Professional Documents
Culture Documents
PELAKSANAAN KTSP
OLEH
TIM PENGEMBANG KURIKULUM
PROPINSI
PUSAT KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
JAKARTA 2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendinas) No. 24 tahun 2006 tentang
pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan No. 23 tahun 2006 tentang standar isi dan standar
kompetensi lulusan disebutkan bahwa salah satu tugas pokok Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dalam hal ini,
Pusat Kurikulum adalah memonitor secara nasional penerapan Permendiknas No. 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan, mengevaluasinya, dan mengusulkan rekomendasi kebijakan kepada
BSNP dan/atau Menteri. Salah satu yang menjadi bagian dari monitoring tersebut adalah
melakukan monitoring secara nasional penerapan peraturan menteri pendidikan nasional
dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaannya.
B. TUJUAN
Kegiatan ini memonitor dan mengevaluasi penerapan KTSP pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah di 33 propinsi
Melalui kegiatan ini akan dihasilkan laporan gambaran penerapan KTSP di 33 provinsi,
pada satuan pendidikan dasar dan menengah
E. PELAKSANAAN
F. PESERTA
Peserta yang dilibatkan dalam kegiatan ini terdiri dari unsure: Satuan Pendidikan, LPMP,
Perguruan Tinggi, dan Pusat Kurikulum.
KERANGKA BERPIKIR
Menurut Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan
penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan
potensi yang ada di daerah
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, kurikulum dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama
kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
1. standar isi
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan
dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi
mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur
kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender
pendidikan/akademik.
Beban belajar mengatur tentang jam pembelajaran dengan sistem tatap muka,
penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, pelaksanaan
pembelajaran sistem paket dan satuan kredit semester (SKS), serta pemberian
pendidikan kecakapan hidup dan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
2. standar proses
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan.
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan
kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Standar ini mengatur
tentang pendidik yang harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai
agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, Rasio pendidik terhadap peserta didik,
kelengkapan dan kualifikasi tenaga kependidikan satuan pendidikan, pengawas satuan
pendidikan.
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan
dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah,
perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan
berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Standar ini
mengatur tentang kelengkapan, jenis dan kualitas sarana dan prasarana satuan
pendidikan.
6. standar pengelolaan
7. standar pembiayaan
Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya
operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Standar ini mengatur
tentang biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal satuan pendidikan.
1. evaluasi kinerja pendidikan oleh satuan pendidikan pada tiap akhir semester,
Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk
menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. Pencapaian kompetensi
akhir peserta didik dinyatakan dalam dokumen ijazah dan/atau sertifikat kompetensi.
Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan
mutu pendidikan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, secara
bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki
target dan kerangka waktu yang jelas. Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota, LPMP mensurpervisi dan membantu satuan pendidikan dalam
penjaminan mutu.
B. STANDAR ISI
Di dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan
dasar dan menengah disebutkan bahwa Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah yang selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan
tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang
dan jenis pendidikan tertentu. Ini berarti ketentuan di dalam Permendiknas tersebut
bersifat minimal yang harus dicapai peserta didik pada setiap satuan pendidikan.
Sistematika Standar Isi dalam lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006 adalah sebagai
berikut.
1. Pendahuluan
(1) kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam
penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan,
(2) beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah,
(3) kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan dikembangkan oleh satuan
pendidikan berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak
terpisahkan dari standar isi, dan
Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Struktur kurikulum
pendidikan umum memuat komponen mata pelajaran, muatan lokal dan
pengembangan diri. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester)
adalah 34-38 minggu
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru.
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan
minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan
diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan
yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan
pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang
berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan
pengembangan karir peserta didik.
Alokasi waktu yang ditetapkan dalam struktur kurikulum untuk kelas I , II,
dan III adalah 26, 27 dan 28 jam pelajaran per minggu. Sedangkan untuk kelas
IV s.d. VI adalah 32 jam pelajaran per minggu. Satuan pendidikan
dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu
secara keseluruhan. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.
Mata pelajaran Kejuruan terdiri atas beberapa mata pelajaran yang bertujuan
untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan
kemampuan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru.
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan
minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan
diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan
yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan
pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang
berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan
pembentukan karier peserta didik. Pengembangan diri bagi peserta didik
(1) Kelompok normatif adalah mata pelajaran yang dialokasikan secara tetap yang
meliputi Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, dan Seni Budaya
(2) Kelompok adaptif terdiri atas mata pelajaran Bahasa Inggris, Matematika,
IPA, IPS, Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi, dan
Kewirausahaan
(3) Kelompok produktif terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang dikelompokkan
dalam Dasar Kompetensi Kejuruan dan Kompetensi Kejuruan, yang materinya
disesuaikan dengan kebutuhan program keahlian untuk memenuhi standar
kompetensi kerja di dunia kerja.
Kelompok adaptif dan produktif adalah mata pelajaran yang alokasi waktunya
disesuaikan dengan kebutuhan program keahlian, dan dapat diselenggarakan
dalam blok waktu atau alternatif lain. Evaluasi pembelajaran dilakukan setiap
akhir penyelesaian satu standar kompetensi atau beberapa penyelesaian
kompetensi dasar dari setiap mata pelajaran.
Program khusus berisi kegiatan yang bervariasi sesuai degan jenis ketunaannya,
yaitu program orientasi dan mobilitas untuk peserta didik tunanetra, bina
komunikasi persepsi bunyi dan irama untuk peserta didik tunarungu, bina diri
untuk peserta didik tunagrahita, bina gerak untuk peserta didik tunadaksa, dan
bina pribadi dan sosial untuk peserta didik tunalaras.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru.
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru,
atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan
pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan
sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik. Pengembangan diri
terutama ditujukan untuk peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai
dengan kebutuhan khusus peserta didik.
ANAK LUAR
BIASA/ANAK
BERKELAINAN
PERGURUAN
SMP/ TINGGI/
SD/MI MTs SMA/MA
MASYARAKAT
SMK/MAK
Struktur kurikulum pada satuan Pendidikan Khusus SDLB dan SMPLB mengacu
pada Struktur Kurikulum SD dan SMP dengan penambahan Program Khusus
sesuai jenis kelainan, dengan alokasi waktu 2 jam/minggu. Satu jam pelajaran
untuk SDLB adalah 30 menit, SMPLB adalah 35 menit dan SMALB adalah 40
menit sesuai dengan kondisi peserta didik yang berkaelainan. Untuk jenjang
SMALB, program khusus bersifat kasuistik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
peserta didik tertentu, dan tidak dihitung sebagai beban belajar. Program Khusus
sesuai jenis kelainan peserta didik meliputi sebagai berikut.
(2) Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama untuk peserta didik Tunarungu
(3) Bina Diri untuk peserta didik Tunagrahita Ringan dan Sedang
(6) Bina Diri dan Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Sedang, dan
Tunaganda.
Satuan pendidikan khusus SDLB dan SMPLB dapat menambah maksimum 6 jam
pembelajaran/minggu untuk keseluruhan jam pembelajaran, dan 4 jam
Muatan isi mata pelajaran untuk SMALB A,B,D,E bidang akademik mengalami
modifikasi dan penyesuaian dari SMA umum sehingga menjadi sekitar 40% –
50% bidang akademik, dan sekitar 60% – 50% bidang keterampilan vokasional.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran pada setiap
tingkat dan semester disajikan pada lampiran-lampiran Permendiknas No. 22
tahun 2006 tentang Standar Isi yang terdir atas: Lampiran 1 Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI dan SDLB, Lampiran 2 Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMP/MTs dan SMPLB, dan
Lampiran 3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat
SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK.
3. Beban Belajar
Beban belajar dirumuskan dalam bentuk satuan waktu yang dibutuhkan oleh peserta
didik untuk mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan
terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Beban belajar atau alokasi waktu
yang diatur dalam struktur kurikulum adalah beban belajar dalam bentuk tatap muka.
Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta
didik pada untuk:
a. SD/MI/SDLB maksimum 40% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata
pelajaran yang bersangkutan
b. SMP/MTs/SMPLB maksimum 50% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari
mata pelajaran yang bersangkutan.
4. Kalender Pendidikan
a) Alokasi Waktu
Permulaan tahun pelajaran adalah bulan Juli setiap tahun dan berakhir pada bulan
Juni tahun berikutnya. Hari libur sekolah ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional, dan/atau Menteri Agama dalam hal yang terkait
dengan hari raya keagamaan, Kepala Daerah tingkat Kabupaten/Kota, dan/atau
organisasi penyelenggara pendidikan dapat menetapkan hari libur khusus.
Pemerintah Pusat/Provinsi /Kabupaten/Kota dapat menetapkan hari libur serentak
untuk satuan-satuan pendidikan. Kalender pendidikan untuk setiap satuan
pendidikan disusun oleh masing-masing satuan pendidikan berdasarkan alokasi
Di dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah disebutkan bahwa Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman
penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik. SKL meliputi standar kompetensi
lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan
minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata
pelajaran. Ini berarti ketentuan di dalam Permendiknas tersebut bersifat minimal yang
harus dicapai lulusan peserta didik pada setiap satuan pendidikan.
Tujuan setiap satuan pendidikan yang tertuang dalam lampiran Permendiknas No. 23
tahun 2006 adalah sebagai berikut.
Pada satuan pendidikan SMK/MAK, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau
kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
keterampilan, kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang
relevan
Standar kompetensi lulusan mata pelajaran untuk SD/MI terdiri atas mata pelajaran:
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Katolik,
Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya dan Keterampilan, Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan, dan Bahasa Inggris.
Standar kompetensi lulusan mata pelajaran untuk SMP/MTs terdiri atas mata pelajaran:
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Katolik,
Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya, Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan, Keterampilan, dan Teknologi Informasi dan
Komunikasi.
Standar kompetensi lulusan mata pelajaran untuk SMA/MA terdiri atas mata pelajaran:
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Katolik,
Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia Program IPA/IPS, Bahasa Indonesia Program Bahasa, Bahasa Inggris,
Bahasa Inggris Program Bahasa, Matematika Program IPA, Matematika Program IPS,
Matematika Program Bahasa, Fisika, Biologi, Kimia, Sejarah Program IPA, Sejarah
Program IPS, Sejarah Program Bahasa, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Seni Budaya,
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Keterampilan, Bahasa Arab, Bahasa Jerman, Bahasa Perancis, Bahasa Jepang, Bahasa
Mandarin, Sastra Indonesia Program Bahasa, dan Antropologi Program Bahasa.
Standar kompetensi lulusan mata pelajaran untuk SDLB A, B, D, E terdiri atas mata
pelajaran: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama
Katolik, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya dan
Keterampilan, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, dan Bahasa Inggris.
Standar kompetensi lulusan mata pelajaran untuk SMALB A, B, D, E terdiri atas mata
pelajaran: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama
Katolik, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Seni
Budaya, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, Keterampilan
Vokasional/Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Standar kompetensi lulusan mata pelajaran untuk SMK/MAK terdiri atas mata pelajaran:
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Katolik,
Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan Kewarganegaraan,
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika Kelompok Seni, Pariwisata, dan Teknologi Kerumahtanggaan, Matematika
Kelompok Sosial, Administrasi Perkantoran dan Akuntasi, Matematika Kelompok
Teknologi, Kesehatan, dan Pertanian, IPA, Fisika Kelompok Pertanian, Fisika Kelompok
Teknologi, Kimia Kelompok Pertanian, Kimia Kelompok Teknologi dan Kesehatan,
Biologi Kelompok Pertanian, Biologi Kelompok Kesehatan, IPS, Seni Budaya,
Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi, dan Kewirausahaan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penyusunan kurikulum pada tingkat
satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan
yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sekolah dan komite
sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan. Penyususnan
kurikulum juga dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
Salah satu dampak tersebut adalah bahwa kurikulum tidak ditetapkan lagi secara nasional,
tetapi disusun oleh masing-masing sekolah atau kelompok sekolah dengan mengacu pada
standar isi dan standar kompetensi lulusan. Sehingga pencapaian hasil pendidikan optimal
sesuai dengan kondisi, potensi, dan kebutuhan satuan pendidikan, namun pencapaian
minimalnya sama untuk setiap satuan pendidikan. Khusus untuk pengembangan
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya untuk program paket A, B dan C
ditetapkan oleh dinas kabupaten/kota berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar
kompetensi lulusan.
Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang
tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut.
a. Mata pelajaran
b. Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan mata pelajaran yang isinya disesuaikan dengan ciri khas,
potensi, atau keunggulan daerah, yang materinya belum tertuang pada mata
pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan,
tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Satuan pendidikan harus
mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis
muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan
satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satua
tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan
lokal. Dinas pendidikan dapat mengkoordinasikan pengembangan muatan lokal
sejenis untuk satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan.
Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh satuan pendidikan SD/MI/SDLB.
Satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori
standar dapat menggunakan sistem paket atau sistem SKS. Satuan pendidikan
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri menggunakan sistem SKS.
Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan
sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Pengaturan alokasi waktu untuk setiap
mata pelajaran yang terdapat pada semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran
dapat dilakukan secara fleksibel dengan jumlah beban belajar yang tetap.
Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur
dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% - 40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0% - 60% dari waktu kegiatan tatap muka mata
pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan
potensi dan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi.
Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu
jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka.
Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak
terstruktur untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem
SKS mengikuti aturan sebagai berikut.
a. Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan
terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.
b. Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit
kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.
4. Ketuntasan Belajar
Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi
dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing
indikator 75%. Satuan pendidikan harus menentukan kriteria ketuntasan minimal
dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta
kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Satuan
pendidikan diharapkan meningkatkan kriteria ketuntasan belajar secara terus menerus
untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal.
Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran. Kriteria kenaikan kelas
diatur oleh masing-masing direktorat teknis terkait. Sesuai dengan ketentuan PP
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan
dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga, dan kesehatan;
Materi ujian nasional dikembangkan tentu mengacu kepada Standar Isi dan SKL yang
sifatnya minimal. Apabila satuan pendidikan telah mengembangkan dan menerapkan
kurikulum yang mengacu standar isi dan SKL (apalagi kurikulum dengan standar
lebih tinggi), tentunya siap untuk mengikuti ujian nasional.
Keempat syarat diatas bersifat ururtan prasyarat, artinya seorang peserta didik yang
belum menyelesaikan seluruh program pemebelajaran berarti belum mendapat nilai
baik untuk kelompok non iptek, belum bisa mengikuti ujian sekolah, dan tentu saja
belum bisa mengikuti ujian nasional.
6. Penjurusan
Penjurusan dilakukan pada kelas XI dan XII di SMA/MA. Kriteria penjurusan diatur
oleh direktorat teknis terkait.
9. Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun kalender pendidikan sesuai
dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan
masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana yang dimuat
dalam Standar Isi.
10. Silabus
Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau
berkelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas
Pendikan, dengan memperhatikan hal berikut.
a. Disusun secara mandiri oleh guru apabila guru yang bersangkutan mampu
mengenali karakteristik siswa, kondisi sekolah dan lingkungannya.
c. Di SD/MI semua guru kelas, dari kelas I sampai dengan kelas VI, menyusun
silabus secara bersama. Di SMP/MTs untuk mata pelajaran IPA dan IPS terpadu
disusun secara bersama oleh guru yang terkait.
Materi ini dapat berupa konsep, pokok bahasan, atau tema yang bersifat
kontekstual dan dipilih sesuai dengan kondisi, potensi, karakteristik satuan
pendidikan dan peserta didik. Materi ini, nantinya diperinci dalam RPP.
Penentuan alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan pada jumlah
minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran per minggu dengan
mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat
kesulitan, dan tingkat kepentingan kompetensi dasar. Alokasi waktu yang
dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai
kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk
kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, narasumber, serta
lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
a. Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelejaran dirumuskan dalam bentuk uraian proses kegiatan belajar dan
kemampuan atau hasil belajar peserta didik untuk mencapai kompetensi atau
indikator yang telah dirumuskan dalam silabus.
b. Materi Ajar
Materi ajar dirumuskan dari materi pokok atau materi pembelajaran pada silabus
yang dapat berupa rincian secara runtut subpokok bahasan atau subtema.
Pemilihan materi ajar ditentukan oleh kondisi, potensi, kebutuhan dan daya
dukung sumber daya satuan pendidikan dan siswa.
c. Metode
Metode atau strategi pembelajaran yang dituangkan dalam RPP merupakan bentuk
kegiatan dan organisasi kelas yang digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Metode dan organisasi pembelajaran dapat berupa diskusi
d. Langkah pembelajaran
Kegiatan ini dapat berupa apersepsi, review (mengulang beberapa hal yang
bersifat prasyarat), kegiatan problem solving aplikasi yang berkaitan dengan
materi ajar, termasuk menjelaskan tujuan pembelajaran.
Kegiatan ini merupakan kegiatan dan organisasi belajar secara yang bervariasi
dan terurut sistematis untuk mencapai kompetensi dan beberapa indikator
yang telah dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran.
(3) Penutup
Kegiatan penutup dari RPP dapat diisi dalam bentuk refleksi (perenungan)
tentang pencapaian hasil belajar, penugasan lebih lanjut atau lebih mendalam,
atau rangkuman hasil belajar.
e. Penilaian
Penilaian ini memuat rincian bentuk, contoh penilaian dan pedoman penskoran
dari bentuk penilaian dan jenis tugas yang telah dirumuskan dalam silabus.
Pelaksanaan penilaian terintegrasi dalam selama kegiatan belajar berlangsung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian.
(1) Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi.
f. Sumber Belajar
Sumber belajar meliputi bahan ajar, alat, bahan, media, dan alat bantu belajar yang
digunakan untuk mencapai kompetensi atau beberapa indikator yang telah
dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran. Di sini perlu dijelaskan
ketersediaan dan banyaknya sumber belajar, termasuk cara penggunaannya.
g. Alokasi waktu
Implementasi, penerapan atau pelaksanaan standar isi dan standar kompetensi lulusan
diatur dalam Permendiknas No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22
tentang standar isi dan Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi
lulusan. Pada Permendiknas No. 24 tahun 2006 disebutkan bahwa:
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai kebutuhan satuan pendidikan
yang bersangkutan berdasarkan pada :
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 36 sampai dengan Pasal 38;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 27;
c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Setiap satuan pendidikan yang akan mengembangkan kurikulum perlu memiliki
dokumen yang berisi ketentuan-ketentuan di atas. Satuan pendidikan perlu memiliki,
mengkaji, dan memahami dokumen tersebut agar dapat mengembangkan kurikulum
secara optimal, sesuai potensi, kondisi dan kebutuhannya.
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan
standar yang lebih tinggi dari Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan
sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 22 dan No. 23 tahun 2006
Standar isi dan standar kompetensi lulusan merupakan ketentuan yang bersifat
minimal sehingga satuan pendidikan dimungkinkan menyusun kurikulum dengan
standar lebih tinggi. Kurikulum dengan standar lebih tinggi dapat berupa penambahan
lingkup materi dan kompetensi, pendalaman kompetensi, penambahan mata pelajaran
atau penambahan muatan lainnya, sesuai dengan kondisi, potensi dan kebutuhan
satuan pendidikan. Dengan mengembangkan dan menerapkan kurikulum dengan
standar lebih tinggi, maka satuan pendidikan dapat menyesuaikan alokasi waktu pada
struktur kurikulum, mengatur sistem beban belajar, mengatur kalender pendidikan,
mengatur sistem akselerasi atau percepatan belajar dan sebagainya, sesuai dengan
kondisi, potensi dan kebutuhan satuan pendidikan.
Mengenai mekanisme dan strategi pelaksanaan standar isi dan standar kompetensi
lulusan, di dalam Permendiknas No. 24 tahun 2006 disebutkan bahwa:
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menerapkan Permendiknas No. 22 dan
No. 23 Tahun 2006 mulai tahun ajaran 2006/2007.
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa satuan pendidikan memungkinkan menerapkan
Permendiknas No. 22 dan No. 23 Tahun 2006, setelah tahun 2006 sampai tahun 2009
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah harus sudah mulai menerapkan Permendiknas
No. 22 dan No. 23 Tahun 2006 paling lambat tahun ajaran 2009/2010.
(3) Satuan pendidikan dasar dan menengah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat
menerapkan secara menyeluruh Permendiknas No. 22 dan No. 23 Tahun 2006 untuk
semua tingkatan kelasnya mulai tahun ajaran 2006/2007.
(4) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum melaksanakan uji coba kurikulum
2004, melaksanakan Permendiknas No. 22 dan No. 23 Tahun 2006 secara bertahap
dalam waktu paling lama 3 tahun, dengan tahapan:
a Untuk sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI), dan sekolah dasar luar biasa
(SDLB):
- tahun I : kelas 1 dan 4;
- tahun II : kelas 1,2,4, dan 5;
- tahun III : kelas 1,2,3,4,5 dan 6.
b Untuk sekolah menengah pertama (SMP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah
menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK),
madrasah aliyah kejuruan (MAK), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB),
dan sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) :
- tahun I : kelas 1;
- tahun II : kelas 1 dan 2;
- tahun III : kelas 1,2, dan 3.
(5) Penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir (2) di atas dapat
dilakukan setelah mendapat izin Menteri Pendidikan Nasional.
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa satuan pendidikan memungkinkan menerapkan
Permendiknas No. 22 dan No. 23 Tahun 2006, setelah setelah tahun 2009 apabila
kondisi satuan pendidikan belum siap disebabkan kondisi, situasi belum
memungkinkan
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa gubernur, bupati, walikota dan menteri Agama lebih
berperan dalam pengaturan jadwal atau mengkoordinasikan pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan No. 23 Tahun 2006, untuk mendukung dan mendorong satuan pendidikan dalam
menerapkan standar isi dan standar kompetensi lulusan. Peran satuan pendidikan tetap
merupakan pelaksana dalam penerapan Permendiknas tersebut dan semua satuan
pendidikan dalam suatu wilayah tidak harus melaksanakan secara serempak, tetapi
disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan satuan pendidikan.
Di dalam Permendiknas No. 24 tahun 2006, BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)
memilki tugas sebagai berikut.
(1) BSNP melakukan pemantauan perkembangan dan evaluasi pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan No. 23 Tahun 2006, pada tingkat satuan pendidikan, secara nasional.
(2) BSNP dapat mengajukan usul revisi .Permendiknas No. 22 dan No. 23 Tahun 2006
sesuai dengan keperluan berdasarkan pemantauan hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada butir (1).
Dengan berlakunya Permendiknas No. 24 Tahun 2006, Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan :
a. Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar;
b. Nomor 061/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Umum;
c. Nomor 080/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan; dan
d. Nomor 0126/U/1994 tentang Kurikulum Pendidikan Luar Biasa;
dinyatakan tidak berlaku bagi satuan pendidikan dasar dan menengah sejak satuan
pendidikan dasar dan menengah yang bersangkutan melaksanakan Permendiknas No. 24
Tahun 2006.
Dari ketentuan Permendiknas No. 24 tahun 2006 jelas bahwa efektifitas pelaksanaan standar
isi dan standar kompetensi lulusan ditentukan oleh komitmen dan peran satuan pendidikan,
komite satuan pendidikan, bupati/walikota, gubernur, dan pemerintah (departemen
pendidikan nasional, departemen agama dan departemen lain yang terkait).
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas keberhasilan implementasi kurikulum yang
dilakukan oleh suatu lembaga adalah melakukan monitoring terhadap program tersebut.
Monitoring tersebut dapat dilakukan mulai dari perencanaan (termasuk needs analysis)
, proses dan pelaksanaan, maupun outputnya. Proses dan kedudukan monitoring dapat
digambarkan sebagai berikut :
Analisis SWOT
Implementasi kurikulum
Pelaksanaan
kurikulum
Monitoring merupakan bagian dari bentuk pengendalian (control) yaitu proses yang
memastikan bahwa aktifitas aktual (yang terjadi) sesuai dengan aktifitas yang
direncanakan. Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu implementasi kurikulum,
terdapat berbagai istilah yang hampir sepadan yaitu monitoring, evaluasi dan supervisi.
Semua istilah tersebut secara umum mengacu pada fungsi pengawasan pelaksanaan
program implementasi kurikulum. Keitga istilah tersebut pada dasarnya tidak terpisahkan
satu sama lain karena sama-sama digunkan dalam konteks menyempurnakan atau
memperbaiki program dan hasil pelaksanaan implementasi kurikulum.
Monitoring (pemantauan) secara umum dimaknai sebagai sebuah kegiatan yang berfungsi
untuk melihat kesesuaian rencana program implementasi kurikulum dengan pelaksanaan
yang terjadi yang mencakup semua aspek dalam implementasi kurikulum diantaranya :
Evaluasi menurut the trainer’s Library, 1988 mendefiniisikan evaluasi adalah proses
pengumpulan data yang sistematis untuk mengukur evektivitas, efisiensi, akuntabilitas
dan relevansi program implementasi kurikulum. Suatu kegiatan evaluasi diharapkan dapat
mengukur keberhasilan apakah tujuan implementasi kurikulum yang ditetapkan dapat
dicapai. LAN mendefinisikan evaluasi sebagai proses atau kegiatan untuk menentukan
kemajuan implementasi kurikulum dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan dan
usaha untuk memperoleh informasi atau umpan balik bagi penyempurnaan program
implementasi kurikulum. Dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang
sistimatis untuk melihat apakah sebuah program implementasi kurikulum telah berhasil
dan efisien dalam pelaksanaannya. Hasil evaluasi biasanya dipergunakan untuk
memperbaiki program implementasi kurikulum yang akan dilakukan berikutnya.
Dari ketiga pengertian di atas tampak bahwa monitoring digunakan untuk memperbaiki
proses implementasi kurikulum yang sedang berjalan untuk mengoptimalkan hasil,
evaluasi hasilnya lebih dipergunakan untuk perbaikan program implementasi kurikulum
berikutnya walaupun pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan pada saat implementasi
kurikulum berlangsung, sedangkan supervisi lebih menekankan pada perbaikan
pembelajaran secara langsung yang diberikan oleh fasilitator atau narasumber.
Monitoring memiliki cakupan prosedur dan cakupan proses lebih luas dari sekedar yang
dilakukan dalam pekerjaan evaluasi atau supervisi. Fungsi monitoring mencakup tiga
unsur utama:
Unsur-unsur pokok dalam proses monitoring adalah penetapan standar ketepatan program
implementasi kurikulum, merancang sistem umpan balik informasi, membandingkan
kinerja aktual dengan standar yang ditetapkan, menentukan apakah terdapat
penyimpangan, dan mengambil tindakan perbaikan, yang dapat diilustrasikan sebagai
berikut.
Selesai
ya
Monitoring harus dilakukan oleh seseorang yang berkompeten sesuai dengan bidang yang
akan dimonitor. Kompetensi yang dimaksud di sini tentu kompetensi atau kemampuan
profesional yang terkait langsung dengan perencanaan, pengembangan dan
penyelenggaraan program implementasi kurikulum. Kompetensi meliputi keterampilan
teknis dalam menggunakan prosedur kerja dalam program implementasi kurikulum;
keterampilan manusiawi dalam bekerja dengan orang lain, memahami orang lain, dan
memotivasi orang lain; serta keterampilan konseptual dalam mengkoordinasi dan
memadukan berbagai kepentingan dan kegiatan dalam implementasi kurikulum.
Model monitoring yang konvensional atau tradisional adalah yang bersifat mencari
kesalahan. Ini sangat mudah dilakukan karena pada dasarnya manusia sebagai
Metode wawancara dapat dilakukan secara tertulis ataupun langsung. Dalam metode ini
yang perlu dilakukan bahwa pewawancara harus memiliki aspek – aspek apa saja yang
perlu diketahui atau dimonitor sebagai bagian dari monitoring. Misalnya :
Selain menggunakan format observasi secara khusus, pemonitor dapat juga menggunakan
metode deskripsi, yaitu : menguraikan hasil pengamatan secara komprehensif dan ditulis
secara lengkap dalam sebuah laporan. Selanjutnya, laporan ini dianalisis untuk diperoleh
hal-hal atau aspek apa saja yang perlu diperbaiki dan ditindaklanjuti agar segera
dilakukan perbaikan program implementasi kurikulum.
Dalam melakukan observasi perlu dillakukan dalam situasi yang wajar (tidak
mengganggu program pembelajaran), mencatat hal-hal yang penting dan menekankan
pada upaya perbaikan program implementasi kurikulum, serta data yang dihasilkan
haruslah faktual dan bukan opini pemonitor.
Alat bantu lain yang sangat berguna dalam metode observasi/wawancara adalah kamera
untuk bukti dokumentasi pelaksanaan implementasi kurikulum, perekam suara (tape
recorder) hasil wawancara atau kegiatan lainnya, dan peralatan audio visual (video)
sebagai dokumentasi pelaksanaan implementasi kurikulum.
Unjuk kerja untuk setiap aspek yang dimonitor dapat dikategorikan dalam bentuk laporan
teramati (tepat) atau tidak teramati (tidak tepat). Boleh juga digunakan sekala rentang,
misalkan suatu aspek ditunjukkan melalui empat kategori yaitu : tidak baik, kurang baik,
cukup baik dan baik.
Penilaian diri merupakan salah satu bentuk kuisioner yang khusus ditujukan kepada fihak
pelaksana penyelenggara pendidikan untuk melakukan evaluasi diri misalnya mengenai
tanggapan tentang komitmen, daya inovasi dan kreasi dari guru, kepala sekolah,
pengawas dan fihak lain yang relevan. Alat penilaian diri dapat berupa daftar ceklis
tentang pandangan/pendapat, yang disusun dalam bentuk pertanyaan tertutup atau
terbuka. Penilaian diri cukup bermanfaat untuk dilakukan karena pelaksana akan lebih
jujur mengungkapkan pendapatnya tentang pelaksanaan program implementasi
kurikulum. Walaupun perlu dilakukan kroscek atau verifikasi dengan sumber data yang
lain untuk mendapat informasi yang lebih otentik.
Data dan informasi dari monitoring secara tertulis (kuesioner, angket, atau penilaian diri)
dapat diperoleh secara langsung oleh petugas kuesioner kepada responden, melalui pos
atau dengan alat bantu teknologi informasi melalui internet (website). Monitoring melalui
pos atau internet lebih membutuhkan keaktifan dan proaktif dari pihak responden.
Aspek yang dimonitor mencakup semua komponen – komponen penting mulai dari
perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum oleh satuan pendidikan, evaluasi
efektifitas dampak pelaksanaan kurikulum, serta analisis kekuatan, kelemahan, peluang,
hambatan, dan tantangan untuk penyempurnaan kurikulum..
- Isi silabus,
Setiap aspek atau sub aspek tersebut dapat di jabarkan kedalam aspek yang lebih kecil.
Hal ini agar mempermudah dalam melakukan monitoring nantinya, serta akan
meningkatkan nilai ketepatan pengamatan. Aspek – aspek yang lebih rinci akan mampu
menggambarkan pelaksanaan implementasi kurikulum dengan baik atau tidak suatu
implementasi kurikulum dilaksanakan. Misalkan sub aspek isi silabus dapat dirinci
menjadi lima komponen yaitu :
Apabila aspek yang dimonitor berupa kelengkapan dokumen atau peralatan, kualitas isi
dokumen atau peralatan, atau sarana lainnya, maka monitoring dapat dilakukan dalam
bentuk tertulis misalnya berupa kuesioner. Namun, jika aspek yang dimonitor berupa
kinerja atau performa dari penyelenggara dan peserta implementasi kurikulum, komitmen
atau sikap penyelenggara dan peserta implementasi kurikulum terhadap program
implementasi kurikulum, maka monitoring paling tepat dilakukan dalam bentuk
observasi. Biasanya untuk membuat efektif monitoring, suatu aspek dimonitor dengan
menggunakan lebih dari satu teknik monitoring.
Kriteria atau tolok ukur hasil monitoring merupakan ukuran ketepatan, kelengkapan atau
kebenaran prosedur kerja dari setiap tahapan program implementasi kurikulum sesuai
dengan aspek-aspeknya. Perumusan kriteria ini harus jelas, dapat diukur (measurable),
atau dapat diamati (observable), serta dapat dicapai dengan tenggang waktu tertentu.
Perumusan yang samar-samar seperti ’meningkatkan mutu bahan ajar’, tidak akan dapat
dimonitor karena tidak jelas ukuran peningkatannya.
Kriteria ini merupakan pedoman atau acuan bagi pemonitor untuk memeriksa ketepatan
setiap aspek yang dimonitor pada setiap tahapan program implementasi kurikulum. Cara
paling sederhana menentukan kriteria adalah dengan daftar ceklis, yaitu menetapkan
Tingkat analisis bergantung pada detil data yang dibutuhkan dan kompleksitas
permasalahan selama implementasi kurikulum. Pengolahan dan analisis hasil monitoring
dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Kebanyakan orang lebih tertarik
dengan analisis kuantitatif, walaupun analisis kualititatif juga sangat penting untuk
dicermati.
Data yang diperoleh dari hasil monitoring perlu dianalisis secara kualitatif dengan
menggunakan pendekatan content analysis untuk membandingkan berbagai temuan yang
memiliki karakteristik berbeda-beda dan narrative analysis untuk melihat kohorensi
temuan atau informasi dari tanggapan para stakeholder program implementasi kurikulum.
Data juga akan dianalisis secara kuantitatif dengan pendekatan descriptive statistically
analysis untuk mendeskripsikan berbagai aspek variabel yang diperoleh dari temuan
selama implementasi kurikulum. Hasil analisiis data digunakan untuk memvalidasi
program penyelenggaraan implementasi kurikulum dan kesesuaiam dengan potensi dan
kebutuhan implementasi kurikulum.
Apapun metode analisis yang digunakan, harus menjawab pertanyaan apakah program
implementasi kurikulum telah berhasil dan efektif dilakukan sesuai tujuan implementasi
kurikulum. Untuk itu ketepatan kuantitas dan kualitas dari proses monitoring sangat
menentukan hasil analisis, yang selanjutnya juga menentukan apakah tujuan implementasi
kurikulum telah tercapai. Yang penting diperhatikan bahwa hasil monitoring harus
menjadi umpan balik secara langsung sehingga proses implementasi kurikulum berjalan
sesuai dengan track atau tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian, hasil montoring sudah
harus dapat dijadikan sebagai masukan perbaikan implementasi kurikulum sejak tahapan
implementasi kurikulum dimulai.
3. hasil analisis monitoring dapat digunakan sebagai bahan evaluasi secara menyeluruh
untuk meningkatkan kualitas program implementasi atau penerapan kurikulum oleh
satuan pendidikan.
METODOLOGI
A. STRATEGI MONITORING
Kegiatan ini dilakukan melalui berbagai metode dalam bentuk studi dokumen, workshop,
rapat kerja dan koordinasi, diskusi fokus, pengembangan desain, pengembangan
instrumen, melakukan monitoring, pengolahan hasil monitoring, penyusunan dan
presentasi rekomendasi, sebagai berikut.
Desain ini merupakan master plan yang disusun untuk dijadikan pedoman atau acuan
dalam kegiatan monitoring yang meliputi: latar belakang dan tujuan monitoring,
ruang lingkup, hasil yang diharapkan, kerangka berpikir atau landasan teori,
metodologi, pelaksanaan kegiatan, analisis hasil monitoring, penyusunan dan
presentasi rekomendasi mengenai hasil kegiatan keseluruhan. Penyusunan desain
dilaksanakan dalam bentuk workshop, rapat kerja dan diskusi fokus yang melibatkan
berbagai nara sumber perguruan tinggi, praktisi pendidik dan tenaga kependidikan,
dan stakeholder lain yang relevan.
Instrumen dikembangkan dan disusun untuk menjaring atau mendapatkan data dan
informasi kualitatif dan kuantitaif mengenai pencapaian pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan 23 tahun 2006 tentang Standar Isi dan SKL oleh satuan pendidikan.
Instrumen yang disusun berbentuk tes, kuesioner, pedoman wawancara, pedoman
observasi situasi dan pelaksanaan pembelajaran. Sumber data yang digunakan adalah
(3) Rapat koordinasi membahas implikasi Permendiknas No. 22, 23 dan 24 tahun 2006
Rapat kerja ini terutama untuk menentukan kesamaan persepsi dan pemahaman
berbagai pihak pengelola pendidikan dari unsur sekolah, orangtua, dinas pendidikan,
pemerintah, dan pihak lain mengenai implikasi Permendiknas No. 22, 23 dan tahun
2006 tentang:
a. Hal-hal yang harus dilaksanakan dan dicapai satuan pendidikan seperti yang
dituntut dalam Permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006
Rapat kerja ini juga untuk mengatur koordinasi dalam pelaksanaan monitoring
sehingga diperoleh cukup data dan informasi kualittaif dan kuantitatif yang akurat dan
aktual tentang pencapaian penerapan dan pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23
tahun 2006 oleh satuan pendidikan pada setiap propinsi.
Data dan informasi hasil monitoring dan kajian dokumen pendukund yang relevan
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan gambaran, potret atau
profil tingkat pencapaian dan efektifitas penerapan atau pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan 23 tahun 2006 oleh satuan pendidikan pada seluruh propinsi. Hasil analisis
ini digunakan sebagai bahan penyusunan rekomendasi kebijakan dalam penyusunan
dan pelaksanaan kurikulum oleh satuan pendidikan dan evaluasu, supervisi atau
pembinaannya oleh pengawas sekolah, dinas pendidikan kabupaten/kota/propinsi dan
pemerintah.
B. PENGEMBANGAN INSTRUMEN
Instrumen disusun dan digunakan untuk mengukur atau mendapatkan data dan informasi
pencapaian pelaksanaan Peremndiknas No. 22 dan 23 tahun 2006. Bentuk Instrumen yang
dikembangkan dalam monitoring ini berupa kuesioner, pedoman wawancara, dan
pedoman observasi.
Metode wawancara dapat dilakukan secara tertulis ataupun langsung dengan mengacu
pada panduan wawancara. Observasi digunakan untuk mengamati unjuk kerja (kinerja)
pada saat pembelajaran di sekolah maupun obaservasi situasi dan kondisi pembelajaran
dengan menggunakan lembar pengamatan yang memuat aspek – aspek yang akan dilihat
saat monitoring dilakukan.
Penilaian diri merupakan salah satu bentuk kuisioner yang khusus untuk melakukan
evaluasi diri tentang komitmen Penilaian diri cukup bermanfaat untuk dilakukan karena
pelaksana diklat akan lebih jujur mengungkapkan pendapatnya tentang pelaksanaan
program diklat. Walaupun perlu dilakukan kroscek atau verifikasi dengan sumber data
yang lain untuk mendapat informasi yang lebih otentik.
Populasi dalam monitoring ini adalah unsure dari satuan pendidikan dasar dan menengah
dan komitenya serta dinas pendidikan kabupaten/kota/propinsi pada 33 propinsi. Teknik
sampling dilakukan secara multi-stages dengan mengkombinasikan sistem cluster
samples dan purposive samples. Pada masing-masing propinsi akan dilakukan monitoring
pada tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang meliputi pendidik, tenaga
kependidikan, komite, siswa, orangtua, pengawas, dan sarana pendukungnya. Monitoring
pada tingkat dinas penddikan kab/kota/propinsi meliputi ketenagaan dan program kerja
dalam mendukung pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006.
E. PROFIL RESPONDEN
Responden yang dilibatkan dalam monitoring ini berasal dari dinas pendidikan provinsi,
dinas pendidikan kota di ibu kota provinsi, dan sekolah-sekolah yang berada di ibukota
provinsi. Responden dipilih secara acak, namun karena semua responden berasal dari ibu kota
provinsi, data yang diberikan belum mewakili daerah-daerah di luar ibukota provinsi. Namun
demikian, hasil monitoring dapat dijadikan sebagai barometer untuk memperkirakan
(memprediksi) bagaimana kondisi di luar ibu kota provinsi.
1. Dinas Pendidikan
Sebagain besar responden yang berasal dari pejabat struktural Dinas Pendidikan berlatar
belakang pendidikan sarjana strata 1 (64,8%), sarjana strata 2 (18,0%), SLTA (13,7%), dan
diploma (3,5%). Responden yang berlatar belakang pendidikan SLTA adalah staf teknis
yang hadir mewakili atasannya. Sebagian besar (53,9%) telah memiliki masa kerja antara
21-30 tahun, dan hanya 14,4% yang masa kerjanya 10 tahun ke bawah.
Lebih separoh (58,5) responden mengaku belum pernah ikut sosialisasi. Dari responden yang
mengikuti sosialisasi, umumnya (97,8) menyatakan ikut sosialisasi kurang dari seminggu.
2. Sekolah
Responden yang terdiri atas kepala sekolah dan guru dengan latar belakang pendidikan
sebagian besar sarjana. 80,3% responden kepala sekolah berpendidikan sarjana strata 1, dan
19,7 berpendidikan sarjana strata 2. Sedangkan guru, 84,5% adalah sarjana starta 1, 11,9
sarjanan strata 2, 1,2% sarjanan strata 3, serta 2,4 masih berpendidikan diploma.
Lebih dari separoh (69%) responden yang berasal dari orang tua/komite berpendidikan
sarjana strata 1, 16,6 % sarjana strata 2, 8,3% SLTA, dan 5,6% diploma. Tidak ada yang
berlatar belakang pendidikan SD. Sebagian besar dari mereka memiliki pekerjaan tetap
sebagai pegawai negeri sipil dengan rincian sebagai berikut: karyawan PNS sebanyak 41,7%,
guru (27,8%), dan dosen 5,6%. Selebihnya (30,1%) memiliki pekerjaan berwiraswasta.
BAB IV
Informasi tentang pengembangan dan penerapan KTSP secara nasional menggunakan sumber
data yang diperoleh dari dinas pendidikan propinsi. Tim studi belum bisa mendapatkan data
kuantitatif pelaksanaan KTSP oleh satuan pendidikan pada tingkat propinsi karena propinsi
belum memiliki data rincinya dari kabupaten/kota maupun dari sekolah di wilayahnya. Hal
ini disebabkan belum optimalnya koordinasi antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan Dinas
Para pejabat struktural maupun staf teknis di Provinsi hanya bisa memberikan gambaran
tentang kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan melalui kegiatan provinsi. Kegiatan-kegiatan
yang bersifat mandiri yang dilaksanakan oleh masing-masing Kabupaten/Kota melalui
MGMP atau tidak semuanya terpantau oleh Dinas Provinsi, demikian juga kegiatan yang
dilakukan oleh sekolah-sekolah dengan memanfaatkan dana swadaya. Kegiatan-kegiatan
seperti ini cukup banyak dilakukan karena di beberapa daerah karena mereka sangat proaktif,
baik Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun sekolah.
Untuk itu data yang digunakan adalah data kualitatif mengenai pengembangan dan penerapan
KTSP yang bersumber dari persepsi dinas propinsi.
Berdasarkan pengalaman yang lalu, setiap pergantian kebijakan tentang kurikulum sangat
dirasakan bahwa proses sosialisasi kurang optimal. Akibatnya, tingkat pemaham pelaksana
dilapangan kurang memadai. Atas dasar pengalaman tersebut, pelaksanaan monitoring pada
tahun 2007 ini diawali dengan melihat proses sosialisasi di masing-masing provinsi. Data
yang yang diambil adalah (1) jumlah daerah yang telah melakukan sosialisasi di tiap
provinsi, (2) sasarn sosialisasi di masing-masing daerah. Berikut gambaran secara umum
pelakasanaan sosialisasi di masing-masing provinsi.
Tabel 1 : Gambaran jumlah kabupaten/kota yang sudah mendapat sosialisasi atau workshop
SI, SKL dan KTSP pada tiap propinsi
No Provinsi Jumlah Kab/Kota yang Frekuensi Penyelenggara
kab/ sudah Kegiatan PUSAT DAERAH
kota sosialisasi Puskur Ditjen LPMP/- Dinas pddk Dinas
Mandik- PMPTK Provinsi Pddk
dasmen Kab/kota
1. Nanggroe Aceh 21 21 1 V - - v -
Darussalam
2. Sumatera Utara 25 25 2 V V - v -
3. Bengkulu 9 9 1 - V - - -
4. Jambi 10 10 1 V - V -
5. Riau 11 11 1 V V - - -
6. Sumatera Barat 19 19 2 V V - V -
7. Sumatera Selatan 14 14 1 V V - V -
8. Lampung 10 10 1 - V - V -
9. Kepulauan Bangka- 7 7 2 V V v V
Belitung
10. Kepulauan Riau 7 6 2 V - - V -
11. Banten 6 6 1 - V - -
12. Jawa Barat 25 25 3 V V - V
Dari tabel jelas bahwa secara keseluruhan semua kabupaten/kota telah mendapatkan
sosialisasi atau workshop tentang kebijakan dan penerapan Permendiknas No. 22 dan 23
tahun 2006 tentang SI (standar isi) dan SKL (standar kompetensi lulusan). Penyelenggara
sosialisasi pada umumnya adalah unit Pusat dan Daerah (Dinas Pendidikan
Propinsi/Kab/Kota). Tabel di atas juga menunjukkan bahwa kegiatan sosialisasi yang
dilaksanakan oleh langsung oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota hampir tidak terpantau
oleh Dinas Pendidikan Provinsi.
Meskipun pada tabel di atas terlihat bahwa hanya 4 kabupaten/kota yang melaksanakan
kegiatan sosialisasi, hal ini bukan berarti daerah lain tidak melaksanakan. Menurut prediksi
Dinas Pendidikan provinsi, hampir semua daerah telah melakukan sosialisasi secara mandiri,
tetapi belum ada laporan resmi sehingga Dinas Pendidikan Provinsi tidak memiliki data
tentang itu. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak ada keharusan bagi Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota atau sekolah untuk melaporkan pelaksanaan kegiatan sosialisasi yang
dilakukan secara swadaya atau melalui APBD tingkat II. Oleh karena itu, seperti yang terlihat
pada table di atas, data yang ada di Dinas Pendidikan provinsi, umumnya data kegiatan
sosialisasi yang melibatkan Dinas Pendidikan Provinsi, yaitu kegiatan yang dilakukan
melalui pembiayaan APBN, seperti yang dilakukan oleh Diraktorat terkait, dan dana APBN
yang ada di Dinas Pendidikan Provinsi serta APBD provinsi. Kegiatan yang menggunakan
biaya APBD Kabupaten/Kota atau swadaya sekolah umumnya tidak dilaporkan ke Dinas
Menurut Dinas Propinsi belum ada pihak terkait lain seperti perusahaan penerbitan buku
pelajaran, LSM Pendidikan, Perusahaan swasta/BUMN, atau lembaga profesional lainnya
yang cukup partisipasif dalam program KTSP ini. Hal ini mungkin disebabkan belum
meluasnya sosialisasi dan mungkin penyelenggaraan oleh lembaga profesional lain tidak
terpantau oleh Dinas.
Selain sekolah, sosialisasi juga dilakukan terhadap organisasi profesi pendidikan lain berikut
ini. Menurut responden, mereka telah ikut di beberapa kegiatan seperti yang digambarkan
pada tabel berikut:
Tabel 2 : Organisasi Profesi dan Unit terkait yang menjadi sasaran ssosialisasi SI, SKL, dan
KTSP.
Sasaran Sosialisasi %
a. MGMP 78,9
b. KKKS 78,9
c. PGRI 21,1
d. Organisasi Pengawas 63,2
e. Yayasan 36,7
f. Dewan Pendidikan 26,3
g. Komite 26,3
Dari tabel tersebut jelas bahwa sasaran utama sosialisasi atau workshop KTSP adalah sekolah
ditambah gugus sekolah (kelompok sekolah), MGMP (musyawarah guru mata pelajaran),
KKKS (kelompok kerja kepala sekolah), pengawas sekolah, baru kemudian yayasan, dewan
pendidikan dan komite sekolah. Jelas bahwa unit yang terlibat dalam sosialisasi sudah
mewakili keseluruhan stakeholder pendidikan. Namun, tampaknya peran komite sekolah
masih dianggap kecil (26,3%) dalam pelibatan pengembangan KTSP. Padahal secara
kebijakan, pengembangan KTSP disusun bersama oleh pihak sekolah dan komite sekolah.
Hal ini mungkin disebabkan sekolah masih menganggap tingkat keprofesionalan orangtua
masih bervariasi, orangtua sudah menyerahkan urusan ini ke sekolah, atau pemahaman
pengembangan KTSP yang perlu dipertajam.
2. Penerapan KTSP
Penyusunan KTSP %
a. Satuan pendidikan menyusun sendiri mengacu SI, SKL dan model kurikulum KTSP 73,3
b. KTSP disusun oleh sekolah dengan koordinasi Dinas Pendidikan 57,9
c. KTSP disusun oleh tim yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan 26,3
d. Satuan pendidikan mengadaptasi model kurikulum KTSP dari pusat 42,1
e. Satuan pendidikan mengadopsi atau menggunakan model kurikulum KTSP dari pusat 36,8
f. Masih pada taraf sosialisasi dan mempelajari perangkat dokumen 15,8
g. Masih menggunakan kurikulum sebelumnya 26,3%
Total persentase respon melebihi dari 100% karena umumnya responden menjawab lebih dari
satu pilihan, dalam arti, penyusunan KTSP oleh sekolah dilakukan dengan metode kombinasi
melalui koordinasi, menggunakan tim, adaptasi dan sebagainyaP . Ada yang menyatakan
bahwa KTSP disusun oleh sekolah di bawah koordinasi Dinas pendidikan, dan pada bagian-
bagian tertentu diadopsi, misalnya mengenai seilabus. Banyak guru yang belum siap
menyusun silabus sendiri, sehingga ada yang mengadopsi, mengadaptasi, dan bahkan ada
yang menyusun secara bersama-sama beberapa sekolah. Untuk kategori ini, mereka
menyebut menyusun sendiri tetapi secara bersama di gusus, sehingga silabusnya sama. Ada
unsur adopsi dan adaptasi, serta menyusun senidiri.
Dalam pengembangan KTSP, beberapa sekolah menyusun sendiri, namur terbatas pada
beberapa bagian saja. Beberapa sekolah menyusun di bawah koordinasi dinas dengan
menggunakan tim pengembang dari dinas, serta mengadaptasi dan mengadopsi model
kurikulum.
Hal yang perlu dicermati hádala, masih cukup banyak sekolah yang baru pada taraf
mempelajari kebijkan KTSP dan menggunakan kurikulum sebelumnya. Menurut
pemantauan Dinas Propinsi, sebagian besar penerapan KTSP pada tiap kabupaten/kota
selama tahun 2006 belum intensif (31,6%), belum menjadi prioritas (26,3%), dan yang
menyatakan intensif hanya (15,8%), lainya tidak memberikan jawaban (26,3%). Kondisi
tersebut berbeda dengan tahun 2007, Lebih separoh daerah (57,9%) menyatakan
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh daerah, mengapa intesitas penerapan KTSP masih
beragam, diantaranya adalah: menunggu sampai 2009 (batas akhir yang diberikan oleh
pemerintah untuk menerapkan KTSP), melihat sekolah yang terdekat dengan mereka agar
dapat secara bersama-sama menyusun KTSP. Alasan lain adalah kurangnya dana pendukung
untuk penyusunan KTSP, dan sebagian lagi menyatakan bahwa masih perlu waktu untuk
melakukan sosialisasi di kalangan warga sekolah dan masyarakat karena sebagian besar di
antara warga sekolah dan masyarakat belum memahami kebijakan tentang KTSP ini.
Berkaitan dengan hal ini, sebagian besar daerah memprogramkan mulai tahun 2007
menerapkan KTSP, rata-rata melaksanakan secara bertahap.Jadi, peningkatan prioritas
program KTSPdisebabkan oleh tuntutan bahwa tahun 2009 KTSP harus sudah diterapkan
menyeluruh pada setiap satuan pendidikan, sosialisasi dan workshop KTSP yang mulai
meluas dan tingkat pemahaman KTSP yang membaik bagi seluruh stakholder.
Pada umumnya sekolah mulai menerapkan KTSP pada awal tahun pelajaran 2007 secara
bertahap (73,7%).
Proses/Tahapan %
a. Telah menerapkan secara efektif pada seluruh kelas dengan silabus dan RPP 31,6
yang disusun sendiri
b. Telah menerapkan secara efektif pada seluruh kelas dengan silabus dan RPP 36,8
yang diadopsi
c. Telah menerapkan secara bertahap 73,7
d. Masih menggunakan kurikulum sebelumnya 31,6
Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil sekolah yang masih menggunakan
kurikulum sebelumnya (31,6%). Sebagian sekolah (36,8%) telah menerapkan secara efektif
di semua kelas. Umumnya sekolah yang menerapkan secara kelseluruhan adalah sekolah-
sekolah yang sudah melaksanakan piloting KBK (2004). Tingkat kesadaran dan komitmen
sekolah untuk mengembangkan dan menerapkan KTSP cukup tinggi.
Tentang kondisi yang berkaitan dengan pelaksanaan KTSP, sebagian besar daerah
menyatakan sudah cukup baik (84,2%), 10% menyatakan sangat baik, dan hanya 5,3% yang
menyatakan kurang. Faktor yang paling mentukan keterlaksanaan KTSP menurut pernyataan
Secara umum, menurut informasi dari Dinas Pendidikan, kesiapan guru berkaitan dengan
pengembangan dan penerapan KTSP oleh sekolah cukup memadai, kecuali dalam
pengembangan bahan ajar mandiri Lebih lengkap informasi tentang kesiapan guru dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Dari tabel tersebut jelas bahwa bahwa secara umum guru telah siap dalam pengembangan dan
penerapan KTSP dari kualifikasi akademik, penguasaan mata pelajaran, penyusunan
kurikulum, silabus, dan RPP. Namun yang perlu dicermati dan ditingkatkan kompetensi guru
Kesiapan kepala sekolah dalam pengembangan dan penerapan KTSP, menurut dinas
pendidikan adalah sebagai berikut.
Tentang kesiapan pengawasa sekolah, menurut dinas pendidikan adalah sebagai berikut.
Dari tabel tersebut jelas bahwa bahwa secara umum pengawas sekolah telah siap dalam
pengembangan dan penerapan KTSP dari kualifikasi akademik (namun ini masih perlu
ditingkatkan, karena angkanya baru 47.4%), penyusunan kurikulum, silabus, dan RPP,
menilai kualitas kurikulum, membantu masalah guru dalam pengembangan silabus dan RPP
(namun ini masih ditingkatkan karena angkanya baru 47.4%), serta mengelola guru dalam
pengembangan KTSP. Program peningkatan kompetensi pengawas dapat berbentuk
Hampir separoh responden menyatakan sarana dan prasarana sekolah sebagai pendukung
KTSP masing kurang memadai (47,3%), 47,4% menyatakan sangat baik, dan hanya 5,3 %
yang menyatakan sangat baik. Perlu dikritisi di sini bahwa pengembangan dan penerapan
KTSP harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, kebutuhan dan karakteristik sekolah dan
peserta didik. Ini berarti, bagi sekolah dengan sarana dan prasarana kurang memadai perlu
mengembangkan KTSP yang sesuai dengan sekolah tersebut dan dapat dilaksanakan oleh
sekolah tersebut. Perlu juga ditingkatkan program mandiri pengembangan alternatif sarana,
artinya sarana-sarana yang tidak tersedia atau rusak, sekolah dapat mengembangkan sendiri
alternatif sarana yang tersedia dari lingkungan sekolah.
Tahun 2006 (dlm juta rupiah) Tahun 2007 (dlm juta rupiah)
Jenis Sosialisasi / Workshop Block Lain Block Lain Tdk
APBD Tdk Mjwb APBD
Grant nya Grant nya Mjwb
a. Sosialisasi SI, SKL dan KTSP 10,5 21,1 21,1 47,4 10,5 10,5 26,4 52,6
b. Workshop /pengembangan KTSP, silabus 10,5 10,5 21,1 57,9 10,5 - 31,6 57,9
dan RPP dengan melibatkan berbagai
sekolah, KKG, MGMP dsb
c. Workshop pendampingan pengembangan 10,5 - 15,8 73,7 21,1 - 15,6 63,2
KTSP, silabus dan RPP pada sekolah
tertentu secara bertahap
d. Pengembangan kompetensi guru melalui uji - 5,3 15,8 78,9 15,8 - 21,1 63,2
kompetensi, diklat atau tugas belajar
e. Penyediaan dan pemeliharaan prasarana dan - 15,8 21,1 63,2 10,5 - 36,9 52,6
sarana pendidikan
Dari tabel tersebut jelas bahwa program KTSP melibatkan berbagai sumber mencakup dana
APBD, Blockgrant, maupun sumber lainnya yang sah. Perlu dicermati di sini, banyak
responden justru memilih tidak menjawab. Hal dimungkinkan karena berbagai hal yaitu:
Untuk merealisasikan program tersebut, ditetapkan berbagai prioritas. Prioritas utama adalah
melakukan koordinasi program dengan kabupaten/kota (52,6%). Berikut urutan priritas
kegiatan di Dinas Pendidikan Provinsi.
Angka Prioritas
Jenis Program
1 2 3 4 ksg
a. Melakukan koordinasi program dengan kab/kota 52,6 15,8 15,8 5,3 10,5
b. Melakukan pendataan pencapaian penerapan KTSP pada tiap 36,8 36,8 5,3 5,3 15,8
kab/kota
c. Melakukan workshop pengembangan KTSP dan program 36,8 10,5 15,8 21,1 15,8
supervisi klinis dengan kab/kota
e. Penyediaan dokumen SI, SKL dan model KTSP 36,8 5,3 15,8 20,5 21,1
Dari tabel tersebut jelas bahwa prioritas pertama Dinas Propinsi dalam program KTSP adalah
melakukan koordinasi tingkat internal, dengan dinas kabupaten/kota dan dengan pusat.
Tampaknya koordinasi menjadi hal penting karena dengan adanya otonomi daerah, peran ini
menjadi kurang, terutama koordinasi dengan kabupaten/kota. Prioritas kedua adalah
melakukan pendataan kuantitatif penerapan KTSP pada tingkat kab/kota, penyediaan
dokumen SI, SKL, workshop pengembangan KTSP dan supervisi klinis ke kab/kota dan
Kesiapan tim sosialisasi KTSP tingkat provinsi (sesuai dengan SE Mendiknas No.
33/MPN/SE/2007 tentang Pembentukan Tim Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa hampir semu provinsi (94,7 %) telah membentuk
Tim Pengembang Kurikulum, dan sebagian besar (68,4%) keberadaan tim tersebut telah
dikukuhkan melalui Surat Keputusan Pemerintah Daerah. Pada sebagian daerah, Surat
Keputusan ditandatangani langsung oleh Gubernur, dan sebagian lagi ditandatangani oleh
Kepala Dinas Dinas Pendidikan atasnama Gubernur. Pengesahan ini sangat diperlukan
sebagai dasar pengajuan anggaran pembiayaan kegiatan tim pengembang kurikulum.
Dari semu daerah yang sudah membentuk Tim Pengembang Kurikulum, umumnya (63,2%)
telah menyusun program kegiatan yang terdiri dari program jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek.
Dalam hal pendanaan, banyak daerah yang masih bingung. Sebagaian daerah yang tergolong
proaktif, sudah mengusulkan lewat APBD (42,1%), sebagian daerah mengkombinasikan
antara APBD dengan APBN (10,3%), dan sebagian lagi digali dari sumber lain(21,1%)
misalnya APBS, dan bantuan para sponsor seperti penrbit buku.
Selain menggunakan data kualitatif dari dinas propinsi, tim studi juga melakukan studi
pengembangan dan penerapan KTSP bersumber dari pihak sekolah (sebagai sekolah sampel)
yang terlibat dalam kegiatan ini. Berikut adalah tabel latar belakang responden yang terlibat
dalam studi.
Berdasarkan pengalaman yang lalu, setiap pergantian kebijakan kurikulum, banyak sekolah
yang terlambat menerima informasi dan dokumen kurikulum. Untuk daerah terpencil bisa
mencapai 5 – 10 tahun. Sudah bukan hal yang aneh ketika suatu sekolah baru menerima
dokumen kurikulum pada saat kebijakan kurikulum telah berganti. Untuk mengantisipasi hal
ini, dan didukung oleh kemajuan perangkat teknologi, pemerintah memanfaatkan teknologi
komputer. Dokumen-dokumen tersebut dikemas dalam bentuk file dan direkam ke CD. Hal
ini sangat memungkinan untuk mempercepat proses distribusi. Hanya saja, ada kendala
berkaitan dengan ketersediaan perangkat dan keterbatasan tenaga pengoperasion komputer.
Namun demikian, setidaknya proses penyempaian informasi relatif lebih cepat.
Berikut tabel kepemiliakn dokumen kelangkapan SI, SKL, dan KTSP yang mulai
disosialisasikan sejak tahun 2006.
Hal lain yang perlu juga dicermati adalah bahan-bahan tersebut harus bisa diakses secara
mudah oleh semua insan di sekolah terssebut. Sumber acuan lain yang harus dimiliki sekolah
adalah model muatan lokal, model pengembangan diri, model pembelajaran terpadu IPA/IPS
di SMP, model pembelajaran tematik di SD dan model program khusus untuk pendidikan
khusus. Hal ini agar segera diupayakan untuk menjamin pengembangan dan penerapan KTSP
oleh satuan pendidikan berjalan secara efektif dan efisien.
Pada umunya sekolah/satuan pendidikan mendapat dokumen tersebut dengan berbagai cara
melalui mengkopi sendiri dalam bentuk CD, cetakan, dari dinas pendidikan maupun piha
lainnya. Secara rinci adalah seperti tabel berikut
Ketika diminta untuk mendeskripsikan isi dokumen tersebut untuk melihat apakah mereka
telah mempelajari dan memahaminya, berikut jawaban yang mereka berikan:
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa responden mengetahui dokumen hanya sekadar
kulitnya saja, sedangkan apa yang tertera secara eksplisit dan implisit di dalamnya, sama
sekali belum dipahami. Perlu dilakukan berbagai upaya agar pemahaman tentang kebijakan
pengembangan dan penerapan KTSP oleh satuan pendidikan memiliki persepsi yang sama,
fleksibel, sesuai kondisi sekolah. Hal ini dapat dilakukan tidak hanya dalam bentuk sosialisasi
saja tetapi juga melalui workshop dengan menggunakan media langsung (rapat kerja), media
4. Penyusunan KTSP
Sebagian besar responden menyatakan bahwa sekolah mereka telah menyusun KTSP. (93,9%).
Menurut pernyataan responden, sebagian besar penyusunan dilakukan dengan cara adaptasi atau
penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan sekolah (62,1%), disusun sendiri (16,7%), dan adopsi
dari contoh-contoh yang ada (3,0%), sisanya (9,2%) tidak memberikan jawaban.
Sedangkan responden guru yang menyampaikan sekolahnya telah menyusun KTSP adalah 86,9%.
Penyusunan dilakukan sebagian besar dengan cara adaptasi atau penyesuaian dengan keadaan dan
kebutuhan sekolah (61,9%), disusun sendiri (13,1%), dan adopsi dari contoh-contoh yang ada (7,1%).
Berdasarkan pendapat responden, 60% kepala sekolah menganggap tidak sulit menyusun KTSP.
Demikian pula 51,2% responden guru beranggapan demikian.
Bagi yang merasakan kesulitan dalam penyusunan KTSP menyampaikan berbagai alasan, di
antaranya sebaai berikut:
Data di atas menunjukan masih terdapat inkonsistensi antara pemahaman isi dokumen
berkaitan dengan KTSP dengan kesulitan yang dialami guru dan kepala sekolah dalam
mengembangkan dan menerapkan KTSP, yang sifatnya sudah harus menjabarkan secara
teknis dan rinci.
Umumnya responden telah mengetahui komponen-komponen KTSP, yaitu (1) visi misi dan tujuan
pendidikan, struktur dan muatan, kalender pendidikan, silabus, RPP (2) visi, misi, tujuan Sekolah,
struktur kurikulum, muatan lokal, pengaturan beban belajar, kalender pendidikan standar kompetensi,
standar kompetensi lulusan dan SKBM/KKM.
6. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh sekolah agar dapat melaksanakan KTSP
Responden berpendapat bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh sekolah dalam melaksanakan
KTSP adalah adanya kesatuan pendapat dan dukungan dari warga sekolah dalam menentukan tujuan
sekolah serta keinginan masyarakat yang dituangkan dalam KTSP. Juga perlu didukung oleh kesiapan
semua komponen sekolah, ketersediaan dana, bahan yg akan dijadikan acuan.
Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan guru agar dapat melaksanakan KTSP secara optimal adalah
guru harus memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep dan falsafah KTSP serta teknis
implementasinya di lapangan.
6. Pelaksanaan KTSP
Umumnya responden memahami silabus sebagai penjabaran SK, KD, indikator sebagai pedoman
dalam pelaksanaan KBM. Unsur-unsur yang harus ada dalam silabus adalah SK, KD, materi pokok,
kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, waktu dan sumber. Umumnya responden menyatakan
bahwa perbedaan antara silabus dan RPP adalah: RPP sifatnya lebih operasional dari silabus. RPP
dibuat untuk setiap pertemuan, sedangkan Silabus dibuat untuk beberapa kali pertemuan. Umumnya
responden meyakini bahwa silabus dan RPP dapat menuntun atau membantu guru dalam pelaksanaan
pembelajaran.
Sebagian besar responden menyatakan bahwa umumnya silabus disusun oleh para guru secara
bersama-sama dengan rekan satu sekolah maupun dalam MGMP. Umumnya sekolah melibatkan
pengawas dalam penyusunan silabus, baik sebagai pembimbing maupun sebagai narasumber.
Secara umum responden menyatakan bahwa kondisi (sumber/alat/dan sumber daya di sekolah belum
memadai untuk mendorong keterlaksanaan KTSP.
8. Pendanaan
Umumnya responden kepala sekolah menyatakan bahwa penyusunan KTSP membutuhkan biaya
yang besar. Sekolah umumnya memanfaatkan sumber dana lain (48,5%) untuk menyusun KTSP.
Dana itu bukan dari dana BOS, juga bukan dari Dinas Pendidikan (APBD), dan bukan dipungut dari
siswa.
Sedangkan untuk melakukan sosialisasikan KTSP di lingkungan warga sekolah pada umumnya dana
diperoleh secara swadaya (19,7%) atau bersumber dari APBN (12,1%).
Selain menggunakan sumber data dari dinas pendidikan, guru dan kepala sekolah, dalam
monitoring ini juga dilakukan analisis tentang KTSP dengan sumber data dari oorangtua yang
bertindak sebagai komite sekolah. Berikut adalah berbagai informasi yang berkaitan tentang
KTSP menurut persepsi orangtua.
0%
.00
%
Tahu
Tidak Tahu
Tidak berbeda
85
.00
%
55.00%
Diagram 2. Tanggapan orang tua terhadap pelaksanaan KTSP dan peluangnya dalam
peningkatan kemampuan siswa
3. Hubungan penerapan KTSP dengan biaya yang dikeluarkan siswa dalam proses
belajar mengajar
(a). frekuensi siswa meminta uang tambahan untuk biaya belajar setelah menggunakan
KTSP
Sebanyak 57,15 % (14,29% sering dan 42,86% kadang-kadang orang tua mengeluarkan uang
tambahan) orang tua menyatakan adanya tambahan pengeluaran biaya yang signifikan
dengan penerapan KTSP. Sedangkan 42,86% (yang menyatakan tidak pernah/hampir tidak
pernah mengeluarkan biaya tambahan setelah penerapan KTSP) menyatakan bahwa sekolah
di mana putra/i mereka bersekolah telah menyusun anggaran yang lengkap sehinga semua
pembiayaan sudah dibayar pada awal tahun ajaran. Ini menunjukkan bahwa pengeluaran
tambahan untuk biaya studi setelah KTSP diterapkan cukup signifikan. Namun dari data
rersponden tidak ditemukan keluhan atau keberatan orang tua (stake holder) sehubungan
dengan tambahan biaya ini. Dengan demikian walaupun penerapan KTSP mempunyai
implikasi pengeluaran dana yang lebih namun dapat diterima secara positif sebab dana-dana
tambahan yang dikeluarkan dialokasikan langsung untuk peningkatan kompetensi siswa.
Untuk itu sosialisasi KTSP yang akan datang tidak saja difokuskan pada konsep-konsep
KTSP tetapi lebih dari itu difokuskan pada strategi implementasi dan teknik pelaksanaan.
Berikut diagram frekuensi siswa meminta uang tambahan untuk beiaya belajar setelah
menggunakan KTSP
Sering
Kadang-Kadang
42.86%
Tidak Pernah
42.86%
<= Rp.10.000,00
30
%
.00
%
20.00%
Cukup
40.00%
Tidak Cukup
Tidak Tahu
40.00%
30.00%
Jelas
45.00%
Kurang Jelas
Tidak Jelas
25.00%
Laporan AkhirEvaluasi pelaksanaan KTSP oleh Satuan Pendidikan 2008 82
15.00%
Informasi 65% responden menyatakan tidak pernah/hampir tidak pernah menerima keluhan
dari putra/putri mereka dan 10% yang kadang-kadang menerima keluhan
mengindikasikan bahwa penerapan KTSP cukup signifikan meningkatkan gairah belajar
siswa. Kegiatan-kegiatan di luar sekolah yang timbul setelah penerapan KTSP disikapi
sebagai implikasi dari semangat KTSP untuk meningkatkan mutu hasil belajar siswa. Dengan
demikian KTSP mendapat sambutan positif dari orang tua karena dipandang mampu
meningkatkan motivasi belajar siswa.
6. Keluhan Siswa Kepada Orang Tua setelah Sekolah menerapkan KTSP
Sebagian besar orang tua (65%0 menyatakan bahwa anaknya tidak pernah mengeluh
sehubungan dengan penerapan KTSP, 25 % menyatakan anaknya sering mengeluh, dan 10 %
menyatakan kadang-kadang.
Berikut diagram pernyataan orang tua tentang keluhan anak-anak mereka sehubungan dengan
penerapan KTSP.
0%
.0
0%
10
Kadang-kadang
.0
25
Dalam monitoring ini juga dilakukan tes pemahaman atau tes persepsi tentang persepsi KTSP
menurut responden. Tes melibatkan seluruh responden dari dinas pendidikan, guru, kepala
sekolah dan orangtua. Selain untuk melihat persepsi tentang KTSP, tes dimaksudkan juga
untuk mendukung temuan-temuan yang diperoleh melalui kuesioner guru, kepala, sekolah,
orangtua dan dinas pendidikan. Identitas dari para responden adalah sebagai berikut.
Sebagian besar responden dari kalangan pejabat struktural Dinas Pendidikan memahami
bahwa Standar Isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi minimal untuk
mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu (65.5%).
Hal ini senada dengan pemahaman kepala sekolah dan guru. Sebanyak 63.5% kepala sekolah
dan guru menjawab dengan jawaban yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan signifikan antara pemahaman Dinas Pendidikan dengan sekolah tentang standar
Isi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 35-37% reseponden belum memahami
pengertian standar isi dan standar kompetensi lulusan dengan benar.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang
18.3 22.6
dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi
b. Mencakup lingkup materi minimal dan tingkat
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi
65.5 63.5
lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan
tertentu.
c. Mengatur tentang struktur kurikulum satuan
12.3 10.9
pendidikan
d. Mengatur tentang kompetensi lulusan 3,9 3
Mengenai kegiatan pengembangan diri, sebagian besar responden dari Dinas pendidikan
menjawab ” memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekspresikan diri”, yaitu sebesar 73,6%. Hal yang sama juga terjadi pada responden dari
sekolah (Kepala Sekolah dan Guru), sebesar 75,9 %. Ini berarti terdapat sekitar 24-27%
responden memberikan jawaban yang salah atau belum memahami dengan benar.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Memperdalam penguasaan mata pelajaran 3.5 1.5
b. Menciptakan wahana kegiatan sesuai minat dan
19.4 18.0
bakat siswa
c. Memberi pelayanan konseling pada siswa 2.5 3.0
d. memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
73.6 75.9
mengembangkan dan mengekspresikan diri.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, dinyatakan bahwa bagi sekolah
yang kategori mandiri bebena relajar diatur dengan sistem keredit semester. Hal ini Belem
banyak dipahami oleh pelaksana pendidikan di lapangan. Berdasarkan tes pemahaman
terhadap Dinas pendidikan dan sekolah, diperoleh gambaran bahwa sebagain besar responden
menyatakan penyelenggaraan pembelajaran menggunakan sistem paket (60%). Namur hal ini
berbeda dengan pandangan sekolah, hanya 48,9% sekolah yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan pembelajaran menggunakan sistem paket. Namur hanya sedikit (sekitar 4-
5%) responden (baik Dinas Pendidikan maupun sekolah) yang menyatakan pengaturan
pembelejaran berdasarkan sistem kredit semester. Data ini menunjukkan bahwa Belem semua
pihak yang memahami tentang pengaturan beban relajar sebagaimana yang tertuang dalam
PP nomor 19 tahun 2005 tersebut.
Dalam hal penggunaan Standar Kompetensi Lulusan sebagai pedoman penilaian dalam
menentukan kelulusan peserta didik 90,5 % responden dari pejabat struktural Dinas
Pendidikan menjawab dengan benar. Sejalan dengan hal tersebut, sekolah (kepala sekolah
dan guru) menjawab dengan benar sebanyak 89,5%. Data ini menunjukkan bahwa terdapat
sekitar 10% responden yang belum menjawab dengan benar.
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Pedoman penilaian kelas 1.8 0.8
b. Pedoman penilaian tertulis 2.1 1.9
c. pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan
90.5 89.5
peserta didik.
d. Panduan penilaian kinerja dan portofolio 3.5 5.3
Sebagai kurikulum operasional, KTSP disusun oleh sekolah dan disesuaikan dengan kondisi
yang ada. Hanya 68 % responden dari Dinas pendidikan yang menjawab dengan benar, dan
sebanyak 70,7 % responden sekolah (kepala sekolah dan guru) menjawab sama. Artinya,
terdapat sekitar 30 % responden belum memahami dengan benar. Dan ternyata, sekitar 25 %
responden masih beranggapan bahwa masih ada kurikulum nasional. Kemungkinan besar
yang disebut sebagai kurikulum nasional itu adalah Standar Isi dan Standar Kompetensi
Lulusan.
Unsur (%)
Jawaban
Dinas Sekolah (Guru dan
Sebagian besar responden yang berasal dari Dinas Pendidikan (74,3%) menyatakan bahwa
”model Kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan lain tidak dapat dijadikan
sebagai acuan pengembangan KTSP. Hal senada juga ditunjukan oleh pernyataan kepala
sekolah dan guru (79,7%). Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa KTSP harus disusun
sendiri mengingat situasi dan kondisi sekolah yang berbeda-beda.
Tabel 21 pemahaman Dinas Pendidikan dan Sekolah terhadap Acuan yang Digunakan dalam
Menyusun KTSP, kecuali....
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Standar Isi 5.6 4.9
b. Standar kompetensi lulusan 6.7 4.1
c. Panduan penyusunan kurikulum dari BSNP 11.3 9.4
d. Model kurikulum satuan pendidikan lain 74.3 79.7
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Mungkin, dengan menambah, memperdalam
kompetensi atau materi sesuai ciri dan kebutuhan 38.4 38.0
satuan pendidikan
b. Mungkin, asal tetap mengacu pada Standar Isi dan
55.6 52.6
SKL sebagai kompetensi minimal
c. Mungkin dengan tidak menambah mata pelajaran 1.1 1.5
d. Mungkin, asal tidak menambah waktu lebih dari 4
4.9 7.9
jam pelajaran per minggu
Tabel dan diagram di atas memperlihatkan bahwa semua responden menyatakan tidak ada
masalah apabila satuan pendidikan mampu mengembangkan kurikulumnya melebihi standar
SI dan SKL asalkan dengan kriteria tertetu.
9. harapan Dinas Pendidikan dan Sekolah tentang Batas Akhir penerapan KTSP
Hampir semua responden (sekitar 96%) baik yang berasal dari Dinas pendidikan maupun
kepala sekolah dan guru menyatakan bahwa paling lambat penerapan KTSP pada tahun
Tabel 23 Harapan Dinas pendidikan dan Sekolah Tentang Penjadualan Penerapan Standar Isi
dan Standar Kompetensi Lulusan
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Tahun Ajaran 2007/2008 14.4 18.4
b. Tahun Ajaran 2008/2009 23.6 25.2
C Tahun Ajaran 2009/2010 57.1 52,3
d Tahun Ajaran 2010/2011 4.9 4.1
60
40
Dinas Pendidikan
20 Sekolah
0
T.A 2007/2008 T.A 2008/2009 T.A 2009/2010 T.A 2010/2011
T
abel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden berharap bahwa satuan
pendidikan dasar dan menengah seharusnya sudah mulai menerapkan Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah paling lambat Tahun
Ajaran 2009/2010
10. Peranan Gubernur, Bupati dan walikota dalam Pengaturan Jadual Pelaksanaan
Permendiknas No. 22 dan 23 tahun 2006 oleh Satuan Pendidikan
Unsur (%)
Jawaban Dinas Sekolah (Guru dan
Pendidikan Kepsek)
a. Sesuai dengan kondisi dan kesiapan satuan
46,1 51,5
pendidikan
b. Secara serempak di seluruh wilayahnya 13.4 7.5
c. Ditetapkan dan dipertimbangkan oleh dinas
7.4 8.3
pendidikan
d. Ditetapkan oleh satuan pendidikan dengan
33.1 32.7
pertimbangan dinas pendidikan
Dari tes pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa peran dinas pendidikan adalah sangat
vital dalam membentuk persepsi, melakukan sosialisasi dan mengkoordinasikan
pengembangan dan penerapan KTSP oleh satuan pendidikan.
Selain menggunakan tes pemahaman atau tes persepsi KTSP, kuesioner guru dan kepala
sekolah, kuesioner dinas pendidikan, dan kuesiner orangtua, juga dilakukan observasi
pembelajaran. Tujuan observasi adalah untuk memotret secara faktual perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran dilihat dari segi: kesesuaianya dengan kebijakan pengembangan
KTSP, prinsip pembelajaran yang aktif dan umpan baliknya. Secara umum, hasilnya adalah
sebagai berikut.
1 Ketepatan rumusan Komponen Silabus : Dalam hal pembuatan silabus, tampak bahwa guru
a. SK dan KD dengan SI dan SKL : belum memahami konsep dan teknik pembuatan silabus
b. Rumusan Indikator dengan KD : terutama pada bagian perumusan indikator, pengalaman
belajar yang sesuai, dan teknik penilaian yang dapat
(1) Minimal dua indikator:
mengukur pencapaian kompetensi siswa.
(2) Menggunakan kata kerja kemampuan:
(3) Rumusan mengacu kompetensi, yaitu jaminan
kompetensi dicapai:
c. Memuat materi pembelajaran:
d. Ketepatan rumusan kegiatan pembelajaran
dengan KD
(1) Kegiatan pembelajaran bervariasi:
(2) Pokok pokok kegiatan dengan kompetensi
yang ingin dicapai:
e. Ketepatan rumusan penilaian dengan KD:
(1)Teknik/bentuk penilaian dengan kompetensi:
(2) Rumusan tugas:
f. Memuat alokasi waktu:
g.Memuat sumber belajar:
2 Ketepatan rumusan komponen RPP:
a. Hubungan Indikator dengan tujuan RPP atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
pembelajaran: merupakan penjabaran operasional dari silabus untuk
waktu yang lebih singkat yaitu tiap tatap muka
b. Rumusan materi, telah merinci dari silabus: dilaksanakan. Oleh sebab itu RPP sangat bergantung
pada silabus yang telah di buat. Kesulitan dalam
c. Rumusan Metode, dari segi: membuat silabus akan berdampak pada rumusan RPP
(1) Menggunakan variasi metode (individual, yang tidak saling berhubungan.
kelompok, klasikal, dalam kelas, luar kelas,
ceramah, penugasan, diskusi, metode pemecahan Dari data hasil observasi menunjukkan bahwa secara
masalah dsb. rata-rata guru masih menemukan kesulitan dalam
(2) Hubungan metode dengan kompetensi, membuat RPP yang sesuai agar siswa memperoleh
indikator dan tujuan pembelajaran yang ingin kompetensi seperti yang diharapkan.
dicapai
d. Ketepatan rumusan langkah langkah kegiatan,
pada aspek:
(1) Kegiatan awal: memuat konsep/kegiatan
prasyarat, problem solving,aplikasi konsep atau
orientasi kelas
(2) Kegiatan inti, dari segi:
A. Aspek Analisis
Monitoring ini memnfokuskan pada tiga aspek, yaitu: (1) Pemahaman terhadap isi kebijakan
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Satndar Isi, Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, serta Nomor 24
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. (2) Kesiapan
dan kemampuan sumber daya yang ada, dan (3) Implementasi atau penerapan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006.
1. Pemahaman terhadap Standar Isi Dan Standar Kompetensi Lulusan
Unsur-nsur yang dijadikan patokan pengkajian adalah (a) hal-hal apa saja yang diatur dalam
peraturan tersebut; (b) hal-hal apa saja yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi
daerah/satuan pendidikan; (c) fungsi Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang
terdapat dalam Standar Isi dan (d) fungsi Standar Kompetensi Lulusan. Unsur-unsur tersebut
digali melalui tes pemahaman, angket, dan wawancara.
2. Kemampuan dan Kesiapan Sumber Daya
Kemampuan dan kesiapan sumber daya sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan
kebijakan. Unsur-unsur yang dikaji adalah (a) apakah jumlah sumber daya manusia memadai,
(b) apakah kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan memadai, (c) apakah ada program
peningkatan kompetensi melalui sosialisasi, workshop, dan pelatihan, (d) apakah sarana dan
prasarana memadai, (e) sejauhmana dukungan komite/orang tua siswa terhadap pelaksanaan
kurikulum, (f) bagaimana pengganggaran dan pembiayaan kegiatan mulai dari persiapan
(sosialisasi), pengembangan, dan implementasi.
Informasi ini diperoleh melalui pejabat struktural dan staf Dinas Pendidikan, kepala sekolah,
guru, komite/orang tua siswa melalui angket, tes pemahaman dan wawancara. .
Informasi ini diperoleh melalui pejabat struktural dan staf Dinas Pendidikan, kepala sekolah,
guru, komite/orang tua siswa melalui angket, tes pemahaman dan wawancara. .
B. Hasil Analisis
1. Pemahaman Responden Terhadap Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan
KTSP.
Berdasarkan angket yang diberikan kepada pejabat dan staf struktural Dinas Pendidikan
provinsi dapat disimpulkan bahwa semua daerah telah melakukan sosialisasi tentang
Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006. Hal senada juga diakui oleh
responden yang berasal dari sekolah (kepala sekolah, guru, dan komite/orang tua siswa).
Dilihat dari pemahaman yang diperoleh melalui jawaban angket, tes pemahaman dan
wawancara kepada semua responden, dapat disimpulkan bahwa secara konseptual sebagian
besar responden cukup memahami peraturan mendiknas tersebut. Sebagai contoh, umumnya
responden memahami KTSP disusun dan ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan
dengan mempertimbangkan keragaman kondisi, potenai, dan kebutuhan daerah serta peserta
didik. Namun, substansi dan strategi strategi implementasi KTSP belum cukup dipahami.
Hal ini dilihat dari naskah KTSP dan perangkatnya yang disusun oleh masing-masing satuan
pendidikan. Umunya naskah tersebut baru pada tahap ”copy-paste”. Akibatnya, penerapkan
KTSP di masing-masing satuan pendidikan belum begitu kuat karakteristiknya.
Pemberlakuan KTSP sebagai impelementasi dari kebijakan pemerintah sebagaimana
yang diamantkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang mendasarinya,
dapat diterima secara baik oleh pelaksana di lapangan. Sungguhpun demikian, masih
banyak persoalan yang harus dituntaskan, parsoalan tersebut antara lain adalah :
Namun upaya belum cukup mengingat proses pembelajaran yang berlangsung masih
mengikuti pola lama, terutama dalam penggunaan metode pemeblajaran yang monoton,
penggunaan sumber belajar belum bervariasi, proses penilaian belum sesuai dengan karakter
dan tingkat kompetensi yang dituntut. Hal ini mengkibatkan proses pembelajaran belum
efisien dan efektif. Informasi ini diperoleh melalui observasi dan wawancara yang dilakukan
tehadap siswa.
2. Kemampuan dan Kesiapan Sumber Daya
1. Perlu tindak lanjut dalam sosialisasi pemahaman susbstansi KTSP kepada para stake
holder dan satuan pendidikan.
2. Perlu perbaikan dalam teknik sosialisasi (pendampingan dan monitoring KTSP) agar hasil
yang dicapai lebih maksimal
3. Perlu sosialisasi lebih jauh tentang teknik penilaian (PPK, Afektif dan Psikomotor) dan
penggunaan rapor sebagai informasi prestasi akademik dan non akademik peserta didik.
Perlu pendampingan yang lebih strategis dan teknis dalam penyusunan KTSP
5. Secara rata-rata guru sudah baik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
namun perlu kajian lebih mendalam berkaitan dengan kesusuaian isi materi yang
diajarkan dengan silabus yang telah di susun.
6. Guru sudah mampu merencanakan dan melaksanakan penilaian hasil belajar dengan
baik , namun masih perlu obsevasi yang lebih rinci berkaitan dengan kualitas
instrumen penilaian yang digunakan.
7. Dalam merencanakan sumber belajar yang akan digunakan guru sudah merencanakan
dengan baik, namun perlu kajian lebih mendalam berkaitan dengan efektivitas,
efisiensi dan tingkat kesesuaiannya denga kompetensi dasar yang hendak di capai.
8. Perlu tindak lanjut dalam sosialisasi pemahaman susbstansi KTSP kepada para stake
holder dan satuan pendidikan.
9. Perlu perbaikan dalam teknik sosialisasi (pendampingan dan monitoring KTSP) agar
hasil yang dicapai lebih maksimal
10. Perlu sosialisasi lebih jauh tentang teknik penilaian (PPK, Afektif dan Psikomotor)
dan penggunaan rapor sebagai informasi prestasi akademik dan non akademik peserta
didik.
11. Perlu pendampingan yang lebih strategis dan teknis dalam penyusunan KTSP seperti
penyusunan APBS, program mulok, dan program pengembangan diri.
1. Walaupun sebagian guru dalam observasi ini sudah membuat silabus dan RPP, tetapi
dari silabus dan RPP yang dibuat tampak bahwa guru belum menguasai konsep
pengembangan silabus dan teknik implementasinya sesuai kondisi wilayah, kondisi
sekolah dan karakteristik peserta didik.
6. Secara rata-rata guru sudah baik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
namun perlu kajian lebih mendalam berkaitan dengan kesesuaian isi materi yang
diajarkan dengan silabus yang telah di buat
7. Guru sudah mampu merencanakan dan melaksanakan penilaian hasil belajar dengan
baik, namun masih perlu obsevasi yang lebih rinci berkaitan dengan kualitas
instrumen penilaian yang digunakan.
8. Dalam merencanakan sumber belajar yang akan digunakan guru sudah merencanakan
dengan baik, namun perlu kajian lebih mendalam berkaitan dengan efektivitas,
efisiensi dan tingkat kesesuaiannya denga kompetensi dasar yang hendak di capai.
Dari hasil observasi pembelajaran, kuesioner guru, kepala sekolah, orangtua siswa, dan dinas
pendidikan, serta hasil tes pemahaman, dapat disimpulkan beberapa hal berikut.
1. pemahaman tentang KTSP sudah memadai, namun ini perlu dipertajam sampai
tingkat operasionalisasi dalam pengembangan dan penerapan kurikulum mencakup
komite sekolah, sekolah, pengawas, dinas pendidikan dan masyarakat.
A. KESIMPULAN
Secara umum, pemahaman tentang KTSP sudah memadai, namun ini perlu dipertajam
sampai tingkat operasionalisasi dalam pengembangan dan penerapan kurikulum mencakup
komite sekolah, sekolah, pengawas, dinas pendidikan dan masyarakat.
1. KTSP sebagai model kurikulum yang berdasar pada Standar Isi dan dikembangkan
dengan memperhatikan potensi dan karakteristik wilayah/sekolah belum disosialisasikan
dengan baik. Hasil monitoring menunjukkan 81 % responden menyatakan telah
mengetahuinya, namun tidak memahami subtansinya
2. Substansi KTSP dan strategi implementasinya belum dipahami dengan jelas oleh pihak
sekolah dan orang tua. Hasil monitoring menunjukkan 81 % responenden menyatakan
tahu tentang KTSP tetapi tidak memahaminya dengan baik.
4. Penggunaan KTSP sebagai kurikulum pendidikan saat ini diterima dengan baik oleh
orang tua walaupun muncul keluhan-keluhan dari pihak siswa karena perubahan pola
pembelajaran (responden menyatakan senang dengan penggunaan KTSP, 82 % responden
menyatakan menerima keluhan dari putra/putrinya berkaitan dengan tugas-tugas yang
diberikan, namun dapat mengatasinya dengan memberikan pemahaman dan pengertian).
5. Ada peningkatan biaya yang signifikan dengan penggunaan KTSP (85 % responden
menyatakan tambahan biaya yang timbul cukup signifikan dengan aktivitas belajar yang
terjadi).
6. Format rapor KTSP berlum mampu memberikan informasi tentang prestasi peserta
akademik maupun non akademik peserta didik, (77% orang tua menyatakan tidak puas
dengan format rapor hasil belajar yang diterima)
B. REKOMENDASI
4. Perlu tindak lanjut dalam sosialisasi pemahaman susbstansi KTSP kepada para stake
holder dan satuan pendidikan.
5. Perlu perbaikan dalam teknik sosialisasi (pendampingan dan monitoring KTSP) agar hasil
yang dicapai lebih maksimal
6. Perlu sosialisasi lebih jauh tentang teknik penilaian (PPK, Afektif dan Psikomotor) dan
penggunaan rapor sebagai informasi prestasi akademik dan non akademik peserta didik.
7. Agar monitoring ini dapat jauh lebih bermanfaat, maka untuk melihat adanya
perkembangan kemampuan guru-guru dalam melaksanakan KTSP di lapangan, sebaiknya
secara periodik (1 tahun sekali) dilakukan monitoring dan berupaya untuk
membandingkannya.
- Piet A. Sahertian, Prof., Drs., Supervisi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000
- Oteng sutisna, Prof., Dr., M. Sc.Ed, Admistrasi Pendidikan, Angkasa, Bandung, 1983