Professional Documents
Culture Documents
Keutamaan Puasa
Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran
untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga
menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allah (yang artinya):“Sesungguhnya kaum
muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum
wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta
kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum
pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yang berpuasa, dan kaum
pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (kemaluannya), dan kaum pria serta wanita
yang banyak mengingat Allah; Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang
besar" [A-Ahzab : 35]
Dan firman Allah (yang artinya): “Dan kalau kalian berpuasa, itu lebih baik bagi kalian kalau
kalian mengetahuinya" [Al-Baqarah:184].
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa
adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan
satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya,
menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala
yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini,
dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
Pengampunan Dosa
Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan
menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa
mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan
diberkahi ini.
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan yang artinya): "Dia meninggalkan makan, minum dan
syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas
dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya".
Di dalam riwayat Muslim (yang artinya): "Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan,
kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali
lipat. Allah Ta'ala berfirman: "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan
membalasnya. Dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku".
Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan; gembira ketika berbuka dan gembira ketika
bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi
daripada bau misk".
Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): "Dan sempurnakanlah olehmu ibadah haji dan umrah
karena Allah; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib
menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut
kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya berfidyah,
yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka
bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang
kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi
orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang
bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksa-Nya" [Al-Baqarah : 196]
Allah Ta'ala juga berfirman (yang artinya): "Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [An-Nisaa' : 92]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah
itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu
berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya
puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)" [Al-Maidah : 89]
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan
anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya): “Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya,
bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah" [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]
Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
1. Bulan Al-Qur'an
Allah menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi manusia, obat bagi kaum mukminin,
membimbing kepada yang lebih lurus, menjelaskan jalan petunjuk (Al-Qur'an) pada malam Lailatul
Qadar, suatu malam di bulan Ramadhan.
Allah berfirman (yang artinya): “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur" [Al-Baqarah : 185]
Pada bulan ini kejelekan menjadi sedikit, karena dibelenggu dan diikatnya jin-jin jahat
dengansalasil (rantai), belenggu dan ashfad. Mereka tidak bisa bebas merusak manusia
sebagaimana bebasnya di bulan yang lain, karena kaum muslimin sibuk dengan puasa hingga
hancurlah syahwat, dan juga karena bacaan Al-Qur'an serta seluruh ibadah yang mengatur dan
membersihkan jiwa.
Allah berfirman (yang artinya): “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183]
Maka dari itu ditutupnya pintu-pintu jahannam dan dibukanya pintu-pintu surga, (disebabkan)
karena (pada bulan itu) amal-amal shaleh banyak dilakukan dan ucapan-ucapan yang baik
berlimpah ruah (yakni ucapan-ucapan yang mengandung kebaikan banyak dilafadzkan oleh kaum
mukminin -red).
Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah,
Hudzaifah dan lain-lain radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka
serta takhrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.
Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri
ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil
dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil (dapat
dipercaya karena kelurusan perilakunya dan pengetahuannya), sebagaimana tertera dalam riwayat
Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua orang atau satu orang, sebagaimana telah
dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata: “Manusia sedang melihat-
lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku
melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud
2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih
sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya
bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama), bukan
denganhisab (perhitungan kalender). Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin (di
seluruh kawasan dan negeri) bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu.
Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi: “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadhl bintul
Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata: "Aku sampai di Syam kemudian
aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih
berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir
bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku kemudian dia sebutkan tentang hilal : "Kapan kamu
melihat Hilal?" Akupun menjawab: "Aku melihatnya pada malam Jum’at." Beliau bertanya lagi:
"Engkau melihatnya pada malam Jum’at?" Aku menjawab: "Ya, orang-orang melihatnya dan
merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah." Dia berkata: "Kami melihatnya pada malam Sabtu,
kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal)." Aku bertanya:
"Tidakkah cukup bagimu ru'yah dan puasa Muawiyyah?" Beliau menjawab: "Tidak! Begitulah
Rasulullah memerintahkan kami.” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021.
Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di-Shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi
1/213)
Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat.
Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: Para Ulama
berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama:
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim
dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini
kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab
Syafi’i.
Pendapat Kedua:
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur
dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah
menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada
negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak
terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka
hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka
hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua: 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka.
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh
Al-Baghawi dari Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat:
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi
dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak meng-qashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh
Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi: “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka
hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun: “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” Berdalil
dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun
orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan: “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah
yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri
mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan
Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan
Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau
berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami.” Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal).
Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri
berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Puasalah kalian karena melihat
hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia.
Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi
mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)
Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun
jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang
maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau
banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata: “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri
harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa,
yaitu “karena melihat hilal dan berbuka (iedul fithri) karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-
lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka
melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-
Nadiyah 1/146).
Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat hilal (bulan sabit awal Ramadhan atau
awal Syawal) sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri/berpuasa sendiri atau bersama
manusia? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah
dalam Majmu’ Fatawa 25/114:
Pendapat Pertama: Wajib atasnya berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) dan ber’iedul fithri (bila
melihat hilal Syawal) secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua: Dia harus berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) tetapi tidak ber’iedul fithri
(bila melihat hilal Syawal) kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab
Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga: Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling
jelas karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): "Puasa kalian adalah
pada hari kalian semua berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah pada hari kalian
semua berbuka (tidak berpuasa) dan (Iedul) Adha kalian adalah hari kalian berkurban." (HR.
Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata:
“Sanadnya jayyid (bagus) dan rawi-rawinya semuanya tsiqah (terpercaya). Lihat Silsilah Al-Hadits
As-Shahihah 1/440). Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di
antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini: "Sebagian ahlu ilmi (ulama)
mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia."
Imam As-Shan’ani berkata: "Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama
manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki
lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha."
(Subulus Salam 2/72)
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata
dalam Shahih Ibnu Majah: “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara (berpuasa dan
berhari raya) ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap
diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam
menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah
pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan: “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna
ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada
saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak
dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata: “Nahr (Iedul Adha) adalah
hari orang-orang menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari orang-orang berbuka.” (Silsilah
Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia
melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak
persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena
politik dan sebagainya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan: “Apa yang sudah menjadi ketetapan
sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia
seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak
tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut
dalam As-Shahihah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang para imam: "Mereka
(para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka,
dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan
pelampauan batas adalah tanggung jawab mereka bukan tanggung jawab kaum muslimin yang tidak
salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh
awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban?
Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab
beliauTaudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut: “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam
Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan
membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu
Umarradhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallambersabda: "Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila
melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-
kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada
waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka
berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan: “Barang siapa berpuasa
pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam).” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang
sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada
waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah
pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam
Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah
mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal
tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh
dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu: “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau
menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan
(dihubungkan) kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan
madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan
dimakruhkan atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas)
mempunyai hujjah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar: “Tidak boleh puasa pada waktu
ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat
dan tabi’in beramal.” Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat
hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh
karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan: “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke
30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang
menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits
Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk
berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau
hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Shilah bin Zufar dari Amar berkata: “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka
sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Shifatus
Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).
Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya shalat Ied boleh dilakukan pada hari
kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah
pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’i, dan lain-
lain. Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian
bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan: “Hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari
kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesudah keluar (habis) waktu shalat (ied).” (Subulus
Salam 2/133)
Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul
Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi
kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan
kekurangan. Wallahu a’lam bisshawab.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).
Sahur
1. Hikmah Sahur
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum
kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183].
Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh
makan dan minum serta menikah (jima') setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur,
tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin
sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut. [Lihat sebagai
tambahan tafsir-tafsir berikut: Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil 'Adhim 1/213-214
oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi].
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita
dengan puasanya Ahlul Kitab.
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Aku masuk
menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda
(yang artinya): "Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada
kalian, maka janganlah kalian tinggalkan" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270
sanadnya shahih].
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti
sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa
ringan orang yang puasa.
Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan
sahur. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menamakannya dengan makan pagi
yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda'radhiyallahu
'anhuma (yang artinya): "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur". [Adapun
hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan
Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul (tidak dikenal).
Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-
Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif (lemah). Hadits ini
ada syahid (penguat)-nya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133.
Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah, karena dia menegaskan hadits dari
Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits,
beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih].
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb
Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau
hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Makan sahurlah kalian walau dengan
seteguk air" [Telah lewat Takhrijnya]
3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallamdan
Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabishallallahu
'alaihi wasallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya
shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu: "Kami makan sahur
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian beliau shalat". Aku tanyakan (kata Anas),
"Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?" Zaid menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al-
Qur'an" [Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di
antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal): kira-kira selama memeras
kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta, dsb. Sehingga Zaid
pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliauradhiyallahu 'anhu bahwa
waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadabbur Al-Qur'an". Sekian
dengan sedikit perubahan]
Dan beliau bersabda (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada
barakah" [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas].
Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang
artinya):"Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur" [Telah lewat
Takhrijnya]
Saya katakan: Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat
dari tiga sisi: 1) Perintahnya. 2) Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara
puasa kita dan puasa Ahlul Kitab. 3) Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah (isyarat) yang kuat dan dalil yang jelas.
Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139: Ijma
(adanya kesepakatan para ulama -red) atas sunnahnya. Wallahu a'lam.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh
Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke
5 th 1416 H. Edisi Indonesia:Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka
Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Ifthar (Buka Puasa)
1. Kapan orang yang puasa berbuka?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): “Kemudian sempurnakanlah puasa hingga
malam" [Al-Baqarah : 187].
Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan sanad yang dishahihkan
oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al-Haitsami dalam Majma' Zawaid 3/154 dari Amr bin
Maimun Al Audi: "Para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang
paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur".
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah
dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti
sunnah Rasuullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka
mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya
bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti
engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita
harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.
Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut:
1. Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-
orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka
akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat
ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin (Istana Kepresidenan Rusia, red) atau mencari
makan di Gedung Putih (Istana Kepresidenan Amerika, red) -mudah-mudahan Allah
merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat
manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali
dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah
dan Manhaj.
2. Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah (yang
artinya): “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah" [Al-
Baqarah : 208].
Atas dasar inilah, maka orang yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, ini adalah pembagian
bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka
ke dalam lingkaran kekhawatiran. Ini tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan
merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani
sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya; kita diperintah untuk menyelisihi mereka
secara global maupun terperinci, dan sungguh kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan
Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.
Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-
perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan
sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyakan mereka: "Ini perkara-perkara
kecil, furu'.khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita
untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita."
Perhatikanlah wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas bashirah (ilmu/dalil), engkau telah
tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya
berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam,
Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya
matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan
bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang
tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah
perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.
Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan
bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma).
Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan
sempurna manfaatnya dengan makanan.
Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan
-demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali orang yang ber-ittiba' (mengikuti sunnah Nabi shallalahu 'alaihi wasallam).
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu (ia berkata): "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma
kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air" [Hadits Riwayat Ahmad
(3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan dari
Anas, sanadnya shahih].
Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya): “Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya : orang yang puasa ketika berbuka,
Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi" [Hadits Riwayat Tirmidzi (2528), Ibnu Majah
(1752), Ibnu Hibban (2407) ada jahalah Abu Mudillah.]
Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
beliau jika berbuka mengucapkan “Dzahabad-dhoma'u wabtalatil 'uruuqu watsabbatil ajru
insya Allah” yang artinya: “Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah
ditetapkan pahala Insya Allah" [Hadits Riwayat Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim
(1/422) Ibnu Sunni (128), Nasaai dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata:
"sanadnya hasan". Aku katakan: memang seperti ucapannya]
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak
menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia
harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak
akan dikurangi pahalanya sedikitpun.
Orang yang diundang disunnahkan mendo'akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-
do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Telah makan makanan kalian orang-
orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'akan kebaikan) atas kalian, orang-orang
yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian" [Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad
(3/118), Nasa'i dalam 'Amalul Yaum (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai
jalan darinya, sandnya shahih. Peringatan: Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang
hadits ini: "Allah menyebutkan di majlis-Nya" adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh
Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke
5 th 1416 H. Edisi IndonesiaSifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka
Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Hal-hal yang dibolehkan ketika berpuasa
Seorang hamba yang taat serta paham Al-Qur'an dan Sunnah tidak akan ragu bahwa Allah
menginginkan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan
Rasul-Nya telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa, dan tidak menganggapnya
suatu kesalahan jika mengamalkannya. Inilah perbuatan-pebuatan tersebut beserta dalil-dalilnya.
2. Bersiwak
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Seandainya tidak
memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudlu"[Hadits
Riwayat Bukhari 2/311, Muslim 252 semisalnya].
Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu, baik sebelum zawal (tergelincir matahari di tengah
hari) ataupun setelahnya. Wallahu 'alam.
3. Berkumur dan Istinsyaq
Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumur dan ber-istinsyaq (memasukkan air ke hidung
kemudian menghembuskannya) dalam keadan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa
berlebihan ketika ber-istinsyaq.
"Kami (para Sahabat) pernah berada di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, datanglah seorang
pemuda seraya berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa?" Beliau
menjawab, "Tidak". Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata: "Ya Rasulullah, bolehkah
aku mencium dalam keadaan puasa ?". Beliau menjawab: "Ya". Kami saling pandang satu sama lain,
maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa)
menahan dirinya".[ Hadits Riwayat Ahmad 2/185,221 dari jalan Ibnu Lahi'ah dari Yazid bin Abu
Hubaib dari Qaushar At-Tufibi darinya. Sanadnya dhaif (lemah) karena dhaif-nya Ibnu Lahi'ah,
tetapi punya syahid (pendukung) dalam riwayat Thabrani dalam Al-Kabir11040 dari jalan Habib bin
Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah 'an-'anah,
dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih Al-Mutafaqih 192-193 karena padanya
terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain].
6. Berbekam
Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada
hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini
berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma: "Sesungguhnya Nabishallallahu 'alaihi
wa sallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/155-Fath,
Lihat Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu 334-338 karya Ibnu Syahin]
7. Mencicipi makanan
Hal ini dibatasi, yaitu selama tidak sampai di tenggorokan berdasarkan riwayat dari Ibnu
Abbasradhiyallahu 'anhuma: “Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaan
puasa, selama tidak sampai ke tenggorokan" [Hadits Riwayat Bukhari secara mu'allaq 4/154 -Fath,
dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah 3/47, Baihaqi 4/261 dari dua jalannya, hadits ini Hasan.
Lihat Taghliqut Ta'liq 3/151-152]
Judul Asli : Shifat shaum an- Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh
Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah cet. Ke
5 th 1416 H. Edisi Indonesia:Sifat Puasa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka
Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Membaca al-Quran
Segala puji bagi Allah, yang telah menurunkan kepada hamba-Nya kitab Al-Qur'an sebagai
penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad, yang
diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.
Sesungguhnya Al Qur'an diturunkan tidak lain kecuali untuk suatu tujuan yang agung yaitu sebagai
pelajaran dan hukum. Adapun pada saat ini, banyak manusia yang meninggalkan kitab yang agung
ini, tidak mengenalnya kecuali hanya pada saat-saat tertentu saja. Diantara mereka ada yang hanya
membaca saat ada kematian, diantara mereka ada yang hanya menjadikannya sebagai jimat dan
diantara mereka ada yang hanya mengenalnya pada saat bulan Ramadhan saja.
Memang benar bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur'an, kita dianjurkan agar
memperbanyak membaca Al Qur'an pada bulan ini. Namun tidak sepantasnya seorang muslim
berpaling dari kitab yang mulia ini di luar bulan Ramadhan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menjanjikan keutamaan yang begitu banyak bagi para pembacanya meskipun di luar bulan
Ramadhan.
Al-Qur'an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami makna,
perintah dan larangannya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah baginya di
hadapan Tuhannya dan pemberi syafa'at baginya pada hari Kiamat. Allah telah menjamin bagi siapa
yang membaca Al-Qur'an dan mengamalkan isi kandungannya tidak akan tersesat di dunia dan
tidak celaka di akhirat, dengan firmanNya: "Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia
tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha:123)
Janganlah seorang muslim memalingkan diri dari membaca kitab Allah, merenungkan dan
mengamalkan isi kandungannya. Allah telah mengancam orang-orang yang memalingkan diri
darinya dengan firman-Nya: "Barangsiapa berpaling dari Al-Qur'an maka sesungguhnya ia
akan memikul dosa yang besar di hari Kiamat" (Thaha : 100). "Dan barangsiapa berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 124)
Di antara keutamaan Al-Qur'an:
1. Firman Allah Ta 'ala: "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri." (An-Nahl: 89)
2. Firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-
orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al-Ma'idah: 15-16).
3. Firman Allah Ta 'ala: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat bagi ouang-orang yang beriman. " (Yunus: 57).
4. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada
hari Kiamat sebagai pemberi syafa 'at bagi pembacanya." (HR. Muslim dari Abu Umamah).
5. Dari An-Nawwas bin Sam'an radhiallahu 'anhu, katanya: Aku mendengar Rasul shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Didatangkan pada hari Kiamat Al-Qur'an dan para pembacanya yang
mereka itu dahulu mengamalkannya di dunia, dengan didahului oleh surat Al Baqarah dan
Ali Imran yang membela pembaca kedua surat ini." (HR, Muslim).
6. Dari Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu, katanya: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallambersabda: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan
mengajarkannya." (HR. Al-Bukhari)
7. Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, katanya: Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu
kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam
mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf." (HR. At-
Tirmidzi, katanya: hadits hasan shahih).
8. Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Dikatakan kepada pembaca Al-Qur'an: "Bacalah, naiklah dan bacalah
dengan pelan sebagaimana yang telah kamu lakukan di dunia, karena kedudukanmu adalah
pada akhir ayat yang kamu baca." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan mengatakan: hadits
hasan shahih).
9. Dari Aisyah radhiallahu 'anhu, katanya: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang
membaca Al-Qur'an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia lagi taat,
sedangkan orang yang membaca Al-Quran dengan tergagap dan susah membacanya baginya
dua pahala." (Hadits Muttafaq 'Alaih). Dua pahala, yakni pahala membaca dan pahala susah
payahnya.
10. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh
hasad (iri) kecuali dalam dua perkara, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur'an lalu
diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu
diinfakkannya pada waktu malam dan siang". (Hadits Muttafaq 'Alaih). Yang dimaksud hasad di
sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain. (Lihat kitab Riyadhus Shaalihiin, hlm.
467-469).
Maka bersungguh-sungguhlah -semoga Allah menunjuki Anda kepada jalan yang diridhaiNya- untuk
mempelajari Al-Qur'anul Karim dan membacanya dengan niat yang ikhlas untuk Allah Ta'ala.
Bersungguh-sungguhlah untuk mempelajari maknanya dan mengamalkannya, agar mendapatkan
apa yang dijanjikan Allah bagi para ahli Al-Qur'an berupa keutamaan yang besar, pahala yang
banyak, derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi. Para sahabat
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dahulu jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur'an, mereka
tidak melaluinya tanpa mempelajari makna dan cara pengamalannya.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa membaca Al-Qur'an yang berguna bagi pembacanya, yaitu membaca
disertai merenungkan dan memahami maknanya, perintah-perintahnya dan larangan-larangannya.
Jika ia menjumpai ayat yang memerintahkan sesuatu maka ia pun mematuhi dan menjalankannya,
atau menjumpai ayat yang melarang sesuatu maka iapun meninggalkan dan menjauhinya. Jika ia
menjumpai ayat rahmat, ia memohon dan mengharap kepada Allah rahmat-Nya; atau menjumpai
ayat adzab, ia berlindung kepada Allah dan takut akan siksa-Nya.
Al-Qur'an itu menjadi hujjah bagi orang yang merenungkan dan mengamalkannya; sedangkan yang
tidak mengamalkan dan memanfaatkannya maka Al-Qur'an itu menjadi hujjah terhadap dirinya
(mencelakainya).
Firman Allah Ta 'ala: "lni adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang
mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran. " (Shad: 29).
Bulan Ramadhan memiliki kekhususan dengan Al-Qura'nul Karim, sebagaimana firman
Allah:"Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an ... " (Al-Baqarah:
185). Dan dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemu
dengan Jibril pada bulan Ramadhan setiap malam untuk membacakan kepadanya Al-Qur'anul
Karim. Hal itu menunjukkan dianjurkannya mempelajari Al-Qur'an pada bulan Ramadhan dan
berkumpul untuk itu, juga membacakan Al-Qur'an kepada orang yang lebih hafal. Dan juga
menunjukkan dianjurkannya memperbanyak bacaan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan.
Tentang keutamaan berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim,
Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu
rumah Allah seraya membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali
turunlah ketenangan atas mereka, serta mereka diliputi rahmat, dikerumuni para malaikat
dan disebut-sebut oleh Allah kepada para malaikat di hadapan-Nya." (HR. Muslim).
Ada dua cara untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim:
1. Membaca ayat yang dibaca sahabat Anda.
2. Membaca ayat sesudahnya. Namun cara pertama lebih baik.
Dalam hadits Ibnu Abbas di atas disebutkan pula mudarasah antara Nabi dan Jibril terjadi pada
malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya banyak-banyak membaca Al-Qur'an di bulan
Ramadhan pada malam hari, karena malam merupakan waktu berhentinya segala kesibukan,
kembali terkumpulnya semangat dan bertemunya hati dan lisan untuk merenungkan. Seperti
dinyatakan dalam firman Allah: "Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat
(untuk khusyu'), dan bacaan di waktu itu lebih berkesan." (Al-Muzzammil: 6).
Disunatkan membaca Al-Qur'an dalam kondisi sesempurna mungkin, yakni dengan bersuci,
menghadap kiblat, mencari waktu-waktu yang paling utama seperti malam, setelah maghrib dan
setelah fajar. Boleh membaca sambil berdiri, duduk, tidur, berjalan dan menaiki kendaraan.
Berdasarkan firman Allah: "(Yaitu) orang-orang yang dzikir kedada Allah sambil berdiri, atau
duduk, atau dalam keadaan berbaring..." (Ali Imran: 191). Sedangkan Al-Qur'anul Karim
merupakan dzikir yang paling agung.
Kadar bacaan yang disunatkan
Disunatkan mengkhatamkan Al-Qur'an setiap minggu, dengan setiap hari' membaca sepertujuh dari
Al-Qur'an dengan melihat mushaf, karena melihat mushaf merupakan ibadah. Juga
mengkhatamkannya kurang dari seminggu pada waktu-waktu yang mulia dan di tempat-tempat
yang mulia, seperti: Ramadhan, Dua Tanah Suci dan sepuluh hari Dzul Hijjah karena memanfaatkan
waktu dan tempat. Jika membaca Al-Qur'an khatam dalam setiap tiga hari pun baik, berdasarkan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdullah bin Amr: "Bacalah Al-Qur'an itu dalam
setiap tiga hari" (Lihat kitab Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu Katsir, him. 169-172 dan Haasyiatu
Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.)
Dan makruh menunda khatam Al-Qur'an lebih dari empat puluh hari, bila hal tersebut
dikhawatirkan membuatnya lupa. Imam Ahmad berkata : "Betapa berat beban Al-Qur'an itu bagi
orang yang menghafalnya kemudian melupakannya."
Dilarang bagi yang berhadats kecil maupun besar menyentuh mushaf, dasarnya firman Allah
Ta'ala: "Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." (Al-Waqi'ah: 79). Dan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam: "Tidak dibenarkan menyentuh Al-Qur'an ini kecuali
orang yang suci." (HR. Malik dalam Al-Muwaththa, Ad-Daruquthni dan lainnya)". Hal ini diperkuat
hadits Hakim bin Hizam yang lafazhnya: "Jangan menyentuh Al-qur'an kecuali jika kamu
suci." (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim dengan menyatakannya shahih).
Al-Qur'anul Karim syari'at sempurna:
Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwaafaqaat mengatakan : "Sudah menjadi kesepakatan bahwa kitab
yang mulia ini adalah syari'at yang sempurna, sendi agama, sumber hikmah, bukti kerasulan, cahaya
penglihatan dan hujjah. Tiada jalan menuju Allah selainnya, tiada keselamatan kecuali dengannya
dan tidak ada yang dapat dijadikan pegangan sesuatu yang menyelisihinya. Kalau demikian halnya,
mau tidak mau bagi siapa yang hendak mengetahui keuniversalan syariat, berkeinginan mengenal
tujuan-tujuannya serta mengikuti jejak para ahlinya harus menjadikannya sebagai kawan bercakap
dan teman duduknya sepanjang siang dan malam dalam teori dan praktek; maka dekat waktunya ia
mencapai tujuan dan menggapai cita-cita serta mendapati dirinya termasuk orang-orang pendahulu,
dan dalam rombongan pertama jika ia mampu. Dan tidaklah mampu atas hal itu kecuali orang yang
senantiasa menggunakan apa yang dapat membantunya, yaitu sunnah yang menjelaskan kitab ini.
Selainnya, adalah ucapan para imam terkemuka dan salaf pendahulu yang dapat membimbingnya
dalam tujuan yang mulia ini." ( LihatAI Muwafaqaat, oleh Asy-Syathibi, 31224.)
Hukum melagukan Al-Qur'an :
Pembaca dan pendengar Al-Qur'an yang hatinya disibukkan dengan lagu dan sejenisnya -yang dapat
mengakibatkan perubahan firman Allah, padahal kita diperintahkan untuk memperhatikannya
sebenamya menghalangi hatinya dari apa yang dikehendaki Allah dalam kitab-Nya, memutuskannya
dari pemahaman firman-Nya. Mahasuci firman Allah dari hal itu semua. Imam Ahmad
melarang talhin dalam membaca Al-Qur'an, yaitu yang menyerupai lagu, beliau berkata : "Itu bid'ah.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Fadhaailul Qur'an mengatakan: "Sasaran yang diminta menurut
syara' tiada lain yaitu memperindah suara yang dapat mendorong untuk merenungkan dan
memahami Al-Qur'an yang mulia dengan khusyu', tunduk, dan patuh penuh ketaatan. Adapun
suara-suara dengan lagu yang diada-adakan yang terdiri atas nada dan irama yang melalaikan, serta
aturan musikal, maka Al-Qur'an adalah suci; dari hal ini dan tak layak jika dalam. Membacanya
diperlakukan demikian." (Lihat kitab Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu Katsir, him. 125-126.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Irama-irama yang dilarang para ulama untuk membaca
Al-Qur'an yaitu yang dapat memendekkan huruf yang panjang, memanjangkan yang pendek,
menghidupkan huruf yang mati dan mematikan yang hidup. Mereka lakukan hal itu supaya sesuai
dengan irama lagu-lagu yang merdu. Jika hal itu dapat mengubah aturan Al-Qur'an dan menjadikan
harakat sebagai huruf, maka haram hukumnya. (Lihat Haasyiatu Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu
Qaasim, hlm. 107.)
Qiyamullail (Shalat Malam)
Qiyamul lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud atau Sholat Malam adalah salah satu
ibadah yang agung dan mulia , yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai
ibadah nafilah atau ibadah sunnah. Akan tetapi bila seorang hamba mengamalkannya dengan penuh
kesungguhan, maka ia memiliki banyak keutamaan. Berat memang, dan tidak setiap muslim
sanggup melakukannya. Andaikan kita tahu keutamaan dan keindahannya, tentu kita akan
berlomba-lomba untuk menggapainya. Banyak nash dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang
menerangkan keutamaan ibadah ini.
Pertama: Barangsiapa menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai
ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang
terpuji.” (Al-Isro’:79).
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah sholat di waktu
malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan
bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.”
(lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sholat yang paling utama sesudah sholat
fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua: Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga.
Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada
dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan
oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang
berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir
malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni
Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma -ed) seandainya ia sholat tengah
malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat
malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).
Ketiga: Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia
akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang
meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan
(kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh.
Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang
tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut
telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “Setan mengikat pada tengkuk setiap
orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya
ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang,
tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah
Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu,
terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir.
Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak
bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya
dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keempat: Ketahuilah, di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang yang meminta
kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya bila ia memohon ampunan kepada-
Nya.
Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam
terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757).
Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Rabb kalian turun
setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang
yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Barangsiapa
yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon
(sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku,
niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu
Katsir 3/54)
Kesungguhan Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti
suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan
lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada
disekitarnya), sampai menjelang fajar menyingsing.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Mengapa orang-orang yang suka
bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena
mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan
cahaya-Nya.”
Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat
daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam,
sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.”
Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara,
yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.”
Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “Sesungguhnya orang yang telah melakukan
dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun
untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau
menjawab: “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan
membangunkanmu di waktu malam.” (Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid)
Pembaca yang budiman, inilah beberapa keutamaan dan keindahan qiyamul lail. Sungguh, akan
merasakan keindahannya bagi orang yang memang hatinya telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala, dan
tidak akan merasakan keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik-Nya. Mudah-
mudahan, kita semua termasuk diantara hamba-hamba-Nya yang diberi keutamaan menunaikan
qiyamul lail secara istiqamah. Wallahu waliyyut taufiq.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh
Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke
5 th 1416 H. Edisi IndonesiaSifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka
Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Disunnahkannya Shalat Tarawih Berjama'ah
Tidak syak lagi bahwa shalat Tarawih dengan berjama'ah adalah sangat dianjurkan berdasarkan
pada:
A. TAQRIR Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana riwayat Tsa'labah bin Abi Malik,
ia berkata:
" Telah keluar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, suatu malam di bulan Ramadhan, maka
beliau melihat orang-orang shalat di tepi masjid, sabdanya: Apa yang mereka lakukan? Salah
seorang berkata : Ya Rasulullah! Mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat membaca Al-
Qur'an dan Ubai bin Ka'ab membacakannya, dan mereka shalat berjama'ah dengannya. Maka
sabdanya: "Mereka telah mengerjakan yang baik" atau "telah benar mereka". Dan beliau tidak
menampakkan kebencian terhadap mereka tersebut". [Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam sunannya
II : 495 ia berkata Hadits ini MURSAL HASAN.]
Penjelasan :
Hadits ini telah diriwayatkan dengan MAUSHUL (sanad yang bersambung) melalui jalan lain dari
Abu Hurairah dalam kitab Al-Mutabaat was Syawahid, sanadnya LA BA'SA BIHI (cukup).
Dikeluarkan oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamul-Lail, hal.90 Abu Dawud I : 217 dan Baihaqi.
B. FI'IL (Perbuatan) beliau sendiri. Tentang ini terdapat beberapa hadits.
Pertama dari Nu'man bin Basyir ia berkata :
"Kami pernah shalat (malam) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam ke 23 di
bulan Ramadhan hingga sepertiga malam yang pertama, kemudian kami shalat lagi bersamanya
pada malam ke 25 hingga pertengahan malam, kemudian beliau mengimami kami pada malam ke
27 hingga kami mengira, kami tidak akan mendapatkan waktu falaah. Ia berkata: Kami
menyebut sahur dengan sebutan falaah". [Diriwayatkan oleh Ibnu 'Abi Syaibah dalam Al-
Mushannaf II : 90/2, Ibnu Nashr halaman 89, Nasaa'i I : 238, Ahmad IV : 272, Faryabi dalam Kitab
Shiam I/73 - II/72. Sanadnya SHAHIH dan dishahkan oleh Hakim]
Hakim berkata: Hadits ini merupakan dalil yang terang bahwa Shalat Tarawih di masjid-masjid
kaum Muslimin adalah SUNNAH (dianjurkan), dan adalah Ali bin Abi Thalib menganjurkan Umar bin
Khattab radyillahu 'anhum untuk melestarikan sunnah ini. Al-Mustadrak I : 440.
Kedua dari Anas ia berkata :
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, shalat di bulan Ramadhan, kemudian aku datang
dan aku berdiri di sampingnya, kemudian datang yang lain, kemudian yang lain lagi, sehingga waktu
itu kami menjadi kelompok (berjumlah lebih kurang 10 orang). Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam merasa bahwasanya kami berada di belakangnya, beliau meringkas shalatnya, kemudian
masuk rumahnya. Ketika beliau masuk rumahnya, beliau mengerjakan shalat yang tidak
dikerjakannya bersama kami. Ketika kami masuk waktu pagi, kami bertanya : Ya Rasulullah !
Apakah engkau tidak mengetahui kami tadi malam?. Beliau menjawab: "Ya, justru itulah yang
mendorongku untuk melakukan apa yang aku perbuat".
[Diriwayatkan oleh Ahmad III : 199, 212 dan 291, juga Ibnu Nashr halaman 89, keduanya dengan
sanad yang SHAHIH. Demikian juga Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam Al-Aushath dan Al-
Jam'u III : 173]
Ketiga dari 'Aisyah ia berkata :
" Pernah orang-orang shalat (malam) di masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, pada bulan
Ramadhan dengan sendiri-sendiri, orang-orang itu mempunyai sedikit hafalan Al-Qur'an, lalu ada
kurang lebih lima atau enam orang, atau lebih sedikit atau lebih banyak dari jumlah itu yang
mengikuti shalatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. ('Aisyah berkata) : Kemudian
Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam, menyuruh aku mendirikan tikar di pintu kamarku, lalu aku
kerjakan. Kemudian Ia keluar ke pintu sesudah shalat Isya' yang terakhir. Ia ('Aisyah) berkata : Lalu
orang-orang yang di masjid mengerumuni beliau, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, shalat
bersama mereka, shalat malam yang panjang, kemudian beliau berpaling dan masuk (ke rumah),
beliau tinggalkan tikar itu sebagaimana adanya. Ketika pagi hari orang-orang memperbincangkan
shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama mereka yang di masjid pada malam itu.
(Akibatnya) orang-orang berkumpul lebih banyak lagi sehingga masjid menjadi penuh sesak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada malam yang kedua, maka orang-orang shalat
mengikuti shalatnya. Pada pagi harinya orang-orang menceritakan kejadian itu, sehingga
bertambah banyaklah pengunjung di malam yang ke tiga, pada malam itu beliau keluar dan orang-
orang shalat mengikuti shalatnya. (Akhirnya) pada hari keempat masjid tidak mampu lagi
menampung pengunjungnya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Isya' bersama
mereka, kemudian beliau masuk rumahnya dan orang-orang memastikan hal itu. 'Aisyah
melanjutkan: Beliau bertanya kepadaku: "Bagaimana orang-orang bisa menjadi seperti itu ya
'Aisyah?" Aku menjawab: Ya Rasulullah! Orang-orang mendengar tentang shalatmu bersama
mereka yang di masjid tadi malam, oleh karena itu mereka berkumpul agar engkau mau shalat
bersama mereka. Beliau berkata : "Gulunglah tikarmu ini ya 'Aisyah", lalu aku kerjakan. Malam
itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidur dengan tidak lengah, sedangkan orang-orang
mengetahui tempatnya, kemudian masuklah beberapa orang dari mereka sambil berkata : "As-
Shalat !" hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk shalat Shubuh. Setelah selesai
shalat Fajar (Shubuh), beliau menghadap ke orang banyak, kemudian bertasyahhud dan
berkata : "Amma ba'du ! Wahai orang-orang, demi Allah dan Alhamdulillah tadi malam aku
tidur pulas, tidak tersembunyi bagiku tempat-tempat kamu, tetapi aku khawatir akan
dijadikan kewajiban buat kamu sekalian." Pada riwayat lain : "Tetapi aku takut diwajibkan
atas kamu shalat malam (itu), dan kamu tidak sanggup mengerjakannya ......"
Pada riwayat lain Zuhri menambahkan : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan
orang-orang dalam keadaan seperti itu, demikian juga pada masa khalifah Abu Bakar dan
permulaan kekhalifahan Umar (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud Nasa'i, Ahmad
dan Faryabi serta Ibnu Nashr).
Lafadz "wal amru 'ala dzalika" = keadaan orang-orang seperti itu mempunyai dua pengertian yaitu :
a) meninggalkan jama'ah dalam Tarawih, b) Shalat sendiri-sendiri (mengadakan jama'ah masing-
masing). Penulis lebih cenderung pada pengertian yang (b).
Penjelasan :
Perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berjama'ah selama tiga malam bersama mereka,
merupakan petunjuk jelas bahwa shalat Tarawih itu sebaiknya dikerjakan dengan berjama'ah.
Adapun sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hadir bersama mereka pada malam ke empat,
tidak dapat diartikan bahwa anjuran itu sudah dihapuskan, karena ketika itu beliau
menyebutkan illat-nya yaitu "aku takut/ khawatir akan diwajibkan atas kamu".
Tetapi dengan wafatnya beliau, maka hilang pula kekhawatiran tersebut (karena tidak ada lagi
perubahan hukum syariat sesudah beliau), berarti kita kembali kepada hukum yang terdahulu yaitu
anjuran berjama'ah, oleh karena itu Umar radyillahu 'anhu berusaha menghidupkan kembali
tuntunan tersebut sebagaimana disebutkan di atas. Demikian pula sikap yang diambil oleh Jumhur
Ulama'.
Keempat, Hudzaifah bin Yaman menceritakan :
"Telah bangun Rasululullah shallallahu 'alaihi wa sallam di suatu malam pada bulan Ramadhan di
kamarnya yang terbuat dari pelepah korma, kemudian ia menuangkan setimba air (berwudhu'),
kemudian mengucap (setelah bertakbiratul ihram) "Allahu Akbar Allahu Akbar" tiga kali, "Dzal
Malakut wal Jabarut wal Kibriyaa' wal 'Azhmah" (yakni doa iftitah), kemudian (setelah membaca
surat al-Fatihah) beliau membaca surah Al-Baqarah. Ia (Hudzaifah) berkata selanjutnya : Kemudian
beliau ruku', dan adalah (lama) ruku'nya seperti (lama) berdirinya, dan dalam rukunya beliau
mengucap "subhana rabbiyal azhim, subhana rabbiyal azhim", kemudian mengangkat
kepalanya dari ruku', lalu berdiri (i'tidal) sebagaimana (lama) ruku'nya dan mengucap : "Li
Rabbiyal Hamdu". Kemudian beliau sujud, dan adalah sujudnya selama berdirinya. Beliau
mengucap dalam sujudnya : "Subhana Rabbiyal A'laa", kemudian mengangkat kepalanya dari
sujud, kemudian duduk, pada duduk antara dua sujud beliau mengucap "Rabbigh Firli", lama
duduknya sebagaimana sujudnya, kemudian sujud dan berkata : "Subhana Rabbiyal A'laa". Maka
beliau shalat empat raka'at dan membaca padanya surah Al-Baqarah dan Ali 'Imran dan An-Nisaa'
dan Al-Maidah serta Al-An'am sehingga datang Bilal untuk adzan buat shalat (Fajar)".
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2 dan Ibnu Nashr pada halaman 80 - 90. Nasa'i
dalam sunannya I : 246, Ahmad V : 400 melalui Thalhah bin Yazid Al-Anshari dari Hudzaifah,
riwayat-riwayatnya ini saling menambah antara satu dengan yang lain. Juga oleh Imam Tirmidzi I :
303 serta Ibnu Majah dalam I : 290 dan Hakim I : 271 tentang ucapan duduk antara dua sujud.
Hakim juga mengesahkannya dan Dzahabi menyetujuinya, orang-orangnya kepercayaan, tetapi
Nasa'i menganggap ini Mursal dengan menyebut illatnya bahwa Thalhah bin Yazid tidak aku ketahui
mendengar (hadits ini) dari Hudzaifah.
Menurut pedapat saya, sanad hadits ini telah disambung oleh 'Amr bin Marrah dari Abi Hamzah
yang dia itu adalah Thalhah bin Yazid, ia mendengar dari seorang laki-laki dari Absi, Syu'bah
memandang bahwasanya ia adalah Shillah bin Zufar dari Hudzaibah. Hadits ini dikeluarkan oleh
Abu Dawud I : 139-140, Nasa'i I : 172, Thahawi dalam "Al-Musykil" I : 308, Thayalisi I : 115 serta
Baihaqi II : 121-122, juga Ahmad V : 398 dan Baghawi pada hadits Ali bin Ja'di I : 4/1 dari Syu'bah
dari 'Amr, sanadnya shahih. Muslim meriwayatkan II : 186 melalui jalan Al-Mustaurad bin Ahnaf
dari Shillah bin Zufar yang semakna dengan ini disertai tambahan, pengurangan dan beberapa
perubahan kecil.
C. Keterangan-keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (qaul) tentang keutamaan
Tarawih dengan berjama'ah.
"Abu Dzar radhiyallahu 'anhum berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tetapi beliau tidak shalat bersama kami, sehingga tinggal tujuh hari dari bulan
(Ramadhan), lalu ia shalat (malam) bersama kami hingga larut sepertiga malam, kemudian di hari
keenam ia tidak shalat bersama kami lagi, dan ia shalat bersama kami pada malam kelima, hingga
larut pertengahan malam, lalu kami bertanya : Ya Rasulullah ! Alangkah baiknya kalau seandainya
engkau kerjakan sunnah itu dengan kami dalam sisa malam kami ini. Maka
jawabnya : "Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai,
akan ditetapkan baginya (seperti) shalat semalam (suntuk)". Kemudian setelah itu ia tidak lagi
shalat bersama kami hingga tinggal tiga hari dari bulan itu, kemudian ia shalat lagi bersama kami
pada malam ketiganya, dan ia ajak keluarga dan istrinya, lalu ia shalat bersama kami, hingga kami
khawatir (kehilangan) al-falaah. Aku bertanya: "Apakah Al-Falaah itu?" Jawabnya: "Yaitu Sahur".
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2, Abu Dawud I : 217, Tirmidzi II : 72-73,
disahkan oleh Nasa'i I : 238 dan Ibnu Majah I : 397 dan Thahawi dalam Syarhul Ma'aanil Atsar I :
206, dan Ibnu Nashr hal 89, Faryabi I : 71 dan II : 72, serta Baihaqi II : 494. Semua sanad mereka
SHAHIH.
Mendukung hadits ini adalah riwayat Abu Dawud dalam kitab Al-Masaail hal 62, ia berkata.
"Saya mendengar Ahmad ditanya : Mana yang lebih engkau sukai, orang yang shalat di bulan
Ramadhan bersama orang banyak atau sendirian ; Ia menjawab : Orang yang shalat bersama orang
banyak ; aku juga mendengar ia berkata : Aku menyukai orang-orang yang shalat bersama imam
dan witir bersamanya. Nabi shallallhu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya seorang laki-
laki apabila ia shalat bersama imam, akan ditetapkan baginya (pahala) di sisi
malamnya". Yang seperti ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Nashr, halaman 91 dari Ahmad, kemudian
Abu Dawud berkata : "Ahmad ditanya dan aku mendengar : bagaimana tentang mengakhirkan
pelaksanaan shalat Tarawih hingga akhir malam ? Ia menjawab : "Tidak ada sunnah kaum Muslimin
yang lebih baik dan lebih aku sukai dari pada itu".
Pengertian berjama'ah pada waktu awwal untuk shalat Tarawih lebih afdhal baginya daripada
shalat sendirian, walau mengakhirkannya hingga akhir malam. Jadi walaupun menta'khir shalat
Tarawih itu mempunyai keutamaan sendiri, tapi melakukan dengan jama'ah adalah lebih utama
dengan dasar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya beberapa malam bersama
para shahabat, sebagaimana yang diceritakan pada riwayat 'Aisyah terdahulu, dan demikian pula
yang dilakukan kaum Muslimin mulai kekhalifahan Umar radhiyallahu 'anhumhingga sekarang.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Tidak Pernah Shalat Lebih Dari 11 Raka'at
Sehubungan dengan masalah ini kami hanya menyebutkan dua hadits yaitu :
Pertama
Pada riwayat lain bagi Abi Syaibah II:16/1 dan Muslim serta lainnya disebutkan bahwa shalat beliau
di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya adalah 13 raka'at, termasuk pada jumlah tersebut dua
raka'at Fajar/Shubuh.
Tetapi pada riwayat lain dari Malik dan juga Bukhari bahwasanya 'Aisyah berkata : Adalah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, shalat malam 13 raka'at, kemudian ketika mendengar adzan
shubuh, ia shalat dua raka'at yang ringan.
Pada zahirnya kedua riwayat di atas kelihatan bertentangan, tetapi sebenarnya tidak demikian
halnya, sebab tambahan dua raka'at yang ada pada riwayat Malik dan Bukhari bisa diartikan
ba'diyah Isya' atau shalat Iftitah (Shalat pembukaan sebelum memulai shalat malam). Tentang
shalat Iftitah ini Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, biasa
memulai shalat malam (11 raka'at) itu dengan dua raka'at yang ringan.
Adapun perincian 13 raka'at yang dimaksud pada riwayat di atas adalah sebagaimana riwayat Zaid
bin Khalid l-Juhani, bahwasanya ia berkata : "Aku perhatikan shalat malam Rasulullahshallallahu
'alaihi wasallam, yaitu (Ia) shalat dua raka'at yang ringan, kemudian ia shalat dua raka'at yang
panjang sekali, kemudian shalat dua raka'at, dan dua raka'at ini tidak sepanjang dua raka'at
sebelumnya, kemudian shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian
shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian shalat dua raka'at (tidak
sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian witir satu raka'at, yang demikian adalah 13 raka'at".
[Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr]
Untuk penulis lebih cenderung mengatakan dua raka'at yang ringan adalah dua raka'at ba'diyah
Isya'; dasarnya adalah riwayat Ibnu Nashr dalam kitab Qiyamul Lail halaman 48 dimana
diceritakan : Bahwa kami (shahabat) pulang dari Hudaibiyah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, ketika sampai di Suqya (kota yang terletak antara Mekkah dan Madinah),
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dan Jabir ada di sisinya, kemudian mereka berdua
shalat Isya', kemudian shalat tiga belas raka'at.
Kedudukan hadits ini memang tidak begitu kuat karena pada sanadnya terdapat rawi SYARHABIL
BIN SA'AD, padanya terdapat kelemahan. Sungguhpun demikian ia dapat dijadikan pertimbangan,
bahwa sunnah ba'diyah Isya' masuk dalam jumlah 13 raka'at tersebut. Wallahu A'lam.
Maksudnya dengan satu kali salam, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan, bahwa
disebut demikian, untuk menunjukan bolehnya satu kali salam. Yang lebih afdhal adalah memberi
salam dalam setiap dua raka'at sebagaimana sabda beliau : "Shalat malam dan siang, dua raka'at dua
raka'at.
Sedang penulis memilih pendapat kedua. Begitu pula para pengikut Imam Syafi'i, bahkan mereka
beranggapan salam satu kali itu tidak shah shalatnya.
Kedua
Dalam kitab Fathul Baari IV:205-206, pada keterangan hadits pertama, Ibnu Hajar mengatakan :
"Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Abbas, bahwasanya
Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat (malam) di bulan Ramadhan 20 raka'at dan
beriwitir satu raka'at itu, sanadnya lemah. Hadits ini bertentangan dengan hadits 'Aisyah yang
terdapat dalam shahihain. Dalam hal ini 'Aisyah lebih mengetahui hal ihwal Nabi shallallahu alaihi
wa sallam pada malam harinya bila dibandingkan dengan yang lain".
Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Imam Az-Zaila'i dalam kitab Nashbur-Raayah : II :
153.
Penulis berpendapat : Hadits ini memang lemah sekali, seperti yang dinyatakan Imam Suyuthi
dalam Al-Hawi lil Fatawaa II:73 yang menyebabkan kelemahannya adalah rawi yang bernama ABU
SYAIBAH IBRAHIM BIN 'UTSMAN.
Dalam kitab At-Taqriib Ibnu Hajar menyebut rawi ini sebagai Matrukul Hadits. Penulis telah
menelusuri sumber-sumbernya tetapi tidak didapati kecuali melalui jalannya. Ibnu Abi Syaibah
mengeluarkan hadits ini dalam Al-Mushannaf II:90/2, Abdun bin Hamid dalam Al-Muntakhab Minal
Musnad 34:I/1, Thabrani dalam Al-Mu'jamul Kabir III:148 dan Al-Aushath, begitu pula Adz-Dzahabi
dalam Al-Muntaqa Minhu III:2 dan Baihaqi dalam Sunannya II:496.
Semua riwayat ini pasti melalui jalan Ibrahim bin 'Utsman dari Hakim dari Muqsam dari Ibnu Abbas
secara marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).
Thabrani mengatakan bahwa tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini. Baihaqi
menegaskan bahwa Abi Syaibah bersendirian (tafarada bihi) dan ia ini lemah. Begitu pula
pernyataan Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid III:172 bahwa dia itu lemah.
Yang sebenarnya ia itu sangat lemah sekali, bahkan Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia Matrukul
Hadits (ditinggalkan haditsnya), maksudnya haditsnya tidak dipakai.
Pada halaman 118 kitab Ikhtisar fi 'Ulumul Hadits, Ibnu Katsir mengatakan : Bahwa siapa saja yang
dikatakan Bukhari "Sakatu'anhu" berarti rawi itu berada dikedudukan yang paling rendah dan jelek
(menurut pandangannya).
Selanjutnya Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam kitab Al-Fatawal Kubra I:195 menyebut rawi iniSyadidud-
dha'fi yaitu sangat lemah sekali, dan bahwasanya ia biasa meriwayatkan hadits-hadits maudlu',
seperti tentang tidak dibinasakannya ummat kecuali pada bulan Maret atau hadits hari Kiamat tidak
akan datang kecuali pada bulan Maret dan lain sebagainya. Adapun haditsnya di tentang shalat
Tarawih ini termasuk salah satu hadits Munkarnya.
Jadi jelas hadits ini tidak dapat dipakai karena seperti yang dikatakan As-Subki bahwa salah satu
syarat bolehnya mengamalkan hadits lemah itu ialah apabila hadits itu tidak terlalu lemah,
sedangkan hadits ini seperti dimaklumi adalah sangat lemah.
Dari ucapan As-Subki terdapat isyarat halus bahwa Ibnu Hajar Haitsami tidak akan mengamalkan
hadits dua puluh raka'at tersebut.
Imam Suyuthi, setelah menyebutkan hadits riwayat Ibnu Hiban beliau berkata : "Singkatnya dua
puluh raka'at itu, tidak pernah dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, adapun hadits riwayat
Ibnu Hibban tersebut sudah sesuai dengan hadits 'Aisyah yang menyebutkan bahwa beliau tidak
pernah mengerjakan lebih dari 11 raka'at, baik dalam bulan Ramadhan atau lainnya, sebab dalam
riwayat Ibnu Hibban tersebut diterangkan bahwa beliau shalat Tarawih delapan raka'at. Kemudian
berwitir tiga raka'at, jadi jumlahnya sebelas raka'at".
Indikasi lain yang menunjukkan Nabi shallallhu 'alaihi wasallam tidak pernah mengerjakan lebih
dari sebelas raka'at adalah karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (menurut kebiasaannya)
apabila mengerjakan sesuatu amalan, maka ia kerjakan dengan tetap, seperti misalnya mengqadha'
dua raka'at ba'diyah Zhuhur setelah shalat Ashar, shalat ini beliau kerjakan dengan tetap, meskipun
kejadiannya hanya sekali.
Berdasarkan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa Imam Suyuthi cenderung memilih sebelas
raka'at dan sekaligus menolak yang dua puluh raka'at karena kelemahan riwayatnya.
I'TIKAF
Definisi I'tikaf
I'tikaaf berasal dari kata : 'AKAFA - YA'KIFU - WAYA'KUFU - 'UKUUFAN.
I'tikaaf menurut bahasa ialah "menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa
kebaikan atau kejahatan". Allah berfirman: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun
beribadat kepadanya ?" (QS 21:52).
Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah: seseorang tinggal/menetap di masjid dengan
tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan shifat/cara tertentu. (Lihat Syarah Muslim,
8:66;Fathul Baari 4:271. Muhalla 5:179, masalah No. 624).
Disyariatkannya
Para Ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam dan Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam selalu mengerjakan sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.
"Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: "Adalah
Nabishallallahu 'alaihi wasallam, biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan,
sampai beliau wafat kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf sepeninggalnya". (Hadist
riwayat Bukhari 2:255. Fathul Baari 4:271 nomor 2462. Ahmad 6:292 dan Baihaqy 4:315, 320).
"Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, biasa i'tikaaf pada
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan". (Hadits Shahih riwayat : Ahmad, Bukhari dan Muslim).
"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apabila sudah masuk
sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan), maka beliau menghidupkan malam itu, membangunkan
istrinya dan mengikat kainnya". (Hadits Shahih riwayat Ahmad, Bukhari 2:255, Muslim 3:176, Abu
Dawud No. 1376, Nasa'i 3:218 dan Tirmidzi).
Maksud dari kalimat :
Menghidupkan malamnya, artinya beliau sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat
dan dzikir.
Membangunkan istrinya, ya'ni menyuruh mereka shalat malam/tarawih serta melakukan
ibadah-ibadah lainnya.
Mengikat kainnya, adalah satu kinayah bahwa beliau sungguh-sungguh beribadah dan tidak
bercampur dengan istri-istrinya, karena beliau selalu melakukan iti'kaaf setiap sepuluh
terakhir dari bulan Ramadhan, sedangkan orang yang i'tikaaf tidak boleh bercampur dengan
istrinya. (Lihat Subulus Salam 2:356-357, Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram 3:257-258).
"Aisyah berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersungguh-sungguh pada sepuluh
terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di malam-malamnya". (Hadits Shahih
riwayat : Ahmad dan Muslim 3 : 176).
Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, maka itu pasti
mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya, begitu pula tentang i'tikaaf,
walaupun i'tikaaf itu merupakan taqarrub kepada Allah akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits
pun menyatakan keutamaannya.
Berkata Imam Abu Dawud As-Sijistany: "Saya bertanya kepada Imam Ahmad: "Tahukah engkau
suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf?" Jawab beliau: "Tidak kudapati, kecuali ada sedikit
riwayat, dan riwayat inipun lemah." (Lihat Al-Mughni, 4:455-456 dan Silsilah Ahaadist Dha'ifah dan
Maudhu'-ah No. 518).
Hukum I'tikaf
Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu sunnat dan wajib.
I'tikaaf Sunat. Ialah yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah dan mengharapkan pahala dari pada-Nya, serta mengikuti sunnah
Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam. I'tikaaf seperti ini sangat ditekankan dan lebih utama
dilakukan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setiap bulan Ramadhan sampai beliau wafat.
I'tikaaf Wajib. Ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, adakalanya
dengan nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan wajib bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari
semalam. Atau dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah dengan
menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam. Nadzar ini wajib
dilaksanakan.
"Dari 'Aisyah, ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa
yang bernadzar akan melakukan sesuatu keta'atan kepada Allah hendaklah ia penuhi
nadzarnya itu, dan barangsiapa bernadzar untuk melakukan ma'shiat (kedurhakaan/
kesyirikan) kepada Allah, maka janganlah lakukan ma'syiat itu". (Hadits Shahih riwayat :
Bukhari, Malik, Abu Dawud No. 3289, Nasa'i, Tirmidzi, Darimy 2:184. Ibnu Majah No. 2126, Ahmad
6:36,41,224 dan Baihaqy 19/68 dan Ibnu Jarud No. 934).
'Umar bin Khattab ra, pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:"Ya
Rasulullah, saya pernah bernadzar di zaman jahiliyah akan beri'tikaaf satu malam di Masjid
Haram?" Sabda beliau: "Penuhilah nadzarmu itu !". (Hadist Shahih riwayat : Bukhari 2:256,Fathul
Baari No. 2032 dan Muslim 5:89).
Waktunya
I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan di-iqrarkan seseorang,
maka jika ia bernadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu
hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkannya itu.
Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.
Menurut Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan kebanyakan Ahli Fiqih, i'tikaaf yang sunat tidak ada
batasnya (lihat Bidayatul Mujtahid 1:229). Kata Ibnu Hazm: "Boleh seseorang i'tikaaf siang saja.
Inilah merupakan pendapat Imam Syafi'i dan Abu Sulaiman". (baca Al-Muhalla 5:179-180 masalah
no. 614).
Syarat-syarat I'tikaf
Orang yang i'tikaaf syaratnya ialah:
Seorang Muslim
Mumaiyyiz (sudah baligh).
Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.
Bila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka:
Menurut Ibnul Qoyyim: Puasa sebagai syarat shahnya i'tikaaf dan ini merupakan pendapat
jumhur as-salaf. (lihat Zaadul Ma'ad 2:88)
Menurut Imam Syafi'i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat syahnya i'tikaaf (baca Al-
Muhalla 5:181, masalah No. 625). Kata Imam Nawawi: "Yang afdhal (utama) i'tikaaf dengan
berpuasa dan bila ia i'tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh." (lihat Al-Majmu' Syarhul
Muhadzdzab 6:484). Seandainya ada orang sakit i'tikaaf di masjid maka i'tikaafnya shah.
Rukun-rukun I'tikaf
Niat. Karena tidak shah satu amalan melainkan dengan niat. Allah berfirman: "Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus" (QS. 98:5)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung
pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan
mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya..." (Hadits Shahih riwayat
Bukhari; Fathul Baari 1:9, 6:48).
Tempatnya harus di Masjid. Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala. Mengenai diwajibkannya di masjid berdasarkan firman Allah
Ta'ala:"....tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di
masjid ...."(QS 2:187). Jadi i'tikaaf itu hanya shah di masjid.
Pendapat Fuqaha Mengenai Masjid yang Shah Dipakai Untuk I'tikaaf
Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang shah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada
beberapa pendapat, yaitu:
Sebagian ulama berpendapat bahwa i'tikaaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu: Masjid
Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha. Pendapat ini adalah pendapat Sa'ad bin Al-Musayyab.
Kata Imam Nawawi: "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak
shah".
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa i'tikaaf itu shah
dilakukan di setiap masjid, yang dilaksanakan pada shalat lima waktu dan didirikan jama'ah.
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf itu syah dilaksanakan pada
setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang shah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai
tempat untuk melaksanakan i'tikaaf.
Sesudah membawakan beberapa pendapat, kemudian Imam Nawawi berkata: "I'tikaaf itu shah
dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil.
Sedang dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya". (Lihat Al-Majmu' Syahrul
Muhadzdzab 6:483).
Ibnu Hazm: "I'tikaaf itu shah dan boleh dilakukan di setiap masjid, baik di situ dilaksanakan shalat
Jum'at atau tidak". (Lihat Al-Muhalla 5:193, masalah No. 633).
Kata Abu Bakar al-Jashshash: "Telah terjadi ittifaq diantara ulama Salaf, bahwa diantara syarat
i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan pendapat diantara mereka tentang apakah
masjid-masjid tertentu atau di masjid mana saja (pada umumnya) bila dilihat zhahir firman
Allah:"Sedangkan kamu dalam beri'tikaaf di masjid" (QS 2:187). Ayat ini membolehkan i'tikaaf
di semua masjid berdasarkan keumuman lafadznya, karena itu siapa saja yang mengkhususkan
ma'na ayat itu mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang mengkhususkan hanya masjid-
masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang mengkhususkan hanya
masjid-masjid para Nabi (yaitu Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha). Karena
(pendapat yang mengkhususkan) tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat
tersebut." (Lihat Ahkaamul Qur'an, Al-Jashshash 1:285 dan Rawaai'ul Bayaan Fii Tafsiiri Ayaatil
Ahkam 1:41-215).
Menurut jumhur ulama, tidaklah akan shah bagi seorang wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya
sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah
shah menerangkan bahwa isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, melakukan i'tikaaf di
Masjid Nabawi. (Lihat Fiqhus Sunnah 1:402).
Tentang wanita i'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah tersendiri terpisah dari laki-laki, dan
untuk masa sekarang harus dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita hendak
i'tikaaf, ikhtilath dengan laki-laki di tempat yang sudah semakin banyak fitnah. Adapun soal
bolehnya para ulama membolehkan, dan di usahakan untuk tidak saling pandang-memandang
antara laki-laki dan wanita. (Lihat Al-Mughni 4:464-465, baca Fiqhul Islam syarah Bulughul
Maram 3:260).
Waktu Memulai dan Mengakhiri I'tikaf
Di tulisan bagian pertama sudah disebutkan bahwa i'tikaaf sunnat waktunya tidak terbatas. Maka
bila seseorang telah masuk masjid dan berniat taqarrub kepada Allah dengan tinggal di dalam
masjid beribadah beberapa saat, berarti ia beri'tikaaf sampai ia keluar. Dan jika seseorang berniat
hendak i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka hendaklah ia mulai masuk
masjid sebelum matahari terbenam.
Pendapat yang menerangkan bahwa masuk i'tikaaf sebelum matahari terbenam pada tanggal 20
Ramadhan malam ke 21, adalah pendapat Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad
dalam salah satu pendapatnya. (Lihat Syarah Muslim, 8:68, Majmu' Syahrul
Muhadzdzab 6:492, Fathul Baari 4:277, Al-Mughni 4:489-490 dan Bidayatul Mujtahid 1:230).
Dalil mereka ialah: Riwayat i'tikaaf-nya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di awal Ramadhan,
pertengahan dan akhir Ramadhan, kemudian bersabda: "Barangsiapa yang hendak beri'tikaaf
bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir (dari bulan
Ramadhan) ..." (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2:256 dan Muslim 2:171-172).
"Sepuluh terakhir", maksudnya ialah nama bilangan malam, dan bermula pada malam ke dua puluh
satu atau malam ke dua puluh. (Lihat Fiqhus Sunnah 1:403).
Tentang Hadits 'Aisyah: "Kata 'Aisyah: "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bila hendak i'tikaaf,
beliau shalat shubuh dulu, kemudian masuk ke tempat i'tikaaf ". (Hadist Shahih riwayat Bukhari
2:257 dan Muslim 3:175). Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa permulaan
waktu i'tikaaf adalah di permulaan siang. Ini menurut pendapat Al-Auza'i, Al-Laits dan Ats-Tsauri.
(lihat Nailul Authar 4:296).
Hadits 'Aisyah di atas maksudnya ialah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, masuk ke tempat
yang sudah disediakan untuk i'tikaaf di masjid setelah beliau selesai mengerjakan shalat Shubuh.
Jadi bukan masuk masjidnya ba'da Shubuh. Adapun masuk ke masjid untuk i'tikaaf tetap di awal
malam sebelum terbenam matahari. (Lihat Fiqhus Sunnah 1:403).
Mengenai waktu keluar dari masjid setelah selesai menjalankan i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir
dari bulan Ramadhan, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i waktunya adalah sesudah
matahari terbenam (di akhir Ramadhan). Sedangkan menurut Imam Ahmad disunnahkan ia tinggal
di masjid sampai waktu shalat 'Idul Fitri. Jadi keluar dari masjid ketika ia keluar ke lapangan
mengerjakan shalat 'Id. Akan tetapi menurut mereka boleh pula keluar dari masjid setelah matahari
terbenam. (Lihat Bidayaatul Mujtahid 1:230 dan Al-Mughni 4:490).
Jadi kesimpulan empat Imam sepakat bahwa i'tikaaf berakhir dengan terbenamnya matahari di
akhir Ramadhan.
Kata Ibrahim : "Mereka menganggap sunnat bermalam di masjid pada malam 'Idul Fitri bagi orang
yang beri'tikaaf pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian pagi harinya
langsung pergi ke lapangan (untuk shalat I'dul Fitri)". (Baca Al-Mughni 4:490-491).
Dan orang yang bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau beberapa hari tertentu, atau bermaksud
melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaknya ia memulai i'tikaafnya itu sebelum terbit fajar, dan
keluar dari masjid bila matahari sudah terbenam, baik i'tikaaf itu di bulan Ramadhan maupun di
bulan lainnya. (Lihat Bidayaatul Mujtahid 1:230. Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6:494. Fiqhus
Sunah 1:403-404).
Kata Ibnu Hazm : Orang yang bernadzar hendak i'tikaaf pada satu malam atau beberapa malam
tertentu, atau ia hendak melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia masuk ke masjid sebelum
terbenam matahari, dan keluar dari masjid bila sudah terbitnya fajar. Sebabnya karena permulaan
malam ia saat yang mengiringi terbenamnya matahari, dan ia berakhir dengan terbitnya fajar.
Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya
matahari. Dan seseorang tidak dibebani kewajiban melainkan menurut apa yang telah diikrarkan
dan diniatkannya. (Lihat Al-Muhalla 5:198 masalah No. 636).
Hal-hal yang Sunnat dan Makruh bagi Orang yang I'tikaf
Disunnatkan bagi orang yang beri'tikaaf memperbanyak ibadat sunnat serta menyibukkan diri
dengan shalat berjama'ah lima waktu dan shalat-shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, tasbih, tahmid,
takbir, istigfhar, berdo'a, membaca shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan ibadat-ibadat
lain yang mendekatkan diri kita kepada Allah Ta'ala.
Termasuk juga hal ini disunnatkan menuntut ilmu, membaca/menelaah kitab-kitab tafsir dan
hadits, membaca riwayat para Nabi dan orang-orang shaleh, dan mempelajari kitab-kitab fiqh serta
kitab-kitab yang berisi tentang masalah 'aqidah.
Dimakruhkan bagi orang yang i'tikaaf melakukan hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfa'at,
baik berupa perkataan atau perbuatan, sabda beliau: "Diantara kebaikan Islam seseorang, ialah
ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna". (Hadits riwayat Tirmidzi No. 2419. Ibnu Majah No.
3976 dan di-shahkan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Jami'us Shagir No. 5787).
Dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara, ya'ni: seseorang tidak mau bicara, karena mengira
bahwa hal itu mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Ibnu Abbas berkata: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang khutbah, tampak oleh beliau
seorang laki-laki yang tetap berdiri (di terik matahari). Maka beliau bertanya (kepada para
shahabat) siapakah orang itu? Jawab mereka: "Namanya Abu Israil, ia bernadzar akan terus berdiri,
tidak akan duduk, tidak mau bernaung dan tidak mau berbicara serta akan terus berpuasa." Maka
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Suruhlah ia berbicara, bernaung dan duduk, dan
hendaklah ia meneruskan puasanya". (Hadits Shahih riwayat Bukhari, Abu Dawud No.3300, Ath-
Thahawy Fii-Masykilil Aatsaar. 3:44 dan Baihaqy 10:75).
Hal-hal yang Membatalkan I'tikaf
Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walau hanya sebentar. Keluar dari masjid
akan menjadikan bathal i'tikaafnya, karena tinggal di masjid sebagai rukun i'tikaaf.
Murtad karena bertentangan dengan ma'na ibadah, dan juga berdasarkan firman
Allah:"Seandainya engkau berbuat syirik, maka akan gugurlah amalanmu". (QS 39:35).
Hilang akal disebabkan gila atau mabuk
Haidh
Nifas
Bersetubuh/bersenggama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan janganlah
kamu campuri mereka ketika kamu sedang i'tikaaf di masjid, itulah batas-batas Allah..." (QS
2:187) (Lihat Fiqhus Sunnah 1:406).
Hal-hal yang Dibolehkan Sewaktu I'tikaf
Menyisir rambut, berpangkas, memotong kuku, membersihkan tubuh, memakai pakaian
terbaik dan memakai wangi-wangian.
Keluar untuk sesuatu keperluan yang tidak dapat dielakan.
"Dari 'Aisyah, bahwa ia pernah menyisir rambut Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, padahal ia sedang
haidh, dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang i'tikaaf di masjid, dan 'Aisyah berada di dalam
kamarnya dan kepala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dimasukkan ke kamar 'Aisyah. Dan adalah
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bila sedang i'tikaaf tidak pernah masuk rumah melainkan kalau
untuk menunaikan hajat". (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2:260, 256. Muslim 1:167, Abu Dawud
No. 2467. Tirmidzi. Ibnu Majah No. 1776 dan 1778. Malik. Ibnul Jarud dan Ahmad
6:104,181,235,247,262).
Berkata Ibnul Munzir: "Para Ulama sepakat, bahwa orang yang i'tikaaf boleh keluar dari masjid
(tempat i'tikaaf-nya) untuk keperluan buang air besar atau kencing, karena hal ini merupakan
sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sebab tidak mungkin dilakukan di masjid. Dalam hal ini sama
hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang mengantarnya, maka boleh ia
keluar (sekedarnya)." (Lihat Fiqhus Sunnah 1:405).
'Aisyah juga meriwayatkan bahwa ia tidak menjenguk orang sakit ketika ia sedang i'tikaaf
melainkan hanya sambil lewat saja, misalnya ada orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada si
sakit sambil lewat saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim.
Khatimah
Sebagai khatimah dari tulisan ini, dianjurkan bagi orang-orang yang i'tikaaf pada sepuluh hari
terakhir Ramadhan dan yang tidak i'tikaaf, berusahalah memanfa'atkan kepada Allah, perbanyaklah
baca Al-Qur'an, berdzikir kepada Allah, dan melakukan shalat-shalat sunnat yang diajarkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendapatkan
malam Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan dan mudah-mudahan pula
dosa kita diampunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa yang
berdiri (shalat tahajjud/tarawih), karena iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah,
maka akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu". (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2:252.
Muslim 2:177. Abu Dawud No. 1371. Nasa'i 4:155-158. Darimy, Ibnu Majah No. 1326. Ahmad
2:281,289,408,423).
Dan perbanyak pula baca dzikir di bawah ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang diharapkan
adanya Lailatul Qadar: "ALLAHUMMA INNAKA 'AFUUWUN TUHIBBUL 'AFWA FA' FU
'ANNII" ("Ya Allah ! Sesungguhnya Engkau Maha pemaaf dan suka mema'afkan, maka
ma'afkanlah aku"). (Hadits Shahih riwayat Ahmad 6:171. Ibnu Majah No. 3850. Tirmidzi No. 3580.
Lihat Shahih Tirmidzi No. 2789 dan Shahih Ibnu Majah No. 3105).
Wallahu 'Alamu Bish Shawaab.
Menggapai Lailatul Qadr
Makna Lailatul Qadr
Lailatul Qadr adalah malam diturunkannya al-Quran oleh Allah Ta'ala. Adapun tentang makna
lailatul qadr, ada beberapa pendapat para ulama.
Pertama: maknanya adalah malam keputusan; atau malam penetapan. Dinamakan demikian karena
pada malam itu Allah Ta'ala menetapkan perintah-Nya yang Dia kehendaki, yang berupa kematian,
ajal, rezki dan lainnya sampai malam al-qadr tahun beriktunya. Ini pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah
dan Sa'id bin Jubair.
Kedua: maknanya adalah malam kemuliaan. Dinamakan demikian karena keagungannya, dan
kemuliaannya. Ini pendapat az-Zuhri dan lainnya. Ada juga yang mengatakan dinamakan demikian
karena perbuatan-perbuatan ketaatan pada malam itu memiliki nilai yang agung dan pahala yang
banyak. Abu Bakar al-Warraq berkata: "Dinamakan demikian karena orang yang tidak punya
kemuliaan dan keutamaan akan mendapatkannya, jika dia menghidupkan malam tersebut." Ada
juga yang mengatakan dinamakan demikian karena pada malam itu Allah Ta'ala menurunkan Kitab
(al-Quran) yang memiliki kemuliaan, kepada Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam) yang
memiliki kemuliaan. Pendapat lain menyatakan, karena pada malam itu para malaikat yang
memiliki kemuliaan dan kepentingan turun ke bumi. Pendapat lain menyatakan, karena pada malam
itu Allah Ta'ala menurunkan kebaikan, berkah dan ampunan.
Ketiga: maknanya adalah malam yang sempit. Dinamakan demikian karena pada malam itu bumi
sesak/sempit dengan para malaikat. Ini dinyatakan oleh al-Khalil.
(Lihat semua keterangan di atas dalam Tafsir al-Qurthuby surat al-Qadr).
Keutamaannya
Cukuplah sebagai keutamaannya bahwa lailatul qadr itu lebih baik daripada seribu bulan. Allah
berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam
kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih
baik dari seribu bulan." (QS. al-Qadr 1-3).
Kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah suatu amalan yang dilakukan
pada malam itu lebih baik daripada amalan yang dilakukan seribu bulan yang tidak ada lailatul qadr
padanya. Ini dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, as-Syafi'i, dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, al-
Qurthuby, as-Sa'di dan lainnya dalam surat al-Qadr).
Oleh karena itulah lailatul qadr merupakan malam yang diberkahi. Allah Ta'ala berfirman (yang
artinya): "Haa Miim. Demi Kitab (al-Quran) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami lah yang
memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Yaitu)
urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul
sebagai rahmat dari Rabb-mu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (QS ad-Dukhan 1-6).
Waktunya
Ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa lailatul qadr terjadi pada malam
Ramadhan ke 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. Pendapat terkuat waktunya
adalah pada malam-malam ganjil bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallambersabda: "Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan". (HR.
Bukhari, Muslim no. 1169 dari 'Aisyah).
Dan memang ilmu tentang hal tersebut telah diambil oleh Allah dari Nabi gara-gara kesalahan (yaitu
pertengkaran) yang dilakukan oleh dua laki-laki diantara ummmat beliau. 'Ubadah bin as-Shamit
berkata: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar akan memberitahukan tentang
lailatul qadr, lalu ada dua laki-laki diantara kaum muslimin bertengkar maka beliau
bersabda: "Sesungguhnya aku keluar untuk memberitahukan kalian tentang lailatul qadr.
Tetapi sesungguhnya si Fulan dan si Fulan bertengkar sehingga diangkatlah (ilmu tentang
waktu lailatul qadr). Namun mudah-mudah hal itu lebih baik bagi kalian. Carilah lailatul
qadr pada malam tujuh, sembilan dan lima (yang terakhir)." (HR. al-Bukhari).
Menggapai Keutamaannya
Jika kita telah mengetahui hal-hal di atas, hendaklah kita memperbanyak berbagai amalan ketaatan
pada waktu-waktu di atas. Amalan-amalan itu seperti shalat tarawih, membaca al-Quran, shadaqah,
dzikir berdoa dan lain-lain.
'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika telah
masuk sepuluh akhir Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan isterinya,
bersungguh-sungguh (beribadah) dan mengencangkan sarungnya (tidak menggauli isterinya)." (HR.
Bukhari dan Muslim 1174).
'Aisyah juga pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapat anda jika aku mengetahui waktu lailatul qadr, apa yang aku ucapkan di malam
itu?" Beliau menjawab: "Ucapkanlah: Allaahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu
'annii (wahai Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan, maka
maafkanlah daku)." (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih)
Tanda-tandanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitahukan tanda-tanda lailatul qadr di dalam
beberapa haditsnya, antara lain: Dari Abu Hurairah dia berkata: "Kami memperbincangkan lailatul
qadr di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: "Siapa diantara kalian
yang mengingat ketika bulan muncul, yang bulan itu seperti separuh piring". (HSR. Muslim).
Al-Qadhi 'Iyadh berkata: "Padanya terdapat isyarat bahwa lailatul qadr hanyalah akan terjadi pada
akhir-akhir bulan, karena bulan tidak akan demikian munculnya kecuali pada akhir-akhir bulan".
(Sifat Shaum Nabi, hal. 90).
Ubay bin Ka'b berkata: "Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui kapan lailatul qadr itu, yaitu
malam yang kami diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat padanya.
Yaitu malam yang besok paginya (adalah hari ke) dua puluh tujuh. Adapun tandanya adalah
matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan putih tidak menyilaukan." (HSR. Muslim no.
762, Tirmidzi, Abu Dawud, al-Humaidi dan lainnya).
Ibnu Abbas berkata: "Lailatul Qadr adalah malam yang lembut, sedang, tidak panas, tidak dingin;
matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan lembut, merah". (HR. at-Thayalisi 349, Ibnu
Khuzaimah dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan)
Bid'ah-bid'ah Seputar Lailatul Qadr
Kami sampaikan di sini beberapa contoh bid'ah yang berkaitan dengan lailatul qadr; supaya kita
tidak terjerumus di dalamnya. Bid'ah-bid'ah itu antara lain:
Shalat lailatul qadr. Yakni melakukan shalat khusus berkenaan dengan lailatul qadr.
(LihatMu'jamul Bida' hal. 605 karya Syeikh Raid bin Shabri bin Abi 'Ulfah).
Keyakinan malam pertengahan Ramadhan adalah malam lailatul qadr. (Lihat Mu'jamul
Bida' hal. 605).
Berkumpul di masjid-masjid untuk menyambut lailatul qadr; dengan mendendangkan
qasidah-qasidah dan memukul rebana. (Lihat Mu'jamul Bida' hal. 605).
Membuat shadaqah dengan makanan-makanan khusus (seperti nasi kuning, kue apem, dan
lain-lain) pada malam ke-21 atau 29, lalu dibawa ke tempat kyai/penghulu untuk dido'akan.
Setelah kita mengetahui semua ini, marilah berlomba-lomba di dalam kebaikan untuk meraih
keutamaan lailatul qadr dan meninggalkan berbagai bid'ah yang ada. Wallahul Muwaffaq(semoga
Allah memberi petunjuk dan bimbingan).
ZAKAT
Definisi Zakat
Menurut Bahasa (lughoh)
1. Thoharoh (membersihkan, mensucikan)
Firman Allah Ta'ala: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka." (QS. At-Taubah:103)
2. Namaa' (tumbuh, berkembang)
Firman Allah Ta'ala: "Allah memusnahkan ribaa' dan menyuburkan sedekah" (QS. Al-
Baqarah:276)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Rabsyah Al-An Maary: "Harta tidak
akan berkurang dengan dishodaqohkan" (HR. Tirmidzi, kitab Az Zuhd jilid 4 hal. 487 no. 2325,
kata Imam Tirmidzi: "Hadits ini hasan shohih")
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani: "Tanaman itu telah Zakka, yakni berkembang dan
tumbuh" (Fathul Baari, kitab zakat jilid 3 hal. 262)
3. Al-Barokah
Firman Allah Ta'ala: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan
menggantinya" (QS. Saba' : 39)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairoh radhiallohu anhu: Allah
Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi: "Hai anak Adam berinfaklah niscaya Aku akan berinfak
untukmu" (HR. Bukhori no. 4684, Kitab Tafsir surat Hud 8 : 352; Muslim no. 2305, Kitab Zakat
7:81)
4. Al-Madh (Pujian)
Dalam hadits Abu Hurairoh tentang kisah Zainab Ummul Mukminin: " . . . Bahwa Zainab namanya
adalah Barroh maka dikatakan 'dia memuji dirinya' maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallammenamainya Zainab." (HR. Muslim, Kitab Al Azab Juz 14, hal. 346 no. 5572)
5. Amal Sholeh
Firman Allah Ta'ala: "Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti mereka
dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu...." (QS. al-Kahfi 18:81). Imam
Al-Farro' mengatakan: arti 'yang lebih baik kesuciannya' adalah yang lebih baik amal sholehnya.
(lihat An Nihayah karya Ibnu Al Atsir jilid 2 hal. 307; Lisanul Arab karya Ibnul Mandzur jilid 6 hal
64-65)
1. Pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar: "Memberikan sebagian dari harta yang sejenis yang sudah sampai
nashob selama setahun dan diberikan kepada orang fakir dan semisalnya yang bukan dari Bani
Hasyim dan Bani Mutholib." (Al-Fath 3:262)
2. Pendapat Ibnu Taimiyah: "Memberikan bagian tertentu dari harta yang berkembang jika sudah
sampai nishob untuk keperluan tertentu." (Mausu'ah Fiqh Ibnu Taimiyah 2 : 876; Fatawa 25:8)
3. Pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassaam: "Hak wajib dari harta tertentu, untuk golongan tertentu
pada waktu tertentu." (Taudhihul Ahkam 3:5)
Sedangkan Al-Qur'an Al-Karim telah menyebutkan tentang zakat dengan berbagai ungkapan,
terkadang dengan ungkapan zakat, shodaqoh, infaq/nafaqoh dan al-'afwu.
1. Zakat
Ungkapan ini paling banyak disebutkan bahkan sering digabungkan dengan perintah shalat sampai
diulang dalam 82 ayat (lihat Taudih al akham 3:5).
Firman Allah Ta'ala: "Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-
orang yang ruku" (QS. Al Baqoroh : 43)
2. Shodaqoh
Firman Allah Ta'ala: "Ambillah shodaqoh (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
…" (At Taubah : 103)
3. Infaq/Nafaqoh
Firman Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (yakni keluarkanlah
zakatnya) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu." (QS. Al Baqoroh:267)
4. Al-'Afwu
Firman Allah Ta'ala: "Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: al-'afwu (yang lebih dari keperluan)" (QS. Al Baqoroh:219)
Hukum Menunaikan Zakat
Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan termasuk dari pondasi Islam yang
agung. Maka hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratan.
Dasarnya adalah dari Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'.
Firman Allah Ta'ala: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang
lurus." (QS. Al-Bayyinah :5)
Adapun Ijma', maka kaum muslimin disetiap masa telah ijma' (sepakat) akan wajibnya zakat. Juga
para sahabat telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayarnya dan
menghalalkan darah dan harta mereka karena zakat termasuk dari syi'ar Islam yang agung. (al-
Mughni, karya Ibnu Qudamah 4:5)
Syaikh Abdullah Albassam menerangkan (Taudihul ahkam:3/12): "Para ulama berselisih kapan
diwajibkannya zakat, akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa kewajiban zakat di
tetapkan dalam tiga fase:
a. Zakat diwajibkan secara mutlak tidak ada batasan atau rincian akan tetapi hanya perintah untuk
memberi, memberi makan dan berbuat baik, ini berlangsung ketika sebelum Rasulullahshallallahu
'alaihi wa sallam hijrah. Allah berfirman: "Pada harta-harta mereka ada hak tertentu untuk
orang yang meminta dan yang tidak meminta" (QS. adz-Dzariyat 51:19). Didalam surat Fushilat
Allah mengancam yang tidak mengeluarkan zakat: "Orang-orang yang tidak mengeluarkan
zakat...." (QS 41:7). Dalam surat Al-Mudatsir Allah memasukkan orang-orang yang tidak memberi
makan orang miskin sebagai al-mujrimun (orang-orang yang berdosa): "... dan tidak memberi
makan orang miskin". (QS. Al-Mudatsir : 44)
b. Tahun kedua Hijriyah diterangkanlah hukum zakat dengan rinci, diterangkan harta yang wajib
dizakati dan kadar nishabnya serta jumlah yang harus dikeluarkan sebagai zakat.
c. Tahun kesembilan Hijriyah ketika manusia masuk Islam dengan berbondong-bondong dan
semakin luas daerah Islam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim petugas-petugas untuk
mengambil zakat .
Hikmah Disyariatkannya Zakat
Menguatkan rasa kasih sayang antara si kaya dengan si miskin. Hal ini dikarenakan fitrahnya
jiwa manusia adalah senang terhadap orang yang berbuat kebaikan (berjasa kepadanya).
Mensucikan dan membersihkan jiwa serta menjauhkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil.
Membiasakan seorang muslim untuk memiliki sifat belas kasihan.
Memperoleh keberkahan, tambahan dan ganti yang lebih baik dari Allah Ta'ala.
Sebagai ibadah kepada Allah Ta'ala
(lihat Risalah Fi Zakat oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).
Anjuran Menunaikan Zakat
Firman Allah Ta'ala: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka" (QS. At Taubah : 103)
Ayat ini mengajarkan untuk mengambil sedekah dari hartanya kaum mu'minin, baik itu shodaqoh
yang ditentukan (zakat) ataupun yang tidak ditentukan (tathowa) demi untuk membersihkan
mereka dari kotornya kebakhilan dan rakus. Juga mensucikan mereka dari kehinaan dan
kerendahan dari mengambil dan makan haknya orang fakir. Dan juga untuk menumbuh
kembangkan harta mereka dan mengangkatnya dengan kebaikan dan keberkahan akhlak dan
mu'amalah sampai mengantarkan mereka menjadi orang yang berhak mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Firman Allah Ta'ala: "Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian." (QS. Adz-Dzariyat : 19)
Dalam ayat ini Allah Ta'ala telah mengkhususkan sifat-sifat yang mulia dengan berbuat baik. Dan
kebaikan mereka nampak jelas dari menegakkan shalat malam, memohon ampun di waktu malam
dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana kebaikan mereka yang nampak
jelas dalam memberi dan menunaikan haknya orang-orang fakir demi kasih sayang dan rohmah
bagi mereka.
Firman Allah Ta'ala: "(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat." (QS. Al Hajj:41)
Allah telah menjanjikan dengan menunaikan zakat merupakan tujuan untuk bisa tegak dan kokoh di
muka bumi ini.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tiga perkara yang aku bersumpah atas tiga
perkara tersebut dan menceritakan kepada kalian maka jagalah : Tidak akan berkurang
harta yang dishodaqohkan dan tidak seorang hamba dianiaya dengan satu kedholiman
kemudian dia bersabar (atas kedholiman) kecuali Allah akan menambahkan baginya dengan
kemuliaan. Dan tidaklah seorang hamba membuka pintu meminta-minta kecuali Allah akan
membaginya pintu kefakiran." (Turmudzi Kitab Az-Zuhd 4:487(2325) dari hadits Abi Habsyah)
Dari masih banyak hadits-hadits tentang anjuran untuk menunaikan zakat serta keutamaan-
keutamaannya.
Ancaman Bagi yang Tidak Menunaikan Zakat
Telah banyak dalil-dalil baik itu dari Al-Kitab ataupun As-Sunnah tentang ancaman keras bagi orang
yang bakhil dengan zakat dan enggan untuk mengeluarkannya.
Firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka
jahanam lalu dibakar dengannya dahi mereka lambung dan punggung mereka (lalu
dikatakan) kepada mereka :"Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu" (QS. At Taubah : 34-35).
Firman Allah Ta'ala: "Sekali-sekali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka
bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat." (QS. Ali Imron : 180)
Oleh karenanya harta yang tidak ditunaikan zakatnya maka itu termasuk harta simpanan yang
pemiliknya akan disiksa dengannya pada hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam: "Tidaklah seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak
ditunaikan haknya, apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batu-batu yang lebar
dari neraka kemudian dia akan dipanggang di atas batu-batu itu di dalam neraka jahannam
kemudian disetrika perut, dahi dan punggungnya. Setiap kali sudah dingin maka akan
dikembalikan seperti semula yang satu hari adalah sama dengan 50.000 tahun sampai
diputuskan perkaranya diantara manusia maka dia akan melihat jalannya, apakah ke surga
atau neraka." (HR. Muslim Kitab Zakat 7:67 no. 2287 dari hadits Abu Hurairah)
Juga sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain: "Barang siapa yang Allah telah berikan
harta kepadanya kemudian dia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti
hartanya akan berujud ular yang botak yang mempunyai dua titik hitam diatas kepalanya
yang mengalunginya kemudian mengambil dengan kedua sisi mulutnya sambil berkata:
"Aku adalah simpananmu, aku adalah hartamu". Kemudian beliau membaca ayat: "Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah Allah berikan kepada mereka
dari karuniaNya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya bahwa
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta-harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat." (HR. Bukhori Kitab Zakat 3:268 no.1403 dari
hadits abu Hurairah; Muslim Kitab Zakat 7:74 no. 2294)
Hukum bagi yang Orang Tidak Mau Bayar Zakat
Dalam hal ini ada beberapa kriteria dari orang-orang yang tidak mau membayar zakat :
1. Seorang yang tidak mau membayar zakat tapi masih meyakini akan wajibnya.
Para ulama menghukumi bahwa pelakunya berdosa dan tidak mengeluarkannya dari keislamannya.
Kepada penguasa (hakim) agar memaksa pelakunya supaya mau membayar zakat serta
memberikan hukuman pelajaran kepadanya (tahdzir). Dan mengambil hak zakat dari orang
tersebut sesuai dengan kewajibannya, tidak boleh lebih. Kecuali pendapatnya Imam Ahmad dan
Imam Syafi'i (pendapat lama) maka mengambilnya separuh dari hartanya sebagai hukuman
baginya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "… Dan barang siapa yang
tidak mau menunaikannya (zakat) maka kami akan mengambilnya dan separuh hartanya adalah
hak dari hak-hak wajib bagi Tuhan kami, tidak halal bagi keluarga Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam darinya sedikitpun." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, Hakim, Baihaqi dari Bahz bin Hakim
dari bapaknya dari kakeknya).
Adapun Ibnu Taimiyah menghukumi orang yang seperti itu adalah kafir dalam batinnya, walaupun
secara dzahir tidak dikafirkan, akan tetapi disikapi seperti sikapnya orang-orang murtad yang
diberi kesempatan bertaubat tiga kali, kalau tidak mau bertaubat maka hukumnya dibunuh.
(lihatFatawa 7:611, Mausu'ah Fiqh Ibnu Taimiyah 2:877; al-Mughni 4:67; majalah Buhuts Islamiyah
Darul Ifta' edisi 58 tahun 1420H hal. 11; Fiqh Sunnah 1:403)
2. Kalau yang tidak mau membayar zakat itu sekelompok orang yang mereka memiliki kekuatan
tapi masih
berkeyakinan akan wajibnya.
Para ulama menghukumi agar diperangi sampai mereka mau membayar zakat sebagaimana
kisahnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dalam memerangi orang-orang yang tidak mau
membayar zakat. (HR. Jama'ah dari Abu Hurairah). Juga haditsnya Ibnu Umar radhiyallahu
'anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku telah diperintahkan
untuk memerangi manusia supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan (bersaksi) bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka
menegakkan sholat dan menunaikan zakat, maka kalau mereka telah mengerjakannya
terjagalah dari darah dan harta mereka kecuali haknya Islam dan hisab mereka di sisi
Allah." (HR. Bukhari & Muslim)
Berkata Ibnu Qudamah: "Barang siapa yang mengingkari karena jahil (tidak tahu) atau dia
termasuk orang yang tidak tahu karena baru masuk Islam atau dia tinggal di daerah
terpencil yang jauh dari daerah yang mengetahui akan wajibnya maka tidak dikafirkan.
Adapun kalau dia seorang muslim yang tinggal di negeri Islam di tengah-tengah ahli ilmu
maka hukumnya murtad." (al-Mughni 4:6-7)
Zakat Maal
Zakat maal (harta) adalah untuk mensucikan harta dari hal-hal yang haram (harta haram) dan
menjaga harta dari haknya orang-orang fakir dan yang lainnya.
Firman Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk kemudian kamu nafkahkan
dari padanya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
terpuji." (Al-Baqarah : 267)
Syarat-syarat yang Wajib Mengeluarkan Zakat
1. Muslim. Karena zakat merupakan salah satu rukun Islam maka tidak diwajibkan kepada orang
kafir.
Firman Allah Ta'ala: "Dan kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan
lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqon : 23)
2. Merdeka. Zakat tidak diwajibkan kepada budak dan hamba sahaya karena hartanya adalah milik
tuannya maka tuannyalah yang menzakatinya.
3. Dewasa (baligh). Zakat hanya diwajibkan kepada orang dewasa tidak kepada anak-anak yang
belum baligh. Akan tetapi jika anak-anak itu memiliki harta yang sudah sampai nishob dan satu
tahun maka walinya atau orang yang mengurusinya wajib untuk mengeluarkan zakat dengan niat
untuk mereka. Hal ini karena keumuman hadits Muadz di atas (lihat Risalah Zakat oleh Syaikh bin
Baz hal 13-14).
4. Berakal. Orang yang tidak berakal kedudukannya sama dengan anak-anak, maka walinya yang
dibebani untuk membayar zakat (lihat Risalah Zakat oleh Syaikh bin Baz hal 13-14).
Syarat-syarat Harta yang Wajib Dizakati
1. Milik Penuh (al-Milhuttaan)
Yaitu harta tersebut berada dalam pengawasan dan kekuasaan secara khusus dimana pemiliknya
berkuasa untuk mengusahakan dan mengambil manfaat daripadanya. Oleh karenanya tidak
diwajibkan atas zakat yang diwaqafkan ke pihak masyarakat umum, harta yang dicuri, harta yang
dirampas sampai bisa kembali ke tangannya, harta yang dibelinya tapi belum mampu
mengambilnya dari penjual, juga harta mukatabah yakni harta budak yang mau membeli dirinya
karena seorang Mukatab mampu untuk mengurusi dirinya (lihat majalah Buhuts hal. 13).
Maka barang siapa yang memiliki harta dalam kepemilikan penuh maka wajib atasnya zakat.
Kepemilikan itu bisa berupa hasil usahanya, sewaan, pemberian negara, pinjaman atau waqaf untuk
dirinya. (Fatawa 25:52)
Harta yang ada dalam kekuasaan seseorang dan tidak diketahui pemiliknya secara tertentu maka
hukumnya adalah seperti milik penuh yang wajib dizakati. Seperti harta yang ada di tangan para
perampas. (Fatawa 30:325)
4. Cukup Nishob
Nishob artinya: harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan syari'at. Maka
harta yang belum mencapai jumlah tertentu tersebut terbebas dari kewajiban membayar zakat. Dan
As-Sunnah telah menjelaskan dan merinci batas nishob dari macam harta yang ada.
Kalau memiliki berbagai macam harta yang terkumpul dalam satu jenis dan masing-masing dari
macam-macam harta itu belum sampai nishob maka untuk menyempurnakan nishobnya adalah
dengan menggabungkan macam-macam harta yang satu jenis tersebut. Misalkan Wamh dengan
sya'ir (jenis gandum), kerbau dengan sapi, kambing kacang dengan biri-biri, dinar dengan dirham,
mata uang dengan harta perniagaan. (Fatawa 25:13,15,24)
Tidak disyaratkan sampainya nishob di satu negeri saja, bahkan kalau nishobnya ada di berbagai
negeri maka wajib dizakati. Kalau hilangnya nishob sebelum mengeluarkan zakat bukan karena
keteledoran pemiliknya maka tidak wajib membayar zakat.
Untuk menyempurnakan nishob harta syuroka' (harta gabungan) tidak boleh digabung bahkan
wajib membayar zakat atas masing-masing yang berserikat kalau bagiannya sudah sampai nishob
kalau bagiannya belum sampai nishob maka tidak wajib zakat. (Fatawa : 23).
5. Berkembang (namaa')
Zakat hanya diwajibkan pada harta yang berkembang yakni bisa bertambah dengan diusahakan.
Dan harta yang berkembang ini dibagi menjadi dua macam:
1. Yang berkembang dengan sendirinya seperti binatang ternak dan tanaman
2. Yang berkembang dengan berubah dzatnya dan diusahakan seperti mata uang yang berkembang
dengan diniagakan dan yang semisalnya. (Fatawa 25:8).
Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: "Al-Wazir berkata: "Telah ijma' para ulama bahwa tidak ada
zakat pada rumah yang ditempati, pakaian yang digunakan, perabot rumah tangga, hamba sahaya,
senjata yang biasa digunakan, berdasarkan hadits yang terdapat falam shahihain: "Tidak wajib
atas seorang muslim mengeluarkan zakat atas hamba dan kudanya". Saya katakan: "Ini adalah
contoh batasan zakat yakni harta itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali yang dipersiapkan
untuk berkembang, adapun yang tetap yang tidak mungkin berkembang karena hanya untuk
digunakan pemiliknya tidaklah wajib zakat" (Taudihul ahkam:3/28)
Adapun yang keluar dari bumi seperti biji-bijian, buah-buahan maka zakatnya ketika panen dan
tidak disyari'atkan menunggu haul (satu tahun).
Firman Allah Ta'ala: "Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya dengan membayar
zakatnya." (Al An'aam : 14)
Maka barang siapa memiliki emas yang sudah sampai nishob dan telah berlalu selama satu tahun
maka wajib zakat. Jika memiliki harta yang belum sampai nishob kemudian memiliki yang bisa
menyempurnakan nishob maka haulnya dimulai dari memiliki harta yang menyempurnakan nishob.
Jika sampai nishob kemudian beruntung maka keuntungannya itu dihitung dengan modal dasarnya,
tidak perlu dengan haul yang baru. Jika modal dasarnya tidak sampai nishob kemudian ketika genap
satu tahun (haul) mencapai nishob dengan keuntungannya maka menurut pendapatnya Imam Malik
wajib untuk dizakati.
Perlu diketahui bahwa haul (satu tahun) disini adalah tahun qamariyah (hijriyah) sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Nawawi.
Masalah ini (bolehnya menyegerakan pengeluaran zakat) bedasarkan satu riwayat: Dari
Aliradiyallahu'anhu bahwasanya Abbas bin Abdul Muthalib minta ijin untuk menyegerakan
pengeluaran zakatnya sebelum datang haul maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallammemberinya keringanan untuk melakukannya" (HR Tirmidzi dan Hakim dan dihasankan oleh
syaikh Albani).
Jika mengganti nishab satu jenis harta dengan harta yang lain ditengah-tengah hitungan haul, maka
tidak memutus (memotong) hitungan haul tersebut, menurut salah satu pendapat ulama. Contohnya
kalau membeli dengan mata uang senishab dengan senishab dari binatang ternak, sementara nishab
yang pertama (mata uang) belum genap hasilnya, maka hitungan haul binatang ternak didasarkan
pada haul mata uang. (Fatawa 25 : 39)
Masalah: Apakah zakat maal hanya diberikan di bulan ramadhan saja atau apakah telah
ditetapkan waktunya, karena kebanyakan orang kebiasaannya mengeluarkan zakat maal
dibulan ramadhan
Syaikh Muqbil menyatakan ketika menjawab masalah yang hampir sama dengan ini (Ijabatus
Sail:121): Allah Ta'ala berfirman: "Keluarkanlah haqnya (zakatnya) ketika hari panen" (QS al-
An'am : 141). Ketika tanaman di panen maka wajib ketika itu mengeluarkan zakatnya. Demikian
juga emas dan perak yang telah sampai haulnya, jika haulnya bertepatan dengan bulan Ramadhan
disalurkan ketika itu tapi jika datangnya haul tidak bulan Ramadhan dikeluarkan ketika itu juga
(jangan menunggu bulan Ramadhan-pent). Telah diterangkan bahwa Rasulullahshallallahu 'alaihi
wa sallam pada suatu hari pernah terburu-buru masuk kerumahnya ketika selesai shalat ketika
keluar beliau melihat para shahabatnya sedang terheran-heran maka beliau bersabda: "Aku
meninggalkan sepotong emas dirumah" . . .
Seyogyanya bagi seorang muslim bersegera menunaikan zakatnya karena mungkin saja datang
kepadanya kematian, atau akan tergambarkan berniat jelek, atau tertimpa kebangkrutan,
Demikianlah, maka harus lah ia bersegera mengeluarkan zakat secepat-cepatnya karena mungki
orang fakir sedang membutuhkannya maka (kita tegaskan kembali -pent) waktu mengeluarkan
zakat adalah ketika sudah datang haul atau waktu panen.
Seyogyanya juga memilih orang yang dianggap bisa bermanfaat bagi Islam dan muslimin seperti
para penuntut ilmu syar'i. Ada seorang yang baik mencari-cari para penuntut ilmu syar'i, mereka
memang membutuhkan. Maka hendaklah cari para penuntut ilmu syar'i. Aku kenal beberapa orang
yang telah selesai dari belajar mereka dan Insya Allah pahalanya besar tidak akan terputus dan
tidak akan disia-siakan Allah.
Hendaknya mencari para penuntut ilmu syar'i dan mendorong mereka untuk tenang dalam
menuntut ilmu.
Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat
Mustahiq zakat ada delapan golongan, Allah membatasinya dalam ayat: "Sesungguhnya zakat itu
bagi orang-orang fakir miskin dan mengurusinya serta orang yang sedang ditundukkan
hatinya, budak-budak orang yang punya hutang dan yang yang berjuang dijalan Allah serta
ibnu sabil kewajiban dari Allah dan Allah Maha Tahu dan Bijaksana."(QS. at-Taubah : 60)
1. Fakir, dan
2. Miskin
Mereka adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang mencukupi mereka. Ukuran orang itu
cukup adalah ukuran yang lebih dari kebutuhan pokoknya bersama istri dan anaknya berupa
makan, minum, pakaian, tempat tidur dan perkara primer lainnya.
Barang siapa yang tidak bisa mencukupi ukuran ini maka ia adalah faqir, dalam hadits
Muadz:"(Zakat) diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang faqir", hadits ini
menerangkan yang diambil zakatnya adalah orang kaya yakni yang memiliki harta sampai nishab
zakat, adapun orang yang diberi adalah orang faqir yaitu yang tidak memiliki harta semisal orang
kaya.
Tidak ada perbedaan antara faqir dan miskin dalam masalah kebutuhan dan kemiskinan serta dari
sisi berhak menerima zakat.
Kadar harta yang disalurkan kepada faqir dan miskin. Diantara tujuan disyariatkannya zakat
adalah mencukupi orang faqir dan memenuhi kebutuhannya, maka keduanya diberi harta zakat
(shadaqah) sekadar mengeluarkan dia dari kefaqiran menjadi cukup.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tiga golongan haq atas Allah
untuk menolongnya: mujahid yang berperang di jalan Allah, mukatib yang ingin menunaikan
perjanjiannya, orang yang menikah mengharapkan menjaga kehormatannya."
6. Gharimun
Yaitu mereka yang menanggung hutang dan tidak mampu membayarnya.
"Barang siapa yang membantu persiapan oarang yang berjihad maka ia telah berjihad,
barang siapa yang mengurusi keuarga muahidin dengan baik maka ia telah berjihad"
"Shadaqah yang paling afdhal adalah memberi naungan bagi yang sedang berjihad, memberi
pembantu untuk membantu mujahidin serta meminjamkan onta pejantan"
8. Ibnu Sabil
Para ulama telah sepakat bahwa seorang yang terputus perjalanan dari ngerinya diberi bagian
shadaqah (zakat), untuk membantu mewujudkan tujuannya. Para ulama mensyaratkan safarnya
adalah untuk untuk ketaatan bukan untuk maksiat.
Masalah : Bolehkah memberikan zakat kepada satu golongan mustahik saja?
Berkata pengarang Raudun Nadiyah: "Adapun memberikan (menyalurkan) zakat kepada satu
gongan mustahiq saja merupakan masalah yang paling pantas untuk dibahas."
"Kesimpulannya: Bahwasanya Allah Subhanahu waTa'ala telah mentapkan zakat itu khusus untuk
delapan golongan, tidak boleh diberikan kepada selain mereka. Pengkhususan bagi mereka itu tidak
mengharuskan untuk membagi hasil zakat kepada semua golongan mustahiq sama rata…"
Beliau menyatakan juga: "....kalau seseorang wajib bayar zakat dan ia mengeluarkannya untuk
semua golongan mustahiq maka ia telah menjalankan perintah Allah.''
Orang-orang yang Diharamkan Menerima Zakat
Setelah kita ketahui mustahiq (penerima zakat/shadaqah) yang telah ditetapkan Allah, sekarang
akan kita sebutkan orang-orang yang tidak boleh menerima zakat dan tidak boleh menerimanya,
mereka adalah:
1. Orang-orang kafir dan mulhid.
Dalam hadits Muadz: "(Zakat) itu diambil dari orang kaya mereka dan di bagikan kepada
orang miskinnya" yakni: diambil dari orang kaya muslimin dan diberikan kepada orang faqir yang
muslim.
Ibnul Mundzir berkata: "Telah ijma' ahlul ilmu yang kami hafal ilmunya bahwa seorang kafir
dzimmitidak diberi zakat maal sedikitpun."
2. Bani Hasyim
Yang dimaksud disini adalah keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, keluarga
Abbas serta keluarga Harits.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk
keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia."
Hasan (cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) radiallahu 'anhu mengambil korma shadaqah,
maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Kuh, kuh (supaya Hasan
membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah." (Muttafaq alaih)
4. Istri
Para ulama telah ijma' bahwa seseorang tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya, hal ini
dikarenakan dia wajib menafkahi istrinya, sehingga tidak butuh lagi zakat, seperti dua orang tua,
kecuali kalau dia terlilit hutang maka diberi dari bagian gharimin untuk melunasi utangnya.
Zakat Fithr
Berkata Ibnul Atsir: "Zakat fitrah (fithr) adalah untuk mensucikan badan" (An Nihayah 2:307)
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani menukil perkataan Abu Nu'aim: "Disandarkan shodaqoh
(zakat) kepada fithr (berbuka) disebabkan karena wajibnya untuk berbuka dari bulan Ramadhan."
Adapun pendapatnya Ibnu Qutaibah: "Yang dimaksud Zakat Fitrah adalah zakat jiwa, istilah itu di
ambil dari kata fitrah yang merupakan asal dari kejadian." Pendapat ini dilemahkan oleh Al-Hafidz
Ibnu Hajar dan yang benar adalah pendapat yang pertama. (lihat Fathul Baari 3:367)
Sebagian ahlul ilmi menyatakan bahwa zakat fitri telah mansukh (dihapus) oleh hadits Qais bin
Sa'ad bin Ubadah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallammemerintahkan kami dengan shadaqah fitri sebelum diturunkannya (kewajiban) zakat dan
tatkala diturunkan (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang
kami, tapi kami mengerjakannya (mengeluarkan zakat fitri)."
Sebagian ahlul ilmi mewajibkannya pada hamba yang kafir karena hadits Abu Hurairahradhiallahu
'anhu: "Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithr" (Riwayat Muslim (982))
Hadits ini umum sedangkan hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu
hadits umum. Yang lain berkata: "Tidak wajib atas orang puasa karena hadits Ibnu
Abbasradhiallahu 'anhuma: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithr pensuci
bagi yang puasa dari perbuatan sia-sia, jelek dan makanan bagi kaum miskin." (Telah lewat
takhrijnya)
Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithr wajib juga atas janin, tapi kami tidak menemukan dalil
akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut kecil atau besar, baik menurut masyarakat ataupun
istilah.
Macam jenis zakat fithr
Zakat fitri dikeluarkan berupa satu shaa' gandum, satu shaa' korma, satu shaa' susu, satu shaa'
anggur kering atau salt, karena hadits Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu: "Kami mengeluarkan
zakat pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam satu shaa' makanan, satu shaa' gandum,
satu shaa' korma, satu shaa' susu kering, satu shaa' anggur kering," (Riwayat Bukhari 3/294 dan
Muslim 985)
Ternyata dalam dua hadits ini, tidak kita dapati penyebutan beras atau sagu sebagai bahan makanan
pokok di negeri ini. Sehingga apakah kita harus mencari bahan-bahan yang tersebut dalam dua
hadits di atas untuk membayar zakat fithri kita?
Pendapat yang paling masyhur di dalam madzhab Hanbali (madzhabnya pengikut Imam Ahmad
ibnu Hanbal) adalah pendapat bahwa membayar zakat dengan bahan-bahan selain yang disebutkan
dalam dua hadits di atas adalah tidak sah. Akan tetapi pendapat ini, wallahu a'lam, adalah pendapat
yang marjuh/lemah. Sebab dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Sa'id Al-Khudry mengatakan: "Kami (para sahabat Nabi) memberikan zakat fithri di masa
Nabi shalallahu 'alaihi wassalam berupa satu sha' makanan." Abu Sa'id Al-Khudry berkata: "Dan
makanan kami pada saat itu adalah gandum, anggur kering, dan aqith."
Riwayat ini menunjukkan bahwa makanan yang dibayarkan adalah makanan pokok yang paling
banyak dibutuhkan oleh penduduk suatu negeri. Dan ini adalah pendapat ulama dari madzhab
Malikiyyah dan Syafi'i dan diriwayatkan pula dari Imam Ahmad, serta dibenarkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi'iy rahimahullah ta'ala.
Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman ibnu Shalih Al-Bassam dalam Taisirul 'Allam (keterangan beliau
terhadap kitab Umdatul Ahkam I/404) mengatakan: "Bahan makanan yang paling utama untuk
zakat fithri (dari bahan-bahan makanan yang ada) adalah bahan makanan pokok yang paling
dibutuhkan oleh kaum muslimin (faqir dan miskin) setempat."
Ukuran Zakat Fithr
Shaa' yang teranggap adalah shaa'-nya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu
Umarradhiallahu 'anhuma: "Timbangan-timbangan pedagang gandum memakai takaran orang
Madinah." (Riwayat Abu Dawud 2340, Nawawi 7/281,Baihaqi 6/31 dari Ibnu Umar.......
diriwayatkan pula oleh Baihaqi 2/161 dari jalan lain dari Ali. Hadits Ali, munqathi juga ada jalan lagi
mauquf dari Ibnu Umar, dalam Ibnu Abi Syaibah Mushannaf 4/37 dengan sanad shahih, hingga
dengan jalan-jalan ini jadi hasan.)
Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa
ukuran (takaran) 1 sha' adalah sha' nabawy (seukuran 4 mud yang ditakar dengan dua tangan
Nabi shalallahu 'alaihi wassalam). Dan apabila dikonversikan ke satuan timbangan (berat) maka 1
sha' nabawy setara dengan 2040 (dua ribu empat puluh) gram atau 2,04 kg.Wallahu a'lam.
Bolehkah menggantikan bahan pokok dengan uang yang senilai?
Al-Imam An-Nawawy menukilkan dalam Syarah Muslim VII/53 bahwa seluruh ulama (kecuali Abu
Hanifah) tidak membolehkan zakat fithri yang dibayarkan dengan uang. Dan inilah yang rajih (kuat)
berdasarkan beberapa hal. Pertama; Hadits tentang zakat fithri menunjukkan bahwa
Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam mensyariatkan zakat ini untuk ditunaikan dalam bentuk
makanan.Kedua; Amalan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan sahabatnya menunjukkan
bahwa mereka selalu menunaikan zakat ini berupa makanan, padahal kita mengetahui bahwa di
masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun telah beredar uang dinar dan dirham. Namun
beliau dan para sahabatnya tetap menunaikan zakat dengan bahan makanan, tidak dengan dinar
dan dirham.
Siapa yang harus dikeluarkan zakatnya
Setiap kaum muslimin (laki-laki dan perempuan) harus membayar zakatnya masing-masing jika dia
memiliki kemampuan untuk membayarnya. Sehingga seorang wanita atau anak kecil yang memiliki
harta harus menunaikan dengan hartanya. Adapun bila dia tidak memiliki harta maka yang harus
membayar adalah orang yang menanggung nafkahnya kalau dia memiliki sesuatu yang lebih dari
apa yang harus ia nafkahkan kepada orang-orang yang berada di bawah tanggungannya pada
malam Ied dan esoknya.
"Kami diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluarkan) shadaqah fitri
atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan seorang hamba dari orang-orang yang
membekalinya." (Dikeluarkan oleh Ad-Daraqutni 2/141 dan Al-Baihaqi 4/161 dari Ibnu Umar
dengan sanad yang lemah. Dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqi 4/161 dari jalan lain dari Ali, dan
sanadnya terputus. Tetapi punya jalan yang sampai kepada Ibnu Umar, pada Ibnu Abi Syaibah di
dalam Al-Mushannaf 4/37 dengan sanad yang SHAHIH maka hadits tersebut dengan beberapa jalan
menjadi HASAN)
Bila dia tidak memiliki sesuatu kecuali apa yang harus dia nafkahkan untuk tanggungannya maka
tidaklah wajib baginya untuk membayar, sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Adapun
hamba sahaya, maka wajib bagi tuannya untuk membayar zakat budak tersebut berdasarkan hadits
dari Abu Hurairah: "Tidak ada kewajiban untuk membayarkan shodaqoh seorang hamba sahaya
kecuali zakat fithri." (HR. Muslim).
Kepada siapa disalurkannya
Dan zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya dan mereka
adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma:
"Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri sebagai pembersih (diri) bagi
yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagi makanan bagi orang-orang
miskin." (Telah lewat takhrijnya)
Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana disebutkan dalam
kitabnyaMajmu' Fatawa II/71-78 serta Ibnul Qoyyim dalam kitab beliau Zadul Ma'ad II/44.
Dan sebagian Ahlul Ilmi berpendapat bahwa zakat fitri diberikan kepada delapan golongan dan
(pendapat) ini tidak ada dalilnya. Sebagian ulama menganggap bahwa zakat fithri disalurkan
kepada 8 golongan. Mereka meng-qiyas-kannya dengan zakat maal yang memang diberikan kepada
8 golongan sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 60.
Namun qiyas ini tidaklah dibenarkan. Karena dalil dari Al-Qur'an ini adalah dalil yang bersifat
umum. Sedangkan untuk zakat fithri adalah dalil khusus yaitu hadits Ibnu Abbas yang telah disebut
di atas.
Dan termasuk dari (amalan) sunnah jika ada seseorang yang mengumpulkan zakat tersebut (untuk
dibagikan kepada yang berhak -pent). Sungguh Nabi telah mewakilkan kepada Abu
Hurairahradhiallahu'anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhabarkan
kepada aku agar aku menjaga zakat Ramadhan." (Dikeluarkan oleh Bukhari 4/396).
Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma mengeluarkan zakat kepada orang-
orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintahan)
untuk mengumpulkannya dan hal tersebut (dilakukan) satu hari atau dua hari sebelum 'Iedul fitri.
Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/83) dari jalan Abdul Warits dari Ayyub: "Aku katakan:
"Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu shaa'?" Berkata Ayyub: "Apabila petugas telah duduk
(bertugas)". Aku katakan: "Kapankah petugas itu mulai bertugas?" Beliau menjawab: "Satu hari atau
dua hari sebelum 'Iedul fitri."
Waktu Penunaian zakat
Zakat fitri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju shalat ied dan tidak boleh
diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya kecuali satu hari atau dua hari (sebelum
'Ied). Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam memerintahkan kaum muslimin untuk membayarkan zakatnya sebelum keluarnya
mereka untuk menjalankan shalat Ied."
Adapun memajukannya satu atau dua hari sebelum Iedul Fithri, maka hal ini diperbolehkan,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan riwayat dari Al-Bukhari dari Ibnu
Umar radiyallahu ‘anhu. Dan Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu meriwayatkan suatu hadits bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: "Barangsiapa menunaikan zakat fithri sebelum
shalat ied maka ia adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya
setelah dilakasanakan shalat iedul fithri maka ia dianggap sebagai salah satu jenis shodaqoh
saja dan zakatnya tidak diterima." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lainnya dengan sanad yang
hasan).
Hikmah zakat fithr
Allah Ta'ala mewajibkan zakat fithr sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari
(perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi
(kehidupan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu
'anhuma yang telah lalu. (Lihat Sifat Puasa Nabi karya syaikh Salim Al-Hilali hal:101- 107)
Udzur, Qadha' dan Kaffarat
Udzur (halangan) yang membolehkan orang tidak berpuasa
Ada beberapa golongan yang boleh tidak berpuasa karena halangan tertentu diantaranya:
1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini
disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia. Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
berfirman (yang artinya): “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka)
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain.
Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-
Baqarah:185].
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Apakah boleh
aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya): “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu
mau" [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku pernah melakukan safar bersama
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang berpuasa tidak mencela
yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa" [Hadits Riwayat
Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun
mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang
umum, seperti sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):“Sesungguhnya Allah
menyukai didatanginya (diamalkan) rukhsah (keringanan) yang Dia berikan, sebagaimana
Dia membenci orang yang melakukan maksiat" [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban
2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya): “.... sebagaimana Allah menyukai diamalkannya
perkara-perkara yang diwajibkan" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani
dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz
ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam meng-qadha' dan
menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan
dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu. "Para sahabat
berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan
barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)" [Hadits Riwayat
Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-
Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh
Al-Ijili dan lainnya.]
Peringatan:
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan
berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau
berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini.
Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui
perkara ghaib dan nyata (yang artinya): “Dan tidaklah Tuhanmu lupa" [Maryam : 64].
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya): “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah :
185]
Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu
tujuan syari'at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari'atkan agama ini adalah pencipta zaman,
tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi
mereka. Allah berfirman (yang artinya): “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui
(yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?" [Al-
Mulk : 14].
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan
suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang
mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang
artinya): “Kami dengar dan kami taat, (dan mereka berdo'a): "Ampunilah kami yang Tuhan
kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali" [Al-Baqarah : 285]
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi
orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa
berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau
dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a'alam.
3. Haid dan nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya
harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang
penjelasannya, Insya Allah…
4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak
mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin" [Hadits Riwayat Bukhari
4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul Bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil4/22-25.
Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 tentang adanya ijma' (kesepakatan) dalam masalah
ini].
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari
Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya): “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus
mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin" [Al-Baqarah : 184].
Kemudian beliau berkata: "Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus
memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum".
Dari Abu Hurairah tadhiyallahu 'anhu: "Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak
mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum" [Hadits
Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi
punya syahid(penguat)].
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian
beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga
mereka kenyang. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]
5. Wanita hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi
rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil dan
menyusui.
Dari Anas bin Malik *), ia berkata: "Aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku
temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, "Mendekatlah, aku akan ceritakan
kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala menggugurkan
1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban
puasa". Demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau
salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam." [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687.
Sanadnya hasan (baik) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
*) Dia adalah Al-Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau
hanya meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim
bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th
1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-
Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Qadha' (Membayar Hutang Puasa) Sesegera Mungkin
1. Qadha' tidak wajib segera dilakukan
Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama
kepada kita- bahwasanya mengqdha' puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya
dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyahradhiyallahu
'anha (yang artinya): “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha'nya kecuali di
bulan Sya'ban" [Hadits Riwayat Bukhari 4/166, Muslim 1146, Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani di
dalam Tamamul Minnah hal.422 setelah membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh
Muslim bahwasanya beliau (yakni Aisyah) tidak mampu dan tidak dapat mengqadha' pada bulan
sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak akan
mengahhirkan qadha' (sampai pada ucapan Syaikh) maka menjadi tersirat darinya bahwa
ketidakmampuan Aisyah adalah merupakan udzur (alasan)]
Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191: "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya
mengakhirkan qadha' Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak".
Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik daripada
mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam
berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur'an (yang
artinya): “Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian" [Ali Imran :
133]
Firman Allah (yang artinya): “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan
merekalah orang-orang yang segera memperolehnya" [Al-Mu'minuun : 61]
2. Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha' karena ingin menyamakan dengan sifat
penunaiannya.
Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185 (yang artinya): “Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain".
Dan Ibnu Abbas berkata (yang artinya): “Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)".
[Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad Shahih. Lihat Ta’liqut Ta’liq (3/186).
Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin
Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu': "Barangsiapa
yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh
memisahnya" Ini adalah riwayat yang dhaif (lemah). Daruquthni bekata: "Abdurrahman bin Ibrahim
dhaif". Al-Baihaqi berkata: "dia (Abdurrahman bin Ibrahim) didhaifkan oleh Ma'in, Nasa'i dan
Daruquthni". Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau
mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami-
yang menjelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha', namun
yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah
dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapat Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbalrahimahullah.
Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95: "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang
qadha' Ramadhan" Beliau menjawab: "Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-
turut". Wallahu 'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
3. Ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang shalat, maka
walinya apalagi orang lain tidak bisa mengqadha'nya.
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup,
tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang
dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa, harus dipuasakan
oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:"Barangsiapa yang wafat
dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" [Bukhari 4/168,
Muslim 1147]
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan)
mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah (pengikut madzhab
Imam Syafi'i) dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam
puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad
riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: "Tidak
berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan?". Beliau
menjawab, "Memberi makan".
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh
pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan
pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. Aisyah tidak memahami hadits-hadits
tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk
memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau
adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya
hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah: "Apakah aku harus mengqadha'
puasanya?" Aisyah menjawab: "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah
gantang untuk setiap muslim".
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang
berpendapat seperti ini pula adalah Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Jika salah
seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan
fidyah dan tidak perlu qadha', kalau punya hutang nadzar diqadha' oleh walinya." [Diriwayatkan
Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan
sanadnya]
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma adalah periwayatan hadits kedua, lebih
khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa
nadzar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ibuku wafat dan
beliau punya hutang puasa nadzar?" Beliau bersabda: "Qadha'lah untuknya". Diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim
dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud
3/279-282. (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan
punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha' oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah
hutangnya.
Al-Hasan berkata: "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang, seorangnya berpuasa satu hari
(ini) diperbolehkan". [Bukhari 4/112 secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Daruquthni dalamKitabul
Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikhuna Al-Albany dalam Mukhtashar Shahih
Bukhari 1/58]. Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin
sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin
Malik radhiyallahu 'anhu.
Kafarat (Denda) dalam Puasa Ramadhan
1. Kafarat bagi laki-laki yang menjima' isterinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima' (menyetubuhi) isterinya di siang
hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu:
membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak
mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan: kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti
yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah di atas), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai
urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak
jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya
puasa karena jima'.
Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi
hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib
itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan
boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
2. Gugurnya kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak
ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh
orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at
kecuali kalau ada kemampuan.
Allah berfirman (yang artinya): “Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-
Baqarah : 286]
Dan dengan dalil Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut,
ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan
keluarganya.