You are on page 1of 178

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA

KELAS X-4 SMA NEGERI I JEPARA MELALUI DISKUSI

DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL FOKUS PEMODELAN

SKRIPSI

Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Nama : Zaenal Arief

NIM : 2101401028

Prodi : Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2005
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang

Panitia Ujian Skripsi.

Semarang, Juli 2005

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Subyantoro, M. Hum Tommi Yuniawan, S Pd, M. Hum


NIP. 132005035 NIP. 132238498

i
SARI

Arief, Zaenal. 2005. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas X-4 SMA
Negeri I Jepara melalui Diskusi dengan Pendekatan Kontekstual Fokus
Pemodelan. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs.
Subyantoro, M. Hum, Pembimbing II: Tommi Yuniawan, S. Pd., M. Hum.
Kata Kunci: keterampilan berbicara, diskusi, pendekatan kontekstual fokus
pemodelan.

Pada umumnya, dalam situasi resmi siswa SMA masih mengalami kesulitan
untuk menyampaikan gagasan, pikiran, pertanyaan dan sebagainya menggunakan
ragam bahasa lisan dengan baik dan benar. Hal ini juga dialami oleh sebagian
besar siswa SMA Negeri I Jepara. Hal tersebut disinyalir karena rendahnya
kreativitas guru dalam menentukan teknik pembelajaran keterampilan berbicara
kepada siswa. Rasa kurang percaya diri, gugup ataupun grogi senantiasa
melingkupi diri siswa setiap pembelajaran berlangsung. Fenomena seperti ini
merupakan permasalahan yang perlu segera ditemukan alternatif-alternatif
pemecahannya. Dengan demikian, pembelajaran keterampilan berbicara
merupakan suatu sarana yang dapat digunakan siswa untuk mengembangkan
potensi berbicara seluas-luasnya. Salah satu upaya yang dapat dijadikan alternatif
pemecahan masalah tersebut adalah dengan menerapkan pembelajaran
keterampilan berbicara melalui diskusi dengan pendekatan kontekstual fokus
pemodelan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diungkap dalam penelitian ini
adalah 1) seberapa besar peningkatan keterampilan berbicara siswa setelah
mengikuti pembelajaran berbicara dengan pendekatan kontekstual fokus
pemodelan, dan 2) bagaimana perubahan perilaku siswa setelah mengikuti
pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan kontekstual fokus
pemodelan. Tujuan penelitian ini yaitu 1) mengetahui peningkatan keterampilan
berbicara siswa setelah mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara dengan
pendekatan kontekstual fokus pemodelan, dan 2) mengetahui perubahan perilaku
siswa setelah mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan
kontekstual fokus pemodelan.
Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis kelas. Dengan demikian,
metode yang digunakan adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang
meliputi dua siklus. Tiap-tiap siklus dilakukan secara berdaur yang terdiri atas
empat tahap, yaitu 1) perencanaan, 2) tindakan, 3) pengamatan, dan 4) refleksi.
Data penelitian diambil melalui tes dan nontes. Alat pengambilan data tes yang
digunakan berupa instrumen tes perbuatan yang berisi aspek-aspek kriteria
penilaian keterampilan berbicara berupa penilaian keterampilan berbicara melalui
diskusi. Alat pengambilan data nontes yang digunakan berupa pedoman observasi,
wawancara, jurnal, dokumentasi foto, rekaman pita, rekaman video, dan
sosiometri. Selanjutnya, data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Berdasarkan analisis data penelitian, disimpulkan bahwa melalui pendekatan
kontesktual fokus pemodelan (modeling), keterampilan berbicara siswa meningkat

ii
sebesar sebesar 7,8%. Pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh siswa sebesar
73,4%, sedangkan pada siklus II, hasil yang dicapai sebesar 81,2%. Perilaku yang
ditunjukkan siswa pun berubah setelah diberikan tindakan. Siswa lebih antusias
mengikuti pembelajaran, bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, tidak
gugup atau grogi dan semakin percaya diri ketika berbicara di depan kelas.
Selanjutnya, dari hasil penelitian tersebut, saran yang dapat direkomendasikan
antara lain 1) para guru Bahasa dan Sastra Indonesia hendaknya kreatif dalam
menentukan pendekatan dalam pembelajaran keterampilan berbicara siswa agar
siswa tidak merasa jenuh dengan pembelajaran yang dihadapi, 2) para guru
Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menggunakan teknik diskusi dengan
pendekatan kontekstual fokus pemodelan untuk membelajarkan keterampilan
berbicara, 3) para guru bidang studi lain dapat mengadaptasi teknik pembelajaran
ini dalam membelajarkan mata pelajaran kepada siswa, dan 4) para pakar atau
praktisi bidang pendidikan bahasa dapat melakukan penelitian serupa dengan
teknik pembelajaran yang berbeda, sehingga didapatkan berbagai alternatif teknik
pembelajaran keterampilan berbicara siswa.

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2005

Zaenal Arief

iv
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipertahankan di hadapan panitia ujian skripsi Fakultas Bahasa dan

Seni UNNES pada:

Hari : Senin

Tanggal : 5 September 2005

Panitia Ujian

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Rustono, M. Hum Drs. Agus Yuwono, M. Si


NIP 131281222 NIP 13204999

Penguji I,

Drs. Mukh Doyin, M. Si


NIP 132106367

Pembimbing I/Penguji II, Pembimbing II/ Penguji III,

Drs. Subyantoro, M. Hum Tommi Yuniawan, S Pd, M. Hum


NIP 132005035 NIP 132238498

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

1. Sekali berarti sudah itu mati (Chairil Anwar)

2. Siamo Tutti Fratelli/ Kita semua saudara (International Committe of The Red

Cross)

3. Ingat hari akhir (Zaenal)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

1. Bagai embun yang menyejukkan ranting

dahagaku, dan bagai matahari yang

senantiasa membakar jiwaku, ibu dan

ayah. Aku bersaksi atas amanah Allah

kepadamu untuk diriku,

2. Ummi Haniek, adikku, yang selalu

menantangku untuk terus maju,

3. Keluargaku, harta yang paling berharga,

4. Pak Udik, mahaguruku.

5. Guru-guru dan almamaterku.

vi
PRAKATA

Puji syukur tiada terhingga ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan

nikmat dan karunia yang diberikan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat

selesai dengan baik, penuh tantangan dan ujian bertubi-tubi.

Rendahnya keterampilan berbicara siswa dan kurangnya kreativitas guru

dalam menentukan pendekatan pembelajaran yang dapat membuat siswa antusias

mengikuti pelajaran mengilhami penulis untuk menyusun skripsi berbasis

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) guna meningkatkan keterampilan berbicara

siswa, sekaligus menciptakan model dalam pembelajaran yang bisa ditiru/ diamati

siswa meskipun sederhana. Ilham tersebut penulis wujudkan dalam bentuk upaya

peningkatan keterampilan berbicara siswa yang penulis rangkum dalam skripsi

berbasis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di kelas X-4 SMA Negeri I Jepara,

almamater penulis dulu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai

pihak, penulisan skripsi ini tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, dengan

kerendahan hati, ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada:

1. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni,

serta Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan izin

penelitian ini,

2. Drs. Subyantoro, M. Hum dan Tommi Yuniawan, S. Pd, M. Hum,

pembimbing I dan II, yang disela-sela kesibukannya dengan penuh kesabaran,

vii
keikhlasan, dan kebijaksanaan memberikan bimbingan, arahan dan masukan

kepada penulis,

3. Ibu dan Bapak dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

menyemaikan ladang dan menanamkan ilmu sebagai bekal yang sangat

bermanfaat bagi penulis,

4. Drs. Sugeng Hidayat, M.M., Kepala SMA Negeri I Jepara, yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan penelitian ini dan

memberikan kesempatan untuk berkarya di sana,

5. Bambang Wisaksono, S. Pd, Kepala Tata Usaha SMA Negeri I Jepara, atas

pinjaman fasilitas-fasilitas sekolah guna mendukung penelitian ini,

6. Udik Agus DW., S. Pd, guru bahasa Indonesia-ku, atas motivasi dan

kerelaannya untuk penulis ajak diskusi, bertukar pikiran serta berkeluh kesah

hingga larut malam. Tak terhitung lagi apa yang kauberi. Bagaimana aku

berterima kasih padamu,

7. Anak-anak kelas X-4 SMA Negeri I Jepara, subjek penelitian ini,

8. Om Nur Subkhi, atas ilmu dan pinjaman fasilitas komputernya untuk mengetik

skripsi ini,

9. M. Juli Fitriyadi atas pengambilan gambar dan editing untuk model diskusi

yang peneliti buat, Katin "Aulia Yasmin Furniture" atas kameranya, Via,

Yayan, Susilo, Adhisty, Gunawan, Nopiyan, dan anak-anak PMR Wira SMA

Negeri I Jepara 2004/2005 atas pembuatan modelnya,

10. Teman-teman PBSI angkatan 2001 atas segala informasi, bantuan, dukungan

dan semua yang telah diberikan,

viii
11. Teman-teman kos "Plat-K Community". Bersama mereka aku jadi tahu jalan

menuju surga dan arah pintu neraka,

Insya Allah jasa-jasa mereka akan saya kenang sepanjang hayat.

Semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca. Akhirnya, seperti

pepatah katakan, "Tak ada gading yang tak retak", skripsi ini pun masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca

saya harapkan demi kesempurnaan penyusunan berikutnya.

Semarang, Juli 2005

Zaenal Arief

ix
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... i

SARI.................................................................................................................... ii

PERNYATAAN.................................................................................................. iv

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi

PRAKATA.......................................................................................................... vii

DAFTAR ISI....................................................................................................... x

DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan .................................................................................................. 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ........................................................... 6

C. Rumusan Masalah ......................................................................................... 10

D. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 10

E. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 11

1. Manfaat Praktis....................................................................................... 11

2. Manfaat Teoretis..................................................................................... 11

BAB II LANDASAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Pustaka............................................................................................... 12

B. Landasan Teoretis

1. Pembelajaran Bahasa Indonesia.............................................................. 17

x
2. Pembelajaran Keterampilan Berbicara.................................................... 19

a. Hakikat Keterampilan Berbicara ..................................................... 19

b. Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara .................................... 20

c. Alternatif Pembelajaran Keterampilan Berbicara............................ 22

d. Diskusi ............................................................................................. 23

e. Faktor-faktor Penunjang Efektifitas Berbicara................................ 30

3. Pendekatan Kontekstual.......................................................................... 36

4. Pemodelan ............................................................................................... 37

C. Kerangka Berpikir......................................................................................... 38

D. Hipotesis Tindakan ....................................................................................... 39

BAB III METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian........................................................................................... 40

B. Variabel Penelitian ........................................................................................ 40

1. Keterampilan Berbicara Siswa................................................................ 40

2. Penggunaan Pendekatan Kontekstual Fokus Pemodelan........................ 41

C. Parameter Penelitian ..................................................................................... 41

D. Instrumen Penelitian ..................................................................................... 42

1. Bentuk Instrumen .................................................................................... 42

a. Tes Perbuatan.................................................................................... 42

b. Nontes ............................................................................................... 45

2. Uji Instrumen .......................................................................................... 54

a. Instrumen Tes Perbuatan .................................................................. 54

xi
b. Instrumen Nontes .............................................................................. 54

E. Desain Penelitian........................................................................................... 55

1. Proses Pelaksanaan Siklus I.................................................................... 56

2. Proses Pelaksanaan Siklus II .................................................................. 60

F. Teknik Pengumpulan Data............................................................................ 65

G. Teknik Analisis Data..................................................................................... 70

1. Teknik Kuantitatif .................................................................................. 70

2. Teknik Kualitatif .................................................................................... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ............................................................................................. 74

1. Hasil Penelitian Siklus I ......................................................................... 74

a. Hasil Tes .......................................................................................... 74

b. Hasil Nontes..................................................................................... 86

2. Hasil Penelitian Siklus II ........................................................................ 111

a. Hasil Tes .......................................................................................... 112

b. Hasil Nontes..................................................................................... 122

B. Pembahasan................................................................................................... 145

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ....................................................................................................... 159

B. Saran.............................................................................................................. 160

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 162

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.. : Parameter Penelitian .................................................................... 41


Tabel 2. : Aspek Penilaian, Nilai, dan Kategori........................................... 43
Tabel 3.. : Rincian Perolehan Nilai Tiap Siswa ............................................ 44
Tabel 4.. : Hasil Tes Keterampilan Berbicara Siklus I.................................. 75
Tabel 5. : Hasil Tes Aspek Ketepatan Ucapan............................................. 76
Tabel 6. : Hasil Tes Aspek Penempatan Tekanan ........................................ 77
Tabel 7. : Hasil Tes Aspek Penempatan Jeda............................................... 78
Tabel 8. : Hasil Tes Aspek Intonasi ............................................................. 79
Tabel 9. : Hasil Tes Aspek Pilihan Kata ...................................................... 80
Tabel 10.: Hasil Tes Aspek Pemakaian Kalimat........................................... 81
Tabel 11.: Hasil Tes Aspek Sikap, Gerak-gerik dan Mimik ......................... 82
Tabel 12.: Hasil Tes Aspek Volume Suara ................................................... 83
Tabel 13.: Hasil Tes Aspek Pandangan Mata................................................ 84
Tabel 14.: Hasil Tes Aspek Penguasaan Topik............................................. 85
Tabel 15.: Hasil Tes Aspek Kelancaran ........................................................ 86
Tabel 16.: Hasil Tes Keterampilan Berbicara Siklus II................................. 112
Tabel 17.: Hasil Tes Aspek Ketepatan Ucapan............................................. 113
Tabel 18.: Hasil Tes Aspek Penempatan Tekanan ........................................ 114
Tabel 19.: Hasil Tes Aspek Penempatan Jeda............................................... 115
Tabel 20.: Hasil Tes Aspek Intonasi ............................................................. 116
Tabel 21.: Hasil Tes Aspek Pilihan Kata ...................................................... 117
Tabel 22.: Hasil Tes Aspek Pemakaian Kalimat........................................... 118
Tabel 23.: Hasil Tes Aspek Sikap, Gerak-gerik dan Mimik ......................... 119
Tabel 24.: Hasil Tes Aspek Volume Suara ................................................... 120
Tabel 25.: Hasil Tes Aspek Pandangan Mata................................................ 120
Tabel 26.: Hasil Tes Aspek Penguasaan Topik............................................. 121
Tabel 27.: Hasil Tes Aspek Kelancaran ........................................................ 122
Tabel 28.: Perbandingan Nilai Tiap-tiap Aspek Keterampilan Berbicara..... 179

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. : Aktivitas Siswa Menyaksikan Model............................................ 103


Gambar 2. : Aktivitas Siswa Mendiskusikan Masalah Diskusi ........................ 104
Gambar 3. : Penampilan Diskusi Siswa di Depan Kelas .................................. 105
Gambar 4. : Alur Sosiometri ............................................................................. 140

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hakikat belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu,

pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan siswa agar

mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun

tertulis (Depdiknas 2003:1). Selain untuk meningkatkan siswa agar mampu

berkomunikasi, pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar siswa memiliki

sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif yang dapat

ditunjukkan siswa antara lain mau menggunakan bahasa Indonesia dengan

baik dan benar dalam berkomunikasi.

Komunikasi merupakan kegiatan mengungkapkan isi hati kepada

orang lain (Depdiknas 2004:5). Isi hati tersebut dapat berupa gagasan, pikiran,

perasaan, pertanyaan dan sebagainya. Secara garis besar Yuniawan (2002:1)

mengemukakan bahwa ada dua cara komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan

komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal menggunakan bahasa sebagai

sarananya, sedangkan komunikasi nonverbal menggunakan sarana gerak-

gerik, warna, gambar, bendera, bunyi bel dan sebagainya.

Bahasa digunakan sebagai sarana dalam komunikasi verbal dan dapat

dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi lisan dan komunikasi tulisan (Yuniawan

2002:1). Dalam komunikasi sehari-hari orang lebih banyak menggunakan

1
2

ragam bahasa lisan daripada ragam bahasa tulis. Kegiatan berbahasa lisan

disebut berbicara.

Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi

atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan

pikiran, gagasan dan perasaan (Tarigan 1990:15). Berbicara merupakan

keterampilan berbahasa selain keterampilan mendengarkan, keterampilan

membaca, dan keterampilan menulis (Nida dan Haris dalam Tarigan 1990:1)

Keterampilan berbicara merupakan keterampilan kebahasaan yang

sangat penting. Syafi'ie (1993:33) mengemukakan, dengan keterampilan

berbicaralah pertama-tama kita memenuhi kebutuhan untuk berkomunikasi

dengan masyarakat tempat kita berada. Keraf (1997:314) menyebutkan bahwa

peranan pidato, ceramah, penyajian lisan pada suatu kelompok masa

merupakan hal yang sangat penting, baik pada waktu sekarang maupun waktu

mendatang.

Selain pentingnya keterampilan berbicara untuk berkomunikasi,

komunikasi dapat berlangsung secara efektif dan efisien dengan menggunakan

bahasa, sedangkan hakikat bahasa adalah ucapan. Proses pengucapan bunyi-

bunyi bahasa itu tidak lain adalah berbicara. Untuk dapat berbicara dengan

baik diperlukan keterampilan berbicara (Syafi'ie 1993:33).

Dari uraian di atas, diketahui betapa pentingnya keterampilan berbicara

bagi seseorang. Oleh karena itu, pembelajaran keterampilan berbicara perlu

mendapat perhatian agar para siswa memiliki keterampilan berbicara,

sehingga mampu berkomunikasi untuk menyampaikan isi hatinya kepada


3

orang lain dengan baik. Selain betapa pentingnya keterampilan berbicara bagi

seseorang, pembelajaran keterampilan berbicara perlu mendapatkan perhatian

karena keterampilan berbicara tidak bisa diperoleh secara otomatis, melainkan

harus belajar dan berlatih (Syafi'ie 1993:33).

Keterampilan berbicara dibelajarkan kepada siswa mulai dari sekolah

dasar hingga SMA. Namun, pada umumnya dalam situasi resmi siswa SMA

masih mengalami kesulitan untuk menyampaikan gagasan, pikiran, pertanyaan

dan sebagainya menggunakan ragam bahasa lisan dengan baik dan benar. Hal

ini juga dialami oleh sebagian besar siswa SMA Negeri I Jepara, khususnya

siswa kelas X yang menjadi objek penelitian ini.

Dalam kegiatan belajar mengajar digunakan bahasa Indonesia sebagai

bahasa pengantar, terutama mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Setidaknya hal ini dapat dijadikan contoh bagi para siswa dalam kegiatan

berbicara dalam suasana formal. Namun, para siswa masih saja mengalami

kesulitan untuk menyampaikan ide, pikiran, gagasan, perasaan dan lain

sebagainya dalam situasi formal dengan baik dan benar. Kesulitan yang

dialami siswa antara lain dalam hal:

1) menjawab pertanyaan guru,

2) mengajukan pertanyaan maupun pendapat dalam kegiatan belajar

mengajar, rapat OSIS, dan lain sebagainya,

3) menceritakan pengalaman pribadi,

4) memperkenalkan diri maupun orang lain,

5) menceritakan kembali isi suatu bacaan,


4

6) menyampaikan pendapat dalam rapat kelas,

7) berwawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan, dan

8) berpidato di hadapan teman sekelas, dan kegiatan berbicara lainnya.

Secara umum, pembelajaran keterampilan berbicara di SMA Negeri I

Jepara belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hasil-hasil tersebut

terlihat dari pengamatan penulis terhadap perilaku berbicara siswa dalam

situasi formal berikut.

Dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis lakukan, penulis

menjumpai bahwa dari jumlah sekitar 40 siswa di setiap kelas hanya beberapa

diantara mereka yang berani bertanya kepada guru, mengajukan pendapat dan

lain sebagainya pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Ada siswa

yang tidak berani berbicara. Ada siswa yang berani berbicara dengan

menggunakan ragam resmi tapi struktur kalimatnya kurang baik. Ada juga

siswa yang lancar berbicara tapi menggunakan ragam bahasa nonformal, dan

ada juga siswa yang mampu mengungkapkan gagasannya secara runtut tapi

struktur bahasa yang digunakan kurang baik. Dari hal itu terlihat bahwa siswa

masih mengalami kesulitan untuk berbicara dalam situasi formal dengan

menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalimat-kalimat yang

digunakan siswa yang dapat dijadikan contoh antara lain, "Pak, gimana kalau

mengumpulkan tugasnya dua minggu lagi?" Contoh lain, pertanyaan yang

diajukan siswa ketika mengikuti pembelajaran berwawancara dengan

narasumber dari berbagai kalangan, "Pak, boleh nggak, Pak, kalau kita

menanyakan pertanyaan pribadi kepada narasumber?"


5

Tidak hanya penulis saja, guru pengampu mata pelajaran lain pun

menjumpai hal yang sama dalam kegiatan belajar mengajar. Mereka

mengatakan hanya beberapa siswa saja yang berani berbicara mengajukan

pertanyaan, pendapat dan sebagainya ketika mereka diberi kesempatan

bertanya maupun mengungkapkan gagasannya.

Hubungan antara siswa dengan guru maupun staf tata usaha di luar

kelas juga menunjukkan siswa SMA Negeri I Jepara terbiasa belum

menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. Sebagai contoh, pada saat guru

pengampu berhalangan hadir, hanya siswa tertentu saja yang melaporkan

kepada piket. Kalimat yang digunakan hanya berupa kalimat-kalimat singkat

dan belum menunjukkan pemakaian bahasa Indonesia dengan benar.

Umumnya mereka berkata, "Kelas saya kosong. Ada tugas nggak, Pak / Bu?"

Begitu juga ketika siswa berhubungan dengan staf tata usaha pada saat

membayar iuran sekolah atau meminta sesuatu, "Pak / Bu, minta spidolnya.

Spidol kelas saya habis."

Bertolak dari kurangnya keterampilan berbicara siswa dalam situasi

formal menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, penulis tertarik

untuk mengadakan penelitian berkaitan dengan pembelajaran keterampilan

berbicara dalam rangka peningkatan keterampilan berbicara siswa dalam

situasi formal. Pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan

salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pelestarian bahasa Indonesia.

Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan

salah satu wujud kecintaan seseorang terhadap bangsa Indonesia.


6

Untuk meningkatkan kemampuan siswa agar mampu berbicara dalam

suasana formal, perlu dicari pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara

yang secara langsung dapat mengarahkan siswa untuk berlatih berbicara dalam

suasana resmi atau formal. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kemampuan berbicara siswa adalah pendekatan kontekstual

dengan fokus pemodelan. Dalam pembelajaran keterampilan berbicara melalui

diskusi kelas dengan menggunakan pendekatan kontekstual, siswa diminta

untuk mendiskusikan hal-hal/ masalah-masalah yang dekat dengan dunia

siswa atau dunia remaja, sehingga siswa lebih menguasai materi yang

dibicarakan karena mereka mengalami sendiri masalah-masalah itu.

Sedangkan pemodelan dalam pembelajaran adalah adanya model dalam

pembelajaran yang bisa diamati/ ditiru siswa untuk berbicara dalam ragam

formal melalui diskusi. Jadi, pembelajaran keterampilan berbicara dengan

menggunakan pendekatan kontekstual fokus pemodelan dapat meningkatkan

keterampilan berbicara, karena siswa lebih menguasai materi yang

didiskusikan dan siswa dapat meniru/ mengamati model yang diberikan untuk

berbicara dalam ragam formal melalui diskusi.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Kesulitan yang dialami siswa kelas X SMA Negeri I Jepara ketika

berbicara dengan menggunakan ragam formal peneliti identifikasi penyebab-

penyebabnya. Identifikasi tersebut peneliti dapatkan dari hasil pengamatan dan

tanya jawab dengan beberapa siswa kelas X di luar jam pelajaran dan ketika
7

mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler PMR yang peneliti kelola. Dari

identifikasi tersebut, peneliti mengetahui penyebab-penyebab kesulitan siswa

dalam berbicara dengan menggunakan ragam formal. Penyebab-penyebabnya

antara lain:

1. Dalam peristiwa komunikasi sehari-hari mereka lebih banyak

menggunakan bahasa ibu mereka, bahasa Jawa, untuk berkomunikasi

dengan orang lain. Mereka belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia

dalam peristiwa komunikasi sehari-hari. Mereka hanya menggunakan

bahasa Indonesia pada saat mengikuti proses belajar mengajar di sekolah

atau mengikuti kegiatan sekolah di luar jam pelajaran. Penggunaan bahasa

Indonesia itu pun terbatas hanya ketika siswa berhubungan dengan guru

saja pada saat pelajaran berlangsung atau pada saat mengikuti kegiatan

sekolah di luar jam pelajaran. Bahasa Indonesia yang mereka gunakan itu

pun belum menunjukkan pemakaian bahasa Indonesia yang benar.

2. Dalam proses belajar mengajar, pada umumnya para guru kurang

memberikan perhatian terhadap pemakaian bahasa Indonesia siswa. Ketika

siswa berbicara dalam pelajaran (bertanya, mengajukan pertanyaan atau

pendapat dan sebagainya), guru kurang memperhatikan pemakaian bahasa

siswa, apakah ragam yang siswa pakai sudah benar atau belum. Umumnya

guru hanya memperhatikan apa yang dibicarakan siswa berkaitan dengan

pelajaran yang diampunya. Sebagai contoh, "Pak, mbok waktunya jangan

seminggu lagi. Tambahin dong, Pak." Dari hal ini, dalam suasana formal

proses belajar mengajar, siswa belum terbiasa menggunakan bahasa


8

Indonesia dengan benar, dan menyebabkan siswa kesulitan apabila

berbicara menggunakan bahasa Indonesia ragam formal.

3. Siswa tidak memiliki/ enggan mengikuti kegiatan di luar jam pelajaran

yang memungkinkan mereka berbicara menggunakan bahasa Indonesia

dalam ragam formal. Hanya beberapa siswa saja yang memiliki kegiatan di

luar jam pelajaran yang memungkinkan mereka menggunakan bahasa

Indonesia dalam ragam formal. Siswa tersebut adalah siswa yang juga

aktif menjadi pengurus OSIS. Pada saat melakukan rapat dengan

pembina, siswa tersebut memiliki kesempatan yang lebih luas untuk

menggunakan bahasa Indonesia ragam formal. Hal ini dapat digunakan

siswa untuk melatih keterampilan berbicaranya di luar pelajaran.

Dari hal itu dapat penulis simpulkan penyebab-penyebab kesulitan

siswa dalam berbicara dengan menggunakan ragam formal, yakni para siswa

belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa sehari-hari,

kecuali pada saat mereka mengikuti proses belajar mengajar di sekolah,

kurangnya perhatian para guru terhadap pemakaian bahasa Indonesia siswa

dalam proses belajar mengajar, dan tidak adanya/ keengganan siswa mengikuti

kegiatan di luar jam pelajaran yang dapat dijadikan siswa untuk melatih

keterampilan berbicaranya. Untuk mengatasi hal itu, salah satu cara yang

dapat ditempuh untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah

dengan memaksimalkan pembelajaran keterampilan berbicara siswa di

sekolah.
9

Keberhasilan pengajaran keterampilan berbicara maupun pengajaran

bahasa pada umumnya dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor itu antara

lain, faktor dari siswa itu sendiri, dukungan orang tua dan masyarakat,

kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar (dari

perencanaan hingga evaluasi), serta tersedianya sarana dan prasarana belajar.

Dari berbagai faktor tersebut, faktor gurulah yang memegang peranan penting,

karena gurulah yang bertanggung jawab terhadap pembelajaran kepada siswa.

Berkaitan dengan kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan

belajar mengajar, muncul pertanyaan bagaimana cara meningkatkan

keterampilan berbicara pada siswa kelas X? Perlukah guru menggunakan

pendekatan-pendekatan tertentu dalam pembelajaran materi tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas diharapkan dapat memberikan masukan

bagi para guru untuk memilih dan menentukan pendekatan-pendekatan

pembelajaran yang sesuai, sehingga pada akhirnya siswa memiliki kompetensi

dalam keterampilan berbicara sesuai dengan kurikulum mata pelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia.

Pertanyaan-pertanyaan seperti yang telah dikemukakan di atas,

menarik perhatian penulis untuk mengadakan penelitian berkaitan dengan

keterampilan berbicara. Penelitian yang berkaitan dengan keterampilan

berbicara dapat sangat luas ruang lingkupnya. Oleh karena keterbatasan

waktu, biaya, dan kemampuan penulis, penelitian ini hanya mengkaji

keterampilan berbicara dalam suasana resmi yang dapat dilakukan siswa. Dari

berbagai macam suasana resmi dalam berbicara, penulis memfokuskan pada


10

keterampilan berbicara melalui diskusi kelas yang membahas masalah-

masalah yang dekat dengan dunia siswa atau dunia remaja.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Bagaimana peningkatan keterampilan berbicara siswa setelah mengikuti

pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan kontekstual

fokus pemodelan?

2. Bagaimana perubahan perilaku siswa yang ditunjukkan saat mengikuti

pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan kontekstual

fokus pemodelan?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk:

1. mengetahui peningkatan keterampilan berbicara siswa setelah mengikuti

pembelajaran keterampilan berbicara dengan pendekatan kontekstual

fokus pemodelan, dan

2. mengetahui perubahan perilaku siswa setelah mengikuti pembelajaran

keterampilan berbicara dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan.


11

E. Manfaat Penelitian

Sekecil apapun, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat, baik

manfaat praktis maupun manfaat teoretis.

1. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, penelitian ini dapat memberikan pengalaman berbicara

dalam suasana resmi, sehingga pada nantinya siswa dapat menerapkan

pengalaman ini dalam pemakaian bahasa di masyarakat,

b. Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk

memilih dan menentukan pendekatan dalam melakukan pengajaran,

sehingga siswa memiliki kompetensi dengan materi yang diajarkan,

dan profesionalisme guru semakin meningkat,

c. Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat mendorong pihak

sekolah untuk memotivasi semangat para guru untuk mengadakan

penelitian sejenis, sehingga dapat meningkatkan kinerja guru dan mutu

sekolah akan meningkat.

2. Manfaat Teoretis

Selain manfaat praktis seperti yang telah dikemukakan di atas,

penelitian ini juga memiliki manfaat teoretis untuk memberikan landasan

bagi para peneliti lain untuk mengadakan penelitian sejenis dalam rangka

meningkatkan keterampilan berbicara siswa pada khususnya dan

keterampilan berbahasa pada umumnya.


BAB II

LANDASAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Pustaka

Penelitian mengenai keterampilan berbahasa pada umumnya dan

keterampilan berbicara pada khususnya bukanlah hal baru dalam dunia

pendidikan. Para mahasiswa jurusan kependidikan bahasa dan sastra Indonesia

telah banyak melakukannya. Penelitian-penelitian tersebut merupakan

penelitian tindakan kelas untuk memperbaiki pembelajaran keterampilan

berbicara yang selama ini berlangsung. Pembelajaran keterampilan berbicara

perlu mendapatkan perhatian karena keterampilan ini sangat penting. Dalam

kehidupan sehari-hari dengan keterampilan berbicaralah pertama-tama kita

memenuhi kebutuhan berkomunikasi dengan orang lain.

Pustaka-pustaka yang mendasari penelitian ini adalah tulisan-tulisan

hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Beberapa penelitian yang mengangkat permasalahan pembelajaran

keterampilan berbicara antara lain dilakukan oleh Sumarwati (1999), Sutopo

(2000), Paiman (2001), Hidayah (2002), Riastuti (2003), dan Larasati (2004).

Semua karya tersebut merupakan skripsi. Secara singkat, karya-karya tersebut

penulis sampaikan pada uraian berikut ini.

Tahun 1999, Sumarwati menulis skripsi yang diberinya judul

Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Melalui Teknik Bermain Peran di

SLTPN 8 Pati. Dari hasil penelitian ini diperoleh simpulan bahwa teknik

12
13

bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Secara

kuantitatif hasil penelitian melalui dua siklus ini menunjukkan peningkatan

sebesar 10,6% untuk aspek kebahasaan dan 11,6% untuk aspek

nonkebahasaan. Penelitian ini memberikan kontribusi alternatif pembelajaran

keterampilan berbicara. Sayangnya, penelitian ini hanya mengukur kadar

peningkatan keterampilan berbicara siswa saja, tanpa menyoroti perubahan

perilaku siswa setelah diberikan teknik baru dalam pembelajaran. Dengan

demikian, respon siswa dalam pembelajaran belum dapat diidentifikasi.

Sutopo (2000) membuat skripsi yang berjudul Upaya Meningkatkan

Keberanian Berbicara dalam Pembelajaran Menanggapi Isi Berita Melalui

Pemberian Penguatan dan Penggunaan Media Audio pada Siswa Kelas III

SLTPN I Wedung Kabupaten Demak Tahun Ajaran 2000/2001. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa setelah dilaksanakan penelitian dalam dua

siklus dihasilkan simpulan bahwa penggunaan media audio dan pemberian

penguatan dapat meningkatkan keberanian berbicara siswa sebesar 25% dari

siklus I sampai siklus II.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan Paiman pada

siswa kelas I SLTPN 2 Subah untuk pembuatan skripsinya. Skripsi yang

dibuatnya diberi judul Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Teknik

Simulasi pada Siswa Kelas I SLTPN 2 Subah, Batang. Dalam penelitiannya

disimpulkan bahwa melalui teknik simulasi keterampilan berbicara siswa

dapat ditingkatkan. Peningkatan ini terlihat dari persentase keterampilan

berbicara yang meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar 12,38%. Tidak


14

hanya peningkatan keterampilan berbicara siswa saja, siswa juga memberikan

respon positif dalam pembelajaran berbicara melalui teknik simulasi. Respon

positif yang ditunjukkan adalah keaktifan dan antusias siswa dalam mengikuti

pembelajaran. Dengan demikian, penelitian ini cukup memberikan masukan

bagi guru bahasa dan sastra Indonesia untuk memilih teknik pembelajaran

keterampilan berbicara.

Hidayah (2002) membuat skrisi yang diberi judul Peningkatan

Keterampilan Berbicara dengan Teknik Reka Cerita Gambar pada Siswa

Kelas I C MA Al-Asror Patemon Gunungpati, Semarang. Nur Hidayah

menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa terjadi perbedaan hasil antara siklus

I dan siklus II sebesar 9,15 dan terbukti bahwa teknik reka cerita gambar dapat

meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Riastuti pada tahun 2003.

Skripsinya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Media

Audio pada Siswa Kelas V SDN Yamansari 03 Kecamatan Lebaksiu

Kabupaten Tegal, membahas masalah mengenai peningkatan keterampilan

berbicara siswa melalui audio dan perubahan perilaku siswa selama

pembelajaran. Ada yang menarik dari penelitian ini, yakni subjek penelitian

ini adalah siswa Sekolah Dasar yang selama ini jarang digunakan oleh para

peneliti dalam mengkaji keterampilan berbicara.

Larasati (2004) mengadakan penelitian untuk skripsinya yang berjudul

Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Teknik Debat pada Siswa Kelas

III PS 4 SMKN 8 Semarang Tahun Ajaran 2003/2004. Dari penelitiannya


15

disimpulkan bahwa melalui pembelajaran berbicara dengan teknik debat

kemampuan berbicara siswa kelas III PS 4 SMKN 8 Semarang meningkat.

Peningkatannya sebesar 11,38%. Selain peningkatan keterampilan berbicara,

siswa juga mengalami perubahan perilaku dalam pembelajaran ke arah positif.

Perilaku tersebut adalah siswa semakin aktif dan antusias dalam belajar, berani

mengemukakan pendapat, dan semakin percaya diri dalam berbicara di depan

umum dalam forum resmi.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian

mengenai keterampilan berbicara siswa sudah banyak dilakukan. Penelitian-

penelitian tersebut bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara

siswa. Para peneliti telah menggunakan teknik maupun media yang bervariasi

dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa, baik pada tingkat SD,

SMP maupun SMA/SMK/MA.

Meskipun penelitian mengenai keterampilan berbicara telah banyak

dilakukan, peneliti tetap menganggap bahwa penelitian sejenis masih perlu

dilakukan untuk menemukan berbagai alternatif teknik dalam membelajarkan

keterampilan berbicara kepada siswa. Hal ini mengingat kenyataan bahwa

keterampilan berbicara siswa masih rendah, belum memuaskan, dan masih

perlu dicarikan teknik-teknik yang efektif untuk membelajarkan keterampilan

berbicara siswa. Berpijak pada fenomena di atas, peneliti melakukan

penelitian peningkatan keterampilan berbicara ragam formal siswa kelas X

SMA Negeri I Jepara melalui diskusi dengan pendekatan kontekstual fokus

pemodelan.
16

Dalam diskusi ini siswa diminta untuk membentuk kelompok-

kelompok. Kemudian, kelompok tersebut mendiskusikan masalah-masalah

seputar dunia siswa atau dunia remaja yang ditemukan dari majalah Graffity,

media komunikasi siswa SMA Negeri I Jepara, untuk mendiskusikan

alternatif-alternatif pemecahannya. Setelah itu, setiap kelompok tampil

menyajikan hasil kerja kelompoknya secara bergantian untuk ditanggapi

teman-temannya dari kelompok lain berkaitan dengan alternatif-alternatif

pemecahan masalah yang ditemuinya.

Penelitian yang mengkaji peningkatan keterampilan berbicara siswa

SMA melalui diskusi dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan belum

pernah dilakukan peneliti lain, sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya. Hal ini dikarenakan Kurikulum 2004

atau sering dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan

menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran baru mulai

dilaksanakan di sekolah-sekolah pada tahun ajaran 2004/2005, termasuk SMA

Negeri I Jepara. Berpijak pada penelitian-penelitian sebelumnya, dan adanya

keinginan peneliti untuk memberikan sumbangsih alternatif-alternatif

pembelajaran keterampilan berbicara bagi para guru bahasa dan sastra

Indonesia di sekolah-sekolah pada umumnya dan di SMA Negeri I Jepara

pada khususnya, maka penelitian ini peneliti lakukan.


17

B. Landasan Teoretis

1. Pembelajaran Bahasa Indonesia

Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi, sedangkan

hakikat belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu,

pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa

Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Kemampuan berkomunikasi

penting dimiliki siswa, sebab keterampilan yang baik dalam berbahasa

dapat membuat komunikasi antarwarga berlangsung dengan tenteram dan

damai (Depdiknas 2003:4). Pembelajaran bahasa Indonesia juga dapat

dijadikan sarana pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Jalur

pendidikan di sekolah merupakan merupakan jalur yang sangat efektif dan

efisien. Wujud pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia di sekolah

adalah pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia (Syafi'ie 1993:11).

Dalam kurikulum 2004 atau sering dikenal dengan Kurikulum

Berbasis Kompetensi (KBK), standar kompetensi mata pelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia mencakupi aspek mendengarkan, berbicara,

membaca, menulis, dan sastra. Sebaiknya, aspek-aspek tersebut mendapat

porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu dalam satu tema.

Pembelajaran aspek-aspek tersebut disampaikan secara tematis.

Artinya, tema digunakan sebagai pengikat untuk pengembangan dan

perluasan pembelajaran aspek-aspek tersebut serta pemersatu kegiatan

berbahasa. Tujuannya adalah agar kegiatan pembelajaran bahasa tidak


18

disajikan terpisah dari konteks. Tema itu sendiri dapat dijabarkan ke dalam

beberapa anak tema. Tema-tema tersebut digunakan untuk membelajarkan

aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan

sastra. Pembelajaran keterampilan mendengarkan digunakan sebagai

bahan untuk membelajarkan keterampilan berbicara atau sebaliknya,

pembelajaran keterampilan berbicara digunakan sebagai bahan untuk

membelajarkan keterampilan mendengarkan. Begitu juga dengan

pembelajaran keterampilan membaca dan menulis. Keterampilan membaca

digunakan sebagai bahan keterampilan menulis atau keterampilan menulis

juga digunakan sebagai bahan ajar keterampilan membaca. Sebagai

contoh, diambil tema lingkungan. Dalam pembelajaran keterampilan

menyimak siswa diperdengarkan informasi-informasi yang berkaitan

dengan lingkungan, misalnya diperdengarkan berita tentang pentingnya

rumah sehat untuk tempat tinggal. Pada kegiatan pembelajaran

keterampilan berbicara, siswa diminta untuk berbicara tentang lingkungan

di sekitar tempat tinggal mereka dalam kaitanya dengan informasi yang

telah diperdengarkan kepadanya. Dalam kegiatan pembelajaran

keterampilan membaca siswa diberikan teks-teks yang berisi pentingnya

rumah sehat. Begitu juga dalam pembelajaran keterampilan menulis, siswa

diminta untuk membuat tulisan tentang lingkungan sekitar tempat tinggal

mereka. Pada pembelajaran kebahasaan siswa diberi materi kosa kata,

kalimat, paragraf, atau wacana yang berhubungan dengan lingkungan.

Pembelajaran sastra pun demikian. Siswa diberi sajian sastra yang


19

mengangkat tema lingkungan. Jadi, pembelajaran dilakukan secara terpadu

dalam satu tema. Adapun jaringan keterpaduan aspek-aspek itu dapat

digambarkan sebagai berikut.

Berbicara

Mendengarkan Tema Menulis

Sastra Membaca
(Hartono 2003 : 10)

2. Pembelajaran Keterampilan Berbicara

a. Hakikat Keterampilan Berbicara

Pada hakikatnya keterampilan berbicara adalah keterampilan

mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk

mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan,

dan perasaan (Tarigan 1990:15). Keterampilan berbicara sangat

penting dimiliki seseorang agar tidak terjadi kesalahpahaman antara

penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Bentuk komunikasi

lisan ini paling banyak digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari,

karena bentuk komunikasi verbal dianggap paling sempurna, efisien

dan efektif (Yuniawan 2002:1). Dengan keterampilan berbicaralah

pertama-tama kita memenuhi kebutuhan untuk berkomunikasi dengan

lingkungan tempat kita berada (Syafi’ie 1993:33).

Dengan memperhatikan betapa pentingnya keterampilan berbicara

ini, maka setiap orang dituntut untuk dapat berbicara dengan baik

dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Keterampilan ini tidak

diperoleh secara otomatis, melainkan harus belajar dan berlatih


20

(Syafi’ie 1993:33). Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk

belajar dan melatih keterampilan berbicara siswa adalah melalui

pendidikan di sekolah.

b. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara

Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai

dasar yang terrefleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak

(Puskur 2002:1 dalam Hartono 2003:7). Selanjutnya, kebiasaan

berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus

memungkinkan seseorang menjadi kompeten. Artinya, seseorang itu

memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk

melakukan sesuatu. Kompetensi dalam KBK merupakan jabaran dari

Tujuan Pendidikan Nasional (TPN). TPN secara urut dijabarkan

menjadi Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK), kompetensi tamatan,

kompetensi rumpun pelajaran, standar kompetensi tiap aspek mata

pelajaran, dan kompetensi dasar. Standar Kompetensi Lintas

Kurikulum merupakan kecakapan untuk hidup dan belajar sepanjang

hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui

pengalaman belajar. Kompetensi tamatan merupakan pengetahuan,

keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan

berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang

tertentu. Standar kompetensi rumpun pelajaran merupakan pernyataan

tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang

direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang seharusnya


21

dicapai setelah siswa menyelesaikan rumpun mata pelajaran tertentu.

Standar kompetensi tiap aspek mata pelajaran merupakan kemampuan

yang dapat dilakukan atau ditampilkan untuk suatu mata pelajaran;

kompetensi mata pelajaran tertentu yang harus dimiliki seorang siswa

atau kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam suatu mata

pelajaran. Kompetensi dasar merupakan uraian yang memadai atas

kemampuan yang harus dikuasai siswa (Depdiknas 2003:8).

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia,

bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra

adalah menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya

(Depdiknas 2003:1). Dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia terdapat empat aspek standar kompetensi kemampuan

berbahasa. Aspek-aspek tersebut adalah mendengarkan, berbicara,

membaca, dan menulis. Standar kompetensi aspek berbicara untuk

kelas X adalah mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan,

tanggapan, dan perasaan dalam berbagai bentuk wacana lisan

nonsastra melalui cerita atau diskusi serta mampu mendukung suatu

gagasan dan memberikan kritikan. Standar kompetensi aspek berbicara

ini terrinci lagi ke dalam lima kompetensi dasar yang harus dikuasai

siswa kelas X. Kompetensi dasar tersebut yaitu 1) memperkenalkan

diri dan orang lain di dalam forum resmi, 2) menceritakan berbagai

pengalaman, 3) mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari berbagai


22

berita, artikel, atau buku), menemukan makna kata-kata sulit dan

memberikan tanggapan, 4) menyampaikan informasi dari berbagai

sumber dan mendiskusikannya, dan 5) memberikan kritik atau

memberikan dukungan (Depdiknas 2003:8-9).

c. Alternatif Pembelajaran Keterampilan Berbicara

Mafrukhi (2003 : 4) mengemukakan, pembelajaran berbicara yang

dikembangkan di kelas adalah kegiatan berbicara dalam suasana resmi.

Hal ini dikarenakan kegiatan berbicara dalam suasana tidak resmi

sudah terbiasa siswa lakukan. Lebih lanjut, Mafrukhi memberikan

alternatif pembelajaran keterampilan berbicara. Pembelajaran itu

antara lain diskusi kelompok/ kelas, mengajukan pertanyaan atau

pendapat, berpidato, menceritakan secara lisan, presentasi, bertelepon,

wawancara, menceritakan pengalaman di depan kelas, dan lain

sebagainya. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mata

pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas X, bentuk kegiatan

berbicara yang dibelajarkan adalah memperkenalkan diri dan orang

lain di dalam forum resmi, menceritakan berbagai pengalaman,

mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari berbagai berita, artikel,

atau buku), menemukan makna kata-kata sulit dan memberikan

tanggapan, menyampaikan informasi dari berbagai sumber dan

mendiskusikannya, serta memberikan kritik atau memberikan

dukungan.
23

Berdasarkan hasil Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)

Bahasa dan Sastra Indonesia Kabupaten Jepara, pada semester II ini

kompetensi dasar subaspek keterampilan berbicara yang dibelajarkan

adalah 1) mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari berbagai

berita, artikel, atau buku), menemukan makna kata-kata sulit dan

memberikan tangapan, dan 2) memberikan kritik atau dukungan.

Dalam penelitian ini, penulis mengadakan penelitian kemampuan

berbicara ragam formal siswa kelas X SMA Negeri I Jepara melalui

diskusi kelas. Masalah-masalah yang didiskusikan adalah masalah-

masalah seputar dunia siswa atau dunia remaja yang mereka peroleh

dari majalah Graffity, media komunikasi siswa SMA Negeri I Jepara.

d. Diskusi

Diskusi berasal dari bahasa Latin discussio atau discussion, yang

artinya bertukar pikiran. Pada dasarnya diskusi merupakan suatu

bentuk bertukar pikiran yang teratur dan terarah, baik dalam kelompok

kecil maupun dalam kelompok besar, dengan tujuan untuk

mendapatkan suatu pengertian, kesepakatan, dan keputusan bersama-

sama mengenai suatu masalah (Tarigan 2003:7.18). Syafi'ie (1993:38)

mengemukakan, diskusi adalah suatu bentuk kegiatan berbicara

kelompok yang membahas suatu masalah untuk memperoleh

alternatif-alternatif pemecahan masalah tersebut. Lebih lanjut, diskusi

juga bisa berupa kegiatan berbicara untuk bertukar pikiran tentang

suatu hal dalam mencari persamaan persepsi terhadap hal yang


24

didiskusikan itu. Tarigan (1990:36) mengemukakan bahwa pada

hakikatnya diskusi merupakan suatu metode untuk memecahkan

masalah-masalah dengan proses berpikir kelompok. Dari berbagai

pendapat mengenai diskusi tersebut dapat disimpulkan bahwa diskusi

adalah kegiatan bertukar pikiran untuk memecahkan suatu masalah

dengan tujuan untuk mendapatkan pengertian, kesepakatan, persamaan

persepsi, dan keputusan bersama-sama mengenai suatu masalah.

Sebagai suatu bentuk kegiatan keterampilan berbicara, diskusi

merupakan kegiatan berbahasa yang sangat bermanfaat untuk melatih

siswa berpikir secara kritis dan kreatif, berpikir secara logis dan

sistematis serta menyampaikannya kepada orang lain dengan

menggunakan bahasa yang baik dan benar secara lisan. Dengan

berdiskusi pada siswa dapat berlatih menggunakan pengetahuan dan

gagasannya untuk menyampaikan pendapat, mempertahankan

pandangannya, menyatakan setuju atau menolak pendapat orang lain

dengan cara-cara yang baik (Syafi’ie 1993:38-39).

Dalam sebuah diskusi terdapat beberapa komponen yang terlibat di

dalamnya. Komponen-komponen tersebut adalah masalah yang

didiskusikan, ketua atau pemimpin diskusi / moderator, sekretaris atau

notulis, dan peserta diskusi.

1) Masalah yang Didiskusikan

Dalam sebuah diskusi masalah yang didiskusikan harus

memenuhi syarat masalah diskusi, yaitu (a) masalah yang


25

didiskusikan jelas menarik perhatian peserta (aktual, berguna,

langka), (b) bernilai diskusi dan perlu jawaban kompleks, (c)

memerlukan beberapa pandangan yang baik, benar, dan logis, serta

(d) perlu keputusan dengan pertimbangan matang.

2) Ketua atau Pemimpin Diskusi (Moderator)

Ketua atau pemimpin diskusi (moderator) adalah orang yang

bertanggung jawab dalam pelaksanaan diskusi. Tugas yang

dilakukan ketua diskusi antara lain (a) menyampaikan masalah

yang akan didiskusikan dan menyebutkan tujuan yang hendak

dicapai dengan diskusi kepada semua peserta, (b) mengumumkan

tata tertib dan aturan main diskusi, (c) memberi kesempatan kepada

semua peserta diskusi, (d) menjaga agar minat peserta tetap besar,

(e) menjaga agar diskusi tetap bergerak maju, (f) mencegah

terjadinya perpecahan atau percekcokan dalam diskusi, dan (g)

mengumumkan hasil diskusi.

3) Sekretaris atau Notulis Diskusi

Dalam diskusi sekretaris bertugas (a) membantu ketua dalam

pelaksanaan diskusi, (b) mencatat nama dan semua pertanyaan

semua peserta diskusi, (c) mencatat hal-hal khusus yang

menyimpang dari tujuan, (d) bila diminta siap membacakan atau

melaporkan jalannya diskusi, (e) mengingatkan pemimpin diskusi

tentang pembicaraan berikutnya bila ia terlupa, (f) membuat

simpulan sementara dan menyampaikannya kepada ketua, (g)


26

membantu ketua diskusi merumuskan simpulan diskusi, dan (h)

membuat laporan lengkap diskusi yang berisi masalah dan tujuan,

pelaksanaan, hal-hal yang terjadi dalam diskusi, simpulan atau

hasil diskusi.

4) Peserta Diskusi

Tugas peserta diskusi antara lain (a) mengikuti jalannya diskusi

dengan penuh perhatian, memahami topik diskusi dan tujuan yang

hendak dicapai, (b) memberikan pandapat atau menyanggah

dengan cara yang baik, (c) berbicara kalau diperbolehkan ketua

dengan lancar, jelas, dan tegas, (d) meminta penjelasan lebih lanjut

apabila terdapat hal-hal yang tidak jelas atau kurang jelas, (e)

menyatakan dukungan atau keberatan terhadap peserta lain dengan

dilandasi itikad baik, bukan karena emosional atau ingin menang

sendiri, (f) bertindak sopan dan bijaksana dalam diskusi, dan (g)

menghormati dan melaksanakan semua keputusan yang telah

diambil bersama meskipun keputusan itu tidak sejalan dengan

pendapat atau pandangan pribadi.

Diskusi dapat berjalan dengan baik, lancar, dan menghasilkan

keputusan untuk memecahkan masalah yang didiskusikan apabila

semua komponen yang terlibat di dalamnya melaksanakan tugasnya

dengan baik. Suasana diskusi yang hangat, terbuka dan tanpa tekanan

perlu diciptakan semua peserta diskusi demi tercapainya tujuan

diskusi.
27

Pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi yang dapat

dikembangkan di kelas adalah diskusi informal dan diskusi formal.

Diskusi informal adalah kegiatan berbicara yang dilaksanakan oleh

seluruh siswa dalam membahas suatu masalah dengan bertukar

pikiran, meramu pendapat secara bebas di bawah bimbingan guru

(Syafi’ie 1993:39). Pengertian bebas dalam hal ini adalah bahwa

diskusi informal tidak dilaksanakan secara terstruktur. Dalam kegiatan

diskusi ini tidak ada moderator yang mengatur lalu lintas pembicaraan

dan tidak ada sekretaris yang mencatat pembicaraan. Peran guru sangat

dibutuhkan dalam diskusi jenis ini untuk membangkitkan motivasi

para siswa terhadap masalah yang dibahas sehinga semua siswa dapat

berpartisipasi secara aktif. Diskusi formal adalah kegiatan berbicara

yang diikuti oleh seluruh kelas yang dilaksanakan secara terstruktur

(Syafi’ie 1993:40). Pengertian terstruktur ini adalah dalam diskusi

formal ini telah ditetapkan format atau bentuk diskusi tertentu dengan

fungsi-fungsi pelaksana diskusi, yaitu ketua, sekretaris, dan peserta.

Diskusi formal ini lazimnya bertujuan untuk mengidentifikasi dan

mengkaji fakta, menganalisis masalah, dan mengeksplorasi

kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah.

Format atau bentuk-bentuk diskusi formal yang dapat dilaksanakan

dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara di kelas adalah

sebagai berikut.
28

1) Diskusi Kelompok

Diskusi kelompok adalah diskusi yang dilaksanakan dengan

membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa siswa.

Setiap kelompok membahas suatu masalah dengan topik-topik

tertentu. Di antara siswa dalam kelompok itu ada yang bertugas

memimpin diskusi dalam mencari alternatif pemecahan masalah.

Ada juga yang bertugas sebagai sekretaris diskusi yang mencatat

apa yang telah dibicarakan dan menyampaikan resume pikiran-

pikiran yang berlangsung dalam kelompok.

2) Diskusi Panel

Diskusi ini dilaksanakan dengan menunjuk beberapa siswa

sebagai panelis, yaitu orang yang menyajikan pandangan-

pandangannya berkaitan dengan topik yang diangkat menjadi

pokok diskusi. Dalam suatu diskusi panel lazimnya ditampilkan

empat sampai delapan panelis. Masing-masing panelis merupakan

tokoh yang memahami benar salah satu masalah berkaitan dengan

topik diskusi. Siswa yang dipilih menjadi panelis harus menguasai

masalah yang menjadi bagiannya agar dapat menyampaikan

pandangan-pandangannya di hadapan peserta diskusi. Diskusi

panel merupakan model diskusi yang memungkinkan para panelis

dan peserta diskusi saling memberi dan menerima gagasan. Ketua

diskusi harus mampu mengatur lalu lintas diskusi agar tidak ada

pihak yang memonopoli diskusi.


29

3) Dialog

Diskusi ini dilaksanakan dengan menampilkan dua orang

sebagai pembicara yang akan menampilkan tanya jawab tentang

suatu topik di hadapan kelas. Seorang siswa bertindak sebagai

narasumber atau responden dan seorang lagi bertindak sebagai

penanya. Narasumber harus menguasai masalah yang menjadi

topik diskusi, sedangkan penanya harus memahami apa yang ingin

diketahui oleh pendengar yang terdiri dari siswa-siswa lain. Siswa

yang bertindak sebagai pendengar dapat juga berperan secara aktif

dalam mengikuti jalannya dialog. Mereka dapat mengajukan

pendapat, tanggapan, dan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan

kepada narasumber maupun penanya.

4) Seminar

Diskusi ini dilaksanakan dengan menampilkan tiga sampai

enam orang siswa yang bertindak sebagai pembicara. Masing-

masing pembicara menyajikan makalah mengenai suatu masalah

yang menyoroti topik diskusi dari sudut pandang tertentu. Dalam

kegiatan seminar peran pemimpin diskusi sangat penting.

Pemimpin diskusi harus dapat mengatur pembagian waktu untuk

para penyaji, tanya jawab, penyajian simpulan dengan tepat sesuai

dengan banyaknya pembicara serta waktu yang tersedia. Di

samping itu, pemimpin diskusi juga harus mampu memahami

dengan cermat, cepat, dan tepat isi makalah yang disajikan


30

pembicara, maupun pertanyaan dan tanggapan dari peserta seminar

(Syafi’ie 1993:40-41)

Dalam penelitian ini jenis diskusi yang digunakan adalah diskusi

kelompok. Siswa diminta untuk membentuk kelompok, kemudian

membahas suatu masalah berkaitan dengan dunia siswa atau dunia

remaja. Setelah menemukan alternatif-alternatif pemecahan masalah

yang dihadapinya, kelompok tersebut tampil di depan kelas secara

bergantian mendiskusikan masalah yang dihadapi bersama dengan

teman sekelas.

e. Faktor-faktor Penunjang Efektifitas Berbicara

Seorang pembicara yang baik harus mempu memberikan kesan

bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan. Penguasaan topik yang

baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Selain menguasai

topik, seorang pembicara harus berbicara (mengucapkan bunyi-bunyi

bahasa) dengan jelas dan tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang

tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Ada beberapa faktor

yang perlu diperhatikan seseorang untuk dapat menjadi pembicara

yang baik. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kebahasaan dan faktor

nonkebahasaan (Arsjad dan Mukti 1988:17).

1) Faktor Kebahasaan

a) Ketepatan Ucapan

Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan

bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi-bunyi


31

bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian

pendengar. Hal ini akan mengganggu keefektivan berbicara.

Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat

akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang

menarik, atau setidaknya dapat mengalihkan perhatian

pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap cacat

kalau menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga

terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi atau

pemakainya (pembicara) dianggap aneh.

b) Penempatan Tekanan, Nada, Sendi, dan Durasi yang Sesuai

Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan

daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan kadang-kadang

merupakan faktor penentu. Walaupun masalah yang

dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan tekanan,

nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan menyebabkan

masalahnya menjadi menarik. Sebaliknya, jika

penyampaiannya datar saja, hampir dapat dipastikan akan

menimbulkan kejemuan dan keefektivan tentu berkurang.

Penempatan tekanan pada kata atau suku kata yang kurang

sesuai akan mengakibatkan kejanggalan. Kejanggalan ini akan

mengakibatkan perhatian pendengar akan beralih pada cara

berbicara pembicara, sehingga pokok pembicaraan atau pokok


32

pesan yang disampaikan kurang diperhatikan. Akibatnya,

keefektivan komunikasi akan terganggu.

c) Pilihan Kata (Diksi)

Pilihan kata hendaknya tepat, jelas dan bervariasi. Jelas

maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi

sasaran. Pendengar akan lebih terangsang dan akan lebih

paham kalau kata-kata yang digunakan sudah dikenal

pendengar. Dalam setiap pembicaraan pemakaian kata-kata

populer tentu akan lebih efektif daripada kata-kata yang muluk-

muluk dan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kata-kata

yang belum dikenal memang mengakibatkan rasa ingin tahu,

namun akan menghambat kelancaran komunikasi.

Hendaknya pembicara menyadari siapa pendengarnya, apa

pokok pembicaraannya, dan menyesuaikan pilihan katanya

dengan pokok pembicaraan dan pendengarnya. Pendengar akan

lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau pembicara

berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya.

d) Ketepatan Sasaran Pembicaraan

Hal ini menyangkut pemakaian kalimat. Pembicara yang

menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar

menangkap pembicaraannya. Seorang pembicara harus mampu

menyusun kalimat efektif, kalimat yang mengenai sasaran,


33

sehingga mampu menimbulkan pengaruh, meninggalkan kesan

atau menimbulkan akibat.

Kalimat yang efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan,

perpautan, pemusatan, perhatian, dan kehematan. Ciri keutuhan

akan terlihat jika setiap kata betul-betul merupakan bagian

yang padu dari sebuah kalimat. Keutuhan kalimat akan rusak

karena ketiadaan subjek atau adanya kerancuan. Perpautan

bertalian dengan hubungan antara unsur-unsur kalimat,

misalnya antara kata dengan kata, frase dengan frase dalam

sebuah kalimat. Hubungan itu haris logis dan jelas. Pemusatan

perhatian pada bagian yang terpenting dalam kalimat dapat

dicapai dengan menempatkan bagian tersebut pada awal atau

akhir kalimat, sehingga bagian ini mendapat tekanan waktu

berbicara. Selain itu, kalimat efektif juga harus hemat dalam

pemakaian kata, sehingga tidak ada kata-kata yang mubazir.

2) Faktor Nonkebahasaan

a) Sikap yang Wajar, Tenang dan Tidak Kaku

Pembicaraan yang tidak tenang, lesu dan kaku tentulah

akan memberikan kesan pertama yang kurang menarik. Dari

sikap yang wajar saja sebenarnya pembicara sudah dapat

menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. Sikap ini sangat

banyak ditentukan oleh situasi, tempat dan penguasaan materi.

Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan


34

kegugupan. Namun, sikap ini memerlukan latihan. Kalau sudah

terbiasa, lama-kelamaan rasa gugup akan hilang dan akan

timbul sikap tenang dan wajar.

b) Pandangan Harus Diarahkan Kepada Lawan Bicara

Pandangan pembicara hendaknya diarahkan kepada semua

pendengar. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan

menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan. Banyak

pembicara ketika berbicara tidak memperhatikan pendengar,

tetapi melihat ke atas, ke samping atau menunduk. Akibatnya,

perhatian pendengar berkurang. Hendaknya diusahakan supaya

pendengar merasa terlibat dan diperhatikan.

c) Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain

Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara

hendaknya memiliki sikap terbuka, dalam arti dapat menerima

pendapat pihak lain, bersedia menerima kritik, bersedia

mengubah pendapatnya kalau ternyata memang keliru. Namun,

tidak berarti si pembicara begitu saja mengikuti pendapat orang

lain dan mengubah pendapatnya, tetapi ia juga harus mampu

mempertahankan pendapatnya dan meyakinkan orang lain.

Tentu saja pendapat itu harus mengandung argumentasi yang

kuat, yang diyakini kebenarannya.


35

d) Gerak-gerik dan Mimik yang Tepat

Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat pula menunjang

keefektivan berbicara. Hal-hal penting selain mendapatkan

tekanan, biasanya juga dibantu degan gerak tangan atau mimik.

Hal ini dapat menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku.

Tetapi, gerak-gerik yang berlebihan akan menggangu

keefektivan berbicara. Mungkin perhatian pendengar akan

terarah pada gerak-gerik dan mimik yang berlebihan ini,

sehingga pesan kurang dipahami.

e) Kenyaringan Suara

Tingkat kenyaringan ini tentu disesuaikan dengan situasi,

tempat, jumlah pendengar, dan akustik. Yang perlu

diperhatikan adalah jangan berteriak. Kita atur kenyaringan

suara kita supaya dapat didengar oleh pendengar dengan jelas.

f) Kelancaran

Seorang pembicara yang lancar berbicara akan

memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya.

Seringkali pembicara berbicara terputus-putus, bahkan antara

bagian-bagian yang terputus itu diselipkan bunyi-bunyi tertentu

yang mengganggu penangkapan pendengar, misalnya

menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan sebagainya. Sebaliknya,

pembicara yang terlalu cepat berbicara juga akan menyulitkan

pendengar menangkap pokok pembicaraannya.


36

g) Relevansi / Penalaran

Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis.

Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan haruslah

logis. Hal ini berarti hubungan bagian-bagian dalam kalimat,

hubungan kalimat dengan kalimat harus logis dan berhubungan

dengan pokok pembicaraan.

h) Penguasaan Topik

Pembicaraan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya

tidak lain supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai.

Penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian

dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik ini sangat penting,

bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara.

3. Pendekatan Kontekstual

Dalam kurikulum 2004 atau sering dikenal dengan Kurikulum

Berbasis Kompetensi (KBK), pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

mengunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual adalah

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan

masyarakat (Depdiknas 2002:1). Pengetahuan dan keterampilan siswa

diperoleh dari usahanya sendiri mengkonstruksi pengetahuan dan

keterampilan baru ketika ia belajar (Zulaeha 2003). Dengan konsep itu


37

hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses

pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja

dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa

(Depdiknas 2002:1).

Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen, yaitu

konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya

(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan

(modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic

assessment) (Depdiknas 2002:5). Penelitian tindakan kelas ini difokuskan

pada komponen pemodelan.

4. Pemodelan

Pemodelan merupakan salah satu komponen dari tujuh komponen

pendekatan kontekstual. Maksud pemodelan ini adalah dalam sebuah

pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa

diamati (Depdiknas 2002:16). Pemodelan adalah kegiatan pemberian

model dengan tujuan untuk membahasakan gagasan yang guru pikirkan,

mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswa untuk

belajar atau melakukan sesuatu yang guru inginkan (Tim Pengembang

Kurikulum Bahasa Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS,

UNNES 2003:3).

Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan satu-satunya model.

Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat

ditunjuk unuk memberi contoh temannya. Misalnya, siswa yang pernah


38

memenangkan lomba baca puisi diminta untuk mendemonstrasikan

keahliannya. Siswa tersebut dapat dikatakan sebagai model (Depdiknas

2002:17). Model yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah model

yang peneliti ciptakan sendiri dengan melibatkan siswa. Dalam model

tersebut peneliti meminta siswa untuk berbicara dalam ragam formal

melalui diskusi untuk mendiskusikan alternatif pemecahan masalah

kenakalan remaja/ siswa. Model tersebut dapat diamati/ ditiru siswa untuk

dapat berbicara dengan baik melalui diskusi.

C. Kerangka Berpikir

Keterampilan berbicara dalam ragam formal siswa SMA Negeri I

Jepara akan mengalami peningkatan apabila pembelajaran keterampilan

berbicara dilaksanakan melalui diskusi kelas dengan menggunakan

pendekatan kontekstual fokus pemodelan. Dalam pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi kelas dengan menggunakan pendekatan kontekstual,

siswa diminta untuk mendiskusikan hal-hal/ masalah-masalah yang dekat

dengan dunia siswa atau dunia remaja, sehingga siswa lebih menguasai materi

yang dibicarakan karena mereka mengalami sendiri masalah-masalah itu.

Sedangkan pemodelan dalam pembelajaran adalah adanya model dalam

pembelajaran yang bisa diamati/ ditiru siswa untuk berbicara dalam ragam

formal melalui diskusi. Jadi, pembelajaran keterampilan berbicara dengan

menggunakan pendekatan kontekstual fokus pemodelan dapat meningkatkan

keterampilan berbicara, karena siswa lebih menguasai materi yang


39

didiskusikan dan siswa dapat meniru/ mengamati model yang diberikan untuk

berbicara dalam ragam formal melalui diskusi kelas.

Diskusi merupakan kegiatan berbahasa yang sangat bermanfaat untuk

melatih siswa berpikir secara kritis dan kreatif, berpikir secara logis dan

sistematis serta menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan

bahasa yang baik dan benar secara lisan. Dengan berdiskusi para siswa dapat

berlatih menggunakan pengetahuan dan gagasan-gagasannya untuk

menyampaikan pendapat, mempertahankan pandangan-pandangannya,

menyatakan setuju atau menolak pendapat orang lain dengan cara yang baik.

Dengan diskusi kelompok dapat pula diciptakan iklim yang memudahkan

penerimaan bahan pelajaran serta dapat meningkatkan taraf berpikir siswa.

Diskusi kelompok juga lebih memungkinkan siswa untuk memiliki

pengalaman yang lebih luas dan beraneka ragam, karena pengetahuan yang

diperoleh dari berdiskusi belum tentu didapat dari membaca atau

mendengarkan penjelasan guru. Melalui diskusi kita pun dapat belajar cara

orang lain berpikir dan memecahkan masalah.

D. Hipotesis Tindakan

Hipotesis penelitian tindakan kelas ini adalah terjadi peningkatan

keterampilan berbicara ragam formal siswa kelas X SMA Negeri I Jepara, dan

perubahan perilaku siswa dalam pembelajaran setelah mengikuti pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi kelas dengan pendekatan kontekstual

fokus pemodelan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah keterampilan berbicara siswa kelas X-4

SMA Negeri I Jepara tahun ajaran 2004/2005. Kelas ini merupakan salah satu

kelas dari 10 kelas di tingkat kelas X (kelas X-1 sampai kelas X-10). Peneliti

memilih kelas ini sebagai subjek penelitian dengan alasan:

1. Peneliti mengajar di kelas ini, sehingga lebih mengetahui keadaan siswa

sebenarnya,

2. Berdasarkan hasil Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa dan

Sastra Indonesia Kabupaten Jepara, pada semester II ini siswa harus

memiliki kompetensi dalam mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari

berbagai berita, artikel, atau buku).

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah:

1. Keterampilan Berbicara Siswa

Keterampilan berbicara siswa yang dimaksud adalah keterampilan

berbicara siswa dalam situasi formal melalui diskusi kelas, yakni ketika

siswa memoderatori, menyajikan masalah, menjadi notulis, mengajukan

pertanyaan, jawaban, sanggahan ataupun mengajukan pendapat. Masalah

40
41

yang didiskusikan adalah masalah-masalah seputar dunia siswa yang dekat

dengan kehidupan siswa di sekolah.

2. Penggunaan Pendekatan Kontekstual Fokus Pemodelan

Pendekatan kontekstual fokus pemodelan merupakan pendekatan yang

dapat digunakan guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai

tujuan pembelajaran. Pendekatan kontekstual yang dimaksud di sini adalah

materi yang didiskusikan, yaitu masalah-masalah yang dekat dengan dunia

siswa atau dunia remaja. Sedangkan pemodelan yang dimaksud di sini

adalah model yang bisa diamati/ ditiru siswa dalam berbicara dengan

menggunakan ragam formal melalui diskusi.

C. Parameter Penelitian

Penelitian ini dianggap berhasil apabila keterampilan berbicara siswa

dalam ragam formal meningkat. Peningkatan keterampilan siswa ini

ditunjukkan dengan peningkatan nilai yang diperoleh siswa dari siklus I ke

siklus II. Nilai yang diperoleh siswa pada siklus II lebih tinggi daripada nilai

yang diperoleh siswa pada siklus I. Antara siklus I dan siklus II peneliti

menetapkan parameter untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam

tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Parameter Penelitian


No. Hasil yang Dicapai Siswa Kategori
1. < 65,0 kurang
2. 65,0 – 74,9 cukup
3. 75,0 – 84,9 baik
4. > 84,9 sangat baik
42

D. Instrumen Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini menggunakan bentuk dan uji instrumen

sebagai berikut.

1. Bentuk Instrumen

a. Tes Perbuatan

Tes yang digunakan untuk mengukur keterampilan berbicara ragam

formal siswa adalah tes perbuatan. Aspek-aspek yang dinilai meliputi

aspek kebahasaan dan nonkebahasaan. Tes ini digunakan untuk

mengetahui seberapa besar peningkatan keterampilan berbicara siswa.

Aspek kebahasaan dan nonkebahasaan ini meliputi 1) ketepatan

ucapan, 2) penempatan tekanan, 3) penempatan jeda, 4) intonasi, 5)

pilihan kata (diksi), 6) pemakaian kalimat 7) sikap, gerak-gerik dan

mimik yang wajar, 8) volume suara, 9) pandangan mata, 10)

penguasaan topik, dan 11) kelancaran. Aspek-aspek kebahasaan dan

nonkebahasaan yang digunakan untuk mengukur keterampilan

berbicara siswa ini telah dikonsultasikan kepada dosen pembimbing

dan sesama guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri I Jepara.

Aspek-aspek tersebut tepat digunakan untuk menilai keterampilan

berbicara siswa melalui diskusi.

Dalam penilaian setiap aspeknya, ditentukan skor sebagai patokan

atau ukuran. Peneliti menentukan kategori pada setiap rentang skor

yang telah ditentukan. Rentang skor yang diberikan pada setiap

aspeknya ditentukan sama, yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50,
43

55, 60, 65, 70, 75, 80, 85, 90, 95, dan 100. Pengkategorian tersebut

meliputi gagal, kurang, cukup, baik, dan sangat baik. Kategori gagal

apabila skor yag didapatkan antara 0 – 39, kategori kurang jika skor

yang diperoleh antara 40 – 59, kategori baik jika siswa mendapatkan

skor antara 75 – 84, dan kategori sangat baik jika skor yang didapatkan

siswa antara 85 – 100.

Adapun gambaran kriteria nilai dan kategori tiap aspek sebagai alat

evaluasi untuk mengukur keterampilan berbicara siswa dengan ragam

formal melalui diskusi tersebut dijelaskan pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Aspek Penilaian, Nilai, dan Kategori


No. Aspek Penilaian Nilai Kategori
1. Ketepatan Ucapan 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
2. Penempatan Tekanan 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
3. Penempatan Jeda 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
4. Intonasi 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
5. Pilihan Kata (diksi) 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
44

No. Aspek Penilaian Nilai Kategori


6. Pemakaian Kalimat 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
7. Sikap, Gerak-gerik, dan 0 – 39 gagal
Mimik yang Wajar 40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
8. Volume suara 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
9. Pandangan Mata 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
10. Penguasaan Topik 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik
11. Kelancaran 0 – 39 gagal
40 – 59 kurang
60 – 74 cukup
75 – 84 baik
85 – 100 sangat baik

Nilai keterampilan berbicara siswa diperoleh dari nilai total

keseluruhan aspek dibagi 11. Hasilnya dikonsultasikan dengan

parameter penelitian untuk menentukan kategori yang diperoleh siswa.

Tabel 3. Rincian Perolehan Nilai Tiap Siswa


Aspek Penilaian N
No. Nama Siswa K R
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rt
1
2
...
45

Keterangan:
1. = ketepatan ucapan,
2. = penempatan tekanan,
3. = penempatan jeda,
4. = intonasi,
5. = pilihan kata (diksi),
6. = pemakaian kalimat
7. = sikap, gerak-gerik dan mimik yang wajar,
8. = volume suara,
9. = pandangan mata,
10. = penguasaan topik,
11. = kelancaran,
NRt = Nilai Rata-rata/ nilai akhir siswa,
K = Kategori, dan
R = Ranking / Peringkat.

b. Nontes

Instrumen nontes yang digunakan berbentuk observasi atau

pengamatan, wawancara, jurnal, dokumentasi foto, rekaman pita,

rekaman video, dan sosiometri (lembar observasi siswa).

1) Pedoman Observasi atau Pengamatan

Pedoman observasi atau pengamatan digunakan untuk

mengambil data penelitian pada saat kegiatan belajar mengajar

berlangsung. Aspek yang diamati yaitu:

a) Antusias siswa dalam pembentukan kelompok,


b) respon atau sikap siswa ketika diputarkan model dalam
pembelajaran,
c) komentar yang diberikan siswa ketika mendiskusikan
model yang disajikan,
d) respon siswa/ kelompok dalam menerima materi (masalah)
yang akan didiskusikan,
e) respon siswa dalam dalam mendiskusikan masalah yang
diterima dengan kelompoknya,
46

f) pendapat/ jawaban yang diberikan siswa dalam diskusi,


g) semangat siswa dalam mengikuti diskusi,
h) diskusi yang dilaksanakan siswa, dan
i) respon siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan
berbicara melalui diskusi.
Pedoman ini digunakan untuk mengungkap efektivitas

penggunaan pendekatan kontekstual fokus pemodelan dalam

pembelajaran keterampilan berbicara.

2) Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengambil data

kualitatif. Wawancara ini digunakan untuk mengungkap

efektivitas penggunaan pendekatan kontekstual fokus

pemodelan dalam pembelajaran keterampilan berbicara dan

kesulitan-kesulitan yang dialami siswa ketika berbicara melalui

diskusi. Adapun aspek yang diungkap melalui wawancara ini

adalah:

a) Pendapat siswa tentang pemberian model dalam


pembelajaran,
b) apakah model yang disajikan guru dapat membantu siswa
dalam melaksanakan diskusi,
c) dapatkah model tersebut membantu siswa untuk dapat
berbicara dengan baik melalui diskusi,
d) pendapat siswa mengenai pembentukan kelompok yang
dilakukan guru,
e) apakah dalam kelompok tersebut siswa dapat bekerja sama
dengan anggota kelompok yang lain,
47

f) apakah dalam kelompok siswa ada anggota yang tidak


bekerja,
g) sikap siswa terhadap teman yang tidak bekerja dalam
kelompok,
h) mampukah siswa memahami dan menguasai materi/
masalah diskusi yang akan didiskusikan (materi yang
diberikan guru),
i) menurut siswa, materi/ permasalahan apa yang cocok untuk
didiskusikan siswa di dalam kelas,
j) pendapat siswa mengenai pelaksanaan diskusi untuk
membahas masalah-masalah yang guru berikan,
k) apakah dalam diskusi tersebut siswa mendapatkan
kesempatan berbicara,
l) apakah dalam diskusi tersebut siswa mengalami kesulitan
dalam berbicara dan diminta menyebutkan kesulitan-
kesulitan tersebut,
m) untuk mengatasi kesulitan tersebut, usaha apa yang siswa
lakukan agar kesulitan tersebut tidak terjadi lagi pada
pelaksanaan diskusi selanjutnya,
n) sudah maksimalkan pembicaraan siswa dalam diskusi
tersebut dan diminta mengemukakan alasan/ pendapatnya,
o) apakah siswa dapat menerima keputusan diskusi yang
dilakukan beserta alasannya.
p) pendapat siswa tentang pembelajaran keterampilan
berbicara melalui diskusi kelas?
3) Jurnal

Setiap akhir pertemuan kegiatan belajar mengajar, guru

membuat jurnal kegiatan selama mengajar. Ada dua model

jurnal guru yang dapat disusun dalam penelitian ini, yakni

jurnal untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan guru dalam


48

pembelajaran dan jurnal untuk mengetahui kegiatan atau sikap

siswa selama proses pembelajaran. Adapun aspek yang terdapat

dalam jurnal untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan guru

adalah sebagai berikut.

a) Guru memberikan apersepsi dan memberikan penguatan,

b) guru menerangkan materi pembelajaran,

c) guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya

atau memberi tanggapan,

d) guru membentuk kelompok,

e) guru memutarkan model,

f) guru mengadakan diskusi berkaitan dengan model yang

disajikan,

g) guru membagikan artikel yang berisi masalah untuk

didiskusikan,

h) guru mengamati aktivitas siswa selama bekerja dalam

kelompok,

i) guru mengamati proses berlangsungnya diskusi dan

memberikan penilaian,

j) guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi siswa,

dan

k) guru mengadakan refleksi pembelajaran bersama dengan

siswa.
49

Sedangkan aspek yang terdapat dalam jurnal guru untuk

mengetahui kegiatan atau sikap siswa selama proses

pembelajaran yaitu:

a) Respon siswa ketika menerima materi pembelajaran yang

diterangkan guru,

b) sikap siswa dalam menerima instruksi untuk membentuk

kelompok,

c) respon yang ditunjukkan siswa ketika diberikan model

dalam pembelajaran,

d) komentar yang diberikan siswa ketika diberikan model

dalam pembelajaran,

e) kerja sama siswa dalam kelompok,

f) respon siswa/ kelompok ketika menerima masalah yang

akan didiskusikan,

g) sikap siswa dalam mengikuti diskusi,

h) proses pelaksanaan diskusi,

i) keterampilan berbicara siswa dalam diskusi tersebut, dan

j) sikap siswa dalam menerima pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi,

Siswa juga diminta membuat jurnal di setiap akhir

pembelajaran. Siswa diminta untuk menuliskan kesannya

mengenai:
50

a) Model yang diberikan guru untuk membantu siswa dalam

berbicara melalui diskusi,

b) respon siswa dalam pembentukan kelompok,

c) kerja sama siswa dalam kelompok,

d) masalah diskusi yang diberikan guru (mudah siswa pahami

atau tidak),

e) kesempatan siswa untuk berbicara dalam diskusi,

f) keterampilan berbicara siswa dalam diskusi,

g) proses pelaksanaan diskusi,

h) kesan dalam menerima pelajaran keterampilan berbicara

melalui diskusi,

Dari jurnal kegiatan ini guru merekapitulasi hasilnya. Hasil

rekapitulasi ini kemudian digunakan untuk melakukan refleksi

diri terhadap proses mengajar. Sedangkan jurnal jurnal siswa

digunakan untuk mengungkap kesan dan pesan siswa selama

mengikuti proses pembelajaran.

4) Dokumentasi Foto

Dokumentasi foto merupakan data yang cukup penting

sebagai bukti terjadinya suatu peristiwa. Dalam penelitian ini,

peneliti memandang perlu juga menggunakan dokumentasi foto

sebagai salah satu data instrumen nontes. Penggunaan

instrumen berupa pengambilan gambar (foto) ini dimaksudkan

untuk memperoleh rekaman aktivitas atau perilaku siswa


51

selama mengikuti proses pembelajaran dalam bentuk

dokumentasi gambar. Dokumentasi foto akan memperkuat

bukti analisis penelitian pada setiap siklus. Selain itu, data yang

diambil melalui dokumentasi foto ini juga memperjelas data

yang lain yang hanya terdeskripsikan melalui tulisan atau

angka. Sebagai data penelitian, hasil dokumentasi gambar

(foto) ini selanjutnya dideskripsikan sesuai keadaan yang ada

dan dipadukan dengan data-data yang lain.

5) Rekaman Pita

Rekaman pita juga merupakan data yang cukup penting

dalam penelitian keterampilan berbicara siswa, karena dengan

rekaman pita ini bukti otentik tes perbuatan siswa dalam

berbicara akan terrekam dalam pita ini. Rekaman pita juga

dapat memperkuat bukti pelaksanaan diskusi yang dilakukan

siswa. Selain itu, data penelitian melalui rekaman pita ini juga

dapat membantu peneliti dalam memberikan penilaian

keterampilan berbicara siswa. Hasil rekaman pita dapat peneliti

putar kembali untuk memberikan penguatan penilaian yang

peneliti lakukan ketika siswa berbicara melalui diskusi.

6) Rekaman Video

Selain rekaman pita, peneliti juga memandang perlu

menggunakan rekaman audio visual sebagai data penelitian.

Rekaman audio visual ini akan memberikan data yang lebih


52

lengkap dibandingkan data hasil rekaman pita. Aktivitas siswa

selama pembelajaran akan terrekam dengan jelas melalui

rekaman video ini. Tidak hanya aktivitas siswa saja,

keterampilan berbicara siswa pun akan terrekam. Aspek

nonkebahasaan yang tidak dapat terrekam melalui rekaman pita

seperti sikap, gerak-gerik dan mimik yang wajar, serta

pandangan mata dapat terrekam melalui rekaman video ini.

Rekaman video ini juga dapat peneliti putar kembali untuk

memberikan penilaian keterampilan berbicara siswa melalui

diskusi. Jadi, rekaman video ini akan memberikan data yang

lebih lengkap dibandingkan dengan rekaman pita yang hanya

dapat merekam suara saja dalam memberikan penilaian

keterampilan berbicara siswa.

7) Sosiometri (Lembar Observasi Siswa)

Sosiometri merupakan instrumen penjaring data yang

digunakan untuk meneliti hubungan sosial siswa. Dalam

penelitian ini, sosiometri dilakukan antaranggota kelompok

untuk menilai kinerja teman sekelompok dan menentukan

teman sekelompoknya yang memiliki keterampilan berbicara

paling baik di antara mereka. Siswa diminta menuliskan nama

teman sekelompoknya sesuai dengan aspek yang ada dalam

instrumen ini. Adapun aspek amatan yang terdapat dalam

instrumen sosiometri ini antara lain:


53

a) Teman sekelompok siswa yang tidak memperhatikan model

(bicara sendiri/ menggangu teman sekelompok atau

kelompok lain) yang guru putarkan,

b) teman sekelompok siswa yang tidak memberikan pendapat

ketika mendiskusikan model yang guru putarkan,

c) teman sekelompok siswa yang bicara sendiri/ mengganggu

teman sekelompok atau kelompok lain ketika

mendiskusikan model tersebut,

d) teman sekelompok siswa yang tidak bekerja sama ketika

mendiskusikan model yang guru putarkan,

e) teman sekelompok siswa yang tidak memberikan pendapat

dalam mendiskusikan masalah yang guru berikan,

f) teman sekelompok siswa yang bicara sendiri/ mengganggu

teman sekelompok atau kelompok lain ketika

mendiskusikan masalah dari guru,

g) teman sekelompok siswa yang tidak bekerja sama dalam

mendiskusikan masalah dari guru,

h) teman sekelompok siswa yang tidak aktif dalam diskusi

ketika kelompok kamu tampil,

i) teman sekelompok siswa yang tidak memperhatikan

(berbicara sendiri/ menggangu) proses diskusi kelompok

lain yang tampil, dan


54

j) siapakah teman sekelompok siswa yang memiliki

keterampilan berbicara paling baik.

2. Uji Instrumen

Instrumen yang diuji adalah instrumen tes perbuatan dan instrumen

nontes.

a. Instrumen Tes Perbuatan

Aspek-aspek keterampilan berbicara sebelum digunakan untuk

pengambilan data dilakukan uji validitas isi dan validitas permukaan.

Aspek-aspek keterampilan berbicara yang akan digunakan untuk

penilaian keterampilan berbicara siswa diteliti dengan menggunakan

indikator agar siswa terampil berbicara dengan menggunakan bahasa

Indonesia ragam formal. Validitas isi dilakukan dengan

mengkonsultasikan aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur

keterampilan berbicara siswa kepada dosen pembimbing pada tanggal

19 April 2005. Validitas permukaan dilakukan dengan cara

mengkonsultasikan instrumen tersebut kepada sesama guru bahasa

dan sastra Indonesia di SMA Negeri I Jepara pada tanggal 22 April

2005. Aspek-aspek untuk menilai keterampilan berbicara siswa dalam

instrumen tersebut disetujui untuk menilai keterampilan berbicara

siswa.

b. Instrumen Nontes

Untuk instrumen nontes dalam penelitian ini dilakukan uji validitas

permukaan dengan cara mengkonsultasikan keseluruhan instrumen


55

nontes yang peneliti susun kepada dosen pembimbing pada tanggal 19

April 2005 dan konsultasi dengan guru Bahasa dan Sastra Indonesia di

SMA Negeri I Jepara yang dapat diajak bertukar pikiran, pada tanggal

22 April 2005. Aspek-aspek yang diuji adalah:

1) Ketepatan penggunaan pendekatan kontekstual fokus pemodelan

dalam pembelajaran keterampilan berbicara,

2) Respon siswa terhadap pemebrian model dalam pembelajaran,

3) Keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar, dan

4) Penyebab kesulitan siswa dalam berbicara menggunakan bahasa

Indonesia ragam formal.

E. Desain Penelitian

Proses penelitian tindakan kelas ini direncanakan berlangsung dalam

dua siklus. Tiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu 1) perencanaan, 2)

tindakan, 3) observasi, dan 4) refleksi. Proses kegiatan tindakan kelas yang

peneliti lakukan adalah bertolak dari permasalahan yang akan dipecahkan,

kemudian peneliti merencanakan suatu tindakan dan melaksanakannya. Pada

pelaksanaan tindakan peneliti melakukan penyampaian materi, tes perbuatan,

dan observasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Tahap berikutnya,

berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan jurnal peneliti merefleksi

kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Permasalahan-permasalahan yang muncul

pada siklus I merupakan permasalahan yang harus dipecahkan pada siklus II.

Selanjutnya, kegiatan dimulai lagi seperti kegiatan pada siklus I, yakni


56

perencaaan, tindakan, observasi, dan refleksi dengan perubahan-perubahan

untuk mengatasi permasalahan yang muncul pada siklus I. Proses penelitian

tindakan kelas ini dapat digambarkan sebagai berikut ini.

1. Perencanaan 1. Perencanaan

4. Refleksi Siklus 2. Tindakan Siklus 2.Tindakan


I 4. Refleksi
II

3. Pengamatan 3. Pengamatan

(Tim Pelatih Proyek PGSM 1999:6)

Secara lebih rinci kegiatan-kegiatan tiap siklus penulis sampaikan pada

bagian berikut ini.

1. Proses Pelaksanaan Siklus I

Proses pelaksanaan pada siklus I terdiri:

a. Perencanaan

Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan:

1) menyusun rencana pembelajaran sesuai dengan tindakan yang akan

dilaksanakan

2) membuat perangkat pembelajaran,

3) menyusun instrumen penelitian yang akan digunakan, yaitu

pedoman tes perbuatan, pedoman pengamatan, wawancara, jurnal,

dokuentasi foto, dan rekaman pita,

4) mempersiapkan model serta media yang akan digunakan, dan


57

5) mempersiapkan materi yang akan diajarkan.

b. Tindakan

Pada tahap ini dilakukan tindakan seperti yang telah disusun dalam

rencana pembelajaran. Materi pembelajarannya adalah mendiskusikan

masalah yang ditemukan dari berbagai berita, artikel, atau buku. Pada

tahap awal pembelajaran siswa diberikan apersepsi untuk mengungkap

pengetahuan siswa mengenai kegiatan diskusi. Guru menuliskan hasil

apersepsi tersebut dan memberikan penguatan. Kemudian, guru

menjelaskan tujuan pembelajaran pertemuan itu.

Selanjutnya, guru menjelaskan materi diskusi mulai dari

pengertian, macam-macam diskusi, komponen-komponen diskusi

beserta tugasnya dan memberikan contoh kalimat yang dapat

digunakan masing-masing komponen tersebut. Setelah selesai, guru

memberikan kesempatan kepada siswanya untuk bertanya, mengajukan

pendapat atau memberikan tanggapan.

Guru meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil yang

beranggotakan 4 orang. Guru juga meminta siswa menunjuk ketua

kelompoknya. Kemudian, guru memutarkan model orang yang sedang

berdiskusi melalui televisi. Setiap kelompok diminta untuk

memperhatikan dengan baik dan mencatat hal-hal yang bisa ditiru

dalam pelaksanaan diskusi maupun berbicara dalam diskusi, dan

mencatat hal-hal yang kurang sesuai dengan pengetahuan atau

pengalaman siswa berkaitan dengan diskusi.


58

Dengan teman sekelompok, siswa diminta mendiskusikan hal-hal

yang ditemukannya dari pemutaran model tersebut (proses pelaksanaan

diskusi, cara berbicara semua komponen yang terlibat dalam diskusi

tersebut). Kerja kelompok dibatasi selama 15 menit. Setelah semua

tugas dikumpulkan, guru mengundi kelompok untuk tampil

menyajikan hasil kerjanya untuk didiskusikan dengan kelompok lain.

Setelah selesai guru memberikan penguatan.

Guru membagikan artikel dari majalah Graffity, yang berisi

masalah-masalah seputar dunia siswa atau dunia remaja. Dengan

teman sekelompok, siswa diminta memahami masalah yang

diterimanya dan mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahannya

selama 15 menit. Setelah semua pekerjaan dikumpulkan, guru

mengundi kelompok untuk tampil menyajikan hasil kerjanya.

Kelompok yang pada kegiatan sebelumnya tampil mendapat prioritas

untuk tampil pada giliran terakhir agar setiap kelompok memiliki

kesempatan untuk menyajikan hasil kerjanya di depan kelas.

Setiap kelompok menyajikan hasil kerjanya secara bergiliran.

Setelah setiap kelompok selesai menyajikan hasil kerjanya, siswa lain

menanggapi hasil kerja kelompok dan mendiskusikan alternatif-

alternatif masalah yang ditemui kelompok yang tampil. Waktu

penampilan setiap kelompok, mulai pemaparan hingga diskusi,

dibatasi selama 10 – 15 menit. Pada kegiatan ini guru memotivasi


59

siswa agar diskusi ini berlangsung dengan baik dan semua siswa

terlibat, karena keterampilan berbicara siswa akan dinilai dari kegiatan

ini (memoderatori, menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan,

jawaban, sanggahan ataupun mengajukan pendapat, dan menjadi

notulis apabila diminta moderator untuk melaporkan hasil kerjanya).

Guru juga menginformasikan aspek-aspek yang dinilai. Setiap

penampilan berakhir guru memberikan penguatan terhadap hasil

diskusi.

Selanjutnya, bersama siswa guru mengadakan refleksi terhadap

proses dan hasil belajar pada hari itu. Guru memberikan kesempatan

sekali lagi kepada siswanya untuk menanggapi pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi yang baru saja dilaksanakan,

lalu guru menutup pertemuan hari itu.

c. Observasi atau Pengamatan

Observasi dilakukan oleh peneliti pada saat kegiatan belajar

mengajar berlangsung. Selain menyampaikan materi pembelajaran dan

melakukan tes perbuatan, peneliti juga mengamati perilaku siswa

selama proses pembelajaran. Adapun aspek yang diobservasi adalah

antusias siswa dalam pembentukan kelompok, respon atau sikap siswa

ketika diputarkan model dalam pembelajaran, komentar yang diberikan

siswa ketika mendiskusikan model yang disajikan, respon siswa/

kelompok dalam menerima materi (masalah) yang akan didiskusikan,

respon siswa dalam dalam mendiskusikan masalah yang diterima


60

dengan kelompoknya, pendapat/ jawaban yang diberikan siswa dalam

diskusi, semangat siswa dalam mengikuti diskusi, diskusi yang

dilaksanakan siswa, dan respon siswa dalam mengikuti pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi.

d. Refleksi

Setelah proses tindakan siklus I berakhir, peneliti melakukan

analisis mengenai hasil tes perbuatan, observasi, wawancara, jurnal,

dokumentasi foto, dan rekaman pita. Hasil analisis tersebut digunakan

untuk mengetahui seberapa besar keterampilan berbicara siswa,

bagaimana sikap siswa selama mengikuti pembelajaran, dan kendala

apa yang ditemui guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran

tersebut. Berdasarkan hasil analisis tersebut dilakukan refleksi yang

meliputi 1) pengungkapan sikap siswa dalam kegiatan belajar

mengajar, 2) keterampilan berbicara siswa pada siklus I, dan 3)

pengungkapan tindakan-tindakan yang telah dilakukan guru selama

mengajar. Kekurangan-kekurangan pada siklus I diperbaiki pada siklus

II.

2. Proses Pelaksanaan Siklus II

Berdasarkan refleksi pada siklus I, diadakan kegiatan-kegiatan untuk

memperbaiki rencana dan tindakan yang telah dilakukan. Langkah-

langkah kegiatan pada siklus II pada dasarnya sama seperti langkah-

langkah pada siklus I, tetapi ada beberapa perbedaan kegiatan

pembelajaran pada siklus II.


61

a. Perencanaan

Perencanaan yang dilakukan adalah memperbaiki perencanaan

yang telah dilakukan pada siklus I. Perbaikan tersebut terdapat pada

rencana pembelajaran, pembentukan kelompok, media yang

digunakan, penukaran model yang digunakan, dan pengundian kembali

masalah yang akan didiskusikan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan

pada tahap ini adalah sebagai berikut.

1) memperbaiki rencana pembelajaran,

2) mempersiapkan komputer, perangkat audio, dan LCD, untuk

menampilkan materi pembelajaran,

3) mempersiapkan model yang akan digunakan,

4) menyusun instrumen penelitian yang digunakan, yaitu pedoman tes

perbuatan, pedoman pengamatan, pedoman wawancara, jurnal,

rekaman video, dan sosiometeri (lembar observasi siswa).

b. Tindakan

Tindakan yang dilakukan pada siklus ini adalah:

1) Guru mengadakan apersepsi untuk menggali pengetahuan siswa

mengenai kegiatan diskusi dengan menampilkan kembali materi

yang telah diberikan dengan program Power Point melalui LCD.

Materi tersebut dapat digunakan siswa untuk melengkapi

catatannya. Apabila terdapat kekurangan pada catatan guru, siswa


62

dapat memberikan tanggapan. Guru meminta siswa untuk

memperhatikan dan memahami apa yang disampaikan guru.

2) Setelah penyajian materi selesai, guru memberikan kesempatan

kepada siswa untuk bertanya atau mengajukan pendapat. Siswa

lain boleh menanggapi pertanyaan temannya. Guru memberikan

penguatan kegiatan tersebut.

3) Guru meminta siswa untuk membentuk kelompok kembali dengan

cara menentukan sepuluh siswa yang memiliki keterampilan

berbicara yang baik pada siklus I. Kemudian siswa diminta

menentukan sendiri anggota kelompoknya, sebanyak empat orang

tiap kelompok

4) Melalui LCD, guru memutarkan model orang yang sedang

berdiskusi. Setiap siswa diminta untuk memperhatikan dengan baik

dan mencatat hal-hal yang bisa ditiru untuk berbicara dalam

kegiatan diskusi dan hal-hal yang kurang sesuai dengan

pengalaman atau pengetahuan yang mereka miliki. Kemudian,

dengan teman sekelompoknya siswa diminta mendiskusikan hal-

hal yang ditemukannya dari pemutaran model tersebut. Hal-hal

tersebut antara lain a) jenis diskusi, b) komponen yang terlibat, c)

cara berbicara dalam diskusi, d) cara mengajukan pertanyaan/

pendapat, dan e) cara menyanggah. Kerja kelompok dibatasi

selama 15 menit.
63

5) Setelah semua tugas dikumpulkan, guru mengundi kelompok untuk

tampil menyajikan hasil kerjanya di depan kelas dan ssiwa/

kelompok lain boleh menanggapi.

6) Setelah diundi, guru membagikan artikel dari majalah Graffity,

media komunikasi siswa SMA Negeri I Jepara, yang berisi

masalah-masalah seputar dunia siswa yang dekat dengan

kehidupan siswa di sekolah. Siswa diminta untuk memahami

masalah-masalah yang ditemuinya kemudian dengan teman

sekelompoknya mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahannya

selama 15 menit.

7) Setelah semua pekerjaan dikumpulkan, guru mengundi kelompok

untuk tampil menyajikan hasil kerjanya. Kelompok yang pada

kegiatan sebelumnya tampil mendapat prioritas untuk tampil pada

giliran terakhir agar setiap kelompok memiliki kesempatan untuk

menyajikan hasil kerjanya di depan kelas.

8) Setiap kelompok menyajikan hasil kerjanya secara bergiliran.

Setelah setiap kelompok selesai menyajikan hasil kerjanya, siswa

lain menanggapi hasil kerja kelompok dan mendiskusikan

alternatif-alternatif masalah yang ditemui kelompok yang tampil.

Waktu penampilan setiap kelompok, mulai pemaparan hingga

diskusi, dibatasi selama 10 – 15 menit. Pada kegiatan ini guru

memotivasi siswa agar diskusi pada siklus II ini berlangsung lebih

baik daripada siklus I dan semua siswa terlibat, karena akan diberi
64

penilaian bagi siswa yang berbicara dan guru juga

menginformasikan aspek-aspek yang dinilai. Setiap penampilan

berakhir guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi.

9) Setelah semua kelompok tampil, guru mengadakan refleksi

bersama dengan siswa mengenai pembelajaran yang dilakukan

pada siklus II ini (pengalaman, pengetahuan, dan perasaan ketika

mengikuti pelajaran).

10) Sebelum menutup pelajaran guru menginformasikan materi

pelajaran pada pertemuan berikutnya dan siswa diminta untuk

mempelajarinya terlebih dahulu.

c. Obervasi atau Pengamatan

Observasi dilakukan oleh peneliti pada saat kegiatan belajar

mengajar berlangsung. Selain menyampaikan materi pembelajaran dan

melakukan tes perbuatan, peneliti juga mengamati perilaku siswa

selama proses pembelajaran. Aspek-aspek yang diamati sama dengan

aspek-aspek yang diamati pada siklus I, yaitu antusias siswa dalam

pembentukan kelompok, respon atau sikap siswa ketika diputarkan

model dalam pembelajaran, komentar yang diberikan siswa ketika

mendiskusikan model yang disajikan, respon siswa/ kelompok dalam

menerima materi (masalah) yang akan didiskusikan, respon siswa

dalam dalam mendiskusikan masalah yang diterima dengan

kelompoknya, pendapat/ jawaban yang diberikan siswa dalam diskusi,

semangat siswa dalam mengikuti diskusi, diskusi yang dilaksanakan


65

siswa, dan respon siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi. Observasi ini digunakan untuk mengetahui

adanya perubahan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran

keterampilan berbicara pada siklus II ini.

d. Refleksi

Akhir tindakan siklus II ini dilakukan analisis hasil tes perbuatan,

observasi/ pengamatan, wawancara, jurnal, rekaman video, dan

sosiometri (lembar observasi siswa). Hasil analisis tersebut digunakan

untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dijumpai guru pada siklus

II, bagaimana perubahan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran,

dan seberapa besar peningkatan keterampilan berbicara siswa.

Berdasarkan hasil analisis tersebut dilakukan refleksi yang meliputi 1)

perubahan sikap siswa setelah mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan, 2)

peningkatan keterampilan berbicara siswa setelah mengikuti

pembelajaran, dan 3) tindakan-tindakan yang telah dilakukan guru

selama mengajar. Kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus II

ini seharusnya diperbaiki pada siklus berikutnya. Namun, mengingat

keterbatasan waktu, perbaikan-perbaikan kekurangan pada siklus ini

terpaksa dilakukan di luar penelitian ini. Kelebihan yang didapatkan

dapat dikembangkan lagi pada kegiatan pembelajaran sejenis dalam

kegiatan belajar mengajar berikutnya.


66

F. Teknik Pengumpulan Data

Instrumen-instrumen penelitian yang telah peneliti susun tersebut

digunakan untuk mengumpulkan data-data yang peneliti butuhkan.

Pengumpulan data-data tersebut diperoleh melalui langkah-langkah berikut.

1. Variabel keterampilan berbicara diperoleh dari tes perbuatan siswa selama

mengikuti pembelajaran

2. Variabel penggunaan pendekatan kontekstual fokus pemodelan diperoleh

dari observasi, wawancara, jurnal, dokumentasi foto, rekaman pita,

rekaman video, dan sosiometri.

Peneliti memperoleh data tes perbuatan selama siswa mengikuti proses

diskusi, yakni ketika siswa berbicara memoderatori, menyajikan masalah,

menjadi notulis ketika melaporkan hasil diskusinya, bertanya, menyanggah,

ataupun memberikan pendapat pada diskusi itu. Hasil terbaik yang diperoleh

siswalah yang digunakan dalam menilai keterampilan berbicara siswa.

Observasi dilakukan oleh peneliti pada saat kegiatan belajar mengajar

berlangsung. Selain menyampaikan materi pembelajaran dan melakukan tes

perbuatan, peneliti juga mengamati perilaku siswa selama proses

pembelajaran. Adapun aspek yang diobservasi adalah antusias siswa dalam

pembentukan kelompok, respon atau sikap siswa ketika diputarkan model

dalam pembelajaran, komentar yang diberikan siswa ketika mendiskusikan

model yang disajikan, respon siswa/ kelompok dalam menerima materi

(masalah) yang akan didiskusikan, respon siswa dalam dalam mendiskusikan

masalah yang diterima dengan kelompoknya, pendapat/ jawaban yang


67

diberikan siswa dalam diskusi, semangat siswa dalam mengikuti diskusi,

diskusi yang dilaksanakan siswa, dan respon siswa dalam mengikuti

pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi. Pedoman observasi atau

pengamatan ini diisi selama pembelajaran berlangsung dengan cara memberi

tanda cek (√) pada setiap aspek yang diamati sesuai dengan kategori (keadaan

di kelas), apakah termasuk kurang, cukup, baik, atau baik sekali.

Wawancara dilakukan setiap akhir siklus di luar jam pelajaran.

Wawancara tidak dilakukan kepada semua siswa, tetapi dilakukan kepada tiga

orang siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dan tiga orang siswa yang

mendapatkan nilai terrendah pada setiap siklus. Siswa diminta menuliskan

jawaban hasil wawancara tersebut di lembar jawaban yang peneliti sediakan.

Wawancara ini digunakan untuk mengungkap efektivitas penggunaan

pendekatan kontekstual fokus pemodelan dalam pembelajaran keterampilan

berbicara dan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa ketika mengikuti

pembelajaran keterampilan berbicara. Wawancara dilakukan di tempat

terpisah agar siswa leluasa mengemukakan isi hatinya tentang kegiatan

pembelajaran yang diikuti.

Dalam penelitian ini, guru menyusun jurnal sebagai instrumen nontes.

Ada dua model jurnal guru yang disusun dalam penelitian ini, yakni jurnal

untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan guru dalam pembelajaran dan

jurnal untuk mengetahui kegiatan atau sikap siswa selama proses

pembelajaran. Jurnal guru untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan guru

dalam pembelajaran disusun dengan cara memberi tanda cek (√) pada setiap
68

aspek, apakah aspek itu dilakukan atau tidak dan pada menit keberapa aspek

itu dilakukan. Selanjutnya, jurnal untuk guru mengetahui kegiatan atau sikap

siswa selama proses pembelajaran diisi selama pembelajaran berlangsung

dengan cara mendeskripsikan keadaan yang yang terjadi sesuai dengan

keadaan di kelas. Siswa juga diminta membuat jurnal setiap akhir

pembelajaran yang memuat kesan dan pesan selama mengikuti pembelajaran

setiap siklus.

Dokumentasi foto diambil pada saat proses pembelajaran berlangsung

untuk memperoleh rekaman aktivitas atau perilaku siswa selama mengikuti

proses pembelajaran dalam bentuk dokumen gambar (foto). Dokumentasi foto

ini akan memperkuat analisis penelitian pada setiap siklus. Selain itu, data

yang diambil melalui dokumentasi foto ini juga memperjelas data yang lain

yang hanya terdeskripsi melalui tulisan dan angka.

Rekaman pita diambil pada saat diskusi siswa berlangsung untuk

merekam aktivitas berbicara siswa melalui diskusi. Media perekam cukup

didekatkan pada pengeras suara (sound system) yang digunakan, sehingga

semua aktivitas berbicara siswa akan terrekam dalam rekaman pita ini.

Rekaman pita dapat memperkuat bukti pelaksanaan diskusi yang dilakukan

siswa. Selain itu, data penelitian melalui rekaman pita ini juga dapat

membantu peneliti dalam memberikan penilaian keterampilan berbicara siswa.

Hasil rekaman pita dapat peneliti putar kembali untuk memberikan penguatan

penilaian yang peneliti lakukan ketika siswa berbicara melalui diskusi.


69

Rekaman video diambil pada saat proses pembelajaran berlangsung

ketika siswa memperhatikan dan mendiskusikan model yang peneliti berikan

serta presentasi hasil diskusi itu oleh kelompok yang mendapatkan undian,

aktivitas siswa mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang

diterima, dan proses berlangsungnya diskusi siswa di depan kelas. Rekaman

video ini akan memberikan data yang lebih lengkap. Aktivitas siswa selama

pembelajaran dan keterampilan berbicara siswa dalam diskusi akan terrekam

dengan jelas melalui rekaman video ini. Tidak hanya aspek-aspek kebahasaan

saja, aspek nonkebahasaan yang tidak dapat terrekam melalui rekaman pita

seperti sikap, gerak-gerik dan mimik yang wajar, serta pandangan mata dapat

terrekam melalui rekaman audio visual ini. Rekaman video ini dapat peneliti

putar kembali untuk memberikan penilaian keterampilan berbicara siswa

melalui diskusi.

Sosiometri diisi siswa selama pembelajaran berlangsung. Selama

pembelajaran, siswa diberikan lembar observasi (sosiometri) untuk menilai

kinerja teman sekelompoknya dan menentukan teman sekelompoknya yang

memiliki keterampilan berbicara paling baik di antara mereka. Siswa diminta

untuk menuliskan nama-nama teman sekelompoknya yang tidak melakukan

aktivitas-aktivitas sesuai dengan yang terdapat dalam lembar sosiometri

tersebut dan menuliskan nama teman sekelompoknya yang keterampilan

berbicaranya paling baik di antara mereka.


70

G. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah

teknik kuantitatif dan teknik kualitatif.

1. Teknik Kuantitatif

Tes kuantitatif dipakai untuk menganalisis hasil tes perbuatan siswa

yang dilakukan pada setiap siklus. Nilai masing-masing siswa pada setiap

akhir siklus dijumlahkan, kemudian jumlah tersebut dihitung dalam

persentase dengan menggunakan rumus:

N=
∑ SS x100%
11

Keterangan:

N = Nilai dalam persentase

Σ SS = nilai total yang diperoleh siswa

11 = jumlah aspek penilaian

Hasil perhitungan tersebut kemudian dikonsultasikan dengan

parameter penelitian untuk menentukan keterampilan berbicara siswa

tersebut termasuk dalam kategori kurang, cukup, baik atau sangat baik.

Hasil yang diperoleh siswa pada siklus I dibandingkan dengan hasil yang

diperoleh siswa pada siklus II untuk mengetahui peningkatan keterampilan

berbicara siswa.

Selanjutnya, untuk mengetahui peningkatan keterampilan berbicara

siswa satu kelas diperoleh dengan cara membandingkan hasil yang

diperoleh siswa satu kelas dalam siklus I dan siklus II. Nilai yang
71

diperoleh siswa satu kelas setiap siklus dijumlahkan, kemudian jumlah

tersebut dihitung dalam persentase dengan menggunakan rumus:

N=
∑ SK x100%
n

Keterangan:

N = Nilai dalam persentase

Σ SK = nilai total yang diperoleh siswa

n = jumlah siswa satu kelas

Hasil yang diperoleh keseluruhan siswa pada siklus I dibandingkan

dengan hasil yang diperoleh keseluruhan siswa pada siklus II untuk

mengetahui peningkatan keterampilan berbicara siswa satu kelas.

2. Teknik Kualitatif

Teknik kualitatif dipakai untuk menganalisis data-data nontes, yaitu

data observasi atau pengamatan, data hasil wawancara, data jurnal, data

dokumentasi foto, data rekaman pita, data rekaman video, dan data

sosiometri. Data observasi, jurnal, dan rekaman video dianalisis untuk

mendeskripsikan sikap siswa dalam mengikuti pelajaran. Dari data ini

diketahui perubahan sikap siswa selama mengikuti pelajaran pada siklus I

dan siklus II.

Data hasil wawancara digunakan untuk mengungkap efektivitas

penggunaan pendekatan kontekstual fokus pemodelan dalam pembelajaran

dan digunakan untuk mengungkap kesulitan-kesulitan yang dialami siswa

ketika berbicara melalui diskusi. Dari data wawancara ini guru dapat
72

mencari alternatif-alternatif pemecahan kesulitan yang dialami siswa

ketika mengikuti pelajaran dan menentukan teknik pembelajaran yang

sesuai dalam usaha meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

Data dokumentasi foto digunakan untuk memperoleh rekaman

aktivitas atau perilaku siswa selama mengikuti proses pembelajaran dalam

bentuk dokumen gambar. Dokumentasi foto akan memperkuat bukti

analisis penelitian pada setiap siklus. Selain itu, data yang diambil melalui

dokumentasi foto ini juga memperjelas data yang lain yang hanya

terdeskripsikan melalui tulisan atau angka. Dari data ini guru dapat

mencari alternatif-alternatif pendekatan pembelajaran yang sesuai agar

pembelajaran berlangsung efektif.

Rekaman pita digunakan untuk memperkuat bukti pelaksanaan diskusi

yang dilakukan siswa. Selain itu, data penelitian melalui rekaman pita ini

juga dapat membantu peneliti dalam memberikan penilaian keterampilan

berbicara siswa. Hasil rekaman pita dapat peneliti putar kembali untuk

memberikan penguatan penilaian yang peneliti lakukan ketika siswa

berbicara melalui diskusi. Hasil rekaman pita ini dapat digunakan untuk

mengetahui kekurangan-kekurangan siswa ketika berbicara, sehingga guru

dapat menentukan pendekatan pembelajaran yang sesuai dalam usaha

meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

Rekaman video ini juga akan memberikan data yang lebih lengkap

dibandingkan data yang lain. Aktivitas siswa selama pembelajaran akan

terrekam dengan jelas melalui rekaman audio visual ini. Tidak hanya
73

aktivitas siswa saja, keterampilan berbicara siswa pun akan terrekam.

Aspek nonkebahasaan yang tidak dapat terrekam melalui rekaman pita

seperti sikap, gerak-gerik dan mimik yang wajar, serta pandangan mata

dapat terrekam melalui rekaman audio visual ini. Rekaman audio visual ini

juga dapat peneliti putar kembali untuk memberikan penilaian

keterampilan berbicara siswa melalui diskusi. Dari data rekaman video ini,

guru dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan siswa dalam berbicara

untuk meningkatkan keterampilan berbicaranya dan menentukan

pendekatan pembelajaran yang sesuai agar pembelajaran berlangsung lebih

efektif.

Data sosiometri (lembar observasi siswa) digunakan untuk menilai

kinerja teman sekelompoknya. Dari data sosiometri ini guru dapat

mengetahui aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran dan dapat

digunakan untuk menentukan pendekatan pembelajaran yang sesuai,

sehingga pembelajaran dapat berlangsung efektif dan keetrampilan

berbicara siswa meningkat.

Data-data nontes ini digunakan untuk mengetahui efektivitas

penggunaan pendekatan kontekstual fokus pemodelan dalam

pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang diuraikan meliputi hasil tes dan nontes, baik pada

siklus I maupun siklus II. Hasil penelitian yang berupa tes keterampilan

berbicara disajikan dalam bentuk data kuantitatif, sedangkan hasil penelitian

nontes disajikan dalam bentuk deskripsi data kualitatif. Sistem penyajian data

hasil tes kemampuan berbicara yang berupa angka ini disajikan dalam bentuk

tabel, kemudian diuraikan analisis atau tafsiran makna dari laporan tabel

tersebut. Selanjutnya, untuk data nontes dipaparkan dalam bentuk rangkaian

kalimat secara deskriptif. Data nontes yang dipaparkan pada siklus I meliputi

observasi, wawancara, jurnal, dokumentasi foto, dan rekaman pita, sedangkan

siklus II data nontes meliputi observasi, wawancara, jurnal, sosiometri (lembar

observasi siswa), dan rekaman video yang dilampirkan dalam bentuk VCD.

1. Hasil Penelitian Siklus I

a. Hasil Tes

Data hasil tes ini merupakan data penentu keterampilan berbicara

siswa dan peningkatan keterampilan berbicara siswa. Dari hasil tes ini

diketahui tingkat keterampilan berbicara siswa. Tes keterampilan berbicara

ini dilakukan dengan cara meminta setiap kelompok tampil di depan kelas

untuk memaparkan hasil diskusinya berkaitan dengan alternatif-alternatif

pemecahan masalah yang diterimanya. Setiap anggota kelompok ada yang

74
75

berperan menjadi moderator, penyaji, dan notulis. Siswa/ kelompok lain

menjadi peserta diskusi yang nanti diberikan kesempatan untuk

memberikan tanggapan (bertanya, menyanggah ataupun mengajukan

pendapat) kepada kelompok yang tampil. Keterampilan berbicara siswa

pada kegiatan tersebut akan diberikan penilaian sebagai tes keterampilan

berbicara. Secara umum, hasil tes keterampilan berbicara pada siklus I ini

dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Hasil Tes Keterampilan Berbicara Siklus I


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 28 72 nilai total 2863
3. 75 – 84 Baik 11 28 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 0 0 73,4 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Tabel tersebut menunjukkan bahwa secara klasikal ketiga puluh

sembilan siswa mencapai nilai total 2863 dengan nilai rata-rata 73,4 dalam

kategori cukup. Perolehan nilai rata-rata siswa dalam kategori cukup ini

disebabkan oleh kondisi fisik dan mental siswa yang telah lelah mengikuti

17 mata pelajaran yang diajarkan kepadanya. Peneliti menyadari hal

tersebut karena berdasarkan pengamatan di lapangan dan tanya-jawab

dengan guru mata pelajaran lain di kelas itu, berdasarkan kurikulum 2004

ini, siswa SMA kelas X mendapatkan 17 mata pelajaran yang menjelang

akhir semester ini hampir semua guru memberikan tugas, baik individu

maupun kelompok, yang membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang

banyak untuk menilai ketuntasan belajar siswa. Selain itu, pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi ini masih dirasakan baru oleh siswa
76

sehingga pola pembelajaran ini merupakan proses awal bagi siswa untuk

menyesuaikan diri dalam belajar. Pada siklus I ini siswa masih merasa

gugup, menggunakan intonasi seperti orang membaca, dan ada pula yang

masih menggunakan kata-kata raam santai atau bahasa Jawa.

Hasil tes secara klasikal sebagaimana dalam tabel 3 tersebut

merupakan gabungan dari sebelas aspek keterampilan berbicara yang

digunakan untuk menilai keterampilan berbicara siswa melalui diskusi.

Adapun hasil perolehan tiap-tiap aspek secara rinci dapat dilihat pada

uraian di bawah ini.

1) Hasil Tes Ketrampilan Berbicara Aspek Ketepatan Ucapan

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek ketepatan ucapan

dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Hasil Tes Aspek Ketepatan Ucapan


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 7 18 nilai total 2945
3. 75 – 84 baik 28 72 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 4 10 75,5 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa kefasihan siswa

dalam melafalkan bunyi-bunyi bahasa sudah baik. Hal ini ditandai dengan

perolehan nilai rata-rata kelas sebesar 75,5. Sebanyak 7 siswa atau 18%

memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup, 28 siswa atau 72%

memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan 4 siswa atau 10%

memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik. Pelafalan siswa sudah

baik karena rata-rata mereka tidak memiliki gangguan alat ucap yang
77

mengganggu pelafalan. Di antara ketujuh siswa yang memperoleh nilai

dalam kategori cukup satu di antaranya agak memiliki gangguan alat ucap

(cedal), terutama untuk mengucapkan bunyi bunyi /r/, sedangkan enam

siswa lainnya disebabkan oleh tempo berbicara yang cepat, sehingga ada

kata-kata atau kalimat yang terdengar kurang jelas pengucapannya.

2) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Penempatan Tekanan

Hasil tes keterampilan berbicara aspek penempatan tekanan dapat

dilihat pada tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Hasil Tes Aspek Penempatan Tekanan


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 33 85 nilai total 2660
3. 75 – 84 baik 6 15 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 0 0 68,2 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa siswa mempunyai

keterampilan cukup dalam menempatkan tekanan, yaitu ditandai dengan

perolehan nilai rata-rata 68,2 dalam kategori cukup. Sebanyak 33 siswa

atau 85% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup, dan sisanya, 6

siswa atau 5% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik. Pada aspek

ini tidak ada satu pun siswa yang memperoleh nilai <65 atau kurang dan

>84 atau sangat baik. Rata-rata siswa kurang memperhatikan/ memberikan

tekanan pada kata-kata atau kalimat yang penting. Untuk siklus berikutnya

siswa perlu dimotivasi agar memperhatikan tekanan pada kata-kata atau

kalimat-kalimat yang penting. Tekanan yang baik pada kata-kata atau


78

kalimat-kalimat tersebut dapat membantu memperjelas pendengar dalam

memahami apa yang sedang pembicara bicarakan.

3) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Penempatan Jeda

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara, khususnya aspek

penempatan jeda pada siklus I ini dapat dilihat pada tabel 7 berikut.

Tabel 7. Hasil Tes Aspek Penempatan Jeda


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 23 59 nilai total 2810
3. 75 – 84 baik 15 38 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 1 3 72,1 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa siswa memiliki

keterampilan cukup dalam menempatkan jeda. Sebanyak 23 siswa atau

59% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup. Selanjutnya, 15

siswa atau 38% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan

seorang siswa memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik. Rata-rata

siswa yang memperoleh nilai dalam kategori cukup kurang tepat dalam

menempatkan jeda kata atau singkatan, misalnya SMA diucapkan [sm:a]

atau kata kelompok diucapkan [k∂lom:po?]. Namun, kekurangtepatan

penempatan jeda tersebut tidak sampai membedakan makna atau

menimbulkan penafsiran ganda yang membingungkan para pendengar/

peserta. Untuk siklus berikutnya siswa perlu dimotivasi agar

memperhatikan penempatan jeda supaya maksud yang ingin disampaikan

kepada pendengar dapat dipahami dengan baik dan pembicaraan menjadi

menarik dengan penempatan jeda yang baik itu.


79

4) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Intonasi

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek intonasi dapat

dilihat pada tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Hasil Tes Aspek Intonasi


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 Kurang 1 3 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 19 48 nilai total 2820
3. 75 – 84 Baik 18 47 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 1 3 72,3 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa intonasi siswa dalam

berbicara melalui diskusi cukup yang ditandai dengan perolehan nilai rata-

rata 72,2. Seorang siswa atau 3% memperoleh nilai >84 dalam kategori

sangat baik, 18 siswa atau 47% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori

baik, dan 19 siswa atau 48% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori

cukup. Hanya ada seorang siswa atau 3% yang memperoleh nilai <65

dalam kategori kurang. Intonasi yang digunakan siswa tersebut adalah

intonasi seperti orang membaca. Meskipun demikian, intonasi yang

digunakan tersebut tidak sampai membedakan makna yang menyebabkan

pendengar kesulitan memahami maksud yang disampaikan karena adanya

penafsiran ganda dari para peserta yang disebabkan kurang tepatnya

intonasi yang digunakan. Seharusnya, intonasi yang digunakan adalah

intonasi untuk meyakinkan pendengar berkaitan dengan argumen-argumen

yang dikemukakan. Untuk siklus berikutnya siswa perlu juga dimotivasi

untuk memperhatikan aspek intonasi ini agar pembicaraan terdengar


80

menarik dan peserta tidak kesulitan memahami maksud pembicara serta

tidak jenuh mendengarnya.

5) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Pilihan Kata

Hasil tes keterampilan berbicara aspek pilihan kata dapat dilihat pada

tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Hasil Tes Aspek Pilihan Kata


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 9 23 nilai total 2895
3. 75 – 84 baik 29 74 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 1 3 74,2 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa pilihan kata yang

dipakai siswa dalam berbicara berada dalam kategori cukup. Sebanyak 39

siswa mencapai nilai total 2895 dengan nilai rata-rata 74,2 dalam kategori

cukup. Sebagian besar siswa, sebanyak 29 siswa atau 74%, memperoleh

nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan seorang siswa atau 3% memperoleh

nilai >84 dalam kategori sangat baik. Namun, ada 9 siswa atau 23% yang

memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup. Kesembilan siswa

tersebut masih menggunakan kata-kata dalam ragam santai dan kata-kata

dari bahasa Jawa ketika berbicara, misalnya masih menggunakan kata

nggak atau gimana, dan neko-neko. Untuk siklus berikutnya siswa perlu

dimotivasi agar selalu menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat baku

dalam pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi ini.

Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan salah satu

wujud kecintaan siswa terhadap bahasa Indonesia.


81

6) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Pemakaian Kalimat

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek pemakaian kalimat

dapat dilihat pada tabel 10 di bawah ini.

Tabel 10. Hasil Tes Aspek Pemakaian Kalimat


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 9 23 nilai total 2895
3. 75 – 84 baik 29 74 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 1 3 74,2 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa pemakaian kalimat

siswa dalam berbicara melalui diskusi pada siklus I ini termasuk dalam

kategori cukup yang ditandai dengan perolehan nilai rata-rata sebesar 74,2.

Sebagian besar siswa, 29 siswa atau 74%, memperoleh nilai 75 – 84 dalam

kategori baik, dan seorang siswa atau 3% memperoleh nilai > 84 dalam

kategori sangat baik. Lainnya, sebanyak 9 siswa atau 23%, memperoleh

nilai 65 – 74 dalam kategori cukup. Pemakaian kalimat ini dipengaruhi

oleh pilihan kata yang digunakan siswa ketika berbicara. Jika pilihan kata

yang dipakai siswa baku, maka kalimatnya juga baku. Sebaliknya, jika

kata-kata yang digunakan tidak baku, maka kalimatnya juga tidak baku.

Namun, tidak hanya itu saja yang peneliti jadikan acuan dalam

memberikan penilaian. Struktur kalimat yang dipakai siswa ketika

berbicara juga peneliti perhatikan. Rata-rata struktur kalimat yang dipakai

siswa sudah baik, tidak membedakan makna atau menimbulkan penafsiran

ganda yang menyebabkan peserta kesulitan dalam memahami maksud

yang disampaikan pembicara.


82

7) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Sikap, Gerak-gerik, dan Mimik

yang wajar

Hasil tes keterampilan berbicara siswa aspek sikap, gerak-gerik, dan

mimik yang wajar secara rinci dapat dilihat pada tabel 11 berikut ini.

Tabel 11. Hasil Tes Aspek Sikap, Gerak-gerik dan Mimik


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 2 6 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 22 56 nilai total 2790
3. 75 – 84 baik 14 35 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 1 3 71,5 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sikap, gerak-gerik,

dan mimik yang wajar ketika berbicara melalui diskusi termasuk dalam

kategori cukup yang ditandai dengan perolehan nilai total sebesar 2790

dengan nilai rata-rata 71,5. Sebagian besar siswa, 22 siswa atau 56%,

memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup, 14 siswa atau 35%,

memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan seorang siswa atau 3%

memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik. Pada aspek sikap,

gerak-gerik, dan mimik yang wajar ini ada 2 siswa atau 6% yang

memperoleh nilai <65 dalam kategori kurang. Ketika berbicara, kedua

siswa ini menggoyang-goyangkan badannya, menggaruk-garuk kepala

secara berlebihan, dan berbicara sambil tertawa.

8) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Volume Suara

Pada kegiatan diskusi ini, peneliti juga menggunakan media pengeras

suara (sound system). Hal ini peneliti maksudkan agar siswa terbiasa

berbicara di depan umum dengan menggunakan pengeras suara, sehingga


83

apabila terjun di masyarakat dan harus berbicara di depan khalayak dengan

menggunakan pengeras suara, siswa sudah tidak canggung lagi karena

sudah terbiasa di sekolah. Pengaturan volume suara tidak peneliti ubah-

ubah dari awal hingga akhir penampilan seluruh kelompok, sehingga

masih tetap terdengar perbedaan siswa yang volume suaranya keras atau

pelan ketika berbicara. Adapun hasil tes keterampilan berbicara aspek

volume suara secara rinci dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini.

Tabel 12. Hasil Tes Aspek Volume Suara


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 6 15 nilai total 2940
3. 75 – 84 baik 33 85 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 0 0 75,4 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa volume suara siswa

ketika berbicara melalui diskusi sudah baik. Hal ini ditandai dengan

perolehan nilai total yang dicapai sebesar 2940 dengan nilai rata-rata 75,4.

Sebagian besar siswa, 33 siswa atau 85%, memperoleh nilai 75 – 84 dalam

kategori baik. Sisanya, 33 siswa atau 15%, memperoleh nilai 65 – 84

dalam kategori cukup. Dalam diskusi ini peneliti tidak menemukan siswa

yang menjauhkan mikrofon dari mulut ketika berbicara. Kondisi ini perlu

dipertahankan dan memotivasi siswa yang suaranya pelan agar

memperkeras volume suaranya ketika berbicara dalam diskusi, sehingga

pembicaraannya terdengar oleh seluruh peserta diskusi.


84

9) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Pandangan Mata

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek pandangan mata

pada siklus I dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Hasil Tes Aspek Pandangan Mata


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 2 6 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 20 50 nilai total 2845
3. 75 – 84 baik 15 38 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 2 6 72,9 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa pandangan mata

siswa ketika berbicara dalam diskusi berada dalam kategori cukup. Hal ini

ditandai dengan perolehan nilai total siswa sebesar 2845 dengan nilai rata-

rata 72,9 dalam kategori cukup. Pada aspek pandangan mata ini, 2 siswa

atau 6% memperoleh nilai <65 dalam kategori kurang, 20 siswa atau 50%

memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup, 15 siswa atau 38%

memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan 2 siswa atau 6%

memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik. Umumnya, pandangan

mata siswa ketika berbicara hanya diarahkan pada satu arah tertentu saja,

tidak kepada semua peserta. Sedangkan 2 siswa yang memperoleh nilai

kurang, pandangan matanya terlihat sering diarahkan ke atas atau ke

bawah. Seharusnya pandangan mata ketika berbicara dalam diskusi

diarahkan kepada semua peserta agar peserta merasa diperhatikan,

sehingga antusias peserta untuk mengikuti proses berlangsungnya diskusi

tetap tinggi dan tidak berbicara sendiri dengan peserta lain.


85

10) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Penguasaan Topik

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara siswa aspek penguasaan

topik dapat dilihat pada tabel 14 berikut ini.

Tabel 14. Hasil Tes Aspek Penguasaan Topik


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 1 3 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 7 18 nilai total 2950
3. 75 – 84 baik 26 66 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 5 13 75,6 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa penguasaan

topik siswa berada dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan

perolehan nilai total siswa sebesar 2950 dengan nilai rata-rata 75,6.

Seorang siswa atau 3% memperoleh nilai <65 dalam kategori kurang, 7

siswa atau 18% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup, 26 siswa

atau 66% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan 5 siswa atau

13% memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik. Penguasaan topik

ini penulis dapatkan dari isi pembicaraan siswa selama diskusi. Rata-rata

siswa sudah mampu menguasai topik diskusi, karena topik-topik masalah

yang peneliti berikan adalah masalah-masalah seputar dunia siswa yang

dekat dengan kehidupan siswa di sekolah. Siswa yang kurang memahami

topik diskusi tersebut disebabkan oleh masalah yang diterimanya kurang

begitu disenangi. Selain itu, siswa tersebut juga tidak ikut bekerja sama

ketika mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang

diterimanya, sehingga ia kurang menguasai topik permasalahan yang

diterimanya ketika berbicara dalam diskusi tersebut di depan kelas.


86

11) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Kelancaran

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek kelancaran dapat

dilihat pada tabel 15 berikut ini.

Tabel 15. Hasil Tes Aspek Kelancaran


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 2 6 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 cukup 7 18 nilai total 2945
3. 75 – 84 Baik 26 66 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 4 10 75,5 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa kelancaran siswa

dalam berbicara melalui diskusi sudah baik. Hal ini ditandai dengan

perolehan nilai total yang dicapai sebesar 2945 dengan nilai rata-rata 75,5.

Sebanyak 4 siswa atau 10% memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat

baik, 26 siswa atau 66% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, 7

siswa atau 18% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup, dan 2

siswa atau 6% memperoleh nilai <65 dalam kategori kurang.

Kekuranglancaran siswa disebabkan rasa grogi dan tegang ketika berbicara

karena belum terbiasa berbicara di depan umum. Siklus berikutnya siswa

perlu dimotivasi agar menghilangkan perasaan-perasaan itu supaya pada

diskusi berikutnya siswa lebih lancar dalam berbicara.

b. Hasil Nontes

Pada siklus I ini data penelitian nontes didapatkan dari hasil observasi,

wawancara, jurnal, dokumentasi foto, dan rekaman pita. Hasil

selengkapnya dijelaskan pada uraian berikut ini.


87

1) Hasil Observasi

Pengambilan data melalui observasi ini bertujuan untuk

mengetahui perilaku siswa selama pembelajaran. Observasi ini

dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Aspek yang

diamati dalam observasi ini meliputi perilaku yang ditunjukkan siswa

selama mengikuti proses pembelajaran. Hal ini dilakukan untuk

memperoleh data selengkap mungkin untuk mengungkap perilaku

yang ditunjukkan siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Aspek

yang menjadi sasaran observasi adalah 1) antusias siswa dalam

pembentukan kelompok, 2) respon siswa ketika disajikan model dalam

pembelajaran, 3) komentar yang diberikan siswa saat mendiskusikan

model yang digunakan, 4) respon siswa/ kelompok dalam menerima

materi (masalah) yang akan didiskusikan, 5) antusias siswa dalam

mendiskusikan masalah yang diterima dengan kelompoknya, 6)

pendapat/ jawaban, pembicaraan siswa dalam diskusi, 7) semangat

siswa dalam mengikuti diskusi, 8) diskusi yang dilaksanakan siswa,

dan 9) antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara siswa melalui diskusi.

Dalam siklus I ini, seluruh perilaku siswa selama proses

pembelajaran berlangsung terdeskripsi melalui observasi. Selama

proses pembelajaran berlangsung, tidak semua siswa mengikutinya

dengan baik. Beberapa siswa berbicara dengan siswa lain sehingga

proses pembelajaran agak terganggu.


88

Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa siswa menunjukkan

respon yang sangat baik ketika peneliti minta untuk membentuk

kelompok, bahkan mereka mengusulkan cara pembentukannya.

Akhirnya disepakati bahwa pembentukan kelompok dilakukan dengan

cara berhitung 1 – 10 secara bergantian hingga siswa urutan terakhir.

Siswa yang menyebut angka 1 bergabung menjadi satu kelompok,

siswa yang menyebut angka 2 bergabung menjadi satu kelompok,

demikian seterusnya. Respon siswa sangat baik dalam pembentukan

kelompok ini.

Selanjutnya, siswa memberikan respon baik ketika peneliti berikan/

putarkan model dalam pembelajaran. Bersama dengan teman

sekelompoknya, siswa memperhatikan model yang peneliti berikan

melalui televisi dan mencatat hal-hal yang mereka temukan dari

pemutaran model tersebut seperti yang peneliti minta. Namun, ada

beberapa siswa yang berbicara dengan teman sekelompok atau

kelompok lain, sehingga agak mengganggu teman lain yang sedang

memperhatikan model yang diputarkan.

Komentar yang diberikan siswa berkaitan dengan model yang

peneliti berikan sudah baik. Mereka memberikan komentar-komentar

terhadap hal-hal yang telah peneliti minta sebelumnya dengan baik

sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki

berkaitan dengan cara berbicara yang baik dalam diskusi. Adapun hal-

hal yang peneliti mintakan komentar adalah jenis diskusi, cara


89

berbicara setiap komponen yang terlibat, cara menyanggah, dan cara

memberikan pendapat dalam diskusi tersebut.

Respon yang ditunjukkan siswa ketika menerima masalah diskusi

yang peneliti berikan juga baik. Beberapa saat setelah menerima

masalah yang akan didiskusikan tersebut, ada beberapa siswa yang

menunjukkan reaksinya dengan menganggukkan kepala. Ada pula

siswa yang berkata, "O… o… o…", dan bahkan ada pula yang berkata,

"Andi, Pak, pacaran terus". Hal ini menunjukkan bahwa siswa senang

dengan masalah diskusi yang mereka terima karena masalah tersebut

adalah masalah yang dekat dengan kehidupan mereka di sekolah,

bahkan ada siswa yang juga mengalaminya sendiri.

Kemudian, dalam mendiskusikan masalah yang diterima dengan

kelompoknya, siswa menunjukkan respon yang baik pula. Mereka

bekerja sama untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah

yang diterimanya. Namun, ada juga siswa yang tidak ikut bekerja

dalam mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang

diterimanya. Berdasarkan pengamatan, siswa yang kebetulan

mendapatkan teman sekelompok yang pintar lebih bergantung pada

teman sekelompoknya yang pintar itu, sehingga tidak mengherankan

jika mereka tidak ikut bekerja dalam kelompoknya itu.

Selanjutnya, berdasarkan hasil observasi, pembicaraan siswa cukup

dalam memberikan pendapat/ jawaban. Umumnya, mereka sudah

dapat menguasai materi yang peneliti berikan. Hal ini terlihat dari isi
90

pembicaraan mereka dalam diskusi tersebut. Sayangnya, mereka

kurang percaya diri dan grogi ketika berbicara di depan kelas sehingga

menyebabkan pembicaraan yang sebenarnya menarik menjadi agak

kurang menarik yang disebabkan oleh hal-hal tersebut.

Semangat siswa dalam mengikuti diskusi cukup. Mereka mengikuti

diskusi yang berlangsung dan menanggapinya dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan, pendapat ataupun sanggahan. Namun, ada

siswa yang tidak memperhatikan diskusi dan berbicara sendiri dengan

teman yang lain, sehingga agak mengganggu proses berlangsungnya

diskusi. Hal ini juga mempengaruhi penampilan kelompok yang

sedang tampil di depan kelas, karena mereka merasa kurang dihargai

oleh peserta yang berbicara sendiri itu.

Diskusi yang dilaksanakan siswa sudah cukup. Mereka mampu

melaksanakan diskusi dari awal hingga akhir. Siswa sudah tahu apa

yang harus mereka lakukan sesuai dengan peran dan tugasnya masing-

masing. Hanya saja, proses diskusi yang dilaksanakan siswa agak

terganggu dengan perilaku siswa yang berbicara dengan teman yang

lain dan tidak memperhatikan penampilan kelompok lain.

Antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi baik. Umumnya para siswa bersemangat

dalam mengikuti pembelajaran dari awal hingga akhir. Hal ini

ditunjukkan dengan antusias mereka mulai dari mengikuti penjelasan

materi dari guru (peneliti), pembentukan kelompok, pemutaran model,


91

mendiskusikan model, dan pelaksanaan diskusi di depan kelas,

meskipun dalam proses pembelajaran ada beberapa siswa yang

berbicara sendiri.

Meskipun proses pembelajaran agak kurang kondusif dengan

adanya beberapa siswa yang berbicara sendiri, namun hasil yang

dicapai siswa sudah baik dan siswa masih antusias dalam mengikuti

pembelajaran. Antusias siswa ini diketahui dari respon atau ekspresi

sebagian besar siswa yang peneliti ajar. Sebagian besar wajah mereka

menampakkan ekspresi kagum terhadap teknik mengajar yang peneliti

gunakan, karena pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi

ini dirasakan sebagai hal baru bagi siswa, dan pembelajaran ini dapat

dijadikan sarana rekreasi untuk menyegarkan kembali pikiran. Peneliti

menyadari hal tersebut karena berdasarkan pengamatan di lapangan

dan tanya-jawab dengan guru mata pelajaran lain di kelas itu, sesuai

dengan kurikulum 2004, siswa SMA kelas X mendapatkan 17 mata

pelajaran dan menjelang akhir semester II ini hampir semua guru

memberikan tugas, baik individu maupun kelompok, yang

membutuhkan banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk menilai

ketuntasan belajar mereka. Jadi, peneliti bisa memaklumi jika selama

proses pembelajaran ada siswa yang berbicara sendiri untuk

membicarakan tugas-tugas itu. Namun, dalam proses pembelajaran,

peneliti tidak menemukan siswa yang mengerjakan tugasnya selama

proses pembelajaran berlangsung.


92

2) Hasil Wawancara

Pada siklus I ini, peneliti menggunakan instrumen wawancara

untuk memperoleh data nontes. Wawancara tidak dilakukan kepada

semua siswa, tetapi dilakukan kepada tiga siswa yang memperoleh

nilai tertinggi dan tiga siswa yang memperoleh nilai terrendah.

Terdapat 16 butir pertanyaan dalam instrumen wawancara ini.

Pertanyaan tersebut meliputi 1) bagaimana pendapat siswa tentang

pemberian model dalam pembelajaran, 2) dapatkah model yang guru

sajikan membantu siswa dalam melaksanakan diskusi, 3) dapatkah

model tersebut membantu siswa untuk dapat berbicara dengan baik

melalui diskusi, 4) bagaimana pendapat siswa mengenai pembentukan

kelompok yang dilakukan guru, 5) apakah dalam kelompok tersebut

siswa dapat bekerja sama dengan anggota kelompok yang lain, 6)

apakah dalam kelompok siswa ada anggota yang tidak bekerja, 7)

bagaimana sikap siswa terhadap teman yang tidak bekerja dalam

kelompok, 8) mampukah siswa memahami dan menguasai materi/

masalah diskusi yang akan didiskusikan (materi yang diberikan guru),

9) menurut siswa, materi/ permasalahan apa yang cocok untuk

didiskusikan siswa di dalam kelas, 10) bagaimana pendapat siswa

mengenai pelaksanaan diskusi untuk membahas masalah-masalah yang

guru berikan, 11) apakah dalam diskusi tersebut siswa mendapatkan

kesempatan berbicara, 12) apakah dalam diskusi tersebut siswa

mengalami kesulitan dalam berbicara dan siswa juga diminta


93

menyebutkan kesulitan-kesulitan tersebut, 13) untuk mengatasi

kesulitan tersebut, usaha apa yang siswa lakukan agar kesulitan

tersebut tidak terjadi lagi pada pelaksanaan diskusi selanjutnya, 14)

sudah maksimalkan pembicaraan siswa dalam diskusi tersebut dan

diminta mengemukakan alasan/ pendapatnya, 15) apakah siswa dapat

menerima keputusan diskusi yang dilakukan beserta alasannya, dan

16) bagaimana pendapat siswa tentang pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi kelas.

Berdasarkan analisis data, dapat dijelaskan bahwa pemberian

model dalam pembelajaran dapat memberikan gambaran bagi siswa

terhadap materi pembelajaran yang dibelajarkan. Semua siswa

menyatakan hal ini. Model tersebut sangat membantu siswa dalam

melaksanakan diskusi dan membantu siswa untuk dapat berbicara

dalam diskusi atau setidaknya siswa telah memperoleh gambaran

sebelum melaksanakan diskusi. Rata-rata siswa mengemukakan bahwa

model tersebut dapat membantunya untuk dapat berbicara dengan baik

melalui diskusi. Dari hasil wawancara itu diketahui pula bahwa model

tersebut dapat dijadikan contoh bagi siswa untuk dapat berbicara

dengan baik dalam diskusi. Bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa

model tersebut telah memberi pengaruh padanya dalam berbicara.

Meskipun model yang peneliti berikan ada kekurangan menurut siswa,

namun model tersebut dapat dijadikan pelajaran dan acuan bagi siswa

untuk dapat berbicara dengan baik melalui diskusi.


94

Mengenai pembentukan kelompok yang peneliti lakukan, siswa

menanggapinya dengan baik dan memberikan pendapat sendiri-sendiri,

terutama pada komposisi anggota kelompok yang kurang merata.

Maksudnya, dari cara pembentukan kelompok yang peneliti lakukan,

ada beberapa kelompok yang anggotanya terdiri atas siswa yang pintar

dan ada kelompok yang anggotanya terdiri atas siswa yang kurang

pintar. Hal tersebut menyebabkan adanya kelompok yang kurang

kompak dalam bekerja sama yang ditunjukkan dengan adanya siswa

yang tidak bekerja dalam kelompoknya dan hanya bergantung pada

anggota kelompok yang lain saja.

Berkaitan dengan materi/ masalah diskusi yang peneliti berikan,

dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa siswa mampu

memahaminya. Masalah diskusi yang peneliti berikan adalah masalah-

masalah seputar dunia siswa yang dekat dengan kehidupannya di

sekolah. Melalui wawancara tersebut juga dapat diungkap bahwa siswa

lebih menyukai masalah-masalah tersebut daripada masalah yang

lainnya. Hal ini diketahui dari jawaban siswa ketika menjawab

pertanyaan peneliti mengenai materi/ permasalahan yang cocok untuk

didiskusikan di dalam kelas. Semua siswa yang peneliti wawancarai

memberikan jawaban yang sama, yaitu masalah seputar dunia siswa

yang dekat dengan kehidupan siswa di sekolah.

Selanjutnya, mengenai pelaksanaan diskusi untuk membahas

masalah-masalah yang peneliti berikan, rata-rata siswa yang peneliti


95

wawancarai menjawab cukup, karena kurangnya keseriusan siswa

dalam mengikuti proses berlangsungnya diskusi tersebut yang

ditunjukkan dengan adanya siswa yang berbicara sendiri ketika diskusi

berlangsung, sehingga agak mengganggu proses berlangsungnya

diskusi. Dalam diskusi tersebut, semua siswa mendapatkan

kesempatan untuk berbicara dalam diskusi tersebut. Hanya saja mereka

kurang memanfaatkannya dengan baik.

Mengenai pembicaraan siswa dalam diskusi tersebut, mereka

mengalami kesulitan dalam berbicara. Kesulitan tersebut antara lain

gugup dan kurang lancar. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan

tersebut, siswa mengatakan akan berusaha agar tidak gugup lagi pada

pelaksanaan diskusi berikutnya dengan cara berlatih dan lebih

menguasai materi yang diterimanya. Kesulitan-kesulitan tersebut

menyebabkan pembicaraan siswa dalam diskusi kurang maksimal.

Hasil keputusan diskusi dapat mereka terima semuanya, karena

keputusan tersebut merupakan keputusan bersama, meskipun agak

bertentangan dengan pendapat siswa sendiri. Dari hasil wawancara ini

juga diungkap pendapat siswa mengenai pembelajaran keterampilan

berbicara siswa melalui diskusi. Walaupun hasil tes keterampilan

berbicara kurang memuaskan, namun pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat

bertukar pikiran dalam memecahkan suatu persoalan dan dapat melatih

keberanian untuk berbicara di depan umum/ kelas.


96

3) Hasil Jurnal

Jurnal yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal guru dan

jurnal siswa. Jurnal guru terdiri atas dua buah jurnal. Jurnal yang

pertama berisi kegiatan-kegiatan yang guru lakukan di kelas dan jurnal

yang kedua berisi deskripsi keadaan kelas/ respon siswa yang

ditunjukkan siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

a) Jurnal Guru

Jurnal guru yang akan diuraikan pada bagian ini adalah jurnal guru

yang berisi kegiatan-kegiatan yang guru lakukan di kelas dan jurnal

guru yang berisi deskripsi keadaan kelas/ respon yang ditunjukkan

siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Jurnal guru berkaitan

dengan kegiatan-kegiatan yang guru lakukan di kelas digunakan untuk

mengetahui kegiatan guru dalam pembelajaran apakah sesuai dengan

kegiatan yang terdapat dalam rencana pembelajaran atau tidak. Adapun

kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam jurnal tersebut adalah 1) guru

memberikan apersepsi dan memberikan penguatan, 2) guru

menerangkan materi pembelajaran, 3) guru menerangkan materi

pembelajaran, 4) guru memberi kesempatan kepada siswa untuk

bertanya atau memberi tanggapan, 5) guru membentuk kelompok, 6)

guru memutarkan model, 7) guru meminta siswa mendiskusikan model

yang disajikan, 8) guru membagikan artikel yang berisi masalah untuk

didiskusikan, 9) guru mengamati aktivitas siswa selama bekerja dalam

kelompok, 10) guru mengamati proses berlangsungnya diskusi dan


97

memberikan penilaian, 11) guru memberikan penguatan terhadap hasil

diskusi siswa, dan 12) guru mengadakan refleksi pembelajaran

bersama dengan siswa.

Dari jurnal tersebut diketahui bahwa guru melaksanakan semua

kegiatan-kegiatan seperti yang telah direncanakan, mulai dari

memberikan apersepsi dan penguatan, menerangkan materi

pembelajaran, memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau

memberikan tanggapan, membentuk kelompok, memberikan/

memutarkan model, mengadakan diskusi untuk mendiskusikan model

yang guru berikan, membagikan artikel yang berisi masalah untuk

didiskusikan, mengamati aktivitas siswa selama bekerja dengan

kelompoknya, mengamati proses berlangsungnya diskusi dan

memberikan penilaian terhadap aktivitas berbicara siswa, memberikan

penguatan setiap diskusi yang dilakukan siswa berakhir, dan

mengadakan refleksi pembelajaran bersama dengan siswa.

Selanjutnya, peneliti uraikan jurnal guru yang berisi deskripsi

keadaan kelas/ respon yang ditunjukkan siswa selama proses

pembelajaran berlangsung. Jurnal ini berisi 1) respon siswa ketika

menerima materi pembelajaran yang diterangkan guru, 2) sikap siswa

dalam menerima instruksi untuk membentuk kelompok, 3) respon

yang ditunjukkan siswa ketika diberikan model dalam pembelajaran,

4) komentar yang diberikan siswa ketika diberikan model dalam

pembelajaran, 5) kerja sama siswa dalam kelompok, 6) respon siswa/


98

kelompok ketika menerima masalah yang akan didiskusikan, 7) sikap

siswa dalam mengikuti diskusi, 8) proses pelaksanaan diskusi, 9)

keterampilan berbicara siswa dalam diskusi tersebut, dan 10) sikap

siswa dalam menerima pembelajaran keterampilan berbicara melalui

diskusi.

Respon siswa yang ditunjukkan ketika menerima instruksi untuk

membentuk kelompok sangat baik, bahkan siswa memberikan usulan

cara pembentukannya. Pembentukan kelompok akhirnya disepakati

dengan cara berhitung 1 – 10 secara bergantian. Siswa yang menyebut

angka 1 bergabung menjadi satu kelompok, siswa yang menyebut

angka 2 bergabung menjadi satu kelompok, demikian seterusnya.

Pada saat diberikan/ diputarkan model, siswa memberikan respon

yang baik. Dengan teman sekelompoknya, siswa memperhatikan

model yang ditayangkan melalui televisi dan mencatat hal-hal yang

mereka temukan dari tayangan itu. Namun, ada juga siswa yang

berbicara dengan teman sekelompok atau kelompk lain, sehingga

mengganggu siswa lain yang memperhatikan penayangan model

tersebut. Komentar yang diberikan siswa berkaitan dengan model yang

guru berikan sudah baik. Mereka memberikan komentar-komentar

terhadap hal-hal yang peneliti minta sebelumnya menurut pendapatnya

masing-masing sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang

mereka miliki berkaitan dengan diskusi.


99

Kerja sama siswa dalam kelompok cukup. Mereka bekerja sesuai

dengan peran dan tugasnya masing-masing. Namun, ada beberapa

siswa yang tidak ikut bekerja dalam kelompoknya dengan berbicara

sendiri, sehingga mengganggu teman lain yang sedang bekerja.

Anggota kelompok yang tidak bekerja itu lebih bergantung pada

anggota yang lain.

Respon siswa/ kelompok ketika menerima materi/ masalah diskusi

sangat baik. Hal ini diketahui dari reaksi yang ditunjukkan siswa.

Setelah menerima masalah diskusi tersebut beberapa siswa

menganggukan kepala. Di antara mereka juga ada yang berkata, "O…

o… o…" dan ada juga yang berkata, "Andi, Pak, pacaran terus". Hal

ini menunjukkan bahwa siswa memberikan respon yang sangat baik

terhadap materi/ masalah diskusi yang peneliti berikan.

Diskusi yang dilaksanakan siswa cukup. Ada siswa yang

memperhatikan dengan baik dan ada juga siswa yang berbicara sendiri

ketika diskusi berlangsung, sehingga suasana diskusi menjadi tidak

kondusif (siswa ramai sendiri). Keterampilan berbicara siswa dalam

diskusi tersebut cukup. Dari penampilan setiap kelompok, peneliti

merasa belum puas karena siswa masih menampakkan rasa kurang

percaya diri, grogi, kurang serius dan kadang-kadang ada yang

berbicara sambil tertawa. Hal ini berakibat pada hasil pembelajaran

siswa tersebut yang belum baik.


100

Antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi baik. Pembelajaran keterampilan berbicara

siswa melalui diskusi di SMA masih dirasakan baru bagi siswa,

sehingga siswa merasa senang karena proses pembelajaran tidak

monoton, tetapi juga diberikan variasi dalam pembelajaran. Namun,

dalam pembelajaran ada beberapa siswa yang berbicara sendiri

sehingga mengganggu siswa lain yang sedang mengikuti proses

pembelajaran.

b) Jurnal Siswa

Jurnal siswa yang harus diisi oleh siswa meliputi delapan

pertanyaan berisi kesan siswa dalam hal 1) model yang diberikan guru

untuk membantu siswa dalam berbicara melalui diskusi, 2) respon

siswa dalam pembentukan kelompok, 3) kerja sama siswa dalam

kelompok, 4) masalah diskusi yang diberikan guru mudah siswa

pahami atau tidak, 5) kesempatan siswa untuk berbicara dalam diskusi,

6) keterampilan berbicara siswa dalam diskusi, 7) proses pelaksanaan

diskusi, dan 8) kesan dalam menerima pelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi. Hasil jurnal siswa tersebut selengkapnya

diuraikan di bawah ini.

Sebagian besar siswa menanggapi model yang peneliti berikan

pada siklus I ini cukup memberikan gambaran untuk dapat berbicara

dalam diskusi, bahkan memberikan komentar-komentar tentang cara

berbicara maupun cara mengajukan pendapat pada peserta diskusi


101

dalam model tersebut. Ada pula siswa yang menanggapi model

tersebut kurang baik karena cara menyanggah kurang tepat, langsung

menyela.

Dalam hal pembentukan kelompok, semua siswa menanggapinya

dengan baik, bahkan mereka memberikan masukan mengenai cara

pembentukan kelompok tersebut. Kerja sama siswa dalam kelompok

sudah baik, namun ada beberapa siswa yang tidak ikut bekerja dalam

kelompoknya dan berbicara sendiri, baik dengan teman sekelompok

maupun kelompok lain. Mereka hanya bergantung pada salah satu

anggota yang lain saja.

Mengenai materi/ masalah diskusi yang peneliti berikan, semua

siswa menanggapinya dengan sangat baik, karena materi tersebut dekat

dengan kehidupan mereka di sekolah, bahkan mereka menjumpainya

sendiri di sekolah, sehingga siswa diharapkan mampu berbicara

dengan baik pada diskusi yang akan dilaksanakan. Dalam diskusi

tersebut semua siswa mendapatkan kesempatan berbicara. Hanya saja

siswa kurang memanfaatkannya sebaik mungkin. Keterampilan

berbicara siswa melalui diskusi ini sudah cukup. Namun, sebagian

besar siswa merasa grogi dan kurang percaya diri ketika berbicara

dalam diskusi tersebut di depan kelas, sehingga mengakibatkan hasil

tes keterampilan berbicara siswa kurang memuaskan. Proses

pelaksanaan diskusi sudah cukup lancar. Namun ada beberapa siswa


102

yang berbicara sendiri ketika diskusi berlangsung, sehingga proses

diskusi agak terganggu.

Selanjutnya, siswa merasa senang menerima pelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi karena siswa dapat belajar

bekerja sama untuk memecahkan masalah yang dihadapi bersama.

Selain itu, pembelajaran keterampilan berbicara siswa melalui diskusi

ini dapat dijadikan sarana kegiatan rekreasi untuk menyegarkan pikiran

kembali setelah lelah mengikuti aktivitas pembelajaran di sekolah.

Sesuai kurikulum 2004 ini, siswa SMA kelas X mendapatkan 17 mata

pelajaran yang menjelang akhir semester ini hampir semua guru

memberian tugas, baik individu maupun kelompok, yang

membutuhkan banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk menilai

ketuntasan belajarnya.

4) Hasil Dokumentasi Foto

Pada siklus I ini, dokumentasi foto yang diambil meliputi aktivitas

siswa ketika menerima/ menyaksikan model yang peneliti berikan,

aktivitas siswa ketika mendiskusikan masalah yang diterimanya, dan

penampilan kelompok di depan kelas untuk mempresentasikan hasil

kerjanya. Dokumentasi berupa gambar ini digunakan sebagai bukti

visual kegiatan pembelajaran selama penelitian berlangsung dan

digunakan untuk memperjelas data penelitian lain yang hanya

terdeskripsi melalui angka-angka dan kata-kata. Jadi, pembahasan

akan menjadi lebih jelas dan lebih lengkap. Selanjutnya, deskripsi


103

gambar aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi pada siklus I selengkapnya

dipaparkan berikut ini.

Gambar 1. Aktivitas Siswa Menyaksikan Model

Gambar di atas merupakan aktivitas siswa ketika peneliti

memberikan/ memutarkan model diskusi. Dalam gambar tampak para

siswa dengan antusias memperhatikan model tersebut. Ada siswa yang

mencatat hal-hal yang ditemukan dari pemutaran model tersebut sesuai

dengan yang peneliti minta dan ada pula siswa yang berbicara sendiri,

tidak memperhatikan model yang guru berikan. Hal ini mengganggu

siswa lain yang sedang memperhatikan model yang peneliti berikan

untuk mendapatkan gambaran dalam berbicara melalui diskusi.

Kondisi agar siswa memperhatikan model dan menemukan hal-hal

yang dapat ditiru untuk berbicara dalam diskusi telah peneliti sarankan

kepada siswa sebelum pemutaran model dimulai. Namun, masih ada

siswa yang tidak memperhatikan model tersebut dengan berbicara


104

sendiri. Selanjutnya, aktivitas siswa ketika diminta untuk

mendiskusikan model yang guru berikan dapat dilihat pada gambar 2

berikut ini.

Gambar 2. Aktivitas Siswa Mendiskusikan Masalah Diskusi

Dari gambar 2 tersebut diketahui bahwa siswa bekerja sama

dengan memberikan sumbangan pemikiran dalam mendiskusikan

alternatif-alternatif pemecahan masalah yang guru berikan. Namun,

ada juga siswa yang tidak ikut bekerja dalam mendiskusikan masalah

yang diterima dengan hanya diam atau berbicara dengan teman dari

kelompok lain. Siswa tersebut lebih bergantung pada anggota

kelompok yang lain yang kebetulan mendapatkan teman sekelompok

yang pintar. Sebelum peneliti memberikan masalah yang akan

didiskusikan, peneliti telah memotivasi siswa untuk membagi tugas

agar semuanya bekerja sehingga waktu tidak terbuang sia-sia. Setiap

anggota kelompok peneliti berikan duplikat permasalahan yang akan

didiskusikan dengan harapan siswa dapat membagi tugas sesuai


105

dengan perannya masing-masing. Selanjutnya, penampilan kelompok

di depan kelas untuk mempresentasikan hasil kerjanya dapat dilihat

pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. Penampilan Diskusi Siswa di Depan Kelas

Dari gambar 3 tersebut diketahui bahwa pelaksanaan diskusi/

penampilan kelompok untuk menyajikan hasil kerjanya belum berjalan

dengan baik. Ketika presentasi, tidak semua siswa yang terlibat di

dalamnya mengikutinya dengan serius. Ada siswa yang berbicara

sendiri ketika anggota yang lain berbicara dan ada yang melihat-lihat

jari-jari tangannya. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi ketika

menyajikan hasil kerja/ tampil di depan kelas. Siswa/ kelompok lain

yang tidak tampil pun ada yang memperhatikan dengan baik dan ada

pula yang berbicara sendiri. Siswa/ kelompok lain seharusnya

memperhatikan penampilan kelompok temannya, bila perlu

menyediakan catatan-catatan mengenai hasil kerja kelompok yang

tampil, sehingga kalau ada hal-hal yang belum jelas dapat digunakan
106

untuk menyusun pertanyaan kepada kelompok yang tampil berkaitan

dengan masalah yang didiskusikan.

5) Rekaman Pita

Dalam siklus I ini, peneliti juga menggunakan instrumen nontes

berupa rekaman pita. Rekaman pita merupakan instrumen yang

penting dalam penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan

keterampilan berbicara siswa. Rekaman pita juga dapat memperkuat

bukti pelaksanaan diskusi yang dilakukan siswa. Selain itu, data

penelitian melalui rekaman pita ini juga dapat membantu peneliti

dalam memberikan penilaian keterampilan berbicara siswa. Hasil

rekaman pita dapat peneliti putar kembali untuk memberikan

penguatan penilaian yang peneliti lakukan ketika siswa berbicara

melalui diskusi. Adapun aspek-aspek yang dapat diungkap melalui

rekaman pita berkaitan dengan keterampilan berbicara dan proses

pelaksanaan diskusi adalah 1) ketepatan ucapan, 2) penempatan

tekanan, 3) penempatan jeda, 4) intonasi, 5) pilihan kata, 6) pemakaian

kalimat, 7) volume suara, 8) penguasaan topik, 9) kelancaran, dan 10)

suasana kelas ketika proses diskusi berlangsung. Selanjutnya, hasil

rekaman pita ini diuraikan di bawah ini.

Kefasihan siswa dalam melafalkan bunyi-bunyi bahasa sudah baik.

Hal ini ditandai dengan perolehan nilai rata-rata kelas sebesar 75,5

dalam kategori cukup. Pelafalan siswa sudah baik karena rata-rata

mereka tidak memiliki gangguan alat ucap yang mengganggu


107

pelafalan. Di antara ketujuh siswa yang memperoleh nilai dalam

kategori cukup satu di antaranya agak memiliki gangguan alat ucap

(cedal), terutama untuk mengucapkan bunyi-bunyi /r/, sedangkan enam

siswa lainnya disebabkan oleh tempo berbicara yang cepat, sehingga

ada kata-kata atau kalimat yang terdengar kurang jelas pengucapannya.

Keterampilan siswa sudah cukup dalam menempatkan tekanan,

yang ditunjukkan dengan perolehan nilai rata-rata 68,2. Rata-rata siswa

kurang memperhatikan/ memberikan tekanan pada kata-kata atau

kalimat yang penting. Untuk siklus berikutnya siswa perlu dimotivasi

agar memperhatikan tekanan pada kata-kata atau kalimat-kalimat yang

penting. Tekanan yang baik pada kata-kata atau kalimat-kalimat

tersebut dapat membantu memperjelas pendengar dalam memahami

apa yang sedang pembicara bicarakan.

Dalam hal penempatan jeda, berdasarkan hasil rekaman pita

tersebut dapat dijelaskan bahwa siswa memiliki keterampilan cukup

dalam menempatkan jeda. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan rataa-

rata sebesar 72,1 dalam kategori cukup. Rata-rata siswa yang

memperoleh nilai dalam kategori cukup kurang tepat dalam

menempatkan jeda kata atau singkatan, misalnya SMA diucapkan

[sm:a] atau kata kelompok diucapkan [k∂lom:po?]. Namun,

kekurangtepatan penempatan jeda tersebut tidak sampai membedakan

makna atau menimbulkan penafsiran ganda yang membingungkan para

pendengar/ peserta.
108

Intonasi siswa dalam berbicara melalui diskusi cukup yang ditandai

dengan perlehan nilai rata-rata 72,2. Intonasi yang digunakan siswa

tersebut adalah intonasi seperti orang membaca. Meskipun demikian,

intonasi yang digunakan tersebut tidak sampai membedakan makna

yang menyebabkan pendengar kesulitan memahami maksud yang

disampaikan karena adanya penafsiran ganda dari para peserta yang

disebabkan kurang tepatnya intonasi yang digunakan. Seharusnya,

intonasi yang digunakan adalah intonasi untuk meyakinkan pendengar

berkaitan dengan argumen-argumen yang dikemukakan. Untuk siklus

berikutnya siswa perlu juga dimotivasi untuk memperhatikan aspek

intonasi ini agar pembicaraan terdengar menarik dan peserta tidak

kesulitan memahami maksud pembicara serta tidak jenuh

mendengarnya.

Berdasarkan rekaman pita tersebut tersebut dapat dijelaskan bahwa

pilihan kata yang dipakai siswa dalam berbicara berada dalam kategori

cukup. Nilai rata-rata yang diperoleh sebear 74,2 dalam kategori

cukup. Dalam diskusi tersebut, ada siswa yang masih menggunakan

kata-kata dalam ragam santai dan kata-kata dari bahasa Jawa ketika

berbicara, misalnya masih menggunakan kata nggak atau gimana, dan

neko-neko. Untuk siklus berikutnya siswa perlu dimotivasi agar selalu

menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat baku dalam pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi ini. Menggunakan bahasa


109

Indonesia yang baik dan benar merupakan salah satu wujud kecintaan

siswa terhadap bahasa Indonesia.

Mengenai pemakaian kalimat, secara keseluruhan siswa

memperoleh nilai rata-rata sebesar 74,2 daam kategori cukup.

Pemakaian kalimat ini dipengaruhi oleh pilihan kata yang digunakan

siswa ketika berbicara. Jika pilihan kata yang dipakai siswa baku,

maka kalimatnya juga baku. Sebaliknya, jika kata-kata yang digunakan

tidak baku, maka kalimatnya juga tidak baku. Namun, tidak hanya itu

saja yang peneliti jadikan acuan dalam memberikan penilaian. Struktur

kalimat yang dipakai siswa ketika berbicara juga peneliti perhatikan.

Rata-rata struktur kalimat yang dipakai siswa sudah baik, tidak

membedakan makna atau menimbulkan penafsiran ganda yang

menyebabkan peserta kesulitan dalam memahami maksud yang

disampaikan pembicara.

Dari hasil rekaman pita tersebut dapat dijelaskan bahwa volume

suara siswa ketika berbicara melalui diskusi sudah baik, yang ditandai

dengan perolehan nilai rata-rata sebesar 75,4. Pada kegiatan diskusi

ini, peneliti juga menggunakan media pengeras suara (sound system).

Namun, pengaturan volume suara tidak peneliti ubah-ubah dari awal

hingga akhir penampilan seluruh kelompok, sehingga masih tetap

terdengar perbedaan siswa yang volume suaranya keras atau pelan

ketika berbicara. Dalam diskusi ini peneliti tidak menemukan siswa

yang menjauhkan mikrofon dari mulut ketika berbicara. Kondisi ini


110

perlu dipertahankan dan memotivasi siswa yang suaranya pelan agar

memperkeras volume suaranya ketika berbicara dalam diskusi,

sehingga pembicaraannya terdengar oleh seluruh peserta diskusi.

Penguasaan topik siswa berada dalam kategori baik. Hal ini

ditunjukkan dengan perolehan nilai total siswa sebesar 2950 dengan

nilai rata-rata 75,6. Penguasaan topik ini penulis dapatkan dari isi

pembicaraan siswa selama diskusi. Rata-rata siswa sudah mampu

menguasai topik diskusi, karena topik-topik masalah yang peneliti

berikan adalah masalah-masalah seputar dunia siswa yang dekat

dengan kehidupan siswa di sekolah. Siswa yang kurang memahami

topik diskusi tersebut disebabkan oleh masalah yang diterimanya

kurang begitu disenangi. Selain itu, siswa tersebut juga tidak ikut

bekerja sama ketika mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan

masalah yang diterimanya, sehingga ia kurang menguasai topik

permasalahan yang diterimanya ketika berbicara dalam diskusi

tersebut di depan kelas.

Selanjutnya, dari hasil rekaman pita tersebut dapat dijelaskan

bahwa kelancaran siswa dalam berbicara melalui diskusi sudah baik.

Hal ini ditandai dengan perolehan nilai total yang dicapai sebesar 2945

dengan nilai rata-rata 75,5. Ada juga siswa yang kurang lancar ketika

berbicara. Kekuranglancaran siswa disebabkan rasa grogi dan tegang

ketika berbicara karena belum terbiasa berbicara di depan umum.

Siklus berikutnya siswa perlu dimotivasi untuk menghilangkan


111

perasaan-perasaan itu agar pada diskusi berikutnya siswa lebih lancar

dalam berbicara.

Pelaksanaan diskusi yang dilaksanakan siswa belum baik. Suasana

kelas ramai sekali ketika diskusi berlangsung. Keramaian itu tidak

disebabkan oleh adanya respon siswa yang baik dalam diskusi tersebut,

namun suasana diskusi tersebut ramai karena siswa banyak yang

berbicara sendiri ketika diskusi berlangsung. Hal ini dapat didengar

dari hasil rekaman pita yang menunjukkan bahwa proses diskusi

terganggu dengan adanya siswa yang berbicara sendiri ketika diskusi

berlangsung, sehingga mengganggu siswa lain yang mengikuti proses

diskusi. Dari rekaman tersebut diperoleh adanya siswa yang

menertawakan siswa yang sedang tampil ketika salah mengucapkan

nomor absen anggotanya. Dari rekaman itu pula dapat didengar bahwa

peneliti juga memperingatkan siswa agar tenang dan mengikuti proses

berlangsungnya diskusi dengan baik.

2. Hasil Penelitian Siklus II

Pelaksanaan penelitian pada siklus II ini dilaksanakan dengan rencana

dan persiapan yang lebih matang daripada siklus I. Dengan adanya perbaikan-

perbaikan pembelajaran yang mengarah pada peningkatan hasil belajar, hasil

penelitian yang berupa nilai tes keterampilan berbicara siswa meningkat.

Selain itu, pada siklus II ini suasana pembelajaran berubah menjadi lebih baik

dibandingkan dengan suasana pembelajaran pada siklus I. Seperti halnya


112

siklus I, pemaparan hasil penelitian pada siklus II ini dilakukan dengan cara

menyajikan tabel dan menjelaskan tafsiran makna tabel tersebut untuk hasil

tes dan pemaparan secara deskriptif untuk data-data nontes. Selengkapnya,

hasil tes dan nontes pada siklus II ini dijelaskan pada bagian berikut ini.

a. Hasil Tes

Penilaian tes keterampilan berbicara ini dilakukan dengan cara

meminta setiap kelompok tampil di depan kelas untuk memaparkan hasil

diskusi kelompoknya berkaitan dengan alternatif-alternatif pemecahan

masalah yang diterima. Setiap anggota kelompok ada yang berperan

menjadi moderator, penyaji, dan notulis. Siswa/ kelompok lain menjadi

peserta diskusi yang nanti diberikan kesempatan untuk memberi tanggapan

(bertanya, menyanggah ataupun mengajukan pendapat) kepada kelompok

yang tampil. Pembicaraan siswa pada kegiatan tersebut akan diberikan

penilaian sebagai tes keterampilan berbicara. Secara umum, hasil tes

keterampilan berbicara siswa kelas X-4 SMA Negeri Jepara pada siklus II

ini dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini.

Tabel 16. Hasil Tes Keterampilan Berbicara Siklus II


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 1 3 nilai total 3168
3. 75 – 84 Baik 33 85 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 5 12 81,2 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa hasil tes

keterampilan berbicara siswa secara klasikal pada siklus II mencapai nilai

total 3168 dengan nilai rata-rata 81,2 dalam kategori baik. Nilai rata-rata
113

ini mengalami peningkatan dari siklus I sebesar 7,8 dari 71,4 pada siklus I

menjadi 81,2 pada siklus II. Peningkatan ini tidak lepas dari perbaikan

tindakan yang dilakukan pada siklus II, di antaranya penggantian model

dalam pembelajaran, mengubah cara pembentukan kelompok, dan adanya

motivasi yang peneliti berikan kepada siswa bahwa tes ini merupakan

ujian/ ulangan praktik mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dari ke-39 siswa

yang diteliti, terdapat 5 siswa atau 12% yang memperoleh nilai >84 dalam

kategori sangat baik, 33 siswa atau 85% yang memperoleh nilai 75 – 84

dalam kategori baik, dan seorang siswa atau 3% memperoleh nilai 65 – 74

dalam kategori cukup. Pada siklus II ini tidak ada siswa yang memperoleh

nilai <65 atau kurang. Penampilan siswa pada siklus II ini jauh lebih baik

daripada penampilan mereka pada siklus I. Siswa sudah memahami

konsep berbicara yang diharapkan dari pembelajaran ini. Hasil tes secara

klasikal sebagaimana dalam tabel 15 tersebut merupakan gabungan dari 11

aspek keterampilan berbicara yang digunakan untuk menilai keterampilan

berbicara siswa melalui diskusi. Adapun hasil perolehan tiap-tiap aspek

secara rinci dapat dilihat pada uraian berikut ini.

1) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Ketepatan Ucapan

Hasil tes aspek ketepatan ucapan dapat dilihat pada tabel 17 berikut.

Tabel 17. Hasil Tes Aspek Ketepatan Ucapan


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 Kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 2 6 nilai total 3180
3. 75 – 84 Baik 18 46 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 19 48 81,5 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.
114

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara umum siswa

dapat melafalkan kata-kata atau kalimat-kalimat dengan baik. Hal ini

ditandai dengan perolehan nilai rata-rata secara klasikal sebesar 81,5

dalam kategori baik, yang berarti ada peningkatan sebesar 6,0 bila

dibandingkan dengan siklus I yang hanya mencapai rata-rata 75,5.

Sebanyak 19 siswa atau 48% memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat

baik, 18 siswa atau 46% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik,

dan 2 siswa atau 6% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup. Pada

siklus II ini tidak ada siswa yang memperoleh nilai <65 atau kurang.

Kemajuan ini diraih karena rasa percaya diri siswa sudah terbentuk dan

tidak grogi lagi ketika tampil di depan. Siswa yang agak memiliki

gangguan alat ucap (cedal) sudah berupaya mengucapkan bunyi-bunyi

bahasa sebaik mungkin. Hasilnya lebih baik daripada siklus I. Sedangkan

siswa yang pada siklus I tempo berbicaranya agak cepat yang berakibat

pada kurang jelasnya bunyi-bunyi yang diucapkan, pada siklus II ini sudah

tidak terjadi lagi.

2) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Penempatan Tekanan

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek penempatan

tekanan dapat dilihat pada tabel 18 berikut ini.

Tabel 18. Hasil Tes Aspek Penempatan Tekanan


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 14 36 nilai total 2875
3. 75 – 84 Baik 24 61 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 1 3 73,7 dalam kategori
Jumlah 39 100 cukup.
115

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara umum siswa

cukup mampu memberikan tekanan pada kata-kata atau kalimat-kalimat

yang dianggap penting. Secara klasikal, total nilai yang diperoleh sebesar

2875 dengan nilai rata-rata 73,7 dalam kategori cukup. Sebanyak 14 siswa

atau 36% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup, 24 siswa atau

61% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori cukup, dan seorang siswa

atau 3% memperoleh nilai >84 dalam kategori baik. Pada siklus II ini tidak

ada siswa yang memperoleh nilai <65 atau kurang. Meskipun kecil,

perolehan nilai pada siklus II ini mengalami peningkatan sebesar 5,4 dari

68,3 pada siklus I menjadi 73,7 pada siklus II, dan masih dalam kategori

yang sama, yaitu kategori cukup. Peningkatan ini disebabkan oleh

pengalaman berbicara siswa pada siklus I dan motivasi yang peneliti

berikan, serta gambaran dari model yang digunakan.

3) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Penempatan Jeda

Hasil tes keterampilan berbicara siswa aspek penempatan jeda pada

siklus II dapat dilihat pada tabel 19 berikut ini.

Tabel 19. Hasil Tes Aspek Penempatan Jeda


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 1 3 nilai total 3150
3. 75 – 84 Baik 28 72 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 10 25 80,8 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa siswa mampu

menempatkan jeda dengan baik. Hal ini ditandai dengan perolehan nilai

rata-rata sebesar 80,8 dalam kategori baik. Sebanyak 10 siswa atau 25%
116

memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik, 28 siswa atau 72%

memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan seorang siswa

memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup. Nilai rata-rata yang

dicapai pada siklus II ini mengalami peningkatan sebesar 8,7 dari 72,1

pada siklus I menjadi 80,8 pada siklus II. Peningkatan ini tidak lepas dari

model yang diberikan, pengalaman siswa pada siklus I dan belajar dari

penampilan teman/ kelompok lainnya.

4) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Intonasi

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek intonasi dapat

dilihat pada tabel 20 berikut ini.

Tabel 20. Hasil Tes Aspek Intonasi


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 3 8 nilai total 3095
3. 75 – 84 Baik 27 69 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 9 23 79,4 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara klasikal

siswa memperoleh total nilai 3095 dengan nilai rata-rata sebesar 79,4

dalam kategori baik. Hal ini berarti aspek intonasi mengalami peningkatan

secara klasikal sebesar 280 dengan peningkatan nilai rata-rata sebesar 7,2.

Pada siklus II ini, 9 siswa atau 23% memperoleh nilai >84 dalam kategori

sangat baik, 27 siswa atau 69% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori

baik, dan 3 siswa atau 8% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori

cukup. Siswa sudah mampu mengunakan intonasi dengan baik, tidak

seperti pada siklus I yang masih ada siswa yang menggunakan intonasi
117

membaca. Peningkatan ini disebabkan oleh contoh dari model yang

diberikan, pengalaman berbicara siswa pada siklus I dan belajar dari

penampilan teman/ kelompok lain. Selain itu, siswa juga memahami

bahwa intonasi yang digunakan dalam diskusi seharusnya intonasi yang

mampu meyakinkan peserta berkaitan dengan pendapat yang

dikemukakannya mengenai alternatif-alternatif pemecahan masalah yang

didiskusikan.

5) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Pilihan Kata

Hasil tes keterampilan berbicara aspek pilihan kata pada siklus II dapat

dilihat pada tabel 21 berikut ini.

Tabel 21. Hasil Tes Aspek Pilihan Kata


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 0 0 nilai total 3250
3. 75 – 84 Baik 18 46 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 21 54 83,3 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara klasikal

siswa memperoleh total nilai sebesar 3250 dengan nilai rata-rata 83,3

dalam kategori baik. Hal ini berarti bahwa nilai rata-rata aspek pilihan kata

yang digunakan siswa mengalami peningkatan sebesar 9,1 dari 74,2 pada

siklus I menjadi 83,3 pada siklus II. Sebanyak 21 siswa atau 54%

memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik, dan sisanya, 18 siswa

atau 46% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik. Peningkatan ini

disebabkan oleh contoh dari model yang diberikan, persiapan siswa yang

lebih matang, kesadaran siswa untuk menggunakan kata-kata dalam ragam


118

baku, pengalaman berbicara siswa pada siklus I dan belajar dari

penampilan teman/ kelompok lain.

6) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Pemakaian Kalimat

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek pemakaian kalimat

dapat dilihat pada tabel 22 berikut ini.

Tabel 22. Hasil Tes Aspek Pemakaian Kalimat


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 0 0 nilai total 3285
3. 75 – 84 Baik 15 39 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 24 61 84,2 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa perolehan nilai total aspek

pemakaian kalimat secara klasikal pada siklus II ini mencapai 3285

dengan nilai rata-rata 84,2 dalam kategori baik. Hal ini berarti ada

peningkatan nilai rata-rata sebesar 10 dari 74,2 pada siklus I menjadi 84,2

pada siklus II. Sebanyak 24 siswa atau 61% memperoleh nilai >84 dalam

kategori sangat baik. Sisanya, 15 siswa atau 39% memperoleh nilai 75 –

84 dalam kategori baik. Pada siklus II ini tidak ada siswa yang

memperoleh nilai dalam kategori cukup maupun kurang. Peningkatan ini

tidak lepas dari model yang peneliti berikan, pengaruh pilihan kata yang

digunakan, dan pengalaman siswa pada siklus I.

7) Hasil tes Keterampilan Berbicara Aspek Sikap, Gerak-gerik, dan Mimik

yang wajar

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek sikap, gerak-gerik,

dan mimik yang wajar dapat dilihat pada tabel 23 berikut ini.
119

Tabel 23. Hasil Tes Aspek Sikap, Gerak-gerik dan Mimik


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 0 0 nilai total 3135
3. 75 – 84 Baik 26 67 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 13 33 80,4 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa perolehan nilai total

aspek sikap, gerak-gerik, dan mimik yang wajar mencapai 3135 dengan

nilai rata-rata 80,4 dalam kategori baik. Dibandingkan dengan perolehan

pada siklus I, nilai rata-rata aspek sikap, gerak-gerik dan mimik yang

wajar pada siklus II ini mengalami peningkatan sebesar 8,7 dari 71,7

menjadi 80,4. Sebanyak 13 siswa atau 33% memperoleh nilai >84 dalam

kategori sangat baik dan 26 siswa atau 67% memperoleh nilai 75 – 84

dalam kategori baik. Pada siklus II ini tidak ada siswa yang memperoleh

nilai <75. Siswa yang pada siklus I menunjukkan sikap, gerak-gerik, dan

mimik yang kurang wajar dengan menggoyang-goyangkan badannya,

menggaruk-garuk kepala secara berlebihan, dan berbicara sambil tertawa,

pada siklus II ini sudah tidak melakukannya lagi. Hal ini disebabkan oleh

gambaran dari model yang diberikan, pengalaman berbicara pada siklus I,

belajar dari penampilan siswa/ kelompk lain, dan motivasi yang peneliti

berikan.

8) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Volume Suara

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek volume suara dapat

dilihat pada tabel 24 berikut ini.


120

Tabel 24. Hasil Tes Aspek Volume Suara


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 0 0 nilai total 3170
3. 75 – 84 Baik 23 59 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 16 41 81,3 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara klasikal nilai

total yang diperoleh mencapai 3170 dengan nilai rata-rata 81,3 dalam

kategori baik. Dibandingkan dengan siklus I, hasil yang diperoleh pada

siklus II ini mengalami peningkatan sebesar 5,9, dari 75,4 pada siklus I

menjadi 81,3 pada siklus II. Sebanyak 16 siswa atau 41% memperoleh

nilai >84 dalam kategori sangat baik, dan sisanya, sebanyak 23 siswa atau

59% memperoleh nilai 75 – 84. Pada siklus II ini tidak ada yang siswa

yang memperoleh nilai <75. Peningkatan ini disebabkan oleh rasa percaya

diri siswa yang baik, contoh dari model yang peneliti berikan, pengalaman

berbicara pada siklus I, dan suasana yang kondusif selama proses diskusi

berlangsung.

9) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Pandangan Mata

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek pandangan mata

dapat dilihat pada tabel 25 berikut ini.

Tabel 25. Hasil Tes Aspek Pandangan Mata


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 9 23 nilai total 3065
3. 75 – 84 Baik 20 52 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 10 25 78,6 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.
121

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara klasikal

siswa memperoleh nilai total 3065 dengan nilai rata-rata 78.6 dalam

kategori baik. Hal ini berarti mengalami peningkatan nilai rata-rata sebesar

5,6 bila dibandingkan hasil yang diperoleh pada siklus I. Sebanyak 10

siswa atau 26% memperoleh nilai >84 dalam kategori sangat baik, 20

siswa atau 52% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan 9

siswa atau 23% memperoleh nilai 65 – 75 dalam kategori cukup. Rata-rata

perolehan siswa sudah baik, namun kesembilan siswa yang memperoleh

nilai dalam kategori cukup tersebut pandangan matanya masih saja hanya

tertuju pada satu arah, menunduk ataupun ke atas.

10) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Penguasaan Topik

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek pengusaaan topik

dapat dilihat pada tabel 26 berikut ini.

Tabel 26. Hasil Tes Aspek Penguasaan Topik


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 1 3 nilai total 3330
3. 75 – 84 Baik 11 43 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 27 54 85,4 dalam kategori
Jumlah 39 100 sangat baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara klasikal

siswa memperoleh nilai total sebesar 3330 dengan nilai rata-rata 85,4

dalam kategori sangat baik. Hal ini berarti ada peningkatan nilai rata-rata

sebesar 9,7 dari rata-rata 75,6 pada siklus I menjadi 85,4. Sebagian besar

siswa, 27 siswa atau 54%, memperoleh nilai >84 dalam kategori baik, 11

siswa atau 43% memperoleh nilai 75 – 84 dalam kategori baik, dan


122

seorang siswa atau 3% memperoleh nilai 65 – 74 dalam kategori cukup.

Peningkatan ini disebabkan oleh rasa senang siswa terhadap materi/

masalah diskusi yang diterimanya, kerja sama kelompok yang baik dalam

mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang diterima, rasa

percaya diri siswa dan pengalaman dari siklus I.

11) Hasil Tes Keterampilan Berbicara Aspek Kelancaran

Secara rinci, hasil tes keterampilan berbicara aspek kelancaran ini

dapat dilihat pada tabel 27 ini.

Tabel 27. Hasil Tes Aspek Kelancaran


No. Nilai Kategori Frekuensi % Hasil Klasikal
1. < 65 kurang 0 0 39 siswa mencapai
2. 65 – 74 Cukup 1 3 nilai total 3315
3. 75 – 84 Baik 26 66 dengan rata-rata nilai
4. >84 sangat baik 12 31 85,0 dalam kategori
Jumlah 39 100 baik.

Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa secara klasikal

siswa memperoleh nilai total sebesar 3167 dengan nilai rata-rata 81,2

dalam kategori baik. Hal ini berarti bahwa aspek kelancaran ini juga

mengalami peningkatan. Peningkatan nilai rata-rata aspek kelancaran ini

sebesar 9,5, dari nilai rata-rata 75,5 pada siklus I menjadi 85,0 pada siklus

II.

b. Hasil Nontes

Pada siklus II ini data nontes mengalami pengubahan. Kalau pada

siklus I data nontes dijaring melalui observasi, wawancara, jurnal,

dokumentasi, dan rekaman pita, pada siklus II ini data nontes dijaring

melalui observasi, wawancara, jurnal, sosiometri, dan rekaman pita. Hal


123

ini dimaksudkan untuk melengkapi perolehan data dan mempertajam

analisis. Penggantian dokumentasi foto dan rekaman pita dengan rekaman

video dilakukan dengan alasan bahwa rekaman video mampu merekam

gambar dan suara sekaligus, sehingga pembahasan lebih lengkap dan

akurat. Instrumen sosiometri digunakan untuk mengetahui aktivitas/

kinerja siswa selama pembelajaran dengan cara meminta siswa mencatat

nama-nama anggota sesuai dengan hal-hal yang tercantum di dalamnya.

Kedua instrumen tersebut peneliti gunakan untuk melengkapi

kekuranglengkapan analisis pada siklus I. Dengan demikian, hasil dan

analisis data pada siklus II penelitian ini menjadi lebih baik. Adapun hasil

data nontes pada siklus II diuraikan di bawah ini.

1) Hasil Observasi

Data observasi pada siklus II ini sama dengan data observasi pada

siklus I. Pengambilan data melalui observasi ini bertujuan untuk

mengetahui perilaku siswa selama pembelajaran. Observasi ini

dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Aspek yang

diamati dalam observasi ini meliputi perilaku yang ditunjukkan siswa

selama mengikuti proses pembelajaran. Hal ini dilakukan untuk

memperoleh data selengkap mungkin untuk mengungkap perilaku

yang ditunjukkan siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Aspek

yang menjadi sasaran observasi adalah 1) antusias siswa dalam

pembentukan kelompok, 2) respon siswa ketika disajikan model dalam

pembelajaran, 3) komentar yang diberikan siswa saat mendiskusikan


124

model yang digunakan, 4) respon siswa/ kelompok dalam menerima

materi (masalah) yang akan didiskusikan, 5) antusias siswa dalam

mendiskusikan masalah yang diterima dengan kelompoknya, 6)

pendapat/ jawaban, pembicaraan siswa dalam diskusi, 7) semangat

siswa dalam mengikuti diskusi, 8) diskusi yang dilaksanakan siswa,

dan 9) antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara siswa melalui diskusi.

Dalam siklus II ini, seluruh perilaku siswa selama proses

pembelajaran berlangsung terdeskripsi melalui observasi. Selama

proses pembelajaran berlangsung, seluruh siswa mengikutinya dengan

baik. Meskipun demikian, masih ada beberapa siswa yang masih

berbicara sendiri, terutama ketika mendiskusikan alternatif-alternatif

pemecahan masalah yang diterima dan ketika proses diskusi di depan

kelas berlangsung. Namun, hal itu tidak sampai mengganggu siswa/

kelompok lain seperti yang terjadi pada siklus I.

Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa siswa menunjukkan

respon yang sangat baik ketika peneliti minta lagi untuk membentuk

kelompok. Pada siklus II ini formasi anggota kelompok peneliti ubah.

Siswa menyetujui hal ini karena kelompok yang terbentuk pada siklus

I tidak semua anggotanya bekerja sama dan lebih bergantung pada

anggota yang lain. Kemudian peneliti menentukan 10 siswa yang

memiliki keterampilan berbicara yang baik pada siklus I sebagai ketua


125

kelompok dan siswa tersebut memilih sendiri anggotanya dengan adil

dan seluruh siswa menyetujuinya.

Selanjutnya, siswa memberikan respon yang sangat baik ketika

peneliti berikan/ putarkan model dalam pembelajaran. Bersama dengan

teman sekelompoknya, siswa memperhatikan model yang peneliti

berikan melalui LCD dan mencatat hal-hal yang mereka temukan dari

pemutaran model tersebut seperti yang peneliti minta. Namun, ada

siswa yang berbicara dengan teman sekelompok, tetapi tidak sampai

mengganggu mengganggu kelompok lain yang sedang memperhatikan

model yang diputarkan.

Komentar yang diberikan siswa berkaitan dengan model yang

peneliti berikan sudah baik. Mereka memberikan komentar-komentar

terhadap hal-hal yang telah peneliti minta sebelumnya dengan baik

sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki

berkaitan dengan cara berbicara yang baik dalam diskusi. Adapun hal-

hal yang peneliti mintakan komentar adalah cara berbicara setiap

kompoen yang terlibat, cara mengajukan pertanyaan, cara

menyanggah, dan cara memberikan pendapat, proses pelaksanaan

diskusi, dan peneliti juga meminta siswa memberikan komentar

mengenai model yang peneliti berikan pada siklus II ini.

Berkaitan dengan penentuan masalah yang diterima tiap-tiap

kelompok, peneliti mengundi lagi materi/ masalah diskusi pada siklus

II ini dengan cara yang sama pada siklus I, yaitu wakil kelompok
126

diminta mengambil sendiri lintingan yang telah peneliti siapkan.

Meskipun formasi kelompok berubah, namun peneliti tetap mengundi

materi tersebut agar tetap menunjukkan keadilan. Maksudnya agar

kelompok 1 tidak selalu menerima masalah 1, kelompok 2 tidak selalu

menerima masalah 2 dan seterusnya, seperti pada siklus I. Namun,

masalah yang diterima tiap kelompok ditentukan berdasarkan undian

yang dilakukan. Respon yang ditunjukkan siswa ketika menerima

masalah diskusi yang peneliti berikan sangat baik. Hal itu diketahui

dari reaksi siswa setelah menerima masalah tersebut siswa

mengangguk-anggukkan kepala, ada yang berkata "Yes", dan ada yang

tertawa agak keras karena masalah yang diterimanya itu dialaminya

sendiri di sekolah. Siswa tersebut memperoleh masalah "Membawa HP

ke Sekolah", dan sepengetahuan penulis, siswa tersebut juga membawa

HP ke sekolah.

Selanjutnya, dalam mendiskusikan masalah yang diterima dengan

kelompoknya, siswa menunjukkan respon yang sangat baik. Mereka

bekerja sama untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah

yang diterimanya. Pada kegiatan ini semua siswa bekerja sama dengan

baik, saling membagi tugas dan tidak ada siswa yang hanya

bergantung pada teman lain. Tidak ada siswa yang tidak ikut bekerja

dalam mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang

diterimanya pada siklus II ini.


127

Berdasarkan hasil observasi, keterampilan berbicara siswa pada

siklus II ini sudah baik dalam memberikan pendapat/ jawaban.

Umumnya, mereka sudah dapat menguasai materi yang peneliti

berikan. Hal ini terlihat dari isi pembicaraan mereka dalam diskusi

tersebut. Rasa kurang percaya diri dan grogi ketika berbicara di depan

kelas sudah berkurang pada siklus II ini. Hal ini berpengaruh pada

semangat siswa dalam mengikuti proses diskusi. Semangat siswa

dalam mengikuti diskusi sangat baik. Mereka mengikuti diskusi yang

berlangsung dan menanggapinya dengan memberikan pertanyaan-

pertanyaan, pendapat ataupun sanggahan. Namun, masih ada juga

siswa yang tidak memperhatikan diskusi dan berbicara sendiri dengan

teman yang lain, tetapi tidak sampai mengganggu kelancaran diskusi.

Suasana diskusi yang kondusif itu juga mempengaruhi semangat

siswa/ kelompok yang sedang tampil di depan kelas, karena pada

siklus II ini mereka merasa lebih dihargai oleh peserta yang lain. Hal

ini juga berpengaruh pada proses diskusi yang dilaksanakan siswa.

Diskusi yang dilaksanakan siswa pada siklus II ini sudah baik. Mereka

mampu melaksanakan diskusi dari awal hingga akhir. Siswa sudah

tahu apa yang harus mereka lakukan sesuai dengan peran dan tugasnya

masing-masing. Proses diskusi pada siklus II ini lebih baik daripada

siklus I, karena para peserta (siswa lain) mengikutinya dengan baik

dan suasananya lebih kondusif dibandingkan dengan proses diskusi

pada siklus I.
128

Antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi sangat baik. Semangat para siswa pada siklus

II ini lebih baik daripada siklus I. Hal ini ditunjukkan dengan antusias

mereka mulai dari mengikuti apersepsi guru berkaitan dengan materi

diskusi yang telah mereka dapatkan pada siklus I, pembentukan

kelompok, pemutaran model, mendiskusikan model, dan pelaksanaan

diskusi di depan kelas, meskipun dalam proses pembelajaran masih

ada siswa yang berbicara sendiri.

Proses pembelajaran pada siklus II ini lebih kondusif dibandingkan

dengan siklus I. Hasil yang dicapai siswa sudah baik dan antusias

siswa masih tinggi dalam mengikuti pembelajaran. Antusias siswa ini

diketahui dari respon atau ekspresi sebagian besar siswa yang peneliti

ajar. Sebagian besar wajah mereka menampakkan ekspresi kagum

terhadap teknik mengajar yang peneliti gunakan, karena pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi ini dapat dijadikan sarana

rekreasi untuk menyegarkan kembali pikiran. Peneliti menyadari hal

tersebut karena berdasarkan pengamatan di lapangan dan tanya-jawab

dengan guru mata pelajaran lain di kelas itu, sesuai dengan kurikulum

2004, siswa SMA kelas X mendapatkan 17 mata pelajaran dan

menjelang akhir semester II ini hampir semua guru memberikan tugas,

baik individu maupun kelompok, yang membutuhkan banyak waktu,

tenaga dan pikiran untuk menilai ketuntasan belajar mereka. Jadi,

peneliti bisa memaklumi jika selama proses pembelajaran ada siswa


129

yang berbicara sendiri untuk membicarakan tugas-tugas itu. Namun,

dalam proses pembelajaran, peneliti tidak menemukan siswa yang

mengerjakan tugasnya selama proses pembelajaran berlangsung.

2) Hasil Wawancara

Data nontes pada siklus II ini juga diperoleh dari hasil wawancara.

Sama seperti siklus I, wawancara ini tidak dilakukan kepada semua

siswa, tetapi dilakukan kepada tiga siswa yang memperoleh nilai

tertinggi dan tiga siswa yang memperoleh nilai terrendah. Ada

penambahan dua pertanyaan dalam wawancara pada siklus II ini. Jadi,

wawancara pada siklus II ini terdapat 18 butir pertanyaan yang harus

dijawab siswa. Adapun dua pertanyaan tambahan itu berisi pertanyaan

mengenai model yang manakah di antara kedua model yang diberikan

guru yang dapat membantu siswa untuk berbicara dalam ragam formal

melalui diskusi, dan lebih baik manakah keterampilan berbicara siswa

tersebut antara diskusi pada siklus I dan siklus II serta apa

penyebabnya.

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa pemberian model

dalam pembelajaran baik. Model yang peneliti sajikan tersebut sangat

membantu siswa untuk melaksanakan diskusi dan dapat membantu

siswa pula untuk dapat berbicara dengan baik dalam diskusi tersebut.

Berkaitan dengan kedua model yang peneliti berikan, model yang

kedua dapat membantu siswa untuk berbicara dalam ragam formal


130

melalui diskusi. Dari model tersebut siswa memperoleh gambaran

mengenai cara berbicara dalam ragam formal melalui diskusi.

Dibandingkan dengan siklus I, pembicaraan siswa pada siklus II ini

rata-rata lebih baik karena telah memperoleh gambaran dari model

yang peneliti berikan dan didukung oleh suasana diskusi yang lebih

kondusif.

Mengenai pembentukan kelompok yang dilakukan guru pada

siklus II ini, siswa menanggapinya dengan baik karena pembentukan

kelompok pada siklus II ini cukup demokratis dan adil serta

keterampilan berbicara siswa yang dimiliki kelompok merata. Pada

kelompok tersebut siswa dapat bekerja sama dengan anggota

kelompok yang lainnya, dan dalam kelompok tersebut semua anggota

bekerja sesuai dengan peran tugasnya masing-masing sehingga tidak

ada siswa yang tidak bekerja dalam kelompok tersebut.

Rata-rata siswa mampu memahami materi/ masalah diskusi yang

peneliti berikan, karena materi/ masalah yang peneliti berikan dekat

dengen kehidupan mereka di sekolah. Namun, ada juga siswa yang

mengatakan kurang menguasainya dengan baik karena waktu yang

diberikan untuk mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan

masalah yang diterima terbatas. Materi yang disenangi siswa untuk

didiskusikan di dalam kelas adalah materi seputar dunia remaja atau

dunia siswa yang dekat dengan kehidupannya di sekolah. Proses


131

berlangsungnya diskusi berjalan dengan baik dan tertib, meskipun ada

siswa yang masih bicara sendiri ketika proses diskusi berlangsung.

Semua siswa mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam

diskusi tersebut. Siswa mengakui bahwa siswa juga masih menemui

kesulitan ketika berbicara dalam diskusi tersebut. Kesulitan tersebut

antara lain masih gugup dan kurang lancar ketika berbicara. Kesulitan

tersebut disebabkan karena belum terbiasanya siswa berbicara dalam

forum resmi dan kurangnya latihan. Untuk mengatasi kesulitan

tersebut, siswa mengatakan untuk berlatih berbicara dalam forum

resmi agar lebih baik dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.

Siswa juga mengakui bahwa pembicaraannya belum maksimal yang

disebabkan oleh rasa kurang percaya diri dan gugup ketika berbicara

dalam diskusi tersebut.

Terkait dengan keputusan diskusi yang dihasilkan, siswa dapat

menerimanya karena hal itu merupakan kesepakatan bersama yang

harus diterima dan dilaksanakan. Pembelajaran keetrampilan berbicara

melalui diskusi ini ditanggapi dengan baik, karena dapat melatih

membekali siswa untuk dapat berbicara di depan umum. Melalui

pembelajaran ini siswa dapat mengukur kemampuannya dalam

berbicara pada forum resmi yang disaksikan banyak orang.

Selanjutnya, siswa pun merasa ada peningkatan kemampuan dalam

berbicara.
132

3) Hasil Jurnal

Sama halnya dengan siklus I, data nontes penelitian ini juga

diperoleh dari jurnal guru dan jurnal siswa. Jurnal guru pada siklus II

ini juga terdiri atas dua buah jurnal. Jurnal yang pertama berisi

kegiatan-kegiatan yang guru lakukan di kelas dan jurnal yang kedua

berisi deskripsi keadaan kelas/ respon siswa yang ditunjukkan siswa

selama proses pembelajaran berlangsung. Ada aspek yang terdapat

kedua jurnal ini mengalami perubahan. Pada siklus II ini peneliti tidak

lagi menyampaikan materi pembelajaran karena materi pembelajaran

sudah peneliti berikan pada siklus I, namun peneliti memberikan

apersepsi kepada siswa untuk menggali pengetahuan dan pengalaman

mereka mengenai diskusi yang telah mereka dapatkan pada siklus I.

Selanjutnya, hasil jurnal guru dan jurnal siswa tersebut peneliti uraikan

berikut ini.

a) Jurnal Guru

Jurnal guru yang akan diuraikan adalah jurnal guru yang berisi

kegiatan-kegiatan yang guru lakukan di kelas dan jurnal guru yang

berisi deskripsi keadaan kelas/ respon yang ditunjukkan siswa selama

proses pembelajaran berlangsung. Jurnal guru berkaitan dengan

kegiatan-kegiatan yang guru lakukan di kelas digunakan untuk

mengetahui kegiatan guru dalam pembelajaran apakah sesuai dengan

kegiatan yang terdapat dalam rencana pembelajaran atau tidak. Adapun

kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam jurnal tersebut adalah 1) guru


133

memberikan apersepsi dan memberikan penguatan, 2) guru memberi

kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau memberi tanggapan, 3)

guru membentuk kelompok, 4) guru memutarkan model, 5) guru

meminta siswa mendiskusikan model yang disajikan, 6) guru

membagikan artikel yang berisi masalah untuk didiskusikan, 7) guru

mengamati aktivitas siswa selama bekerja dalam kelompok, 8) guru

mengamati proses berlangsungnya diskusi dan memberikan penilaian,

9) guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi siswa, dan 10)

guru mengadakan refleksi pembelajaran bersama dengan siswa.

Dari jurnal tersebut diketahui bahwa guru melaksanakan semua

kegiatan-kegiatan seperti yang telah direncanakan, mulai dari

memberikan apersepsi dan penguatan, memberi kesempatan kepada

siswa untuk bertanya atau memberikan tanggapan, membentuk

kelompok, memberikan/ memutarkan model, mengadakan diskusi

untuk mendiskusikan model yang guru berikan, membagikan artikel

yang berisi masalah untuk didiskusikan, mengamati aktivitas siswa

selama bekerja dengan kelompoknya, mengamati proses

berlangsungnya diskusi dan memberikan penilaian terhadap aktivitas

berbicara siswa, memberikan penguatan setiap diskusi yang dilakukan

siswa berakhir, dan mengadakan refleksi pembelajaran bersama

dengan siswa.

Selanjutnya, peneliti uraikan jurnal guru yang berisi deskripsi

keadaan kelas/ respon yang ditunjukkan siswa selama proses


134

pembelajaran berlangsung. Jurnal ini berisi 1) respon siswa ketika

menerima apersepsi pembelajaran yang dilakukan guru, 2) sikap siswa

dalam menerima instruksi untuk membentuk kelompok, 3) respon

yang ditunjukkan siswa ketika diberikan model dalam pembelajaran,

4) komentar yang diberikan siswa ketika diberikan model dalam

pembelajaran, 5) kerja sama siswa dalam kelompok, 6) respon siswa/

kelompok ketika menerima masalah yang akan didiskusikan, 7) sikap

siswa dalam mengikuti diskusi, 8) proses pelaksanaan diskusi, 9)

keterampilan berbicara siswa dalam diskusi tersebut, dan 10) sikap

siswa dalam menerima pembelajaran keterampilan berbicara melalui

diskusi.

Respon siswa ketika guru memberikan apersepsi pembelajaran

sangat baik. Siswa memperhatikan dengan baik materi yang guru

tayangkan kembali melalui LCD dengan program Power Point yang

telah guru siapkan.

Respon siswa yang ditunjukkan ketika menerima instruksi untuk

membentuk kelompok sangat baik. Pembentukan kelompok pada

siklus II ini peneliti lakukan dengan cara menentukan 10 siswa yang

peneliti anggap memiliki keterampilan berbicara yang baik dalam

siklus I sebagai ketua kelompok, kemudian siswa tersebut menentukan

sendiri anggotanya. Dengan cara itu komposisi anggota kelompok

yang terbentuk merata, tidak ada kelompok yang terdiri atas siswa-

siswa yang pintar atau siswa-siswa yang kurang pintar.


135

Pada saat diberikan/ diputarkan model, siswa memberi respon yang

sangat baik. Dengan teman sekelompoknya, siswa memperhatikan

model yang ditayangkan melalui LCD dan mencatat hal-hal yang

mereka temukan dari tayangan itu. Ada siswa yang berbicara dengan

teman sekelompok, namun tidak sampai mengganggu kelompok lain

yang sedang memperhatikan model yang diputarkan. Komentar yang

diberikan siswa berkaitan dengan model yang guru berikan sudah baik.

Siswa mampu menunjukkan kekurangan maupun kelebihan mengenai

cara-cara berbicara setiap komponen diskusi yang ada dalam model

tersebut Mereka memberikan komentar-komentar terhadap hal-hal

yang peneliti minta sebelumnya menurut pendapatnya masing-masing

sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki

berkaitan dengan diskusi.

Kerja sama siswa dalam kelompok baik sekali. Mereka bekerja

sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing. Pada siklus II ini

tidak ada siswa yang bergantung pada anggota yang lain seperti yang

terjadi pada siklus I. Hal ini disebabkan oleh komposisi anggota

kelompok yang merata dan sesuai dengan pilihan siswa sendiri.

Respon yang ditunjukkan siswa ketika menerima masalah diskusi

yang peneliti berikan sangat baik. Hal itu diketahui dari reaksi siswa

setelah menerima masalah tersebut siswa mengangguk-anggukkan

kepala, ada yang berkata "Yes", dan ada yang tertawa agak keras

karena masalah yang diterimanya itu dialaminya sendiri di sekolah.


136

Siswa tersebut memperoleh masalah "Membawa HP ke Sekolah", dan

sepengetahuan penulis, siswa tersebut juga membawa HP ke sekolah.

Respon siswa/ kelompok dalam mengikuti diskusi pada siklus II ini

sangat baik. Mereka antusias mengikuti jalannya diskusi, mengajukan

pertanyaan, pendapat ataupun sanggahan. Meskipun demikian, masih

ada siswa yang berbicara sendiri, namun tidak sampai mengganggu

teman yang sedang memperhatikan diskusi dan suasana diskusi

tersebut tetap kondusif.

Diskusi yang dilaksanakan siswa baik. Setiap kelompok

menyajikan hasil kerjanya dan siswa yang lain menanggapinya dengan

mengikuti proses berlangsungnya diskusi tersebut dengan baik,

bertanya, mengajukan pertanyaan, sanggahan ataupun pendapat kepada

kelompok yang tampil tersebut. Meskipun demikian ada juga siswa

yang berbicara sendiri ketika diskusi berlangsung, namun tidak sampai

mengganggu teman yang lain dan suasana diskusi tetap kondusif.

Keterampilan berbicara siswa dalam diskusi tersebut baik. Ada

peningkatan keterampilan berbicara siswa dibandingkan dengan siklus

I. Dari penampilan setiap kelompok, peneliti merasa puas karena siswa

mengikutinya dengan baik meskipun masih ada beberapa siswa yang

menampakkan rasa kurang percaya diri, grogi, dan dalam

pembelajaran masih ada juga beberapa siswa yang berbicara sendiri,

namun tidak sampai mengganggu siswa yang lainnya dan suasana

diskusi tetap kondusif.


137

Dari jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap siswa dalam

menerima pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi yang

peneliti lakukan ini sangat baik. Mereka merespon apa yang peneliti

lakukan selama pembelajaran berlangsung dari awal hingga akhir

pembelajaran pada siklus II ini dengan baik dan mengikuti jalannya

diskusi dengan baik pula.

b) Jurnal Siswa

Pada siklus II ini peneliti juga meminta siswa untuk mengisi jurnal.

Jurnal siswa pada siklus II ini mengalami penambahan pertanyaan

yang harus diisi siswa. Jadi, pada siklus II ini, siswa mengisi sembilan

pertanyaan yang berisi kesan siswa dalam hal 1) model yang diberikan

guru untuk membantu siswa dalam berbicara melalui diskusi, 2) model

yang manakah yang dapat membantu siswa untuk dapat berbicara

dalam diskusi, 3) respon siswa dalam pembentukan kelompok, 4) kerja

sama siswa dalam kelompok, 5) masalah diskusi yang diberikan guru

mudah siswa pahami atau tidak, 6) kesempatan siswa untuk berbicara

dalam diskusi, 7) keterampilan berbicara siswa dalam diskusi, 8)

proses pelaksanaan diskusi, dan 9) kesan dalam menerima pelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi. Hasil jurnal siswa tersebut

selengkapnya diuraikan di bawah ini.

Model yang diberikan guru untuk membantu siswa dalam berbicara

melalui sudah baik, karena model yang diberikan memberi contoh

serta gambaran yang baik dalam berdiskusi. Sebagian besar siswa


138

menyatakan model yang kedua lebih dapat membantu siswa untuk

berbicara dalam diskusi.

Dalam hal pembentukan kelompok pada siklus II ini, respon siswa

sangat baik dan setuju dengan cara yang peneliti lakukan, yakni

dengan cara menentukan sepuluh siswa yang peneliti anggap memiliki

keterampilan berbicara yang baik pada siklus I untuk menjadi ketua

kelompok dan menentukan sendiri anggota kelompoknya. Dengan cara

ini komposisi setiap anggota lebih merata sehingga tidak ada siswa

yang lebih bergantung pada temannya yang lain. Hal ini juga

berpengaruh pada kerja sama siswa antara siswa dengan anggota

kelompoknya yang lain. Pada siklus II ini kerja sama siswa dalam

kelompok sangat baik. Mereka saling bertukar pikiran, memberikan

ide/ gagasan masing-masing dalam kerja kelompok itu dan tidak

bergantung pada salah satu anggota kelompok saja.

Masalah/ materi diskusi yang peneliti berikan mudah dipahami

oleh siswa karena masalah-masalah yang peneliti berikan adalah

masalah-masalah seputar dunia remaja atau dunia siswa yang dekat

dengan kehidupan mereka di sekolah, bahkan masalah-masalah

tersebut mereka alami sendiri di sekolah.

Dalam diskusi yang dilaksanakan, semua siswa memperoleh

kesempatan yang sama untuk dapat berbicara dalam diskusi tersebut,

hanya saja siswa kurang memanfaatkannya dengan baik. Pembicaraan

siswa dalam diskusi tersebut peneliti batasi agar pembicaraan tidak


139

didominasi oleh siswa-siswa tertentu saja, melainkan semuanya

memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara.

Keterampilan berbicara siswa pada siklus II ini lebih baik bila

dibandingkan keterampilan berbicara siswa pada siklus I, meskipun

masih ada beberapa siswa yang merasa grogi dan kurang percaya diri

ketika tampil di depan kelas. Hal ini tidak lepas dari tindakan-tindakan

yang peneliti lakukan, antara lain pemberian model dan motivasi yang

peneliti berikan kepada siswa.

Proses pelaksanaan diskusi pada siklus II ini lebih baik daripada

pelaksanaan diskusi pada siklus I. Diskusi pada siklus II ini berjalan

lebih tertib dan lancar. Siswa mengikutinya dengan baik. Banyak siswa

yang ingin mengajukan pertanyaan, tanggapan ataupun sanggahan.

Namun, seiring terbatasnya waktu, maka tidak semuanya dapat

dipenuhi.

Siswa senang menerima pembelajaran keterampilan berbicara

melalui diskusi ini karena siswa memperoleh pengalaman untuk dapat

berbicara di depan umum (dalam diskusi), melatih keberanian untuk

berbicara di hadapan banyak orang. Selain itu, siswa juga dapat

menciptakan kebersamaan yang baik ketika bekerja dalam kelompok

untuk mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang

peneliti berikan.
140

4) Hasil Sosiometri (Lembar Observasi Siswa)

Pada siklus II ini, peneliti juga menggunakan instrumen nontes

berupa sosiometri (lembar observasi siswa) untuk mengetahui

aktivitas/ kinerja siswa selama pembelajaran berlangsung dan teman

sekelompok siswa yang memiliki keterampilan berbicara paling baik.

Setiap siswa diberi lembar sosiometri ini dan menuliskan nama-nama

siswa anggota kelompoknya yang menunjukkan aktivitas/ kinerja

siswa sesuai dengan yang tercantum dalam lembar sosiometri tersebut.

Siswa A mengamati kinerja siswa B,C, dan D. Siswa B mengamati

kinerja siswa A, C, dan D. Siswa C mengamati kinerja siswa A, B, dan

D. Siswa D mengamati kinerja siswa A, B, dan C. Agar lebih jelas,

alur sosiometri tersebut peneliti gambarkan pada gambar 4. berikut ini.

Gambar 4. Alur Sosiometri

Adapun hal-hal yang tercantum dalam lembar sosiometri tersebut

yang harus diisi siswa adalah 1) teman sekelompok siswa yang tidak

memperhatikan model (bicara sendiri/ mengganggu teman sekelompok

atau kelompok lain) yang guru putarkan, 2) teman sekelompok siswa

yang tidak memberikan pendapat ketika mendiskusikan model yang

guru putarkan, 3) Sebutkan teman sekelompok kamu yang bicara


141

sendiri/ mengganggu teman sekelompok atau kelompok lain ketika

mendiskusikan model tersebut, 4) teman sekelompok siswa yang tidak

bekerja sama ketika mendiskusikan model yang guru putarkan, 5)

teman sekelompok siswa yang tidak memberikan pendapat dalam

mendiskusikan masalah yang guru berikan, 6) teman sekelompok

siswa yang bicara sendiri/ mengganggu teman sekelompok atau

kelompok lain ketika mendiskusikan masalah dari guru, 7) teman

sekelompok siswa yang tidak bekerja sama dalam mendiskusikan

masalah dari guru, 8) teman sekelompok siswa yang tidak aktif dalam

diskusi ketika kelompok kamu tampil, dan 9) teman sekelompok siswa

yang tidak memperhatikan (berbicara sendiri/ mengganggu) proses

diskusi kelompok lain yang tampil,dan 10) teman sekelompok siswa

yang memiliki keterampilan berbicara paling baik.

Dari hasil sosiometri tersebut dapat dijelaskan bahwa secara umum

tidak ada anggota kelompok yang berbicara sendiri/ mengganggu

teman lain ketika diputarkan model pembelajaran. Ada siswa yang

berbicara dengan teman sekelompok, tapi yang dibicarakan itu adalah

hal-hal seputar model yang diberikan. Hal ini diketahui dari cara

mereka berbicara menghadap pada model yang sedang diputarkan dan

tangan mereka menunjuk pada model tersebut.

Pada saat mendiskusikan model yang guru berikan, tidak ada siswa

yang tidak memberikan pendapatnya. Semua siswa bertukar pikiran

dalam mendiskusikan model yang peneliti berikan dan memberikan


142

pendapat sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka masing-

masing berkaitan dengan diskusi. Semua anggota kelompok

berpartisipasi dalam mendiskusikan model tersebut.

Ketika mendiskusikan masalah yang peneliti berikan, semua siswa

bekerja sesuai peran dan tugasnya serta memberikan pendapat sesuai

dengan pandangan masing-masing berkaitan dengan alternatif-

alternatif pemecahan masalah yang mereka terima. Tidak ada siswa

yang tidak ikut bekerja atau bergantung pada teman lain dalam

mendiskusikan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang

diterimanya pada siklus II ini. Pada kegiatan ini tidak ada siswa yang

berbicara sendiri atau mengganggu teman sekelompok/ kelompok lain.

Selanjutnya, ketika kelompok mereka tampil, semua anggota aktif

mengikuti diskusi sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing.

Demikian juga pada saat kelompok lain tampil, semua siswa juga

memperhatikan dengan baik dan menanggapinya dengan mengajukan

pertanyaan, sanggahan atau mengajukan pendapatnya kepada

kelompok yang tampil tersebut.

Pada lembar sosiometri tersebut siswa juga diminta menuliskan

nama teman sekelompoknya yang memiliki keterampilan berbicara

paling baik di antara mereka. Dari hasil sosiometri diketahui bahwa

kelompok I memilih Susilo (35), kelompok II memilih Elina

Saptaningrum (9), kelompok III memilih Krisnawati (20), kelompok

IV memilih Elfintina Novita (8), kelompok V memilih Eri Nugroho


143

(11), kelompok VI memilih Dyah Martha P. (7), kelompok VII

memilih Veli Amalia (37), kelompok VIII memilih Afit Kurniawan

(1), kelompok IX memilih Ardhan Hardianto (5), dan kelompok X

memilih Fandi Rizki B. (13). Hasil pilihan siswa tersebut sesuai

dengan penilaian peneliti. Kesepuluh siswa tersebut memperoleh nilai

rata-rata paling tinggi di antara teman sekelompoknya.

5) Rekaman Video

Pada siklus II ini peneliti juga menggunakan rekaman video untuk

menjaring data nontes. Rekaman video ini juga akan memberikan data

yang lebih lengkap dibandingkan data hasil rekaman pita. Aktivitas

siswa selama pembelajaran akan terekam dengan jelas melalui

rekaman video ini. Tidak hanya aktivitas siswa saja, keterampilan

berbicara siswa pun akan terekam. Aspek nonkebahasaan yang tidak

dapat terekam melalui rekaman pita seperti sikap, gerak-gerik dan

mimik yang wajar, serta pandangan mata dapat terekam melalui

rekaman video ini. Rekaman video ini juga dapat peneliti putar

kembali untuk memberikan penilaian keterampilan berbicara siswa

melalui diskusi. Jadi, rekaman video ini akan memberikan data yang

lebih lengkap dibandingkan dengan rekaman pita yang hanya dapat

merekam suara saja dalam memberikan penilaian keterampilan

berbicara siswa maupun mengetahui aktivitas siswa selama

pembelajaran. Aktivitas siswa yang diuraikan dari hasil rekaman video

ini meliputi aktivitas siswa ketika menerima/ menyaksikan model yang


144

peneliti berikan, aktivitas siswa ketika mendiskusikan masalah yang

diterima beserta pemaparan hasil diskusi tersebut di depan kelas, dan

proses diskusi yang dilaksanakan siswa serta keterampilan berbicara

siswa pada siklus II. Hasil selengkapnya dijelaskan pada uraian

berikut.

Pada saat diberikan/ diputarkan model, antusias siswa sangat baik.

Mereka memperhatikan model yang peneliti berikan dengan seksama.

Sambil memperhatikan, siswa juga terlihat ada yang mencatat hal-hal

yang ditemukan dari model tersebut. Ada juga siswa yang berbicara

ketika diberikan model, namun tidak sampai mengganggu teman lain.

Rekaman aktivitas siswa pada kegiatan ini dapat dilihat pada lintasan

(track) 2 CD yang dilampirkan.

Aktivitas siswa ketika mendiskusikan masalah yang diterima

beserta pemaparan hasil diskusi tersebut di depan kelas sangat baik.

Bersama dengan teman sekelompoknya, siswa memperhatikan model

yang peneliti berikan melalui LCD dan mencatat hal-hal yang mereka

temukan dari pemutaran model tersebut seperti yang peneliti minta.

Ada beberapa siswa yang berbicara, namun tidak sampai mengganggu

mengganggu kelompok lain yang sedang memperhatikan model yang

diputarkan. Ketika wakil kelompok yang mendapatkan undian untuk

mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas berkaitan dengan hal-

hal yang ditemukan dari pemutaran model tersebut tampil, siswa yang

lain memperhatikannya dengan baik. Mereka sependapat dengan hasil


145

kerja kelompok yang tampil itu. Rekaman aktivitas siswa pada

kegiatan ini dapat dilihat pada lintasan (track) 3 CD yang dilampirkan.

Selanjutnya, diskusi yang dilaksanakan siswa pada siklus II ini

sudah baik. Mereka mampu melaksanakan diskusi dari awal hingga

akhir. Siswa sudah tahu apa yang harus mereka lakukan sesuai dengan

peran dan tugasnya masing-masing. Proses diskusi pada siklus II ini

lebih baik daripada siklus I, karena para peserta (siswa lain)

mengikutinya dengan baik dan suasananya lebih kondusif

dibandingkan dengan proses diskusi pada siklus I. Pembicaraan siswa

pada siklus II sudah baik dalam memberikan pendapat/ jawaban.

Umumnya, mereka sudah dapat menguasai materi yang peneliti

berikan. Hal ini terlihat dari isi pembicaraan mereka dalam diskusi

tersebut. Rasa kurang percaya diri dan grogi ketika berbicara di depan

kelas sudah berkurang pada siklus II ini. Rekaman proses

berlangsungnya diskusi pada siklus II ini dapat dilihat pada lintasan

(track) 4 dan seterusnya CD yang dilampirkan.

B. Pembahasan

Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, yang masing-

masing siklus dilakukan melalui empat tahap, yaitu perencanaan, pengamatan,

tindakan, dan refleksi. Siklus II dilakukan sebagai pelaksanaan tindakan yang

merupakan perbaikan pembelajaran dari siklus I. Untuk memperoleh hasil

penelitian, dilakukan penjaringan data tes dan nontes dengan menggunakan


146

instrumen tes dan nontes, baik pada siklus I maupun siklus II. Dari hasil

tersebut diketahui taraf peningkatan keterampilan berbicara siswa dan

efektivitas penggunaan pendekatan kontekstual fokus pemodelan. Berikut ini

disajikan paparan peningkatan keterampilan berbicara siswa dan efektivitas

penggunaan pendekatan kontekstual fokus pemodelan.

Berdasarkan hasil tes keterampilan berbicara dalam ragam formal

melalui diskusi dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan diperoleh

hasil bahwa siswa mengalami peningkatan nilai sebesar 7,8%, yaitu dari

73,4% pada siklus I meningkat menjadi 81,2% pada siklus II. Meningkatnya

nilai rata-rata siswa dari 73,4 pada siklus I menjadi 81,2 pada siklus II ini

terjadi akibat adanya perbaikan pada siklus II dari refleksi pada siklus I dan

masukan para siswa dari jurnal siswa dan wawancara. Tindakan perbaikan

tersebut meliputi penggantian model yang diberikan dalam pembelajaran,

yaitu model diskusi formal (terstruktur komponen-komponennya), yang

sebelumnya diberikan model diskusi nonformal (tidak terstruktur). Upaya

perbaikan ini merupakan hasil refleksi pada siklus I.

Kemudian, dilakukan pula penggantian cara pembentukan kelompok.

Pada siklus I, pembentukan kelompok dilakukan dengan cara berhitung 1 – 10

secara bergantian hingga siswa urutan terakhir. Siswa yang menyebut angka 1

bergabung menjadi satu kelompok, siswa yang menyebut angka 2 bergabung

menjadi satu kelompok, demikian seterusnya. Pembentukan kelompok dengan

cara ini menyebabkan adanya satu kelompok yang anggotanya terdiri atas

siswa yang pintar-pintar saja dan ada pula kelompok yang anggotanya terdiri
147

atas siswa yang kemampuannya biasa-biasa saja, sehingga komposisi anggota

kelompok tidak merata. Untuk mengatasi hal ini, pada siklus II peneliti

membentuk kelompok kembali dengan cara menentukan 10 siswa yang

peneliti anggap memiliki keterampilan berbicara yang baik dalam siklus I

sebagai ketua kelompok, kemudian siswa tersebut menentukan sendiri

anggotanya. Dengan cara itu komposisi anggota kelompok yang terbentuk

merata, tidak ada kelompok yang terdiri atas siswa-siswa yang pintar atau

siswa-siswa yang kurang pintar. Pengubahan komposisi kelompok ini

merupakan hasil refleksi pada siklus I dan masukan dari siswa yang diketahui

dari jurnal yang mengatakan bahwa anggota kelompok yang dibentuk pada

siklus I kurang merata karena ada kelompok yang anggotanya terdiri atas

siswa yang pintar dan ada kelompok yang anggotanya terdiri atas siswa yang

kemampuannya biasa saja, sehingga ada siswa yang bergantung pada anggota

yang lain.

Materi/ masalah diskusi yang peneliti berikan tidak peneliti ubah

karena siswa senang dengan materi/ masalah yang peneliti berikan, yaitu

masalah-masalah seputar dunia siswa yang dekat dengan kehidupan siswa di

sekolah. Hal ini diketahui hasil refleksi pada siklus I dan masukan dari siswa

yang diketahui dari hasil jurnal dan wawancara. Jadi, materi/ masalah diskusi

masih peneliti pertahankan karena siswa senang dengan materi/ masalah

diskusi yang peneliti berikan.

Pada siklus I, keterampilan berbicara siswa melalui diskusi kurang

memuaskan dan suasana kelas selama proses pembelajaran berlangsung


148

kurang kondusif dengan adanya siswa yang lebih bergantung pada teman lain

dan berbicara sendiri sehingga mengganggu siswa yang lain. Hal ini

disebabkan oleh kondisi fisik dan mental siswa yang lelah mengikuti 17 mata

pelajaran yang diajarkan kepadanya. Sesuai kurikulum 2004, siswa SMA kelas

X mendapatkan 17 mata pelajaran yang menjelang akhir semester ini hampir

semua guru memberikan tugas, baik individu maupun kelompok, yang

membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak untuk menilai

ketuntasan belajar siswa. Selain itu, pembelajaran keterampilan berbicara

melalui diskusi ini masih dirasakan baru oleh siswa sehingga pola

pembelajaran ini merupakan proses awal bagi siswa untuk menyesuaikan diri

dalam belajar. Ketika tampil di depan, masih banyak siswa yang merasa

gugup, menggunakan intonasi seperti orang membaca, dan ada yang masih

memakai kata-kata ragam santai atau bahasa Jawa.

Walaupun pada siklus I hasil tes keterampilan berbicara siswa kurang

memuaskan dan suasana kelas selama proses pembelajaran berlangsung

kurang kondusif, namun pada proses selanjutnya hasil yang dicapai sudah

memuaskan dan suasana kelas selama proses pembelajaran berlangsung lebih

kondusif. Perubahan itu tidak lepas dari tindakan-tindakan yang peneliti

lakukan dan pemberian motivasi kepada siswa untuk memperbaiki

kekurangan-kekurangan yang ada serta motivasi kepada siswa untuk

memahami pentingnya keterampilan berbicara dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini peneliti lakukan untuk memotivasi siswa agar mereka sadar dan mau

berlatih berbicara dengan sungguh-sungguh. Dengan bekal motivasi yang


149

tinggi akan lebih mudah bagi siswa untuk menerima dan mengikuti proses

pembelajaran.

Kondisi pembelajaran yang di dalamnya diwarnai dengan antusias

siswa dalam mengikuti proses pembelajaran merupakan bukti bahwa kelas

tersebut hidup. Oleh karena nilai rata-rata hasil belajar para siswa yang

diperoleh telah menunjukkan peningkatan sesuai dengan yang telah

ditetapkan, maka penelitian ini dianggap berhasil dan tidak diulang pada siklus

berikutnya. Peningkatan keterampilan berbicara siswa tersebut sebenarnya

meliputi peningkatan kesebelas aspek di dalamnya. Sebagai gambaran,

perolehan nilai rata-rata tiap aspek pada siklus I dan siklus II beserta

perbandingan dan peningkatan tiap-tiap aspek keterampilan berbicara tersebut

disajikan dalam tabel 28 berikut ini.

Tabel 28. Perbandingan Nilai Tiap-tiap Aspek Keterampilan Berbicara


Siklus Siklus %
No. Aspek
I II Peningkatan
1 Ketepatan Ucapan 75.5 81.5 6.0
2 Penempatan Tekanan 68.2 73.7 5.5
3 Penempatan Jeda 72.1 80.8 8.7
4 Intonasi 72.3 79.4 7.1
5 Pilihan Kata 74.2 83.3 9.1
6 Pemakaian Kalimat 74.2 84.2 10.0
7 Sikap, Gerak-gerik dan Mimik 71.7 80.4 8.7
8 Volume Suara 75.4 81.3 5.9
9 Pandangan Mata 72.9 78.6 5.6
10 Penguasaan Topik 75.6 85.4 9.7
11 Kelancaran 75.5 85.0 9.5
Nilai Rata-rata 73.4 81.2 7.8

Berdasarkan rekapitulasi data hasil tes keterampilan berbicara dari

siklus I ke siklus II sebagaimana tersaji dalam tabel 28 di atas, dapat


150

dijelaskan bahwa keterampilan berbicara siswa pada setiap aspek penilaian

keterampilan berbicara mengalami peningkatan. Pada aspek ketepatan ucapan,

keterampilan siswa meningkat 6,0%. Aspek penempatan tekanan mengalami

peningkatan sebesar 5,5%. Aspek penempatan jeda meningkat sebesar 8,7%.

Selanjutnya, aspek intonasi mengalami peningkatan sebesar 7,1%. Aspek

pilihan kata meningkat sebesar 9,1%. Adapun aspek pemakaian kalimat

meningkat sebesar 10%. Aspek sikap, gerak-gerik dan mimik yang wajar

meningkat sebesar 8,7%. Aspek volume suara mengalami peningkatan sebesar

5,9%. Aspek pandangan mata meningkat sebesar 5,6%. Aspek penguasaan

topik meningkat sebesar 9,7%, dan aspek kelancaran mengalami peningkatan

sebesar 9,5%. Jadi secara keseluruhan, keterampilan berbicara siswa

mengalami peningkatan sebesar 7,8% dari 73,4% pada siklus I menjadi 81,2%

pada siklus II.

Peningkatan-peningkatan tersebut tentunya disebabkan oleh beberapa

faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal siswa itu sendiri.

Berdasarkan analisis situasi, diketahui bahwa kondisi pembelajaran pada

siklus II lebih menunjukkan pembelajaran yang kondusif. Pada siklus II ini

siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran dengan segala tugas yang

diberikan oleh guru. Siswa terlihat antusias mengikuti proses berlangsungnya

diskusi dengan ditandai oleh semangat dalam mengajukan pertanyaan,

sanggahan ataupun mengajukan pendapat kepada kelompok yang tampil

berkaitan dengan hasil kerjanya mengenai alternatif-alternatif pemecahan

masalah yang diterima. Suasana kelas pun cukup tenang tidak seperti pada
151

siklus I, meskipun masih ada siswa yang bicara sendiri. Perhatian siswa tertuju

pada seluruh proses pembelajaran. Ketika diberikan model, siswa

memperhatikan model yang diberikan dan mencatat hal-hal yang ditemukan/

bisa ditiru dari pemberian model tersebut. Setelah menerima materi/ masalah

diskusi, siswa saling bekerja sama mendiskusikan alternatif-alternatif

pemecahan masalah yang diterima. Pada saat diskusi berlangsung, siswa/

kelompok yang tampil membagi peran. Ada yang berperan sebagai

moderator, penyaji, notulis. Siswa/ kelompok lain berperan sebagai peserta

diskusi. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing sesuai dengan peran

dan tugasnya. Moderator mengatur jalannya diskusi, penyaji memaparkan

masalah beserta alternatif-alternatif pemecahannya, notulis mencatat kejadian-

kejadian selama diskusi berlangsung, sedangkan peserta memperhatikan dan

memberikan tanggapan terhadap kelompok yang tampil. Dengan demikian,

interaksi pembelajaran berlangsung lancar dan efektif.

Selanjutnya, faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi hasil

pembelajaran siswa dijelaskan berikut ini. Berdasarkan analisis, faktor internal

yang berpengaruh adalah adanya dorongan yang muncul dari dalam diri siswa

itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara maupun jurnal, didapatkan informasi

bahwa siswa akan berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami ketika

berbicara melalui diskusi pada siklus I dengan cara berlatih agar tidak merasa

gugup lagi dan lebih percaya diri ketika berbicara di depan banyak orang.

Selain itu, siswa juga merasakan manfaat yang besar dari pembelajaran

keterampilan berbicara melalui diskusi ini. Manfaat yang diperoleh itu antara
152

lain siswa memperoleh pengalaman, pengetahuan maupun suasana baru dalam

belajar. Siswa juga dapat mengukur tingkat keterampilan berbicaranya

(merefleksi diri), dapat menjadikan pembelajaran ini sebagai sarana untuk

melatih keterampilan berbicara di depan umum dalam situasi formal, dan

menciptakan kebersamaan di antara siswa dengan bekerja sama dalam

kelompok.

Kemudian, faktor eksternal yang mendukung keberhasilan

pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi ini lebih mengarah pada

program pembelajaran di sekolah. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan pada

siswa kelas X-4 SMA Negeri I Jepara menjelang akhir semester, di mana

sesuai kurikulum 2004 ini, siswa SMA kelas X mendapatkan 17 mata

pelajaran yang menjelang akhir semester ini hampir semua guru memberikan

tugas, baik individu maupun kelompok, yang membutuhkan waktu, tenaga

dan pikiran yang banyak untuk menilai ketuntasan belajar siswa. Hal yang

mendukung keberhasilan pembelajaran ini adalah pada siklus II sebagian besar

tugas yang diberikan kepadanya sudah diselesaikan. Jadi, perasaan siswa pada

siklus II ini agak lebih lega karena telah menyelesaikan tugas-tugas sekolah

yang lainnya, sehingga lebih antusias mengikuti proses pembelajaran pada

siklus II.

Pada intinya, siswa senang mengikuti pembelajaran keterampilan

berbicara melalui diskusi ini. Hal ini diketahui dari jurnal guru, jurnal siswa,

wawancara, dan observasi. Memang, kondisi siswa pada siklus I menunjukkan

kondisi yang kurang bersemangat/ antusias dalam mengikuti proses


153

pembelajaran. Selain hasil belajar siswa yang masih rendah, kondisi kelas juga

belum kondusif. Gambaran situasi tersebut dapat dilihat pada rekaman pita

ketika diskusi berlangsung. Dari rekaman tersebut kita ketahui bahwa banyak

siswa yang berbicara sendiri ketika siswa/ kelompok lain tampil di depan kelas

menyajikan hasil kerjanya.

Dalam hal pembentukan kelompok, siswa menanggapinya dengan baik

pula, bahkan mereka mengusulkan cara pembentukannya. Pembentukan

kelompok pada siklus I disepakati dilakukan dengan cara berhitung 1 – 10

secara bergantian hingga siswa urutan terakhir. Siswa yang menyebut angka 1

bergabung menjadi satu kelompok, siswa yang menyebut angka 2 bergabung

menjadi satu kelompok, demikian seterusnya. Hasilnya, kelompok yang

terbentuk komposisi anggotanya kurang merata. Ada kelompok yang

anggotanya terdiri atas siswa yang pintar dan ada kelompok yang anggotanya

terdiri atas siswa yang kemampuannya biasa-biasa saja. Selain itu, ada siswa

yang lebih bergantung pada teman/ anggota yang lain saja.

Terkait dengan model yang diberikan, siswa menanggapinya dengan

sangat baik. Hal itu dapat dilihat pada jurnal yang diisi siswa. Sebagian besar

siswa mengemukakan bahwa adanya model dalam pembelajaran dapat

memberikan gambaran atau contoh bagi siswa untuk dapat melaksanakan

diskusi atau untuk dapat berbicara dengan baik dalam diskusi. Model yang

diberikan adalah model audio visual, sehingga gambaran yang diperoleh

siswa lebih lengkap dan jelas.


154

Pada siklus I ini, siswa menyenangi materi/ masalah diskusi yang

peneliti berikan. Materi/ masalah yang peneliti berikan adalah materi/ masalah

seputar dunia siswa yang dekat dengan kehidupannya di sekolah. Hal ini

diketahui dari jurnal siswa maupun wawancara. Menurut siswa, materi/

masalah yang cocok didiskusikan di dalam kelas adalah materi/ masalah yang

dekat dengan kehidupan mereka di sekolah seperti yang telah peneliti berikan.

Selanjutnya, dari jurnal maupun wawancara diketahui bahwa siswa

merasa kurang percaya diri, gugup atau grogi ketika berbicara di depan kelas,

sehingga berpengaruh pada hasil tes keterampilan berbicara siswa. Kondisi

tersebut disebabkan kurang terbiasanya siswa melakukan aktivitas berbicara di

depan umum dalam suasana formal. Dengan demikian, tidak mengherankan

jika siswa masih merasa kurang percaya diri, gugup atau grogi ketika

berbicara di depan umum.

Meskipun hasil tes keterampilan berbicara siswa pada siklus I belum

termasuk pada kategori baik, namun setidaknya ada upaya berupa usaha siswa

untuk memperbaiki kesulitan-kesulitan yang ditemui dengan cara berlatih agar

dapat berbicara di depan umum dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil

jurnal yang diisi siswa maupun wawancara pada siklus I.

Kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus I selanjutnya

diperbaiki dan ditingkatkan pada siklus II. Pada siklus II, perencanaan

dilakukan dengan lebih matang, sehingga hasil yang dicapai pun menunjukkan

peningkatan. Ada dua instrumen yang diganti pada siklus II dan ada satu

instrumen yang ditambahkan pada siklus I. Instrumen yang diganti adalah


155

instrumen nontes yang berupa dokumentasi foto dan rekaman pita, Kedua

instrumen tersebut diganti dengan rekaman video. Hal ini dilakukan karena

rekaman video dapat merekam gambar dan suara (audio visual), sehingga

data-data instrumen ini lebih jelas dan lengkap serta analisis lebih akurat. Data

yang ditambahkan pada siklus II ini adalah sosiometri (lembar observasi

siswa) untuk mengetahui aktivitas/ kinerja siswa dalam kelompoknya. Kedua

instrumen ini dilakukan untuk mengantisipasi/ melengkapi kekurangan hasil

dan analisis data. Selain itu, kedua data dari instrumen nontes tersebut

digunakan untuk memperkuat analisis sehingga hasil penelitian yang didapat

lebih valid dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Suasana belajar pada siklus II ini lebih kondusif. Siswa senang

mengikuti pembelajaran keterampilan berbicara melalui diskusi ini. Siswa

sangat antusias mengikuti pembelajaran. Pembelajaran keetrampilan ini dapat

dijadikan siswa sebagai sarana rekreasi untuk menyegarkan pikiran kembali

setelah lelah fisik dan mentalnya mengikuti pelajaran di kelas. Apalagi,

berdasarkan kurikulum 2004, siswa SMA kelas X mendapatkan 17 mata

pelajaran yang menjelang akhir semester II ini hampir semua guru mata

pelajaran di kelasnya memberikan tugas, baik individu maupun kelompok,

yang membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk

menyelesaikannya. Namun, pada siklus II ini sebagian besar tugas-tugas

tersebut sudah mereka selesaikan, sehingga beban siswa berkurang. Hal ini

diketahui dari tanya-jawab peneliti dengan guru mata pelajaran di kelas itu dan

tanya-jawab dengan siswa di luar kelas.


156

Ketika diminta untuk membentuk kelompok, siswa meminta agar

formasi diubah, karena formasi kelompok pada siklus I kerja sama siswa

kurang baik. Pada siklus II ini formasi kelompok peneliti ubah. Pembentukan

kelompok pada siklus II ini dilakukan dengan cara menentukan 10 siswa yang

peneliti anggap memiliki keterampilan berbicara yang baik pada siklus I untuk

menjadi ketua kelompok dan menentukan sendiri anggota kelompoknya.

Dengan cara ini komposisi setiap anggota lebih merata sehingga tidak ada

siswa yang lebih bergantung pada temannya yang lain. Hal ini juga

berpengaruh pada kerja sama siswa antara siswa dengan anggota kelompoknya

yang lain. Pada siklus II ini kerja sama siswa dalam kelompok sangat baik.

Mereka saling bertukar pikiran, memberikan ide/ gagasan masing-masing

dalam kerja kelompok itu dan tidak bergantung pada salah satu anggota

kelompok saja. Kerja sama siswa yang sangat baik dalam kelompok ini dapat

diketahui dari jurnal siswa, wawancara, dan sosiometri.

Terkait dengan model yang diberikan, siswa menanggapinya dengan

sangat baik. Hal itu dapat dilihat pada jurnal yang diisi siswa. Sebagian besar

siswa mengemukakan bahwa adanya model dalam pembelajaran dapat

memberikan gambaran atau contoh bagi siswa untuk dapat melaksanakan

diskusi atau untuk dapat berbicara dengan baik dalam diskusi. Model yang

diberikan adalah model audio visual, sehingga gambaran yang diperoleh

siswa lebih lengkap dan jelas. Model diskusi yang peneliti berikan pada siklus

II lebih terstruktur dan dalam suasana formal, sehingga lebih memberikan

gambaran kepada siswa untuk dapat melaksanakan diskusi dan berbicara


157

dengan baik dalam diskusi. Siswa mengemukakan bahwa model yang kedua

ini lebih dapat membantunya untuk dapat melaksanakan diskusi dan berbicara

dengan baik dalam diskusi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari jurnal dan

wawancara.

Dalam hal materi/ masalah diskusi, peneliti tidak mengubah topik

materi/ masalah yang akan didiskusikan. Hal ini disebabkan siswa senang

dekat dengan materi/ masalah yang peneliti berikan. Materi/ masalah tersebut

adalah materi/ masalah seputar dunia siswa yang dekat dengan kehidupan

mereka di sekolah. Hal ini diketahui dari hasil jurnal siswa dan wawancara,

baik pada siklus I maupun siklus II. Menurut siswa, materi/ masalah yang

cocok didiskusikan di dalam kelas adalah masalah-masalah seputar dunia

siswa yang dekat dengan kehidupan mereka di sekolah, seperti yang peneliti

berikan.

Selanjutnya, dari jurnal, wawancara, dan rekaman video diketahui

bahwa keterampilan berbicara siswa pada siklus II ini lebih baik daripada

siklus sebelumnya. Siswa sudah tidak lagi merasa kurang percaya diri, gugup

atau grogi ketika berbicara di depan kelas, sehingga hasil tes keterampilan

berbicara siswa pada siklus II meningkat. Hal ini tidak lepas dari tindakan-

tindakan yang peneliti lakukan, antara lain pengubahan formasi kelompok

agar merata komposisi anggotanya, penggantian model diskusi dengan model

diskusi dalam suasana formal, dan motivasi kepada siswa agar menghilangkan

perasaan-perasaan itu agar pada diskusi berikutnya siswa lebih lancar dalam

berbicara. Hasilnya, keterampilan berbicara siswa meningkat sebesar 7,8%


158

dari 73,4% pada siklus I menjadi 81,2% pada siklus II, dan siswa menunjukan

perubahan perilaku ke arah perilaku positif selama mengikuti proses

pembelajaran, sehingga suasana pembelajaran lebih kondusif.

Berdasarkan serangkaian analisis instrumen penjaring data, diperoleh

hasil bahwa ada kesinambungan antara data yang satu dengan data yang lain,

baik data tes maupun nontes, untuk mengetahui peningkatan keterampilan

berbicara siswa dan efektivitas penggunaan pendekatan kontekstual fokus

pemodelan. Berdasarkan hasil analisis tersebut diketahui bahwa keterampilan

berbicara siswa meningkat sebesar 7,8% dari 73,4% pada siklus I menjadi

81,2% pada siklus II, dan pendekatan kontekstual fokus pemodelan efektif

digunakan dalam pembelajaran dengan memberikan materi seputar dunia

siswa yang dekat dengan kehidupan mereka di sekolah serta adanya model

dalam pembelajaran yang bisa ditiru siswa.

Sama halnya dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh

para peneliti lain, penelitian tindakan kelas yang peneliti lakukan ini mampu

menunjukkan peningkatan nilai rata-rata yang diperoleh siswa. Oleh karena

itu, penelitian ini dianggap berhasil dan tidak diulang pada siklus berikutnya.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian, dan pembahasan

dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:

1. Keterampilan berbicara siswa kelas X-4 SMA Negeri I Jepara Tahun

Pelajaran 2004/2005 meningkat setelah mengikuti pembelajaran dengan

menggunakan pendekatan kontekstual fokus pemodelan. Peningkatan itu

terlihat dari perubahan nilai rata-rata dari siklus I ke siklus II sebesar

7,8%. Pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh siswa sebesar 73,4%,

sedangkan pada siklus II, hasil yang dicapai sebesar 81,2%. Peningkatan

nilai tes keterampilan berbicara ini meliputi seluruh aspek keterampilan

berbicara yang dijadikan kriteria penilaian. Aspek-aspek tersebut adalah 1)

ketepatan ucapan, 2) penempatan tekanan, 3) penempatan jeda, 4) intonasi,

5) pilihan kata, 6) pemakaian kalimat, 7) sikap, gerak-gerik dan mimik

yang wajar, 8) volume suara, 9) pandangan mata, 10) penguasaan topik,

dan 11) kelancaran. Aspek ketepatan ucapan meningkat sebesar 6,0%.

Aspek penempatan tekanan meningkat sebesar 5,5%. Aspek penempatan

jeda meningkat sebesar 8,7%. Aspek intonasi meningkat sebesar 7,1%.

Aspek pilihan kata meningkat sebesar 9,1%. Aspek pemakaian kalimat

meningkat sebesar 10%. Selanjutnya, sspek sikap, gerak-gerik dan mimik

yang wajar meningkat sebesar 8,7%. Aspek volume suara meningkat

159
160

sebesar 5,9%. Aspek pandangan mata meningkat sebesar 5,6%. Aspek

penguasaan topik meningkat sebesar 9,7%, dan aspek kelancaran

meningkat sebesar 9,5%. Dari sebelas aspek keterampilan berbicara

tersebut, yang mengalami peningkatan tertinggi adalah aspek pemakaian

kalimat sebesar 10%, sedangkan aspek yang terrendah peningkatannya

adalah aspek penempatan tekanan sebesar 5,5%.

2. Siswa mengalami perubahan perilaku dalam pembelajaran ke arah positif.

Perilaku tersebut yaitu siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran pada

siklus II, saling bekerja sama dalam kelompok, tidak merasa gugup

ataupun kurang percaya diri ketika berbicara di depan umum dalam forum

resmi.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dan simpulan di atas, peneliti memiliki saran

sebagai berikut:

1. Para guru Bahasa dan Sastra Indonesia hendaknya kreatif dalam

menentukan pendekatan dalam pembelajaran keterampilan berbicara siswa

agar siswa tidak merasa jenuh mengikuti pembelajaran;

2. Pendekatan kontekstual fokus pemodelan terbukti mampu meningkatkan

keterampilan berbicara siswa melalui diskusi. Oleh karena itu, para guru

Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menggunakan teknik diskusi dengan

pendekatan kontekstual fokus pemodelan untuk membelajarkan

keterampilan berbicara;
161

3. Para guru bidang studi lain dapat mengadaptasi teknik pembelajaran ini

dalam membelajarkan mata pelajaran kepada siswa; dan

4. Para pakar atau praktisi bidang pendidikan bahasa dapat melakukan

penelitian sejenis dengan teknik pembelajaran yang berbeda, sehingga

didapatkan berbagai alternatif teknik pembelajaran keterampilan berbicara

siswa.
162

DAFTAR PUSTAKA

Arsjad, Maidar G dan Mukti US. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara


Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).


Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa


dan Sastra Indonesia SMA dan MA. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional

Depdiknas. 2004. Bahan Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru SMP:


Pengembangan Keterampilan Berbicara. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional

Hartono, Bambang. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran


Bahasa dan Sastra Indonesia. Makalah: Disajikan dalam Workshop
Implementasi Life Skill dan Budi Pekerti dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Tim
Pengembang Kurikulum Bahasa Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang,
Semarang, 4 s.d. 11 Agustus 2003.

Hidayah, Nur. 2002. Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Teknik Reka


Cerita Gambar pada Siswa Kelas I C MA Al-Asror Patemon Gunungpati,
Semarang. Skripsi: Universitas Negeri Semarang

Keraf, Gorys. 1997. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende:


Nusa Indah

Larasati. 2004. Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Teknik Debat pada


Siswa Kelas III PS 4 SMKN 8 Semarang Tahun Ajaran 2003/2004.
Skripsi: Universitas Negeri Semarang

Mafrukhi. 2003. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi mata Pelajaran


Bahasa Indonesia di Jawa Tengah. Makalah Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah: Disajikan dalam Seminar Regional
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Semarang, Semarang, 5 Mei 2003

Paiman. 2001. Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Teknik Simulasi


pada Siswa Kelas II SLTPN 2 Subah, Batang. Skripsi: Universitas Negeri
Semarang
163

Riastuti, Rini. 2003. Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Media Audio


pada Siswa Kelas V SDN Yamansari 03 Kabupaten Tegal. Skripsi:
Universitas Negeri Semarang

Sumarwati. 1999. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Melalui Teknik


Bermain Peran di SLTPN 8 Pati. Skripsi: Universitas Negeri Semarang

Sutopo. 2000. Upaya Peningkatan Keberanian Berbicara dalam Pembelajaran


Menanggapi Isi Berita Melalui Pemberian Penguatan dan Penggunaan
Media Audio pada Siswa Kelas III SLTPN 1 Wedung Kabupaten Demak
Tahun Ajaran 2000/2001. Skripsi: Universitas Negeri Semarang

Syafi’ie, Imam. 1993. Terampil Berbahasa Indonesia I. Petunjuk Guru Bahasa


Indonesia SMU Kelas 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Tarigan, Djago, dkk. 2003. Pendidikan Keterampilan Berbahasa. Jakarta: Pusat


Penerbitan Universitas Terbuka

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Berbicara: Sebagai Suatu Keterampilan


Berbahasa. Cet. Ke-10. Bandung: Angkasa

Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action
Research). Jakarta: Depdikbud. Dirjen Dikti P2GSM

Tim Pengembang Kurikulum Bahasa Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra


Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. 2003.
Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Kontekstual.
Makalah: Disajikan dalam Workshop Implementasi Life Skill dan Budi
Pekerti dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Berdasarkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Tim Pengembang Kurikulum Bahasa Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Semarang, Semarang, 4 s.d. 11 Agustus 2003.

Yuniawan, Tommi. 2003. Paparan Perkuliahan Berbicara I/ Retorika. Fakultas


Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Zulaeha, Ida. 2003. Strategi Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Mata


Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Makalah: Disajikan dalam
Seminar Regional Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang, Semarang, 5 Mei 2003

You might also like