You are on page 1of 7

Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah

Minahasa
Tanggapan terhadap pernyataan R Mawikere

Oleh: Pdt Dr AF Parengkuan MTh

IK

Harian Komentar, Rabu (25/06) memuat berita tentang upaya pelurusan Sejarah Pekabaran Injil di
Tanah Minahasa, dengan judul ‘Riedel dan Schwarz Bukan Penginjil Pertama di Minahasa’ dengan
narasumber Raymond Mawikere Mhum.

Untuk menanggapi hal itu, Pdt Dr AF Parengkuan MTh, mantan Ketua Sinode GMIM dan ahli
sejarah gereja, bersedia memberikan tanggapan melalui tulisan, yang baru saja disemilokakan.
Berikut catatan lengkap Pdt Dr AF Parengkuan:

Hari ini, kita mengadakan Semiloka dengan judul: Peng-galian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah
Minahasa. Su-dah sejak beberapa waktu yang lalu ada pertanyaan dari ang-gota-anggota jemaat:
“Apakah tepat untuk mengatakan bahwa Pekabaran Injil dan Pendidik-an Kristen nanti mulai pada
177 tahun yang lalu, pada 12 Juni 1831?” Petanyaan ini be-lum memperoleh jawaban yang dapat
diterima oleh semua ka-langan di lingkungan GMIM. Dengan judul semiloka ter-sebut di atas, kita
diperhadap-kan pula dengan pertanyaan yang sama, yang mudah-mu-dahan melalui semiloka ini
kita memperoleh masukan-masukan yang sesungguhnya memberi kejelasan tentang waktu
masuk-nya Pekabaran Injil dan Pen-didikan Kristen di Minahasa.

Sebenarnya usaha untuk menggali Sejarah Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen sudah dicoba
untuk disusun, pada waktu GMIM merayakan 70 Tahun GMIM Bersinode, pada tanggal 30
September 2004. Sebuah buku dengan sampul terbilang istimewa un-tuk peringatan perayaan itu
berjudul Menggali Harta Ter-pendam. Penerbitannya telah diprakarsai oleh panitia pada waktu itu.
Dua orang dosen Bidang Studi Sejarah Gereja di Fakultas Teologia UKIT yang diminta untuk
menyusun isi buku tersebut adalah Pdt DR Arnold Fr Parengkuan MTh dan Pdt David M Lintong
STh. Dua topik utama yang diurai-kan dalam buku itu adalah mengenai “GMIM dan Pekabar-an
Injil” dan “Tata Gereja GMIM Sepanjang Sejarahnya”.

Dalam penulisan Sejarah Gereja di Indonesia sekarang ini, para ahli yang terhimpun dalam
Paguyuban Ahli Sejarah Kekristenan di Indonesia (PASKI) telah mengembangkan suatu pendekatan
kontekstual. Bukan lagi memberi banyak penekanan pada peran para missio-naris/zendeling dari
Barat, melainkan berusaha menggali peran penduduk pribumi dalam pem-beritaan injil dan
pengembang-annya di daerah di mana me-reka berasal. Demikian juga dalam penyusunan bahan
se-miloka ini, saya mencoba un-tuk mendapatkan catatan-ca-tatan historis yang berkenaan
dengan peran perintis-perintis pribumi dalam Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen.
Dari data-data itu diharap-kan kita boleh meninjau kem-bali apakah penentuan mulai-nya
Pekabaran Injil dan Pendi-dikan Kristen memang masih dapat dipertahankan atau su-dah
memerlukan revisi bagi peletakan dasar pengetahuan anak cucu kita tentang Seja-rah GMIM.
Keadaan Masyarakat Mina-hasa Sebelum Perjumpaan dengan Pendatang dari Barat.
Mengapa kita mulai dengan pokok ini? Jawaban semen-tara adalah bahwa yang ber-inisiatif dan
mengambil ke-putusan untuk me-nerima Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen adalah orang
Minahasa yang su-dah mendiami Ta-nah Minahasa se-belum kedatangan orang-orang asing dari
belahan bumi bagian barat. Pada waktu itu penduduk Minahasa tinggal di wilayah-wilayah
pedalaman. Mereka terdiri dari beberapa sub-etnis dengan bahasanya masing-masing, yakni:
Tonsea, Toulour, Tountemboan, Tom-bulu, Pasan-Ponosakan dan Bantik. Dalam wilayah peda-laman
itu mereka bebas dari pengaruh Arab dan India2.

Berdasarkan cerita-cerita kuno tentang penyebaran sub-sub-etnis di Minahasa dan cerita tentang
musyawarah di Watu Pinawetengan dapat disimak bahwa masyarakat Minahasa di masa sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Barat telah mengenal adanya orang-orang yang berinisiatif sebagai
pemimpin. Karena ke-istimewaan yang mereka miliki seorang, maka ia men-dapat penghormatan
dan di-segani oleh masyarakat di se-kitarnya.

Orang-orang seperti itu dike-nal sebagai Tonaas dan Wa-lian3. Suara mereka didengar oleh
anggota masyarakat kare-na kewibawaan, keberanian dan kharisma yang mereka miliki4.
Berkenaan dengan pandang-an keagamaan, orang Minaha-sa purba telah memiliki konsep tentang
kuasa tertinggi, yang kehendaknya ditafsirkan dari gejala-gejala alam. Umpama-nya, untuk
mengetahui apakah maksud dan rencana seseorang direstui oleh kuasa tertinggi itu, maka mereka
menyendiri di tempat yang sunyi untuk men-dengar suara burung Manguni. Bilangan sembilan
menjadi pe-gangan tentang ke-sempurna-an. Karena itu jika suara bu-rung Manguni berbunyi
sembi-lan kali maka itu menjadi pe-tunjuk bahwa maksud mereka direstui oleh kuasa tertinggi.
Jika tidak maka mereka ha-rus menunda rencana itu dan menunggu sampai ada tanda berikut
yang boleh menjadi pe-gangan. Kuasa terbatas lainnya diungkap-kan dalam bentuk pengajaran
yang lebih bersifat etika. Kita tidak akan memba-has ini satu persatu karena tentang itu dapat
dibaca dalam tulisan-tulisan yang sudah pernah diterbitkan oleh orang Minahasa sebelumnya.
Yang hendak diambil sebagai contoh adlah beberapa hal yang menunjukkan akan kepercaya-an
pada kuasa terbatas, yang bersifat lokal. Umpamanya, un-tuk mengajarkan masyarakat agar
menghormati kegiatan pri-badi orang lain, maka untuk melewati batu besar, pohon be-sar, mata
air, seseorang harus mendehem lebih dulu sebelum sampai di tempat-tempat itu. Dalam tradisi
kepercayaan la-ma di Minahasa yang juga dipe-lihara sebagai adat, penekanan ketetapan ini
diarahkan kepa-da penghormatan terhadap kuasa supernatural terbatas itu. Tetapi ditinjau dari sisi
pe-ngajaran etika, tem-pat seperti batu be-sar dan pohon besar sering dipakai untuk menjadi
tempat membuang hajat, se-dangkan mata air menjadi tempat orang mandi.

Dengan mendehem, maka sesorang yang hendak mele-wati tempat itu memberi kesem-patan
bagi yang bersangkutan untuk membalas dengan men-dehem pula atau berjongkok di dalam air
sampai ke lehernya sehingga orang yang akan le-wat dapat melanjutkan perja-lanannya, atau
lebih berha-ti-hati jika hendak meniti jem-batan bambu melewati parit.

Dari kedua contoh ini dapat dipahami bahwa orang Mina-hasa purba telah memiliki ni-lai-nilai
keagamaan dan etika. Ini penting bagi kita untuk menyadari bahwa sebelum orang Barat datang
ke Mina-hasa, mereka sudah memiliki kepercayaan dan memper-oleh pendidikan melalui adat.
Uraian Singkat Mengenai Orang-orang Kristen Pertama yang Masuk Tanah Minahasa
dan Penerimaan Orang Mina-hasa atas Ajaran Ke-agamaan dan Pendi-dikan yang
Mereka Bawa.

Menurut catatan-catatan historis yang kita miliki5 orang-orang Spanyol lebih dulu datang ke Mina-
hasa dari pada orang Portugis, yakni pada tahun 1525. Nanti sesudah 1580 barulah mereka lebih
menetap. Orang-orang Portugis nanti datang ke Minahasa pada tahun 1563, sebagai usaha
tandingan terhadap ekspidisi Sultan Khai-run dari Ternate6. Kedua bangsa ini datang ke Minahasa
untuk berdagang pala, cengkih dan kopra.

Tetapi di samping itu mereka juga membawa iman Katolik dari negeri mereka. Pendeta-pendeta
Protestan nanti da-tang ke Minahasa pada abad ke-17 (1663) bersama-sama dengan VOC (Serikat
Dagang Hindia Timur). Mereka meng-geser kekuasaan Spanyol dan Portugis.
Pendeta-pendeta VOC itu an-tara lain, Ds. Jacobus Monta-nus, yang dalam perjalanan-nya ke
Taruna singgah juga di Manado pada tahun 1675.

Pada waktu itu ada seorang yang dibaptis, ada satu rumah gereja dan satu sekolah. Tidak jelas
apakah orang yang dibap-tis adalah dari kalangan pega-wai VOC. Namun menarik un-tuk
mengangkat di sini apa yang disebutkan oleh Molsber-gen tentang seorang wali negeri Maluku
bernama Pieter Roose-laar yang dari tahun 1700 sam-pai dengan 1706 mengadakan studi tentang
keadaan di wila-yah pemerintahannya yang lu-as, termasuk Manado. Ia me-nyebutkan tentang
tiga orang pemimpin hukumtua, yakni Soupit dari Tombariri, Lonto dari Tonsea Tonsaronson (To-
unsarongsong ?) dan Paat dari Tomohon. Disebutkan sedikit-nya ada 567 jiwa orang Kristen dan
adanya pemimpin-pemim-pin yang luar biasa, ada sebu-ah sekolah pribumi dan se-orang guru
keliling yang me-mimpin kebaktian serta men-didik para pemuda. Walaupun yang menjadi sasaran
peneliti-an itu menyangkut kekuatan perekonomian di wilayah-wi-layah tersebut, namun dalam-
nya diinformasikan tentang adanya orang-orang Kristen dan sekolah pribumi di sekitar Tombariri,
Tomohon dan Ton-sea pada awal abad ke-187. Da-ri informasi itu dapat disimak bahwa ada guru
keliling yang sangat mungkin berasal dari Minahasa yang sangat berpe-ran dalam pekabaran Injil
dan penyelenggaraan pendidikan di ketiga wilayah itu. Jika kita perhatikan ini, maka kerja pe-
kabaran Injil di Minahasa su-dah cukup intensif dan dilaku-kan oleh guru pribumi, walau-pun
jumlahnya sangat langka. Molsbergen juga menyebutkan tentang Ds. Adams yang dise-but-sebut
datang ke Tondano dan tentang desa-desa Atep dan Kapataran(g) yang pada se-kitar tahun 1786
nampaknya menjadi tempat mendarat pe-rahu-perahu dari luar Minaha-sa, seperti perahu yang
dikenal dengan nama “kora-kora”. Tempat sekitar Atep itu kemu-dian dikenal sebagai Labuhan
Kora-kora8. Walaupun disentil oleh Molsbergen bahwa ada ha-rapan Ds. Adams akan mem-
perhatikan kepercayaan Kris-ten yang pernah dimiliki oleh penduduk di sana, namun kita tidak
memiliki data yang jelas tentang siapa-siapa orang Mi-nahasa yang dibaptis pada waktu itu9.
Dengan demikian sampai bubarnya VOC pada ta-hun 1799, telah ada guru-guru pribumi yang giat
mengabar-kan Injil dan berkeliling di be-berapa desa/wilayah untuk mengajar penduduk yang telah
menjadi Kristen. Nama mereka memang tidak disebutkan, ke-cuali guru-guru pribumi yang
memperoleh didikan para zen-deling di abad ke-19, sesudah VOC dibubarkan dan babak baru
dalam pekabaran Injil se-telah badan-badan pekabaran Injil terbentuk di Eropa pada akhir abad
ke-18, seperti ada-nya NZG (Nederlandse Zende-ling Genootschap) atau Per-kumpulan Pekabar
Injil Belan-da) yang didirikan pada 19 De-sember 1797. Lembaga-lemba-ga yang giat
melaksanakan pe-kabaran Injil ke luar Eropa itu timbul oleh pengaruh gerakan Pietisme, yang
merupakan arus kekuatan kerohanian di Eropa yang hendak mengimba-ngi kecenderungan
pementing-an segi intelektual para pemim-pin gereja di masa pasca-Re-formasi, kemudian
menekan-kan agama hati, kesalehan dan pelaksanaan tugas menga-barkan Injil di antara orang
Kristen.

Pemahaman Umum Jemaat-jemaat di Minahasa tentang Permulaan Pekabaran Injil di


Minahasa.

Peringatan Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa, sebagaimana yang berlaku
sampai sekarang ialah bahwa penentuan mulainya Pekabaran Injil dan Pendidik-an Kristen di
Minahasa nanti terjadi pada waktu para zen-deling Johan Frederich Riedel dan Johan Gotlieb
Schwarz ti-ba di Minahasa pada 12 Juni 1831.

Ini menunjukkan bahwa per-hatian jemaat-jemaat kita lebih terarah kepada zendeling/misi dari
Eropa dan peranan mereka. Dalam uraian di atas telah disentil tentang peran orang Mi-nahasa
sendiri dalam peneri-maan akan Injil dan kegiatan mereka memelihara kerohanian jemaat. Tetapi,
sejak masa ke-datangan orang Spanyol dan Portugis, nama-nama rohania-wan asinglah yang
disebut-se-but, seperti Pater Diego Magel-haes, seorang imam Katolik yang dipandang sebagai
misio-nari Katolik yang pertama kali datang ke Manado. Kemudian Ds Jacobus Montanus dan Ds
Adams dari masa VOC. Akan dapat dilihat lagi bahwa ada ba-nyak pekabar injil dari Eropa yang
datang ke Minahasa yang menetap di tanah ini sejak pa-roan pertama abad ke-19.

Boleh di kata bahwa setelah VOC bubar, maka ada kelowo-ngan kehadiran pekabar injil yang
difasilitasi oleh serikat da-gang itu, dari tahun 1800 sam-pai sekitar tahun 1817. Namun sesudah
VOC, orang-orang Kristen di Eropa yang merasa terbeban untuk mengabarkan injil ke luar negeri
mereka di masa kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda melanjutkan kekuasaan atas kepulauan
di Hindia Timur (Indonesia). Keda-tangan pekabar-pekabar injil itu memang berkesinambu-ngan,
tidak lagi seperti yang terjadi di masa VOC.

Kehadiran mereka didahului oleh orang-orang yang ditugas-kan oleh pengurus Gereja Pro-testan di
Batavia (Jakarta). Um-pamanya Ds Lenting dikatakan datang ke Minahasa pada ta-hun 1819-1820
dan membaptis banyak orang. Kemudian L Lammers yang meninggal di Ke-ma pada tahun 1824
dan D Muller meninggal pada 182710.

Pada tahun itu juga Jan Gerrit Hallendoorn, yang disebut oleh Molsbergen sebagai seorang guru
injil dan oleh Coolsma disebut sebagai predikat ber-giat di Minahasa. Ia digelari “pe-letak dasar
pekabaran injil di Minahasa”11. Coolsma menye-butkan bahwa sejak Hellendo-orn mengadakan
perjalanan ke-liling di Minahasa, ia mendapati adanya sekolah-sekolah yang sangat miskin dengan
adanya 400 orang murid, dan sampai kematiannya telah ada 56 seko-lah dengan murid sebanyak
4.000 siswa. Sesudahnya baru-lah datang J F Riedel dan J G Schwarz pada 1831 yang disu-sul oleh
para zendeling lain se-cara bergelombang, antara lain: C T Hermann, A Mattern N P Wilken
Zendeling Wilken me-majukan persekolahan di To-mohon dibantu oleh guru pri-bumi bernama
Alexander Wa-jong. Oleh kegiatan dan pembe-rian diri guru pribumi itu, maka murid-murid
katekhisasi mem-peroleh pengertian yang lebih jelas tentang isi pengajaran yang disampaikan
kepada mereka.

Di antara tahun 1848 dan 1851 datang pula para zende-ling Hartig, Bossert, N Graaf-land, S Ulfers
dan H W Nooij. Pekerjaan Hartig, yang mening-gal pada tahun 1854, dilanjut-kan oleh Linemann,
yang diban-tu oleh guru Hehanussa yang diangkat sebagai penolong zen-deling di tahun 1856.
Selanjutnya di antara tahun 1861-1864 datang juga ke Mi-nahasa para zendeling: H Ro-oker, H J
Tendeloo, A O Scha-afsma, C J van der Liefde, J A T Schwarz, J N Wiersma, M Van der Wal, J
Louwerier dan M Brouwer. Tidak dapat disangkal bahwa mereka telah datang dari negerinya yang
jauh.

Mereka memberitakan injil dengan terlebih dulu mengada-kan pendekatan dan penye-suaian
hidup di tengah lingku-ngan masyarakat setempat di Minahasa. Mereka mempelajari adat
kebiasaan orang Minahasa, alam kerohanian mereka dan cara orang Minahasa bermasya-rakat,
sebagaimana dijelaskan pada bagian permulaan tulisan ini. Mereka semua tidak bekerja sendiri di
tempatnya masing-masing. Ada banyak guru injil yang sudah memberi diri diper-siapkan dan
melaksanakan kegiatan pekabaran injil dan pendidikan Kristen. Peranan orang pribumi dalam
kegiatan pekabaran injil makin nampak di masa zendeling H Rooker bekerja di Tondano dan
sekitarnya, sejak tahun 1855, ketika ia melanjutkan pekerjaan Riedel dan Nooij.

Dalam melakukan pekerja-annya, Rooker dibantu oleh Selvanus Item, salah seorang yang dinilai
baik oleh Ridel. Sejak 1857 Item ditetapkan sebagai pembantu zendeling. Sepuluh tahun
sebelumnya (1847) telah ditetapkan seorang lain bernama Adrianus Angkouw di Sonder12.

Selain kedua guru pribumi itu disebutkan juga seorang ber-nama Eliza Siwij di Rerer. Ia se-mula
adalah seorang guru NZG, yang kemudian diangkat seba-gai penolong zendeling. Rooker
menyebutnya sebagai seorang yang memiliki sedikit kekua-tan tetapi menghasilkan ba-nyak hal
yang besar13. Ini me-nunjukkan bahwa guru-guru pribumi telah sangat berperan dalam
pendidikan di sekolah-sekolah dan dalam kegiatan pe-kabaran injil, dalam pemeliha-raan jemaat-
jemaat.

Dalam majalah yang diterbit-kan secara berkala oleh NZG berjudul Mededeelingen van het NZG,
nomor XX, 1876, hlm 195-197, disebutkan sebanyak 124 nama-nama guru sekolah yang tersebar
di jemaat-jemaat pe-desaan, dalam resort pelaya-nan para zendeling. Van Ran-dwijk menjelaskan
bahwa pe-kerjaan pekabaran injil dan pendidikan Kristen telah berkembang pesat. Jemaat bukan
hanya mendengar injil tetapi juga merasa terdorong menjadi pekabar injil14.

Kelompok-kelompok inti da-lam persekutuan jemaat men-jadi batu penyanggah yang kuat bagi
pekabaran injil. Pada ta-hun 1849 Riedel membaptis se-banyak 665 orang. Jumlah se-banyak itu
perlu dilayani dalam pemahaman mereka akan injil dan bagaimana perkembangan iman mereka.
Dapat dipahami bahwa jumlah sebanyak orang yang dibaptis itu mungkin tersebar di beberapa
wilayah pedesaan dan memerlukan pe-layanan katekisasi. Mengingat bahwa orang-orang tersebut
menggunakan bahasa setem-pat yang belum dipahami oleh Riedel, maka sulit membayang-kan
bagaimana ia sendiri me-ngajar mereka jika tidak diban-tu oleh orang pribumi.

Mungkin Riedel sendiri telah berusaha mempelajari bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan
orang-orang pribumi. Tetapi hanya di dipergunakan di kalangan terbatas. Sementara itu untuk
memberi pengertian kepada orang pribumi, ia mem-butuhkan penerjemah. Dalam catatan-catatan
historis tenta-ng perkembangan kekristenan di Minahasa, Riedel memakai orang-orang tertentu
untuk menjadi penerjemah.

Khotbah Minggu di rumah ge-reja disalin oleh orang-orang yang berkemampuan menerje-mahkan
bahasa Melayu ke da-lam bahasa setempat. Kata “sa-linan” masih dipakai di bebera-pa tempat
untuk menunjuk pa-da ibadah sore hari di lingku-ngan jemaat yang tidak mengi-kuti kebaktian di
rumah gereja.

Guna mendapatkan tenaga-tenaga pembantu bagi kerja pe-nerjemahan itu, Riedel (juga zendeling
lainnya) mengadakan pelajaran Alkitab secara tetap. Mungkin anak-anak Minahasa yang
bersekolah sejak masa pe-layanan Jan Geritt Helendoorn sejak tahun 1927 menjadi orang-orang
pertama yang berperan dalam penerjemahan pemberitaan Firman Tuhan pada masa itu.
Ketika kita membaca bahwa Riedel mengadakan pertemuan untuk belajar isi Alkitab di ru-mahnya,
dan memperhatikan siapa di antara mereka yang berkemauan dan menjadikan mereka sebagai
kelompok inti yang dipersiapkan guna mem-bantu pekerjaannya, maka ia telah mengadakan
pelatihan dan pembinaan terhadap mere-ka bagi pekerjaan itu. Mereka jugalah yang telah
memberi diri mereka menjadi “anak piara” dan mereka kemudian menjadi orang-orang yang
mengambil bagian aktif dalam kerja peka-baran injil, kemudian juga se-bagai guru-guru bagi orang
Mi-nahasa. Dari data laporan pe-nginjil tahun 1865, menjadi je-las bahwa 33, 67% dari dana yang
dikumpulkan oleh jemaat dipergunakan untuk pekaba-ran injil ke luar Minahasa. Dise-butkan
antara lain bahwa di akhir abad ke-19 jemaat-jemaat di Minahasa mengutus guru-guru ke daerah
lain. Empat pa-sang suami istri di tahun 1891 diutus ke Tanah Karo.

Selain kedua guru pribumi itu disebutkan juga seorang ber-nama Eliza Siwij di Rerer. Ia se-mula
adalah seorang guru NZG, yang kemudian diangkat seba-gai penolong zendeling. Rooker
menyebutnya sebagai seorang yang memiliki sedikit kekua-tan tetapi menghasilkan ba-nyak hal
yang besar13. Ini me-nunjukkan bahwa guru-guru pribumi telah sangat berperan dalam
pendidikan di sekolah-sekolah dan dalam kegiatan pe-kabaran injil, dalam pemeliha-raan jemaat-
jemaat.

Dalam majalah yang diterbit-kan secara berkala oleh NZG berjudul Mededeelingen van het NZG,
nomor XX, 1876, hlm 195-197, disebutkan sebanyak 124 nama-nama guru sekolah yang tersebar
di jemaat-jemaat pe-desaan, dalam resort pelaya-nan para zendeling. Van Ran-dwijk menjelaskan
bahwa pe-kerjaan pekabaran injil dan pendidikan Kristen telah berkembang pesat. Jemaat bukan
hanya mendengar injil tetapi juga merasa terdorong menjadi pekabar injil14.

Kelompok-kelompok inti da-lam persekutuan jemaat men-jadi batu penyanggah yang kuat bagi
pekabaran injil. Pada ta-hun 1849 Riedel membaptis se-banyak 665 orang. Jumlah se-banyak itu
perlu dilayani dalam pemahaman mereka akan injil dan bagaimana perkembangan iman mereka.
Dapat dipahami bahwa jumlah sebanyak orang yang dibaptis itu mungkin tersebar di beberapa
wilayah pedesaan dan memerlukan pe-layanan katekisasi. Mengingat bahwa orang-orang tersebut
menggunakan bahasa setem-pat yang belum dipahami oleh Riedel, maka sulit membayang-kan
bagaimana ia sendiri me-ngajar mereka jika tidak diban-tu oleh orang pribumi.

Mungkin Riedel sendiri telah berusaha mempelajari bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan
orang-orang pribumi. Tetapi hanya di dipergunakan di kalangan terbatas. Sementara itu untuk
memberi pengertian kepada orang pribumi, ia mem-butuhkan penerjemah. Dalam catatan-catatan
historis tenta-ng perkembangan kekristenan di Minahasa, Riedel memakai orang-orang tertentu
untuk menjadi penerjemah.

Khotbah Minggu di rumah ge-reja disalin oleh orang-orang yang berkemampuan menerje-mahkan
bahasa Melayu ke da-lam bahasa setempat. Kata �sa-linan� masih dipakai di bebera-pa tempat
untuk menunjuk pa-da ibadah sore hari di lingku-ngan jemaat yang tidak mengi-kuti kebaktian di
rumah gereja.

Guna mendapatkan tenaga-tenaga pembantu bagi kerja pe-nerjemahan itu, Riedel (juga zendeling
lainnya) mengadakan pelajaran Alkitab secara tetap. Mungkin anak-anak Minahasa yang
bersekolah sejak masa pe-layanan Jan Geritt Helendoorn sejak tahun 1927 menjadi orang-orang
pertama yang berperan dalam penerjemahan pemberitaan Firman Tuhan pada masa itu.
Ketika kita membaca bahwa Riedel mengadakan pertemuan untuk belajar isi Alkitab di ru-mahnya,
dan memperhatikan siapa di antara mereka yang berkemauan dan menjadikan mereka sebagai
kelompok inti yang dipersiapkan guna mem-bantu pekerjaannya, maka ia telah mengadakan
pelatihan dan pembinaan terhadap mere-ka bagi pekerjaan itu. Mereka jugalah yang telah
memberi diri mereka menjadi �anak piara� dan mereka kemudian menjadi orang-orang yang
mengambil bagian aktif dalam kerja peka-baran injil, kemudian juga se-bagai guru-guru bagi orang
Mi-nahasa. Dari data laporan pe-nginjil tahun 1865, menjadi je-las bahwa 33, 67% dari dana yang
dikumpulkan oleh jemaat dipergunakan untuk pekaba-ran injil ke luar Minahasa. Dise-butkan
antara lain bahwa di akhir abad ke-19 jemaat-jemaat di Minahasa mengutus guru-guru ke daerah
lain. Empat pa-sang suami istri di tahun 1891 diutus ke Tanah Karo.

Mereka adalah pasangan suami istri: Benyamin dan Su-zana Wenas, Johan dan Peni-na Pinontoan,
Richard dan Sa-ra Tampenawas serta Hendrik dan Mintje Pesik15. Di awal abad ke-20 kita kurang
men-dengar tentang pengutusan pekabar injil ke luar. Nanti se-sudah GMIM berdiri sendiri pada
tahun 1934 barulah kita mendengar keaktifan GMIM mengutus para guru injil dan pendeta ke
berbagai daerah lain di Indonesia16.

Dari uraian di atas kiranya menjadi jelas, bahwa hal mem-peringati pekabaran injil di Mi-nahasa
maupun ke luar Mina-hasa, baik sejak jemaat-jemaat di Minahasa masih berada da-lam asuhan
para zendeling dan guru-guru injil, maupun se-sudah GMIM berdiri sendiri di lingkungan Gereja
Protestan di Indonesia, kita tidak dapat melupakan pemberian diri para zendeling yang telah
bersedia meninggalkan kampung hala-mannya dan memberi dirinya dalam pelayanan di Minahasa
sampai akhir hidupnya.

Di sana ada banyak semangat dan pengorbanan. Di samping itu, kita hendaknya memberi
penghormatan dan mengang-kat peran para guru injil pri-bumi yang perannya dalam pekabaran
injil dan pendidik-an kristen sangat besar.

Apakah semangat militansi dan kesediaan berkorban itu masih kita miliki sampai seka-rang? Atau
kita lebih banyak memperkuat diri sendiri dan tidak lagi memiliki semangat perintisan bagi kerja
pekabar-an Injil?

Memang ada pendapat-pen-dapat yang mengatakan bahwa tren pekabaran injil sekarang sudah
berubah, tidak lagi sama dengan di waktu yang lampau. Seandainya demikian, perlu di-
pertanyakan, apakah isi peka-baran injil dan tujuan pendi-dikan kristen sebagai warga GMIM
pahami dan apa yang kita laksanakan sekarang? Ini suatu tantangan bagi kita.

Karena semiloka ini tidak di-maksud untuk mengevaluasi penetapan HUT pekabaran injil dan
pendidikan kristen, maka dalam paper ini tidak diberi uraian khusus untuk menjawab pertanyaan
yang sempat dikemukakan di atas.

Namun demikan bahan in-formasi historis di atas diha-rapkan dapat menjadi sum-bangan dan
masukan untuk mewujudkan harapan dan mencapai maksud baik yang diamati oleh generasi
muda GMIM dewasa ini.(habis)

(Disajikan dalam semiloka yang diselenggarakan oleh Pa-nitia HUT Pekabaran Injil
Sinode GMIM bertempat di The Ritzy Hotel Manado pada tanggal 14 Juni 2008.) Penulis,
Mantan Ketua Sinode GMIM dan ahli sejarah gereja.

Tulisan ini dipublikasikan dalam Harian Komentar secara bersambung,


pada edisi 26, 27, 28, 30 Juni dan 1, 2 Juli 2008.
Angka dibelakang kalimat adalah “catatan kaki”
yang tidak dimuat dalam edisi koran.

P. Berty msc

You might also like