You are on page 1of 15

BEKAL BAGI PARA DA'I DI DALAM DAKWAH

Oleh: Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahulloh

Dalam buku ini beliau Rahimahulloh berdo'a (terj.):

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau,


keluarga beliau dan sahabat beliau, serta siapa saja yang mengikuti
mereka dengan lebih baik sampai hari kiamat1.

Saya memohon kepada Alloh agar menjadikanku dan kalian termasuk


para pengikut beliau secara bathin dan zhahir, mewafatkan kita di atas
agama beliau, membangkitkan kita (pada hari kiamat kelak) di dalam
barisan beliau, memasukkan kita ke dalam syafa’at beliau dan
mengumpulkan kita di dalam surga na’im (yang penuh kenikmatan)
bersama orang-orang yang Alloh anugerahkan nikmat kepada mereka
dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.

Sesungguhnya Alloh berfirman (terj.):

"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi Kitab (yaitu): 'Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu
kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.'." [Q.S. Ali
Imron: 187]

Syaikh menjelaskan (terj.):

Perjanjian yang Alloh ambil ini, bukanlah seperti perjanjian tertulis yang
dapat disaksikan manusia, namun ia adalah perjanjian untuk mempelajari
segala hal yang Alloh berikan kepada seseorang berupa ilmu. Apabila
Alloh telah memberikannya ilmu, maka ini merupakan perjanjian yang
Alloh telah mengikat pria atau wanita yang Ia berikan ilmu tersebut.

Kemudian Alloh berfirman (terj.):

"Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa."


[Q.S. al-Baqoroh : 197]
1
Aku teringat dengan ucapan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam (terj.),
"Wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rosyidin yang
mendapatkan hidayah sesudahku. Pegang teguh sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.
Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah
adalah kesesatan."
[SHAHIH. Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.]

Dan sabda beliau yang lain ketika mensifati sebagian kaum muslimin yang selamat darinya (terj.),
"Apa yang pada hari ini aku dan para sahabatku berada di atasnya."
[SHAHIH. Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.]
Dengan demikian, bekal bagi setiap muslim adalah bertakwa kepada Alloh
Azza wa Jalla. Dan balasannya tak lain adalah surga. Sebagaimana
firman-Nya (terj.):

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada


surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-
orang yang bertakwa." [Q.S. Ali Imron: 133] 2

Dalam ayat selanjutnya (134-135) dilukiskan sebagian ciri orang yang


bertakwa:
1. Orang yang berinfak, baik pada waktu lapang maupun sempit.
2. Orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang lain.
3. Orang yang apabila berbuat keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka bersegera mengingat Alloh, lalu memohon ampunan
atas dosa-dosanya. Kemudian tak meneruskan perbuatan dosa
tersebut.

Definisi Takwa adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah


atsar Tholq bin Habib Rohimahulloh:

Takwa adalah, Anda mengamalkan ketaatan kepada Alloh, di atas cahaya


dari Alloh dan mengharap pahala Alloh.

Syaikh menjelaskan:

Di dalam ucapan ini, terhimpun sifat :


1. Ilmu3,
2
Barangkali al Akh Abu Salma (atau juru ketiknya --barangkali) keliru dalam penulisan sumber ayat-
Nya. Seharusnya di surat Ali Imron, bukan Al Baqoroh.

3
Aku teringat dengan ucapan Imam Bukhori Rohimahulloh dalam kitab Shahih-Nya juz 1 hlm. 45. Aku
menukilnya tidak langsung dari kitab Shahih itu (maklum Tholabul Ilmi), namun dari kitab Ushuluts Tsalatsah (
‫ )األصول الثالثة وأدلتها‬yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rohimahulloh. Karena kitab ini
punya teman dan berbahasa Arab, kutulis juga bahasa Arabnya karena aku khawatir keliru dalam mengingat
apa yang diucapkan oleh temanku – Akh Dikdik Fazzarudin, Elektro 2006 - ketika menterjemahkannya untukku.
Silahkan dicek apa terjemahan ini benar ataukah sebaliknya.

َ ‫ " فاعل ْم أنهُ ال إلهَ إال هللا واستغفِرْ لذنب‬:‫ والدليل قوله تعالى‬,‫(باب) العلم قبل القول والعمل‬
‫ك" فبدأ بالعلم قبل القول‬
.‫والعمل‬

(Bab) Ilmu sebelum amal, dan dalilnya adalah firman Alloh Ta'ala (Q.S. Muhammad: 19 -penj.) :
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu."
(Demikian) Alloh mendahulukan berilmu (dengan firman Alloh yang didahului ‘ketahuilah’ –penj.), kemudian
baru setelahnya beramal (yakni realisasinya adalah memohon ampun dalam konteks ayat ini –penj.).

Subhanalloh, inilah ilmunya para ulama yang fakih. Dapat melihat apa yang luput dari penglihatan
kita. Barangkali dari sinilah, atau sejenisnya, Syaikh Utsaimin menghimpun sifat takwa di atas yang berupa
2. Amal,
3. Mengharap pahala, dan
4. Takut akan siksa-Nya

Tentunya, seorang da'i-lah yang paling utama untuk berhias dengan


karakteristik ini, yaitu bertakwa kepada Alloh di saat bersendirian maupun
di saat berhadapan dengan manusia.

Enam Bekal Seorang Da'i dalam Menyeru di Jalan Alloh dan Rosul-Nya:

1. Ilmu

Sebagai sebuah bekal pertama, seorang da’i haruslah memiliki ilmu yang
shahih yang berangkat dari Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh Shollallohu
‘alaihi wa Sallam.

Sementara itu, setiap ilmu yang diambil dari selain Kitabulloh dan Sunnah
Rosululloh, wajib diteliti terlebih dahulu. Apabila ilmu tersebut selaras
dengan Kitabulloh dan sunnah Rosululloh, maka diterima. Dan apabila
menyelisihi maka wajib ditolak dengan tidak peduli siapapun yang
mengucapkannya.

Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu‘anhu berkata, (terj.):

Sungguh nyaris kalian ditimpa hujan batu dari langit. Saya mengatakan,
"sabda Rosululloh", kalian malah menjawab dengan ucapan Abu Bakr dan
’Umar.

Apabila pada ucapan Abu Bakr dan ’Umar yang menyelisihi ucapan
Rasulullah Shollallohu ’alaihi wa Sallam saja diancam seperti ini oleh Ibnu
‘Abbas, lantas bagaimanakah keadaan ucapan orang yang keilmuan dan
ketakwaannya di bawah beliau berdua Rodhiyallohu anhuma?

Syaikh menjelaskan:

Adapun dakwah tanpa ilmu, maka ini adalah dakwah di atas kejahilan.
Berdakwah di atas kejahilan itu madharatnya lebih besar dibandingkan
manfaatnya. Karena da’i yang berdakwah di atas kejahilan ini,
menempatkan dirinya sebagai orang yang mengarahkan dan
membimbing. Apabila ia orang yang jahil, maka dengan melakukan
dakwah seperti ini (di atas kejahilan), dapat menyebabkannya sesat dan
menyesatkan, wal’iyadzubillah.

“Ilmu”. Wallohu a’lam.


Pada saat kami mengatakan bahwa da’i itu memerlukan ilmu, kami
bukanlah memaksudkan bahwa ia haruslah mencapai tingkatan
orang yang ahli di dalam ilmu, namun kami mengatakan bahwa ia
tidak boleh berdakwah melainkan dengan apa yang ia ketahui saja dan
tidak boleh berkata melainkan dengan yang ia ketahui 4.

Hal ini sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam (terj.):

”Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.” [al Bukhori]

Lihatlah, bahwa apa yang kita sampaikan, haruslah shahih dari


Rosululloh.

Alloh berfirman (terj.):

”Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang


mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah
yang nyata).’.” [Q.S. Yusuf : 108]

Demikianlah Alloh mewajibkan kita untuk berdakwah dengan bashiroh,


bukan di atas kejahilan. Bashiroh di atas 3 hal:

1. Bashiroh terhadap apa yang akan didakwahkan,

2. Bashiroh terhadap kondisi obyek dakwah (mad’u),

Rosululloh ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda


(terj.),
”Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab.” [al-
Bukhari dalam Kitabuz Zakah.]

Demikian supaya Muad’z mengetahui kondisi mereka dan bersiap-


siap dengannya. Oleh karena itu kondisi mad’u harus diketahui,
bagaimanakah tingkat pengetahuannya dan seberapa besar ghiroh
atau semangatnya kepada Islam.

3. Bashiroh di dalam cara berdakwah.

Alloh Ta’ala berfirman (terj.):

4
Sebagai contoh sederhana dalam hal ini adalah dalam masalah kewajiban sholat. Jika seseorang
sudah mengetahui hukum sholat dengan dalilnya dari mana, itu sudah cukup baginya untuk menyeru suatu
kaum atau seorang muslim untuk sholat. Tak perlu harus menjadi ahli dalam hukum-hukum sholat hingga
mendetail, baru kemudian menyeru orang lain. Tak perlu juga melihat apakah dia seseorang yang ahli sholat
ataukah bukan, sehingga baru mengajak orang lain untuk sholat, padahal dia mengetahui kewajibannya.
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.” [Q.S. an-Nahl : 125]

Syaikh menjelaskan:
Sebagian manusia, acap kali ketika menjumpai suatu kemungkaran,
ia langsung terburu-buru main sikat. Ia tidak berfikir akan dampak
dan akibat perbuatannya ini, tidak hanya bagi dirinya, namun juga
bagi dirinya dan rekan seperjuangannya sesama da’i yang menyeru
kepada kebenaran.

Kemudian beliau menambahkan:


Oleh karena itulah, aku menganjurkan saudara-saudaraku agar
berdakwah dengan menggunakan hikmah dan ta`anni (baca:
tenang, tidak tergesa-gesa), suatu perkara yang mungkin akan
menunda waktu barang sedikit, namun hasilnya akan terpuji
dengan kehendak Alloh Ta’ala.

2. Sabar

Syaikh berkata (terj.):

Seorang da’i haruslah bersabar di atas dakwahnya, sabar atas apa yang
ia dakwahkan, sabar terhadap orang yang menentang dakwahnya dan
sabar atas segala aral rintangan yang menghadangnya.

Alloh berfirman (terj.):

“Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi


orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. Huud : 49]

Setiap manusia yang menjadi seorang da’i di jalan Alloh Azza wa Jalla
pastilah akan menghadapi rintangan :
“Dan seperti itulah, Telah kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari
orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi
petunjuk dan penolong.” [Q.S. al-Furqon : 31]

Syaikh menekankan (terj.):

Setiap dakwah yang benar, pastilah akan menghadapi orang yang


merintangi, menghalangi, membantah dan menebarkan keragu-raguan.
Namun, wajiblah bagi seorang da’i bersabar menghadapi segala sesuatu
yang merintangi dakwahnya.
Ini bukan artinya seseorang juga harus bersabar atas apa yang ia
katakan, atau ia dakwahkan, walaupun telah jelas baginya kebenaran.

Dan perhatikanlah firman Alloh berikut:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran


baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [Q.S. an-Nisaa` : 115].

Syaikh menasehatkan kepada para da’i (terj.):

Jadi, segala hal yang merintangi dakwah Anda wahai para da’i, apabila
hal itu benar (yakni maksudnya hal yang merintangi ternyata adalah
kebenaran –penj.) maka wajib bagi Anda kembali kepada kebenaran
tersebut, dan apabila batil maka jangan sampai tekad Anda
dibelokkan dari tujuan semula pada dakwah Anda.

Lalu, Syaikh menceritakan tentang kisah para Rosul Sholawatullah wa


Sallamuhu ‘alaihim, dimana banyak orang menentang, mengancam,
mengolok-ngoloknya dan bahkan berusaha membunuh para Rosul 5.

Namun, ingatlah bahwa Alloh tidak mesti membukakan kemenangan bagi


seseorang atau sekelompok da’i yang bersama-sama menyeru kepada
kebenaran ketika da’i-da’i tersebut masih hidup. Hal yang terpenting
adalah dakwahnya tetap langgeng di tengah-tengah manusia, tetap
kuat dan diikuti. Tidaklah penting figur tersebut, namun yang penting
adalah dakwahnya. Apabila dakwahnya tetap langgeng bahkan setelah ia
mati sekalipun, maka sesungguhnya ia tetap hidup.

Sesungguhnya Alloh telah berfirman, yang artinya:

”Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan
Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu

5
Aku teringat pernah membaca ucapan yang menggetarkan dari Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al
Jauziyyah Rohimahulloh di suatu alamat web:
Wahai orang-orang yang bermental banci, di mana Anda dari jalan? Jalan di mana di atasnya: Adam
kelelahan, Nuh meratap sedih, Al-Khalil dilempar ke dalam api, Ismail dibaringkan untuk disembelih, Yusuf
dijual dengan harga murah dan dipenjara beberapa tahun, Zakaria digergaji, Yahya disembelih, Ayyub
menderita sakit parah, tangisan Daud melebihi batas kewajaran, Isa berjalan kesusahan seorang diri dan
Muhammad sholallahu ‘alaihi wa Sallam mengalami kemiskinan dan berbagai siksaan. Anda malah bersantai
dengan kelalaian dan permainan? [Al-Fawaid, katanya hlm. 56].
dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan
orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak
dapat keluar dari padanya?" [Q.S. al-An’aam : 122]

Syaikh melanjutkan (terj.):

Pada hakikatnya, kehidupan seorang da’i tidaklah berarti ruhnya tetap


berada di dalam jasadnya saja, namun ucapannya tetap hidup di
tengah-tengah manusia.

3. Hikmah

Seorang da’i haruslah menyeru kepada Alloh dengan hikmah. Dan


alangkah pahitnya orang yang tidak memiliki hikmah.

Dakwah ke jalan Alloh itu haruslah dengan :


1. Hikmah,
2. Mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik),
3. Berdebat dengan cara yang lebih baik kepada orang yang tidak zhalim,
dan
4. Berdebat dengan cara yang tidak lebih baik kepada orang yang zhalim.

Hal ini berdasarkan firman Alloh Ta’ala (terj.):

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran


yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” [Q.S. an-Nahl :
125]

Dan,

”Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.”
[Q.S. al-‘Ankabuut: 46] 6

Syaikh berkata (terj.):

Sesungguhnya hikmah itu adalah : menetapkan suatu perkara secara


mantap dan tepat, dengan cara menempatkan suatu perkara pada
tempatnya dan mendudukkan suatu perkara pada kedudukannya.
Bukanlah termasuk hikmah apabila anda tergesa-gesa dan menginginkan
manusia akan berubah keadaannya dari keadaan mereka sebelumnya
menjadi seperti keadaan para sahabat hanya dalam sehari semalam.

6
Abu Salma keliru lagi dalam penulisan sumber ayat-Nya. Seharusnya ayat 46, bukan 49. Maklumlah,
beliau banyak sekali menyusun e-books dan tulisannya di banyak situs beliau.
Sesungguhnya hikmah Alloh Azza wa Jalla sangat jauh dari hal ini. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan kenyataan bahwa al-Kitab diturunkan kepada
beliau secara bertahap sampai menjadi mantap dan sempurna di dalam
jiwa.

Begitu juga dengan sholat. Sholat ketika pertama kali disyariatkan, tidak
diwajibkan sebagaimana sekarang ini. Sholat yang pertama kali
diwajibkan adalah dua rakaat zhuhur, ashar, isya’ dan fajar, serta tiga
rakaat maghrib sebagai witir pada pertengahan hari. Setelah hijrah dan
setelah Rasulullah Shollallohu ’alaihi wa Sallam melewati masa 13 tahun
di Makkah, rakaat shalat ditambah menjadi empat rakaat untuk zhuhur,
ashar dan isya’.

Sementara hukum seputar zakat berkembang dalam tiga tahap :


1. Di Makkah : ”Tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”, namun
belum diterangkan akan wajibnya juga belum diterangkan akan
takarannya yang wajib. Waktu itu urusan ini dipercayakan
sepenuhnya kepada manusia.
2. Tahun kedua hijriyah, telah diterangkan zakat dengan nishabnya,
dan
3. Pada tahun kesembilan hijriyah, Nabi Shollallohu ’alaihi wa Sallam
mengutus perwakilan khusus untuk memungut zakat kepada
pemilik ladang dan harta.

Demikian pula dengan puasa, pensyariatannya dilakukan secara


bertahap. Kewajiban pertama puasa adalah manusia diberikan kebebasan
untuk memilih antara berpuasa atau memberi makan fakir miskin.
Kemudian, hukum puasa menjadi wajib. Sementara, memberi makan
fakir miskin statusnya berubah, yaitu boleh dilakukan oleh orang yang
tidak mampu berpuasa secara terus menerus.

Syaikh melanjutkan (terj.):

Saya berkata : Sesungguhnya hikmah itu menolak bahwa dunia ini dapat
berubah hanya dalam sehari semalam, untuk itu haruslah ada kelapangan
jiwa. Terimalah dari saudara yang Anda dakwahi kebenaran yang ada
padanya hari ini, dan berjalanlah bersamanya secara bertahap sedikit
demi sedikit sampai akhirnya ia terbebas dari kebatilan. Janganlah anda
beranggapan bahwa manusia itu memiliki tingkatan yang sama, karena
sungguh berbeda antara orang yang jahil dengan orang yang
menentang7.
7
Subhanalloh, inilah kata-kata yang sangat menyentuh kalbu dari seorang Syaikh yang fakih, dan
terkenal keilmuannya, terutama dalam masalah-masalah fikih. Betapa mulianya akhlak beliau, dan betapa
konsistennya beliau dengan manhaj Salafush Sholih, manhaj yang penuh dengan hikmah. Dan lihatlah, betapa
jeleknya orang-orang yang menuduh beliau dengan beragam fitnah, yaitu orang-orang yang ghuluw dalam
agamanya. Semoga Alloh memberi hidayah kapada lisan-lisan yang mencela para ulama. Seandainya tidak
dikabulkan, semoga Alloh menjelekkan lisannya di hadapan para manusia! Sehingga tak ada seorangpun
Kemudian Syaikh menceritakan contoh-contoh teladan dari Rosululloh
Shollallohu ’alaihi wa Sallam:

1. Kisah seorang badui yang kencing di masjid. Para sahabat


mencerca dan menghardiknya. Namun Rosululloh Shollallohu ‘alaihi
wa Sallam melarang para sahabat. Setelah Badui itu menyelesaikan
kencingnya, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan
untuk menyiram kencingnya dengan satu ember air. Mafsadatpun
(kerusakan) sirna. Lalu Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa Sallam
memanggil Badui tersebut dan berkata padanya :
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak selayaknya di dalamnya ada
sesuatu dari gangguan dan kotoran, sesungguhnya masjid itu
hanyalah untuk sholat dan membaca al-Qur`an.” [Al Bukhori,
kitabul Wudhu’]
Maka menjadi lapanglah dada si Badui tersebut disebabkan oleh
muamalah yang baik ini.

2. Mu’awiyah bin al-Hakam rodhiyallohu ‘anhu datang dan Nabi


Shollallohu ‘alaihi wa Sallam sedang sholat dengan manusia,
kemudian salah seorang dari mereka bersin dan mengucapkan
alhamdulillah. Maka sekonyong-konyong, Mu’awiyah meresponnya
dengan mengucapkan “yarhamukalloh”. Hal ini termasuk berbicara
di dalam sholat yang dapat membatalkan sholat. Orang-orang pun
memandang dan melototi beliau. Muawiyah pun mencela dirinya
sendiri. Kemudian Mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu melanjutkan
sholatnya, setelah selesai sholat, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam
memanggil beliau. Mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu berkata :
“Demi Alloh, belum pernah aku melihat seorang pendidik yang lebih
baik cara mendidiknya daripada beliau. Semoga Alloh senantiasa
memberikan sholawat dan salam kepada beliau. Demi Alloh, beliau
tidak membentakku dan tidak pula mencercaku. Beliau hanya
berkata, ‘Sesungguhnya di dalam sholat ini tidak selayaknya ada
sesuatu dari ucapan manusia, sesungguhnya sholat itu adalah
tasbih, takbir dan membaca al-Qur`an.’.” [Muslim, Kitabul Masajid]

Syaikh menjelaskan (terj.):

Perhatikanlah dakwah yang dijawab oleh jiwa dan diterima oleh


manusia serta melapangkan dada ini.
Kita mengambil dari hadits ini sebuah faidah fiqhiyyah, yaitu
bahwasanya barang siapa yang berbicara di dalam sholatnya,

manusia yang terpengaruh oleh kedustaannya. Dan sangatlah tepat menurutku jika beliau adalah seorang da’i
yang termasuk di dalam ucapan beliau sendiri: “Pada hakikatnya, kehidupan seorang da’i tidaklah berarti
ruhnya tetap berada di dalam jasadnya saja, namun ucapannya tetap hidup di tengah-tengah manusia.”
Wallohu a’lam.
sedangkan ia tidak mengetahui bahwa hal itu dapat membatalkan
sholat, maka sholatnya sah.

3. Kisah seseorang yang menggauli istrinya di bulan Romadhon


sedang dia tengah berpuasa. Lantas Nabi Shollallohu ‘alaihi wa
Sallam memerintahkannya untuk memerdekakan budak, dan orang
itu menjawab, “Saya tidak punya”. Lalu Nabi memerintahkannya
untuk berpuasa dua bulan berturut-turut, dan orang itu menjawab,
”Aku tidak mampu”. Kemudian beliau memerintahkannya untuk
memberi makan enam puluh orang miskin dan ia tetap menjawab,
”Aku tidak mampu”. Lalu orang itu duduk dan Nabi Shollallohu
‘alaihi wa Sallam datang sambil membawa kurma sembari berkata :
”Ambillah ini dan sedekahkanlah”. Namun, orang tersebut menjadi
loba dan berkata, ”Apakah aku harus mensedekahkannya kepada
orang yang lebih miskin dariku wahai Rasulullah? Demi Alloh, tidak
ada keluarga yang lebih miskin dari keluargaku diantara dua
dataran (Madinah) ini.” Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam kemudian
bersabda kembali, “Berilah makan keluargamu dengan kurma ini.”.
[Al Bukhori, Kitabush Shoum]
Maka orang itupun pergi dengan rasa tenang dan riang gembira
dengan agama ini dan dengan kemudahan dari da’i pertama (yaitu
Nabi) terhadap agama Islam ini, Kita memohon kepada Alloh Azza
wa Jalla, semoga Sholawat dan keselamatan senantiasa
tercurahkan kepada beliau.

4. Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam melihat seorang pria


menggunakan cincin emas di tangannya, lalu Nabi Shollallohu
‘alaihi wa Sallam melepaskan cincin itu dan membuangnya di tanah.

Lalu beliau bersabda,


”Salah seorang dari kalian dengan sengaja melihat bara api dari
neraka dan menggunakannya di tangannya.”

Tidak lama setelah Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam pergi, ada


seseorang yang berkata kepada orang itu : ”Ambil cincinmu dan
manfaatkanlah”. Namun orang itu berkata,

”Demi Alloh, saya tidak akan mengambil cincin yang Nabi


Shollallohu ‘alaihi wa Sallam telah membuangnya.”
[Muslim, Kitabul Libaas] 8

4. Akhlak Yang Mulia

8
Lihatlah, bagaimana Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersikap lunak dan bersikap keras pada saat-saat yang
tepat. Sehingga tidak ada respon dari umatnya melainkan semakin kuat imannya, semakin mencintai
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, dan semakin besar ghirohnya kepada Islam. Wallohu a’lam.
Poin Penting dalam Perihal Ini:

1. Seorang da’i haruslah berperangai dengan akhlak yang mulia,


dimana ilmunya tampak terefleksikan di dalam aqidah, ibadah,
perilaku dan semua jalan hidupnya. Adapun apabila ia dalam
keadaan sebaliknya, maka sesungguhnya dakwahnya akan gagal,
sekiranya sukses maka kesuksesannya sedikit.

2. Wajib bagi da’i mengamalkan apa yang ia dakwahkan,


sehingga dakwahnya diterima dan ia tidak termasuk orang yang
pertama kali dilemparkan ke dalam neraka.

Syaikh Utsaimin menutup pembahasan bab ini dengan berkata (terj.):

Wahai saudaraku, sesungguhnya aku sangat berkeinginan agar setiap da’i


berperangai dengan akhlak yang pantas bagi seorang da’i, sehingga
ia dapat menjadi seorang da’i yang sejati dan perkataannya dapat lebih
mudah untuk diterima.

5. Menghancurkan Penghalang Antara Dirinya dengan Mad’u

Poin Penting dalam Perihal Ini:

1. Tidak boleh bagi para du’at, apabila melihat suatu kaum


melakukan kemungkaran, mereka terlalu ghirah
(cemburu/semangat) dan benci terhadap kemungkaran tersebut
sehingga mereka tidak mau pergi menemui kaum tersebut dan
menasehati mereka. Hal ini bukanlah hikmah sama sekali. Apabila
seorang da’i Muslim tidak mau berjalan bersama mereka dan tidak
mau pergi untuk mendakwahi mereka, lantas siapa yang
bertanggung jawab terhadap mereka?

2. Yang termasuk hikmah adalah seorang du’at pergi mendakwahi


mereka, menyampaikan motivasi (kabar gembira) dan
peringatan. Serta janganlah seorang du’at sekali-kali mengatakan
bahwa mereka adalah orang fasik dan tidak mungkin akan berjalan
dengan mereka.

3. Seorang du’at harus bersabar dan membenci perbuatan tersebut,


namun ia tetap haruslah menghancurkan penghalang antara
dirinya dan manusia sehingga ia menjadi mantap di dalam
menyampaikan dakwahnya kepada mereka yang membutuhkan
kepada dakwah.
Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ’alaihi wa Sallam, pernah pergi
menemui kaum musyrikin di tempat kediaman mereka, menyeru mereka
kepada Alloh. Hal ini telah disebutkan dari beliau bahwasanya Nabi
Shollallohu 'alaihi wa Sallam bersabda :

“Adakah salah seorang yang mau membawaku sehingga aku akan


menyampaikan ucapan Rabb-ku, karena kaum Quraisy telah mencegahku
dari menyampaikan ucapan Rabb-ku”
[Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (14510), (14511) dan (14708) dan Ibnu Hibban di
dalam Kitabut Tarikh Bab Bad`ul Kholqi (6274).]

6. Lapang Dada Terhadap Perselisihan

Poin Penting dalam Pembahasan Ini:

1. Seorang da’i haruslah berlapang dada terhadap orang yang


menyelisihinya, apalagi jika diketahui bahwa orang yang
menyelisihinya itu memiliki niat yang baik dan ia tidaklah
menyelisihinya melainkan dikarenakan ia belum pernah
mendapatkan dirinya ditegakkan hujjah kepadanya (lihat Q.S.
Yusuf: 108 yang tadi -peringkas).

2. Kecuali, orang yang menyelisihi karena menentang, padahal telah


diterangkan padanya kebenaran9 dan ia tetap bersikeras di
atas kebatilannya. Berupa menjauhkan dan memperingatkan
ummat dari dirinya. (lihat Q.S. An Nisaa’: 115 -peringkas)

3. Ada permasalahan furu’iyyah yang diperselisihkan manusia, dan hal


ini pada hakikatnya termasuk sesuatu yang Alloh memberikan
kelapangan kepada hamba-hamba-Nya untuk adanya perselisihan
di dalamnya. Yaitu, permasalahan yang bukan termasuk ushul
(pokok) yang dapat mengantarkan kepada pengkafiran bagi yang
menyelisihinya. Nabi bersabda:

“Apabila seorang hakim berijtihad lalu ia benar maka ia


mendapatkan dua pahala, namun apabila ia tersalah maka
mendapatkan satu pahala.”

4. Jika berselisih, maka putuskanlah berdasarkan Kitabulloh dan


sunnah Rosululloh Shollallohu ’alaihi wa Sallam, sebagaimana
dalil-dalil berikut 10:

9
Sebenarnya aku merasa tak pantas untuk mengomentari ucapan Syaikh Utsaimin Rohimahulloh.
Namun, aku ingin sekali menambahkannya supaya dapat lebih banyak diambil hikmahnya.
Aku berkata: “Dan orang tersebut sebenarnya paham akan kebenaran, namun menyengaja
menyelisihinya lantaran hawa nafsunya. Wallohu a’lam.”

10
Riwayat lain dalam masalah ini adalah:
Alloh Ta’ala berfirman (terj.):

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya


(terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian)
Itulah Allah Tuhanku. kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan kepada-
Nya-lah aku kembali.” [Q.S. asy-Syuuro : 10]

Alloh Azza wa Jalla berfirman (terj.):

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-


Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [Q.S. an-Nisaa`: 59]

Yang demikian ini adalah wajib. Tidaklah halal bagi seorangpun


untuk menentang Kalamulloh Ta’ala dan ucapan Rasul-Nya
Shollallohu ’alaihi wa Sallam dengan ucapan
seorang manusia, siapapun dia.

Di halaman lain, syaikh memperjelas kembali, yaitu (terj.):

Apabila Anda tidak menginginkan ada orang selain Anda yang menyelisihi
Anda, demikian pula dengan orang lain. Ia juga tidak menginginkan ada
orang lain yang menyelisihinya. Sebagaimana pula Anda menghendaki
supaya manusia mau menerima pendapat Anda, maka orang yang
menyelisihi Anda pun juga ingin supaya pendapat mereka diterima.

Di pembahasan yang sama, syaikh menambahkan penjelasan pada poin


ke 4, yaitu (terj.):

“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: “Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang
kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al Qur’an,
bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan
memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui
sunnah (hadits) Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits
tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata
kepada mereka: Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian
mengetahui bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan
suatu keputusan? Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah)
dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, sehingga Abu bakar berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita shollallahu’alaihiwasallam.
Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, maka ia
mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan
mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula
yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” [Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan
Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih]
Sikap Abu Bakar Rodhiyallohu anhu dapat kita teladani dengan menanyakan suatu permasalahan
yang rumit terhadap ulama yang ahli dalam bidang tersebut. Sebab, semua sahabat yang ditanyai Abu Bakar
Rodhiyallohu anhu tertunya semuanya adalah seorang ulama.
Jika telah jelas bagi Anda suatu kebenaran, maka wajib bagi Anda
melempar ucapan orang yang menyelisihi kebenaran itu ke balik tembok,
dan janganlah Anda menoleh kepadanya walau setinggi apapun
kedudukannya di dalam ilmu dan agama. Karena ucapan seseorang bisa
saja salah sedangkan Kalamullah Ta’ala dan ucapan Rasul-Nya Shallallahu
’alaihi wa Sallam tidak mungkin salah.11

Dalil-Dalil Wajibnya Persatuan di Atas Jalan yang Lurus:

Alloh Ta’ala berfirman (terj.):

”Sesungguhnya ummat kamu semua ini adalah ummat yang satu, dan
Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.” [Q.S. al-Mu’minun :
52]

Alloh Ta’ala berfirman (terj.):

”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya, dan


mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada
Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang
Telah mereka perbuat.” [Q.S. al-An’aam : 159]

Alloh Ta’ala berfirman (terj.):

“Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”


[Q.S. asy-Syuuro : 13]

Syaikh melanjutkan (terj.):

Wajib bagi kita menerima arahan ini dan wajib bagi kita bersatu di atas
landasan pembahasan dan saling berdiskusi satu dengan lainnya di atas
koridor ishlah (perbaikan) bukannya di atas koridor kritikan dan balas
dendam.

Cara di dalam membenahi kesalahan itu bukan dengan cara saya


berbicara di belakangnya atau saya mencelanya. Namun cara di dalam
membenahi adalah dengan aku berkumpul dan berdiskusi dengannya,
apabila tampak setelah ini orang tersebut bersikeras menentang dan
11
Aku teringat ucapan Imam Malik Rohimahulloh, “Siapapun perkataannya bisa ditolak dan bisa
diterima. Kecuali nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam.”. [Irsyad As-Salik (1/227) oleh Ibnu Abdul hadi,
sebagaimana tercantum dalam Shifatu Shalaati an-Nabiyyi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallama min at-Takbiiri ilaa
at-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rohimahulloh]
tetap berpegang dengan kebatilannya, maka pada saat itulah saya
memiliki alasan dan hak, bahkan saya wajib menjelaskan kesalahannya
serta memperingatkan manusia dari kesalahannya. Dengan inilah
masalah-masalah tersebut akan dapat dibenahi. Adapun berpecah belah
dan berpartai-partai, tidak ada seorang pun yang senang dengan hal ini
kecuali musuh Islam dan musuh kaum muslimin.

Syaikh berdo’a kepada Alloh Azza wa Jalla (terj.):

Saya memohon kepada Alloh untuk mempersatukan hati kita di atas


ketaatan kepada-Nya, menjadikan kita orang yang senantiasa berhukum
kepada Alloh dan Rasul-Nya dan mengikhlaskan niat kita serta
menerangkan kepada kita segala hal yang masih tersamar atas kita dari
syariat-Nya, karena sesungguhnya Ia adalah Maha Pemurah lagi Maha
Mulia.

Kemudian Beliau menutup penjelasan beliau dengan memuji Alloh Azza


wa Jalla dan bersholawat atas Nabi Shollallohu ’alaihi wa Sallam.

Dirangkum oleh : Wahyu Fahmy Wisudawan


Tertanggal : 11 November 2007
Di saat sedang banyak-banyaknya tugas, aku berusaha menyempatkan diri untuk merangkum kitab
ini karena takjub akan faidahnya. Semoga Alloh Azza wa Jalla mengikhlaskan hatiku, membulatkan
tekadku, dan mengembalikanku kepada jalan dakwah yang hatiku mulai lemah darinya…
“Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. Huud: 49]

You might also like