Professional Documents
Culture Documents
KERETA API
DI INDONESIA
Pada tahun 1731 tuan tanah Ralph Allen, pemilik istana Prior Park yang kaya
raya di Inggris, menugaskan insinyur tambang John Padmore untuk
membangun jalan rel dan pusat penggalian batu ke pangkalan penimbunan
dekat sungai di Avon bij Bath sepanjang hamper 2,5 km. Ketika itu batu
pecah merupakan barang yang laris di pasaran dan banyak dipakai untuk
bahan bangunan. Batu-batu tersebut dimuat ke dalam gerbong-gerbong
kokoh, yang dasarnya terbuat dari kayu eik. Rodanya dibuat dari besi cor
yang sudah diberi penyanggah pada lingkaran dalam roda yang sedikit
mencuat ke luar (flens) agar tidak keluar rel.
Muatan berat yang dilepas dari tempat yang tinggi, yaitu Clarton Down,
meluncur ke tempat yang lebih rendah ditepi sungai. Seorang petugas yang
berjalan kaki mengikuti kendaraan yang penuh muatan tersebut dari
belakang. Dia mengawasi keempat roda, dan sekaligus mengendalikan rem
sampai gerbong batu tersebut berhenti di tempat pembongkaran. Dari
tumpukan di pangkalan, pengangkutan lanjut kepada para langganan di
sekitarnya dilakukan melalui sungai dan terusan atau disebut juga jalan air.
Pada perjalanan balik yang arahnya mendaki, gerbong yang telah kosong
tersebut ditarik oleh kuda. Petugas kawal yang tadinya juru rem, kemudian
berganti fungsi menjadi sais.
Kemudian ditemukan ternyata jalur jalan tapak lintasan roda-roda kereta
cepat rusak. Hal ini menyebabkan meningkatnya gesekan antara roda-roda
kendaraan dan pemukaan jalannya, yang berakibat daya tarik kuda menurun.
Dalam rangka mengatasi kelemahan tersebut, segera diketahui bahwa
gesekan antara roda kendaraan dan permukaan jalan harus dikurangi
sebanyak mungkin. Untuk itu muka jalan tapak lintasan roda dilapisi dengan
papan-papan kayu kea rah memanjang. Agar kedudukannya kokoh, maka
papan kayu itu ditambatkan pada bantalan-bantalan yang melintang yang
terbuat dari kayu atau batu belah. Kemudian ternyata papan-papan kayu
cepat aus sehingga selanjutnya muka atsnya dilindungi dengan lembaran-
lembaran besi. Papan lintasan roda lebih kuat dan awet, tetapi sebaliknya
roda-roda kendaraan menjadi cepat aus. Untuk mengatasi ini akhirnya
digunakan roda-roda yang terbuat dari besi (1734). Tetapi ternyata roda-roda
dari besi cepat mengauskan papan-papan besi, maka untuk mengatasinya
pada tahun 1767 mulai digunakan rel-rel masif yang terbuat dari besi tuang.
Masalh berikutnya yang timbul adalah melesetnya roda-roda besi dari
batang-batang rel lintasannya. Untuk mencegahnya, batang-batang relnya
diberi pinggul tegak pada tepinya. Pinggul ini berfungsi sebagai pengantar
jalannya roda di ats rel. Sejak masa itu terdapatlah perbedaan antara jalan
raya dengan jalan rel. Sejak masa itu pula selalu timbul persaingan secara
teknologis antara para perancang jalan rel dengan para perancang
kendaraannya.
Gagasan awal pembanguna jalan rel dan transportasi kereta api di Indonesia
dimulai di Pulau Jawa yang dipicu oleh meningkatnya produksi tanaman
ekspor pada awal abad ke 19, seperti the, kina, gula, kopi, dan desakan
kepentingan pertahanan pemerintah jajahan. Pencetus usul pertama adalah
Kolonel Jhr. Van Der Wijk, seorang militer, yang pada tanggal 15 Agustus
1840 mengusulkan agar di Pulau Jawa dibangun alat transportasi baru yaitu
kereta api, untuk menggantikan cara pengangkutan dengan hewan. Yang
diusulkannya adalah jalur dari Surabaya ke Jakarta melalui Surakarta,
Yogyakarta, dan Bandung. Di negeri belanda sendiri transportasi kereta api
pada saat itu baru mulai berjalan satu tahun. Usul ini menalami perjalanan
pertentangan pro dan kontra, sehingga membutuhkan waktu sampai pada
awal pelaksanaanya.
Jalur rel Semarang – Yogyakarta, selesai pada tahap pertama untuk jalur
Kemijen ke Tnggung sepanjang 25 km pada tanggal 10 Agustus 1867 dan
kereta api mulai dioperasikan untuk umum, kemudian jalur secara utuh
selesai pada tanggal 21 mei 1873,dan pada tahun itu dibuka operasional
transportasi kereta api Semarang-Yogyakarta untuk umum. Lintas cabang ke
Ambarawa diselesaikan NISM tanggal 21 Mei 1873. Lebar rel adalah 1,435 m.
Pembuatan jalan rel Jakarta-Bogor dimulai NISM tahun 1869, dengan lebar
1,067 m, secara bergelombang, pengoperasiannya pun diberlakukan secara
bergelombang. Pada tahun 1871 mulai dioperasikan jalur Pasar Ikan –
Gambir, kemudian tahun 1872 jalur Gambir- Jatinegara, dan 31 Januari 1873
dioperasikan jalur Jatinegara- Bogor, sehingga sejak saat itu jalur Bogor-
Jakarta terhubungkan operasi kereta api untuk umum. Di jalur ini terdapat 15
stasiun : Jakarta Kota, Sawah Besar, Pintu Air (Noordwijk), Gambir,
Pegangsaan, Jatinegara, Pasar Minggu, Lenteng Agung, Pondok Cina, Depok,
Citayam, Bojong Gedeh, Cilebut, dan berakhir di Bogor. Pnajang bagian
Jakarta adalah 9,270 m, bagian Jatinegara 20,344 m, dan bagian Bogor
28,344 m, total 58,506 m.
Pada tanggal 6 April 1875 pemerintah mengambil keputusan untuk
membangun sendiri dan mengeksploitasi kereta api, setelah terlebih dahulu
didiskusikan di Majelis Rendah dan Majelis Tinggi Kerajaan Belanda. Yang
pertama kali dibangun adalah jalan rel jalur Surabaya-Pasuruan-Malang,
sepanjang 112 km. Dilaksanakan pembangunan jalur rel dan pengoperasian
kereta api secara bertahap, tahap pertama selesai dibangun dan dibuka
pengoperasian jalur Surabaya-Pasuruan tanggal 16 Mei 1878, tahap kedua
jalur Pasuruan-Malang tanggal 20 Juli 1878, jalur ini terdiri dari bagian jalur
Bangil-Sengon, Sengon-Lawang, dan Lawang-Malang. Perusahaan milik
pemerintah ini bernama Staats Spoorwegen (SS).
Sampai dengan tahun 1901 telah ada 18 perusahaan kereta api dan trem
swasta (termasuk NISM) yang diberi konsesi untuk membuka jalan rel dan
pengusahaan kereta api dan trem di Indonesia.
Antara tahun 1884-1898 SS membuka beberapa jalur jalan rel baru yang
terdiri dari :
- Lintas Pasuruan-Probolinggo pada tanggal # Mei 1884
- Lintas Surabaya-Surakarta melaluiWonokromo serta Sdiarjo pada
tahun 1884
- Lintas Sidoarjo-Madiun-Blitar pada tanggal 16 Mei 1884
- Lintas Bogor-Bandung-Cicalengka pada tanggal 10 September 1884
- Lintas Yogyakarta-Cilacap pada tahun 1887
- Lintas Cicalengka-Cilacap pada tahun 1894
- Lintas Wonokromo-Tarik, sehingga kereta api lintas Surabaya-
Surakarta tidak perlu lewat Sidoarjo
- Lintas Cicalengka-Garut pada tahun 1886
Dengan ditemukannya sumber minyak bumi di Cepu, maka dilaksanakan
pembangunan jalan kereta api jalur Gundih-Surabaya, tahap pertama selesai
tahun 1900 dan tahap kedua tahun 1901.
Dalam dua puluh tahun terakhir abad 19 dibangun pula jaringan jalan rel
yang tembus ke ujung barat dan ujung timur Pulau Jawa serta
menyambungkan kota-kota di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Yang
dimaksud adalah jalur Pasuruan- Panarukan dan jalur Panarukan-Banyuwangi
yang melintasi daerah-daerahpenghasil tembakau, kopi, gula dan tanaman
palawija di bagian timur Jawa timur, jalur Jakarta-Duri–Rangkasbitung-
Cilegon-Anyer Kidul (sepanjang 175 km, selesai tahun 1900) dan jalur
Cilegon-Merak (selesai tanggal 1 Desember 1914) yang membuka
keterpencilan daerah Banten; serta jalur Semarang-Cirebon yang dibuka
untuk umum tahun 1897 dan 1915. Di samping itu dibuka pula untuk umum
jalur Jakarta-Bekasi-Krawang (dibeli oleh SS dari BOS tanggal 4 Agustus
1898), Krawang-Cikampek-Purwakarta-Padalarang (mulai beroperasi tanggal
2 Mei 1906), dan jalur Cikampek-Cirebon yang dibuka oleh Gubernur Jenderal
A.W.F. Idenburg tanggal 3 Juni 1912.
Sesudah tahun 1900 pembangunan jalan rel di Jawa dilanjutkan oleh SS,
dikeluarkan undang undang tanggal 29 Desember 1900 yang menetapkan
bahwa pembangunan jalan rel dari Krawang menuju Cikampek-Padalarang
pada lintasan Bogor-Bandung-Yogya dapat dilaksanakan. Jalur jalan rel
sepanjang 97 km itu diantaranya menembus wilayah pegunungan sepanjang
56 km di daerah Parahiyangan. Pembangunan jalan rel ini dapat diselesaikan
pada bulan Mei 1906.
Pada thun 1911 keluar keputusan untuk membangun jalan rel lintas Banjr-
Parigi, yang kemudian dilanjutkan sampike Cijulang di wilayah Jawa Barat
bagian tenggara. Selama hamper 26 tahun sejak memasuki abad ke-20
perusahaan kereta api negara (SS) membangun lintas-lintas cabang yang
menghubungkan kota-kota kecil dengan kota-kota besar. Lintas-lintas cabang
dimaksud antara lain: Tasikmalaya-Singaparna (1911), Jatibarang-Indramayu
(1912), Banjar-Parigi (1921), Rancaekek-Jatinegara (1921), Bandung-Ciwidey
(1924), Dayeuhkolot-Majalaya (1922), Jatibarang-Karangampel (1926),
Krawang-Rengasdengklok dengan lebar sepur 600 mm (1909), Cikampek-
Cimalaya dengan lebar sepur 600 mm (1909), Madiun-Ponorogo-
Balong/Sumoroto (1907), Rogojampi-Benculuk (1922), dan Surakarta-
Wonogiri Batureno (1922). Sedangkan SCS membangun lintas cabang
Cirebon-Kadipaten (1901), Pekalongan-Wonopringgo (1916), dan Balapulang-
Margasari (1918).
Gambaran mengenai perluasan jaringan jalan rel di Pulau Jawa sampai tahun
1900 dapat dilihat dari table berikut :
Tabel Panjang Jalan Rel di Pulau Jawa Tahun 1867-1900 dalam Kilo
Meter
Jalan rel dengan alat angkut trem dibangun di daerah Aceh dengan alasan
pertimbangan pertahanan dan keamanan yaitu untuk memenangkan
peperangan anatar pemerintah colonial denganpara pejuang Aceh.
Pembangunan jalan rel dilakukan oleh Departemen Peperangan
(Departement van Oorlog) dimulai padatahun 1876 dari pelabuhan Uluelue
ke Kotaraja (Banda Aceh sekarang), ibukota Aceh, sepanjang 5 km. Ukuran
lebar sepur adalah 1.067mm. Jalan rel itu diperpanjang kearah selatan pada
tahun 1882, ukuran lebar sepur yang digunakan ialah 750 mm, jalan ryang
terdahulu kemudian diganti menjadi 750mm. Pada thun 1885 dibangun jalan
rel yang melingkar di sekeliling kota Kutaraja, tetapi pengerjaannya terhenti
pada tahun 1887. Didaerah tenggara Aceh dibangun jalan rel yang
menghubungkan Sigli dengan Seulimeum. Pembuatan jalan rel lanjutan dari
Seulimeum ke Keudeebreuh yang melintasi pegunungan dan bermedan berat
memakan waktu sampai 5 tahun, yaitu antara tahun 1903 sampai 1908.
secara berangsur-angsur perpanjangan jalan rel itu dilakukan sehingga
sampailah di Besitang dan Pangkalan Susu.
Makin populernya keretaapi sebagai alat angkut orang dan barang di daerah
Sumatera Timur dan makin meningkatnya jumlah produksi barang ekspor di
daerah ini menjadikan jaringan jalan rel milik DSM kian meluas. Pada bulan
Desember 1890 jaringan jalan rel tersebut sudah mencapai jarak 103 km.
Pada tahun 1900 dibangun pula jalan relantara Lubukpakan-Bangunpurba,
sepanjang 28 km. Kota penting Pematang Siantar yang merupakan pusat
perkebunan the dapat dicapai kereta api pada tahun 1916.
Pada akhir tahun 1928 jaringan jalan rel milik DSM telah mencapaipanjang
440 km, baik untuk sepurmaupun jalan trem. Selanjutnya masih bertambah
lagi 114 km antara tahun 1929 sampaitahun 1937, yaitu dengan
bertambahnya jalan rel pada lintas Kisaran-Rantauprapat. Dengan demikian
seluruh jaringan jalan sepur milik DSM telah mencapai 554 km, diantaranya
sepanjang 245 km merupakan jalur kelas utama.
Pertemuan jalan rel Sumatera Selatan dengan jalan relLampung terjadi pada
tanggal 22 Februari 1927. Jlan rel lintas Sumatera Selatan (Zuid Soematera
Spoorwegen, ZSS) akhirnya mencapai 529 km. Jalan rel ini menggunakan
lebar sepur 1.067 mm. Di dalamnya termasuk lintas Lahat-Tebingtinggi-
Lubuklinggau, sepanjang 132 km yang selesi dibangun pada tahun 1933.
Di Sulawesi jalan rel selesai dibangun bulan Juli 1922, dengan panjang 47 km
menghubungkan Makassar dengan Takalar, lebar sepur 1.067 mm, dibuka
untuk umum sejak 1 Juli 1923. Semula jalur yang akan dibangun adalah
Takalar-Makassar-Maros, akan tetapi karena pendapatan jalur pertama
antara Takalar-Makassar tidak mendatangkan keuntungan finansial, maka
jalur Makassar-Maros tidak jadi dibangun.
Di Kalimantan jalan rel dibangun oleh kalangan swasta dan khusus untuk
angkutan barang berupa hasil hutan dan insustri, dengan menggunakan
trem.
Penghapusan Lintas Lama dan Pembangunan Lintas Baru Pada
Jaman Pendudukan Pemerintah Militer Jepang
Adapun beberapa lintas lama yang dihapus atau dibongkar jalan relnya pada
waktu pemerintahan pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945 antara lain
sebagai berikut:
a. Bekas NISM
Brumbung - Semarang Tawang, 15 km, dibongkar tahun 1942.
Palbapang – Sawegalur, 15 km, dibongkar tahun 1943
Ngaben – Pundung, 27 km, dibongkar tahun 1943
Sumari – Gresik, 15 km, dibongkar tahun 1943
Purwosari – Boyolali, 27 km, dibongkar tahun 1943
Solo – Semarang, 109 km, dibongkar tahun 1942
b. Bekas SS
Ponorogo – Badegan, 17 km, dibongkar tahun 1943
Dayeuhkolot – Majalaya, 18 km, dibongkar tahun 1942
Rancaekek – Tanjungsari, 12 km, dibongkar tahun 1942
c. Bekas SJS
Mayon – Welahan, 6 km, dibongkar tahun 1942
d. Bekas SCS
Mundu – S. Laut – Lokasari, 40 km, dibongkar tahun 1942
Losari – Mundu, 28 km, dibongkar tahun 1943
SJS-SCS pelabuhan Semarang, 1 km, dibongkar tahun 1943
e. Bekas OJS
Sepanjang – Krian, 7 km, dibongkar tahun 1943
Mojokerto – Ngoro, 34 km, dibongkar tahun 1943
Gemakan – Dinoyo, 8 km, dibongkar tahun 1943
Mojokerto – Wates, dibongkar tahun 1943
f. Bekas KSM
Pesanten – Wates, 14 km, dibongkar tahun 1943
Padem – Papar, 14 km, dibongkar tahun 1943
Gurah – Kuwarasan, 8 km, dibongkar tahun 1943
g. Bekas MS
Gondanglegi – Dampit, 15 km, dibongkar tahun 1943
Gondanglegi – Kepanjen, 17 km, dibongkar tahun 1943
Sedayu – Turen, 1 km, dibongkar tahun 1943
h. Bekas PsSM
Pasuruan –Bekasi, 17 km, dibongkar tahun 1943
Pasuruan – Bogor, 2 km, dibongkar tahun 1943
i. Bekas PbSM
Jabung – Pationg, 5 km, dibongkar tahun 1943
Probolinggo – Sumberkareng, 3 km, dibongkar tahun 1943
Jumlah jalan rel yang dibongkar pada masa pemerintahan
pendudukan Jepang adalah paling tidak sepanjang 473 km
Kemudian jalur baru yang dibangun adalah di Jawa Barat yaitu antara Bayah
– Cikara sepanjang 83 km, yang dimaksudkan sebagai jalur pengangkut ke
pabrik pengolahan batu bara, dan di Sumatera sepanjang 220 km, yaitu
antara Muaro-Pekanbaru, yang ditujukan untuk mempercepat angkutan batu
bara Sawahlunto melalui Selat Malaka ke Singapura.