Professional Documents
Culture Documents
Praktek-praktek perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, mazhab atau
paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit dari masing-masing negara. Teori atau
paradigma tersebut dapat diklasifikasikan dan dirangkum sebagai berikut:
KLASIK
1. Aliran Durkheim.
Menurut Durkheim pembangunan adalah proses perubahan masyarakat dalam dimensi kuantitatif
dan kualitatif, yaitu adanya perubahan orientasi masyarakat dari berfikir tradisional menjadi
modern. Karena itu akan terjadi perubahan tata nilai masyarakat dari yang berbasiskan solidaritas
mekanik menjadi solidaritas organik. Indikator yang bisa dilihat adalah tumbuh dan
berkembangnya organisasi-organisasi sosial ekonomi modern. Implikasi dari konsep
pembangunan ini, masyarakat berkembang secara bertahap sebagai berikut:
• Tahap Pra Industri: pada tahap ini hubungan sosial yang berkembang pada umumnya hanya
terjadi dalam kelompok masyarakat (isolasi fungsional);
• Tahap Industrialisasi: sebagai akibat dari proses industrialisasi maka terjadi perembesan (spill
over) struktur budaya modern dari pusat yang berada di kota ke daerah pinggiran yang berada di
pedesaan;
• Tahap Perkembangan: pusat secara terus menerus menyebarkan modernisasi sehingga tercapai
keseimbangan hubungan fungsional antara pusat dan pinggiran.
2. Aliran Weber.
Weber berpendapat bahwa pembangunan adalah perubahan orientasi masyarakat dari tradisional-
irasional menuju modern-rasional. Indikatornya adalah munculnya birokratisasi dalam setiap
unsur kehidupan yang dicapai melalui distribusi kekuasaan serta munculnya budaya oposisi di
wilayah pinggiran sebagai respon terhadap dominasi pusat yang berkepanjangan.
3. Aliran Marx.
Sedangkan menurut Karl Marx, pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi sebagai
akibat konflik sosial antar kelas, yang secara bertahap akan merubah kehidupan masyarakat.
Esensi dari teori ini adalah pembangunan akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas (classless
society) dan materialisme sebagai hirarkinya. Berdasarkan teori Marx, masyarakat terbagi atas:
(1) masyarakat primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4) masyarakat sosialis,
dan (5) masyarakat komunis.
NEO-KLASIK
Tesis ini berlandaskan fenomena eksistensi ganda, yaitu adanya masyarakat yang kaya (superior)
dan adanya masyarakat yang miskin (inferior). Tesis ini memeiliki empat syarat:
• Dualisme merupakan prasyarat yang memungkinkan pihak yang superior dan inferior hidup
berdampingan pada suatu tempat dan waktu yang sama.
• Ko-eksistensi superior dan inferior bukan sesuatu yang bersifat transisional tetapi sesuatu yang
bersifar kronis.
• Superioritas dan inferioritas tidak menunjukan tanda-tanda melemah, bahkan keduanya
cendrung menguat untuk menjadi kekal.
• Saling keterkaitan antara unsur superioritas dan unsur inferioritas sehingga keberadaan unsur
superioritas sedikit atau sama sekali tidak meningkatkan unsur inferioritas.
Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor: (1) Sektor
Tradisional, dengan ciri-ciri di pedesaan, subsisten, kelebihan tenaga kerja dan produktivitas
marjinalnya sama dengan nol; (2) Sektor Modern, dengan ciri-ciri di perkotaan, industri,
produktivitasnya tinggi, sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditranfer sedikit demi
sedikit dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses pengalihan
tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern, yang
dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern.
Model ini dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan struktur
produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang industri pada saat
pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan
investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but not sufficient condition) untuk
memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga menyaratkan bahwa selain
akumulasi modal fisik dan manusia, diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan
dalam struktur perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem
ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh
fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi permintaan
konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti
urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.
Pada dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian mendapat
dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memadang bahwa negara-negara Dunia Ketiga telah
menjadi korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan ekonomi internasional maupun
domestik. Negara-negara Dunia Ketiga telah terjebak dalam hubungan ketergantungan dan
dominasi oleh negara-negara kaya. Teori ini mempunyai dua aliran, yaitu Model Ketergantungan
Kolonial dan Model Paradigma Palsu.
Teori Ketergantungan ini muncul sebagai antitesi terhadap Teori Modernisasi dan merupakan
variasi dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu sendiri
berarti berarti situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan
ekspansi ekonomi negara lain dan ekonomi negara tersebut tunduk padanya.
Teori ini muncul pada dasawarsa 1980-an yang berhaluan konservatif yaitu politik yang dianut
Amerika, Kanada, Inggeris, dan Jerman Barat. Teori ini menyerukan agar diadakan swastanisasi
perusahaan-perusahaan milik pemerintah di negara-negara maju serta munculnya himbauan
untuk meninggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian serta deregulasi di negara-
negara berkembang. Teori ini menegaskan bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang
bersumber dari buruknya alokasi sumberdaya yang bertumpu pada kebijakan-kebijakan harga
yang tidak tepat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan.
REFERENSI:
Pearce, D.W. and J.J. Wardford (1993) World Without End, Economics, Environment and
Sustainable Development. Oxford University Press.
TODARO, M.P. (1989) Economic Development in the Third World, Foutrh Edition. Longman
Group Limited.
LATAR BELAKANG
Hingga dekade 1980-an teori dan praktek pembangunan sangat didominasi oleh paradigma Neo-
Klasik yang mengejar pertumbuhan ekonomi (economic groth) yang dikotomis, karena di satu
sisi memperhitungkan efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, gandrung pada efisiensi
teknologi namun di sisi lain susutnya sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan tidak
diperhitungkan dalam akuntansi pembangunan (Development Accounting Matrix). Kemudian
kenyataan empirik membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi sesungguhnya
bersifat semu bahkan dalam jangka panjang menghasilkan kalkulasi yang negatif. Manakala
telah sampai pada deplesi sumberdaya alam disertai parahnya destruksi lingkungan pertumbuhan
ekonomi menjadi terhambat bahkan menjadi negatif.
Karena itu para pakar perencanaan pembangunan yang menganut faham environmentalist mulai
memikirkan konsep dan strategi baru dari pembangunan yang mampu menghasilkan
pertumbuhan ekonomi namun konservasi lingkungan tetap terpelihara dengan baik. Perubahan
persepsi tersebut dikenal dengan istilah Sustainable Development atau Pembangunan
Berkelanjutan. Sejak tahun 1987 beberapa definisi dari Pembangunan Berkelanjutan disepakati
dan penerapan teori dan prinsipnya pun ditetapkan.
Empat puluh tahun terakhir Indonesia menganut paradigma pembangunan yang tipikal
mengeksploitasi sumberdaya alam dengan segala dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Itupun hanya mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak lebih dari 7 persen dan
sulit dipertahankan. Susutnya sumberdaya alam seperti minyak, bahan tambang, hutan nyaris
bagi Indonesia untuk tidak dapat melanjutkan pembangunan. Karena itu mau tidak mau
paradigma lama harus mulai ditinggalkan sebelum mencapai titik dead-lock. Paradigma baru
yang lebih sustainable harus mulai dirintis dan diimplementasikan sehingga mampu menciptakan
modus-modus ekonomi baru yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
dengan dampak negatif yang seminimal mungkin terhadap destruksi lingkungan.
Sampai dengan dekade 1980-an perencanaan dan strategi pembangunan masih berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi (economic growth), baik pada negara-negara sosialis yang menerapkan
perencanaan yang terpusat maupun pada negara-negara kapitalis yang menerapkan perencanaan
yang liberal. Filosofi pertumbuhan ekonomi dilatarbelakangi oleh Teori Neo-Klasik dimana
pertumbuhan merupakan fungsi dari modal dan teknologi sedangkan sumberdaya alam sama
sekali tidak diperhitungkan karena dianggap pemberian alam yang melimpah. Filosofi tersebut
telah melahirkan berbagai ekses terhadap lingkungan, sosial, budaya, maupun hak azazi manusia.
Dampak dari penerapan filosofi tersebut telah menimbulkan kemiskinan yang merajalela,
rusaknya ekosistem, pencemaran, bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia dan kemanusiaan
(Pearce and Warford, 1993).
Pengalaman hingga tahun 1980-an memperlihatkan bahwa hambatan pertumbuhan ekonomi
terjadi apabila faktor sumberdaya alam dan lingkungan tidak dikelola dengan baik. Jika ekonomi
dan lingkungan dikelola dengan baik maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi dalam lingkungan
yang terpelihara kelestariannya. Perubahan persepsi di atas dikenal dengan istilah Sustainable
Development sebagai babak baru dari teori pembangunan dan sekaligus mengakhiri perdebatan
antara pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan lingkungan (Ibid.).
Ada berbagai definisi dari Pembangunan Berkelanjutan. Tapi semua definisi berfokus pada
bagaimana agar perekonomian dapat tetap berlanjut dalam jangka panjang, terutama untuk
memberi kesempatan pada generasi yang akan datang memperoleh kehidupan yang lebih baik.
World Commission on Environment and Development (WECD), sejak tahun 1987 memberikan
deskripsi dari Pembangunan Berkelanjutan sebagai berikut:
“Sustainable development is development that meets the needs of present generations without
compromising the ability of future generations to meet their own needs“ (Pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengkompromikan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka).
“The economic development in a specified area (region, nation, the globe) is sustainable if the
total stock of resources - human capital, physical reproducible capital, environmental resources,
exhaustible resources does not decrease over time” (Pembangunan ekonomi di suatu daerah
tertentu (wilayah, negara, dunia) dikatakan berkelanjutan bila jumlah total sumberdaya - tenaga
kerja, barang modal yang dapat diproduksi kembali, sumberdaya alam, sumberdaya yang habis
pakai tidak berkurang dari waktu ke waktu) (Ibid.)
Secara teoritis prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan pada berbagai sektor
pembangunan. Sebagai contoh diambil pada Sektor Pertanian. Untuk pembangunan pertanian
yang berhasil, Bank Dunia (di dalam Conway and Barbier 1990: 23) menyarankan agar tiga
kriteria berikut dapat dipenuhi:
First, it must be sustainable, by insuring the conservation and proper use of renewable resources
(Pertama, harus berkelanjutan, dengan menjamin pelestarian dan penggunaan yang wajar dari
sumberdaya yang terbarukan);
Second, it must promote economic efficiency (Kedua, harus meningkatkan efisiensi ekonomi);
Third, its benefits must be distributed equitably (Manfaatnya harus terdistribusi secara merata).
Untuk kasus pembangunan pertanian, konsep dan definisi dari pertanian yang berkelanjutan
(sustainable agriculture) antara lain dijabarkan oleh Conway dan Barbier (1990: 10) sebagai
pertanian yang:
· High, efficient and stable production (Produksinya tinggi, efisien dan stabil);
· Low and inexpensive inputs, in particular making full use of the techniques of organic farming
and indigenous traditional knowledge (Menggunakan sarana produksi yang rendah dan murah,
terutama menggunakan sepenuhnya teknik pertanian organik dan pengetahuan-pengetahuan lokal
dan tradisional);
· Food security and self-sufficiency (“Keamanan pangan” dan swasembada pangan);
· Conservation of wildlife and biological diversity (Melestarikan “kehidupan liar” dan
keanekaragaman hayati);
· Preservation of traditional values and the small family farm (Melestarikan nilai-nilai tradisional
dan pertanian keluarga berskala kecil);
· Help for the poorest and disadvantaged: in particular those on marginal land, the landless,
women, children and tribal minorities (Menolong kaum termiskin dan terpojokan: terutama
petani yang berlahan sempit, buruh tani, kaum perempuan, anak-anak dan kaum suku minoritas);
· A high level of participation in development decision by the farmers themselves (Partisipasi
yang tinggi dari para petani sendiri dalam proses pengambilan keputusan-keputusan
pembangunan).
Pemerataan dan Keadilan di sini menyangkut dimensi etika, yakni adanya kesenjangan antara
negara ataupun daerah yang kaya dan miskin serta masa depan generasi mendatang yang tidak
dapat dikompromikan dengan kegiatan generasi masa kini. Karena itu aspek Pemerataan dan
Keadilan ini harus dijawab baik untuk generasi masa kini maupun untuk generasi mendatang.
Karena itu strategi dan perencanaan pembangunan harus dilandasi premis seperti: distribusi
penguasaan lahan, distribusi faktor-faktor produksi, pemerataan peran dan kesempatan kaum
wanita, kelompok marjinal, dan lain sebagainya.
Menjamin kemajuan ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efisiensi ekonomi. Tiga
unsur utama untuk mencapai keberlanjutan ekonomi makro yaitu efisiensi ekonomi,
kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, serta meningkatkan kemakmuran dan distribusi
kemakmuran.
Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan dalam keadilan sosial, harga diri
manusia, dan peningkatan kualitas hidup seluruh manusia. Keberlanjutan segi sosial budaya
mempunyai sasaran: stabilitas penduduk, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, memelihara
keanekaragaman budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan
keputusan.
Keberlanjutan politik dicirikan dengan adanya penghormatan terhadap hak azazi manusia,
demokrasi, serta kepastian kesediaan pangan, air dan pemukiman.
Keberlanjutan kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman, ganguan baik dari
dalam maupun dari luar yang langsung dan tidak langsung dapat membahayakan integritas,
identitas, keberlangsungan negara dan bangsa.
Implementasi dari kedelapan kaidah di atas sejauh ini dapat dikelompokan ke dalam tiga
kelompok analisa, yaitu analisa biaya ekonomi (economic cost analysis), analisa biaya
lingkungan (environmental cost analysis), dan analisa biaya sosial (sosial cost analysis). Suatu
perencanaan proyek-proyek pembangunan yang dikatakan berkelanjutan (sustainable) harus
dibuktikan dengan analisa, bahwa manfaat atau benefit lebih besar dari cost (economic cost +
environmental cost + sosial cost), atau bila sebaliknya, proyek-proyek pembangunan tersebut
dikatakan tidak berkelanjutan.
Ciri-ciri di atas sekaligus dapat diturunkan menjadi indikator keberhasilan pembangunan dari
Negara-negara Berkembang tersebut, yaitu:
1. Pendapatan Nasional;
2. Pertumbuhan Ekonomi;
3. Pendapatan per Kapita;
4. Distribusi Pendapatan Nasional;
5. Kemiskinan;
6. Kesehatan Masyarakat;
7. Pendidikan Masyarakat;
8. Produktivitas Masyarakat;
9. Pertumbuhan Penduduk;
10. Pengangguran dan Setengah Menganggur.
Pendapatan Nasional.
Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Product/GNP) suatu negara adalah hasil dari
aktivitas perekonomian secara keseluruhan dari negara tersebut. Pendapatan Nasional Bruto per
Kapita sering digunakan sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di suatu
negara. Bagi Negara-negara Berkembang yang umumnya pendapatannya hanya berasal dari
dalam negeri (domestic) GNP lebih dikenal dengan istilah Gross Domestic Product (GDP) atau
Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Konsep pendapatan ini dapat diturunkan ke tingkat regional
menjadi pendapatan regional bahkan sampai ke tingkat lokal seperti misalnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Pertumbuhan Ekonomi.
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi diukur dengan prosentase peningkatan GNP atau GDP dari tahun
ke tahun: (GDPt – GDPt-1)/GDPt x 100%. Sering pula diukur dalam bentuk rata-rata per periode
tertentu misalnya per 5 tahun, 10 tahun, atau 20 tahun sesuai dengan kebutuhan analisa. Sebagai
contoh, menurut sistem klasifikasi PBB, negara-negara yang tergolong “paling tidak
berkembang” (underdeveloped) hanya mempunyai rata-rata pertumbuhan GNP minus 0,3% per
tahun antara tahun 1965 sampai 1985. Sedangkan pada negara-negara yang tergolong
“berkembang” (developing) mempunyai rata-rata pertumbuhan GNP sebesar 3,7% per tahun
pada periode yang sama.
Pendapatan Rata-rata per Kapita diukur dari GDP pada tahun tertentu dibagi Jumlah Penduduk
pada tahun yang sama: GDPt/JPt biasanya dikalkulasi dalam Dollar Amerika Serikat (US $).
Ukuran ini baru menunjukan potensi tingkat kesejahteraan ekonomi secara umum, belum bisa
menunjukan tingkat pemerataan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya. Dengan kata lain,
pada suatu negara yang Pendapatan Rata-rata per Kapita-nya tinggi mungkin saja sebagian besar
rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan.
Dalam prakteknya, Koefisien Gini pada negara-negara yang dikenal begitu tajam ketimpangan
kesejahteraan di kalangan penduduknya berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Sedangkan untuk
negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata, Koefisien Gini berkisar
antara 0,20 sampai 0,35.
Kemiskinan.
“tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum terhadap
makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup”.
Angka Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) di atas akan berbeda dari satu negara ke negara
lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah lainnya, serta berubah dari waktu ke waktu. Pernah
ditetapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US $ 125,-/orang/tahun (atas dasar harga
konstan 1980). Itu berarti seseorang yang konsumsinya kurang dari US $ 125,- per tahun dapat
digolongkan berada di bawah garis kemiskinan atau berada dalam kemiskinan absolut. Besar-
kecilnya prosentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan/berada dalam kemiskinan
absolut menunjukan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat dari suatu negara.
Kesehatan Masyarakat.
Tingkat kesehatan masyarakat dapat terukur dari “Harapan Hidup Rata-rata”(Life Expectancy
Rate) dan “Tingkat Kematian Bayi Rata-rata” (Infant Mortality Rate) yaitu jumlah bayi yang
mati sebelum usia 1 tahun setiap 1000 kelahiran. Harapan Hidup Rata-rata di negara-negara
paling terbelakang di dunia pada tahun 1988 misalnya hanya mencapai 49 tahun, dibanding
dengan 57 tahun di negara-negara Dunia Ketiga dan 73 tahun di negara-negara maju. Sedangkan
Tingkat Kematian Bayi Rata-rata mencapai 124 di negara-negara yang terbelakang dibanding 96
di negara-negara berkembang dan 15 di negara-negara maju.
Pendidikan Masyarakat.
Salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat pendidikan masyarakat adalah “Tingkat
Melek Huruf” (Literacy) atau sebaliknya “Tingkat Buta Huruf” (Iliteracy). Sebagai contoh, di
antara negara-negara yang paling terbelakang Tingkat Melek Huruf Rata-rata hanya mencapai
34% dari jumlah penduduk dibanding dengan di negara-negara berkembang dan negara-negara
maju yang mencapai masing-masing 65% dan 99%.
Produktivitas Masyarakat.
Pertumbuhan Penduduk.
Pertumbuhan Penduduk (Population Growth) dihitung dari “Tingkat Kelahiran” (Birth Rate)
dikurangi “Tingkat Kematian” (Mortality Rate). Tingkat kelahiran di negara-negara berkembang
pada umumnya sangat tinggi yaitu berkisar antara 30-40 setiap 1000 penduduk per tahun,
sedangkan di negara-negara maju hanya kurang dari setengahnya. Sementara itu “Tingkat
Kematian”(jumlah orang yang meninggal setiap 1000 penduduk per tahun) di negara-negara
berkembang juga relatif tinggi dibanding dengan negara-negara maju. Karena adanya usaha-
usaha perbaikan kesehatan di negara-negara berkembang, tingkat kematian juga menjadi relatif
rendah. Akibatnya “Rata-rata Pertumbuhan Penduduk” di negara-negara berkembang menjadi
sekitar 2,1% dibandingkan dengan 0,6% di negara-negara maju.
Untuk mengukur pembangunan manusia dan mutu kehidupan manusia, United Nations
Development Program (UNDP) menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index/HDI). HDI mempunyai tiga komponen sebagai berikut:
1. Panjang Usia yang diukur dari harapan hidup sejak lahir;
2. Tingkat pengetahuan atau pendidikan yang diukur dari tingkat melek huruf dewasa serta
lamanya bersekolah;
3. Pendapatan yang diukur dari Produk Domestik Bruto.
Sejalan dengan mulai diterapkannya paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development), dikembangkan pula indikator-indikator pembangunan yang memiliki kriteria
sebagai berikut (IUCN, UNEP dan WWF, 1993):
Catatan yang perlu dikemukan mengenai Indonesia dengan rangkaian Rencana Pembangunan
Lima Tahun (REPELITA)-nya, oil boom yang dimulai tahun 1973 memberikan sumbangan yang
sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak PELITA II anggaran pembangunan
dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak
mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada nilai ekspor pada periode PELITA
III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan dengan itu terjadi perkembangan yang
memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama REPELITA III
meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV kecendrungan perkembangan
perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan turunnya harga minyak secara
drastis di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah
penyesuaian (readjustment and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakan ekspor
non-migas (Department of Information Republic of Indonesia 1991). Memasuki awal
REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi
krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif
(comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan
tidak mampu bersaingnya harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri
Indonesia di pasaran internasional. Hal itu diperberat pula dengan masalah-masalah micro
economy yang tidak terselesaikan dan berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan.
Akibatnya pemerintah mengalami kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan
hutang luar negeri yang sudah sangat spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pula
pada krisis politik sehingga Suharto, B.J. Habibie dan K.H. Abdurahman Wahid harus turun dari
kursi kepresidenan hanya dalam kurun 1998-2001.
Gejala dan ekses di atas tidak lepas dari paradigma pembangunan yang diyakini sejak awal, yaitu
fikiran Rostow (1971) dengan teori The Stage of Economic Growth-nya yang merupakan salah
satu turunan dari teori Neo-Klasik. Agaknya memang tidak mudah keluar dari kungkungan
paradigma tersebut bahkan nyaris terikat dalam pola ketergantungan seperti diterangkan oleh
Arief dan Sasono (1980). Karena itu dalam suasana yang terjepit seperti di atas harus dicari jalan
ketiga (the third way) dan paradigma Sustainable Development dapat memenuhi jawaban dari
permasalahannya: pertumbuhan ekonomi yang disyarati dengan konservasi alam tanpa terikat
dengan pola ketergantungan.
REFERENSI:
Anonim (1990)
The Interparliamentary Conference on the Global Environment. April 29-May 2, 1990.
Washington D.C.
Pembangunan secara umum diartikan sebagai pemenuhan kesejahteraan individu yang meliputi
pendapatan per kapita, kebutuhan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup termasuk kebutuhan
akan adanya harga diri. Dalam prakteknya perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan
sangat dipengaruhi oleh cara pandang, hashab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh
para elit pada masing-masing negara.
Paradigma yang berkembang dimulai dengan Teori Pembangunan Klasik yang terpecah menjadi
berbagai aliran dan menurunkan faham-faham kapitalisme dan sosialisme. Selanjutnya
berkembang pula teori-teori turunan seperti Tesis Pembangunan Dualistik, Teori Perubahan
Struktural, Teori Tahapan Linear, Teori Revolusi Ketergantungan Internasional, Teori Kontra
Revolusi Neoklasik, dan yang terakhir Paradigma Pembangunan Berkelanjutan.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 pembangunan di Indonesia sendiri dapat dikatakan telah
berganti-ganti faham. Namun ada satu ciri yang khas, yaitu menerapkan teori-teori yang liberal
namun dalam situasi yang sangat sentralistik dan peranan pemerintah sangat dominan. Namun
karena situasi local spesific tidak terlalu dikenali dan didalami, selalu dihadapkan kepada
keadaan dead lock baik di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru.
Sejak kemerdekaan hingga tahun 1960-an, berbagai upaya perencanaan pembangunan telah
dilakukan di Indonesia. Namun tidak satupun dari rencana-rencana tersebut mencapai tahap yang
matang dan membuahkan hasil yang memuaskan, yaitu (Tjokroamidjoyo 1982):
· Pada tanggal 12 April 1947 dibentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang diketuai oleh
Mohammad Hatta. Panitia ini menghasilkan rencana sementara berjudul “Dasar Pokok Dari Pada
Plan Mengatur Ekonomi Indonesia”. Tapi rencana tersebut tidak sempat dilaksanakan karena
perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan.
· Pada bulan Juli tahun 1947 itu juga, di bawah pimpinan I.J. Kasimo dirumuskan “Plan Produksi
Tiga Tahun RI”. Tapi karena clash I dan II dengan penjajah rencana ini juga tidak sempat
dilaksanakan.
· Kemudian disusun “Rencana Kesejahteraan Istimewa 1950-1951” (untuk bidang pertanian
pangan) yang disusul dengan “Rencana Urgensi Untuk Perkembangan Industri 1951-1952” di
bawah pimpinan Sumitro Djojohadikusumo. Rencana-rencana ini tidak berjalan dengan baik.
· Selanjutnya ada pula yang dinamakan “Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960” yang
disusun oleh Biro Perancang Negara yang diprakarsai oleh Sumitro Djojohadikusumo. Namun
pelaksanaannya tertunda hingga tahun 1958 dan pada tahun 1959 sudah diganti dengan rencana
baru.
· Pada tahun 1960 berhasil disusun lagi “Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana
1961-1969”. Namun dalam kenyataannya rencana ini lebih berupa “dokumen politik” dari pada
rencana pembangunan dalam arti yang sesungguhnya, tidak realistis, sehingga rencana kurang
berjalan baik dan keadaan ekonomi bertambah parah.
· Dalam keadaan ekonomi yang cukup kritis disusun pula “Perencanaan Ekonomi Perjuangan
Tiga Tahun” yang disebut juga “Rencana Banting Stir”. Rencana ini tidak pernah terselenggara
dengan baik dan tidak mampu menolong parahnya situasi ekonomi.
Akibat tidak satupun rencana pembangunan mendatangkan hasil, keadaan ekonomi Indonesia
kian bertambah parah hingga jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh kudeta Gerakan 30
September PKI pada tahun 1965.
Catatan yang perlu dikemukan pada rangkaian REPELITA di atas oil boom yang dimulai tahun
1973 memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak
PELITA II anggaran pembangunan dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya
penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi
pada nilai ekspor pada periode PELITA III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan
dengan itu terjadi perkembangan yang memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran
pembangunan selama REPELITA III meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV
kecendrungan perkembangan perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan
turunnya harga minyak secara drastis di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk
mengambil langkah-langkah penyesuaian (readjustment and reform) di berbagai bidang seraya
mencoba menggalakan ekspor non-migas (Ibid.). Memasuki awal REPELITA VI agaknya
Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada
periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif (comparative advantages) dari
Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan tidak mampu bersaingnya
harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di pasaran internasional.
Hal itu diperberat pula dengan masalah-masalah micro economy yang tidak terselesaikan dan
berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan. Akibatnya pemerintah mengalami
kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan hutang luar negeri yang sudah sangat
spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pada krisis politik sehingga Suharto harus
turun dari kursi kepresidenan.
REFERENSI:
Tjokroamidjoyo, B. (1982)
Perencanaan Pembangunan. Jakarta, PT Gunung Agung