You are on page 1of 7

Sekolah Sebagai Miniatur Masyarakat : Idealisme Pendidikan

Oleh Rum Rosyid

Meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita perlu “membangun dunia
baru.” Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu kiranya harus dimulai dengan
terlebih dahulu “membangun Indonesia baru.” Dan upaya membangun Indonesia baru itu
mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik yang benar-benar lahir dari
kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam Indonesia yang baru itu
diharapkan tiada lagi kalaupun ada kecil peranannya-kelompok elite yang hanya sibuk
berebut kekuasaan dan pengaruh.
Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan untuk
belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-an. Di satu pihak meneruskan
sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan rela berkurban
demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi sistem
pemerintahan sebelumnya, yakni kecenderungan untuk mengganti elite lama dengan elite
yang baru tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap sama. Dengan demikian akan
bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar berorientasi pada semakin
terwujudnya demokrasi.
“Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lanjut Presiden Soekarno dalam
pidatonya di depan Kongres AS itu. “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan
mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,”
sambungnya. Ia sadar bahwa meskipun selama bertahun-tahun bangsa Indonesia telah
beperang melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, jalan menuju demokrasi
masih tetap panjang. Tetapi Bung Karno juga sadar bahwa betapapun panjangnya sebuah
perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama.

Reformasi pendidikan diibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu
akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis
yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya
reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-
mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Setelah melihat keprihatinan mengenai
pendidikan Indonesia serta penyebabnya, yang harus dilakukan adalah kembali ke filosofi
dasar pendidikan. Pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang
menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia.
Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah
dan menentukan hidup manusia. Kesejahteraan suatu bangsa amat bergantung pada
tingkat pendidikannya, apalagi pada zaman sekarang. Kesimpulannya, pendidikan itu me-
manusia-kan manusia muda Pendidikan adalah suatu bentuk hidup bersama yang
membawa manusia muda ke tingkat manusia purnawan. (Driyarkara, 1991).

Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang
struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas
dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah
manajemen lokal (on-site management), pemberdayaan guru, perhatian pada daerah
setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua
peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat
diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya
reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme
monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan
terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi.
Pembaruan pendidikan merupakan suatu proses multi dimensonal yang kompleks, dan
tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan,
tetapi terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem
pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru [Jusuf Amir Faisal, 1995],
dan senantiasa berorientasi pada kebutuhan dan perubahan masyarakat. Oleh karena itu,
upaya pembaruan pendidikan tidak akan memiliki ujung akhir sampai kapanpun. Karena
persoalan pendidikan selalu saja ada selama peradaban dan kehidupan manusia itu sendiri
masih ada. Pembaruan pendidikan tidak akan pernah dapat diakhiri, apalagi dalam abad
informasi seperti saat ini, tingkat obselescence dari program pendidikan menjadi sangat
tinggi. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi yang digunakan oleh
masyarakat dalam sistem produksi dapat mengembangkan teknologi dengan kecepatan
yang amat tinggi kerana ia harus bersaing dengan pasar ekonomi secara global, sehingga
perhitungan efektivitas dan efesiensi harus menjadi pilihan utamanya [Suyanto dan
Hisyam, 2000:17]. Tetapi sebaliknya disisi lain, "dunia pendidikan tidak dapat dengan
mudah mengikuti perkembangan teknologi yang terjadi di masyarakat sebagai akibat sulit
diterapkannya perhitungan-perhitungan ekonomi yang mendasarkan pada prinsip
efesiensi dan efektivitas terhadap semua unsurnya. Tidak semua pembaruan pendidikan
dapat dihitung atas dasar efisiensi dan untung rugi karena pendidikan memiliki misi
penting yang sulit dinilai secara ekonomi, yaitu misi kemanusiaan" [Suyanto dan Hisyam,
2000:17].

Agenda Reformasi Sistem Pendidikan Nasional


Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, negara, maupun
pemerintah. Karena penting, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara
sistimatis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di Republik ini [Suyanto dan
Hisyam, 2000:17]. Upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki
hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang.
Pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan
masyarakat. Maka, mau tidak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan
tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Oleh karena itu, tuntutan perubahan
pendidikan selalu relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum,
proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga-lembaga pendidikan, dan sumber daya
pengelolah pendidikan.
Milenium ketiga baru saja kita masuki. Tentu saja bekal hidup pada milenium tersebut
harus berbeda dengan bekal hidup kita pada milenium kedua, khususnya pada abad ke-
19-20. Kehidupan pada milenium ketiga benar-benar berada pada tingkat persaingan
global yang sangat ketat. Artinya, siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan kualitas
global, akan tersingkir secara alami dengan sendirinya (Suyanto dan Hisyam, 2000:2).
Salah satu paradigma yang berbeda adalah paradigma di dalam aspek stabilitas dan
predikbilitas, bila pada milenium kedua orang selalu berfikir bahwa segala sesuatu itu
stabil dan bisa diprediksi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya
stabilitas (Djamaluddin Ancok, 1998:2).
Ketika dunia menghadapi gerakan globalisasi, Amerika Serikat, dalam dokumen America
2000: An Education Strategy, terdapat enam tujuan pendidikan nasional Amerika Serikat.
Salah satunya bahwa Amerika Serikat memnginginkan memiliki pengaruh secara global.
Maka untuk mencapai cita-cita itu, pendidikan nasional diformulasikan sebagai : US
students will be first in the world in science and mathematics achievement [Suyanto dan
Hisyam, 2000:22]. Dengan demikian, Amerika Serikat dalam salah satu strategi
pendidikannya menginginkan mahasiswa dan para pelajarnya memiliki prestasi yang
unggul di dunia dalam hal menguasai ilmu pengetahuan dan matematika.

Suatu usaha pembaruan pendidikan karena adanya tantangan kebutuhan dan perubahan
masyarakat pada saat itu, dan pendidikan juga diharapkan dapat menyiapkan produk
manusia yang mampu mengatasi kebutuhan dan perubahan masyarakat tersebut. Dengan
demikian, pendidikan sebenarnya lebih bersifat konservatif, karena selalu mengikuti
kebutuhan dan perubahan masyarakat. Sebagai contoh : misalnya, pada masyarakat
agraris, konsep pendidikan didisain agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat pada era tersebut, begitu juga apabila perubahan masyarakat menjadi
masyarakat industrial dan era informasi, maka pendidikan juga didisain mengikuti irama
perkembangan masyarakat industri dan masayarakat era informasi, dan seterusnya.
Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan
ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat.

Untuk menghadapi kondisi milineum ketiga yang semakin tidak bisa diprediksi tersebut,
diperlukan kesiapan sikap mental manusia untuk menghadapi perubahan yang sangat
cepat. Orang tidak bisa lagi bersifat reaktif, hanya menunggu dan menghindari setiap
persoalan atau resiko demi resiko, dengan mempertahankan status-quo. Tetapi pada era
milineum ketiga, orang lebih bersifat proaktif dengan memiliki toleransi atas
ketidakjelasan yang terjadi akibat perubahan dengan tingkat dinamika yang tinggi.
Keran demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana pada masa reformasi
sekarang ini. Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan dapat
segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikan dijadikan prioritas
utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadi fokus utama dalam
reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah saat
ini(Maman Suratman, 2007). Diantara berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
pasca orde baru (orde reformasi), adalah kebijakan di bidang pendidikan yang
menentukan kiprah bangsa ini di masa depan. Niscaya, sumber daya manusia yang
unggul akan dibentuk melalui sistem pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi
pembentuk generasi masa depan. Diharapkan, tidak hanya pemerintah yang
“memikirkan” konsep dan sistem pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung
jawab bersama.

Dalam konsepsi perikehidupan berbangsa dan bernegara yang menuju kearah civil
society sekarang ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin segar sekaligus
kesempatan besar dalam reformasi di segala bidang untuk kemajuan bangsa. Sekali lagi,
pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di masa
depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat pendidikan
dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada kedudukan yang tinggi
pula pada percaturan internasional. Kedaulatan dan keunggulan yang kompetitif di masa
depan bukan milik suatu bangsa atau negara, melainkan hak semua bangsa di dunia dan
mampu diraih bangsa manapun, termasuk kita jika berbenah diri dari sekarang. Upaya
memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan dana saja.
Tapi, harus lebih mendasar dan strategis.

Sistem Pendidikan Nasional perlu direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan
ilmu pengetahuan sebagai arena utama aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya
menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga
penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak bangsa dikembangkan
bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat menumbuh
kembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai
tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik
untuk bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan
mengemban amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan
sejahtera.

Sebagai ilustrasi, pada saat Amerika mengejar kemajuan teknologi ruang angkasa Rusia,
maka pada saat itu pendidikannya ditekankan pada Iptek. Demikian juga pada saat
Amerika mengejar kemajuan ekonomi Jepang dan Jerman, maka pada saat itu
pendidikannya ditekankan pada ekonomi. Dan akhir-akhir ini, ketika dirasakan lemahnya
integrasi bangsa Amerika, maka pendidikan ditekankan untuk membangun integrasi
bangsa (Sizer, 1992). Dengan indikator tersebut, akan menjadi lebih mudah meng-
identifikasikan krisis pendidikan yang terjadi, dengan didasarkan pada indikator yang
diukur dari tidak tercapainya tujuan tekanan pendidikan itu [Anas Syahrul dan Zaidie,
1999:29).

Beberapa usulan langkah-langkah reformasi pendidikan nasional untuk menyongsong


milenium ketiga adalah sebagai berikut :
Pertama, merumuskan visi dan misi pendidikan nasional kita yaitu :
(1) Pendidikan hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokrasi bangsa
sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat
secara demokratis. Menjadikan sekolah sebagai tempat kaderisasi kepemimpinan
nasional dan memasukkan program wajib militer untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.
Memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan,
kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan hidup dan daya juang
kepada anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik.

(2) Terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan berwawasan global yang
memiliki daya saing nasional di percaturan global. Pendidikan hendaknya memiliki misi
agar tercapai partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga secara mayoritas
seluruh komponen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik" (Suyanto dan
Hisyam, 2000:8).

Kedua, isi dan substansi pendidikan nasional yaitu :


(1) Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan
kreativitas siswa dalam totalitasnya. Meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun
menjadi dua belas tahun. Oleh karena itu, tolok ukur keberhasilan pendidikan dasar tidak
semata-mata hanya mengacu pada NEM. Persoalan-persoalan yang terkait dengan
paradigma baru menegnai keberhasilan seseorang perlu mendapatkan perhatian secara
emplementatif.
(2) Substansi pendidikan di jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
hendaknya membuka kemungkinan untuk terjadinya pengembangan individu secara
vertikal dan horizontal. Pengembangan vertikal mengacu pada struktur keilmuan,
sedangkan pengembangan horizontal mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar
bidang keilmuan.
(3) Melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang konprehensif, integratif,
dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin perbaikan yang berkelanjutan,
integratif tak memisahkan aspek moral dan nilai-nilai luhur dari pembelajaran dan
pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada mutu dan meningkatnya daya saing bangsa.
Pendidikan tinggi hendaknya jangan semata-mata hanya berorientasi pada penyiapan
tenaga kerja. Tetapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar mahasiswa
yang memungkinkan untuk berkembang lebih jauh, baik sebagai individu, anggota
masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global.

(4) Memberi perhatian serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang disebabkan
oleh cacat atau kecerdasan luar biasa peserta didik. Pendidikan nasional perlu
mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi
pengelompokan dalam kelas belajar atas dasar kemampuan akademik.

(5) Menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan meningkatkan partisipasi


masyarakat baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pengembangan sekolah perlu menggunakan pendekatan community based education.
Dalam model in, sekolah dikembangkan dengan memperhatikan budaya dan potensi yang
ada di dalam masyarakat itu sendiri. Meningkatkan kualitas pengelolaan manajemen
sekolah dan metode pembelajaran serta menjadikan sekolah tidak lagi sebagai menara
gading yang steril dari analisis kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sekolah bukan hanya
tempat penyelenggaraan pendidikan, tapi juga bisa menjadi pusat latihan, seminar,
workshop, dan studi banding. Sekolah adalah pusat belajar masyarakat di wilayahnya
berada.

(6) Melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek konsep dan
operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
Untuk menjaga relevansi outcame pendidikan, perlu diimplemantasikan filsafat
rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat kebijakan dan praksis pendidikan. Dengan
berorientasi pada filsafat ini, pendidikan akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk
penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya
akan dapat ditanamkan sikap-sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya dalam
konteks kehidupan yang kosmopolis dan plural [Suyanto dan Hisyam, 2000:11-12].

Ketiga, manajemen dan anggaran yaitu :


(1) Perguruan tinggi perlu dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip otonomi dan
accountability quality assurance. Dengan prinsip ini pada akhirnya perguruan tinggai
harus mempertanggungjawabkan kinerja kepada masyarakat, orang tua, mahasiswa,
maupun pemerintah.

(2) Manajemen pendidikan sekolah dasar hendaknya berada dalam satu sistem agar
terjadi efisienei administrasi dan efisiensi pembinaan akademik para guru.

(3) Pendidikan tinggi hendaknya diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip


menajemen yang fleksibel dan dinamis agar memungkinkan setiap perguruan tinggi
untuk berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing dan tuntutan eksternal yang
dihadapinya.

(4) Pengembangan akademik di perguruan tinggi perlu fleksibilitas yang tinggi agar
tercipta kondisi persaingan akademik yang sehat. Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan.

(5) Guru dan dosen harus diberdayakan secara sistematik dengan melihat aspek-aspek,
antara lain : kesejahteraan, rekruitmen dan penempatan, pembinaan dan pengembangan
karier, dan perlindungan profesi. Meningkatknya kompetensi, kesejahteraan,
penghargaan, dan perlindungan terhadap profesi guru tanpa membeda-bedakan status
kepegawaian, PNS atau swasta.

(6) School based management perlu dikembangkan dalam kerangka desentralisasi atau
devolusi pendidikan, agar lembaga-lembaga pendidikan dapat mempertahankan
akuntabilitasnya terhadap stake holder pendidikan nasional. Menumbuhkan kepedulian
masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran masyarakat untuk ambil bagian dalam
pendidikan adalah bentuk dari ketahanan sosial atas perubahan tantangan lingkungan
yang terjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua secara individu per
individu, tetapi itu tanggung jawab komunitas secara bersama.

(7) Mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah Pasal 31 ayat 4
Amandemen IV UUD 1945. Pendidikan hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana
yang cukup memadai agar dapat mengembangkan program-program yang berorientasi
pada peningkatan mutu, relevansi, efisiensi dan pemerataan. Untuk itu, perlu ada
peningkatan anggaran secara signifikan sehingga mencapai 20% dari APBN yang sedang
berjalan. Karena anggaran pendidikan di Indonesia sangat rendah sehingga tidak mempu
untuk mendukung berbagai inovasi di bidang pendidikan (Suyanto dan Hisyam, 2000:11-
13).
Pelaksanaan proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa kebebasan,
kemandirian, dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa yang menjadi peserta
didik bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal keterampilan hidup (life skill)
dan daya juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan untuk memberi
pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ),
dan spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak
bangsa yang menjadi peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang
hayatnya. Tipe bangsa pembelajarlah yang bisa survive menghadapi persaingan global
yang rivalitasnya bukan lagi di tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah
di level individu vs individu. Karena itu, menjadi hajat kita bersama untuk
memperjuangkan perbaikan dan pembangunan dunia pendidikan di negeri ini.

Pada tingkat implementasinya di lapangan banyak hambatan yang menghadang. Di


tingkat implementasi perundang-undangan tersebut menghadapi manusia-manusia yang
belum berubah. Memang, perundang-undangan tersebut diyakini dalam jangka waktu
tertentu jika pelaksanaannya konsisten akan mengubah manusia-manusia Indonesia;
tetapi masalahnya dalam pelaksanaannya reformasi itu melibatkan manusia-manusia yang
belum mengerti reformasi dan tidak ingin mengerti reformasi karena akan merugikan
dirinya jika reformasi dilakukan secara total dan konsisten.
Apabila kita berbicara kemampuan dan kesiapan sebagai anak bangsa, tampaknya kita
belum siap benar menghadapi persaingan global pada milenium ketiga. Tenaga ahli kita
belum cukup memadai untuk siap bersaing di tingkat global. Apabila "dilihat dari
pendidikannya, angkatan kerja kita saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian
besar angkatan kerja (53%) tidak berpendidikan, yang berpendidikan dasar sebanyak
34%, berpindidikan menengah 11%, dan berpendidikan tinggi hanya 2%. Padahal
tuntutan dari dunia kerja pada akhir pembangunan jangka panjang II nanti mengharuskan
angkatan kerja kita berpendidikan" [Boediono, 1997:82]. Sebenarnya sektor pendidikan
menjadi tumpuan harapan dan memiliki peran strategis dan fungsional dalam upaya
membangun dan meningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pendidikan
sebenarnya selalu didesain untuk senantiasa berusaha menjawab kebutuhan dan tantangan
yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan. Tetapi
pada kenyataannya, kondisi "pendidikan kita masih melahirkan mismatch yang luar biasa
dengan tuntutan dunia kerja. Kondisi seperti ini juga berarti bahwa daya saing kita secara
global amat rendah [Suyanto dan Hisyam, 2000:3].

Demikianlah, keberhasilan reformasi seperti ditunjukkan di atas telah dihadang oleh


masalah manusia yang merupakan subjek dan objek reformasi. Ironisnya program
reformasi kita tampaknya tidak memiliki isu yang kuat dan fundamental untuk mengatasi
masalah manusia dalam reformasi ini. Isu yang menyangkut manusia ini sering
diungkapkan dalam bentuk kritik-kritik budayawan kita terhadap pembangunan pada
masa Orde Baru yang mengabaikan manusia, namun sekarang tetap terlupakan.

You might also like