You are on page 1of 4

Munculnya Marxisme

Ideology Marxisme muncul dari kreativitas pemikir Karl Marx dan Frederick Engels, yang
sangat setia menjembatani teori materialis Marxis dengan saintis. Dari perspektif falsafi, pijakan
pemikiran marxisme berdiri di atas materialis ateistik, ketidak percayaan akan adanya tuhan,
kontradiksi dengan yang diyakini oleh agamawan, teori aliran idealisme obyektif maupun
idealisme subyektif dan bahkan bertentangan juga dengan mazdhab mastaniyyah.

Materi Dalam Tinjauan Marxisme

Membahas Marxisme tidak luput dari pembahasan materi, karena ideologi Marxisme itu sendiri
berdiri di atas teori Materialisme dialektika dan Materialisme historis. Kesemuanya itu dapat
terangkum dari beberapa poin penting; Pertama: materi lebih dulu ada dari pada ruh spiritual
atau logika. Materi yang menciptakan pikiran dan segala sesuatu yang dikatakan berasal dari
pikiran (misalnya ide-ide tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan sebagainya bahkan agama),
hal-hal ini pada kenyataannya berasal dari dunia material. ‘Akal’, yaitu pikiran dan proses
berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan otak itu sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul
pada suatu tahap tertentu dari perkembangan materi hidup. Jadi, akal adalah produk dari dunia
material, hal ini jelas kontaradiksi dengan aliran idealisme. Kedua: tatasurya bukan merupakan
kreasi cipta tuhan. Maka tiada kata tuhan pencipta alam dalam kamus materialis. Ketiga: alam
semesta tidak memerlukan kekuatan keluar dari kebiasaan alam dan kekuatan yang mengaturnya
di luar alam itu sendiri, dengan begitu, alam materi mengatur dirinya sendiri melalui proses
revolusi tanpa henti, proses ini tertuang dengan hukum-hukum alam saintis empiris. Dan proses
evolusi ini juga terjadi pada tatanan sosial masyarakat.

Falsafah hidup atau "weltanschauung" marxisme adalah Ateisme. Pertama-tama ateisme itu
harus dimengerti dari konteks kelahiran Marxisme, di mana terutama gereja Kristen Protestan
gagal untuk merespon tantangan-tantangan sosial yang muncul pada abad ke-19 di Eropa. Kalau
Marx berbicara tentang agama sebagai "opium untuk bangsa" - di depan matanya terutama
adalah suatu agama seperti gerakan Pietisme Kristen Protestan yang mengutamakan
"keselamatan jiwa" seseorang dan tidak peduli terhadap kondisi sosial dan politik. Karl Marx
mengalami bentuk agama yang hanya menstabilkan status quo dan yang beraliansi dengan
penguasa-penguasa zamannya. Allah diperalat untuk melegitimasi struktur-struktur kuasa dan
sistem politik-kapitalis.

Bagaiman sikap kita terhadap Marxisme/Komunisme, khususnya dari perspektif agama?

Disini kita harus jelas, apakah kita mengkritik ideologi atau praktek real komunisme?
Sebenarnya, sistem-sistem komunis-real dapat dikalahkan dengan "senjatanya sendiri" - dan
kebanyakan sistem komunis gagal terutama karena perubahan dari dalamnya dan ketidakpuasan
bangsanya sendiri. Yang mau ditinggalkan oleh marxisme: penindasan, ketidakadilan,
ketidakbebasan masyarakat justru dikembangkan lebih keras dalam kenyataan negara-negara
komunis: milik kolektif bangsa menjadi milik minoritas yang berkuasa (namanya seharusnya
bukan komunisme, tetapi "kapitalisme negara") yang penuh dengan KKN; Upaya untuk
membebaskan manusia dari perwalian / paksaan / tekanan religius berkembang menjadi suatu
"agama pengganti" yang bahkan lebih intoleran dan totaliter, dan hanya mengizinkan aktivitas
gereja Kristen atau agama lain kalau mereka tidak kritis dan dapat diperalat untuk kepentingan-
kepentingan sistem komunis. Konformitas yang dipaksakan dari atas dengan sistem-sitem
kontrol dan mata-mata (dinas rahasia dalam negeri) yang luar biasa; kekerasan dan pelanggaran
HAM yang terselubung di belakang tujuan-tujuan pembebasan revolusioner. Individu mendapat
status sosialnya bukan sesuai dengan prestasinya atau kebutuhannya, tetapi sesuai dengan tingkat
konformitasnya dengan sistem politik. Motivasi komitmen untuk bekerja dan untuk inisiatif
ekonomis tidak ada lagi, sehingga ekonomi menjadi hancur. Toleransi terhadap minoritas-
minoritas dan solidaritas internasional menjadi lapangan permainan kuasa.

Yang saya maksud adalah bahwa dalam ideologi dan motivasi Marxisme ada juga inti yang
benar, yang telah dikhianati oleh sejarah komunisme sendiri. Kalau kita jujur, hal semacam ini
tidak hanya dialami oleh Marxisme, tetapi oleh kita sendiri. Nilai-nilai Pancasila diperalat dan
dikhianati oleh orba, sehingga beberapa bentuk orba sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
beberapa sistem komunis. Nilai-nilai Kristen yang intinya kasih, toleransi dan perdamaian, sering
dan sampai sekarang ini dikhianati oleh sikap-sikap intoleran atau aliansi-aliansi dengan penjajah
atau penguasa bagi kepentingan sendiri. Dan pasti saudara-saudari Islam akan menemukan hal
yang serupa juga kalau menguraikan sejarahnya sendiri.

Sebenarnya semasa Marx masih hidup pun, sudah bermunculan tulisan yang meramalkan kebangkrutan
pemikiran Marx, tetapi pada saat bersamaan pula muncul para pembela dan pendukung Marx yang
menganggap Marxisme justru sebagai harapan kesejahteraan dan keadilan umat manusia di masa
depan. Sampai hari ini pun, diskusi dan debat pro dan kontra Marxisme berkepanjangan tidak henti-
hentinya. Suar Suroso dalam bukunya ini berargumentasi luas dan mendalam mengenai topik maha-
besar ini. Kita mempersilakan para pembaca sebebas-bebasnya menilai dan menafsirkan posisi dan sikap
Penulis terhadap Marxisme tersebut. Suar Suroso pun telah menulis Kata Pengantar gamblang dan
terbuka yang dapat menjelaskan di mana dia berdiri dan ke kubu mana dia berpihak.
 
Di sini Penerbit tidak akan menulis Kata Pengantar lagi - tapi lebih cenderung mendampingi Penulis
dengan sebuah renungan singkat dan melihat debat ideologi itu dari suatu jarak tertentu. Kami tidak
melibatkan diri langsung dalam pertarungan dua kubu itu – namun ini tidak berarti Penerbit netral tidak
berpihak. Penerbit jelas berpihak ideologi yang mengutamakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat,
entah apa pun label politik yang mau dikenakan untuk wawasan “kesejahteraan dan keadilan bagi
rakyat”  tersebut.
   Seperti kita tulis sebelumnya, para pendukung Kapitalisme dan Pasar Bebas merasa yakin telah
mendapatkan bukti kegagalan  komunisme. Faktanya: adikuasa Soviet Uni dan negeri-negeri Eropa
Timur bubar-jalan – sebaliknya kaum komunis tentu tidak mengakui kegagalan Marxisme sebagai
ideologi, melainkan hanya mempersalahkan praktek pengelolaan birokrasi yang keliru oleh para birokrat
Partai sebagai sumber “kegagalan” itu. Dalam pada itu, pada saat Kapitalisme disanjung-sanjung sebagai
ideologi yang paling unggul dan benar, justru sekarang di tahun 2008-2009 setumpuk tahi sapi paling
bau dilempar ke muka Fukuyama, Huntington dan semua pendukung Kapitalisme dan Pasar Bebas di
Amerika. Seantero penduduk adikuasa Amerika Serikat sekarang nyata-nyata terpuruk parah sekali
dalam krisis ekonomi-keuangan sampai ke titik paling rendah. Apa lagi yang tersisa dari keunggulan
mutlak Kapitalisme?
   Mulai dari penduduk awam atau pegawai kecil negeri dan swasta, sampai pada CEO Korporasi raksasa
mulai hidup dalam serba kekurangan, mulai merasakan kesengsaraan kemiskinan. Cicilan sewa-beli
rumah dan mobil tidak mampu dibayar, asuransi pensiun di masa depan anjlok karena terbawa-bawa
menginvestasi tabungan pada perusahaan saham yang bangkrut, usaha-usaha kecil pada gulung-tikar.
Selama ini rupanya tidak disadari, bahwa keunggulan konsep Pasar Bebas kapitalisme dalam praktek
dengan sendirinya berarti juga Bebas Keserakahan. Satu prosen elit kapitalis-besar sebebas-bebasnya
mengantongi kekayaan 99 prosen penduduk dengan berbagai praktek sistem finansial – menghimpun
modal, memanipulasi saham, menyalah-gunakan tabungan/asuransi pensiun para pencari nafkah, dsb,
dsb. Tetapi para elit kapital besar ini jelas tidak sengsara seperti rakyat awam. Bermilyar dolar masih di
kantong mereka, sebaliknya bagi rakyat awam jatah yang diterima dengan royal tidak
 Selain Kedaulatan Rakyat, juga Kedaulatan Hukum dalam kaitan keamanan negeri dan individu setiap
warganegara Indonesia tanpa kecuali harus ditegakkan dan dipelihara. Sinyalemen-sinyalemen tentang
bahaya apa pun, termasuk bahaya PKI dan anak-anak PKI, harus serius diperhatikan dan ditindak-lanjuti
sesuai hukm yang berlaku.
   Untuk itu, sebagai negara hukum kita memiliki aparat Pengadilan, Kepolisian dan Kejaksaan. Semua
kasus dengan unsur pidana apa pun – termasuk kriminalitas politik – harus diputuskan lewat Pengadilan.
Vonnis harus dijatuhkan sesuai kejahatan yang diperbuat.
   Sinyalemen-sinyalemen yang dilontar ke publik tanpa tindak-lanjut apa-apa akan menimbulkan
keresahan. Benar-benar resah atau keresahan pura-pura, bisa juga banyak orang jadi bosan – akhirnya
sinyalemen-sinyalemen tanpa ujung-pangkal seperti itu dianggap sepi oleh masyarakat. Kosong, cuma
ramalan para prophers of doom, ocehan para dewa peramal kiamat, ramalan mengerikan yang tidak
kunjung tiba. Hanya yang mengucapkan sinyalemen tahu apa motif latar-belakang dari segala ucapannya
pada publik. Dari segi mukadimah UUD yang ingin mencerdaskan bangsa, hal seperti itu sangat negatif.
Masyarakat tidak terdidik pada kenyataan yang ada, melainkan pada fakta semu yang dijejal-jejal dan
harus dianggap sebagai kenyataan. Pada hal seluruh masyarakat perlu bersikap realistik untuk
menangani segala masalah sesuai fakta yang ada – bukan realitas rekayasa hasil kutak-katik benak
sendiri.
   Berkali-kali kita ulangi di sini, Indonesia dan semua orang Indonesia – tentu terutama sekali seluruh
aparat kemanan dan pengadilan – harus konsekuen kokoh pada identitas Indonesia sendiri, bersikap
Mandiri demi kepentingan Indonesia dalam mengurus segala masalah: kesejahteraan ekonomi, keadilan
sosial, juga segala urusan dan kasus di bidang keamanan, politik dan ideologi. Kita perlu betul-betul
terbebas dari ideologi luar, bebas dari paradigma Perang Dingin yang kontra-produktif bagi Rakyat dan
Negeri.
   Inilah renungan-singkat kita pada saat mengkaji mana yang unggul antara Marxisme dan Kapitalisme;
mana paling bermanfaat bagi Rakyat kita. lain adalah pengangguran massal.

Pengaruh Ideologi Terhadap Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Periode yang


Mempengaruhinya
Jumat, 09 Februari 2007
Soenarto Soedarno, MA
Mantan Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Khusus dan Mantan Duta  Besar RI untuk
Republik Cekoslovakia

Pendahuluan
Sejarah perkembangan bangsa-bangsa menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara
kehidupan ekonomi dan format politik. Hal ini mudah dimengerti karena kehidupan ekonomi,
bersangkut paut dengan masalah produksi, distribusi, konsumsi dan pertukaran barang dan jasa
sedang format politik bertautan dengan kultur, struktur dan prosedur hidup bersamaan antara
manusia yang memerlukan barang dan jasa tersebut. Perkembangan sejarah tersebut juga berlaku
dalam kehidupan ekonomi dan politik di Indonesia. Pada saat masyarakat Indonesia masih belum
menjadi satu bangsa, dampak dinamika kehidupan ekonomi dan politik ditanggulangi langsung
oleh suku-suku bangsa yang ada, yang biasanya telah mempunyai kerajaan-kerajaan lokalnya
sendiri.
Setelah suku-suku bangsa Indonesia tersebut secara perlahan-lahan mengembangkan kesadaran
kebangsaan dan melancarkan gerakan menuju kemerdekaan, dampak dinamika kehidupan
ekonomi dan politik nasional tersebut mulai dirasakan sebagai masalah bersama, yaitu masalah
bangsa dan Negara Indonesia yang akan dibentuk, yang baru berhasil diwujudkan dalam tahun
1945.
Kekuatan luar yang paling intensif dan paling lama bersinggungan dengan suku-suku bangsa
Indonesia secara khusus dengan bangsa Indonesia secara umum adalah kerajaan Belanda, yang
menganut faham liberalisme dalam politik dan kapitalisme dalam ekonomi. Tidaklah
mengherankan bahwa dalam perjuangan  melawan tekanan kerajaan Belanda, bangsa Indonesia
berpaling kepada antitesa dari liberalisme dan kapitalisme tersebut, yang juga terdapat dalam
khazanah pemikiran Barat, antara lain kepada nasionalisme, sosialisme, bahkan pada komunisme.
Karl Heinrich Marx (lahir di Trier, Jerman, 5 Mei 1818 – meninggal di London, 14 Maret 1883 pada umur
64 tahun) adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.

You might also like