You are on page 1of 34

Birokrasi Indonesia: Sebuah Kemelut Netralitas

Oleh Agung Hendarto (1)


Di Indonesia atau kebanyakan negara-negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas
menengah yang produktif, atau karena preferensi ideologis kanan maupun golongan kiri,
birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yang utama dan di dalam beberapa negara
bahkan menjadi alat yang utama . Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi
dan peran yang sangat strategis. Hal ini karena birokrasi menguasai banyak aspek dari hajat
hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha hingga urusan kematian,
masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi. Ketergantungan masyarakat sendiri
terhadap birokrasi juga masih sangat besar.
Birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan bangsa, dengan sifat
dan lingkup pekerjaannya, menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis. Birokrasi
menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai
akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang
peranan penting dalam perumusan, pelaksanakan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik,
serta dalam evaluasi kinerjanya. Dalam posisi yang strategis seperti itu, adalah logis apabila pada
setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan politik.
Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau pun memperkuat kekuasaan oleh
partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.

Pada prakteknya, upaya menarik gerbong birokrasi ke dalam politik dan kekuasaan sudah terlihat
sejak lama, yakni sejak negeri ini berdiri. Sejak awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi objek
dan alat politik. Di era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, ketika parpol tampil saat itu
sebagai aktor sentral dalam sistem politik Indonesia, birokrasi secara masif telah menjadi objek
pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh partai politik, sehingga menimbulkan
polarisasi dan fragmentasi birokrasi.

Terjadinya perubahan politik ke era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan


perubahan mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik (parpol).
Pergeseran politik saat itu menyebabkan peranan parpol mulai termarjinalisasikan sebagai aktor
utama dalam sistem politik dan digantikan figur Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan.
Saat itu satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan
Presiden Soekarno adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, dalam realitasnya justeru
yang terjadi adalah pergulatan politik segi tiga (Soekarno, PKI, dan militer), sebagaimana
tercermin puncaknya dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S), dengan dampaknya yang
juga akhirnya menimbulkan fragmentasi birokrasi.

Terjadinya peralihan dari Orde Lama ke era rezim Orde Baru (1966-1998) hanya merupakan
peristiwa perubahan konfigurasi politik juga. Perubahan itu antara lain pada pola kekuatan politik
dari polarisasi dan pertarungan antar-parpol dan politisi sipil ke pola dominasi militer dan
Golongan Karya (Golkar). Hal ini yang menjadi penyebab militer di masa Orde Baru berhasil
mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif. Bedanya
dengan masa sebelumnya, birokrasi tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan
parpol, tetapi terjebak dalam hegemonisasi kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang
didominasi militer. Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna
menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran,
setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan
netralisasi politik birokrasi. Tuntutan reformasi ini sebagian sebenarnya telah direspon oleh rezim
pemerintahan pasca-Soeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai
dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya.
Sementara Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebagai satu-satunya wadah pegawai
negeri, disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi.

Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan anasir-anasir politik
gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie,
yang saat itu menjadi presiden, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5/1999), yang
menekankan PNS harus netral. Kalaupun PNS akan menjadi anggota parpol, maka harus tidak
boleh aktif dalam jabatannya. Bagian dari aturan yang sama juga mencakup unsur militer (TNI)
dan kepolisian (Polri). Setelah itu, gaung reformasi birokrasi selalu bergema di mana-mana.
Aturan netralitas PNS itu dikuatkan lagi dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Sebanarnya, kuatnya pengaruh politik dan kekuasaan dalam birokrasi tidak saja bisa dilacak sejak
berdirinya bangsa ini. Pengaruh kekuasaan dalam birokrasi dapat dilacak akarnya jauh sebelum
negeri ini diproklamasikan, yakni sejak masa kerajaan dan pada masa kolonial.

Pada masa kerajaan, birokrasi hanya sebagai kepanjangan tangan kekuasaan raja untuk
menguasai rakyatnya. Dalam kerajaan maritim, birokrasi ditujukan untuk melayani sebuah
ekonomi perdagangan, sedangkan dalam kerajaan agraris ditujukan untuk melayani ekonomi
pertanian. Sebuah negara agraris (agro-managerial state) menetapkan bahwa pemilikan atas
sumber ekonomi seperti tanah dan tenaga kerja berada pada raja. Raja yang memiliki tanah dan
tenaga kerja, masyarakat melimpahkan penguasaannya pada anggota keluarga dan orang-orang
yang dianggap berjasa pada raja sebagai lungguh. Keluarga raja disebut sebagai sentana, dan
mereka yang membantu raja dalam penyelenggaraan kekuasaan tersebut disebut sebagai abdi
dalem. Abdi dalem itulah yang duduk dalam lembaga birokrasi kerajaan. Mereka menjadi
perantara antara raja dengan para kawulanya.

Para abdi dalem oleh raja diberi hak-hak atas tanah, menarik pajak dari rakyat tanpa ada batasan
maupun peraturan yang jelas, yang kemudian diserahkan kepada raja setelah diambil sekedarnya
oleh para abdi dalem. Dengan demikian tugas abdi dalem tergantung hubungan personalmya
dengan raja. Sistem patrimonial di atas membuat kedudukan birokrasi hanya merupakan
kepanjanganb tangan dari kekuasaan raja. Birokrasi tidak melayani masyarakatnya tetapi
melayani kepentingan raja.

Pada masa kolonial Belanda, tidak terjadi perubahan-perubahan sistem dan struktur kekuasaan
patrimonial. Pemerintah kolonial mengangkat pejabat-pejabat sendiri, sebagian daerah
sepenuhnya di tangan pemerintah kolonial dan sebagian lainnya dalam pemerintahan ganda, yang
selain pengangkatan pejabat birokrasi kolonial juga ada birokrasi tradisional. Pada umumnya
orang-orang peribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial disebut priyayi. Pemerintah
kolonial membentuk birokrasi untuk eksploitasi dan penguasaan politik, sehingga kedudukan
birokrasi kolonial tidak lebih dari kepanjangan tangan kekuasaan kolonial. Priyayi sebagai
ambtenaar mempunyai kekuasaan dan mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat.
Keberlanjutan konsep kenegaraan dan kekuasaan itu juga mempengaruhi kedudukan priyayi
sebagai penyelenggara kekuasaan. Mereka seolah tidak menjadi bagian dari masyarakat umum,
tetapi merupakan bagian dan sebagai kepanjangan tangan kekusaan kolonial Belanda. Realita ini
jika dikaitkan dengan struktur masyarakat Jawa yang dikhotomis, maka birokrasi pada ambtenaar
secara sosiologis termasuk dalam golongan para penggedhe yang dalam hubungan sosialnya
cenderung di “tuan”kan oleh para kawulo yang terdiri dari rakyat kebanyakan. Dalam hubungan
sosial seperti ini, secara tradisional kawulo tersebut cenderung patuh pada bendoro atau tuannya.

Paparan sketsa sejarah tersebut di atas sekedar menggambarkan betapa birokrasi di Indonesia
tidak pernah lepas dari pengaruh politik dan kekuasaan. Kondisi semacam itu pada akhirnya
melekat dalam perilaku birokrasi kita sekarang ini di mana fungsi dan birokrasi tidak berjalan
semestinya, yakni menjadi pelayan masyarakat. Sebaliknya, birokrasi cenderung mengabdi pada
penguasa dan untuk kepentingan kekuasaan. Wajar bila kemudian dalam banyak hal, pelayanan
publik di negeri ini menjadi terbengkalai dan tidak mendapatkan perhatian serius.

Besarnya pengaruh politik dan kekuasaan mengakibatkan birokrasi di Indonesia tidak pernah
tenang dan profesional dalam bekerja. Birokrasi dengan kultur yang dibangunnya, cenderung
lebih sibuk melayani penguasa dari pada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan
masyarakat. Oleh karena itu, wajah birokrasi pemerintah di Indonesia dari dulu hingga kini boleh
dikatakan belum menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Birokrasi tetap diliputi berbagai
praktik penyimpangan dan ketidakefisienan. Birokrasi kita sekarang ini dalam banyak hal masih
menunjukkan ”watak buruknya” seperti enggan terhadap perubahan (status quo), eksklusif, rigit
dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-
sentuhan birokrasi, yang secara umum kemudian dipersepsikan memiliki konsekuensi
inefektifitas dan inefisiensi. Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah
tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost
maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati atau
service style yang tidak berperspektif pelanggan. Turut menyempurnakan buruknya kinerja
birokrasi adalah rendahnya penguasaan kompetensi birokrat yang disinyalir disebabkan oleh
renggangnya kualitas filter rekrutmen dan rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta
dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

http://transparansi.or.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=182&Itemid=

Birokrasi di Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Birokrasi di Indonesia awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya Eropa di mulai dari
masa-masa kolonial antara lain dengan masa cultuurstelsel, masa desentralisasi dan emansipasi,
masa pemerintah pusat (centraal bestuur), masa binnenlands bestuur dan ambtskostuum
binnenlands bestuur, masa pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian masa dimana setelah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman
Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945 mengumumkan bahwa presiden Indonesia
memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan
tingkatan ditetapkan menjadi pegawai pemerintahan Indonesia [1]

Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Birokrasi dalam budaya barat
○ 1.1 Teori-teori dalam birokrasi
• 2 Sejarah
○ 2.1 Peran birokrasi pada masa kolonial
○ 2.2 Awal kemerdekaan
○ 2.3 Birokrasi dalam perkembangan
• 3 Organisasi
• 4 Korupsi
• 5 Administrasi publik
• 6 Akuntabilitas Publik
• 7 Lihat pula
• 8 Referensi
• 9 Pranala luar
• 10 Pustaka

[sunting] Birokrasi dalam budaya barat

Contoh diagram dari administrasi publik

Birokrasi (bahasa Inggris:bureaucracy ~ bu·reauc·ra·cy ~ bjʊəˈrɒkrəs) (bahasa Perancis:


bureaucratie) mempunyai arti bureau + cratie atau sistem struktur manajemen pemerintahan
negara atau administrasi besar atau organisasi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan yang
kompleks yang ditandai dengan otoritas hirarkis di antara banyak kantor dengan prosedur yang
tetap
[sunting] Teori-teori dalam birokrasi
Max Weber, seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang menggambarkan bentuk
birokrasi [2]sebagai cara ideal mengatur organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk
birokrasi antara lain harus terdapat adanya struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di
bawah kontrol dan dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas dasar dari perencanaan pusat
dan pengambilan keputusan, manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui
aturan yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan dapat
dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya, organisasi dengan fungsional
yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli
kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan
keahlian, mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedangkan dilaksanakan
dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani kepentingan yang akan diberdayakan
termasuk dalam misi untuk melayani organisasi itu sendiri harus melalui perhitungan pencapaian
pada tujuan, perlakuan secara impersonal idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan
kepentingan diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh dipengaruhi oleh perbedaan
individu, bekerja berdasarkan kualifikasi teknis merupakan perlindungan bagi pelaksana agar
dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat menjalankan tugasnya. Akan
tetapi, menurut Cyril Northcote Parkinson seorang sejarawan angkatan laut Inggris yang menulis
bahwa Weber kurang menyadari bahwa manajemen dan staf profesional akan cenderung tumbuh
mengikuti pada tingkat yang tidak diprediksi oleh garis organisasi[3] sedangkan David Osborne
dan Ted Gaebler menyarankan bahwa birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih
memperhatikan partisipasi masyarakat, adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja (peer group)
dan atasan bukan lagi merupakan dominasi atau kontrol [4]. Berikut rangkuman dari teori-teori
birokrasi.

Sistem Birokrasi I
Sistem Birokrasi II
Rowing (Mendayung/bekerja sendiri)
Steering (Menyetir/mengarahkan)
Service (Melayani)
Empowering (Memberdayakan)
Monopoly (Menguasai sendirian)
Competition (Ada persaingan)
Rule-driven (Digerakan oleh aturan)
Mission-driven (Digerakkan oleh misi)
Budgeting inputs (Menunggu
Funding outcomes (Menghasilkan dana)
anggaran)
Customer-driven (Dikendalikan
Bureaucracy-driven (Dikendalikan
pelanggan/pembayar pajak)
birokrat)
Earning (Penghasilan/tabungan)
Spending (Pengeluaran)
Preventing (Pencegahan)
Curing (Penyembuhkan)
Teamwork /participation (Pelibatan/kerja kelompok)
Hierarchy (Berjenjang)
Market (Pasar, keseimbangan orang banyak)
Organization (Organisasi, lembaga)

[sunting] Sejarah
[sunting] Peran birokrasi pada masa kolonial
Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan bagaimana mengendalikan
seluruh wilayah dengan mempertimbangkan jarak, daratan dan wilayah antar negeri yang sangat
besar agar tidak menyulitkan dalam melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain dari itu
perlu adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif dari bumiputera sangat diperlukan, kolaborasi
dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan tidak boleh mengorbankan kekuasaan dan pengaruh
kolonialisme.
Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di Batavia (sekarang Jakarta) melakukan
administrasi secara keseluruhan dan bertindak atas nama kerajaan Belanda (dengan jabatan
setingkat menteri koloni) yang umum dikenal sebagai gubernur jenderal yang dibantu oleh
dewan Hindia Belanda (raad van Nederlands-Indië), sekretariat umum (algemene secretarie),
departemen administrasi umum (departementen van algemeen bestuur) dan pemerintahan daerah
(het binnenlands bestuur} dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup kerja terbatas bagi bangsa
Eropa sedangkan bagi bumiputera selalu berada di bawah pengarahan langsung dari
pemerintahan lokal yang mencakup bagian besar dari dahulu yang disebut dengan wilayah
Hindia Belanda, pemerintahan sendiri seperti raja, pangeran dengan melalui kesepakatan politik
dengan pemerintah kolonial namun ada pula daerah yang dikuasai secara langsung dimana
pemerintahan kolonial ikut membentuk birokrasi yang berdampingan dengan birokrasi
pemerintahan lokal seperti yang terlihat pada administratif pemerintahan di pulau Jawa dan
Madura sekitar tahun 1829 bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa terutama
dalam sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan cultuurstelsel berangsur-angsur berubah
dengan demikian sektor swasta mulai bermunculan antara lain perkebunan dan perindustrian
dengan kedatangan pekerja penduduk Eropa di bidang perkebunan, perdagangan komersial dan
industri bersamaan dengan itu budaya politik saat itu mulai ikut menumbuhkan gerakan
nasionalisme di Indonesia.
Pada tahun 1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan terbatas dan tetap di
bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada tahun 1916 terbentuk pula
pemerintahan kota-kota besar dengan pemerintahan sendiri dengan walikota bukan merupakan
bagian dari pemerintah daerah Eropa, pada 1918 mulai terdapat dewan rakyat yang berbentuk
badan perwakilan dari berbagai kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada
tahun 1925 wilayah dibagi dalam beberapa tingkat administratif baru, provinsi di pulau Jawa dan
Madura dan pemerintah di luar daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan Madura). Di samping itu, di
pulau utama Jawa dan Madura ke pemerintah daerah asli lebih mandiri dengan pengalihan fungsi
tersebut.
[sunting] Awal kemerdekaan
Pada tanggal 30 Mei 1948 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948 pemerintah RI
yang berkedudukan di Jogjakarta baru mendirikan Kantor Urusan Pegawai (KUP) sedangkan
pemerintahan RIS yang berkedudukan di Jakarta untuk masalah kepegawaian dibentuk melalui
Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 10 tanggal 20 Februari 1946
dengan nama Kantor Urusan Umum Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan
sosial namun dengan Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun
1948 membatalkan keputusan terdahulu dan membentuk Djawatan Urusan Umum Pegawai
(DUUP) yang langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan
Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) masing-masing melaksanakan kegiatannya sendiri-
sendiri hingga terdapat dualisme dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya
pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1950 dibentuklah Kantor Urusan Pegawai (KUP) guna menyatukan Kantor
Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) dan berada di bawah
dan bertanggugjawab kepada perdana menteri akan tetapi karena suasana perpolitikan saat itu,
Kantor Urusan Pegawai (KUP) yang akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya disusul pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian konstitusi RIS berubah
menjadi UUDS 1950 yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara kembali ke negara
kesatuan. Tahun 1953 T.R. Smith membantu menyusun laporan untuk Biro Perancang Negara
berjudul Public Administration Training, setahun kemudian dua orang profesor dari Cornell
University, School of Business and Public Administration Amerika yang diundang ke Indonesia
yaitu Edward H. Lichtfeld dan Alan C. Rankin yang berhasil menyusun laporan rekomendasi
yang berjudul Training for Administration in Indonesia[5][6]. Pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 9 April 1957) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1957 dibentuk Panitia Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian
atau Panitia Organisasi Kementerian (PANOK) sebagai pengganti Kantor Urusan Pegawai
(KUP) serta ikut dibentuk Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang bertugas menyempurnakan
administratur negara atau birokrasi keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
perdana menteri.
Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan dekrit presiden yang menyatakan berlakunya kembali
UUD 1945 dan presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 melarang PNS
golongan F menjadi anggota dari partai politik selanjutnya pada tahun 1961 dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepegawaian dan dibentuk
Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang menghasilkan Peraturan Presiden Nomor 5
Tahun 1962 tentang pokok-pokok organisasi aparatur pemerintah negara tingkat tertinggi, dua
tahun kemudian dikeluarkan Keppres Nomor 98 Tahun 1964 dibentuk Komando Tertinggi
Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) merupakan kelanjutan dari Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN), retooling atau "pembersihan" dalam dua kepanitian terakhir ini lebih
bernuansa politis dengan penyingkiran birokrat yang tak sehaluan dengan partai yang sedang
memerintah (the ruling party) atau yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan
republik.
[sunting] Birokrasi dalam perkembangan
Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai dengan ketidakpastian
akibat peranan partai-partai politik yang saling bersaing dengan sangat dominan, partai-partai
politik mulai melakukan building block kekuasaan melalui pos-pos kementerian strategis di
jajaran pemerintahan sebagai sumber daya kelangsungan partai politik yang bersangkutan,
program rekrutmen birokrasi ikut mengalami spoil system yang merajalela mulai dari
pengangkatan, penempatan, promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan
kriteria penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan serta unsur-unsur
lainnya diluar tugas birokrasi.
Pada tahun 1966 awal pemerintahan Suharto bedasarkan Ketetapan MPRS Nomor
XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera ditunjuk selaku presiden dan ketua presidium Kabinet
Ampera melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 266 Tahun 1967 kembali
membentuk panitia pengorganisasian birokrasi sebagai pembantu presidium yang kemudian
dikenal dengan nama Tim Pembantu Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi
Pemerintah atau disingkat menjadi Tim PAAP yang beranggotakan sebelas orang dengan
Menteri Tenaga Kerja selaku ketua didampingi oleh direktur LAN sebagai sebagai sekretaris
serta dibantu oleh lima orang penasehat ahli yang mengusulkan unit kerja baru bernama
Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal dan Inspektorat tercermin dalam Keputusan Presidium
Kabinet Nomor 75/U/KEP/11/1966 serta dalam pengorganisasian kembali birokrasi pada
kementerian negara melalui Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966 dilakukan
pengubahan penggolongan PNS dari golongan A sampai dengan F menjadi golongan I sampai
dengan IV.
Selanjutnya pada tahun 1968 kembali dibentuk Panitia Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi
Negara dan Aparatur Pemerintah yang disebut pula sebagai Proyek 13 disusul dengan Keppres
Nomor 16 Tahun 1968 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 199
Tahun 1968, Proyek 13 ini kemudian berganti nama menjadi Sektor Penyempurnaan dan
Penertiban Administrasi Negara yang lebih dikenal dengan nama Sektor P' dengan anggota
terdiri dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Administrasi Kepegawaian Negara
(BAKN), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sekretariat Negara,
Departemen Keuangan, Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan
Koperasi. yang diketuai oleh Awaloeddin Djamin yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja
dengan tugas agar dapat menyempurnakan administrasi pemerintahan.
Ketika Suharto pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I dengan Keputusan Presiden
Nomor 19 Tahun 1968, dibentuk kementerian nomenklatur baru yaitu Kementerian Negara
Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara bertugas antara lain melanjutkan
pembersihan birokrasi dari unsur-unsur apa yang disebut dengan berpolitik kepartaian lalu
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 pada tanggal 29 Nopember 1971
didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai organisasi wadah tunggal bagi
seluruh pegawai pemerintahan Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya Tim PAAP dan
Proyek 13 akhirnya dilebur kedalam Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan
Aparatur Negara sedangkan Sektor Aparatur Pemerintah (Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi
penyusunan kebijaksanaan, perencanaan, pembuatan program, koordinasi, pengendalian, dan
penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur negara dan Kementerian
Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara yang dipimpin oleh seorangan
menteri merangkap menjadi anggota Sektor N (Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor Q
(Keamanan dan Ketertiban) dan dengan Keppres Nomor 45/M Tahun 1983 Kementerian Negara
Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara diubah kembali menjadi Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara yang secara langsung menteri pada kementerian tersebut
merangkap pula sebagai wakil Ketua Bappenas.
Tahun 1995 melalui Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tanggal 27 September 1995
pemerintah mencanangkan dimulai diterapkan lima hari kerja yaitu hari kerja mulai hari Senin
sampai dengan hari Jumat yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1995 sebagai
akibat dari sistem pembinaan Karier PNS, pertumbuhan nol pegawai negeri sipil (PNS) (Zero
Growth) seta perampingan organisasi.
Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai gerakan reformasi maka melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 5 Tahun 1999 mengenai keberadaan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai anggota partai
politik lalu dirubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 yang membuat
pegawai negeri sipil (PNS) kembali tertutup dari kemungkinan untuk ikut berkiprah sebagai
keanggotaan dalam partai politik apapun.
[sunting] Organisasi
contoh diagram ini menunjukkan kedudukan kementerian dalam struktur
administrasi publik

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kementerian Indonesia

Sejak kemerdekaan 63 tahun yang lalu dan setelah melalui proses yang panjang, akhirnya
Indonesia baru mempunyai pengaturan organisasi kementerian sebagaimana yang diatur dalam
perundang-undangan kementerian negara.
[sunting] Korupsi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Korupsi di Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan Indeks Persepsi Korupsi

Usaha rasionalisasi organisasi pemerintah pusat sebenarnya sudah dimulai sejak masa Kabinet
Wilopo (3 April 1952 -1 Agustus 1953) yang berusia hanya sekitar limabelas bulan kemudian
diteruskan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo I (1 Agustus 1953 - 12 Agustus 1955) bernasib sama
berusia dua tahun yang mempunyai program antara lain menyusun aparatur pemerintah yang
efisien serta pembagian tenaga yang rasional dengan mengusahakan perbaikan taraf kehidupan
pegawai serta memberantas korupsi dalam birokrasi dengan pembentukan Panitia Negara untuk
menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian (PANOK) yang bekerja antara tahun 1952
sampai dengan 1954.
Pada 2009, bila merujuk pada laporan dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
yang berbasis di Hongkong, Indonesia masih menunjukan angka yang buruk terutama dalam hal
hambatan birokrasi atau red tape barriers [7]
[sunting] Administrasi publik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Undang Undang Pelayanan Publik dan
Ombudsman Republik Indonesia

Wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara Indonesia akan tercermin pada hasil produk
yang berupa adanya standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat dalam rangka
merasionalisasi birokrasi akan dapat terwujudnya dengan adanya batasan dan hubungan yang
jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait
dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik
yang layak dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dengan
terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
memperoleh penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada kepentingan umum serta
adanya kepastian hukum dalam kesamaan hak disamping keseimbangan hak dan kewajiban
meliputi keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan,
akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu,
kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dan penanggung jawab adalah
pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, pimpinan lembaga lainnya,
gubernur pada tingkat provinsi dengan kewajiban melaporkan hasil perkembangan kinerja
pelayanan publik kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan pada tingkat bupati
pada tingkat kabupaten, walikota pada tingkat kota melaporkan hasil perkembangan kinerja
pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri
atau dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur
[sunting] Akuntabilitas Publik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Akuntabilitas (administrasi publik),
Korupsi, Cinta Indonesia Cinta KPK, dan Konfrontasi Cicak dan Buaya

Pendulum kekuasaan di Indonesia selalu bergulir dari waktu-ke waktu, bergerak antara eksekutif
dan parlemen serta peran kekuatan bersenjata yang ikut mewarnai kekuasaan para pelaku hampir
tidak mengalami perubahan yakni berputar antara partai politik yang satu kepada partai politik
yang lain, pada kurun waktu tertentu lokus kekuasaan akan bergeser pada pihak eksekutif dimana
partai politik pemerintah akan lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan katimbang
kelembagaan negara lainnya yang dengan demikian penggunaan kekuasaan akan terfokus dan
bermuara di satu tempat, saat kurun waktu yang lain, kekuasaan berada pada pihak legislatif,
partai politik lain yang berada di legislatif akan memainkan peran yang sentral dalam fokus
penggunaan kekuasaan membuat stabilitas pemerintahan tidak bisa tercapai, sementara itu
profesionalisme baik pada pihak legsilatif maupun pihak eksekutif tidak juga pernah bisa
terwujudkan, politik tarik-menarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan akan selalu silih
berganti berada di kedua pihak tersebut.
Sementara kepentingan publik tidak pernah merasakan keterwakilan dalam siklus kekuasaan ini,
keperwakilan melalui partai politik yang seharusnya sebagai mewakili kepentingan publik hanya
mengenalnya pada saat-sat ketika akan diadakan pemilu belaka dan seterusnya kepentingan
publik akan terlupakan kembali dengan kekuasaan ego partikular dan elite pimpinan partai
politik semata.
Dalam Perkembangannya administrasi publik akan cenderung menjadi instrumen dari kekuasaan
dari para elite dengan membuat publik senantisa kembali berada pada posisi objek dan
kepentingan sedangkan pertanggung jawaban kepada publik mempunyai kadar amat rendah dan
cenderung bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali akhirnya akan bisa menjadi sebuah ironi
didalam sebuah negara demokrasi yang tanpa mempunyai akuntabilitas[8][9], negara demokrasi
yang seharusnya dapat melahirkan administrasi publik yang lebih baik sebagaimana administrasi
publik di beberapa negara yang telah mengikuti sistem demokrasi yang seharusnya menjadi
sebuah kekuatan besar yang dapat dipergunakan untuk meminta pertanggung jawaban publik dan
harus dapat segera dilaksanakan oleh pemerintahan dan publik dapat pula antara lain dengan
menuntut uang pajak yang dibayarkan kepada pemerintahan agar selalu dipergunakan secara
jelas dan bermanfaat bagi publik melalui tekanan-tekanan publik antara lain fiskal kepada
administrasi publik akan semakin kuat, publik harus dapat mengetahui setiap aliran penggunakan
dan pemanfaatan fiskal dengan demikian publik tidak lagi akan dapat mentoleransi terhadap
segala macam pemborosan, inkomptensi dan kecerobohan yang mungkin atau yang dilakukan
oleh aparatur administrasi publik yang berakibatkan kerugian bagi publik.
Efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas publik terdapat faktor yang
menentukan antara lain dengan adanya derajat transparansi penerimaan yang dapat diukur dari
peran media massa dalam memberikan informasi kepada publik meliputi anggaran, akuntansi
publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak
akan sepenuhnya menyadari apa yang telah dilakukan dan tidak pernah dilakukan bagi
kepentingan publik serta pendidikan pemahaman hak-hak sipil yang diberikan kepada para
warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya serta kesiapannya untuk menjalankan. [10]
[sunting] Lihat pula
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi_di_Indonesia

wibiono on 18:21 |

oleh: Bambang Wibiono

PENDAHULUAN

Dalam sebuah Negara, birokrasi diperlukan sebagai alat Negara dalam


penyelenggaraan negara dan melayani masyarakat. Negara tercipta atas kontrak
sosial yang menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk
melayani kepentingan rakyat inilah, Negara memerlukan sebuah unit pemerintahan
atau yang dikenal dengan birokrasi.

Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi


berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam
berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi
bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan
publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan
tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa
birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda
pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean
government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik
(good governance).

Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya


melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh
pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang
pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara
memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.

Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial


yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi
yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa
daripada pemenuhan hak sipil warga negara.

Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk
mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur
pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini
dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk
mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.

Indonesia mengalami masa penjajahan yang begitu lama. Dimulai dari kedatangan
bangsa Portugis dan Spanyol. Kemudian disusul oleh bangsa Belanda yang
menjajah negeri ini hingga kurang lebih 350 tahun lamanya. Kemudian terakhir,
Indonesia dijajah oleh Jepang. Begitu lamanya Belanda menjajah bangsa ini,
membuat segala corak sistem pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh gaya
pemerintahan jaman kolonial Belanda.

Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-
16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk
sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai
pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja
dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi
pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang
memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan
pribadi;
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga
dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja;
5. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat,
seperti halnya dilakukan oleh raja.

Sedangkan pada masa kolonial Belanda, pelayanan publik tidak terlepas dari sistem
administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa
kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan
yang berlaku di Indonesia.
Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara
politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan
pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah
menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama
pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi
telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial
(binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi
modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih
tetap dipertahankan.

Sejarah bangsa ini pada jaman pra kemerdekaan begitu diliputi oleh praktek
penjajahan dan otoritarianisme. Kondisi ini memberikan warna bagi dinamika
birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan. Lantas bagaimanakah dinamika birokrasi
di Indonesia sejak masa awal pasca kemerdekaan, yaitu sejak orde lama hingga
jaman reformasi saat ini? Kemudian bagaimana kaitan antara penyelenggaraan
birokrasi dengan praktek-praktek politik pada masa-masa tersebut ? Dalam tulisan
ini akan dibahas mengenai perkembangan atau dinamika penyelenggaraan
birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan hingga reformasi serta hubungannya
dengan praktek politik yang terjadi.

PEMBAHASAN

A. Birokrasi masa Orde Lama

Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format


pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan
kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan
sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan–perbedaan pandangan yang terjadi di
antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang
akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.

Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara,
dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.
Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS
melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya
terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama,
bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa
mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman
kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja
pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau
tidak loyal terhadap NKRI.
Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi
jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan
birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan
oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-
menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak
kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan
politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu
departemen.

Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson
menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana
negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat
dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran
seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari
tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini
dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.

Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen yang


tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah
dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada
masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa
atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah
memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi.
Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi
tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena
sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu.
Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari
pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan
penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada
pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden
berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada
pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk
memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno “memelihara” PKI sebagai
kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap
membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan
profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebaai penampung aspirasi
mereka.

Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai
perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang
memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa
demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode
transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu
yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya,
adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian
Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan
dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.

Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama, birokrasi
cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik,
seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di
tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika
sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian
kabinet.

B. Birokrasi Masa Orde Baru

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang


Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang
tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat.
Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi
adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung
memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien.

Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D.


Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi
patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria
pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para
pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap
tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh
Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang
tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party system diistilahkan oleh
Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri
dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3)
birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan (dalam Maliki, 2000: xxiii) .

Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat
dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan
kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa
corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan
birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan
para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.
Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah
kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap
atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan
kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala
macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung
dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai
"patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul
hubungan "bapak-anak buah” secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia
setelah kemerdekaan.

Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia pada jaman orde baru
sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers.
Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran
struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola
birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang
dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan
menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.

Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap


organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat Negara
berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi
kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah
pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari
model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang
di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai
pegawai birokrat yang makin membengkak.

Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah telah
menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan bapak
buah dengan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan
hendaknya harus sesuai dengan keinginan atasan. Hal ini menimbulkan bawahan
selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh
pakewuh yang berlebihan terhadap atasan.

Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang
seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan
sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam
pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai
otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi—meskipun tidak penuh—
model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi.
Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap
Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun
pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai
golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan
Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.

Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan
tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang
tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan
diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar,
maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih
mengutamakan daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi
terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi
profesionalisme dari birokrasi tersebut. Singkatnya, birokrasi wajib mendukung
Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu juga dengan kekuatan militer sebagai
pendukung pemerintahan pada saat itu. Pada situasi seperti itu, jelas bahwa
birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ.
Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar.
Oleh sebab itulah Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah
pegawai negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya, belum ditambah lagi dengan
anggota keluarganya. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat
pelayanan terhadap masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih
mementingkan kepentingan partai politiknya.

Hampir semua orang tahu bahwa birokrasi Negara—dalam pengertian ini termasuk
ABRI—sesungguhnya sudah lama mengambil alih peran partai politik dan Golkar,
baik dalam perumusan kebijakan maupun proses politik pada umumnya. Karena itu,
perlakuan khusus bagi birokrasi dengan menciptakan fraksi tersendiri bagi mereka
di DPR akan mempertajam ketimpangan kekuasaan antara unsur-unsur masyarakat
yang tak berdaya dan negara yang kekuasaannya sudah berlebih.

Struktur DPR sejak Pemilu 1971 sebenarnya sudah didominasi oleh unsur-unsur
birokrasi negara, baik itu anggota Korpri maupun ABRI, sebagian anggota Fraksi
Karya Pembanguan (F-KP) di DPR dan DPRD. Sehingga tak berlebihan untuk
mengatakan bahwa dalam praktek, F-KP dan F-ABRI adalah "fraksi birokrasi" yang
lebih melayani kepentingan birokrasi ketimbang aspirasi masyarakat.

Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth.
Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin
membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja
dengan pekerjaannya tidak sebanding, inilah yang dimaksud birokrasi Parkinson
dan Orwell.

Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya saja
dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan
memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-
pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban
dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi
khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh ICW
(Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000[1].

Hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat
kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi; dan 9,09 untuk kroniisme diantara
negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik
hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia
pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang
sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait
erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk
terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk
terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas
birokrasi di negara-negara Asia.

Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi


dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House
Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good
governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang
disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49
negara yang diteliti. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di
Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku
kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan.

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus
dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau
perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya. Reformasi birokrasi yang
dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki
birokrasi.
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan
pusat.
3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka
mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi dalam pemrintahan Orde Baru merupakan sebuah instrumen politik yang
sangat efektif dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde baru.
Adapun wujudnya dapat berupa: pertama, dukungan langsung kepada Golkar pada
setiap Pemilu; kedua, birokrasi terlibat secara langsung dalam proses pemenangan
Golkar pada Pemilu; ketiga, birokrasi merupakan penyedia dana bagi usaha
pemenangan Golkar dalam setiap Pemilu (Afan Gaffar, 1999).

Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang politik
sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah. Sistem
pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang
menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru hanya
menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur negara yang mendukung
otoritarianisme.

Menurut Miftah Thoha (2003), birokrasi atau pemerintah yang bukan merupakan
kekuatan politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan
politik dengan kekuatan-kekuatan yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi.
Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan
birokrasi netral, tidak memihak dan obyektif (Kuncoro, 2007: 52). Namun dalam
pelaksanaannya justru hal ini dilanggar, sebab masih banyak kalangan birokrasi
yang terlibat dalam pertarungan politik, misalnya dalam Pemilu, sehingga dalam hal
pelayanan menjadi tidak obyektif dan cenderung diskriminasi.

C. Birokrasi Era Reformasi

Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan
pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi
mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5
Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri
sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8
Tahun 1974.

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan
perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural.
Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan
masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi
mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang
tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang
berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju
tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Osborne dan Plastrik (1997)[2] mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan
ekonomi yang dihadapi oleh Negara–negara yang sedang berkembang seringkali
berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negara–negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi
yang dihadapi oleh para reformis di Negara–negara maju pada sepuluh dekade
yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi,
pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma
birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal
daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh
masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan
sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya


belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia.
Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi
sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak–tidaknya
memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan
berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan.
Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja
dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan– kepentingan golongan atau
partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan
memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk
bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.

Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat
birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak
masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari
perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang
menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai
pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang
seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi
menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja
kabinet Gus Dur. Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya.
Dalam kasus itu, Menteri Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat
sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan visinya tentang tugas-tugas kementrian ini.
Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi ketentuan administrasi
kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan. Pertimbangan ini
hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang
dipimpin Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai
kabinet ”trima kasih”, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur
mendukung kebijakan Menhut.
Dalam kasus lain, Miftah Thoha, menyebutkan bahwa:
Upaya untuk netralitas birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini
bermula ketika ada gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan
seragam KORPRI oleh dokter dan pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum
Salemba (Forsal), kemudian ada gayung bersambut berupa gerakan pernyataan
yang sangat keras seperti melakukan penghapusan unit KORPRI di Departemen
Penerangan. Selain itu gerakan juga berlangsung di legislatif dalam perbedaan
pernyataan sikap kalangan muda FKP agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral
dengan kalangan tuanya, faksi Akbar Tanjung. Juga perbedaan pandangan
Mendagri Syarwan Hamid yang menginginkan birokrasi netral dan tidak menjadi
pengurus politik berlawanan dengan pandangan Mensesneg Akbar Tanjung yang
menganggap berpolitik adalah hak asasi PNS (Thoha, 2003).

Kemudian ada pula tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan


Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa
departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah
mencampuri hak-hak sipil warga negara. Penghapusan dua departemen tersebut
dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang
menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi cabinet
masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan
kemandirian publik.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan
Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu melestarikan
tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier
dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini
menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi
tidak akan terlaksana.

Saat membentuk kabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi
keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sekjen
tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu.
Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada
beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama
dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai
politik.

Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia,


yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang
pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan
bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan


suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang
sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi
birokrasi pemerintahan di Indonesia.

Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa
kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan
dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi
pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya
berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat
dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan
masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.

Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan


pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk
salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya
kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil
yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses
yang dibangun
merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan
sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan
kepada masyarakat.

PENUTUP

Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi


sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme
berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi
Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai,
dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan
kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya
birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN
menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional maupun individu.
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien
dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun
militer secara terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan
dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di
beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media
menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi.

Sebenarnya penguatan atau ”penaklukan” birokrasi bisa saja dilakukan dengan


catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk
merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun
sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk
memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.

Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah
kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di
Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku
buruk selama puluhan tahun. Birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi
juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi
untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat
maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah.
Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi,
menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi
masih tetap berlangsung.

***

Daftar Pustaka

Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan
dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical
Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-
496.

Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch. 2000, “Laporan
Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik (Studi kasus di Lima Kota: Jakarta,
Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan Kupang)”.

Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Ismani. 2001, “Etika Birokrasi”, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September
2001 : 31 – 41.

Kuncoro, Bambang. 2007, “Netralitas Birokrasi dalam Pilkada”, Swara Politika


Volume 10, No. 1, Tahun 2007.

Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi,
Galang Press, Yogyakarta.

Thoha, Miftah. 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

catatan kaki:

[1] Hal ini diungkapkan oleh Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia
Corruption Watch. 2000, “Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik (Studi
kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan Kupang)”.
[2] Dikutip dalam Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde
Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in
Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3,
May 1983, Hal. 477-496.

http://duniapolitik-wibiono.blogspot.com/2010/02/potret-politisasi-birokrasi-dari-
orde.html

Pengertian
Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu bureau ( burra, kain kasar penutup
meja), dan-cracy,ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Berbagai sumber
berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama, birokrasi
diartikan sebagai “ government by bureaus,” yaitu pemerintahan biro oleh aparat
yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam
sebuah organisasi formal, baik publik maupun privat ( Riggs dalam Ndraha,
2003;513) ; pemerintahan birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak
yang-diperintah. Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku
pemerintahan, yaitu, sifat kaku,macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif
terhadap instansi yang berkuasa ( Kramer dalam Ndraha, 2003;513). Ketiga,
birokrasi sebagai tipe ideal organisasi. Biasanya dalam arti ini dianggap bermula
pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif.

Birokrasi Zaman Kerajaan


Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-
16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk
sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai
pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja
dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi
pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang
memiliki ciri – ciri sebagai berikut :
1)Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan
pribadi;
2)Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3)Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4)“Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga
dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja;
5)Para pejabat kerajaan dapat ertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja.

Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja. Di


dalam pemerintahan pusat ( keratin), urusan dalam pemerintahan diserahkan
kepada empat pejabat setingkat menteri ( wedana lebet ) yang dikoordinasikan
oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator ) pepatih lebet ). Pejabat –
pejabat kerajaan tersebut masing – masing membawahi pegawai ( abdidalem )
yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai raja
menunjuk bupati –bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah.
Para bupati biasanya bupati lama yang telah ditaklukkan oleh raja, pemuka
masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.

Birokrasi Zaman Kolonial


Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari
sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan
penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi
pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin
menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah
kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih
disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh
politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi
dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan
diberlakukan sistem administrasi kolonial ( binnenlandcshe Bestuur ) yang
mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain,
sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih tetap dipertahankan.

Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja
Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan,
Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal.
Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di
wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal dibantu oleh para
gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang
berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten
terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur jenderal untuk
mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari – hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama


Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang
sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan –
perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa
kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam
pengaturan birokrasinya, telah menjurus kea rah disintegrasi bangsa dan keutuhan
aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal
berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur
pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut
birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik
Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI,tetapi relatif kurang memiliki
keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan
pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian,tetapi
dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.

Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang
mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya
terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan. Seringnya terjadi
pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di
dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang
kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang
lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau
berpengaruh dalam suatu departemen.Program – program departemen yang tidak
sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan
oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu
benar- benar mengalami politisasi sebagai instrument politik yang berkuasa atau
berpengaruh.Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan
persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi
tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat
melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi
pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat
atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya
yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan
pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas
politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru


Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus
dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau
perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar
kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan
nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1)Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki
birokrasi
2)Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat
3)Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka
mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi


Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan
perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural.
Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan
masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi
mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang
tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang
berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara – Negara maju
tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 )
mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh
Negara – Negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas
sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut
berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara – Negara
berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para
reformis di Negara – Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan
birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh
kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi
sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada
faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat
sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian
fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di
Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya


belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia.
Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi
sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak – tidaknya
memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan
berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan.
Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja
dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan – kepentingan golongan atau
partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan
memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk
bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya
kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa
reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan
dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat
birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi
sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang
dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik,
telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan
terhadap masyarakat

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik
menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang
dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan
birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai
praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah
secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi
kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan
publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu
sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran
anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar
merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi
pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada
lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur
perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.

Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya


tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa.
Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang
diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga
konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap
publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah
yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku birokrasi
yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik,
semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai
oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun,
birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi.
Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya
penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik
di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum
efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan
berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap
berlangsung.
Membangun Paradigma Baru
Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak,
merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus
Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat dalam
kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam dua
zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan
cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju (pro)
dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam
kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara
lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak memilih
dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai negeri.
Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan
pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada
pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang
dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus
berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan
masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.

Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut ( sebagai pelayan masyarakat dan
aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi birokrasi,
diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya akan
merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa
merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka
panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun paradigma
baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa birokrasi perlu
mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka dibiayai oleh pajak yang
dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu menghidupkan koordinasi dan
pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi dan pegawasan dari atasan.
Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah dan birokrasi bertindak
mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang kemasyarakatan;
melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani masyarkat; membuka
kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik, bukan
monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang ditetapkan oleh
Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat; menghasilkan pendanaan,
bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja dikendalikan oleh warga Negara
pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat; memperhitungkan adanya
tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai prinsip lebih baik
mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja dan pengawasan
kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau pengawasan atasan; lebih
memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya organisasi saja.

Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya :


1)Adanya keinginan perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat
struktural maupun fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah
yang berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.
2)Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat
ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil – wakil
kelompok kepentingan dalam masyarakat.
3)Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung
jawabnya.
4)Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh
masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto,Agus dkk.2006.Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta
Ndraha,Taliziduhu.2003. Kybernology, PT Rineka Cipta : Jakarta
Rozi,Syafuan.2006.Zaman Bergerak Birokrasi Dirombak, Pustaka Pelajar :
Yogyakarta

http://stisiptasikmalaya.blogspot.com/2009/06/sekilas-birokrasi-indonesia-dari-
zaman.html

enin, 31 Mei 2010


Birokrasi Indonesia zamam Orde Baru dan zaman Reformasi, adakah
perubahnnya?
Diposkan oleh Bang_Togar di 18:34

Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran
masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di
Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter
Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran
structural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi
yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol
kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu
pemaksaan.

Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di
Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai birokrat
yang makin membengkak.

Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah telah menciptakan
birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan bapak buah dengan anak buah
(patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuia dnegan
keinginan atasan. Hal ini menimbulkan bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya
patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh yang berlebihan terhadap atasan.

Birokrasi di zaman orde baru ditandai dengan beberapa cirri-ciri seperti pegawai negeri yang
menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain
itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan
mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merpakan basis
Golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan
daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja
dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Dalam zaman
orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth
yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi
tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding.

Pada awal reformasi dan pada masa orde baru pemerintahan yang baik belum juga terlaksana.
Misalnya saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan
memerlukan waktu yang lama, tidak jelas. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-
pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam
perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi.

Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi
diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai politiknya.
Dalam buku Birokrasi dan Politik di Indonesia, karangan Prof. DR. Miftah Thoha, MPA,
disebutkan bahwa

Upaya untuk netralitas birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini bermula
ketika ada gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan seragam KORPRI oleh dokter
dan pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum Salemba (Forsal), kemudian ada gayung
bersambut berupa gerakan pernyataan yang sangat keras seperti melakukan penghapusan unit
KORPRI di Departemen Penerangan. Selain itu gerakan juga berlangsung di legislative dalam
perbedaan pernyataan sikap kalangan muda FKP agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral
dengan kalangan tuanya, faksi Akbar Tanjung. Juga perbedaan pandangan Mendagri Syarwan
Hamid yang menginginkan birokrasi netral dan tidak menjadi pengurus politik berlawanan
dengan pandangan Mensesneg Akbar Tanjung yang menganggap berpolitik adalah hak asasi
PNS.
Kemudian ada pula tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa departemen tersebut bermasalah,
banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuru hak-hak sipil warga negara.
Penghapusan dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing
government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan
dekonstruksi cabinet masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan
dan kemandirian publik.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah/
1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.

Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu melestarikan tradisi
Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier,
serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini harapan
untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana.
Saat membentuk cabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan tentang
pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen tersebut adalah orang dari partai
yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di
Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang
dari partai yang sama dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai
politik.

Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia, yaitu dengan
dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberantasan KKN dan
menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap
MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-
undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya pemberantasan
korupsi juga dikeluarkan, antara lain, Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim
Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun
2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan PP Nomor 274 Tahun 2001
tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar
dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie,
Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang
menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat
dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk
menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu perubahan
dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit. Kepentingan-
kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia.

Literatur : http://robeeon.net/politik/birokrasi-indonesia-zamam-orde-baru-dan-zaman-reformasi-
adakah-perubahnnya.html
http://bangtogar.blogspot.com/2010/05/birokrasi-indonesia-zamam-orde-baru-
dan.html

Reformasi Birokrasi, Menciptakan Good Governance, Clean Government


Dalam rangka implementasi serta sosialisasi Undang-undang No 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi dalam upaya mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, Unsur
kelembagaan, SDM Aparatur, Ketatalaksanaan, Pelayanan Publik, Pengawasan dan
Akuntabilitasnya, dalam era globalisasi ini aparatur negara sebagai penggerak roda
pemerintahan dituntut untuk lebih mampu dan siap menghadapi perubahan-perubahan dengan
terus melakukan perbaikan-perbaikan.

Untuk maksud tersebut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
bekerjasama dengan Bakohumas mengadakan Seminar dengan Tema Reformasi Birokrasi
Untuk Mewujudkan Aparatur Negara yang Profesional, Efektif, dan Efisien dalam Rangka
Peningkatan Pelayanan Publik, pada 13 April 2010, di Hotel Sahid - Jakarta.

Seminar ini untuk memberikan pemahaman tentang berbagai kondisi saat ini dan upaya
wewujudkan tatapemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional,
berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara, terinformasikannya program
reformasi birokrasi dan Undang-Undang Tentang Pelayanan Publik, memberikan pemahaman
dan informasi, bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
telah mengeluarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik sebagai
salah satu upaya mewujudkan pemerintahan yang baik, serta meningkatnya profesionalisme
SDM kepada para peserta seminar.

Dalam sambutannya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang
disampaikan oleh Sekretaris Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Tasdik Kinanto
mengatakan penerapan reformasi birokrasi sampai tahun 2011 diharapkan seluruh instansi
pemerintah pusat dan daerah ditargetkan sudah melaksanakannya, dan tahun 2025 postur
birokrasi pemerintah Indonesia diharapkan sudah benar-benar ideal.

Di sampaikan pula bahwa reformasi birokrasi dicapai melalui penataan sistem manajemen
pemerintahan, haruslah bermuara pada perubahan mindset dan cultural set sehingga mendorong
munculnya kreativitas dan inovasi perbaikan kinerja pemerintah, peningkatan pelayanan publik,
yang pada kelanjutannya akan terwujud tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, ujarnya.

Selaku pembicara pada acara ini yaitu ; Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI, mengatakan bahwa
Reformasi birokrasi harus secara terus-menerus dilakukan, karena pada dasarnya reformasi
birokrasi merupakan never ending process, sehingga dibutuhkan komitmen politik yang tinggi
dari politisi dan seluruh pembuat kebijakan. Karena prosesnya yang berjangka panjang, maka
reformasi birokrasi harus dilakukan secara bertahap dengan agenda yang jelas.

Herry Yana Sutisna, Deputi Menpan Bidang Pelayanan Publik, hal yang utama didalam
melakukan reformasi di bidang pelayanan publik adalah peningkatan kualitas pelayanan publik
menuju pelayanan prima, secara berkeadilan, dimana peran masyarakat semakin dikedepankan
didalam membuat, menerapkan, dan mengevaluasi berbagai penyelenggaraan pelayanan publik
yang diberikan, ujarnya.

Untuk mewujudkan aparatur yang pofesional, Ramli Naibaho, Deputi Menpan Bidang SDM
Aparatur mengatakan bahwa perlu dibangun visi dan misi aparatur serta membangun sistem
manajemen aparatur berbasis kompetensi dan kinerja, sehingga dapat meningkatkan prestasi
kerja individu, mendorong minat untuk mengembangkan diri, serta membantu organisasi dalam
menyusun program pengembangan kemampuan pegawai, dan penilaian yang obyektif.

Reformasi birokrasi dimaksudkan untuk memperbaiki birokrasi agar lebih berperan secara
profesional, mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung terpenuhinya
kebutuhan masyarakat. Reformasi birokrasi bukan remunerasi, karena remunerasi hanya satu
bagian dari reformasi birokrasi, yang merupakan reward terhadap peningkatan kinerja sebagai
hasil dari reformasi birokrasi, demikian dikatakan Ismail Mohammad, Deputi Menpan Bidang
Tatalaksana.

Acara ini dihadiri oleh Sekretaris MenPAN-RB, para pejabat KemenPAN-RB, Kepala
Bakohumas, serta 89 anggota Bakohumas Pusat dan Daerah. (ww/humasristek)
http://www.ristek.go.id/index.php?module=News%20News&id=5712

You might also like