You are on page 1of 26

SOSIOLOGI HUKUM

MAKALAH LEPAS

TENTANG

MENUNGGU AKHIR DRAMA CENTURY

Oleh :

RISPALMAN

0921211026

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

2010
MENUNGGU AKHIR DRAMA CENTURY

Abstract
Century bank scandal is a scandal that began from the administration bailout of
Indonesian banks. The problem is bridging the funding problem. Bailout given
indicated the existence of bubbles and the gift was not absah.skandal validity has
been discussed in the Parliament with the right of opinion. However, after this
scandal as if it will be lost and not being addressed. This illustrates the attitude of
law enforcement is still not competent in terms of both mental and personality.
This problem is certainly related to the attitude of law enforcement. the law is
there for the community but not a few people who do not obey the law.

Skandal century adalah sebuah skandal yang banyak menyita perhatian


masyarakat. Siaran langsung sidang pansus yang ditayangkan stasiun televisi
swasta makin mengentalkan aroma sidang sebagai sebuah teater. Menyadari
bahwa pertunjukannya disaksikan jutaan penonton membuat sebagian anggota
pansus mengalami dilema sekaligus demam panggung. Transparansi persidangan
seakan menangkap semangat publik memerangi berbagai bentuk tindak korupsi
dan melawan segala bentuk kekuatan yang merintangi terkuaknya skandal
tersebut. Ajang ini menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada konstituen
mereka. Hal semacam ini tentu menjadi hal yang positf. DPR telah menggunakan
hak menyatakan pendapatnnya dalam menanangani kasus century dan hak itu
dapat digunakan sebagai kelanjutan hasil Pansus Angket Century yang
menyimpulkan adanya kesalahan kebijakan dalam pemberian dana talangan
Century. Pernyataan pendapat DPR inilah yang kelak harus diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi, apakah kesalahan kebijakan dalam kasus Century
memenuhi unsur ”pelanggaran hukum” yang dimaksudkan oleh Pasal 7A UUD
1945 hasil amandemen.1 Untuk menguak itu permasalahan ini telah diserahkan
kepada pihak penegak hukum, yaitu KPK, Polisi dan kejaksaan.
1
http://syamsuddinarif.wordpress.com diakses pada tanggal 15 April 2010
Fakta mengenai bank Century. Bank ini merupakan bank hasil merger dari
Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac. Merger didahului dengan akuisisi
Danpac dan Pikko serta kepemilikan saham CIC oleh Chinkara  perusahaan
berdomisili di  Bahama dengan pemegang saham mayoritas dan pengendali. Pada
tanggal 21 November 2001 BI memberikan persetujuan prinsip untuk melakukan
akuisisi, walaupun Chinkara tidak memenuhi persyaratan administratif berupa
tidak melakukan publikasi akuisisi oleh Chinkara tidak adanya laporan keuangan
Chinkara 3 tahun terakhir,tidak ada rekomendasi oleh pihak berwewenang di
negara asal Chinkara. Pada tanggal 6 Desember 2004 BI memberikan izin merger
3 bank menjadi Bank Century dengan melakukan berbagai pelanggaran.
Walaupun merger tidak memenuhi persyaratan yang berlaku, izin merger
diberikan pada tanggal 6 Desember 2004. Bentuk pelanggaran-pelanggaran dalam
memberikan izin merger adalah Surat Surat Berharga (SSB) Bank CIC yang
macet dianggap lancar, yang menjadikan Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya
seolah-olah memenuhi persyaratan merger; Fit and Proper Test atas RAR yang
tidak lulus ditunda penilaiannya dan tidak diproses lebih lanjut; Tidak pernah ada
Rapat Dewan Gubernur BI sebelum memberi izin merger; Terjadi manipulasi oleh
Direktur BI bidang Pengawasan Bank BI S. Anton Tarihoran yang mengatakan
bahwa Gubernur BI Burhanudin Abdullah telah setuju, yang kemudian sudah
dibantah oleh Burhannudin Abdullah.2
Sebenarnya masih banyak lagi pelanggaran yang dilakukan dalam
kebijakan bailout century dan yang menjadi permasalahan besarnya adalah dalam
kebijakan jaminan terhadap bank century telahn dikucurkan uang negara sebanyak
6,7 triliun rupiah. Uang tersebut rupanya tidak didapat sampai kepada pemberian
jaminan kepada bank century sepenuhnya melainkan hanya 1 triliun rupiah lebih.
Hal ini tentu akan menimbulkan indikasi perampasan uang negara didalamnya. hal
ini lah yang harus terungkap. Lebih gawat lagi orang terlibat didalamnya adalah
orang yang memiliki kekuasaan yang besar dalam pemerintahan dan akan
menggoyahkan pemerintahan sekarang jika terbukti melakukan pelanggaran.

2
http://dedewijaya83.multiply.com/journal/item/427/SKANDAL_BANK_CENTURY_Analis
a_Mendalam_KWIK_KIAN_GIE diakses pada tanggalb 15 april 2010
Tidak tanggung-tanggung pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran berat
yang dapat menjatuhkan pemerintahan. Indikasi keterlibatan presiden dalam
pengambilan keputusan bail out Pada tanggal 13 November 2008 ada rapat yang
notulennya berjudul “Pertemuan KSSK Tanggal 13 November 2008”.Pada
halaman 7 tercantum dua paragraf sebagai berikut: “Sdri. Sri Mulyani
menginformasikan telah menyampaikan permasalahan ini kepada Presiden RI,
namun pada hari ini Presiden RI akan melakukan perjalanan dinas ke San
Fransisco, USA yang artinya sampai dengan esok hari, dalam hal diperlukan,
Presiden RI belum dapat mengambil keputusan.” “Oleh karena itu Sdri. Sri
Mulyani mengharapkan kepada Bank Indonesia agar pada tanggal 14 November
dapat menangani situasi dan kondisi termasuk deposan-deposan, bank-bank,
rumor maupun hal-hal lain yang mungkin terjadi. Apabila keesokan hari tanggal
14 November situasi dapat terkendali, maka masih ada waktu pada hari Sabtu,
tanggal 15 November 2009 (KKG: mungkin salah ketik, mestinya 2008) dan hari
Minggu tanggal 16 November 2009 (mestinya 2008) dimana Presiden RI sudah
kembali ke tanah air, sehingga dapat membahas masalah ini lebih baik lagi.” Dari
dua buah kutipan notulen pertemuan tersebut, kuat indikasinya bahwa Presiden RI
dilibatkan dalam pengambilan keputusan.3
KPK sebenarnya telah mulai bekerja terkait kemungkinan adanya tindak
pidana korupsi di balik skandal Century. Apabila bukti-bukti awal telah
mencukupi KPK tentu diharapkan dapat melakukan tahap penyidikan atas pejabat
dan mantan pejabat publik yang diduga melakukan pelanggaran. Namun,
kepolisian dan jaksa belum akan bekerja sebelum adanya desakan dari presiden
yudhoyono. Hal ini tentu tidak akan terjadi karena apabila presiden mendesak
polisi dan polri untuk melakukan penyelidikan ini tentu berarti presiden sama
dengan menjilat air ludah sendiri mengingat presiden telah menyatakan bahwa
kebijakan atas bailout bank century merupakan kebijakan yang benar dan tepat.
Hal ini membuktikan dalam penegakan hukum masih dipengaruhi oleh faktor-
faktor di luar hukum. sebaiknya hukum tersebut benar-benar berdiri sendiri tanpa
ada pengaruh dari mana pun seperti teori yang di populerkan oleh hans kelsen.

3
ibid
Namun tindakan seperti ini bukanlah tindakan yang bangsawan. Jika pemimpin
tersebut benar-benar pemimpin yang bijak maka dia akan melakukan tindakan
apapun sebatas kewenangannya untuk mengusut semua permasalahan untuk
kebaikan bangsa. Mengenai kesalahan sebelumnya akan dianggap unsur kesalahan
manusia. Namun, sampai saat sekarang ini tidak kita lihat keseriusan presiden.
Lembaga yang dapat diandalkan sekarang adalah KPK, karena KPK adalah
komisi yang independen dan kerja KPK tidak tergantung kepada presiden.
Jika kejaksaan dan kepolisian merupakan lembaga penegak hukum maka
lembaga ini akan bertindakan juga untuk menyelesaikan kasus century.
Penyelidikan mengenai apakah terjadinya pelanggaran hukum dalam pengambilan
keputusan bailout murni merupakan kewenangan kepolisian. Sikap yang
dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan sekarang ini sungguh sikap yang
membuat kecewa kita sebagai bangsa Indonesia. Ini menunjukan tidak ada
keseriusan polisi dan kejaksaan untuk menegakan hukum yang sebenarnya polisi
dan kejaksaan itu sendiri adalah tonggak utama dalam penegakan hukum.
Sebenarnya DPR juga dapat menggunakan hak menyatakan pendapatnya
untuk menentukan pelanggaran hukum di dalam kebijakan bailout century apakah
terkait di dalamnya budyono. Namun, seperti dicakup dalam Pasal 7A konstitusi
kita. Yang dimaksud pelanggaran hukum oleh Pasal 7A konstitusi adalah ”berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Hanya saja persoalan besarnya adalah
bahwa tidak mudah bagi DPR untuk menggolkan terwujudnya hak pernyataan
pendapat. Untuk mengusulkan hak pernyataan pendapat memang relatif mudah
karena hanya memerlukan 25 orang anggota DPR sebagai pengusul. Namun
persyaratan korum pengambilan keputusan Rapat Paripurna DPR, begitu juga
persyaratan untuk menyetujui atau menolak hak pernyataan pendapat, terlalu
berat. Pasal 174 Tata Tertib DPR mengatur untuk korum pengambilan keputusan
DPR diperlukan kehadiran dua pertiga dari seluruh anggota Dewan. Sedangkan
untuk menyetujui hak pernyataan pendapat tersebut diperlukan dukungan
sekurang-kurangnya dua-pertiga dari anggota yang hadir dalam Rapat Paripurna
DPR. Harapan satu-satunya untuk menyelesaikan kasus bailout bank century
hanya terdapat pada KPK dan itu sedang dilakukan oleh KPK.
Secara obyektif konflik dan ketegangan politik yang berlangsung antara
Presiden dan DPR jelas tidak menguntungkan bagi bangsa kita karena berdampak
pada pemerintahan yang tidak efektif. Tanda-tanda ke arah itu saat ini sudah mulai
muncul, yakni wacana yang berkembang di kalangan Badan Anggaran DPR yang
hendak memboikot kehadiran Menkeu Sri Mulyani dalam rangka pembahasan
Perubahan APBN 2010. Apabila suasana konflik dan ketegangan politik
pemerintah dan parlemen ini berlanjut terus maka bakal banyak agenda kebijakan
yang terbengkalai dan pada akhirnya berujung pada situasi kebuntuan politik
(deadlock) dalam relasi Presiden-DPR. Konsekuensi logis berikutnya adalah
kemungkinan terjadinya stagnasi ekonomi karena sebagian roda perekonomian
bersumber dari stimulus APBN. Karena itu sudah waktunya Presiden Yudhoyono
mengambil inisiatif untuk menghidupkan kembali forum konsultasi antara
Presiden dan Pimpinan DPR, termasuk pimpinan fraksi, komisi dan pimpinan alat
kelengkapan Dewan lainnya. Konsultasi tentu saja bukan untuk ”barter” kasus
ataupun untuk transaksi politik jangka pendek antara Presiden dan DPR, tetapi
untuk mencairkan konflik dan ketegangan politik, sehingga efektifitas
pemerintahan terbangun.
Mengenai kelanjutan penyelesaian kasus century pada saat sekarang ini
dirasa seakan-akan tenggelam, karena hal baru yang lebih hangat diberitakan. ini
tentu bukan merupakan permasalahan. Hilangnya kasus ini dari pemberitaan yang
dianggap pengalihan perhatian masyarakat bukanlah hal yang terlalu kursial,
namun yang paling penting kita tetap mempercayai KPK untuk dapat
menyelesaikan kasus ini. kita mengharapkan kepada KPK untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Kita selaku bangsa Indonesia memiliki
kewajiban untuk mengawal jalannya pemerintahan di segala sector, karena kita
sebagai rakyat yang memiliki kekuasaan tertinggi di kedaulatan indonesia dan
akan menerima dampak tersebut secara langsung pada kehidupan bangsa.

Tujuan adanya hukum


Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap
kepentingan manusia. Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar
kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum
dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang
telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini
menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit)4.
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana
hukumnya itulah yang harus berlaku; fiat justitia et pereat mundus ( meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat
sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan
diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk
menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh
perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum
untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara
adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-
undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang
bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan.
Gambaran abstrak mengenai tujuan hukum dapat terlihat dari banyaknya
teori-teori yang mencoba menjelaskan mengenai tujuan hukum itu sendiri.
Artinya, hukum bukanlah hal yang mudah untuk dipahami lantaran wujudnya

4
http://www.lib.hit-u.ac.jp diakses pada 25 jun 2010
yang abstrak (tak jelas). Sementara, dalam prakteknya roh ini menjadi alat yang
penting dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Teorinya, hukum dikatakan bertujuan untuk mencapai keadilan, agar
bermanfaat bagi masyarakat dan demi kepastian hukum itu sendiri. Walaupun
pada awalnya tujuan-tujuan ini merupakan aliran terpisah, ada konsep yang
menyatukan ketiganya. Kalau dikaji-kaji, tujuan-tujuan ini sebenarnya
kontradiktif satu sama lain dan bukanlah suatu tujuan dari hukum itu sendiri,
melainkan misi hukum. Kontradiktif karena satu sama lain bertentangan, tidak
mungkin tercapai. Keadilan belum tentu memberikan manfaat, adanya manfaat
belum tentu mencerminkan keadilan, keadilan belum tentu dapat
diwujudkan/dieksekusi (kepastian), kepastian belum tentu bermanfaat atau adil,
dsb. Sepertinya, ada yang salah dengan konsep mengenai tujuan hukum. Okelah,
mungkin ini bukanlah suatu kesalahan. Hukum pada dasarnya dapat dilihat dari
berbagai perspektif. Bagi beberapa orang, hukum mungkin memiliki tujuan yang
berbeda. Terlepas dari keberagaman pendapat itu, sebenarnya, hukum itu
mempunyai satu tujuan yang pasti, yaitu untuk menjaga ketertiban dalam
masyarakat. 
Permasalahannya, hukum bukanlah alat yang sudah jadi dan bergerak
sendiri (otonom) untuk dapat menjadi penjaga ketertiban. Sebaliknya, hukum
hanyalah alat bagi yang membuat hukum untuk menjaga ketertiban yang
disebabkan oleh masyarakat itu sendiri. Artinya, dari sisi mana saja, sebenarnya
hukum tidak perlu diragukan lagi. Dari sisi mana saja, konsep tujuan hukum
adalah hal yang positif. Kendalanya hanyalah di manusianya itu sendiri, baik yang
membuat hukum ataupun yang menjalankan hukum.
Adalah hal yang biasa ditemukan takkala seseorang mengatakan bahwa
hukum ini tidak adil, pengaturan hukum itu tidak lengkap, hukum ini bertentangan
dengan hukum itu, terjadi kekosongan hukum, hukum harus berada di depan
(hukum harus diciptakan), dan lain sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah
ataupun kurang dengan hukum. Hukum pun sebenarnya sudah ada di dalam
masyarakat itu sendiri. Dalam konteks negara di mana masyarakat itu sangat
beragam, hukum bersama pun sudah tercipta. Permasalahannya, hukum itu tidak
berdiri sendiri. Hukum tidak dapat berjalan sendiri. Hukum harus dijalankan.
Agar dapat dijalankan, hukum harus diberlakukan. Agar berlaku, hukum harus
dibuat oleh orang-orang berwenang. Agar orang-orang menjadi berwenang,
mereka harus ditunjuk berdasarkan hukum5.
Memang, membahas tujuan hukum tidak mudah, karena ujung-ujungnya
akan kembali ke hukum itu juga. Lantaran akan kembali ke hukum itu sendiri,
pembahasan ini tiada guna. Jadi, hukum sebenarnya ilmu yang tiada guna dibahas
karena jawaban dari masalah hukum itu ada dalam hukum itu sendiri.

Pengertian hukum
Jika kita kembali pada persoalan pendefenisian hukum, maka istilah
tentang apayang dimaksud sebagai hukum, tergantung pada sudut pandang apa
yang digunakan seseorang. Hukum dapat diartikan juga dalam artian yang agak
metaforis seperti misalnya jika kita mengatakan tentang hukum‐hukum fisika atau
hukum‐hukum kimia, demikian pula hukum benda‐benda, artinya jika yang
memandangnya seorang sosiolog, atau seorang sejarawan, seorang filosof, maka
sudut pandangnya akan berbeda‐beda, tergantung ia menganut aliran hukum apa.
Dari sekian banyak pakar yang mengungkapkan tentang defenisi hukum
sesuai dengan cara pandang mereka, maka penulis mengungkap satu pandangan
tentang hukum, yaitu pandangan yang yang dikemukakan Achmad Ali bahwa
“hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem,
yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
manusia sebagai warga masyarakatdalam kehidupan bermasyarakat, yang
bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui
berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar‐benar
diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam
kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan
bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal. 6 Setelah

5
http://sociology.ucdavis.edu diakses pada 25 juni 2010
6
Ali, Achmad., Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Cet. I,
Jakarta:Candra Pratama, 1996. Hal 47
mengetahui pengertian dari dua kata di atas, secara umum dapat kita mengartikan
bahwa tujuan hukum ialah arah atau sasaran yang hendak dicapai hukum
dalam mengatur masyarakat.

Pandangan Ahli Hukum Tentang Tujuan Hukum


Dalam banyak buku tentang Ilmu Hukum, pembahasan mengenai tujuan
hukum sering dipisahkan dari pembahasan tentang fungsi hukum. Hal seperti ini
menurut Achmad Ali kurang tepat, sebab bagaimanapun pertalian antara tujuan
hukum dengan fungsi hukum adalah suatu pertalian yang sangat erat.7 Yang
pertama‐tama yang perlu diketahui, tentu saja adalah tujuan hukum, sebab
hanya telah ditetapkannya apa yang menjadi tujuan dari hukum itu, kita dapat
menentukan pula fungsi yang harus dijalankan hukum agar dapat mencapai
tujuannya. Apakah yang merupakan tujuan hukum ?. Jawaban atas pertanyaan ini
sama sulitnya dengan jawaban terhadap pertanyaan‐pertanyaan lain yang
menyangkut hakikat hukum, seperti apakah hukum itu, apakah ilmu hukum itu ?.
Berbagai pakar di bidang hukum maupun bidang ilmu sosial lainnya,
mengemukakan pandangannya masing‐masing tentang tujuan hukum, sesuai
dengan titik tolak serta sudut pandang mereka, diantaranya8:

Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum”


mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan,
kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat.

Subekti, dalam bukunya “Dasar‐dasar Hukum dan Pengadilan” mengemukakan


bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya ialah mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya, dengan cara menyelenggarakan
“keadilan” dan “ketertiban”.

7
Ibid hlm 95
8
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Hlm 56
Apeldoorn. dalam bukunya “Inleiden tot de studie van het Nederlandse recht”
menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat
secara damai dan adil.

Aristoteles, dalam bukunya “Rhetorica”, mencetuskan teorinya bahwa, tujuan


hukum menghendaki semata‐mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.

Jeremy Bentham, dalam bukunya “Introduction to the morals and legislation”


mengatakan bahwa hukum bertujuan semata‐mata apa yang berfaedah bagi orang.

Van Kan. berpendapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap‐tiap


manusia supaya kepentingan‐kepentingan itu tidak dapat diganggu.

Rusli Effendy mengemukakan bahwa tujuan hukum dapat dapat dikaji melalui
tiga sudut pandang, yaitu 9:
1. Dari sudut pandang ilmu hukum normatif, tujuan hukum dititik beratkan
pada segi kepastian hukum.
2. Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan
pada segi keadilan.
3. Dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan
pada segi kemanfaatan.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal, dapat
dilihat dari tiga aliran konvensional :

1. Aliran Etis
Aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata‐
mata untuk mencapai keadilan. Hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis

9
Effendy, Rusli, dkk., Teori Hukum, Cet. I, Makassar: LP. Universitas Hasanuddin, 1991.
Hlm 79
tentang adil dan yang tidak adil, dengan perkataan lain hukum menurut aliran ini
bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Pendukung aliran ini antara
lain, Aristoteles, Gery Mil, Ehrliek, Wartle. Salah satu pendukung aliran ini
adalah Geny. Sedangkan penetang aliran ini pun cukup banyak, antara lain pakar
hukum Sudikno Mertokusumo:
“Kalau dikatakan bahwa hukum itu bertujuan mewujudkan keadilan, itu berarti
bahwa hukum itu identik atau tumbuh dengan keadilan, hukum tidaklah identik
dengan keadilan. Dengan demikian berarti teori etis itu berat sebelah10.
Tegasnya keadilan atau apa yang dipandang sebagai adil sifatnya sangat
relatif, babstrak dan subyektif. Ukuran adil bagi tiap‐tiap orang bisa berbeda‐beda.
Olehnya itu tepat apa yang pernah diungkapkan oleh N.E. Algra bahwa :
“Apakah sesuatu itu adil (rechtvaardig), lebih banyak tergantung pada
Rechtmatig heid (kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seseorang penilai.
Kiranya lebih baik tidak mengatakan “itu adil”, tetapi itu mengatakan hal ini saya
anggap adil memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan sesuatu pendapat
mengenai nilai secara pribadi11.

2. Aliran Utilistis
Menurut aliran ini mengaggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah
sematamata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebsar‐
besarnya bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak‐banyaknya. Jadi pada
hakekatnya menurut aliran ini, tujuan hukum adalah manfaat dalam
mengahasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang
yang terbanyak. Aliran utilistis ini mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum
tidak lain adalah bagaiamana memberikan manfaat yang sebesar‐besarnya bagi
warga masyarakat (ajaran\moral praktis).
3. Aliran Yuridis Dogmatik

10
Op cit, Achmad ali, hlm 86
11
Ibid, 97
Menurut aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah
sematamata untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian
hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban.
Penganut aliran yuridis dogmatik ini bahwa adanya jaminan hukum yang tertuang
dari rumusan aturan perundang‐undangan adalah sebuah kepastian hukum yang
harus diwujudkan. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan
keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi
yang penting adalah kepastian hukum. Bagi penganut aliran ini, janji hukum yang
tertuang dalam rumusan aturan tadi merupakan kepastian yang harus diwujudkan,
penganut aliran ini melupakan bahwa sebenarnya janji hukum itu bukan suatu
yang harus, tetapi hanya suatu yang seharusnya. Dari ketiga aliran tujuan hukum
di atas tidaklah bersifat baku, dalam artian masih ada pendapat‐pendapat lain
tentang tujuan hukum yang bisa dilambangkan dengan melihat latar belakang
konteks sosial masyarakat yang selalu berubah.
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari
masingmasing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena
pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang
sekaligus berfungsi sebagai cita hukum. Dari landasan teori yang dikemukakan di
atas terlihat dengan jelas perbedaanperbedaan pendapat dari para ahli tentang
tujuan hukum, tergantung dari sudut pandang para ahli tersebut melihatnya,
namun semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran pemikiran yang mereka
anut sehingga dengannya lahirlah berbagai pendapat yang tentu saja diwarnai oleh
aliran serta faham yang dianutnya.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal
menurut Gustav Radbruch yaitu menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai
dasar hukum atau sebagai tujuan hukum, masing‐masing: keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang
diharapkan. Secara khusus masing‐masing jenis hukum mempunyai tujuan
spesifik, sebagai contoh hukum pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik
dibandingkan dengan hukum perdata, demikian pula hukum formal mempunyai
tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil, dan lain sebagainya12.
Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum adalah sekaligus keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam
kenyataan (komentar Rusli Effendy dkk terhadap Gustav Radbruch).
Sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian
hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan
kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai
contoh dalam kasus‐kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan
keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut
tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya
sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau
kemanfaatan masyarakat luas
dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya. Oleh
karena itu bagaimana keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Olehnya itu
asas prioritas yang dikemukakan Gustav Radbruch pertama‐tama kita harus
memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian
hukum.
Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh
hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nilai
dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama‐sama, tetapi manakala tidak
mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Dengan penerapan asas prioritas ini, sisten hukum kita dapat tetap tegak
terhindar dari konflik intern yang dapat menghancurkan. Untuk mencapai tujuan
yang dapat menciptakan kedamaian, ketentraman dan ketertiban dalam
masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan mejemuk seperti di
Indonesia, maka penulis untuk sementara menerima pandangan yang
dikemukakan baik Rusli Effendy maupun Achmad Ali yang menganggap sangat
realistis kalau kita menganut asas prioritas yang kasuistis yang ketika tujuan
hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi dalam masyarakat, sehingga
12
http://www.tara.tcd.ie diakses pada tanggal 25 juni 2010
pada kasus tertentu dapat diprioritaskan salah satu dari ketiga asas tersebut
sepanjang tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian merupakan tujuan
akhir dari hukum itu sendiri.

Kepatuhan masyarakat terhadap hukum


Dalam Law Empire, Ronald Dworkin mengatur masalah berikut: otoritas
politik, atau negara, adalah dalam bisnis untuk memastikan kepatuhan dengan
yang menentukan dengan cara penggunaan resmi kekuatan pemaksa. Negara
adalah secara moral sah hanya jika itu dibenarkan dalam menggunakan paksaan
sebagai cara untuk memastikan kepatuhan dengan hukum. Namun, Dworkin
menegaskan, penggunaan paksaan tersebut dibenarkan hanya jika ada kewajiban
moral umum untuk mematuhi hukum keberadaan. Jadi setiap argumen untuk
legitimasi negara harus yang menunjukkan dari kewajiban umum untuk mematuhi
hukum. Dworkin berpendapat bahwa setidaknya ada mungkin negara yang sah,
karena ada keadaan yang dicapai di bawah kewajiban semacam akan
mendapatkan kewajiban untuk mematuhi hukum, menurut Dworkin, sebuah
asosiatif kewajiban asosiatif Dia mendefinisikan kewajiban sebagai khusus
tanggung jawab praktek sosial melekat pada keanggotaan dalam beberapa atau
sosial kelompok biologis, seperti tanggung jawab keluarga atau teman atau
tetangga.13 Mereka berada di Pandangan Dworkin, kewajiban moral: mereka
memberikan alasan moral bagi tindakan. Bagian dari tulisan adalah untuk
mengidentifikasi apa jenis alasan moral Dworkin mengambil hukum untuk
menghasilkan. Aku akan menyatakan bahwa Dworkin, dengan mengelompokkan
kewajiban untuk mematuhi hukum sebagai asosiatif kewajiban, misidentifies jenis
alasan moral diberikan kepada kita oleh hukum, dan di tertentu, hubungan itu
alasan untuk moral lain alasan kami. Aku akan melindungi, sebaliknya, versi Raz
account Yusuf dari jenis alasan arahan otoritatif memberi kita untuk bertindak,
dan menawarkan account Razian dari kewajiban untuk mematuhi hukum.14

13
http://www.oup.co.uk, diakses pada tanggal 26 juni 2010
14
http://www.multiply.ac .ad diakses pada tanggal 26 juni 2010
Richard Wasserstrom mengidentifikasi tiga posisi yang mungkin diadopsi
tentang karakter kewajiban untuk mematuhi hukum, yang saya akan mengambil
sebagai jumping-off point:
1. Satu memiliki kewajiban mutlak untuk mematuhi hukum. ketidaktaatan
tidak pernah dibenarkan. Satu memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum
ini, tetapi dapat diganti kewajiban yang bertentangan dengan kewajiban
taat dapat dibenarkan, tetapi hanya dengan kehadiran keadaan
outweighing. Orang tidak memiliki kewajiban khusus untuk mematuhi
hukum, tetapi pada kenyataannya biasanya wajib, dengan alasan lain,
untuk melakukannya; ketidaktaatan hukum sering berubah menjadi
beralasan.
2. menunjukkan hubungan yang jelas antara kewajiban untuk mematuhi
hukum dan moral lain kewajiban kita. Keberadaan hukum selalu
menyediakan alasan moral untuk bertindak sebagai tuntutan hukum, dan
alasan ini harus selalu diambil ke dalam saldo alasan ketika memutuskan
apa yang harus dilakukan itu, tapi kewajiban untuk mentaati hukum tidak
perlu menghasilkan memenangkan alasan untuk bertindak sebagai tuntutan
hukum karena alasan moral lain mungkin lebih besar daripada itu. Pada
akun ini, hukum membutuhkan budak pelarian memberikan alasan moral
untuk menyerahkan budak, tetapi alasan yang dapat (dan mungkin akan)
akan sebanding dengan alasan moral lainnya (seperti alasan untuk tidak
bertindak berdasarkan prasangka, atau alasan untuk membantu mereka
yang membutuhkan, atau alasan untuk menyimpan hidup bila mungkin).
3. menunjukkan bahwa kewajiban kita untuk mematuhi hukum rides di
belakang alasan moral lain, dan bahwa kita memiliki kewajiban semacam
hanya jika alasan-alasan moral lain memperoleh itu. Kewajiban untuk
mematuhi hukum, dengan kata lain tidak menyediakan alasan moral
independen dari tatanan moral yang lain sama seperti alasan kami, untuk
ditimbang terhadap mereka. Sebaliknya, yang berat hanya keuntungan
mereka dari berat Bahkan ketergantungan hubungan ini dapat mengambil
berbagai bentuk. Keberadaan hukum paling tidak membuat perbedaan
untuk kita kewajiban moral jika hanya mencerminkan kewajiban kami
sebelum melewati hukum pembunuhan itu. hukum melakukan melawan
adalah salah satu contoh tersebut. Ini akan menjadi aneh untuk
mengatakan bahwa adanya undang-undang yang melarang pembunuhan
membuat perbedaan apapun untuk apa yang kita, yang tunduk untuk itu,
secara moral seharusnya dilakukan15.
Banyak undang-undang namun dapat membuat perbedaan atas apa yang
kita harus secara moral untuk melakukannya dengan cara memberikan bimbingan
menyediakan. Keselamatan suatu peraturan dan beragam contoh. mengendalikan
Hukum obat penting dan kualitas perawatan kesehatan, menetapkan standar
keselamatan untuk mobil, membangun lalu lintas peraturan, dan banyak daerah
lain yang mengatur kehidupan kita memanfaatkan pengetahuan ahli tidak tersedia
bagi kebanyakan orang. Tentu saja, tindakan yang terbaik adalah dalam kasus
tertentu-seberapa cepat berkendara di jalan tertentu, atau yang memberikan obat-
obatan ke sakit anak-tidak tergantung pada keberadaan hukum. dalam hal ini,
seperti dalam kasus yang lebih sederhana pembunuhan, hukum harus
mencerminkan alasan yang berlaku setidaknya untuk. Tapi kadang-kadang
dikatakan bahwa kita memiliki kewajiban moral mematuhi hukum berdasarkan
keahlian, bukan bertindak secara langsung pada evaluasi kami atas alasan hukum
itu harus mencerminkan. Hal ini mungkin karena tindakan kita lebih cenderung
sesuai dengan saldo alasan moral jika kita mengikuti hukum daripada jika kita
bergantung secara langsung pada kami penilaian sendir. Jika hal ini kadang-
kadang kasus maka hukum telah membuat perbedaan atas apa yang kita harus
lakukan, karena sekarang kadang-kadang benar bahwa kita harus mematuhi
hukum, apapun tindakan kita harus diambil dalam tidak adanya.16
Joseph Raz membela sesuatu seperti ini rekening kewajiban untuk
mentaati hukum. Hubungan yang tepat itu menunjukkan antara alasan-alasan
moral yang dihasilkan oleh undang-undang semacam ini dan moral independen
alasan kami adalah satu kompleks, dan saya akan memiliki lebih mengatakan

15
http//www.inilah.com diakses pada tanggal 26 juni 2010
16
http://collegecatalog.uchicago.edu diakses pada tanggal 26 juni 2010
tentang hal ini nanti. Untuk saat ini, harus dicatat bahwa pada hal ini, tidak pernah
akan menjadi kasus bahwa hukum yang menghasilkan alasan moral baru untuk
melakukan sesuatu yang jelas bertentangan dengan keseimbangan moral lain
alasan kami. Hal ini karena hukum dapat menghasilkan suatu alasan moral baru
pada nilai ini hanya jika kita lebih cenderung menyesuaikan diri dengan saldo
alasan moral lain dengan mentaati hukum daripada bertindak atas penilaian kita
sendiri. 17

Etika penegak hukum


Subyek etika adalah penting bagi semua orang di planet ini. Hal ini
terutama berlaku dalam penegakan hukum karena etika harus menjadi standar
oleh semua individu yang melakukan. Topik etika dan perilaku etis telah ada
selama berabad-abad. Banyak orang percaya bahwa Socrates adalah filsuf pertama
yang menyelidiki masalah etika, khususnya etika pengobatan masalah dalam
pemerintahan. Plato didokumentasikan diskusi Socrates 'tentang etika dalam
Republik.
Sebagai masyarakat telah berkembang, pertanyaan-pertanyaan dan
kekhawatiran yang melibatkan etika dan perilaku etis telah berkembang lebih sulit
untuk alamat. standar etika telah menjadi baik lebih kompleks dan diawasi oleh
masyarakat dari pada waktu lainnya dalam sejarah. Oleh karena itu, aparat
penegak hukum harus melakukan tugas yang diberikan kepada mereka sedangkan
peraturan dan undang-undang terus-menerus mengubah dan kebebasan mereka
untuk melakukan tugas yang diperlukan menjadi terhambat. Warga berharap
aparat penegak hukum untuk beroperasi secara efisien dan profesional tanpa
mengungkapkan pandangan-pandangan pribadi dan emosi. Untuk mencapai hal
ini, aparat penegak hukum harus memiliki ketat dan tak tergoyahkan kepatuhan
terhadap kode etik dan kode etik.
Petugas penegak hukum yang profesional, mereka bekerja dalam
kelompok kerja yang terampil merupakan pertimbangan utama menyediakan
layanan yang menguntungkan publik. Karena penegakan hukum adalah profesi,

17
http://www.infojambi.com diakses pada tanggal 26 juni 2010
etika dan melakukan memainkan peran penting etika. Etika dan standar etika
melibatkan melakukan hal yang benar pada waktu yang tepat dengan cara yang
benar untuk alasan yang tepat.
Hukum yang berlaku secara subtansial masih banyak problema yang
melingkupinya baik secara teknis maupun filosofis. Hal ini utamanya
bersangkutan dengan sifat hukum (undang-undang) bagaimanapun karena dibuat
parlemen,  maka merupakan produk politik sebagai hasil dari pertempuran 
berbagai kepentingan yang ada.  Di samping itu juga  adanya tuntutan globalisasi
dan kemajuan IPTEK terhadap perkembangan hukum.
Suatu yang ironis mengenai hukum subtansi, khususnya bidang hukum
pidana, Indonesia sebagai   suatu bangsa yang  merdeka diberlakukan hukum
pidana yang berinduk pada KUHP yang peninggalan Pemerintahan Penjajah. Hal
ini membawa benturan  berkaitan dengan nilai-nilai yang sudah berkembang serta
perbedaan pandangan hidup yang melatar-belakangi KUHP yaitu individualis.
Suatu lembaga penegak hukum akan bekerja sebagai respon        terhadap
peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi dari peraturan yang ditujukan
kepadanya, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks dari kekuatan-kekuatan
sosial, politik dan lain-lain yang bekerja atasnya, serta umpan balik yang datang
18
dari para pemegang peran .Ini menunjukkan bekerjanya hukum dan
penegakannya tidaklah steril dari masalah non-hukum. Kekuatan-kekuatan lain
(utamanya ekonomi dan politik) akan menentukan kehidupan hukum.
Berkuasanya rezim KKN yang dilakukan aparat Orde Baru yang dibangun
atas landasan  yang bersifat korup19,pemanfaatan fasilitas istimewa dari pemerinah
oleh oknum-oknum pejabat dan pengusaha menunjukkan kolusi antara elit politik
dan elit ekonomi dalam melindungi kepentingannya 20.  KKN merupakan subtansi

18
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum ( Suatu Tinjauan Sosiologis). Bandung:
Sinar Baru.
19
Hendardi. 1999. Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangi Kejahatan Korupsi.
Makalah Seminar: Yogyakarata: Fak. Hukum UGM-KEJATI DIY- Dep. Kehakiman.
20
Laoly, Jassona H.. Kolusi : Fenomena atau Penyakit Kronis. dalam Aldentua Siringo-
ringo (ed.). Mengungkap Kabut Peradilan Kita: Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung. Jakarta:
Pustaka Forum Adil Sejahtera. 1996. Hlm 29
pengelolaan politik  selama Orde Baru dan merupakan the way  of doing politics
Orde Baru21. 
Konfigurasi politik  era Orde Baru yang lebih menonjolkan ciri otoriternya
dikualifikasi sebagai konfigurasi otoriter jauh sebagai rezim yang demokratis.
Terjadi sentralisasi kekuasaan dilakukan dengan dukungan formalitas peraturan 
perundang-undangan yang sengaja dibuat untuk memberi perlindungan formal
bagi kebijakan-kebijakan yang korup22. Ternyata setelah reformasi tidak banyak
terjadi perubahan,   yang terjadi  proses  ber-mimikri pada aras kekuasaan ataupun
pendatang baru sama saja tabiatnya. Memang terjadi pergeseran dari executive
heavy menjadi legislative heavy, dan perkembangannya berpotensi pula
penyalahgunaan. Bagi perkembangan hukum tetap saja dominasi politik sehingga
hukum menjadi sub-ordinasi.
Mempersoalkan penegakan hukum berarti mendudukkannya sebagai
birokrasi dalam rangka mewujudkan tujuan hukum melalui organisasi. Terkait
dengan ini, Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa membicarakan  hukum dalam
konteks organisasi berarti mempermasalahkan orang, tingkah laku orang-orang,
membicarakan fasilitas, serta juga membicarakan kultur suatu organisasi.  Orang
selaku aktor hukum (sebagai penegak hukum) dalam menjalankan fungsinya
mendasarkan pada tafsirannya sendiri yang dilatarbelakangi faktor-faktor yang
melekat pada dirinya. Termasuk di sini, pemikiran hukum yang ada di benak  para
aktor hukum,  ikut menentukan pula merah-hijau-nya  praktek hukum.
Perilaku aktor hukum dipengaruhi bagaimana pemahamannya mengenai
hukum, yang menegaskan pemikiran hukumnya. Pemikiran hukum  selama ini
kalau dilacak  merupakan import dari perkembangan hukum Eropa Abad XIX.
Atmosfir pemikiran pada waktu itu adalah liberalisme. Pemikiran ini mendasarkan
pada kemerdekaan individu dengan menata kehidupan masyarakat yang dapat
menjamin  kemerdekaan individu tersebut. Nilai liberal dan kemerdekaan individu
menjadi paradigma dalam sistem hukum. Di sini memerlukan jaminan formal
21
Lay, Cornelis. 1999. Aspek Politik KKN di Indonesia. Makalah Seminar:Yogyakarata:
Fak. Hukum UGM-KEJATI DIY- Dep. Kehakiman. hlm 9
22
Mahfud Md, Moh. 1999. Kapabilitas DPR dalam Pemantapan Good Governance.
Makalah Seminar Jakarta: BPHN, Dep. Kehakiman. Hlm. 2
undang-undang sebagai wujud utama dari hukum, sehingga yang dominan adalah
aliran positivisme.
            Praktek hukum didasari positivisme dan dilatarbelakangi  filsafat pikiran
hukum liberal yang bertumpu pada perlindungan dan kemerdekaan manusia.
Konstruksi hukum, asas, doktrin disiapkan untuk melayani nilai tersebut. Praktek
hukum dan ilmu hukum seperti itulah berkembang hingga kini, dan ini merasuki
pikiran para ahli hukum pada umumnya (penegak hukum), yang diperolehnya
sejak dari pendidikan.
            Sistem hukum yang dijiwai  filsafat pemikiran liberal dan positivisme,
diadakan tidak untuk memberikan keadilan pada masyarakat, melainkan untuk
melindungi kemerdekaan individu23.Perlindungan individu ini  selalu diwujudkan
dalam bentuk  formalisme, kinerja hukum sudah menjadi urusan yang teknis  yang
hanya dikuasai orang tertentu, dan ini yang dapat menikmati fasilitas hukum
hanyalah orang yang mampu mengaksesnya (dengan kekuasaan, uang).  Kacamata
hukum tidak bisa melihat  dan terkait dengan suasana sosial, politik, ekonomi
yang berkembang di  masyarakat.
Era reformasi tidak terelakkan membawa  Indonesia ke dalam gejolak
perubahan yang cepat dan fundamental. Dalam hal ini, dapat dilihat arus yang
berkembang upaya untuk menciptakan kehidupan demokratis menggantikan yang
otoriter, desentralisasi menggantikan yang sentralisasi, membangun dominasi
rakyat (civil society) mengurangi dominasi negara. Perkembangan ini jelas
merupakan gejolak yang entah kapan selesainya, dan telah menggoyang sendi-
sendi tatanan sosial, sehingga masyarakat mengalami dekomposisi. Ekses lebih
lanjut dapat mengarah pada anomi yang menunjuk pada ketiadaan norma dalam
masyarakat.
            Di permukaan nampak adanya  hukum namun  terdapat ketidak-teraturan
dalam hukum.  Ini diistilahkan sebagai disorder of law oleh  Charles Sampford,
yang melihat basis sosial hukum itu  berdasarkan hubungan yang asimetris.
Hubungan sosial  selalu dipersepsikan secara berbeda oleh pihak lain . Ketidak-

23
Opcit, rahardjo, hlm. 7
teraturan dan ketidak pastian terjadi karena  hubungan-hubungan dalam
masyarakat bertumpu pada hubungan antar kekuatan24.
            Pada awal reformasi  kelembagaan hukum kehilangan moment untuk
mengambil perannya, karena kesibukannya berbenah-diri atau  karena justeru
kelembagaan hukum menjadi sasaran reformasi itu sendiri. Seandainya
kelembagaan hukum, misalnya diwakili oleh lembaga pengadilan dan MA 
menyatakan penguatan dan peran aktifnya  sebagai lembaga yudikatif dalam
struktur kenegaraan. Peran demikian ini, sebagaimana dicontohkan Supreme
Court  (MA) Amirika pada Abad XIX.  Setelah reformasi berjalan hingga kini,
semakin berat apa yang mau diperankan oleh kelembagaan hukum.
            Hingga saat ini krisis makin bertumpuk, yang diawali krisis ekonomi dan
politik. Masyarakat tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga negara, termasuk
hukum. Banyak terjadi masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri tidak
memanfaatkan  lembaga yang berwenang. Hal ini dapat dilihat timbulnya konflik
antar individu/kelompok diselesaikan dengan kekerasan, lembaga DPR/DPRD
digerudug protes masyarakat. Masyarakat berani meminta lagi haknya (misalnya
tanahnya) yang dulu dialihpaksakan. Kantor POLSEK dibakar massa, muncul
laskar-laskar yang menindak sendiri kejahatan. Ini gambaran yang buram 
fenomena hukum kita, ditambah lagi isu yang berkembang akhir-akhir ini
mengenai perilaku berbau KKN  di lingkungan elit penguasa, penjabat, aparat
penegak hukum. Tentu jika dilihat dari hukum formal itu dianggap tidak terjadi
apa,  tetapi  kalau sebagai manusia terikat pula pada pedoman perilaku
berdasarkan sendi-sendi agama, moral dan etika, tentu sudah merupakan
ketercelaan. Rupanya yang terakhir ini hanya ada samar-samar pada diri para
petinggi Negeri ini.
            Pengelolaan kekuasaan yang koruptif telah memproteksi dirinya dari
elemen-elemen moralitas dan etika25, dan karena hukum telah menjadi hukumnya
penguasa maka menjadikan hukum telah kehilangan dimensi etisnya26.Selanjutnya
24
Ibid, hlm 16
25
Opcit, lay, hlm 7
26
Wibisono, Kunto. Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru.
Makalah Seminar Nasional,  27 Juli. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP. 2000. Hlm 3
dijelaskan, bahwa antara moralitas dan hukum memang terdapat korelasi yang
sangat erat, dalam arti moralitas yang tidak didukung oleh kehidupan hukum yang
konduksif akan menjadi subyektivitas yang satu sama lain akan saling
berbenturan. Sebaliknya ketentuan hukum yang disusun tanpa disertai dasar dan
alasan moral akan melahirkan suatu legalisme yang represif,  kontra produktif dan
bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang  menjadi tujuan
hukum.

Daftar pusataka

Buku dan makalah


Ali, Achmad., Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Cet. I, Jakarta:Candra Pratama, 1996.
Effendy, Rusli, dkk., Teori Hukum, Cet. I, Makassar: LP. Universitas Hasanuddin,
1991.
Hendardi. 1999. Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangi Kejahatan Korupsi.
Makalah Seminar: Yogyakarata: Fak. Hukum UGM-KEJATI DIY- Dep.
Kehakiman.
Laoly, Jassona H.. Kolusi : Fenomena atau Penyakit Kronis. dalam Aldentua
Siringo-ringo (ed.). Mengungkap Kabut Peradilan Kita: Menyoal Kolusi di
Mahkamah Agung. Jakarta: Pustaka Forum Adil Sejahtera. 1996.
Lay, Cornelis. 1999. Aspek Politik KKN di Indonesia. Makalah
Seminar:Yogyakarata: Fak. Hukum UGM-KEJATI DIY- Dep.
Kehakiman.
Mahfud Md, Moh. 1999. Kapabilitas DPR dalam Pemantapan Good Governance.
Makalah Seminar Jakarta: BPHN, Dep. Kehakiman.
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum ( Suatu Tinjauan Sosiologis).
Bandung: Sinar Baru.
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Wibisono, Kunto. Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi Menuju Indonesia
Baru. Makalah Seminar Nasional,  27 Juli. Semarang: Fakultas Hukum
UNDIP. 2000.

website
http://syamsuddinarif.wordpress.com
http://dedewijaya83.multiply.com/journal/item/427/SKANDAL_BANK_CENTU
RY_Analisa_Mendalam_KWIK_KIAN_GIE
http://www.lib.hit-u.ac.jp
http://sociology.ucdavis.edu
Effendy, Rusli, dkk., Teori Hukum, Cet. I, Makassar: LP. Universitas Hasanuddin,
1991.
http://www.tara.tcd.ie
http://www.oup.co.uk
http://www.multiply.ac .ad
http//www.inilah.com
http://collegecatalog.uchicago.edu
http://www.infojambi.com

Riwayat Penulis
Rispalman, SH lahir dibukittinggi, sumatera barat, 25 Agustus 1987.
Bersekolah dasar di SD 4/III sungai penuh, kerinci dan menyelesaikan sekolah
sampai tingkat SMA di sungai penuh. Pada tahun 2005, ia melanjutkan studi di
Universitas Andalas dan tamat pada tahun 2009. Kemudian melanjutkan studi
kembali pada tingkat strata dua pada universiatas yang sama dan masih aktif
sebagai mahasiswa pascasarjana sampai sekarang.

You might also like