You are on page 1of 20

Abstrak

Electro Convulsive Therapy (ECT) membutuhkan kerjasama yang baik antara


psikiater dan dokter anestesi. Selama beberapa dekade, teknik anestesi telah
berevolusi untuk mengembangkan kenyamanan dan keamanan dari pemberian
ECT modern. Secara spesifik, prinsip umum dan evaluasi sebelum ECT, muscle
relaxant, antikolinergik, dan antihipertensi disertakan.

Pendahuluan

ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan


psikiatrik dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang
berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. Pasien berada
di bawah anestesi umum. Terdapat kejang yang telah dimodifikasi oleh muscle
relaxant.
ECT telah berubah dan berkembang selama beberapa dekade terakhir. Terapi ini
telah menjadi semakin kompleks, lebih tepat, dan selalu dinilai sebagai prosedur
medis yang sangat rumit. Praktisi ECT harus memiliki keterampilan bukan hanya
menyeleksi pasien dan penggunaan obat yang optimal dalam ECT, namun juga
mengerti mengenai fisiologi kardiovaskular, anestesi, dan interpretasi dari iktal
EEG.
Praktisi diharapkan mampu membuat keputusan mengenai penempatan elektroda,
dosis energi yang diberikan, penggunaan zat psikotropik yang digunakan
bersamaan, dan obat-obatan sistemik dan kelanjutan perawatan baik dengan obat-
obatan maupun ECT. Lebih lagi, untuk mencapai informed consent praktisi harus
mampu menjelaskan semua aspek perawatan dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari pasien dan keluarga dengan cara yang akurat dan dapat
dimengerti.
Karena terapi ECT yang sukses membutuhkan kerjasama yang baik
antara psikiater dan anstesiolog, dan pendekatan biasa terhadap manajemen baik
psikiatri maupun anestesi terhadap pasien ECT tidak dapat diterima, maka silabus
pelatihan ECT yang benar dan supervisi yang adekuat pada residen psikiatri
maupun anestesi untuk ECT moderen sangat dibutuhkan.
Saat ini, beberapa medikasi telah digunakan selama ECT termasuk sedasi
sebelum ECT, agen anestesi, muscle relaxant, antikolinergik, dan obat yang
menurunkan respon simpatis dan parasimpatis.

Sejarah ECT

Terapi dengan konvulsi sebenarnya telah dikenal sejak abad 16. Paraselsus
(140-1541) menggunakan camphor atau kamper atau kini disebut kapur barus.
Kamper ini diberikan secara oral untuk menginduksi kejang sebagai terapi pada
pasien gangguan mental. Penggunaan kamper ini bertahan sampai abad ke-18.
Pada sekitar tahun 1917, Julius Wagner-Jaugregg, seorang psikiater dari Wina,
mulai menggunakan malaria sebagi penginduksi demam untuk mengobati pasien
dengan paresis umum pada pasien gangguan mental (sipilis terminal). Pada tahun
1093, mulai dikenal pula penggunaan insulin dan psychosurgery. Manfred Sakel
dari Wina mengumumkan kesuksesan pengobatan skizofrenia dengan insulin.
Insulin ini digunakan untuk menginduksi koma yang pada beberapa pasien
menyebabkan kejang. Kejang ini yang diperkirakan menyebabkan perbaikan pada
pasien.
Pada tahun 1934, Ladislaus von Meduna dari Budapest meninjeksi kamper
dalam minyak untuk menginduksi kejang pada pasien dengan skizofrenia
katatonik. Ini merupakan terapi konvulsi modern pertama. Terapi dinyatakan
berhasil, demikian juga dengan sejumlah pasien psikotik lainnya. Von Medunna
mengobservasi bahwa pada otak pasien epilepsi ditemukan jumlah sel glia yang
lebih banyak dari orang nomal, sementara pada pasien skizofrenia jumlah sel glia
lebih sedikit. Dengan hal ini dikemukakan hipotesa bahwa ada antagonisme
biologis antara kejang dan skizofrenia. Karena sifatnya yang long acting, kamper
kemudian digantikan oleh pentylenetrazol, namun zat ini sering menimbulkan
keluhan sensasi keracunan pada kondisi pasien sadar, disebabkan aktivitas
antagonis GABAnya.
Pada tahun 1938, di Roma, Ugo Cerleti dengan asistennya Lucio Bini
melakukan ECT pertama pada pasien skizofrenia. ECT dilakukan sebanyak 11
kali dan pasien memberikan respons yang bagus. Pengunaan ECT kemudian
menyebar luas di seluruh dunia. Kini ECT digunakan terutama pada depresi
mayor dan skizofrenia.

Ugo Cerletti (1877-1963)

Perkembangan Teknik ECT

ECT telah digunakan secara berkelanjutan selama lebih dari 70 tahun.


Bagaimanapun, telah dilakukan beberapa perkembangan teknis:
- Pengenalan anestesi pada pelaksanaan ECT yang mengurangi distress pada
pasien dalam proses ECT
- Anestesi juga diizinkan untuk digunakannya muscle relaxant yang
mengurangi ketegangan pada sistem muskuloskeletal, mengurangi cedera
- Pre-oksigenasi dan ventilasi terpimpin selama pemulihan yang
mengurangi efek samping
- Stimulus listrik terutama didisain untuk menghasilkan kejang yang bersifat
terapeutik tanpa memberikan energi listrik yang tidak perlu pada otak.
- Penempatan elektroda yang beragam yang dapat dipilih berdasarkan
kebutuhan klinis kasus.
- Metode monitoring aktivitas otak dan tubuh sebelum, selama, dan setelah
kejang.

Bagaimana ECT Bekerja

Seperti halnya antidepresan kimia, ECT juga diketahui memodulasi sistem


monoamine pada otak seperti jaras serotonik dan noradrenergik. Hal ini
meningkatkan aktivitas sistem dopaminergik, yang menjelaskan keefektifannya
bukan hanya pada gangguan depresi namun juga pada penyakit Parkinson. ECT
memiliki efek yang kuat pada sistem eksitatori asam amino, yang banyak
terpengaruh pada keadaan psikosis. Luasnya jangkauan kerja ECT ini mungkin
dapat menjelaskan efektifnya ECT pada berbagai kondisi, seperti gangguan
depresi, mania, atau skizofrenia. Meskipun ECT memiliki efek pada banyak
sistem pada otak, efek sistem neurotransmitter individual dapat lebih spesifik dan
lebih fokus daripada jika diinduksi oleh antidepresan kimia.
Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa ECT memiliki efek
dalam mendukung pertahanan neuron, berlawanan dengan pandangan yang umum
ditemui namun tak berdasar bahwa ECT merusak neuron. ECT bahkan
meningkatkan produksi neuron baru dan proses-proses neural di area otak yang
terlibat dalam fungsi kognitif dan emosi. Seperti halnya antidepresan kimia, ECT
meningkatkan ekspresi protein neuroprotektif, yang antagonis dengan efek
neurotoksis dari stress otak.

Indikasi ECT

Episode Depresi mayor.


Depresi mayor merupakan kondisi yang paling sering diberlakukan ECT.
Hal ini terutama diindikasikan jika pengobatan secara medikamentosa telah gagal
atau terdapat resiko yang besar akan bunuh diri. ECT aktif telah dikatakan
superior daripada placebo pada banyak penelitian. ECT juga dikatakan superior
daripada obat antidepresan pada lusinan penelitian. Bentuk penelitian umumnya
subyek dibagi menjadi dua grup dimana satu grup menerima ECT dan obat
placebo, grup yang lain menerima ECT placebo dan obat.

Mania
Mania merupakan keadaan kenaikan mood atau iritabilitas dan aktivitas
fisik berlebih. Pengobatan diperlukan untuk memastikan asupan obat dan cairan
dan menghindari kelelahan dan cedera fisik. Populasi ini sulit diteliti karena
beberapa alasan. Pengalaman klinis secara luas menunjukkan bahwa ECT
merupakan pengobatan yang efektif dan dapat menjadi tindakan penyelamatan.
ECT telah ditunjukkan superior daripada litium karbonat pada mania akut.

Schizophrenia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Medunna menggunakan
kamper untuk meninduksi kejang pada skizofrenia, dan orang pertama yang
menerima ECT merupakan penderita gangguan psikotik. ECT saat ini digunakan
pada skizofrenia ketika ditemukan gambaran katatonik dengan asupan makanan
dan cairan yang terbatas dan jika gejala psikotik tidak resonsif terhadap
medikamentosa.

Gangguan Postpartum
Beberapa gangguan psikiatrik dapat muncul mengikuti proses kelahiran.
Sebagian besar dapat ditangani dengan dukungan dan penggunaan medikasi.
Gangguan yang kuat, berat dapat berkembang, dan ibu dapat menghadirkan
bahaya kepada dirinya sendiri mauun bayinya. Sebagai generalisasi, mayoritas
kondisi postpartum berat menyerupai episode depresi mayor, dan lainnya adalah
episode psikotik, dengan delusi atau halusinasi. ECT sangat berguna pada kasus-
kasus berat tersebut. ECT menginduksi remisi secara cepat sehingga resiko pada
ibu maupun bayi menurun dengan cepat, sehingga kegiatan menyusui dan
pengikatan ibu-anak dapat dilakukan tanpa penundaan. Juga, ECT dapat
menghindari penggunaan obat dosis tinggi, sehingga meminimalisir pengobatan
yang mencapai bayi yang sdang menyusui.

ECT rumatan
Saat pengobatan telah gagal dan ECT dibutuhkan untuk mengiduksi remisi
pada depresi mayor dan pengobatan gagal mencegah relapse, ECT rumatan
dipertimbangkan. Hal ini dilakukan pada pasien rawat jalan. Frekuensi ECT
ditentukan menurut respon klinis. Seringkali, untuk melengkapi rangkaian ECT,
ketika remisi telah dicapai, ECT terus diberikan dengan interval seminggu.
Kemudian jarak terapi ini diperpanjang hingga empat sampai enam minggu.
National Institute for Clinical Evidence (NICE) tidak merekomendasikan CT
rumatan, namun American Psychiatric Association (APA) merekomendasikan
metode ini.

Prosedur ECT

Persiapan termasuk didalamnya diagnosis yang akurat, komunikasi dengan


keluarga dan pasien, pemeriksaan anestesi, dan menentukan penempatan elektroda
yang sesuai. Secara umum, stimulus diberikan menggunakan satu atau dua
susunan elektroda. Pada stimulasi bilateral, satu elektroda diletakkan pada kedua
sisi pelipis dan listrik melintas melalui kedua sisi otak. Pada stimulasi unilateral,
satu elektroda menempel pada satu sisi pelipis dan satu lagi pada bagian atas
kepala pada sisi yang sama. Dengan stimulasi unilateral, aliran listrik umumnya
hanya satu sisi kepala, meskipun jika terjadi kejang, meluas pada kedua belah
otak. Dua set elektroda ditempelkan pada pasien untuk memonitor aktivitas otak
sebelum, selama, dan setelah pemberian ECT. Satu set diletakkan pada kepala
(EEG) dan satu set lagi pada ekstrimitas.
Pasien berbaring di troli. Seorang dokter anestesi, psikiater, dan paling
sedikit dua perawat dibutuhkan. Dokter anestesi memasukkan kanula, perawat
anestesi memasang elektroda EKG, dan psikiater serta perawat psikiater
memasang ECT, EEG, dan elektroda otot perifer. Anestesi dimasukkan. Saat
muscle relaxant mulai bekerja, stimulus ECT mulai dilakukan. Ini merupakan
square wave dengan lebar pulse 1,0 milidetik. Menggunakan sebuah alat populer
(Thymatron), stimulus diberikan pada frekuensi maksimum 70 pulse per detik.
Karenanya, dalam satu detik stimulus berjalan selama 0,14 detik. Stimulus
terpanjang yang bisa diteruskan oleh alat ini adalah delapan detik. Maka, dengan
setting maksimal, stimulus dapat berjalan untuk waktu total sedikit lebih dari satu
detik (1,12 detik). Konvulsi kini telah banyak termodifikasi. Biasanya ada
penekukan siku dan penunjukkan ibu jari kaki. Saat kejang telah berhenti
(biasanya kurang dari 30 detik), pasien kemudian dimiringkan ke satu sisi dan
kemudian dibawa ke ruang pemulihan. Seluruh prosedur dari kedatangan sampai
keberangkatan dari ruang prosedur memakan waktu kurang lebih 10 menit.

Pemasangan elektroda
Seperti telah disebutkan, ada dua teknik penempatan elektroda, yaitu
bilateral dan unilateral. Efek samping yang paling menyulitkan adalah memori.
Memori tidak terletak pada lokasi tertentu pada otak. Saat ini dipercaya memori
bergantung pada banyak regio pada otak yang secara anatomis maupun fungsional
terhubung. Diketahui bahwa masalah memori yang berat terjadi ketika struktur
kedua belah otak rusak. Ini merupakan bukti yang mengindikasikan bahwa ECT
bilateral memiliki efek antidepresan yang lebih kuat daripada unilateral. Namun,
ECT bilateral juga dipercaya berkaitan dengan gangguan ingatan yang lebih besar
daripada ECT unilateral. Bukti menunjukkan bahwa memberikan energi listrik
unilateral dalam jumlah besar (selama dalam bentuk square wave singkat) dari
yang dibutuhkan hanya sekedar untuk memicu kejang (seizure threshold) dapat
membuat efek antidepresan serupa dengan ECT bilateral, namun dengan
gangguan memori yang lebih ringan. Teknik "ECT unilateral dosis tinggi" ini
sekarang merupakan bentuk yang paling sering dipilih. Bagaimanapun, saat efek
antidepresan maksimum dibutuhkan, ECT bilateral mungkin tetap penting untuk
dipilih.

Penentuan dosis
Efek antidepresan optimum dicapai dengan dosis elektrik yang jauh di atas
ambang kejang. Ada dua metode untuk menentukan dosis tinggi yang sesuai.
Metode pertama adalah dengan menentukan ambang kejang. Pada metode ini
beberapa stimulus diberikan, dimulai dari tingkat rendah, dan meningkatkan
energi listrik pada stimulus-stimulus berikutnya hingga ambang kejang terdeteksi.
Terapi kemudian diberikan melalui stimulus 2-3 kali lebih besar daripada ambang
kejang. Ini disebut "metode titrasi stimulus", dan metode ini lebih disukai oleh
banyak ahli. Alternatif lain adalah memberikan listrik dengan dosis yang
ditentukan berdasarkan umur (algoritme dosis berbasis umur), atau fixed high
dose. Masih dipertimbangkan metode mana yang lebih baik dalam menentukan
dosis. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan
mungkin lebih baik dinilai sebagai alternatif daripada adanya hirarki.

ECT dan kematian


Kematian saat ECT merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. ECT bisa
disebut lebih aman daripada ekstraksi gigi saat di bawah anestesi. Beberapa
kematian terjadi lebih merupakan dampak dari anestesinya daripada ECTnya. Dari
catatan selama 50tahun, satu kematian ditemukan dari 46.770 terapi. Ditemukan
lebih sedikit kematian pada depresi dengan terapi ECT daripada pasien depresi
yang diterapi dengan perangkat lain.

Kerusakan otak permanen dan ECT


ECT tidak menyebabkan kerusakan otak. Setiap penyelidikan yang
memungkinkan telah dilakukan termasuk penelitian enzim dalam darah,
pencitraan struktur dan komposisi kimia otak, dan penelitian histologis post
mortem. Tidak dideteksi adanya abnormalitas yang dapat disebabkan ECT.

ECT dan memori


Kehilangan ingatan mengganggu rasa otonomi dan sangat mengancam
terhadap seseorang. Dua perkembangan sekarang ini telah mengurangi gangguan
memori yang berhubungan dengan ECT.
Pertama adalah pengenalan stimulasi dengan brief square wave (1ms).
ECT masa lampau memberikan gelombang sinus, yang memiliki potensi stimulasi
terbatas bergantung pada jumlah energi yang diberikan, dan energi yang tidak
dibutuhkan merusak memori. Saat ini, penggunaan ultra-brief pulse (0,3ms) telah
dilaporkan mengurangi masalah memori. Ke-dua adalah pengenalan adanya
teknik ECT unilateral, yang biasanya tidak menimbulkan keluhan memori
subyektif.
Berikut merupakan hal berkenaan ECT dan memori.
- Gangguan memori yang mengikuti ECT, dan biasanya hilang dalam
beberapa minggu, bukti menunjukkan bahwa beberapa individu memiliki
kesulitan memori dalam jangka yang lebih panjang.
- Stimulus square wave moderen diperkirakan lebih sedikit
kemungkinannya membuat gangguan memori daripada gelombang sinus
yang sudah ditinggalkan. Hal ini dapat diperbaiki lagi dengan pengenalan
adanya ultra-brief pulse
- ECT unilateral yang berkaitan dengan kesulitan kehilangan memori
daripada ECT bilateral
- Mayoritas pasien yang menerima ECT unilateral tidak mengeluhkan
adanya gangguan ingatan.
- Jika terjadi gangguan ingatan, lebih sering terjadi pada ingatan yang
impersonal daripada ingatan yang penting
- Perlu diingat bahwa depresi dan pengobatan atridepresan juga terkait
dengan kesulitan memori.

Anestesi pada ECT

Anestesi pada ECT harus diberikan oleh dokter anestesi berpengalaman,


mampu menangani kemungkinan komplikasi pada lokasi yang jauh dari rumah
sakit utama, dibantu oleh asisten yang terlatih. Dokter anestesi akan mengawasi
pemeriksaan pasien, menyiapkan pemberian anestesi yang sesuai dan monitoring.
Pemeriksaan awal dapat dilakukan oleh psikiater atau perawat klinik ECT
senior atau perawat tertentu. Adanya guideline berbentuk checklist dapat
membantu staff untuk mengidentifikasi potensi masalah dengan anestesi. Riwayat
penyakit harus digaris bawah jika terdapat kondisi yang dapat mempengaruhi
anestesi seperti: angina, infark miokard baru, cerebrovascular accident, diabetes,
hipertensi, hernia, adanya alergi obat, atau telah adanya efek samping terhadap
penggunaan obat anestesi sebelumnya
Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap
- Urea dan elektrolit (pada pasien pengguna lithium, diuretik, atau obat
vaskonstriksi lain, diabetes, atau gangguan ginjal)
- Fungsi hati (pada pasien dengan kaheksi, sejarah penggunaan alkohol, dan
adanya riwayat penyalahgunaan obat atau overdosis
- International normalized ratio untuk pasien yang menggunakan
antikoagulan
- Status antigen hepatitis B ada penyalahguna obat
- Kadar gula darah (jika urinalisis positif)
- Elektrokardiogram pada pasien dengan penyakit kardiovaskular,
pernafasan, dan ginjal, denyut irregular atau murmur, hipertensi, pasien
dengan diabetes di atas 40tahun, dan semua pasien di atas 50 tahun
- X-ray dada pada pasien dengan suspek infeksi dada, kardiomegali, gagal
jantung kongestif, emboli paru
- Tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit obstruksi jalan nafas kronis
berat, atau nafas pendek saat istirahat
- Tes kehamilan jika diperlukan
List pemeriksaan standar ini diperlukan sebelum dilakukan ECT dan disetujui
oleh dokter anestesi.

Berikut merupakan kontraindikasi relatif untuk dilakukan ECT :


- gagal jantung tanpa terapi
- deep vein thrombosis
- infeksi pernafasan akut
- miokard infark baru (dalam 3 bulan atau berat)
- CVA baru (dalam 1 bulan dan bergantung pada keparahan)
- Peningkatan tekanan intrakranial/ aneurisma serebral tak tertangani
- Fraktur mayor yang belum stabil
- Phaeochromocytoma tak tertangani
Pada tiap kasus harus dipertimbangkan resiko antara anestesi pada ECT dengan
resiko depresi.

Pemberian ECT memungkinkan pada wanita hamil. Terapi harus


direncanakan dalam konsultasi dengan ahli kebidanan pasien, saat pertimbangan
harus diberikan terhadap metode monitoring fetus dan kehadiran bidan, terutama
pada kehamilan usia tua.

Persiapan untuk ECT


Checklist akan pasien : identitas, keterangan pasien rawat jalan / inap,
status legal, consent, keadaan puasa, pelepasan gigi, perhiasan, alat bantu dengar,
dan kontak lens, detail dari premedikasi, tanggal ECT terakhir dan anestesi umum.
Kecuali tertera secara spesifik, semua medikasi regular, dengan
pengecualian insulin, harus diterima tidak kurang dari 2 jam sebelum terapi,
dengan dibantu sedikit air jika dibutuhkan. Pasien tidak boleh makan selama 6
jam sebelumnya dan minum air bening hanya dalam jumlah secukupnya sampai 2
jam sebelum terapi. Pasien harus diberikan kesempatan untuk melepaskan urin.
Tekanan darah, denyut, suhu, dan berat harus dicatat. Untuk pasien dengan
diabetes, perkiraan gua darah harus dilakukan segera sebelum setiap terapi. Pasien
tidak boleh menyetir paling sedikit 24 jam setelah terapi, diantarkan sampai ke
rumah dan memperoleh supervisi yang layak semalam setelah terapi diberikan.
Saran apapun pada masa setelah terapi harus diberikan pada pasien maupun
pengantar.

Peralatan emergensi / resusitasi


Peralatan emergensi atau resusitasi harus meliputi berikut:
- Peralatan penunjang jalan nafas seperti laringoskop, endotracheal tube dan
connectors, laryngeal mask, atau alat bantu jalan nafas lain.
- Cairan-cairan intravena, set untuk pemberiannya, pressure infuser, dan
drip stand
- Penanganan henti jantung dan obat emergensi lainnya
- Defibrillator, yang harus dicek dan dicatat sebelum tiap sesi terapi
- Panduan resusitasi harus tersedia dalam tiap ruang ECT dan latihan
resusitasi emergensi dilakukan berkala

Obat-obatan yang digunakan dalam proses anestesi

Anesthetic agents
Tujuan: agen anestesi yangg diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari
adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan oto dan
perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi
permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung
anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat
menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek
antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular, dan
meningkatkan amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan
ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa
properti antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal.
Belum ada obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital
memenuhi banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin,
propofol, dan etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi ECT.
Agen-agen induksi yang biasa digunakan
1. Methohexital memiliki onset yang cepat dan durasi yang cepat, toksisitas
kardio rendah, efek antikonvulsan yang minimal, dan menimbulkan rasa nyeri
pada lokasi injeksi. Efek samping lain termasuk hipotensi, menggigil, dan
nekrosis jaringan lunak pada lokasi penyuntikan. APA Task Force on ECT
merekomendasikan penggunaannya agen induksi pilihan. Dosis tipikal adalah 0,5-
1mg/kg.
2. Thiopental memiliki efek entikonvulsi yang lebih besar dan durasi yang lebih
lama daripada methohexital. Pasien dengan penyakit kardiovaskulaar yang
diinduksi dengan thiopental dapat memiliki insidensi yang lebih besar untuk
abnormalitas EKG postiktal dibanding dengan methohexital. Seperti halnya
methohexital, thiopental dapat menyebabkan hipotensi dan menyebabkan nekrosis
pada lokasi injeksi. Dosisnya adalah 2-4 mg/kg.
3. Ketamine. Merupakan derivat dari phencyclidine, yang menghambat glutamate
subtipe N-methyl-D-aspartate (NMDA). Dibanding methihexital, ketamin
memiliki onset yang lebih lambat, pemulihan yang lebih lambat, dan meningkatan
insidensi nausea, hipersalivasi, 'bad trips', dan ataksia selama pemulihan.
Direkomandasikan bagi pasien dengan peningkatan ambang kejang sehingga
pemunculan kejang menjadi sulit, dan dosisnya adalah 0,5-2 mg/kg.
4. Propofol memiliki onset cepat, durasi yang singkat, dan sering dikaitkan
dengan nyeri lokasi injeksi. Propofol memiliki properti poten antikonvulsan.
Dosis propofol 0,75-1,5mng/kg menghasilkan:
1. Penurunan intensitas dan durasi kejang.
2. Kebutuhan akan peningkatan jumlah terapi.
3. Pemanjangan hipertensi dan takikardi karena ECTs
4. Penurunan pelepasan prolaktin dan ACTH karena kejang
5. Penggunaan yang sukses pada penanganan status epileptikus
Namun begitu, RCT antara propofol dengan methihexital maupun thiopental tidak
menunjukkan adanya perbedaan dalam hasil terapeutik ataupun kecepatan
pemulihan postiktal. Efek samping lainnya termasuk hipotensi, apneu, bradikardi.
5. Etomidate, berkaitan dengan nyeri pada lokasi injeksi seperti halnya
methohexital, dan menyebabkan aktivitas mioklonik menonjol selama induksi.
Etomidate memberika keuntungan akan efek kontraktibilitas dan kardiak output
yang minimal. Etomidate direkomendasikan pada pasien dengan
penurunan.kardiak output dan atau peningkatan ambang kejang. Dosis adalah
0,15-0,3 mg/kg

Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang.
Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi
dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus
diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan
resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus
ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes
reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Agen yang biasa digunakan
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia,
peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,15-0,2 mg/kg, rocuronium 0,45-
0,6 mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus
dimonitor oleh stimulator saraf.

Antikolinergik
Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol
karena parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi vagal
karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung
besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan bradikardi atau asistol transien. Jika
aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat
terjadi dengan disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini
mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai
kejang (stimulasi subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti
stimulus menjadi besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak
ada.
Indikasi
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi
dosis, terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya
adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik
Obat yang biasa digunakan
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv atau 0,3-
0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine memiliki potensi
lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood brain barrier dan
memiliki efek antisialagogue.

Agen yang memodifikasi respon kardiovaskular


Tujuannya adalah untuk menurunkan respon kardiovaskular karena ECT. Prinsip:
resiko ECT cukup dikenali. Angka kematian selama perawatan sekitar 0,002%
(atau 1:80.000). Komplikasi kardiovaskular, aritmia, infark miokardial, gagal
jantung kongestif, dan henti jantung merupakan penyebab kematian paing sering.
Saaat ini tidak ada consensus untuk indikasi penggunaan agen-agen ini. APA
Task Force on ECT menyarankan penggunaan yang tidak berdasar harus
dihindarkan. Selama kejang karena ECT, aliran darah otak meningkat hingga
300%, penggunaan oksigen dan metabolisme meningkat hingga 200%.
Karenanya, aliran darah perifer sangat penting untuk memenuhi kebutuhan ini,
dan menyediakan sulai oksigen dan karbohidrat pada otak. Karena hal tersebut,
pertimbangan sangat dibutuhkan saat akan menggunakan agen ini.
Rekomendasi
1. Over-treatment lebih berbahaya daripada under-treatment. Karenanya,
pemberian antihipertensi profilaksis rutin pada semua pasien tidak
direkomendasikan.
2. Usaha awal harus diarahka untuk mendapatkan control tekanan darah dan
denyut jantung dengan administrasi harian agen oral sebelum memulai
ECT
3. Pada pasien yang beresiko untuk komplikasi kardiovaskular, seperti
aneurisma tak stabil, pencegahan total akan perubahan hemodinamik
karena ECT direkomendasikan.
4. Hipertensi yang bertahan atau aritmia yang signifikan setelah kejang
diterapi secara akut, dan profilaksis dipertimbangkan untuk
penatalaksanaan berikutnya
Agen yang biasa digunakan
Beberapa antihipertensi memiliki potensi untuk membatasi efek hemodinamik
ECT. Mereka memiliki perbedaan dalam onset dan durasi, dampak terhadap
tekanan darah versus denyut jantung, efek terhadap kerja miokard, dan durasi
kejang.
1. Beta blocker. Literature untuk beta blocker sangat luas. Efek samping
mayornya adalah adanya property antikonvulsa. Labetalol merupakan
beta-blocker yang paling banyak digunakan sekarang ini. Obat ini secara
selektif memblok alfa-1 dan secara tidak selektif memblok reseptor
adrenergic beta-1 dan beta-2. Dosis awalnya adalah 5-10 mg iv. Onsetnya
adalah sekitar 2-5 menit dan durasinya sekitar 4-6 jam. Esmelol memiliki
onset yang lebih cepat (30-90 detik) dan durasinya jauh lebih singkat
(sekitar 10 menit), lebih memiliki efek pada tekanan darah daripada pada
denyut jantung, dan lebih menurunkan loading kerja jantung, disbanding
dengan abetalol.
2. Nitrogliserin. Mendilatasi sistem vena dengan sedikit efek pada
kontraktibilitas miokard. Ada banyak sdiaaan, seperti spray, injeksi, dan
salep. Pada prakteknya, nitrogliserin diberikan secara spray sublingual (0,4
mg/spray) beberpa menit sebelum ECT mulai menurunkan hipertansi.
3. Trimethaphan, merupakan agen bloking ganglionik, merupakan salah satu
entihipertensi intravena yang direkomandasikan untuk ECT. Agen ini
menginhibisi sistem saraf simpatis dan parasimpatis sekaligus dengan efek
pada arteriol, dan meningkatkan vasodilatasi tanpe menginduksi refleks
takikardi. Hanya tersdia dalam bentuk parenteral dan memiliki onset
dalam beberapa menit,. Bolus trimethaphan menurunkan tekanan darah
dan denyut jantung selama ECT tanpa menimbulkan hipertensi rebound,
perpanjangan hipotensi, aritmia, atau efek pada durasi kejang.
4. Nicardipine memberikan control yag adekuat untuk MAP, namun denyut
jantung biasanya meningkat sebelum, selama, dan setelah ECT. Tidak ada
efek pada durasi kejang.
5. Nitropruside juga dapat digunakan untuk emngontrol tekanan darah namun
memiliki insiden yang lebih besar untuk hipotensi post-ECT. Agen ini
merupakan vasodilator poten yang mempengaruhi sistem arteriol dan
vena, dan dapat menghasilkan reflaks takikardi. Beberapa anestesi
mempertimbangkan monitoring intra arterial sementara menggunakan
agen ini.
Electro Convulsive Therapy

Jumat, 9 April 2010

Oleh : dr. Adhika Anindita

Pembimbing :

Dr. Erlina, SpKJ (K)

DEPARTEMEN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO-RSPAD GATOT SOEBROTO

JAKARTA
Daftar Pustaka

Royal College of Psychiatrists Special Comitee on ECT. The ECT Handbook 2nd
Edition. 2004

Pridmore. Download of Psychiatry Chapter 28: Electro Convulsive Therapy.


Februari 2009

Chanpattana, W. Anesthesia for ECT. Thailand : 2001

Prudic, J. Brain Stimulation Therapy Chapter 31: Biological Therapies. In:


Sadock BJ, Sadock VA. Comprehensive Textbook of Psychiatry, 9 th ed.
Philadelphia, Lippincot Williams & Wilkins: 2009

National Institute for


Clinical Institute for Clinical Excellence. Technology Appraisal Guidance 59 :
Guidance on the use of electroconvulsive therapy. April 2003

You might also like