You are on page 1of 8

Lailatul Qadar

By Badruddin Hsubky
Rabu, 24 September 2008 pukul 21:17:00

Lailatul qadar, sering juga disebut Malam Kemuliaan. Inilah malam turunnya takdir Allah yang baik bagi
hamba-Nya. Ibadah di malam mulia ini lebih baik dari beribadah seribu bulan (Q. S. 87: 2). Pada malam
lailatul qadar para malaikat dan Jibril berdesakan turun ke bumi membawa segala urusan yang baik.
Rizki, ilmu pengetahuan, kebahagiaan, keberkahan, dan sebagainya diberikan kepada hamba-hambaNya
yang beribadah di malam yang mulia ini (Q. S. 87: 3 dan 89: 16). ''Di saat lailatul qadar,'' sabda Nabi
SAW, ''Jibril dan malaikat yang lainnya turun ke bumi, seraya memohon ampunan dan keselamatan bagi
setiap hamba Allah yang beribadah di malam lailatul qadar.'' Karena kemuliaannya, banyak orang Islam
yang lalu menantikan lailatul qadar, dengan berbagai kegiatan ibadah. Keadaan ini akan bertambah
khusuk bila tiba sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Mereka bersandar pada hadis Nabi riwayat
Aisyah ra: ''Jika telah datang sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW lebih
mempererat ibadahnya, dan beliau membangunkan seluruh keluarganya.''

Hadis di atas memotivasi umat Islam agar bertambah giat beribadah. Terlihat, di berbagai masjid, umat
Islam khusuk beribadah, ada yang tadarus Alquran, salat tarawih, salat malam, mengkaji ilmu-ilmu
keislaman serta berbagai kegiatan ibadah lainnya. Ini karena Rasulullah SAW telah memberi gambaran
bahwa untuk mendapatkan lailatul qadar harus beribadah secara sungguh-sungguh di bulan yang penuh
berkah ini. Minimal ada dua syarat untuk mendapatkan malam lailatul qadar. Pertama, fal yastajibu li,
hendaknya memenuhi segala ketentuan-ketentuan Allah dan menjauhi berbagai larangan-Nya secara
konsekuen dan konsisten. Kedua, fal yu'minu bi, memantapkan keyakinan kepada Allah atas segala janji-
janji-Nya.

Dua kriteria di atas merupakan syarat akan dipenuhinya segala permohonan. Firman-Nya, ''Aku akan
mengambulkan permohonan orang-orang yang berdoa, bila mereka memohon kepadaKU.'' (Q. S. 2: 186).
Lalu, apa hikmah dari malam lailatul qadar? Orang yang mendapat lailatul qadar, dalam hidupnya akan
senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk ke jalan lurus, al-shirath al-mustaqim. Artinya, ia akan
mendapat aspirasi dan inspirasi untuk menatap hidup masa mendatang yang lebih baik. Kita amat kerap
berikrar: Tunjukilah kami jalan lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat
kepada mereka (Q. S. 1: 5-7). Petunjuk jalan yang lurus itu akan tersingkap di saat tiba lailatul qadar.
Semoga.

Keselamatan Perjalanan
By D.Sirojuddin AR
Kamis, 25 September 2008 pukul 09:38:00

Beberapa hari menjelang dan sesudah Lebaran Idul Fitri, berita kecelakaan kendaraan begitu sering
memenuhi media massa. Beberapa kecelakaan lalulintas ini umumnya akibat kecerobohan pengendara
yang main kebut, kurang perhitungan atau ngantuk. Namun, kerapkali, kecelakaan hadir tanpa diundang.
Biasanya akibat srempetan bus yang ugal-ugalan, karena sopirnya harus mengejar setoran. Tanpa peduli
keselamatan nyawa orang lain, ia menyebabkan korban bergelimpangan sia-sia. Tapi, korban manakah
yang tahu sebelumnya bahwa dirinya akan celaka? Tidak ada yang tahu! Yang tahu, tentu saja, hanya
Allah SWT, karena hanya Dialah yang menentukan nasib selamat atau celaka seseorang. Itu sebabnya,
kita dianjurkan ''mengasuransikan'' nyawa kita kepada Sang Maha Pencipta sebelum berangkat
(menempuh suatu perjalalan): mohon keamanan dan diperlekas sampai ke tujuan.

Bahkan kita disunatkan salat safar (perjalanan) dua rakaat. Sayang, yang terakhir ini selalu ditekankan
hanya kepada calon jemaah haji sebelum melangkahkan kaki dari rumahnya. Selain doa dan salat, kita
disarankan memperbanyak sedekah yang -- sebagaimana ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW -- dapat
mencegah kecelakaan (tadfu'ul bala'). Selain investasi pahala di akhirat, sedekah juga merupakan asuransi
keselamatan di dunia. Tentang keindahan dan kehebatan 'tuah' sedekah ini, oleh Qatadah disebutkan,
''Sedekah mampu memadamkan dosa seperti air memadamkan api.'' Itu sebabnya, banyak kita dapati
kyai-kyai yang, sebelum bepergian, sengaja membagi-bagikan sedekah buat fakir miskin.

Dikisahkan, suatu kali mobil yang ditumpangi oleh seorang kyai dari Bogor terguling-guling di jalan tol
Jagorawi. Ia dan beberapa penumpang lainnya selamat dan hanya sedikit lecet. Konon, karena kyai
tersebut suka bersedekah. Nyawa adalah sesuatu yang misterius. Dalam agama kita, beberapa hal wajib
dijaga dan dipertahankan, yaitu al-din (agama atau keyakinan), al-nasl (keturunan), al-'aql (akal), dan al-
nafs (jiwa atau nyawa). Memelihara nyawa adalah dengan memberinya hak-hak hidup dengan makan
minum yang baik, istirahat, kesehatan, dan lain-lain. Dengan demikian, berdosalah menyia-nyiakan
amanat ini -- misalnya gantung diri, minum racun, mogok makan, dan enggan berobat.

Almarhum Buya Hamka pernah mengatakan, sekiranya kita mau naik pesawat, kita ''titipkan'' dahulu
nyawa kita lewat asuransi, itulah yang justeru dianjurkan agama. Yang jadi tekanan di sini adalah,
waspada dan sebisa mungkin berhati-hati agar keselamatan nyawa kita setiap saat terpelihara. Kemurahan
(rukhsah) dari Allah dengan menjamak atau mengqasar salat atau boleh tidak berpuasa dalam safar,
sebenarnya berdampak pada kenyamanan dan keselamatan dalam suatu perjalanan. (ah)

Takbir
By Dr Mulyanto M.Eng
Minggu, 28 September 2008 pukul 08:02:00

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan puasa, dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
telah diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al Baqarah: 185)

Di puncak ibadah puasa dan lengkapnya bilangan Ramadhan, Allah SWT memerintahkan kepada kaum
Muslimin untuk mengagungkan asma-Nya, bertakbir atas petunjuk yang diberikan-Nya serta mensyukuri
atas segala nikmat dari-Nya. Ibnu Katsier dalam tafsirnya mengartikan wa li tukabbiru Allaha ala maa
hadaa kum dengan mengagungkan Allah atas hidayah dan tuntunan yang diajarkan lewat Rasul kepada
manusia. Disunnatkan bertakbir ketika Idul Fitri untuk merayakan hari lulusnya umat Islam dari
kewajiban puasa Ramadhan. Secara sosiologis ibadah sunnat ini melembaga dalam bentuk takbiran.
Dengan rasa suka kaum muslimin bertakbir dengan pengeras suara di atas becak, truk, atau mobil sambil
berkeliling kota. Takbir dalam Islam dapat dipandang sebagai ruh ibadah. Dalam salat di setiap perubahan
gerak diawali dengan takbir. Ketika salat jamaah, maka takbir adalah komando bagi makmum untuk
segera mengikuti gerakan imam salat. Paling tidak 85 kali sehari kaum Muslimin bertakbir
mengagungkan asma Allah.

Takbir adalah sebuah al-ikrar suatu deklarasi ketundukan ego manusia pada kekuatan Mahabesar yang
ada di luar diri mereka, ketaklukan pada sesuatu yang mendominasi hidup dan kehidupan mereka. Takbir
adalah pengakuan jujur ketidak-berdayaan makhluk yang lemah kepada Khaliknya. Sekaligus pertanda
kepasrahan diri manusia muslim kepada Rabb mereka. Maka dalam titik relijiusitas itu, manusia muslim
sadar bahwa dalam kosmos yang tak terbatas ini dirinya sangat kecil. Diri manusia ibarat sebuah sel
dalam tumbuhan raksasa. Dia hanya sebutir debu di tengah kabut galaksi Bima Sakti. Dia hanya seorang
aktor dalam panggung nasib yang telah direkayasa Sang Sutradara Agung. Dia hanya seorang hamba
yang terikat dan telah ber-syahadah untuk menjalankan seluruh perintah Allah.

Karenanya getaran takbir adalah obat mujarab untuk membersihkan karat-karat kepongahan jiwa. Air
jernih yang mengguyur hati dan memunculkan kesegaran spiritual-transendental. Membunuh arogansi
dan menyuburkan sikap tawadlu. Menjadi wajar kalau takbir menuntut dikumandangkan dengan kesiapan
dan kesungguhan batin. Dan puncak semua kesadaran itu adalah terjadinya transformasi imam pada
dimensi kasat mata. Batu uji empiris jiwa yang bertakbir adalah 'amal bil arkan. Maka adalah absurd
kalau takbir tak pernah memunculkan refleksi sosiologis. Adalah dusta belaka kalau kebesaran Allah
hanya diwujudkan dalam kata-kata dan sekedar kata-kata. Padahal takbir menuntut diperdengarkan dalam
bentuknya yang utuh, yakni amal nyata menegakkan dienullah dalam diri, keluarga dan masyarakat.
Sangat besar kemurkaan Allah bagi mereka yang menyatakan apa yang tidak diperbuatnya (Q.S. 61:3).
Dalam penghujung Ramadhan ini marilah kita bersiap diri untuk bertakbir dengan segenap totalitas
maknanya. Wallahu 'alam bishawab. (ah)

Warisan Ramadhan
By Subagio S. Waluyo
Senin, 29 September 2008 pukul 07:41:00

Ramadhan telah berlalu. Hari-hari indah yang penuh rahmat, berkah, dan maghfirah itu telah lewat pula.
Namun, apakah kita harus mengakhiri pula tujuan ibadah itu, yakni untuk mencapai derajat muttaqien
(orang-orang yang takwa)? Apakah untuk mencapai muttaqien hanya diperoleh lewat Ramadhan? Dan
apakah kita sudah cukup merasa puas kalau kita memasuki Idul Fitri sebagai pemenang dan terlahir
kembali sebagai bayi yang baru lahir? Untuk mencapai derajat muttaqien seperti yang diwajibkan Allah
lewat puasa (Q. S. 2:183) bukan semata-mata hanya diperoleh di bulan Ramadhan. Bunyi ayat tersebut
(Q. S. 2: 183) memang mewajibkan kita berpuasa (Ramadhan) untuk mencapai takwa. Namun, perlu
diingat bahwa ada puasa-puasa maupun ibadah-ibadah lain yang juga dapat mengantarkan kita menjadi
muttaqien. Bukankah untuk mencapai ketakwaan (di bulan Ramadhan) itu kita peroleh karena kita
melakukan berbagai amalan, di antaranya qiyamul lail, zikir, doa, tilawah Quran, infak, i'tikaf, istighfar,
dan amalan saleh lainnya? Jadi untuk mencapai derajat muttaqien tidak cukup hanya dilakukan lewat
puasa Ramadhan sebulan penuh sementara amalan-amalan lain terbengkalai.

Karena itu setelah kita berhasil menjalani ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh, sudah seharusnya
meneruskan amalan-amalan yang kita lakukan selama bulan Ramadhan itu pada bulan-bulan lainnya.
Sebagai misal, setelah berpuasa wajib, kita masih bisa menjalani puasa sunat, seperti puasa Senin-Kamis,
puasa Syawwal, puasa pertengahan bulan di bulan-bulan hijriah, dan sebagainya. Kita boleh pilih puasa
mana yang ingin kita jalani. Selain itu, kita juga bisa bersedekah memberi makan orang lain, misalnya
kepada fukara dan masakin, atau menjamu orang yang berpuasa sunat di masjid-masjid, musalla-musalla,
atau di rumah kita? Bukankah orang yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, pahalanya sama
dengan yang berpuasa?

Di samping itu, kita juga bisa mengkhatamkan Alquran sebulan sekali kalau kita mau melakukannya. Kita
bisa memperbanyak doa, zikir, istighfar, dan bersabar di tengah-tengah kesibukan kita. Bahkan, kita bisa
menyisihkan waktu malam kita untuk sekadar salat qiyamul lail. Singkatnya, kita bisa melakukan semua
amalan yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan pada bulan-bulan lain. Ramadhan biarlah berlalu.
Namun janganlah kita lewatkan pula hari-hari pada bulan lain dengan tidak mewarisi amalan-amalan
Ramadhan. Kita harus mengupayakan hari-hari sepanjang tahun adalah seolah-olah Ramadhan. Alangkah
indahnya hidup ini manakala banyak di antara kita yang menghidupkan Ramadhan sepanjang tahun.
Bukankah kita semua ingin mencapai derajat takwa selama hayat masih di kandung badan? (ah)

Bersalaman
By Drs. Fauzul Iman, M.A.
Selasa, 30 September 2008 pukul 05:27:00

Bagi masyarakat yang telah mengenal tradisi bersalaman, biasanya mereka melakukannya dengan
maksud atau beberapa motivasi. Pertama, bersalaman untuk meminta maaf atas kesalahannya. Kedua,
bersalaman untuk tanda persahabatan. Ketiga, bersalaman karena kedua belah pihak telah lama tak
berjumpa. Keempat, bersalaman karena untuk mempererat tali silaturrahmi. Sejalan dengan motivasi di
atas, dalam praktik keseharian, tradisi bersalaman demikian mengakar kuat dilakukan oleh anak kepada
orang tua, murid kepada guru, bawahan kepada atasan, dan oleh masing-masing sahabat terdekat.

Tradisi bersalaman dalam kondisi demikian sangat dianjurkan oleh agama. Bahkan ada satu hadis yang
menjelaskan tentang terampuninya dosa seseorang yang senantiasa memelihara tradisi bersalaman. ''Bila
dua orang muslim saling berjumpa, lalu keduanya bersalaman, kata Nabi SAW, maka kedua orang itu
akan diampuni dosanya sebelum keduanya berpisah.'' Dari hadis ini dapat dipahami bahwa bersalaman
dalam ajaran agama tak hanya menjadi tradisi. Lebih dari itu, ia telah dilegitimasi oleh nilai nilai agama
yang syarat dengan muatan-muatan sakral (ibadah). Bagi yang melakukan kegiatan bersalaman, yang
bersangkutan tidak hanya meraih rasa syahdu atau keasyikan yang diluapi kegembiraan, tetapi ia akan
memperoleh pahala sekaligus terhapus dosanya.

Di Lebaran Idul Fitri ini, kita merasakan betapa semaraknya kegiatan bersalaman di tengah masyarakat.
Di antara mereka memang ada yang dengan tulus dan ikhlas melakukan tradisi bersalaman ini. Mereka
tanpa pandang bulu berbaur bersalaman baik dengan anak-anak, tua jompo, miskin dan kaya, dengan
harapan dapat saling memaafkan, memperkuat dan membangun kembali tali ukhuwah dan persahabatan.

Di sela-sela kegembiraan dan keikhlasan umat Islam menjalankan tradisi bersalaman, ternyata masih
banyak di antara kita yang menyalahgunakan tradisi tersebut. Bersalaman yang semula bernilai sakral
diubah bentuk sehingga kehilangan maknanya. Ia tidak lagi menjadi media ibadah yang dapat
mempercepat tali silaturrahmi, tapi menjadi alat kepentingan kelompok terentu untuk mengembangkan
relasi yang menarik margin keuntungan. Tak pelak lagi, tradisi bersalaman menjadi sarat dengan muatan
materi secara pandang bulu dan menjadi elit. Tradisi bersalaman dilakukan oleh kelompok ini dengan
cara membawa parsel atau bingkisan yang berharga mahal, yang diberikan kepada orang yang sebenarnya
tidak layak disantuni. Tradisi bersalaman yang demikian, jelas bertentangan dengan misi silaturahmi dan
merusak sendi-sendi kebersamaan, karena sikap ini
cenderung berpihak kepada kelompok kuat, sementara kaum lemah dilecehkan. Dalam negara kita yang
masih terdapat umat yang mendambakan bantuan sosial dan sentuhan kasih, hendaknya tradisi
bersalaman tidak berjalan memihak yang menyebabkan kaum kuat semakin besar kharismanya,
sementara kaum kecil semakin terkucil. (ah)

Minal Aidin Wal Faizin


By Muhammad Arifin Ilham
Kamis, 02 Oktober 2008 pukul 07:39:00

Kemenangan hakiki adalah kembali suci (lihat QS 91: 9). Setiap Bani Adam pasti berdosa dan sebaik-
baik mereka yang berdosa adalah bertobat, demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Dan, orang bertakwa
bukanlah orang yang tidak pernah bersalah; pernah bersalah kemudian insaf dan tidak pernah lagi
mengulangi perbuatan dosanya (lihat QS 3:135). Pertama dan terakhir, itulah tanda taubatan nashuha.
Tidak ada lagi keinginan melakukan dosa.

Orang bertakwa dan ahli ibadah pun diingatkan oleh Allah untuk tidak merasa paling suci karena Allah
paling mengetahui siapa yang paling suci dan siapa kita sebenarnya (53;32). Tentu, peringatan Allah ini
disebabkan sayangnya Allah pada mereka agar tidak 'GR' karena kealiman mereka. Dan, justru dengan
peringatan ini, Allah ingin agar mereka yang bertakwa untuk tetap istikamah dengan ketakwaan mereka.

Sungguh kesempatan yang bersejarah dalam hidup ini dan lebih baik dari pada dunia dengan segala isinya
adalah kesempatan bertaubat. Inilah karunia Allah yang paling besar, "Andaikan bukan karunia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun di antara kamu diberi kesempatan bertaubat
kepada-Nya." ( QS 24:21). Karena itulah, jangan pernah menunda dan meremehkan kesempatan itu.

Bagi kita, Ramadhan adalah karunia dan rahmat besar itu. Ramadhan itu bermakna pembakaran. Tentu,
sesuatu itu adalah yang dibakar oleh hal-hal yang tidak bermanfaat. Kalaupun dibakar, itu barang baik;
tentu untuk lebih baik lagi, seperti besi dibakar agar menjadi gergaji, palu, atau pisau. Demikian pula kita
di-Ramadhan-kan selama sebulan penuh karena Allah ingin agar orang-orang beriman itu memiliki
pribadi yang canggih, yaitu pribadi bertakwa (lihat QS 2: 183).

Mari, kita becermin lagi setelah berakhirnya bulan suci ini. Semoga tahun depan kita masih bisa bertemu
Ramadhan lagi. Selamat Hari Raya Idul Fitri. (ah)

Puasa Syawal
By Republika Contributor
Jumat, 03 Oktober 2008 pukul 09:52:00

Dari Abi Ayyub Al-Anshari, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan,
kemudian setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka seolah-olah ia berpuasa selama satu
tahun (HR. Jama'ah). Subhanallah, Mahasuci Allah, Dzat yang telah menurunkan aturan-Nya melalui
Rasul-Nya yang begitu indah dan tinggi nilainya. Setelah kita berpuasa selama satu bulan penuh di bulan
suci Ramadhan, diselingi hari raya satu hari, lalu kemudian kita dianjurkan untuk berpuasa selama enam
hari dengan imbalan nilai pahala yang begitu besar, seolah-olah berpuasa selama satu tahun.

Sayyid Tsabiq dalam Fiqhus Sunnah (III: 221) memberikan komentar terhadap hadis ini bahwa setiap
kebaikan akan mendapatkan balasan 10 kali lipat (Q.S. 6:160). Puasa satu bulan (Ramadhan) senilai
dengan 10 bulan, dan enam hari senilai dengan 60 hari (dua bulan), sehingga jumlahnya senilai dengan
dua belas bulan. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa puasa tersebut boleh dilaksanakan enam
hari secara terus menerus mulai tanggal dua sampai tujuh Syawal, atau dilaksanakan berselang-seling,
yang penting dalam bulan Syawal. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafii berpendapat, bahwa yang lebih
utama nilainya, puasa tersebut dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri secara terus menerus selama enam
hari.

Ada beberapa hikmah dan tujuan mulia, kenapa ada anjuran puasa sunnah setelah kewajiban puasa.
Hikmah itu antara lain untuk menanamkan pengertian dan kesadaran bahwa ibadah dan taqarrub kepada
Allah SWT, tidaklah hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun sepanjang waktu. Benar,
bahwa bulan Ramadhan adalah Sayyidussyuhur (panglimanya bulan-bulan). Tetapi bukan berarti ibadah
dan taqarrub itu hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja. Sayangnya, kita masih melihat betapa
banyak kaum muslimin yang merasa terbebas dari 'belenggu ibadah' manakala Idul Fitri datang. Lalu
tidur sepulas-pulasnya dan makan sekenyang-kenyangnya. Seolah-olah latihan panjang selama Ramadhan
tidak memberikan bekas sedikit pun. Dr Yusuf Qardhawi dalam bukunya Khashais al 'Ammah Fi al Islam
(1989:137) menyebut orang-orang tersebut dengan 'Ramadhani' (spesialis bulan Ramadhan).

Hikmah kedua, jika orang sudah bisa mengendalikan dirinya, terutama pada saat mendapat kesempatan
dan dengan situasi sosial yang mendukungnya, maka Insya Allah orang tersebut akan mampu
mengendalikan diri sepanjang hayatnya. Pada saat ia memiliki kesempatan untuk mendapatkan materi
sebanyak-banyaknya ataupun mendapat sebuah kedudukan, meski dengan jalan mengorbankan harga diri
dan kejujuran, maka ia akan tetap tegar mampu mengendalikan dirinya tidak hanyut pada arus
penghalalan segala cara tersebut. Dengan demikian, orang yang mampu mengendalikan dirinya adalah
orang yang memiliki sayyidul akhlak (panglimanya akhlak), demikian sabda Rasulullah saw dalam
sebuah hadis riwayat Imam Daelami dari Anas. Wallahu 'alam bishshawab. (ah)

Satu Perut
By Republika Contributor
Sabtu, 04 Oktober 2008 pukul 14:22:00

Sesungguhnya orang mukmin itu makan dengan satu perut, sedang orang kafir makan dengan tujuh
perut. Nabi Muhammad SAW

Seperti kendaraan bermotor, dalam bulan Puasa kita di-tune-up, di-spooring, di-balancing, supaya lancar
dalam pengembaraan kehidupan sehari-hari kita selanjutnya. Begitu besar perhatian Tuhan kepada diri
kita, hal itu terasa di bulan-bulan kemudian kita berada dalam keadaan stabil. Sampai kemudian kita
dipertemukan dengan bulan Puasa lagi. Alhamdulillah. Seberapa besar keperluan yang kita butuhkan,
rasanya selalu dicukupi Allah. Kadang terasa kita begitu dimanjakan-Nya. Ya, kita juga lupa bahwa kita
sebenarnya sudah lahir kembali, menjadi fitri untuk menjalani hidup ini. Mengapa lalu di bulan-bulan
kemudian kita kadang hidup lebih mewah lagi. Mengapa kita lupa gemblengan rohani dan jasmani yang
baru saja kita jalani.

Mengapa kemudian kita tidak khusus, misalnya, melakukan pemberdayaan kekuatan keadilan sosial
untuk menanggulangi kesenjangan sosial yang semakin tajam. Sebenarnya seberapa besar kekuatan yang
kita miliki punya pengaruh terhadap rasa keadilan sosial orang-perorang. Sayyid Qutub menyatakan
bahwa Islam membenci keadaan masyarakat yang terbagi dalam kelompok kaya dan miskin. Di dalam
masyarakat seperti itu terkandung rasa sakit hati dan kedengkian yang bisa mengancam keutuhan
masyarakat serta merusak jiwa dan hati manusia. Juga tekanan hidup atas orang-orang miskin, bisa
mendorong mereka kepada tindakan-tindakan yang haram dan terlarang, misalnya mencuri, merampok,
menjual harga diri dan kehormatan, merasa benar sendiri. Tindakan-tindakan semacam ini sangat
bertentangan dengan fitrah manusia dan dimusuhi Islam.

Hadis riwayat Bukhari di atas mengingatkan kita bahwa kebutuhan asal cukup dan kebutuhan asal rakus
mendudukkan orang-perorang dalam kondisi ketakwaan yang saling bertentangan. Seorang yang baik
juga nampak dalam ketakwaan ketika menghimpun kekayaan. Juga diperhitungkan bagaimana kekayaan
itu bisa didapat, dari mana, lalu untuk apa. Sampai pada akhirnya kekayaan itu wajib ''dipertemukan''
dengan Allah Azza wa Jalla. Bisakah kekayaan kita dipertanggungjawabkan? Apakah ada kelompok
masyarakat yang kita rugikan ketika kita menumpuk kekayaan. Masa-masa ibadah tak akan pernah
berakhir. Kesucian menyertai langkah kita dan tindakan-tindakan kita di kantor. Itulah karunia Allah
terbesar. Pikiran kita, ucapan kita, dan perilaku kita sehari-harinya mencerminkan keagungan manusia.
Kita adalah wakil Tuhan di bumi, sehingga napas keadilan sosial yang kita hembuskan merupakan
kewajiban yang utama karena kita seorang mukmin. Subhanallah. (ah)

Halal Bihalal
By Republika Contributor
Senin, 06 Oktober 2008 pukul 13:35:00

Suasana yang sangat terasa saat ini adalah acara halal bihalal yang diselenggarakan di berbagai instansi
swasta maupun pemerintah. Kegiatan semacam ini biasanya mulai diselenggarakan oleh kelompok-
kelompok masyarakat seminggu setelah Idul Fitri hingga akhir bulan Syawal. Walaupun halal bihalal
diambil dari bahasa Arab dan telah melembaga di kalangan masyarakat Indonesia, namun tradisi ini di
zaman Rasulullah SAW tidak kita temui. Di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya, tradisi
ini juga tidak memasyarakat. Namun bukan berarti tradisi halal bihalal tidak boleh, ia merupakan bid'ah
hasanah (inovasi yang baik). Tradisi halal bihalal adalah alternatif pemecahan praktis dari kunjungan
silaturahmi yang membutuhkan waktu berhari-hari. Dengan menghadiri acara halal bihalal yang diadakan
di satu tempat seseorang sudah dapat bersilaturahmi dan saling meminta maaf dengan banyak orang.

Dengan begitu, halal bihalal mempunyai arti penting dalam ajaran agama. Penekannya adalah hubungan
antara manusia dan Tuhannya serta hubungan antara manusia dan sesamanya. Allah berfirman, ''Dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu?'' (An-Nur: 22). Dalam ayat tadi, pemberian ampunan dari Allah SWT kepada
hambanya, tegas-tegas dikaitkan dengan pelaksanaan perintah memberi maaf dan berlapang dada atas
kesalahan orang lain terhadap dirinya. Adanya pertautan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan
manusia dengan manusia itu selalu diselingi oleh hal-hal yang haram, oleh berbagai kesalahan. Janji serta
jaminan ampunan dari Allah SWT kepada manusia yang ikhlas melaksanakan puasa selama Ramadhan,
hanya untuk kesalahan (dosa) yang berhubungan dengan Allah SWT.

Hal ini tampak dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi bahwa Allah berjanji melalui Nabi
Muhammad SAW, ''Bulan Ramadhan yaitu bulan yang diwajibkan kepada kamu berpuasa, dan Aku
sunnatkan kepada kamu menegakkan malamnya (ibadah malam). Maka barangsiapa di siang harinya
berpuasa dan di malam harinya mendirikan salat karena iman dan mengharapkan ridla Allah, ia keluar
dari dosanya (diampuni dosanya) seperti pada waktu dilahirkan oleh ibunya.'' Sementara itu, untuk dosa
yang berhubungan dengan kesalahan terhadap sesamanya, manusia harus meminta maaf kepada orang
yang bersangkutan. Bila demikian, tradisi halal bihalal itu pada intinya adalah silaturahmi dan saling
memaafkan antarsesama, dan ini jelas sejalan dengan ajaran Islam. Alhamdulillah, masyarakat muslim di
Indonesia telah mentradisikan hal ini secara luas. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa kelapangan
rezeki dan umur itu lewat silaturahmi. (ah)

Bulan Aktualisasi
By A. Ilyas Ismail
Selasa, 07 Oktober 2008 pukul 16:34:00

Dalam kalender hijriyah, bulan yang mengiringi Ramadhan dinamai bulan Syawal. Pada zaman dahulu,
masyarakat Arab pra-Islam memiliki pandangan negatif mengenai bulan ini. Mereka, misalnya, menolak
atau melarang melangsungkan pernikahan di dalamnya. Namun, tradisi ini dibatalkan oleh datangnya
Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri, seperti dikutip Ibnu Mandhur dalam Lisan al-Arab, menikahi
Aisyah pada bulan Syawal dan memulai hidup bersama dengannya juga pada bulan Syawal. Kenyataan
ini dibanggakan sendiri oleh Aisyah. Katanya, ''Siapa di antara isteri-isteri Nabi seberuntung aku di
sisinya?''

Kata Syawal berasal dari kata Syala, berarti naik atau meninggi (irtafa'a). Dikatakan menaik atau
meninggi, boleh jadi karena dua alasan. Pertama, karena pada bulan ini, kedudukan dan derajat kaum
muslimin meninggi di mata Tuhan setelah mereka menjalankan puasa Ramadhan sebulan lamanya,
seperti dijanjikan Nabi SAW dalam sekian banyak hadis. Kedua, karena secara moral kaum muslimin
dituntut untuk dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan nilai-nilai yang mereka tempa selama
bulan Ramadhan. Semangat Ramadhan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti kejujuran,
kesabaran, disiplin, takwa, dan kesetiakawanan sosial harus tetap nyata pada bulan Syawal ini dan bulan-
bulan berikutnya sepanjang hidup kita. Jadi, Syawal, sesuai dengan makna hafiahnya, dapat disebut
sebagai bulan aktualisasi nilai-nilai.

Peningkatan dan aktualisasi nilai-nilia di atas, agaknya memang perlu kita ingat. Tidak semua kaum
muslimin mampu mempertahankan nilai-nilai Ramadhan itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang
kemudian mengabaikannya bersamaan dengan berlalunya bulan suci itu. Kenyataan ini tidak saja
berlawanan dengan prinsip istiqamah, sikap keberagamaan yang stabil dan konstan, tetapi juga
bertentangan dengan hakekat agama itu sendiri yang dalam Kitab Suci disimbolkan dengan istilah-istilah
seperti shirath, sabil, syari'ah, dan minhaj, yang kesemuanya berarti jalan.

Ini mengandung makna bahwa keberagamaan itu adalah suatu perjalanan panjang tanpa henti dan tanpa
kenal lelah. Tujuan akhir agama itu adalah perjumpaan dengan Tuhan itu sendiri dalam perkenan-Nya.
Dalam perjalanan itulah terdapat suatu dinamika dan kebahagiaan yang sungguh sangat sejati bagi orang
yang menempuhnya, terutama ketika ia semakin dekat (taqarrub) dengan Tuhannya.

Sikap dan semangat keberagamaan seperti itulah agaknya yang dipesan Tuhan kepada Nabi Muhammad
SAW dan selanjutnya kepada seluruh kaum muslimin dalam ayat ini: ''Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu menuju dan berharap.'' (Q. S. 94: 7-8). (ah)

Kenikmatan Hari Raya Keagamaan


By Republika Contributor
Rabu, 08 Oktober 2008 pukul 17:25:00

Jika datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kau lihat manusia masuk agama Allah berbondong-
bondong, maka murnikanlah dalam memuji Tuhanmu dan berdoalah, dan mohon ampunlah kepada-Nya.
Sungguh Ia Maha Penerima tobat. (Q. S. 110: 1-3).

Kala Umar bin Khattab ditetapkan sebagai khalifah, ia bukan bergembira ria, tapi merasa sedih sekali,
karena di hadapannya terbayang suatu tanggungjawab yang begitu besar, yang akan dipikulnya, seperti
yang kemudian kita baca dalam biografinya. Mungkin ia teringat pada surah pendek tadi.

Pada hari-hari tertentu dalam setahun, kita sering merasa bergembira mendapat kenikmatan berupa
perayaan-perayaan yang sifatnya umum, seperti hari-hari raya keagamaan atau nasional. Atau secara
pribadi kita merayakan suatu peristiwa, karena sudah merasa berhasil. Waktu itu kita lalu berpesta ria,
berkumpul dengan kerabat atau handai tolan. Kadang hanya sampai di situ.

Dalam bahasa agama, ''Kemenangan adalah puncak kebaktian, bukan suatu kesempatan untuk bersukaria.
Semua kemenangan datangnya karena pertolongan Allah juga,'' kata Abdullah Yusuf Ali dalam Tafsir-
nya mengantarkan Surah Nasr di atas. Nabi SAW hijrah dari Mekah ke Madinah karena dikejar-kejar dan
diganggu terus-menerus oleh kaum musyrik Quraisy. Di Madinah segenap kekuatan yang membela
kebenaran dan keimanan berkumpul di sekitarnya. Segala usaha oleh orang-orang Mekah dan sekutu-
sekutunya yang dikerahkan untuk menghancurkannya dan sahabat-sahabatnya, berbalik menghantam
kepala mereka sendiri.

Tetapi apa yang terjadi setelah itu! Rasulullah dan sahabat-sahabatnya memasuki Mekah secara damai,
berhala-berhala dihancurkan tanpa harus ada setitik darah yang menetes. Sebagai tanda syukur, semua
musuh betapa pun kerasnya, dimaafkan. Seluruh kawasan negeri itu secara kolektif dan suka rela kini
menyatakan setia kepadanya.

Pelajaran apa yang dapat kita tarik dari contoh kecil sejarah dunia ini? Bukanlah kebanggaan diri sebagai
pribadi, melainkan perasaan rendah hati; yang akan dihadapinya bukan kekuasaan melainkan pengabdian;
bukan mengutamakan kepentingan pribadi atau merasa bangga karena kemampuannya sendiri, melainkan
suatu kesadaran batin, bahwa semua itu adalah karunia dan rahmat Allah, rasa syukur yang tak henti-
hentinya kepada Allah, dalam kata dan perilaku.

Surah tadi merupakan teguran kepada Nabi, karena ketika itu seolah kaum Muslimin berpesta pora telah
mendapat kemenangan, kebalikannya dari harus bersikap rendah hati di hadapan Allah, mengakui
kelemahannya sebagai manusia dan mencari karunia-Nya; mengakui setiap keberhasilan yang
diperolehnya dalam usahanya itu, bukan karena kemampuannya sendiri, melainkan karena karunia dan
rahmat Allah juga.

Bagi Rasulullah SAW masih ada kewajiban lain yang menunggunya. Allah memerintahkannya agar
berdoa memohonkan karunia dan pengampunan untuk umatnya itu, jika di antara mereka ada yang
bergembira ria dalam menyambut kemenangan atau melakukan sesuatu yang tak seharusnya mereka
lakukan. (ah)

Cinta Membingkai Puasa


By Arsil Ibrahim
Jumat, 05 September 2008 pukul 15:18:00

''Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Sesungguhnya, bau mulut orang yang
berpuasa lebih disukai Allah daripada harum minyak kasturi.'' (HR Bukhari).
Kita ini ada di dunia karena diciptakan Allah. Bisa hidup karena diberi makan, minum, dan udara oleh
Allah. Sungguh celaka jika terbetik niat lain sewaktu berpuasa, selain karena memenuhi kehendak dan
perintah Allah.Sungguh, berbeda dengan amal ibadah yang lain, kita merasakan getaran cinta Penguasa
Alam Raya dalam perintah puasa ini. Getaran cinta dan kasih Allah itu dapat dirasakan pada hadis di atas.

Cobalah pahami bahasa hadis tersebut. Bukankah ini ungkapan cinta yang melimpah dari Allah kepada
hamba-Nya yang berpuasa? Kita semua paham bahwa bau mulut orang yang berpuasa di manapun pasti
sangat busuk. Itu wajar karena saat perut sedang kosong, asam lambung dapat memanjat sampai ke
dinding mulut.

Saat berbicara, menguap, atau bahkan sekadar membuka mulut langsung akan tersebar aroma yang
membuat orang menutup hidungnya. Namun, bagi Allah, seseorang yang berpuasa telah mengorbankan
makan, minum, dan syahwatnya hanya karena Allah. Allah sungguh cinta pada pengorbanan mereka.
Dan, cinta itulah yang menjadikan bau mulut mereka dihargai Allah lebih wangi dari minyak kasturi.

Subhanallah, betapa besarnya cinta kasih Allah terhadap orang yang berpuasa. Banyak sekali amal
perbuatan kita ini yang pahalanya dijanjikan Allah kepada kita secara kalkulatif. Contoh, shalat jamaah
menaikkan derajat kita di sisi Allah hingga 27 derajat. Bersedekah dilipatgandakan Allah pahalanya
hingga 700 kali lipat.

Begitu pula shalat di Masjidil Haram yang pahalanya 100 ribu lebih utama dibandingkan shalat di masjid
biasa. Semuanya dijanjikan Allah dalam hitungan-hitungan yang jelas. Tapi, untuk puasa, Allah
mengungkapkan apresiasi-Nya yang tinggi. ''Puasa itu untuk-Ku dan biar Aku yang menganugerahkan
pahalanya.'' Bukankah ini sebuah ungkapan sentimental yang diwarnai dengan kecintaan? (ah)

You might also like