You are on page 1of 14

Pertarungan teori-teori : Tantangan Ideologi Pancasila

Oleh Rum Rosyid


Dari Kamus Wikipedia, ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata tersebut
diciptakan Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan ‘’sains tentang
ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara memandang segala
sesuatu, akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau serangkaian ide yang
dikemukakan kelas masyarakat dominan walaupun minoritas kepada seluruh anggota
masyarakat yang mayoritas. Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah ‘aqliyah
(akidah yang sampai melalui proses berpikir) plus aqidah naqliyah yang melahirkan
aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam
semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan
di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan.

Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat, yakni:
1. Ide yang meliputi aqidah ‘aqliyah dan aqidah naqliyah yang keduanya memberi jalan
dan aturan bagi kehidupan dan masalah kehidupan. Jadi, ideologi harus unik karena harus
bisa memecahkan problematika kehidupan.
2. Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi.
Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi
itu.
Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan
dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan. Menurut definisi kedua tersebut,
apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi,
melainkan sekedar paham. Dalam ilmu sosial, ideologi politik adalah sebuah himpunan
ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan
menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai
dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.

Kaum kapitalis dan sosialis ’menghadirkan’ dialektika dalam keseharian hidup kita.
Mereka berlomba mencipta teori-teori baru untuk meyakinkan masyarakat dunia, bahwa
konsep mereka adalah jalan menuju masa depan yang baik. Para teoretisi kapitalis,
misalnya, melahirkan teori-teori modernisasi, antara lain: teori pembangunan, teori
tabungan dan investasi, dan sebagainya. Teori kaum ini yang mutakhir adalah ide tentang
Neoliberalisme melalui gerakan globalisasi dan pasar bebasnya. Di sisi lain, kaum
sosialis pun, tak kalah menggertaknya. Karl Marx, memelopori untuk menelanjangi
keserakahan kaum kapitalis melalui teori Materialisme dialektika-historisnya, Althusser
dengan teori Strukturalisnya, Antonio Gramsci dengan teori Hegemoninya, hingga teori
"kritis"oleh Max Hokheimer dan (mazhab frankfurtnya) yang mengajukan kembali
konsep dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan
penghisapan.

Di luar dua pemain besar ini,muncul juga pemikiran postmodernisme yang keluar dari
tradisi Aufklarung. Ragam pemikiran postmodernisme bersatu dalam sebuah ide
bersama, penolakan atas "narasi-narasi” besar penyelamatan manusia, menolak
obyektifitas ilmu pengetahuan, dan menolak pemikiran dikotomis. Penekanan ideologi ini
kepada hak untuk berbeda (the right of different). Melalui teori dekonstruksi, dengan
Jacques Derrida sebagai motornya, paham ini memutus rantai perdebatan ideologi yang
bertikai beserta seluruh rasionalitas yang membenarkannya. Isme-isme besar itu akan
kehilangan pengikut dan pendukung bersamaan dengan berakhirnya utopia dalam
masyarakat modern. Tidak ada lagi keyakinan sistematis yang dapat menjawab
tantangan-tantangan dunia yang kian kompleks.

The end of History and The last mannya Francis Fukuyama mewartakan kemenangan
kaum kapitalisme."Kita dapat menyaksikan, "demikian katanya…akhir sejarah yang
sedemikian itu: yakni akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi
demokrasi liberal barat sebagai bentuk final dari sistem pemerintahan manusia.”
Pertarungan ideologi mungkin berakhir, tetapi bagi masyarakat dunia ancaman pertikaian
yang lebih besar akan terjadi. Samuel P. Huntington, menulis sebuah artikel yang
kemudian menjadi buku, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.
Sejak tahun 1993, ia mewarningkan kemungkinan benturan antar peradaban dunia, yang
antara lain meliputi budaya, dan agama akan mewarnai dunia di masa depan. Bom di
WTC 11 September 2001, konflik-konflik etnis, dan agama diseluruh dunia, hingga
tragedi Bom Bali I dan II mungkin bisa menyadarkan betapa kita manusia, makhluk
mulia ciptaan Tuhan menjadi sangat kejam akibat dari kesadaran ideologi.

George Ritzer, dari kubu sosialis, jauh-jauh hari telah mengcounter Fukuyama dengan
mengatakan kemenangan kapitalisme disebabkan karena supporting systemnya lebih
mempunyai kekuatan dan kekuasaan, bukan karena teori ini lebih manusiawi, lebih baik,
apalagi lebih benar. Kemunculan pengetahuan ilmiah yang lebih realistis dalam melihat
gejala-gejala sosial akan mendesakralisasi keberadaan ideologi.

Indonesia dalam Pertarungan Ideologi


Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, tak terlepas dari pengaruh
ideologi sejak zaman pra kemerdekaannya. Namun, secara umum perbedaan pandangan
akan ideologi dapat dikemas menjadi sebuah alat pemersatu. Sukarno menulis dalam
Suluh Indonesia Muda, tahun 1926 tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme
sebagai faham-faham yang menjadi roh pergerakan di Indonesia, bahkan di Asia. Tetapi
jauh sebelumnya Indische Partij, Sarekat Islam, I.S.D.V (Indische Sociaal Democratische
Vereniging) telah merumuskan ideologinya masing-masing sebagai alat perjuangan.
Setelah kemerdekaan, pemerintah mulai mengalami kesulitan menangani perbedaan
ideologi-ideologi ini, mulai dari pemberontakan kaum komunis tahun 1948 di Madiun,
DI/TII dan Permesta hingga tragedi PKI tahun 1965. Sejak saat itu, seolah-olah bangsa
Indonesia trauma dengan sejarah pertarungan ideologi. Maka mulailah dijalankan sistem
represif oleh rezim penguasa dengan mewajibkan semua ormas dan orpol menggunakan
satu asas sebagai ideologi, Pancasila. Meski dalam prakteknya sangat ambigu bangsa ini
justru terseret jauh dalam pusaran sistem ekonomi kapitalisme, bahkan kapitalisme global
dengan neoliberalismenya.

Berbeda dengan masa Orde Baru yang menggunakan pendekatan represif, hegemonik,
dan proses indoktrinisasi melalui P4 sebagai alat untuk meneguhkan kekuasaan, sejak era
Reformasi bangsa ini mulai kembali diramaikan oleh berbagai ideologi Islam,
Nasionalisme, Sosialisme, Marhaenisme, Kristen, dan sebagainya. Disisi lain,
terperangkapnya Indonesia ke dalam "ideologi" Pancasila yang ditafsirkan secara
monolitik dan hegemonik oleh penguasa orde baru adalah pengalaman masa lalu. Filsuf,
yang juga pakar etika politik Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ berpendapat, jangan
pernah lagi menyerahkan negara dan bangsa Indonesia ini kepada penafsiran monolitik
dan bias kekuasaan akan ideologi apapun.

Menurutnya, Pancasila ia lebih sepakat menganggapnya sebagai dasar negara lebih tepat
disebut kerangka nilai atau cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan. Lebih
lanjut ia mengatakan, ideologi manapun termasuk komunisme, selalu punya cacat
metodologik yang serius. Alasannya, karena ia telah menyelundupkan serta menyelipkan
kategori paham benar-salah ke dalam politik praktis. Ragam warna ideologi tanah air kita
belakangan ini, dengan berbagai tuntutan seperti penegakan syariah Islam, Pemilu 2009
yang akan datang bisa saja menjadi ajang deideologisasi dunia pendidikan dan memberi
pertimbangan bagi kita bahwa sebaiknya Pancasila tidak disandingkan dengan Ideologi-
ideologi tersebut. Saya sepakat dengan pemikiran Pancasila sebagai ”kontrak sosial”
yang membingkai dan mengelola pluralitas bangsa Indonesia. Sebagai kontrak sosial, ia
berdiri di atas semua ideologi karena ia merupakan suatu dasar kontrak pembentukan
negara Indonesia. Sehingga berarti, jika Pancasila diubah maka niscaya pembubaran
Negara Kesatuan Repulik Indonesia harus dilakukan terlebih dahulu.
Kalau kategori benar-salah itu sudah menjadi sebuah praksis berpolitik, konsekuensi
logikanya jelas, yakni pemerintahan akan menjadi totaliter. Padahal, dalam politik praktis
sebenarnya hanya dikenal kategori baik-buruk dengan beberapa variannya. Kategori
benar-salah itu hanya ada dalam kerangka sebuah teori atau ajaran dan bukan pada
tataran praktis. Inilah yang menjadi tantangan kita dalam melakukan kontekstualisasi dan
implementasi Pancasila. Memandang baik-buruk sebagai problem etika dengan benar
salah sebagai problem teoritis, bukan berarti keduanya bertentangan. Karena setiap yang
baik adalah benar dan setiap yang buruk adalah tidak benar. Seperti curang dalam
perdagangan adalah tidak baik dari sisi etika, tetapi dapat dibuktikan juga bahwa perilaku
tersebut tidak benar karena dalam jangka panjang akan merugikan pelakunya, seperti
sepinya pembeli, atau bahkan lebih halus dari itu yaitu problem psikologi seperti tekanan
mental.

Reformasi, keterpurukan ekonomi, dan beberapa kali amandemen UUD 45 membuat kita
lupa atau setidaknya sedikit mengabaikan prinsip universal Pancasila yang merupakan
kristalisasi kearifan dan kebijaksanaan (wisdom), nilai dan budaya, serta bentangan
sejarah bangsa. Akibatnya, kehidupan kebangsaan yang kita jalankan nampak carut-
marut. Cara hidup beragama yang dikembangkan pun masih melestarikan kekerasan,
konflik, dan aroma truth claim di masyarakat. Perdamaian dan kesepahaman yang
bergaya militeristik tanpa jiwa Pancasila menempa anak bangsa tumbuh dalam
kebengisan, dendam, dan degradasi moral.

Pancasila Sebagai Ideologi alternatif


Banyak yang meragukan bangunan teoritis Pancasila. Bahkan kredo, bahwa pancasila
semacam ideologi “gado-gado” yang tak jelas orientasi dan dasarnya, telah di jadikan
opini kuat yang terseret arus reformasi. Uforia reformasi tak hanya berdampak positif
pada perkembangan demokratisasi, hak asasi manusia, dan desentralisasi. Tetapi
memiliki aspek negativa, di mana nilai-nilai globalisasi dan kosmopolitanisme terbawa
tanpa saringan yang memadai untuk di konsumsi khalayak masyarakat Indonesia.
Benarkah Pancasila masih bisa dijadikan sebagai ideologi bangsa Indonesia, falsafah atau
bahkan pandangan hidup. Ataukah hanya sekadar mitos an sich yang kini makin atos
(keras) dalam terminologi Dawan Rahardjo untuk mengejawantahkannya dalam
kehidupan sehari-hari.

Dari pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa orang semakin tidak peduli terhadap
Pancasila. Maksudnya ada atau tidak adanya Pancasila bukan menjadi persoalan. Seperti
ungkapan di dunia pesantren wujuduhu ka adamihi. Lihat saja negara yang ideology
liberal, banyak yang maju. Hal ini karena tidak terikat oleh doktrin yang totaliter yang
membatasi kebebasan berpikir. Akhirnya merekapun bisa bebas berkreasi dan
berdialektika dalam ranah pengetahuan sebagai pengganti dari ideologi semacam
Pancasila.

Kalau begitu, seperti apakah Pancasila ala Indoensia itu bisa bermain. Dalam kerangka
dan nilai seperti apa ia bisa membangun masyarakat dan negara. Jawabannya bahwa
Pancasila itu dapat menjadi semacam korelasi nilai di negara yang plural dan majemuk.
Sebab, negara yang plural dan majemuk memerlukan landasan nilai. Tanpa Pancasila
sebagai sistem nilai, dalam negara, seolah tidak ada lagi penjaga gawang, garis demarkasi
dan wasit moral. Guna mengatasi persoalan di atas, salah satu solusi yang bisa
ditawarkan ialah: dunia pendidikan memiliki urgensi untuk melakukan reideologisasi ke
dalam internal organnya masing-masing. Namun, agar tak mengulang kesalahan era Orde
Lama, hendaknya reideologisasi tidak lagi menyoal posisi Pancasila.

Pancasila sebagai ideologi negara sudah final, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD
1945. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 adalah prinsip dasar bernegara yang tak bisa
kita ubah. Mengubah Pembukaan UUD 1945, yang memuat suasana batin proklamasi 17
Agustus 1945, sama saja hendak merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sebagai implikasinya, mestinya juga tidak ada lagi partai yang mempolitisasi
Pancasila, misalnya dengan mengklaim seolah-olah hanya kelompoknya sendiri yang
akan mempertahankan Pancasila, namun dengan maksud tersembunyi hendak menyerang
partai lain sebagai kurang atau tidak Pancasilais. Klaim-klaim demikian tidak relevan lagi
jika diletakkan dalam konteks bahwa Pancasila sebagai ideologi bersama sudah bersifat
final dan diterima oleh semua kelompok.

Karena itu, reideologisasi idealnya hanya bermain pada tataran sejauhmana partai-partai
akan mengimplementasikan tujuan negara sesuai visi dan misi masing-masing. Dalam
posisi ini, ideologi partai hanyalah aksentuasi salah satu atau semua aspek tujuan
bernegara dilihat dari sudut visi dan misi partai. Dengan kata lain, kompetisi antarpartai
adalah dalam level implementasi Pancasila. Pancasila sendiri harus didudukkan sebagai
ideologi negara yang berfungsi sebagai pemersatu atau meminjam istilah Cak Nur
(Nurcholish Madjid) common denominator (titik temu) di antara ideologi partai yang
beragam. Mengklaim Pancasila sebagai hanya milik partai tertentu justru mereduksi
posisi Pancasila sebagai ideologi pemersatu ini. Selayaknya hanya TNI, Polri, aparat
birokrasi, dan lembaga-lembaga negara yang tidak partisan, yang secara etis bisa
mengklaim berideologi Pancasila. Sedangkan jika partai-partai melakukan klaim atas
Pancasila, dikhawatirkan sekadar melakukan politisasi atas Pancasila. Seperti PKI pernah
merebut kata “rakyat” dan Masyumi merebut kata “umat”: dua kata yang sebetulnya
milik bersama seluruh bangsa.

Ideology alternatif
Di tengah telikungan kapitalisme global yang dicirikan kondisi pasar dan kekuatan modal
serta arus sosialisme yang dicirikan intervensi total pemerintah, Pancasila sebenarnya
merupakan sumber ideologi alternatif. Sifat dan karakter alternatif Pancasila terletak pada
beberapa hal. Pertama, Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka. Kedua,
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila sifatnya sangat universal. Ketiga, pola
pikir keterkaitan kelima prinsip Pancasila dalam kesatuan, dalam terminologi Prof.
Notonagoro. Ketiganya, secara bersama-sama, menjadi simpul perekat yang
di(ter)manifestasikan sebagai cara hidup (way of life), dasar negara dan pokok pikiran
dalam hukum, kebiasaan (habitus) yang semestinya mewarnai kepribadian bangsa.

Dalam bahasa simbolis kearifan dan kebijaksanaan kultural, kesatuan ketiganya


dilukiskan dengan realitas telur yang selalu ada pada setiap acara ritual selametan atau
kenduri dalam masyarakat Jawa, contohnya. Sebutan telur sebagai akronim tiga yang
berdamai (telu kang akur) atau dalam bahasa Jawa tingkat tinggi (krama inggil) disebut
tigan, menggarisbawahi kesatuan bulat tiga elemen dasar, yaitu kuning telur, putih
telur,dan kulitnya sebagai satu kesatuan utuh. Dalam kearifan dan kebijaksanaan Timur,
satu kesatuan utuh dari realitas telur sekaligus merupakan gambaran signifikansi
keterpaduan sempurna dari cipta, rasa, dan karsa yang menciptakan kedamaian hati dan
kejernihan pikiran.

Demi ”keberlanjutan” NKRI dan kesatuan seluruh warga Indonesia yang aman dan
sejahtera, kembalilah ke sumber ideologi bangsa, yaitu Pancasila, dengan berupaya
menafsirkan, menghayati, dan mengamalkannya secara kultural dalam segenap aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasi sumber ideologi Pancasila dalam
tertib hukum yang tegas dan dijalankan dengan profesionalitas, kesungguhan, dan
dedikasi tinggi akan mengembalikan kepercayaan diri bangsa, menjadi simpul perekat
kesatuan, dan semangat kebersamaan sebagai sebuah bangsa.

Redefinisi dan reimplementasi prinsip-prinsip fundamental Pancasila menjadi tolok ukur


normatif yang akan membuat semua pihak berani untuk bertindak adil dengan kepastian
hukum yang tegas. Bahkan seorang Presiden pun tak perlu merasa terkungkung dalam
keraguan karena ada tolok ukur normatif yakni Pancasila guna menentukan kebijakan,
arah, dan tujuan pemerintahannya. Aparat Kepolisian pun tidak perlu takut dan tertegun
tanpa daya menyaksikan perusakan tempat-tempat ibadah oleh sebagian kelompok
masyarakat tanpa alasan yang jelas, sebab ada tolok ukur normatif bersama.

Upaya Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila


Dalam buku The Meaning of The 20th Century, Kenneth E Boulding, seperti dikutip oleh
Siswono Yudohusodo dalam makalahnya didalam sebuah seminar menyatakan,
"Kebenaran yang diakui benar oleh semua orang bukan ideologi yang patut
diperjuangkan. Kebenaran yang diakui benar oleh sebagian orang adalah ideologi yang
patut diperjuangkan". Agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa tetap
mempunyai semangat untuk diperjuangkan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia, kita
perlu menerima kenyataan belum diterimanya Pancasila oleh semua elemen dalam
masyarakat. Oleh karena itu kita harus terus menggali dan mengkontekstualisaikan nilai-
nilai luhur Pancasila dengan konteks zaman kekinian.

Pada persoalan kegamangan Pancasila secara epistemologi, di ketahui bahwa berbagai


macam ideologi bangsa-negara selalu mengetengahkan pandangan yang memiliki naskah
akademik. Naskah akademik yang di tulis secara serius oleh filosof-filosof yang
berpengaruh. Umpamanya, paham sosialisme-komunis yang di konstruksikan secara
ilmiah oleh Das Capital-nya Karl Marx. Kemudian kapitalis klasik yang disuarakan oleh
filsof moral The Weath of Nation-nya Adam Smith. Terakhir, liberalisme dikemukakan
melalui Essay Concerning Human Understansding. Sedangkan Pancasila, Soekarno-kah
yang bersamaan dengan penerimaan doctor honoris causa dari UGM menolak disebut
pembuat Pancasila. Lalu, bangunan teoritisnya, dari buku yang mana?. Harus diakui
Pancasila belum memiliki sandaran teoretis yang dapat diandalkan.

Inilah kenapa, Pancasila kemudian banyak kritik. Sila pertama ketuhanan di pandang
menyerupai ideologi teokrasi, mirip dengan sistem abad pertengahan di dunia barat, saat
raja-gereja menjadi satu, ataupun sistem khilafah di Timur Tengah, di mana para sahabat
menjadi pemerintah sekaligus badan peradilan. Sila kemanusiaan Pancasilan
mencerminkan bahasa dari paham liberalisme, yang mengagung-agungkan hak asasi
manusia individual ketimbang hak kolektif. Terakhir, kritik pedas pada sila terahir,
keadilan sosial yang mirip konsepsi Marxisme-Leninisme yang hendak menghancurkan
antagonisme kelas. Melihat semuanya, ingin di sama-ratakan.

Pancasila perlu disosialisasikan kembali secara kultural agar dipahami oleh dunia sebagai
landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan
mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan, serta demokratis.
Pancasila harus menjadi sebuah ideologi yang bertipikal pathfinder (kreatif) dalam
menciptakan dan menemukan dataran-dataran baru bagi upaya memahami realitas
kebangsaan kita secara lebih menyeluruh (baca: utuh). Hanya dengan mencapai kondisi
bangsa yang maju, sejahtera, berkeadilan dan demokratis bangsa Indonesia dapat menjadi
salah satu bangsa yang disegani di dunia. Saat itulah Pancasila berpotensi untuk diterima
oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia pun akhirnya dapat berperan sentral dalam
kehidupan internasional.

Bahwa Pancasila bukanlah, sebuah paham asal-asalan, melainkan paham yang sudah
lama terpendam dalam sanubari dan akar kultur masyarakat indonesia sejak 350 tahun
lamanya. Pancasila adalah ”sistem filsafat”. Pancasila memiliki metode holistik,
komprehensif, intregal, dan sistemik. Bukannya, filsafat berisikan nilai-nilai universal
yang terdapat dari Sabang hingga Merouke saja, melainkan memiliki basis epistemik
yang bisa di perdebatkan. Pancasila merupakan kristalisasi Indonesia. Pancasila
memandang Indonesia secara luas, dalam, filosofis, dan menyeluruh. Singkat kata,
Pancasila memandang Indonesia secara keseluruhan, bahkan memandang kepentingan
dunia internasional sekaligus.

Metode holistis yang di gunakan Pancasilan ternyata sejalan dengan perkembangan sains
modern. Di mana pendekatan keilmuan yang dipakai di dalam sains pascamodern telah
mengalami banyak perubahan. Diferensiasi tekno-sains yang telah terfragmentasi begitu
banyaknya luluh lantah dewasa ini. Pendekatan holistis, yang mengedepankan
penyelidikan interdisipliner dalam menanggulangi permasalahan kehidupan manusia
telah berlangsung lama. Persoalan kehidupan manusia tidak bisa diselesaikan dengan satu
disiplin ilmu saja, melainkan dari berbagai ilmu yang terpadu, eksakuantitaif-sosiologis,
filosofis, dan teknologis. Sebagaimana yang dimaksud dengan kesatuan pengetahuan (the
unity of knowledge) oleh Wilson. Ataupun pendekatan holistik dan sistemik yang
diungkapkan oleh Fritjof Capra.

Pancasila menyediakan pendekatan keilmuan melampui modern dan positivisme. Bahkan


boleh di katakan, pendekatan holitis lebih dulu terkandung oleh Pancasila ketimbang di
kampanyekan oleh ilmuwan sains terbaru saat ini. Kita patut bersyukur, bahwa kita
sebenarnya memiliki paham kerangka epistemologi (pancasila) yang melampaui modern
dan positivisme itu. Pemikiran Pancasila tak sebatas yang tertulis dalam teks tanpa
makna. Tetapi Pancasila jelas lima pilar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Pernah menjadi sebuah perdebatan yang menarik, khususnya yang di motori oleh Prof.
Driyarkara yang memandang belum tepatnya jika Pancasila itu masuk ke ranah filsafat.
Masih perlu falsifikasi, verifikasi, dan apalah namanya, yang intinya adalah skema
pendukung Pancasila sebagai sebuah filsafat. Pancasila lebih tepatnya, sebagai jiwa
bangsa.

Pemikiran barat yang mengedepankan rasionalitas, melembagakan budaya berpikir


logosentrisme. Paham yang mementingkan unsur logis saja. Tipikal pemikiran seperti ini
pada umumnya identik dengan pola berpikir para filsof modern. Filsof modern yang di
mulai semenjak renaissance, mengunggul-unggulkan rasionalitas di atas segala-galanya.
Entah itu aliran pemikiran rasionalisme Prancis Rene Descates, Spninoza, Pascal, dst,
maupun empirisme Inggris Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Berkeley. Hingga
pencerahan (aufklarung) di Jerman yang menciptakan aliran besar filsafat idealisme
Immanuel Kant, Hegel, Ficthe, Scelling. Semuanya itu lebih mengedepankan rasionalitas.
Namun, pada akhirnya pemikiran modern pun banyak di gugat oleh rumpun pemikiran
post-modern. Logosentrisme di nilai gagal menjalankan misinya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan manusia yang sesuai dengan kebutuhan manusia-nya. Tekno-sains
berkembang berdasarkan disensus bukan konsensus yang menitik beratkan pada post-
humanisme. Ilmu pengetahuan telah kehilangan kepercayaannya (delegitimasi).

Belakangan ini posisi Neo-Apollonian, pendukung etika ilmiah tradisional dari


rasionalisme dan positivisme, telah diserang habis-habisan karesna telah
menyengsarakan manusia seperti saat ini. Masalah-masalah sekarang ini, kehancuran
lingkungan, terasingnya manusia dari alam dan krisis ideology didalam tubuh sains itu
sendiri, dituduhkan kepada etika rasionalis konvensional. Serangan ini dilancarkan oleh
kalangan Neo-Dionysian atau mistikus-mistikus ilmiah. Serangan kalangan Neo-
Dionysian ini bertolak dari anggapan bahwa rasionalitas ilmiah itu sangat merendahkan
kedudukan manusia didalam masyarakat kontemporer. Jadi tidak dipermasalahkan bahwa
sains memberikan sebuah basis yang baru dan rasional bagi tingkah laku manusia.
Menurut kaum Neo-Dionysian, rasionalitas ilmiah harus diganti dengan sebuah “etika
baru”, etika yang akan mengabsahkan politik ekologi yang sehat dan yang akan
meluaskan sebuah pandangan moral pribadi yang luhur (Sardar, 1989).

Everet Mendelsohn misalnya mengungkapkan : “Bisakah kita menciptakan sebuah ‘cara


mengetahui’ yang baru sebuah epistemology baru yang cocok untuk menangani masalah-
masalah yang ditumbulkan sains didalam sebuah budaya industri dan teknologi tinggi dan
untuk menangani krisis-krisis yang berkaitan, yaitu krisis-krisis yang telah timbul bagi
sesmua ilmu-ilmu kemanusiaan?. Bagaimanakah bentuk ‘cara mengetahui’ yang baru
itu:Bahwa sains sebagai sebuah cara mengetahui dan berbuata perlu diubah hingga
keakara-akarnya adalah suatu yang saya angap sebagai keharusan. Tanda-tanda kini telah
nampak disekeliling kita dan kita masih berpretensi bahwa yang harus kita lakukan
hanyalah bersembunyi kedalam lobang perlindungan untuk menghindari sebuah badai,
hanyalah menunjukkan kebutaan diri kita sendiri.

Lihatlah apakah hubungan sains dan perang. Sudah jelas bahwa salah satu akibat yang
paling merugikan dan paling tragis karena hubungan antara sains dengan otoritas secular
adalah kesediaan sains untuk mengabdi otoritas itu dengan segala kenetralan
yangdikumandakannya. Sains, baik yang merupakan ilmu pengestahuan alam maupun
social, telah menjadi bagian integral dai ssebuah system kekejaman, yaitu sebuah istem
yang menciptakan perang. Berulangkali, sains baik yang merupakan ilmu pengetahuamn
alam maupun social , telah menyatakan bahwa pengetahuan-pengetahuannya adalah
netral dan dapat digunakan untuk maksud baik ataupun jahat. Namun pengetahuan-
pengetahuan itu sendiri didalam perkembangannya tidak pernah mengecam kekejaman.
Karena tidak ada kecaman terhadap kekejaman itu dapatlah kita katakana bahwa
pengetahuan dan teknik itu bisa dibeli untuk melakukan kekejaman. Berbuat kejam
karena lalai tidak kurang celakanya ketimbang berbuat kejam dengan sengaja; ketidak
sengajaan itupun ternyata mempunyai beban normative juga (Mendelsohn, 1973 dalam
Sardar, 1989).

Aliran pemikiran kontemporer, post-modern dan post-strukturalis menolak sebuah narasi


besar. Menolak sebuah hal yang universal. Termasuk penggunaan rasionalitas yang
berlebih-lebihan yang ditentang keras oleh tradisi pemikiran Post-modern. Pembelaan
yang paling akhir terhadap sains sebagai kebenaran obyektif, yakni etika Neo Apollonian
Wineberg mengemukkan bahwa begitu seorang ilmuwan bertekad untuk mengikat
kontrak dengan alam dengan tujuansatu-satunya untuk menemukan hokum-hukum alam,
maka iapun akan menjadi murid alam (Wineberg, dalam Sardar, 1989). Tekad itu sendiri
adalah sebuah petimbangan nilai. Tetapi setelah mengikat kontrak tersebut ilmuwan tidak
dapat menyangkal bukti-bukti yang diberikan alam, bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa hukum-hukumnya adalah impersonal dan bebas nilai. Kesimpulan Wineberg tentu
saja bersifat implicit didalam epistemology etika rasional Neo Apollonian dan
sokongannya terhadap sains sebagai aktivitas manusia yang bebas nilai dan berguna
secara hirarki menjadi semacam keyakinan.
Banyak orang menilai, bahwa pemikiran post-modern bukanlah semacam kerangka
epitemologi baru yang memiliki metodologi yang dapat digunakan secara praksis. Tujuan
post-modern itu adalah membidik kesadaran manusia. Hingga rumpun pemikiran ini juga
disebut, modern yang sadar diri, atau ultramodernisme, atau hipermodernisme. Pemikiran
barat telah banyak mengalami pergeseran. Orang yang semula belajar mengasah otaknya
dengan filsafat dan tekno-sains, tidak hanya di tuntut untuk menguasai ilmunya,
melainkan di pinta untuk memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan keilmuannya.
Keilmuannya yang bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan.

Di era modern, orang belajar fisafat, tetapi tidak menjalankan atau mengamalkan apa
yang dipelajarinya. Bahkan tidak memiliki kesadaran dalam mempelajarinya. Tetapi,
kembali ke konsepsi pemikiran Pancasila, melampui tradisi pemikiran modern dan post-
modern. Yakni menyakini bahwa Pancasila itu bukanlah otak-atik nalar semata,
melainkan juga panduan hidup yang perlu di amalkan dan di implementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Prinsip hikmah berasal dari sila keempat, dengan prinsip hikmah
berarti bangsa Indonesia dalam sikap mental dan tingkah lakunya senantiasa mencintai
hikmah atau mencintai kebenaran terhadap hokum-hukum yang mengatur alam semesta.
Persoalan hikmah adalah persoalan kebenaran atau merupakan persoalan filsafat, ilmu
pengetahuan dan tasawuf. Jika ilmu melihat kebenaran dari luar (berfikir obyektif),
filsafat melihat kebenaran dari dalam (berfikir radikal), tasawuf adalah mengalami
kebenaran itu sendiri untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian antara ilmu, filsafat
dan tasawuf adalah sebagai satu kesatuan. Singkat kata, Pancasila melampaui rasio yang
diunggulkan oleh pemikiran modern, kesadaran oleh pemikiran post-modern, melainkan
sampai pada tahap bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan nyata. Pancasila tidak
hanya untuk dipikirkan, tidak pula di sadari, tetapi juga telah tercermin dalam perilaku
dan interaksi sosial masyarakat Indonesia. hikmah merupakan karunia yang berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu bangunan filsafat dan ilmu pengetahuannya
berlandaskan kepada keyakinan kepada adanyaTuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian
prinsip ilmu untuk ilmu sejauh mungkin dihindari oleh bangsa Indonesia. Karena
kemungkinan besar akan dapat menjerumuskan ilmuwan kesdalam pemikiran netralits
etik. Dengan demikian bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan hati nurani bansa
Indonesia. Demikian pula berarti terdapat kaitan yang sangat erat atara metafisika- etika-
ilmu pengetahuan (hikmah) dan estetika.

Penutup
Sebagaimana tradisi pemikiran timur, yang tidak hanya mengedapankan rasio, tetapi juga
menekankan rasio yang diskursif dan perasaan yang intuitif. Harus ada kesejajaran antara
apa yang dipikirkan, apa yang diucapkan dengan apa yang dikejarkan. Peradaban timur
telah menghasilkan kekayaan yang cukup bermakna bagi kehidupan manusia dunia.
Peradaban yang sarat pemikiran filsafat timur memiliki gayanya sendiri. Beck
menunjukan kebutuhan falsafati timur yang dapat diukur dengan : pengetahuan tentang
kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good) dan tindakan untuk mencapai
kebaikan tertinggi (action for the highest good). Ataupun Blanshard yang menilai bahwa
filsafat timur sebagai kebijaksanaan yang di dasari oleh perasaan (feelings) dan
keinginan/ nafsu/ birahi (desires) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian itu di dasari
oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.

Kebenaran obyektif didalam sains sudah tentu ditarik dari apa yang disebut sebagai
metode ilmiah, yang mencakup pengamatan, eksperimen deduksi, validasi dan usaha-
usaha penyanggahan semuanya menyebabkan akumulasi fakta-fakta obyektif sebagai
tubuh pengetahuan (Sardar, 1989). Pandangan yang sekarang ini diterima mengenai
obyektivitas ilmiah menganggap pengamatan sebagai sebuah pengalaman indera yang
langsung rabaan, penicuman, warna, rasa dan lain-lain. Masalah positivisme ilmiah
memandang pengalaman-pengalaman ini sebagai dasar bagi metode ilmiah. Didalam
situasi-situasi tertentu emosi bisa menjadi senjata terampuh yang dimiliki seorang
ilmuwan. Mengharapkan seorang ilmuwan untuk mengabaikan perasaaan, emosi dan
simpati didalam dirinya adalah sama dengan mengharapkannya untuk menyangkal
kodratnya sendiri. Pengharapan seperti ini sama sekali tidak mungkin dan tak
dikehendaki.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat , Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta : 2002
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai. p. 173
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Faklutas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.
Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of
Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

You might also like