You are on page 1of 30

PETA POLITIK SASTRA INDONESIA (1908-2008)

oleh Asep Sambodja


Program Studi Indonesia FIB UI

mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt

Prolog
Bagaimanakah peta politik sastra Indonesia selama 100 tahun (1908-2008)
belakangan ini? Dalam makalah ini akan dijelaskan secara deskriptif peta politik
sastra
Indonesia dalam satu abad kebangkitan nasional. Kita tahu bahwa perkembangan
politik
di Indonesia sangat berpengaruh dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia. Siklus
perubahan politik 20 tahunan, misalnya, bisa terbaca dalam penyebutan angkatan yang
diberikan kritikus sastra H.B. Jassin.
Di masa kolonialisme, pengaruh itu tampak dalam karya sastra, baik yang
memiliki semangat antikolonialisme di zaman Belanda maupun berkembangnya
simbolisme di zaman Jepang akibat situasi yang sangat represif. Di masa
pemerintahan
Soekarno, perbedaan ideologi yang demikian tajam nasionalisme, agama,
komunisme juga berdampak langsung terhadap perkembangan sastra Indonesia, yakni
dengan merasuknya ideologi dalam diri sastrawan maupun dalam karya sastra yang
dihasilkannya. Hal ini dapat terbaca dengan jelas dalam polemik antara sastrawan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengusung nilai-nilai realisme sosialis
dengan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung nilai-nilai
humanisme universal.
Di masa pemerintahan Soeharto, polemik antara sastrawan Manikebu dengan
sastrawan Lekra sedikit menyusut dalam paruh pertama masa pemerintahannya, namun
semakin mencuat di paruh kedua masa pemerintahan Soeharto. Indikasinya adalah
munculnya polemik hadiah Magsaysay pada 1995, saat sastrawan Lekra, Pramoedya
Ananta Toer, memperoleh hadiah tersebut. Polemik itu dimotori oleh Taufiq Ismail,
salah
satu ujung tombak sastrawan Manikebu.
Pemerintahan Soeharto yang cenderung sentralistis juga menimbulkan reaksi di
kalangan sastrawan, yakni dengan munculnya suara-suara revitalisasi sastra
pedalaman
yang menolak Jakarta sebagai pusat. Selain itu, kecenderungan apolitis yang
diterapkan
pemerintah Soeharto juga direspons dengan gagasan sastra kontekstual yang
disuarakan
Arief Budiman dan Ariel Heryanto.
Kini, di era reformasi, sastrawan Indonesia juga merasakan adanya kebebasan
berpendapat, kebebasan berekspresi, dan lahirnya semangat untuk menghargai
perbedaan
(multikulturalisme). Jiwa bhinneka tunggal ika yang terdapat dalam karya sastra
klasik
Indonesia abad ke-14, kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, seperti dibangkitkan
kembali dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya di Indonesia.
Pendahuluan
Dalam sejarah sastra Indonesia, selalu ada dua kutub yang saling bersinggungan
dan bernegosiasi. Relasi kuasa antara pihak yang merepresi dengan pihak yang
tertekan
senantiasa menimbulkan gejolak, konflik, dan perubahan. Penelitian ini dibatasi
pada satu
abad kebangkitan nasional Indonesia, yakni dimulai pada 1908 saat kesadaran
berbangsa
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 2 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
mulai tumbuh di kalangan pemuda-pemuda Indonesia yang mendirikan organisasi Boedi
Oetomo hingga 2008, yang bertepatan dengan satu abad perjalanan bangsa Indonesia.
Dalam penelitian terdahulu, saya telah menyinggung adanya dua kiblat dalam
sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh
Hindu/Budha yang sangat kuat, yang terpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih
memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera
(Sambodja,
2005: 174). Kedua kiblat itu bisa menjadi rujukan dan runutan berkaitan dengan
penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan itu juga diperkuat dengan
hasil
penelitian Kratz (1987) yang memperlihatkan bahwa pada 1983, sastrawan Indonesia
yang menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia banyak berasal dari kedua kiblat
itu,
yakni Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%).
Saya tidak mempersoalkan benturan dari kedua kiblat itu, karena masing-masing
memiliki kekhasannya tersendiri. Karya-karya sastra Jawa lebih banyak terpengaruh
oleh
karya sastra India (Zoetmulder, 1985). Naskah Jawa tertua yang puitis, Arjunawiwaha
karya Empu Kanwa, misalnya, terbaca adanya pengaruh Mahabarata karya Vyasa.
Sementara karya sastra Melayu abad ke-16 dan 17 lebih banyak dipengaruhi karya
sastra
Arab dan Persia (Hadi, 1995). Ajaran tasawuf dalam karya-karya Hamzah Fansuri,
misalnya dalam Sidang Ahli Suluk , memperlihatkan pengaruh pemikiran sufi sebelum
abad ke-13, seperti Al Hallaj, Imam Al-Ghazali, dan Ibn Arabi (Hadi, 1995: 21).
Hamzah Fansuri dibunuh dan karyanya diberangus atas anjuran ulama-ulama Aceh yang
berafiliasi dengan pusat kekuasaan.
Dalam pembacaan Sikorsky (1970), karya sastra Jawa yang lebih modern, seperti
karya Ronggowarsito, yang menggunakan bahasa Jawa, seharusnya diperhatikan oleh
penulis sejarah sastra Indonesia, karena message yang disampaikan pengarang masih
relevan bahkan hingga hari ini.
Sikorsky juga menilai, selama ini pakar sastra seperti A. Teeuw dan H.B. Jassin
menggolongkan sejarah sastra Indonesia berdasarkan bahasa yang digunakan dalam
penulisan karya sastra, yakni bahasa Melayu tinggi. Penggolongan semacam itu
menafikan karya sastra lainnya yang menggunakan bahasa Melayu rendah, seperti karya
Semaun dan Mas Marco Kartodikromo. Kedua nama tersebut tidak tercantum dalam
khasanah sastra Indonesia karena dianggap meracuni masyarakat, berbau komunis, dan
mengandung pornografi. Padahal, penilaian itu menggunakan perspektif atau kacamata
kolonial Belanda. Kalau menggunakan perspektif lain, maka yang tampak adalah
pencerahan, yakni pemikiran baru yang keluar dari batas-batas konvensi, yang berisi
semangat Indonesia, karena mengandung antiimperialisme atau antikolonialisme.
Penggolongan sastra Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa Melayu tinggi
tidak saja menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu rendah, tapi juga
menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa daerah. Betapa banyak karya sastra
yang tidak termasuk dalam khasanah sastra Indonesia hanya karena menggunakan bahasa
daerah, seperti karya Ronggowarsito, misalnya, padahal message karya Ronggowarsito
itu tetap abadi hingga kini. Semangat Indonesianya, yang antifeodalisme, sangat
kentara dalam karya-karyanya. Sayang kalau karya sastra produk anak bangsa yang
berbobot seperti itu luput dari perhatian para ahli sastra atau penulis sejarah
sastra
Indonesia.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 3 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Sebelum 1908, terjadi benturan antara pihak keraton dengan pihak di luar keraton
(Mohamad, 2003). Selain itu, antara sastrawan dan ulama sufi dengan kaum puritan
juga
terjadi gejolak dan benturan sebagaimana dialami Hamzah Fansuri dan Syekh Siti
Jenar.
Bagaimana dengan relasi kuasa yang ada pada periode 1908-2008?
Kita tahu bahwa pada periode 1908-1945 adalah masa penjajahan yang
memberangus kemerdekaan bangsa Indonesia, baik di bawah kolonial Belanda maupun
Jepang (1942-1945). Jelas, bahwa ketegangan yang terjadi adalah antara pihak
kolonial
dengan pihak inlander (pribumi). Ketika berada di bawah kolonial Belanda, sastrawan
Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dengan menyuarakan antiimperialisme, dengan
menggunakan bahasa Melayu Rendah bahasa yang tidak dikehendaki Balai Pustaka
saat itu (Sikorsky, 1970). Sastrawan Indonesia yang menerbitkan karyanya di Balai
Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial Belanda, mengalami nasib penyensoran,
karena naskah yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintah
Belanda. Akibatnya, isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis, misalnya, berbeda jauh
dengan isi naskah aslinya. Begitu juga nasib novel Belenggu karya Armyn Pane yang
ditolak oleh penerbit Balai Pustaka. Sementara novel-novel yang terbit di luar
Balai
Pustaka dilecehkan dengan dicap sebagai bacaan liar , novel picisan , dan dianggap
bisa meracuni masyarakat .
Ketika berada di bawah pemerintah kolonial Jepang, penyensoran tetap terjadi
bahkan makin menjadi. Sastrawan Indonesia dilarang menulis dalam bahasa Belanda
atau
menyinggung hal-hal yang berbau Barat. Di satu sisi, pelarangan ini membatasi
kreativitas sastrawan saat itu, tapi di sisi lain, perkembangan bahasa Indonesia
mengalami pertumbuhan yang sangat cepat karena menjadi bahasa utama dalam
komunikasi, pendidikan, dan sastra (Rosidi, 1995). Keimin Bunka Sidhoso (Kantor
Pusat
Kebudayaan) menjadi alat represi pemerintah Jepang yang sangat efektif. Lembaga ini
membatasi ruang gerak seniman dan sastrawan, karena diarahkan untuk menulis sastra
propaganda demi kemenangan Asia Timur Raya dan antiAmerika dan sekutu-sekutunya.
Seniman yang mencoba menyuarakan pikiran dan perasaannya sesuai dengan hati
nuraninya sendiri, seperti yang disuarakan Cak Durasim, maka berujung pada kematian
(Poeponegoro, 1984; Wasono, 2007).
Sejarah kemudian mencatat bahwa Polemik Kebudayaan yang dipicu Sutan
Takdir Alisjahbana dan polemik antara sastrawan Lekra dengan sastrawan Manifes
Kebudayaan banyak mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Polemik Kebudayaan
melahirkan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dan kelompok Manifes Kebudayaan.
Di samping itu, polemik antara Lekra dengan Manikebu tidak hanya terjadi pada 1960-
an
(menjelang naiknya Soeharto ke puncak kekuasaan), melainkan juga terjadi pada 1990-
an
(menjelang jatuhnya Soeharto dari puncak kekuasaan).
Perspektif Baru
Terbitnya dua buku Ernst Ulrich Kratz, A Bibliography of Indonesian Literature
in Journals Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi
(1988) dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (2000) telah memberikan
perspektif baru bagi pembacanya bahwa sejarah sastra Indonesia harus selalu ditulis
ulang, terus-menerus, dan diperbaiki dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan
terbitnya
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 4 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1995) karya P.J. Zoetmulder
dan buku Yang Indah, Berfaedah, dan Kamil: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19
(1998) karya V.I. Braginsky.
Setidaknya ada dua alasan utama kenapa sejarah sastra Indonesia harus selalu
diperbaiki. Pertama, sesuai dengan perkembangan waktu perkembangan zaman, jumlah
sastrawan dan karya sastra yang dihasilkan akan selalu bertambah. Semakin lama akan
semakin banyak jumlahnya. Kedua, penulisan sejarah sastra seringkali hanya
memperhatikan sastra kanon, sehingga karya sastra yang muncul pada masa yang
bersamaan hanya menjadi fosil atau artefak yang tidak diperhatikan.
A. Teeuw dalam Kratz (1988) mengatakan bahwa kanonisasi dalam sastra itu
sangat penting dan berguna, namun sekaligus juga sangat berbahaya, karena
kanonisasi
itu akan menimbulkan kecenderungan untuk memfosilkan sastra dan apresiasi sastra
dalam masyarakat serta akan mencegah orang untuk membaca dengan perspektif baru,
untuk membuat penemuan-penemuan baru, dan membentuk pandangan-pandangan segar.
Dalam buku A Bibliography of Indonesian Literature in Journals itu, Kratz
mencatat ada 27.078 judul karya sastra yang terbit di majalah pada 1922-1982 yang
ditulis oleh 5.506 sastrawan. Dengan rincian, puisi sebanyak 16.507 judul, prosa
10.389
judul, dan drama 182 judul. Dalam kurun waktu 60 tahun, jumlah sastrawan berikut
karya
sastra yang berbahasa Indonesia tercatat dalam jumlah yang fantastis. Namun, buku
sejarah sastra Indonesia yang ditulis melalui proses kanonisasi yang rumit karena
tidak
saja ditentukan oleh faktor kesusastraan dan kebudayaan, melainkan juga dipengaruhi
faktor ekonomi, sosial, dan bahkan politik itu tidak bisa menampung semuanya.
Sementara buku Kratz yang lain, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX, memperlihatkan bahwa sastrawan dan kritikus sastra Indonesia juga sudah
bertahuntahun
memikirkan dan membicarakan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Banyak
hal yang dibicarakan dalam buku ini, namun yang menonjol adalah sejarah pemikiran
para sastrawan dan budayawan Indonesia mengenai sastra dan budaya Indonesia pada
1928-1997. Beragam pemikiran yang dihimpun Kratz tersebut memperlihatkan
beragamnya visi atau perspektif yang bisa digunakan dalam melihat suatu peristiwa
sejarah.
Sementara empat buku Keith Foulcher, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan
Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia (2000), Pujangga Baru:
Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), Angkatan 45: Sastra,
Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social Commitment in
Literature
and The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-1965 (1986) saya
urutkan secara kronologis berdasarkan topik yang dibicarakan, dan bukan berdasarkan
tahun terbitnya memperlihatkan intensitasnya dalam membaca sejarah nasional
Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.
Model penulisan sejarah semacam ini, yang mengaitkan sastra dengan faktor
sosial politik, yang juga menjadi model penulisan Harry Aveling, misalnya dalam
buku
Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003), sedikit banyak
mempengaruhi pembahasan mengenai peta politik sastra Indonesia (1908-2008) ini.
Dalam Keith Foulcher (1991) misalnya, ia tidak hanya membahas karya sastra
yang terbit pada masa 1930-an, tetapi juga membahas panjang lebar mengenai polemik
kebudayaan yang terjadi pada pertengahan 1930-an sekaligus situasi sosial politik
pada
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 5 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
saat itu. Hal ini membuktikan bahwa sastrawan berikut karya sastranya tidak
terasing
dari persoalan yang ada di masyarakatnya. Bahkan terjadi interaksi secara langsung
antara sastrawan, karya sastra, realitas kehidupan, dan masyarakat.
Sastrawan menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang dilihat dan
dialami sesuai dengan visinya. Dengan kata lain, sastrawan memotret kenyataan yang
diketahuinya dan kemudian menuangkannya dalam bentuk karya sastra. Analoginya, bila
wartawan memotret kenyataan menjadi berita, maka sastrawan memotret kenyataan
menjadi cerita. Baik berita yang ditulis wartawan maupun cerita yang ditulis
sastrawan
akan diwarnai visi penulisnya. Dan itu sah-sah saja.
Sebuah fakta akan menjadi berita yang berbeda-beda jika ditulis oleh para
wartawan yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda pula, misalnya, latar
belakang
agama, suku (etnik), pendidikan, ideologi, partai politik, komunitas, gender, dan
sebagainya. Bagaimana bila fakta yang sama itu ditulis oleh para sastrawan? Tentu
hasilnya akan lebih mencengangkan, karena setiap sastrawan memiliki licentia
poetica,
semacam hak prerogatif untuk menggunakan metafora yang khas, personal, bahkan bebas
melakukan penyimpangan terhadap konvensi bahasa yang ada.
Claire Holt (2000) mengatakan, satu abad hanyalah sebuah periode singkat dalam
sejarah sebuah peradaban. Perlu dicatat di sini bahwa dalam rentang waktu 1908-2008
telah terjadi sebuah peristiwa politik yang sangat penting bagi bangsa Indonesia
yakni
peristiwa 30 September 1965 yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Misalnya,
keluarga anggota PKI yang ikut menjadi korban dalam peristiwa itu, meskipun mereka
tidak berhubungan secara langsung dengan PKI, belum mendapatkan keadilan. Nama
baik mereka belum direhabilitasi, apalagi mendapat kompensasi karena selama Orde
Baru mereka dibatasi ruang geraknya untuk mencari nafkah..
Penelitian ini akan difokuskan ke persoalan sastra dan budaya, yang secara tidak
langsung terseret ke persoalan politik karena sastrawan-sastrawan Lekra
menggaungkan
politik adalah panglima , terutama setelah Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, tentang Demokrasi Terpimpin, yang antara lain memberikan
wewenang yang sangat besar pada Lekra underbouw PKI, salah satu partai pendukung
kebijakan-kebijakan Soekarno untuk mengembangkan kebudayaan.
Polemik Kebudayaan
Ada pendapat yang mengatakan bahwa semua perbuatan manusia pasti
dipengaruhi pikiran. Dan, kita tahu bahwa tidak ada yang baru sama sekali di bawah
kolong langit ini. Oleh karena itu, pengaruh pemikiran sebelumnya pasti kita lihat
pada
semua pemikiran yang berkembang sekarang ini (Kuntowijoyo, 2003: 189-192). Roland
N. Stromberg, dalam Kuntowijoyo (2003), mendefinisikan sejarah pemikiran (history
of
thought, history of ideas, atau intellectual history) sebagai the study of the role
of ideas in
historical events and process. Oleh karenanya, sejarah manusia tidak dapat lepas
dari
proses perkembangan pemikiran.
Sutan Takdir Alisjahbana, yang pada 1935 berusia 27 tahun, menghentak
kalangan intelektual Indonesia dengan pemikirannya yang radikal melalui sebuah
artikel
berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang dimuat di majalah yang
didirikan dan dipimpinnya sendiri, Pujangga Baru. Dalam tulisannya itu, Sutan
Takdir
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 6 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Alisjahbana membedakan kebudayaan praIndonesia (yang berlangsung hingga akhir abad
ke-19) dan kebudayaan Indonesia (yang dimuali pada awal abad ke-20).
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, perjuangan Pangeran Diponegoro, Teuku
Umar, Imam Bonjol, dan lain-lain bukanlah untuk Indonesia. Demikian pula dengan
pembuatan Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak ada kaitannya dengan Indonesia.
Semuanya itu termasuk dalam kebudayaan praIndonesia.
Kebudayaan Indonesia, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, bukanlah sambungan
kerajaan Mataram, Sriwijaya, atau Majapahit. Kebudayaan Indonesia yang dimaksud
Sutan Takdir Alisjahbana adalah kebudayaan yang terlepas dari kebudayaan
praIndonesia
dan harus berorientasi ke Barat. Karena, masyarakat Indonesia yang statis harus
diubah
menjadi dinamis. Untuk itu, kita harus mencontoh negara-negara yang dinamis, yakni
negara-negara Barat. Dan, sejatinya, kaum terpelajar Indonesia generasi pertama
dapat
berorganisasi, berpolitik, mendirikan Budi Utomo pun karena pendidikan Barat.
Semangat muda yang dipancarkan Sutan Takdir Alisjahbana itu sebenarnya
mengikuti jejak pendahulunya yang menggelar kongres pemuda pada 28 Oktober 1928.
Dalam kongres itu, Muhammad Yamin, yang saat itu berusia 24 tahun, menjadi tokoh
kunci kongres tersebut, dan dialah yang menyusun komposisi dari resolusi yang
dihasilkan kongres, yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda (Foulcher, 2000: 8).
Sumpah Pemuda yang disusun Muhammad Yamin berbunyi demikian.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Resolusi Sumpah Pemuda itu membawa perubahan besar dalam kehidupan
berbangsa. Karena, sebelum kongres menghasilkan resolusi itu, sebagian besar pemuda
yang berpendidikan Barat berbicara dalam bahasa Belanda. Setelah peristiwa itu,
mereka
dengan bangga menggunakan bahasa Indonesia, karena menambah rasa nasionalisme
mereka.
Gagasan yang dilontarkan Sutan Takdir Alisjahbana di atas mendapat reaksi dari
rekan dan seniornya. Sanusi Pane, yang saat itu berusia 30 tahun, tidak sependapat
dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Ia tidak setuju dengan pembagian sejarah semacam
itu.
Menurut Sanusi Pane, pada zaman Majapahit, Pengeran Diponegoro, Borobudur, dan
lain-lain sudah mempunyai ciri keindonesiaan, yang belum ada hanyalah ciri natie
atau
nation (bangsa) Indonesia. Zaman sekarang, kata Sanusi Pane, merupakan terusan dari
zaman dahulu. Ia juga menyarankan agar kebudayaan Indonesia menyatukan Faust
yang didominasi pemikiran, akal (Barat) dan Arjuna yang didominasi perasaan,
nurani (Timur).
Sementara Poerbatjaraka sependapat dengan Sanusi Pane. Menurutnya, tidak
mungkin kita lepas dari masa lalu. Untuk membangun kebudayaan Indonesia, kita harus
mengetahui jalan sejarah dari dulu sampai sekarang. Kita justru membangun masa
depan
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 7 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
dengan bertitik tolak dari masa lalu. Poerbatjaraka mengingatkan, kita jangan mabuk
kebudayaan kuno, tapi jangan juga mabuk kebudayaan Barat. Yang ideal adalah kita
mengetahui kedua kebudayaan itu, Barat dan Timur, dan memilih yang baik dari
keduanya untuk membangun kebudayaan Indonesia (Kartamihardja, 1998).
Saya sendiri cenderung sependapat dengan Sanusi Pane dan Poerbatjaraka, karena
peradaban yang telah dibangun secara perlahan oleh nenek moyang kita menjadi runtuh
dan tak berarti apa-apa jika kita mengikuti pola pikir Sutan Takdir Alisjahbana.
Dengan
memutuskan mata rantai sejarah, Sutan Takdir Alisjahbana seolah-olah menafikan
kekayaan rohani dan kekayaan batin bangsa kita yang terekam dan tercatat dengan
baik
dalam karya sastra klasik yang diciptakan sejak abad ketujuh masehi (Sambodja,
2005:
159-177). Meskipun demikian, kita wajib bersyukur dengan adanya pemikiran Sutan
Takdir Alisjahbana seperti itu, yang menjadi shock therapy bagi bangsa Indonesia
untuk
lebih serius memikirkan masa depan kebudayaannya. Sejak Sumpah Pemuda 1928, peran
pemuda dalam percaturan politik dan kebudayaan pada umumnya memang kian
menonjol.
Pada tahun 1950, tepatnya 18 Februari 1950, seniman-seniman muda yang terdiri
dari Chairil Anwar (28 tahun), Asrul Sani (24 tahun), Rivai Apin (23 tahun), M.
Balfas
(24 tahun), M. Akbar Djuhana (26 tahun), Mochtar Apin (25 tahun), Henk Ngantung (23
tahun), dan Baharudin (39 tahun) mengeluarkan pernyataan Surat Kepercayaan
Gelanggang untuk menyikapi persoalan kebudayaan sekaligus memperlihatkan orientasi
kebudayaan mereka, yang memperkuat bahkan mengembangkan pendapat Sutan Takdir
Alisjahbana sebelumnya. Bahwa orientasinya bukan ke Barat saja, tetapi mendunia
(Ismail, 1995). Adapun bunyi selengkapnya pernyataan itu adalah sebagai berikut.
Surat Kepercayaan Gelanggang
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan
ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orangbanyak
dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari
mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit yang sawo-matang,
rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan,
tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan
pikiran kami.
Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan
Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak
ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru
yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai
rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari
segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk
suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan
menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai
usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi
di tanah air kami sendiri belum selesai.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 8 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok
ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami sendiri, membahas dan
menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah
penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara
masyarakat dan seniman.
Enam bulan setelah lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang, tepatnya 17 Agustus
1950, lahir sebuah organisasi yang concern terhadap bidang budaya. Organisasi itu
bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Penggagasnya adalah D.N. Aidit, Njoto
(Iramani), M.S. Ashar, dan A.S. Dharta yang saat itu berusia 27 tahun. Lekra adalah
sebuah gerakan kebudayaan yang bersifat nasional dan kerakyatan, yang didalamnya
memang ada orang-orang yang menjadi anggota PKI, tetapi sebagian besarnya bukan.
Lekra, sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada
pandangan kelas dan atau Marxisme-Leninisme (Ajoeb, 2004:7).
Setelah terbit Dekrit Presiden tahun 1959, Lekra banyak mewarnai kehidupan
kebudayaan di Indonesia, termasuk sastra Indonesia (Eneste, 1988: 90). Dalam sidang
pleno Pimpinan Pusat Lekra pada Juli 1961, semboyan politik adalah panglima
diterima sebagai azas kerja kreatif, namun bukan sebagai instruksi atau keharusan
(Ajoeb, 2004: 14).
Joebaar Ajoeb menjelaskan, Indonesia sebagai bekas daerah jajahan memerlukan
semboyan politik adalah panglima , karena pada 1950-an ada semacam propaganda
yang hendak mengusir atau menjauhkan seniman dan sastrawan keluar dari gelanggang
politik. Propaganda itu, misalnya, menyebut politik hanya menjadi urusan orang
politik,
politik itu kotor, seniman dan sastrawan itu suci, tidak perlu ikut-ikutan
berpolitik,
termasuk dalam berkarya. Lekra menentang propaganda yang bertentangan dengan
semangat Kebangkitan Nasional (Ajoeb, 2004: 16-17).
Ada baiknya kita baca dengan teliti Mukaddimah Lekra di bawah ini. Dalam
Mukaddimah ini Lekra tidak saja mengimbau anggotanya, tetapi juga mengimbau
seniman-seniman lain di luar Lekra. Atas dasar apa Lekra mengurusi/mencampuri atau
merecoki seniman di luar Lekra? Imbauan itu misalnya terbaca pada kalaimat, Lekra
menganjurkan kepada anggota-anggotanya, tetapi juga kepada seniman-seniman,
sarjanasarjana,
dan pekerja-pekerja kebudayaan di luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari
kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap
setia
kepada kenyataan dan kebenaran.
Kemudian, ada penekanan lebih lanjut, Di lapangan kesenian Lekra mendorong
inisiatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya,
dan
sebagainya, selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan
artistik yang setinggi-tingginya.
Pertanyaannya, kebenaran menurut siapa? Mengapa Lekra memposisikan dirinya
sebagai subjek dan anggotanya serta seniman di luar Lekra sebagai objek? Siapa yang
memberi otoritas sedemikian besar sehingga Lekra over confident seperti itu?
Sebelum
mengkritik lebih jauh atas pemikiran sastrawan-sastrawan Lekra, kita baca terlebih
dahulu Mukaddimah Lekra yang saya maksud.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 9 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Mukaddimah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan
bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh
Rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudayaan
Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses
perkembangan kebudayaan, yang sebagai hasil keseluruhan daya upaya sadar
manusia untuk memenuhi, setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan
batin, senantiasa maju dengan tiada putusnya.
Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam
peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah, adalah
semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revolusi
Agustus adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari penjajahan dan
peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah
Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta
demokrasi, kebudayaan berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini
menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk Kemerdekaan tanah
air dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat
kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta Rakyat.
Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini
terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan
kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana serta pekerja-pekerja kebudayaan
lainnya. Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari
masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar
mengabdikan daya cipta, bakat serta keahlian mereka guna kemajuan
Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.
Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita
telah melahirkan putera-putera yang baik, di lapangan kesusastraan, seni
rupa, musik, seni tari, seni drama, dan film, maupun di lapangan-lapangan
kesenian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa bangsa kita terdiri dari
suku-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan yang bernilai.
Keragaman bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas
untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.
Lekra tidak hanya menyambut setiap sesuatu yang baru; Lekra
memberikan bantuan yang aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan
maju, Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa Kebudayaan penjajah
yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah pada sebagian
bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek
moyang kita, mempelajari dengan seksama segala segi peninggalanpeninggalan
itu, seperti halnya mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil
klasik maupun dari bangsa lain yang manapun, dan dengan ini meneruskan
secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah dan bangsa kita, menuju ke
penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah. Lekra menganjurkan
kepada anggota-anggotanya, tetapi juga kepada seniman-seniman, sarjanasarjana
dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di luar Lekra, untuk secara
dalam mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk
bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran.
Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentanganpertentangan
yang berlaku di dalam masyarakat manapun di dalam hati
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 10 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari
depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataankenyataan
di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hal ini,
baik untuk cara kerja di lapangan ilmu, maupun untuk cara kerja penciptaan
di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian, Lekra mendorong inisiatif yang
kreatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap aliran
bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan dan
selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.
Singkatnya, dengan menolak sifat anti-kemanusiaan dan anti-sosial dari
kebudayaan bukan Rakyat, dengan menolak perkosaan terhadap kebenaran
dan terhadap nilai-nilai keindahan, Lekra bekerja untuk membantu
pembentukan manusia baru yang memiliki segala kemampuan untuk
memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak
dan harmonis.
Di dalam kegiatannya, Lekra menggunakan cara saling bantu, saling
kritik dan diskusi persaudaraan dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra
berpendapat bahwa secara tegas berpihak pada Rakyat, adalah satu-satunya
jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja
kebudayaan lainnya, untuk mencapai hasil-hasil yang tahan uji dan tahan
waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain
dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerja sama dalam pengabdian ini.
Disahkan dalam Kongres Nasional Pertama
Lembaga Kebudayaan Rakyat
di Solo, tanggal 22-28 Januari 1959.
Dalam Mukaddimah itu, Lekra seolah-olah mengklaim bahwa ia
merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia. Apabila asumsi itu benar, maka
pernyataan
Lekra hanyalah sebuah utopia. Tidak mungkin seseorang atau suatu lembaga
mengatasnamakan seluruh rakyat. Apa dan siapa sebenarnya rakyat itu? Bisakah ia
diwakilkan? Kalaupun diwakilkan, seperti mereka yang duduk di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) saat ini, maka suaranya tidak pernah bulat. Suaranya tidak pernah
tunggal.
Sama halnya tidak dapat kita terima jika Front Pembela Islam (FPI) mengatasnamakan
seluruh umat Islam dan melakukan aksi penegakan hukum tanpa prosedur hukum yang
berlaku. Ada proses distorsi makna rakyat ketika Lekra mengatasnamakan rakyat
mengganyang dan membabat seniman-seniman yang tidak sepaham dengannya.
Oleh karena itu, wajar bila muncul seniman-seniman muda lainnya yang
melakukan perlawanan. Di antara seniman muda itu adalah Goenawan Mohamad (22
tahun), Arief Budiman (23 tahun), Boen S. Oemarjati (23 tahun), dan Taufiq Ismail
(26
tahun). Bersama H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Sumardjo, mereka
mengeluarkan pernyataan berupa Manifes Kebudayaan yang tidak bisa menerima konsep
politik adalah panglima dan realisme sosialis . Dalam penjelasannya, selain
menyinggung dua hal itu, mereka juga menjelaskan konsep kesenian mereka,
humanisme universal , dan pandangan mereka mengenai kebudayaan nasional. Berikut
ini pernyataan Manifes Kebudayaan.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 11 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini
mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian,
cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan
kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor
kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang
bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta
dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa
Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Polemik Lekra-Manikebu
Terbitnya buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk yang disusun
D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995) mengundang kontroversi, karena buku yang
dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan kita pada peristiwa bersejarah tahun 1960-an
dinilai kurang tepat momentumnya. Buku tersebut mengungkap kembali masa lalu
sastrawan Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN) organisasi massa (ormas) underbow Partai Nasional Indonesia (PNI)
Sitor Situmorang, yang membabat sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) melalui
media massa yang berafiliasi PKI, yakni Harian Rakyat dan Bintang Timur, serta
media
yang berafiliasi PNI, Suluh Indonesia. Dikatakan kurang tepat momentumnya karena
sastrawan Lekra yang menjadi sasaran kritik buku itu tidak memiliki hak jawab.
Pramoedya Ananta Toer tidak bisa melakukan pembelaan karena berada dalam
pengawasan serius pemerintah Soeharto, meskipun saat itu Pramoedya Ananta Toer
sudah dibebaskan dari Pulau Buru.
Setahun setelah itu muncul buku Refleksi Kebudayaan yang disusun Adila
Suwarno dkk. (1996), yang berisi makalah-makalah yang disampaikan dalam sebuah
diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Diskusi atau dialog
terbuka
bertajuk Refleksi Kebudayaan itu merupakan reaksi dari seniman dan intelektual yang
prihatin dengan situasi politik dan budaya saat itu. Kita tahu bahwa pada Juli
1994,
pemerintah Soeharto memberedel majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik. Ini
membuktikan bahwa tidak ada kebebasan berpendapat di negara demokrasi Pancasila era
Soeharto.
Pada saat yang hampir bersamaan, tepatnya pada 19 Juli 1995, Yayasan Ramon
Magsaysay memberikan Hadiah Magsaysay yang disebut-sebut sebagai Nobel Asia
kepada Pramoedya Ananta Toer untuk kategori penulisan jurnalistik dan sastra.
Hadiah
serupa pernah diterima oleh H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Ali Sadikin,
Abdurrahman Wahid, Ny. A.H. Nasution, Anton Soedjarwo, Ben Mboi, dan Nafsiah
Mboi. Sebelumnya, pemberian Hadiah Magsaysay itu tidak pernah bermasalah. Hanya
saja, karena yang menerima seorang Pramoedya Ananta Toer yang sarat kontroversi,
pemberian hadiah itu pun menimbulkan polemik.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 12 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Dengan diberikannya Hadiah Magsaysay kepada Mochtar Lubis (yang anti
komunis) dan Pramoedya Ananta Toer (yang pro komunis) bisa ditafsirkan bahwa
Yayasan Ramon Magsaysay tidak mempertimbangkan latar belakang ideologi seseorang.
Yang menjadi pertimbangan adalah keduanya sama-sama berprestasi di bidang sastra
dan
jurnalistik, serta sama-sama mengalami represi oleh penguasa; Mochtar Lubis
mendapat
represi di zaman Orde Lama (rezim Soekarno) dan Pramoedya Ananta Toer mendapat
represi di zaman Orde Baru (rezim Soeharto).
Meskipun demikian, ada 26 sastrawan dan budayawan yang dipelopori Taufiq
Ismail yang langsung membuat surat pernyataan menolak pemberian hadiah Magsaysay
itu kepada Pramoedya Ananta Toer. Para sastrawan dan budayawan yang menolak
penganugerahan Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer adalah Taufiq Ismail,
Mochtar Lubis, Rendra, H.B. Jassin, Asrul Sani, Ali Hasjmy, Wiratmo Soekito, Yunan
Helmy Nasution, D.S. Moeljanto, Bokor Hutasuhut, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan,
Lukman Ali, Rosihan Anwar, Sori Siregar, Leon Agusta, Syu bah Asa, Rachmat Djoko
Pradopo, Danarto, Amak Baljun, Chairul Umam, Ikranagara, Budiman S. Hartoyo,
Slamet Sukirnanto, Mochtar Pabottingi, dan Abdul Rahman Saleh. Bahkan, Mochtar
Lubis mengembalikan Hadiah Magsaysay beserta uang senilai Rp100 juta yang pernah
diterimanya pada 1958. Adapun pernyataan yang mereka tanda tangani itu berbunyi
demikian.
Pernyataan
Keputusan Yayasan Hadiah Magsaysay memberikan hadiah sastra 1995
kepada Pramoedya Ananta Toer mengherankan kami di Indonesia.
Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya
tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi
kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan
sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.
Apapun juga kriteria penilaian sastra yang dipergunakan, nampaknya
yayasan tidak menilai kegiatan Pramoedya di zaman merajalelanya
komunisme di Indonesia. Dia memimpin penindasan kreativitas penulis,
dramawan, sineas, pelukis dan musikus non-komunis, melecehkan kebebasan
ekspresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam serta mengeluelukan
pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya. Dia juga
melancarkan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap
seniman-seniman non-Lekra/PKI, teror mental dan intimidasi sebagai
pelaksanaan prinsip tujuan menghalalkan cara , mengembangkan gaya
bahasa caci-maki di pers Indonesia, melakukan kampanye pembabatan
terhadap penerbit-penerbit independen, a.l. yang masih berani menerbitkan
terjemahan Dr. Zhivago, karya novelis Boris Pasternak pemenang Hadiah
Nobel 1958.
Demikianlah maka terasa sangat ironis apabila dengan keputusan
tersebut Pramoedya jadi duduk sebangku dengan pemenang hadiah
Magsaysay Mochtar Lubis dan H.B. Jassin. Mochtar Lubis, pengarang dan
wartawan, pejuang kebebasan ekspresi dan hak asasi manusia lebih dari 40
tahun hingga kini, dan H.B. Jassin, kritikus dan dokumenter sastra, salah satu
dari sasaran utama Pramoedya di masa kampanye fitnah dan teror mental
tersebut.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 13 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Terlepas dari apa yang dialaminya sekarang, sebegitu jauh Pramoedya
tidak pernah terdengar menyesalkan peran yang dilakukannya dulu, tidak
pernah mengakui seluruh sepak-terjangnya di masa itu sebagai tindakan
pemberangusan kemerdekaan kreatif yang dilakukan secara sistematik.
Namun demikian, seniman-seniman non-komunis pasca-1965 tidak
memperlakukannya seperti Pramoedya dkk. memperlakukan mereka 30-35
tahun yang silam mereka malah membela haknya menulis, memprotes
pelarangan bukunya dan menyayangkan pembatasan-pembatasan yang
dikenakan pada dirinya. Kami khawatir bahwa pemberian hadiah kepada
Pramoedya sekaligus berarti pula bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay
membayarnya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatif sejak awal
hingga pertengahan 60-an di Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer tidak mendapat kesempatan untuk membela diri. Ia
bahkan dicekal ke luar negeri oleh pemerintah, sehingga ia tidak bisa menerima
hadiah
itu secara langsung dan diwakilkan oleh istrinya, Maemunah Thamrin. Meskipun
demikian, seniman-seniman muda bereaksi terhadap penolakan 26 sastrawan dan
budayawan itu. Mereka, dalam jumlah yang sama besarnya, mengeluarkan pernyataan
ketidaksetujuannya dengan 26 sastrawan-sastrawan senior itu. Dari surat pernyataan
yang
ditandatangani 26 sastrawan dan budayawan muda itu tampak bahwa pemikiran kaum
muda lebih mencerahkan dalam membangun kebudayaan yang lebih beradab. Sastrawan
dan budayawan muda yang menandatangani pernyataan pada 15 Agustus 1995 itu adalah
Ariel Heryanto, Halim H.D., Tommy F. Awuy, Ahmad Sahal, Acep Zamzam Noor, Adi
Wicaksono, Sitok Srengenge, Isti Nugroho, Angger Jati Wijaya, M. Imam Awi, Simon
Hate, Toto Rahardjo, Nuruddin Amin, Hairus Salim H.S., Gojek J.S., Arief Afandi,
Nurhidayat Poso, Agus T., Wahyu Susilo, Noor Aini Cahya K., Tan Lioe Ie, Weye
Haryanto, Ayik Sadat, Gunawan Budi Susanto, Sosiawan Leak, dan Sutanto. Adapun
pernyataan itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Pernyataan Kaum Muda untuk Kebudayaan
Wacana Kebudayaan Indonesia hingga kini belum beranjak dari
pengobaran tema dan konflik lama yang bersemangat primordialistik. Masa
depan membutuhkan kebudayaan yang demokratis, toleran dan siap
menerima yang lain. Oleh sebab itu, wacana pengembangan kebudayaan
masa depan seyogyanya bersih dari konflik-konflik masa silam yang tidak
relevan untuk masa kini. Mendesak suatu dialog budaya yang mampu
melampaui pertikaian keyakinan, yang bermuara pada penyempitan sikap
budaya.
Pada tanggal 19 Juli 1995, Yayasan Ramon Magsaysay memutuskan
akan memberikan penghargaan bidang penulisan sastra dan jurnalistik
kepada Pramoedya Ananta Toer. Pada tanggal 29 Juli 1995, 26 seniman dan
budayawan Indonesia menyatakan keheranannya atas anugerah Yayasan
Magsaysay kepada Pram. Pram dalam pandangan mereka, sangat tidak layak
atas penghargaan itu, karena dalam sejarah resmi ia disebut sebagai orang
yang bertanggung jawab atas pengekangan kebebasan berkreasi dan
berpendapat di masa paling gelap bagi kreativitas pada zaman Demokrasi
Terpimpin (1959-1965).
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 14 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Kontroversi di atas menunjukkan dekadensi wacana kebudayaan
Indonesia. Wacana kebudayaan Indonesia semestinya bertumbuh dari
dialognya yang jantan dan terbuka terhadap problem-problem riil bangsa.
Maka berkenaan dengan itu, perlu dikemukakan beberapa hal penting bagi
bertumbuhnya kebudayaan Indonesia masa depan.
1. Tragedi politik dan budaya 1965, bagi kami, sejumlah generasi muda yang
relatif berjarak dengan sepotong realitas zaman tersebut, hingga kini masih
diselimuti sisi gelap. Bahwa ada sejarah yang ditulis, dirasakan hal itu masih
merupakan interpretasi sepihak. Sementara pihak yang lain hingga kini
belum pernah diberikan kesempatan secara terbuka dan aman
mengemukakan versinya. Di sinilah pertanyaan tentang keadilan,
obyektivitas yang bertumpu pada kejernihan dan kearifan sejarah mesti
dikedepankan.
2. Dendam dan sakit hati adalah hal yang sangat manusiawi tetapi kalaupun
pernah terjadi teror dan kekejaman yang dilakukan sekelompok atau
seseorang terhadap sekelompok atau seseorang yang lain, bukan berarti
tindakan balas dendam atasnya menjadi sah karenanya perlu dimaklumi.
Sebab betapapun tindakan memaafkan dalam konteks kehidupan berbangsa
dan berkebudayaan adalah setinggi-tingginya nurani kemanusiaan.
3. Demi menjamin tumbuhnya sikap budaya yang demokratis, terbebas dari
bentuk-bentuk pembatasan, pengekangan, pemasungan kreativitas, sudah
saatnya kehidupan kebudayaan dibebaskan dari prasangka politik. Dalam
kaitannya dengan kasus Pramoedya Ananta Toer, selayaknyalah kita rela
memandang sebagai sebuah capaian kreativitas, atas prestasi budaya salah
seorang putra bangsa Indonesia. Kekhawatiran ideologis yang berlebihan,
selain tidak mendewasakan juga menghambat lahirnya gagasan kritis yang
mencerdaskan.
4. Perlu kita sadari bersama bahwa pewarisan nilai kebudayaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, seyogyanya dilakukan melalui
pengungkapan sejarah yang utuh dan berimbang. Upaya penggelapan
terhadap realitas sejarah demi proteksi akan berakibat lahirnya sebuah
generasi yang diliputi kecemasan, ketakutan dan gamang menatap masa
depan. Karena masa depan republik ini harus tumbuh di atas bangunan
kebudayaan yang arif, egaliter, bukan berdasarkan dendam politik dan
pertarungan paham yang berkepanjangan.
5. Untuk itulah dalam rangka merumuskan dinamika kebudayaan yang
kondusif bagi lahirnya masa depan yang dicita-citakan segenap kaum muda,
seluruh pertikaian paham dan konflik kepentingan wilayah-wilayah
kekuasaan harus segera dipadamkan. Semangat rekonsiliasi harus lebih
memuat makna dialog dalam kesadaran pluralisme. Rekonsiliasi penting
untuk dikedepankan bukan dalam konteks pemahaman politik yang di
dalamnya tetap berkembang perasaan kalah-menang.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 15 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Kontroversi itu tidak berhenti sampai pada perang pernyataan saja, melainkan
terus berkembang di ruang diskusi di TIM, yang kemudian dibukukan dalam Refleksi
Kebudayaan (1996), dan menjadi polemik di media massa. Polemik yang terjadi di
media
massa ini kemudian dikumpulkan dan dibukukan A.S. Laksana dalam Polemik Hadiah
Magsaysay (1997).
Polemik atau kontroversi seputar pemberian Hadiah Magsaysay kepada
Pramoedya Ananta Toer ini mengingatkan kita pada kontroversi antara sastrawan Lekra
dan Manikebu pada 1960-an, karena aktor-aktor yang berperan masih aktor-aktor yang
lama. Pramoedya Ananta Toer di satu pihak melawan 26 sastrawan dan budayawan
senior. Di manakah ujung dari manuver ke-26 sastrawan dan budayawan senior itu?
Dari
tulisan Rendra, misalnya, yang diharapkan adalah pengakuan dosa Pramoedya Ananta
Toer atas tindakan-tindakannya di masa lalu dan permintaan maaf atas
kesalahankesalahan
yang telah dilakukan. Pramoedya Ananta Toer tentu saja menolak minta maaf
dan tidak mengakui apa yang dilakukannya merupakan kesalahan, karena dia sangat
yakin bahwa yang dilakukannya adalah benar.
Yang menarik adalah berubahnya formasi kubu sastrawan Manikebu yang tidak
satu suara lagi. Goenawan Mohamad, yang melihat Pramoedya Ananta Toer sebagai
seorang yang keras kepala, kali ini tidak sehaluan dengan kelompok Taufiq Ismail.
Tulisan Goenawan Mohamad (2004), Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer
memperlihatkan perbedaan sikap yang jelas dengan kelompok Taufiq Ismail. Goenawan
Mohamad menyuarakan perlunya rekonsiliasi antara berbagai pihak yang bertikai,
dengan saling memaafkan dan bisa menerima perbedaan.
Sikap Goenawan Mohamad ini diikuti oleh rekan seperjuangannya, Arief
Budiman, yang sama-sama menolak menandatangani pernyataan yang dibuat Taufiq
Ismail dan kawan-kawan. Benih perpecahan antara kelompok Goenawan Mohamad,
Arief Budiman, ditambah Sapardi Djoko Damono dan Umar Kayam di satu pihak,
dengan kelompok Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, ditambah Sutardji Calzoum Bachri dan
Hamsad Rangkuti di pihak lain, sebenarnya sudah mengemuka sejak terjadinya
kekisruhan pengelolaan majalah sastra Horison pada Juli 1993. Peristiwa penerimaan
Hadiah Magsaysay oleh Pramoedya Ananta Toer menjadi stimulus yang memperlebar
dan mempertajam perbedaan itu.
Polemik Hadiah Magsaysay ini menjadi pertanda bahwa kontroversi sastrawan
Lekra dan Manikebu itu belum selesai. Bukan hanya itu, kalau kita membaca secara
jeli
dan teliti buku antologi puisi yang disunting oleh Taufiq Ismail, seperti Ketika
Kata
Ketika Warna (1995) yang berisi 50 penyair pilihan dan Horison Sastra Indonesia:
Kitab Puisi (2001), sama sekali tidak memasukkan Sitor Situmorang di dalamnya. Saya
berasumsi bahwa tidak diikut-sertakannya Sitor Situmorang ke dalam dua buku puisi
yang disunting Taufiq Ismail itu karena latar belakang pengalaman mereka berdua
yang
berada di jalan yang berbeda. Asumsi ini diperkuat oleh data berupa kliping berita
koran
yang ada di dalam buku Prahara Budaya. Mengapa di buku Prahara Budaya ada tulisan
Sitor Situmorang sedangkan di buku Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi karya
Sitor
Situmorang tidak ada padahal penyuntingnya sama?
Dari kasus ini saja kita bisa melihat subjektivitas seorang Taufiq Ismail. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa jika seorang pelaku sejarah menulis dengan
perspektifnya
sendiri, maka akan kental subjektivitas si penulis. Dalam menulis Prahara Budaya,
D.S.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 16 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Moeljanto dan Taufiq Ismail memotret peristiwa tahun 1960-an dari perspektif
sastrawan
Manikebu. Demikian pula Joebaar Ajoeb, mantan Sekjen Lekra, menulis buku Sebuah
Mocopat Kebudayaan Indonesia (2004) untuk memotret peristiwa 1960-an dari
perspektif sastrawan Lekra. Dalam bukunya, Joebaar Ajoeb berusaha menjelaskan
posisi
Lekra yang tidak bisa diidentikkan dengan PKI. Berdasarkan hal itu, penelitian
mengenai
sejarah sastra Indonesia menjadi sangat signifikan kalau kita menggunakan
perspektif
baru.
Sebenarnya, sastrawan-sastrawan Lekra dan sastrawan-sastrawan Manikebu
sangat berjasa bagi bangsa Indonesia. Karya-karya sastra yang telah mereka hasilkan
memperkaya khasanah kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Masuknya politik ke
dalam dunia sastra yang demikian dalam mengakibatkan penulisan sejarah sastra
Indonesia tidak pernah utuh dan sempurna. Oleh karena itu, penulisan sejarah sastra
Indonesia perlu merangkum semua sastrawan yang berbeda haluan maupun ideologi ke
dalam wadah yang sama: dunia sastra Indonesia.
Penulisan sejarah sastra idealnya bisa merangkum semua sastrawan berikut karya
sastra yang dihasilkannya. Dari perspektif politik, pada 1960-an itu terjadi
kontroversi
yang cukup tajam antara sastrawan Lekra dengan sastrawan Manikebu. Arief Budiman
(2006) memetakan setidaknya ada empat kelompok sastrawan yang memiliki visi yang
berbeda. Pertama, sastrawan yang tergabung dalam Lekra, yang mengusung paham
realisme sosialis, yang bersemboyan politik sebagai panglima . Kedua, sastrawan
independen, yang mengusung paham humanisme universal, yang menyatakan semua
sektor kebudayaan sederajat, saling melengkapi, dan menolak politik menjadi
panglima.
Ketiga, sastrawan yang masuk ke dalam partai politik-partai politik yang ada,
sehingga
mereka bisa berlindung di bawah partai politik dan sekaligus menyuarakan
kepentingan
partai masing-masing. Keempat, sastrawan yang tidak masuk ke dalam tiga kelompok
itu,
seperti Trisnoyuwono dan Ajip Rosidi (Budiman, 2006: 173-174; Rosidi, 1995).
Sejak didengungkan politik sebagai panglima oleh Lekra yang berdiri pada 17
Agustus 1950 pengertian sastra yang baik, sastra yang indah, mengalami reduksi.
Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adalah karya sastra yang
mengangkat tema-tema yang bisa dipahami rakyat, karya yang bisa dimengerti petani
dan
buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat hidup mereka (Budiman, 2006).
Semakin kuatnya posisi Lekra di kancah politik, karena mendapat support dari
PKI, maka sastrawan yang tidak berada di bawah payung Lekra menjadi sasaran tembak,
terutama sastrawan independen yang berani mengeluarkan sikap penolakan terhadap
semboyan politik sebagai panglima . Akibatnya, iklim sastra Indonesia menjadi tidak
sehat. Setelah Presiden Soekarno melarang Manikebu pada 8 Mei 1964, pemerintah
menindaklanjutinya dengan pelarangan karya sastra yang ditulis oleh penandatangan
Manikebu dan sastrawan-sastrawan yang tidak sehaluan dengan Lekra. Sebaliknya,
setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, karya sastra yang ditulis oleh
sastrawan
Lekra juga mengalami nasib yang sama, yakni dilarang terbit, dilarang beredar, dan
dilarang dibaca oleh siapa pun. Pemerintahan Soeharto tidak saja melarang buku-buku
yang dihasilkan sastrawan Lekra, tetapi juga menahan mereka.
Dampak yang lebih buruk adalah tidak utuhnya karya sastra Indonesia yang
terdapat dalam buku sejarah sastra Indonesia ataupun buku yang mencoba
menampilkan karya sastra Indonesia secara komprehensif. Di era Soeharto (1966-
1998),
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 17 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
jelas tidak mungkin kita mengharapkan buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis
oleh
sastrawan atau sejarawan Lekra. Buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern Jilid 1
(1964)
karya Bakri Siregar, mantan Ketua Pengurus Pusat Lekra, saja dilarang, meskipun
digunakan di dunia akademik. Buku sejarah sastra yang ditulis Bakri Siregar itu
baru
sampai pada masa Pujangga Baru, dan belum ada kelanjutannya, kerena jilid kedua
tidak
kunjung terbit.
Dari dua buku Ajip Rosidi, Laut Biru Langit Biru (1977) dan Puisi Indonesia
Modern (1987), sama sekali tidak disinggung sastrawan Lekra. Dan, bila kita membaca
buku Refleksi Kebudayaan (1996) dan Polemik Hadiah Magsaysay (1997), kita belum
bisa banyak berharap akan lahir sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis
oleh
kalangan Manikebu secara komprehensif. Begitu juga dari kalangan Lekra.
Saya merasa kita memerlukan sejarah sastra Indonesia yang komprehensif, yang
memuat karya sastra hasil ciptaan bangsa Indonesia tanpa melihat latar belakang
agama,
suku, pendidikan, ideologi, maupun partai politiknya. Mengapa demikian? Karena,
hasil
cipta sastra yang ditulis oleh para sastrawan itu baik kelompok Lekra, Manikebu,
yang
ikut dalam partai politik, maupun sastrawan yang berada di luar kelompok itu
memiliki
nilai yang sangat berguna bagi bangsa Indonesia. Karya sastra yang mereka tulis
merupakan hasil perenungan dan pemikiran mereka terhadap situasi sosial politik
dalam
masyarakatnya yang terjadi pada zamannya. Apapun sikap pengarang terhadap realitas
saat itu patut kita hargai, meskipun kita tidak sependapat dengan gagasan si
pengarang,
atau bahkan kita bertentangan dengan sikap pengarang. Karena, karya sastra bukanlah
kitab suci yang lepas dari interpretasi.
Mengapa sejarah sastra Indonesia periode 1960-an menjadi titik perhatian? Kita
semua tahu bahwa dalam sejarah kontemporer Indonesia, ada dua periode yang masih
menyisakan tanda tanya, yakni periode 1960-an dan periode 1990-an.
Pada kedua periode tersebut terjadi pergantian rezim penguasa. Pada 1966 terjadi
pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Proses pergantian rezim penguasa ini
tidak
berjalan mulus, bahkan dapat dikatakan berdarah-darah. Ada tujuh elite militer
Angkatan
Darat yang diculik dan dibunuh, kemudian PKI dijadikan terdakwa, sebagai dalang di
balik pembunuhan para jenderal itu. PKI sebagai partai terbesar keempat hasil
Pemilu
1955 setelah PNI, Masyumi, dan NU pun dibubarkan dan dijadikan partai terlarang.
Pemimpin PKI ditangkap dan ditahan, sebagian dibunuh. Yang memilukan, ribuan atau
bahkan jutaan anggota partai di level akar rumput (grass root) menjadi korban
pembantaian. Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan
korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar ahli
memperkirakan setidaknya setengah juta orang tewas. Dalam sejarahnya, Indonesia
belum pernah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban begitu besar.
Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tidak terlupakan bagi
banyak rakyat Indonesia (Ricklefs, 2005: 566).
Demikian pula dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie, yang
diwarnai dengan peristiwa yang dikenal sebagai Kerusuhan Mei 1998. Banyak orang
yang tewas dalam kerusuhan itu, banyak pula perempuan keturunan Cina yang menjadi
korban perkosaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, elite politik saat itu
saling
tuding dan melepas tanggung jawab. Yang menarik, partai Golkar (Golongan Karya),
yang dihujat demonstran saat demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto turun,
tidak
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 18 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
dibubarkan sebagaimana PKI. Padahal, partai Golkar yang merupakan pendukung utama
Soeharto mengemban tanggung jawab moral atas keterpurukan perekonomian Indonesia
dan maraknya korupsi di Indonesia, hingga Indonesia dikenal sebagai negara terkorup
di
dunia.
Kontroversi yang terjadi pada 1960-an bersinggungan langsung dengan
kesusastraan dan kebudayaan. Meskipun demikian, yang terjadi adalah konflik
politik,
bukan konflik sastra. Oleh karena itu, dalam penulisan sejarah sastra, tidak
dikenal istilah
kalah dan menang, tidak ada istilah benar dan salah, yang ada hanyalah perbedaan
dan
keberagaman. Pengganyangan atau bahkan penindasan sastrawan Lekra terhadap
sastrawan Manikebu hanya merupakan peristiwa di luar wilayah sastra. Dalam arti,
pemaksaan dan pembabatan yang dilakukan sastrawan Lekra terhadap sastrawansastrawan
Manikebu itu tidak serta-merta mempengaruhi kualitas karya sastra yang
dihasilkan. Sama halnya pelarangan dan penindasan yang dilakukan rezim Orde Baru
terhadap sastrawan Lekra yang tidak mempengaruhi kreativitas sastrawan Lekra dalam
menghasilkan sebuah karya sastra. Bagi seorang Pramoedya Ananta Toer, misalnya,
pembatasan yang dilakukan pemerintah Orde Baru sama sekali tidak mempengaruhi
proses kreatifnya. Karena, kata Pramoedya Ananta Toer, kreativitas itu merupakan
persoalan sastrawan dengan dirinya sendiri.
Goenawan Mohamad, dalam Eka Kurniawan (2006), mengatakan, meskipun
desakan untuk membabat mereka yang berpikiran lain berlangsung, dan pemerintahan
Demokrasi Terpimpin ikut mengumandangkan realisme sosialis bagi kesenian
Indonesia, kondisi sosial politik dan posisi PKI belum melahirkan seorang Stalin
(yang
melakukan sensor ketat melalui partai) dan seorang Zhdanov (juru sensor Stalin).
Bahkan
sebagian besar anggota Lekra belum mengerti benar apa yang dimaksudkan Pramoedya
Ananta Toer mengenai realisme sosialis itu. Bagi sebagian besar anggota Lekra,
mengerti semboyan seni untuk rakyat saja sudah cukup, malah lebih menarik dan dapat
membuka pelbagai kemungkinan tafsir. Dalam seni rupa, misalnya, semboyan semacam
itu menghasilkan karya-karya yang sangat mengesankan dan jauh dari keseragaman.
Sementara dalam puisi, menghasilkan karya-karya Agam Wispi, Hr. Bandaharo, dan
Amarzan Ismail Hamid yang gemanya hidup sampai sekarang.
Saya menggarisbawahi pendapat Goenawan Mohamad bahwa perbedaan konsep
dalam berkesenian, seperti seni untuk seni , seni untuk rakyat , seni beraliran
realisme sosialis , seni beraliran humanisme universal , ataupun pengkategorian
seperti
sastra kanon , bacaan liar , sastra cina peranakan , sastra populer , roman picisan
,
sastra marginal , sastra feminis , dan sekarang malah ada sastra koran , sastra
cyber , dan masih banyak lagi, perlu mendapat perhatian kita. Apa yang telah
dihimpun
Ernst Ulrich Kratz (1988) sesungguhnya memperlihatkan bahwa masih banyak lahan
yang belum kita garap. Dari 5.506 penulis/sastrawan yang tercatat, mungkin tidak
lebih
dari sepuluh persen yang tercatat dalam buku-buku sejarah sastra yang kini beredar
di
sekolah-sekolah. Oleh karena itu, di era reformasi sekarang ini, kita susun kembali
sejarah sastra Indonesia secara lebih bijak, lebih adil, komprehensif, dan
memperlihatkan
kekayaan khasanah sastra Indonesia.
Wilhelm Dilthey, dalam Kuntowijoyo (2003), menjelaskan pendekatan verstehen
( memahami ) sebagai jalan untuk memahami sejarah. Lebih jauh dikatakan, aktor
sejarah adalah manusia yang berpikir dan merasa. Kita harus memahami perilaku
pelaku
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 19 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
sejarah sebagaimana pelaku itu memberi makna perbuatannya, serta harus menemukan
makna subjektif dan tafsir subjektif pelaku sejarah.
Adapun proses yang harus dilalui adalah empati atau menyatukan rasa. Selain itu,
kita harus hidup dalam makna subjektif itu (to relive). Bila kita tidak dapat hidup
dalam
makna subjektif, maka sejarawan pun tidak akan dapat memahami ketaksadaran
kolektif,
seperti cinta, permainan, dan ketakutan.
Pendekatan yang ditawarkan Wilhelm Dilthey tersebut membawa kita kepada
pemahaman mengapa seseorang bertindak seperti itu, apa motifnya, mengapa ada
ketaksadaran kolektif seperti itu, dan sebagainya. Dengan demikian, muara yang
dituju
bukanlah menghakimi seseorang benar atau salah atas tindakannya di masa lalu. Dalam
sastra, tidak ada kebenaran absolut, yang ada adalah kebenaran relatif, tergantung
bagaimana kita menginterpretasi karya sastra, dan tergantung perspektif yang
digunakan.
Demikian pula peristiwa sejarah, yang juga multidimensional dan multiinterpretasi
(Kuntowijoyo, 2003: 174).
Dalam hal ini, kaitan antara sastrawan dengan karya sastra dapat dilihat dari dua
sisi. Pertama, ketika kita mencari makna tekstual suatu karya sastra, maka pendapat
Roland Barthes bahwa pengarang telah mati dapat diterima. Dengan demikian, kita
dapat
menilai karya tersebut tanpa menyangkutpautkan karya itu dengan pengarangnya
apakah pengarang itu berhati malaikat atau berhati iblis, tidak menjadi soal.
Kedua, bila kita hendak menggali makna kontekstual suatu karya sastra, misalnya
dengan menggunakan pendekatan feminisme atau postkolonialisme, maka pengarang
tidak dapat dipisahkan dari karyanya. Bagaimanapun, ideologi pengarang sangat
berpengaruh dan bahkan sangat menentukan dalam penyampaian/mengekspresikan
gagasan-gagasannya, pemikirannya, dan sikap politiknya melalui karya sastra.
Meskipun demikian, kedua pendekatan tersebut bisa digunakan secara bersamaan,
karena saling melengkapi. Maksudnya, kita perlu memperhatikan pokok (berkaitan
dengan pemikiran sastrawan yang dikemas melalui karya sastra) dan tokoh (yakni
kehidupan dan biografi sastrawan itu sendiri). Selain itu, diperhatikan juga unsur
tematik (berkaitan dengan tema, isi, dan topik karya sastra) serta unsur stilistik
(berkaitan dengan gaya bahasa, gaya pengucapan, diksi, bentuk, dan komponen sastra
lainnya). Diharapkan penelitian semacam ini menjadi titik awal penulisan sejarah
sastra
Indonesia yang lebih lengkap, lebih luas, dan lebih mendalam lagi.
Dunia akademis memiliki tanggung jawab moral dalam penyusunan sejarah sastra
Indonesia, dan sudah sepantasnya menyusun buku sejarah semacam itu. Apalagi dunia
akademis memiliki kebebasan mimbar/kebebasan akademis, memiliki otoritas di bidang
sastra, independen terlepas dari kepentingan politik tertentu, dan memiliki
intensitas
perhatian di bidang sastra.
Kanonisasi
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat
Chairil Anwar
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 20 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Kita patut merasa rugi ketika membaca buku sejarah sastra Indonesia yang selama
ini beredar di masyarakat, karena belum ada satu buku pun yang memuat sejarah
sastra
Indonesia secara komprehensif. Memang harapan akan sebuah buku yang benar-benar
komplet seperti sebuah utopia, tapi bagaimanapun upaya semacam itu harus dilakukan.
Kalau kita membaca Horison Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh kelompok
Horison Taufiq Ismail dan kawan-kawan maka tidak akan kita temukan, misalnya,
sastrawan Lekra seperti Agam Wispi atau Hr. Bandaharo maupun sastrawan LKN seperti
Sitor Situmorang. Padahal, ketiga nama itu layak dicatat dalam sejarah perpuisian
Indonesia.
Apakah dengan demikian Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu patut disalahkan?
Tentu saja tidak. Kita malah harus berterima kasih dengan karya yang telah
dihasilkan
Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu. Karena, bagaimanapun, penyusunan sebuah antologi
karya sastra secara kronologis sehingga sedikitnya ada pretensi kesejarahan seperti
itu
tidak terlepas dari subyektivitas penyusunnya, baik dilakukan secara sadar maupun
tidak
sadar. Tapi, yang dilakukan Taufiq Ismail rupanya dilandasi dengan kesadaran penuh,
karena ternyata nama Sitor Situmorang tidak hanya hilang di buku Horison Sastra
Indonesia, melainkan juga tidak muncul dalam buku lain yang juga disuntingnya,
Ketika
Kata Ketika Warna.
Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail ingin memaparkan fakta sejarah pada
awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang
saat
itu memaksakan semua sastrawan menyuarakan revolusi, dengan semangat politik
sebagai panglima, dan ukuran keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada
pembelaan kaum buruh dan tani semata, puisi Sitor Situmorang dan sastrawan-
sastrawan
Lekra seperti Sobron Aidit dan Agam Wispi bisa muncul. Buku Prahara Budaya
membuktikan hal itu.
Saya sama sekali tidak menyalahkan Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto yang
menyusun Prahara Budaya yang sangat penting artinya sebagai bahan baku penulisan
buku sejarah yang lebih obyektif namun menyayangkan saja, kenapa ketika bicara yang
manis-manis , seperti untuk buku Horison Sastra Indonesia dan Ketika Kata Ketika
Warna nama Sitor Situmorang tidak dimunculkan, dan ketika bicara yang pahit-pahit ,
seperti untuk buku Prahara Budaya, nama Sitor Situmorang berikut karya-karyanya
bisa
muncul dalam porsi yang berlebihan? Dan, bahkan, secara politik bisa merugikan
Sitor
Situmorang, kalau kita kaitkan terbitnya buku itu dengan konteks zaman saat itu,
saat
rezim Soeharto ingin memberantas PKI dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya.
Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi semacam itu? Memang, kita tahu bahwa
tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sastra sekaliber H.B.
Jassin
memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Paus Sastra Indonesia, yang
fatwafatwanya
dipercayai banyak pihak, termasuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia.
Namun, setelah Jassin meninggal, tidak ada yang secara serius melanjutkan
pekerjaannya, padahal bahan baku yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS)
H.B. Jassin sangat melimpah. Ignas Kleden mengklaim PDS H.B. Jassin merupakan
perpustakaan terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan karya sastra Indonesia. E.U.
Kratz pun mengakui bahwa penyusunan dua bukunya, A Bibliography of Modern
Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX
sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula,
Jassin
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 21 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
sendiri baru menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66.
Lalu, bagaimana sastra Indonesia periode 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah
sastra Indonesia pasca-Orde Baru atau di era reformasi?
Ini menjadi tugas kita bersama, terutama pengajar sastra Indonesia di perguruan
tinggi untuk bisa menampilkan wajah sastra Indonesia selengkap mungkin. Ini tidak
hanya tugas pengajar sastra Indonesia di Universitas Indonesia (UI) saja, tapi juga
pengajar sastra Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia atau di mana
pun.
Apa yang dilakukan Yudiono K.S., pengajar sastra Indonesia Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang, yang menulis buku sejarah sastra Indonesia terbaru, Pengantar
Sejarah Sastra Indonesia, patut diapresiasi, karena di dalamnya sudah ada nama-nama
sastrawan Indonesia yang baru, meskipun menurut saya masih ada kekurangannya.
Misalnya, masih lenyapnya sastrawan Lekra dan sastrawan eksil. Khusus di bidang
puisi,
upaya yang dilakukan Harry Aveling melalui Rahasia Membutuhkan Kata, yang berisi
puisi-puisi yang lahir di masa Orde Baru (1966-1998) pun patut dihargai, meskipun
masih banyak juga penyair yang luput dari perhatiannya.
Kanonisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis buku sejarah
saja, tapi faktor politik cukup besar pengaruhnya. Ini, misalnya, bisa kita lihat
dari upaya
atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair
Indonesia
selengkap mungkin melalui buku Tonggak (1987, empat jilid). Tapi, niat mulia Linus
Suryadi itu tak bisa terwujud, karena penyair atau sastrawan Lekra masih kena segel
merah alias dilarang berekspresi dan bersuara melalui media apa pun, termasuk karya
seni yang bernama puisi. Akibatnya, hanya 180 penyair yang berhasil dikumpulkan
oleh
Linus.
Angka 180 itu pun merupakan angka kompromi antara Linus sebagai editor dengan
Gramedia sebagai penerbitnya. Karena, bagaimanapun, penerbitan sebuah karya besar
memerlukan dana yang besar pula.
Yang patut disayangkan dari buku Tonggak ini adalah tidak adanya penyairpenyair
seperti Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan Emha Ainun
Nadjib. Tapi, ketiadaan nama-nama itu bukan karena kesalahan Linus Suryadi,
melainkan
karena keinginan para penyair itu sendiri. Sama halnya dengan tidak adanya nama
Rendra dalam kumpulan puisi yang menandai 50 tahun Indonesia merdeka, Ketika Kata
Ketika Warna. Tak adanya nama Rendra bukan karena kesalahan Taufiq Ismail, tapi
karena ketidakmauan Rendra sendiri.
Jadi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan proses kanonisasi itu terjadi.
Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, faktor penulis [buku
sejarah] atau
penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kita perlu meneruskan dan mengembangkan
kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui
Yayasan
Lontar baru-baru ini menerbitkan Antologi Drama Indonesia (empat jilid) yang cukup
lengkap. Isinya adalah 60 naskah drama yang pernah terbit antara 1895-1995 (satu
abad)
pilihan Sapardi Djoko Damono.
Apa yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI itu
merupakan kerja raksasa. Apalagi buku itu akan diikuti antologi cerpen, novel,
puisi, dan
esai (yang belum tersentuh oleh banyak ahli sastra). Meskipun ada kanonisasi dalam
pembuatan buku raksasa seperti itu, karena banyak yang terpinggirkan, banyak yang
tersingkirkan, tetap harus diapresiasi. Saya mensyukuri terbitnya Antologi Drama
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 22 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Indonesia, karena banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Namun, itu jangan
dianggap bahwa naskah drama yang baik hanya yang seperti 60 naskah itu. Tentu saja
masih banyak naskah drama yang harus dibukukan lagi.
Sekali lagi, menurut A. Teeuw, kanonisasi itu penting dan berguna, karena kita
bisa membaca karya-karya puncak yang dihasilkan oleh suatu bangsa. Namun,
kanonisasi sekaligus membahayakan, karena menutup kemungkinan masyarakat untuk
mengapresiasi karya-karya yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa,
karyakarya
yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit.
Jejak Langkah Sejarah 1965
Setelah membaca berita itu,
Sebagai anak kecil pun aku bertanya-tanya
Apakah orang-orang yang diciduk selama ini termasuk manusia-manusia
biadab yang membunuh para jenderal itu jika tidak, mengapa mereka
harus diciduk dan tidak pernah kembali lagi?
Seno Gumira Ajidarma
Saya sangat yakin bahwa pembaca akan terkejut bila membaca pengakuan 10
perempuan korban perkosaan pasca 30 September 1965 yang dihimpun dalam buku
Suara Perempuan Korban Tragedi 65 (SPKT 65) karya Ita F. Nadia (2008). Membaca
pengakuan kesepuluh perempuan itu saya sampai pada titik kebimbangan: apakah yang
ditulis oleh Ita F. Nadia itu fakta atau fiksi?
Kalau fakta, maka pengalaman traumatik yang dialami oleh perempuanperempuan
itu sangat sulit dipahami dengan bahasa hati nurani dan kacamata
kemanusiaan. Jeritan kaum perempuan itu sudah melampaui batas imajinasi kita. Apa
yang dialami Yanti, misalnya, yang ketika ditangkap pasca 30 September 1965 masih
berumur 14 tahun, meruntuhkan pengetahuan kita akan peristiwa lubang buaya yang
tertera dalam buku sejarah bangsa Indonesia.
Peristiwa lubang buaya yang diberitakan harian Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha pada 1965, yang antara lain menyebutkan perempuan-perempuan yang tergabung
dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai penyiksa dengan tingkat kesadisan
yang melewati batas yakni menyiksa para jenderal dengan menyungkil matanya dan
memotong kemaluannya sambil menari-nari telanjang yang dulu dianggap fakta yang
melatari permakluman atas pembantaian jutaan orang pada 1965/1966, kini terbaca
sebagai fiksi, bahkan cenderung menjadi mitos dalam kehidupan berbangsa kita,
terlebih
kalau kita mengacu pada hasil visum et repertum yang terbaca oleh Ben Anderson
(lihat
Adam, 2004).
Kalau cerita atau pengakuan 10 perempuan itu dikategorikan sebagai fiksi, maka
buku ini layak mendapat penghargaan sebagai karya fiksi terbaik, karena cerita yang
disampaikan kesepuluh perempuan itu sangat menyentuh dan menggedor-gedor nurani
pembacanya. Siapa pun yang membaca buku ini, apalagi perempuan, bisa dipastikan
akan
merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan terbayang kembali kasus penganiayaan
dan
pembunuhan terhadap Marsinah, serta kasus perkosaan terhadap perempuan keturunan
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 23 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
China pada Mei 1998. Saya menilai buku SPKT 65 itu sebagai sebuah data yang berisi
fakta-fakta yang perlu dibuktikan kebenarannya oleh sejarawan.
Dalam pengantar novel Lubang Buaya, Saskia Wieringa (2003), novelis itu
menulis, banyak sejarawan masa kini berpendapat bahwa semua sejarah adalah fiksi.
Tidak ada fakta, hanya discourse yang selalu berubah dan dipengaruhi kekuasaan,
kata
novelis yang juga antropolog itu. Kalau sejarah adalah fiksi, apakah fiksi juga
berarti
sejarah?
Saya tidak ingin terjebak dalam labirin telor ayam: mana yang lebih dulu di antara
keduanya. Yang jelas, sedikit berbeda dengan Saskia, saya berpendapat bahwa sebuah
karya sastra yang baik senantiasa merekam denyut nadi masyarakat tempat karya
sastra
itu dilahirkan. Sastrawan sebagai representasi masyarakatnya merekam dengan baik
pikiran dan perasaan masyarakat sezamannya.
Lebih lanjut, Saskia Wieringa mengakui bahwa novel Lubang Buaya berangkat
dari hasil penelitiannya pada 1980-an mengenai kekerasan yang dialami
perempuanperempuan
Gerwani. Hasil penelitian itu pun sudah dibukukan dalam Penghancuran
Gerakan Wanita di Indonesia (1999). Tidak mengherankan jika ada fragmen dalam novel
itu yang terbaca dengan jelas sama dengan pengakuan Yanti dalam buku SPKT 65.
Yang cukup mengherankan adalah adanya kesamaan fragmen dalam Kalatidha
karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dengan pengakuan Darmi dalam buku SPKT 65.
Dalam novel Seno itu, seorang gadis kecil menyaksikan pembakaran rumahnya dan
pembunuhan seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, hanya karena ayahnya
dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena gadis kecil itu
tidak
bisa menerima kenyataan yang dilihatnya, dan tidak mampu memahami peristiwa itu
dengan akal sehatnya, akhirnya ia menjadi gila. Berangkat dari sinilah cerita Seno
bergulir hingga menarik pembaca untuk segera menuntaskan pembacaan atas novel
setebal 234 halaman itu.
Sementara dalam SPKT 65, Darmi yang saat itu menjadi penari istana di zaman
Soekarno, tidak saja menyaksikan suami dan kedua mertuanya dibunuh dan rumahnya
dibakar, melainkan ia mengalami penyiksaan mental yang luar biasa. Ia bukan anggota
Gerwani, ia hanya penari, tapi suaminya anggota PKI. Gara-gara itulah ia diarak
oleh
orang banyak yang anti PKI dalam keadaan telanjang bulat, berjalan kaki
mengelilingi
desa, dan begitu sampai pada tahap pemeriksaan di pos tentara, ia disuruh menari di
atas
meja dalam keadaan telanjang bulat. Dan, jika ia menolak menari dan menolak
diperlakukan tidak senonoh, maka tawanan lain akan dijadikan sasaran penganiayaan.
Selama 30 tahun di masa pemerintahan rezim Soeharto, setiap mendengar
gamelan Bali, Darmi mengalami trauma yang luar biasa. Ia merasa bahwa tari adalah
jiwanya, dan bunyi gamelan selalu memanggil-manggilnya untuk menari. Namun,
bersamaan dengan bunyi gamelan itu, saat itu pula ia merasa takut dan membencinya.
Ini
akibat penganiayaan yang terjadi pasca 30 September 1965 yang dialaminya di Bali.
Dengan demikian, fakta yang terbaca dalam SPKT 65 lebih mengguncang nurani
pembacanya dibandingkan dengan cerita dalam novel Lubang Buaya dan Kalatidha.
Meskipun begitu, apa yang dihasilkan Saskia dan Seno tersebut memperlihatkan bahwa
sastra bisa menjadi strategi untuk mengungkap kabut politik yang terjadi di negeri
ini,
termasuk peristiwa pembunuhan massal 1965/1966 dan peristiwa perkosaan massal pada
Mei 1998.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 24 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Dalam diskusi novel Kalatidha di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (FIB UI) pada Selasa, 8 April 2008, sejarawan Hilmar Farid mengatakan
bahwa dalam menggambarkan korban kekejaman 1965/1966, Seno sengaja menggunakan
tokoh aku yang gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkap
kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta. Batas antara
fakta dan fiksi menjadi hilang, kadang-kadang tokoh aku dalam Kalatidha
menggambarkan kenyataan, kadang-kadang berada dalam dunia kabut yang tak
terumuskan. Dalam pembacaan Hilmar Farid, sastra bisa menjadi medium untuk
mengungkap fakta, kenyataan, dan kebenaran.
Sementara Melani Budianta, Guru Besar FIB UI yang juga tampil sebagai
pembicara dalam diskusi tersebut, menambahkan bahwa fiksi seperti yang ditulis Seno
tersebut berpeluang untuk menyembuhkan luka yang terjadi di masa lalu. Tokoh
perempuan kembar dalam Kalatidha dibaca Melani sebagai metafora yang digunakan
Seno untuk menggambarkan peristiwa 1965/1966.
Tokoh yang satu mati terbunuh, yang menyimbolkan masa lalu yang penuh
kekerasan. Tokoh yang satu lagi menjadi gila karena tak mampu melihat kekerasan,
yang
menyimbolkan masa kini yang masih gagap melihat sejarahnya sendiri. Dilihat dari
tataran mental psikologi, novel Kalatidha menampung atmosfir refleksi, kegilaan,
perasaan marah dan dendam, bangkitnya belas kasih, pemulihan dari luka, dan
transendensi. Semuanya ada dalam novel itu, kata Melani.
Meskipun dalam diskusi tersebut Seno mengakui bahwa Kalatidha merupakan
novel pesanan, karena ada pihak yang memesannya untuk menuliskan peristiwa
kekerasan itu, saya tetap menganggap bahwa Kalatidha merupakan novel Indonesia
modern yang penting, yang menurut saya menjadi novel terbaik pada 2007, karena
merefleksikan sebuah peristiwa yang tidak mungkin terlupakan oleh bangsa Indonesia:
pembunuhan massal 1965/1966. Tapi, bukan hanya karena itu novel ini menjadi novel
terbaik. Bahasa yang digunakan Seno sangat kuat. Ia seperti memainkan sebuah
orkestrasi yang demikian indah, meskipun lagunya menyayat hati.
Novel Kalatidha mengajak pembacanya untuk mengungkap kabut politik
yang menyelimuti sejarah nasional Indonesia.
Polemik Sastra Cyberpunk
Sastrawan generasi cyber di Indonesia telah lahir bersamaan dengan maraknya
penggunaan internet sebagai media penyampaian atau media ekspresi karya sastra,
selain
di media cetak (tulis) dan media lisan. Deklarasi kelahiran generasi baru dalam
sejarah
sastra Indonesia ini ditandai dengan peluncuran situs sastra www.cybersastra.net
dan
kumpulan puisi Graffiti Gratitude yang dieditori oleh Cunong Nunuk Suraja, Medy
Loekito, Nanang Suryadi, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Tulus Widjanarko pada 9 Mei
2001 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.
Sejak lahirnya generasi baru dalam sastra Indonesia tersebut, selain kritik yang
wajar, hantaman demi hantaman datang silih berganti, sepertinya para Orang Tua
dalam sastra Indonesia tidak rela menerima kehadiran seorang Bayi yang lahir tanpa
proses perkawinan yang sah atau dapat dikatakan seperti Anak Haram atau Anak
Jadah .
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 25 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
Tidak kurang dari seorang Sutardji Calzoum Bachri, yang sampai saat ini masih
mengaku sebagai Presiden Penyair Indonesia, Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur harian
Republika, sampai Ahmad Syubbanuddin Alwy, yang mengaku sebagai penyair sufi,
serta beberapa nama lainnya, memberikan reaksi yang berlebihan, tidak proporsional,
dan
cenderung tidak obyektif.
Sebut saja Sutardji yang lebih mempersoalkan kemasan (kulit) daripada isi,
bahkan katanya, Tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan
puisi yang dikemas secara asal-asalan. Kata-kata Presiden Penyair Indonesia seperti
itu
ditinggalkan Sutardji di Hotel Sahid dalam sebuah diskusi peluncuran buku Graffiti
Gratitude yang belum tuntas. Dan kita sangat menyayangkan seorang Sutardji yang
dikenal sebagai penyair sufi itu lebih mempersoalkan kemasan daripada isi.
Reaksi serupa juga datang dari Maman S. Mahayana, dosen Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI), yang enggan
menyebut para penyair yang karyanya masuk dalam Graffiti Gratitude sebagai
penyair ,
melainkan sebagai penulis puisi . Komentar seperti ini juga dilontarkan Ahmad
Syubbanuddin Alwy dalam beberapa tulisannya di harian Pikiran Rakyat. Dan yang
lebih
fatal adalah pernyataan Ahmadun Yosi Herfanda yang mengatakan sastra cyber, yakni
karya sastra yang muncul di internet (termasuk di cybersastra.net) tak ubahnya
seperti
tong sampah, karena puisi-puisi di internet tersebut ditolak pemuatannya di surat
kabarsurat
kabar. Sebuah pernyataan yang fascis, kata Saut Situmorang (2004).
Dalam salah satu tulisannya, Alwy meminta argumentasi dari para penggagasnya
atas lahirnya sastrawan generasi cyber, seolah-olah dia memiliki argumentasi yang
kuat
kenapa dia menjadi penyair. Ada kesan pula ia punya argumentasi yang kuat kenapa
dia
menjadi penyair sufi. Padahal, kenapa dia menjadi manusia dan kenapa lahir di sini
pun
tak akan mampu memberi argumentasi seperti yang dipaksakannya harus ada pada
sastrawan cyber. Seperti mau memasuki sebuah perkampungan, sastrawan cyber harus
menunjukkan kartu identitas. Kenapa memahami sebuah generasi dari argumentasi ,
kartu identitas, dan bukan dari karya yang dihasilkan oleh generasi tersebut?
Saya seperti melihat Sisyphus yang mendorong batu ke bukit Tartar, dan begitu
sampai di puncak, batu itu menggelinding ke bawah kembali. Setelah itu Sisyphus
akan
mendorong batu itu ke atas kembali, menggelinding, dorong lagi, terus-menerus,
selalu
berulang. Dan sikap Orang Tua dalam dunia sastra Indonesia seperti layaknya
Sisyphus
yang melakukan pekerjaan sia-sia seperti itu. Pertanyaan yang sama, pelecehan yang
sama, yang itu-itu saja, selalu dilontarkan Orang Tua pada kelahiran generasi baru.
Sepertinya tidak ada pertanyaan cerdas yang perlu dilontarkan pada seorang
Anak Haram sekalipun. Memang, ada satu-dua di antara mereka itu yang memiliki
sikap arif dan bijak, seperti Jakob Sumardjo yang mengkritisi Cyberpuitika, dengan
mengatakan perlunya eksplorasi yang semaksimal mungkin pada mesin digital. Sepedas
apa pun ungkapan Jakob Sumardjo, namun jika diniatkan untuk sebuah karya yang lebih
baik, maka sudah sewajarnya hal itu menjadi pemacu atau meminjam istilah Rendra,
menjadi daya hidup bagi sebuah generasi. Demikian halnya dengan gugatan Juniarso
Ridwan, yang memberi penekanan yang sama dengan Jakob Sumardjo. Karena,
bagaimanapun, tidak ada karya manusia yang sempurna di dunia ini. Begitu juga
dengan
karya sastrawan generasi cyber yang memang masih memerlukan waktu untuk tidak
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 26 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
sekadar mewujudkan eksistensi, tapi juga memberikan arti pada sesuatu yang kelak
retak
ini, sebagaimana yang dikatakan Goenawan Mohamad.
Tapi, ketika Jakob Sumardjo mengatakan bahwa sastrawan cyber masih sangat
terpengaruh dengan tradisi sebelumnya, yakni tradisi tulisan, Jakob seperti melihat
sastra
cyber sebagai Alien , makhluk yang sama sekali baru, aneh, yang haram
menggunakan kata-kata atau medium bahasa dalam pengungkapan pesan atau makna
dalam karya sastra yang ditampilkan di Cyberpuitika. Tidakkah hal yang sama juga
tampak dalam karya sastra tulis sekarang ini yang masih berkutat dalam tradisi
kelisanan?
(Damono, 1999b).
Dan Juniarso Ridwan, yang mempertanyakan apakah jika tanpa kata-kata, suatu
karya masih layak disebut sastra, seperti mengulang pertanyaan yang sama ketika
kita
menghadapi karya Danarto, sebuah puisi konkret yang berisi sembilan kotak itu.
Apakah
itu bukan sastra? Aneh rasanya kalau puisi konkret Danarto diterima sebagai sebuah
karya sastra, sedangkan Cyberpuitika tidak. Selama masih ada kata, makna yang
tersembunyi, simbol, metafora, repetisi, dan piranti sastra lainnya, maka sastra
cyber
masih sah dianggap sebagai karya sastra.
Meskipun sastrawan generasi cyber dianggap sebagai Anak Haram dalam sastra
Indonesia, maka ia pun memiliki hak hidup yang sama dengan sastrawan generasi
lainnya. Meskipun sastra cyber dianggap sebagai Tong Sampah dalam sastra Indonesia,
maka ia pun memiliki hak hidup yang sama dengan tong-tong sampah dalam sastra
Indonesia lainnya. Selama masih ada pemikiran elu-elu gue-gue (istilah Juniarso
Ridwan yang relevan ditujukan pada semua pihak) ataupun ada pemikiran wama kola
Alwy , maka kehidupan sastra Indonesia tidak akan sehat, sebagaimana yang kita
lihat
sekarang ini, di mana sejarah sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi,
masih
tergantung pada kata pemegang otoritas, kecuali disertasi Faruk yang telah
dibukukan,
Novel-Novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (2002).
Dan pemegang otoritas sastra Indonesia pertama di Indonesia adalah kolonial
Belanda, yang membentuk Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur
(Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi/Inlander dan Bacaan Rakyat), yang selanjutnya
mendirikan Balai Pustaka. Lembaga ini pada hakikatnya adalah membonsai pemikiran
masyarakat (yang disebut inlander oleh kumpeni) yang menerbitkan berbagai karya
sastra dengan menggunakan bahasa Melayu campuran (baik oleh kalangan pribumi,
kaum peranakan Cina, maupun peranakan Eropa), dan tidak terikat dengan bahasa baku
yang dimaui kumpeni, yakni sesuai buku Kitab Logat Melajoe (1901) karya Charles
Adriaan van Ophuijsen (yang sangat dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur
dan Muhammad Taib Sutan Ibrahim), yang sekarang ini kita kenal sebagai ejaan van
Ophuijsen. Sementara sastra Indonesia yang terbit di luar Balai Pustaka mendapat
julukan
yang tidak mengenakkan oleh kumpeni (dan dilestarikan oleh penulis sejarah sastra
Indonesia sampai sekarang, seperti Ajip Rosidi dan Pamusuk Eneste), yakni sebagai
Bacaan Liar , yang boro-boro dicatat oleh penulis sejarah sastra Indonesia. Dan
baru
kali ini ada kesadaran dari penerbit besar seperti Gramedia Group untuk menerbitkan
kembali karya-karya sastra Cina peranakan yang dulu teralienasi, terkucilkan.
Itu terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, hampir satu abad sejak tahun
1900. Kini, hal yang sama dialami oleh sastrawan generasi cyber, di mana karya-
karya
yang ditelurkan melalui internet, yang diamini sebagai karya yang instan karena
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 27 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
canggihnya teknologi internet, disebut sebagai Anak Haram atau Tong Sampah .
Gaya kumpeni yang dipakai kembali oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy dan Ahmadun
Yosi Herfanda itu disematkan pada sastrawan generasi cyber, yang hendak mengatakan
Yang bukan kampret tidak ambil bagian (plesetan dari ungkapan Chairil Anwar).
Warisan Sisyphus pun ternyata kekal sampai sekarang ini. Orang Tua dalam
sastra Indonesia seringkali melontarkan pertanyaan yang sama, pelecehan yang sama,
yang seharusnya dibuang ke tong sampah, yang sebenarnya sia-sia. Saya ingin
mengatakan, bahwa lahirnya sastrawan generasi cyber ini ibarat bola salju yang
telanjur
menggelinding, yang makin lama makin membesar dan melibas kerikil-kerikil bahkan
tembok yang mencoba menghalaunya. Bola salju itu terus menggelinding hingga entah
sesuatu yang tak seorang pun mampu menjawabnya.
Pada 2008 ini kita bisa melihat perkembangan sastra cyber itu. Setiap sastrawan
akan memiliki situs atau website sendiri. Setiap sastrawan akan bersuara sesuai
dengan
hati nuraninya sendiri. Tanpa sensor dari redaktur-redaktur tertentu. Cybersastra
yang
dikatakan tong sampah oleh Ahmadun Y. Herfanda itu kini menjelma menjadi ruang
publik yang penuh warna. Kegiatan sastra di Indonesia semakin marak dengan
berkembangnya cybersastra. Komunikasi menjadi lebih cepat dan tepat sasaran dengan
adanya internet. Produksi sastra akan meningkat berlipat-lipat.
Sastra akan dihasilkan dan dinikmati dengan segera. Begitu karya kita selesai
ditulis, langsung bisa dipublikasikan (yakni melalui blog atau situs pribadi).
Kualitas
karya sastra tidak lagi ditentukan oleh selera satu-dua redaktur sastra, tapi
ditentukan oleh
pembaca sastra cyber pada umumnya. Selain itu, karya sastra cyber bisa diakses
secara
luas, hingga ke luar negeri. Tidak heran media massa di Indonesia juga memerlukan
publikasi melalui internet. Lihat saja Kompas, Tempo, Antara, Media Indonesia,
Sinar
Harapan, SCTV, atau media besar lainnya, pasti memiliki situs internet. Artinya
apa?
Artinya publikasi melalui internet itu penting, karena sangat mengikuti
perkembangan
zaman.
Penutup
Aku tulis pamphlet ini
Karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya
Matahari yang tenggelam diganti rembulan
Lalu besok pagi pasti terbit kembali
Dan di dalam air lumpur kehidupan
Aku melihat bagai terkaca:
Ternyata kita, toh, manusia!
Rendra
Apa yang dapat dipelajari dalam penulisan sejarah sastra Indonesia? Terbukti
bahwa ketika politik memasuki wilayah sastra demikian dalam, sebagaimana Lekra yang
mengusung semboyan politik adalah panglima , maka yang terjadi adalah keterpurukan.
Memang, sastrawan sebaiknya mengerti masalah politik, dan harus bersikap ketika
melihat ketidakadilan di depan matanya, merespons melalui karya sastra. Hanya saja,
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 28 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
ketika politik dipaksakan ke seluruh bidang kehidupan, termasuk ke wilayah sastra,
maka
yang muncul adalah kejenuhan dan kejumudan. Karena, sastrawan tidak dapat dipaksa
untuk melulu bicara politik. Sastrawan juga tidak bisa ditekan dengan kebijakan
politik
yang membelenggu dan memberangus gagasan. Adakalanya seorang sastrawan ingin
merenungi hidup ini, ingin bicara tentang cinta, atau kematian. Tidak harus bicara
tentang
revolusi apalagi revolusi yang belum selesai.
Seniman dan sastrawan tidak membutuhkan instruksi seperti yang terbaca pada
Mukaddimah Lekra, melainkan membutuhkan kebebasan, meskipun kebebasan itu harus
direbut sendiri. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, setelah peristiwa
Gerakan
30 September 1965 berakhir dan Lekra mengalami nasib naas, tidak berarti bahwa
karya
sastra yang telah mereka hasilkan dianggap tidak ada.
Dalam penulisan sejarah sastra, tidak ada istilah kalah dan menang. Keduanya
harus dicatat, keduanya dapat tempat, ujar Chairil Anwar. Demikian halnya dengan
penulisan sejarah sastra Indonesia 1960-an yang kita tahu pasti menyinggung
sastrawan
Lekra dan sastrawan Manikebu. Keduanya harus diperlakukan sama oleh sejarawan. Kita
harus bersikap adil terhadap semua karya sastra yang mereka hasilkan. Jika kita
memberi
penghargaan yang sama pada karya sastra yang lahir dari sastrawan Lekra dan
sastrawan
Manikebu, maka yang tampak adalah perbedaan tematik dan stilistik atau
keberagaman, yang seyogyanya kita anggap sebagai kekayaan khasanah sastra
Indonesia.
Kaya dalam hal estetika.
Pada mulanya adalah pikiran/pemikiran, yang membuat sastrawan Lekra
memaksakan konsep realisme sosialis , yang menginginkan semua sastrawan
menciptakan karya sastra revolusioner. Akan tetapi, ternyata, tidak semua orang
dapat
ditundukkan oleh kekuasaan, terutama anak-anak muda yang memiliki jiwa yang
bebas dan mereka memiliki pemikiran tersendiri. Setiap ada upaya satu pihak untuk
mendominasi pihak lain, atau melakukan hegemoni terhadap semua pihak, maka akan
menimbulkan resistensi atau perlawanan dari pihak lain. Sudah menjadi hukum alam
bahwa semakin besar penindasan yang dilakukan penguasa, maka semakin besar pula
resistensi terhadap penguasa. Dan, Lekra sudah melakukan dan memetik hasilnya.
Sekarang tinggal kita mengambil hikmah di balik peristiwa itu.
Dalam keadaan/posisi berada di atas roda, apakah kita juga akan menindas
sastrawan Lekra yang tengah berada dalam posisi di bawah roda? Misalnya, tidak
memasukkan karya-karya sastrawan Lekra dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an? Saya
memilih untuk menyertakan karya mereka dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an.
Persoalan eternal, atau abadi tidaknya sebuah karya, akan ditentukan oleh sang
waktu dan
pembaca di masa yang akan datang. Apakah mereka akan menerimanya atau tidak. Itu
saja.
Epilog: Kronik Sejarah Sastra Indonesia
1908: Organisasi pemuda pertama, Boedi Oetomo, lahir pada 21 Mei 1908. Misinya
mengubah struktur sosial. Suatu jabatan harus dipegang oleh ahlinya, dan bukan
hanya dimonopoli kaum ningrat. Dalam kongres Jong Java di Yogyakarta, 5
Oktober 1908, dr. Tjipto Mangunkusumo mencita-citakan suatu pendobrakan
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 29 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
masyarakat kolonial dan tradisional dengan segala kekolotan, statisisme,
diskriminasi, dan tradisi yang menekan. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan
gerakan yang lebih bersifat politik radikal (Kartodirdjo, 1993). Kesadaran
kebangsaan mulai muncul sebagai dampak dari politik etik yang diserukan van
Deventer.
1917: Penerbit Balai Pustaka berdiri pada 22 September 1917. Karya sastra yang
diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan politik pemerintah kolonial Belanda.
Akibatnya, isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis berbeda jauh dengan isi
aslinya. Novel Belenggu ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka. Novel-novel yang
dicap sebagai bacaan liar , novel picisan , dan novel yang dinilai dapat
meracuni masyarakat tidak bisa diterbitkan Balai Pustaka. Karena itu, karya-karya
Marco Kartodikromo, Semaoen, Kwee Tek Hoay, Tan Boen Kim, dan Liem Wie
Leng yang mengangkat tema-tema antiimperialisme dan menggunakan bahasa
Melayu Rendah tidak diterbitkan Balai Pustaka.
1919: Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo terbit.
1920: Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar terbit. Novel Siti Nurbaya karya
Marah Rusli terbit.
1922: Novel politik Hikayat Kadirun karya Semaoen terbit. Nur Sutan Iskandar
menerbitkan Apa Dayaku karena Aku Perempuan. Buku puisi Tanah Air karya
Muhammad Yamin terbit.
1924: Novel Rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo terbit. Buku Bebasari karya
Roestam Effendi terbit.
1928: Dalam kongres pemuda kedua di Jakarta, 28 Mei 1928, pemuda-pemuda
Indonesia mengeluarkan resolusi berupa Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu
ditetapkan menjadi bahasa Indonesia. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis
terbit. Nakah drama berbahasa Indonesia, Ken Arok dan Ken Dedes karya
Muhammad Yamin dipentaskan di kongres pemuda.
1933: Majalah Pujangga Baru terbit. Selasih menerbitkan Kalau Tak Untung.
1934: J.E. Tatengkeng menerbitkan Rindu Dendam.
1935: Esai Sutan Takdir Alisjahbana di majalah Pujangga Baru memicu Polemik
Kebudayaan. STA menyarankan agar kebudayaan Indonesia diarahkan ke Barat.
Polemik ini kemudian dibukukan oleh Achdiat Kartamihardja dalam Polemik
Kebudayaan.
1936: Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana terbit. I Gusti Nyoman
Panji Tisna menerbitkan Sukreni Gadis Bali.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 30 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
1937: Amir Hamzah menerbitkan Nyanyi Sunyi.
1938: Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka terbit.
1940: Novel Belenggu karya Armyn Pane terbit. Novel Suwarsih Djojopoespito, Buiten
het Gareel ( Di Luar Jalur ) dilarang oleh pemerintah Belanda.
1941: Goenawan Mohamad lahir.
1942: Jepang masuk dan menjajah Indonesia. Pembentukan Keimin Bunka Sidhoso
(Kantor Pusat Kebudayaan) melahirkan karya-karya seni yang bersifat
propaganda untuk kemenangan perang Asia Timur Raya, serta antiAmerika dan
sekutu-sekutunya.
1945: Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Tapi,
Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda ingin tetap menguasai
Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka. Akibatnya, banyak seniman
yang enggan menggunakan warna daerah, karena akan dicap sebagai antek-antek
Belanda.
1946: Seniman dan sastrawan mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka pada 19
November 1946. Mereka adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Mochtar
Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, dan Baharuddin M.S.
1948: Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus terbit.
1949: Buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar terbit. Chairil Anwar dijuluki
sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh HB Jassin. Achdiat Kartahadimadja
menerbitkan Atheis.
1950: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berdiri pada 17 Agustus 1950. Lekra
mengembangkan paham seni untuk rakyat dan realisme sosialis di lapangan
kebudayaan. Pada 23 Oktober 1950, Asrul Sani mengumumkan Surat
Kepercayaan Gelanggang . Usmar Ismail menerbitkan Sedih dan Gembira.
1951: Majalah Basis terbit.
1952: Buku Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terbit. Utuy Tatang Sontani
menerbitkan Awal dan Mira. S. Rukiah menerbitkan Tandus.
1953: Sitor Situmorang menerbitkan Surat Kertas Hijau.
1954: Buku Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai karya HB Jassin terbit.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 31 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
1955: Pemilihan Umum pertama digelar.
1956: Rendra menerbitkan Ballada Orang-orang Tercinta.
1959: Sepanjang 1950-an timbul pergolakan di daerah-daerah yang disebabkan
ketidakpuasan perimbangan pusat-daerah. Sistem parlementer yang diterapkan
mengakibatkan pemerintahan tidak pernah stabil. Soekarno menyerukan negara
dalam keadaan perang. Ia juga membubarkan Konstituante pada Juli 1959. Dekrit
presiden dikeluarkan. Dimulailah pemerintahan otoriterian Soekarno yang
memberlakukan demokrasi terpimpin. Ajip Rosidi menerbitkan Cari Muatan.
1962: Abdullah S.P. dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator.
Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wicjk karya Hamka dituduh sebagai plagiat
dari novel Majdulin karya Al Manfaluthi, yang merupakan terjemahan dari Sous
les Tilleuls karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Bintang Timur dan
Harian Rakyat. Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam.
1963: Sastrawan-sastrawan muda melahirkan Manifes Kebudayaan sebagai jawaban
menolak seruan Politik sebagai panglima yang dikumandangkan Lekra.
1964: Pada Maret 1964, para sastrawan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-
Indonesia (KKPI). Soekarno melarang Manifes Kebudayaan pada 8 Mei 1964.
Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit.
1965: Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut
sebagai
Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30
September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satusatunya
petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu,
mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik
aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Lekra dilarang.
Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil.
Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra
dilarang.
1966: Majalah sastra Horison terbit. H.B. Jassin mendeklarasikan Angkatan 66 dalam
sastra Indonesia. Majalah Budaya Jaya terbit pada tahun yang sama. Buku Tirani
dan Benteng karya Taufiq Ismail terbit. Buku ini terbit ulang secara komplet pada
1993.
1968: Cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin terbit dan bikin heboh,
karena dianggap menghina umat Islam. Pemimpin Redaksi majalah Sastra, H.B.
Jassin diadili. H.B. Jassin juga menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Iwan
Simatupang menerbitkan Merahnya Merah.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 32 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
1970: Remy Sylado memperkenalkan puisi mbeling.
1971: Buku Sandhyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane terbit. Majalah Tempo
terbit. Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi.
1973: Kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra Universitas
Indonesia
(UI), yakni M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, mendapat reaksi
dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman yang memperkenalkan kritik
ganzheit atau gestalt sebagai alternatif kritik analitik. Pada tahun ini pula
Sutardji
Calzoum Bachri mengeluarkan Kredo Puisi-nya. Dami N. Toda mengibaratkan
Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar sebagai dua sisi mata uang. N.H.
Dini menerbitkan Pada Sebuah Kapal.
1974: Sastrawan muda Bandung menggelar Pengadilan Puisi. Slamet Sukirnanto
bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU).
1975: Asrul Sani menerbitkan Mantera.
1977: Ajip Rosidi menerbitkan Laut Biru Langit Biru.
1978: Iwan Simatupang mendapat penghargaan South East Asia Write Award (Hadiah
Sastra ASEAN) dari pemerintah Thailand. Para sastrawan yang mendapat
penghargaan serupa pada tahun-tahun setelahnya adalah Sutardji Calzoum Bachri,
Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Marianne Katoppo, Y.B. Mangunwijaya,
Budi Darma, Abdul Hadi W.M., Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Danarto,
Gerson Poyk, Arifin C. Noer, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Ramadhan
K.H., Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, Rendra, Seno Gumira Ajidarma, N.
Riantiarno, Kuntowijoyo, Wisran Hadi, Saini K.M., Darmanto Jatman, Gus tf.
Sakai, Acep Zamzam Noor, Sitor Situmorang, dan Suparto Brata.
1980: Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer terbit.
Buku itu diikuti dengan terbitnya Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988).
Buku Potret Pembangunan dalam Puisi karya Rendra terbit.
1981: Buku Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terbit. Buku Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi terbit.
1982: Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-
Indonesia.
1984: Dalam sarasehan kesenian di Solo, 28 Oktober 1984, Ariel Heryanto
memperkenalkan sastra kontekstual, yakni sejenis pemahaman atas seluk-beluk
kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial historis
kesusastraan yang bersangkutan.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 33 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
1985: Claudine Salmon menerbitkan buku Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa
Melayu. Ariel Heryanto menerbitkan Perdebatan Sastra Kontekstual.
1987: Linus Suryadi Ag. menerbitkan buku antologi puisi Indonesia secara lengkap,
Tonggak. Yayasan Lontar berdiri.
1988: Dalam seminar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) di Padang,
Subagio Sastrowardoyo mengusulkan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia.
1990: Pementasan Suksesi Teater Koma yang disutradarai N. Riantiarno dilarang.
Sebelumnya, pada tahun yang sama, Teater Koma mementaskan Konglomerat
Burisrawa yang mengkritik kartel bisnis raksasa di Indonesia.
1991: Nirwan Dewanto membacakan pidato kebudayaan dalam kongres kebudayaan
keempat. Menurut dia, setiap manusia berpotensi untuk menciptakan kebudayaan.
Ia mengusung semangat pluralisme dan multikulturalisme. Pidatonya dibukukan
dalam Senjakala Kebudayaan.
1994: Majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik dibredel. Majalah Kalam terbit.
Kusprihyanto Namma (Ngawi), dan Beno Siang Pamungkas (Tegal) mengusung
Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman dan menghujat Pusat dan elit sastra
nasional sebagai sumber kekuasaan yang mendominasi sastra koran .
1995: D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya. Pramoedya
Ananta Toer menerima penghargaan hadiah Magsaysay. Taufiq Ismail dan
Mochtar Lubis memprotes pemberian penghargaan itu. Muncul polemik hadiah
Magsaysay. AS Laksana menerbitkan buku Polemik Hadiah Magsaysay.
1997: Penyair Wiji Thukul diculik dan dibunuh.
1998: Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie
menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan
banyak mal yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan
keturunan Tionghoa juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku
karya sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra
yang beraroma seks melalui Saman. Harian Kompas menyambutnya dengan
istilah sastra wangi . Majalah Tempo terbit kembali.
1999: Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu
1955.
PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara
terbesar. Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur).
2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin
meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 34 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada
sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah
mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado,
Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko
Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari
empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah
Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang
pertama.
2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie
Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan
intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya
adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono
Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan
tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur
Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia.
Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati.
Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi
sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan
untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar
mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya
Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko
Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak
Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-
ayat
Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di
Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan
buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920,
melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi
Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang
menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban
tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski halaman 35 dari 39
Batu, 12 14 Agustus 2008
menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F.
Nadia.

You might also like