You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia, untuk


terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara adil dan
merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat kea rah penyelenggaraan Negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila. Untuk itu, pembangunan diarahkan untuk mencapai
kemajuan dan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat.

Kemakmuran yang adil dan merata tersebut hanya akan dapat dicapai melalui
pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan, baik fisik maupun non-fisik, langsung atau
tidak langsung, selalu memerlukan tanah sebagai wadah dari kegiatan pembangunan tersebut.
Kebutuhan akan tanah dalam masa pembangunan yang sekarang sangat meningkat bila
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, karena pada umumnya, hampir semua sektor
pembangunan memerlukan tanah sebagai sarana utama untuk melaksanakan proyek-proyek
pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, dalam usaha untuk melaksanakan
pembangunan tersebut, pemerintah mengadakan atau menyediakan tanah berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dengan kebijakan melalui pencabutan,
pembebasan dan pelepasan atas tanah, yang dimiliki oleh rakyat secara pribadi maupun
golongan.

Sebagai perwujudan dari konsep pembangunan di atas, pemerintah telah melakukan


pembangunan di berbagai bidang antara lain, fasilitas untuk kepentingan umum, misalnya
pembangunan di bidang pendidikan, sosial, hankam, pemukiman, industry dan proyek-proyek
yang bersifat menunjang kepentingan umum baik yang bersifat mencari keuntungaan maupun
yang bersifat tidak mencari keuntungan .

Kenyataan ini menuntut adanya penguasaan sejumlah areal tanah yang akan
diperlukan untuk membangun berbagai proyek dengan cara pembebasan tanah dan/atau
pencabutan hak atas tanah, pengambilan tanah-tanah penduduk melalui penggusuran, dsb.
Kejadian yang demikian kelihatan sudah lumrah terjadi dimana-mana pada berbagai kawasan
di negara kita.

Dalam banyak hal pembebasan tanah atau pengambilan/penggusuran tanah-tanah


penduduk selalu menimbulkan “ekses” yang mempunyai dampak cukup besar terhadap

1
stabilitas masyarakat. Berbagai ketegangan dalam masyarakat timbul karena adanya
ketidaksepakatan antara pemilik dengan tanah/pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan
diambil untuk keperluan proyek-proyek pembangunan dengan pihak penguasa yang bertugas
untuk melakukan/meminta dilakukannya pembebasan tanah yang dimaksud, baik yang
menyangkut status hak, besar dan bentuknya ganti kerugian ataupun pelaksanaan teknis
lainnya.

Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah itu tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah, namun juga diperuntukkan untuk proyek yang dilaksanakan oleh swasta.
Hanya saja, dalam penggunaanya berbeda.

Pemerintah melaksanakan pembebasan sebagian besar dipergunakan untuk


pembangunan proyek milik pemerintah atau fasilitas umum, seperti kantor pemerintahan,
jalan raya, pelabuhan, lapangan udara dan sebagainya. Sedangkan tujuan pembebasan
dilakukan oleh pihak swasta, dipergunakan untuk pembanguna proyek-proyek yang bersifat
komersil, misalnya pembangunan perumahan, pusat-pusat perbelanjaan.

Pola sengketa berkisar antar rakyat dan pemerintah atau rakyat dan swasta (yang
didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai besarnya ganti rugi antara rakyat dengan
pihak perkebunan serta kehutanan mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan
sewa-menyewa. Bahwa sengketa diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-
perantara dan kecilnya ganti rugi atas tanah yang diambil.

Disamping itu juga, penguasaan tanah oleh rakyat dilakukan tanpa alas hak yang sah
dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Dalam posisi yang demikian, pihak
yang membutuhkan tanah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat
melemahkan posisi yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu
rakyat tidak memiliki baukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini
terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat , kekurangan itu antara lain:

a. Belum adanya penepatan ahli waris (pemilik asli/nama yang tercantum pada surat
keterangan tanah, yang telah meninggal dunia).

b. Tidak ada surat kuasa untuk melepas hak

c. Dan sebagainya.

2
Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh orang yang memerlukan tanah, akan tetapi
dengan berbagai alasan untuk melaksanakan proyek yang telah direncanakan tetap
dilakukan pembebasan dengan ganti rugi. Sehingga sulit bagi yang membutuhkan tanah
untuk memnetukan kepada siapa ganti rugi yang akan diberikan. Oleh sebab itu banyak
dijumpai pembayaran ganti rugi dilakukan pada orang yang sebenarnya tidak berhak,
yang akhirnya menimbulkan sengketa.

Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak
swasta yang membutuhkan tanah, disebabkan karena kurangnya koordinasi antar instansi
yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak adanya sinkronisasi antara suatu sector
dengan sector lainnya. Banyak sekali peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling
bertabrakan dengan peraturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-undang
No.20 Tahun 1961, yang mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah Oleh Pemerintah
Untuk Kepentingan Umum. Undang-undang ini sangat sederhana dan setelah
diundangkan Tahun 1961, praktis undang-undang ini tidak pernah “in action” artinya
belum pernah dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah.

Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah
untuk keperluan pemerintah maupun swasta dalam praktek, pelaksanaan peraturan
tersebut belum berjalan sesuai dengan isi dan jiwa ddari ketentuan-ketentuannya.
Sehingga, pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik
tanah, tidak mendapat perlindungan hukum. Sedangkan dari pemerintah atau pihak yang
memerlukan tanah juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperoleh tanah untuk
membangun proyeknya. Secara factual pelaksanaan pencabutan, pembebasan dan
pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut
peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyrakat dengan
penguasa/pemerintah serta penerapan hokum dari para hakim sangat bernuansa paham
positivis yang mengabaikan kaedah-kaedah social dan kebiasaan serta moral yang hidup
dalam masyarakat.

3
BAB II

PERMASALAHAN

Adapun permasalahan yang akan kami bahas adalah ;

1. Bagaimana pengadaan tanah untuk fungsi social yang dikaitkan dengan kepentingan
umum dalam doktrin negara hukum?

2. Bagaimana ganti rugi atas pembebasan hak atas tanah yang dikaitkan dengan fungsi
social?

4
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengadaan Tanah untuk Fungsi Sosial yang Dikaitkan dengan Kepentingan


Umum dalam Doktrin Negara Hukum

Meliputi kepentingan perorangan , golongan, hubungan antara individu dan


sesamanya, sesame warga Negara, hubungan antara warga Negara dan pemerintahan
Negara, hubungan natara Negara ini dengan Negara lain, yang semuanya itu terdapat
dalam cabang-cabang hukum baik berupa hukum nasional maupun hukum
internasional.

Berdasarkan doktrin Negara hukum yang dianut UUD 1945, pemerintah


mempunyai hak untuk mendapatkan tanah, untuk pembangunan fasilitas kepentingan
umum antara lain dengan:

a) Jual beli
b) Pencabutan hak (onteigening)
c) Perampasan (Verbeurdverklaring)
d) Nasionalisasi

Pemerintah mendapatkan tanah untuk kepentingan pembangunan dapat dilakukan


dengan cara jual beli yaitu dengan kesepakatan, tanpa paksaan yang dilakukan secara
sukarela (voluntary) dari pemilik tanah. Antara pemerintah yang membutuhkan tanah
dan masyarakat pemilik tanah terlebih dahulu harus ada consensus atau kesepakatan.
Dan dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas vacta sunt servanda (janji adalah
mengikat), partij outonomie (kebebasan berkontrak) dan te goeder troeuw (itikad
baik). Sedangkan pemerintah mendapatkan tanah dengan cara pencabutan hak, adalah
dengan cara paksa (compulsory) dengan cara ganti rugi.

Prosedur jual beli hanya dapat dilakukan bagi tanah-tanah yang telah
mempunyai sertifikat, melalui PPAT. Sedangkan tanah yang belum mempunyai
sertifikat dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dengan ganti rugi. Namun

5
pelaksanaannya juga harus dilakukan dengan syarat-syarat teknis yang sama dengan
tanah bersertfikat.

Pencabutan tanah (ontigening) dapat dilakukan oleh pemerintah untuk


pembangunan berbagai fasilitas kepentingan umum. Pencabutan hak tersebut tanpa
perlu adanya kesepakatan dari sipemilik/ yang menguasai tanah. Tetapi harus
dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, jika tidak maka tindakan itu akan
menympangkan rasa keadilan, karena hal ini erat sekali kaitannya dengan hak asasi
manusia. Dengan demikian berdasarkan hal tersebut, maka pencabutan hak atas tanah
masyarakat harus dilakukan dengan ganti rugi yang layak. Sejalan dengan prinsip rule
of law sebagai suatu sendi dari suatu Negara hukum (rechtstaat), maka Negara harus
melindungi hak asasi manusia dan menjamin keadilan bagi warga Negaranya.

Namun kalau kita telusuri UUD 1945, sebagai dasar kehidupan Negara kita,
tidaklah dapat kita temukan suatu ketentuan yang tegas mengenai pencabutan atas
tanah (onteigening). Tetapi mengenai hal ini ada diatur dengan tegas dalam konstitusi
RIS dan UUDS 1950. Dalam UUPA, tidak mengenaka danya suatu perampasan
(penyitaan) tanah seseorang untuk pembangunan, kecuali karena suatu kejahatan,
demikian juga tidak mungkin karena pandangan politik seseotrang, tetapi harus
dengan ganti rugi.

Pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk


kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu
pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan pengadaan tanah
dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip
penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Hal itu harus diusahakan dengan
cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah
langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum


dilakukan dengan prinsip keadilan, sebagaimana yang dimaksud dalam konsideran
keppres No. 55 tahun 1993, yaitu dengan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah
yang diusahakan dengan cara seimbang dan dilakukan dengan cara musyawarah.
Perlakuan yang seimbang antara pemilik tanah dan yang membutuhkan tanah adalah
merupakan pemenuhan rasa keadilan bagi masing-masing pihak. Dalam hal ini maka

6
pemerintah harus bertindak secara adil dan dlaksanakan dengan etika moral yang
tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, meskipun dalam perkembangan peraturan dan kebijakan


pengadaan tanahuntuk kepentingan umu, baik yang dilakukan dengan cara
pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak sebagaimana diatur dalam undang-
undang mengenai pengadaan tanah, secara substantif telah tertuang dalam norma-
norma ketiga peraturan tersebut mengandung unsure keadilan.. tetapi dalam praktek
pelaksanaannya, tindakan pemerintah banyak yang melanggar rasa keadilan
masyarakat, sehingga masyarakat yang empunya tanah seringkali dirugikan. Dengan
demikian walaupun norma hukum secara substantive telah mengakomodasi prinsip-
prinsip keadilan, tetapi apabila pemerintah tidak punya itikad dan kemauan secara
moril dan mempunyai political will untuk melaksanakannya, amak apapun
peraturannya tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat.

Seyogianya pemerintah menegakkan keadilan diantara orang-orang yang


bersengketa dengan mengambil tindakan yang mencakup suatu tindak pemilihan yang
tidak memihak dan tidak kuatir terhadap suatu solusi karena perselisihan menurut
perintah undang-undang yang menghargai hak-hak manusia dimana undang-undang
melindunginya.

LEMBAGA PENGADAAN TANAH

Lembaga pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak yang
diatur dalam peraturan presiden no. 36/2005 yang menggantikan keputusan presiden
No. 55 tahun 1993 dan telah diubah lagi dengan peraturan presiden no. 65 tahun 2006
merupakan realisasi dari konsekuensi salah satu sifat pencabutan hak yaitu sebagai
satu-satu nya jalan terakhir untuk mendapatkan tanah karena pemilikanya tidak setuju.
Lembaga ini sebelumnya lebih dikenal sebagai lembaga pembebasan tanah.

Menurut pasal 1 butir 3 peraturan presiden no. 65 tahun 2006 Pengadaan tanah
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah.

7
B. Ganti Rugi Atas Pembebasan Hak Atas Tanah yang Dikaitkan dengan Fungsi
Sosial

I. Tinjauan Umum Ganti Rugi


Ganti rugi dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu dari sudut KUHPerdata dan sudua
UU Pokok Agraria yaitu

Pertama,.Menurut KUHPerdata tinjauan tentang ganti rugi meliputi persoalan


yang menyangkut, apa yang dimaksud dengan ganti rugi, bilaman ganti rugi itu
timbul dan apa ukuran ganti rugi itu serta bagaiman peraturannya dalam UU.
Dalam pasal 1243 KUHPerdata dirumuskan :

Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu


perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai tetap
lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberitakan atau
dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
melampaui tenggang waktu yang talah ditentukan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa ganti kerugian itu adalah karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, at5au sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya. Artinya ganti rugi itu adalh kerugian yang timbul
karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian wajib diganti oleh debitur
terhitumh sejak ia dinyatakan lalai.

Selanjutnya KUHPerdata menegaskan bahwa ganti rugi itu terdiri dari tiga
unsure yaitu: biaya, rugi, dan bunga, kecuali wanprestasi itu dapat dibuktikan
karena adanya overmacht dan tidak ada itikad buruk dari debitur. Gnti rugi yang
dapat dituntut penggantiannya adalah atas rugi yang dideritanya dan keuntungan
yang sedianya harus dinikmatinya.

Biaya, rugi dan bunga dalam bahasa Belanda sering disebut kosten, schaden
en intersten. Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyatanya sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi atau
kerugian adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur
yang diakibatkan kelalaian debitur atau wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud
dengan bunga adalah rugi yang berupa kehilanagan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh debitur.

Walaupun debitur telah melakukan wanprestasi diharuskan membayar ganti


rugi kepada kreditur, namun Undang-undang masih memberikan pembatasan-
pembatasan yaitu : dalam hal ganti rugi yang bagaimana yang seharusnya dibayar
oleh debitur atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai

8
perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang
pihak debitur. Pembatasan-pembatasan tersebut adalah debitur hanya diwajibkan
mengganti biaya, kerugian dan bunga yang diharapkan atau sedianya dapat diduga
pada waktu perikatan diadakan kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh karena tipu daya yang dilakukannya. Bahkan jika tidak
dipenuhinya karena tipu daya debitur maka penggantian kerugian dan bunga yang
menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya
mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya
perikatan itu.

Dari hal tersebut diatas dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian
yaitu

1. Kerugian yang diduga ketika membuat perikatan


2. kerugian sebagai akibat lAngsung dari wanprestasi (lalai)

Dua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur
sebagai akibat dari wanprestasi. Jadi, tegasnya ganti rugi hanya.dapat diwajibkan
terhadap kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan
itu diadakan yang timbul akibat ingkar janji atau wanprestasi. Jumlahnya
ditentukan dengan suatu perbandingan diantara kekayaan-kekayaan sesudah
terjadinya ingkar janji/wanprestasi dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi
ingkar janji (wanprestasi) sebelumnya. Atau yang dapat diduga ketika perikatan
dilahirkan dan apa yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi / ingkar
janji. Pada umumnya, debitur hanya memberikan ganti rugi kalau gantirugi
berhubungan langsung dengan ingkar janji.

Persyaratan “ Dapat diduga” tidak hanya ditujukan kepada kemungkinan


timbulnys kerugian saja melainkan juga meliputi besarnya jumlah kerugian. Jika
jumlah kerugian itu melampaui batas yang dapat diduga maka kelebihan yang
melampaui batas itu tidak boleh dibebankan kepada debitur. Kecuali jiak debitur
ternyata telah melakukan tipu daya.

Persyaratan adantya akibat langsung dari wanprestasi sebagaimana yang


disebutkan diatas maka hal ini membawa kepada teori Kausalitas yaitu :

1. Teori condition sine qua non, dari Von Buri.


2. Teori Adequate, dari Von Kries

Menurut teori condition sine qua non, setiap peristiwa adalah penting dan
menyebabkan terjadinya akibat. Teori ini terlalu luas sehingga sulit dipakai
menentukan terjadinya akibat. Sedangkan teori Adequate lebih terbatas lagi. Yang
dimaksud dengan akibat langsung adalah akibat yang menurut pengalaman
manusia yang normal apat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dalam hubungan
ini debitur berdasarkan pengalaman yang normal dapat menduga bahwa dengan

9
adanya wanprestasi ituakan timbul kerugian bagi kreditur. Dalam perjanjian jual
beli misalnya, penjual dapaty menduga bahwa pembeli akan menderita kerugian
jika barang yang dibelinya tidak dating. Kerugian yang diduga akan terjadi itu
sebagai akibat langsung tidak dikirimnya barang oleh penjual yang wanprestasi.

Undang-undang tidak ada menentukan atau memberi penjelasan tentang teori


apa yang akan dipergunakan untuk mementukan adanya hubungan sebab akibat
tentang terjadinya suatu peristiwa. Tetapi dalam praktek peradilan ternyata yang
dipakai adalah teori adequate dari Von Kries. Ajaran ini mengemuklakan bahwa
ukuran untuk menentukan sebab dalam pengertian hukum adalah apabila dalam
peristiwa secara langsung menurut pengalaman manusia dapat diharapkan
menimbulkan akibat tertentu.

Undang-undang juga tidak memberi penjelasan tentang apa yang disebutkan


akibat langsung dari ingkar janji, maka hal ini dapat dipecahkan dalam ajaran
adequate yamg dairumuskan sebagai berikut : suatu peristiwa adalah akibat
langsung dari peristiwa apabila menurut pengalaman manusia yang normal. Dari
peristiwa tadi diharapkan akibat tertentu, misalnya sutu panitia sudah mengadakan
suatu perjanjian untuk mengadakan suatu pertunjukan dengan suatu rombongan
penyani dan panitia sudah sampai persiapan terakhir untuk mengadakan
pertunjukan tersebut. Tiba-toba rombongan penyanyi itu tidak memenuhi janjinya
kerugisn yang diterima panitia adalah merupakan akibat langsung dari tidak
memenuhinya prestasi.

Selain dari pembatasn kerugian yang telah diuraikan diatas masih ada lagi
pembatasan pembayaran ganti rugi tersebut yaitu dalam perjanjian yang
pretasinya berupa pembayaran sejumlah uang, hal ini diatur dalam pasal 1250
KUHPerdata yang merumuskan

1. Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan sejumlah


uang penggantian biaya, kerugian, dan bunga yang timbul karena
keterlambatan pelaksanaanya hanya terdiri atas lima yang ditentukan
ata sundang-undang, tanpa mengurangi berlakunya undanmg-undang
khusus.
2. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu, tanpa perlu
dibuktikan oleh adanya suatu kerugian oleh kreditur.
3. Pengganti biaya, kerugian dan bunga itu, baru wajib dibayar
sejak dimuka pengadilan, kecuali jika undang-undang mengatakan hal
itu belaku demi hukum.
Pembayaran ganti rugi berupa bunga adalah bunga karena lalainya atau
terlambatnya membayar sejumlah uang itu. Bunga yang harus dibayar karena lalai
disebut “moratoir interest” sebagai hukuman bagi debitur. Besarnya bunga itu
adalh 6% setahun, tanpa mengurangi ketentuan lainnya dengan undang-undang
yang menetapkan bunga yang lebih tinggi (Stb.1848/22 jo Stb. 1849/63). Dan
menurut pasal 1250 KUHPerdata, bunga yang dituntut tidak boleh melebihi
persentasi yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut kecuali dalam

10
perjanjian telah ditentukan cara perhitungan atau besarnya bunga itu, maka yang
diberlakukan adalah apa yang telah diperjanjikan. Jika ditentukan bahwa bunga
tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan atau sejak dimasukkannya
surat gugatan.

Bertolak dari pengertian ganti rugi yang diuraikan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa ganti rugi menurut hukum perdata adalah dikaitkan dengan
adanya wanprestasi, sehingga siapa yang wanprestasi akan dihukum untuk
membayar ganti rugi, berupa biaya, rugi dan bunga berupa kehilangan keuntungan
yang diharapkan.

Kedua, dalam Undang-undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan


pencabutan hak atas tanah, diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi : “untuk
kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dam Negara serta kepentingan
bersama dan rakyat hal-hak atas tanah dapat docabut, dengan memberikan
gantirugi yang layak dan menurut cara ynag diatur dengan undang-undang.

Sebagai realisasi dari ketentuan pasal 18 UUPA, maka pemerintah


mengeluarkan peraturan pelaksana yaitu UU No. 20 tahun 1961, tentang
Pencabutan hak-hak atas tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya, yaitu bahwa
pencabutan hak-hk atas tanah dan benda-benda yang ada diatasny, supaya hanya
dilaksanakan benar-benar umtuk kepentingan umum dan diakukan dengn hati-hati
seeeeerta cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Cara pengadaan tanah yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 dilakukan
dengan lembaga pencabutan hak atas tanah. Cara ini mengandung hakekeat dan
tindakan hukum yang berbeda jika dibandingkan dengan cara-cara pelepasan hak
atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993.

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang sebelumnya disebut sebagai
pembebasan tanah adalah merupakan kegiatan melepaskan hubungan hukum
antara pemegang hk atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan
memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Salah satu kunci yang
kelihatannya juga cukup menentukan dalam perbuatan hukum diatas itu adalah
yang berkenaan dengan ganti rugi dalam pelepasam hak atau pembebasan tanah
itu merupakan imbalan sewbagai pengganti nilai atas tanah yang diserahakan oleh
pemilik atau pemegang hak atas tanah. Mengenai pencabutan atau pelepasan hak
atas tanah A.P.Parlindungan menyatakan : Orang yang dicabut haknya itu tidak
berada dalam keadaaan lebih miskin ataupun menjadi lebih miskin setelah
pencabutan hak tersebut, ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang
pembayaran ganti rugi itu telah habis dikonsumsi. Minimal dia harus dalam
situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti yang dicabut haknya,
syukur kalau bertambah lebih baik.

11
II. Syarat-syarat Persetujuan Ganti Rugi Tanah

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana yang dirumuskan pada
pasal 1 butir 2 Keppres No. 55 Tahun 1993 adalah merupakan ke kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hk atas tanah dengan tanah yang
dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Berdasarkan
rumusan tersebut berarti bahwa pelepasan ataupenyerahan hak atas tanah tidak
dapat dibenarkan dengan cara-cara paksaan/ atau tanpa kesepakatan dari
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka kegiatan pelepasan atau penyerahan


hak atas tanah sebagai dasar hukum materilnya adalah hukum perdata yang
terletak dalam bidang hukum perikatan. Perbutn hukum untuk melepaskan
hubungan hukum pemegng hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya,
tergantung kepada ada tidaknya kesepakatan atau persetujuam diantara kedua
belah pihak. Hal ini berarti bahwa kesepakatan hukum tersebut harus
memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya sutu perjnjian harus


memenuhi empat syarat yaitu :

1. Adanya kesepakatan atau persetujuan antara pihak-pihak yang


membuat perjanjian (consensus)
2. Adanya kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian
3. Adanya suatu hal tertentu
4. Adanya suatu sebab yang halal.

Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia-sekata


antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian
itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki
oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka
mengkehendaki suatu yang sama secara timbale balik. Dengan demikian
persetujuan sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.

Persetujuan kehendak dari kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan


itu, harus dilakukan secara bebas yaitu tanpa paksaan, kekhilafan, dan penipuan
sebagaiman yang diatur dalam pasal 1321, 1322 dan 1328 KUHPerdata.

Persetujuan kehendak mengenai pelepasan atau penyerahan hak atas tanah


yang diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, UU No. 20 Tahun !961, Peraturan
Pemerintah No Tahun !973 , PMDN No. 15 Tahun 1975, dan Keppres No 55
Tahun 1993 harus dilakukan dengan musyawarah. Prinsip musyawarah untuk
mencapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang
memerlukan tanah adalah meupakan unsur yang esensil, maka oleh karena itu,

12
perbuatan hukum untuk pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
tergantung ada tidaknya kesepakatan atau persetujuan kehendak diantar kedua
belah pihak. Hal ini berarti perbuatan hukum tersebut harus memperhatikan
syarat-syarat sebagaiman yang ditentukan pada pasal 1320 KUHPerdata jo. 1338
KUHPerdata.

Pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah untuk kepentingan


umum, juga harus dilaksanakan dengn itikad baik yang diatur dalam pasal 1338
ayatr (3)KUHPerdata, maka dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah untuk kepentingan umum tidak boleh ada unsure pksaan atau ancaman
dari pihak manapun juga. Para pihak berhak unyuk menolak apa yang ditawarkan
atau yang dimintakan pihak lain baik mengenai penyerahan tanahnya maupun
mengenai jumlah ganti ruginya.

Dalam praktek proses kegiatan untuk saling mendengar dan sikap saling
menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kerelaan atau persetujuan
kehendak antara pihak-pihak sangat sulit tercapai atau sulitdilaksanakan apabila
yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran hukum, apalagi salah satu pihak
tidak mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan.

III.Bentuk-bentuk Ganti Rugi

Pada asanya bentuk ganti rugi yang lazim diergunakan adalah uang. Oleh
karena menurut para ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan
alat yang paling prakttisss, yang paling sedikt menimbulkan masalah dalam
menyelesaikan suatu sengketa. Selain uang masih ada bentuk-bentuk lain yang
diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan keadaan semula (in natura)
dan larangan untuk mengulangi. Keduany ini kalau tidak ditepati dapat dierkuat
dengan uang paksa. Jadi haruslah diingat bahwa uang paksa itu bukanlah
merupakan wujud dari ganti rugi. Berdasarakan hal tersebut, maka bentuk ganti
rug itu adalah berupa uang, bukan barang yang diperjanjiakn itu.

Ada juga terjadi kerugian dinilai dalam bentuk benda ( in natura) misalnya : A
merusakkan benda yang dititipkan kepadanya oleh B, dapat dituntut ganti rugi
dalam mereparasi benda itu, sehingga kembali ke keadaan semula. Dalam pada itu
kreditur dapat juga menuntut agar diperhitungkan kerugian yang akan dating
misalmya : A menderita kecelakaan karena dilanggar B dengan sepeda, berhak
menuntut ganti rugi atas biaya-biaya perawatan yang akan dibayarkannya kepada
dokter. Inilah yang dimaksud kerugian yang dapat diduga atau yang diperkirakan
sebelumnya.

Bentuk ganti rugi dalam pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas
tanah berbeda dengan ganti rugi dalam KUHPerdata tersebut diatas, dalam hal ini
pembebasan, pencabutan dan pelepasan tanah memiliki suatu makna yang

13
berbeda, maksudnya pembyaran ganti rugi dengan sejumlah uang diberikan kepda
pemilik tanah sebagai kompensai atas dilepaskannya ahk atas tanahnya sesuai
dengan harga pasar dan memperhitungkan kerugian lain yang ada diatas tanahnya.
Jadai gantirugi yang utama adalah merupakan penggantian kerugian, bilamana
harta seorang pemilik yang dicabut dari harta pribadinya. Nilai ganti rugi yang
dibayar tersebut harus sama dengan nilai yang diambil padanya, tujuan dari ganti
rugi itu untuk mendapatkan uang yang nilainya setara dengan yang diambil.

Berdasarkan Keppres No 55 Tahun 1993 dalam pasal 13 merinci bentuk-


bentuk ganti rugi dapat berupa :

1. uang ;
2. tanah pengganti ;
3. pemukiman kembali]
4. gabungan dari dua atau lebih untuk ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, dan c;
5. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Hanya sayangnya, dalam pasal 13 ini ganti rugi tidak juga diperhitungkan
kerugian karena kepindsahan ketempat lain, atau kehilangan pencaharian ditempat
yang lam,namun mungkin saja kelak nerkembang suatu benruk kerugian lain
sebagai tafsiran pasal 13. sedangkan sebelumnya pada pasal 6 aya (2) PMDN
No. 15 Tahun 1975 disebutkan bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan
atau fasilitas lain. Batasan ini lebih sederhana jika dibandingkan dengan yang
diatur dalam Keppres No. 55 tahun 1993.

IV. Cara Penetapan dan Yang Berhak Menerima Ganti Rugi

1. Cara Penetapan Ganti Rugi


Penentuan tentang besarnya ganti rugi jik ditinjau dari sudut hukum
perdata sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya adalah, bahwa ganti
rugi dapat ditentukan berupa penggantian biya, rugi dan bunga yang nyata-
nyata telah atau sedianya dapat diduga sebelum perikatan dilahirkan.
Kerugian tersebut adalah merupakan akibat langsung dari wanprestasi.

Khusus mengenai perjanjian yang pretasinya berhubungan dengan


pembayaran dengan sejumlah uang, ganti rugi hanya dapat dituntut semata-
mata karena terlambatnya prestasi dilaksanakan. Kerugian hanya terdiri dari
bunga yang ditentukan oleh undang-undang.

Ketentuan tentang ganti rugi terhadap pelepasan atau penyerahan hak


atas tanah dapat dilihat anatara lain dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 dan
Keppres No. 55 Tahun 1993. Berdasarkan pasal PMDN NO. 15 Tahun
19775 ditentukan sebagai berikut :

14
(1) Di dalam mengadakan penafsiran/penetapan mengenai
besarnya ganti rugi, Panitita Pembebasan Tanah harus mengadakan
musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah
dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga
umum setempat.
(2) Dalam menetapkan besarny ganti rugi harus diperhatikan pula
tentang :
a. Lokasi dan factor –faktor strategis lainnya yang dapat
mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam
menettapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus
berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Dinas Pekerjaan Umum/ Dinas Pertanian Setempat.
b. Bentuk ganti rugi berupa uang, tanah dan atau fasilitas-
fasilitas lain;
c. Yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang
berhak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada diatasnya,
dengan berpedoman kepada hukum adat setempat,
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam UUPA.
(3) Panitia pembebasan tanah berusaha agar dalam menentukan
besarnya ganti rugi terdapat kata sepakat diantar para anggota
panitia dengan memperhatikan kehendak dari para pemegang hak
atas tanah. Jika terdapat perbedaan tafsiran ganti rugi diantaranya
para anggita panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga
rata-rata dari tafsiran masing-masing anggota.
(4) Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam
waktu yang singkat.
(5) Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai
besar/bentuknya ganti rugi tersebut disampaikan kepada instanasi
yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para
anggota panitia yang turut mengambil keputusan.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam


menentukan besarnya ganti rugi harus dilakukan musyawarah melalui proses
atau kegiatan saling memperhatikan kehendak antara pemegang hak atas
tanah dan Panitia Pembebasan tanah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Dan dalam melakukan
penafsiran/penetapan ganti kerugian panitia diharapkan benar-benar
mengusahakan tercapainya persetujuan kedua belah pihak berdasarkan
musyawarah serta dengan memperhatikan harga umum setempat dan factor-
faktor yang lain yang mempengaruhi harga tanah.

Menurut pasal 1 ayat 93) PMDN NO. 15 Tahun 1975 yang dikatakan
sebagai harga umum setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara
berkala oleh panitia.

15
Menurut keppres No 44 tahun 1993, cara penentuan ganti rugi
pelepasan hak atas tanah berbeda dengan yang diatur dalam PMDN NO 15
tahun 1975. pasal 15 Keppres No 55 Tahun 1993, menegaskan bahwa dasar
dan cara perhitungan ganti rugi ditetapkan dengan dasar :

a.Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau yang


sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek Pajak Bumi
dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh Instansi
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan
c.Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah
Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

Selanjutnya dalam pasal 16 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan


Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 ditentukan pula :

(1) Panitia memberikan penjelasan kepada kedua belah pihak


sebagai bahan musyawarah untuk mufakat, terutama mengenai
ganti rugi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Nilai tanah berdasarkan nilai nyata atau yang
sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek pajk
Bumi dan Bangunan (NJOP) tahun terakhir untuk ytanah
yang bersangkutan ;
b. Faktor-faktor yang memperngaruhi harga tanah :
1) lokasi tanah
2) jenis hak atas tanah
3) status penguasaan atas tanah
4) peruntukan tanah
5) kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana
tata ruang wilayah
6) prasarana yang tersedia
7) fasilitas dan utilitas
8) lingkungan
9) lain-lain yang mempengaruhi harga tanah
c. nilai taksiran bangunan, tanaman, benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah

(2) Pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman


da/atau benda-benda yang lain yang terkait dengan tanah yang
bersangkutan atau wakil yang ditunjuk menyampaikan
keinginanaya mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
(3) Instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyampaikan
tanggapan terhadap keinginan pemegang hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dengan mengacu
kepada unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

16
(4) Ganti rugi diupayakan dalam bentuk yang tidak menyebabkan
perubahan terhadap pola hidup masyarakat dengan
mempertimbangkan kemungkinan dilaksanakannya alih
pemukiman ke lokasi yang sesuai.

Penentuan besarnya ganti rugi sebagaimana tersebut di atas jauh lebih


maju bila dibandingkan dengan penentuan yang diatur dalam PMDN No. 15
Tahun 1975, yang menentukan bahwa harga dasar tanah ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam Keppres No 55 Tahun 1993
ditetapkan atas dasar nilai yang nyata/sebenarnya dengan memperhatikan
NJOP tahun terakhir untuk tanah yang bersngkutan serta memperhatikan
fakktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah tersebut.

Namun dalam praktk masa lau, sering terjadi yang diamggap sebagai
musyawarah untuk menetapkan besarnya ganti rugi lebih dititikberatkan
paddd segi formalitanya/formalitas belaka, misalnya ada undangan
musyawarah, frekuensi dilakukannyan musyawarah, jumlah yang dihadiri
dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan masalah substansialnya. Suatu
musyawarah untuk dapat menghasilkan kesepakatan harus dilandasi atas
kesejajaran antara pihak-pihak yang bermusyawarah dan dilaksanakan tanpa
tekana berupa apapun, berupa situasi atau tindakan penekanan dalam
berbagai gradasinya baik yang tejadi dalam pertemuan maupun di luar
pertemuan, yng secara psikologis sangat mempengaruhi masyarakat yang
akan kehilangan hak atas tanahnya. Walaupun secara procedural
musyawarah telah memenuhi syarat, namun apabila keputusn yang
dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidak dapat dikatakan telah
tercapai kesepakatan, karena tekanan itu merupakan perwujudan dari
pemaksaan kehendak satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti
kehendaknya. Disamping itu, dalam proses musyawarah sering terlibat
orang-orang diluar kepanitiaan yang resmi, misalnya aparat militer biasanya
berdalih untuk mengadakan pengamanan yang tidak jelas fungsi dan
tanggung jawabnya, sehingga hal ini akan menguburkan arti musyawarah
secara substansal.

Munculnya kasus-kasus selama ini, merupakan bukti bahwa


musyawarah tidak berjalan sebagaiman mestinya. Persoalan ynag sering
dikemukakan oleh para pemegang hak atas tanah adalah ketika musyawarah
dilakukan, mereka diminta untuk mnerima besarnya ganti rugi yang telah
ditetapkan secara sepihak oleh panitia dan tidak jarang aparat pemerintah
mendekatimereka dengan kekuasaan. Padahal yang diharapkan oleh
pemegang hak atas tanah hanyalah kehidupan yang lebih baik atau paling
tidak sama dengan keadaaan mereka sebelum digusur.

17
2. Dasar dan Kriteria Pemberian Ganti Rugi
Yang berhak menerima ganti rugi bukan hanya pemilik yang
melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah melainkan juga pemilik
bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda yang lain yang terkait dengan
tanah yang bersangkutan. Karena di dalam masyarakat bias saja pemilik
tanah sekaligus sebagai pemilik bangunan dan tanaman dan bisa juga
pemilik tanah berbeda dengn pemilik bangunan maupun tanaman serta
benda-benda yang diatasnya.

Dalam upaya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk


kepentingan umum ada perbedaan antara pemberian ganti rugi kepada
pemegang hak atas tanah, tetapi menempati/memakai tanah yang akan
dibebaskan. Bagi mereka yang tidak mempunyai hak atas tanah, diberikan
uang santunan/uang pesangon. Besarnya uang pesango/santunan yang
diberikan kepada yang memakai tanah tanpa suatu hak ditetapkan oleh
panitia menurut pedoman yang ditetapkan oleh Bupti/Walikotamadya.

Terhadap tanah yang digarap tanpa izin yang ehak atau kuasanya,
penyelesaian dilkukan berdasarkan UU No 51 Prp Tahun 1960, tentang
larangan Pemakain Tanpa yang Berhak Atau Kuasanya. Hal ini berarti bagi
penggarap atau pihak yang menguasai tanah secara fisik tanpa suatu alas
hak. Berdasarkan ketentuan ini bagi mereka yang menguasai tanah tanpa
izin yang berhak atau kuasanya tidak diberikan ganti rugi, namun harus
diselesaikan secara musyawarah dan memberikan uang pesangon/santunan
bagi mereka.

Jika kita mengacu pada Keputusan presiden No 55 tahun 1993 jo


Peraturan Menteri Agrria No 1 Tahun 1994, maka bagi mereka yang tidak
memiliki tanda bukti hak atas tanah, apabila tanahnya diambil untuk
pembangunan kepentingan umum mereka tidak berhak atas ganti rugi
tersebut. Mereka ini hanya berhak atas uang santunan, yang besarnya
ditentukan oleh Bupati?Walikota. taksiran nilai tanah menurut jenis hak
untuk tanah hak milik yang belum bersertifikat dinilai 90%.

Ketentuan ini masih belum jelas atau rancu karena tidak dijelaskan
lebih lanjut mengenai tanah milik yang bersertifikat sebagai tanda bukti atas
tanah untuk mengganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk pembngunan
kepentingan umum ini perlu ditinjau lembali. Sangatlah tidak adil apabila
mereka mempunyai mempunyai hak atas tanah, tetapi tidak mempunyai
bukti-bukti formal hany diberikan uang santunan/pesangon.

Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat


diberikan dengan bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain
yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Yang dikatakan ulayat adalah
tanah masyarakat hukum adat yang tidak mengandung unsur kepemilikan

18
perseorangan. Begitu juga terhadap bidang tanah wakaf ganti kerugiannya
diberikan dalam bentuk tanah, bangunan dan perlengkapan yang diperlukan.

3. Kriteria penetapan Standar Harga Dasar


Dengan berlakunya Keppres No 55 tahun 1993, dasar dan cara perhitungan
ganti rugi ditetapkan atas dasar harga dasar yang sebenarnya, nilai jual
bangunan dan nilsi jual tanaman. Disamping itu, bentuk dan besarnya ganti
rugi ditetapkan dengan musyawarah. Dengan memperhitungkan harga tanag
yang sebebnarnya/nilai tanah yang berdasarkan nilai nyata, harus dilakukan
dengan memeperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun terakhir tana
yang bersangkutan. Namun Keppres No 55 Tahun 1993 tidak ada mengatur
standard baku dalam menetapkan NJOP.

UU No. 12 tahun 1985, tantang Pajak Bumi dan Bangunan,


menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak adalah NJOP. Menurut UU
tersebut yang dimaksud dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh
dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui harga dengan objek lain yang
sejenis yang telah diketahui nilai jualnya. NJOP juga bias diperoleh melalui
objek pajak pengganti. Besarnya NJOP ditentukan setiap tiga tahun oleh
Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah-daerah tertentu sesuai dengan
perkembangannya dapat ditetapkan setiap tahun.

V. Konsinyasi/Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Penitipan

Konsinyasi/ Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan,


adalah merupakan salah satu cara untuk menghapuskan suatu perikatan,
sebagaiman yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata yang merumuskan :

(1) Jika Kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan


penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika
kreditur menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya
ke pengadilan.
(2) Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan
debitur, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu
dilakukan menurut cara-cara yang diatur oleh undang-undang; sedangkan
apa yang dititipkan secara demikan adalah atas tanggungan kreditur.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, suatu perikatan dapat berakhir


dengan suatu konsinyasi, dengan syarat bila kreditur menolak pembayaran
dari debitur, dan konsinyasi tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang
diatur oleh UU. Maka dalam hal pembebasan, pelepasan hak atas tanah,
bentuk dan besarnya ganti rugi yang telah ditetapkan panitia, walaupun

19
pemilik tanah belum bersedia namun dalamprakteknya pihak yang
membutuhkan tanah melakukan penitipan pembayaran tunai ke Pengadilan
Negeri agar mereka dapat melakukan pengosongan tanah dan melakukan
pembangunan. Kenyataan ini adalah sangat merugikan pihak pemilik tanah,
hal ini disebabkan belum adanya kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti rugi.

Untuk sahnya suatu konsinyasi harus memenuhi syarat-syarat yang


ditentukan dalam pasal 1405 KUHPerdata. Sedangkan agar penyimpanan
atau penitipan barang atau uang yang dilakukan oleh debitur itu sah menrut
hokum haruslah berdasrkan pasal 1406 KUHPerdata. Ketentuan dari 1405
KUHPErdata sampai dengan 1407 tersebut adalah prosedur yang harus
dipenuhi untuk melakukan konsinyasi atau penawaran pembayaran diikuti
dengan penitipan barang atau uang yang ditawarkan,

20

You might also like