You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter
merupakan suatu peristiwa atau kondisi menurunya ekonomi suatu Negara. Semua
Negara praktis pernah mengalami yang namanya krisis dalam perekonomian
negaranya. Karena krisis merupakan kejadian yang simultan dan memiliki effek
yang akan menyebar keberbagai Negara. Banyak yang menyebutkan bahwa Krisis
moneter merupakan hasil dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya bergantung
pada sistem pasar yang ada. Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan
terjadinya krisis. Krisis ekonomi dunia pernah terjadi pada tahun 1930 silam atau
yang lebih dikenal dengan The Great Depression yang saat itu ekonomi masih
dikuasai kapitalis dimana semua kegiatan perekonomian diserahkan langsung
kepada mekanisme pasar. Kemudian setelah kejadian tahun 1930 tersebut
ekonomi berusaha diperbaiki dengan tidak sepenuhnya memakai sistem kapitalis
murni dalam perekonomian suatu Negara.

Untuk indonesia sendiri krisis ekonomi atau krisis moneter bukanlah hal
baru karena indonesia terhitung telah mengalami 2 kali krisis yang melanda
perekonomiannya. YAng pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang melanda
nagara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi indonesia benar-benar kolaps
hingga membuat pertumbuhan ekonomi indonesia saat itu menjadi minus(-), kurs
rupiah melemah terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan tanah
air. Hal ini tentu akan merembet kesektor lainnya seperti berkurangnya investasi,
dan banyak industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka
pengangguran yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang
mencapai Hiperinflasi. Kejadian ini membuat ekonomi indonesia hancur yang
pada awalnya indonesia merupakan Negara yang ekonominya paling tangguh di
asia tenggara menjadi tidak berkutik akibat krisis tahun 1998. Industri indonesia
yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas harus kembali mengulang dari
awal. Krisis ini sendiri berawal dari menurunya nilai mata uang Thailand yang
kemudian direspon negative oleh ekonomi Negara-negara lainnya. banyak Negara

1
yang kemudian mengeluarkan kebijakkan untuk keluar dari krisis ini. Begitu juga
dengan indonesia yang mengeluarkan kebijakkan-kebijakkan untuk mengatasinya
seperti kebijakkan fiscal dan kebijakkkan moneter serta kebijakan lainnya.

Bila dibandingkan Indonesia merupakan Negara asia tenggara yang


memakan waktu yang lama untuk melakukan perbaikkan dan rehabilitasi terhadap
perekonomiannya akibat krisis ekonomi 1998. Hal ini terbukti dengan
pertumbuhan ekonomi indonesia yang masih dibawah Negara-negara tetangga
lainnya serta nilai kurs rupiah yang enggan turun lagi ke posisi awal. Namun
belum lagi indonesia berbenah dari goncangan krisis moneter yang melanda
perekonomian pada 1998, kembali Indonesia dikejutkan dengan terjadinya krisis
keuangan yang melanda Amerika Serikat pada 2008 silam. Hal ini tentu membuat
shock kalangan ekonomi indonesia karena secara langsung dan tidak langsung
indonesia juga ikut merasakan dampaknya bahkan lebih besar daripada yang
diderita olah AS sendiri. Berbagai kebijakkan untuk menanggulangi krisis ini agar
tidak terulang seperti tahun 1998 dilakukan mulai dengan menaikkan tingkat suku
bunga bank, pemberian bail out, menaikkan jaminan terhadap tabungan, hingga
menjalankan kebijakkan-kebijakkan lainnya dibidang ekonomi.

Berdasarkan uraian diatas maka untuk lebih mengetahui secara rinci


bagaimana krisis moneter bisa terjadi dan apa yang menyebabkan serta
kebijakkan-kebijjakn apa yang dilakukan indonesia dalam menanggulangi krisis
moneter tersebut. Maka kami akan mengangkat jurnal yang berjudul ”KRISIS
MONETER INDONESIA TAHUN 1998 Dan 2008 Serta KEBIJAKKAN
DALAM MENGATASINYA”

I.2. Alasan pengambilan jurnal

Suatu pertanyaan besar yang ada dalam benak kita semua tentang kondisi
perekonomian indonesia yang selalu mengalami krisis. Dalam satu dekade ini saja
perekonomian indonesia telah diguncang krisis sebanyak 2 kali, yaitu krisis
ekonomi tahun 1998 dan krisis keauangan global yang terjadi pada tahun 2008.
Yang menjadi pertanyaan saat ini masih cukup kuatkan perekonomian kita untuk
menghadapi pola perekonomian dunia saat ini?. Mengapa demikian, karena saat

2
ini perekonomian indonesia masih sangat tergantung dengan ekonomi global
khususnya negara-negara maju. Hal ini bisa dibuktikan dengan bila perekonomian
dunia mengalami keamjuan akan dikuti pula dengan kemajuan ekonomi indonesia,
namun bila suatu ekonomi dunia mengalami krisis maka indonesia adalah salah
satu negara yang paling parah mengalaminya. Seperti krisis yang selama ini
terjadi semua penyebabnya berasal dari luar dan tidak ada yang berasal dari dalam
perekonomian indonesia sendiri.

Untuk itu perlu bagi kami kelompok 3 untuk mengkaji lebih lanjut tentang
fenomena krisis moneter di indonesia pada tahun 1998 dan tahun 2008. Baik itu
dari sisi penyebab terjadinya krisis, perbedaan krisis 1998 dan 2008, maupun
solusi mengatasinya dalam jangak pendek dan jangka menengah serta jangka
panjang.

I.3. Perumusan masalah

Krisis moneter merupakan bencana terhadap perekonomian suatu negara.


Karena akibat krisis tersebut membuat ekonomi suatu negara mengalami
penurunan atau depresiasi. Bila tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan dan
penanggulangan dalam jangka panjang akan membuat ekonomi negara tidak
tumbuh. Sehimgga diperlukan kebijakkan-kebijakkan untu mengatasi krisis
moneter tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka secara spesifik permasalahan yang akan


dibahas dalam makalah ini Adalah sebagai berikut:

I.2.1 Apakah penyebab utama terjadinya krisis moneter tahun1998 dan 2008
dan bagaimana perbedaan antara keduanya?

I.2.2. Kebijakkan dan langkah apa yang diambil Indonesia dalam


menghadapi dan menanggulangi krisis ekonomi pada tahun 1998 dan
2008?

3
BAB II

INTI PENULISAN

II.1. Beda Krisis 1997 dari Krisis Global

Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah


negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde
baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan,
terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak
terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand,
Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta
dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor
bank yang baik. Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS.
Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja
baik untuk perusahaan tersebut — level efektifitas hutang mereka dan biaya
finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.

Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia


melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang
kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan
pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket
bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari
hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan
Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody’s
menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond”. Meskipun
krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November
ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan.
Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar
yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan
membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.

4
Belum lagi sepenuhnya sembuh dari krisis sebelumnya perekonomian
indonesia mengalami krisis kembali. Pada tulisan-tulisan saya sebelumnya, telah
saya jelaskan bagaimana awal terjadinya krisis finansial global tersebut (baca:
Andaikan Bank Tidak Ikut Bermain). Krisis finansial yang bermula dari kemelut
kredit sektor perumahan di Amerika ini, tidak disangka-sangka akan memiliki
dampak yang begitu luas bagi perekonomian global. Krisis yang terjadi saat ini
dianggap sebagai kehancuran dari sistem ekonomi pasar atau dikenal dengan
sistem kapitalis. Terang saja, sebagian besar negara-negara yang masuk ke dalam
jurang resesi adalah negara-negara maju yang notabene menganut sistem kapitalis.
Krisis finansial global ini ternyata juga menyentuh negara-negara dunia ke-tiga,
walaupun dampaknya tidak separah negara-negara maju.Seperti yang terjadi di
Indonesia. Sektor yang paling besar dampaknya dari krisis finansial global adalah
sektor ekspor-impor. Menurunnya daya beli konsumen di negara-negara tujuan
ekspor, membuat permintaan akan barang ekspor menurun. Selain itu sektor
keuangan juga digoncang dengan terjunnya IHSG sampai 50% dari awal tahun
2008 dan rupiah yang sempat melemah sampai batas psikologis di Rp12.000,00.
Melemahnya kedua sektor tersebut disinyalir akan berdampak pada menurunnya
potensi pendapatan negara.

Tidak bijaksana rasanya bila kita meyakini bahwa krisis finansial yang
melanda Amerika Serikat (AS) tidak akan memengaruhi ekonomi Indonesia.
Kurang rasional pula kalau kita mengabaikan begitu saja perkembangan terakhir
krisis finansial di AS, yang dampaknya sudah dirasakan dampaknya di dataran
Eropa. Setidaknya ada tiga alasan mengapa hal ini saya tekankan. Pertama,
Indonesia menganut ekonomi terbuka. Bahkan dalam liberalisasi permodalan,
Indonesia tergolong negara yang sangat liberal dibandingkan negara-negara di
Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang lebih kapitalis
ketimbang Indonesia. Dengan demikian, setelah kejadian di AS, para investor
asing yang menanamkan modalnya melalui surat-surat berharga di Jakarta Stock
Exchange tentu akan mengambil posisi mengamankan investasinya, dengan
menjual saham-saham mereka di pasar modal. Hal ini terlihat dari nilai Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus menurun. Ini berarti ada cash out flow
cukup besar, yang bila didiamkan akan merugikan ekonomi nasional. Kedua,

5
sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa investasi yang ditanamkan orang
per orang serta lembaga-lembaga keuangan dari Indonesia di New York Stock
Exchange (NYSE). Baru ada beberapa bank yang mengakui menanam modalnya
di pasar saham AS. Tetapi saya meyakini, banyak investor Indonesia yang
memiliki surat berharga dari lembaga-lembaga keuangan AS yang
bangkrut akibat imbas kredit macet perumahan di AS. Dana mereka tentu saja
menjadi insolven, atau tak bisa ditarik begitu saja, meski Kongres telah
menyetujui usulan Menteri Keuangan AS untuk mem-bailout kerugian pasar
saham tersebut senilai 700 miliar dolar AS. Sebab dana sebesar itu tidak begitu
saja dikucurkan, masih ada prasyarat untuk pencairannya.

Ketiga, dalam struktur ekspor Indonesia, AS adalah pasar utama produk-


produk Indonesia. Sekitar 20 persen dari total ekspor Indonesia diarahkan ke
Negeri Paman Sam, dan 30 persen ke Eropa. Beberapa industri tekstil dan produk
tekstil yang pasar utamanya ke AS sudah mulai mengeluh, karena banyak
permintaan dari pembeli untuk menjadwalkan kembali pengiriman barangnya,
bahkan menunda pembelian. Jelas sekali, jika ekspor menurun dan impor
Indonesia tetap, akan terjadi defisit yang mau tidak mau akan menurunkan
cadangan devisa. Meskipun demikian, tidak pas pula apabila muncul
kekhawatiran berlebihan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat Indonesia
terhadap situasi ini, sehingga tidak mempercayai kemampuan kita sendiri.

Akibatnya, kebijakan yang diambil bukan berorientasi memperkuat


kemampuan ekonomi bangsa, tetapi semata-mata untuk menjaga kenyamanan
investor-investor asing agar tidak menarik dananya dari Indonesia dengan
menerapkan kebijakan moneter yang ketat. Kebijakan ini justru bisa menjadi
bumerang yang membahayakan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi riil.
Karena itu, kita mesti menyikapi krisis keuangan AS secara proporsional, karena
peristiwa seperti ini akan terus berulang dan akan selalu dihadapi Indonesia yang
notabene telah menjadi salah satu bagian kecil ekonomi global. Dengan cara ini,
kita akan mampu mengambil langkah-langkah profesional, meminimalkan
dampak krisis keuangan AS yang sudah mengimbas menjadi krisis global tanpa

6
merugikan ekonomi nasional. Yang terpenting adalah membiasakan diri
menghadapi dampak krisis global.

II.I.A. Persamaan

Banyak analis mengatakan, krisis 1997 yang diawali dari terjun bebasnya
nilai tukar bath (Thailand), kemudian merembet ke Indonesia, Korea Selatan,
Filipina, dan Malaysia merupakan krisis moneter tipe baru yang dapat melahirkan
teori baru pula. Karena, faktor-faktor penyebab krisis tidak relevan dengan teori
yang ada. Berdasarkan model klasik Krugman (1979), yang berbasis pada krisis
ekonomi di Meksiko tahun 1976, serta Argentina, Brazil, Peru, dan Meksiko pada
awal tahun 1980, krisis moneter terjadi karena defisit anggaran yang terus
membesar, sehingga mengurangi cadangan devisa dan kegagalan exchange rate.
Sepanjang 1990-1996, baik Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea
Selatan telah melaksanakan kebijakan fiskal dan moneter yang cukup hati-hati,
sehingga kinerja keuangannya menunjukkan perkembangan positif. Diantaranya
defisit anggaran tergolong moderat (bahkan khusus 1996, Indonesia, Korea dan
Thailand tidak defisit), perbandingan utang publik terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) juga rendah, tingkat inflasi terjaga dan rendah, serta cadangan devisa
terus meningkat. Karena itu, pada awal jatuhnya nilai tukar bath, Menteri
Keuangan (saat itu Mar’ie Muhammad) berulang kali mengatakan kepada media
bahwa fundamental ekonomi kita kuat, sehingga tidak akan terpengaruh oleh
krisis Thailand. Namun pada akhirnya, Indonesia justru merasakan dampak krisis
Thailand yang paling parah ketimbang empat negara lainnya. Sekarang, Menteri
Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Budiono mengatakan hal yang hampir
sama secara substansial dengan apa yang dikatakan Mar’ie Muhammad.
Setidaknya, kinerja ekonomi nasional saat ini adalah yang terbaik setelah 10 tahun
krisis moneter. Kinerja ekspor nonmigas sudah menembus angka 50 miliar dolar
AS, serta selalu surplus setiap bulan.

Cadangan devisa per Agustus 2008 mencapai 59,6 miliar dolar AS.
Pertumbuhan ekonomi sampai akhir 2008 diperkirakan melampaui 6 persen, dan
tingkat inflasi diharapkan tidak lebih dari 11,5 persen. Tingginya tingkat inflasi

7
tahun ini lebih banyak disebabkan cost push inflation, akibat naiknya harga BBM
bulan Mei lalu. Dari data tersebut, setidaknya kita meyakini satu hal, bahwa tanpa
adanya gejala-gejala krisis bukan berarti Indonesia akan terhindar dari krisis.
Krisis 1997 memberi pelajaran berharga agar kita lebih waspada. Lalu, patutkah
kita lebih optimistis untuk mengatakan bahwa kita sekarang sudah lebih dewasa
dan lebih mampu mengelola krisis?

II.1.B. Perbedaan

Pengaruh krisis finansial AS sudah pasti akan dirasakan Indonesia; tinggal


menghitung tingkat kesakitannya, apakah sama atau berbeda dengan tahun 1997.
Andai kondisi ekonomi Indonesia, baik sistem maupun strukturnya, masih
mengikuti pola sebelum 1997, mungkin saja akan lahir efek contagion jilid dua,
yang akan membawa kembali negeri ini ke dalam nestapa krisis moneter. Tetapi
yang saya yakin, dan harus didukung kuat oleh masyarakat Indonesia, kebijakan
ekonomi Indonesia sudah berbeda dengan masa lalu. Pertama, nilai tukar rupiah
sudah diserahkan pada mekanisme pasar (floating rate), tidak lagi menganut nilai
tukar mengambang terkendali yang membuat BI harus terus melakukan intervensi
pasar guna menjaga agar nilai tukar rupiah tetap berada pada kisaran yang sudah
ditetapkan. Sesuai dengan UU, Bank Indonesia berkewajiban menjaga stabilitas
nilai tukar rupiah, namun tidak dipaksa menjaga pada nilai tukar tertentu,
sehingga BI tidak harus bolak-balik intervensi ke pasar uang.

Kedua, tingkat cadangan devisa Indonesia sudah sangat memadai. Jika


akhir 2007 masih 17 dolar AS, per Agustus 2008 sudah mencapai 59,6 miliar dolar
AS. Cadangan devisa negara membantu pemerintah mengelola risiko yang harus
dihadapi, dan memperkuat keyakinan terhadap negara maupun mata uangnya.
Makin besar cadangan devisa negara, kian kuat pula negara dalam mengelola
risiko yang sedang dihadapinya. Dan Ketiga, sistem perbankan nasional dewasa
ini sudah dibentengi dengan berbagai aturan. Belajar dari banyaknya moral hazard
yang terjadi sebelum krisis moneter 1997, BI telah menerbitkan berbagai aturan
dalam pengelolaan bank. Dengan demikian, kecil peluangnya bagi pemilik untuk
menggunakan dana masyarakat bagi kepentingan bisnisnya. Pemilik pun tidak
bisa semau gue dalam menentukan pengurus bank. Pengawasan oleh BI terhadap

8
operasional bank terbilang sangat ketat, sehingga kecurangan-kecurangan yang
dilakukan manajemen bank cepat terdeteksi. Adanya Sistem Informasi Debitur
(SID) yang memungkinkan BI mengetahui identitas debitur seluruh bank dan
memungkinkan bagi manajemen bank untuk tidak dikelabui debitur, sangat
membantu dan mendorong semakin mantapnya perbanan nasional.

Hanya saja yang membedakan dengan krisis 1997 adalah bahwa hubungan
dagang Indonesia dan Thailand sangat kecil, sedangkan hubungan dagang
Indonesia dan AS sangat besar. Menurut teori, saat terjadi krisis dari salah satu
negara jelas akan berdampak besar pada perekonomian negara yang menjadi mitra
dagangnya. Tampaknya, teori ini tak akan terbukti kalau seluruh masyarakat
mempercayai kebijakan yang diambil pemerintah. Sebab, saat krisis 1997
mendera ekonomi nasional, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan
sistem ekonomi nasional sangat rendah. Saat Menteri Keuangan meminta
masyarakat untuk tenang, justru direspon masyarakat dengan berlomba-lomba
menukar rupiahnya dengan dolar AS. Karena itu, saya percaya, apapun bagusnya
sistem yang dikembangkan, kalau tanpa dukungan kepercayaan masyarakat, maka
sistem tersebut akan menjadi hampa. Sekarang pun saya percaya, ekonomi kita
akan tetap tegar menghadapi krisis keuangan global, jika masyarakat percaya
sepenuhnya dengan kekuatan ekonomi nasional.

II.2. Solusi Mengatasi Krisis Global

Tulisan ini banyak diilihami setelah saya menghadiri sebuah seminar yang
bertajuk Indonesia Economy Outlook 2009 yang diselenggarakan di kampus
saya. Di acara tersebut banyak memaparkan kondisi perekonomian Indonesia
tahun depan. Pada sesi Andi Pangeran, Direktur Eksekutif APINDO, beliau
menyampaikan materi mengenai penyelesaian krisis global guna meningkatkan
pasar di Indonesia. Krisis finansial kali ini memang berbeda dengan krisis moneter
yang melanda Indonesia dan negara Asia pada tahun 1998. Namun, dengan
adanya pelemahan ekonomi global pada tahun 2009 nanti, Indonesia diharapkan
dapat bisa mengeleminasi dampak-dampak dari kondisi tersebut.

Sektor Keuangan

9
Banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah dan bank sentral dalam
menangani masalah sektor keuangan. Peran Bank Indonesia disini lebih besar
terutama dalam membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menstabilkan kondisi
sektor keuangan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berupa penurunan suku
bunga. Penurunan suku bunga diharapkan akan memacu usaha melalui penyaluran
kredit. BI juga harus dapat menjaga likuiditas perbankan. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kepercayaan nasabah agar tidak terjadi kepanikan akan keringnya
likuiditas perbankan. BI juga harus dapat mempertahankan kurs rupiah terhadap
US dollar. Walaupun, masih sulit untuk kembali ke level Rp9.000,00, setidaknya
rupiah tidak lagi meroket seperti yang terjadi sebelumnya. Memang cukup dilema
dalam mempertahankan nilai kurs ini. BI harus menggunakan cadangan devisa
hampir 10% guna menstabilkan nilai rupiah. Tindakan lain yang dapat dilakukan
BI adalah dengan tindakan preventif seperti pembatasan keluarnya uang ke luar
negeri. Misalnya, dengan mebatasi keluarnya uang sebesar 100.000 US$ per
tahun. Dan memberlakukan NPWP bagi masayarakat yang ke luar negeri.

Sektor Perdagangan

Diantaranya, dengan membatasi pintu masuk transaksi internasional,


memberikan perlindungan bagi pelaku usaha, dan pemberdayaan bagi UKM.
Pemerintah yang mengumumkan tahun 2009 adalah sebagai tahun ekonomi
kreatif merupakan sinyal positif untuk meningkatkan kegitan ekonomi, khususnya
sektor yang berbasis UKM. Selain itu dengan membuat iklim usaha yang baik
akan mendukung kemajuan ekonomi. Mengingat selama ini, Indonesia masih
merupkan negara yang tergolong sulit dalammenciptakan usaha baru karena
adanya hambatan regulasi maupun birokrasi.

Sektor Properti

Pada sektor properti dapat dilakukan dengan mengoptimalisasi pajak dari


kepemilikan saat ini. Selain itu, langkah dalam mempercepat kebijakan tentang
kepemilikan apartement bagi warga negara asing juga harus dilakuakan.
Mengingat dengan kebijakan tersebut maka mobilitas para pelau usaha akan
semakin mudah dan nantinya berujung pada efisiensi. Yang perlu dicermati dalam

10
sektor properti adalah masalah pembangunan properti yang semakin marak.
Pemerintah diharapkan lebih selektif terhadap developer-developer yang ada.
Mengingat tahun depan perekonomian akan melemah, jadi permintaan akan
properti juga akan mengikuti kondisi tersebut. Tentunya kita tidak ingin bernasib
sama dengan apa yang terjadi pada Amerika saat ini.

Sektor Perkebunan dan Pertanian

Untuk masalah sektor perkebunan dan pertanian, pemerintah dapat


melakukan cara dengan membeli hasil produksi sesuai dengan harga yang wajar
sebagai stock. Misalnya, dengan membeli hasil produksi padi pada harga tertentu
di saat panen yang akan digunakan sebagai cadangan beras bulog. Nantinya stock
tersebut akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong produksi,
sehingga ketergantungan akan barang impor dapat dikurangi.

Sektor Tenaga Kerja

Diantaranya adalah dengan menyamakan visi antara pengusaha dan


pekerja. Pihak-pihak pekerja harus dapat memaklumi bahwa tahun depan akan
terjadi pelemahan ekonomi, sehingga secara langsung atau tidak langsung akan
berdampak pada kegiatan perusahaan. Selanjutnya pekerja juga diharapkan dapat
memahami peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Pekerja jangan
terlalu skeptis akan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah karena setiap
kebijakan yang dikelurkan sudah tentu mempertimbangkan segala aspek dan
kepentingan tanpa cenderung berpihak pada satu golongan saja (baca: pengusaha).
Memang tahun depan diperkirakan akan banyak terjadi PHK massal. Namun,
momen inilah yang tepat untuk menunjukkan keberadaan peran dari Jamsostek.

Sektor Pariwisata

Hal yang lumrah dilakukan pada sektor ini adalah dengan mengoptimalkan
sektor parawisata domestik. Tahun 2008 yang mengusung tema “Visit Indonesia
2008″ memang terasa tidak terlalu optimal. Inilah peran pemerintah agar dapat
menarik wisatawan domestik untuk lebih memilih temapt-tempat wisata domestik

11
ketimbang pergi ke luar negeri. Tentunya dengan memperbaiki sistem dan
infrastruktur dari setiap parawisata agar terlihat menarik bagi wisatawan. Potensi
parawisata kita sangatlah besar. Kita masih dapat menggali banyak potensi-potensi
yang ada untuk meningkatkan pendapatan negara.

II.3. Kebijakan Jangka pendek


1. Pemulihan kepercayaan kepada perekonomian dalam negeri serta didukung
oleh perbaikan sistem distribusi dan pemulihan kapasitas produksi. Thailand
dan Korea adalah dua negara lain di samping Indonesia yang dalam waktu
hampir bersamaan mengalami krisis serta meminta bantuan IMF. Sementara
kedua negara tersebut sudah melihat light at the end of the tunnel, Indonesia
tampaknya masih harus bersabar lebih lama. Salah satu faktor penting
keberhasilan tersebut ialah kedua negera tersebut berhasil memulihkan
kepercayaan baik terhadap investor dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu,
Indonesia juga harus berusaha keras untuk memulihkan kepercayaan dengan
memenuhi keinginan stakeholders melalui pendekatan OUI (outward, upward,
dan inward) seperti yang dilakukan Thailand (Watanagase, 1998).9 Pemulihan
kepercayaan juga dapat dibantu dengan melobi lembaga pemeringkat
internasional, misalnya dengan meminta agar Indonesia tidak dimasukkan
dalam kategori negative watch. Dengan pulihnya kepercayaan, nilai tukar akan
menguat karena sentimen pasar positif dan terjadi capital inflow sehingga
rupiah menguat dan tekanan inflasi mereda. Dengan demikian, suku bunga
dapat diturunkan ke tingkat yang wajar.
2. Pelaksanaan restrukturisasi perbankan sesuai jadwal akan membantu
menurunkan suku bunga melalui dua mekanisme sebagai berikut. Pertama,
keharusan untuk menutup bank insolven dan meningkatkan permodalan bank
akan mengurangi permintaan dana di PUAB oleh bank-bank tertentu yang
secara struktural mengalami kekurangan likuiditas. Kedua, dengan
dilikuidasinya bank-bank tersebut maka BLBI akan dapat dibatasi sehingga
pertumbuhan uang beredar akan terkendali. Dengan demikian, laju inflasi akan
menurun dan suku bunga bisa diturunkan.
3. Pelonggaran GWM akan memberi dua keuntungan, yaitu dapat membantu
mengurangi kesulitan likuiditas perbankan sehingga dapat mengurangi

12
permintaan rupiah di PUAB sehingga suku bunga akan menurun dan dengan
demikian cost of fund perbankan turun sehingga dapat mengurangi negative
spread yang ditanggung perbankan.10 Namun, penurunan GWM ini harus
dilakukan dengan hati-hati dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar.
4. Pencairan bantuan luar negeri dalam rangka membiayai APBN dengan segera.
Berdasarkan kesepakatan dengan kreditor resmi, dalam tahun anggaran
1998/99 Pemerintah memperoleh pinjaman luar negeri sebesar $ 7,7 miliar
untuk membiayai defisit APBN sebesar Rp 83,1 triliun (uraian lebih lanjut lihat
Catatan Akhirii ). Dari penarikan pinjaman tersebut, di satu pihak akan
memperkuat cadangan devisa karena akan langsung ditempatkan di Bank
Indonesia sementara pemerintah menerima nilai lawan dalam rupiah. Di lain
pihak, pengeluaran rupiah dari Bank Sentral ke dalam perekonomian akan
mendorong peningkatan inflasi karena perannya dalam jumlah uang beredar
mencapai 48%. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan koordinasi kebijakan
antara sektor moneter dan fiskal agar inflasi tetap terkendali.
5. Intervensi di pasar valas merupakan salah satu bentuk koordinasi dengan
kebijakan fiskal karena dapat menyerap kembali tambahan likuiditas dari
penarikan dana Pemerintah dari Bank Sentral. Intervensi di pasar valas masih
dimungkinkan dengan pertimbangan bahwa nilai tukar rupiah saat ini masih
undervalued. Berdasarkan perhitungan PPP, nilai tukar yang mencerminkan
fundamental perekonomian adalah sekitar Rp 6.500 per dolar (lihat Grafik 4)
sementara saat ini kurs rupiah berkisar antara Rp 8.000 - Rp 9.000. Dengan
intervensi yang efektif akan diperoleh tiga keuntungan, yaitu: (i) rupiah akan
menguat; (ii) likuiditas perekonomian tetap terkendali; dan (iii) suku bunga
tidak perlu meningkat karena rupiah terserap kembali ke Bank Sentral bukan
melalui mekanisme SBI sehingga tidak memberatkan sektor perbankan dan
sektor riil. Namun, intervensi perlu dilakukan pada saat yang tepat karena
adanya keterbatasan cadangan devisa. Intervensi sebaiknya dilakukan pada saat
sentimen pasar membaik untuk memperkuat tekanan kearah penguatan
(leaning with the wind) dan bukan pada saat sentimen pasar sedang memburuk
(penjelasan lebih lanjut lihat Catatan Akhiriii).

13
6. Selective credit policy sebagai jalan keluar sementara karena suku bunga tidak
bisa diturunkan secara drastis sekaligus. SCP dapat memperkecil kontraksi
dengan mengamankan sektor-sektor tertentu yang tidak tergantung pada bahan
baku impor, cepat menghasilkan, mengurangi impor, dan bersifat padat karya.
Dengan demikian selain dapat mengurangi kebutuhan devisa untuk impor, SCP
juga dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran dan sekaligus
meningkatkan stabilitas sosial politik sehingga dapat membantu meningkatkan
kepercayaan investor baik dalam maupun luar negeri.
7. Penyelesaian utang luar negeri swasta melalui Frankfurt agreement akan dapat
membantu mengurangi tekanan terhadap nilai tukar karena kebutuhan valas
saat ini dapat dikurangi disamping dapat membantu memulihkan kepercayaan
luar negeri terhadap perekonomian Indonesia. Penyelesaian utang sektor swasta
melalui Prakarsa Jakarta juga dapat membantu mempercepat pemulihan
perekonomian Indonesia karena akan dapat membangkitkan kembali kegiatan
ekonomi sehingga prospek perekonomian akan membaik.
8. Penerbitan SBI valas dapat dipertimbangkan untuk menarik aliran modal luar
negeri dalam valas dengan biaya yang lebih rendah daripada penerbitan SBI.
Namun, aspek hukum dari penerbitan SBI valas ini perlu diteliti lebih lanjut.
Menurut ABN Amro Bank, SBI valas dengan jangka waktu 1 bulan feasible
untuk diterbitkan dengan suku bunga 8% di atas LIBOR (5,7%) sehingga beban
bunga Bank Sentral jauh lebih rendah daripada penerbitan SBI dengan bunga
yang sangat tinggi (sekitar 70% SBI 1 bulan per September 1998). Bunga yang
sangat tinggi ini justru bisa menurunkan kepercayaan karena investor akan
mempertanyakan sampai berapa lama Bank Sentral mampu membayar
bunganya di samping adanya penambahan likuiditas baru yang berasal dari
bunga SBI.
9. Dalam mengelola krisis, langkah yang diterapkan Thailand ialah; (i) problem
identification; (ii) OUI environment; (iii) problem resolution; dan (iv) action
plan strategy. Khusus mengenai OUI environment, pendekatan yang dilakukan
ialah berusaha memenuhi harapan stakeholders yang dapat dikategorikan
outward (masyarakat, rating agency, dunia usaha, sektor keuangan, dll), upward
Parlemen, kepala negara, politikus); dan inward karyawan, organisasi intern)

14
10. Note; per 30 Agustus 1998, dengan GWM 5% jumlah cadangan wajib
adalah Rp 18,9 triliun. Penurunan manjadi 4% akan menambah likuiditas
perbankan = Rp 18 triliun - (4/5 x Rp 18,9 triliun) = Rp 3,8 triliun atau 34,9%
dari transaksi harian PUAB sebesar Rp 10,9 triliun Jeffry Sachs (1998, hal.

II.4. Kebijakan jangka menengah-panjang


1. Pembatasan kewajiban luar negeri baik sektor pemerintah maupun swasta
terhadap kreditor luar negeri dalam berbagai bentuk baik berupa pinjaman
maupun surat-surat utang lainnya, seperti CP, MTN, dan FRN. Dalam hal ini
pemerintah perlu menetapkan ukuran tertentu untuk membatasi eksposur
terhadap luar negeri, misalnya dengan menggunakan nisbah (CA - FDI)/GDP
(lihat Djisman Simandjuntak, 1998). Semakin besar nisbah tersebut semakin
rentan BoP karena sebagian besar defisit current account dibiayai investasi
portfolio yang mudah berbalik arah. Agar efektif pembatasan tersebut, semua
pihak yang mempunyai kewajiban kepada pihak luar negeri wajib
menyampaikan laporan secara berkala. Selain itu, untuk meningkatkan kehati-
hatian di sektor eksternal, pada tabel BoP perlu ditambahkan memorandum
item berupa data outstanding pinjaman pemerintah dan swasta karena sistem
pencatatan data pada BoP adalah didasarkan atas konsep mutasi (flow)
sehingga tidak terlihat besarnya eksposur terhadap non-residen.
2. Kewajiban menempatkan capital inflow jangka pendek di Bank Sentral selama
satu tahun dengan persentase tertentu tanpa imbalan dapat dipertimbangkan
untuk mengurangi Pengertian kebijakan jangka menengah-panjang ini bukan
berarti kebijakan yang semuanya akan ditempuh pada jangka menengah-
panjang. Sebagian kebijakan tersebut sudah dilaksanakan tetapi hasilnya baru
tampak pada jangka menengah-panjang dan sebagian lainnya akan lebih tepat
untuk dilaksanakan kemudian. investasi yang hanya mencari keuntungan dari
arbitrase dan tidak bermanfaat bagi perekonomian dan mendorong peningkatan
arus modal yang berjangka lebih panjang yang lebih bermanfaat bagi
perekonomian. Kewajiban seperti ini telah lama diterapkan di Chile dengan
mengenakan reserve requirement sebesar 30% selama satu tahun atas aliran
modal masuk.

15
3. Penyesuaian struktural di sektor riil melalui deregulasi, penghapusan monopoli,
perbaikan sistem distribusi akan dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi
gejolak di sektor riil yang sering memicu inflasi. Peningkatan efisiensi produsi
sektor pangan —dengan mempertahankan terms of trade yang lebih
menguntungkan bagi petani — akan dapat meningkatkan ketahahan
perekonomian.
4. Di tingkat regional, perlu dibentuk semacam regional surveillanceuntuk
memelihara stabilitas kawasan mengingat bahwa krisis ekonomi di Asia semula
merupakan contagion effect dari krisis nilai tukar Thailand, walaupun faktor
domestik juga mempunyai peranan penting dalam terjadinya krisis.
5. Di tingkat internasional, investor internasional, seperti institutional investor dan
hedge fund yang sifatnya sangat volatile dan cenderung memiliki sifat herd
behavior, perlu ditetapkan suatu lembaga yang mengatur kegiatan mereka agar
investasinya di negara-negara berkembang dapat bermanfaat bagi
perekonomian dan bukan sebaliknya malah menimbulkan instabilitas.13
Lembaga tersebut dapat diwajibkan untuk memonitor kegiatan invesor
internasional dan menyampaikan laporan berkala ke semua negara agar negara-
negara penerima dana senantiasa mengetahui eskposurnya terhadap investor
asing.

BAB III

16
PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan diatas maka dengan demikian dapat diambil


kesimpulan sebagai berikut:

1. Krisis moneter yang dialami indonesia pada tahun 1998 dan tahun 2008
merupakan krisis “kiriman” dari luar negeri dan bukan berasal dari dalam
negeri.
2. Perbedaan krisis moneter 1998 dengan krisis tahun 2008 terletak pada
dampak yang dialami indonesia dan kebijakkan yang dikeluarkan digunakan
oleh pemerintah untuk mengatasi kedua krisis tersebut..
3. Dalam mengatasi dan meminimalisir dampak krisis moneter tersebut
pemerintah menguapayakan solusi penyelesaian langsung kesektor-sektor
ekonomi. Selain itu juga pemerintah mengeluarkan kebijakkan dalam jangka
pendek dan menengah - panjang.

III.2. Kelebihan jurnal


1. Jurnal menyajikan penyebab terjadinya krisis yang dialami Indonesia
pada krisis tahun 1998 dan 2008.
2. Penulis memberikan soslusi terhadap krisis yang melanda Indonesia
baik itu jangka pendek, menengahd maupun jangka panjang.
3. Selain memberikan solusi dalam jangka pendek, menengah dan
panjang, penulis juga memberikan soslusi terhgadap masing-masing
sektor ekonomi.
4. Penulis menyajikan tentang dampak krisis yang dialami Indonesia
dengan menyajikan data makro ekonomi dan pergerakan pasar saham
di Indonesia dalam bentuk narasi.

III.3. Kelemahan jurnal

17
1. Data yang disajikan berupa data dalam bentuk narasi sehingga
pembaca mengalami kesulitan dalam melakukan analisis data ekonomi
akibat dampak krisis yang dialami indonesia pada krisis tahun 1998
dan 2008.
2. Penulis juga tidak mencatumkan data keadaan ekonomi Indonesia
sebelum krisis, sehingga pembaca sulit untuk membandingkan kondisi
ekonomi Indonesia sebelum dan setelah krisis, khususnya pada krisis
1997.
3. Penulis hanya memberikan solusi dalam mengatasi krisis keuangan
global tahun 2008 dan tidak menuliskan solusi pada krisis tahun 1998.
4. Dalam kebijakkan jangka pendek dan kebijakkan jangka menengah-
panjang penulis tidak membeberkan secara rinci serta tidak
memberikan contoh sehingga muncul banyak penafsiran masing-
masing dari pembaca.

LAMPIRAN

18
A. PERTANYAAN
1. Nama : Reni Papilasari
Kelompok :2
Pertanyaan : Pada saat terjadi krisis moneter tahun 1998 dan tahun
2008 apakah ada perbedaan dalam sistem anggaran
yang dianut oleh Indonesia?
2. Nama : Shelly Aritha G
Kelompok :1
Pertanyaan : Anda tadi mengatakan bahwa kebijakan sektor keuangan
pada krisis tahun 2008 lebih optimal dibanding dengan
krisis tahun 1998. Coba anda jelaskan kenapa anda
mengatakan itu lebih optimal?
3. Nama : Ridha Efriani
Kelompok :1
Pertanyaan : Disaat terjadi krisis keuangan pada tahun 2008 banyak
Negara melakukan kebijakkan dengan menurunkan
tingkat suku bunga, namun indonesia malah melakukan
sebaliknya yaitu menaikkan tingkat suku bunga. Kenapa
demikian,coba anda jelaskan?

B. JAWABAN
1. Sistem anggaran yang dianut oleh indonesia pada tahun 1998 berbeda
dengan sistem anggaran yang diterapkan pada tahun 2008. Sistem
anggaran pada krisis tahun 1998 indonesia menerapkan sistem anggaran
defisit, hal ini dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi indonesia pada
ssat itu yang terpuruk akibat krisis yang melanda seluruh sektor ekonomi
indonesia, sehingga untuk pembiayaan ekonomi pada saat itu lebih
banyak berharap pada bantuan luar negeri. sedangkan pada tahun 2008
sistem yang digunakan ialah sistem anggaran berimbang.
2. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem keuangan kita pada tahun 1998
masih sangat goyah dan belum memiliki pondasi yang kuat dengan
kebijakkan yang masih begitu longgar baik dalam hal tingkat suku bunga

19
terlalu rendah kemudian sistem nilai tukar yang masih mengambang
terkendalai membuat beban pemerintah begitu besar. Sehingga pada saat
terjadi krisis seperti tahun 1998 beban pemerintah akan kesulitan dalam
hal penanganannya dan membuat kinerjanya tidak optimal. Disbanding
tahun 1998 tahun 2008 bisa dikatakan lebih optimal karena memanga
pada tahun tersebut indonesia bisa mengurangi dampak krisis global. Hal
tersebut dimungkinkan karena semakin kokohnya pondasi sitem
keuangan dan perbankan indonesia selain itu sistem nilai tukar yang
sudah mulai dilepas ke pasar membuat pemerintah cukup mengawasi dan
menyetabilkan kondisi makro. Kebijakkna yang diambil dalam hal
penganan krisis juga sudah efektif dengan menaikkan tingkat bunga
sehingga tidak terjadi rush. Hal ini bisa dikatakan optimal karena mampu
mengatasi dan mengurangi dampak krisis tahun 2008.
3. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas perbankan dalam negeri
dan menjaga kepercayaan masyarakat pada perbankan. Karena bila pada
saat iru dilakukan penurunan tingkat suku bunga maka akan muncul rasa
tidak percaya masyarakat terhadap bank dan menarik semua unag mereka
yang ada di bank secara besar-besaran(rush). Kondisis tersebut bisa
membuat bank menjadi kolaps yang kemudian akan mebuat jumlah uang
beredar dimasyarakat bertambah banyak dan menimbulkan inflasi. Oleh
karena itu pemerintah mengambil kebijakkan yang berlawanan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sumber:http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?
fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=34038

Arifin, Sjamsul : Kepala Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional,


UREM, BI, Email : sjamsul_a@bi.go.id

21
JURNAL EKONOMI MONETER II

TENTANG

KRISIS MONETER INDONESIA TAHUN 1998


Dan 2008 Serta KEBIJAKKAN DALAM
MENGATASINYA
(hapiz ,Sjamsul Arifin, dan Ihwan Sudrajat)

22

You might also like