You are on page 1of 18

PERANAN DOKTER DALAM MEMBANTU

PENEGAKAN HUKUM

PENDAHULUAN
Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pinada (tindak
melawan hukum). Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu
forensik diartikan sebagai penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam
penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan
interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat
utama dalam penyidikan tersebut.
Tercatat pertama kali pada abad ke 19 di Perancis Josep
Bonaventura Orfila pada suatu pengadilan dengan percobaan keracunan
pada hewan dan dengan buku toksikologinya dapat meyakinkan hakim,
sehingga menghilangkan anggapan bahwa kematian akibat keracunan
disebabkan oleh mistik.
Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi,
dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal (Eckert,
1980). Revolusi ini merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas
penyidik dalam penegakan hukum.
Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan yang
pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai
parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an metode
dari Bertillon sangat ampuh digunakan pada personal indentifikasi.
Bertillon dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (criminal
identification).
Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik jari dan
mengembangkan metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya
sekarang ini digunakan sebagai metode dasar dalam personal identifikasi.
Leone Lattes (1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran
forensik di Universitas Turin, Itali. Dalam investigasi dan identifikasi

1
bercak darah yang mengering „a dried bloodstain”, Lattes menggolongkan
darah ke dalam 4 klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan O. Dasar klasifikasi ini
masih kita kenal dan dimanfaatkan secara luas sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu
yang dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal
untuk kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut
sering dikenal dengan Ilmu Forensik.
Saferstein dalam bukunya “Criminalistics an Introduction to
Forensic Science” berpendapat bahwa ilmu forensik ”forensic science“
secara umum adalah „the application of science to law”.
Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan
dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam
sesuatu sesuatu dianggap ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada
fakta atau pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat
dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan
hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun
induktif dalam struktur bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika)
dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat luas dengan tidak
mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto 2000).
Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan
suatu keharusan menerapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik
secara ilmiah. Sehingga diharapkan tujuan dari hukum acara pidana,
yang menjadi landasan proses peradilanpidana, dapat tercapai yaitu
mencari kebenaran materiil. Tujuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri
Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 yaitu: untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebanaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari sutau perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat
dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah

2
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang
yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim
tidaklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam
penyidikan dan menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat
berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan
keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan
penegakan kebenaran dalam proses perkara pidana dimaksud. Dalam
pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal istilah ilmu
forensic dan kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan
sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk
kepentingan penegakan hukum dan keadilan.
Ruang Lingkup Ilmu Forensik
Ilmu-ilmu yang menunjang ilmu forensik adalah ilmu kedokteran,
farmasi, kimia, biologi, fisika, dan psikologi. Sedangkan kriminalistik
merupakan cabang dari ilmu forensik. Cabang-cabang ilmu forensik
lainnya adalah: kedokteran forensik, toksikologi forensik, odontologi
forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, antrofologi forensik,
balistik forensik, fotografi forensik, dan serologi / biologi molekuler
forensik. Biologi molekuler forensik lebih dikenal dengan ”DNA-forensic”.
Kriminalistik merupakan penerapan atau pemanfaatan ilmu-ilmu
alam pada pengenalan, pengumpulan / pengambilan, identifikasi,
individualisasi, dan evaluasi dari bukti fisik, dengan menggunakan metode
/ teknik ilmu alam di dalam atau untuk kepentingan hukum atau
peradilan (Sampurna 2000). Pakar kriminalistik adalah tentunya seorang
ilmuwan forensik yang bertanggung jawab terhadap pengujian (analisis)
berbagai jenis bukti fisik, dia melakukan indentifikasi kuantifikasi dan
dokumentasi dari bukti-bukti fisik. Dari hasil analisisnya kemudian
dievaluasi, diinterpretasi dan dibuat sebagai laporan (keterangan ahli)
dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Eckert 1980).
Sebelum melakukan tugasnya, seorang kriminalistik harus mendapatkan
pelatihan atau pendidikan dalam penyidikan tempat kejadian perkara

3
yang dibekali dengan kemampuan dalam pengenalan dan pengumpulan
bukti-bukti fisik secara cepat. Di dalam perkara pidana, kriminalistik
sebagaimana dengan ilmu forensik lainnya, juga berkontribusi dalam
upaya pembuktian melalui prinsip dan cara ilmiah.
Kriminalistik memiliki berbagai spesilisasi, seperti analisis
(pengujian) senjata api dan bahan peledak, pengujian perkakas
(”toolmark examination”), pemeriksaan dokumen, pemeriksaan biologis
(termasuk analisis serologi atau DNA), analisis fisika, analisis kimia,
analisis tanah, pemeriksaan sidik jari laten, analisis suara, analisis bukti
impresi dan identifikasi.
Kedokteran Forensik adalah penerapan atau pemanfaatan ilmu
kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum dan pengadilan.
Kedokteran forensik mempelajari hal ikhwal manusia atau organ manusia
dengan kaitannya peristiwa kejahatan.
Di Inggris kedokteran forensik pertama kali dikenal dengan
”Coroner”. Seorang coroner adalah seorang dokter yang bertugas
melalukan pemeriksaan jenasah, melakukan otopsi mediko legal apabila
diperlukan, melakukan penyidikan dan penelitian semuakematian yang
terjadi karena kekerasan, kemudian melalukan penyidikan untuk
menentukan sifat kematian tersebut.
Di Amerika Serikan juga dikenal dengan ”medical examinar”. Sistem
ini tidak berbeda jauh dengan sistem coroner di Inggris. Dalam
perkembangannya bidang kedokteran forensik tidak hanya berhadapan
dengan mayat (atau bedah mayat), tetapi juga berhubungan dengan
orang hidup. Dalam hal ini peran kedokteran forensik meliputi:
 melakukan otopsi medikolegal dalam pemeriksaan menyenai sebab-
sebab kematian, apakah mati wajar atau tidak wajar, penyidikan ini
juga bertujuan untuk mencari peristiwa apa sebenarnya yang telah
terjadi,
 identifikasi mayat,
 meneliti waktu kapan kematian itu berlansung ”time of death”

4
 penyidikan pada tidak kekerasan seperti kekerasan seksual,
kekerasan terhadap anak dibawah umur, kekerasan dalam rumah
tangga,
 pelayanan penelusuran keturunan,
 di negara maju kedokteran forensik juga menspesialisasikan dirinya
pada bidang kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh obat-obatan
”driving under drugs influence”. Bidang ini di Jerman dikenal
dengan ”Verkehrsmedizin”
Dalam prakteknya kedokteran forensik tidak dapat dipisahkan dengan
bidang ilmu yang lainnya seperti toksikologi forensik, serologi / biologi
molekuler forensik, odontologi forensik dan juga dengan bidang ilmu
lainnya
Toksikologi Forensik,
Toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek
berbahaya zat kimia (racun) terhadap mekanisme biologi. Racun adalah
senyawa yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap
organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,
konsentrasi racun di reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme
atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek
yang ditimbulkan. Lebih khusus, toksikologi mempelajari sifat fisiko kimia
dari racun, efek psikologi yang ditimbulkannya pada organisme, metode
analisis racun baik kualitativ maupun kuantitativ dari materi biologik atau
non biologik, serta mempelajari tindakan-tidankan pencegahan bahaya
keracunan.
LOOMIS (1978) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan
dalam tiga kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi
ekonomi dan toksikologi forensik. Tosikologi forensik menekunkan diri
pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan
peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah analisis racun baik
kualitatif maupun kuantitatif sebagai bukti dalam tindak criminal
(forensik) di pengadilan.

5
Toksikologi forensik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis
racun sebagi bukti dalam tindak kriminal. Toksikologi forensik merupakan
gabungan antara kimia analisis dan prinsip dasar toksikologi. Bidang kerja
toksikologi forensik meliputi:
 analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,
 analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh
atau napas, yang dapat mengakibatkan perubahan prilaku
(menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan bermotor di
jalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping),
 analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang lainnya.
Odontologi Forensik
Bidang ilmu ini berkembang berdasarkan pada kenyataannya
bahwa: gigi, perbaikan gigi (dental restoration), dental protese
(penggantian gigi yang rusak), struktur rongga rahang atas “sinus
maxillaris”, rahang, struktur tulang palatal (langit-langit keras di atas
lidah), pola dari tulang trabekula, pola penumpukan krak gigi, tengkuk,
keriput pada bibir, bentuk anatomi dari keseluruhan mulut dan
penampilan morfologi muka adalah stabil atau konstan pada setiap
individu. Berdasarkan
kharkteristik dari hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai acuan
dalam penelusuran identitas seseorang (mayat tak dikenal). Sehingga
bukit peta gigi dari korban, tanda / bekas gigitan, atau sidik bibir dapat
dijadikan sebagai bukti dalam penyidikan tindak kejahatan.
Psikiatri forensic
Seorang spikiater berperan sangat besar dalam bebagai pemecahan
masalah tindak kriminal. Psikogram dapat digunakan untuk mendiagnose
prilaku, kepribadian, dan masalah psikis sehingga dapat memberi
gambaran sikap (profile) dari pelaku dan dapat menjadi petunjuk bagi
penyidik. Pada kasus pembunuhan mungkin juga diperlukan otopsi
spikologi yang dilakukan oleh spikiater, spikolog, dan pathology forensik,
dengan tujuan penelaahan ulang tingkah laku, kejadian seseorang

6
sebelum melakukan tindak kriminal atau sebelum melakukan bunuh diri.
Masalah spikologi (jiwa) dapat memberi berpengaruh atau dorongan bagi
seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, atau perbuatan bunuh diri.
Entomologi forensic
Entomologi adalah ilmu tentang serangga. Ilmu ini memperlajari
jenis-jenis serangga yang hidup dalam fase waktu tertentu pada suatu
jenasah di tempat terbuka. Berdasarkan jenis-jenis serangga yang ada
sekitar mayat tersebut, seorang entomolog forensik dapat menduga sejak
kapan mayat tersebut telah berada di tempat kejadian perkara (TKP).
Antrofologi forensic
Adalah ahli dalam meng-identifikasi sisa-sisa tulang, tengkorak, dan
mumi. Dari penyidikannya dapat memberikan informasi tentang jenis
kelamin, ras, perkiraan umur, dan waktu kematian. Antrofologi forensik
mungkin juga dapat mendukung dalam penyidikan kasus orang hidup,
seperti indentifiksi bentuk tengkorak bayi pada kasus tertukarnya anak di
rumah bersalin.

Balistik forensik,
Bidang ilmu ini sangat berperan dalam melakukan penyidikan kasus
tindak kriminal dengan senjata api dan bahan peledak. Seorang balistik
forensic meneliti senjata apa yang telah digunakan dalam kejahatan
tersebut, berapa jarak dan dari arah mana penembakan tersebut
dilakukan, meneliti apakah senjata yang telah digunakan dalam tindak
kejahatan masih dapat beroperasi dengan baik, dan meneliti senjata
mana yang telah digunakan dalam tindak kriminal tersebut. Pengujian
anak peluru yang ditemukan di TKP dapat digunakan untuk merunut lebih
spesifik jenis senjata api yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut.
Pada bidang ini memerlukan peralatan khusus termasuk miskroskop
yang digunakan untuk membandingkan dua anak peluru dari tubuh
korban dan dari senjata api yang diduga digunakan dalam kejahatan
tersebut, untuk mengidentifikasi apakah memang senjata tersebut
memang benar telah digunakan dalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini

7
diperlukan juga mengidentifikasi jenis selongsong peluru yang tertinggal.
Dalam penyidikan ini analisis kimia dan fisika diperlukan untuk
menyidikan dari senjata api tersebut, barang bukti yang tertinggal. Misal
analisis ditribusi logam-logam seperti Antimon (Sb) atau timbal (Pb) pada
tangan pelaku atau terduga, untuk mencari pelaku dari tindak kriminal
tersebut. Atau analisis ditribusi asap (jelaga) pada pakaian, untuk
mengidentifikasi jarak tembak.
Kerjasama bidang ini dengan kedokteran forensik sangat sering
dilakukan, guna menganalisis efek luka yang ditimbulkan pada korban
dalam merekonstruksi suatu tindak kriminal dengan senjata api.
Serologi dan Biologi molekuler forensik,
Seiring dengan pesatnya perkembangan bidang ilmu biologi molekuler
(imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang ilmu ini
dalam proses peradilan meningkat dengan sangat pesat. Baik darah
maupun cairan tubuh lainnya paling sering digunakan / diterima sebagai
bukti fisik dalam tindak kejahatan. Seperti pada kasus keracunan, dalam
pembuktian dugaan tersebut, seorang dokter kehakiman bekerjasama
dengan toksikolog forensic untuk melakukan penyidikan. Dalam hal ini
barang bukti yang paling sahih adalah darah dan/atau cairan tubuh
lainnya. Toksikolog forensik akan melakukan analisis toksikologi terhadap
sampel biologi tersebut, mencari senyawa racun yang diduga terlibat.
Berdasarkan temuan dari dokter kehakiman selama otopsi jenasah dan
hasil analisisnya, toksikolog forensik akan menginterpretasikan hasil
temuannya dan membuat kesimpulan keterlibatan racun dalam tindak
kejahatan yang dituduhkan. Sejak awal perkembanganya pemanfaatan
serologi / biologi molekuler dalam bidang forensik lebih banyak untuk
keperluan identifikasi personal (perunutan identitas individu) baik pelaku
atau korban. Sistem penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali
dikembangkan untuk keperluan penyidikan (merunut asal dan sumber
bercak darah pada tempat kejadian). Belakangan dengan pesatnya
perkembangan ilmu genetika (analisi DNA) telah membuktikan, bahwa
setiap individu memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan sidik DNA

8
dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana
sidik jari sudah tidak mungkin bisa diperoleh. Dilain hal, analisa DNA
sangat diperlukan pada penyidikan kasus pembunuhan mutilasi (mayat
terpotongpotong), penelusuran paternitas (bapak biologis). Analisa
serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik bertujuan untuk:
 Uji darah untuk menentukan sumbernya (darah manusia atau
hewan, atau warna dari getah tumbuhan, darah pelaku atau
korban, atau orang yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan
tersebut)
 Uji cairan tubuh lainnya (seperti: air liur, semen vagina atau
sperma, rambut, potongan kulit) untuk menentukan sumbernya
(“origin”).
 Uji imonologi atau DNA individu untuk mencari identitas seseorang.

Farmasi Forensik
Bidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang
berkaitan erat dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan.
Farmasi adalah seni dan ilmu meracik dan menyediaan obat-obatan, serta
penyedian informasi yang berhubungan dengan obat kepada masyarakat.
Seperti disebutkan sebelumnya, forensik dapat dimengerti dengan
penerapan/aplikasi itu pada issu-issu legal, (berkaitan dengan hukum).
Penggabungan kedua pengertian tersebut, maka Forensik Farmasi
dapat diartikan sebagai penerapan ilmu farmasi pada issu-issu legal
(hukum) (Anderson, 2000). Farmasis forensik adalah seorang farmasis
yang profesinya berhubungan dengan proses peradilan, proses regulasi,
atau pada lembaga penegakan hukum (criminal justice system)
(Anderson, 2000). Domain dari forensik farmasi adalah meliputi, farmasi
klinik, aspek asministrativ dari farmasi, dan ilmu farmaseutika dasar.
Seorang forensik farmasis adalah mereka yang memiliki spesialisasi
berkaitan dengan pengetahuian praktek kefarmasian. Keahlian praktis
yang dimaksud adalah farmakologi klinik, menegemen pengobatan, reaksi
efek samping (reaksi berbahaya) dari obat, review/evaluasi (assessment)

9
terhadap pasien, patient counseling, patient monitoring, sistem distribusi
sediaan farmasi dan alat kesehatan, dan lain-lainnya. Seorang forensik
farmasis harus sangat terlatih dan berpengalaman dalam mereview dan
menganalisa bukti-bukti dokumen kesehatan (seperti rekaman/catatan
medis) kasus-kasus tersebut, serta menuangkan hasil analisanya sebagai
suatu penjelasan terhadap efek samping pengobatan, kesalahan
pengobatan atau kasus lain yang dikeluhkan (diperkarakan) oleh pasien,
atau pihak lainya.
Bidang ilmu Forensik lainnya
Selain bidang-bidang di atas masih banyak lagi bidang ilmu forensik
Pada prinsipnya setiap bidang ranah keilmuan mempunyai aplikasi pada
bidang dirensik, seperti bidang yang sangat trend sekarang ini yaitu
kejahatan web, yang dikenal syber crime, merupakan kajian bidang
kumperter sain, jaringan, IT, dan bidang lainnya seperti akuntan forensik.
Peran ilmu forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan
Perdanakusuma (1984) mengelompokkan ilmu forensik berdasarkan
peranannya dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal ke dalam tiga
kelompok, yaitu:
1. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah
hukum. Dalam kelompok ini termasuk hukum pidana dan hukum
acara pidana. Kejahatan sebagai masalah hukum adalah aspek
pertama dari tindak kriminal itu sendiri, karena kejahatan
merupakan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
2. Ilmu-Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai
masalah teknis. Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis,
karena kejahatan dari segi wujud perbuatannya maupun alat yang
digunakannya memerlukan penganan secara teknis dengan
menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara
pidana. Dalam kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran
forensik, kimia forensik, fisika forensik, toksikologi forensik,
serologi/biologi molekuler forensik, odontologi forensik, dan
entomogoli forensik. Pada umumnya suatu laboratorium

10
kriminalistik mencangkup bidang ilmu kedokteran forensik, kimia
forensik dan ilmu fisika forensik. Bidang kimia forensik mencangkup
juga analisa racun (toksikologi forensik), sedangkan ilmu fisika
forensik mempunyai cabang yang amat luas termasuk: balistik
forensik, ilmu sidik jari, fotografi forensik. Apabila terjadi suatu
kasus kejahatan, maka pada umumnya timbul
pertanyaanpertanyaan seperti:
a. Peristiwa apa yang terjadi?
b. Di mana terjadinya?
c. Bilamana terjadinya?
d. Dengan alat apa dilakukannya?
e. Bagaimana melakukannya?
f. Mengapa perbuatan tersebut dilakukan?
g. Siapa yang melakukan?
Pertanyaan peristiwa apa yang terjadi adalah mencari jenis
kejahatan yang terjadi,misalnya pembunuhan atau bunuh diri.
Dengan bantuan ilmu kedokteran forensic atau bidang ilmu lainnya,
dapat disimpulkan penyebabnya adalah bunuh diri. Oleh sebab itu
penyidik tidak perlu melakukan penyidikan selanjutnya guna
mencari siapa pelaku dari peristiwa tersebut, karena kematian
diakibatkan oleh perbuatannya sendiri.
3. Ilmu-ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah
manusia. Dalam kelompok ini termasuk kriminologi, psikologi
forensik, dan psikiatri/neurologi forensik. Kejahatan sebagai
masalah manusia, karena pelaku dan objek penghukuman dari
tindak kriminal tersebut adalah manusia. Dalam melakukan
perbuatannya, manusia tidak terlepas dari unsur jasmani (raga)
dan jiwa. Disamping itu, kodrat manusia sebagai mahluk sosial,
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu
perbuatan yang dilakukan juga dipengaruhi oleh faktor internal
(dorongan dari dalam dirinya sendiri) dan faktor eksternal
(dipengaruhi oleh lingkungannya). Atas asas keadilan, dalam

11
pemutusan sangsi dari tindak pidana, perlu ditelusuri faktor-faktor
yang menjadi sebab seseorang itu melakukan kejahatan. Untuk itu
perlu diteliti berbagai aspek yang menyangkut kehidupannya,
seperti faktor kejiwaan, keluarga, dan faktor lingkungan
masyarakatnya. Seseorang melakukan tindak kriminal mungkin
didorong oleh latar belakang kejiwaannya, atau karena keadaan
ekonomi keluarganya, ataupun karena pengaruh dari keadaan sosial
masyarakatnya. Dalam hal ini peran serta kriminolog, psikolog
forensik, dan psikiater forensic mempunyai peran penting dalam
menyelesaikan kasus kejahatan.
Berdasarkan klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan
masalah / kasus-kasus kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan
dari masalah teknis dan manusia. Sehingga pada umumnya laboratorium
forensik dimanfaatkan untuk kepentingan peradilan, khususnya perkara
pidana.
Langkah-langkah Penyidikan
Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia, peradilan
perkara pidana diawali oleh penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
tunggal (lebih tepatnya penyidik umum) yang dilakukan oleh kepolisian
(Polri), dalam khasus-khasus khusus (tindak kejahatan ekonomi dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia) pihak kejaksaan dapat melakukan
penyidikan. Sampurna (2000) menggambarkan proses penyidikan sampai
ke persidangan (gambar 1.1). Upaya penyidikan pada umumnya
bermuara pada proses penuntutan dan disusul oleh proses pengadilan.
Proses ini dikenal sebagai upaya litigasi. Upaya penyidikan dilakukan
setelah suatu peristiwa atau kejadian dianggap peristiwa hukum, yaitu
peristiwa atau kejadian yang dapat mengganggu kedamaian hidup antar
pribadi. Lingkup antar pribadi khususnya antara seseorang (memikul
kepentingan pribadi) dihadapkan dengan masyarakat atau negara yang
memikul suatu kepentingan umum. Penyelasaian kasus-kasus kriminal
diperlukan pembuktian peristiwa kasus yang terjadi sampai membuktikan
pelaku yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut. Pembuktian dari

12
suatu perkara pidana adalah upaya untuk membuktikan bahwa benar
telah terjadi tindak pidana yang diperkarakan dan bahwa si terdakwalah
pelaku tindak pidana tersebut.
Pembuktian dilakukan dengan mengajukan alat bukti yang sah ke
depan persidangan. Guna mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaraan materiil, dalam pembuktian (penyidikan dan pemeriksaan
bukti fisik) harus dilakukan pembuktian secara ilmiah.
Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang sesuai dengan hukum,
yaitu memenuhi prisip ”admissibility” (dapat diterima) sebagaimana
diatur oleh perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184 ayat 1
menyebutkan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari 5 jenis, yaitu:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Pengertian keterangan saksi menurut KUHAP adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dan
dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. Keterangan
saksi tidak boleh berupa pendapat atau hasil rekaan saksi, ataupun
keterangan dari orang lain (KUHAP pasal 185). Ketentuan keterangan
saksi diatur dalam pasal 168, 170, 171 dan 185 KUHAP. Dalam pasal-
pasal tersebut mengatur ketentuan keterangan saksi siapa-siapa yang
berhak, tidak berhak, atau berkompeten menjadi saksi pada suatu tindak
pidana. Keterangan saksi dianggap sah apabila diajukan oleh sedikitnya
dua orang saksi. Bila berasal dari satu orang saja, harus didukung oleh
alat bukti sah lain. Keterangan saksi juga harus diberikan oleh orang yang
berkompeten, yaitu orang yang mampu secara hukum. Orang disebut
berkompeten apabila tidak di bawah umur dan tidak di dalam
pengampuan, misal sakit jiwa.

13
Perngertian umum keterangan ahli, sesuai dengan pasal 1 butir 28
KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 KUHAP
menjelaskan bahwa: keterangan ahli dapat diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum yang dituangkan
dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal tersebut diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh tim penyidik atau jaksa penuntut umum,
maka pada pemeriksaan di sidang, diminta keterangan dan dicatat dalam
berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan sebelum
mengucapkan sumpah janji di depan hakim. Pasal 187 memuat ketentuan
tentang surat sebagaimana tersebutkan pada pasal 184 hurup c, surat
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat
berupa:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat, atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tetang keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat yang menangani hal
yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu
keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya yang diminta secara resmi dari padanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksudkan surat menurut penjelasan diatas adalah surat yang
dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte,

14
surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan
dengan perkara yang sedang diadili.
Petunjuk menurut KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat berupa fotografi, foto
kopi, kaset rekaman, rekaman vidio, atau barang bukti lainnya yang
diketemukan di tempat kejadian perkara (TKP). Barang bukti tersebut
dapat digunakan sebagai rekonstruksi kasus atau penelusuran identitas
pelaku. Alat yang paling terakhir menurut KUHAP adalah keterangan
terdakwa, merupakan keterangan dari terdakwa tentang apa yang ia
lakukan, ia ketahui sendiri, atau ia alami sendiri.
Bukti fisik yang diketemukan di TKP dapat dikelompokkan menjadi
4 (Sampurna 2000), yaitu:
a. Bukti transient. Bukti ini sesuai dengan sifatnya hanya sementara
dan akan dengan mudah hilang atau berubah. Sebagai contoh
adalah: buah-buahan, suhu, imprints dan indentation (tanda-tanda
yang ditimbulkan akibat tekanan, seperti tanda jejak sepatu, atau
tapak ban mobil pada kasus kecelakaan bermotor), tanda-tanda
seperti lembam mayat, jejak bibir di puntung rokok, bercak darah di
pakaian yang akan dicuci, dll. Bukti seperti ini diketemukan oleh
penyidik di TKP, dan harus segera dicatat dan didokumentasikan.
b. Bukti pola, seperti percikan bercak darah, pola pecahan kaca/gelas,
pola kebakaran, pola posisi furnitur, trayektori proyektil, dan posisi
mayat, dll.
c. Bukti kondisional, seperti derajat kekakuan mayat, distribusi
lembam mayat, apakah pintu terkunci, apakah lampu menyala,
ketebalan dan arah geraknya asap.
d. Bukti yang dipindahkan (transfer), yang merupakan bukti fisik yang
paling klasik. Bukti transfer terjadi karena kontak antara orang-
orang atau benda-benda, atau antar orang dengan benda.

15
Dalam kriminalistik dikenal dua prinsip utama, yaitu: prinsip Locard
yang menyatakan bahwa setiap kontak meninggalkan jejak ”every
contact leaves a trace” dan prinsip individualitas yang menyatakan bahwa
dua objek mungkin tidak dapat dibedakan, tetapi tidak ada dua objek
yang identik. Gabungan kedua prisip ini dapat diturunkan suatu
pernyataan bahwa apabila tidak ada dua orang atau benda yang identik,
maka setiap jejak yang ditinggalkan orang atau benda harus berbeda
dengan jejak orang atau benda yang lain.
Ahli forensik dan kriminilalistik berperan dalam upaya pembuktian
dengan menyediakan dua alat bukti yang sah, yaitu keterang ahli dan
surat (yang dibuat oleh ahli). Dalam hal ini keterangan ahli tidak dibatasi
dengan ketentuan tentang ”yang merupa-kan hal-hal yang dialami atau
didengar atau dilihat sendiri oleh saksi”, melainkan diberi peluang untuk
memberikan pendapat atau opini berdasarkan keahliannya, sepanjang
ketentuan yang berlaku.
Keterangan ahli atau surat keterangan oleh ahli harus diberikan
oleh seseorang ahli yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan berisikan
keterangan yang berada dalam lingkup keahliannya (bukan keterangan
bersifat awam) (Sampurna, 2000). Dalam memberikan atau menuliskan
pendapat atau opini seorang ahli harus berdasar-kan hasil temuan atau
data adekuat baik yang diperoleh dari pemeriksaan bukti fisik maupun
dengan membandingkannya terhadap data di literatur, referensi ilmiah
yang terkini, dan secara teknis dianggap benar, serta menggunakan
prinsip dan metode ilmiah yang diakui.
Pendapat ahli satu dengan yang lainnya tentang suatu hal tentu
dapat berbeda, hal ini berdasarkan latar belakang keahliannya (ilmu yang
mendasari dalam membuat keterangan), kecanggihan teknologi dari alat
yang digunakan memeriksa barang bukti, metode analisis, dan berbagai
aspek lainnya. Sehingga pemeriksaan kriminalistik harus diberi peluang
untuk melakukan pemeriksaan ulang, baik oleh institusi yang sama
maupun institusi yang lain. Secara tradisi di Indonesia, bahwa sejak lama
keputusan apakah di dalam pemecahan suatu kasus pidana atau perdata

16
diperlukan bukti-bukti ilmiah tidak berada ditangan para ahli forensik atau
kriminalistik melainkan di tangan para penegak hukum. Para ahli forensik
dan kriminalistik cendrung bersikap sebagai pendukung saja di dalam
suatu proses peradilan pidana atau perdata. Hal ini tentunya merupakan
kendala dalam pembuktian secara ilmiah kasus pidana maupun
penegakan hukum. Akan tetapi di lain sisi sesuai dengan Keputusan
Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 dituntut pembuktian
secara ilmiah dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil.
Untuk itu diperlukan kerjasama antara aparat penegak hukum dan ahli
forensik. Meskipun demikian harus diakui pula bahwa pada akhir-akhir ini
memang sedang terjadi pergeseran peran ahli forensik, yaitu dari bersifat
pasif menjadi akfit. Sampurna (2000) menggambarkan bahwa ahli
forensik maupun kriminalistik dapat terlibat pada setiap tahap peyidikan.

Gambar 1.1: Skema langkah-


langkah penyidikan

17
DAFTAR RUJUKAN
1. Arianto FR, SH. Peranan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam
Pembuktian Tindakan Pidana. Available from
http://fannyraharjo.wordpress.com/2009/05/19/peran-ilmu-
kedokteran-forensik-dalam-pembuktian-tindak-pidana/ last update
2009
2. Sempurna B, Peranan Kedokteran Forensik dalam Kasus-kasus

Asuransi, available from


http://www.freewebs.com/peranforensicmedicine/asuransiforensik.
htm last update 2009
3. Prasetyo KD. Peranan Visum Et Repertum dalam Pemeriksaan

Perkara Pidana pada Tahap Penyidikan. Available from


http://www.pustakaskripsi.com/peranan-visum-et-repertum-dalam-
pemeriksaan-perkara-pidana-pada-tahap-penyidikan-1659.html last
update 2010
4. Aji J P. Peranan Kedokteran Forensik dalam Praktek Peradilan

Pidana. Available from


http://digilib.uns.ac.id/abstrak_1854_peranan-kedokteran-forensik-
dalam-praktek-peradilan-perkara-pidana-%28studi-kasus-di-
pengadilan-negeri-purworejo%29.html last update 2009
5. Human Genome Project Information. DNA Forensic. Available from

http://www.ornl.gov/sci/techresources/Human_Genome/elsi/forensi
cs.shtml last update 2009

18

You might also like