You are on page 1of 21

Laporan Kegiatan

Sosialisasi dan Simulasi Pemilu Legislatif


Bagi Kalangan Komunitas Masyarakat
Marginal Kabupaten Labuhanbatu
2009

1
LAPORAN SOSIALISASI DAN SIMULASI PEMILU
PEMILU LEGISLATIF
BAGI KALANGAN KOMUNITAS MASYARAKAT MARGINAL
KABUPATEN LABUHANBATU 2009

A. PENDAHULUAN

Setelah berbulan-bulan DPRRI melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-


Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) akhirnya hanya menghasilkan kesepakatan
remeh-temeh. Misalnya pemberian suara dengan cara memberi tanda (menulis)
menggantikan cara coblos (tusuk). Soal yang remeh-temeh itu bahkan masuk kategori
pasal alot. Namun, dalam UU Pemilu ini poin Penentuan calon terpilih adalah yang
paling akhir dibahas karena bersentuhan langsung dengan kepentingan besar partai
dalam hal perebutan kursi di DPR dan DPRD. Senin, 3 Maret 2008 DPR RI beserta
pemerintah telah merampungkan pembahasan RUU Pemilu yang akan digunakan
sebagai aturan main penyelenggaraan Pemilu 2009.

Berbarengan dengan disahkannya UU Pemilu, terbitlah kerumitan baru. Harus diakui


ada perubahan menuju representasi yang semakin baik dengan dilonggarkannya
aturan soal Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Pada Pemilu 2009, caleg hanya perlu
mengumpulkan suara setara dengan 30 % BPP untuk meraih kursi DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun, ketentuan ini tak berhenti di situ. Ada
sejumlah kondisi di mana caleg terpilih harus ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Menurut Pasal 214, kondisi itu adalah, Pertama, calon yang memenuhi 30% BPP lebih
banyak dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik. Kedua, jika terdapat dua calon
atau lebih yang memenuhi 30% BPP dengan perolehan suara sama, penentuan calon
terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil. Ketiga, apabila
calon yang memenuhi 30% BPP kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai
politik, kursi diberikan kepada calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut. Dan
keempat, dalam hal tak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30%
BPP, calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut. Jelas sekali ketentuan ini
berpretensi menggelembungkan "kekuasaan" di tangan parpol. Tanpa ada perubahan
cara parpol dalam menetapkan siapa mendapat nomor urut jadi dan siapa pula yang
sekadar dapat nomor urut sepatu, hakikatnya syarat 30% BPP tidak kian
meningkatkan nilai representasi anggota legislatif terhadap massa pemilih.1

Sistem yang digunakan pada seluruh pemilu pada masa Orde Baru sampai Pemilu 1999
adalah sistem proporsional dengan daftar tertutup (PR Closed List). Baru pada Pemilu
2004 yang berdasarkan UU No 12/2003 menggunakan sistem proporsional dengan
daftar calon terbuka. Akan tetapi, karena penetapan calon terpilih masih dibatasi
dengan perolehan suara sebesar BPP, kita akhirnya mengetahui bahwa sistem
proporsional yang namanya terbuka telah berjalan sebagai sistem yang tertutup
(sedikit terbuka). Dan dalam pelaksanaan pemilu, persaingan di antara para calon
dalam satu partai juga akan sulit berkembang sehat. Sebab, dalam pemilu, beban calon
yang berada pada nomor urut calon "jadi" akan lebih ringan dibandingkan calon yang
berada pada nomor urut bawah. Para calon pada nomor urut bawah, untuk
keberhasilan dalam pemilu harus berusaha ekstra keras. Namun, tetap kecil kepastian
untuk bisa terpilih.

1
Moh Sasul Arifin dalam “Kerumitan Teknis Pemilu 2009”, www.pikiran-rakyat.com

1
Bagi masyarakat pemilih, sistem pemilu yang terbuka sedikit juga akan memberi
dampak terhadap kepeduliannya kepada calon-calon terpilih. Masyarakat akan lebih
peduli kepada wakil rakyat pilihannya. Kepedulian dapat dalam bentuk berupaya
melakukan komunikasi, berlaku kritis, dan terus mengawasi. Suatu wujud kepedulian
tinggi yang seharusnya tercipta dalam perbaikan demokrasi di Indonesia. Namun, hal
tersebut akan sangat sulit tercipta kalau wakil rakyat dari daerah pemilihannya bukan
karena mendapat suara terbanyak, tetapi karena posisi nomor urutnya, sebagai
cerminan yang lebih dikehendaki oleh partai politiknya.2

Sejalan dengan itu, beberapa partai politik dalam menentukan calon terpilih pada
Pemilu 2009 menganut sistem suara terbanyak. Padahal, Undang-Undang Pemilu yang
dihasilkan oleh wakil partai politik di DPR menetapkan lain. Yaitu calon terpilih
ditentukan berdasarkan nomor urut dan 30% BPP. Sedikitnya terdapat 9 parpol yang
akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan caleg 2009 kala itu.
Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP, dan
PNBK.

PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 persen BPP,
namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut. Sedangkan PNBK menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan.

Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang
dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-
Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan
perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari BPP di daerah pemilihan
tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan
ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua,
dengan menggunakan suara terbanyak dengan menyampingkan nomor urut (sistem
proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan undang-undang.

Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi
karena telah mengembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor
urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan
nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang
caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan
partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat atau konstituennya. Hal ini biasanya
akan menimbulkan split loyality di dalam internal partai di mana kader partai yang
duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih
yang menjadi konstituennya.

Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi


antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam
sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan sama untuk menjadi caleg terpilih.
Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk memopulerkan diri dan
meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar
mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-
programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi
ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil - sering kali dalam

2
Hadar N Gumay, Sistem Pemilu 2009: Terbuka, Tetapi Sedikit (4)

2
proses ini terjadi politik uang - padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji di
tengah masyarakat.3

Mengenai penetapan calon terpilih yang diatur dalam UU Pemilu sepintas terlihat UU
ini demokratis. Tetapi dalam praktik tidak. Karena dengan sistem multipartai seperti
saat ini, alangkah sulitnya seorang calon mencapai 30% suara. Dengan menetapkan
angka 30% dari BPP, sesungguhnya perancang undang-undang yang didominasi
kalangan partai politik tidak ingin melepas hegemoninya sebagai penentu nasib
seorang calon. Nomor urut tetap dijadikan senjata yang membelenggu.

Beberapa parpol secara internal telah memberlakukan sistem itu. Tetapi, kesepakatan
internal itu berujung konflik di pengadilan karena Komisi Pemilihan Umum hanya
berpegang pada undang-undang. Kesepakatan internal partai lebih rendah kedudukan
hukumnya daripada undang-undang. Karena itu, ketika mereka yang bersepakat
mengingkari kesepakatannya, KPU mementahkan kesepakatan internal dan
memenangkan nomor urut yang diberi tempat oleh undang-undang. Ada
kekhawatiran bahwa membebaskan para calon bersaing memperoleh suara terbanyak
membuka peluang bagi orang-orang berduit membeli suara rakyat sehingga demokrasi
dan keterwakilan kehilangan makna. Kekhawatiran ini tidak beralasan. Rakyat tidak
semuanya memilih karena uang. Mereka memilih karena suka. Bila seseorang menebar
uang kepada semua pemilih dan kemudian memenangi suara terbanyak karena rakyat
suka, tidak ada salahnya. Paling tidak dia memenuhi syarat yang paling hakiki, yaitu
didukung suara pemilih terbanyak. Kedaulatan rakyat terpenuhi. Daripada rakyat tidak
merasa memilih, tetapi seseorang bisa duduk di kursi DPR/DPRD karena nomor urut
menetapkan seseorang menjadi wakil rakyat dari daerah tertentu. Ini menyalahi asas
kedaulatan rakyat.

Sistem suara terbanyak sesungguhnya memenuhi asas kompetisi dan kemenangan.


Kemenangan sebuah kompetisi harus ditentukan keunggulan kuantitatif. Adalah tidak
masuk akal ketika seorang calon yang perolehan suaranya lebih rendah dinyatakan
sebagai pemenang karena berada pada nomor urut yang lebih baik. Sistem suara
terbanyak tidak ada kaitannya sama sekali dengan sistem federalisme atau distrik.
Suara terbanyak, dalam sistem apa pun, adalah esensi dari kemenangan dalam sebuah
pemilu. 4

Pilihan partai-partai yang beralih ke suara terbanyak paling tidak memperlihatkan


bahwa dalam soal legislasi para wakil rakyat yang merupakan orang-orang partai
berpikiran pendek. Mereka tidak melihat jauh ke depan ketika menyepakati sebuah
undang-undang. Mereka setuju dengan sistem nomor urut dan 30% BPP, tetapi
mereka sendiri yang menganulirnya secara internal. Mengapa? Karena suara terbanyak
ternyata mampu menggelorakan mesin partai.

Agar tidak membuka ruang abu-abu bagi kepastian hukum, banyak kalangan
menganjurkan DPR agar mengamendemen secara terbatas UU Pemilu No 10/2008.
Paling tidak ditambahkan satu kalimat bahwa 'KPU membuka ruang bagi partai-partai
memberlakukan kesepakatan internal dalam menentukan calon terpilih'. Dengan
hanya satu kalimat itu, sengketa tentang kedudukan dan konstruksi hukum
diselesaikan.

3
Benni Inayatullah, Suara Terbanyak dan Konflik Hukum, Jurnal Nasional, 27 Agustus 2008
4
Lihat Pemberitaan Harian Media Indnesia, Dari Nomor Urut ke Suara Terbanyak, Selasa, 12 Agustus 2008

3
Sistem nomor urut yang selama ini disukai parpol adalah senjata ampuh yang
melestarikan hegemoni partai. Terutama hegemoni segelintir elite partai yang duduk
di kepengurusan. Tanpa bersusah payah, mereka dengan mudah menjadi anggota
DPR/DPRD walaupun yang memilih tidak ada.

Seperti banyak juga diketahui, sistem nomor urut menjadi ajang korupsi politik karena
mereka yang memiliki uang membayar partai untuk memperoleh nomor-nomor
prioritas. Sistem itu juga menyebabkan ada sejumlah cukong politik yang terus-
menerus diperas parpol. Karena itu, sistem suara terbanyak adalah pilihan yang paling
bagus. Karena yang menjadi anggota DPR/DPRD adalah mereka yang betul-betul
memenangi mayoritas suara pemilih. Di sini pemilu menemukan hakikatnya. Yaitu
memilih, bukan menunjuk. 5

Akhirnya suara rakyat dalam pemilu kini dihormati, menyusul Keputusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Dengan demikian, calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2009 tidak bisa
berdasarkan nomor urut, tetapi harus meraih suara terbanyak. Putusan MK itu
menanggapi permohonan uji materi yang diajukan Mohammad Sholeh, Sutjipto, Septi
Notariana, dan Jose Dima S. Sholeh adalah caleg dari PDI-P untuk DPRD Jawa Timur.
Sutjipto dan Septi adalah caleg dari Partai Demokrat untuk DPR. Jose adalah warga
negara biasa. MK hanya mengabulkan permohonan mereka yang terkait penentuan
caleg terpilih. 6

MK menyatakan, Pasal 214 bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat.


Pasal 214 Huruf a-e menyatakan, ”Calon terpilih adalah calon yang mendapatkan
suara di atas 30 persen BPP, atau menempati nomor urut kecil jika tidak memperoleh
30 persen BPP, atau menempati nomor urut kecil jika memperoleh BPP.”

Menurut MK, ketentuan Pasal 214 inkonstitusional karena bertentangan dengan


makna substantif kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat 1 UUD
1945. Penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut adalah pelanggaran
kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat tidak diindahkan dalam penetapan caleg.

MK menilai kedaulatan rakyat dan keadilan akan terganggu. Jika ada dua caleg yang
mendapatkan suara yang jauh berbeda ekstrem, terpaksa caleg yang mendapatkan
suara terbanyak dikalahkan caleg yang mendapatkan suara kecil, tetapi nomor urut
lebih kecil. MK juga menyatakan, memberi hak kepada caleg terpilih sesuai nomor
urut sama artinya dengan memasung suara rakyat untuk memilih caleg sesuai
pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi caleg terpilih berdasarkan suara
terbanyak.

Putusan MK yang menetapkan caleg berdasarkan suara terbanyak akan memulihkan


sistem demokrasi di Indonesia karena membuka ruang bagi persaingan para caleg di
pusat dan daerah. Suara terbanyak menjadi satu kata kunci bagi setiap caleg agar
dirinya memperoleh satu kursi kehormatan di gedung dewan. Sehingga tidak
dipungkiri antara sesama caleg pada satu parpol juga terjadi kompetisi yang ketat.
Sebab, jumlah caleg memang cukup banyak, akibatnya mereka harus menggunakan
segala cara baik yang halal maupun yang haram untuk bisa mendapat suara terbanyak.
Akhirnya, dengan adanya putusan MK ini terjawab sudah satu persoalan khususnya
mengenai penetapan calon terpilih.

5
Lihat Pemberitaan Harian Media Indonesia, Beralih ke Suara Terbanyak, Selasa, 19 Agustus 2008
6
Lihat Pemberitaan Harian Kompas, Caleg Terpilih oleh Suara Terbanyak

4
Persoalan lainnya adalah mengenai pemberian tanda dan keabsahan suara pada surat
suara. UU Pemilu memang tidak tegas menyebutkan cara pemberian suara. Secara
umum disebutkan pemberian suara dilakukan dengan memberikan tanda satu kali
pada surat suara. Pemberian tanda itu berdasarkan prinsip kemudahan pemilih, akurasi
dalam penghitungan suara, dan efisien dalam penyelenggaraan pemilu. Mencentang
ataupun melubangi surat suara adalah tanda pemberian suara. Tanda hanyalah sarana.
Sarana tidak boleh mencederai atau malah meniadakan hak konstitusi rakyat. Hak
demokrasi rakyat tidak boleh dilenyapkan atau hangus hanya karena hal-hal teknis
administratif.

Sejak pemilu pertama di era Orde Baru tahun 1971 hingga pemilu terakhir tahun 2004,
KPU menerapkan cara mencoblos. Masyarakat sudah familiar dengan cara itu. Tapi
kini KPU dan DPR hendak mengubahnya dengan cara mencentang pada Pemilu 2009.
Perubahan itu sah-sah saja, tapi KPU perlu mempertimbangkan secara saksama. Jumlah
pemilih pada Pemilu 2009 sekitar 174 juta. Itu berarti ada penambahan pemilih sekitar
30 juta dibandingkan dengan Pemilu 2004 yang diikuti 144 juta pemilih. Pemilih 144
juta itu sudah familiar dengan sistem mencoblos, sedangkan 30 juta pemilih baru
relatif lebih berpendidikan sehingga mudah mengikuti cara centang ataupun coblos. 7

Mengubah cara pemberian suara bukanlah tabu. Sebagian orang beranggapan


mencoblos memperlihatkan bangsa yang kurang terdidik. Sebaliknya mencentang lebih
mencitrakan bangsa yang kian beradab. Tapi perubahan perlu dilakukan secara
gradual sehingga tidak berakibat pada hangusnya hak rakyat. KPU harus memilih cara
yang paling baik. Misalnya, pemberian suara dengan cara mencentang, tapi mencoblos
tidak dilarang. Artinya, memberi pilihan kepada pemilih sesuai tingkat kecerdasan
masing-masing.

Mencentang, mencoblos, ataupun cara lain tetap hanyalah sarana pemberian suara.
Yang utama adalah melindungi hak konstitusional rakyat agar tidak hangus oleh
aturan teknis. Kita perlu mengingatkan KPU agar tidak mempersulit hal yang
sebenarnya mudah. Menerapkan sistem baru perlu sosialisasi, sesuatu yang selama ini
sering terlambat dilakukan KPU. KPU masih punya segudang tugas yang semuanya
butuh sosialisasi yang serius.

Kendatipun KPU telah menetapkan mengenai pemberian tanda dan keabsahan pada
surat suara, ternyata belum menuntaskan persoalan pemberian tanda dan keabsahan
pada surat suara itu sendiri. Yang akhirnya kebingungan itu dijawab oleh pemerintah
dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2009.

Perppu ini menjawab kebingungan, apakah kelak mencoblos atau mencontreng,


apakah memilih tanda gambar atau memilih orang atau memilih keduanya. Sebuah
kebingunan yang diakibatkan oleh tradisi. Tradisi mencoblos merupakan tradisi yang
panjang. Sejak pemilu pertama 1955, mencobloslah yang rakyat tahu. Rakyat
membahasakan hari pemilu sebagai hari pencoblosan. Memilih adalah mencoblos.
Lalu dengan gagahnya DPR mengubahnya menjadi mencontreng. Tidak mudah
mengubah apa yang telah tertanam puluhan tahun, terlebih lagi bila sosialisasi buruk.
Hasilnya, pemberian tanda pada kertas suara itu jelas belum sepenuhnya dipahami
pemilih. Buktinya, dalam sejumlah simulasi, banyak kesalahan dalam memberi tanda.
Itu disebabkan surat suara yang ditandai dua kali semuanya sah. Itulah salah satu
substansi Perppu Nomor 1 Tahun 2009 yang ditandatangani Presiden pada 26
7
Baca Harian Media Indonesia, 13 September 2008

5
Februari untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 8

Selain dengan persoalan-persoalan diatas, tahapan pendaftaran pemilih adalah


tahapan penting dalam rangkaian tahapan pemilu. Ia adalah roh dari sebuah
demokrasi. Proses demokrasi seakan tidak punya arti secara substantif ketika tingkat
partisipasi politiknya rendah. Kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi politik
sebenarnya juga merupakan bentuk turunnya keterlibatan politik (political
engagement) warga negara yang mencakup ketertarikan pada politik, informasi
politik, dan diskusi politik.9

Secara umum, ketidakhadiran sebagian masyarakat dalam memberikan suaranya


dalam pemilu dan pilkada dapat dikategorikan atas dua kelompok. Pertama, karena
faktor teknis seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak memperoleh kartu pemilih,
dan alasan-alasan lain yang bersumber pada kekacauan manajemen pemilihan. Kedua,
karena faktor politik seperti kekecewaan terhadap partai, kandidat yang diajukan
partai, dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemilu dan pilkada mengubah
kehidupan masyarakat. Hanya, data mereka yang tidak memilih sering tidak tersedia
karena alasan teknis dan masyarakat golput karena faktor politik. Golput karena
faktor teknis sebenarnya tak perlu dikhawatirkan karena hal itu bisa berkurang jika
kualitas manajemen pemilu dan pilkada dibenahi oleh komisi penyelenggara
pemilihan. Penyebutan golput pun tidak tepat karena istilah yang berasal dari frasa
”golongan putih” itu ditujukan bagi mereka yang tidak menggunakan hak pilih karena
kecewa dengan sistem politik yang berlaku. Karena itu, yang tampaknya perlu menjadi
perhatian adalah fenomena tidak menggunakan hak pilih akibat kekecewaan terhadap
semua faktor yang terkait pemilu dan pilkada.10

Golput memang selalu menjadi fenomena menjelang pemilu. Golput dibicarakan,


disudutkan, dan dihambat, tapi banyak juga yang mendukung. Tidak terkecuali pada
Pemilu 2009. Lebih-lebih, ketika golput dianjurkan tokoh politik sekaliber Gus Dur.
Maka, bermacam cara pun digunakan untuk melawan anjuran itu. Dari mulai
mengampanyekan bahwa golput tidak bertanggung jawab hingga meminta ulama
mengeluarkan fatwa haram untuk golput. Namun, itu baru upaya menghambat
perilaku golput untuk satu jenis, yakni mereka yang memutuskan golput karena
pilihan politik. Untuk kategori golput yang satunya lagi, yang justru lebih besar
potensinya, belum banyak usaha dilakukan untuk meminimalkannya. 11

Itulah golput yang terjadi karena faktor administratif. Golput administratif adalah
warga negara yang sebenarnya sangat ingin menggunakan hak pilih, tapi terganjal
oleh ketidakcermatan administrasi. Ada dua hal yang memicu munculnya golput
administratif ini. Kedua-duanya terjadi karena buruknya administrasi dari negara. Yaitu
mereka menjadi golput karena tidak terdaftar dan terpaksa golput karena tidak
mengerti cara memberikan tanda pada pilihan partai. Dengan kenyataan seperti itu,
kita layak khawatir mutu demokrasi akan menjadi rendah. Kalau upaya yang bersifat
segera dan cermat untuk menangani golput administratif itu tidak dilakukan, berarti
negara sedang mengebiri hak jutaan rakyat yang memang berniat untuk menggunakan
hak pilih. Itu sama saja dengan mengamputasi demokrasi, karena basis dari demokrasi
adalah suara rakyat. Sebaliknya, tidak perlu mengkhawatirkan secara berlebihan jenis

8
Baca juga Harian Media Indonesia, Menyelamatkan Suara Rakyat, Rabu, 04 Maret 2009
9
Lihat Tajuk Rencana, Harian Kompas, Sabtu, 20 September 2008
10
Lihat juga Harian Kompas, Golput dan Pemilu 2009 , 30 Juni 2008
11
Harian Media Indonesia, Golput Administratif yang Mengkhawatirkan, Selasa, 13 Januari 2009

6
golput karena kesadaran politik. Sebab, di samping langkah itu adalah hak demokrasi,
jumlah mereka pun tidak signifikan. Justru golput administratif, akibat buruknya
negara mengurus administrasi pelaksanaan pemilu, yang harus dicegah.

Selanjutnya persoalan mengenai waktu yang dialokasikan bagi Kelompok


Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk mengecek suara sah menjadi cukup
lama. Apalagi jika pemberian suara dilakukan dengan menggunakan metode
pencontrengan dengan pulpen. Bisa dipastikan bahwa pemungutan suara dan
penghitungan suara pada hari H pemilihan akan berlangsung sampai malam hari
bahkan sampai keesokan harinya. Pengecekan itu bisa berlangsung lama karena
petugas penghitungan kerap mengalami kebingungan dalam menetapkan suara sah
tersebut. Karena petugas harus mengamati surat suara dengan tingkat kehati-hatian
yang ekstra.12

Dari itu, KPU harus menyiapkan petugas KPPS yang berkualitas dan memiliki kapasitas
yang cukup dalam melaksanakan tugas. Hal itu menjadi titik penting, karena
kepentingan partai politik banyak terjadi di TPS. Sayangnya, tidak ada anggaran
pemilu dan agenda melaksanakan pelatihan untuk itu. 13

Selain permasalahan-permasalahan tersebut diatas, namun yang pasti pemilu 9 April


sungguh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Sebab pada Pemilu 2009, yang
terpilih sebagai anggota DPR RI, Provinsi, Kabupaten/Kota tidak lagi berdasarkan
nomor urut partai, tapi mereka yang mendapatkan suara terbanyak akan langsung
terpilih. Itu berarti, calon anggota legislatif yang berada pada nomor urut paling atas
seperti nomor satu atau dua, belum tentu akan lolos menjadi anggota dewan jika
suara mereka kalah banyak dengan nomor urut di bawahnya. Beberapa perbedaan
tersebut adalah : Cara menandai pada Surat Suara, Berlakunya Parliamentary
Threshold (PT) untuk penetapan kursi, di DPRRI, Berlakunya mekanisme suara
terbanyak dalam penetapan Calon Anggota DPR dan DPRD, Berlakunya Afirmatif
Action 30% keterwakilan perempuan, Masa kampanye yang cukup panjang, yaitu
selama 9 bulan 7 hari.

B. PELAKSANAAN

1. Pelaksana
Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas Masyarakat
Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 dilaksanakan oleh Komite Pemilih (TePI)
Indonesia Kabupaten Labuhanbatu bekerja sama dengan Lembaga Bina Masyarakat
Indoneseia (LBMI).

2. Peserta Sebagai Penerima Manfaat


Peserta sebagai Penerima Manfaat Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi
Kalangan Komunitas Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 adalah
para masyarakat pemilih yang terdapat di perkotaan dan pedesaan yang berjumlah
sebanyak 600 (enam ratus) peserta yang terdiri dari berbagai komunitas yang
dimungkinkan sulit tersentuh oleh KPU, seperti :

12
Jeirry Sumampow, 'Mencontreng Perlambat Pemungutan Suara Pemilu 2009' Senin, 27 Oktobr 2008,
www.indonesiaontime.com
13
Lihat juga Jeirry Sumampow dalam “KPU Wajib Menyiapkan Petugas KPPS Berkualitas”, Harian Media
Indonesia, Kamis, 19 Maret 2009

7
Jenis Komunitas Keterangan
1. Miskin Kota − Abang Becak
− Petugas Parkir
− Pedagang Buku Emperan
− Pedagang Kaset Bajakan
− Pedagang Sayuran
− Pedagang Nasi Emperan
− Pedagang Pakaian Jadi Kaki Lima
− Penyapu Jalan
2. Warung − Komunitas Warung Emperan
3. Lansia − Pemilih Lansia
4. Perempuan Desa − Ibu Rumah Tangga
5. Pemuda Desa − Pemuda Desa
6. Petani − Petani Bersengketa dengan Perkebunan
7. Waria − Waria Pekerja Salon
8. Remaja − Kelompok Remaja Mesjid
9. Petani − Petani Berkonflik Dengan Perkebunan
Besar

3. Tempat Dan Waktu


Tempat dan Waktu Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan
Komunitas Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 dilaksanakan di 11
(sebelas) desa / kelurahan yang terbagi dalam 5 (lima) kecamatan, yaitu :

Nama Desa / Kelurahan Nama Kecamatan


1. Rantauprapat 1. Rantau Utara
2. Aek Paing
3. Bina Raga
4. Kartini
5. Kampung Dalam 2. Bilah Hulu
6. Kampung Jawa 3. Pangkatan
7. Kampung Baru
8. Janji 4. Bilah Barat
9. Afdeling II
10. Ulu Mahuam 5. Silangkitang
11. Binang Dua
12. Bintais
13. Marbau Selatan 6. Marbau
Jumlah : 12
12 Jumlah : 5

Penentuan tempat Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan


Komunitas Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 mengambil lokasi
dimana tiap komunitas dalam kesehariannya atau pada waktu tertentu berada dan
mudah ditemui, seperti tempat mangkal / berkumpul, dan tempat kerja,

C. MATERI YANG DISAMPAIKAN

1. Apa Yang Dimaksud Dengan Pemilu Legislatif 2009 ?


2. Apa Tujuan Pemilu Legilatf ?
3. Apa Manfaat Pemilu Bagi Masyarakat ?

8
4. Apa Dasar dan Prinsip Pemilu Legislatif 2009 Dilaksanakan ?
5. Kapan Pemilu Legislatif 2009 Dilaksanakan ?
6. Siapakah Yang Boleh Memilih ?
7. Bagaimana Menentukan Calon Anggota Legislatif 2009 Terpilih ?
8. Bagaimana Tata Cara Pemberian Suara Pada Surat Suara Pemilu Legislatif 2009 ?
9. Bagaimana Suara Pada Surat Suara Pemilu Legislatif Dinyatakan Sah ?
10. Contoh Surat Suara Pemilu Legislatif 2009
11. Contoh Suara Sah dan Tidak Sah

D. METODE

Pelaksanaan Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas


Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 dilaksanakan dengan cara face to
face (tatap muka secara langsung) ke tiap peserta atau dengan cara menggunakan
metode androgogi dan dialogis. Pesertan diberikan penjelasan mengenai masing-
masing jenis contoh surat suara tiap daerah pemilihan berdasarkan warna stiker yang
terdapat dibagian luar contoh surat suara. Selanjutnya, para peserta dipersilahkan
untuk memilih caleg dengan menandai surat suara dengan menggunakan alat tulis.
Setelah peserta memberi tanda pilihannya, maka narasumber menjelaskan hasil
penandaan pilihan tadi. Ketika metode androgogi dan dialogis ini sedang berjalan,
maka relawan melakukan pencatatan dari jawaban ataupun respon yang dimunculkan
oleh peserta sosialisasi sebagai temuan untuk dirangkum.

Setelah sama-sama memahami, maka narasumber memberikan cara termudah untuk


mencari letak nama atau nomor urut calon yang hendak dipilih oleh peserta.
Selain itu, juga dihimbau kepada peserta agar jangan golput dan tetap datang ke TPS
yang tujuannya adalah untuk mengantisipasi adanya dugaan penyalahgunaan surat
suara pemilih yang golput atau yang tidak hadir ke TPS nantinya.

E. TEMUAN

Dari hasil Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas
Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 diperoleh temuan sebagai
berikut:

Pertama :
− 60% peserta memilih / mencontreng Nama atau Lambang Parpol
− 25% peserta memilih / mencontreng Nomor Urut Caleg
− 12% peserta memilih / mencontreng Nama Caleg
− 1% peserta memilih / mencontreng Nama Caleg dan Lambang Parpol
− 2% peserta memilih / mencontreng Nomor Urut Caleg dan Lambang Parpol
− Tanda Contrengan bervariasi, contohnya tanda berbentuk melingkar atau seperti
macam ular atau cacing
− 30% peserta belum tahu kapan tanggal pelaksanaan Pemilu legislatif

Kedua :
− Peserta lebih dominan memilih Parpol lama hasil Pemilu 2004
− Peserta bingung dalam memilih caleg
− Peserta mengatakan memilih Lambang Parpol atau Nomor Urut Caleg adalah
Sama Saja dan Yang Penting Sah.
− Peserta mengeluhkan ukuran surat suara yang cukup besar dan parpol terlalu
banyak

9
− Peserta belum hafal atau belum kenal dengan Parpol baru
− Peserta kurang hafal atau lupa pada nomor urut caleg yang akan dipilih
− Peserta bingung membedakan memilih caleg DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi,
dan DPRRI
− Peserta dominan memilih / mencontreng nomor urut caleg serupa pada tiap
lembar surat suara mulai dari surat suara DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi, dan
DPRRI dengan alasan bingung dan sama saja yang penting sah.
− Kebingungan ini cukup menonjol ditunjukkan oleh peserta lansia dan peserta yang
buta huruf.
− Bahkan ada juga peserta yang mengancam untuk tidak hadir ke TPS nantinya
dikarenakan bingung

F. TEMUAN KHUSUS

Kebingunan para peserta atas kurang faham atau kurang hafal pada nomor urut atau
nama caleg bahkan nomor, nama dan lambang partai hal ini disebabkan karena para
caleg dalam melakukan sosialasasi melalui alat peraga umumnya lebih condong
mensosilisasikan wajah caleg itu sendiri ketimbang lambang partai atau nama partai
atau nomor urut dan nama caleg itu sendiri. Sementara dalam surat suara DPRD
kabupatem, DPRD Propinsi, dan DPRRI tidak ada ditemukan gambar wajah caleg.
Yang ada hanya nomor, lambang dan nama parpol dan nomor urut dan nama caleg
saja.

G. KESIMPULAN

Kegiatan Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas


Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 ini bukan hanya sekedar
menghimbau masyarakat untuk hadir memberikan hak pilihnya ke TPS pada 09 April
2009 ataupun mengajari tata cara mencontreng yang benar, melainkan melihat dan
mengetahui secara detail tingkat pengetahuan masyarakat, pengenalan terhadap
Parpol dan Caleg, jenis dan kriteria pemberian tanda pada surat suara, serta kesiapan
masyararakat pemilih terhadap Pemilu Legislatif 2009 khususnya bagi kalangan
komunitas yang yang dimungkinkan sulit tersentuh oleh KPU.

Kendatipun sekilas dilihat mengenai tehnik tata cara pemberian suara pada Pemilu
Legislatif 2009 nanti cukup gampang, namun permasalahan sebenarnya adalah bukan
semata hanya tata cara pemberian suara pada surat suara.

Seperti temuan-temuan yang telah disebutkan diatas tadi, misalnya tingkat pilihan
contrengan dalam melakukan pemberian suara yang dilakukan oleh peserta yang
mengikuti Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas
Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009. Kemudian lebih dominannya
memilih Parpol lama hasil Pemilu 2004, kebingungan dalam memilih caleg, anggapan
memilih Lambang Parpol atau Nomor Urut Caleg adalah Sama Saja dan Yang Penting
Sah, keluhan mengenai ukuran surat suara yang cukup besar dan parpol terlalu
banyak, belum hafal atau belum kenal dengan Parpol baru, kurang hafal atau lupa
pada nomor urut caleg yang akan dipilih, kebingunan membedakan memilih caleg
DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPRRI, dominannya pilihan/ mencontreng
nomor urut caleg serupa pada tiap lembar surat suara mulai dari surat suara DPRD
Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPRRI dengan alasan bingung dan sama saja yang
penting sah. Kebingungan ini cukup menonjol ditunjukkan oleh peserta lansia dan
peserta yang buta huruf.Bahkan ada juga peserta yang mengancam untuk tidak hadir

10
ke TPS nantinya dikarenakan bingung, serta jenis contrengan yang bervariasi,
contohnya tanda berbentuk melingkar atau seperti macam ular atau cacing.

Temuan yang menarik dari kegiatan Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi
Kalangan Komunitas Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 ini adalah
selain terdeteksinya secara dini jenis dan letak pemberian tanda pada surat suara, juga
terdeteksinya tingkat partisipasi pemilih untuk hadir ke TPS pada 09 April 2009 nanti.
Selain itu diketahui juga seberapa banyak calon pemilih yang telah mengetahui dirinya
telah terdaftar dalam DPT, demikian pula dengan yang belum mengetahui atau tidak
mau tahu.

Calon pemiih yang mengaku belum tahu ini beralasan karena belum mengetahui
dirinya apakah telah terdaftar dalam DPT sebagai pemilih atau tidak.

Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh calon pemilih yang diprediksi tidak akan
hadir ini menilai karena memilih ataupun tidak hasilnya tidak dirasakan langsung
olehnya, selain itu ada juga yang berasalan bahwa lebih baik tetap bekerja seperti
biasa untuk kebutuhan biaya masuk sekolah anak. Bagi calon pemilih perempuan
beralasan membantu pekerjaan suami Ada juga yang mengaku akan pergi merantau.

H. REKOMENDASI

Temuan yang di dapat dari pelaksanaan kegiatan Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu
Legislatif Bagi Kalangan Komunitas Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu
2009 diharapkan menjadi perhatian yang serius khususnya bagi pihak penyelenggara
pemilu ataupun stakeholder KPU.

Selain melakukan himbauan kepada masyarakat agar mau hadir ke TPS menggunakan
hak pilihnya, pihak penyelenggara pemiu ataupun stakeholder KPU ditingkat paling
bawah dituntut untuk lebih berperan aktif menjalankan fungsinya khususnya mengenai
hal-hal yang berkaitan dengn hak pilih masyarakat.

11
LAMPIRAN I

Sosialisasi Dan Simulasi


Simula Bagi Pedagang Pakaian Jadi
Lokasi : Jl Diponegoro Rantauprapat Kec. Rantau Utara

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Abang Becak


Lokasi : Jl Ahmad Dahlan Rantauprapat Kec. Rantau Utara

12
LAMPIRAN II

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Ibu Rumah Tangga


Lokasi : Bukit Perjuangan Aek Paing Atas Kec. Rantau Utara

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Ibu Rumah Tangga


Lokasi : Desa Binanga Dua Kec. Silangkitang

13
LAMPIRAN III

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Pemuda Desa


Lokasi : Desa Ulu Mahuam Kec. Silangkitang

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Pedagang Kaset Bajakan Kaki Lima


Lokasi : Jl. Diponegoro Rantauprapat Kec. Rantau Utara

14
LAMPIRAN IV

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Tukang Parkir


Lokasi : Jl. Diponegoro Rantauprapat Kec. Rantau Utara

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Penyapu Jalan


Lokasi : Jl. Pasar Baru Rantauprapat Kec. Rantau Utara

15
LAMPIRAN V

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Pedagang Sayur


Lokasi : Pasar Baru Jl. Diponegoro Rantauprapat Kec. Rantau Utara

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Waria Pekerja Salon


Lokasi : Jl. Kampung Baru Kel.Kartini Kec. Rantau Utara

16
LAMPIRAN VI

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Ibu Rumah Tangga


Lokasi : Afdeling II, Desa Janji Kec. Bilah Barat

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Lansia


Lokasi : Kampung Jawa Kec. Pangkatan

17
LAMPIRAN VII

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Lansia


Lokasi : Kel. Bina Raga Kec. Rantau Utara

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Penjaja Seks Komersial


Lokasi : Dusun Adian Batang Desa Kampung Dalam Kec. Bilah Hulu

18
LAMPIRAN VIII

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Pedagang Nasi Emperan


Lokasi : Jl. Ahmad Yani Rantauprapat Kec. Rantau Utara

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Petani Berkonflik Dengan Perkebunan Besar


Lokasi : Bukit Perjuangan Kel Aek Paing Kec. Rantau Utara

19
LAMPIRAN IX

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Remaja Mesjid


Lokasi : Desa Bintais Kec. Silangkitang

Sosialisasi Dan Simulasi Bagi Ibu Rumah Tangga


Lokasi : Desa Marbau Selatan Kec. Marbau

20

You might also like