You are on page 1of 7

Dampak Sosial Migrasi Internasional bagi Indonesia

Oleh: Parjoko Midjan 1)

Globalisasi dan kemajuan pesat bidang teknologi informasi, komunikasi dan


transportasi telah mendorong meningkatnya migrasi internasional di Indonesia dengan
berbagai alasan (politis, sosial kemasyarakatan, agama/kepercayaan, ekonomi, dan
lainnya), seperti meningkatnya arus pencari suaka dari Asia ke Australia melalui
Indonesia, meningkatnya pekerja Indonesia ke manca negara dan masuknya pekerja
asing ke Indonesia, masuk-keluarnya para wisatawan dan pelaku usaha dari dan ke
Indonesia, masuk-keluarnya WNI dan warga negara asing karena ikatan perkawinan,
termasuk irregular migration bagi WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan
orang dan penyelundupan manusia.

Migrasi internasional sebagai pekerja, terlihat calon penatalaksana rumah


tangga (PLRT) sedang mendapat pelatihan dari Agency di Kualalumpur sebelum
penempatannya di keluarga setempat (2009)

1
Dari segi kuantitas, peningkatan migrasi internasional karena alasan ekonomi
merupakan yang terbesar, yang membawa dampak positif dan negatif bagi Indonesia dan
negara tujuan. Bagi negara tujuan, migrasi pekerja Indonesia adalah sumber daya bagi
pembangunan negara tersebut, tetapi migrasi non-prosedural juga sering dikaitkan
dengan meningkatnya permasalahan sosial seperti penyakit menular, obat-obat
terlarang, kriminalisme, perdagangan orang, penyelundupan manusia dan bahkan
terorisme. Bagi Indonesia, kepergian pekerja migran ke luar negeri berarti mendatangkan
devisa bagi negara, tetapi di lain pihak mengurangi ketersediaan sumber daya
pembangunan terutama di perdesaan dan hilangnya fungsi pengasuhan dalam keluarga,
serta dampak sosial lainnya sebagai akibat dari pemulangan (deportasi) pekerja migran
Indonesia bermasalah seperti hilangnya identitas, harta-benda, kecacatan, berpenyakit
sampai kepada sakit jiwa, bahkan meninggal dunia.
Pemulangan pekerja migran Indonesia bermasalah terbanyak dari Malaysia, negara
tetangga terdekat yang masih terdapat hubungan ras, kesamaan bahasa dan budaya,
yang membuatnya menarik bagi masuknya pekerja migran Indonesia, terlebih lagi
adanya batas kedua negara yang porous (mudah ditembus) baik yang melalui lautan
maupun daratan sehingga mendorong juga terjadinya migrasi non prosedural.
Hal lain yang meningkatkan migrasi internasional di kawasan ASEAN adalah adanya
kebijakan bebas visa kunjungan atau visa wisata antar negara ASEAN. Kebijakan ini selain
meningkatkan arus migrasi internasional, juga mendorong meningkatnya arus pekerja
migran non prosedural karena fasilitas tersebut telah dimanipulasi oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab untuk mengirimkan WNI bekerja di negeri jiran. Tanpa visa
kerja, membuat kondisinya menjadi rawan akan perlakuan eksploitatif seperti penahanan
paspor, upah rendah, penyekapan, bahkan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi.
Ketika visa kunjungan telah habis, pekerja migran Indonesia tersebut menjadi ilegal
karena overstay.
Selain hal tersebut, juga banyak penyedia jasa angkutan yang bersedia mengangkut
pekerja migran Indonesia pergi ke dan pulang dari Malaysia tanpa dokumen yang
diperlukan melalui pelabuhan dan lorong tradisionil di sepanjang perbatasan RI-Malaysia.
Mereka diterima, ditampung dan disalurkan oleh agensi ”nakal” setempat menjadi
pekerja migran ilegal dengan berbagai konsekuensinya. Proses ini telah berlangsung sejak
dahulu, dan banyak di antaranya telah lama tinggal di Malaysia bahkan beranak-pinak
dengan status ilegal pula.
Pekerja migran Indonesia yang masuk ke Malaysia secara legal juga dapat menjadi
ilegal manakala paspornya tertahan di majikan sewaktu mereka lari karena pekerjaan
terlalu berat, gaji tak dibayar, dianiaya, diperkosa, atau dipecat tanpa sepengetahuan
dari agen yang mengurusnya.
Di Malaysia, seseorang yang tidak berdokumen atau dokumennya tidak lengkap
disebut sebagai pendatang asing tanpa izin (PATI), dan tidak hanya berasal dari
Indonesia, tetapi juga dari Bangladesh, India, Vietnam, Thailand, Cina, dan lain-lain. Para
PATI tersebut banyak dipekerjakan di perkebunan dan kehutanan, sementara di
perkotaan mengerjakan jenis pekerjaan yang kasar, kotor, terkadang berbahaya dengan
gaji murah, yang masyarakat Malaysia sendiri enggan dan kurang berminat untuk jenis
pekerjaan tersebut.

2
Jumlah PATI di Malaysia tidak diketahui dengan pasti, namun sudah menjadi
permasalahan bagi negara itu. Untuk menanggulanginya, Pemerintah Malaysia
menggelar Operasi Nyah Khas (operasi pengusiran) yang memenjarakan, denda
(merampas), dan menghukum cambuk PATI yang tertangkap. Operasi ini dimulai tahun
2004 dan terus berlangsung sampai sekarang.
Pemulangan PATI tidak saja menjadi beban Pemerintah Malaysia yang harus
mengeluarkan biaya penahanan dan transportasi ke daerah entry point terdekat di
Indonesia, tetapi juga menjadi beban bagi Pemerintah RI yang harus memberikan
layanan dokumen, penampungan, permakanan, layanan kesehatan, transportasi, dan
keamanan pada pekerja migran Indonesia bermasalah dan keluarganya baik selama
masih di luar negeri maupun selama dalam perjalanannya dari daerah entry point sampai
ke daerah asalnya, dengan selamat dan bermartabat, sebagaimana dimanatkan oleh
Keppres No. 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia
Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB).
Dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia
bermasalah, TK-PTKIB membentuk Satuan Tugas TK-PTKIB di Pusat, dan 12 Satuan Tugas
Pemulangan TKI Bermasalah di Daerah entry point dan transit di Indonesia: Medan-
Belawan, Tanjungpinang, Tanjungbalai Karimun, Batam, Dumai, Pontianak-Entikong,
Nunukan, Pare-pare, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak dan Mataram.
Pemulangan pekerja migran bermasalah dari Malaysia pada tahun 2004 cukup
tinggi karena Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan memberikan amnesti bagi
PATI yang secara sukarela pulang ke tanah airnya, sehingga banyak PATI yang pulang atas
biaya sendiri ke negara masing-masing. Namun kepulangan PATI tersebut ternyata telah
mengakibatkan kerugian ekonomis bagi perkebunan kelapa sawit di Sabah sehingga pada
tahun 2009, atas kesepakatan bersama, 217.367 pekerja migran Indonesia bermasalah
dan keluarganya di Sabah, Malaysia Timur tidak perlu dipulangkan ke Indonesia dan
diijinkan utuk melengkapi dokumennya di Malaysia setelah mendapat jaminan kerja dari
perusahaan/majikan di negeri tersebut.

Pemulangan Pekerja Migran Indonesia Bermasalah


dari Malaysia, Tahun 2004-2009
400,000
356,256

300,000

200,000
170,585

100,000

30,604 36,315 42,133


38,839
0

2004 2005 2006 2007 2008 2009

3
Dalam perkembangannya, beban migrasi internasional tidak saja dari pekerja
migran Indonesia bermasalah dari Malaysia, tetapi juga dari Timur Tengah. Pemulangan
pekerja migran Indonesia Bermasalah termasuk anak-anak dan bayi dari Timur Tengah
selama bulan Oktober-Desember 2009 mencapai 1.314 orang, yang berasal dari Abu
Dhabi (69 orang), Jeddah (200 orang), Riyadh (101 orang), Amman (125 orang), Kairo (35
orang), Damaskus (53 orang), Doha (44 orang), Dubai (115 orang), Sana’a (13 orang) dan
Kuwait (559 orang). Biaya pemulangan menggunakan pesawat terbang dari Timur Tengah
ke Indonesia menjadi beban tersendiri bagi Indonesia.
Beban migrasi internasional pekerja migran Indonesia bermasalah diperkirakan
masih akan berlanjut, sejalan dengan upaya perbaikan sistem rekrutmen, pendidikan dan
pelatihan, penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia, terutama yang
terjadi di dalam negeri. Sehubungan dengan itu, Pemerintah telah memprogramkan dan
mengalokasikan anggaran sekitar Rp 2,48 trilyun dalam Perpres No. 5 Tahun 2010
tentang RPJMN Tahun 2010-2014, untuk kegiatan: (1) koordinasi Pemulangan Pekerja
Migran Indonesia Bermasalah (2) Peningkatan pelayanan dan perlindungan serta bantuan
hukum bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri (3) bantuan dan Jaminan Sosial
Pekerja Migran Indonesia Bermasalah (4) Layanan Kesehatan Pekerja Migran Indonesia
Bermasalah (5) Kesiapsiagaan Satgas Daerah (6) Pelayanan dokumen kependudukan bagi
Pekerja Migran Indonesia Bermasalah, (7) Pengamanan Pekerja Migran Indonesia
Bermasalah dan pengembangan Polmas Daerah Perbatasan (8) Verifikasi Keimigrasian
Pekerja Migran Indonesia Bermasalah.
Dari sisi gender, diketahui bahwa hampir 70% pekerja migran Indonesia di luar
negeri adalah perempuan, yang terdorong dan atau ”terpaksa” mencari kerja menjadi
penata laksana rumah tangga di luar negeri dengan persiapan dan kemampuan yang
seadanya. Walaupun sebagian besar berpendidikan dan berketerampilan rendah, namun
banyak juga yang berhasil, baik dari sisi ekonomi, maupun dalam peningkatan pendidikan
bagi diri dan keluarganya. Keberhasilan tersebut sedikit-banyak membawa perubahan
relasi gender dalam keluarganya. Sisi positif adalah meningkatnya peran perempuan
dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga, namun juga ada biaya sosial yang
harus dikeluarkan karena ketidakberadaan seorang ibu sebagai pengasuh pertama dan
utama bagi anak-anaknya, ketidakberadaan seorang isteri bagi suaminya, dan peran
sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu juga ada biaya sosial yang timbul karena kehamilan akibat pelecehan
seksual atau hubungan di luar nikah. Bayi hasil hubungan seperti ini di bawa pulang ke
Indonesia, dan diakui Pemerintah sebagai warga negara Indonesia tetapi setelah
berumur 18 tahun, anak ini harus menyatakan pilihan kewarganegaraannya. Dalam
waktu 3 tahun kemudian, jika anak tersebut tidak menyatakannya, kewarganegaraan
Indonesianya dapat dibatalkan.

4
Menteri Nagara Pembeerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gum melar ketika
menjemput kedatangan TKI Berrmasalah dan anaknya dari Timur Tengah di Bandara Soeekarno-Hatta
(Januari 2010)

Dampak sosial lainnya adalah akibat pemalsuan data identitas calon pekerja migran
yang sebetulnya masih di bawah umur namun secara administratif dinyatakan
dinyata dewasa.
Mereka dijanjikan pekerjaan dengan gaji besar di luar negeri, namun ternyata
dieksploitasi dan menjadi korban perdagangan orang (trafficking persons Tindak
trafficking in persons).
pidana perdagangan n orang akhir
akhir-akhir ini semakin marak, dengan cara menutupi
kegiatannya berkedok
kedok seolah ppengiriman pekerja migran perempuan ke luar negerinegeri.
Selain masalah finansial, korban sering menderita luka fisik, dan trauma,, sampai pada
sakit jiwa bahkan meninggal dunia. Biaya pemulihan bagi korban perdagangan orang
cukup besar dan menjadi beban bagi pemerintah, keluarga dan masyarakat.
Pemberantasan traffikcing in persons di Indonesia ditingkatkan sejak
ejak tahun 2002
200
melalui penetapan Keppres No. 88 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (P3A), dan semakin menguat
dengan ditetapkannya Undang
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), beserta peraturan pelaksanaannya antara
lain:: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme
Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, (2)
Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus TTugas ugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan OrangOrang, (3) Peraturan Kepala Polri No
Nomor Pol. 10
Tahun
ahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di

5
Lingkungan Kepolisian Negara RI, (4) Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau
Korban Tindak Pidana, (5) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor
01 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi Saksi
dan/atau korban TPPO di Kabupaten/Kota, (6) Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 4
Tahun 2008 tentang Pelayanan Warga pada Perwakilan RI di Luar Negeri (Citizen
Service).
Saat ini, selain Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PPTPPO) di Pusat, di daerah telah terbentuk Gugus Tugas PPTPPO di
40 Kabupaten/Kota di 20 Provinsi; Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) di 93 Kabupaten/Kota di 15 Provinsi; Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)
di 41 Rumah Sakit; 305 Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) di Mabes POLRI
dan Kepolisian Daerah; 9 Unit Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA); 22 Unit Rumah
Perlindungan dan Trauma Center RPTC); dan 24 Unit Citizen Service di Perwakilan RI.
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak Tahun
2002-2007 (Keppres No. 88 Tahun 2002), telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 tentang
Rencana Akasi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan
Eksploitasi Seksual Anak (ESA) Tahun 2009-2014.
Perkembangan Tier Indonesia menurut Trafficking in Persons Report dari
Kementerian Luar Negeri AS, adalah sebagai berikut:

Tier Indonesia Tahun 2001-2009


T ie r 1 .
1

2.
2

2 SWL. 3

3. 4

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2 00 7 2 00 8 2 00 9

2 SWL: Tier 2 Special Watch List.

Sumber: Deplu AS, 2009.

Migrasi internasional di era globalisasi yang menghormati dan menjunjung tinggi


hak asasi manusia, merupakan suatu hal yang tidak dapat dicegah atau dihindari.
Pemerintah RI berupaya menggalang kerja sama dengan negara ASEAN, badan-badan
internasional dan negara-negara lain di dunia, agar migrasi internasional dapat
berlangsung dengan aman dan hak-hak pekerja migran dapat dipenuhi. Manfaat berupa
perolehan devisa harus diimbangi dengan pemberian pelayanan dan perlindungan
kepada pekerja migran Indonesia dari sejak pra penempatan, selama bekerja di luar
negeri dan setelah kembali ke tanah air. Penyempurnaan sistem pendidikan dan

6
pelatihan keterampilan calon pekerja migran menjadi prioritas agar pekerja migran
Indonesia memiliki kualitas dan daya saing yang tinggi, serta mengetahui hak-haknya
sebagai pekerja migran.
Pemerintah perlu mengatur agar dampak sosial migrasi internasional tidak melebihi
nilai manfaat yang diperoleh. Biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk membayar
pekerja migran asing hendaknya sepadan dengan nilai alih teknologi dan tidak lebih besar
dari nilai remitansi yang diterima dikurangi dengan biaya dampak sosial yang timbul
untuk penanganan perkerja migran Indonesia bermasalah. Sebagai warga dunia, pekerja
migran Indonesia diharapkan dapat memberikan sumbangsihya bagi kemajuan dan
kesejahteraan pada tingkat nasional dan global.

--------------------
1)
Asisten Deputi Kesempatan Kerja Perempuan dan Ekonomi Keluarga, Kemenko Kesra; Ketua
Sekretariat Satgas Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (Satgas TK-
PTKIB, Keppres No. 106 Tahun 2004).
2)
Penentuan Tier didasarkan pada ada tidaknya ketentuan hukum dan pelaksanaan
pemberantasan perdagangan orang di masing-masing negara.
a. Kategori Tier-1 adalah negara yang dinilai telah memenuhi ketentuan standar minimum,
menetapkan perdagangan orang sebagai kriminal dan pelakunya berhasil ditindak
sementara korbannya dilindungi dengan baik. Tier-2 adalah negara yang dinilai belum
memenuhi ketentuan standar minimum, tetapi telah melakukan upaya-upaya yang
significan untuk memenuhi ketentuan standar tersebut. Tier-2 Watch List adalah Tier-2
yang (1) jumlah korbannya banyak atau secara signifikan meningkat (2) tidak ada
kejelasan tentang upaya pemberantasan perdagangan orang (3) ada komitmen
meningkatkan langkah pemberantasan perdagangan orang. Tier-3 adalah negara yang
dinilai belum memenuhi ketentuan standar minimum dan tidak melakukan upaya-upaya
yang significan untuk memenuhi ketentuan standar tersebut.
b. Standar minimum menurut The Trafficking Victims Protection Act of 2000 (USA) adalah:
(1) Pemerintah melarang dan menghukum perdagangan orang (2) Pemerintah
menetapkan hukuman yang setaraf dengan hukuman bagi tindak pidana berat yang
menyangkut kematian (grave crimes), (3) Pemerintah menjatuhkan hukuman berat
sebagai refleksi sifat keji dari kejahatan tersebut sehingga mampu mencegah kegiatan
perdagangan orang (4) Pemerintah melakukan upaya yang sungguh-sungguh dan
berkelanjutan dalam memberantas perdagangan orang.

You might also like