dalam “practical life, as
instructor, organiser, ‘permanent persuader’, and not just a
simple orator” (10). Gramsci memakai istilah “organic
intellectual” untuk menyebut kelompok intelektual ini.
Eksistensi mereka terkait erat dengan kelompok yang
berkuasa (the dominant social group). Tugas mereka adalah
menjadi deputi-deputi kelompok dominan “exercising the
subaltern functions of social hegemony and political
government” (12). Mereka bekerja untuk membuat
masyarakat memberikan persetujuannya kepada dominasi
kelompok dominan serta menerima sebagai sah kekuatan
memaksa dari aparatus negara.3

5. Analisis kedua, Gramsci menemukan penjelasannya pada


pendidikan (education). Berangkat dari pengalaman dirinya
dalam dunia pendidikan Italia serta pengamatannya yang
tajam atas pembaharuan pendidikan yang terjadi di Italia
pada masanya, Gramsci menemukan bahwa pembaharuan
pendidikan yang sedang berlangsung kala itu di Italia pada
dasarnya tidak benar-benar membawa pembaharuan yang
3
Pentingnya peran intelektual organik pada keberhasilan sebuah kelompok yang berusaha untuk
menjadi kelompok dominant ditunjukkan Gramsci dengan perjuangan mereka untuk mengasimilasi
atau menaklukkan intelektual yang secara ideologis tradisional menjadi intelektual organic, yang
berjuang untuk kepentingan naiknya kelompok ini kepada kekuasaan (10).

3
dicita-citakan. Terlepas dari semua yang sedang dikerjakan di
dalamnya waktu, Gramsci berpendapat bahwa pendidikan di
sana hanya berhasil semakin banyak mencetak “intelektual
tipe urban” – yakni kaum intelektual yang bersih dari aktivitas
politik serta pembaharuan masyarakat dan lebih “have grown
up with industry and are linked to its fortunes” (14). Kaum
intelektual ini adalah tenaga-tenaga profesional yang
disiapkan untuk sekedar melaksanakan kerja, “to articulate
the relationship between the entrepreneur and the
instrumental mass and to carry out the immediate execution
of the production plan decided by the industrial general staff,
controlling the elementary stages of work” (14).4 Dengan kata
lain, sekolah dan pendidikan di Italia pada masa itu lebih
diarahkan untuk menghasilkan personel-personel yang terlatih
untuk bekerja, bukan untuk menghasilkan pemimpin-
pemimpin yang membawa perubahan yang lebih adil untuk
masyarakat. Pendidikan tidak memberi ruang bagi siswa
untuk “acquire such skills and technical-political preparation”
(41). Proses ini diterima, disetujui dan didukung oleh massa
karena situasi historis kongkret Italia masa itu yang sedang
berada dalam tahap modernisasi besar-besaran. Situasi
historis semacam ini melahirkan bentuk pendidikan tersendiri
dan kebutuhan kelompok intelektual yang tertentu pula.
Namun bagi Gramsci, pendidikan macam ini gagal karena
pada akhirnya ia tidak bergerak melampaui “class divisions”
(41) yang mewarnai kehidupan masyarakat Italia di masa lalu.

6. Di sini Gramsci mengintrodusir konsep yang ia sebut “karakter


sosial sekolah.” Suatu tipe sekolah selalu berada di depan
sebuah kelompok sosial. Tiap kelompok sosial dalam
masyarakat memiliki tipe sekolahnya sendiri. Tipe sekolah
4
Analisis semacam ini, salah satunya, dibangun Gramsci dari fakta tumbuh pesatnya jumlah
pendidikan vokasional di Italia. “Schools of the vocational type, i.e. those designed to satisfy
immediate, practical interests, are beginning to predominate over the formative school, which is not
immediately ‘interested’” (40).

4
yang berbeda ini dimaksudkan untuk “perpetuate a specific
traditional function, ruling or subordinate” (40). Pemisahan
antara sekolah vokasional (profesional) dan sekolah
tradisional dipahami Gramsci sebagai mengekalkan
perbedaan-perbedaan sosial yang telah terjadi sejak dari
masa lalu. Sekolah-sekolah vokasional adalah tempat di mana
kelas pekerja belajar menjadi pekerja yang terampil,
sementara sekolah-sekolah tradisional—meski di situ orang
tidak belajar bagaimana berkuasa atau memerintah—lebih
dimaksudkan untuk “the new generation of the ruling class”
(40).5

7. Pokok pikiran lain yang penting untuk dicermati dari Gramsci


adalah usahanya untuk menjelaskan apa yang patut disebut
sebagai Marxisme yang sesungguhnya. Seperti Lukacs, ia pun
mencoba memformulasikan apa yang sebenarnya harus
dipahami tentang Marxisme, yang dalam teksnya disebut
sebagai “the philosophy of praxis.” Beberapa hal yang
mengemuka dari usahanya ini antara lain adalah, pertama,
metodologi yang dipakainya. Ia berpendapat bahwa untuk
mengetahui betul apa itu Marxisme orang harus melakukan,
setidaknya, 2 tahapan persiapan: [1] rekonstruksi biografi
tokoh yang hendak didalami pikirannya—dalam hal ini Karl
Marx. Rekonstruksi ini mencakup 2 hal penting, aktivitas
praktis dan aktivitas intelektual tokoh tersebut. [2]
Mempelajari semua teks-teks yang ditulisnya menurut
susunan kronologis. Di sini teks-teks dipilah berdasarkan
kriteria intrinsiknya serta dicari motif-motif yang
menuntunnya (382). Jika kedua tahap persiapan ini telah

5
Lawan dari tipe sekolah semacam ini, Gramsci mengusulkan tipe sekolah formatif, yang “would take
the child up to the threshold of his choice of job, forming him during this time as a person capable of
thinking, studying, and ruling—or controlling those who rule” (40). Di bagian lain, ia berkata bahwa
tujuan sekolah-sekolah umum seharusnya adalah “to insert young men and women into social activity
after bringing them to a certain level of maturity, of capacity for intellectual and practical creativity,
and of autonomy of orientation and initiative” (29).

5
dilakukan maka barulah tahap studi selanjutnya bisa
dilakukan. Di sini teks-teks Marx dipelajari sambil mengingat
mana yang ditulis dan diterbitkan semasa Marx masih hidup
dan mana teks-teks yang dikumpulkan dan diterbitkan di
kemudian hari setelah ia tiada.

8. Kedua, filsafat praksis atau Marxisme, menurut Gramsci


adalah suatu filsafat yang bertujuan memerangi ideologi-
ideologi modern dalam bentuknya yang paling murni dengan
maksud supaya dapat menyusun kelompok intelektual
independennya sendiri. Tujuan kedua adalah mendidik
masyarakat luas, yang kebudayaannya masih diwarnai oleh
kebudayaan Abad Pertengahan (392). Ini adalah kebudayaan
yang “remains the culture of a restricted intellectual
aristocracy, which exercises a hold on youth only rarely and to
the extent that it becomes immediate (and occasional)
politics” (393).

9. Filsafat praksis adalah titik puncak dari keseluruhan gerakan


pembaharuan intelektual dan moral: Renaissance dan
Reformasi, filsafat Jerman dan Revolusi Perancis, Kalvinisme
dan ekonomi klasik Inggris, liberalisme sekuler dan
historisisme (395). Ia lahir dalam ribaan perkembangan
tertinggi budaya abad ke-19, budaya yang direpresentasikan
oleh filsafat klasik Jerman, teori ekonomi klasik Inggris dan
literatur serta praktik politik Perancis (399). Bagaimana ini
dijelaskan? Apakah ketiga karya puncak kebudayaan Eropa
abad ke-19 ini disintesiskan menjadi keseluruhan kebudayaan
zaman itu? Di sini Gramsci mengintrodusir konseo “imanen”
sebagai sintesisnya. Dalam istilah ini, Gramsci hendak
tekankan karakter kesatuan filsafat, politik dan ekonomi dari
Marxisme, yang bergulat dengan manusia dalam kenyataan

6
material-historisnya, bukan dalam kenyataan abstrak-
transendennya!

You might also like