Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
I Made Ambara NPM 0906583825
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU EKONOMI
DEPOK
JULI 2010
Abstraksi :
Dengan menggunakan tabel input output Indonesia tahun 2008, dapat diketahui 11 sektor kunci yang
memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian. Dari 11 sektor kunci
tersebut, enam diantaranya termasuk kategori industri, sedangkan sisanya termasuk kategori jasa.
Kesebelas sektor kunci tersebut merupakan sektor-sektor yang paling penting dalam menggerakkan
perekonomian Indonesia, apabila dilakukan penambahan investasi pada sektor-sektor tersebut.
Kata kunci : keterkaitan antar-sektor, kegagalan koordinasi, Big Push, tabel I-O, sector kunci, kebijakan
pengembangan Industri
1. Pendahuluan
Perekonomian suatu negara, berdasarkan kesamaan karakteristik kegiatan yang dilakukan, dapat
diklasifikasikan kedalam beberapa sektor. Walaupun kegiatan yang dilakukan dalam setiap sektor
berbeda, namun terdapat kesalingtergantungan (complementarity) antara sektor yang satu dengan sektor
lainnya. Kesalingtergantungan antar-sektor tersebut dapat menjadi hambatan apabila perekonomian
suatu negara ingin dipacu untuk mencapai keseimbangan baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan
seluruh sektor, misalnya dengan proses industrialisasi. Hambatan tersebut terjadi karena diperlukan
inisiatif suatu sektor untuk mengambil langkah pertama, sementara setiap sektor dalam perekonomian
cenderung untuk menunggu aksi sektor lainnya daripada menjadi pioneer untuk memulai proses
industrialisasi tersebut.
Dalam kondisi complementarity dan tidak adanya sektor yang berinisiatif mengambil langkah pertama
untuk memulai proses industrialisasi, terjadilah kondisi yang disebut kegagalan koordinasi (coordination
failure). Oleh sebab itu, dalam kondisi tersebut, diperlukan intervensi pemerintah (dikenal dengan
istilah Big Push) untuk mengkoordinasikan proses industrialisasi di seluruh sektor dalam perekonomian
secara bersamaan. Menurut Rosentein-Rodan, jika berbagai sektor dalam perekonomian mengadopsi
teknologi yang bersifat increasing return secara bersamaan (memulai proses industrialisasi), sektor-
sektor tersebut akan menciptakan pendapatan yang dapat menjadi sumber bagi permintaan barang sektor
lainnya dan memperbesar pasar bagi setiap sektor dan membuat industrialisasi menjadi menguntungkan
bagi semua sektor.
Dalam tahap implementasi proses industrialisasi tersebut, pemerintah sebagai faktor penentu harus
menentukan sektor-sektor mana saja yang perlu diberikan insentif dalam berbagai bentuk (Big Push).
Terdapat berbagai pendekatan untuk menentukannya, salah satunya adalah pendekatan keterkaitan antar-
sektor (linkage) Todaro (2009). Dalam pendekatan linkage, sektor-sektor yang perlu diberikan Big Push
disebut sektor kunci (key sectors) yaitu sektor-sektor yang memiliki keterkaitan (linkage) tinggi dengan
Berdasarkan pendekatan linkage tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor-sektor
kunci dalam perekonomian Indonesia dengan bantuan tabel input output (tabel I-O) Indonesia tahun
2008 dan meneliti kebijakan pengembangan industri di Indonesia apakah telah memperhitungkan faktor
linkage atau tidak. Berkaitan dengan tujuan penulisan tersebut, permasalahan yang ingin dipecahkan
ada dua yaitu :
1. Sektor-sektor apa saja di dalam perekonomian Indonesia yang merupakan Key Sectors? Key sectors
mana yang termasuk kategori industri?
Selanjutnya terdapat empat bagian berikutnya dari tulisan ini yaitu : telaah pustaka, metodologi
penelitian yang digunakan, hasil analisis dan terakhir adalah kesimpulan.
2. Telaah Pustaka
Sampai dengan tahun 1965, 56% output perekonomian Indonesia bersumber dari sektor pertanian.
Sementara itu, pada tahun yang sama, sektor industri hanya menyumbang 13%. Persentase output dari
sektor pertanian terus menurun pada tahun 1980 dan 2000 seiring dengan kebijakan pengembangan
industri subtitusi impor dan industri manufaktur padat karya yang berorientasi ekspor (lihat tabel 2.1).
Agricultural (Pertanian) 56 30 17
Industri 13 49 47
Jasa 31 21 36
Selain itu, pada tahun 1965 prosentase ekspor barang dari industri manufaktur hanya 4% dan berubah
menjadi 57% dari total ekspor barang pada tahun 2000 (Hayami dan Godo, 2000). Keberhasilan
perubahan struktur output seperti ditunjukkan oleh tabel 2.1 dan juga struktur ekspor tidak dapat
dilepaskan dari intervensi kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberikan fasilitas berupa proteksi
untuk mendukung pengembangan industri subtitusi impor pada masa oil boom dan penetapan nilai tukar
Rupiah yang overvalue untuk pengembangan industri manufaktur padat karya berorientasi ekspor pasca-
oil boom. Kebijakan seperti itu sangat diperlukan untuk membangun industri yang mampu berperan
Kebijakan pemerintah Indonesia di masa lalu tersebut telah sukses mengubah andalan perekonomian
Indonesia untuk menghasilkan output, pertama dari semula mengandalkan sektor pertanian yang
menghasilkan bahan mentah menjadi mengandalkan hasil industri subtitusi impor. Kedua, dari semula
mengandalkan industri subtitusi impor menjadi mengandalkan industri manufaktur padat karya yang
berorientasi ekspor.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Baru, pemerintah Indonesia aktif
mengidentifikasi sektor dalam perekonomian yang sangat penting untuk mengubah sektor yang menjadi
andalan penghasil output dan proaktif memberikan insentif kepada sektor tersebut.
2.2 Studi Empiris untuk Mengidentifikasi Key Sectors dengan Alat Tabel I-O
Terdapat banyak metode untuk mengidentifikasi sektor-sektor kunci dalam perekonomian suatu negara.
Hazari (1970) menggunakan dua metode untuk mengidentifikasi sektor-sektor kunci dalam perekonomian
India dengan alat analisis tabel I-O. Metode pertama menggunakan indeks untuk melihat keterkaitan
antar-sektor dengan konsep indeks total keterkaitan ke belakang dan ke depan seperti yang
dikembangkan Hirschman. Penelitian terkini untuk mengidentifikasi sektor kunci sesuai dengan metode
pertama yang digunakan Hazari, dilakukan oleh Hartono (2003), Resosudarmo et all (2008) dan Purnomo
dan Istiqomah (2008). Metode kedua memasukkan preferensi pembuat kebijakan/pemerintah dengan
kondisi keterkaitan antar-sektor. Selanjutnya, Hazari berkesimpulan bahwa sektor kunci dalam
perekonomian dapat tidak didefinisikan atau tidak dapat teridentifikasi karena hasil dari dua metode yang
digunakan tersebut tidaklah unik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa menurut Hazari, hasil tiap
metode untuk mengidentifikasi key sectors tidak sama dan peran pengambil kebijakan sangatlah penting
dalam hal ini.
Selain metode yang digunakan Hazari, terdapat banyak metode lain yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi key sectors. M. Natsir (2009) menggunakan empat metode untuk mengidentifikasi key
sektor di Sulawesi Tenggara, yaitu : (1) indeks seperti yang dikembangkan Hirschman (2) sektor
penghasil nilai tambah bruto terbesar (3) sektor yang mempunyai nilai multiplier output terbesar (3)
sektor yang mempunyai income multiplier terbesar. Seperti kesimpulan yang dikemukakan Hazari,
sektor kunci yang ditemukan oleh M Natsir tidak sama untuk setiap metode yang digunakan.
Diantara berbagai metode untuk mengidentifikasi sektor kunci tersebut, metode yang dikembangkan oleh
Hirschman lebih menekankan kepada kemampuan suatu sektor untuk menggerakkan pertumbuhan
seluruh sektor lain dalam perekonomian, baik sektor yang menyediakan input bagi sektor berkenaan
maupun sektor lain yang menggunakan output sektor bersangkutan. Oleh sebab itu, metode tersebut akan
digunakan dalam tulisan ini untuk mengidentifikasi key sectors dalam perekonomian Indonesia.
3. Metodologi
3.2.1 Metode Analisis untuk Mengidentifikasi Sektor Kunci dengan Tabel I-O
Untuk melakukan identifikasi sektor kunci dengan bantuan tabel I-O, perlu diketahui konsep-konsep
berikut ini :
Matrik Kebalikan Liontief atau (I-A)-1 diperoleh dengan cara melakukan invers dari hasil
pengurangan antara matrik identitas (I) dan matrik A. Matrik identitas adalah matrik bujursangkar
berdimensi n x n, dimana n adalah jumlah sektor dalam perekonomian dengan nilai 1 untuk seluruh
elemen yang terletak pada diagonal utama dan nilai elemen selain yang terletak pada diagonal utama
sama dengan nol.
Matrik A, pada gambar 3.1 ditunjukkan oleh hasil bagi tiap elemen matrik I-O kolom “Permintaan
Antara” : 1 s.d. n dan baris “Input Antara” : 1 s.d. N dengan jumlah input tiap sektor, atau dengan
kata lain, matrik A adalah matrik bujur sangkar berukuran N x n, dengan elemen :
aij = xij / Xj
Dimana subscript “i” menunjukkan baris dan subscript “j” menunjukkan kolom dimana jumah
kolom dan baris sama dengan jumlah sektor dalam perekonomian.
∑ ∑
i =1 j =1
b ij
dimana :
IKBj= indeks keterkaitan total ke belakang sektor-j, dimana j menunjukkan kolom pada gambar
2.2.1
bij= unsur matriks kebalikan Leontif baris-i dan kolom-j
n = jumlah sektor dalam perekonomian
b. Total Forward Linkage Index atau Indeks Keterkaitan Total ke Depan (IKD)
Nilai Total Keterkaitan Depan (NTKD) suatu sektor adalah jumlah tiap elemen dalam suatu
baris matrik kebalikan Liontief. Sedangkan Indeks Total Keterkaitan Kedepan membandingkan
NTKD suatu sektor dengan rata-rata NTKD seluruh sektor. Indeks Keterkaitan ke Depan
(IKDi), diperoleh dengan cara:
n
n ∑ b ij
i =1
IK D i = n n
∑ ∑
i =1 j =1
b ij
dimana
IKDi= indeks keterkaitan total ke depan sektor-i, dimana i menunjukkan baris pada gambar
2.2.1
bij= unsur matriks kebalikan Leontif baris-i dan kolom-j
n = jumlah sektor dalam perekonomian
Kedua indeks tersebut menunjukkan posisi NTKB dan NTKD suatu sektor terhadap rata-ratanya,
dimana suatu sektor dinyatakan mempunyai IKB/IKD yang tinggi apabila nilai IKB/IKD sektor
yang bersangkutan lebih besar dari satu.
Menurut Resosudarmo et.all (2008), sektor kunci menurut pendekatan linkage, didefinisikan
sebagai sektor yang memegang peranan penting dalam penggerakkan roda perekonomian yang
ditentukan berdasarkan nilai IKB dan IKD sektor berkenaan. Sektor kunci adalah sektor yang
memiliki nilai IKB dan IKD lebih besar dari satu.
Meneliti kebijakan pemerintah dalam sektor industri dengan meneliti Peraturan Presiden nomor 28 tahun
2008 mengenai kebijakan industri nasional dan selanjutnya memberikan penjelasan secara deskriptif
mengenai apakah kebijakan pengembangan industri di Indonesia telah memperioritaskan pengembangan
key sectors atau tidak dan menilai sebapa besar komitmen pemerintah Indonesia untuk pengembangan
industri tersebut.
4. Hasil Analisis
Berdasarkan hasil pengolahan data, dalam perekonomian Indonesia terdapat 11 sektor kunci, 6
diantaranya dapat dikelompokkan sebagai “industri manufaktur” dan sisanya dapat dikelompokkan
sebagai “jasa”.
NO
SEKTOR NAMA SEKTOR IKB IKD Keterangan
32 Industri makanan lainnya 1.248 1.307 Industri man
38 Industri kertas, barang dari kertas & percetakan 1.156 1.063 Industri man
39 Industri pupuk & pestisida 1.030 1.852 Industri man
40 Industri kimia 1.032 1.696 Industri man
42 Industri barang dari karet 1.148 1.125 Industri man
Industri mesin, mesin listrik, alat2 & perlengkapan
48 listrik 1.072 1.309 Industri man
51 Listrik, gas & air minum 1.122 1.211 Jasa
52 Bangunan 1.129 1.337 Jasa
53 Perdagangan 1.032 2.880 Jasa
56 Pengangkutan darat 1.085 1.289 Jasa
Jasa hiburan, kebudayaan, perorangan & rumah
65 tangga 1.001 1.437 Jasa
Sumber : Lampiran 1
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kesebelas sektor kunci tersebut memiliki nilai IKB dan IKD yang lebih
besar dari 1. Nilai IKB yang melebihi 1, menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut mempunyai
kemampuan yang melebihi rata-rata seluruh sektor untuk menarik pertumbuhan output sektor di hulunya
Selanjutnya, peningkatan investasi pada 11 sektor tersebut diharapkan akan menghasilkan peningkatan
output paling tinggi pada seluruh sektor yang ada dalam perekonomian Indonesia. Selain sektor kunci,
dalam tabel di lampiran 1, terdapat juga sektor-sektor yang bersifat backward oriented dan forward
oriented. Apabila dilakukan investasi pada sektor-sektor ini akan menyebabkan peningkatan besar pada
output masing masing untuk sektor di hulu dan hilir sektor berkenaan.
Apakah keenam sektor kunci yang termasuk kategori industri mendapatkan fasilitas untuk
pengembangannya dalam kebijakan industri nasional dalam Perpres no 28 tahun 2008? Bagian D
penjelasan Perpres tersebut tidak menyebutkan nama-nama industri yang dapat memperoleh fasilitas
dalam pengembangannya. Walaupun demikian, disebutkan bahwa fasilitas dapat diberikan kepada
industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas
yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Istilah “keterkaitan luas” dalam definisi industri pionir tersebut dapat diartikan bahwa kebijakan
pengembangan industri nasional telah mempertimbangkan faktor keterkaitan antar-sektor, walaupun
bukan satu-satunya faktor yang menentukan untuk dapat memperoleh fasilitas.
Selanjutnya, pemberian fasilitas pengembangan industri tidak langsung ditentukan dan diberikan oleh
pemerintah, tetapi harus melalui serangkaian prosedur pengajuan permohonan dari industri berkenaan
kepada pemerintah melalui Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (lihat Lampiran
2, kutipan bagian D Perpres no 28 tahun 2008). Berbeda dengan peran aktif pemerintah Indonesia dalam
rangka pengembangan industri di masa Orde Baru, kebijakan pemerintah masa kini terkesan pasif.
Terkesan hanya menunggu industri yang “merasa” sesuai dengan kreteria dalam perpres tersebut
mengajukan aplikasi permohonan pemberian fasilitas.
Dengan “pasifnya” peran pemerintah dalam pengembangan lebih lanjut industri manufaktur Indonesia
tersebut, berarti masalah kegagalan koordinasi seperti dijelaskan dalam teori Big Push tidak terpecahkan.
Implikasinya adalah harapan agar industri manufaktur Indonesia (terutama yang merupakan key sectors)
dapat membantu perekonomian Indonesia untuk berubah secara signifikan dari keadaan saat ini sulit
untuk dicapai.
Ada kemungkinan, keengganan pemerintah secara proaktif menentukan dan memberikan fasilitas kepada
industri dalam kategori prioritas adalah karena kebijakan yang protektif dan interventionis dianggap tidak
lagi sesuai dengan masa kini yang mengedepankan mekanisme pasar. Selain itu keengganan tersebut
dapat terjadi karena Indonesia merupakan anggota organisasi perdagangan dunia (WTO) dan telah
berkomitmen untuk melaksanakan perdagangan bebas tanpa proteksi terhadap industri dalam negeri.
5. Kesimpulan
Dengan menggunakan tabel I-O dapat diketahui 11 sektor kunci yang perlu dikembangkan secara
bersamaan dengan koordinasi pemerintah untuk mencapai keseimbangan baru dalam perekonomian yang
dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku ekonomi di Indonesia. Dari 11 sektor kunci tersebut,
enam diantaranya termasuk kategori industri, sedangkan sisanya termasuk kategori jasa. Kesebelas sektor
tersebut merupakan sektor-sektor yang paling penting dalam menggerakkan perekonomian Indonsia.
Selanjutnya, berdasarkan aturan kebijakan pengembangan industri, pemerintah Indonesia saat ini tidak
proaktif seperti di masa Orde Baru dan terkesan pasif menunggu industri mengajukan aplikasi untuk
mendapatkan fasilitas. Pasifnya kebijakan pemerintah Indonesia tersebut berimplikasi pada tidak
terpecahkannya masalah kegagalan koordinasi antar-sektor dalam perekonomian untuk melakukan
pergeseran dasar perekonomian agar tercapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi bagi seluruh
perekonomian seperti dijelaskan dalam teori Big Push.
Enoch, Charles, Olivier Frécaut and Arto Kovanen (2003), Indonesia’s Banking Crisis : What Happened
and What Did We Learn?, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 39, No. 1, 2003: 75–
92
Hartono, Djoni (2003), Peran Sektor Jasa Terhadap Perekonomian Jakarta : Analisis Input Output,
Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia, Vol IV No.1, hal 39-57
Hayami, Yujiro & Yoshihisa Godo (2009). Development Economics: From the Poverty to the Wealth of
Nations, 3rd ed. Oxford University Press
Hazari, Bharat R. (1970), Empirical Identification of Key Sectors in The Indian Economy, The Review of
Economics and Statistics, Vol. 52, No. 3 (Aug., 1970), pp. 301-305 Published by: The MIT
Press. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1926298
Natsir, M (2009), Kajian Empiris Peranan Sektor Kunci (Key Sectors) dalam Perekonomian Sulawesi
Tenggara Berdasarkan Tabel Input-Output 2007, website Unhalu Kendari
Purnomo, Didit dan Devi Istiqomah (2008), Analisis Peranan Sektor Industri terhadap Perekonomian
Jawa Tengah Tahun 2000 dan Tahun 2004 (Analisis Input Output), Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol. 9, No. 2, Desember 2008, hal. 137 - 155
Resosudarmo, Budy P., Djoni Hartono dan Ditya A. Nurdianto (2008), Inter-Island Economic Linkages
and Connections in Indonesia , Economics and Finance in Indonesia Vol. 56 (3), Page 297 –
327, LPEM UI
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith (2009). Economic Development, 10th ed. Pearson, Addison-
Wesley
www.kemenperin.go.id
KODE
SEKTOR NAMA SEKTOR IKB IKD Ket
1 Padi 0.809 1.240 forward otd
2 Penumbukan padi 0.773 0.719
3 Jagung 0.811 0.934
4 Tanaman umbi-umbian 0.724 0.711
5 Sayuran & buah-buahan 0.717 0.889
6 Tanaman bhn makanan lainnya 0.769 0.633
7 Karet 0.941 0.864
8 Tebu gula & gula rakyat 0.872 0.967
9 Kelapa 0.859 0.699
10 Minyak kelapa rakyat & sawit 0.955 1.021 forward otd
11 Tembakau daun & olahan 1.140 0.635 backward otd
12 Kopi & kopi goreng 0.983 0.680
13 Teh daun & teh olahan rakyat 0.762 0.623
14 Cengkeh 0.790 0.635
15 Pala 0.750 0.625
16 Rempah-rempah lainnya 0.925 0.778
17 Tanaman lainnya 0.849 0.875
18 Peternakan 0.988 1.200 forward otd
19 Pemotongan ternak 1.221 0.708 backward otd
20 Perunggasan & hasil-hasilnya 1.213 0.852 backward otd
21 Penebangan & penggergajian kayu 0.817 0.760
22 Hasil hutan lainnya 0.816 0.648
23 Perikanan 0.849 1.016 forward otd
24 Penambangan batubara & biji logam 0.837 1.699 forward otd
25 Penambangan minyak & gas bumi 0.686 2.611 forward otd
26 Penambangan lainnya 0.831 0.807
27 Industri pengolahan & pengawetan makanan 1.274 0.804 backward otd
28 Industri minyak dan lemak 1.300 0.919 backward otd
29 Penggilingan & penyosohan beras 1.279 0.826 backward otd
30 Industri tepung terigu & biji-bijian lainnya 1.136 0.939 backward otd
31 Industri pemurnian gula 1.283 0.763 backward otd
32 Industri makanan lainnya 1.248 1.307 Key Sector
33 Industri minuman 1.210 0.651 backward otd
34 Industri rokok 0.916 0.666
35 Industri pemintalan 1.036 0.729 backward otd
36 Industri tekstil, kulit & pakaian 1.192 0.899 backward otd
37 Industri kayu, and barang dari kayu 1.150 0.910 backward otd
38 Industri kertas, barang dari kertas & percetakan 1.156 1.063 Key Sector
39 Industri pupuk & pestisida 1.030 1.852 Key Sector
40 Industri kimia 1.032 1.696 Key Sector
41 Pengilangan minyak 0.767 2.075 forward otd
42 Industri barang dari karet 1.148 1.125 Key Sector
43 Industri barang yang terbuat dari mineral non metal 1.000 0.683 backward otd
44 Industri semen 1.095 0.676 backward otd
45 Industri besi & baja dasar 1.025 0.726 backward otd
Sumber : hasil pengolahan data atas tabel I-O Indonesia tahun 2008
Kutipan Penjelasan Perpres No 28 Tahun 2008 sumber www.kemenperin.go.id menu kebijakan industri
D. FASILITAS PEMERINTAH
Dalam rangka menumbuhkan dan atau mempercepat pembangunan industri nasional, pemerintah dapat
memberikan fasilitas kepada:
a. industri prioritas tinggi, baik industri prioritas nasional maupun industri prioritas berdasarkan
kompetensi inti industri daerah;
b. industri pionir;
c. industri yang dibangun di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu;
d. industri yang melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi;
e. industri yang menunjang pembangunan infrastruktur;
f. industri yang melakukan alih teknologi;
g. industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. industri yang melakukan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi;
i. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri;
atau
j. industri yang menyerap banyak tenaga kerja.
Yang dimaksud Industri Prioritas Tinggi yaitu industri prioritas yang berorientasi ekspor dan menyerap
tenaga kerja dan atau mampu mendukung secara signifikan kegiatan-kegiatan ekonomi sebagai berikut:
a. Pengembangan infrastruktur;
b. Menanggulangi kemiskinan;
c. Meningkatkan kemampuan industri pertahanan di dalam negeri.
Sedangkan industri pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai
tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi
perekonomian nasional.
Fasilitas pemerintah yang dimaksud dalam Peraturan Presiden ini adalah sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 18 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pemberian
fasilitas dapat dilakukan peninjauan paling lama setiap 2 (dua) tahun. Adapun mekanisme pemberian
fasilitas pemerintah dilaksanakan melalui proses sebagai berikut:
a. Permohonan pemberian fasilitas diajukan kepada Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan
Investasi (TimNas PEPI).
b. Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi mengkaji, merumuskan, mengevaluasi
dan merekomendasikan pemberian atau pencabutan fasilitas pemerintah kepada Menteri atau Pejabat
terkait untuk diproses lebih lanjut penetapannya.
c. Prosedur dan mekanisme tersebut diatur lebih lanjut oleh Ketua Harian Tim Nasional Peningkatan
Ekspor dan Peningkatan Investasi.