Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Sejarah ECT
Terapi dengan konvulsi sebenarnya telah dikenal sejak abad 16. Paraselsus
(140-1541) menggunakan camphor atau kamper atau kini disebut kapur barus.
Kamper ini diberikan secara oral untuk menginduksi kejang sebagai terapi pada
pasien gangguan mental. Penggunaan kamper ini bertahan sampai abad ke-18.
Pada sekitar tahun 1917, Julius Wagner-Jaugregg, seorang psikiater dari Wina,
mulai menggunakan malaria sebagi penginduksi demam untuk mengobati pasien
dengan paresis umum pada pasien gangguan mental (sipilis terminal). Pada tahun
1093, mulai dikenal pula penggunaan insulin dan psychosurgery. Manfred Sakel
dari Wina mengumumkan kesuksesan pengobatan skizofrenia dengan insulin.
Insulin ini digunakan untuk menginduksi koma yang pada beberapa pasien
menyebabkan kejang. Kejang ini yang diperkirakan menyebabkan perbaikan pada
pasien.
Pada tahun 1934, Ladislaus von Meduna dari Budapest meninjeksi kamper
dalam minyak untuk menginduksi kejang pada pasien dengan skizofrenia
katatonik. Ini merupakan terapi konvulsi modern pertama. Terapi dinyatakan
berhasil, demikian juga dengan sejumlah pasien psikotik lainnya. Von Medunna
mengobservasi bahwa pada otak pasien epilepsi ditemukan jumlah sel glia yang
lebih banyak dari orang nomal, sementara pada pasien skizofrenia jumlah sel glia
lebih sedikit. Dengan hal ini dikemukakan hipotesa bahwa ada antagonisme
biologis antara kejang dan skizofrenia. Karena sifatnya yang long acting, kamper
kemudian digantikan oleh pentylenetrazol, namun zat ini sering menimbulkan
keluhan sensasi keracunan pada kondisi pasien sadar, disebabkan aktivitas
antagonis GABAnya.
Pada tahun 1938, di Roma, Ugo Cerleti dengan asistennya Lucio Bini
melakukan ECT pertama pada pasien skizofrenia. ECT dilakukan sebanyak 11
kali dan pasien memberikan respons yang bagus. Pengunaan ECT kemudian
menyebar luas di seluruh dunia. Kini ECT digunakan terutama pada depresi
mayor dan skizofrenia.
Indikasi ECT
Mania
Mania merupakan keadaan kenaikan mood atau iritabilitas dan aktivitas
fisik berlebih. Pengobatan diperlukan untuk memastikan asupan obat dan cairan
dan menghindari kelelahan dan cedera fisik. Populasi ini sulit diteliti karena
beberapa alasan. Pengalaman klinis secara luas menunjukkan bahwa ECT
merupakan pengobatan yang efektif dan dapat menjadi tindakan penyelamatan.
ECT telah ditunjukkan superior daripada litium karbonat pada mania akut.
Schizophrenia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Medunna menggunakan
kamper untuk meninduksi kejang pada skizofrenia, dan orang pertama yang
menerima ECT merupakan penderita gangguan psikotik. ECT saat ini digunakan
pada skizofrenia ketika ditemukan gambaran katatonik dengan asupan makanan
dan cairan yang terbatas dan jika gejala psikotik tidak resonsif terhadap
medikamentosa.
Gangguan Postpartum
Beberapa gangguan psikiatrik dapat muncul mengikuti proses kelahiran.
Sebagian besar dapat ditangani dengan dukungan dan penggunaan medikasi.
Gangguan yang kuat, berat dapat berkembang, dan ibu dapat menghadirkan
bahaya kepada dirinya sendiri mauun bayinya. Sebagai generalisasi, mayoritas
kondisi postpartum berat menyerupai episode depresi mayor, dan lainnya adalah
episode psikotik, dengan delusi atau halusinasi. ECT sangat berguna pada kasus-
kasus berat tersebut. ECT menginduksi remisi secara cepat sehingga resiko pada
ibu maupun bayi menurun dengan cepat, sehingga kegiatan menyusui dan
pengikatan ibu-anak dapat dilakukan tanpa penundaan. Juga, ECT dapat
menghindari penggunaan obat dosis tinggi, sehingga meminimalisir pengobatan
yang mencapai bayi yang sdang menyusui.
ECT rumatan
Saat pengobatan telah gagal dan ECT dibutuhkan untuk mengiduksi remisi
pada depresi mayor dan pengobatan gagal mencegah relapse, ECT rumatan
dipertimbangkan. Hal ini dilakukan pada pasien rawat jalan. Frekuensi ECT
ditentukan menurut respon klinis. Seringkali, untuk melengkapi rangkaian ECT,
ketika remisi telah dicapai, ECT terus diberikan dengan interval seminggu.
Kemudian jarak terapi ini diperpanjang hingga empat sampai enam minggu.
National Institute for Clinical Evidence (NICE) tidak merekomendasikan CT
rumatan, namun American Psychiatric Association (APA) merekomendasikan
metode ini.
Prosedur ECT
Pemasangan elektroda
Seperti telah disebutkan, ada dua teknik penempatan elektroda, yaitu
bilateral dan unilateral. Efek samping yang paling menyulitkan adalah memori.
Memori tidak terletak pada lokasi tertentu pada otak. Saat ini dipercaya memori
bergantung pada banyak regio pada otak yang secara anatomis maupun fungsional
terhubung. Diketahui bahwa masalah memori yang berat terjadi ketika struktur
kedua belah otak rusak. Ini merupakan bukti yang mengindikasikan bahwa ECT
bilateral memiliki efek antidepresan yang lebih kuat daripada unilateral. Namun,
ECT bilateral juga dipercaya berkaitan dengan gangguan ingatan yang lebih besar
daripada ECT unilateral. Bukti menunjukkan bahwa memberikan energi listrik
unilateral dalam jumlah besar (selama dalam bentuk square wave singkat) dari
yang dibutuhkan hanya sekedar untuk memicu kejang (seizure threshold) dapat
membuat efek antidepresan serupa dengan ECT bilateral, namun dengan
gangguan memori yang lebih ringan. Teknik "ECT unilateral dosis tinggi" ini
sekarang merupakan bentuk yang paling sering dipilih. Bagaimanapun, saat efek
antidepresan maksimum dibutuhkan, ECT bilateral mungkin tetap penting untuk
dipilih.
Penentuan dosis
Efek antidepresan optimum dicapai dengan dosis elektrik yang jauh di atas
ambang kejang. Ada dua metode untuk menentukan dosis tinggi yang sesuai.
Metode pertama adalah dengan menentukan ambang kejang. Pada metode ini
beberapa stimulus diberikan, dimulai dari tingkat rendah, dan meningkatkan
energi listrik pada stimulus-stimulus berikutnya hingga ambang kejang terdeteksi.
Terapi kemudian diberikan melalui stimulus 2-3 kali lebih besar daripada ambang
kejang. Ini disebut "metode titrasi stimulus", dan metode ini lebih disukai oleh
banyak ahli. Alternatif lain adalah memberikan listrik dengan dosis yang
ditentukan berdasarkan umur (algoritme dosis berbasis umur), atau fixed high
dose. Masih dipertimbangkan metode mana yang lebih baik dalam menentukan
dosis. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan
mungkin lebih baik dinilai sebagai alternatif daripada adanya hirarki.
Anesthetic agents
Tujuan: agen anestesi yangg diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari
adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan oto dan
perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi
permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung
anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat
menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek
antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular, dan
meningkatkan amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan
ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa
properti antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal.
Belum ada obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital
memenuhi banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin,
propofol, dan etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi ECT.
Agen-agen induksi yang biasa digunakan
1. Methohexital memiliki onset yang cepat dan durasi yang cepat, toksisitas
kardio rendah, efek antikonvulsan yang minimal, dan menimbulkan rasa nyeri
pada lokasi injeksi. Efek samping lain termasuk hipotensi, menggigil, dan
nekrosis jaringan lunak pada lokasi penyuntikan. APA Task Force on ECT
merekomendasikan penggunaannya agen induksi pilihan. Dosis tipikal adalah 0,5-
1mg/kg.
2. Thiopental memiliki efek entikonvulsi yang lebih besar dan durasi yang lebih
lama daripada methohexital. Pasien dengan penyakit kardiovaskulaar yang
diinduksi dengan thiopental dapat memiliki insidensi yang lebih besar untuk
abnormalitas EKG postiktal dibanding dengan methohexital. Seperti halnya
methohexital, thiopental dapat menyebabkan hipotensi dan menyebabkan nekrosis
pada lokasi injeksi. Dosisnya adalah 2-4 mg/kg.
3. Ketamine. Merupakan derivat dari phencyclidine, yang menghambat glutamate
subtipe N-methyl-D-aspartate (NMDA). Dibanding methihexital, ketamin
memiliki onset yang lebih lambat, pemulihan yang lebih lambat, dan meningkatan
insidensi nausea, hipersalivasi, 'bad trips', dan ataksia selama pemulihan.
Direkomandasikan bagi pasien dengan peningkatan ambang kejang sehingga
pemunculan kejang menjadi sulit, dan dosisnya adalah 0,5-2 mg/kg.
4. Propofol memiliki onset cepat, durasi yang singkat, dan sering dikaitkan
dengan nyeri lokasi injeksi. Propofol memiliki properti poten antikonvulsan.
Dosis propofol 0,75-1,5mng/kg menghasilkan:
1. Penurunan intensitas dan durasi kejang.
2. Kebutuhan akan peningkatan jumlah terapi.
3. Pemanjangan hipertensi dan takikardi karena ECTs
4. Penurunan pelepasan prolaktin dan ACTH karena kejang
5. Penggunaan yang sukses pada penanganan status epileptikus
Namun begitu, RCT antara propofol dengan methihexital maupun thiopental tidak
menunjukkan adanya perbedaan dalam hasil terapeutik ataupun kecepatan
pemulihan postiktal. Efek samping lainnya termasuk hipotensi, apneu, bradikardi.
5. Etomidate, berkaitan dengan nyeri pada lokasi injeksi seperti halnya
methohexital, dan menyebabkan aktivitas mioklonik menonjol selama induksi.
Etomidate memberika keuntungan akan efek kontraktibilitas dan kardiak output
yang minimal. Etomidate direkomendasikan pada pasien dengan
penurunan.kardiak output dan atau peningkatan ambang kejang. Dosis adalah
0,15-0,3 mg/kg
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah
menyediakan relaksasi otot . secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan
ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang.
Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi
dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga
menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus
diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan
resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus
ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes
reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan
succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Agen yang biasa digunakan
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia,
peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah
dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan
muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan
berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1
mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,15-0,2 mg/kg, rocuronium 0,45-
0,6 mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk
succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan
paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus
dimonitor oleh stimulator saraf.
Antikolinergik
Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol
karena parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi vagal
karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung
besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan bradikardi atau asistol transien. Jika
aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat
terjadi dengan disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini
mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai
kejang (stimulasi subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti
stimulus menjadi besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak
ada.
Indikasi
1. Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi
dosis, terutama pada sesi pertama ECT.
2. Pasien yang menerima agen simpastis blocker
3. Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya
adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik
Obat yang biasa digunakan
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv atau 0,3-
0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine memiliki potensi
lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood brain barrier dan
memiliki efek antisialagogue.
Pembimbing :
DEPARTEMEN PSIKIATRI
JAKARTA
Daftar Pustaka
Royal College of Psychiatrists Special Comitee on ECT. The ECT Handbook 2nd
Edition. 2004