You are on page 1of 131

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan kesidang panitia ujian

skripsi pada:

Hari:

Tanggal:

Pembimbing I Pembimbing II

Dras. C. Santi M. Utami, M.Hum Drs. R. Soeharso, M.Pd

NIP.13111876210 NIP.131691527

Mengetahui:

Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M.Hum

NIP. 131764053

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu

Sosial Universitas Negeri Semarang pada:

Hari : Senin

Tanggal : 30 Januari 2006

Penguji Skripsi

Drs. Ba’in, M.Hum

NIP. 131876207

Anggota I Anggota II

Dra. C. Santi M. Utami, M.Hum Drs. R. Soeharso, M.Pd

NIP.13111876210 NIP.131691527

Mengetahui:

Dekan

Drs. Sunardi, M.M

NIP. 130367998

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian

atau seluruhnya. Pendapat/ temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip/ dirujuk berdasar kode etik ilmiah.

Semarang, Desember 2005

Agus purwati

Nim.3101401022

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

(1) Cobaan tidak hanya kesusahan saja tetapi juga kesenangan, Jangan pernah menyerah

sebelum berjuang, selama masih ada semangat dan nafas

(Penulis).

(2) Janganlah kamu merasa lemah dan jangan susah karena kamu pasti menang asal

kamu sumgguh-sumggud dan mukmin

(QS.Al-imron: 139)

Karya kecil ini kupersembahkan untuk:


1). Bapak dan Ibu terkasih.
2). Kakakku (Mba Gati+suami, Mas Rohman+istri, Mas Pujo, Mba Nelly,
Mas Wono, Mba EnY)
3). Sahabatku (Masandi)
4). Asmi, Dewi, Hera, Herna, Viki, Endang, Mas Eko, Makfud dan semua
Sahabat angkatan 2001,
5). Sahabaku Edel weys (Eka, Mba iko, Mba Urip, Mia dan ade-ade)
6). Almamaterku.

v
SARI

Agus Purwati. 2005. Gerakan Nelayan Cilacap Di Tengah Kebijakan Ekonomi


Kemaritiman Orde Baru (Sebuah Tinjauan Historis Kasus Nelayan Cilacap
Tahun 1978-1998). Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang.

Kata Kunci: Nelayan, Revolusi Biru, Kebijakan Kemaritiman, Orde Baru.


Nelayan merupakan satu komunitas yang selama ini terabaikan, karena peleburan
perikanan dalam departemen pertanian. Keadaan ini semakin diperparah dengan
dengan adanya kebijakan Blue Revolution yang bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat nelayan namun hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang
menguasai teknologi penangkapan. Akibatnya timbullah ketegangan akibat
adanya kesenjangan sosial, nelayan semakin terhimpit oleh kemiskinan.
Permasalahan semakin kompleks dengan adanya toleran oleh aparat sipil/ militer
kepada para pelanggaran hukum, berupa beroperasinya kapal-kapal trawl di
perairan Cilacap yang jelas-jelas dilarang pemerintah. Berdasar pemikiran di atas
disusun skripsi berjudul: “ Gerakan Nelayan DiTengah Kebijakan Ekonomi
Kemaritiman Orde Baru (Sebuah Tinjauan Historis Kasus Nelayan Cilacap tahun
1978-1998)”.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana
kebijakan ekonomi kemaritiman Orde baru dalam bidang perikanan, bagaimana
sejarah dan dinamika gerakan nelayan Cilacap di tengah kebijakan ekonomi
kemaritiman Orde baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan
kabijakan-kebijakan ekonomi kemaritiman Orde baru dan mendiskripsikan sejarah
dan dinamika perjuangan nelayan Cilacap dan pengaruhnya.
Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Cilacap dengan batasan waktu
antara tahun 1978-1998. Metode yang digunakan adalah metode sejarah
(Historical methode) dimana penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1). Heuristik, 2). Melakukan kritik sumber, 3). Melakukan interpretasi dan 4).
Penulis melakukan penyajian dalam bentuk karya sejarah yang disusun secara
kronologis dan tematis (Histiriografi).
Dari penelitian ini diperoleh hasil sebagai berikut kebijakan masa Orde
baru berupa Restruktusrisasi organisasi kemaritiman, modernisasi perikanan dan
undang-undang perikanan. Kebijakan modernisasi memberi pengaruh yang besar
terhadap kehidupan nelayan berupa ketegangan-ketegangan antara penguasa
teknologi modern dengan tradisional dengan latar belakang kesenjangan sosial.
Gerakan nelayan Cilacap diawali kedatangan nelayan Cina bagan yang kemudian
mendominasi sektor perikanan di Cilacap. Perlawanan dilakukan tahun 1978-1980
menuntut penghapusan trawl, tahun 1982 menuntut penyelesaian alat modifikasi
menyerupai trawl dan tahun 1998 menuntut pelebaran pintu sudetan dan
penyelesaian masalah yang belum tuntas.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan Orde baru
berupa modernisasi perikanan/ Blue Revolution telah memberi dampak besar
dalam masayarakat nelayan berupa ketegangan-ketegangan yang dilatar belakangi
kesenjangan sosial, nelayan tradisional merasa tidak adil akibat berkurangnya

vi
hasil tangkapan. Gerakan nelayan Cilacap tahun 1978-1998 adalah merupakan
bentuk reaksi atas berbagai kebijakan dengan berbagai permasalahan nelayan
yang kompleks yang diakibatkan oleh peran organisasi nelayan dan pemerintah
yang kurang menjalankan perannya sebagaimana mestinya.

vii
PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat alloh

SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Gerakan Nelayan Cilacap

DiTengah Kebijakan Ekonomi Kemaritiam Orde Baru (Sebuah Tinjauan Historis

Kasus Nelayan Cilacap tahun 1978-1998)”. Sebagai salah satu syarat guna

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Sejarah, Program SI

Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang kami hormati:

1. Dr. H. Ari Tri Soegito, SH. MM., selaku Rektor Universitas Negeri

Semarang .

2. Drs. Sunardi, MM., selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial

3. Drs. Jayusman, M.Hum., selaku ketua jurusan sejarah Fakultas Ilmu Sosial

4. Dra. C. Santi M. Utami , M.Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi.

5. Drs. R. Soeharso, M.Pd., selaku selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi.

6. Drs. Ba’in, M.Hum, selaku dosen penguji yang telah menguji dan

membimbing penulis dalam penyusunan skripsi.

viii
7. Kepala PPNC Cilacap yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi

ini dalam memperoleh informasi dan literature skripsi ini.

8. Kepala HNSI cabang Cilacap yang telah membantu kelancaran penulisan

skripsi ini dalam memperoleh informasi dan literature skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penulisan

skripsi ini yang, tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi penulisan khususnya dan pembaca pada umumnya.

Semarang, 4 Desember 2005

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................... iii

PERNYATAAN..................................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN........................................................ v

SARI ....................................................................................................... vi

PRAKATA ............................................................................................. viii

DAFTAR ISI.......................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR............................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Permasalahan ............................................................................ 6

C. Tujuan ....................................................................................... 6

D. Manfaat ..................................................................................... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian........................................................ 7

F. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 8

G. Metode Penelitian ..................................................................... 13

H. Sistematika Skripsi ................................................................... 19

x
BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN CILACAP

A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian……………………………………...20

B. Keadaan Alam………………………………………………………..24

C. Riwayat Singkat……………………………………………………...27

D. Kondisi Sosial Ekonomi...……………………………………………29

E. Kondisi Sosial Budaya……………………………………………….32

F. Lokasi Khusus Daerah Penelitian……………………………………33

BAB III SEJARAH KEBIJAKAN EKONOMI KEMARITIMAN DI

INDONESIA

A. Masa Hindia-Belanda sampai Orde Lama…………………………...34

1. Masa Hindia-Belanda……………………………………………...34

2. Masa Kemerdekaan………………………………………………..38

3. Masa Orde Lama…………………………………………………..42

B. Masa Orde Baru

1. Reorganisasi Lembaga Kelautan………………………………….44

2. Modernisasi Perikanan/ Blue Revolution…………………………46

3. Undang-undang Perikanan………………………………………..54

4. Jalur-jalur Penangkapan Ikan……………………………………..57

BAB IV DINAMIKA GERAKAN NELAYAN CILACAP TAHUN 1978-1998

A. Karakteristik Masyarakat Nelayan Cilacap…………………………..63

B. Permasalahan dan Awal Terjadinya Konflik Nelayan……………….65

xi
C. Gerakan Nelayan Cilacap Tahun 1978-1998………………………...80

1. Perjuangan Nelayan Cilacap Tahun 1978-1980………………….81

2. Perjuangan Nelayan Cilacap Tahun 1982………………………..84

3. Perjuangan Nelayan Cilacap Tahun 1998………………………..86

4. Model Perjuangan Nelayan Cilacap Tahun 1978-1998………….92

D. Pengaruh Gerakan Nelayan Cilacap………………………………….95

BAB V PENUTUP……………………………………………………………...100

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..106

LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………………...107

xii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1: Peta Kabupaten Cilacap……………………………………...1

2. Lampiran 2: Garis Besar Instrumen Pertanyaan Penelitian……………….2

3. Lampiran 3: Biodata informan…………………………………………….3

4. Lampiran 4: Daftar Anggota Nelayan Cilacap…………………………….4

5. Lampiran 5: Bernas Tahun 1998 dan 2004………………………………..5

6. Lampiran 6: Surat ijin penelitian…………………………………………35

xiii
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1: Balai Pertemuan PPSC...................................................... 25


2. Gambar 2: PPSC ................................................................................. 25
3. Gambar 3: HNSI Cilacap .................................................................... 26
4. Gambar 4: Kanal Sidakaya ................................................................ 26
5. Gambar 5: Hulu Sidakaya ................................................................... 27
6. Gambar 6: Dermaga PPSC.................................................................. 27
7. Gambar 7: Bapak Munirin .................................................................. 28
8. Gambar 8: Bapak Soeroso.................................................................. 29
9. Gambar 9: Bapak Tori......................................................................... 30
10. Gambar 10: Kapal Pukat Cincin ....................................................... 31
11. Gambar 11: Jaring Trawl .................................................................. 31
12. Gambar 12: Jaring Pukat Udang ....................................................... 32

xiv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gerakan nelayan merupakan tindakan kolektif untuk melakukan reaksi

terhadap adanya berbagai permasalahan nelayan yang diakibatkan oleh

berbagai sebab berhubungan dengan adanya perubahan dalam masyarakat

nelayan. Kebijakan Kemaritiman telah dicanangkan sejak 13 Desember 1957

melalui Deklarasi Djuanda, secara politik mengklaim wilayah Indonesia

adalah 12 mil yang diukur dari garis yang menghubungkan titik terluar pada

pulau-pulau negara kesatuan Republik Indonesia (Kusumastanto, 2003:8).

Selama periode 1967-1969 pemerintah Presiden Soeharto berusaha

meletakkan landasan yang kokoh bagi pelaksanaan pembangunan jangka

panjang dengan merumuskan strategi pembangunan nasional dengan menitik

beratkan usaha mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Strategi ini dijabarkan dalam Trilogi Pembangunan yaitu pertumbuhan

ekonomi yang tinggi, Stabilitas keamanan yang nasional dan Pemerataan

hasil-hasil pembangunan. Untuk mendukung hal itu pemerintah melakukan

restrukturisasi organisasi-organisasi pemerintah. Dirjen Pengelolaan Kekayaan

Laut dilebur kedalam Direktorat Jenderal Perikanan di bawah naungan

Departemen Pertanian (Kusumastanto, 2003:28).

Dileburnya bidang kelautan dalam Departemen Pertanian maka segala

kebijakan lebih dominan ke darat, sehingga bidang kelautan terkesan

diabaikan. Hal ini berakibat serius terhadap timbulnya berbagai masalah


2

ekologis kelautan dan kerawanan sosial ekonomi pada komunitas di kawasan

pesisir. Gerakan nelayan merupakan suatu reaksi atas suatu aksi yang

dilakukan sebagai respons terhadap ketidak-seimbangan, ketidak-adilan dan

ketidak-merataan dari pemberian suatu kebijakan (Wahono dkk, 2003:166).

Gerakan perlawanan nelayan disebabkan oleh beberapa hal antara lain

konflik sosial antar nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan,

melembaga dan pemerintah tidak dapat menyelesaikan secara tuntas.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah meski bermaksud

menengahi tetapi dalam kenyataannya hanya untuk satu pihak saja.

Pada tahun 1970 pemerintah Orde baru mengeluarkan kebijakan

Revolusi Biru (Blue Revolution), bertujuan peningkatan produktifitas hasil

laut dan kesejahteraan nelayan. Beberapa bentuk teknologi diterapkan guna

mendukung kebijakan ini, antara lain Jaring Trawl, Jaring Pukat, Pukat

Lingkar dan Pukat Harimau. Penggunaan alat ini dikukuhkan dalam Surat

Keputusan Menteri Pertanian No. 607/kpts/um/1976 tentang jalur-jalur

penangkapan dan penggunaan alat penangkapan (Tribowono dkk, 2002:55).

Penerapan kebijakan ini memberi hasil yang besar namun disatu sisi

menimbulkan perselisihan antara nelayan tradisional dan pengguna Trawl

yang didominasi oleh kaum pendatang, karena nelayan tradisional tidak dapat

penghasilan akibat sumber daya ikan yang rusak karena penggunaan trawl

(Wahono dkk, 2003:69). Untuk mengatasi hal ini pemerintah mengeluarkan

Keppres No. 39/1980 yang berisi tentang pelarangan penggunaan Trawl, Bom

dan alat sejenisnya yang merusak ekologi kelautan. Dasar pertimbangan dari
3

keputusan ini adalah pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar,

mendorong peningkatan produksi nelayan tradisional dan menghindari

ketegangan sosial (Tribawono, 2002:69).

Pasca penghapusan Trawl muncul berbagai inovasi teknologi yang

berkembang dikalangan masyarakat nelayan. Guna menghindari adanya

teknologi yang kurang ramah lingkungan pemerintah mengeluarkan

Keputusan Menteri No. 503/kpts/um/7/1980 tentang klasifikasi teknologi

penangkapan yang diperbolehkan untuk digunakan. Namun hal ini juga

menimbulkan perselisihan, muncul kecemburuan/ kesenjangan ketika terdesak

oleh wilayah penangkapan yang semakin sempit dan persaingan ditentukan

oleh teknologi (Kusnadi dalam Wahono dkk, 2003:168).

Modernisasi perikanan yang telah berlangsung selama dua dasawarsa

(tahun 1970-1998) telah berakibat perubahan-perubahan mendasar dalam

kehidupan masyarakat nelayan. Proses perubahan sosial ekonomi tersebut

tidak semua lapisan masyarakat nelayan dapat memanfaatkannya dengan

sebaik-baiknya untuk meningkatan kesejahteraan kehidupan.

Kelompok-kelompok masyarakat nelayan yang tidak mempunyai akses

kepusat-pusat kekuasaan dan modal terpaksa harus menerima kenyataan

terhadap berlangsungnya marjinalisasi sosial ekonomi terhadap keberadaanya.

Akibat dari proses ini adalah kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi

yang harus dijalani oleh masyarakat nelayan (Kusnadi dalam Wahono,

2003:168). Pengujian oleh para ahli tentang penerapan teknologi penangkapan

ikan menyimpulkan adanya penguasaan akses-akses teknologi penangkapan


4

yang cukup besar oleh satu kelompok dalam masyarakat nelayan dalam

bentuk kepemilikan, modal dan usaha dalam bidang tersebut.

Cilacap merupakan daerah pesisir di selatan, sektor kelautan

mempunyai peran yang cukup besar. Berbagai industri pertambangan

dibangun di laut seperti penambangan Pertamina dan Biji besi. Pada masa

Hindia Belanda Cilacap merupakan wilayah yang digunakan sebagai

pangkalan militer dalam menghadapi segala ancaman yang berasal dari luar.

Dibuktikan dengan adanya sisa peninggalan berupa benteng yang terpendam

(benteng pendem).

Pada masa Hindia-Belanda muncul adanya gerakan yang dilakukan

oleh nelayan dalam menghadapi penjajahan Belanda yang bertujuan mengusir

dari tanah Cilacap. Dimasa kemerdekaan daerah ini mengalami berbagai

kebijakan yang berbeda, dengan adanya undang-undang kelautan selama ini

kehidupan nelayan Cilacap tidak mengalami perubahan kemajuan, masyarakat

nelayan masih tetap dalam kemiskinan dan kesenjangan antara pemilik modal

dan nelayan tradisional.

Gerakan sosial nelayan Cilacap pada masa orde baru merupakan salah

satu persoalan yang menyangkut perjuangan nelayan-nelayan tradisional

dalam memperhatikan hak-haknya atas sumber daya perikanan untuk menjaga

kelangsungan hidup. Gerakan nelayan Cilacap mempunyai sejarah yang cukup

panjang yang dilakukan melalui protes, yaitu: Protes I; tahun 1978-1980

dengan tuntutan penghapusan jaring trawl, Protes kedua tahun 1982 dengan

tuntutan penyelesaian modifikasi alat trawl; Protes ketiga tahun 1998 tentang
5

penyelesaian masalah-masalah yang telah melembaga, aparat keamanan turut

serta berperan memicu protes ini serta peran pemerintah yang kurang

memperhatikan kelompok nelayan dalam pengambilan kebijakan.

Dalam Bernas 1998 mengungkapkan beberapa penyebab protes tahun

1998 adalah dilanggarnya pelarangan melaut pada hari jumat kliwon

(disakralkan), kesenjangan ekonomi antar nelayan tradisional dan pendatang

serta dominasi alat penangkapan oleh Etnis Tionghoa (Wahono, 2003:172).

Gerakan sosial nelayan sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam

realitas masyarakat kita. Berbeda dengan gerakan sosial petani yang sering

dibicarakan dan menjadi bahan kajian yang cukup mendalam gerakan nelayan

jarang dikupas dan dikaji. Kajian nelayan lebih mengarah pada kehidupan

ekonomi nelayan yang selalu tertinggal/ kemiskinan tanpa adanya suatu reaksi

yang berhubungan dengan politik/ kebijakan pemerintah.

Berbagai permasalahan yang lahir dalam masyarakat tidak terlepas dari

perencanaan pembangunan oleh negara. Kebijakan yang tidak memperhatikan

kondisi masyarakat dan cenderung untuk memihak suatu kelompok

masyarakat sering kali mendapat tanggapan dari masyarakat melalui cara-cara

yang berlaku dan dapat diangggap menyelesaikan masalah.

Disadari bahwa kehidupan nelayan yang tertingggal merupakan akibat

adanya kebijakan yang kurang sesuai dengan mesyarakat nelayan. Kondisi

ekologi nelayan yang selalu terganggu oleh adanya faktor-faktor dari dalam

dan luar telah mengakibatkan berbagai permasalahan nelayan berupa


6

ketegangan-ketegangan yang tidak terselesaikan secara tuntas oleh pemerintah

daerah sehingga pada akhirnya nelayan melakukan gerakan.

Berdasar latar belakang diatas penelitian ini berjudul: “Gerakan

Nelayan Cilacap Di Tengah Kebijakan Ekonomi Kemaritiman Orde Baru

(Tinjauan Historis Kasus Masyarakat Nelayan Cilacap 1978-1998)”.

B. Permasalahan

Penelitian ini mengkaji permasalahan:

1. Bagaimana kebijakan ekonomi masa Orde baru dalam bidang

kemaritiman?

2. Bagaimana sejarah dan dinamika perlawanan nelayan Cilacap di tengah

kebijakan ekonomi kemaritiman Orde baru 1978-1998?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskrispsikan kebijakan-kebijakan ekonomi kemaritiman Orde Baru.

2. Mendeskripsikan sejarah dan dinamika perlawanan nelayan Cilacap di

tengah kebijakan ekonomi Orde Baru 1978-1998.

D. Manfaat

Manfaat dari penelitin ini adalah:

1. Memberi wawasan pengetahuan terhadap pencinta/mahasiswa sejarah

tentang gerakan sosial nelayan.


7

2. Memberi wawasan pengetahuan tentang masyarakat nelayan dimasa Orde

Baru.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian meliputi lingkup spatial dan temporal:

1. Lingkup Spatial merupakan lingkup daerah/ wilayah. Lingkup Spatial

dalam penelitian ini adalah Kecamatan Cilacap Selatan, merupakan

wilayah dimana penduduk adalah nelayan baik tradisional maupun

pendatang.

2. Lingkup Temporal merupakan lingkup waktu. Lingkup temporal dari

penelitian ini adalah tahun 1978-1998, masa ini terjadi berbagai gejolak

baik kecil/ besar, dimulai dari adanya protes yang terjadi pada tahun 1970

tentang ketidak-puasan dalam pembagian wilayah penangkapan dan

besarnya gaji yang diterima oleh para ABK, hingga protes yang terjadi

1978, 1980, 1982 dan pemberontakan 1998.

3. Lingkup Tematikal merupakan lingkup dalam membatasi tema, tema dari

penelitian ini adalah Gerakan nelayan di tengah kebijakan Orde Baru.

Nelayan adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang berhak untuk

mendapatkan kesejahteraan melalui berbagi kebijakan. Namun selama ini

tidak mendapatkan yang semestinya, kenyataan masyarakat nelayan

adalah masyarakat yang miskin hal ini merupakan suatu keironisan dari

negara Indonesia sebagai negara kepulauan.


8

F. Tinjauan Pustaka

Dalam Wahono (2003),”Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-

kasus Gerakan Sosial di Indonesia”, salah satu tema pembahasanya adalah

Perlawanan Nelayan Cilacap tahun 1998. Perlawanan ini dilatar belakangi

oleh adanya dominasi nelayan Bagan siapi-api etnis tionghoa dalam segala

bidang usaha perikanan di Cilacap berupa penangkapan dan penyediaan

faktor produksi seperti jaring dan peralatan lain sejak tahun 1982.

Beberapa yang menjadi katalisator dalam perlawanan nelayan yang berupa

protes yaitu: pertama kurangnya akses terhadap teknologi, kedua gagalnya

organisasi dalam memperjuangkan kepentingan nelayan dan ketiga tidak

dilaksanakannya aturan main.

Nelayan Cilacap mempunyai sejarah yang panjang dalam

melakukan perlawanan, perlawanan pertama tahun 1987-1980 dengan

tuntutan penghapusan trawl, perlawanan kedua tahun 1982 dengan

tuntutan penyelesaian alat modifikasi semacam alat trawl antara nelayan

tradisional dan pendatang dan perlawanan ketiga tahun 1998 yang

merupakan puncak dengan tuntutan memperjuangkan pintu sudetan dan

penyelesaian masalah yang telah lama memanas/ tidak terselesaikan secara

tuntas.

Perlawanan nelayan Cilacap mempunyai beberapa aspek yang

tidak dapat dilihat sebagai perlawanan biasa yang menyangkut suatu

permasalahan tetapi terkait dengan sosial, budaya, ekonomi dan keadilan

yang selama ini kurang diperhatikan. Perlawanan pertama, nelayan ingin


9

memperoleh keadilan dalam mengangkap ikan yang hampir semua

dikuasai oleh kapal-kapal trawl/ pukat harimau. Pada perlawanan kedua

masalah keadilan masih mewarnai yaitu adanya alat modifikasi semacam

trawl. Pada perlawanan ketiga masalah keadilan dan masalah yang terkait

dengan kelemahan lembaga pemerintah. Tuntutan adanya pintu sudetan

hanya merupakan salah satu pemicu dalam perlawanan ketiga.

Dalam Kusnadi (2003),”Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan

Perebutan Sumber Daya Perikanan”, kasus nelayan Cilacap merupakan

kasus yang menyangkut perjuangan nelayan tradisional dalam

mempertahankan hak-haknya atas sumber daya perikanan untuk menjaga

kelangsungan hidupnya. Tanggal 28 Agustus 1998 nelayan melakukan

protes ke Pelabuhan Perikanan Nelayan Cilacap (PPNC) dan Pemerintah

daerah dengan tuntutan pelebaran pintu dermaga pelabuhan/ pintu sudetan

dan pelarangan beroperasinya kapal ekstrawl. Protes ini mengarah pada

tindakan anarkis berupa pembakaran kapal ekstrawl serta fasilitas

pelabuhan yang kemudian menjalar menjadi suatu kerusuhan.

Kasus nelayan Cilacap mencerminkan resistensi masyarakat

nelayan terhadap simbol-simbol kekuatan negara selama ini dinilai gagal

dalam mengatasi persoalan mereka. Terdapat indikasi bahwa tidak

dilarangnya pengoperasian peralatan tangkap trawl karena memperoleh

perlindungan dari oknum-oknum aparat keamanan setempat, hal ini sering

terjadi diberbagai daerah.


10

Secara umum keadaan sumber daya laut (condition of resaurce)

disuatu kawasan dipengarui oleh enam faktor utama yaitu: Pranata-pranata

pengelolaan sumber daya lokal, konteks sosial budaya, kebijakan negara,

variabel-variabel teknologis, tingkat tekanan pasar dan tekanan penduduk.

Keenam faktor tersebut dapat mempengarui secara langsung terhadap

keadaan sumber daya yang mengarah pada suatu konflik.

Dalam Nasution, (2005)”Isu-isu Kelautan, Dari Kemiskinan

Hingga Bajak Laut”, memaparkan kondisi riil kehidupan maritim/kelautan

dari berbagai aspek. Revolusi Biru yang dikembangkan pemerintah

melalui Program bantuan berupa paket kredit, awalnya memberi harapan

perbaikan produktifitas nelayan. Keppres no. 39/1980 meski berpihak

terhadap nelayan tradisional namun karena ringkihnya birokrasi akibat

penyimpangan ditingkat operasinal membuat lemahnya kohesi sosial di

pedesaan pantai dengan pengelompokan nelayan yang pro dan kontra.

Implikasi transformasi teknologi menetaskan polarisasi ekonomi nelayan

dengan nelayan non-pemilik dan pemilik alat produksi sehingga perilaku

irasional nelayan karena ketergantungan dalam ikatan patron-klien.

Kompetisi antar nelayan peng-eksploitasi sumber daya kelautan di

perairan telah bergeser menjadi konflik bertikai. Bermula dari menurunnya

ikan hasil tangkapan akibat trawl yang kemudian menimbulkan kohesi

sosial internal antar nelayan, berkembang menjadi konflik terbuka yang

menimbulkan korban jiwa. Terdapat tiga ciri kebijakan pengelolaan

sumber daya laut pada masa Orde Baru yaitu: 1. Sentralistik, 2.


11

Didasarkan pada Doktrin Common Property dan 3. Mengabaikan

Pluralisme hukum, sentralisme kebijakan mencakup substansi dan

produksi.

Substansi kebijakan yang sentralistik tercermin pada kewenangan

pengolahan sumber daya ikan, proses perizinan/ pejabat yang berwenang

memberikan hampir seluruhnya berada ditangan pusat. Jika ada

pendelegasian adalah kepada Gubenur sebagai wakil pemerintahan pusat

di daerah. Proses produksi hampir semuannya melibatkan pemerintahan

pusat, sehingga kebijakan pengolahan sumber daya laut dikemas dalam

bentuk Undang-undang, Peraturan pemerintah, Keppres dan Peraturan

menteri.

Kebijakan didasarkan pada Doktrin common property diartikan

laut diposisikan sebagai sumber daya milik bersama, siapapun dapat

leluasa melakukan okupasi dan eksploitasi (open acces). Karakteristik ini

terdapat dalam undang-undang perikanan dan kebijakan lainnya. Hal ini

pula yang melatar belakangi munculnya berbagai konflik dalam

menggunakan sumber daya terutama antara nelayan tradisional dan

perusahaan penangkapan ikan/ pendatang.

Terdapat empat akibat buruk dari kebijakan ini yaitu pemborosan

sumber daya secara fisik, in-efensiensi secara ekonomi, kemiskinan

nelayan dan konflik antar pengguna sumber daya laut. Pengabaian

pluralisme hukum berarti menjelma dalam bentuk ketiadaan pengakuan

terhadap sistem pengelolaan sumber daya laut berdasar hukum adat.


12

Sistem ini masih dipakai diberbagai daerah seperti sistem hak wilayah laut

di perairan Maluku dan perikanan Bagan Rompong di Sulawesi Selatan.

Pada derajat tertentu dapat menjadi obyek pemilik tunggal berbeda dengan

Doctrin Common Property.

Dalam Kusumastanto, 2005. “Ocean Policy dalam Membangun

Negeri Bahari”. Ketertinggalan bidang kelautan berupa kemiskinan dan

keterbelakangan serta adanya kesenjangan yang berarah kepada konflik

merupakan akibat dari kebijakan Orde Baru yang lebih berorientasi pada

sektor darat/non-kelautan. Sektor kelautan yng tersubordinasi dengan

pertanian membuat kebijakan kelautan sama dengan pertanian sehingga

dalam pengambilan kebijakan tidak seintensif seperti dalam pertanian,

pengambilan kebijakan sama padahal memilki karakteristik yang berbeda.

Alat tangkap Trawl sebagai salah satu bentuk dari penerapan Blue

Revolution merupakan alat tangkap yang produktif yang tidak selektif dan

mampu menangkap ikan-ikan kecil yang belum berproduksi. Ancaman

potensial yang dilakukan oleh trawl menjadi semakin buruk dengan

adanya praktek-praktek penangkapan perairan dangkal, daerah pembiakan

dan daerah pembesaran berbagai spesies yang memiliki nilai keragaman

hayati. Sehingga sering menimbulkan kerugian dan ancaman bagi nelayan

skala kecil, dimana kalah bersaing dengan kapal trawl.

Nelayan skala kecil bereaksi terhadap ancaman tersebut dengan

melempari kapal-kapal Trawl dengan bom molotof yaitu senjata yang

efektif yang digunakan untuk melawan kapal-kapal kayu. Meski


13

penghapusan trawl berlangsung yaitu dengan adanya Keppres No.

39/1980, pengoperasian trawl masih tetap berlangsung dan terjadi

peningkatan pelanggaran oleh nelayan asing (Tionghoa). Kondisi ini

memperburuk kehidupan nelayan skala kecil, berbagai usaha dilakukan

untuk mengatasi ini namun belum berhasil dengan baik.

Penelitian tentang kelautan sebelumnya telah ada yaitu pengaruh

tempat pelelangan ikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat nelayan Cilacap tahun 1996-2002 oleh Mugi Sudiono (2004).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah/ historis

yaitu suatu proses menguji dan menganalisa secara historis rekaman peristiwa

yang diabadikan dalam bentuk kaset, dokumen dan peninggalan masa lampau

(Goschalk, 1975:32).

Langkah-langkahnya:

1. Heuristik

Adalah usaha untuk mendapatkan dan mengumpulkan sumber-

sumber sejarah. Sumber sejarah adalah sisa/ bukti-bukti yang memberikan

keterangan, informasi tentang aktifitas dan kejadian manusia pada masa

lampau. Tekniknya adalah:

a. Studi Pustaka

Dalam penelitian ini peneliti melakukan studi pustaka terhadap

berbagai buku yang temanya relavan dengan tema penelitian,


14

pemerikasaan terhadap arsip Surat Kabar (Bernas) tahun 1990-1998

dan Arsip Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan, Laporan

Tahunan PPNC serta Laporan HNSI cabang Cilacap yang diperoleh

dari hasil membaca di Perpustakan UNNES, Perpustakaan Wilayah

Semarang dan Perpustakaan Daerah Cilacap, Perpustakaan Dinas

Kelautan dan Perikanan, Perpustakaan PPNC.

Buku-buku yang digunakan yang relevan adalah:

(1) Karya Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan

Perebutan Sumber Daya Perikanan.

(2) Karya Kusumastanto, 2003. Ocean Policy dalam Membangun

Negeri Bahari.

(3) Karya Nasution, 2005. Isu-isu Kelautan dari Kemiskinan hingga

Bajak laut.

(4) Wahono, 2003. Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-kasus

Gerakan Sosial Nelayan di Indonesia.

Selain buku diatas, guna melengkapi data-data primer penulis

melakukan pemerikasaan Surat kabar (Bernas) antara lain: Suara

Merdeka.Edisi 29 Agustus 1998, Pikiran Rakyat.Edisi 31 Agustus

1991, Suara Merdeka.Edisi 1 September1998, Kompas.Edisi 16 Aprlil

2003, Pikiran Rakyat.Edisi 12 Juli 2004.

Surat kabar ini diperoleh dari arsip daerah dan data-data

internet (www.indomedia.com) Sedangkan untuk melengkapinya

penulis mencari sumber skunder yaitu kesaksian dari siapapun yang


15

bukan merupakan saksi pandangan mata yakni seorang yang tidak

hadir pada peristiwa yang dikisahkan (Gottschalk, 1975:35). Tokoh-

tokoh yang dijadikan sumber skunder dalam penelitian ini seluruhnya

adalah warga kota Cilacap yang masih mamiliki hubungan dengan

peristiwa yang terjadi.

b. Wawancara

Dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sumber-sumber

sejarah yang benar-benar dapat dipercaya dan dipertanggung

jawabkan. Informan berusia antara 50 tahun-60 tahun. Wawancara

dilakukan mulai tanggal 17 September- 7 Oktober 2005. Kemudian

dilanjutkan pada tanggal 20 Oktober-30 November 2005.

Informan antara lain: Wakil Ketua PPNC (Rahmat), Ketua

HNSI (Munirin), Sutar (Ketua KUD Mino Saroyo), Rasino (Ketua

Solidaritas Nelayan Cilacap), Sarwono (ketua nelayan Sentolokawat),

Herman (Anggota Nelayan Sidakaya), Suroso (kelompok nelayan

Tegal Katilayu), Tohirin (Nelayan tradisional) dan Atay dan Cembong

(Nelayan Bagan siapi-api etnis tionghoa ).

Berdasar hasil wawancara, nelayan Cilacap adalah masyarakat

yang selalu merasa dirugikan dalam berbagai situasi. Berbagai

kebijakan yang selama ini diciptakan untuk para nelayan ternyata tidak

tepat guna, masyarakat nelayan masih hidup dalam tingkat ekonomi

yang jauh dari sejahtera. Terhadap berbagai kebijakan yang intinya

untuk membangun, nelayan tidak begitu peduli.


16

Protes nelayan adalah salah satu bentuk/cara dalam usaha untuk

menunjukan pada pemerintah tentang keputusasaan mereka dalam

menghadapi berbagai masalah yang terjadi dalam nelayan, adanya

kebijakan yang tidak sesuai/ tepat sasaran. Gerakan nelayan ini dilatar

belakangi oleh adanya kesenjangan sosial akibat penerapan teknologi

yang hanya dinikmati oleh sejumlah kecil masyarakat, permasalahan

semakin kompleks dengan adanya praktek-praktek palanggaran

terhadap hukum yang berlaku oleh aparat sipil/ militer. Ketegangan

dipicu oleh adanya perebutan daerah/wilayah penangkapan,

kesenjangan ekonomi-sosial hingga protes terhadap pintu sudetan.

2. Kritik Sumber

Adalah tahap penilaian/ pengujian terhadap sumber-sumber sejarah

yang telah dikumpulkan dilihat dari sudut kebenarannya. Kritik sumber

meliputi kritik intern dan ekstern.

a. Kritik intern adalah kritik yang menilai sumber-sumber bacaan yang

relevan dengan permasalahan yang dibahas dan dapat dipertanggung

jawabkan. Karena penelitian ini bukan penelitian yang pertama maka

dalam kritik intern peneliti melakukan rujukan terhadap buku-buku

yang relevan dengan tema penelitian.

Buku yang relevan yang digunakan adalah karya Kusnadi,

Konflik Sosial Nelayan, memaparkan tentang berbagai kasus nelayan

di Indonesia yang disebabkan adanya perebutan sumberdaya perikaan.

Salah satunya adalah kasus Cilacap yang terjadi pada tahun 1997.
17

Buku ini relevan karena kurun waktu sesuai dengan tema yang dibahas

dalam penelitin ini.

Buku yang kedua adalah karya Wahono, Gelombang Perlawan

Rakyat, memaparkan tentang beberapa kasus-kasus gerakan sosial di

Indonesia. Salah satu bahasannya adalah pemberontakan nelayan

Cilacap 1998. Pemberontakan ini berawal pada tahun 1978 dimana

adanya protes nelayan terhadap penggunaan perahu Trawl, berlanjut

dan melembaga hingga tahun 1998.

Buku yang ketiga karya Kusumastanto Ocean Policy

memaparkan tentang berbagai kebijakan kelautan yang diterapkan di

Indonesia dari zaman Belanda hingga Orde Reformasi. Buku ini

relevan untuk mengetahui berbagai kebijakan yang berlaku, serta

pengaruhnya terhadap kehidupan nelayan.

b. Kritik ekstern merupakan kritik yang menilai apakah sumber benar-

benar sumber yang dikehendaki. Dilakukan dengan membadingkan

antara informan satu dengan yang lain untuk memperoleh jawaban

yang benar. Karena disadari informan mempunyai subjektivitas yang

tinggi/ berlebihan terhadap suatu peristiwa.

3. Interprestasi

Adalah tahap menghubung-hubungkan dan mengkaitkan satu sama

lain sedemikian rupa sehingga fakta yang satu dengan yang lain kelihatan

sebagai satu rangkaian yang masuk akal menuju kecocokan satu sama lain.
18

Nelayan merupakan masyarakat yang terus menerus memanas,

perselisihan adalah biasa dalam kehidupan nelayan. Gerakan nelayan

adalah tema yang kompleks dimana menyangkut kehidupan sosial, politik,

ekonomi dan kultural. Oleh Karena itu penulis dalam penelitian ini

menggunakan ilmu Bantu. Faktor sosial, ekonomi, politik dan kultur

sangat dominan dalm menggali pergerakn nelayan.

Pendekatan sosial-ekonomi digunakan untuk mengetahui

bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan dan untuk

mengetahui mengapa melakukan gerakan. Pendekatan sosial-politik

digunakan untuk mengungkap beberapa kebijakan pemerintah yang

kadang dianggap kurang tegas dan adil, sehingga menyebabkan tuntutan-

tuntutan yang kemudian berkembang merugikan kedua belah pihak.

Pendekatan Sosiologi-Antropologi untuk mengungkapkan permasalahan

yang ada dalam masyarakat nelayan, yang sangat dipengarui oleh Adat,

Norma dan Kebiasaan sebagai bagian dari masyarakat.

4. Historiografi

Merupakan langkah perumusan cerita sejarah ilmiah yang disusun

secara logis menurut urutan kronologis yang tematis yang jelas dan mudah

dimengerti, pengaturan bab/bagian yang dapat menggambarkan urutan

kronologis yang tematis. Hal ini disebabkan peneliti sejarah sekurang-

kurangnya harus memenuhi 4 hal yaitu: detail faktuil yang akurat, struktur

yang logis dan penyajian yang terang dan halus.


19

H. Sistematika Skripsi.

Sistematika dari penulisan skripsi ini sebagai berikut:

BAB I dibahas mengenai Pendahuluan meliputi Latar Belakang Masalah,

Permasalahan, Tujuan, Manfaat, Ruang Lingkup, Tujuan Penelitian, Kajian

Pustaka dan Metode Penelitian.

BAB II diuraikan mengenai Gambaran Umum Kabupaten Cilacap meliputi

Riwayat Singkat, Kondisi Fisik Daerah Penelitian, Keadaan Alam, Kondisi

Sosial Ekonomi, dan Kondisi Sosial Budaya.

BAB III diuraikan Sejarah Kebijakan Ekonomi Kemaritiman Indonesia yang

meliputi: Masa Hindia-Belanda sampai akhir Orde Lama. Masa Era Orde

Baru terdiri Reorganisasi Lembaga Kelautan, Blue Revolution dan

Undang-undang Perikanan.

BAB IV diuraikan tentang Sejarah dan Dinamika Gerakan Nelayan Cilacap,

merupakan hasil dari penelitian yang meliputi Permasalahan Nelayan dan

Awal timbulnya konflik, Protes nelayan Cilacap tahun 1978-1980, Protes

nelayan Cilacap 1982, Protes nelayan Cilacap 1998 dan Pengaruh dari

gerakan nelayan.

BAB V diuraikan Simpulan dari skripsi.


20

BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN CILACAP

A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian

1. Letak, batas dan Luas

Cilacap merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah

selatan propinsi Jawa Tengah dan merupakan kabupaten yang terluas di

Jawa Tengah. Secara astronomi terletak diantara 108”4’30” garis bujur

timur dan 7”30”-7’45’20” garis lintang selatan. Luas wilayah kurang lebih

6,94 % dari luas propinsi Jawa Tengah yaitu 225.360,40 Ha, termasuk

Pulau Nusakambangan yang luasnya 11.510,552 Ha. Cilacap merupakan

wilayah potensi pertanian, perikanan, perkebunan dan pertambangan.

Batas wilayahnya adalah:

- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan

Kabupaten Brebes

- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen

- Sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia

- Sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Jawa barat.

Kabupaten Cilacap terdiri dari 23 kecamatan yaitu: Kecamatan

Dayaeuhluhur, Kecamatan Wanareja, Kecamatan Majenang, Kecamatan

Cimanggu, Kecamatan Karangpucung, Kecamatan Cipari, Kecamatan

Sidareja, Kecamatan Kedungreja, Kecamatan Patimuan, Kecamatan

Gandrungmangu, Kecamatan Bantasari, Kecamatan Kawunganten,

Kecamatan Jeruklegi, Kecamatan Kesugihan, Kecamatan Maos,


21

Kecamatan Sampang, Kecamatan Kroya, Kecamatan Adipala, Kecamatan

Binangun, Kecamatan Nusawungu, Kecamatan Cilacap selatan,

Kecamatan Cilacap utara dan Kecamatan Cilacap tengah.

Dari 23 kecamatan di kabupaten Cilacap 7 kecamatan adalah

daerah yang mempunyai wilayah laut/ pantai. Tujuh Kecamatan ini adalah

Kecamatan Cilacap tengah, Kecamatan Cilacap utara, Kecamatan Cilacap

selatan, Kecamatan Nusawungu, Kecamatan Adipala, Kacamatan

Binangun dan Kecamatan Sampang. Memiliki Desa pantai 17 desa, desa

tersebut adalah: Desa Sentolokawat, Desa Pandanaran, Desa Sidakaya,

Desa Tegal katilayu, Desa Tambakreja, Desa Lengkong, Desa Karang

Talun, Desa Tritih Kulon, Desa Kutawaru, Desa Donan, Desa Jetis, Desa

Adiraja, Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa Binangun, Desa

Kawunganten dan Desa Paningkel.

Luas lahan pertanian meliputi potensi-potensi pertanian, secara

umum merupakan sawah dan lahan kering, baik sawah tadah hujan,

pekarangan, tegalan dan ladang. Lahan lainnya adalah rawa-rawa dan

tambak serta kolam ikan. Jumlah luas seluruhnya adalah 231.850,228

hektar.

Luas penangkapan ikan di Kabupaten Cilacap mencapai luas

kurang lebih 5.600 Km persegi dengan perincian daerah penangkapan ikan

di perairan Teluk Penanjung-Pangandaran seluas 1.300 Km persegi dan

perairan selatan Yogyakarta sampai Pacitan kurang lebih 800 Km persegi.

Penangkapan ikan dilakukan sampai jarak 25 Km dari pantai pada


22

kedalaman 3 m-100 m (Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan

Cilacap1998).

Potensi perikanan tergolong besar, dapat dibedakan menjadi

potensi perikanan darat dan laut. Usaha perikanan tambak dilakukan

masyarakat Cilacap dengan memelihara Ikan Mas, Mujair dan Guramih.

Usaha perikanan laut dilakukan oleh masyarakat bagian selatan atau

daerah pesisir pantai.

Awalnya masih menggunakan peralatan alat tangkap yang masih

sangat sederhana seperti Jala, Pancing, Kapal tradisional dan lain-lain.

Pada taraf selanjutanya setelah adanya berbagai suku bangsa masuk/

pendatang berbagai teknologi baru masuk antara lain kapal-kapal modern

dengan alat tangkap yang modern. Hasil yang diperoleh lebih banyak

dibandingkan dengan alat tangkap yang sederhana. Untuk memperlancar

penangkapan ikan dibangun beberapa tempat pelelangan ikan (TPI)

sebagai tempat memasarkan hasil penangkapan ikan.

Potensi perikanan darat di Kabupaten Cilacap terdiri dari

perikanan tambak kurang lebih 421.52 Ha, perikanan kolam 573.96 hektar

dan perairan umum seluas 598.6 Ha. Potensi perairan laut Kabupaten

Cilacap meliputi wilayah territorial dan ZEE Indonesia. Oleh karena itu

potensi perikanan laut mencapai 865.100 ton (Laporan Dinas Perikanan,

1998).

Usaha jenis ikan meliputi ikan Pelangis, Domersil, Udang dan

Cumi-cumi. Budidaya ikan berupa tambak, air tawar, laut dan pembenihan
23

ikan. Jenis komoditas ekspor adalah udang, tuna, cangkalan, layur, bawal,

ranjungan dan keong.

2. Iklim

Kondisi iklim pada umumnya termasuk tipa B (Smith dan

forgoson). Curah hujan 10 tahun terakhir ini adalah 22711.65 mm

pertahun, dengan jumlah hari hujan 147.4 hari. Bulan basah dengan curah

hujan lebih dari 200 mm perbulan. Pada bulan lembab dengan curah hujan

antar 100-200 mm/bulan.

Temperatur di wilayah bagian barat bervariasi sesuai dengan

ketinggian tempat yaitu rata-rata antara 20 derajat sampai 28 derajat

Celcius. Sedang temperatur udara di wilayah Cilacap bagian tengah, timur

dan selatan antara 28 derajat sampai 31 derajat serta banyak dipengarui

udara laut. Curah hujan tertinggi pada bulan November dan terendah pada

bulan Mei. Suhu maksimum 32.6 derajat dan suhu minimum 24.2 derajat.

Pada bulan Agustus sampai Desember secara umum merupakan

musim ikan yaitu musim dimana keadaan laut di daerah penangkapan ikan

adalah baik terutama keadaan cuaca pada saat nelayan melakukan

penangkapan ikan laut.

Nelayan Cilacap mengenal dua musim yaitu musim paceklik dan

musim panen. Pembagian ini didasarkan pada keadaan laut, keadaan angin

dan curah hujan. Jika curah hujan tinggi maka nelayan tidak melaut karena

angin kencang yang mempersulit dalam mengendalikan perahu motor dan

penangkapan ikan.
24

Angin yang paling membahayakan adalah angin yang berasal dari

barat, sifatnya adalah mempunyai hembusan yang sangat kencang

sehingga menyulitkan nelayan dalam mengendalikan perahu. Sedang

musim timur adalah angin yang berhembus dari timur, angin ini

mempermudah dalam mengendalikan perahu dan pencarian lokasi

penangkapan Ikan baru. Faktor curah hujan kecepatan angin bagi nelayan

berpengaruh besar, mereka melaut ketika kondisi curah hujan dan

kecepatan angin bisa ditolelir.

B. Keadaan Alam

Kabupaten Cilacap merupakan salah satu wilayah dataran rendah

dibagian selatan. Dataran rendah di Jawa terdiri dari dua bagian yaitu bagian

selatan dan utara. Daerah bagaian utara Jawa banyak dialiri sungai, bagian

selatan sedikit dialiri sungai. Sungai dibagian selatan terputus oleh beberapa

pegunungan dan perbukitan. Di muara sungai inilah lokasi penangkapan ikan

dan udang, sehingga nelayan banyak mencari ikan di muara sungai, sebagai

akibatnya nelayan Cilacap banyak yang pergi melaut ke tempat yang lebih

jauh seperti perairan Pelabuhan Ratu, Parangtritis dan Pacitan. Nelayan

Cilacap menangkap ikan di daerah tersebut adalah nelayan yang menggunakan

kapal motor. Nelayan yang melaut ke lokasi yang dekat seperti perairan pantai

Logending dan Teluk penyu adalah yang menggunakan kapal motor.

Wilayah tertinggi kabupaten Cilacap adalah Kecamatan Dayeuhluhur

adalah 198 m dipermukaan air laut. Wilayah terendah adalah Kecamatan

Cilacap tengah dengan 6 m dipermukaan air laut. Jarak terjauh dari barat ke
25

timur adalah 152 yaitu dari Dayeuhluhur ke Nusawungu. Dari utara ke selatan

35 km yaitu dari Cilacap ke Sampang dengan demikian dapat diketahui

sebagian besar wilayah Kabupaten Cilacap adalah dataran rendah.

Topografi wilayah Cilacap dapat terdiri atas empat bagian yaitu:

1. Wilayah Cilacap bagian barat, pada umumnya berbukit dengan ketinggian

23-198 dpl

2. Wilayah Cilacap bagian tengah, pada umumnya adalah dataran dan

sebagian berbukit dengan ketinggian antara 8-75 dpl

3. Wilayah Cilacap bagian timur, pada umumnya datar dengan ketinggian

8-10 dpl

4. Wilayah bagian selatan umumnya datar dan landai yang merupakan daerah

pantai dengan ketinggian rata-rata 6 dpl.

Jenis tanah di Kabupaten Cilacap dapat digolongkan menjadi beberapa

jenis yaitu:

1. Aluvisi meliputi daerah Dayeuhluhur, Wanareja, Kedungreja, Patimuan,

Gandrungmangu, Majenang, Cimanggu, Karangpucung, Kawunganten,

Jeruklegi, Cilacap selatan, Cilacap tengah, Kesugihan, Sampang, Maos,

Adipala, Nusawungu dan Cipari

2. Kompleks Litosil, merah kekuning-kuningan, litosol coklat tua dan litosol

meliputi daerah Dayeulihur, Wanareja, Cimanggu, Karangpucung, Cipari,

Kawunganten, Jeruklegi, Kesugihan dan Nusakambangan.

3. Asosiasi litosol coklat kemerahan meliputi Dayeuhluhur, Wanareja dan

Majenang
26

4. Litosol coklat tua kemerahan meliputi Dayeuhluhur, Wanareja dan

Karangpucung

5. Asosias Gromosol kelabu kekuning-kuningan dan regosol kelabu meliputi

Majenang, Sidireja, Cipari, Cimanggu, Karangpucung, Gandrungmangu

dan Kawunganten

6. Grumosol kelabu meliputi Sidareja, Cipari, Kedungreja, Gandrungmangu

dan Kawunganten

7. Regosol kelabu meliputi Cilacap selatan, Cilacap utara, Cilacap tengah,

Jeruklegi, Kesugihan, Adipala, Binangun dan Nusawungu

8. Asosiasi glaniamus rendah dan alluvial kelabu meliputi daerah Binangun,


Kroya dan Nusawungu (Laporan tahunan PPNC 2002).

C. Riwayat Singkat

Kabupaten Cilacap ditetapkan berdiri pada tanggal 21 Maret 1856,

oleh pemerintah Hindia-belanda. Ada beberapa atribut yang terkait dengan

Cilacap, pertama Cilacap adalah sebuah Ofdeling/Regentschap (abupaten) di

karsidenan Banyumas. Kedua, sebuah distrik didalam administrasi ofdeling

Cilacap. Ketiga adalah sebuah ibukota Ofdeling (Zuhdi, Susanto; 2002:7).

Nama Cilacap sudah ada pada tahun 1736 (berdasar peta Francois Valantin)

dan tahun 1817 (berdasar peta Rafles), dalam buku Rafles menyebutkan

bahwa Cilacap merupakan pelabuhan yang terletak disebelah selatan Jawa

Tengah dan menjadi bagian dari wilayah Cirebon (Soemardi, 1990:49).

Cilacap dibentuk pada tahun 1856 oleh pemerintah kolonial Hindia-

Belanda yang terlepas dari kesultanan Yogyakarta. Karsidenan Banyumas


27

meliputi Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap

(Poerwoko, Bambang, 1978:26). Pembentukan pemerintah Kabupaten Cilacap

pada masa penjajahan Belanda adalah pembentukan Order Ofdeling Cilacap

dengan besluit Gubenur jendral D. De Eerenst tanggal 17 Juli tahun 1930

menerbitkan. “Demi kepentingan pelaksanaan pemerintah daerah yang lebih

rapi di kawasan selatan Banyumas dan peningkatan pembangunan pelabuhan

Cilacap maka sambil menunggu usul-usul organisasi distrik-distrik bagian

selatan yang menjadi bagianya, satu dari tiga Asisten Residen di Karsidenan

ini akan berkedudukan di Cilacap (Cahaya, Sakti, 2000:26).

Sambil menunggu pengukuhan Besluit Gubenur jendral, Residen Lauy

dalam pemerintah Hindia-Belanda dengan besluit gubenur jenderal tanggal

21 Maret 1856 No 21 antara lain menetapkan Order-regenschap Cilacap

ditingkatkan menjadi regentschap kabupaten Cilacap (Soemardji, 1990:

50-51).

Menjelang hancurnya kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda di

Indonesia tahun 1942 Cilacap menjadi tempat untuk persiapan-persiapan

terakhir. Persiapan perang telah sejak lama dipikirkan Belanda. Dibangun

kubu-kubu pertahanan seperti di Teluk Penyu, Srandil, Karang Bolong

disamping jembatan darurat yang dibangun di atas kali Serayu Desa Slarang.

Tetapi persiapan tersebut tidak berarti apa-apa karena Jepang menyerang

dengan kapal udara, sehingga sangat mudah benteng Belanda untuk

dihancurkan. Dengan penghancuran Kota Herosima dan Nagasaki Belanda


28

mengakhiri pemerintahannya diseluruh daerah di Indonesia dengan

penyerahan pemerintahan kepada tentara Jepang.

Pada masa perang kemerdekaan secara administratif wilayah

kabupaten Cilacap terbagi menjadi empat Kawedanan (wilayah pembantu

bupati) masing-masing kawedanan mempunyai beberapa kecamatan. Di

kabupaten Cilacap di tahun 1940 terbagi dalam 17 Kecamatan yang terbagi

dalam empat Kawedanan yaitu:

1. Kawedanan Majenang meliputi empat Kecamatan yaitu: Kecamatan

Cimanggu, Kecamatan Wanareja, dan Kecamatan Dayeuhluhur.

2. Kawedanan Sidareja meliputi lima Kecamatan yaitu Kecamatan

Gandrungmangu, Kecamatan Karang pucung, Kecamatan Sidareja,

Kecamatan Kedungreja dan Kecamatan Cipari

3. Kawedanan Cilacap meliputi tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Jeruklegi,

Kecamatan Kawunganten dan Kecamatan Kesugihan

4. Kawedanan Kroya meliputi empat Kecamatan yaitu Kecamatan Kroya,

Kecamatan Adipala, Kecamatan Nusawungu dan Kecamatan Binangun.

Pembagian wilayah kabupaten Cilacap dimasa perang kemerdekaan

merupakan kelangsungan dari masa sebelumnya. Perubahan ini terjadi dalam

pembagian wilayah kabupaten Cilacap pada tahun 1936 yaitu sehubungan

dengan perluasan karsidenan Banyumas oleh Belanda, sehingga kebupaten

Cilacap masuk wilayah karsidenan Banyumas. Pemerintahan kabupaten

dijabat oleh seorang Bupati yang menjalankan tugasnya dibantu oleh wakil

atau yang biasa disebut dengan Patih. Selain itu dibantu oleh sejumlah
29

Wedono sebagai kepala wilayah kawedanan. Para wedono bertugas

mengkoordinir para kepala desa.

Pada masa perang kemerdekaan pemerintah kabupaten Cilacap tetap

berjalan walaupun pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah demi

keselamatan. Pekerjaan aparat pemerintahan kabupaten Cilacap tidak banyak,

meski jawatan ini tetap ditengah pertempuran, mereka tidak difungsikan untuk

menjalankan tugas pemerintahan seperti pada saat keadaan damai.

D. Kondisi Sosial Ekonomi

Kabupaten Cilacap berpenduduk 1.642.725 jiwa pada tahun 1998

yangterdiri dari 820.742 jiwa adalah wanita dan 821.983 jiwa adalah pria.

Yang terdiri dari belum sekolah berjumlah 146.557 jiwa, usia belajar sejumlah

23.551 jiwa dan usia lanjut berjumlah 154.251 jiwa. (Laporan BPS Ciacap).

Penduduk bertempat tinggal menyebar, ada di daerah pegunungan dan

sebagian di daerah pesisir.

Mata pencaharian penduduk yang tinggal di daerah pegunungan/

pedalaman bermata pencaharian dalam pertanian sedang di daerah pesisir

adalah nelayan. Bidang pertanian memiliki peran yang strategis, dimana

kabupaten Cilacap adalah salah satu penghasil padi dan pemasok padi di Jawa

Tengah. Memiliki lahan sawah seluas 63.452 hektar atau 26.67 %. Hasil

pertanian berupa Padi, Jagung, Ketela Rambat, dan Kedelai. Selain tanaman

pangan Cilacap juga menghasilkan tanaman perkebunan rakyat seperti Jahe,

Kencur, Kelapa, Karet dan Aren.


30

Sedang daerah laut atau perikanan juga memiliki peran yang sama

besarnya, sebagai pemasok perikanan laut. Hasil laut berupa Ikan, Udang,

serta jenis Ikan Laut lainnya. Daerah penangkapan utama adalah Segara

Anakan, Teluk Penyu dan Pesisir Nusakambangan.

Masyarakat nelayan Cilacap mempunyai struktur/stratifikasi yang

tidak terikat. Stratifikasi ini didasarkan pada 3 sudut pandang yaitu:

1. Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu,

jaring, dan perlengkapan lain). Struktur masyarakat nelayan terbagi dalam

kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan

buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi

sebuah perahu nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya

dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Dalam masyarakat

pertanian nelayan buruh identik dengan buruh tani. Secara kuantitatif di

desa nelayan, jumlah nelayan buruh lebih besar dibandingkan dengan

nelayan pemilik.

2. Ditinjau dari skala investasi modal usahannya, struktur masyarakat

nelayan di golongkan kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil.

Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang di investasikan dalam

usaha perikanan relatif banyak, sedangkan nelayan kecil sebaliknya.

3. Sudut pandang tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan,

masyarakat nelayan terbagi nelayan modern dan nelayan tradisional.

Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang canggih

dibandingkan dengan nelayan tradisional. Jumlah nelayan modern relatif


31

lebih kecil dibanding nelayan tradisional. Perbedaan tersebut membawa

implikasi kepada tingkat pendapatan dan kemampuan atau kesejahteraan

sosial ekonomi. Nelayan besar dan nelayan kecil, nelayan tradisional/

modern masing-masing merupakan kategori sosial ekonomi yang relatif

sama, dengan orientasi usaha dan perilaku yang berbeda-beda.

Secara sosiologi masyarakat nelayan dibagi dalam dua kelas yaitu

kelas Patron dan Clien. Patron adalah orang-orang yang memilki modal,

mempunyai kedudukan yang tinggi. Sedang klien adalah buruh nelayan

yang lebih rendah. Kelompok Patron ini menguasai modal, alat-alat

produksi dan pengetahuan mengenai ke nelayanan.

Adanya dua klasifikasi ini mengakibatkan adanya hubungan yang

tidak seimbang. Clien hanya mampu menyediakan tenaga kerja tanpa

adanya kemampuan keterampilan sehingga selalu terikat oleh Patron.

Oleh karena itu selalu dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dimana

dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Terjadinya konflik antar nelayan

adalah merupakan salah satu dari hubungan yang tidak seimbang seperti

hal-hal diatas.

Masyarakat nelayan Cilacap mengenal 2 musim yaitu musim panen

pada bulan Agustus-Desember dan musim paceklik bulan Januari-Juli.

Pada musim ikan intensitas penangkapan ikan meningkat karena hasrat

untuk memperoleh hasil yang banyak, terkadang nelayan sering

mengabaikan bahaya yang disebabkan oleh kondisi alam dan iklim seperti

ombak besar dan hujan deras yang disertai dengan angin kencang.
32

Dalam masa Paceklik para nelayan memanfaatkan perahunnya

untuk wisata, sebelah selatan adalah merupakan daerah wisata, terdapat

Pulau Nusakambangan dengan berbagai panoramannya yang menarik

wisata. Sebagian nelayan lain memggunakan masa paceklik ini untuk

membuat kerajianan (kaum wanita), bagi para pemuda digunakan untuk

merantau/bekerja di daerah lain.

E. Kondisi Sosial Budaya

Sebagian besar Kabupaten Cilacap adalah beragama Islam (97.53%),

sedang 10% adalah menganut agam Kristen (1.05%), Hindu (0.35%) dan

Budha (0.11%). Ajaran Kejawen masih dipegang erat oleh masyarakat, masih

ada pesta sesaji dan penyembahan terhadap roh leluhur. Hampir diseluruh

daerah banyak ditemui Masjid dan Pondok Pesantren.

Pada daerah pedalaman yang bermata pencaharian dalam pertanian

masih dipercaya adanya mitos Dewi Sri, sehingga dilaksanakan sedekah bumi

setiap tahunnya contoh adalah daerah Cimencok, Cisarewa. Pada daerah

pesisir adanya kepercayaan pada Nyi Roro Kidul, diadakan sedekah laut.

Upacara ini semakin berkembang menjadi wisata bukan hanya sekedar

upacara rutin.

F. Lokasi Penelitian (Profil Kecamatan Cilacap Selatan).

Lokasi penelitian secara khusus adalah Kecamatan Cilacap Selatan.

Kecamatan Cilacap Selatan terletak dibagian paling selatan Kabupaten

Cilacap. Merupakan daerah dataran rendah dan perairan dengan ketinggian


33

antara 0-6 m di atas permukaan air laut serta beriklim tropis dengan suhu 26.4

derajat Celsius, kelembaban rata-rata 48 RH sera kecepatan angin rata-rat 7.2

knot. Adapun batas-batasnya adalah:

- Sebelah utara: kecamatan Cilacap tengah.

- Sebelah barat: Bengawan Donan.

- Sebelah selatan: Samudra Indonesia.

- Sebelah timur: Pantai teluk penyu.

Luas kecamatan Cilacap selatan adalah 910.605 ha yang terdiri dari:

tanah sawah (960.000), pekarangan (610.963), tegalan (11.000) dan lain-lain

(193.642). Masyarakat kecamatan Cilacap selatan adalah Nelayan, Petani,

Buruh Tani, Buruh Industri, Pedagang, PNS dan lain-lain (laporan Memori

Kegiatan Kecamatan Cilacap Tahun 1998).


34

BAB III

SEJARAH KEBIJAKAN EKONOMI KEMARITIMAN

DI INDONESIA

A. Masa Hindia-Belanda Sampai Orde Lama

1. Masa Hindia-Belanda

Masa Hindia-Belanda berbagai kebijakan dan peraturan

kemaritiman telah diciptakan, namum peraturan perundang-undangan

masih bersifat sepenggal-sepenggal atau terpisah sehingga belum mampu

menciptakan satu kesatuan yang bulat dan utuh.

Periode tahun 1850-1942 adalah periode pelembagaan institusi-

institusi yang menangani urusan masyarakat bagi pemapanan penjajahan

Belanda atas Indonesia. Begitu pula halnya dengan urusan-urusan

masyarakat pantai yang menyadarkan kegiatan ekonomi pada bidang

kelautan. Peraturan yang dibuat Belanda tentang kelautan bernama

“Territoriale zee en maritieme kringen ordonatie”, (Ordonansi Laut

Territorial dan Lingkungan Maritim) yang dikeluarkan tahun 1939.

Ordonansi ini menetapkan lebar laut wilayah sepanjang 3 mil laut yang

diukur dari garis wilayah daratan (garis air surut pulau atau bagian pulau).

Aturan ini mengakibatkan pulau-pulau yang ada di perairan laut

Nusantara mempunyai laut wilayah sendiri tidak menjadi satu kesatuan

sebagai negara kepulauan. Hal-hal yang menyangkut kegiatan

kemaritiman tunduk pada peraturan ini karena ordonasi ini juga mengatur
35

permasalahan penangkapan ikan. Jarak 3 mil laut berarti usaha perikanan

harus mendapat izin dari pemerintah, jika lebih dari 3 mil maka laut

dianggap bebas (Tri bawono, 2002:26).

Lembaga-lembaga yang menangani kegiatan-kegiatan kemaritiman

masa kolonial Belanda masih berada dalam lingkup Departemen van

Landbouw Nijverheid en Handel (Departemen kesejahteraan rakyat), yang

kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken

(Departemen Ekonomi). Kegiatan-kegiatan kemaritiman masa ini

digolongkan sebagai kegiatan pertanian, meski demikian terdapat suatu

organisasi khusus yang mengurusi kegiatan perikanan laut dibawah

Departemen Van Ekonomische Zaken. Organisasi ini adalah Orderafdeling

Zee Visserij. Untuk menyediakan kegiatan penelitian dan pengembangan

perikanan laut terdapat suatu institusi penelitian pemerintah kolonial

bernama Istitut Voor de zee Visserij (Institute Pengembangan Penelitian

Kelautan).

Pada masa pendudukan Jepang Departemen Van Ekonomische

Zaken berubah menjadi Gunseikanbu Sangyogu (Departemen Ekonomi).

Fungsi dan tugas dari departemen ini tidak berubah dari fungsi dan tugas

di zaman kolonial. Seperti halnya Lembaga Penelitian dan Pengembangan,

meski berubah menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo (Lembaga Penelitian

Kelautan) dan berpusat di Jakarta tidak mengalami perubahan fungsi.

Undang-undang tentang batas laut pun tidak mengalami perubahan. Meski

demikian pada masa Jepang terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan


36

pemerintah. Di daerah-daerah dibentuk Jawatan Penerangan Perikanan

yang disebut Suisan Shidozo. Terjadi penyatuan perikanan darat dan laut

yang dimasukkan dalam kegiatan pertanian (Kusumastanto, 2005:4).

Ordonansi kemaritiman Belanda, pokok-pokok penetapannya

(Tribawono, 2002) antara lain:

a. Ordonansi perikanan mutiara dan bunga karang. Mengatur

pengusahaan Siput Mutiara, Kulit Mutiara, Teripang dan Bunga

Karang di perairan pantai dalam jarak tidak lebih dari 3 mil laut.

b. Ordonansi perikanan untuk melindungi ikan. Mengatur larangan

penangkapan ikan dengan menggunakan racun, bius atau bahan

peledak, kecuali untuk tujuan ilmu pengetahuan.

c. Ordonansi penangkapan ikan pantai, berisi tentang:

(1) Mengatur usaha perikanan di wilayah perairan Indonesia.

(2) Yang berhak melakukan usaha perikanan adalah warga negara

Indonesia dengan menggunakan kapal motor berbendera Indonesia.

(3) Bagi yang bukan warga negara Indonesia harus dengan izin

Menteri pertanian.

(4) Bagi warga negara Indonesia yang menggunakan tenaga asing

harus dengan izin Menteri pertanian.

d. Ordonansi Perburuan Ikan Paus. Mengatur perburuan dan

perlindungan Ikan Paus (semua ikan paus dilindungi dengan SK

Menteri Pertanian No. 716/kpts/10/1980) kecuali usaha penangkapan


37

oleh nelayan tradisional setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari.

e. Peraturan pendaftaran kapal-kapal laut asing, yang mengatur:

(1) Kapal nelayan laut asing yang berhak melakukan penangkapan

ikan dalam daerah laut Indonesia/daerah lingkungan maritim harus

didefinisikan atas nama pemilik.

(2) Kapal yang terdaftar diberi tanda pengenal untuk menunjukan

bahwa kapal tersebut berhak melakukan penangkapan ikan di

daerah laut dan daerah dua lingkungan maritim.

f. Ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim, yang berisi:


(1) Laut teritorial Indonesia adalah daerah yang membentang ke arah

laut dari garis surut, Pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang

termasuk wilayah Indonesia.

(2) Penangkapan ikan adalah mengerjakan pada umumnya suatu

kegiatan yang langsung atau tidak langsung yang bertujuan untuk

mendapatkan, memburu hasil-hasil laut.

(3) Penangkapan ikan di lingkungan-lingkungan maritim boleh

dilakukan oleh mereka yang termasuk bumiputra,

(4) Kepada warga-warga negara Indonesia dapat diberikan izin untuk

mengerjakan penangkapan ikan dilingkungan maritim, jika tidak

bertentangan dengan kepentingan-kepentingan maritim.

Jika dicermati Ordonasi kemaritiman ini hanya mengatur perizinan

penangkapan ikan dilengkapi dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi

oleh pemohon, serta adanya ancaman pidana. Kebijakan ini semata-mata


38

hanya untuk kepentingan satu pihak yakni Hindia-Belanda, sehingga

terdapat kecenderungan memanfaatkan sumber daya ikan secara

berlebihan (ekstraktif), oleh pemilik izin (nelayan tangkap ikan) untuk

memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Kondisi ini berakibat usaha

kepentingan nelayan tradisional menjadi terabaikan.

2. Masa kemerdekaan

Pada masa kemerdekaan terjadi perkembangan dalam bidang

kemaritiman, adanya restrukturisasi lembaga kemaritiman. Setelah

Kabinet Presidensial terbentuk, pemerintah membentuk Departemen

Kemakmuran Rakyat dengan Menterinya Mr. Syafrudin Prawiranegara.

Dalam departemen ini terbentuk jawatan perikanan yang mengurusi

kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut.

Semenjak kabinet pertama terbentuk pada tanggal 2 September

1945 hingga terbentuknya Kabinet Parlementer ketiga pada tanggal 3 Juli

1947, Jawatan Perikanan tetap berada dibawah Koordinator Pertanian

disamping Koordinator Perdagangan dan Perindustrian dalam Departemen

Kemakmuran Rakyat. Meski kemudian Departemen Kemakmuran Rakyat

mengalami perubahan struktur organisasi akibat Agresi Militer Belanda I

dan II serta perpindahan ibukota ke Yogyakarata, Jawatan Perikanan tetap

menjadi subordinat perikanan.

Pada 1 Januari 1948 Departemen Kemakmuran Rakyat mengalami

restrukturisasi dengan menghapus koordinator-koordinator. Sebagai

penggatinya ditunjuk 5 Pegawai tinggi dibawah menteri yaitu pegawai


39

tinggi urusan perdagangan, urusan pertanian dan kehewanan, perkebunan

dan kehutanan serta pendidikan. Jawatan perikanan merupakan bagian

urusan pertanian.

Masa pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949,

Departemen kemakmuran rakyat dipecah menjadi dua Departemen yaitu:

Departemen Pertanian, Perdagangan dan Perindustrian, Jawatan Perikanan

baru masuk dalam Departemen Pertanian. Pada tanggal 17 maret 1951

Departemen Pertanian mengalami perubahan susunan yaitu menunjuk tiga

koordinator yang menagani masalah pertanian, perkebunan dan

kehewanan. Di bawah Koordinator pertanian, dibentuk Jawatan pertanian

rakyat. Jawatan Perikanan berkembang menjadi Jawatan Perikanan Laut,

Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan Darat, dan Yayasan

Laut. Semua jawatan tersebut berada di bawah Jawatan Pertanian Rakyat.

Struktur ini tidak bertahan lama, pada tanggal 9 April 1957 susunan

Departemen pertanian mengalami perubahan lagi dengan dibentuknya

Direktorat Perikanan dan dibawah direktorat ini jawatan-jawatan

perikanan dikoordinasikan.

Pada 13 Desember 1957 diadakan Deklarasi Djuanda, yang secara

politik mengklaim wilayah perairan Indonesia. Batas laut teritorial

lebarnya menjadi 12 mil yang diukur dari garis yang menghubungkan

titik-titik yang terluar pada pulau-pulau. Secara substansial Deklarasi

Djuanda memberikan inspirasi tentang wawasan nusantara yang mencakup

komponen kesatuan ekonomi, kesatuan wilayah dan kesatuan politik.


40

Deklarasi Djuanda merupakan tindakan politik namun membawa dampak

pada perombakan radikal terhadap hukum laut internasional yang berlaku

sampai saat ini dan melahirkan hukum laut yang baru.

Paska Deklarasi Djuanda muncul beberapa kebijakan dan peraturan

yang terkait dengan kelautan antara lain Undang-Undang No. 4/prp/1960

tentang perairan Indonesia, pengumuman pemerintah tentang landasan

kontinen Indonesia tahun 1969 dan Undang-Undang No. 5/1983 tentang

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Deklarasi Djuanda merupakan embrio

(cikal bakal) Undang-Undang No. 4/prp/1960, ada beberapa dasar

pertimbangan pemerintah mengeluarkannya: pertama, bentuk geografis

Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu

pulau dan terbesar mempunyai sifat dan corak tersendiri. Kedua, bagi

kebutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia,

kepulauan dan laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu

kesatuan yang utuh. Ketiga, penentuan batas teritorial sebagai termaktub

dalam Territoriale zee en maritime kringen ordonatie, sudah tidak sesuai

lagi dengan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas karena akan

mengakibatkan pembagian wilayah daratan Indonesia dalam dua bagian

yang masing-masing terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri

(Tribawono dkk, 2002:27).

Pemerintah merasa betapa pentingnya upaya memperkokoh posisi

azas negara kepulauan atau azas negara Nusantara maka ditetapkan

peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang No 4 tahun 1960 dan


41

Undang-Undang No. 4/prp/1960 tentang perairan Indonesia agar

mempunyai kekuatan hukum yang berlaku dan pasti. Beberapa

pertimbangan yang mendorong pemerintah mengeluarkan Undang-Undang

No. 4/prp/1960 adalah:

1. Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terdiri dari

beribu-ribu pulau mempunyai corak tersendiri.

2. Berdasarkan sejarah memang sejak dahulu kepulauan Indonesia

merupakan suatu kesatuan.

3. Bagi keutuhan wilayah negara Indonesia semua kepulauan serta laut

yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang

bulat.

4. Penentuan batas wilayah laut seperti termaktub dalam Territoriale zee

en maritime kringen ordonatie 1939 (tidak lagi sesuai dengan

pertimbangan tersebut diatas karena membagi wilayah daratan

Indonesia dalam bagian-bagian yang terpisahkan dengan laut

wilayahnya sendiri-sendiri.

5. Perlu mengadakan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang

tentang perairan Indonesia yang sesuai dengan kenyatan-kenyataan

tersebut diatas.

Penentuan perubahan batas perairan laut Indonesia menjadi 12 mil

mempunyai dampak sangat penting bagi perkembangan kegiatan dibidang

ekonomi. Indonesia mempunyai kedaulatan atas segala perairan yang

terletak didalam batas-batas garis laut wilayah serta udara dan dasar laut.
42

Semula luas daratan Indonesia adalah 2.027.087 km2 kemudian bertambah

menjadi 5.193.250 km2. Pertambahan luas ini menjadikan segala kekayaan

alam yang ada didalamnya baik hewani dan nabati serta kekayaan bahan

mineral harus tetap diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat.

3. Masa Orde Lama

Jatuh bangunnya kabinet semasa Pemerintahan Parlementer

membuat Presiden Soekarno menganggap bahwa Sistem Parlementer tidak

cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pada tanggal 5 juli 1959

Presiden mengeluarkan Dekrit untuk kembali pada Undang-undang Dasar

1945.

Istilah departemen pada masa sebelum Dekrit berubah menjadi

Departemen dan posisi istilah Direktorat kembali ke Jawatan. Tahun 1962

penggabungan Departemen Pertanian dan Agraria, istilah direktorat

digunakan kembali. Pada masa Kabinet Presidensial pasca Dekrit

Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi beberapa

jawatan yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga

Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitin Perikanan Darat, Lembaga

Pendidikan Usaha Perikanan dan Badan Usaha Perikanan.

Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan

pemerintah merombak kembali susunan kabinet dan terbentuklah Kabinet

Dwikora pada tahun 1964. Pada Kabinet Dwikora ini Departemen

pertanian mengalami deskontruksi menjadi 5 buah departemen. Pada


43

kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut dibawah

Kompartemen Pertanian dan Agraria.

Pembentukan Departemen Perikanan Darat dan Laut merupakan

respons pemerintah atas hasil musyawarah nelayan I yang menghasilkan

rekomendsi perlunya departemen khusus yang menangani pemilikan dan

penguasaan usaha meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui

pembentukan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Departemen

Perikanan Darat/Laut tidak lagi dibawah Kompartemen Pertanian dan

Agraria melainkan mengalami reposisi dan bernaung dibawah

Kompartemen Maritim.

Di bawah kompartemen baru departemen tersebut mengalami

perubahan nama menjadi Departemen Perikanan Dan Pengolahan

Kekayaan Laut. Keadaan ini tidak berlangsung lama pada tahun 1965

terjadi pemberontakan G 30 S/PKI dan Kabinet Dwikora diganti dengan

Kabinet Ampera pada tahun 1966.

Dalam Kabinet Ampera terjadi restrukturisasi kembali yaitu

dengan menetapkan susunan kabinet yang terdiri atas sebuah Presidium

dan 24 Departemen urusan-urusan perikanan dan kelutan ditangani oleh

sebuah departemen yang disebut Departemen Maritim. Departemen

Maritim ini terdiri atas 3 Direktorat Jendral yaitu Dirjen Perhubungan

Laut, Dirjen Industri Maritim dan Dirjen Pengolahan Laut.


44

B. Masa Orde Baru

1. Reorganisasi Lembaga Kelautan

Pada awal perjalanan pembangunan Orde Baru, bangsa Indonesia

mewarisi kondisi ekonomi yang cukup parah. Inflasi pada tahun 1966

mencapai angka kurang lebih 650 %. Struktur sosial, politik dan ekonomi

bangsa Indonesia waktu itu sebagai warisan akibat demokrasi terpimpin

dan ekonomi terpimpin dimasa kekuasaan Presiden Soekarno (Orde lama)

hampir runtuh. Harga beras pada akhir tahun 1965 menjadi Rp. 17.500,

pada kuartal ke-3 Rp. 50.000 pada kuartal ke-4.

Pilihan pemerintah Orde Baru untuk mengatasi kondisi ekonomi

yang parah pada tahun 1966 dan 1967 adalah berusaha memperbaiki

sarana dan prasarana fisik, restrukturisasi kelembagaan, memulihkan

kegiatan produksi dan menekan laju inflansi. Selama periode 1966-1969

pemerintah Presiden Soeharto berusaha meletakkan landasan yang kokoh

bagi pelaksanaan pembangunan jangka panjang. Tahapan pembangunan

tahun 1967-1969 merupakan periode pertama/tahapan stabilitas dan

rehabilitas ekonomi Indonesia. Pada April 1969 pemerintah Orde baru

mulai meletakkan pembangunan pada usaha mencapai pertumbuhan

ekonomi yang cukup tinggi, yang dijabarkan kedalam Trilogi

Pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas

keamanan nasional dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Untuk mendukung hal ini pemerintah kemudian melakukan

restrukturisasi dan efesiensi organisasi-organisasi pemerintahan.


45

Restrukturisasi dialami oleh Departemen Perikanan Darat dan Laut.

Setelah Kabinet Ampera bubar diganti dengan Kabinet Pembangunan,

Dirjen pengolahan kakayaan laut direposisi kembali dan dilebur dalam

Dirjen Perikanan dalam naungan Departemen Pertanian.

Sepanjang pemerintahan Orde Baru kegiatan-kegiatan dibidang

perikanan hanya ditangani institusi setingkat Dirjen. Melalui Keppres

No. 163 tahun 1966, Departemen Minyak dan Gas Bumi serta Departemen

Pertambangan dilebur menjadi Departemen Pertambangan selanjutnya

berubah menjadi Departemen Energi dan Sumber daya mineral.

Sedangkan Departemen Perhubungan Laut dibawah Departemen

Perhubungan.

Sektor perikanan khususnya yang memiliki institusi setingkat

Dirjen ternyata tidak mampu mendorong proses transformasi sosial dan

ekonomi dimasyarakat pesisir. Institusi Dirjen tidak memiliki bargaining

position yang kuat bila menghadapi institusi yang lebih tinggi hierarki

prioritasnya, sehingga tingkat negosiasi politiknya selalu kalah. Akibatnya

adalah marjinalisasi peran pesisir tetap berlanjut meski Indonesia telah

merdeka.

Kebijakan ekonomi Orde Baru lebih mendorong peran

industrialisasi sebagai sektor pemicu pertumbuhan ekonomi. Pilihan ini

dilatar belakangi oleh Input Substitution Industry (ISI) yang mendorong

pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan manufaktur berbahan baku

import dan menekan sektor lain yang menyebabkan tidak berkembangnya


46

pengembangan sumber daya lokal yang memiliki Multiplier Effect yang

besar pada perekonomian rakyat. Ditambah dengan berbagai

permasalaham pada birokrasi serta budaya KKN yang menggurita. Maka

terjadilah konglomerasi yang rapuh dan dengan satu tiupan krisis moneter

runtuhlah perekonomian Indonesia.

2. Modernisasi Perikanan/Blue Revolution

Modernisasi perikanan/Blue Revolution adalah suatu kebijakan

modernisasi dalam bidang perikanan/kelautan. Kebijakan ini dikeluarkan

oleh pemerintah ditahun 1970-an dan berlaku di perairan Cilacap pada

tahun 1971. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan taraf

kehidupan ekonomi nelayan yang direalisir dengan melakukan

modernisasi penangkapan ikan dan motorisasi perahu (Nasution, Arif,

2005:23).

Teknologi penangkapan yang digunakan dalam revolusi biru

adalah Jaring Trawl, Pukat harimau, Pukat udang dan Jaring berkantong.

a. Jaring Trawl

Jaring Trawl adalah jenis-jenis jaring berbentuk kantong yang

ditarik oleh sebuh kapal bermotor, menggunakan alat pembuka mulut

dan jaring yang disebut gawang (beam) yang merupakan sepasang alat

pembuka dan dua jaring yang ditarik oleh dua buah kapal bermotor.

Nama lainnya dikenal dengan Pukat Tarik, Tangkul Tarik, Jaring Tarik

dan Jaring Trawl Ikan, Pukat Langgasi. Alat tangkap ini merupakan

alat yang produktif untuk berbagai jenis ikan dasar utamanya udang.
47

Penggunaan Jaring Trawl lebih berharap pada Udang Putih/ Udang

Windu yang mahal harganya dan berada di dasar perairan yang

dangkal dan banyak bahan organiknya, sehingga banyak beroperasi di

pinggir pantai, terutama didekat muara sungai yang subur perairannya

karena disinilah udang bermukim.

Hal inilah yang menjadi pangkal permasalahan timbulnya

benturan kepentingan antara nelayan tradisional dengan nelayan

pengusaha Jaring Trawl, hinggga akhirnya mengakibatkan ketegangan

sosial antara kedua kelompok tersebut. Di penghujung tahun tujuh

puluhan ketegangan bertambah meruncing sehingga dikhawatirkan

menimbulkan akibat yang semakin merugikan banyak termasuk

keamanan dan kesejahteraan sosial kelompok nelayan tradisional. Oleh

karena itu berdasar Keputusan Presiden No.39 tahun 1980 penggunaan

Jaring Trawl dilarang.

Penghapusan Trawl ini didasarkan pada pertimbangan oleh

3 hal yaitu: pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar, mendorong

peningkatan produksi nelayan tradisional dan menghindari adanya

ketegangan sosial.

Sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1-9 Keppres No. 39 tahun

1980 maka penghapusan Trawl dilaksanakan secara bertahap. Jangka

waktu satu tahun terhitung 1 Juli 1980 sampai 1 Juli 1981 jumlah

jaringan trawl dikurangi menjadi 1000 buah. Pelanggaran terhadap

pelarangan ini dikenakan sanksi berdasar ketentuan Ordonansi Hindia-


48

Belanda dimana penangkapan ikan pantai yang melanggar ketentuan

dikenakan sanksi pidana sekurang-kurangnya 3 bulan atau denda

sebesar Rp. 500.000,00. Kapal dan alat penangkapan ikan akan disita.

Ordonansi Hindia-Belanda ini masih dipakai karena belum adanya

peraturan undang-undang baru yang diterbitkan.

Periode setelah Keppres No. 39 tahun 1980 pelarangan operasi

Trawl di Indonesia kecuali Laut Arafura dan sekitar Irian Jaya, masih

dilaporkan adanya pengoperasian Kapal Trawl di daerah-daerah yang

ditetapkan terlarang. Keppres tahun 1980 berisi 9 pasal yang

menyatakan secara garis besar bahwa terhitung mulai 1 Juli 1980

Keppres diberlakukan sampai dengan 1 Juli 1981 penghapusan kapal

trawl yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Jawa, Bali dan

Sumatra secara bertahap. Jumlah Kapal Trawl pada wilayah tersebut

dikurangi dan dibatasi sampai 1.000 unit kapal.

Ketentuan lain yang termaktub dalam Keppres adalah Kapal

Trawl yang terkena kebijakan penghapusan dapat melakukan

penangkapan ikan setelah alat penangkapan diganti bukan menjadi

Trawl. Pihak pemilik Kapal Trawl yang tidak berminat meneruskan

usaha penangkapan dapat mengalihkan kapalnya kepada pihak lain/

pemerintah dan mandapat ganti rugi dan mangalihkannya akan

diserahkan secara kredit kepada kelompok nelayan yang tergabung

dalam KUD. Selanjutnya kapal tersebut diubah menjadi kapal

perikanan bukan Trawl (pasal 5).


49

Instansi yang terkait dalm pelaksanaan Keppres adalah

Pemerintahan Daerah sebagai pihak yang melaksanakan ketentuan dan

Menteri Pertanian yang mengatur pelaksanaannya (pasal 6 dan 7).

Sebagaimana dipahami bahwa tujuan diberlakukannya kebijakan

penghapusan Trawl adalah untuk mengatur penggunaan alat tangkap

Trawl dalam rangka menghindari/ mencegah terjadinya konflik sosial

secara luas dikalangan masyarakat nelayan sehingga tercipta suasana

aman disekitar wilayah perairan Indonesia. Ketentuan Keppres

memuat kesan pemerataan dan keadilan dalam memanfaatkan sumber

daya ikan dan menjaga kelanjutan kelestariaannya.

Guna lebih mempercepat tercapainnya sasaran dalam kebijakan

penghapusan Trawl berdasar Keppres No. 39 tahun 1980 maka

dikeluarkan Instruksi Presiden No. 11 tahun 1982 yang erat kaitannya

dengan pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar, kelancaran

upaya peningkatan produksi nelayan tradisional serta mencegah

kemungkinan timbulnya ketegangan dan gejolak sosial. Pokok-pokok

ketentuan Surat Keputusan Menteri Pertanian tersebut adalah:

1. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 melaksanakan

penghapusan Jaring Trawl diseluruh Indonesia.

2. Semua izin usaha kapal perikanan bermotor menggunakan

Jaring Trawl hanya berlaku sampai dengan tanggal 31

Desember 1982.
50

3. Terhitung mulai tanggal berlakunya Surat Keputusan Menteri

Pertanian, ini dilaksanakan penyuluhan dan latihan untuk alih

peningkatan keterampilan kepada para nelayan tradisional

anak buah Kapal Trawl dan Petani Ikan serta inventaris

keinginan para pemilik kapal perikanan yang menggunakan

Jaring Trawl dalam rangka rencana penggunaan alat

penangkapan ikan jenis lain.

4. Semua ketentuan yang tercantum dalam surat keputusan

barsama menteri pertanian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Perdagangan dan Koperasi No. 196/kpts/um/9/1980 tetap

berlaku.

5. Surat keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

yaitu 3 Agustus 1982.

b. Pukat Udang.

Adanya larangan penggunaan Jaring Trawl menyebabkan

turunnya produksi udang. Dampaknya ekspor mancanegara cenderung

turun. Mengantisipasi situasi ini pemerintah mencanangkan program

udang nasional melaui kebijakan pengembangan tambak udang

maupun penangkapan ikan laut untuk nelayan tradisional. Selain

mengembangkan budidaya udang tambak dengan pola intensifikasi

maupun ekstensifikasi dikeluarkan Keppres No. 85 tahun 1982 tentang

penggunaan Pukat Udang.


51

Hal ini dimaksudkan agar menurunnya produksi udang dapat

diatasi, Karena Pukat udang spesifikasi mempunyai bagian filter

(saringan) sehingga mampu memperkecil hasil samping. Dengan

demikian hasil utamanya adalah udang karena sebagian besar ikan

ukuran tertentu dapat lolos dari pukat udang ini.

Beberapa ketentuan yang ditetapkan dalam penggunaan Pukat

udang adalah:

a. Pukat udang hanya diperbolehkan beroperasi dikepulauan Kei,

Tanibar, Aru, Irian jaya, dan Laut Arafura (131) BT ke timur.

b. Izin penggunaan Pukat udang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian.

c. Jumlah Pukat udang yang boleh beroperasi disesuaikan dengan

daya dukung sumber daya ikan/ udang yang ada.

d. Di luar daerah yang telah ditetapkan tersebut (a) tetap berlaku

Keppres No. 39 tahun 1980 kecuali untuk ilmu pengetahuan.

e. Hasil sampingan yang diperoleh dalam penangkapan dengan pukat

udang ini harus diserahkan kepada Perusahaan Negara untuk

dimanfaatkan.

c. Jaring Berkantong.

Dengan keputusan Menteri Pertanian No. 503/kpts/7/1980 telah

ditetapkan pengertian tentang Jaring Trawl, sehingga jelas perbedaan

antara alat tangkap Trawl dengan Jaring Berkantong lain. Ternyata

dalam perkembangan selanjutnya perkembangan teknologi dikalangan

nelayan usaha skala kecil mengakibatkan adanya modifikasi pada


52

beberapa alat tangkap berbentuk kantong. Alat tangkap berbentuk

kantong yang semula tidak masuk klasifikasi Jaring Trawl akibat

modifikasi tersebut menjadi masuk dalam klasifkiasi Jaring Trawl. Hal

ini menimbulkan gejolak dan keresahan, bahkan bentrok antara

nelayan tradisional di daerah.

Adanya modifikasi alat tangkap berkantong kadang sulit untuk

dibedakan secara pasti apakah alat tangkap tersebut mirip Trawl dan

diklasifikasikan sebagai Trawl. Untuk itu pemerintah mengeluarkan

petunjuk pelaksanaan Keputusan Menteri Pertanian No.1/

IK.340/DJ.10106/97, dengan pokok-pokok penetapannya sebagai

berikut:

1. Jaring Trawl merupakan jenis-jenis jaring berbentuk kantong

yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan

alat tangkap pembuka mulut jaring yang disebut gawang

(beam) atau sepasang alat pembuka (otter-board) dan jaring

yang ditarik oleh 2 kapal bermotor.

2. Spesifikasi Jaring Trawl terdiri dari:

Tali penarik (warp), Papan pembuka mulut jaring (otter-

board) atau gawang (beam), Tali tangan (hand rope), Sayap

jaring (wing), Mulut jaring, Badan jaring (body), Kantong (cod

end).

3. Jaring Trawl dengan spesifikasi seperti tersebut diatas pada

butir b tetap dilarang penggunaannya.


53

4. Alat berbentuk kantong yang telah diubah/dimodifikasi

sehingga bentuk, komponen serta ukuran alat tangkap ikan

berbentuk kantong yang menyerupai Jaring Trawl tetapi tidak

termasuk dalam klasifikasi Jaring Trawl antara lain: Cantrang,

Arad, Otok, Garuk dan Kerang.

5. Alat penangkapan ikan berbentuk kantong yang telah diubah/

dimodifikasi hanya boleh digunakan oleh Nelayan Usaha

Skala Kecil yaitu nelayan yang mempunyai sebuah kapal tidak

bermotor atau bermotor luar/bermotor dalam berukuran tidak

lebih 5 Gross Ton (GT). Atau mesin yang berkekuatan tidak

lebih 15 Daya Kuda (DK), kecuali Lampara dasar dapat

menggunakan kapal berukuran panjang tidak lebih 12 meter

sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan menteri

pertanian No 767/kpts/IK.210/10/1988.

3. Undang-Undang Perikanan.

Sebelum Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun 1985 keluar,

berdasar Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar tahun 1945

tercantum bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih

langsung berlaku, selain belum diadakan yang baru menurut undang-

undang Dasar ini”. Ini merupakan terjadinya kekosongan hukum (recht

vacuum). Artinya sebelum pemerintahan bersama dengan DPR sempat

melahirkan undang-undang yang baru maka Ordonansi Hindia-Belanda

masih berlaku.
54

Berlakunya Undang-Undang No. 9 tahun 1985 mengandung

konsekuensi bahwa semua Ordonansi Hindia-Belanda yang bertentangan

dengan undang-undang perikanan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.

Peraturan perundang-undangan yang terbit berupa peraturan pemerintah,

Surat keputusan menteri pertanian dan lain lain, yang pada dasarnya

dimaksudkan mengatur lebih baik lagi pelaksanaan kebijakan

pembangunan perikanan. Beberapa peraturan perundangan yang penting

dan yang dapat dikumpulkan antara lain Peraturan Pemerintah No. 15

Tahun 1990 tentang usaha perikanan, yang kemudian disempurnakan

dengan peraturan pemerintah No. 46 Tahun 1993 tentang perubahan atas

peraturan pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang usaha perikanan

(dibahas pada perizinan usah perikanan).

Adapun beberapa peraturan perundangan pokok-pokok

ketetapannya adalah sebagi berikut:

1. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 173a/kpts/IK.250/6/1985,

tentang jumlah tangkap ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi

Eklisif.

2. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 475/kpts/IK.120/7/1985

tentang perizinan bagi orang atau badan hukum asing untuk

menangkap ikan di Zona Ekonomi Eklusif.

3. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 475/kpts/IK.120/7/1985

tentang penetapan tempat melapor bagi kapal perikanan yang

mendapat izin menangkap ikan di Zona Ekonomi Eklusif.


55

4. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 475/kpts/IK.120/7/1988

tentang perubahan besarnya pungutan penangkapan ikan bagi

orang/badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di

Zona Ekonomi Eklusif.

5. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 277/kpts/IK.120/5/1987

tentang perizinan usaha bidang penangkapan ikan di perairan

Indonesia dan Zona Ekonomi Eklusif.

6. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 362/kpts/RC.410/6/1989

tentang kriteria jenis kegiatan dilingkungan sektor pertanian yang

wajib dilengkapi dengan penyajian informasi lingkungan (PIL)

dan penyajian evaluasi lingkungan (PEL).

7. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 815/kpts/IK.120/11/1990

tentang perizinan usaha perikanan.

8. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 816/kpts/IK.120/11/1990

tentang penggunaan kapal perikanan berbendera asing dengan cara

sewa untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eklusif.

9. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 375 thun 1995 tentang

pelarangan penangkapan ikan Napoleon Wrasee, kecuali untuk

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

pengembangan budidaya, penangkapan oleh nelayan tradisional

dengan alat dan tata cara yang tidak merusak lingkungan.

10. Keputusan Menteri perindustrian dan Menteri Perdagangan No.

94/Kp/V/1995 tentang larangan ekspor ikan Napoleon Wrasse.


56

Dalam keadaan hidup/ mati termasuk bagian-bagian dari padanya

maupun barang-barang kecuali yang ditangkap dengan izin

menteri pertanian.

11. Keputusan Direktorat jendral Perikanan No. HK.330/S3.663/1996

tentang perubahan Keputusan dirjen perikanan No.

HK.330/Dj.8259/1995 tentang ukuran, lokasi dan tata cara

penangkapan ikan.

12. Keputusan Menteri Pertanian No. 14/kpts/IK.410/1996 tentang

perubahan ke-2 Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

114/kpts/IK.410/2/1996 tentang penetapan pelabuhan sebagai

pangkalan bagi kapal perikanan berbendera asing yang disewa

perusahaan Indonesia untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi

Eklusif Indonesia.

13. Keputusan Menteri Pertanian No 392/kpts/IK.120/4/1999 tentang

jalur-jalur penangkapan ikan.

4. Jalur-jalur Penangkapan ikan.

Kurun waktu sebelumnya berdasar Surat Keputusan Menteri

Pertanian No. 697/kpts/um/9/1976 jo No. 608/kpts/um/9/1976 dan No.

330/kpts/um/5/1978 telah diatur adanya jalur-jalur penangkapan ikan di

wilayah Perikanan Republik Indonesia. Sebagi wujud pelaksanaan pasal 4

Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan dan adanya

perkembangan teknologi penangkapan ikan maka dirasa perlu adanya

pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan. Atas dasar inilah pemerintah


57

mengeluarkan Keputusan menteri pertanian No. 392/kpts/IK.120/4/1999

tentang jalur-jalur penangkapan ikan yang terdiri dari 14 pasal yang

mengatur tentang adanya 3 jalur penangkapan ikan, penggunaan kapal

perikanan dan alat penangkapan ikan serta tanda pengenal alat

penangkapan ikan.

Pada pasal 2 wilayah perikanan Republik Indonesia dibagi menjadi

3 jalur penangkapan ikan yaitu jalur penangkapan ikan I, II dan III, semula

berdasar peraturan perundangan yang lama terbagi atas 4 jalur.

Sebagaimana pasal 3 keputusan ini, jalur penangkapan ikan I meliputi

perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada

setiap pulau sampai dengan jarak 6 mil laut ke arah laut. Jalur

penangkapan ini dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Perairan pantai yang diukur dari permukan air laut pada surut

terendah sampai 3 mil laut.

b. Perairan pantai di luar 3 mil laut sampai dengan 6 mil laut.

Jalur penangkapan ikan sampai 3 mil laut tersebut hanya

diperbolehkan untuk:

1. Alat tangkap ikan menetap.

2. Alat penangkapan ikan yang tidak menetap yang tidak

dimodifikasi.

3. Kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang

keseluruhan tidak lebih dari 10 Meter.


58

Perairan pantai diluar 3 mil laut sampai dengan 3 mil laut hanya

diperbolehkan untuk:

1. Alat penangkapan ikan yang tidak menetap modifikasinya.

2. Kapal perikanan tanpa motor dan bermotor tempel dengan

ukuran panjang 10 meter, bermotor tempel dalam ukuran

maksimal 12 meter/ 5 Gross (GT), Pukat Cincin berukuran

panjang maksimal 150 meter, dan Jaring Insang ukuran panjang

1.000 meter.

Jalur penangkapan ikan II (pasal 4) meliputi perairan di luar jalur

penangkapan ikan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut, pada jalur ini

hanya diperbolehkan untuk:

1. Kapal perikanan bermotor dalam ukuran 60 GT,

2. Kapal perikanan dengan menggunakan alat tangkap ikan: pukat

cincin, tuna long dan jarring ingsang.

Jalur penangkapan ikan II pasal 5 meliputi perairan di luar Zona

Ekonomi Eklusif Indonesia diatur sebagai berikut:

1. Diperairan Indonesia diperbolehkan untuk kapal perikanan

berbendera Indonesia ukuran maksiml 200 GT, kecuali yang

menggunakan alat penangkapan ikan purse pelangis dasar di

Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seran dilarang untuk semua

ukuran.

2. Perairan Zona Ekonomi Eklusif Indonesia Selat Malaka

diperbolehkan untuk kapal berbendera Indonesia ukuran


59

maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkapan

ikan, pukat ikan minimal 69 GT.

3. Perairan Zona Ekonomi Eklusif Indonesia di luar Zona Ekonomi

Eklusif Indonesia Selat Malaka diperbolehkan bagi kapal

perikanan berbendera Indonesia ukuran maksimal 350 GT bagi

semua alat penangkapan ikan, kapal perikanan ukuran diatas 350

GT sampai 800 GT yang menggunakan alat tangkap ikan purse

seine hanya boleh beroperasi di luar Jawa 100 mil laut garis

pangkal Kepulauan Indonesia. Kapal perikanan dengan alat

tangkap ikan purse seine dengan sistem grup hanya boleh

beroperasi di luar 100 mil laut garis pengkal kep. Indonesia.

Sejak masa Hindia-Belanda sampai Indonsia merdeka bidang

kelautan disatukan dalam bidang pertanian. Hal ini berpengaruh terhadap

kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, karena bidang kelautan dan

pertanian memiliki karakteristik yang berebeda. Kabijakan dan peraturan

kemaritiman telah tercipta sejak masa Hindia-Belanda meski hanya

bersifat sepenggal-penggal sehingga belum menciptakan adanya satu

kesatuan yang utuh. Ordonansi Hindia-Belanda sebagai undang-undang

perikanan yang berisi tentang peraturan perizinan penangkapan dan

sanksi-sanksi atas pelanggaran ternyata hanya berpihak pada satu

kelompok pemilik izin yaitu para tauke Belanda sehingga nelayan

tradisional terabaikan.
60

Pada masa kemerdekaan ordonansi Hindia-Belanda tetap dipakai

hingga Indonesia merdeka karena belum tercipta undang-undang

perikanan yang baru. Perbaikan dalam bidang kelautan dilakukan pada

lembaga-lembaga yang menangani perikanan/ restrukturisasi yang

bertujuan untuk kesejahteraan nelayan dan tercapainnya pembangunan

sektor perikanan. Masa Orde lama pembangunan sektor kelautan mulai

memantapkan diri namun terhalang oleh adanya sistem pemerintahan yang

berganti-ganti/ pergatian kabinet.

Pada masa Orde baru pembangunan kelautan dan perikanan

dimantapkan. Lembaga-lembaga kelautan mengalami restrukturisasi serta

kebijakan mengarah untuk kesejahteraan masyarakat nelayan. Namun hal

ini tetap kurang tepat sasaran karena kelautan masih dalam bargaining

position dibandingkan dengan sektor lain/ pertanian, sehingga

marjinalisasi masih terus berlanjut. Hal lain dipicu adanya kebijakan Orde

baru yang lebih mendorong peran industrialisasi sebagai sektor pemicu

pertumbuhan ekonomi serta adanaya praktek-praktek pelanggaran berupa

KKN, sehingga kabijakan kurang tepat sasaran.

Kebijakan modernisasi perikanan menjadi satu-satunya cara yang

dilakukan Orde baru guna meningkatkan produksi ikan yang diberlakukan

tahun 1970-an, berupa alat penangkapan trawl/ Pukat harimau. Tujuan

untuk kesejahteraan para nelayan tidak tercapai karena muncul

ketegangan-ketegangan diantara nelayan, antara pemilik modal besar

dengan nelayan tradisional. Nelayan tradisional merasa tidak adil karena


61

hasil tangkapan ikan semakin menurun akibat pemakaian teknologi yang

lebih bamyak menangkap ikan (perbedaan pemakaian teknologi

penangkapan ikan). Terjadilah kesenjangan sosial-ekonomi, menjadi

kompleks dengan lahirnya persoalan lain terkait dengan ekologi nelayan,

sosial dan budaya.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk

menyelesaikan permasalahan nelayan namun masih tetap timbul masalah

baru. Sebagai contoh pelarangan terhadap trawl dengan dikeluarkannya

Undang-Undang No. 39/1980, dilanggar dengan masih beroperasinya

kapal trawl atau sejenisnya.

Jika dicermati selama tahun 1970-1998 kebijakan kemaritiman

yang diterapkan pemerintah dengan peraturan perundang-undangan

bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat nelayan. Namun hal ini tidak

tepat sasaran, karena hanya dinikmati oleh satu kelompok pemilik modal

besar dari luar daerah saja. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selama

ini berupa paket-paket peraturan/ undang-undang berlaku nasional tanpa

memahami adanya karakteristik antar wilayah yang berbeda.

Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu timbulnya ketegangan

pada masyarakat pesisir. Pemberlakuan kebijakan sering kali dinikmati

oleh segelintir orang sehingga tercipta kesan adanya ketidak-adilan yang

berakibat adanya kecemburuan akibat kesenjangan sosial antara pemilik

izin dengan non pemilik izin hal ini terjadi mulai masa Hindia belanda

hingga Indonesia telah merdeka bahkan sampai sat ini. Ikatan patron-klien
62

semakin kuat dan nelayan sulit lepas dari ikatan ini. Sehingga ada kesan

bahwa pembangunan hanya sekedar rencana/ omongan, masyarakat tidak

semua menikmati karena adanya kurang tepat sasaran. Mungkin ada

benarnya bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar akibat adanya

penyelewengan.
63

BAB IV

DINAMIKA GERAKAN NELAYAN TAHUN 1978-1998

A. Karakteristik masyarakat nelayan Cilacap.

Karakteristik masyarakat nelayan Cilacap adalah masyarakat yang

selalu berani, terbuka, mempunyai tingkat emosi yang tinggi serta cenderung

keras. Karakteristik ini dilatar-belakangi karena lingkungan geografis, dalam

memperjuangkan hidup harus benar-benar berjuang melawan alam terbuka

berupa tantangan-tantangan melawan ombak besar dan musim yang tidak

pernah bersahabat/ kadang berubah (Wawancara dengan Munirin, 16

Sept.2004). Kusumastanto (2005) mengungkapkan bahwa:

“…Dari sudut sosiologis-historis dan kultur masyarakat pesisir (nelayan)


menunjukan pola sikap dan hidup kosmopolitan/ internasionalisme,
dinamisme, interprenersip, outword looking dibandingkan masyarakat
pedalaman”. (Kusumastanto, 2005:61).

Dengan karakteristik ini masyarakat nelayan sangat rentan terhadap

berbagai isu-isu yang berkobar dalam masyarakat nelayan, terjadilah

berbagai ketegangan-ketegangan yang kadang tidak mereka mengerti pokok

permasalahannya. Dalam usaha perikanan sangat tergantung pada musim,

harga dan pasar maka sebagian besar karakteristik masyarakat pesisir

(khususnya nelayan dan petani ikan) tergantung pada faktor-faktor sebagai

berikut:

1. Kondisi ekosistem dan lingkungan yang rentan pada kerusakan,

pencemaran dan degradasi kualitas lingkungan. Pembangunan kawasan

industri di wilayah pesisir telah menjadi salah satu penyebab hancurnya


64

sendi-sendi ekonomi kehidupan masyarakat seperti: anjloknya produksi

penangkapan Ikan, Tambak Udang, Tambak Bandeng dan Garam

rakyat.

2. Ketergantungan pada musim. Ketergantungan pada musim sangat besar

terutama pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan mereka sangat

sibuk, sedang pada musim peceklik mereka mencari kegiatan ekonomi

lain atau menganggur. Secara umum pendapatan nelayan sangat

fluktuatif. Kondisi ini tercermin dari pola hidup masyarakat nelayan.

Pada musim Panen cenderung bersifat konsumtif/ berfoya-foya dan

pada musim Paceklik mereka lebih banyak terlibat utang dengan

rentenir/ tengkulak. Kondisi ini menyebabkan pola hubungan yang khas

dikalangan masyarakat nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak

ikan terikat oleh hubungan Patron-klien yaitu antara nelayan kecil

dengan para tengkulak. Akibatnya para nelayan menjadi terikat dan

tereksploitasi oleh juragan/ rentenir da harus membayar utang melalui

tenagannya (self exploitatioan).

3. Tergantung pada pasar. Hal ini dikarenakan komoditas yang dihasilkan

harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari guna

menghindari ikan yang busuk sebelum laku dijual. Karakteristik ini

mempunyai implikasi yang sangat penting yaitu masyarakat nelayan

sangat peka terhadap fluktuatif harga. Perubahan harga sekecil apapun

sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat nelayan.


65

Dari ketiga persoalan diatas persoalan yang paling mendasar dan terus

menerus mempengaruhi nelayan adalah persoalan sosial dalam konteks

makro menyangkut ketergantungan sosial Patron-klien. Faktor kelemahan

yang dimiliki nelayan sebagai nelayan tradisional dan pendega adalah bahwa

mereka tidak bisa menghindari adanya sistem sosial budaya yang disadari/

tidak menjeratnya kedalam lingkaran kemiskinan. Sistem sosial budaya ini

sudah begitu sangat melembaga pada masyarakat nelayan.

Persoalan yang juga krusial dalam masyarakat nelayan adalah

berkembangnya mafia-mafia penangkapan ikan yang memanfaatkan

berkembangnya tangkahan-tangkahan (pendaratan ikan ilegal) yang konon

mendapat garansi dari oknum-oknum aparat sipil dan militer di daerah dan

pusat (data 4). Kerusuhan masa berupa pembakaran kapal yang terjadi pada

nelayan Cilacap adalah merupakan konflik horizontal antar nelayan akibat

penguasaan oleh kelembagaan ekonomi oleh sekelompok kecil masyarakat

atas kelompok masyarakat nelayan yang terpinggirkan.

B. Permasalahan dan awal terjadinya konflik nelayan.

Dayan Daud dalam Panuju (2002) memberi perspektif bahwa konflik

sosial bisa disebabkan distribusi kekuasaan yang dirasakan tidak

memperhatikan keadilan. Pola pengolahan program politik dan ekonomi

dalam tatanan sistem birokrasi sipil sejak tingkat pusat hingga ke daerah

sampai ketingkat desa bersifat sentralistik dengan mengabaikan kepentingan

masyarakat setempat.
66

Secara umum awal terjadinya ketegangan nelayan/ konflik adalah

adanya perbedaan dalam penghasilan (kesenjangan sosial) antara penguasa

alat produksi modern dengan nelayan tradisional. Ketegangan berawal

ketika pada tahun 1975 adanya kedatangan nelayan yang berasal dari luar

Cilacap. Nelayan tersebut antara lain adalah nelayan Tegal, Brebes, nelayan

Madura dan nelayan Cina bagan siapi-api Riau.

Kadatangan nelayan dari luar daerah ini dibarengi dengan adanya

pemberlakuan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi

perikanan dan kesejahteraan nelayan berupa modernisasi perikanan/ Blue

Revolution, Blue Revolution adalah suatu kebijakan untuk meningkatkan

kesejahteraan nelayan dengan meningkatkan hasil tangkapan ikan dengan

menggunakan perahu modern, seperti Trawl (Gb.13), Pukat Harimau dan

sejenisnya (Gb. 10-14).

Karena modal banyak dimiliki oleh para tauke Cina Bagansiapi-api

maka teknologi tangkap perikanan Trawl dan Pukat Harimau hampir semua

dikuasai oleh mereka. Nelayan tradisional kalah modal sehingga hanya

beberapa segelintir orang yang saja yang mempunyai kapal tersebut.

Keadaan ini telah menciptakan adanya stratifikasi yaitu kelompok nelayan

pendatang (Bagansiapi-api) dan nelayan tradisional.

Perbedaan alat penangkapan ikan ini telah membuat adanya perbedaan

hasil tangkapan ikan, secara otomatis Kapal Trawl memperoleh hasil

tangkapan jauh lebih banyak dibandingkan kapal nelayan tradisonal, karena

jaungkauan pencarian ikan Kapal Trawl yang berada di tengah laut. Kapal
67

Trawl/ Pukat harimau dalam sehari rata-rata mampu menangkap ikan 27

kwintal sedang kapal tradisional menangkap ikan maksimal 3-5 kwintal

(Wawancara dengan Tori, 23 Oktober 2005).

Hal ini membuat para nelayan lebih memilih untuk menjadi ABK

Kapal Trwal, karena hasil tangkapan ikan yang tidak mampu mencukupi

kebutuhan sehari-hari. Mereka merasa dengan menjadi ABK Kapal Trawl

perbaikan nasib bisa terjadi. Sungguh sesuatu yang ironis karena nelayan

asli harus tunduk dan mengabdi pada nelayan pendatang.

Tingkat ekonomi nelayan Cina Bagansiapi-api terlihat begitu berbeda

jauh dengan nelayan tradisional. Hal ini diungkapkan oleh Tohirin sebagai

berikut:

“ Kami (nelayan tradisional) tidak pernah bisa untuk membeli


sebuah Televisi, membuat rumah dari tembok bahkan kami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Sebaliknya
para tauke Cina Bagansiapi-api bisa membangun rumah mewah
lebih dari satu lengkap dengan segala fasilitasnya”. (Wawancara
dengan Tohirin,24 Oktober 2005).

Keadaan ini memicu adanya kesenjangan ekonomi yang kemudian

menjadi ketegangan/ konflik. Nelayan tradisional merasa tidak adil karena

orang-orang Cina Bagansiapi-api seperti raja yang berkuasa di negeri

orang. Keadaan semakin memanas ketika nelayan tradisional hasil

tangkapan ikan menurun bahkan tidak mendapatkan ikan sama sekali

akibat eksploitasi oleh kapal trawl. Permasalahaan menjadi kompleks

ketika pada Agustus 1978 para ABK merasa tidak diperlakukan adil oleh

juragan kapal trawl dan adanya masa paceklik dimana ABK kesulitan
68

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perlakuan para juragan dinilai kurang

manusiawi karena gaji mereka tidak dinaikkan.

Sebagai bentuk protes terhadap kapal trawl adalah nelayan

tradisional melakukan penjarahan dan kadang membakar kapal ketika

bertemu di laut atau membawa kapal kedarat menurunkan para ABK dan

kemudian membakar kapal di tengah laut. Permasalahan perikanan dan

nelayan mempunyai tingkat komplektifitas yang cukup tinggi.

Kemiskinan, persaingan dan konflik budaya sering didekati dengan satu

aspek dimana peneyelesaiannya bersifat karikatif semata-mata.

Beberapa permasalahan nelayan yang mengarah pada konflik

nelayan Cilacap:

1. Penerapan Teknologi. Adanya perbedaan dalam penggunaan teknologi

penangkapan baik berupa kapal maupun jaring penangkapan.

Pemakaian Trawl/ Pukat Harimau di perairan Cilacap telah

berlangsung sejak tahun 1972. Keadaan ini telah mengundang

ketegangan antara nelayan tradisional dengan kapal trawl karena

perolehan hasil tangkap ikan, nelayan tradisional menurun hasil

tangkapan ikannya karena terekspolitasi oleh Kapal Trawl. Trawl

mampu menangkap ikan dengan hasil yang besar tanpa

memperhatikan dampak lingkungan laut yang rusak karena eksplotasi.

Dalam masyarakat nelayan terdapat dua klasifkasi/ tingkatan sosial

nelayan yang didasarkan pada teknologi penangkapan yaitu nelayan

modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern mengunakan


69

teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan nelayan tradisional,

dapat dilihat dari ukuran perahu yang lebih besar dan alat tangkap

jaring besar yang beroperasi di daerah tengah laut. Sehingga

Perolehan hasil tangkapan oleh nelayan modern lebih banyak. Hal ini

menimbulkan ketegangan antar nelayan modern dan nelayan

tradisional. Nelayan modern memperoleh tangkap lebih tetapi nelayan

tradisional sedikit bahkan kadang-kadang tidak mendapat ikan.

Timbul kesenjangan sosial yang kamudian menjadi konflik nelayan.

Kecermatan dalam mengelola teknologi ternyata merupakan

salah satu faktor yan harus diperhitungkan dalam memelihara kohesi

sosial. Kompetisi antar nelayan pengeksploitasi sumber daya kelautan

di perairan tradisional telah bergeser menjadi konflik terbuka.

Bermula dari menurunnya ikan hasil tangkapan nelayan tradisional

yang dituduh simultan dengan merajalelanya operasi kapal Pukat

Harimau/ Trawl untuk menjaring ikan berbagai ukuran dan jenis pada

zona tradisional berjarak 6 mil. Konflik terbuka antar nelayan telah

menimbulkan pecahnya kohesi sosial internal nelayan dan telah

menimbulkan korban manusia dan kerugian dari kedua belah pihak

(Nasution, 2005:11).

Tahun 1975 Kapal Trawl/ Pukat Harimau banyak beroperasi di

perairan Cilacap. Hal ini menimbulkan ketegangan pada Agustus 1979

dengan nelayan tradisional karena hasil tangkapan ikan menjadi

menurun. Selain hal tersebut lingkungan biotik laut rusak akibat


70

eksploitasi Kapal Trawl/ Pukat Harimau. Nelayan melakukan protes

kepada Pemerintah Daerah pada 12 Agustus 1979 namun tidak

mendapat tanggapan yang serius dari pemerintah. Ketegangan

semakin memanas dengan ditandai penjarahan kapal Pukat Harimau

oleh nelayan tradisional serta pembakaran kapal sebagai bentuk

protes.

2. Perebutan batas wilayah penangkapan. Wilayah penangkaan bagi

nelayan modern (Pukat Harimau, Trawl, dan lain-lain) adalah di

daerah tengah laut, sedang nelayan tradisional adalah di daerah laut

pinggiran. Ketegangan terjadi ketika para nelayan modern melakukan

penangkapan ikan di daerah tepi dan menguras habis semua ikan.

Pada tahun 1979 harga Udang naik tinggi Rp. 20.000,00/kg.

Hal ini memicu untuk hanya menangkap Udang. Tak terkecuali

Nelayan trawl, terjadi ketegangan antara nelayan Trawl dengan

nelayan tradisional karena nelayan tradisional merasa tidak adil karena

hasil tangkapan menurun/ kalah dengan Trawl. Biota udang adalah

berada di daerah tepi yang berbatasan dengan sungai yang banyak

mengandung organiknya, keadaan semakin memanas dengan sikap

para ABK Kapal Trawl yang membuang ikan, hal ini dianggap

melecehkan nelayan tradisional karena ikan langka ditambah lagi

dengan terdesaknya daerah penangkapan ikan oleh Kapal Trawl.

Ketika harga udang naik Kapal Trawl mulai menangkap ikan

di daerah tepi pantai yang merupakan wilayah penangkapan nelayan


71

tradisional. Mereka hanya menangkap udang dan membuang ikan. Hal

ini merupakan bentuk pelecehan karena ikan langka akibat adanya

musim paceklik (Wawancara dengan Tohirin, 25 Oktober 2005).

Alat tangkap Trawl adalah alat tangkap poduktif untuk

berbagai jenis ikan dasar utamanya adalah udang, karena mahal

harganya. Sifat biologis udang adalah hidup di dasar perairan dangkal

yang banyak organiknya oleh karena itu Jaring Trawl banyak

beroperasi di pinggiran pantai dan muara sungai. Timbulah benturan

kepentingan antara nelayan tradisional dan modern (Trawl) yang

berujung pada ketegangan sosial antara dua kelompok (Tribawono,

2002: 68).

3. Kesenjangan Ekonomi. Dalam masyarakat nelayan terdapat dua kelas/

tingkatan yaitu juragan (pemilik kapal) dan pendega/buruh

penanggung jawab kapal dan anak buah kapal). Juragan memiliki ciri

tingkat ekonomi yang cukup mapan dibanding dengan pendega dan

buruh. Hal inilah yang menimbulkan adanya kesenjangan dan

kecemburuan ekonomi, ditambah lagi dengan para juragan yang

kebanyakan adalah pendatang (Etnis Tionghoa).

Nelayan merasa bahwa yang seharusnya menikmati adalah

para nelayan tradisional, namun dalam kenyataannya nelayan

tradisional dalam keadaan yang memprihatinkan. Pada akhirnya

nelayan melakukan berbagai cara/alasan untuk melakukan protes yang

pada intinya adalah kesenjangan sosial. Tuntutan itu seperti: menuntut


72

kenaikan gaji ABK, pembagian hasi tangkapan yang tidak adil dan

protes terhadap Trawl.

Protes nelayan Cilacap tahun 1998 adalah dilatar belakangi

oleh adanya kesenjangan sosial antara nelayan Cina Bagansiapi-api

dengan nelayan tradisional/pribumi. Para nelayan Cina yang disebut

dengan Tauke Cina Bagan mendominasi perikanan di Cilacap.

Mereka seperti raja di negeri orang, sebutan bagi keberhasilan para

Tauke Cina.

Sebuah Kapal Trawl milik Tauke Cina dalam sekali melaut

(10-14 hari) mampu membawa hasil tangkapan ikan 3-4 ton. Hasil ini

90% masuk kepemilik kapal/juragan sedang 10% dibagikan kesemua

ABK/buruh kapal. Sebaliknya dengan nelayan tradisional hasil yang

diperoleh dalam sehari hanya 2 kwintal itupun pada musim panen

yang harus dibagi dengan anggota yang ikut dalam kapal (data 5).

Karakteristik yang keras dan pokoke ini mempermudah

terjadinya konflik/ketegangan sosial. Isu-isu yang ada langsung begitu

saja ditanggapi dengan negatif. Laut adalah milik nenek moyang yang

diwariskan secara turun temurun dan hanya untuk mereka, orang luar

tidak berhak atau mengeksploitasi karena selama ini nelayan Cilacap

hanya menggunakan laut dengan secukupnya (Wawancara dengan

Tori, 23 November 2004).

Kondisi ini tentu berbeda dengan rencana pemerintah/

kebijakan, dimana menggunakan laut dengan sebaik-baiknya adalah


73

sah demi kesejahteraan masyarakat nelayan. Sebuah pembangunan

memerlukan pengorbanan tetapi apakah rakyat merasakan dampak

yang seharusnya tidak mereka derita demi dalih kesejahteraan.

Gerakan nelayan merupakan suatu reaksi atas suatu aksi yang

dilakukan sebagai respons terhadap ketidak-seimbangan, ketidak-

adilan dan ketidak-merataan yang ditimbulkan (Wahono, 2003:166).

Selama tahun 1970-1997 pembangunan kelautan selalu diposisikan

sebagai sektor pinggiran dalam pembangunan ekonomi nasional.

Sektor kelautan dalam pengambilan kebijakan disamakan dengan

darat (pertanian) meski mempunyai karakteristik yang berbeda.

Penerapan teknologi yang bermaksud meningkatkan

kesejahteraan para nelayan ternyata tidak sesuai tujuan karena

teknologi pemakaian dikuasai oleh para nelayan pendatang yang

mendominasi teknologi penangkapan modern. Akibatnya terjadi

masalah-masalah ekologis, penghasilan nelayan menurun, tercipta

kesenjangan sosial antara nelayan tradisional dan modern. Nasution

(2005) mengungkapkan bahwa:

“…Transformasi teknologi penangkapan sebagai bagian dari


modernisasi ternyata berimplikasi pada munculnya polarisasi
ekonomi nelayan yang mengelompoknya nelayan pemilik dengan
non-pemilik alat produksi. Kondisi ini merupakan faktor struktural
kemiskinan nelayan yang terjadi oleh karena sistem bagi hasil yang
tidak adil dan kuatnya determinasi pemilik dalam setiap relasi kerja
dan sosial-ekonomi nelayan”. (Nasution, 2005:9).

Nelayan yang tidak memiliki alat produksi kurang mampu

memanfaatkan peluang yang terpapar dalam persaingan merebut sinergi


74

pangsa produksi kelautan dibandingkan kelompok nelayan yang

mempunyai akses kelubang modal dan kekuasaan. Gerakan nelayan

Cilacap merupakan perjuangan nelayan-nelayan tradisional dalam

mempertahankan hak-haknya atas sumber daya perikanan untuk menjaga

kelangsungan hidupnya. Berikut kutipan Bernas edisi 28 dan 29 Agustus

1998 yang merupakan puncak dari gerakan nelayan.

Bermula ketika ratusan nelayan tradisional dan para buruh ABK

Trawl/Pukat harimau berduyun-duyun mendatangi PPNC (Gb.2), para

awak Kapal Pukat Harimau menuntut agar gaji mereka dinaikan. Pada saat

yang sama nelayan tradisional menuntut, menagih janji otoritas pihak

PPNC untuk melakukan pembukaan dan pelebaran pintu sudetan

(dermaga), agar perahu tradisional dapat berlalu-lalang secara bebas.

Tuntutan lain adalah agar kapal Pukat harimau tidak beroperasi di perairan

Cilacap/lokasi wilayah operasi kapal tradisional.

Unjuk rasa ini mengarah pada tindakan yang anarkis dengan

nelayan membakar Pukat harimau/Trawl di Dermaga PPNC (Gb.6).

Kemudian menjalar pada perusakan dan penjarahan sejumlah toko dan

rumah yang merupakan milik Etnis Tionghoa. Pemicu dari unjuk rasa ini

adalah adanya isu akan datangnya Kapal Trawl sejumlah 500 kapal Pukat

Harimau/Trawl milik para Tauke Cina Bagansiapi-api karena adanya

kongkalikong dengan oknum aparat Pelabuhan.

Gerakan nelayan Cilacap mencerminkan berlangsungnya toleran

aparat keamanan Negara terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan


75

oleh pemilik kapal Pukat harimau, penetrasi kepentingan ekonomi para

pemilik modal besar dari luar daerah dan persaingan yang tidak seimbang

antar nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan karena

perbedaan tingkat kecanggihan teknologi penangkapan yang ada.

Beberapa faktor yang menjadi katalisator dalam konflik nelayan

diantaranya:

1. Kurang akses terhadap teknologi.

Realitas masyarakat nelayan adalah masyarakat yang selalu

kalah, kekalahan pertama adalah ketidak-mampuannya dalam

mengatasi alam yang tidak selalu bersahabat. Kekalahan kedua

adalah dalam realitas sosial mengalami marjinalisasi karena

ketertinggalan teknologi dan permasalah yang begitu kompleks

(Wahono, 2002:167).

Penerapan modernisasi perikanan berupa motorisasi alat

penangkapan ikan dan jaring penangkapan (Trawl/Pukat harimau)

pada tahun 1970-an telah membuat berbagai kondisi yang

memprihatinkan dalam masyarakat nelayan. Kapal Trawl hanya

dapat dimiliki oleh nelayan Cina Bagan yang memiliki modal

besar. Terdapat perbedaan penghasilan yang secara tidak sengaja

telah menciptakan adanya startifikasi/pengelompokan nelayan.

Nelayan masih memakai alat tangkap dengan kapal tradisional

seperti Compreng, yang hanya menangkap ikan di daerah tepi

pantai dengan memperoleh hasil ikan yang sedikit.


76

Satuan penangkapan ikan berskala kecil seringkali disebut

sebagai usaha perikanan tradisional di negara-negara berkembang

termasuk Indonesia, disamping menghadapi pertentangan dengan

perikanan skala besar/modern, juga mengalami keterbatasan-

keterbatasan lain yang mengakibatkan mereka tetap berada dalam

keadaan subsisten. Keterbatasan-keterbatasan itu meliputi

keterbatasan sumber daya ikan dan sifat open acces dari perikanan

(Nasution, 2002:12).

2. Gagalnya organisasi nelayan dalam memperjuangkan kepentingan

nelayan.

Apabila pemerintah dan organisasi nelayan tidak

mempunyai komitmen dalam memperjuangkan masalah-masalah

dalam masyarakat nelayan, maka organisasi tersebut tidak akan

mendapatkan kepercayaan dari masyarakat nelayan. Selama ini

organisasi nelayan dan pemerintah setempat dianggap tidak

berpihak kapada kepentingan nelayan setempat. Seseorang/sebuah

keluarga acapkali mampu tetap survive dan bangkit kembali bila

mempunyai jaringan/pranata sosial yang melindungi dan

menyelamatkannya (Suyanto dalam Wahono, 2002:169).

Gagalnya HNSI sebagai wadah aspirasi nelayan serta rukun

nelayan mengakibatkan kepercayaan nelayan pada organisasi ini

berkurang. Organisasi nelayan dianggap sebagai kepanjangan

tangan dari elit pemerintah untuk dapat mengontrol nelayan. Peran


77

organisasi hanya terlihat dalam upacara tradisi (Sedekah laut).

Rapat yang mengundang peran nelayan dalan organisasi dilakukan

hanya dalam acara pemilihan ketua dan wakil dari nelayan yang

akan diikutkan dalam ART (anggota tetap wakil nelayan).

Pertemuan hanya dilakukan sekali dalam setahun.

Ketidak percayaan masyarakat nelayan terhadap pemerintah

daerah setempat dan organisasi nelayan dalam menyelesaikan

permasalahan dalam masyarakat nelayan semakin menguat dengan

hadirnya permasalahan baru seperti pembangunan pintu sudetan

yang sudah diusulkan lama, persoalan upah buruh nelayan,

penindasan oleh militer dan pelanggaran budaya serta persoalan

dominasi Etnis Tionghoa pada bidang perikanan yang dianggap

sebagai ancaman.

Soetrisno dan Soeyanto dalam Wahono (2002)

menyebutkan bahwa besarnya peran negara dalam pembangunan

pada dasarnya tidak berbeda secara berarti antara masa kolonial

dengan masa pasca kolonial. Seperti pada masa kolonial pada masa

orde baru peran negara dan aparatnya dalam pembangunan pada

umumnya bersifat otoriter dan sentralis dalam pelaksanaan

kebijakan. Kekhawatiran yang cukup besar adalah karena peran

negara yang begitu besar tanpa disadari oleh negara menyebabkan

negara seringkali menjadi kurang peka dan merasa aparat negara


78

mempunyai hak untuk membatasi warga negara untuk memilih

alternatif pembangunan.

Sikap pemerintah sebagai pemegang kebijakan yang

menyebabkan timpangnya struktur sosial-ekonomi tidak semata-

mata atas dasar kepentingan pemerintah tetapi juga di wujudkan

dalam bentuk aliensi kekuatan strategis di masyarakat dalam

bentuk kekuatan sosial politik yang sejalan dengan kebijakannya.

Oleh karena itu kekuatan masyarakat yang ingin mencoba untuk

mengadakan koreksi terhadap kebijakannya tidak disikapi sebagai

suatu hal yang positif tetapi negatif.

Buruh nelayan yang menginginkan perbaikan upah kepada

majikannya seringkali dianggap sebagai PKI dan bentuk stigmitasi

lain yang memotong perlawanan rakyat terhadap kebijakan

pemerintah (Wawancara dengan Sarwono, 23 November 2005).

Hal ini mengakibatkan tertib sosial dilakukan dengan tekanan dan

paksaan baik tekanan secara mental maupun fisik oleh institusi

pemerintah maupun non pemerintah. Tertib sosial yang seperti ini

adalah tertib sosial yang semu, yaitu tertib tetapi penuh dengan

ketegangan yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi suatu

perlawanan (Soeleman dalam Wahono, 2002:171).

3. Tidak dilaksanakannya aturan main.

Persaingan merupakan hal yang tidak terelakan dalam

masyarakat nelayan, perebutan daerah penangkapan ikan dan tidak


79

dilaksanakannya aturan yang berlaku dengan pengawasan yang

ketat menyebabkan persaingan dapat menjadi konflik. Dalam

beberapa kasus yang terjadi koflik nelayan dilatar belakangi

adanya perebutan daerah penangkapan ikan dan tidak

dilaksanakannya aturan main. Penggunaan teknologi penangkapan

ikan berupa Trawl telah mengundang berbagai konflik karena

merusak lingkungan dan melanggar batas wilayah penangkapan,

dimana seharusnya nelayan trawl menangkap ikan di wilayah

tengah laut tetapi menangkap ikan di wilayah tepi.

Persoalan lain adalah adanya boccing aparat keamanan/

pihak berwenang oleh pemilik kapal Pukat Harimau dan

sejenisnya. Sehingga kapal yang seharusnya tidak beroperasi

menjadi aktif kembali, hal ini memicu adanya kemarahan nelayan

tradisional. Kemarahan ini dapat menjadi tindak kekerasan jika

berkait dengan kesenjangan ekonomi dan sosial diantara nelayan

dan mengancam kelangsungan hidup. Ditambah lagi dengan

adanya unsur-unsur etnisitas yang dapat dieksplorasi untuk

mempertajam kebencian dan konflik sosial (Kusnadi, 2002:96).

C. Gerakan Nelayan Cilacap Tahun 1978-1998.

Gerakan nelayan adalah suatu bentuk perilaku bersama sejumlah orang

(nelayan) yang terorganisir dan disiagakan untuk mendukung dan

memperjuangkan/melawan suatu perubahan sosial. Nelayan Cilacap

mempunyai sejarah yang cukup panjang dalam melakukan perjuangan.


80

Perjuangan nelayan Cilacap pertama dilakukan pada tahun 1978-1980,

perjuangan ke-2 Tahun 1982 dan perjuangan ke-3 pada Tahun 1998.

Perjuangan nelayan pertama sampai perjuangan ke tiga dilatar

belakangi oleh adannya masalah ketidak-adilan atas suatu kebijakan

pemerintah yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat nelayan namun tak

tercapai akibat tidak tepat sasaran. Dimana hanya dinikmati oleh sekelompok

kecil nelayan.

1. Perjuangan Nelayan Cilacap tahun 1978-1980.

Perjuangan ini dilakukan selama dua tahun, dengan cara

melakukan protes kepada pemerintah daerah Cilacap. Tema perlawanan ini

adalah penghapusan Kapal Trawl dan sejenisnya yang telah beroperasi

selama dua tahun karena merusak ekosistem kelautan dan kesenjangan

ekonomi antar nelayan.

Tahun 1970-an pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan

tentang Blue Revolution (modernisasi teknologi penangkapan ikan).

Tujuannya adalah untuk mensejahterakan masyarakat nelayan, yang

kemudian direalisasikan melaui program kredit. Di gunakanlah teknologi

penangkapan ikan baru sebagai bentuk modernisasi perikanan yang berupa

kapal Pukat harimau/Trawl, Pukat udang dan Jaring berkantong

(Tribawono, 2002:68).

Alat Trawl dan sejenisnya produktif untuk berbagai jenis udang

putih dan windu yang harganya lebih mahal. Sifat biologis udang adalah

senang berada di tepi/muara sungai. Oleh karena itu Kapal Trawl banyak
81

beroperasi di wilayah tepi pantai yang merupakan wilayah penangkapan

bagi nelayan tradisional.

Kapal-kapal Trawl tidak hanya beroperasi di daerah lepas/tengah

laut tetapi juga didaerah pantai/pinggiran, sehinggga nelayan tradisional

mengalami pendapatan penangkapan ikan yang rendah bahkan kadang

tidak mendapatkan hasil akibat dieksploitasi oleh Kapal Trawl

(Wawancara dengan Soroso, 13 November 2005).

Timbulah kesenjangan antara nelayan Trawl dan nelayan

tradisional yang berujung pada konflik nelayan. Dampak kebijakan

Revolusi Biru telah mendorong timbulnya gejala tangkap lebih

(overfishing) dan pengurasan sumber daya perikanan secara berlebihan di

daerah pantai maupun perairan lepas. Untuk mendapatkan hasil tangkapan

diantara nelayan dalam berbagai skala usaha harus bersaing secara ketat.

Kompetisi ini sering mengundang bentrokan masal, dimana nelayan

tradisional mendapatkan hasil tangkapan yang rendah sedang nelayan

Trawl sebaliknya (Kusnadi, 2002:84).

Secara aktual dampak negatif dari Revolusi Biru adalah

terbentuknya pengelompokan sosial ekonomi yang relatif masih dalam

struktur masyarakat nelayan. Berdasar persepsi ini nelayan dibagi menjadi

2 golongan yaitu: golongan yang kaya sekali dan golongan menengah-

miskin. Golongan ke-2 merupakan golongan yang paling banyak dalam

komunitas nelayan. Proses perubahan di desa-desa telah mengakibatkan

nelayan dalam kesenjangan sosial dan kemiskinan (Kusnadi, 2002:18).


82

Dampak negatif pola perebutan need for achievement akan

memapankan posisi kelompok tertentu dan melebarkan jurang perbedaan

sosial-ekonomi dalam struktur masyarakat pantai. Kompetisi antar nelayan

pengeksploitasi sumber daya kelautan di perairan tradisional telah bergeser

menjadi konflik bertikai. Bermula dari menurunnya ikan hasil tangkapan

nelayan tradisional yang disebabkan oleh adanya operasi kapal Pukat

harimau.

Kecermatan dalam mengelola teknologi ternyata merupakan salah

satu faktor yang harus diperhitungkan dalam memelihara kohesi sosial.

Menurut hasil penelitian ternyata kompetisi antara nelayan pengeksploitasi

sumber daya perikanan di perairan tradisional telah bergeser menjadi

konflik bertikai. Konflik ini bermula dari menurunnya ikan hasil

tangkapan nelayan tradisional, yang disebabkan karena adanya

penggunaan Trawl. Konflik terbuka antar nelayan tradisional dan nelayan

Trawl telah menimbulkan pecahnya kohesi sosial internal nelayan karena

permusuhan antar kelompok nelayan telah menimbulkan korban jiwa dan

kerugian di kedua belah pihak.

Masalah keadilan merupakan masalah yang cukup serius dan

menjadi tema perlawanan nelayan Cilacap. Perlawanan nelayan Cilacap

tahun 1978-1980 merupakan perjuangan dalam menuntut keadilan dalam

menangkap ikan yang pada saat itu dikuasai oleh Kapal Trawl serta

memperoleh hasil yang cukup layak.


83

Kemarahan nelayan Cilacap dipicu oleh sikap ABK Kapal Trawl/

Pukat harimau yang hanya menangkap udang dan membuang ikan.

Padahal nelayan tradisional saat itu sulit menangkap ikan bahkan sering

tidak mendapatkan hasil tangkapan. Hal ini dianggap melecehkan para

nelayan tradisional (Wawancara dengan Herman, 22 Oktober 2005).

Respons masyarakat nelayan terhadap perubahan teknologi

penangkapan ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan oleh banyak

orang. Pukat Harimau adalah jenis alat tangkap yang memungkinkan

perolehan hasil banyak, akan tetapi tidak menguntungkan bagi nelayan

tradisional. Beberapa peristiwa perlawanan nelayan tradisional dapat kita

lihat seperti perusakan Kapal Pukat Harimau di Jawa Timur. Di Cilacap

dan Sumatra utara, kemarahan nelayan tradisional diekspresikan dengan

mengikat awak kapal yang menggunakan Kapal Pukat Harimau dan

menceburkan ke laut sedang kapalnya dikaramkan (Siahaan dan Singgih

dalam Wahono dkk, 2002:173).

Ketegangan semakin menjadi, sebagai langkah pemerintah

mengatasi hal ini adalah pemerintah mengeluarkan Keppres No. 39 tahun

1980, tentang penghapusan Trawl dan sejenisnya. Dengan tiga dasar

pertimbangannya adalah pembinaan kelestarian sumberdaya alam,

mendorong meningkatkan produksi nelayan tradisional dan menghindari

ketegangan sosil antar nelayan (Tribawono, 2002:69).

Guna mencapai sasaran yang dimaksud maka pemerintah

mengeluarkan Instruksi Presiden No 11 tahun 1982 sebagai bentuk tidak


84

lanjutnya. Dengan keluarnya Keppres ini tuntutan nelayan berakhir.

Dengan solusi ini diharapkan semua ketegangan yang ada pada masyarakat

nelayan selama ini selesai dan tidak terjadi adanya konflik yang sama.

2. Perlawanan Nelayan tahun 1982.

Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang terus menerus

memanas dan rawan terhadap konflik/ketegangan. Ketegangan-ketegangan

kecil akan cepat/mudah untuk menyulut pada adanya perselisihan/konflik

besar. Meski masalah telah selesai akan timbul masalah yang kembali.

Dalam masyarakat nelayan Cilacap terdapat 7 kelompok nelayan

(Kecamatan Cilacap selatan) yaitu: Sentolokawat, Pandanaran, Sidakaya,

PPSC, Tegal Katilayu dan lengkong (Laporan HNSI Cilacap, 2004).

Perlawanan nelayan tahun 1980 dipicu oleh masalah keadilan

dalam memperoleh hasil tangkapan ikan karena adanya perbedaan

pemakaian teknologi oleh kelompok nelayan. Kelompok nelayan

Sentolokawat melakukan modifikasi terhadap jaring penangkapan ikan

yang hampir mirip dengan Trawl.

Hal ini mengundang protes kelompok nelayan yang diwakili oleh

kelompok nelayan Pandanaran dan Sidakaya. Merasa alat modofikasi

penangkapan mirip Trawl akhirnya kelompok nelayan Pandanaran, PPNC,

melakukan protes pada nelayan Sentolokawat, karena tidak tercapai kata

sepakat timbulah hal yang tak terduga yang akhirnya pada tindakan yang

anarkis dengan merusak dan membakar kapal/perahu kelompok nelayan

Sentolokawat (Wawancara dengan Tarsih, 25 Oktober 2005).


85

Hal ini membuat pemerintah daerah resah, sebagai tidak lanjutnya

melakukan konsolidasi, namun tidak berhasil. Perlawanan pertama masih

memberikan pengaruh yang kuat dimana keadilan agar hasil tangkapan

dapat dinikmati bersama-sama dengan menggunakan alat tangkap yang

sama serta hasil laut dapat dinikmati anak cucu mereka.

Perkembangan teknologi pada nelayan skala kecil telah

mengakibatkan adanya modifikasi pada beberapa alat tangkap. Alat

tangkap yang semula bukan termasuk Jaring Trawl ternyata menjadi alat

termasuk dalam Jaring Trawl. Hal ini menimbulkan konflik dan keresahan

bahkan perkelahian di tengah laut.

Guna mengatasi ini pemerintah akhirnya mengeluarkan Keppres

No. 11 tahun 1982 tentang daerah wilayah penangkapan dan alat tangkap

yang boleh digunakan. Dengan Keppres ini diharapkan konflik akan reda

dan tidak terjadi lagi pelanggaran yang dapat merugikan satu pihak

terutama nelayan.

3. Perlawanan Nelayan Cilacap tahun 1998.

Perjuangan nelayan Cilacap pertama dan ke dua rasa keadilan

masih mendominasi, hal yang sama terjadi pada perlawanan yang ketiga,

perjuangan pelebaran pintu sudetan dan beberapa permasalahan yang tidak

diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah. Menurut laporan Bernas edisi

27 dan 28 Agustus tahun 1998, beberapa penyebab perlawanan yang

dilakukan oleh nelayan Cilacap adalah dilanggarnya larangan melaut pada


86

hari jumat kliwon oleh para nelayan pendatang Etnis Tionghoa, padahal

merupakan hari yang disakralkan (Gb. 4).

Penyebab lain adalah kesenjangan ekonomi antara nelayan

setempat dengan nelayan pendatang, serta perilaku nelayan pendatang

Etnis Tionghoa Bagansiapi-api yang kurang menyenangkan meski sebagai

pemilik modal. Mereka dinilai telah mendatangkan banyak kapal ke

Cilacap serta mengeruk keuntungan milyaran rupiah dari sumber daya

alam Cilacap yang seharusnya dimanfaatkan oleh nelayan lokal.

Usman Pelly dalam Wahono (2002) menyebutkan setidaknya

ada 3 faktor yang menyebabkan ketidak serasian sosial yang dapat

menyebabkan konflik dalam masyarakat yaitu:

1. Perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi

(acces to economic resaurces and to means of production).

2. Perluasan batas-batas kelompok sosial budaya (sosial and cultural

bordeline expansion).

3. Benturan kepentingan politik, ideologi dan agama (conflict of

political, ideological dan religion interest).

Perjuangan nelayan tahun 1998 ketiga faktor ini dapat dijumpai

pada beberapa permasalahan yang mendasar di masyarakat nelayan.

Permasalahan yang berkait dengan faktor pertama adalah dominasi

nelayan pemilik dari Etnis Tionghoa dalam segala bidang usaha perikanan

baik dari segi penangkapan dan penyediaan faktor produksi seperti jaring

dan peralatan lain. Pertarungan ini sering dimenangkan oleh individu atau
87

kelompok yang mempunyai kekuatan dan keunggulan yang berupa modal/

teknologi yang lebih baik.

Sejak pemerintah Soeharto (1975), banyak kapal-kapal pendatang

yang masuk ke wilayah Cilacap. Kapal ini adalah kapal yang memakai

teknologi modern sehingga memperoleh hasil yang melimpah. Banyak

penduduk asli yang menjadi ABK kapal para pendatang, karena hasil yang

diperoleh nelayan tradisional jika melaut sendiri tidak dapat memenuhi

kebutuhan sehari-hari/kalah dengan kapal milik para pendatang

(Wawancara dengan Tori, 23 November 2005).

Akibat dominasi ini timbulah kesenjangan sosial-ekonomi antara

nelayan tradisional dengan nelayan modern. Nelayan tradisional merasa

tidak adil karena merasa mereka yang berhak menikmati apa yang

seharusnya miliknya. Timbulah konflik yang mengarah pada kekerasan

manakala bertemu di laut kapal dibakar/ditenggelamkan.

Permasalahan yang terkait dengan faktor kedua adalah apabila

terjadi perbedaan tradisi, bahasa, hukum dan identitas sosial dapat

menyatu dalam kepentingan politik yang dapat menimbulkan

kecemburuan, prasangka sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan

konflik. Pemakaian bahasa Cina dalam komunikasi yang dilakukan oleh

Etnis Tionghoa dianggap sebagai bagian dari ekspansi budaya serta

memancing perasaan curiga dari masyarakat nelayan.

Beberapa penyebab perjuangan nelayan yang dilakukan nelayan

Cilacap adalah dilanggarnya larangan penangkapan ikan pada hari jumat


88

kliwon oleh nelayan pendatang yang selama ini disakralkan oleh nelayan

setempat (Laporan Bernas edisi 28 Agustus 1998). Pemakaian bahasa Cina

dalam komunikasi yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa dianggap sebagai

bagian dari ekspansi budaya serta memancing perasaan curiga dari

masyarakat nelayan.

Sumber konflik yang ketiga adalah perbedaan kepentingan yang

selalu terjadi pada masyarakat yang heterogen. Konflik ini muncul dalam

bentuk pertentangan kepentingan antara penguasa versus rakyat, atau

mejikan versus buruh. Pada perlawanan nelayan ketiga dapat dipetakan

sebagai kelompok nelayan setempat versus nelayan pendatang dan nelayan

setempat versus pemerintah daerah.

Perjuangan nelayan Cilacap tahun 1998 mempunyai dimensi

permasalahan yang kompleks dan tumpang tindih, yang mencerminkan

berlangsungnya toleran aparat Negara terhadap pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh para pemilik kapal Pukat harimau, penetrasi kepentingan

ekonomi para pemilik modal besar dari luar daerah dan persaingan yang

tidak seimbang antara nelayan dalam memperebutkan sumber daya

perikanan, karena perbedaan tingkat kecanggihan teknologi penangkapan

yang ada.

Daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang semakin sempit

disertai dengan banyaknya kapal yang menangkap ikan dan udang

menyebabkan persaingan menjadi tak terelakan. Isu kedatangan kapal

ekstrawl sebanyak 500 buah dipandang oleh nelayan setempat sebagai


89

bentuk ancaman bagi usaha perikanan yang dilakukan selama ini. Isu ini

dibantah oleh Cembong yang juga pemilik kapal, Hanya ada kapal 5-10

yang akan didatangkan ke Cilacap dan hal ini sudah dibicarakan dengan

pemerintah daerah setempat dan kapal-kapal ini telah dipindahkan ke luar

Jawa (Wawancara dengan Cembong, 24 November 2005).

Dalam kasus pintu sidetan tercatat 3 kali perundingan yang

dilakukan pada tahun 1995-1997, bertempat di Balai Pertemuan PPSC

(Gb.1), namun tidak mempunyai titik temu karena bukti-bukti

pembangunan pelebaran pintu sudetan belum terlihat. Dalam setiap

perundingan pihak pelabuhan selalu berjanji untuk melakukan perbaikan

terhadap pintu sudetan dengan mengajukannya dalam rencana anggaran

kepada instanti terkait.

Nelayan setempat berharap bahwa pihak pelabuhan akan menepati

janji tersebut. Sekitar bulan Januari 1998 nelayan mendapat informasi

bahwa dana pembangunan pintu sudetan telah disetujui dan dana tersebut

telah disetujui dan diturunkan dari pusat ke daerah. Setelah beberapa bulan

berlalu tanda-tanda untuk melakukan perbaikan dari pihak pelabuhan tidak

dijumpai nelayan setempat. Informasi yang ada pada nelayan beredar

adalah dana tersebut didepositokan pada sebuah bank oleh kepala

pelabuhan.

Hal diatas dibantah oleh Rahmat, untuk melakukan pembangunan

pintu sudetan diperlukan berbagai pihak bukan hanya pihak pelabuhan

saja. Dana pada saat itu belum keluar, perlu waktu dan perencanaan yang
90

matang untuk membangun pintu sudetan. Nelayan seharusnya dapat

memahami, akan kondisi dari pelabuhan (Wawancara dengan Rahmat, 21

Oktober 2005).

Pintu sudetan adalah pintu yang dibangun guna melancarkan irigasi

pertanian agar air laut yang asin tidak masuk persawahan, sehingga sawah

pinggiran pantai tetap subur. Karena pintu keluar dari muara sungai terlalu

jauh, sebagai jalan pintas yang efektif akhirnya para nelayan lebih

memilih lewat pintu sudetan. Karena pintu sudetan yang sempit kapal-

kapal sering menabrak dinding kolam terjadilah berbagai kecelakaan. Hal

inilah yang membuat nelayan menuntut pelebaran pintu sudetan.

Terdapat akibat besar jika daun pintu sudetan dibuka dan

diperlebar yaitu proses pendangkalan alur/kolam pelabuhan dan

gelombang air laut dapat masuk ke Kaliyasa karena kolam menjadi Muara

Kaliyasa dan fungsi penggelontoran tidak ada (Wawancara dengan Agus,

22 Oktober 2005).

Alasan ini tidak membuat nelayan mengerti mereka tetap menuntut

pelebaran karena makin bertambahnya kapal yang bertabrakkan akibat

menabrak dinding pintu sudetan dan didukung karena tidak terlihatnya

pihak pelabuhan melakukan pembangunan pelebaran pintu sudetan.

Meskipun demikian nelayan tidak melakukan tekanan karena

dominannya stabilitas Negara yang didukung oleh militer serta kehidupan

kehidupan ekonomi nelayan yang cukup stabil. Kondisi ini membuat

nelayan cenderung untuk membicarakan dalam ruang-ruang pribadi


91

dengan orang yang dapat dipercaya oleh mereka. Oleh karenanya dalam

melakukan perjuangan mereka tidak melibatkan satu organisasi nelayan.

Mereka menganggap bahwa organisasi nelayan adalah

kepanjangan tangan pemerintah, dan selama ini organisasi nelayan tidak

berfungsi/berperan. Dengan pemahaman ini maka masyarakat nelayan

tidak percaya terhadap organisasi nelayan sebagai wadah penyampaian

aspirasi nelayan. Hal ini dibuktikan pertemuan/rapat dalam organisasi

nelayan hanya untuk memilih ketua dan wakil nelayan yang akan

dimasukan dalam rencana tahunan.

Tidak hanya organisasi nelayan yang dibentuk KUD yang tidak

tepat sasaran tetapi juga sistem pelelangan ikan yang diberlakukan pada

TPI yang tidak memberikan hasil yang layak bagi nelayan, karena

dimonopoli oleh beberapa Bakul yang tujuannya untuk mendapatkan

keuntungan sebesar-besarnya.

Kondisi semacam ini mengakibatkan para ABK melakukan

penjualan hasil secara diam-diam di laut. Beberapa ABK terpaksa

melakukan ini untuk mendapatkan pendapatan lebih guna memenuhi

kebutuhannya, meski secara nyata merugikan para Juragan kapal. Akhir

dari perjuangan nelayan tahun 1998 adalah dikabulkannya segala tuntutan

yang diajukan oleh nelayan. Dengan perundingan yang diwakili oleh

nelayan tradisional dan pendatang, pihak PPNC, pihak organisasi nelayan

dan pemerintah daerah. Hasilnya adalah Daun pintu Sudetan segera dibuka
92

dan diperlebar, kapal-kapal Trawl dilarang beroperasi di perairan Cilacap,

kenaikan gaji akan di bicarakan/dimusyawarahkan dengan juragan kapal.

4. Model perjuangan nelayan Cilacap tahun 1978-1998.

Model perjuangan yang dilakukan nelayan Cilacap adalah tidak

mempunyai pimpinan secara struktur organisasi yang resmi. Setiap

perjuangan dilakukan secara spontan dengan model sosialisasi dari mulut

kemulut. Meski demikian mereka mempunyai tokoh-tokoh yang yang

dipercaya oleh para nelayan dan mempunyai kemampuan untuk

mempengaruhi opini masyarakat. Tokoh-tokoh ini tidak menduduki

jabatan yang formal dalam organisasi nelayan.

Model ini digunakan sebagai strategi agar perjuangan tidak mudah

dipatahkan oleh pemerintah. Karena pemerintah Orde Baru sering

menggunakan strategi pendekatan pada pemimpin, sehingga jika

pemimpin ditangkap/didekati pemerintah perjuangan akan putus/usai.

Kondisi ekonomi nelayan pada perjuangan tahun 1978 hampir sama

dengan perjuangan tahun 1998, dimana dalam keadaan krisis dan kondisi

yang tidak mapan.

Meski nelayan mendapat berkah karena naiknya harga Ikan dan

Udang 3 kali lipat, tetapi tingkat persaingan makin tinggi karena wilayah

penangkapan yang semakin sempit dan pemakaian kapal-kapal modern

yang beroperasi (banyak). Nelayan tradisional kalah, pendapatan semakin

menurun.
93

Pada tahun 1998 kondisi semakin memprihatinkan ketika pada

musim paceklik (Juni-Agustus) serta adanya krisis ekonomi hal ini

mempersulit kehidupan nelayan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keadaan ini semakin memanas, isu-isu apapun bisa mempermudah

terjadinya perselisihan dalam bentuk aksi protes.

Berhasilnya gerakan mahasiswa meruntuhkan pemerintahan Orde

Baru telah memberi inspirasi terhadap nelayan. Timbul keberanian dari

nelayan menggugat/memprotes ketidak-adilan yang mereka rasakan.

Perjuangan dengan masa bagi nelayan dianggap lebih memberi hasil yang

nyata dibanding dengan dialog.

Dengan karakteristik tidak adanya pemimpin dalam perjuangan

nelayan Cilacap perjuangan cenderung bersifat anarkis, karena kurangnya

pengawasan terhadap masa serta tidak dengan tuntutan yang jelas, dan

cenderung untuk menyelesaikan satu permasalahan saja. Hal ini dibuktikan

pada saat dialog masalah utama tidak semua tersampaikan seperti

pelelangan ikan yang kurang adil (dikuasai oleh satu bakul dengan harga

yang ditetapkan oleh bakul) yang tujuannya untuk keuntungan bakul ikan

(Wawancara dengan Agus, 23 November 2005). Oetami Dewi dalam

wahono dkk (2002) menyatakan bahwa Adanya kesamaan antara

perlawanan petani dan nelayan yaitu hanya dipicu oleh sentiment-sentimen

komunal bukan atas dasar solidaritas nasional.

Kegagalan dari gerakan semacam ini adalah pengontrolan masa

oleh para sesepuh gagal. Dalam Bernas 1998 dijelaskan adanya


94

pembakaran kapal serta penjarahan rumah, toko milik para Touke Cina.

Hal ini membuktikan kurangnya pengawasan terhadap masa. Aksi nelayan

itu tidak terarah, tuntutan berganti-ganti awalnya melakukan aksi di

kabupaten dengan tuntutan penghapusan eks-trawl dengan menuntut

kenaikan gaji, ke KUD menuntut penurunan dana paceklik dan pada

akhirnya ke PPNC dengan tuntutan pembukaan pintu sudetan. Kemudian

memanas membakar kapal-kapal Cina.

D. Pengaruh Gerakan Nelayan Cilacap.

Pandangan dan tuntutan nelayan dalam melakukan aksi menyebabkan

perjuangan tidak tercapai secara optimal. Permasalahan penting yang

seharusnya diperjuangkan tidak semua dapat diungkapkan dan diselesaikan

(dalam dialog). Contoh: masalah TPI PPNC yang tidak menggunakan

pelelangan dan dapat menjadi sumber penderitaan ekonomi nelayan, karena

dikuasai oleh sekelompok bakul ikan saja.

Gerakan ini mampu memberi bukti bahwa masyarakat nelayan

mempunyai kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Mereka akan selalu

bereaksi terhadap apapun yang dirasa merugikan nelayan. Aksi ini dapat

berupa cara-cara diam atau dengan anarkis. Terdapat beberapa pengaruh dari

gerakan nelayan Cilacap yaitu:

1. Pengaruh bagi nelayan.

Pengaruh secara spesifik dalam kehidupan sosial/ekonomi nelayan

tidak begitu sangat terlihat, setelah gerakan nelayan ini kehidupan nelayan

kembali seperti biasa. Bagi nelayan aksi ini adalah sebagai wujud/bukti
95

kekuatan untuk melawan dari masyarakat nelayan. Nelayan hanya

menginginkan tidak adanya praktik-praktik pelanggaran terhadap

peraturan yang sudah ditetapkan.

Hal ini terjadi dalam protes pelanggaran terhadap Kapal Trawl

yang telah jelas ditetapkan dilarang dengan UU No.39 tahun 1998.

Pelanggaran ini telah menimbulkan keresahan yang cukup besar pada

masyarakat nelayan. Hasil tangkapan menjadi berkurang/tidak mendapat

apapun akibat kelangkaan ikan karena eksploitasi oleh kapal besar.

Sumber ikan adalah berada di wilayah tengah laut, kemudian akan

ke tepi/pinggiran. Jika di wilayah tengah dieksploitasi maka ikan tidak ada

di daerah pinggir. Sedang nelayan tradisional banyak yang beroperasi di

daerah pinggir. Ditambah lagi dengan kerusakan ekosistem yang dilakukan

oleh Kapal Trawl. Dengan protes nelayan kehidupan nelayan akan kembali

membaik, dan berbagai persoalan yang ada tidak akan timbul.

2. Pengaruh bagi proses interaksi (hubungan nelayan pribumi dan nelayan

pendatang).

Pengaruh bagi proses interaksi antara nelayan pribumi dan

pendatang adalah hubungan menjadi kurang baik. Nelayan pendatang

merasa selama ini bersikap baik terhadap nelayan tradisional tetapi dengan

adanya aksi nelayan mereka merasa yang paling sangat dirugikan. Rumah

dan toko yang merupakan tumpuan hidup dijarah dan dibakar.

Seorang nelayan pendatang bernama Cembong mengungkapkan

bahwa kami tidak bersalah kenapa kami yang menjadi korban. Kami
96

sangat trauma dan takut untuk memulai usaha kami kembali. Semua

tumpuan hidup telah musnah dan tidak ada ganti rugi apapun dari pihak

pemerintah. Kami bahkan tidak tahu harus minta bantuan dan tolong pada

siapa. Kebanyakan teman-teman kami memilih kembali ke kampung

halamannya (Wawancara dengan Cembong, 23 November 2005).

3. Pengaruh dan akibat dari pembukaan pintu sudetan.

Penuntutan pintu sudetan untuk dibuka dan diperlebar oleh pihak

pelabuhan dikabulkan. Dengan pembukaan pintu sudetan ini memberi

akibat positif bagi nelayan, dimana nelayan lebih efisien dalam waktu dan

bahan bakar untuk keluar laut. Jalur yang dilalui nelayan tidak perlu

memutar. Perahu catir dan compreng dapat bebas berlalu lalang tanpa

takut kecelakaan.

Disisi lain pembukaan dan pelebaran pintu sudetan telah membawa

persoalan baru. Dengan pembukaan dan pelebaran pintu sudetan proses

pendangkalan alur/kolam pelabuhan dan air laut dapat masuk ke Kaliyasa

karena kolam menjadi Muara Kaliyasa sehingga proses pengelontoran

tidak ada. Dengan keadaan ini membuat kapal-kapal nelayan yang lalu-

lalang dapat kandas, kecelakaan kapal.

Guna mengatasi ini dilakukan proses pengerukan secara manual

setiap tahun dan memerlukan dana yang cukup besar. Kapal-kapal kandas

karena pendangkalan di alur masuk akibat endapan partikel/butiran pasir

yang dibawa gelombang laut dan kapal menabrak tentaprot akibat tidak

mampu mengendalikan dorongan gelombang air laut di alur.


97

Persoalan tentang penanggulangan pintu sudetan hingga saat ini

maih tetap dilakukan, dengan pembuatan gembong bambu (atas usul

nelayan), pengerukan alur kolam dengan Dana dari pemerintah daerah

Jawa Tengah dan pemasangan break water (Laporan PPNC 2004).

Bebagai pihak antara lain KUD, Nelayan, Organisasi nelayan,

pemerintah dan institusi terkait dengan nelayan dan perikanan bersatu

duduk bersama guna mengatasi permasalahan ini. Dengan cara-cara dialog

mencari solusi yang terbaik guna pemberdayaan masyarakat nelayan dan

fasilitas nelayan (pelabuhan).

Dengan cara ini membuktikan akan adanya keseriusan dari

berbagai pihak dalam memberdayakan masyarakat nelayan. Peran

organisasi nelayan menjadi terlihat. Nelayan menjadi begitu bisa terbuka

dalam menyampaikan aspirasinya, hal ini diperkuat dengan keadaan

Negara yang demokratis, bebas dan terbuka. Segala permasalahan tidak

lagi disikapi dengan cara kekerasan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi

hal sama. Setelah peristiwa tahun 1998 hampir tidak terjadi lagi aksi-aksi

nelayan yang anarkis, nelayan merasa lebih nyaman dan merasa tenang.

Meski dalam beberapa perselisihan yang kadang mengarah pada kekerasan

tapi dapat diatasi dengan jalan damai (Wawancara dengan Tori, 23

November 2004).

Secara sosiologis perlawanan ini merupakan perlawanan nelayan

terhadap adanya dominasi oleh kaum pendatang, karena para Tauke Cina

mampu menguasai perikanan di Cilacap. Dominannya Cina ini telah


98

mempengaruhi beberapa sendi kehidupan nelayan, seperti kurang

tolerannya para Tauke Cina yang kurang terhadap tradisi. Pemakaian

bahasa Cina juga menjadi alasan lain dari sikap angkuh para Tauke Cina.

Dengan perlawanan nelayan ini memberi suatu wacana bahwa seperti

apapun nelayan asli tetap harus dihormati secara adat/tradisi. Para

pendatang harus tunduk pada aturan yang ada dalam masyarakat nelayan

asli.
99

BAB V

PENUTUP

Kebijakan masa Orde baru dalam bidang kemaritiman/perikanan

berupa Reorganisasi Lembaga Perikanan, Blue Revolution/modernisasi

perikanan, Undang-Undang Perikanan dan Undang-undang Jalur

Perikanan. Dari kebijakan Orde baru tersebut kabijakan Blue Revolution

memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat nelayan.

Dari hasil penelitian kebijakan Blue Revolution telah menimbulkan

ketegangan-ketegangan yang mengarah pada konflik diantara nelayan

penguasa alat modern yang bermodal besar (nelayan Cina Bagan) dengan

nelayan tradisional (nelayan pribumi) dimana timbul adanya kesenjangan

sosial dan ekonomi. Permasalahan menjadi sangat kompleks ketika

terjadinya pelanggaran atas hukum yang berlaku, meski telah ada

pelarangan Trawl dengan keluarnya Keppres No. 39 tahun 1980, kapal

Trawl masih beroperasi. Modifikasi jaring tangkap meski telah diatur juga

dilanggar dengan tujuan peningkatan hasil tangkapan ikan. Ketegangan-

ketegangan semakin memuncak karena pemerintah yang kurang tuntas

menyelesaikan permasalahan nelayan yang pada akhirnya menjadi nelayan

melakukan gerakan.

Gerakan nelayan Cilacap tahun 1978-1998 berawal dari adanya

kedatangan nelayan yang berasal dari luar daerah Cilacap yaitu para Tauke

Cina Bagansiapi-api yang berhasil mendominasi perikanan di Cilacap.

Gerakan nelayan Cilacap dilakukan dalam tiga tahap yaitu pertama tahun
100

1978-1980 dengan tuntutan pengahpusan trawl, kedua tahun 1982 dengan

penyelesaian alat tangkap modifikasi trawl dan ketiga tahun 1998 dengan

tuntutan pelebaran pintu sudetan serta penyelesaian masalah yang belum

tuntas terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan budaya. Yang menjadi

masalah pokok adalah adanya kesenjangan sosial antara nelayan

tradisional dengan nelayan pendatang. Nelayan pendatang mampu

menguasai teknologi penangkapan ikan, sehingga nelayan tradisional

menurun hasil tangkapannnya.

Permasalahan menjadi kompleks ketika adanya sikap para Tauke

Cina yang kurang menghargai tradisi pelarangan melaut pada hari jumat

kliwon serta adanya pelanggaran hukum oleh aparat sipil/militer berupa

pelanggaran operasi Kapal Trawl yang dilarang.

Perjuangan dilakukan dengan cara protes dengan tidak melibatkan

organisasi nelayan karena nelayan merasa organisasi nelayan adalah

kepanjangan tangan dari pemerintah untuk mengawasi nelayan setiap saat

mampu memotong segala perjuangan nelayan.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gerakan nelayan

Cilacap tahun 1978-1998 merupakan bentuk reaksi atas kebijakan

pemerintah Orde baru yang dirasakan nelayan daerah kurang adil, tidak

tepat sasaran akibat adanya praktek-praktek palanggaran dan kurang

tegaknya hukum yang berlaku serta peran organisasi nelayan, pemerintah

yang tidak berjalan dengan semestinya.


101

SARI

Agus Purwati. 2005. Gerakan Nelayan Cilacap Di Tengah Kebijakan Ekonomi


Kemaritiman Orde Baru (Sebuah Tinjauan Historis Kasus Nelayan Cilacap
Tahun 1978-1998). Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang.

Kata Kunci: Nelayan, Revolusi Biru, Kebijakan Kemaritiman, Orde Baru.


Nelayan merupakan satu komunitas yang selama ini terabaikan, karena peleburan
perikanan dalam departemen pertanian. Keadaan ini semakin diperparah dengan
dengan adanya kebijakan Blue Revolution yang bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat nelayan namun hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang
menguasai teknologi penangkapan. Akibatnya timbullah ketegangan akibat
adanya kesenjangan sosial, nelayan semakin terhimpit oleh kemiskinan.
Permasalahan semakin kompleks dengan adanya toleran oleh aparat sipil/ militer
kepada para pelanggaran hukum, berupa beroperasinya kapal-kapal trawl di
perairan Cilacap yang jelas-jelas dilarang pemerintah. Berdasar pemikiran di atas
disusun skripsi berjudul: “ Gerakan Nelayan DiTengah Kebijakan Ekonomi
Kemaritiman Orde Baru (Sebuah Tinjauan Historis Kasus Nelayan Cilacap tahun
1978-1998)”.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian skripsi ini adalah bagaimana
kebijakan ekonomi kemaritiman Orde baru dalam bidang perikanan, bagaimana
sejarah dan dinamika gerakan nelayan Cilacap di tengah kebijakan ekonomi
kemaritiman Orde baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan
kabijakan-kebijakan ekonomi kemaritiman Orde baru dan mendiskripsikan sejarah
dan dinamika perjuangan nelayan Cilacap dan pengaruhnya.
Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Cilacap dengan batasan waktu
antara tahun 1978-1998. Metode yang digunakan adalah metode sejarah
(Historical methode) dimana penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1). Heuristik, 2). Melakukan kritik sumber, 3). Melakukan interpretasi dan 4).
Penulis melakukan penyajian dalam bentuk karya sejarah yang disusun secara
kronologis dan tematis (Histiriografi).
Dari penelitian ini diperoleh hasil sebagai berikut kebijakan masa Orde
baru berupa Restruktusrisasi organisasi kemaritiman, modernisasi perikanan dan
undang-undang perikanan. Kebijakan modernisasi memberi pengaruh yang besar
terhadap kehidupan nelayan berupa ketegangan-ketegangan antara penguasa
teknologi modern dengan tradisional dengan latar belakang kesenjangan sosial.
Gerakan nelayan Cilacap diawali kedatangan nelayan Cina bagan yang kemudian
mendominasi sektor perikanan di Cilacap. Perlawanan dilakukan tahun 1978-1980
menuntut penghapusan trawl, tahun 1982 menuntut penyelesaian alat modifikasi
menyerupai trawl dan tahun 1998 menuntut pelebaran pintu sudetan dan
penyelesaian masalah yang belum tuntas.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan Orde baru
berupa modernisasi perikanan/ Blue Revolution telah memberi dampak besar
dalam masayarakat nelayan berupa ketegangan-ketegangan yang dilatar belakangi
kesenjangan sosial, nelayan tradisional merasa tidak adil akibat berkurangnya
102

hasil tangkapan. Gerakan nelayan Cilacap tahun 1978-1998 adalah merupakan


bentuk reaksi atas berbagai kebijakan dengan berbagai permasalahan nelayan
yang kompleks yang diakibatkan oleh peran organisasi nelayan dan pemerintah
yang kurang menjalankan perannya sebagaimana mestinya.
103

Lampiran 2

BIODATA INFORMAN

1. Nama: Bpk. Munirin S


Umur: 52 Tahun
Alamat: Sentolokawat 30, Rt. 02 Rw.01 kelurahan Cilacap
Pekarjaan: Wakil HNSI (sekertaris I).

2. Nama: Bpk. Agus


Umur: 47 Tahun
Alamat: ---
Pekerjaan: Staf Pelabuhan/ PPNC

3. Nama: Bpk. Tori


Umur: 62 Tahun
Alamat: Bon baru Rt. 04/05 Cilacap selatan
Pekerjaan: Nelayan

4. Nama: Bpk. Suroso


Umur: 58 Tahun
Alamat: Tegal kamulyan, Cilacap selatan
Pekerjaan: Nelayan

5. Nama: Bpk. Herman


Umur: 47 Tahun
Alamat:Sidakaya, Cilacap selatan
Pekerjaan: Nelayan

6. Nama: Bpk. Cembong


Umur: 55 Tahun
Alamat: Sidakaya, Cilacap selatan
Pekerjaan: mekanis kapal dan nelayan pendatang
.
7. Nama: Bpk. Atay
Umur: 55 Tahun
Alamat: Sidakaya, Cilacap selatan
Pekerjaan: Nelayan bagansiapi-api

8. Nama: Bpk. Tohirin


Umur: 60 Tahun
Alamat: Sidakaya, Cilacap selatan
Pekerjaan: Nelayan
104

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

(1) Cobaan tidak hanya kesusahan saja tetapi juga kesenangan, Jangan pernah menyerah

sebelum berjuang, selama masih ada semangat dan nafas

(Penulis).

(2) Janganlah kamu merasa lemah dan jangan susah karena kamu pasti menang asal

kamu sumgguh-sumggud dan mukmin

(QS.Al-imron: 139)

Karya kecil ini kupersembahkan untuk:


1). Bapak dan Ibu terkasih yang selalu mendoakan.
2). Kakak-kakakku (Mba Gati+suami, Mas Rohman+istri, Mas Pujo, Mba
Nelly, Mas Wono, Mba EnY) yang selalu memberiku motivasi.
3). Sahabatku, inspirasiku, semangatku (Mas Andi)
4). Asmi, Dewi, Hera, Herna, Viki, Endang, Mas Eko, Makfud dan semua
sahabat angkatan 2001,
5). Sahabaku Edel weys (Eka, Mba iko, Mba Urip, Mia dan ade-ade) yang
selalu memberi semangat
6). Almamaterku.
105

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian

atau seluruhnya. Pendapat/ temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip/ dirujuk berdasar kode etik ilmiah.

Semarang, Desember 2005

Agus purwati

Nim.3101401022
106

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan kesidang panitia ujian

skripsi pada:

Hari:

Tanggal:

Pembimbing I Pembimbing II

Dras. C. Santi M. Utami, M.Hum Drs. R. Soeharso, M.Pd

NIP.13111876210 NIP.131691527

Mengetahui:

Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M.Hum

NIP. 131764053
107

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat alloh

SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Gerakan Nelayan Cilacap

DiTengah Kebijakan Ekonomi Kemaritiam Orde Baru (Sebuah Tinjauan Historis

Kasus Nelayan Cilacap tahun 1978-1998)”. Sebagai salah satu syarat guna

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Sejarah, Program SI

Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang kami hormati:

1. Dr. H. Ari Tri Soegito, SH, MM, selaku Rektor Universitas Negeri

Semarang .

2. Drs. Sunardi, selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial

3. Drs. Jayusman, M.Hum, selaku ketua jurusan sejarah Fakultas Ilmu Sosial

4. Dra. C. Santi M. Utami , M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi.

5. Drs. R. Soeharso, M.Pd, selaku selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi.

6. Drs. Ba’in, M.Hum, selaku dosen penguji yang telah menguji dan

membimbing penulis dalam penyusunan skripsi.


108

7. Kepala PPNC Cilacap yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi

ini dalam memperoleh informasi dan literature skripsi ini.

8. Kepala HNSI cabang Cilacap yang telah membantu kelancaran penulisan

skripsi ini dalam memperoleh informasi dan literature skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penulisan

skripsi ini yang, tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi penulisan khususnya dan pembaca pada umumnya.

Semarang, 4 Desember 2005

Penulis
109

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu

Sosial Universitas Negeri Semarang pada:

Hari:

Tanggal:

Penguji Skripsi

Drs. Ba’in, M.Hum

NIP.

Anggota I Anggota II

Dra. C. Santi M. Utami, M.Hum Drs. R. Soeharso, M.Pd

NIP.13111876210 NIP.131691527

Mengetahui:

Dekan

Drs. Sunardi

NIP. 130367998
110

Lampiran 2

GARIS BESAR INSTRUMEN PENELITIAN

1. Bagaimana karakteristik masyarakat nelayan Cilacap, pola perilaku/ pikir dan


kehidupan sosial kemasyarakatannya?
2. Hal-hal apakah yang menyulut terjadinya konflik nelayan Cilacap, mengapa?
3. Bagaimana awal terjadinya konflik nelayan Cilacap 1980, sebab, proses dan
penyelesaian konflik 1980?
4. Bagaimana kehidupan masyarakat nelayan sebelum, setelah Konflik nelayan
Cilacap 1980?
5. Apakah akibat dari konflik nelayan Cilacap 1980 bagi masyarakat nelayan
Cilacap?
6. Bagaimana latar belakang terjadinya konflik, akhir/ peneyelesaian dari
konflik nelayan Cilacap 1982?
7. Bagaimana kehidupan nelayan Cilacap sebelum, setelah konflik nelayan
1982?
8. Bagaimana peran HNSI dan SONCI pada konflik nelayan Cilacap?
9. Bagaimana latar belakang terjadinya protes nelayan 1998, akhir/ penyelesaian
dari protes nelayan Cilacap 1998?
10. Bagaimana kehidupan nelayan Cilacap pada saat protes nelayan Cilacap
1998?
11. Apakah akibat dari protes nelayan Cilacap bagi masyarakat nelayan Cilacap?
12. Bagaimana peran HNSI dan SONCI dalam protes tersebut sebagai wadah
aspirasi masyarakat nelayan?
111

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1: Peta Kabupaten Cilacap……………………………………...1

2. Lampiran 2: Garis Besar Instrumen Pertanyaan Penelitian……………….2

3. Lampiran 3: Biodata informan…………………………………………….3

4. Lampiran 4: Daftar Anggota Nelayan Cilacap…………………………….4

5. Lampiran 5: Bernas Tahun 1998 dan 2004………………………………..5

6. Lampiran 6: Surat ijin penelitian…………………………………………35


112

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi Penelitian………………………………………………………………25
2. Informan……………………………………………………………………….28
3. Perahu/ kapal modern………………………………………………………….31
113

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………...ii

PENGESAHAN KELULUSAN………………………………………………….iii

PERNYATAAN…………………………………………………………………..iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………………..v

SARI………………………………………………………………………………vi

PRAKATA……………………………………………………………………….vii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….viii

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………1

B. Permasalahan………………………………………………………….6

C. Tujuan…………………………………………………………………6

D. Manfaat………………………………………………………………..6

Ruang Lingkup Penelitian

Tinjauan Pustaka

Metode Penelitian

Sistematika Skripsi
114

BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN CILACAP

A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian

B. Keadaan Alam

C. Riwayat Singkat

D. Kondisi Sosial Ekonomi

E. Kondisi Sosial Budaya

F. Lokasi Khusus Daerah Penelitian

BAB III SEJARAH KEBIJAKAN EKONOMI KEMARITIMAN DI

INDONESIA

A. Masa Hindia-Belanda sampai Orde Lama

1. Masa Hindia-Belanda

2. Masa Kemerdekaan

3. Masa Orde Lama

B. Masa Orde Baru

1. Reorganisasi Lembaga Kelautan

2. Modernisasi Perikanan/ Blue Revolution

3. Undang-undang Perikanan

4. Jalur-jalur Penangkapan Ikan

BAB IV DINAMIKA GERAKAN NELAYAN CILACAP TAHUN 1978-1998

A. Karakteristik Masyarakat Nelayan Cilacap

B. Permasalahan dan Awal Terjadinya Konflik Nelayan


115

C. Gerakan Nelayan Cilacap Tahun 1978-1998

1. Perjuangan Nelayan Cilacap Tahun 1978-1980

2. Perjuangan Nelayan Cilacap Tahun 1982

3. Perjuangan Nelayan Cilacap Tahun 1998

D. Pengaruh Gerakan Nelayan Cilacap

BAB V PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
116

Tambahan untuk disimpan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,


2. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori konflik dari Dahrendrof

dan Usman Pelly. Menurut Dahrendrof masyarakat selalu bermuka dua

yaitu konsensus (integrasi) dan konflik (pertentangan). Ciri-ciri konflik

adalah:

1. Sistem sosial selalu dalam keadaan konflik

2. Konflik tersebut desebabkan karena adanya kepentingan yang saling

bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur masyarakat

3. Kepentingan-kepentingan ini cenderung terpolarisasi dalam dua

kelompok yang saling bertentangan

4. Kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan mencerminkan

deferensiesi distribusi kekuasaan diantara kelompok yang brekuasa

dan dikuasai

5. Penjelasan suatu konflik akan menimbulkan perangkat kepentingan

baru yang saling bertentangan yang dalam kondisi tertentu

menimbulkan konflik

6. Perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang tidak dapat

dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga.

Dari kategori-kategori diatas, menurut Dahrendrof sumber konflik

adalah hubungan wewenang yang telah melembaga dalam asosiasi yang

telah terkoordinir secara imperatif. Konflik muncul karena perbedaan

kepentingan objektif antara kelompokdominan dengan pihak yang


117

didomonasi dalam situasi-situasi tertentu, akan membentuk polarisasi

antara penguasa dengan yang dikuasai.

Usman Pelly (1994) memaparkan tentang sumber-sumber konflik

dalam masyarakat majemuk, setidaknya ada tiga sumber ketidakserasian

yang mengarah pada konflik:

1. Perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi

(Access to Economic Resources and to Means of Productions).

Konflik ini biasanya dimenangkan oleh individu/ kelompok yang

memiliki kekuatan dan kemampuan lebih tinggi apabila ditinjau dari

sumber daya manusia maupun teknologi. Dalam kasus nelayan Cilacap

hal itu terjadi dengan dominannya etnis Tionghoa/ pendatang dalam

segala bidang usaha perikanan berupa penangkapan dan penyediaan

faktor produksi seperti jaring dan lain-lain, sehingga nelayan

tradisional/ asli tersingkirkan.

2. Perluasan batas-batas kelompok sosial budaya (Social Culture

Borderline Expansions).

Perbedaan tradisi, bahasa, hokum dan identitas social dapat

menyatu dalam kepentingan politik yang dapat memicu pada konflik,

kecemburuan sosial dan prasangka sosial dalam masyarakat.

Pemakaian bahasa tertentu dalam interaksi dapat dianggap sebagai

ekspansi. Pemakaian bahasa Cina dianggap sebagai bagian dari

ekspansi budaya dan memancing perasaan curiga dari mesayarakat

nelayan asli.
118

3. Benturan kepentingan politik, ideology dan agama (Conflict of

Political, Ideology and Religious Interest).

Konflik ini muncul dalam format penguasaha versi rakyat, majikan

versus buruh dan Patron versus Client, yang pada dasarnya adalah

perbedaan kepentingan yang selalu terjadi pada setiap masyarakat yang

heterogen. Dalam kasus nelayan Cilacap sumber konflik yang ketiga

ini dapat dipetakan sebagai kelompok nelayan setempat versus nelayan

pendatang dan nelayan setempat versus pemerintah daerah (Wahono

dkk, 2002:174).

You might also like