You are on page 1of 9

Jun 10, '08 11:05 AM

Teori - teori Motivasi


for everyone

Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi
seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang
dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti
dari konsep tentang motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan
seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas
manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan
insentif (Gage & Berliner, 1984).
Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi
belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang
memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa.

Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya,
yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.

1. Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal Theory
atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara
rangsangan (arousal) dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat
sesuai dengan rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan
menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan
optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).

Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan bahwa
kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam
bentuknya (Budiningsih, 2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk
hidup menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan
tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon
berupa reduksi kebutuhan (need reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators
of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup
mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam
bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai penentu dari
behaviour (perilaku) dalam bentuk:

Behaviour = Drive × Habit

Karena hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0,
makhluk hidup tidak akan bereaksi sama sekali, walaupun habit yang diberikan sangat kuat dan
jelas (Berliner & Calfee, 1996).
Pada periode 1935 - 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh prinsip
dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan baik oleh person (P)
maupun oleh environment (E):

Behaviour = f(P, E)

Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang
sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar kecilnya
kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan
(e).

Force = f(t, G)/e

Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya
(motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar gaya
motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia
melihat atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang
menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi
(Berliner & Calfee, 1996).

2. Teori-teori Cognitive
Pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang menyatakan
jika terdapat ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan
tindakan, maka kita akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini.
Implikasi dari hal ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah
tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah
pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001).

Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution Theory yang
dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985,
1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau
kegagalan diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu. Atribut
ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti
tampak pada diagram berikut.

Internal Eksternal
Tidak terkontrol Kemampuan (ability) Keberuntungan (luck)
Terkontrol Usaha (effort) Tingkat kesulitan tugas

Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan atribut-diri
usaha (internal, terkontrol). Jika siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol),
maka begitu siswa mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar
yang melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang secara matematis dituliskan
dalam persamaan: Motivation = Perasaan berpeluang sukses (expectancy) × Hubungan antara
sukses dan reward (instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value)

Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga variabel, maka jika salah satu
variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu
ada supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia
dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan
kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil
kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.

3. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah Psychoanalytic Theory
(Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud (1856 - 1939) yang menyatakan bahwa
semua tindakan atau perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri
dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Erik Erikson yang merupakan
murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of Socioemotional
Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling mendorong perilaku manusia dan
pengembangan pribadi adalah interaksi sosial (Huitt, 1997).

4. Teori-teori Humanistic
Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah Theory of Human Motivation
yang dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki
kebutuhan manusia, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth
needs. Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa
aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam
deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke
kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik,
kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya
dapat bergerak ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki
kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia
dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).

Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan


sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke
dalam satu model (Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh
Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995). Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan
sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation (reward dan punishment), 2)Intrinsic Process
Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3)Goal Internalization (nilai-nilai tujuan),
4)Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External Self-Concept yang
didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).

5. Teori-teori Social Learning


Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh perhatian pada apa
yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak.
Untuk menjelaskan pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan
utama dalam psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan
cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation dan nilai
reinforcement. Nilai reinforcement merujuk pada tingkat preferensi terhadap reinforcement
tertentu (Berliner & Calfee, 1996).

6. Teori Social Cognition


Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui berbagai eksperimen
Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran
terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang
lain. Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan
pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu 1)Attention, memperhatikan dari
lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau diperoleh, 3)Reproduction,
melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat, 4)Motivation, lingkungan
memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi
(reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).

C. Teori Curiosity Berlyne


Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity atau rasa ingin tahu.
Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan,
tidak layak, atau kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf
pusat kita. Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan
curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang
berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).

Dalam pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang
memberikan hasil yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam diri
siswa, dan ini akan memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut
berbeda dengan apa yang dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang
diciptakan oleh guru telah menimbulkan curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi untuk
mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut. Dapat disimpulkan bahwa curiosity
merupakan hal penting dalam meningkatkan motivasi. Sejarah juga membuktikan bahwa
curiosity memiliki banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor), ilmuwan, artis, dan
orang-orang yang kreatif.

Salah satu metode pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa adalah inquiry teaching. Dalam
metode ini, siswa lebih banyak ditanya daripada diberikan jawaban. Dengan mengajukan
pertanyaan, bukan hanya pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat karena siswa
mengalami ketidakpastian terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut (Gagne, 1985).

D. Hipotesis
Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat diambil suatu hipotesis bahwa terdapat kaitan
yang erat antara peningkatan motivasi belajar siswa terhadap penerapan metode inquiry dalam
pembelajaran Sains.

III. Diskusi
Seperti yang telah diteliti oleh Haury (Haury, 1993), salah satu manfaat yang dapat diperoleh
dari metode inquiry adalah munculnya sikap keilmiahan siswa, misalnya sikap objektif, rasa
ingin tahu yang tinggi, dan berpikir kritis, Jika metode inquiry dapat mempengaruhi sikap
keilmiahan siswa, maka muncul pertanyaan apakah metode ini juga dapat mempengaruhi
motivasi belajar dalam diri siswa? Sesuai dengan teori curiosity Berlyne, rasa ingin tahu yang
dimiliki siswa akan memberikan motivasi bagi siswa tersebut untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya; yang tidak lain adalah motivasi untuk belajar. Dengan
sikap keilmiahan yang baik, konsep-konsep dalam Sains lebih mudah dipahami oleh siswa.
Begitu juga, dengan motivasi belajar yang tinggi, kegiatan pembelajaran Sains juga menjadi
lebih mudah mencapai tujuannya, yaitu pemahaman konsep-konsep Sains. Jadi, tampaknya ada
hubungan yang kuat antara motivasi belajar dengan sikap keilmiahan yang terbentuk sebagai
akibat dari penerapan metode inquiry.

Rasa ingin tahu yang tinggi dapat dikaitkan dengan teori Maslow, yang menyatakan bahwa
manusia memiliki kebutuhan yang salah satunya kebutuhan untuk mengetahui dan kebutuhan
untuk memahami. Oleh karena itu, metode inquiry yang biasa diterapkan dalam pembelajaran
Sains secara tidak langsung sebenarnya mencoba memenuhi salah satu kebutuhan manusia
tersebut.

Seperti yang telah diuraikan dalam deskripsi teoretik di depan, komponen pertama dalam metode
inquiry adalah question atau pertanyaan. Dalam pandangan teori-teori motivasi behavioral,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru dapat diartikan sebagai rangsangan (arousal) atau
dorongan (drive). Adanya rangsangan dan dorongan ini menyebabkan siswa termotivasi untuk
meresponnya melalui kegiatan ilmiah, yaitu mencari jawaban dari pertanyaan. Kegiatan ilmiah
yang dilakukan, sesuai teori Hull tidak lain adalah upaya untuk mengurangi dorongan atau
drive.

Yang perlu diperhatikan dalam memberikan pertanyaan kepada siswa adalah bahwa ada
rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu sesuai dengan Optimal Arousal Theory.
Sebab, jika rangsangan yang diberikan terlalu tinggi, maka motivasi siswa justru dapat turun
kembali. Harus juga dipertimbangkan apa yang oleh Field Theory disebut sebagai jarak
psikologis ke suatu tujuan; dalam memberikan pertanyaan, sebaiknya “jarak” antara pengetahuan
yang telah dimiliki oleh siswa dengan jawaban yang diharapkan tidak terlalu jauh, supaya
motivasi untuk menjawab pertanyaan tersebut besar karena jarak psikologis tersebut berbanding
terbalik dengan motivasi.

Dalam pandangan teori-teori motivasi Cognitive, memberikan pertanyaan-pertanyaan yang


diberikan dalam pembelajaran Sains dengan metode inquiry sama artinya dengan menciptakan
ketidakcocokan (konflik) antara apa yang dipikirkan oleh siswa dengan apa yang seharusnya
menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cognitive Dissonance Theory menyiratkan
bahwa jika guru dapat menciptakan konflik-konflik tersebut, maka siswa akan berusaha
(termotivasi) untuk mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya.

Sementara menurut Expectation Theory, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat
sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan
kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil
kemungkinan bahwa ia akan terlibat dan termotivasi dalam aktivitas belajar. Oleh karena itu, jika
metode inquiry diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa, pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan guru kepada siswa memiliki batasan-batasan tertentu, misalnya siswa harus merasa
dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan yang disyaratkan dalam metode pembelajaran Inquiry, yang oleh Garton
disebut sebagai pertanyaan essential, antara lain harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut
(Garton, 2005).

• dapat ditanyakan berulang-ulang


• menunjukkan kepada siswa hubungan antara beberapa konsep dalam sebuah subjek
• muncul dari usaha untuk belajar lebih jauh mengenai kehidupan, berupa pertanyaan
umum dan membuka pertanyaan-pertanyaan lebih jauh
• menuntun pada konsep utama subjek tertentu, untuk menjawab pertanyaan bagaimana
kita mengetahuinya atau mengapa
• memberikan stimulus dan menumbuhkan minat untuk menyelidiki; melibatkan siswa dan
menimbulkan curiosity
• melibatkan level berpikir yang lebih tinggi
• tidak dapat langsung dijawab
• tidak dapat dijawab hanya dengan satu kalimat

Contoh pertanyaan essential antara lain:

• “Apa yang menyebabkan sebuah zat disebut zat padat, zat cair, atau gas?”
• “Darimana datangnya ayam dan bagaimana cara kerja telur ayam sehingga bisa menjadi
ayam?”
• “Mengapa bentuk bulan berubah-ubah?”

Dalam proses pembelajaran, guru dan siswa bersama-sama mengembangkan pertanyaan-


pertanyaan lain, yang oleh Garton disebut pertanyaan unit, untuk menjawab pertanyaan
essential. Ciri pertanyaan unit antara lain:

• menanyakan konsep-konsep apa saja yang terdapat dalam subjek pertanyaan essential
• membantu siswa menjawab pertanyaan essential secara lebih spesifik

Contoh pertanyaan unit antara lain:

• Apa saja contoh zat padat, zat cair, dan gas?


• Apakah ciri-ciri zat padat, zat cair, dan gas?

Komponen kedua dan ketiga dalam metode inquiry adalah student engangement (keterlibatan)
dan cooperative interaction (interaksi kerjasama). Kedua hal ini akan dibahas bersamaan karena
memiliki kedekatan. Keterlibatan siswa dan interaksi kerjasama dapat ditinjau berdasarkan teori-
teori motivasi Psychoanalitic, Humanistic, dan Social Cognition.

Dalam pandangan Theory of Socioemotional Development, yang paling mendorong atau


memotivasi perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial. Dalam
pembelajaran dengan metode inquiry, ketika siswa merasa dilibatkan oleh guru (lingkungan)
dalam proses menjawab pertanyaan-pertanyaan dan melakukan interaksi dengan sesama siswa
melalui kerja kelompok, maka perilaku dan kepribadiannya berubah ke arah yang lebih baik,
yaitu ikut aktif terlibat dalam kegiatan dan mau bekerjasama. Supaya keterlibatan dan
kerjasamanya dapat diterima oleh lingkungan, maka ia harus menyiapkan diri sebaik mungkin,
misalnya dengan membaca banyak buku teks. Artinya, motivasi belajar siswa meningkat.

Dalam pandangan teori Maslow, manusia memiliki kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi
diri. Kesempatan siswa untuk terlibat dan bekerjasama dalam sebuah pembelajaran dengan
metode inquiry dapat dikatakan sebagai kesempatan untuk memenuhi dua kebutuhan -
penghargaan dan aktualisasi diri - tersebut. Dengan demikian, metode inquiry memberikan ruang
bagi siswa untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga siswa pun akan memiliki motivasi yang
tinggi, tentu saja motivasi dalam belajar.

Keterlibatan dan interaksi kerjasama dalam pembelajaran Sains dengan metode inquiry juga
dapat ditinjau berdasarkan teori Social Cognition, yang menyatakan bahwa proses pembelajaran
dapat terjadi antara lain melalui attention dan motivation. Attention, artinya siswa
memperhatikan lingkungan melalui keterlibatannya. Motivation, artinya lingkungan memberikan
konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku. Contoh konsekuensi adalah dianggap tidak
aktif terlibat dan tidak dapat bekerjasama. Untuk menghindari konsekuensi ini, siswa termotivasi
untuk belajar sehingga konsekuensi yang diperoleh adalah konsekuensi yang positif.

Komponen keempat dalam metode inquiry adalah performance evaluation. Performance


evaluation dapat ditinjau dari Expectation Theory yang menyatakan bahwa motivasi merupakan
fungsi dari expectation, reward, dan nilai. Dalam performance evaluation, siswa akan berusaha
sebaik-baiknya dengan expectancy mendapatkan reward (misalnya nilai yang baik). Dengan
demikian, sesuai teori ini motivasi siswa akan meningkat karena metode inquiri mengandung
performance evaluation. Hal sebaliknya dapat dinyatakan bahwa motivasi siswa akan rendah
dalam suatu pembelajaran yang tidak memasukkan unsur performance evaluation di dalamnya.

Mirip dengan Expectation Theory, Social Learning Theory juga menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi motivasi seseorang adalah expectation dan nilai reinforcement. Dengan
demikian, melalui performance evaluation ini motivasi siswa akan meningkat karena expectation
siswa yang tinggi.

Berdasarkan teori Maslow, dalam performance evaluation siswa diberi kesempatan untuk
memenuhi kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Artinya, adanya
kesempatan ini menyebabkan motivasi siswa meningkat agar dapat memenuhi kebutuhan
tersebut.

Komponen kelima dalam metode inquiry adalah Variety of Resources. Komponen ini dapat
dikaitkan dengan teory Curiosity Berlyne yang menyimpulkan bahwa curiosity meningkatkan
motivasi belajar siswa. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru menimpulkan ketidakpastian
atau konflik konseptual dalam diri siswa. Konflik konseptual ini akan menimbulkan rasa ingin
tahu yang besar dalam diri siswa. Untuk menjawab rasa ingin tahunya, siswa harus memiliki
banyak pengetahuan, yang dapat diperoleh dari berbagai macam sumber belajar. Artinya, dalam
metode inquiry sebenarnya guru menciptakan curiosity siswa, yang meningkatkan motivasi
belajarnya, dan guru kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk memuaskan rasa
ingin tahunya tersebut melalui berbagai macam sumber belajar. Tentu saja, peranan guru sangat
penting dalam memilihkan sumber belajar yang tepat agar siswa tidak terlalu lama dalam
keadaan “belum menemukan jawaban”, karena hal ini dapat menurunkan kembali motivasinya.

IV. Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran kelima komponen dalam metode inquiry di atas ditinjau dari berbagai
teori tentang motivasi dan curiosity terlihat bahwa metode inquiry memberikan kesempatan
meningkatnya motivasi belajar siswa. Memberikan kesempatan dapat diartikan sebagai suatu
ketidakpastian, masih terdapat batasan-batasan. Misalnya, jika pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada siswa terlalu sulit (jarak psikologisnya jauh), tidak memberikan rangsangan dan
curiosity yang tinggi, maka peningkatan motivasi belajar juga sulit diharapkan. Namun secara
umum dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dari metode inquiry terhadap motivasi
belajar siswa.

V. Referensi
Atkinson, Rita., Atkinson, Richard, C., & Hilgard, Ernest, R., 1983. Introduction to Psychology,
8th Ed. Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Berliner, David, C. & Calfee, Robert.C.(Editor), 1996. Handbook of Educational Psychology.


New York, Simon & Schuster Macmillan.

Blosser, Patricia E. & Helgenson, Stanley L. (1990). Selecting Procedures for Improving the
Science Curriculum. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and
Environment Education. (ED325303)

Budiningsih, Asri, C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.

Gage, N.L. & Berliner, David, C. (1984). Educational Psychology 3rd Ed. Boston, Houghton
Mifflin Company.

Gagne, Ellen, D., 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Little, Brown
and Company

Garton, Janetta., 2005. Inquiry-Based Learning. Willard R-II School District, Technology
Integration Academy.

Haury, L. David. (1993). Teaching Science Through Inquiry. Columbus, OH: ERIC
Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environment Education. (ED35904

Huitt, W. (1997). Socioemotional development. Educational Psychology Interactive. Valdosta,


GA: Valdosta State University

____. (2004). Observational (social) learning: An overview. Educational Psychology Interactive.


Valdosta, GA: Valdosta State University.
____. 2001. Motivation to Learn: An Overview. Educational Psychology Interactive. Valdosta,
Valdosta State University

Leonard, Nancy, H., Beauvais, Laura Lynn., & Scholl Richard, W., 1995. “A Self Concept-
Based Model of Work Motivation”. In The Annual Meeting of the Academy of Management
(URL: http://chiron.valdosta.edu/wh…).

Sagala, Syaiful., 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung, Penerbit Alfabeta.

Wortman, Camille., Loftus, Elizabeth. & Weaver, Charles., 2004. Psychology, 5th Ed. Boston,
McGraw-Hill.

Yerkes, R.M. & Dodson, J.D. (190 The Relation of Strength of Stimulus to Rapidity of Habit-
Formation. Journal of Comparative Neurology and Psychology, 18.

sumber : http://iwanps.wordpress.com/2008/04/17/teori-motivasi/

You might also like